KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA...

130
KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA MENURUT MUHAMMAD AMIN SUMA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Muhammad Hira Hidayat 1111044100008 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A K H S H I Y Y A H ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H/2016 M

Transcript of KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA...

Page 1: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

MENURUT MUHAMMAD AMIN SUMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Muhammad Hira Hidayat

1111044100008

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

( A H W A L S Y A K H S H I Y Y A H )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1437 H/2016 M

Page 2: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.
Page 3: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.
Page 4: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.
Page 5: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

iv

ABSTRAK

Muhammad Hira Hidayat. NIM 1111044100008. KONSEPSI HUKUM

KELUARGA ISLAM DI INDONESIA MENURUT MUHAMMAD AMIN

SUMA. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Konsenttrasi Peradilan Agama,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1437 H/2016 M.

Seiring dengan kemajuan zaman, konsep Hukum Keluarga Islam

mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu-ke waktu. Terutama ketika

masyarakat telah mengalami kemajemukan, baik secara sosial, budaya. Maka

dibutuhkan sebuah konsep atau pemahaman untuk membangun sebuah

keharmonisan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Muhammad Amin

Suma merupakan salah satu tokoh yang mempuyai konsep mengenai Hukum

Keluarga Islam. Tidak hanya itu, ia memiliki konsep yang berbeda dengan tokoh-

tokoh yang lain mengenai Hukum Keluarga Islam meskipun memang ada

beberapa hal yang sama. Oleh karena itu, hal ini sangat unik dan menarik kiranya

untuk dibahas dalam penulisan skrisi ini. Sehingga sangatlah penting untuk

mengetahui pokok-pokok permasalahan Hukum Keluarga Islam dan mengethui

Hukum Keluarga Islam di Indonesia menurut Muhammad Amin Suma.

Penulisan skripsi ini menggunakan studi pustaka, yaitu sebuah kajian yang

mengunakan buku-buku sebagai sumber utamanya, dengan cara mempelajari,

menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relefansi

materi dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal ini buku-buku yang penulis gunakan

tentunya buku-buku yang ditulis oleh Muhammad Amin Suma sebagai bahan

primer dan buku-buku lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini sebagai bahan

skunder. Selain itu juga penulis menggunakan metode interview, yaitu proses

wawancara dengan narasumber langsung yang merupakan tokoh dalam penulisan

skripsi ini.

Mengenai Hukum Keluarga Islam, Muhmmad Amin Suma mempunyai

konsep mengenai perkawinan. Menurut ia perkawinan merupakan bagian integral

dari perbuatan duniawi tepatnya urusan muamalah layaknya perbuatan jual-beli,

sewa-menyewa, gadai, dan lainnya. Pendeknya, perkawinan itu tidak termasuk ke

dalam perbuatan ibadah murni meskipun mengandung nilai-nilai ubudiah.

Mengenai Rukun dan Syarat Perkawinan, ia menempatkan ijab-kabul ke dalam

rukun perkawinan sedangkan wali, sksi, dan mahar, ia tempatkan ke dalam syarat

perkawinan. Mengenai Kafa’ah Perkawinan, ia menyebutkan bahwa selain

kafa’ah agama yang terpenting adalah antara suami dan istri bisa membangun

kesesuaian dan harmonisasi dalam rumah tangga yang dibangunnya. Untuk

Pencatatan Perkawinan, ia berpendapat bahwa hal tersebut di wajibkan, tidak

Page 6: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

v

hanya peraturan perundang-undagan saja yang mewajibkan tetapi al-Quran juga

memerintahkannya. Sedangkan dalam masalah poligami, ia berpendapat

sesungguhnya poligami itu merupakan solusi (rukshoh) yang diberikan kepada

suami dalam keadaan darurat. Dan yang terakhir mengenai perkawinan antar

pemeluk agama yang berbeda, ia menjelaskan bahwa hampir semua agama

termasuk dalam agama Islam itu pada dasarnya melarang perkawinan beda agama,

meskipun begitu tidak di pungkiri kenyataannya dalam realita kehidupan di

masyarkat tetap ada saja yang melakukan perkawinan beda agama itu.

Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa sejatinya Hukum Keluarga

Islam di Indonesia ini sudah baik, dalam arti dari kerangka berfikir bangsa

Indonesia sebagai negara beragama dan sebagai negara hukum. Karena, baik

secara formal ataupun secara umum peraturan perundang-undangan di Indonesia

sudah mengakomodir permasalahan mengenai Hukum Keluarga di Indonesia.

Kata kunci : Konepsi Hukum Keluarga Islam. Muhammad Amin Suma.

Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.A

Dafrat Pustaka : Tahun 1979 s.d Tahun 2015

Page 7: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

vi

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Alhamdulillahirabbil’alamin, tiada untaian kata yang pantas diucapkan

melainkan ucapan kalimat puja puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta

alam. Karena rahmat dan karunianya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Konsepsi Hukum Keluarga Islam di Indonesia Menurut

Muhammad Amin suma”. Sholawat berlantunkan salam semoga tercurahkan

kepada manusia pengubah zaman yakni baginda Nabi Besar Muhammad SAW.

Tak lupa juga kepada para Sahabat, Tabiin, dan kita selaku Umatnya.

Berkat rahmat dan kasih sayang yang diberikan Allah SWT, penulis

mendapatkan kemampuan untuk bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi

ini tidak akan bisa selesai tanpa adanya bantuan, bimbingan, arahan, dukungann,

dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini

penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Dr. Asep Saepuddin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakart, beserta Wakil Dekan I, II, dan III.

Page 8: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

vii

3. Dr. H. Abdul Halim, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga

Islam dan Arip Purkon , S.HI, M.A., selaku Sekertaris Program Studi

Hukum Keluarga Islam.

4. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.A., Wakil Dekan II Fakultas

Syariah dan Hukum, dan dosen pembimbing skripsi yang telah sabar dan

banyak membantu penulis dari awal hingga akhir dalam menyelesaikan

skripsi ini. Sehingga memudahkan penulis dalam penulisan skripsi.

5. Dr. KH. Juaini Syukri, M.A., selaku dosen penasehat akademik.

6. Dr. Hj. Mesraini, M.A., selaku penguji I dan Alfitra, S.H, M.H., selaku

penguji II.

7. Seluruh Dosen dan karyawan di lingkunan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M., selaku narasumber

atau tokoh dalam penulisan skripsi yang telah bersedia membimbing dan

membantu penulis untuk menulis skripsi ini.

9. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum beserta staff UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

memberikan layanan berupa buku-buku selama penulis menempuh jenjang

S1 ini.

10. KH Baharuddin, S.Ag., selaku Pimpinan Pondok Pesantren Darr El-

Hikam. Dimana penulis tinggal dan menimba ilmu Agama selama

melangsungkan studi S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 9: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

viii

11. Paling istimewa kedua orang tua, Ayahanda dan Ibunda tercinta.

Terimakasih atas segala pengorbanan dan do’a yang tak terhingga kepada

penulis, serta dukungan moril, materil, dan juga tenaga sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai menyelesaikan studi S1

di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

kesemuanya itu tidak bisa terbayarkan dengan materi, hanyalah do’a yang

dapat penulis berikan untuk membalas segala jasa-jasa dan

pengorbanannya. Serta saudara-saudaraku yang tercinta.

12. Teman-teman HMPS Hukum Keluarga. Teman-teman Program Double

Degree Ilmu Hukum. Teman-teman Berita UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Teman-teman Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Teman-teman Komisariat Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Syariah

dan Hukum. Teman-teman Ikatan Keluarga Alumni Darussalam (IKADA)

Jabodetabek dan Banten, Pondok Pesantren Darussalam Ciamis. Teman-

teman Pondok Pesantren Dar El-Hikam. Teman-teman KKN Centauri.

Penulis sadari bahwa masih begitu banyak kekurangan yang terdapat

dalam penulisan skripsi ini, namun begitu mudah-mudahan dapat memberikan

manfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Akhir kata tiada yang dapat

penulis ucapkan, kecuali rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah

memberikan kontribusi, arahan, bantuan, do’a, dan bimbingannya atas

terselesaikannya penulisan skripsi ini. Semoga ilmu yang penulis dapatkan

dijadikan ilmu yang bermanfaat dan berkah. Dan semoga kita semua selalu dalam

bimbingan, Rahmat, dan Hidayah Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin.

Page 10: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

ix

Ciputat, 04 April 2016

Hormat saya,

Muhammad Hira Hidayat

Penulis

Page 11: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

x

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.................................ii

LEMBAR PERNYATAAN...............................................................................iii

ABSTRAK...........................................................................................................iv

KATA PENGANTAR........................................................................................vi

DAFTAR ISI........................................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................1

B. Identifikasi Masalah...................................................................4

C. Pembatasan Masalah..................................................................4

D. Rumusan Massalah.....................................................................5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................5

F. Metode Penelitian.......................................................................6

G. Tinjauan Studi Terdahulu.........................................................10

H. Sistematika Penulisan...............................................................11

BAB II KONSEPSI DAN PRAKTIK PERKAWINAN ISLAM DI

INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan...........................................................13

B. Regulasi Perkawinan..............................................................18

C. Dinamika Perkawinan di Indonesia........................................26

D. Praktik Perkawinan di Indonesia............................................43

E. Hukum Keluarga Islam dalam Tata Hukum Indonesia..........51

BAB III BIOGRAFI MUHAMMAD AMIN SUMA

A. Latar Belakang Keluarga..........................................................58

B. Latar Belakang Pendidikan......................................................59

C. Aktifitas dan Prestasi................................................................61

D. Guru-guru.................................................................................69

E. Karya-karya..............................................................................71

BAB IV POKOK-POKOK PEMIKIRAN MUHAMMAD AMIN SUMA

DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM DI

INDONESIA

A. Konsepsi Perkawinan...............................................................76

1. Pengertian Perkawinan.......................................................76

2. Rukun dan Syarat Perkawinan............................................80

3. Kafa’ah dalam Perkawinan.................................................83

4. Pencataatan Perkawinan.....................................................86

5. Poligami..............................................................................89

Page 12: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

xi

6. Perkawinan antar Pemeluk Agama yang Berbeda..............91

B. Hukum Keluarga Islam di Indonesia menurut Muhammad

Amin Suma...............................................................................95

C. Posisi Muhammad Amin Suma dalam Bidang Hukum Keluarga

Islam di Indonesia.....................................................................98

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................101

B. Saran-saran.............................................................................103

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 13: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada mulanya hukum keluarga Islam terdapat dalam kitab-kitab Fikih

konvensional yang hidup dan berkembang di masyarakat, sehingga hukum

keluarga Islam tersebut mengalami proses kelembagaan, yang pada akhirnya

berubah menjadi hukum tertulis yang harus ditaati dan diakui secara bersama.

Sehingga pada abad sembilan belas perjalanan hukum keluarga Islam mengalami

perkembangan dan perubahan secara besar-besaran.

Hukum keluarga selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu,

meskipun perubahan tersebut seringkali berbeda-beda dari satu negara ke negara

lain. Hukum keluarga juga secara berangsur angsur mengalami perubahan

signifikan, terutama ketika masyarakat tengah mengalami kemajuan baik secara

sosial, budaya, maupun ekonomi. Termasuk di era globalisasi, kehidupan

masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah,

hubungan suami istri semakin tidak harmonis, kesakralan keluarga semakin

menipis.1 Sehingga faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi terjadinya

perubahan hukum yang ada di suatu negara atau masyarakat. Faktor-faktor

tersebut menuntut adanya perubahan signifikan dalam hukum khususnya hukum

keluarga Islam.

1 T.O.Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1999), h. 284.

Page 14: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

2

Selain hal tersebut, doktrin hak asasi manusia yang meniscayakan negara-

negara Muslim untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam wacana tersebut, dan

sedikit banyak memberikan pengaruh dalam kebijakan nasional, terutama dalam

konteks hak-hak perempuan, maka wacana Hak Asasi Manusi ini pun punya

banyak mewarnai proses legislasi dan kanunisasi hukum keluarga di negara

tersebut. Pada saat yang sama hukum keluarga juga menjadi bidang hukum yang

justru paling banyak mengalami perubahan dan reformasi dibandingkan dengan

bidang-bidang hukum Islam yang lain. Karena secara historis dan praktis di

komunitas muslim, hukum keluarga sangat responsif dengan perubahan dan

kemajuan masyarakat.2

Memasuki akhir abad dua puluh, hukum keluarga mengalami perubahan

yang mendasar baik secara teoretik atau praktis. Jika dahulu hukum keluarga

hanya identik dengan hukum atau Undang-undang Perkawinan saja, maka dewasa

ini hukum keluarga justeru terikat dengan berbagai peraturan perundang-

undangan. Seperti halnya di Indonesia, bidang keluarga tidak hanya diatur dalam

Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tetapi juga dalam

Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang

Perlindungan Anak, Undang-undang Peradilan Agama.3

Meskipun Undang-undang Perkawinan di satu Negara belum direvisi atau

diperbarui, tetapi perangkat hukum lainnya telah mengalami perubahan cukup

jauh. Sehingga apabila hanya memandang Undang-Undang Perkawinan saja yang

2 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SYAHID, 2011), h. 3. 3 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, h. 4.

Page 15: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

3

merupakan hukum keluarga, maka gambaran perkembangan hukum keluarga yang

terjadi di negara-negara Muslim termasuk di Indonesia selama ini justru tidak

terpotret secara komperhensif.4 Untuk memelihara dan melindungi serta

meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut maka perlulah

disusun peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan dan keluarga.5

Melihat dari berbagai fenomena perkawinan yang ada dalam masyarakat

sekarang ini khususnya di Indonesia, kita bisa melihat bahwa masih banyak

perkawinan yang belum sesuai dengan maksud dan tujuan dilangsungkannya

perkawinan yaitu sakinah mawaddah wa rahmah. Oleh karena itu dari dampak-

dampak hal tersebut maka banyak perkawinan yang tidak langgeng yang

kemudian berakhir dalam perceraian.

Sebagai tindakan preventif, maka dibutuhkan konsep yang perlu dipegang

dalam menjalankan rumah tangga yang diajarkan oleh Rasul SAW. Konsep inilah

yang menjadi salah satu pondasi utuh dalam membangun sebuah keluarga yang

sakinah mawaddah wa rahmah sebagai tujuan pernikahan itu sendiri. Oleh karena

itu para ahli di Indonesia membuat suatu konsep tentang hukum keluarga yang

mengatur tentang hukum perkawinan. Salah satunya adalah Muhammad Amin

Suma, beliau memberikan konsep mengenai beberapa asas yang harus dijalankan

dan dipatuhi untuk mendapatkan tujuan pernikahan yang langgeng yaitu sainah

mawaddah wa rahmah.

4 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, , h. 5. 5 Sajtipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), h. 146.

Page 16: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

4

Berangkat dari latar belakang di atas, hukum keluarga dewasa ini tentu

telah dan tengah mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan ini

mendorong adanya perubahan hukum mengenai hukum keluarga. Untuk itu,

dibutuhkan konsep yang perlu dipegang dalam menjalankan rumah tangga dari

ahli hukum keluarga di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dirasa

penting mengenai “Konsepsi Hukum Keluarga Islam di Indonesia Menurut

Muhammad Amin Suma“ sebagai salah satu alternatif untuk membaca

pemikiran Muhammad Amin Suma dalam bidang Hukum Keluarga Islam.

B. Identifikasi Masalah

Berbicara mengenai konsep Hukum Keluarga Islam akan selalu

mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga sangatlah penting untuk

mengetahui mengenai konsep Hukum Keluarga Islam untuk membangun sebuah

keluarga yang sakinah mawaddah warahmah sebagai tujuan perkawinan.

C. Pembatasan Masalah

Seperti yang telah dipaparkan di atas berbicara masalah Hukum

Keluarga Islam tentunya akan sangat luas mengingat banyaknya kaum muslim

yang tersebar di seluruh penjuru Dunia dan banyak pula tokoh-tokoh atau ahli di

bidang hukum keluarga termasuk di Indonesia yang ikut berkontribusi dalam

pemikirannya, maka untuk lebih memfokuskan dan lebih terarah dalam penulisan

skripsi ini maka akan di bahas mengenai Konsep Pemikiran Hukum Keluarga

Islam di Indonesia menurut Muhammad Amin Suma.

Page 17: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

5

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah :

1. Apa saja pokok-pokok permasalahan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

menurut Muhmmad Amin Suma?

2. Bagaimana Hukum keluarga Islam di Indonesia menurut Muhammad

Amin Suma?

3. Bagaimana Posisi Muhammad Amin Suma dalam bidang Hukum

Keluarga Islam?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pokok-pokok permasalahan Hukum Keluarga Islam di

Indonesia menurut Muhammad Amin Suma

b. Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Indonesia menurut Muhamma

Amin Suma

c. Untuk mengetahui posisi Muhammad Amin Suma dalam bidang Hukum

Keluarga Islam.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian skripsi ini adalah :

a. Sebagai wujud kontribusi penulis dalam perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya Hukum Keluarga Islam.

Page 18: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

6

b. Sebagai pengetahuan dan gambaran khususnya bagi pembaca dan umumnya

bagi masyarakat mengenai konsep pemikiran Hukum Keluarga Islam di

Indonesia menurut Muhammad Amin suma.

c. Mengetahui dan mendapatkan ilmu yang berharga dalam pemikiran

Muhammad Amin Suma, yakni dalam bidang Hukum Keluarga Islam.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research),

data penelitian merujuk pada literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi.6

Di mana buku-buku sebagai sumber datanya dengan jalan menelaah dan

memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi

pembahasaan ini.7 Dalam hal ini penulis menelaah buku-buku yang ditulis oleh

Muhammad Amin Suma tentang Hukum Keluarga Islam yang merupakan sumber

primer, yaitu buku Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, buku Kawin Beda

Agama di Indonesia, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma.

Selain itu juga menggunakan buku-buku lain yang berkaitan dengan

penulisan skripsi ini sebagai sumber skunder, yaitu Hukum Perdata Islam di

Indonesia, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hukum Perkawinan Islam

Sasak, Hukum Perdata Islam, Fiqh Munakahat, Hukum Keluarga Pidana dan

Bisnis, Hukum Keluarga Indonesia, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, Perbandingan Hukum Perdata, Islam Negara. Dan peraturan

6 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 16.

7 Aceng Mumus Muslimin,” Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut Khairuddin Nasution,”

(Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, 2012), h. 14.

Page 19: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

7

perundang-undangan sebagai sumber tersier, seperti UU No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, UU No 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk,

Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian

bagai Pegawai Negeri Sipil, dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

pendekatan normatif. Pendekatan penelitian ini juga bisa disebut sebagai

pendekatan hukum doktriner atau penelitian perpustakaan, dikarenakan

pendekatan normatif ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis

sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan. Kemudian

menjelaskan dan menyajikan melalui sumber-sumber pustaka karangan

Muhammad Amin Suma dan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.8

3. Sumber Data

Sumber data ini terdiri dari data primer, skunder dan tersier.

a. Adapun yang menjadi sumber data primer yaitu buku-buku Muhammad

Amin Suma. Di antaranya buku tentang Hukum Keluarga Islam di Dunia

Islam, Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Refleksi 55 Tahun

Muhammad Amin Suma, dan buku-buku lainnya yang berhubungan eret

dengan penulisan skripsi ini.

b. Sedangkan yang termasuk data skunder adalah buku-buku, jurnal, dan

berbagai karya ilmiah yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam

skripsi ini.

8 Idrus Habsyi, “ Konsep Iman Menurut Ibn Taimiyyah,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 8.

Page 20: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

8

c. Dan data tersier merupakan perturan Perundang-undangan baik UU No 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, kompilasi Hukum Islam, dan peraturan

lainnya mengenai Hukum Keluarga Islam.

4. Alat Pengumpul Data dan Analisis Data

a. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data tidak lain dari satu proses pengadaan data primer

untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis

dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.9 Untuk dapat

memperoleh semua data yang dikumpulkan dalam penelitian ini maka di

butuhkan alat pengumpul data sebagai berikut:

1) Studi dokumen, penulis akan mengumpulkan data mengenai buku-buku

Muhammad Amin Suma, dan berbagai hal yang berkaitan langsung

dengan penelitian ini, baik berupa sumber skunder maupun tersier. Dan

juga dilakukan dengan teknik analisis dokumen atau analisis isi.10

1) Indept interview (wawancara yang mendalam) terhadap tokoh yang

akan dijadikan sebagai sumber informasi perihal tema penulisan

skripsi ini yaitu Muhammad Amin Suma. Sehingga data yang

diperoleh dikembangkan, dan melakukan pengumpulan data

wawancara.11

Dalam interview ini selalu melibatkan dua pihak yang

berbeda fungsinya yaitu seorang pengejar informasi dan seorang

9 Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), h. 174.

10 Nana Syaodih Sukmadiata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Rosada, 2008), h.

81. 11

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Selemba Humanika,

2012), h. 152.

Page 21: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

9

pemberi informasi.12

Wawancara tersebut dilakukan secara

mendalam sehingga bisa menggali lebih mendalam apa yang

terembunyi dalam sanubari seseorang.13

Serta melakukan analisis

wawancara, analisis wawancara menfokuskan pada pesan yang

tersembunyi atau memperhatikan makna yang tersirat.14

b. Analisis Data

Dalam pengolahan data digunakan metode analisis isi (content

analysis), yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi

atau informasi.15

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi

kepustakaan ini akan diurai dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga

disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah yang

telah dirumuskan. Selanjutnya semua bahan dan data dianalisis. 16

Analisi isi dalam pembahasan ini dipergunakan untuk menganalisis

makna yang terkandung dalam pemikiran tokoh.17

Kemudian akan dilakukan

penarikan kesimpulan terhadap konsepsi perkawinan menurut Muhammad

Amin Suma yang kemudian akan dibandingkan menggunakan comparatif

analisis. Comparatif analisis di sini yaitu membandingkan pemikiran-

12

Sukandarumidi, Metode Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), h 89. 13

Burhan Bungin, DataPenelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2007), h.

