Konstelasi Bisnis Media Cetak

36
KONSTELASI BISNIS MEDIA CETAK (KORAN) DI KOTA SEMARANG Abstrak Di tahun 2012 dan 2014 telah terbit lima koran lokal baru di Kota Semarang, Jawa Tengah, diantaranya Tribun Jateng, Harian Semarang, Jateng Pos, Barometer dan harian Rakyat Jateng. Kemunculan koran cetak lokal ini bersamaan dengan berkembangnya pengguna internet di Indonesia dan Kota Semarang. Di Amerika dan Eropa kenaikan pengguna internet ini menyababkan turunnya tiras media cetak dan berkurangnya keuntungan perusahaan bahkan beberapa harus gulung tikar. Lucy Kung et al (2008:18) menyatakan bahwa media massa yang ingin bertahan perlu mengadopsi teknologi yang ada agar tidak keluar dari bisnis (creative destruction). Selain itu, sebagai industri, media perlu mengusahakan laba sebanyak-banyaknya dengan menarik pengiklan. Sementara pengiklan akan mengutamakan efektifitas jangkauan (reach) dan efisiensi biaya iklan dengan memperhatikan banyak sedikitnya audiens yang dimiliki suatu media massa tersebut (Burton , 2008; Shimp, 2007). Alih alih mengambil potensi pasar pengguna internet yang terus meningkat perusahaan media cetak tersebut di atas justru menerbitkan koran lokal baru di Kota Semarang. Tujuan penelitian ini ingin mengetahui apakah Kota Semarang sangat potensial sehingga menerbitkan koran baru. Bagaimana peta persingan koran di Kota Semarang, media habit (kebiasan mengkonsumsi media) masyarakat Kota Semarang dalam mengkonsumsi koran. Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, survey dan rekaman arsip yang dilakukan pada pembeli koran- koran tersebut diatas, agen koran besar di Kota Semarang, bagian pemasaran dari koran Tribun Jateng, Jateng Pos, Harian Semarang, Rakyat Jateng dan Barometer serta data pendukung lainnya. Teori yang digunakan sebagai landasan teoritis adalah konsep audiens media massa dari Graeme Burton (2008), generasi digital natives dan digital immigrants dari Prensky (2001), dan Teori Niche dari Dimmick (2003).

description

Acuan untuk pemula

Transcript of Konstelasi Bisnis Media Cetak

Page 1: Konstelasi Bisnis Media Cetak

KONSTELASI BISNIS MEDIA CETAK (KORAN) DI KOTA SEMARANG

Abstrak

Di tahun 2012 dan 2014 telah terbit lima koran lokal baru di Kota Semarang, Jawa Tengah, diantaranya Tribun Jateng, Harian Semarang, Jateng Pos, Barometer dan harian Rakyat Jateng. Kemunculan koran cetak lokal ini bersamaan dengan berkembangnya pengguna internet di Indonesia dan Kota Semarang. Di Amerika dan Eropa kenaikan pengguna internet ini menyababkan turunnya tiras media cetak dan berkurangnya keuntungan perusahaan bahkan beberapa harus gulung tikar. Lucy Kung et al (2008:18) menyatakan bahwa media massa yang ingin bertahan perlu mengadopsi teknologi yang ada agar tidak keluar dari bisnis (creative destruction). Selain itu, sebagai industri, media perlu mengusahakan laba sebanyak-banyaknya dengan menarik pengiklan. Sementara pengiklan akan mengutamakan efektifitas jangkauan (reach) dan efisiensi biaya iklan dengan memperhatikan banyak sedikitnya audiens yang dimiliki suatu media massa tersebut (Burton , 2008; Shimp, 2007). Alih alih mengambil potensi pasar pengguna internet yang terus meningkat perusahaan media cetak tersebut di atas justru menerbitkan koran lokal baru di Kota Semarang. Tujuan penelitian ini ingin mengetahui apakah Kota Semarang sangat potensial sehingga menerbitkan koran baru. Bagaimana peta persingan koran di Kota Semarang, media habit (kebiasan mengkonsumsi media) masyarakat Kota Semarang dalam mengkonsumsi koran.

Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, survey dan rekaman arsip yang dilakukan pada pembeli koran-koran tersebut diatas, agen koran besar di Kota Semarang, bagian pemasaran dari koran Tribun Jateng, Jateng Pos, Harian Semarang, Rakyat Jateng dan Barometer serta data pendukung lainnya. Teori yang digunakan sebagai landasan teoritis adalah konsep audiens media massa dari Graeme Burton (2008), generasi digital natives dan digital immigrants dari Prensky (2001), dan Teori Niche dari Dimmick (2003).

Hasil penelitian menunjukan bahwa Kota Semarang memiliki Niche Breath yang luas sebagai lingkungan hidup koran lokal. Media baru bukan ancaman bagi koran lokal di Kota Semarang dan keduanya dapat hidup saling berdampingan (coexistence) bukan saling meniadakan. Audiens koran masih didominasi oleh laki-laki (95%) dengan jenis profesi yang lebih beragam tidak hanya kalangan terdidik dan pekerja menengah atas tetapi juga kalangan blue collar dan pekerja menengah ke bawah (60%). Harga murah menjadi pertimbangan utama audiens dalam membeli koran. Pemberitaan politik tentang isu pemerintahan lokal dan nasional menjadi tema besar yang paling disukai oleh audiens. Tingkat kepercayaan dan loyalitas terhadap brand koran juga mempengaruhi audiens dalam memilih koran yang ingin dibaca. Berdasarkan hasil penelitian, Tribun Jateng menjadi brand koran yang paling banyak dijual di agen besar dan paling banyak dibeli oleh audiens.

Kata kunci : koran, audiens, Kota Semarang

Page 2: Konstelasi Bisnis Media Cetak

PENDAHULUAN

Di tahun 2012 hingga 2014 telah terbit beberapa koran cetak lokal baru di Kota

Semarang, Jawa Tengah. Beberapa dari koran cetak lokal ini merupakan bagian

dari media group besar di lokal Jawa Tengah, maupun Nasional, seperti misalnya

koran cetak Tribun Jateng dari Kompas Gramedia Group yang terbit pertama kali 29

April 2013.  Suara Merdeka Group (SMNetwork) sebagai media group terbesar di

Jawa Tengah juga menerbitkan koran lokal baru dengan brand Harian

Semarang yang diakuisis dari PT Semesta Media Pratama, tahun 2012. Jawa Pos

National Network (JPNN) juga menerbitkan koran cetak lokal Jateng Pos pada tahun

2013 dan koran politik Harian Rakyat Jateng, anak perusahaan dari Rakyat

Merdeka, pada tahun 2014. Di dalam harian ini disisipkan koran Meteor, yang

pernah terbit secara terpisah dari Jateng Pos. Selain koran cetak lokal dari media

group besar, terdapat juga koran lokal regional yang berdiri sendiri

seperti Barometer yang terbit pertama kali di tahun 2013. Seperti yang tampak pada

tabel berikut ini.

Tabel 1.1 Koran Cetak Lokal Kota Semarang

Brand Koran Pemilik Tahun Terbit

Harga (Rp)

Tiras (ekslempar)

Harian Semarang

Suara Merdeka Group (SMNetwork)

2012 1.000 12.000

Jateng Pos Jawa Pos National Network (JPNN)

2013 2.500 25.000

Tribun Jateng Kompas Gramedia Group 2013 1.000 63.000

Barometer Barometer 2013 1.000 8.000Rakyat Jateng Rakyat Merdeka 2014 2.500 15.000

(Sumber : hariansemarangbanget.blogspot.com; www.tribunjateng.com; www.jatengpos.co.id; manajemen: koran Barometer, Tribun Jateng, Jateng Pos, Rakyat Jateng)

Page 3: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Dari tabel tersebut di atas diketahui bahwa tiga brand koran cetak lokal di Kota

Semarang, Harian Semarang, Jateng Pos dan Barometer, dijual dengan harga Rp.