67. 14

Muhammad Ristar, “Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara,” (Tesis S2

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 16. 15

Andre Yuris. “Berkenalan dengan Analisis Isi (Cintent Analysis)” Artikel diakses pada 5

April 2016 dari https://andreyuris.wordpress.com/2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/. 16

Amiruddin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo, 2003), h. 4. 17

Zaini Miftah, “Konsep Homescooling dalam Pendidikan Islam,” Tesis S2 Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 24.

Page 22: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

10

pemikiran Muhammad Amin Suma dengan tokoh-tokoh lain mengenai

konsepsi Hukum Keluarga Islam.

G. Tinjauan Studi Terdahulu

Berkaitan dengan konsep hukum keluarga Islam di Indonesia, penulis

mengambil beberapa literatur yang berkaitan sekaligus dijadikan sebagai rujukan

dalam penulisan skripsi ini. Dan yang paling pokok adalah buku-buku yang ditulis

Muhammad Amin Suma yang merupakan objek kajian dalam pembahasan skripsi

ini.

Sedangkan kalau kita melihat skripsi-skripsi yang terdahulu terhadap

perkembangan Hukum keluarga Islam sudah banyak dan terus di up-date dalam

berbagai bentuk karya baik itu melalui buku-buku seperti di atas, jurnal, dan yang

lainnya. Begitu juga mengenai kajian tentang tokoh-tokoh yang diteliti. Namun

demikian belum ditemukan karya ilmiah berupa Skripsi yang dibuat oleh temen-

temen sebelumnya sebagai tugas akhir pendidikan strata yang membagas tentang

kajian Konsepsi Hukum Keluarga Islam menurut Muhammad Amin Suma,

terlebih belum ada yang membahas atau mengangkat judul skripsi mengenai

pemikiran Muhammad Amin Suma.

Hal yang membedakan skripsi ini dengan tulisan yang terdahulu adalah

mengenai tokoh yang dikaji, Konsepsi Hukum Keluarga Islam, dan apa saja

pokok-pokok permasalahan dalam bidang Hukum Keluarga Islam di Indonesia.

Tentunya hal tersebut berkaitan dengan konsep muhammad Amin Suma.

Page 23: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

11

H. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab

berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama, Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan

yang akan di bahas. Pendahuluan berisikan latar belakang masalah, yang

menjelaskan tentang permasalahan yang diangkat perlu diteliti. Identifikasi

masalah, mendata dan mengidentifikasi permasalahan yang berhubungan dengan

tema penelitian. Pembatasan Masalah18

, yang dimaksudkan agar lebih terfokuskan

dalam permasalahan agar supaya tidak ada tumpang tindih dengan masalah lain

yang tidak ada kaitannya dengan penelitian. Perumusan Masalah, berisikan

tentang uraian masalah yang akan diteliti, yaitu pernyataan tegas mengenai apa

yang akan menjadi tema penelitian. Tujuan Penelitian, yaitu rumusan mengenai

apa sebenarnya yang ingin diketahui oleh peneliti sehingga menjawab seluruh

pertanyaan penelitian. Manfaat Penelitian, diharapkan dari hasil penelitian yang

dilakukan menghasilkan nilai guna dari penelitian. Metode Penelitian,

menguraikan tentang bagaimana cara kerja dan prosedur pelaksanaan penelitian,

dalam arti kata metode apa yang akan digunakan dalam menjalankan penelitian

ini. Tinjauan Studi Terdahulu, menjelaskan mengenai kajian-kajian terdahulu

yang berkaitan dengan tema penelitian. Sitematika Penulisan, menjelaskan

sistematika penulisan yang berisikan deskripsi karya tulisan per bab, uraian

tersebut dijelaskan dalam bentuk esai yang menggambarkan alur dari bahan

pembahasan dalam skripsi yang akan dijelaskan.

18

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2012), h. 21.

Page 24: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

12

Bab Kedua, Konsepsi dan Praktik Perkawinan Islam di Indonesia yang

memaparkan mengenai bagaimana konsep dan praktik perkawinan Islam di

Indonesia. Berisikan mengenai regulasi perkawinan, bagaimana proses

perkawinan seharusnya dilaksanakan supaya perkawinan itu dianggap sah atau

diakui oleh Negara sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Dinamika

perkawinan yang menjelaskan bagaimana permasalahan-permasalahan mengenai

perkawinan. Praktik perkawinan yang menjelaskan mengenai realita perkawinan

di Indonesia. Dan bagaimana posisi hukum keluarga Islam di Indonesia dalam

Tata Hukum Indonesia.

Bab Ketiga, menjelaskan mengenai biografi Muhammad Amin Suma.

Mulai dari latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, prestasi yang diraih

dan aktifitas atau kegiatan yang pernah atau sedang beliau jalankan, karya-karya

yang dihasilkan dalam bentuk buku.

Bab Keempat, merupakan bab inti yang merupakan pembahasan dalam

skripsi ini. Yakni menganalisis konsepsi Muhammad Amin Suma tentang

bagaimana Hukum Keluarga Islam di Indonesia ini harus dijalankan dengan

sebaik-baiknya, sehingga kita mendapatkan jawaban dan kesimpulan atas

pertanyaan penelitan dalam skripsi ini.

Bab Kelima, bab ini merupakan bagian bab akhir dalam penulisan skripsi

ini yang di dalamnya berisikan kesimpulan dari penelitian dan saran-saran yang

bersifat membangun bagi penyempurnaan skripsi penelitian ini.

Page 25: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

13

BAB II

KONSEPSI DAN PRAKTIK PERKAWINAN ISLAM DI

INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan

Menurut bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “Kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh,1 berbini (berlaki)

2 Perkawinan disebut juga

“Pernikahan” berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya

mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh. Kata

“Nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad

nikah.

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk

membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan

menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki. Zakiah Daradjat

memberikan definisi perkawinan yang lebih luas, yaitu akad yang memberikan

faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria

dan wanita dengan mengadakan tolong menolong dan memberikan batas hak bagi

pemiliknya serta pemenuhan hak kewajiban bagi masing-masing.3 Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa memahami kata nikah bisa memastikan

maksud pemaknaan kata nikah dari rangkaian kata-kata yang digunakan.

1 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) cet. Ke-3,

edisi kedua, h. 456. 2 Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia, (Malang: C.V. Penerbit, 1999), h. 156.

3 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, h. 37.

Page 26: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

14

Kata nikah sesungguhnya bisa didekati dari tiga sudut pandang (aspek)

pengertian yang berbeda satu sama lain, namun pada saat yang bersamaan

memiliki satu kesatuan konsep yang sedemikian rupa utuh dan padunya. Ketiga

macam pengertian atau tepatnya sudut pandang pernikahan yang dimaksud ialah:4

Pertama, nikah dari sudut pandang lughawi (kebahasaan), dimana nikah

diartikan dengan berkumpul atau berhimpun (al-jam’ wa adh-dhamm), atau

bersetubuh dan akad (al-wath’ wa al-‘aqd).

Kedua, dari sudut pandang (pengartian) syar’i atau al-usuli, di mana para

ulama berbeda pendapat ke dalam tiga kelompok, yaitu:

a. Kelompok pertama, berpendapat bahwa nikah itu secara hakiki maksudnya

adalah bersetubuh atau bersenggama, dan secara majazi maksudnya adalah

akad.

b. Kelompok kedua, mengatakan sebaliknya bahwa yang kahiki dari nikah

adalah akadnya itu sendiri, sedangkan majazinya adalah bersebadan,

bersetubuh, berjima, atau bersenggama.

c. Kelompok ketiga, mengatakan bahwa nikah itu adalah lafal musytarak,

yakni kata-kata yang memiliki makna ganda, bahkan multi dan lazim

digunakan untuk pengertian yang menggabungkan antara makna yang satu

dengan makna yang lain. Dalam hal kata “nikah”, pada satu sisi digunakan

untuk pengertian akad dan sekaligus untuk makna persetubuhan pada sisi

yang lain. Maksudnya, kata “nikah” lazim digunakan untuk dua maksud

pengertian yang paralel dalam hal ini antara kata “nikah” dalam arti

4 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia (Tangerang: Lentera Hati,

2015), h. 18

Page 27: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

15

bersetubuh. Pasalnya, bisa jadi ada orang yang bersetubuh tanpa akad

nikah lebih dulu alias zina, dan pada saat yang bersamaan sangat mungkin

ada orang yang melakukan akad nikah, namun bukan untuk tujuan

persetubuhan. Kemungkinan ada orang bersenggama tanpa nikah, ini zina

namanya. Dan kemungkinan ada orang menikah bukan untuk senggama,

itu dipastikan sesuatu yang luar biasa diluar adat kebiasaan orang menikah.

Misalnya orang impoten atau orang yang sudah tidak lagi memiliki nafsu

biologis, karena usia yang sudah terlalu tua atau karena faktor lain diluar

itu, namun dia tetap memerlukan teman hidup untuk tujuan lain diluar

pemenuhan biologis yang memang sudah tidak lagi dia perlukan.

Ketiga, pengertian nikah dari sudut pandang Ilmu Fiqih di mana para ahli

fiqih juga berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian nikah. Kalangan

ulama Hanafiah, misalnya sebagian dari mereka mendefinisikan nikah sebagai

“akad yang memberikan faedah (manfaat) dalam bentuk milik atau tepatnya hak

untuk bersenang senang dengan sengaja”. Kalangan ulama Malikiyah,

mendefinisikan nikah sebagai “akad yang dilakukan dengan motif semata-mata

untuk mendapatkan kepuasan seksual (al-taladzdzudz) dengan perempuan

(adamiyyah). Kalangan ulama Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai “akad

yang menjamin hak kepemilikan (suami istri) untuk bersenggama dengan

menggunakan lafal nikah atau tazwij, atau dengan mengunakan lafal lain yang

mengandung pengertian keduanya. Kalangan ulama Hanabilah, mendefinisikan

nikah dengan “akad yang menggunakan lafal keduanya untuk memperoleh

manfaat berupa senang-senang (al-istimta).

Page 28: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

16

Seiring dengan perjalanan waktu definisi ini mulai berubah, dengan lebih

menekankan aspek tujuan dan maksud dari perkawinan. Sebagaimana ditetapkan

di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita

untuk membentuk rumah tangga (keluarga) bahagia yang kekal abadi

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang tidak

mengurangi arti-arti definisi undang-undang tersebut, namun bersifat menambah

penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut:

Perkawinan menurut hukum islam adalah perikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitsaqin ghalizha untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.6

Ungkapan Akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan merupakan

penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan

undang-undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah

semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ini lebih menjelaskan bahwa

perkawinan bagi umat islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu

orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.7

5 Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974.

6 Lihat Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Pernadamedia Grup, 2014), h. 41.

Page 29: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

17

Undang-Undang mendefinisikan perkawinan tidak hanya sebagai

hubungan sekual, tetapi juga sebagai ikatan lahir dan batin di antara suami dan

istri, dengan tujuan untuk memebentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

dan kekal. Ketentuan ini semakin menyiratkan adanya pengaruh kepentingan

masyarakat moderen yang lebih menghormati hubungan keluarga sebagai sebuah

ikatan suci dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.8

Pengertian-pengertian di atas nampaknya dibuat hanya melihat dari satu

segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan

seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Seperti terjadinya

perceraian, kurang adanya keseimbangan antara suami dan istri, sehingga

memerlukan penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan

seksual tapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.9

Menurut Amir Syarifuddin ada beberapa hal dari rumusan Undang-undang

Perkawinan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:10

Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”

mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah jesin kelamin yang berbeda. Hal

ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu itu telah dilegalkan oleh

beberapa negara Barat.

Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti

bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jelis kelamin yang berbeda dalam

suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah hidup bersama.

8 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SYAHID, 2011), h. 260 9 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 9.

10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 40.

Page 30: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

18

Ketiga, dalam definisi terebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus

perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan

perkawinan tahlil.

Keempat, disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa

menunjukan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan

dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

B. Regulasi Perkawinan

Dewasa ini perundang-undangan telah mengatur tata cara perkawinan dan

perceraian secara jelas dan rinci, keadaan ini dapat menjamin adanya kepastian

hukum di bidang hukum Perkawinan. Adapun tata cara pelaksanaan perkawinan

ini diatur dalam peraturan perundang-undangan pasal 12 Undang-undang

Perkawinan yaitu UU No 1 Tahun 1974. Adapun tata cara pelaksanaannya

ditentukan lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan

Undang-undang Perkawinan yang dikaitkan dengan adanya pengumuman

kehendak perkawinan, yaitu Peraturan Pemerintah RI No 9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan.

Sebelum perkawinan dilaksanakan, kedua calon mempelai dianjurkan

melakukan persiapan. Setelah melakukan persiapan, sesuai dengan PP No 9

Tahun 1975 pasal 3 menjelaskan11

:

“Setiap orang yang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Nikah ditempat perkawinan akan

dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10

(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap

11

PP No 9 Tahun 1975 pasal 3.

Page 31: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

19

jangka waktu tersebut disebabkan sesuatu alasan yang penting, sehingga dapat

diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah”

Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada

sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menyelenggarakan

pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan

dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan

pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan

mudah dibaca oleh umum Sesuai dengan Pasal 9 PP No 9 Tahun 1975.

Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman

kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah seperti yang dimaksud dalam

Pasal 8 Peraturan Pemerintah. Namun, bilamana dalam tenggang waktu satu bulan

terhitung sejak pengumuman kehendak kawin, perkawinan tersebut tidak

dilangsungkan maka perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan kembali kecuali

setelah diulangi lagi pengumuman kembali untuk kedua kalinya seperti semula.

Setelah perkawinan dilansungkan, kemudian dilaksanakan penanda

tanganan akta perkawinan sesuai peraturan. Sesaat sesudah dilangsungkkannya

perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 PP ini, kedua mempelai

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat

berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setelah akta perkawinan ditandatangani oleh

mempelai, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua orang saksi dan Pegawai

Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan

menurut agama Islam, serta ditandatangani juga oleh wali nikah atau yang

mewakilinya. Dengan adanya penandatanganan akta perkawinan, maka

perkawinan tersebut telah tercatat secara resmi.

Page 32: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

20

Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah, maka kedua mempelai menandatangani

akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan

ketentuan yang berlaku. Menurut ketentuan pasal 10 ditegaskan bahwa12

:

1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke sepuluh sejak pengumuman kehendak

oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam pasal 8 PP ini,

2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu,

3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum

agamanya dan kepercayaannya itu, maka perkawinan harus dilaksanakan di

hadapan PPN dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Selain hal-hal yang sudah dijelaskan di atas mengenai tata cara pernikahan

ada beberapa poin penting juga yang harus diketahui mengenai pengaturan

tentang perkawinan, Pertama, Pencatatan Perkawinan. Sebagaimana diktahui,

konsepsi hukum Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan atau

pendaftaran, yang ada hanya pembuktian yang didasarkan kepada dua orang saksi

yang dapat dipercaya.13

Di Indonesia, UU RI No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat

(2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dijelaskan juga dalam Peraturan

Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) di jelaskan14

:

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,

dan Rujuk.

12

PP No 9 Tahun 1957 Pasal 10. 13

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, , h. 262. 14

PP No 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (1) dan (2).

Page 33: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

21

(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud

dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan

Adapun dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) menyebutkan15

:

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10

(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperlukan. Adapun fungsi dan

kegunaan pencatatan adalah untuk memberikan jaminan hukum terhadap

perkawinan yang dilakukan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan sungguh-

sungguh, berdasarkan itikad baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan

transaksi bener-benar akan menjalankan segala konsekuensi atau akibat hukum

dari perkawinan yang dilaksanakannya itu. Melalui pencatatan perkwinan yang

dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami isteri mendapatkan

salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau

salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lainnya dapat melakukan

upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.16

Kedua, Beristeri Lebih dari Seorang (Poligami). Poligami menjadi salah

satu isu yang cukup marak di Negara-negara Muslim, karena secara mendasar

hukum Islam tidak pernah menetapkan keharaman poligami. Hanya beberapa

pemikiran muslim kontemporer, melalui penafsiran yang bersifat ijtihadi,

mengharamkan poligami untuk masa sekarang ini.17

15

PP No 9 Tahun 1975 Pasal 3 ayat (1) dan (2). 16

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 131. 17

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, h. 268.

Page 34: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

22

Di tengah perdebatan tersebut, hukum keluarga indonesia, sebagaimana

ditetapkan di dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menerapkan jalan

tengah yang sebetulnya masih mengakomidasi ketentuan hukum Islam dalam

poligami. Pasal 3 UU Perkawinan Indonesia menyatakan bahwa pada asasnya

seorang pria hanya boleh memiliki seorang siteri dan seorang perempuan hanya

boleh memiliki satu orang suami. Namun dalam pasal 3 ayat (2) menyebutkan

pula, bahwa Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk

beristeri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.18

Ada dua hal yang harus diberikan penegasan yakni pertama, poligami

hanya bisa dilakukan apabila memperoleh ijin dari Pengadilan. Kedua, pengadilan

hanya akan mengeluarkan ijin apabila poligami itu dikehendaki oleh pihak-pihak

yang bersangkutan.19

Pelaksanaan tidak boleh dilakukan secara liar, ada beberapa

ketentuan yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika hendak berpoligami dengan

mengajukan permohonan ke Pengadilan. Seperti yang tercantum dalam KHI pasal

57 adalah :

(1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

(2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Dalam UU Perkawinan pasal 5 ayat (1) diperjelas lagi, untuk dapat

mengajukan permohonan kepada pengadilan, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai

berikut :

18

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, h. 269. 19

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h. 162.

Page 35: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

23

(1) Adanya persetujuan dari siteri/ isteri-isteri

(2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan

anak-anak mereka.

Selain itu juga ada PP 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan

Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan tersebut mengatur bahwa PNS

yang akan berpoligami harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat

sebelum ia mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama. Izin dapat

diberikan oleh pejabat jika telah memenuhi syarat alternatif dan ketiga syarat

kumulatif (PP.No. 10 tahun 1983 pasal 10 [1]). Tujuan dibuatkannya PP 10 ini

adalah dinyatakan dalam konsideran pertimbangan poin b yakni Pegawai Negeri

Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi

teladan bagi warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam

menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.20

PP 45 Tahun 1990 merupakan perubahan dari PP 10 tahun 1983 tentang

ijin perkawinan dan perceraian bagi PNS yang mengubah aturan tersebut dan

mengatur bahwa PNS wanita tidak boleh menjadi isteri kedua dan seterusnya dari

baik laki-laki PNS maupun non-PNS.. Jika dibandingkan dengan PP 10 Tahun

1983 wanita PNS masih bisa jadi isteri kedua/ketiga/keempat asal suaminya

bukan PNS.21

20

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h. 164. 21

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h. 165.

Page 36: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

24

Ketiga, Perceraian. Menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

perceraian hanya dapat dilakukan di depaan sidang pengadilan setelah pengadilan

yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami siteri

itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.

Keempat, Usia Perkawinan. Perkawinan usia dini memiliki efek negatif

bagi perkembangan seseorang atau rumah tangga. Di antara yang dapat disebutkan

adalah resiko kematian ibu atau anak yang dilahirkan dari usia yang belum

matang, kemungkinan besar terkena serangan kangker rahim, secara sosial

tingginya angka perceraian atau kegagalan membina hubungan keluarga karena

ketidak siapan masing-masing pasangan.22

Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum keluarga di

Indonesia memberikan pembatasan bagi suami untuk tidak menceraikan sitrinya

sewenang-wenang, tetapi melalui prosedur peradilan dan dengan alasan yang

dapat diterima.23

Yayan Sopyan dalam bukunya Islam Negara berpendapat, kita

harus mendorong untuk menyerahkan hak cerai ini kepada pengadilan. Artinya,

hanya pengadilanlah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan

talak. Talak tidak lagi dimiliki oleh suami secara progresif, dan juga oleh isteri.

Hal itu terjadi atas permohonan suami/isteri.24

22

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, h. 251-252. 23

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, h.278. 24

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h. 192.

Page 37: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

25

Seperti halnya UU Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2)

tentang Perkawinan telah menetapkan bahwa :

(1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Salah satu syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan adalah telah

memenuhi batas usia yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi perempuan dan

apabila belum memenuhi umur ada upaya dispensasi untuk melakukan

perkawinan. Dispensasi perkawinan ialah permohonan dispensasi bagi calon

mempelai yang belum memenuhi ketentuan batasan usia minimal perkawinan,

yakni kurang dari 19 tahun untuk pria dan kurang dari 16 tahun untuk wanita. Jika

salah satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhi batasan usia tersebut

maka diwajibkan memiliki surat Dispensasi Kawin dari Pengadialan Agama

setempat.

Pasal 7 ayat (1) dan (2) menjelaskan :

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam pasal 17 UU No 1 Tahun 1974 yakni perkawinan hanya diizinkan

jika pihak pria sudah mencapai umur sekurang-kurangnya berumur 19

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur sekurang-kurangnya

berumur 16 tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua

orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa usia perkawinan bagi seorang laki-

laki adalah 19 tahun dan bagi perempuan adalah 16 tahun, dengan terlebih dahulu

mendapatkan izin dari pengadilan. Dalam kondisi normal, seorang laki-laki atau

Page 38: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

26

perempuan dapat menikah ketika mencapai usia 21 tahun.25

Perkawinan tidak bisa

diadakan sebelum calon mempelai mencapai umur yang ditetapkan, yaitu untuk

perempuan 16 tahun dan untuk laki-laki 19 tahun. Anak laki-laki dan perempuan

yang berusaha nikah sebelum umur yang telah ditetapkan tersebut maka harus

mendapat izin dari pengadilan. Selain itu, hukum negara menetapkan bahwa

perempuan dan laki-laki yang berusaha nikah tetapi sebelum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya secara tertulis.26

Aturan ini terdapat dalam KHI pasal 15 dan UU Perkawinan pasal 6 dan 7

yang menetapkan bahwa anak perempuan dan laki-laki bisa memasuki kehidupan

perkawinan jika mereka telah mencapai usia 16 tahun bagi perempuan atau 19

tahun bagi laki-laki, dan apabila belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat

persetujuan secara tertulis dari orang tuanya. Artinya dalam hal ini seorang laki

atau perempuan yang akan menikah dan usianya sudah mencapai 21 tahun atau

lebih maka mereka tidak harus mendapatkan izin untuk melangsungkan

perkawinannya, izin secara tertulis dari k kedua orang tuanya ke Pengadilan

Agama setempat.

C. Dinamika Perkawinan di Indonesia

1. Pencatatan Perkawinan

Pada mulanya memang tidak terdapat aturan tentang keharusan pencatatan

perkawinan dalam aturan hukum Islam konvensional. Perkembangan zaman

telah mendorong para ulama untuk melakukan sebuah pembaruan mengenai

25

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional , h. 253. 26

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis.(Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2013), h. 44.

Page 39: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

27

perkawinan, tentunya perkembangan dengan berbagai pertimbangan

kemaslahatan, hukum perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya guna

kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat.27

di beberapa negara

muslim telah menyadarai bahwa kontrak perkawinan perlu didaftarkan sebagai

bukti dari pernikahan tersebut.

Seperti yang ditulis juga oleh Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep

Syarifuddin Hidayat, konsepsi hukum Islam tidak mengenal adanya pencatatan

perkawinan atau pendaftaran, yang ada hanya pembuktian yang didasarkan

kepada dua orang saksi yang dapat dipercaya. Ketika standar masyarakat

modern menghendaki adanya pencatatan atau pendaftaran perkawinan sebagai

bukti yang sah perkawinan, negara-negara Muslim meresponnya dengan sangat

berbeda.28

Berikut perbandingan pencatatan perkawinan di Negara-negara

Muslim :

Perbandingan Pencatatan Perkawinan di Negara-negara Muslim29

Negara Peraturan Perundang-

undangan

Sanksi

Indonesia Ada Tidak Ada

Filifina Ada Tidak Ada

Malaysia Ada Ada

Brunei Darussalam Ada Ada

Yaman Ada Tidak Ada

Sudan Ada Tidak Ada

27

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2013), h. 91. 28

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, h. 263. 29

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontemporer, h. 282-286.

Page 40: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

28

Uni Emirat Arab Ada Tidak Ada

Bahrain Ada Tidak Ada

Tunisia Ada Ada

Yordania Ada Ada

Bangladesh Ada Ada

Undang-undang atau peraturan-peraturan yang buat oleh beberapa

negara Muslim secara umum memperlihatkan aturan tentang pencatatan

perkawinan. Namun, prinsip atau aturan-aturan yang dibuat dan digunakan dari

satu negara Muslim ke negara Muslim lainnya berbeda-beda. Beberapa negara

Muslim secara jelas mengatur tentang status atau posisi dari pencatatan

perkawinan tersebut, apakan pencatatan tersebut merupakan syarat administrasi

saja atau merupakan syarat kesahan secara agama.

Seperti halnya di Indonesia, aturan tentang pencatatan perkawinan

dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1946. UU ini hanya mengatur tentang

tentang administrasi perkawinan dan menegaskan bahwa pernikahan diawasi

oleh pegawai pencatat nikah, yang kemudian diperkuat dalam UU No. 1 tahun

1974 pasal 2 sasmpai pasal 9.

Kompilasi Kukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan dinyatakan

sah dengan hadirnya pencatatan perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan.

Apabila perkawinannya tidak didaftarkan maka berakibat pada

ketidakabsahannya suatu perkawinan, dan upayahukum di pengadilan akan

ditolak jika perkawinan tidak didaftarkan. Ini berarti, KHI tidak memberi ruang

bagi perkawinan yang tidak didaftarkan atau tidak dicatatkan. Namun, KHI

Page 41: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

29

membedakan antara keabsahan secara agama dengan legalitas perkawinan

menurut negara, dengan demikian tidak menganggap perkawinan batal secara

agama jika pihak-pihak tidak mendaftarkan perkawinannya.30

Begitupun dalam UU Perkawinan Pasal 2 (1) menyatakan, perkawinan

dianggap sah jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan

masing-masing pasangan. Pasal ini seakan ingin menegaskan pernikahan tidak

perlu dicatatkan, karena tidak mengatur tentang keharusan untuk dicatatkan.

Namun, ayat selanjutnya menegaskan keharusan pencatatan, dan untuk

ketertiban, pernikahan harus dilaksanakan di depan pegawai pencatatan

nikah.31

Namun demikian baik UU Perkawinan ataupun KHI tidak mengatur

sanksi bagi mereka yang tidak mendaftarkan pencatatan pernikahannya.

Peraturan Pemerintah tahun 1975 yang menegaskan penerapan UU Perkawinan

mengatur tentang sanksi. Namun, sanksi yang ditetapkan hanya diberlakukan

bagi para pencatat, dengan menyatakan, jika seorang pencatat tidak

mendaftarkan perkawinan, dia didenda 7.500 rupiah. Pencatatan perkawinan

diatur tentunya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan

perlindungan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam dalam ikatan pernikahan.

Dengan adanya pencatatan, baik pihak suami maupun isteri mempunyai bukti

kuat telah dilangsungkannya pernikahan.

30

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 26. 31

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 27.

Page 42: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

30

Berkenaan dengan persoalan pencatatan perkawinan tersebut, ada dua

pandangan yang berkembang.32

Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa

pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan

hanya merupakan persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya

sebuah pernikahan. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan

perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.

Ahmad Rofiq menempatkan pencatatan perkawinan hanya sebagai

syarat administratif sangat tidak menguntungkan upaya sosialisasi UU

Perkawinan di Indonesia. Padahal apabila dilacak metodologisnya, secara

teknis para ulama ushul menyebutnya dengan maslahat al-mursalah.33

Lebih

jauh dari pencatatan ini lebih maslahat terutama bagi wanita dan anak-anak.

Dengan adanya pencatatan perkawinan dengan status hukum yang jelas, maka

berbagai macam bentuk kemudharatan seperti ketidak pastian status bagi

wanita dan anak-anak akan dapat dihindari.34

Pergeseran kultur lisan kepada

kultur tulisan sebaagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta

sebagai surat buktu autentik.

Selain itu juga, bila diperhatikan ayat tentang mudayanat (utang

piutang) mengisyaratkan bahwa adanya bukti autentik sangat diperlukan untuk

menjaga kepastian hukum. Bahkan secara redaksional menunjukan bahwa

32

Hartono Mardjono, Menegakan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung:

Mizan, 1997), h. 97. 33

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, h. 109. 34

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2004), h. 135.

Page 43: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

31

cacatan didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam perkawinan persaksian

menjadi salah satu rukun yang harus dilaksanakan.35

QS. Al-Baqarah [2] : 282 :

ا يأ ي ي سمى ف ٱلذ جن ي

إل أ ا إذا حداينخى ةدي ه ءاي ولمخب ٱكخت

كى كحب ة ٱهعدل ةذي ا عوذ ن يكخب لب كحب أ

ول يأ ٱللذ

ون يفويمخب ول ولخذق ٱلق عوي ٱلذ ٱللذ ۥربذ ول يتخس ي ا ى شي

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah, tidak secara

tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah

seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis

enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia

menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan

ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia

mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.

Dengan demikian, salah satu bentuk pembaharuan hukum keluarga

Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan

perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena

masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab Fiqih ataupun fatwa-

fatwa Ulama.36

2. Poligami

Pada prinsipnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang

suami. Seperti dalam surat al-Nisa [4] : 3:

35

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu,

2011. 36

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 121

Page 44: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

32

ف إون ا لذ تقسط ف ٱلتم خفخى أ ا ٱكح ٱهنساء يا طاب هكى ي

كى يمو يا مومج أ

حدة أ فن ا لذ تعدل

ع فإن خفخى أ د ورب يرن وذل

ا لذ تعلدن أ

لك أ ٣ذ

Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-

wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut

tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak

yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dan juga seperti dalam surat al-Nisa [4] : 129

بي وه ا ن تعدل أ ا حرصخى ٱهنساء تسخطيع كذ ول ا يو ين فل ح ٱل

ا ل عوذقث فخذرو ا فإنذ ٱل ا وتخذق إون حصوح ا ٱللذ ى ا رذحي ١٢٩كن غفرى Artinya: dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-

isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu

terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain

terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari

kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kedua ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukan bahwa prinsip perkawinan

dalam Islam adalah monogami. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-

rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, atau beristri lebih dari seorang

perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dipenuhi dengan baik.37

Hal

ini kemudian diperkuat dengan UU Perkawinan pasal 3. Yaitu :

1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai

seeorang sitri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

37

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 140.

Page 45: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

33

2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih

dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

Masalah poligami memang bukan isu baru dalam wacana perdebatan

hukum Islam. Namun, karena aturan-aturannya yang terus berkembang di

beberapa negara termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang

dari para ulama dan ahli hukum terkait dengan hukum berpoligami, sehingga

isu poligami masih tetap menarik untuk terus didiskusikan.

Berlaku adil kepada para istri itu hanya dipersyaratkan dalam hal-hal yang

bersifat lahiriah, seperti rumah yang sama, jadwal yang sama, nafkah yang

sama, dan sebagainya. Suami tidak diminta untuk berlaku adil dalam cinta dan

hal-hal lain yang berada di luar kendalinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah

SWT, seperti dalam Q.S an-Nisa ayat 129 di atas.38

Poligami merupakan salah

satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus

kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi

baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan

ketidakadilan jender. Bahkan para penulis Barat sering mengklaim bahwa

poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat

diskriminatif terhadap perempuan.39

Hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk

berpoligami atau beristri lebih dari satu orang perempuan, sepanjang

persyaratan keadilan di antara istri dapat dipenuhi dengan baik. Karena hukum

Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya agar poligami

38

Muhammad Mutawwali Sya’rawi, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Askara, 2006), h.

155. 39

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 156.

Page 46: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

34

dapat dilaksanakan manakala memang diperlukan, tidak merugikan, dan tidak

terjadi kesewenang-wenangan terhadap isteri, maka hukum Islam di Indonesia

perlu mengaturnya.40

Sering terjadi bahwa para hakim tidak menerapkan aturan-aturan poligami

dengan ketat. Beberapa dari mereka meluluskan permohonan poligami para

suami, meskipun mereka tidak dapat menghadirkan alasan seperti tertuang

dalam aturan. Konsep ijtihad sering mereka elukan dan mereka jadikan

pegangan. Selain itu, kemaslahatan yang kadang sering dipahami tidak tepat,

sering juga dipakai untuk meluluskan permohonan poligami para suami.41

Sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir tentang perlindungan

hak-hak individu manusia, aturan poligami yang ditemukan dalam buku-buku

Fiqih mengalami penafsiran ulang dan pembaruan. Sama halnya dengan di

beberapa negara lain, seperti di Indonesia poligami diatur dalam UU No 1

tahun 1974 dan KHI yang menjelaskan bahwa poligami dimungkinkan untuk

dilakukan. Dengan kemungkinan diizinkannya seorang laki-laki melakukan

poligami, maksimal dengan empat orang.

Permasalahan tersebut di atas dapat dianggap memberikan celah pada

ketidakadilan bagi perempuan dan bisa dengan demikian dianggap

bertentangan dengan CEDAW pasal 16. Hak-hak yang ditentang dalam hal ini,

salah satunya, adalah hak atas kesetaraan atau kesamaan isteri dan suami dalam

menentukan nasib pernikahan mereka, ketika isteri sering merasa tidak

mempunyai hak untuk ketidaksetujuannya atas`pernikahan kedua yang

40

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, , h. 140. 41

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 31.

Page 47: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

35

diinginkan suami.42

Pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap

sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan

prostitusi.

3. Usia Perkawinan

Sebagaiman diketahui, hukum Islam tidak menetapkan usia minimal

kecakapan seseorang untuk melangsungkan perkawinan, kecuali adanya

ketetapan bahwa seseorang tersebut telah baligh atau mumayyiz. Perdebatan

tentang kecakapan perkawinan memang mengemuka di antara para Ulama

fiqih, tetapi tidak pada apakah usia tersebut layak menikah atau tidak, tetapi

lebih kepada kecakapan seorang perempuan untuk menikahkan dirinya sendiri.

Usia perkawinan dipandang perlu memperoleh perhatian dan pengaturan yang

jelas. Maka, selain usia minimun perkawinan ditetapkan, beberapa negara

mengatur cara untuk mengantisipasi masih dimungkinkannya pernikahan di

bawah umur bisa dilaksanakan.43

Beberapa KUA mengaku sering didatangi oleh pasangan yang ingin

menikah, padahal usia dari salah satu pasangan belum cukup. KUA dengan

tegas menolak permohonan pernikahan dan mengarahkan pasangan untuk

datang ke Pengadilan meminta dispensasi jika mereka tetap ingin menikah

pada usia yang belum memadai. Beberapa pasangan mengikuti arahan KUA.

Namun, banyak dari mereka yang melaksanakan pernikahannya dengan

42

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 34. 43

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Kontempore, h. 251.

Page 48: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

36

kondisi usia yang belum cukup dengan hanya menghadirkan sesepuh atau

tokoh ulama, dan akhirnya tidak mencatatkan pernikahan mereka.44

Aturan tersebut tentunya secara luas telah dipahami oleh para hakim

pengadilan, dan para hakim menyetujui aturan itu. Namun, karena sejumlah

alasan mereka kadang-kadang mengabaikannya dan memberi izin kepada

mereka yang dibawah usia minimum untuk menikah melalui aturan dispensasi.

Banyak sekali pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur dan

mereka mendatangi pengadilan untuk memohon dispensasi. Dengan alasan

kemaslahatan, para hakim sering mengabulkan permohonan dispensasi nikah

tersebut.45

Meskipun Undang-undang telah menentukan batas usia minimum

bagi seseorang untuk menikah, dengan kuatnya tradisi dan kebiasaan yang ada

di masyarakat, Undang-undang selalu membuka peluang bagi pasangan yang

belum mencapai usia minimal perkawinan untuk menikah dengan terlebih

dahulu meminta persetujuan dari pengadilan atau walinya.

Terkait dengan usia perkawinan, UU Perkawinan di Indonesia telah

mengatur soal umur berapa seorang laki-laki atau perempuan bisa menikah.

Perkawinan tidak bisa dilaksanakan sebelum calon mempelai mencapai umur

yang telah ditetapkan, yaitu untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Seperti yang sudah tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15

dan UU Perkawinan pasal 7. Namun, meskipun aturan tersebut sudah ada dan

beberapa pihak menerapkan aturan tersebut, beberapa pihak lain masih ada

yang melakukan pernikahan dalam usia yang belum mencukupi dan tidak

44

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 45. 45

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 46.

Page 49: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

37

memohon dispensasi ke Pengadilan Agama, sehingga pernikahannya tidak

dilaksanakan di depan pegawai pencatat nikah.

Berdasarkan pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia perkawinan,

lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan

perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan

kasih sayang. Dalam hal ini Undang-undang Perkawinan tidak konsisten. Di

satu sisi, Pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan

perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat

izin kedua orang tua, di sisi lain Pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak

wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Bedanya, jika kurang dari 21 tahun,

yang diperlukan izin dari orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun, perlu izin

pengadilan, ini di kuatkan Pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.46

Perlu dikemukakan bahwa meskipun penekanan dari pembedaan yang

diatur di Indonesia jelas, bahwa dispensasi anak yang dikemukakan dalam UU

Perlindungan Anak lebih menekankan pada hak-hak anak secara umum ketika

ia berada di bawah usia 18 tahun dan ketika ia berusia di atas 18 tahun, dan di

mana penetapan usia minimum pernikahan anak perempuan, yaitu 16 tahun

seperti diatur dalam KHI menekankan hanya pada batas minimum usia

kebolehan anak perempuan untuk menikah, pembedaan tersebut menimbulkan

kerancuan dan kebingungan pemahaman di beberapa kalangan..47

46

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 60-61. 47

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 49.

Page 50: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

38

Apabila dibandingkan dengan batasan usia calon mempelai di beberapa

negara Muslim, Indonesia secara definitif belum yang tertinggi tapi juga tidak

yang terendah. Berikut data komparatif yang dikemukakan Tahir Mahmood

dalam buku Personal Law in Islamic Countries yang dikutip dari Ahmad

Rofiq.48

Perbandingan Batas Usia Nikah di Negara-negara Muslim

Negara Laki-laki Perempuan

Aljazair 21 18

Bangladesh 21 18

Mesir 18 16

Indonesia 19 18

Irak 18 15

Jordania 16 17

Libya 18 16

Malaysia 18 15

Maroko 18 15

Yaman Utara 15 16

Pakistan 18 18

Somalia 18 18

Yaman Selatan 18 16

Suriah 18 17

Tunisia 19 17

Turki 17 15

48

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 61.

Page 51: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

39

4. Perkawinan antar Pemeluk Agama yang Berbeda

Perkawinan antar pemeluk yang beda agama merupakan permasalahan

yang sangat sensitif untuk dibahas. Masalah pernikahan beda agama sampai

saat ini masih kontroversial di kalangan ulama Indonesia. Perdebatan atas

hukum atau aturan pernikahan beda agama disebabkan oleh perbedaan

interpretasi terhadap ayat al-Quran yang menjelaskan tentang hukum

pernikahan beda agama.

Terkait masalah perbedaan agama ini, Indonesia melalui UU Perkawinan

No 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Saatsblad 1898 No 185

menatur dengan jelas tentang Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde

Huwelijken. Menilik pasal-pasal saatsblad tersebut secara tegas salah satu

ayatnya menjelaskan, perbedaan agama tidak dapat dijadikan sebagai alasan

untuk mencegah terjadinya perkawinan. Sehingga perkawinan beda agama

dibolehkan dan mempunyai dasar hukum di Indonesia. Namun, aturan ini

menurut beberapa kalangan ahli hukum dihapus atau dibatalkan oleh UU

Perkawinan. Meskipun tidak secara langsung menyatakan bahwa perkawinan

beda agama dilarang.49

Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menjelaskan, perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya. Pasal 44 KHI secara eksplisit mengatur tentang larangan

perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah dan

begitupun sebaliknya. Pasal 44 KHI tersebut menjelaskan bahwa, seorang

49

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 66.

Page 52: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

40

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang

tidak beragama Islam.

Terkait dengan aturan tentang pernikahan beda agama ini, para pakar

hukum mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda. Menurut

Muhibuddin seperti yang dituliskan oleh Asep Saepudin Jahar dalam bukunya,

perbedaan pandangan ini disebabkan karena UU Perkawinan tidak menyebut

secara tertulis dan eksplisit terkait perkawinan beda agama. Paling tidak ada

tiga pandangan yang berbeda50

.

Pertama, perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan jika dilakukan

dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap UU Perkawinan.

Kedua, perkawinan beda agama dapat dilakukan dan diperbolehkan, dan

dianggap sah, sebab pernikahan tersebut dapat dianggap sebagai perkawinan

campuran dengan pemahaman bahwa pasal 57 tentang perkawinan campuran

ditekankan pada klausul “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum

yang berlainan”.

Ketiga, pandangan yang menekankan pada kenyataan bahwa UU

Perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda agama.

Peraturan lama dapat diterapkan selama UU perkawinan belum mengaturnya.

Dengan cara pandang seperti ini, aturan perkawinan beda agama harus tetap

berpedoman pada peraturan perkawinan campuran.

Melihat pandangan peserta diskusi yang diselenggarakan Kowani, Pasal I

UU Perkawinan belum menampung perkawinan antar pemeluk agama dan

50

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 69.

Page 53: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

41

antar bangsa yang terjadi selama ini, salah satu pihak harus mengalah dan ini

bertentangan dengan HAM. Karena itu harus ditampung. Usulan peserta

diskusi yang diselenggarakan Kowani ini bisa dipahami bahwa UU Perkawinan

belum mengakomodasi perkawinan calon suami dan calon isteri yang berbeda

agama meski sesama warga negara Indonesia atau yang kewarganegaraannya

berbeda.51

Selain itu juga, menurut pandangan kelompok pro-feminisme

Modern Progresif yang ikut sebagai peserta diskusi yang diselenggarakan

Kowani, Pasal I UU Perkawinan belum menampung perkawinan laki-laki

dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan padahal ini terjadi di

masyarakat. Oleh karena itu, mereka menuntut harus ditampung. Jika

dicermati, usulan ini lebih menekankan pada perlunya pengakomodasian

berbagai model perkawinan.52

Para penentang kawin beda agama selalu berprinsip bahwa kami punya

hak untuk mempertahankan dan melindungi keimanan umat kami dari upaya

pemurtadan dari pihak lain. Bagi kelompok ini melegalkan kawin beda agama

dalam UU Perkawinan sama halnya dengan memberi peluang bagi kemurtadan

kaumnya dan memeri peluang untuk menginjak-nginjak keimanannya. Namun,

bagi pendukung kawin beda agama pun tak mau kalah, ia selalu berprinsip

bahwa kami punya hak untuk mengembangkan keimanan kami kepada pihak

lain yang berminat.