1.000 (seribu rupiah). Oplah koran Barometer merupakan yang terkecil yaitu sebesar

8.000 (delapan ribu) ekslempar, dan yang terbanyak adalah Tribun Jateng dengan

63.000 ekslempar. Sementara JPNN mengeluarkan dua brand koran terbarunya

yaitu Jateng Pos ditahun 2013 dan Rakyat Jateng di tahun 2014. Keduanya memiliki

segmentasi yang berbeda, Jateng Pos ditujukan untuk kelompok audiens menengah

yang merupakan harian umum lokal daerah sementara harian Rakyat Jateng adalah

koran politik yang memposisikan diri sebagai koran referensi politik Jawa

Tengah. Pemasaran kelima produk tersebut berfokus di Kota Semarang dan

sekitarnya, serta beberapa daerah di Pantura dan Solo Raya. Sumber berita koran

cetak lokal tersebut juga didominasi oleh pemberitaan dari Kota Semarang.

Kemunculan kelima koran cetak lokal di Kota Semarang ini justru di saat

pengguna internet mengalami perkembangan yang pesat baik nasional maupun

internasional dan saat tren global media cetak beralih ke media online. Di Indonesia,

pengguna internet mengalami kenaikan secara signifikan dari 1998 (500.000 orang)

hingga 2012 (63 juta orang) (APJII 2012, BPS 2012). Data statistik terakhir tanggal

30 Juni 2012 juga menunjukkan Indonesia menduduki urutan ke-4 sebagai negara

dengan pengguna internet terbanyak di Asia versi Miniwatts Marketing Group (2001-

2012) yang mencapai 63,000,000 dengan penetrasi 24 persen dari 260 juta populasi

(APJII 2012, BPS 2012). Sementara berdasarkan survey yang dilakukan

oleh MarkPlus Insight Agustus – September 2013 di 10 kota besar di Indonesia

(Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Pekanbaru,

Denpasar, Banjarmasin dan Makassar) menunjukan bahwa jumlah pengguna

internet tumbuh signifikan hingga 22 persen dari 62 juta di tahun 2012 menjadi 74,57

juta di tahun 2013.  Saat ini Indonesia juga memiliki 31,7 juta orang masyarakat

internet/netizen (orang yang mengakses internet lebih dari tiga jam perhari), naik

dari 24,2 juta tahun lalu (2012), yang berarti penetrasinya naik sebesar tiga persen.

Peningkatan pengguna internet ini juga berlaku secara internasional, terutama

di Amerika dan Eropa, hingga berakibat pada turunnya tiras media cetak dan

keuntungan perusahaan, bahkan beberapa harus menutup usahanya tersebut.

Salah satu contohnya adalah harian cetak tertua di Arizona, Amerika

Page 4: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Serikat, Tucson Citizen yang telah tutup dan beroperasi hanya secara online. Juni

2009, Tribune Co menjadi konglomerat media cetak pertama yang menyatakan diri

bangkrut. Gannett, penerbit koran terbesar di Amerika Serikat dan perusahaan induk

dari USA Today, memecat lebih dari enam ratus karyawannya di tahun yang

sama. The New York Times, bahkan telah melakukan pemecatan sejak tahun 2008,

memotong gaji hingga lima persen dan meminjam US$ 225 juta untuk meredakan

tekanan terhadap arus kas perusahaan. Selain itu, koran  terbesar di San

Francisco, The San Francisco Chronicle, pada 2008 merugi hingga Rp. 600 miliar

(http://classically.wordpress. com/2010/02/24/167/). 

Berdasarkan catatan Audit Bureau of Circulations, sirkulasi 507 harian di

Amerika Serikat anjlok 4,64 persen dalam enam bulan yang berakhir pada

September 2009. Gannett Co yang menerbitkan USA Today dan 84 surat kabar

lainnya, mengumumkan pemangkasan 1.000 tenaga kerja pada Agustus 2009.

Koran Wall Street Journal membuat daftar  surat kabar besar yang kemungkinan

menutup edisi cetaknya dan hanya terbit dalam edisi online. The Philadelphia Daily

News, milik Philadelphia Newspapers LLC, dan The Minneapolis Star Tribune,

mengajukan kebangkrutan (http://jurnalis.wordpress.com /2009/09/01/1408/).

Beberapa pihak dan ahli memprediksi fenomena ini disebabkan oleh beralihnya

pembaca media cetak ke media online.

Kemunculan fenomena tersebut di atas tentu berkaitan erat dengan

perkembangan teknologi. Teknologi baru (internet) mengembangkan media baru,

yaitu media yang menyalurkan pesan melalui media yang didistribusikan dengan

internet (Flew,  2005 : 83). Sisi lain dari konsep media baru adalah dalam

pemahaman tentang arti baru (new). Pengertian ini tidak dapat disederhanakan

sebagai suatu kebaruan dari penemuan atau pengembangan suatu teknologi belaka

tetapi bagaimana perubahan yang terjadi karena perkembangan teknologi ini,

membawa perubahan juga pada sisi-sisi lain kehidupan, seperti terkait penggunaan

teknologi, kegiatan dan praktek komunikasi yang dilakukan yang juga

mempengaruhi nilai-nilai sosial dan sistem pengorganisasiannya (Utari, 2011:51).

Perubahan – perubahan tersebut tentu akan mempengaruhi media konvensional

seperti koran harian cetak. Perlu berbagai macam strategi, baik dalam hal bisnis,

manajemen, kreativitas dan bentuk isi media maupun komunikasi pemasarannya

Page 5: Konstelasi Bisnis Media Cetak

agar dapat bertahan hidup. Berbagai ahli media massa merekomendasikan agar

media cetak turut berubah menggunakan bentuk digital dalam menampilkan

produknya maupun memberikan pelayanan kepada pengiklan atau pembacanya.

Lucy Kung et al (2008:18), menyatakan bahwa perkembangan teknologi akan

mempengaruhi industri media cetak secara langsung.  Perkembangan teknologi ini

akan  membawa dampak pada kompetisi dan perkembangan ekonomi yang diberi

label “Creative Destruction” . “Creative Destruction” adalah suatu istilah dimana

perusahaan media yang tidak mengadopsi teknologi baru akan keluar dari bisnis.

Berdasarkan teori ini, media yang ingin bertahan dapat memanfaatkan

perkembangan teknologi yang ada, baik memperbarui mesin dan teknologi yang

digunakan, atau bahkan memanfaatkan media baru (internet) untuk mendukung

media cetak utamannya. Beberapa industri media cetak mengembangkan diri

dengan membuat portal berita online, atau koran elektronik dalam bentuk pdf, atau

aplikasi lain untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang ada.

Konsep Creative Destruction banyak diaplikasikan dalam bisnis media cetak

dan industri cetak di Amerika dan negara maju lain seperti negara-negara Eropa.

Penggunaan teknologi yang sedang berkembang ini berkaitan dengan pandangan

bisnis media di masa depan. Sebagai sebuah industri,  media cetak harus

memperhatikan tren pasar di masa datang agar dapat bertahan bahkan

berkembang, salah satunya melayani pangsa pasar terbesar atau pasar yang

sedang berkembang. John Dimmick dan Eric Rohtenbuhler mengenalkan konsep

‘Ekologi Media’ yang berlaku pada industri media massa. Seperti konsep pemikiran

Ekologi dalam Ilmu Biologi, Ekologi Media memandang bahwa media selayaknya

individu, perlu bertahan hidup dengan mencari audiens dan pengiklan (sumber

kehidupan), serta memenangkan kompetesi dengan media lain baik sejenis (sesama

media cetak) atau media jenis lain (online, elektronik dan lain sebagainya) dalam

suatu lingkungan tertentu (Budi, 2011 : 77). Dari konsep sederhana ini, ada baiknya

media massa cetak memanfaatkan teknologi internet bahkan beralih ke media online

untuk mendapatkan sumber kehidupan (audiens dan pengiklan) serta

memenangkan kompetisi yang ada dengan media lain mengingat tren pengguna

internet terus berkembang.

Page 6: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Media massa juga perlu mengidentifikasi audiens yang potensial agar dapat

melihat kemungkinan- kemungkinan dan pasar yang dapat menguntungkan media

massa. Media sebagai sebuah industri mengusahakan untuk mendapatkan laba

sebesar-besarnya yang didapatkan dari pengiklan (Burton , 2008: 211-212). Menurut

Terence A Shimp (2007: 370-371) ada 6 hal yang perlu dipertimbangan pengiklan

dalam memilih media beriklan yaitu jangkauan (reach), frekuensi, weight,

continuity, recency dan cost. Pengiklan juga perlu mempertimbangkan efektifitas dan

efisiensi penggunaan dana iklan. Jangkauan dan weight menjadi persyaratan yang

berkaitan erat dengan audiens. Jangkauan atau reach berkaitan dengan keharusan

iklan didengar atau dilihat oleh target audiens yang sudah ditargetkan oleh pengiklan

tersebut.  Reach diartikan sebagai daya jangkau suatu media terhadap khalayak

sasaran. Daya jangkau ini dapat dinyatakan dalam angka mutlak (jumlah orang) atau

untuk keperluan penghitungan duplikasi dinyatakan dalam persen.

Sementara weight berkaitan dengan rating. Rating ini adalah opportunity to see atau

seberapa besar kesempatan untuk dilihat audiens jika iklan ditempatkan di suatu

media atau program acara tertentu.

Salah satu pemilihan media dan vehicle yang tepat dalam hal jangkauan

dan weight adalah memperhatikan banyak sedikitnya audiens yang dimiliki media

dan vehicle yang dipilih oleh pengiklan. Pemilihan media ini juga perlu

memperhatikan efektivitas jangkauan dan efisiensi dari segi budget yang dapat

diukur melalui CPM (cost per thousand miles) yaitu biaya yang dibayarkan untuk

menjangkau setiap 1000 audiens. CPM adalah suatu ukuran untuk melihat

perbandingan tingkat efisiensi antar media dan harga yang dibutuhkan untuk

menjangkau seribu pembaca/pemirsa. Dalam mengukur besar kecilnya CPM sangat

dipengaruhi oleh jumlah audiens yang mengakses media massa tersebut, semakin

besar jumlah audiensnya semakin efektif dan efisien jangkauannya.

Kemunculan beberapa koran lokal baru di Kota Semarang tahun 2012 dan

2013 ini, sangat mengejutkan terlebih tiga koran lokal baru tersebut dimiliki oleh grup

media (Kompas Gramedia, SMNetwork dan JPNN) yang telah memiliki media cetak

lain (Kompas, Jawa Pos dan Suara Merdeka) yang beredar di Kota Semarang. Di

saat audiens media internet terus mengalami peningkatan, alih- alih memanfaatkan

Page 7: Konstelasi Bisnis Media Cetak

teknologi internet dengan menfokuskan diri membuat situs berita online atau koran

versi elektronik, grup ini justru membuat koran cetak baru. Sebagai industri, media

massa cetak, tentu membutuhkan pengiklan dan pembaca agar mendapatkan

keuntungan. Jumlah pembaca yang melimpah akan memudahkannya menjual ruang

di medianya kepada pengiklan. Apakah benar Kota Semarang menjadi wilayah yang

potensial untuk menerbitkan koran cetak lokal yang baru? Bagaimana peta

persaingan koran di Kota Semarang? Bagaimana media habit (kebiasan

mengkonsumsi media) masyarakat Kota Semarang dalam mengkonsumsi koran?

TINJAUAN TEORI/KONSEP

Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep-konsep

tentang audiens media massa, konsep audiens era digital dan era tradisional untuk

mengetahui gambaran dan karaktersitik audiens serta Teori Niche yang digunakan

untuk menerangkan potensi Kota Semarang bagi industri media cetak (koran),

berikut penjabarannya.

Audiens Media Massa

Media memiliki dua konsumen sekaligus yang harus dilayani, yaitu pengiklan

dan audiens. Audiens didefiniskan Burton (2008, 210-213) sebagai semuanya, baik

yang mengkonsumsi media atau yang bekerja dan membuat isi media itu sendiri.

Audiens saat ini lebih besifat spesifik. Ada beberapa kategori yang bisa digunakan

untuk mengelompokan audiens ini, yaitu mendefinisikan audiens berdasarkan media

yang mereka konsumsi (majalah, rekaman, film dll; membagi audiens berdasarkan

pada suatu tipe produk tertentu yang dikonsumsi (film komedi, musik jazz dll); dan

yang ketiga menspesifikasikan audiens berdasarkan pada profile audiens dengan

membaginya berdasarkan demografi, psikografi, lifestyle dan lain sebagainya

(Burton, 2008: 210-213).

            Dalam bisnis media audiens ini digunakan media sebagai layaknya sebuah

produk yang ‘dijual’ kepada pemasang iklan. Para pemasang iklan saat ini tidak

hanya menginginkan sekadar kuantitas audiens saja, melainkan menginginkan tipe

audiens yang spesifik dan jelas. Pengiklan menginginkan pesan komersilnya

Page 8: Konstelasi Bisnis Media Cetak

dikonsumsi audiens dalam jumlah besar sesuai dengan pasar mereka (Burton,

2008:217-218). 

Pada era digital ini jenis audiens dibagi menjadi dua, Digital Native atau

disebut juga dengan Now Generation (Generasi Sekarang) atau Generasi Digital

dan Generasi Lama atau Generasi Tradisional (Digital Immigrant).

Digital Native VS Digital Immigrant

Generasi Digital Natives (Now Generation atau Generasi Digital) adalah

sebuah generasi yg tumbuh dengan teknologi baru di era dunia digital. Mereka

tinggal dan hidup dikelilingi oleh perangkat teknologi canggih seperti komputer, video

games, digital music players, video cams, telepon seluler, mainan dan alat canggih

lainnya dan menggunakananya dalam kehidupan sehari-hari. Digital

Natives adalah ‘native speaker’ dari perangkat digital dan generasi asli pengguna

digital yang sangat memahami komputer, video game dan internet. Mereka lebih

mengusahakan pemenuhan kebutuhan media yang cepat dan lebih condong

ke 'future' content yaitu isi dalam bentuk digital dan bersifat teknologi (Prensky,

2001:1-3). Digital natives lebih condong menghindari penggunaan media

konvensional yang cenderung ‘kuno’ dan merepotkan. Digital Natives juga

merupakan generasi manusia yang lahir setelah tahun 1980, dan akan terus

mengalami pertumbuhan pesat. 

Sementara oposisinya adalah Digital Immigrants, (beberapa menyebutnya

sebagai generasi tradisional) dimana mereka tidak lahir di era digital tetapi perlu

mengadopsi dan menggunakan teknologi dalam kehidupannya. Seperti 'imigran'

mereka masih memiliki 'logat'  asal mereka, dimana menggunakan internet bukan

sebagai sumber pertama melainkan kedua, atau lebih banyak membaca buku

manual sebuah program dibandingkan memilih belajar dari program itu sendiri.

Contoh lain ‘logat’ asli mereka adalah, mencetak email, bahkan melakukan untuk

melakukan proses editing dengan mencetaknya dokumennya terlebih dahulu

dibandingkan edit dari layar.  Generasi ini  lebih memilih 'legacy' content yaitu isi

yang membutuhkan treatment seperti membaca dan menulis (Prensky, 2001:1-3).