Indonesia meski bukan negara sekuler, perilaku homo dan lesbi mungkin

masih bisa saja dimengerti, namun kemengertian itu tidak harus diwujudkan

51

Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN-Malang Pers, 2008), h. 250. 52

Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, h. 255.

Page 54: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

42

sampai pada tingkat perlunya dilegalisasi dalam UU Perkawinan. Kalau kita

melihat kepada fenomena sosiologis masyarakat Indonesia yang kental akan

religiusitasnya, maka legalitas kawin sesama jenis kemungkinan untuk

diterapkannya bahkan cenderung sangat mustahil untuk saat ini.

Selain itu juga masih ada beberapa kalangan yang menginginkan upaya

penyempurnaan UU Perkawinan, dengan beberapa alasan. Pertama, UU

Perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama. Kedua, masyarakat

Indonesia adalah maasyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda

agama tidak dapat dihindarkan. Ketiga, persoalan agama adalah menyangkut

hak asasi setiap orang. Keempat, kekosongan hukum dalam bidang perkawinan

tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab akan mendorong terjadinya

perzinahan.53

Menanggapi hal tersebut, mayoritas masyarakat muslim Indonesia

memandang bahwa hal itu berlebihan dan tidak relevan. Menurut mereka, UU

Perkawinan tidak perlu menjelaskan tentang perkawinan beda agama, karena

UU Perkawinan tersebut telah mengatur hukum perkawinan beda agama

dengan tegas dan jelas. Mahkamah Agung dalam suratnya No.

KMA/72/IV/1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri secara sangat relevan dengan pendapat kelompok ketiga. Ketua

Mahkamah Agung menekankan tiga hal, yaitu: kemajemukan, kenyataan

adanya hubungan (pernikahan) beda agama, dan Kemungkinan diterapkannya

53

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis. h. 70.

Page 55: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

43

S. 1898 No. 158 jika UU Perkawinan belum mengatur hal-hal yang

berhubungan dengan perkawinan campuran yang dimaksud.54

D. Praktik Perkawinan di Indonesia

1. Pencatatan Perkawinan

Administrassi atau dalam hal ini pencatatan perkawinan diberlakukan

dihampir semua negara Muslim di Dunia, meskipun berbeda satu sama lain

dalam penekanannya. Di Indonesia, regulasi pencatatan perkawinan telah

ditetapkan tidak lama setelah Indonesia merdeka, yakni diundangkannya UU

No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.55

Dalam UU

ini disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan pemberitahuan kepada

Pegawai Pencatatan Nikah yang dituangkan dalam pasal 1 ayat (1).

Pencatatan perkawinan sendiri baru direfisi dan diundangkan kembali

melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun

demikian tidak menutup kemungkinan ada sebagian masyarakat yang tidak

dicatatkan perkawinannya, seperti melakukan perkawinan di bawah tangan

ataupun pernikahan sirri.

Seperti ditulis Ahmad Tholabi Kharlie. Hal ini misalnya terjadi di daerah

Rembang Pasuruan Jawa Timur. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa

perkawinan sirri merupakan suatu hal yang lumrah dan karena itu pula daerah

ini disebut Daerah Kawin Sirri. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa kyai

(Tokoh Agama) mempunyai andil besar dalam proses penyelenggaraan nikah

sirri ini, bahkan pengakad sendiri sengaja mengunakan doktrin fiqih untuk

54

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 69. 55

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 189.

Page 56: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

44

melegalkan praktik ini.56

Berdasarkan pendataan PEKKA sendiri, dari seluruh jumlah PEKKA

diketahui bahwa hanya 63% anggota kelompok PEKKA yang mendaftarkan

pernikahan mereka ke Kantor Urusan Agama (KUA), dan selebihnya tidak.

Sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan HAM UIN Jakarta

yang bekerjasama dengan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama

Departemen Agama di Kabupaten Lebak Banten, menghasilkan data yang

cukup mengejutkan terhadap masyarakat akan kesadaran pencatatan

perkawinan. Dari hasil penelitian tersebut terungkap bahwa tingkat kesadaran

masyarakat untuk mencatat perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA)

cukup rendah, yakni hanya 46,7% dari responden yang mencatatkan

perkawinannya, sedangkan para pihak yang melakukan pernikahan dibawah

tangan sebanyak53,3%. 57

Pada pernikahan pertama mencapai 46,7%, pernikahan kedua dan

selanjutnya justeru semakin menurun menjadi 28,3% , dan terakhir hanya

26,3% pasangan yang mencatat perkawinannya. Demikian halnya dengan

penelitian yang dilakukan Puskumham UIN Jakarta menunjukkan bahwa dari

responden yang tidak mencatatkan perkawinannya tergambar bahwa yang

paling dominan adalah mereka yang tidak pernah duduk di bangku sekolah

sama sekali, yaitu 73,0%. Sementara yang sempat bersekolah di SD cukup

menurun yaitu 57,8%, SLTP semakin turun lagi 35,8%, dan SMA hanya

28,9%.

56

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.

191. 57

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 193.

Page 57: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

45

Cukup menarik dari penelitian ini adalah fakta yang menunjukkan bahwa

bagi mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi, baik itu Diploma atau

Strata 1, tidak satupun yang tidak mencatatkan perkawinannya. Selain itu,

keengganan untuk mencatatkan perkawinan ini disebabkan karena tingginya

biaya yang harus dikeluarkan. Seperti halnya terjadi di Subang, dari sekian

pasangan suami-istri yang tidak terdaftar, sekiranya 6%-nya didasarkan pada

alasan ini.58

2. Usia Perkawinan

Berbicara masalah perkawinan, Indonesia merupakan salah satu negara

yang cukump mentoleransi usia perkawinan, dibandingkan dengan kitab-kitab

Fiqih konvensional maupun negara negara lain yang menerapkan batas

minimal usia perkawinan. Hal ini bisa kita lihat dalam UU Perkawinan yang

menerapkan batasan minimal usia perkawinan sejatinya adalah 19 tahun bagi

laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia

tersebut maka harus mendapatkan izin dari pengadilan, dan bagi mereka yg

sudah berusia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.

Bila dilihat secara umum, terjadi peningkatan usia nikah di indonesia,

sehingga pada tahun 2005 usia rata-rata menikah perempuan mencapai umur

23,2 tahun dan usia laki-laki mencapai 26,9 tahun. Namun demikian bukan

berarti perkawinan usia muda ini tidak dijumpai lagi di masyarakat.

Sebagaimana penelusuran di daerah Indramayu, ditemukan fakta tingginya

angka perkawinan muda. Dari setiap lulusan pada tingkat SD, 50% diantaranya

58

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h, 195.

Page 58: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

46

adalah perempuan, dan hanya 5% saja yang sanggup bertahan hingga lulusan

SLTA, selebihnya memilih untuk menikah. Dan hingga kini angka perkawinan

di bawah umur di Kabupaten Indramayu masing tinggi.59

Perkawinan di bawah umur juga banyak terjadi di Kabupaten Ponorogo

Jawa Timur, data menunjukan peningkatan angka perkawinan di bawah umur

bila dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data Pengadilan Agama

Ponorogo, sepanjang 2007 rata-rata 15 hingga 19 surat dispensasi telah

diajukan perbulan, sehingga perkawinan di bawah umur meningkat 75%.

Selain itu, telah ada sembilan kasus perkawinan di bawah umur yang

dilaporkan kepada Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

JawaTengah untuk tahun 2009. Sedangkan di kota malang misalnya, menurut

catatan Pengadilan Agama Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15

tahun meningkat 50% dibanding pada 2007. Hal serupa juga terjadi di Nias

Sumatera Utara, mengacu pada hasil penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan

Anak Nias, pada 2008 di kabupaten Nias angka pernikahan usia antara 13-18

tahun sekitar 9,4% dari 218 responden perempuan yang telah menikah dan

akan menikah.60

Penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur atau pernikahan usia dini,

selain faktor ekonomi, sosial, budaya, khususnya bagi masyarakat pedesaaan,

faktor cara pendidikan yang mengakibatkan cara pandang masyarakat yang

sederhana bahkan cenderung salah dalam memaknai esensi dari sebuah

perkawinan. Menurut Rahmat Sentika yang merupakan satgas Perlindungan

59

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia,, h. 207. 60

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 209.

Page 59: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

47

Anak Ikatan Dokter anak Indonesia, menurut dia, Data Badan Pusat Statistik

pada tahun 2002 di Indonesia terdapat 34,2% perempuan menikah di bawah

usia 15 tahun dan laki-laki 11,9%. Di satu sisi lain juga penelitian yang

dilakukan di daerah pantura terdapat 42,8% ternyata menikah di bawah usia 15

tahun.61

3. Poligami

Masalah poligami telah diatur dalam peraturan Perundang-Undangan, baik

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah

No 9 Tahun 1975 Maupun Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1983 dan

Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan

Perceraian bagi PNS sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya. Nasarudin

Umar mengatakan bahwa poligami menjadi masalah yang serius dalam

perkawinan. Dalam data Ditjen Bimnas islam, poligami menjadi penyumbang

angka yang sangat besar terhadap perceraian. Sebanyak 813 perceraian pada

2004 di sebabkan oleh poligami.62

Seperti yang ditulis Ahmad Tholabi Kharlie. Suatu penelitian yang

dilakukan M Ja’far di Kabupaten Pidie, dari 86 pasangan poligami dalam satu

kecamatan mutiara menunjukan ada tiga pola pasangan dalam melakukan

perkawinan poligami, yaitu poligami yang dilakukan sebelum adanya UU

Perkawinan dan pelaturan pelaksanaannya, mengikuti prosedur yang ada dalam

UU, dan Poligami yang tidak mengikuti UU. Dari penelitian ini ditemukan

bahwa 24 pasangan melakukan perkawinan menurut prosedur UU Perkawinan,

61

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 208. 62

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 208.

Page 60: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

48

sedangkan 36 pasangan di luar prosedur yang ada. Menurut Leli Nurohmah

menyebutkan bahwa longgarnya kebolehan pernikahan sirri di masyarakat

sangat memudahkan poligami. Menurut dia, di Cinere (Bogor) di dalam satu

RT saja bisa terdapat 10 rumah tangga poligami melalui pernikahan sirri.

Selain itu, dari 48 kasus poligami yang ada di LBH APIK Jakarta, 21 dari

kasus ini menikah di bawah tangan dan 19 lainnya melakukan pemalsuan

identitas.63

4. Perceraian

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

Agung, pada 2007 perceraian di DKI Jakarta mencapai 6.218 kasus, terdiri atas

isteri gugat cerai suami 3.482 kasus, dan suami cerai talak isteri 2.115 kasus.

Sedangkan pada 2008 tercatat 5.193 kasus, dan pada 2000 mencapai 4.197

kasus. Di daerah lainpun menunjukan hasil yang serupa. Di Pengadilan Agama

Purwikerto, misalnya pada 2007 total kasus yang ditangani ada 1.491

meningkat sampai 1.805 kasus pada 2008. Di madiun pada 2006, kasus

perceraian mencapai 819 perkara, kemudian pada 2007 naik menjadi 1.110

perkara. Sementara di Kabupaten Cilacap, dalam kwartal pertama 2008 jumlah

kasus perceraian telah mencapai rata-rata 230 kasus perbulan. Di Pengadilan

Agama Bandung pun terjadi hal yang sama, pada 2006 ada 2.194 perkara yang

masuk ke Pengadilan, sementara 2007 jumlahnya meningkat menjadi 2.374

perkara, ada peningkatan sekitar 20,7%.64

63

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 225-226. 64

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Islam, h 234-235.

Page 61: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

49

Selain dari fakta meningkatnya data perceraian di atas, menurut data yang

terhimpun pada Ditjen Bimas Islaam pada 2000 dan Mahkamah Agung tahun

2005, secara relatif dapat dikatakan jumlah perceraian di Indonesia meningkat.

Pada 2000, semua kasus pereraian yang di terima Pengadilan Agama seluruh

Indonesia sebanyak 161.672 perkara, yang terdiri atas 71.121 perkara cerai

talak dan 90.551 cerai gugat. Sementara pada 2005, jumlah perkara yang

diterima Pengadilan Agama di seluruh Indonesia mencapai 165.820 perkara,

yang terdiri atas 62.437 (35.651%) perkara cerai talak dan 103.383 (5.031%)

cerai gugat.65

Seperti yang ditulis Cahyadi Takariawan. Bahwa kenyataannya,

perselingkuhan adalah penyebab tertinggi kedua terjadinya perceraian di

Indonesia pada tahun 2011, sebagaimana data dari Dirjen Badilag Mahkamah

Agung RI. Penyebab perceraian pertama di tahun 2011 adalah faktor ekonomi.

Sebagai sebuah potret yang lebih mikro, kita lihat data di Kota Makassar,

Sulawesi Selatan. Di Makassar istri lebih banyak menggugat. Dan, 90%

perkara cerai (di PA Kota Makassar) karena selingkuh. Perselingkuhan sebagai

pemicu konflik keluarga, bahkan sampai ke tingkat pembunuhan, mutilasi dan

perceraian, sudah bukan rahasia lagi. Pengalaman Prof. Dr. Dadang Hawari

menangani konsultasi perkawinan, menunjukkan kasus perceraian umumnya

disebabkan oleh ketidaksetiaan pasangan. Sebagian besar didominasi oleh

ketidaksetiaan para suami. Istri juga ada tapi lebih sedikit. perkawinan

disebabkan oleh perselingkuhan suami dan 10 % oleh perselingkuhan istri.66

65

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 236 . 66 Cahyadi Takariawan “Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam”. Artikel diakses pada 16

Maret 2016 dari http://www. kompasiana. Com / pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-jam.

Page 62: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

50

Namun dalam setiap kasus selingkuh, berapapun prosesntasenya, siapapun

yang lebih besar atau lebih kecil proisentasenya dari suami maupun istri, selalu

ada keterlibatan pasangan jenis yang sama-sama menikmati perselingkuhan

tersebut. Misalnya data kasar Dadang Hawari yang menyatakan kasus

keretakan hubungan rumah tangga 90 % merupakan kontribusi perselingkuhan

suami, dan 10 % dari perselingkuhan istri. Hampir bisa dipastikan, 90 % suami

yang berselingkuh itu melakukan perselingkuhan dengan perempuan. Mungkin

saja masih lajang atau mungkin juga sudah bersuami.67

Perhatikan juga data

yang dimuat Republika Online. Tahun 2009 menikah 2. 162.268 sedangkan

cerai 216.286. Tahun 2010 menikah 2.207.364 sedangkan cerai 285.184.

Tahun 2011 menikah 2.319.821 sedangkan cerai 258.119. Tahun 2012

menikah 2.291.265 sedangkan cerai 372.577. Tahun 2013 menikah 2.218.130

sedangkan cerai 324.527. Data Kementerian Agama RI.

Ada beberapa faktor yang melatar belakangi meningkatnya angka

perceraian diantaranya adalah faktor ekonomi, poligami, jarak, cacat, ketidak

cocokan, perkawinan dibawah umur, perbedaan pola pikir, KDRT. Namun

menurut penulis faktor ekonomi dan KDRT merupakan salah satu faktor

terbesar dalam perceraian, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya tingkat cerai

gugat itu lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak.

Kementerian Agama mendapat temuan meningkatnya angka perceraian

dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Temuan itu didapat dari hasil

penelitian mengenai tren cerai gugat masyarakat muslim di Indonesia yang

67

Republik Online. “Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam”. Artikel diakses pada 16

Maret 2016 dari http://www. kompasiana. Com / pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-jam.

Page 63: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

51

dijalankan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan

Kemenag. Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag Muharam

Marzuki mengatakan, dari dua juta pasangan menikah, sebanyak 15 hingga 20

persen bercerai. Sementara, jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan

Tinggi Agama seluruh Indonesia pada 2014 mencapai 382.231, naik sekitar

kasus 131.023 dibanding tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus. Sementara

dalam persentase berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung,

dalam lima tahun terakhir terjadi kasus Cerai Gugat mencapai 59 persen hingga

80 persen. Angka itu didominasi kasus cerai gugat di beberapa daerah seperti

Aceh, Padang, Cilegon, Indramayu, Pekalongan, Banyuwangi, dan Ambon.68

Data dari Kementerian Agama RI itu disampaikan oleh Kepala Subdit

Kepenghuluan, Anwar Saadi. Sebagai sampel kita ambil data dua tahun terakhir di

2012 dan 2013 saja. Jika diambil tengahnya, angka perceraian di dua tahun itu sekitar

350.000 kasus. Berarti dalam satu hari rata-rata terjadi 959 kasus perceraian, atau 40

perceraian setiap jam. Luar biasa fantastis. Di Indonesia terjadi 40 kasus perceraian

setiap jamnya. Hampir seribu kasus perceraian setiap harinya.69

E. Hukum Keluarga Islam dalam Tata Hukum Indonesia

Salah satu ciri paling penting dari hukum modern adalah mempunyai

bentuk tertulis dan terkodifikasi. Kodifikasi adalah pembuatan hukum dalam satu

pembuatan hukum dalam suatu himpunan perundang-undangan dalam materi

68

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag, artikel diakses pada 16 Maret 2016 dari

http://www.dream.co.id/news/angka-perceraian-meningkat-lima-tahun-terakhir. 69

Munadi. “Angka Perceraian di Indonesia Sangat Fantastis”. Artikel diakses pada 16

Maret 2016 dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/angka-perceraian-di-indonesia-sangat-

fantastis

Page 64: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

52

yang sama.70

Aktifitas kodifikasi hukum tak lepas dari politik hukum. Bagi

Indonesia yang sedang membangun, politik hukum ditujukan pada pembaharuan

hukum untuk mewujudkan sistem hukum nasional dan berbagai aturan hukum

yang dapat memenuhi kebutuhan Indonesia. Setiap negara berwenang

menentukan sendiri hukum yang berlaku di dalam wilayahnya. Hukum nasional

melekat pada negara tertentu. Setiap negara mempunyai hukum nasional. Pada

hakikatnya, setiap hukum bersifat nasional. Jadi, hukum nasional dibatasi wilayah

negara.71

Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum modern. Dalam negara

berdasar atas hukum yang domokratis, kegiatan eksekutif dan yudikatif tunduk

serta mengikuti hukum dan perundang-undangan. Hukum nasional yang berlaku

di Indonesia ada dua bentuk, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Jika

terjadi persaingan antara hukum tertulis dan tidak tertulis, maka yang memperoleh

keutamaan adalah hukum tertulis.72

Setidaknya ada tiga ciri hukum nasional.

Pertama, bersifat umum dan konferhensip, yakni menyeluruh dan tidak terbatas.

Kedua, universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa akan datang yang

belum jelas bentuk konkritnya. Ketiga, otoritatif. Ia memiliki kekuatan untuk

mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.73

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

merupakan sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam pembangunan nasional

di bidang hukum Indonesia. Penyusunan Undang-undang tersebut mempunyai

70

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 92 71

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1991), h. 107. 72

Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, h. 141 73

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, h. 84

Page 65: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

53

tujuan luhur baik dilihat dari segi hukum, segi kesejahteraan masyarakat maupun

dari segi agama.Yang dimaksud dengan Undang-undang Perkawinan ialah segala

suatu dalam bentuk aturan yang dapat dijadikan petunjuk oleh umat Islam dalam

hal perkawinan dan dijadikan pedoman hakim di lembaga peradilan agama dalam

memeriksa dan memutuskan perkara perkawinan.74

UU Perkawinan dikeluarkan

pada tahun 1974, dan diberlakukan bagi seluruh warga Indonesia, tidak peduli

agama yang dianut. Undang-undang ini mencerminkan upaya untuk menyatukan

undang-undang yang berkaitan dengan undang-undang perkawinan itu sendiri dan

bidang-bidang lainnya yang sesuai dengan hukum adat dan hukum agama.

Undang-undang Perkawinan juga merupakan upaya pemerintah dalam

menanggapi tuntutan kaum perempuan di Indonesia tentang kedudukan hukum

mereka dalam beberapa peristiwa hukum terutama poligami dan perceraian.75

Dengan diberlakukannya UU No1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini

tidak menjadikan hukum perkawinaan di Indonesia telah terunifikasi. Hukum

Perkawinan di Indonesia tetap bersifat pluralisme hukum kerena hal-hal yang

belum diatur dalam UU Perkawinan berlaku ketentuan-ketentuan yang termuat

dalam BW dan peraturan perundangan lainnya.76

Menurut Amir Syarifudin, seperti yang ditulis Yayan Sopyan. Setidaknya

ada tiga kelompok yang menyikapi UU Perkawinan. Pertama, mereka yang tidak

mengakui UU Perkawinan itu sebagai aturan yang menggantikan hukum fiqih dan

mereka tetap menjalankan sesuai hukum fiqih. Kedua, mengakui UU Perkawinan

74

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Pernadamedia Grup, 2014), h.20. 75

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 14. 76

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Perss, 2007), h. 1

Page 66: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

54

sebagai peraturan yang harus diikuti namun mereka juga tetap menjalankan

aturan fiqih. Ketiga, mereka yang menganggap UU Perkawinan sebagai peraturan

sah yang mengatur urusan perkawinan umat Islam di Indonesia.77

Karena perkawinan merupakan suatu bentuk hubungan sakral yang

berkaitan erat dengan agama, maka terhadapnya dapat dilakukan unifikasi, dalam

arti asas dan tujuan perkawinan. Sehingga UU No 1 Tahun 1974 merupakan UU

Perkawinan yang bersifat nasional dan menyeluruh, sehingga dapaat melingkupi

seluruh warga negara tanpa menghilangkan identitas khas setiap golongan

masyarakat.78

Menurut Yayan Sopyan, kelompok ideal yang paling baik adalah sikap

kelompok ketiga. Menurut dia, merupakan kewajiban setiap warga negara untuk

selalu mentaati dan melaksanakan per-UU-an yang berlaku di persada ini tak

terkecuali umat Islam sebagai warga negara mayoritas, bahkan Umat Islam

Indonesia dalam melaksanakan UU Perkawinan. Karena ada beberapa alasan yang

mengikat umat Islam Indonesia dalam melaksanakan UU Perkawinan yaitu79

:

UU Perkawinan merupakan salah satu perundang-undangan yang berlaku

dan mengikat bagi seluruh warga negara Indoesia termasuk di dalamnya Umat

Islam bagi warga negara mayoritas. Kewajiban tersebut tercantum dalam pasal 27

UUD 1945 yang berbunyi:

77

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h. 204. 78

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema

Insani Perss, 1996), h. 250. 79

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h. 205.

Page 67: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

55

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan

Pemerintahan dan wajin menjungjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak

ada kecualinya.

Demikian pula yang tercantum dalam mukkadimah UU Perkawinan

sendiri dalam pertimbangannya dikatakan:

Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum

nasional, perlu adanya UU tentang Perkawinan yang berlaku bagi samua warna

negara.

Selain UU perkawina peraturan yang mengatur tentang perkawinan ada

Kompilasi Hukum Islam. KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU

Perkawinan yang disusun secara praktis yang kedudukannya sebagai hukum

perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu. Dalam

kedudukannya sebagai pelaksanaan praktis dari UU Perkawinan, maka materinya

tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan.80

Kompilasi Hukum Islam

merupakan hukum meteriil pengadilan di lingkungan peradilan Agama di

Indonesia, yang dikeluarkan melalui Intruksi Presiden pada tahun 1991. KHI

terdiri dari tiga bab: perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, yang dituangkan

dalam 229 pasal.

Sehingga Peraturan Per-UU-an Perkawinan adalah kukum yang berlaku

secara nasional bagi semua warga negara, termasuk orang asing yang berada

dalam negara Indonesia. Dalam pembentukan hukum nasioal, semua unsur-unsur

yang berlaku ditanah air kita yang dapat diterima secara nasional dipergunakan

sebagai bahan dalam penyususnannya. Hukum islam mengenai perkawinan di

80

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.31.

Page 68: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

56

samping hukum Adat dan hukum Barat dipergunakan sebagai bahan baku dalam

pembentukan hukum perkawinan nasional.81

Inpres mengintruksikan Menteri Agama untuk menyebar luaskan

Kompilasi Hukum Islam ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan

masyarakat, dan untuk melaksanakan intruksi itu sebaik mungkin. Meskipun

bukan undang-undang, KHI memiliki dasar hukum yang sangat kuat dalam

Inpres. Selain itu sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden ini, Menteri Agama

mengeluarkan keputusan sebagai Keputusan Menteri Agama No. 154/1991

tentang pelaksanaan Inpres.

Setelah keputusan itu merujuk pada Inpres sebagai pertimbangannya, dan

kepada sejumlah peraturan hukum, Keputusan Menteri Agama itu menyatakan

poin-poin yang menegaskan dengan kuat keharusan Departemen Agama dan

lembaga-lembaga pemerintah lainnya menyebarluaskan KHI itu, dan

menggunakannya sebagai rujukan sedapat mungkin dalam menyelesaikan

persoalan-persoalan yang diaturnya. Intruksi Presiden untuk menggunakan KHI

itu sesungguhnya bukanlah sebuah intruksi yang kuat, tetapi Keputusan Menteri

Agama memperkuat intruksi tersebut.82

Oleh karena itu baik UU Perkawinan

maupun Kompilasi Hukum Islam harus sama-sama dijalankan oleh setiap warga

negara karena keduanya merupakan peraturan perundang-undangan yang secara

sah sudah diakui oleh negara keberadaannya.

UU Perkawinan adalah hasil dari ijtihad umat Islam Indonesia, melalui

para wakilnya di DPR bersama pemerintah yang bersifat pengembangan tentang

81

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h, 203. 82

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 22.

Page 69: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

57

hukum syariat atau hukum agama Islam mengenai perkawinan yang terdapat

dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah untuk kemaslahatan Umat Islam

Indonesia. Kompilasi Hukum Islam merupakan himpunan ketentuan hukum Islam

yang ditulis dan disusun secara teratur. KHI menunjkkan adanya hukum tidak

tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar

rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menelusuri norma-norma hukum

bersangkutan apabila diperlukannya.83

83

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 15.

Page 70: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

58

BAB III

BIOGRAFI MUHAMMAD AMIN SUMA

A. Latar Belakang Keluarga

Muhammad Amin Sulaiman Maimunah Munawaraah yang lazim

disingkat dengan Muhammad Amin Suma, beliau lahir pada tanggal 5 Mei 1955

di kampung Cilurah, desa Kepuh, kecamatan Ciwandan (dulu Anyer), Kota

Madya Cilegon-Banten, beliau merupakan anak ketiga dari pasangan guru ngaji

H. Sulaiman bin Semaun dan Hj. Maimunah binti H. Ali Hasan.

Beliau dilahirkan di keluarga yang sederhana, selain Bapak Ibunya seorang

guru ngaji juga seorang petani, pedagang, dan kadang menjadi tukang sebagai

mata pencahariannya sehari-hari. Namun demikian hal tersebut cukup untuk

membiayai dan mendidik anak-anaknya sampai besar. Beliau sangat bersyukur

telah dibesarkan di tengah-tengah keluarga santri yang amat sangat mencintai

ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan agama Islam. Terutama Bapak

dan Ibunya yang merupakan guru ngaji. Ayahanda beliau (H. Sulaiman bin

Semaun) lebih dahulu wafat pada tahun 1992 sedangkan Ibundanya (Hj.

Maimunah binti H. Ali Hasan) alhamdllah masih sehat dalam usia kurang lebih 90

tahun1

Muhammad Amin Suma merupakan suami Hj. Kholiyah Thohir, M.A.

(Guru Madrasah Aliyah Negeri 4 Jakarta) dan ayah dari sebelas anak diantaranya:

Ummu Muthi’ah Amin, Iim Qo’imuddin Amin, Ahmad Mujaddid Amin,

Imaduddin Amin, Fadhilatut Nisa Amin, Dzuratul Gholiyah Amin, Mar’atus

1 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 14 Maret 2016.

Page 71: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

59

Shafwah Amin, Adi Dhiwa Ramadhan Amin, Ima Qimmatul Maflahah Amin, Aal

Muqawwim Al-Haqq Amin, Via Qawiyah Qalbi Amin.

B. Latar Belakang Pendidikan

Riwayat pendidikannya dimulai dari belajar al-Quran di rumah kepada

kedua orang tuanya H. Sulaiman dan Hj. Maimunah yang keduanya adalah guru

ngaji di kampungnya.2 Selama melangsungkan pendidikan formalnya dari SD,

SLTP dan SLTA, Amin Suma juga ternyata rajin mengikuti pendidikan non

formal pengajian atau mondok di pesantren di beberapa pondok pesentren yang

ada di daerah Banten.

Pondok-pondok yang pernah ia menimba ilmu diantaranya ada Pondok

Pesantren Bani Hasyim di Lijajar Tegal Ratu (1965-1967) di sini ia sebagai santri

kalong di bawah asuhan K.H. Syamsuddin, Pondok Pesantren Islam Al-

Khairiyyah di Cipaot Kepuh Anyer (1971-1972) di sini ia mengaji pasaran di

bawah asuhan K.H. Muslih, Pondok Pesantren di Citangkil Cilegon Banten (1968-

1974) di sini ia sambil sekolah Tsanawiyah dan Aliyah, Pondok Pesantren di

Pelamunan Serang Banten (1972 dan 1974) di sini ia sambil mengaji pasaran

khususnya kitab Tafsir al-Jalalain di bawah asuhan K.H. Bahruddin Afif, dan

Pondok Pesantren Raudhatul Alfiyyah di Kadu Kaweng Pandeglang (1972-1974)

di sini ia mengaji kitab hadis yaitu Shahih al-Bukhari dan kitab alat yaitu kitab

Alfiyyah ibn Malik di bawah asuhan K.H. Sandja.3

Pendidikan formalnya beliau dimulai dari Sekolah Dasar Negeri di

Serangir Anyer (1961-1967), Madrasah Ibtidaiyah Raudhatul Ulum Lijajar (1961-

2 Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.

163. 3 Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, (Jakarta: 2010), h. 127.

Page 72: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

60

1968), Madrasah Tsanawiyah Pergurais Al-Khairiyyah Citangkil (1968-1971),

Madrasah Aliyah Pergurais Al-Khairiyyah Citangkil (1971-1974).

Pada tahun 1975 ia melanjutkan studi ke Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) yang kini telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Syariah dan Hukum jurusan Qadha (Ahwal al-

Syaksiyyah). Gelar sarjana muda (BA) diraihnya pada tahun 1978, dan sarjana

lengkap (Drs) ia raih juga di Fakultas yang sama pada tahun 1979-1981.

Kemudian mendapatkan beasiswa pada tahun ajaran 1985-1987 hingga 1988-1989

untuk mengikuti program S-2 (MA) dan S-3 (Doktor) pada Program Pasca

Sarjana IAIN Jakarta (SPS UIN). 4

Meskipun telah berpangkat Doktor, Muhammad Amin Suma tetap

melanjutkan sekolahnya lagi dengan mengambil S-1 (SH) di Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah (1992-1996). Untuk memantapkan kepakarannya

dalam bidang syariat dan ilmu hukum, beliau yang sebagai aktifis organisasi

pelajar dan kemahasiswaan ini sejak tahun ajaran 1992-1993 mengikuti kuliah

pada Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta, dalam program

kekhususan Hukum Tata Negara, hingga meraih gelar Sarjana Hukum tahun 1996

dan kemudian melanjutkan lagi S-2 (MM) pada tahun 2004-2006.5

Selama menempuh pendidikan formalnya S-2 dan S-3 tersebut,

Muhammad Amin Suma tergolong cepat karena hanya memakan waktu 3 tahun 9

bulan, bahkan tercatat sebagai doktor termuda di IAIN (UIN) Jakarta. Muhammad

Amin Suma dikukuhkan sebagai Guru Besar IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah

4 Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 126

5 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 386.

Page 73: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

61

Jakarta. Lagi-lagi ia tergolong sebagai Profesor paling muda di lingkungan IAIN

(UIN) Jakarta.

Muhammad Amin Suma yang menyelesaikan semua program studi

formalnya dari sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah hingga program S-2 dan S-3 di

dalam Negeri, beliau banyak terlibat dengan aktifitas lembaga atau keilmuan yang

bergerak dalam bidang ilmu-ilmu kesyariahan dan ilmu hukum. Karenanya, tidak

diragukan lagi jika beliau merupakan pencinta Ilmu Syariah dan Ilmu Hukum

yang sering menulis tentang persoalan-persoalan hukum.

Selain itu juga Muhammad Amin Suma pernah mengikuti kursus-kursus

dan berbagai pelatihan di beberapa lembaga, diantaranya: Pendidikan Bahasa

Arab di Lembaga Bahasa IAIN Jakarta (1977-1978), Penataran Anministrasi

(1982), pendidikan dan Latihan pra-jabatan (1983), Penataran Juru Penerangan

Agama Islam Tingkat Nasional (1981), Penatara P-4 bagi juru penerangan umat

beragama di Departemen Agama RI (1981), Lokakarya KKN/P-2 M di

Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1993), Penataran pelaksanaan P-4

terpadu bagi Pegawai RI di PB-7 DKI Jakarta (1994), Course of study in

Indonesian Institute of English Language (1998), Pelatihan Hak Asasi Manusia di

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia kerjasama dengan The Asian

Foundation (2001), dan masih banyak yang lainnya.6

C. Aktivitas dan Prestasi

Muhammad Amin Suma merupakan Guru besar yang meniti karir

keguruannya dimulai dari guru madrasah ibtidaiyah hingga guru besar program S-

6 Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 126.

Page 74: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

62

3, masih tetap aktif memberi kuliah pada sejumlah perguruan tinggi apakah itu

universitas, institut maupun sekolah tinggi. Selain pernah menjadi guru besar

tidak tetap pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Jati cabang Serang-kini

STAIN Maulana Yusuf Banten (1997-1999), STAIN Me, dan Institut Perguruan

Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta tahun 1985.7

Beliau juga mengajar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta tahun 1986,

Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia (UII) kelas jauh di Serang

Banten tahun 2005-2008, Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

(UMJ) tahun 1998-2002, Pasca Sarjana Universitas Indenesia (UI) tahun 2002-

2006, dan Pasca Sarjana Universitas Ibnu Kholdun (UIK) Bogor tahun 2006,

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Institus Agama Islam

Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang tahun 2009, Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Raden Intan Lampung, Institut Agama Islam Banten tahun 2000-2003,

Institut Agama Islam Negeri Serang tahun 1999-2002, Sekolah Tinggi Agama

Islam Negeri (STAIN) Serang tahun 1996-1998, sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri (STAIN) Metro Lampung tahun 1995-2003. Universitas Tri Sakti tahun

2007-2009, Universitas Islam Djakarta tahun 2002, Kolej Universiti Islam

Malaysia 2006, Universitas Muhamadiyah Solo tahun 2007, Universitas

Muhamadiyah Sumatera Barat tahun 2008, Akademi Pengajian Islam Bidang

Syariah dan UU Universiti Malaya Kuala Lumpur tahun 2006, dan Universitas

Islam Negeri Jakarta baik di Fakultas Syariah dan Hukum maupun di Pasca

Sarjana.8

7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 385.

8 Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 135.

Page 75: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

63

Tugas utama dan pertama Mugammad Amin Suma yaitu sebagai Guru

Besar di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tepatnya pada

Fakultas Syariah dan Hukum. Terutama sebagai pengampu mata kuliah-mata

kuliah tertentu pada program S-2 (Magister) dan S-3 (Doktor). Muhammad Amin

Suma Juga aktif menjadi Dosen pada Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Quran

(LBIQ) tahun 1996 dan Kordinasi Dakwah Islamiyah (KODI) tahun 1997, yang

keduanya milik Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bahkan juga aktif

mengasuh kajian al-Quran di Majelis Taklim Ulinuha Jakarta Design Center

(JDC) dan Kajian Intensif Agama Islam pada Badan Dakwah Islamiyah (BDI)

Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta.9

Tafsir Ahkam dan Hadis Ahkam merupakan mata kuliah utama yang

diasuhnya hingga sekarang terutama di lingkungan Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mantan Dekan Fakultas Syariah IAIN-kini

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dua periode yaitu periode pertama

tahun (1998-2002) kemudian terpilih kembali menjadi Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum pada tahun (2006-2014) ini telah cukup lama mengasuh mata kuliah

yang berlebelkan Hukum Islam. Beliau juga mengajar Metodologi Penemuan

Hukum Islam dan Ushul Fiqih pada Program S-2 maupun S-3 pada perguruan

tinggi yang telah disebutkan di atas. Perbandingan Hukum merupakan mata kuliah

lain yang tetap beliau minati dalam kancah keilmuan bersama-sama dengan team

teaching yang lain baik dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun

yang lain-lainnya.10

9 Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I, h. 164.

10 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2013), h. 146.

Page 76: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

64

Masalah tentang karir Muhammad Amin Suma memulainnya dari asisten

dosen, Lektor dan kemudian Guru Besar setelah menjalani semua dan setiap tahap

kepangkatan akademik. Hanya dari Lektor ke Guru Besar Madya yang ia jalani

melompat tanpa melalui Pangkat Lektor Kepala, selebihnya semuanya benar-

benar dijalani tahap demi tahap.11

Karir dalam bidang administratif-birokrasi dimulainya dari seorang staf di

Fakultas Syariah (1981-1981), kemudian dari tahun ketahun secara diagonal terus

menapakinya menjadi Kepala Seksi Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Syariah

(1982-1984), Kepala Seksi Pendidikan dan Pengajaran Fakultas Syariah (1984-

1986), Koordinator Praktikum Fakultas Syariah (1989-1990), Ketua Jurusan

Peradilan Agama Fakultas Syariah (1990-1992), Kepala Pusat Pengabdian Pada

Masyarakat IAIN Syarif Hidayatullah (1992-1995), Kepala Pusat Penelitian IAIN

(1995-1998), dan kemudian Dekan Fakultas Syariah (1998-2002), Hakim Ad.Hoc

HAM pada Pengadilan Tinggi Jakarta (2002-2006), Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2002-2006) dan (2010-2014).12

Aktifitas lainnya, beliau juga terlibat aktif dengan dunia dahwah yakni

sebagai penceramah dan komentator (hukum Islam). Melalui berbagai mimbar

terutama mimbar jum’at dan ceramah-ceramah pada puluhan dan bahkan mungkin

ratusan masjid dan tempat-tempat lainnya dalam kalangan masyarakat luas

termasuk melalui media elektronik dalam hal ini televisi khususnya TPI, TVRI,

ANTV, dan SCTV bahkan juga pernah pada RCTI dan Metro TV, serta beberapa

radio seperti radio Fimale dan terutama F.M. Moeslem Aththahiriyyah.13

11

Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 22 12

Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 22. 13

Muhammad Amin Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001),

h. 205.

Page 77: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

65

Selain tergolong sering menulis dalam beberapa media cetak tertentu,

mantan pengasuh Majlis Mudzakarah Majalah Panji Masyarakat (1990-1991) dan

pengasuh Ruang Tanya Jawab Hukum Tabloid Gema Takbir (1998), dan juga

merupakan salah seorang pengasuh ruang konsultan hukum, khususnya hukum

Islam di Majalah Pembina Rohani (2004). Beliau juga terus aktif dan tergolong

produktif dalam mengabdi kepada masyarakat luas melalui penggalian dan

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Ilmu Hukum dengan

Hukum Islam sebagai titik sentral kajiannya.

Ia juga merupakan anggota pusat Pengkajian Hukum Islam Departemen

Agama Republik Indonesia, ini juga tercatat sebagai anggota Tim Pakar Hukum

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia pada

tahun 2002. Juga sebagai anggota tim Revisi Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana. Beliau juga tergabung sebagai Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran

(PSQ) Jakarta. Selain itu juga beliau pernah menjadi anggota tim penulis dan

editor Ensiklopedia Islam Indonesia, anggota Tim Penulis dan Editor

Ensiklopedia Islam dan Ensiklopedia Hukum Islam.14

Selain itu juga, sungguhpun Muhammad Amin Suma menamatkan semua

pendidikan formalnya di Tanah Air Indonesia, tidak berarti cendikiawan muslim

ini asing dengan pengalaman luar negeri, dan untuk mengembangkan pengetahuan

dan wawasan pengalaman, Amin Suma pernah mengunjungi beberapa negara.

Selain Saudi Arabia dalam rangka menunaikan ibadah haji dan anggota tim

pembimbing haji Indonesia tahun 1991-1996, beliau juga pernah ke Kairo Mesir

14

Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I, h. 165.

Page 78: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

66

(1998) untuk penelitian dan ke Mc Gill University Canada (1998) untuk

mengikuti kursus management pada kegiatan Senior Manager Program.15

Masih dalam kegiatan kunjungan atau pengalaman luar negerinya, beliau

juga pernah ke beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura (1996, 1998,

1999 dan 2000), Malaysia (1999 dan 2000), Brunei Darussalam (1999) dan

Thailand (2000). Terutama dalam kegiatan dengan penelitian tentang “Studi

Kukum Islam di kawasan Negara-Negara Asia Tenggara”. Dan pada bulan Juli

2001 beliau juga pernah mengunjungi Australia atas nama Komisi Fatwa Majlis

Ulama Indonesia (MF MUI). Kunjungannya tersebut tiada lain dalam rangka

melakukan penelitian ilmu-ilmu keislaman khususnya di bidang hukum islam.

Kunjungan luar negeri lainnya yaitu ke Abu Dhabi dalam rangka

penelitian penyelesaian sengketa ekonomi Islam di pengadilan (2008), Amerika

Serikat seminar Konfrensi Agama-agama (2008), Australia Sembelihan kerjasama

UIN Jakarta dengan Melbron University (2001 dan 2009), Bahrain observasi

penyelesaian sengketa ekonomi Islam (2008), Belanda mengikuti sidang Majelis

Ifta Negara-negara Eropa (2006 dan 2007), Iran sebagai pemakalah dalam seminar

internasional (2010), Turky dalam rangka Safari Syar’i (2008).16

Dalam dunia organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan,

Muhammad Amin Suma pernah aktif di Pelajar Islam Indinesia (PII) pada tahun

1972-1974 dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1975-1979, Ketua

Ikatan Remaja As-Sa’adah pada tahun 1976-1977, Ketua Ikatan Remaja Kampung

Utan Selatan (IRKUS) pada tahun 1977-1980, Ketua Umum Humpunan

15

Muhammad Amin Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II, h. 206. 16

Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 136

Page 79: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

67

Mahasiswa Banten (HMB) Ciputat pada tahun 1980-1982, dan Wakil Ketua

Badan Urusan Peribadatan dan Dakwah (BUPERDA) Masjid Fatullah IAIN

(UIN) Jakarta. Selain itu juga beliau merupakan sebagai salah satu pendiri Ikatan

Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat, ICMI Orwil DKI Jakarta dan

juga merupakan mantan Ketua ICMI Orsat Ciputat selama dua periode yakni pada

tahun 1991-1993 dan 1993-1996.17

Selain itu juga beliau tercatat memiliki sejamlah jabatan penting yang

pernah di jabatnya, antara lain sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama

Indonesia (MUI) padda tahun 1995-2010, Presidium Korp Himpunan Mahasiswa

Islam (KAHMI) Rayon UIN Jakarta tahun 2010-2015, Pembina Lembaga

Dakwah Kampus (LDK) UIN Jakarta tahun 1998-2010, Wakil Ketua Dewan

Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim ORWIL DKI Jakarta tahun 2005-2010, Ketua

Umum Majelis Perdagangan tahun 2003-2008, Anggota Dewan Syariah Nasional

(DSN), anggota Dewan Pembina Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh BAZIS)

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dewan Pertimbangan Syariah Baitul

Mal Umat Islam (BAIMUS), Ketua Dewan Pengawas Syariah Asuransi jiwa,

Ketua Dewan Pengawas Syariah Asuransi Adira Syariah, Ketua Dewan Pengawas

Syariah Bank Permata Syariah, Direktur Yayasan Tanmia Insani, dan Ketua

Umum Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) pada tahun

2008-2013.18

Sebagai Profesor, yang telah berhasil menggondol 9 lembar ijazah di luar

surat pengangkatan dan pengukuhannya sebagai guru besar pada tahun 1997, kini

17

Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 130 18

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia (Tangerang: Lentera Hati,

2015), h. 267.