Mereka inilah yang lebih banyak menjadi konsumen dari media cetak (koran).

Page 9: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Teori Niche

Teori Niche adalah sebuah teori yang dapat digunakan untuk melihat

seberapa besar potensi suatu lingkungan dalam menyediakan sumber-sumber

kehidupan bagi sebuah media. Teori Niche mengadapsi konsep dari ekologi-biologi

yang didesain untuk menjelaskan bagaimana unit (media) mengkonsumsi sumber –

sumber yang sama dan menjalankan fungsi serupa dalam sebuah lingkungan yang

di dalamnya terdapat kompetisi dan hidup saling berdampingan (coexistence).  Ada

tiga konsep penting dalam teori Niche ini yaitu (1) space (pasar dan

komunitas), (2) Niche-Breadth dan Niche Overlap, dan (3) competitive superiority.

Space adalah pasar dan komunitas. Albarran (1996) mendefinisikan pasar dalam

dua elemen yaitu produk media dan geografi. Di dalam space terdapat sumber-

sumber yang diperebutkan. Slobodchikoff and Schulz (1980) menyebutnya

dengan macrodimension dan microdimension. Ada enam aspek dalam dimensi

makro yaitu gratifications obtained, gratification opportunities, pengeluaran

konsumen, waktu yang dihabiskan konsumen dalam mengkonsumsi media,

pembelanjaan iklan dan isi media. Sementara microdimension  (dimensi mikro)

adalah turunan atau bagian yang lebih rinci dari masing-

masing macrodimension tersebut (Dimmick, 2003 : 32-33). Enam aspek tersebut

adalah poin-poin yang perlu dianalisis untuk mengetahui  Niche Breadth dan Niche

Overlap sebagai indikasi ‘sehat’-nya sebuah lingkungan bagi suatu media.

Niche Breadth adalah ukuran dari seberapa banyak sumber-sumber yang

dibutuhkan suatu media untuk bertahan hidup. Niche Overlap mengukur hubungan

antara unit yang memiliki persamaan atau perbedaan dari pola pemanfaatan

sumber, bisa hidup berdampingan atau berkompetisi. Niche yang berbeda maka unit

dapat hidup berdampingan sementara kesamaan niche yang tinggi membuat

persaingan menjadi sengit (Dimmick, 2003 : 37-38). Sementara  Competitive

Superiority ditujukan pada media yang paling besar memiliki kekuatan dalam

pemenuhan kebutuhan media audien, yang dapat menggantikan atau

memusnahkan media lain dalam situasi yang kompetitif (Dimmick, 2003 : 39-

40). Dalam perseteruan antara koran dan media online, media online dianggap

sebagai Competitive Superiority yang dapat mengancam keberadaan koran (media

cetak).

Page 10: Konstelasi Bisnis Media Cetak

METODE PENELITIAN

Tipe penelitian ini adalah deskriptif (thick deskriptif) kualitatif dengan metode

studi kasus. Paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme. Jenis penelitian

deskriptif bertujuan membuat deskripsi secara sitematis, faktual dan akurat tentang

fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Riset ini menggambarkan

realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel (Kriyantono,

2006:69).

Menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) metodologi penelitian kualitatif adalah

prosedur penelitian yang menghadirkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan

pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh

mengisolasikan ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya

sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.

Metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus (study

case) dengan kasus tunggal. Robert K. Yin (2000:18) mendifinisikan studi kasus

sebagai suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks

kehidupan nyata, bilamana batas – batas antara fenomena dan konteks tak tampak

dengan tegas, dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan. Yin juga memberikan

batasan mengenai metode kasus sebagai riset yang menyelidiki fenomena di dalam

konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak

tampak dengan jelas, dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan.  Multisumber

bukti ini diperoleh dari penggunaan berbagai instrumen pengumpulan data.

Studi kasus memiliki ciri, partikularistik, yaitu studi kasus terfokus pada situasi,

peristiwa, program atau fenomena tertentu. Deskriptif, yaitu hasil akhir metode ini

adalah deskripsi detail dari topik yang diteliti. Heuristik, yaitu metode studi kasus

membantu khalayak memahami apa yang sedang diteliti, interpretasi baru,

perspektif baru, makna baru merupakan tujuan dari studi kasus. Induktif, yaitu studi

kasus berangkat dari fakta-fakta di lapangan, kemudian menyimpulkan ke dalam

tataran konsep atau teori (Kriyantono, 2006:67).

Page 11: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu

penelitian berkenaan dengan how atau  why, bila peneliti hanya memiliki sedikit

peluang untuk mengontrol peristiwa -  peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana

fokus penelitiannya terletak pada fenomena kotenporer (masa kini) di dalam konteks

kehidupan nyata (Yin, 2006:1). Selain itu, keunikan dari kasus atau suatu fenomena

menjadi alasan yang mendasar dalam pemilihan studi kasus sebagai sebuah

pendekatan penelitian.  Pada dasarnya penelitian ini mencari jawaban dari

pertanyaan bagaimana keadaan Kota Semarang sehingga menjadi pilihan banyak

industri media cetak untuk menerbitkan korannya, bagaimana pula media

habit (kebiasan mengkonsumsi media) masyarakat Kota Semarang dalam

mengkonsumsi koran. Sementara keunikan kasus ini antara lain dapat dikatakan

bahwa Kota Semarang satu-satunya daerah dalam tiga tahun belakangan yang

muncul koran baru, dua diantaranya berasal dari kelompok industri media yang

sama. Padahal koran lain melakukan perbaikan dalam hal konten, harga dan lain

sebagainya untuk memenangkan persaingan dengan media baru atau sesama

media cetak di daerah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam

dengan masyarakat Kota Semarang, agen dan penjual koran, serta pihak media dari

koran yang bersangkutan, observasi media agen penjual koran, dan melalui buku-

buku serta artikel pendukung.

KONSTELASI BISNIS MEDIA CETAK (KORAN) DI KOTA SEMARANG

Hal-hal yang dijabarkan dalam penelitian ini antara lain menganalisis Kota

Semarang sebagai sebuah “lingkungan” koran daerah dengan menggunakan

Teori Niche dari Dimmmick (2003),  mendeskripsikan peta persaingan kelima koran

daerah yang baru terbit dalam tiga tahun belakangan di Kota Semarang, serta

kebiasaan audiens di Kota Semarang terkait konsumsi koran lokal.

Analisis Potensi Kota Semarang sebagai Pasar Koran Daerah

Page 12: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Kota Semarang memiliki potensi yang besar untuk dijadikan pasar koran lokal.

Hal ini tampak dari Niche Breath yang luas di Kota Semarang dan Niche

Overlay yang saling berdampingan (Coesixtance) dengan media online, seperti yang

tampak pada penjabaran enam macrodimension yang dibandingkan antara media

online (diposisikan sebagai superior competitive)  dan media cetak (koran).

Media online dan media cetak (koran) memberikan pemenuhan kebutuhan dan

keinginan yang berbeda sehingga gratifications obtained yang dimiliki masing-

masing media juga berbeda. Koran memudahkan audiens untuk mengatahui apa

yang terjadi dan mengetahui pemberitaan utama dengan melihat agenda media.

Sementara melalui internet, audiens dapat dengan mudah memilih dan mencari

informasi yang dibutuhkan. Berdasarkan hal itu, masing–masing media

memiliki  gratification opportunities untuk memenuhi kepuasan dari jenis audien yang

berbeda pula. Media online yang menampilkan konten dalam versi digital dan

mengutamakan kecepatan yang bisa diakses kapan saja dan dimana saja, interaktif

dan fleksibel (Sari,2011: 181-183) sangat sesuai dengan pengharapan, keinginan

dan kebutuhan generasi sekarang (now generation) atau digital native. Generasi ini

adalah sebuah generasi yg tumbuh dengan teknologi baru di era dunia digital.