Page 80: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

68

tetap terlibat aktif dan eksis dalam kancah tri dharma perguruan tinggi. Termasuk

di dalamnya melakukan aktifitas penelitian di samping kegiatan pendidikan dan

pengajaran (Dikjar) serta pengabdian pada masyarakat. Rangkaian aktifitas

panjang yang telah dikemukakan sebelumnya ini, belum termasuk yang tidak

sempat tertuliskan, mudah-mudahan dapat melengkapi partisipasinya dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap tuntutan tri dharma perguruan tinggi.

Masih dalam kaitan dengan prestasi pengajaran, dekan yang oleh

rektornya pada waktu itu (Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA) disemati julukan hiper

aktif dan oleh mahasiswa IAIN (UIN) Jakarta pernah dinyatakan sebagai dosen

terbaik dan terpopuler ke VI di Fakultas Syariah dan Hukum. Selain itu

Muhammad Amin Suma merupakan pemilik gelar akademik terbanayak

(Profesor, Dr, Drs, BA, SH, MA, MM) yang diselesaikannya dalam waktu cepeat,

sehingga beliau dinobatkan sebagai Guru Besar termuda di Universitas Islam

Syarif Hidayatullah Jakarta tepatnya di Fakultas Syariah dan Hukum pada tahun

1997.19

Muhammad Amin Suma pernah mendapatkan piaham penghargaan tanda

kehormatan Satyalencana Karya Satya 10 tahun dari Presiden Republik Indonesia

yang pada waktu itu alm Abdurrahman Wahid (18 Desember 2000) dan piagam

kehormatan sebagai Putra Daerah Cilegon Terbaik (27 April 2002) dari Walikota

Cilegon, piagam tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya 20 tahun PNS oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005.20

Muhammad Amin Suma menyebut lingkungan kampus Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Ibu Almamater dan Induk Dapurnya,

19

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 268 20

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 386.

Page 81: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

69

Mantan Kepala Pusat Penelitiaan IAIN (UIN) Jakarta pada tahun 1996-1998, ini

telah menghasilkan sejumlah karya ilmiah dalam beberapa bidang keilmuan

khususnya keislaman. Di antara karya ilmiahnya dalam bidang hukum terutama

yang telah dipublikasikan ialah: “Kedudukan Qadha (Peradilan) dan Hukum

Menegakannya dalam Islam” (Risalah Sarjana Muda, 1998). “Studi Perbandingan

tentang Hukum Penjara Seumur Hidup dalam Hukum Pidana Islaam dan Hukum

Pidana Positif” (Risalah Sarjana, 1981). “Ijtihad Ibnu Taymiyyah dalam Bidang

Fiqih Islam” (Pustaka Firdaus, 2003). “Tafsir Ahkam I” (Jakarta: Logos, 1992).

“Pengantar Tafsir Ahkam” (Raja Grafindo Persada, 2001). “HAM [Hak Asasi

Manusia] dan KAM [Kewajiban Asasi Manusia] dalam Perspektif Hukum Islam”

dalam buku, Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional

(Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2002).

“Keadilan Hukum Waris Islam” (Raja Grafindo Persada, 2013).

Kawin Beda Agama di Indonesia (Lentera Hati, 2015). Hukum Keluarga

Islam di Dunia Islam (Raja Grafindo Persada) yang merupakan buku referensi

utama dalam pembahasan skripsi ini, dan masih banyak buku-buku yang lain yang

belum di sebutkan.

D. Guru-guru

Berbicara pendidikan Muhammad Amin Suma tentunya tidak terlepas

dari orang-orang yang berjasa dalam pendidikan beliau, sampai mengantarkan

beliau menjadi seorang Profesor dan Guru Besar di berbagai Universitas yang ada

di Nusantara khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif

Hidayatullah Jakarta. Adapun guru beliau diantaranya:

Page 82: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

70

1. K.H. M. Syadzali Hasan (w. 1400 H/1979 M)

Beliau merupakan guru tafsir Al-Quran yang benar-benar merangsang

Muhammad Amin suma saat-saat beliau menjadi santri di Madrasah Al-

Khairiyah Citangkil Cilegon Banten pada tahun 1974. Wawasan penafsiran

yang luas dan tutur katanya yang enak di dengar, sehingga membuat beliau

terobsesi menjadi seorang mufassir.

2. Prof. Dr. K.H. Peunoh Daly (1350-1416 H/1931-1995 M)

Peunoh Daly adalah dosen Tafsir Ahkam pada saat Muhammad Amin Suma

menjadi mahasiswa S-1 di Fakultas Syariah IAIN Jakarta (1975-1981) yang

kini menjadi UIN, beliau juga memaksa kepada Muhammad Amin Suma

mengasuh mata kuliah Ulumul Al-Quran dan terutama Tafsir Ahkam di saat-

saat Muhammad Amin Suma sedang berkonsentrasi pada Fiqih terutama Fiqih

Muamalah.

3. Prof. Dr. M Qurais Shihab, MA.

Adapun Qurais Shihab adalah guru besar Muhammad Amin Suma ketika

mengambil jenjang pendidikan S-3 (Program Doktor) pada Program

Pascasarjan IAIN Jakarta (1988-1989) yang banyak memberikan masukan

tentang kiat dan gaya penafsiran Al-Quran yang benar-benar piawai (alim)

dinamis dan menarik.21

4. K.H. Bahruddin Afif

Baharuddin Afif merupakan guru semasa Amin mondok di salah satu pondok

yang berada di daerah Citangkil Cilegon. Baharuddin merupakan ustad muda

21

Muhammad Amin Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II, h. xi.

Page 83: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

71

pada waktu itu, namun memiliki pemikiran dan pendidikan yang dewasa,

Baharuddin selalu menanamkan jiwa keilmuan dan keprilakuan itu seimbang.

Di sini Amin belajar ilmu-ilmu alat (Nahwu Shorof) dan ushul fiqih. Diantara

kitab-kitab yang diajarkan Mabadi al-Awaliyah, As-Sulam, al-Bayan.

5. K.H. Abdullah

K.H Abdullah merupakan Guru yang unik, dimana ia selalu mengajar dengan

gaya ceplas-ceplos dan ketika ada ujian apabila muridnya tidak bisa maka ia

selalu marah. K.H Abdullah selalu mengajarkan kitab-kitab fiqih salah satunya

kitab Kifayatul Akhyar, dan beliau selalu mempraktekan di samping teori.22

E. Karya-karya

Kehidupan akademis Muhammad Amin Suma sudah dimulai sejak lama

sampai beliau menjadi guru besar dan mengajar di berbagai Universitas di

Indonesia, dari menjadi Guru Besar, menjadi Ketua Dewan Syariah, sampai

menjadi Hakim Ad Hoc HAM. Beliau juga termasuk orang yang produktif dalam

menulis, sehingga tidak salah kalau karya-karya beliau sudah banyak termasuk

buku-buku yang beliau tulis. Adapun buku-buku yang beliau tulis diantaranya

adalah :

1. Buku Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fiqih Islam (1990)

2. Buku Studi Perbandingan tentang Hukum Penjara Seumur Hidup dalam

Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif (1991)

3. Buku Tafsir Wa Ulumuh I (1992)

4. Buku Quran Hadis I (1992)

22

Wawancara Pribadi dengan Muhammmad Amin Suma. Jakarta, 14 Maret 2016.

Page 84: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

72

5. Buku Quran Hadis II (1998)

6. Buku Pluralisme Agama (2004)

7. Buku HAM (Hak Asasi Manusia) dan KAM (Kewajiban Asasi Manusia)

dalam Perspektif Hukum Islam (2002)

8. Buku Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan

lainnya di Negara Hukum Indonesia (2007)

9. Buku Lima Pilar Islam (2006)

10. Buku Asuransi Syariah dan Konvensional (2007)

11. Buku Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam (2008)

12. Buku Kedudukan dan Peran Hukum Islam di Negara Hukum Islam (2009)

13. Buku Membangun Ekonomi Negeri Berbasis Kitab Suci (2009)

14. Buku Ensikloedi Islam Indonesia (1992)

15. Buku Ensiklope Islam (1993)

16. Buku Ensiklopedi Hukum Islam (1997)

17. Buku Ensiklopedi al-Quran (1997)

18. Buku Ensiklopedi Dunia Islam (1999)

19. Buku Ensiklopedi Hukum Islam (2007)

20. Buku Kedudukan Qadha (Peradilan) dan Hukum Menegakannya dalam Islam

(1998)

21. Buku Tafsir Ahkam I (1997)

Pembahasan yang digunakan dalam penyusunan buku ini dilakukan dengan

menuliskan ayat yang bertalian dengan topik yang dibahas, kemudian diikuti

Page 85: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

73

dengan terjemahan, makna mufrodat, makna global, sebab nuzul, serta

kemudian menjelaskan dan terakhir istimbath hukum.23

22. Buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I (2000)24

Buku ini merupakan kumpulan bahan-bahan kuliah yang diberikan di

beberapa perguruan tinggi dan juga makalah-makalah serta tulisan ilmiah

yang disampaikan untuk dibahas di dalam petemuan-pertemuan ilmiah.

23. Buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II (2001)

Pada hakikatnya buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II ini merupakan kelanjutan

dari buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I. Buku II bermaksud ingin membantu

pembaca terutama para mahasiswa yang berminat untuk lebih memperdalam

ilmu tafsir yang merupakan bahagian paling signifikan dan Ilmu-Ilmu Al-

Quran pada umumnya.25

Lebih dari itu buku ini juga bertujuan mendorong

calon-calon mufassir berlatih menafsirkan Al-Quran secara mandiri dengan

berguru kepada mufassir-mufassir klasik maupun kontemporer yang dapat

ditelusuri melalui pendekatan sejarah tafsir dan mufassir yang telah berjalan

demikian panjang.

24. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran III (2004)

Buku ini merupakan rangkaian atau lanjutan buku-buku sebelumnya yaitu

Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I dan Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II. Buku ini

membahas ilmu-ilmu tertentu yang memiliki peranan penting dalam

menafsirkan Al-Quran. Dan dalam rangka mempermudah pemahaman itu

23

Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam I (Tangerang: Wacana Ilmu, 1997), h. 3. 24

Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I, h. 3. 25

Muhammad Amin Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II, h. 12.

Page 86: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

74

pula dalam muqaddimah dibuatkan bagan yang menggambarkan input dan

sekaligus Output Al-Quran dihubungkan dengan ilmu pengetahuan.26

25. Buku Pengantar Tafsir Ahkam (2001)

Buku ini mengemukakan tentang batasan dan istilah tafsir ahkam. Model dan

langkah-langkah penafsiran ayat-ayat hukum, yang di dalamnya dibahas

tentang penafsiran Al-Quran yang ideal, studi tafsir ahkam di Mesir dan di

Indonesia.27

26. Buku Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (2005)

Berbicara manengenai Sitem Hukum di Dunia pada kenyataannya memang

menunjukan bahwa isi hukum dimana-mana tidak ada yang sama dengan kata

lain tidak ada yang namanya Hukum Dunia. Malah tidak jarang dalam satu

negara atau masyarakat hukum, berlaku sistem hukum yang berbeda.

27. Buku Keadilan Hukum Waris Islam (2013)

Buku ini memfokuskan pada kasus-kasus tertentu dan dengan pola pikir

tertentu pada perimbangan pembagian 2:1 untuk laki-laki dan perempuan.

Sehingga seolah-olah Hukum Kewarisan Islam itu selalu dan melulu

memberikan dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan..28

28. Buku Kawin Beda Agama di Indonesia (2015)

Sesuai dengan judulnya, buku ini memberikan argumentasi tambahan

bagi para pembaca umumnya dan para calon pelaku pernikahan beda agama

khususnya untuk kemudian menetapkan pilihan antara terus melangsungkan

26

Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004),

h. 32. 27

Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2001), h. 24. 28

Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h. 4.

Page 87: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

75

pernikahan beda agama dengan kemungkinan resiko yang sedikit banyak

akan mengganggu keberlangsungan pasangan berbeda agama dan/atau

keluarganya kelak, atau lebih baik mengurungkan niatnya untuk melakukan

pernikahan beda agama dengan mempertimbangkan demi kemaslahatan

rumah tangga jangka panjang daripada semata-mata mengejar kebahagiaan

jangka pendek, tepatnya memenuhi selera cinta.29

29. Dan ratusan makalah, artikel dan lain-lainnya yang sulit untuk dituliskan satu

persatu.

Dari karya-karya beliau di atas, harapan kita khususnya penulis semoga

semua karya beliau termasuk kedalam deretan ilmu-ilmu yang beramanfaat

kedapan dan atau dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas. Seperti halnya

dengan karya-karya yang lainnya.

29

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 14.

Page 88: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

76

BAB IV

POKOK-POKOK PEMIKIRAN MUHAMMAD AMIN SUMA DALAM

BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

A. Konsepsi Perkawinan

1. Penngertian Perkawinan

Amir Syarifuddin bependapat bahwa, dalam pandangan Islam di samping

perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, juga merupakan sunnah Allah dan

sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam

penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah

ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.1 Hal serupa

juga diungkapkan Sayyid Sabiq seperti yang ditulis Abdul Rahman Ghozali,

perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk

tuhan.2 Kemudian Kompilasi Hukum Islam mempertegas dalam pasal 2 bahwa

melaksanakan perkawinan merupakan ibadah.

Hal berbeda diungkapkan Nur Yasin, bahwa perkawinan atau pernikahan

merupakan perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang

wanita. Perjanjian yang dimaksudkan di sini bukan sembarang perjanjian,

seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah

adalah perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan suci. Di sini dilihat dari segi keagamaannya.3

1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014), h. 41 2 Abdul Rahman Ghazali,, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 10

3 Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN-Malang Pers, 2008), h. 55

Page 89: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

77

Sedangkan menurut Muhammad Amin Suma, hakikat dari pekawinan

ialah akad lahir-batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang

perempuan sebagai sebagai isteri berdasarkan niat dan tujuan bersama

keduanya untuk membentuk suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan

kekal berdasaran prinsip-prinsip hukum Islam.4

Berkenaan dengan takrif/definisi perkawinan, Muhammad Amin Suma

menjelaskan bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum yang dilakukan

dengan bentuk akad atau kontrak (contract). Perkawinan dalam hukum Islam

ialah sebuah kontrak, dan seperti halnya semua kontrak-kontrak yang lain,

perkawinan disimpulkan melalui pembinaan suatu penawaran (ijab) oleh satu

pihak dan pemberian suatu penerimaan (Qabul) oleh pihak yang lain. Bukan

bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi wajib, sepanjang maksudnya

dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad perkawinan adalah jelas (sah)5.

Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa pernikahan itu tidak termasuk

ke dalam perbuatan ibadah murni meskipun mengandung nilai-nilai ubudiah.

Intinya, perkawinan itu bukanlah ibadah dalam arti ibadah murni, namun lebih

merupakan bagian integral dari perbuatan duniawi tepatnya urusan muamalah

layaknya perbuatan jual-beli/bisnis, sewa-menyewa, gadai, dan lainnya.6

Ada beberapa alasan yang diungkapkan, mengapa perkawinan itu

bukanlah ibadah dalam arti ibadah murni melainkan lebik kepada urusan atau

perbuatan muamalah, diantaranya:7

4 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia (Tangerang: Lentera Hati,

2015), h. 24. 5 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 50. 6 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 91.

7 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 92-93.

Page 90: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

78

Pertama, seperti halnya perkawinan yang dilakukan pasangan non muslim

itu hukumnya tetap sah. Kalau perkawinan itu dikategorikan ke dalam

perbuatan ibadah, maka seharusnya akad perkawinan yang dilangsungkan oleh

pasangan non muslim itu hukumnya tidak sah, ini menunjukan pengakuan sah

semua perkawinan yang dilakukan oleh pasangan non muslim.

Kedua, tujuan utama dari suatu perkawinan pada dasarnya dan pada

umumnya adalah untuk memenuhi kebutuhan syahwat pribadi, sedangkan

tujuan dari amal ibadah ialah demi amal yang semata-mata karena Allah.

Ketiga, dari definisi akad nikah itu sendiri yang mencerminkan keberadaan

dua belah pihak dalam hal ini suami dan istri yang harus dilakukan dengan

melalui ijab-kabul yang menjadi rukun sebuah pernikahan.

Keempat, fakta lain adalah kenyataan penempatan kajian atau tepatnya

pembahasan pernikahan dalam hampir semua literatur tafsir, hadis, dan

terutama kitab-kitab fiqih, di mana meletakan pernikahan dalam kelompok

kitab/bab “al-mu’amalat” bahkan tidak ada yang mencantumkannya di dalam

bagian kitab/bab “al-ibadat”.

Kelima, harus adanya para saksi nikah minimal dua orang dan harus ada

wali nikah bagi pihak perempuan, minimal menurut sebagian ulama. Inilah

sebabnya mengapa anak kecil tidak boleh menjadi wali dan saksi dan

pernikahan seperti halnya dalam perbuatan muamalat, karena sesengguhnya

dalam ibadah itu tidak diperlukan saksi.8

8 Wawancara Pribadi dengan Muhammad amin Suma. Jakarta 8 Maret 2016.

Page 91: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

79

Keenam, yang membedakan ibadah dan muamalah ialah, dalam muamalah

harus adanya akad seperti ibab-kabul dalam pernikahan, sedangkan dalam

ibadah adalah niatnya.9

Ketujuh, dalam sebuah hadis tidak menjelaskan bahwa nikah adalah

ibadah tetapi nikah merupakan sunnah, sunnah disitu menunjukan kesunahan

para nabi, sehingga nikah mengandung ibadah dan sebagai sarana

peribadatan.10

Dari beberapa pendapat di atas tersebut jelas bahwa baik menurut

Kompilasi Hukum Islam yang sama hlnya dengan Amir Syarifuddin, Nur

Yasin, dan Muhammad Amin Suma, masing masing mempunya pandangan

yang berbeda mengenai Konsep Perkawinan. Namun demikian bahwa sebuah

perkawinan mempunya tujuan dan akibat hukum yang ditimbulkannya.

Mengambil pendapat dari Muhammad Amin Suma, menurut penulis

pendapat ini bisa dijakikan sebagai argumentasi bagi seseorang yang mudah

sekali mengatakan kalau melakukan perkawinan itu adalah sebuah ibadah,

sehingga dijadikan alasan untuk melakukan poligami. Memang betul ada ruang

untuk melakukan ibadah, akan tetapi bukanlah ibadah dalam arti ibadah

mahdhah (murni) melainkan bentuk perbuatan hukum muamalah yang

mengandung atau berdimensikan nilai-nilai ubudiah.

Pengertian tersebut akan memperoleh pahalan jika dilakukan sesuai

dengan prinsip-prinsip syariah dan akan berdosa manakala pelaksanaannya

bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah tersebut.

9 Wawancara Pribadi dengan Muhammad amin Suma. Jakarta 8 Maret 2016.

10 Wawancara Pribadi dengan Muhammad amin Suma. Jakarta 8 Maret 2016.

Page 92: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

80

Sehingga hal-hal yang paling penting yang harus di garis bawahi dalam

alasan-alasan di atas ialah, pendapat para ulama yang mengatakan bahwa

nikah/kawin tidak tergolong kedalam lingkup perbuatan ibadah murni, akan

tetapi lebih tepat tergolong ke dalam perbuatan hukum muamalah meskipun

tetap masih berdimensikan nilai ubudiah.

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius dikalangan

Fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan apa yang

termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu terjadi dalam

menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Jadi bisa jadi

sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama yang lain menyebutnya

sebagai syarat.11

Begitu juga dengan pendapat para tokoh lain dalam bukunya, Achamad

Khuzairi memilih unsur-unsur akad nikah ketimbang rukun atau syarat

perkawinan.12

Muhammad Baqir al-Habsyi lebih memilih rukun dan

persyaratan akad nikah.13

Idris Ramulyo menggunakan rukun dan syarat yang

sah menurut hukum Islam.14

Ulama fiqih menyatakan bahwa rukun nikah itu adalah kerelaan hati kedua

belah pihak (laki-laki dan perempuan). Karena kerelaan adalah hal yang

tersembunyi di dalam hati, maka itu harus diungkapkan melalui ijab dan kabul.

11

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2004), h. 60. 12

Ahmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 34. 13

Muhammad Baqir al-Habsyi, Fiqih Praktis Seputar Perkawinan dan Warisan, (Bandung:

Mizan, 2003), h. 71. 14

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Askara, 1996), h. 49.