Mereka adalah manusia yang lahir setelah tahun 1980 (dikelilingi alat-alat canggih

dengan teknologi tinggi), menginginkan informasi dengan cepat, menyukai proses

paralel dan multi-task dan memilih 'future' content yaitu isi dalam bentuk digital dan

bersifat teknologi (Prensky, 2001:1-3). Sementara sebaliknya, generasi terdahulu

(generasi tradisional)  yang lebih menyukai legacy content, isi

yang membutuhkan treatment tertentu seperti membaca dan menulis di atas kertas,

dan menggunakan internet sebagai sumber kedua (Prensky, 2001:1-3), akan lebih

memilih koran untuk memuaskannya, sehingga koran masih memiliki kesempatan

untuk memenuhi keinginan audien (gratification opportunities). Selain itu, koran juga

masih memiliki kesempatan yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang karena

jumlah generasi tradisional ini  sebesar 105.223.600 jiwa di tahun 2010 (Media

Scene, vol 22: 2010/2011) di seluruh Indonesia dan 745.132 atau setara dengan

47,7 persen dari total populasi Kota Semarang di tahun 2012 (BPS, 2012). Meskipun

jumlah ini lebih sedikit dari jumlah generasi sekarang (usia lebih muda dari 30

tahun), tetapi angka 47,7 persen dari populasi bukanlah angka yang sedikit untuk

dijadikan pangsa pasar sebuah media.

Page 13: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Macrodimension yang selanjutnya adalah pengeluaran masyarakat.

Pengeluaran ini dapat diketahui dengan melihat pendapatan dari masyarakat itu

sendiri, pendapatan yang rendah memungkinkan masyarakat memiliki keterbatasan

dalam pemenuhan kebutuhan. Besar pendapatan masyarakat Kota Semarang dapat

diketahui dengan melihat profesi pekerjaannya. Badan Pusat Statistik Semarang

data survey tahun 2012 menyatakan bahwa buruh industri adalah profesi terbanyak

yaitu 25,65 persen, PNS/ABRI (13,76 persen) di posisi ke dua, disusul dengan

pedagang dengan 12,51 persen, buruh bangunan di posisi keempat dengan

persentase 12,02 persen, pengusaha 7,72  persen, pensiunan 5,77 persen,

angkutan (supir) 3,71 persen, petani sendiri 3,95 persen, buruh tani 2,69 persen,

nelayan 0,39 persen dan profesi lain sebesar 11,87 persen. Dari data tersebut dapat

diketahui bahwa lebih dari 57 persen masyarakat Kota Semarang memiliki status

ekonomi sosial menengah ke bawah. Posisi ekonomi ini akan menyulitkan mereka

untuk mendapatkan akses internet, seperti misalnya keberatan dalam membayar

tagihan bulanan biaya internet, membeli gadged atau alat penunjang ber-internet

dan bahkan tempat tinggal mereka yang tidak di pusat kota menyulitkan mereka

mendapatkan akses jaringan internet. Selain itu, tingkat pendidikan juga

mempengaruhi penghasilan masyarakat. Kota Semarang hanya memiliki 429.043

jiwa masyarakat yang lulus sekolah menengah atas (BPS Kota Semarang, 2012)

atau setara dengan 29,9 persen dari total populasi. Jumlah ini menunjukan bahwa

masih banyak masyarakat Kota Semarang yang tidak mendapatkan pendidikan

tinggi. Pendidikan yang rendah memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan

pekerjaan ‘seadanya’ dengan pendapatan yang tidak seberapa. Berdasarkan

analisis ini, koran daerah, terutama koran murah seribu rupiah (Rp.1.000), memiliki

kesempatan untuk mendapatkan audiens tersebut. Koran murah ini dianggap lebih

terjangkau secara fisik, mudah dan nyaman dibaca serta menawarkan informasi

yang ‘hampir’ cuma-cuma. Selain itu, koran yang mengangkat informasi ringan

dengan bentuk penyajian penulisan yang mudah dipahami dengan menonjolkan sisi

yang menarik sangat sesuai dengan karakteristik audien berpendidikan rendah

hingga menengah. Koran jenis ini akan memiliki peluang di pasar koran lokal di Kota

Semarang.

Page 14: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Karakteristik media online dan koran serta isi dari keduanya yang berbeda

memiliki kekurangan dan kelebihan yang pada hakikatnya tidak bisa dibandingkan

secara langsung dan tidak dapat saling menggantikan. Posisi keduanya saling

berdampingan dan melayani audiens yang berbeda seperti yang telah diungkapkan

sebelumnya. Isi media keduanya baik dalam bentuk format, tema yang diangkat atau

cara penulisannya dan sifatnya juga berbeda. Media online mengutamakan

kecepatan dengan format yang beragam baik teks, gambar, suara hingga video

serta berupa media interaktif, akan tetapi konsekuensi dari kecepatannya membuat

kedalaman informasinya terbatas, syarat-syarat penulisan jurnalistik seperti cover

both side, melakukan proses editing yang panjang serta melakukan pengecekan

ulang tidak dilakukan. Kemudahan orang-orang mem-posting isi di internet

memudahkan rumor dan informasi tidak benar yang anonim mudah berkembang di

dunia maya. Sedangkan koran menawarkan kedalaman informasi, fakta dan sumber

yang dapat dipertanggungjawabkan, kenyamanan dalam membaca serta menjual

informasi bertema lokal dan spesifik. Akan tetapi koran juga memiliki celah yang bisa

diisi oleh internet, sepeti peristiwa yang terjadi hari ini baru dapat diketahui besok,

audiens harus membayar biaya cetak dan kertas, isi hanya terbatas tulisan dan

gambar serta tidak memungkinkan untuk melakukan feedback secara langsung

kepada redaksi atau koran yang bersangkutan. Meskipun demikian, koran masih

berpeluang tinggi selama masih ada audiens yang menginginkan media yang dapat

menyediakan informasi mendalam dan terpercaya serta kenyamanan dalam

membaca teks.

Aspek lain yang perlu dicermati adalah perihal iklan. Pendapatan iklan media

cetak (koran) di Indonesia masih relatif tinggi. Hasil riset pasar Nielsen semester

pertama tahun 2013 di Indonesia menunjukkan bahwa belanja iklan di media

mengalami kenaikan 25 persen atau sekitar Rp 10,3 triliun, dari Rp 40,9 triliun

menjadi Rp 51,2 triliun dibanding periode yang sama tahun 2012. Persentase

belanja iklan tertinggi masih dipegang televisi dengan 68 persen dari total belanja

iklan media, kemudian disusul oleh koran dengan 30 persen dari total belanja iklan

media atau senilai Rp 15,5 triliun. Jumlah ini naik 15 persen dari tahun lalu di

semester yang sama, sementara media online mendapatkan jatah iklan kurang dari

2 persen (Tim Jagad review, 2013).

Page 15: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Berdasarkan uraian tersebut, Niche breadth yang dimiliki oleh koran masih

relatif luas. Meski berada di lingkungan yang sama, media online dan koran

memiliki niche yang berbeda yang tidak saling meniadakan satu sama lain. Hal ini

tampak dari jenis audiens, karakteristik dan isi media serta gratification

obtained dan opportunities yang berbeda membuat keduanya dapat hidup saling

berdampingan (coexistence). Konsep yang menyatakan media online

adalah superior tidak terjadi di daerah terutama di Kota Semarang. Ibukota daerah

belum sepenuhnya memiliki masyarakat berpendidikan tinggi dengan tingkat

ekonomi yang baik, selain itu sistem jaringan dan akses internet belum merata

sepenuhnya. Kebutuhan akan alat dan teknologi menjadi penghambat media online

berkembang di daerah. Peluang inilah yang dimanfaatkan para industri media untuk

menerbikan koran lokal di daerah dengan harga terjangkau.

Peta Persaingan Koran di Kota Semarang

Peta persaingan koran di Jawa Tengah padat dan kompetitif. Ada kurang lebih 7

koran lokal  (Tribun Jateng, Barometer, Jateng Pos, Harian Semarang, Suara

Merdeka-Semarang Metro, Wawasan, Jawa Pos-Radar Semarang dan Rakyat

Jateng) dan 5 koran nasional (Kompas, Koran Sindo, Koran Tempo,

Republika, dan Media Indonesia)  yang terbit di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Beberapa diantaranya dibawahi oleh jaringan media cetak terbesar di Jawa Tengah

maupun nasional.  Tribun Jateng dimiliki oleh jaringan nasional Kelompok Kompas

Gramedia, Jawa Pos-Radar Semarang, Jateng Pos-Meteor dan diterbitkan

oleh Jawa Pos National Network (JPNN) sedangkan Rakyat

Jateng diterbitkan Rakyat Merdeka. Suara Merdeka, Wawasan dan Harian

Semarang dimiliki oleh SMNetwork atau Suara Merdeka Group. Selain itu, terdapat

pula koran mandiri yang tidak dipimpin oleh korporat besar seperti Barometer, koran

kriminal dengan harga Rp.1.000 (seribu rupiah) tiap ekslempar, yang terbit pada

tahun 2013 dan telah gulung tikar di pertengahan tahun 2014. Harian

Semarang juga diketahui sejak pertengahan tahun 2013 sudah tidak lagi ditemukan

di pasar. Sementara di awal tahun 2014,

koran  Wawasan milik SMNetwork mengeluarkan harga promo sebesar Rp. 1.000

(seribu rupiah) dari harga normal Rp. 2.000 (dua ribu rupiah) sampai dengan batas

Page 16: Konstelasi Bisnis Media Cetak

waktu yang belum ditentukan. Berikut bagan  peta persaingan koran lokal dan

nasional di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Gambar 1. Bagan Peta Persaingan Koran Lokal dan Nasional di Kota

Semarang 2014

 (Hasil Analisis, 2014)

Dalam bagan tersebut, populasi koran di Kota Semarang dikelompokan peneliti ke

dalam dua kategori yaitu koran nasional dan koran lokal. Diantara kedua kategori

tersebut, terdapat irisan bagian dimana ada dua koran nasional yang juga melayani

masyarakat lokal Kota Semarang dengan suplemen halaman daerah dalam

ekslempar korannya. Koran tersebut adalah Suara Merdeka dan Jawa Pos. Suara

Merdeka yang didirikan tahun 1950 adalah koran terbesar di Kota Semarang, Jawa

Tengah. Koran ini memiliki oplah harian sebesar 121.345 ekslempar setiap harinya

dan mendistribusikan korannya ke 17 area di Jawa Tengah hingga ke Jogjakarta.

Kota Semarang memiliki alokasi persentase oplah tertinggi yang mencapai lebih dari

45 persen atau sebesar 55.000 ekslempar setiap harinya. Target audiens Suara

Merdeka adalah pembaca berpendidikan tinggi dengan SES B hingga A. Pekerja

Page 17: Konstelasi Bisnis Media Cetak

kantoran (white collar) dan laki-laki menjadi target audiens utama Suara Merdeka.

Koran yang memiliki tagline “Perekat komunitas Jawa Tengah” ini telah menjadi

market leader koran lokal di Jawa Tengah (Data Media Suara Merdeka, 2013). Hal

ini sesuai dengan data Media Scene Volume 22 : 2010/2011 yang menunjukan

Suara Merdeka menempati rating tertinggi (posisi pertama) dengan 311.000 (11,5

persen) orang pembaca pada tahun 2010 dalam media penetration di Kota

Semarang. Suara Merdeka dibanderol harga Rp.4.000 sudah lebih dulu dikenal dan

memiliki pembaca yang setia. Lokasi dan kepemimpinan yang berpusat di Semarang

membuat koran ini dirasa sebagai “korannya orang Jawa Tengah”. Isu dan berita

lokal Jawa Tengah disajikan secara lengkap dalam halaman daerahnya. Muatan

lokal Semarang dimasukan dalam lembar Semarang Metro yang berisikan berita dan

informasi dari wilayah eks karesidenan Semarang. Sementara untuk wilayah lain,

Suara Merdeka memiliki Solo Metro untuk eks karesidenan Surakarta, Suara Muria

untuk kawasan ekskaresidenan Pati, Suara Pantura eks karesidenan Pekalongan,

Suara Banyumas untuk wilayah eks karesidenan Banyumas dan Suara Kedu untuk

wilayah eks karesidenan Kedu (Data Media Suara Merdeka, 2013).

Jawa Pos yang juga sebagai koran nasional memiliki halaman Radar

Semarang-nya yang menawarkan berita lokal. Jawa Pos sudah berdiri sejak tahun

1949 dan mengalami beberapa perubahan kepemilikan hingga mengalami

keberhasilan pada masa kepemimpinan Dahlan Iskan. Oplah Jawa Pos-Radar

Semarang sebesar 40.000 per hari yang disebarkan di seluruh kawasan wilayah eks

karesidenan Semarang, eks karesidenan Pekalongan, eks karesidenan Kedu dan

sekitarnya (http://radarsemarang.com/about/). Jawa Pos-Radar Semarang

dibanderol harga sebesar Rp. 5.000 dengan 28 halaman yang terdiri dari 16

halaman Jawa Pos dan 12 halaman Radar Semarang. Target audiens Jawa Pos

adalah pembaca menengah ke atas dan terdidik. Sementara Jateng Pos (koran lokal

keluaran JJPN) dibanderol harga Rp.2.500 dan memiliki konten berita lokal lebih dari

75 persen. Jateng Pos yang berdiri tahun 2013 ini, memasukan Meteor yang semula

terbit mandiri sebagai koran suplemennya. Koran ini ditujukan untuk segmen

pembaca status ekonomi dan pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan

Jawa Pos – Radar Semarang (Pemasaran Jateng Pos, 2014).

Page 18: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Sedangkan persaingan koran lokal dengan harga Rp.1.000 (seribu rupiah) per

ekslempar di Kota Semarang saat ini diisi oleh koran Tribun Jateng (KKG) dan koran

Wawasan (SMNetwork) dalam harga promo. Tribun Jateng pertama kali diterbitkan

pada tanggal 29 April 2013 dan terbit 7 kali dalam seminggu (setiap hari) di pagi

hari. Sebelum menerbitkan Tribun Jateng, Kelompok Kompas Gramedia pernah

menerbitkan koran Warta Jateng di Kota Semarang, Jawa tengah yang terbit sejak

17 Januari 2011 hingga April 2013 di Kota Semarang. Serupa dengan konsep

Tribun Jateng, Warta Jateng merupakan salah satu koran daerah terbitan KKG

dengan harga Rp.1.000 (seribu rupiah). Pergantian Warta Jateng menjadi Tribun

Jateng disebabkan oleh adanya regrouping yang dilakukan KKG pada tahun 2011.

Regrouping ini juga berdampak pada penggabungan Warta Kota, Berita Kota

(sekarang menjadi SuperBall) dan Surya ke dalam unit bisnis Kelompok Pers

Daerah atau Group of Regional Newspaper. Koran yang terbit dalam 24 halaman ini

memiliki12 halaman berwarna dan 12 halaman hitam putih. Terdapat tiga kategori

tema yaitu sesi umum, sesi halaman kota dan sesi halaman olahraga. Saat ini

Tribun Jateng memiliki oplah harian sebesar 63.000 ekslempar dengan tingkat

keterbacaan (readership) sebesar 3 buah, artinya satu buah koran dibaca oleh tiga

orang.Koran ini sudah didistribusikan ke seluruh wilayah Jawa Tengah hingga

Brebes, Pati, Kota Semarang hingga kawasan Solo Raya. Persentase edar Tribun

Jateng yang terbanyak berada di Kota Semarang yaitu 70% atau 37.800

ekslempar.Pembaca yang disasar berdasarkan usia adalah mereka yang berumur

24 hingga 45 tahun, dengan mayoritas berjenis kelamin laki-laki dan memiliki

pengeluaran rumah tangga per-bulan pada tingkat B1 hingga A (Data Media Tribun

Jateng, 2013).