Page 93: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

81

Adapun syarat adalah sesuatu yang tidak menyebabkan sesuatu yang lain itu

menjadi tiada walaupun keberadaannya akan menjadi kurang atau tidak ideal

(sempurna) tanpa keberadaan syarat tersebut.

Menurut Syafi’iyyah berkenaan dengan rukun, bagi mereka ada lima,

calon suami, calon istri, dua orang saksi, dan sighat. Menurut Malikiyah, rukun

nikah ada lima, wali, mahar, calon suami, calon istri, dan sighat. Malikiyah

tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan Syafi’i menjadikan dua

orang saksi sebagai rukun dalam perkawinan. Sedangkan Hanafiyah rukun

nikah haya terdiri dari ijab dan kabul saja.

Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqaha, rukun nikah terdiri dari

al-Ijab dan al-Qabul. Lafal akad, harus dari kata nikah, tazwij atau maknanya

tidak boleh dari kata kiasan seperti kata halal, milik atau hibah. Dalam

pelaksanaan akad nikah boleh didahulukan lafal “kabul” pihak suami daripada

lafal “ijab” yang diucapkan pihak wali, karena maksud pernikahan akan

berhasil juga.15

Memperhatikan rukun nikah yang dikemukakan oleh para ulama berbagai

mazhab, dapat disimpulkan bahwa rukun nikah yang disepakati oleh semua

kalangan mazhab fiqih ( Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah)

ialah cuma al-ijab wa al-qabul (ijab-kabul). Dalam pada itu, ulama fiqih juga

ada yang tegas-tegas menetapkan bahwa rukun hakiki dari suatu akad nikah

sejatinya adalah terletak pada “ijab-qabul” tidak pada yang lainnya. Sehinggga

hal inilah yang menjadi substansi mutlak dari pelaksanaan akad nikah.16

15

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 74. 16

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 39-40.

Page 94: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

82

Sehingga atas dasar di atas Muhammad Amin Suma berpendapat, adanya

wali nikah, boleh jadi lebih didasarkan pada pertimbangan hubungan moral

atau etika di mana ayah mempelai perempuan khususnya atau wali-wali yang

lain pada umumnya, telah menanamkan jasa sedemikian rupa melalui

pemberian kasih sayang dan lain-lain dalam waktu yang sangat lama selama

dia belum menikah. Adapun terkait dengan saksi nikah yang minimal harus dua

orang, itu sangat berhubungan erat dengan penyelenggaraan nikah maupun

keberlangsungan dari akad nikah itu sendiri dari kemungkinan gangguan orang

lain yang boleh jadi menganggap atau dianggap belum memiliki suami atau

isteri. Sedangkan terkait dengan mahar, menurut Muhammad Amin Suma,

lebih dimaksudkan sebagai simbol rasa tanggung jawab seorang suami

terhadap isteri dan anak-anaknya, karena mustahil untuk dipertahankan

seabadi mungkin tanpa ditopang oleh kecukupan ekonomi dan keuangan.17

Poinnya, Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa keberadaan wali

nikah, saksi nikah, dan mahar, itu tetap menjadi rangkaian yang juga penting

keberadaannya dalam proses akad nikah meskipun kedudukannya tidak sampai

ke dalam derajat rukun nikah. Sebab yang menjadi rukun nikah adalah akad

ijab-kabul yang dirajut oleh kedua mempelai. Sedangkan untuk wali, saksi, dan

mahar lebih cenderung ditempatkan ke dalam syarat-syarat perkawinan,

Berkenaan dengan rukun perkawinan juga, Kompilasi Hukum Islam

menempatkan wali dan saksi sebagai rukun dalam perkawinan. Pasal 19

menyebutkan, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

17

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 43.

Page 95: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

83

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.

Begitupun dengan pasal 24 yang menyebutkan, saksi dalam perkawinan

merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Sedangkan UU Perkawinan tidak

mengenal adanya rukun perkawinan, hanya memuat hal-hal yang berkenaan

dengan syarat-syarat perkawinan. Hal tersebut bisa dilihat pada Bab II pasal 6

hanya ditemukan syarat-syarat perkawinan.

3. Kafa’ah dalam Perkawinan

Kufu adalah hak wali dan hak perempuan yang akan kawin. Dalam suatu

perkawinan, apabila pihak wali dan perempuan yang bersangkutan sudah

sepakat mengabaikan kufu maka pernikahannya sah. Yang dimaksud kufu

dalam perkawinan adalah adanya kesamaan derajat antara suami dan isteri,

kesamaan itu dipandang dari berbagai segi. Adapun norma kufu antara seorang

wanita dengan laki-laki ada lima macam, ialah:18

a. Tidak cacat jasmani dan rohani (gila)

b. Merdeka

c. Keturunan (nasab)

d. Iffah, yaitu kesalehan dan ketaatan kepada agama

e. Hirfah, yaitu pencaharian sebagai sumber nafkah

Menurut jumhur ulama (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali) bahwa

kafa’ah itu ada dan merupakan syarat lazim dalam pernikahan. Kemudian

diperkuat lagi oleh Wahbah Zuhaili, alasan logika yang dikemukakan adalah

bahwa kebahagiaan rumah tangga biasanya akan terwujud jika dilakukan oleh

orang-orang yang sekufu. Dengan kata lain, bahwa lajunya bahtera sangat

18

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 78.

Page 96: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

84

ditentukan oleh orang-orang yang sekufu. Meskipun para ulama berbeda

pendapat tentang ukuran kafa’ah.19

Sesuai dengan ayat al-Quran, hadis ataupun pendapat ulama, dapat

disimpulkan bahwa unsur Kafa’ah yang telah diepakati oleh ahli hukum Islam

ialah adanya kesesuaian atau tepatnya kesamaan dalam hal agama dalam hal ini

sama sama agama Islam. Sedangkan kesamaan dalam hal lain seperti ekonomi,

sosial, keturunan dan yang lainnya, posisi ke-Kafa’ah-annya tidak disepakati

oleh semua ulama karena berlainan.20

Menurut Hasan Basri, al-Tsauri dan al-Kharhi, bahwa kafa’ah bukanlah

merupakan syarat asal, bukan syarat sah suatu pernikahan, dan bukan pula

syarat luzum. Menurut mereka sahnya suatu perkawinan tidak ditentukan oleh

apakah pernikahan itu dilangsungkan antara orang yang sekufu atau tidak.21

Para ahli fiqih Islam berbeda-beda pendapatnya dalam memberikan kriteria apa

saja yang tergolong ke dalam instrumen Kafa’ah.

Amir Syarifuddin dalam bukunya menjelaskan, yang dijadikan standar

dalam penentuah Kaafa’ah itu adalah status sosial pihak perempuan karena

dialah yang akan dipinang oleh laki-laki untuk dikawini. Laki-laki yang akan

mengawininya paling tidak harus sama dengen perempuan, seandainya lebih

tidak menjadi halangan. Seandainya pihak istri dapat menerima kekurangan

laki-laki yang kurang status sosialnya sehingga dikatakan si laki-laki tidak

sekufu dengan istri.22

19

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 81. 20

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 58. 21

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2011), h. 81. 22

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 141.

Page 97: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

85

Menurut Muhammad Amin Suma didasarkan pada keumuman ayat al-

Quran dan matan Hadis tidak secara langsung menyebutkan ihwal Kafa’ah,

dan memperhatikan pendapat para ulama berbagai mazhab yang tidak

menyertakan eksistensi Kafa’ah fi ad-din apalagi Kafa’ah di luar agama ke

dalam syarat sah nikah maupun ke dalam rukun nikah. Dengan kalimat lain,

posisi Kafaah fi ad-din dalam suatu pernikahan, pada dasarnya dapat dikatakan

bukan hal yang dharuriyat (kebutuhan primer) sehingga tidak dijadikan

sebagai rukun nikah, melainkan lebih menempati posisi Hajiyat (skunder).

Sedangkan Kafa’ah dalam bidang yang lain bersifat umum, seperti status

sosial, pendidikan, keturunan, etnik dan yang lainnya, hanya termasuk kedalam

hal-hal yang bersifat tahsiyat/takmiliyat (pelengkap).23

Sehingga Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa Kafa’ah di luar

agama, hukumnya hanya mubah atau setinggi-tingginya hanya sunnah

(anjuran) yang dapat dikatakan sepenuhnya menjadi hak perdata (individu)

masing-masing calon mempelai untuk menjadikan atau tidak menjadikannya

sebagai salah satu Kafa’ah yang menjadi dasar pertimbangan untuk

melangsungkan rangkaian akad pernikahan yang hendak dilaluinya.24

Karena

yang paling terpenting adalah bagaimana antara suami dan isteri bisa

membangun kesesuaian harmonisasi dalam rumah tangganya.25

Melihat dari beberapa pendapat di atas jelas ada perbedaan menempatkan

posisi Kafa’ah dalam suatu perkawinan. Ada yang memposisikan Kafa’ah

dalam keturunan, agama, status sossial, dan lainnyaa. Namun seskiun demikian

23

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia , h. 60. 24

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 61 25

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma.Jakarta 8 Maret 2016.

Page 98: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

86

posisi Kafa’ah tidak dijadikan sebagai rukun perkawinan melainkan hanya

sebagaai kebutuhan dan pilihan. Sehinga yang perlu diperhatikan adalah sikap

hidup yang lurus, bukan karena keturunan, pekerjaan, dan sebagainya.

Kalau kita melihat beberapa pendapat, Kafa’ah tidak tergolong ke dalam

rukun nikah dan bahkan juga tidak ada yang mencantumkan sebagai salah satu

syarat sah dari sahnya pernikahan. Dengan demikian ststus Kafa’ah dalam

pernikahan tidak serta merta harus disimpulkan menjadi wajib hukumnya

secara mutlak. Karena perintah Kafa’ah tidak spesifik hanya diarahkan kepada

orang beriman, akan tetapi lebih bersifat umum kepada semua umat manusia

secara keseluruhan. Meskipun demikian bukan berarti Kafa’ah dalam suatu

perkawinan tidak penting, tetapi kita juga harus melihat kebaikan yang ada

dalam Kafa’ah.

4. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yangserius oleh fiqih,,

sehingga dalam kitab-kitab fiqih konvensional tidak pernah dibicarakan.

Namun, bila diperhatikan ayat tentang mudayanat (utang piutang) QS. Al-

Baqarah 282 mengisyaratkan adanya bukti autentik sangat diperlukan untuk

menjaga kepastian hukum. Bahkan secara redaksional menunjukan bahwa

catatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan persaksian

menjadi salah satu rukun yang harus dilaksanakan.

Ada beberapa faktor mengapa pada zaman dahulu perkawinan tidak

dicatatkan. Pertama, budaya tulis-baca khususnya di kalangan orang arab

jahiliyah masih jarang. Oleh karena itu orang arab mengandalkan pada daya

Page 99: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

87

ingat (hafalan) ketimbang tulisan. Kedua, perkawinan bukan syariat baru

dalam Islam. Ia merupakan syariat nabi-nabi terdahulu secara terus menerus

diturunkan. Ketiga, pada masyarakat zaman dulu nilai-nilai kejujuran dan

ketulusan dalam menjalankan kehidpan masih sangat kuat sehingga sikap

saling percaya dan tidak saling mencurigai menjadi fundamen kehidupan

masyarakat. Keempat, problematika hidup pada zaman dahulu masih sederhana

belum sekompleks dan serumit zaman sekarang ini.26

Perkawinan tidak dicatat adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan

syarat sesuai dengan Hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan atau belunm

dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sebagaai Unit peleksanaan Teknis Dinas

Intansi Pelaaksana di wilayah kecamatan setempat. sebagaimana ditentukan

UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.27

Menurut Muhammad Amin Suma, semua dan setiap Perkawinan yang

dilangsungkan di wilayah negara hukum Indonesia, harus (wajib) dicatat oleh

petugas pencatat nikah.28

Negara telah mewajibkan pencatatan nikah melalui

peraturan perundang-undangannya, hal ini juga mendapat dukungan kuat

sesuai dengan ayat al-Quran yang memandang penting pencatatan suatu

perbuatan hukum muamalah termasuk Pernikahan. Sehinga pencatatan

Pernikahan wajib dan harus dijalankan.29

Hal tersebut bisa kita lihat dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat (2) yang

menyatakan bahwa, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

26

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional. ( akarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.), h. 129 27

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar

Grafika), h. 153. 28

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 27. 29

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 8 Maret 2016.

Page 100: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

88

undangan yang berlaku. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan pasal

5 ayat (1), agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagai masyarakat Islam,

setiap perkawinan harus dicatat.

Berkenaan dengan persoalaan pencatataan perkawinan, ada dua pandangan

yang berkembang. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan

perkawinan tidak menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan

persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan.

Kedua, pandaangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap

menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.30

Menurut penulis, dengan melihat pandangan yang dituliskan Hartono

Mardjono mengenai pencatatan perkawinan di atas, Muhammad Amin Suma

tergolong kedalam pandangan yang kedua. Ia berpendapat bahawa pencatatan

perkawinan tersebut harus (wajib) dicatatkan. Selain melihat perintah al-Quran

juga melihat hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melihat

penjelasan tersebut terkesan masalah pencatatan perkawinan tersebut tidak saja

rumit tetapi seolah-olah menjadi sangat penting bahkan urusan catat mencatat

tersebut jauh lebih lama waktunya ketimbang plaksanaan akad nikah itu

sendiri. Lebih jauh dari itu ada kesan pencatatan itu menjadi mutlak dalam

sebuah perkawinan.

Alasan-alassan yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikatakan bahwa

pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting.

Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus

30

Hartono Mardjono, menegakkan Syari’at Islam dalam Kontekas Keindonesiaan,

(Bandung: Mizan, 1997), h. 97.

Page 101: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

89

berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran

kultur lisan kepada kultur tulisan sebagai ciri masyarakat moderen menuntut

dijadikannya akta surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak bisa

diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia juga

bisa mengalami kelupaan dan kehilafan. Oleh karena itu, atas dasar inilah

diperlukan sebuah bukti yang abada yaitu berupa akta perkawinan.

Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta nikah sangat diperlukan di

dunia modern seperti sekarang ini seseorang yang menikah tanpa dicatat oleh

Pejabat Pencatat Nikah (PPN) atau tidak mempunyai akta nikah, maka

nikahnya tidak sah menurut undang-undang yang berlaku di suatu negara. Hal

ini merupakan suatu tindakan pemerintah agar terjaminnya kepentingan dan

kemaslahatan masyarakat.

5. Poligami

Al-Quran maupun hadis Nabi tidak ditemukan secara ekplisit ketentuan

yang mengatur alasan poligami karena keadan isteri. Seperti ayat Al-Quran

surat al-Nisa ayat 3, al-Nisa ayat 29. Ayat ayat tersebut sebenarnya bukanlah

menunjuk kepada sifat dan makna yang berlaku umum, tetapi mengandung

suatu maksud, yaitu menegakan keaadilan terhadap anak yatim.31

Ayat ini

turun setelah selesainya perang Uhud yang memakan korban tewas 70 orang

laki-laki dari 700 tentara Islam. Dan Rasul ternyata menikah sejak usia 25

tahun hingga berumur 54 (selama 29 tahun) hanya seorang isteri (monogami).32

Muhammad Amin Suma bertendapat bahwa poligami itu milik dunia,

karena poligami merupakan hukum Islam dan orang muslim tersebar di

31

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 86-87. 32

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 88.

Page 102: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

90

berbagai negara sehingga poligami berlaku di seluruh dunia khususnya umat

muslim. Di Indonesia sendiri pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria

hanya boleh mempunyai seorang istri (asas monogami). Namun dalam hal lain

karena mempunyai alasan yang kuat seseorang diperbolehkan untuk poligami.

Poligami merupakan Rukshah yang diberikan kepada suami, karena berbicara

poligami bukan kasihan atau tidak kasihan. Bisa jadi karena istrinya sakit atau

ada pertimbangan lain seperti rasa cinta kepada perempuan lain, namun dengan

syarat bisa berlaku adil. Karena Islam hanya membolehkan seseorang

berhubungan biologis dengan hubungan pernikahan.33

Rukshoh di situ bisa menjadikan solusi bagi seseorang yang ingin

melakukan poligami. Meskipun memang pada dasarnya poligami itu

diperbolehkan tetapi tidak semua orang bisa melakukan poligmi begitu saja

dengan mudah. Boleh jadi pada kasus tertentu, waktu tertentu, orang tertentu,

dan di tempat tertentu, diaa tidak bisa melakukan hubungan biologisnya

kecuali pintu perkawina itu. Sehingga, poligami menjadi solusi (rukshoh) yang

diberikan.

Banyak orang salah paham poligami merupakan ciri khas perkawinan

Islam, mereka menganggap islamlah yang membawa ajaran poligami, bahkan

ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam poligami

tidak akan dikenal dalam sejarah manusia. Pandangan tersebut keliru, karena

berabad-abad manusiadiberbagai belahan dunia telah mengenal dan

mempraktikkan polihami. Bahkan bapak moyang para nabi yakni Nabi Ibrahim

33

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 14 Maret 2016.

Page 103: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

91

melakukan poligami dengan mempersunting Sarah dan Hajar. Sejalan dengan

perkembangan zaman dan cara berpikir tentang perlindungan hak-hak individu

manusia, aturan poligami yang ditemukan dalam buku-buku fiqih mengalami

penafsiran ulang dan pembaharuan seperti halnya di Indonesia. Baik UU

Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa poligami

dimungkinkan untuk dilakukan. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 3 ayat (1-

2) UU Perkawinan dan pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.

Setidaknya dari penjelasan di atas ada tiga hal yang harus diperjatikan.

Pertama, menyangkut prosedur poligami yang tampaknya memberikan

kewenangan yang cukup besar terhadap pengadilan. Kedua, makna

keadilansebaagai syarat kualitatif poligami. Ketiga, berkenaan dengan

substansi kebolehan poligami yang sering disalahpahami.

6. Perkawinaan antar Pemeluk Agama yang Berbeda

Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda merupakan masalah yang

sangat sensitif untuk dibahas, karena sampai saat ini masih kontroversial di

antara kalangan ulama begitupun di Indonesia. Perdebatan atas hukum atau

pekawinan beda agama disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap ayat

al-Qran yang menjelaskan tentang hukum pernikahan antar pemeluk agama

yang berbeda.

Terkait dengan aturan pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda ini,

para pakar hukum di Indonesia mempunya pandangan dan pendapat yang

berbeda. Seperti yang dituliskan Asep Saepudin Jahar. Menurut Asep,

Muhibuddin berpendapat bahwa perbedaan pandangan ini disebabkan karena

Page 104: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

92

UU Perkawinan tidak menyebut secara tertulis dan eksplisit terkait perkawinan

antar pemeluk agama yang berbeda. Terdapat paling tidak, tiga pandangan

tentang perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda di Indonesiaa jika

dikaitkan dengan aturan yang tertera dalam UU Perkawinan.34

Pertama, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda tidak dibenarkan

dan jika dilakukan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap UU

Perkawinan berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan

tegas menyebutkan hal itu. Sehingga, perkawinan antar pemeluk agama yang

berbeda tidak sah dan batal demi hukum.

Kedua, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda dapat dilakukan

dan diperbolehkan, dan dianggap sah. Sebab perkawinan tersebut dapat

dianggap sebagai perkawinan campuran dengan pemahaman bahwa pasal 57

tentang perkawinan campuran ditekankan klausul “dua orang yang di Indonesia

tunduk pada hukum yang berlainan”. Dengan menekankan pada klausul ini,

pasal tersebut tidak hanya mengatur perkawinan antar dua orang yang memiliki

kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antar dua

orang yang memiliki agama yang bebeda.

Ketiga, pandangan yang menekankan pada kenyataan bahwa UU

Perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan antar pemeluk agama

yang berbeda. Menurut pandangan ini, hukum dan aturan perkawinan antar

pemeluk agama yang berbeda dapat diambil dari pasal 66 UU Perkawinan yang

menyebutkan bahwa peraturan-peraturan lama dapaat diterapkan selama UU

34 Asep Saepudin Jahar, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2013), h. 68

Page 105: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

93

Perkawinan belum mengaturnya. Dengan cara pandang seperti ini, aturan

pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda harus tetap berpedoman pada

peraturan perkawinan campuran.

Sedangkan Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa, hukum

melakukan perkawinan beda agama pada dasarnya adalah sama dengan

prinsip-prinsip hukum pernikahan pada umumnya yang bisa menjadi mubah,

sunnah, dan bahkan wajib meskipun bisa dikatakan nyaris langka kasusnya.

Tetapi bisa juga menjadi makruh dan bahkan haram untuk kasus-kasus tertentu.

Analogi dengan perceraian yang dikatakan halal tapi dibenci, maka hukum

pernikahan beda agama dalam kasus tertentu bisa dinyatakan ada yang halal,

tetapi dibenci, atau bahkan haram.35

Pada prinsipnya perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda tidak

diperbolehkan, begitupun para ulama umumnya melarang perkawinan beda

agama, kalaupun ada yang mengatakan boleh hanya sebagian kecil saja. Akan

tetapi dalam prakteknya ada saja kemungkinan terjadi dan ini tidak bisa

dihindari, sehingga bisa saja di mungkinkan tetapi dengan alasan dan

persyaratan tertentu.36

Ketika perkawinan beda ini terjadi maka dikembalikan

kepada pasangannya dan harus bisa bertangung jawab kepaada hukum.

Bagi insan Muslim-Muslimah tertentu yang karena alasan-alasan tertentu

dan dalam kondisi yang tertentu pula tepatnya dalam keadaan/situasi darurat

perkawinan beda agama bisa dibenarkan oleh syariah. Pengharaman

perkawinan beda agama tidak bisa digeneralisir untuk semua dan setiap kasus

35

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 162. 36

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 14 Maret 2016.