Sedangkan koran Wawasan yang terbit sejak 17 Maret 1986 mengalami

perubahan format beberapa kali, awalnya koran ini hadir sebagai koran harian sore,

kemudian bergeser menjadi koran harian pagi di Januari 2011

(www.koranwawasan.com). Koran yang dibanderol harga Rp.2.000 ini menerbitkan

harga promo Rp. 1.000 di pertengahan tahun 2014, harga promo ini hanya berlaku

untuk pejualan secara ecer di pengecer dan agen pinggir jalan serta di terminal Kota

Semarang, sementara untuk di kedai media cetak atau berlanggaran (di kirim di

rumah/kantor) harga jual koran ini dengar tarif normal Rp.2.000. Koran Wawasan

terbit dalam 24 halaman dengan 10 halaman berwarna dan 14 halaman hitam putih

Page 19: Konstelasi Bisnis Media Cetak

yang terdiri dari tiga tema besar yang relatif sama dengan Tribun Jateng, yaitu sesi

umum, sesi kota dan sesi olahraga. Koran ini memiliki oplah harian sebanyak 43.800

ekslempar dan memiliki target audiens menengah ke bawah dengan distribusi koran

hingga Rembang, Slawi dan Purwokerto.

Harian Rakyat Jateng, meski masuk dalam kategori koran lokal tetapi, koran ini

adalah satu-satunya koran harian politik dan hukum di Kota Semarang bahkan di

Jawa Tengah. Koran ini menawarkan pemberitaan politik di Kota Semarang dan

keseluruhan daerah di Jawa Tengah. Koran yang terbit pertama kali tanggal 26

Januari 2014 dijual dengan harga eceran Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah) dan

memiliki 16 halaman yang terdiri dari dua sesi yaitu halaman kota (pemberitaan

politik di Jawa tengah) dan halaman Pro Bisnis yaitu tentang informasi ekonomi dan

bisnis serta satu halaman olahraga di halaman 16. Fokus distribusi koran ini meliputi

Kota Semarang, Kendal dan Tegal dengan oplah harian sebesar 15.000 ekslempar.

Target audiens koran ini adalah politisi dan pegawai pemerintahan (Pemasaran

Rakyat Jateng, 2014).

Sementara koran nasional di Kota Semarang antara lain Kompas, Koran Sindo,

Media Indonesia, Republika, dan Koran Tempo. Selain koran Kompas, koran-koran

nasional ini kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat Kota Semarang.

Bahkan tidak semua agen koran dan pengecer menjual koran Koran Sindo, Media

Indonesia, Republika, dan Koran Tempo. Jumlah koran tersebut yang terjual juga

relatif sedikit yaitu satu hingga ekslempar saja setiap harinya, seperti temuan

lapangan yang terjadi di kedai media cetak (penjual koran dan majalah yang

mengutamakan kelengkapan berbagai brand koran, majalah dan tabloid

dibandingkan kuantitas) di daerah Jalan Kelud Raya Semarang. Sementara jumlah

penjualan koran Kompas baik di agen, pengecer maupun kedai media cetak, dapat

bersaing dengan koran lokal lainnya.

Hasil pengamatan di lapangan, persaingan antar koran ini juga terjadi di ranah

agen besar penjual koran. Untuk agen besar di Jalan Dr Cipto semarang, hanya

koran milik group media besar yang dijual diantaranya Jawa Pos dan Jateng Pos

milik JPNN, Kompas dan Tribun Jateng milik KKG dan koran Wawasan, Suara

Page 20: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Merdeka milik SMNetwork serta Koran Sindo milik MNC Group. Hasil penjualan

masing-masing brand koran tersebut per-harinya tampak dalam grafik berikut ini.

Gambar 2. Grafik Jumlah Ekslempar Koran yang Terjual di Agen Besar

 (Hasil Pengamatan 26 Agustus 2014 di agen koran Jl Dr. Cipto Semarang)

Dari data tersebut diketahui bahwa Tribun Jateng terjual hingga 700 ekslempar tiap

harinya, menjadi koran yang paling banyak terjual dibandingkan koran lokal dan

koran nasional lainnya, disusul oleh koran Wawasan dari SMNetwork dengan 150

ekslempar tiap harinya. Kedua koran ini dijual dengan harga Rp. 1.000 (seribu

rupiah) tiap ekslemparnya. Sementara koran Jawa Pos, Kompas dan Suara

Merdeka hanya terjual rata-rata 25 ekslempar tiap harinya. Sedangkan Koran Sindo

dan Jateng Pos rata-rata hanya terjual 20 ekslempar.

Koran Tribun Jateng dijual agen dalam jumlah besar karena sistem

pembayarannya menggijinkan agen untuk membayar setelah penjualan dan

memperbolehkan sistem return. Dalam hal ini agen tidak dirugikan meski koran

Tribun Jateng tidak laku. Sedangkan, Suara Merdeka yang dianggap sebagai

market leader koran di Kota Semarang, Jawa Tengah tidak mendapatkan porsi yang

besar dalam agen di Jalan Dr Cipto ini. Hal ini disebabkan harga jualnya yang empat

kali lipat harga koran Tribun Jateng dan sistem pembayarannya yang harus bayar

diawal, sebelum barang dijual. Sistem pembayaran ini memberatkan agen karena

agen harus modal dan merugi jika korannya tidak habis (tidak ada sistem return).

Page 21: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Karena sistem inilah, agen tidak berani mengambil koran Suara Merdeka dengan

jumlah yang besar.

Media Habit Audiens Kota Semarang

Kebiasaan konsumsi koran di Kota Semarang ini diperolah dari hasil pengamatan

terhadap 40 pembeli koran di agen besar Jalan Dr Cipto dan wawancara mendalam

yang dilakukan kepada sepuluh orang diantaranya. Kebiasaan konsumsi koran ini

meliputi jenis kelamin dan profesi pembeli, pertimbangan utama dalam memilih

koran bacaannya dan tema besar yang paling sering dibaca di koran. Berikut

penjabarannya.

Gambar 3. Bagan Jenis kelamin Pembeli Koran

Bagan disamping menunjukan bahwa pembeli koran masih didominasi oleh laki-laki

yaitu mencapai 95 persen, sedangkan pembeli koran berjenis kelamin perempuan

hanya mencapai 5 persen saja. Agen dan penjual koran (media cetak) menyatakan

bahwa audiens perempuan lebih banyak membeli tabloid dan majalah wanita, cara

masak - memasak atau infotainment dibandingkan koran harian.

Gambar 4. Profesi Pembeli Koran 

Page 22: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Terjadi perubahan tren profesi pembeli koran yang tadinya koran diidentikan pada kalangan terdidik dan white collar pada hasil temuan lapangan kali ini justru menunjukan bahwa sejak kemunculan koran seribu berbagai profesi non-formal turut menjadi pembaca koran. Blue collar atau buruh dan pekerja kasar menjadi pembeli koran terbesar di agen jalan Dr Cipto ini dengan persentase hingga 28 persen, disusul dengan supir angkot yang mencapai 25 persen. Pekerja kantoran kelas menengah mendapatkan porsi 22 persen, dan pekerja kantoran kelas atas ,ditandai dengan berkendara mobil pribadi, sebesar 18 persen, pedagang juga menjadi pembeli koran dengan persentase 7 persen. Jenis profesi yang sangat beragam bahkan mayoritas didominasi pekerja kelas menengah ke bawah, menunjukan kemunculan koran seribu membawa dampak positif dimana masyarakat dari kalangan bawah juga bisa mendapatkan akses informasi dan ilmu pengetahuan dengan harga yang terjangkau.

Gambar 5. Brand Koran yang Paling Banyak Dibeli 

Page 23: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Dari pengamatan 40 pembeli koran di agen besar jalan Dr Cipto diketahui bahwa

koran Tribun Jateng menjadi koran yang paling banyak dibeli dengan 63 persen.

Sementara koran Wawasan berada di posisi kedua dengan 20 persen, Suara

Merdeka dengan 12 persen dan Kompas dengan 5 persen. Pembeli koran Kompas

adalah pekerja kelas atas dengan kendaraan mobil mewah, sementara Suara

Merdeka dibeli oleh PNS dan karyawan kelas menengah. Tribun Jateng dan

Wawasan mayoritas dibeli oleh supir angkot dan blue collar, sedangkan pekerja

kelas menengah dan kelas atas diantaranya membeli Tribun Jateng.

Dari hasil wawancara mendalam diketahui tema besar koran yang paling

banyak dibaca atau disukai adalah pemberitaan isu politik (kasus pemerintah lokal

daerah maupun nasional), pemberitaan lokal yang menarik dan ringan serta

halaman olahraga. Beberapa responden juga menyukai halaman iklan kecik yang

menampilkan berbagai macam iklan jual beli. Sedangkan alasan utama dalam

membeli koran didominasi dengan pertimbangan harga. Koran seribu (murah)

menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam membeli koran, informasi yang

lengkap dan mengangkat berita lokal juga menjadi nilai tambah koran seribu ini.

Faktor kepercayaan terhadap koran yang sudah lama dikonsumsi serta nama besar

koran juga menjadi pertmbangan masyarakat dalam memilih koran Suara Merdeka

dan Kompas. Selain itu ada pula responden yang menyatakan bahwa alasan

memilih brand koran tertentu karena jumlah halamannya yang sedikit (tipis) serta

karena beritanya yang penuh dan tidak terdestruksi oleh iklan.

KESIMPULAN

Berdasarkan Teori Niche, Kota Semarang adalah lingkungan yang potensial sebagai

pasar koran cetak lokal. Hal ini disebabkan Niche Breath koran lokal yang masih

luas, posisi media baru yang bukan sebagai kompetitor superior dan Niche Overlay

keduanya yang hidup saling berdampingan (coexistence). Sementara peta

persaingan koran di Kota Semarang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu,

koran nasional, koran nasional dengan halaman lokal dan koran lokal. Untuk koran

nasional, koran Kompas masih menjadi market leader, sementara koran Suara

Merdeka masih menjadi pilihan audiens sebagai koran terpercaya yang

menyediakan isu nasional dan isu lokal Jawa Tengah dalam satu kemasan.

Page 24: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Persaingan sengit terjadi antara koran Tribun Jateng dan koran Wawasan dalam

tataran kelompok koran lokal yang sama-sama menjual korannya dengan harga

Rp.1.000 (seribu rupiah). Koran yang paling banyak terjual di agen besar adalah

koran Tribun Jateng. Alasan utama audiens memilih korannya adalah harga yang

terjangkau. Sementara tingkat kepercayaan dan kesetiaan audiens juga menjadi

alasan audiens memilih koran Suara Merdeka dan koran Kompas. Hasil penelitian

juga menunjukan bahwa audiens koran Kota Semarang masih didominasi oleh laki-

laki yaitu mencapai persentase hingga 95 persen. Jenis profesi audiens koran jauh

lebih beragam dan tidak lagi didominasi oleh audiens berpendidikan tinggi dan white

collar. Hasil pengamatan menunjukan bahwa sejak terbitnya koran harga seribu

rupiah 60 persen pembeli koran adalah pekerja kelas menengah ke bawah dan blue

collar. Pemberitaan politik tentang isu pemerintahan lokal dan nasional menjadi tema

besar yang paling disukai oleh audiens. Berita olahraga dan halaman iklan baris

dengan informasi jual beli juga menjadi daya tarik audiens dalam memilih suatu

brand koran.

DAFTAR PUSTAKA

Ala-Fossi et al. (2008). The Impact Of The Internet On Business Models In The Media

Industries – A Sectors By Sector Analysis. Dalam Lucy Kung, Robert G. Picard dan

Ruth Towse (Ed). The Intternet And The Mass Media. London: Sage

Budi, Setio. (2011).”Ekologi Media” : Penerapan Teori Niche Dalam Penelitian Kompetisi

Media, Dalam Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi. ASPIKOM

Burton, Graeme. (2008). Yang Bersembunyi Dibalik Media, Pengantar Kepada Kajian

Media. Yogyakarta : Jalasutra

Dimmick, John W. (2003). Media Competition and Coexistence, The Theory of The Niche.

New York : Lawrence Erlbaum

Flew, Terry. (2005). New Media An  Introduction 2nd Edition. UK : Oxford University

Kriyantono, Rachmat. (2008). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Prenada Media

Group

Kung, Lucy, Robert G. Picard dan Ruth Towse. (2008). Theoretical Perspectives On The

Impact Of Internet On The Mass Media Industries. Dalam The Intternet And The

Mass Media. London: Sage

Page 25: Konstelasi Bisnis Media Cetak

Prensky, Marc. (2001). Digital Native, Digital Immigrants, Dalam On Horizon MCB

University Press Vol. 9 No. 5 Oktober 2001.

Shimp,Terence  A. (2007). Advertising, Promotion And Other Aspects Of Integrated

Marketing Commucations, Seventh Edition. USA : Thomson South-Western

Utari, Prahastiwi. (2011). MediaSosial, New Media, Dan Gender Dalam Pusaran Teori

Komunikasi. Dalam Fajar Junaedi, Komunikasi 2.0, Teoritisasi dan

Implikasi. ASPIKOM

Yin. Robert K. (2006). Studi Kasus Desain dan Metode. Terj. Djauzi Mudzakir. Jakarta :

Rajagrafindo Persada

THESIS

Sa’diyah, Halimatussa. (2014). Strategi Koran Daerah Tribun Jateng di Era Media Baru

(Strategi Komunikasi Pemasaran, Harga/Iklan, Distribusi dnan Isi). Thesis tidak

dipublikasikan, Universitas Diponegoro, Semarang.

INTERNET

Anonim. Sejarah Singkat Koran Wawasan. Diakses pada 25 Agustus 2014, Pukul 20.03

dari http://www.koranwawasan.com/about.html

Anonim.Tentang Kami. Diakses pada 25 Agustus 2014, Pukul 20.05

dari http://jatengpos.co/tentang-kami

Manan, Abdul. (2009). Lilin (Yang) Meredup di Bumi Amerika. Diakses Pada  15 Februari

2013, Pukul 20.00 dari http://classically.wordpress.com/2010/02/24/167/

Nandonurhadi. (2013). “Jumlah Pengguna Internet Indonesia” Tahun 1998-2012

versi APJII. Diakses pada 15 Februari 2013, Pukul 20.00 dari

http://nandonurhadi.wordpress.com/2013/02/20/jumlah-pengguna-internet-indonesia-

tahun-1998-2012-versi-apjii/ /

Rasyida, Agustina. (2013). Statistik Pertumbuhan Internet di Semarang dan Makassar

Melejit. Diakses Jumat, 20 Desember 2013, Pukul

10.00 dari http://www.tribunnews.com/iptek/2013/02/18/ statistik-pertumbuhan-

internet-di-semarang-dan-makassar-melejit

Wijaya, Lupta. (2010). Kematian Surat Kabar Cetak. Diakses 15 Februari 2013, Pukul

20.00 dari http://jurnalis.wordpress.com/2009/09/01/1408/