Page 106: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

94

yang dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Terutama bagi

mereka yang terlanjur melakukannya.37

Dari pandaangan tersebut Muhammad Amin Suma pada dasarnya

melarang atau tidak membolehkan perkawinan natar pemeluk agama yang

berbeda. Sehingga apabila melihat pandangan-pandangan di aatas Muhammad

Amin Suma termasuk ke dalam pandangan yang pertama. Namun demikian

seringkali kenyataan dan realita kehidupan di masyarakat berdeba, dengan

demikian kalaupun terjadi perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda

maka dikembalikan kepaada masing-masing individu untuk menjalani

kehidupan rumah tangganya dan mereka harus bisa mempertanggung

jawabkan perkawinan mereka baik menurut peraturan perundang-undangan

yang ada ataupun menurut agamanya masing-masing.

Apabila kita teliti dan lihat kembali mengenai UU Perkawinan, di sana

memuat beberapa pasal yang dijadikan sebagai landasan sebagai perkawinan

antar pemeluk agama yang berbeda. Seperti yang di jelaskaan di atas pasal-

pasal tersebut yaitu pasal 2 ayat (1) menjelaskan, perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Pasal ini menyiratkan bahwa perkawinan harus didasarkan pada aturan dari

pasangan secara seragam agamanya. Pasal 8 huruf (f) menyebutkan,

perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh

agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk melakukan

perkawinan. Pasal ini ingin mengakomodir hukum-hukum yang berlaku pada

setiap agama termasuk agama Islam tak terkecuali.

37

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 157.

Page 107: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

95

Masih dalaam UU Perkawinan, Pasal-pasal tersebut diperkuat lagi dengan

pasal yang mengatur secara khusus tentang perkawinan campuran. Pasal 57

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU

ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum

yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak beekewarganegaraan

Indonesia. Dengan aturan ini, cakupan perkawinan antara pemeluk agama yang

berbeda telah dikeluarkan dari pengertian perkawinan campuran, karena yang

ditekankan pada aturan ini adalah ketundukan pada hukum yang berbeda

didasarkan pada perbedaan kewarganegaraannya bukan agamanya.

Aturan tersebut dipertegas kembali oleh Kompilassi Hukum Islam pasal 40

yang secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki

Muslim dengan wanita non-Muslimah dan wanita Muslimah dengan laki-laki

non-Muslim.

B. Hukum Keluarga Islam di Indonesia menurut Muhammad Amin Suma

Mengenai Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Muhammad Amin Suma

berpendapat bahwa secara formal dan secara umum peraturan perundang-

undangaan di Indonesia sudah baik, dalam arti dari kerangka pikir bangsa

Indonesia sebagai negara beragama dan sebagai negara hukum. Karena Indonesia

adalah negara beragama maka wajar apabila undang-undangnya selalu

menyertakan norma-norma keagamaan. Sehingga tidak ada hak sebebas-bebasnya

Page 108: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

96

secara individu semua haknya ingin semua haknya diakui di Indonesia. Hanya

dalam tataran praktiknya kadan-kadang dijumpai ada kekurangan.38

Hal ini bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan, baik UU No 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Islam yang telah

mengakomodir permasalahan-permasalahan mengenai Hukum Keluarga Islam di

Indonesia. Seperti yang telah diuraikan dalam penulisan skripsi ini. Ada beberapa

permasalahan seperti misalnya mengenai :

Pertama, mengenai pengertian dan tujuan perkawinan. Meskipun memang

ada beberapa perbedaan mengenai pengertian perkawinan, seperti Muhammad

Amin Suma yang mengartikan perkawinan itu sebagai perbuatan muamalah yang

mengandung unsur ibadah, tetapi Kompilasi Hukum Islam sendiri telah

menyebutkannya dalam pasal 2 mengenai pengertian perkawinan. Meskipun ada

perbedaan mengenai pengertian perkawinan, akan tetapi dari situ semua

sependapat mengenai tujuan perkawinan sebagai bangsa Indonesia yang

mempunyai kerangka berfikir sebagai negara beragama, yaitu untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Kedua, mengenai Rukun dan Syarat Perkawina. Mengenai rikun

perkawinan meskipun memang terjadi perbedaan pendapat mengenai rukun dalam

perkawinan, namun terlepas dari perbedaan pendapat tersebut Kompilasi Hukum

Islam telah mengaturnya, bisa kita lihat dalam pasal 14 bahwa rukun perkawinan

ada lima. Calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul.

Sedangkan syarat-syarat perkawinan dijelaskan dalam UU No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dalam Bab II pasal 6-pasal 12.

38

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 14 Maret 2016.

Page 109: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

97

Ketiga, mengenai Kafa’ah dalam Perkawinan. Meskipun mengenai

kafa’ah ini tidak diatur secara jelas baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Isslam, tetapi sebagai bangsa Indonesia

yang beragama masalah Kafa’ah dikembalika pada individu masing-masing

sebagai pilihan untuk menjalankan rumah tangganya.

Keempat, mengenai Pencatatan Perkawinan. Meskipun pencatatn

perkawinan ini ada yang mengatakan hanya sebagai syarat administratif saja

dalam sebuah perkawinan, tetapi ada juga yang menyebutkan sebagai syarat

tambahan dalam pernikahan seperti yang dituangkan dalam UU No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. pasal 2 menyebutkan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompilasi Hukum Islam

menyebutkan pencatatan perkawinan dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2).

Kelima, mengenai Poligami. Di Indonesia sendiri mengenai masalah

poligami meskipun memang diperbolehkan tetapi tidak serta merta mudah untuk

melakukannya. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya dalam

pasal 3-pasal 5, yang kemudian diperkuat dengan Kompilasi Hukum Islam pada

Bab IX pasal 50-pasal 59.

Keenam, mengenai Perkawinan antar Pemeluk Agama yang Berbeda.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai perkawinan antar pemeluk

agama yang berbeda, di Indonesia berkembang tiga pendapat yang berbeda.

Namun demikain lagi-lagi baik UU No 1 Tahun 1974 tentaang Perkawinan

ataupun Kompilasi Hukum Islam telah mengaturnya, meskipun memang tidak

secara jelas diatur atau menyebutkannya. Dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang

Page 110: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

98

Perkawinan disebutkan pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf (f), dan pasal 57. Sedangkan

dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 40 seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya.

Sehingga menurut penulis, dari permasalahan-permasalahan mengenai

perkawinan termasuk dalam hal yang telah disebutkan di atas, peraturan

perundang-undangan baik itu UU No 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan

peraturan-peratulan lain yang menyangkut permasalahan Hukum Keluarga Islam

telah mengakomodir permasalahan-permasalahan yang ada dalam masuarakat.

Meskupun memang tidak bisa dipungkiri dalam prakteknya di masyarakat masih

ada yang tidak sesuai dengan peraturan tersebut, misalnya dalam hal pencatatan

perkawinan, poligami, dan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, masih

ada oknum-oknum yang melanggarnya.

Meskipun demikian hal yang terpenting adalah bahwa peraturan

perundang-undangan yang ada di Indonesia telah mengakomodir permasalahan-

permasalahan mengenai Hukum Keluarga Islam. Meskipun pada prakteknya

aturan ini dikembalikan kepada individu masing-masing.

C. Posisi Muhammad Amin Suma dalam Bidang Hukum Keluarga Islam

Dari pemaparan yang sudah dijelaskan di atas bisa dilihat bahwa corak

pemikiran Muhammad Amin Suma dalam bidang Hukum Keluarga Islam lebih

condong mendekati pemahaman terhadap penafsiran al-Quran dan Hadist. Hal ini

bisa dilhat dari penjelasannya mengenai perkawinan terlebih khusus mengenai

perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.

Page 111: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

99

Muhammad Amin Suma menggunakan pendekatannya dengan penafsiran

al-Quran, ada beberapa ayat al-Quran yang coba ia interpretasikan untuk

memahami maksud dan tujuan ayat-ayat tersebut. Seperti al-Baqarah ayat 105 dan

ayat 221, al-Mumtahanah ayat 10, al-Maidah ayat 5, al-Bayyinah ayat 6, dan al-

Nisa ayat 141. Kemudian ayat-ayat al-Quran perihal perkawinan seperti dalam al-

Nisa ayat 3, ar-Rum ayat 21, at-Tahrim ayat 6.

Selain itu juga penafsiran terhadap Hadist bisa diliha dari Hadist “la

nikaha illa biwaliyyin wasyahiday adlin”, tidak lahir secara tiba-tiba akan tetapi

sudah dilalui oleh proses pemikiran dan praktek mengamalan jangka panjang yang

kemudian disimpulkan dengan bahasa Hadist yang sangat singkat, padat, dan

akurat.39

Sehingga Muhammad Amin Suma berpendapat meskipun wali nikah dan

saksi tetap menjadi rangkaiaan yang penting bagi keberlangsungaan akad

nikahnya namun kedudukannya tidak sampai ke dalam derajat rukun nikah. Juga

terhadap Hadist yang menyebutkan bahwa perkawinan itu sebagai sunnah.

Muhammad Amin Suma beranggapan sunnah di sana bukan dalam

pengertian hukumnya sunnah melainkan merupakan tradisi keagamaan yang

dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, sebagaimana diungkapkan dengan julukan

sunnatul anbiya (perkawinan itu tradisi atau perbuatan baik para nabi).

Terlebih lagi Muhammad Amin Suma menuliskan bahwa hubungan

kausalitas antara al-Quran dan Hadist itu laksana hubungan Anggaran Dasar (AD)

dan Anggaran Rumah Tangg (ART) dalam sebuah organisasi, atau ibarat sebuah

subungan antara konstitusi dan peraturan perundang-undangan dalam suatu

39

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 44

Page 112: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

100

negara. Karena sungguh sukar dibayangkan oleh siapa pun untuk bisa memahami

al-Quran secara baik dan benar tanpa melibatkan pemahaman Hadist,

sebagaimana juga mustahil memantapkan keyakinan jika merujuk Hadist tanpa

melirik sama sekai ayat-ayat al-Quran.40

Setiap tokoh pasti mempunyai disiplin ilmu dan ke khasan yang

dimilikinya tak terkecuali Muhammad Amin Suma. Ke khasan yang dimiliki

Muuhammad Amin Suma terletak pada konsep perkawinan itu sendiri. Sedikit

sekali atau bahkan sangat jarang tokoh yang mengungkapkan kalau perkawinan

itu merupakan perbuatan muamalah yang sama halnya dengan bentuk perikatan-

perikatan lainnya seperti jual-beli, gadai, sewa, dan lainnya.

Yang dimaksdukan melakukan perkawinan merupakan ibadah itu

bukanlah ibdah dalam arti ibadah mahdhah (murni) melainkan bentuk perbuatan

hukum muamalah yang mengandung atau berdimensikan nilai-nilai ubudiah.

Yakni dalam pengertian akan memperoleh pahala jika dilakukan sesuai dengan

prinsip-prinsip syariah dan akan berdosa manakala pelaksanaannya bertentangan

dengan prinsip-prinsip syariah.41

40

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 71. 41

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 71.

Page 113: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

101

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum yang paling tua usianya ialah hukum perkawinan, hukum yang

mengatur hubungan internal anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang

berkenaan dengan masalah-masalah keluarga. oleh karena itu sudah sangat tentu

kalau hukum keluarga sangatlah penting. Seiring dengan perkembangan zaman

maka konsep atau pemikiran mengenai hukum keluarga terus mengalami

perkembangan, sehingga memperhatikan sekian banyak pendapat mengenai

konsep perkawinan sangatlah wajar kalau pendapat satu berbeda dengan pendapat

yang lainnya. Perlu kearifan dan ketelitian dalam memahami bagaimana

sesungguhnya konsep perkawinan itu. Muhammad Amin Suma merupakam salah

satu tokoh yang memberikan konsep dan pandangan mengenai Hukum Keluarga

Islam di Indonesia. Diantaranya adalah :

1. Ada beberapa konsep dan pandangan Hukum Keluarga Islam menurut

Muhammad Amin Suma. Pertama, mengenai konsep perkawinan. Menurut ia

perkawinan merupakan bagian integral dari perbuatan duniawi tepatnya

urusan muamalah layaknya perbuatan jual-beli, sewa-menyewa, gadai, dan

lainnya. Pendeknya, perkawinan itu tidak termasuk ke dalam perbuatan ibadah

murni meskipun mengandung nilai-nilai ubudiah. Kedua, Mengenai Rukun

dan Syarat Perkawinan. Ia menempatkan ijab-kabul ke dalam rukun

perkawinan, sedangkan wali, sksi, dan mahar, tidak sampai ke dalam derajat

rukun nikah, ia tempatkan ke dalam syarat perkawinan. Ketiga, Mengenai

Page 114: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

102

Kafa’ah Perkawinan. Ia menyebutkan bahwa selain kafa’ah agama, yang

terpenting adalah antara suami dan istri bisa membangun kesesuaian dan

harmonisasi dalam rumah tangga yang dibangunnya. Keempat, Pencatatan

Perkawinan. Ia berpendapat bahwa hal tersebut di wajibkan, tidak hanya

peraturan perundang-undagan saja yang mewajibkan tetapi al-Quran juga

memerintahkannya. Kelima, masalah poligami. Ia berpendapat sesungguhnya

poligami itu merupakan solusi (rukshoh) yang diberikan kepada suami dalam

keadaan darurat. Keenam, mengenai perkawinan antar pemeluk agama yang

berbeda. Ia menjelaskan bahwa hampir semua agama termasuk dalam agama

Islam itu pada dasarnya melarang perkawinan beda agama, meskipun begitu

tidak di pungkiri kenyataannya dalam realita kehidupan di masyarkat tetap ada

saja yang melakukan perkawinan beda agama itu.

2. Hukum Keluarga Islam di Indonesia sejatinya sudah baik, hal terseut bisa

dilihat dari beberapa peraturaan perundang-undangan di Indonesia. Sehingga

secara formal ataupun secara umum peraturan perundang-undangana di

Indonesia sudah mengakomodir permasalahan-permasalahan mengenai

Hukum Keluarga Islam. Meskipun memang dalam tataran praktiknya ada atau

bahkan sering dijumpai kekurangan.

3. Muhammad Amin Suma merupakan salah satu tokoh yang berbeda dengan

kebanyakan tokoh yang lainya dalam menyajikan konsep perkawinan,

meskipun memang ada beberapa hal yang sama. Di antara perbedaannya

mengenai pengertian perkawinan, jarang sekali ada tokoh yang berpendapat

bahwa perkawinaan merupakan perbuatan muamalah sama halnya dengan

Page 115: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

103

perikatan-perikatan yang lain seperti jual-beli, gadai, sewa, dan lain-lain.

Kemudian seperti dalam buku yang dituliskannya, ia menjelaskaan bahwa

yang menjadi rukun nikah adalah ijab-kabul yang dirajut oleh kedua

mempelai, sedangkan untuk wali nikah, saksi, dan mahar, kedudukannya tidak

sampai kedalam rukun nikah. Dan mengenaai pencatataan perkawinan

Muhammad Amin Suma termasuk ke dalam golongan yang berpendapat.

perkawinan itu harus dilaksanakan (wajib), dengan kata lain pencatatan nikah

tetap menjadi syarah sah tambahan dalam suatu perkawinan yang harus

dilaksanakan. Sehingga sangatlah penting untuk penulis tuliskan. Dalam

melihat permasalahan Hukum Keluarga Islam, Muhammad Amin Suma tidak

hanya melihat dari teori tetapi juga prakteknya. Artinya tidak hanya melihat

peraturannya baik secara agama maupun peraturan perundang-undangan tetapi

juga melihat realita di masyarakat.

B. Saran-saran

Demikianlah tulisan ini penulis sajikan kepada para pembaca, semoga

dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, akhirnya

penulis ingin menyampaikan beberapa saran diantaranya

1. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih mempunyai

keterbatasan dan kekurangan, oleh karena itu penulis mohon maaf apabila ada

kesalahan dalam pengetikan dan lain-lain, dan agar supaya menelaah lebih

jauh mengenaai pemikiran tokoh ini.

Page 116: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

104

2. Penulis juga berharap semoga kita dapat mengambil pelajaran dari Konsepsi

Muhammad Amin Suma mengenai hukum perkawinan, dan menjadi sebuah

pengetahuan baru bagi kita semua.

Ahkir kata penulis mengucapkan terimakasih banyak, Wallahu’alam

Page 117: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

105

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:

Gema Insani Perss, 1996.

al-Habsyi, Muhammad Baqir, Fiqih Praktis Seputar Perkawinan dan Warisan,

Bandung: Mizan, 2003.

Amiruddin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.

Raja Grafindo, 2003.

Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2007.

Fakultas Syaiah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan

Mutu, 2012.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid 2.

Djubaidah, Neng,. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat,

Jakarta: Sinar Grafika.

Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010

Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Selemba

Humanika, 2012.

Ihromi, T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor

Indonesia, 1999.

Jahar, Asep Saepudin, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 2013.

Kharlie, Ahmad Tholabi dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di

Dunia Islam Kontemporer Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SYAHID,

2011.

Kuzairi, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Rajawali Pers, 1995

Page 118: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

106

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2011.

Mardjono, Hartono, Menegakan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan,

Bandung: Mizan, 1997

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1991

Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:

Prenada Media, 2004.

Peunoh, Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979.

________, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Askara, 1996.

Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo

Perada, 2000.

Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Perss, 2007.

Qo’imuddin, Iim, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, Jakarta: 2010

Sopyan, Yayan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.

Sukandarumidi, Metode Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2004.

____________________. Kawin Beda Agama di Indonesia, Tangerang: Lentera

Hati 2015.

___________________. Keadilan Hukum Waris Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2013.

Page 119: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

107

___________________. Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2001.

___________________. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I, Jakarta: Pustaka Firdaus,

2000.

___________________. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II, Jakarta: Pustaka Firdaus,

2001

___________________. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran III, Jakarta: Pustaka Firdaus,

2004.

___________________. Tafsir Ahkam I, Tangerang: Wacana Ilmu, 1997.

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.

Sukmadiata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Rosada,

2008.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014.

Sya’rawi, Muhammad Mutawwali, Fiqih Wanita, Jakarta: Pena Pundi Askara,

2006.

Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia, Malang: C.V. Penerbit, 1999.

Yasin, Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN-Malang Pers,

2008

SKRIPSI DAN TESIS

Habsyi, Idrus, “ Konsep Iman Menurut Ibn Taimiyyah,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Miftah, Zaini, “Konsep Homescooling dalam Pendidikan Islam,” Tesis S2 Sekolah

Pascaasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Muslimin, Aceng Mumus,” Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut Khairuddin Nasution,”

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, 2012.

Ristar, Muhammad, “Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara,” Tesis S2

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Page 120: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

108

ARTIKEL DAN WAWANCARA

Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 cet.

Ke-3, edisi kedua,

Munadi. “Angka Perceraian di Indonesia Sangat Fantastis”. Artikel diakses pada

16 Maret 2016 dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/angka-

perceraian-di-indonesia-sangat-fantastis

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag, artikel diakses pada 16 Maret dari

http://www.dream.co.id/news/angka-perceraian-meningkat-lima-tahun-

terakhir

Republika Online. “Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam”. artikel diakses pada

16 Maret 2016 dari http://www. kompasiana. Com / pakcah/di-indonesia-

40-perceraian-setiap-jam.

Takariawan, Cahyadi. “Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam”. artikel diakses

pada 16 Maret 2016 dari http://www. kompasiana. Com / pakcah/di-

indonesia-40-perceraian-setiap-jam.

Andre Yuris. “Berkenalan dengan Analisis Isi (Cintent Analysis)” Artikel diakses

pada 5 April 2016 dari

https://andreyuris.wordpress.com/2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/.

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta. 7 Maret 2016.

__________________________________________. Jakarta. 14 Maret 2016.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan

Rujuk

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi

Pegawai Negeri Sipil

Peraturan Pemerintah 45 Tahun 1990 merupakan perubahan dari PP 10 tahun

1983 tentang ijin perkawinan dan perceraian bagi PNS

Kompilasi Hukum Islam

Page 121: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.
Page 122: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.
Page 123: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.
Page 124: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

HASIL WAWANCARA DENGAN NARASUMBER

PROF. DR. H. MUHAMMAD AMIN SUMA, S.H, M.A, M.M

Pertanyaan :

Bagaimana konsepsi bapak mengenai pengertian perkawinan?

Jawaban :

Muhammad Amin Suma memandang perkawinan termasuk kedalam

perbuatan muamalah, karena didasarkan pada beberapa alasan. Yang pertama dan

utama adalah perkawinan itu harus ada akad (ijab-kabul). Sementara dalam

ibadah, tidak ada akad tetapi niat. Bukan hanya itu saja, dalam perkawinan juga

harus adanya wali dan minimal harus ada dua orang saksi. Dalam kasus tertentu,

Perwalian dan terutama persaksian berlaku pula pada akad-akad yang lain,

misalnya dalam kasus jual-beli anak kecil dan/atau orang sakit yang pada

prinsipnya dilarang, kecuali atas sepengetahuan dan seizin orang tua atau wali

pengampu. Sebab, anak kecil tidak boleh melakukan transaksi. Makanya, harus

ada walinya, dan juga kalau melakukan transaksi harus ada saksi. Pada umumnya,

di negara-negara Muslim mengharuskan adanya wali dan saksi dalam perkawinan.

Sedangkan, ibadah tidak diperlukan kesaksian. Selain itu, dalam perkawinan juga

dimungkinkannya adanya perceraian. Sementara dalam ibadahmengingat sifatnya

yang berulang atau berulang-ulang dan kontinyu (istimrar), pada dasarnya tidak

ada pengganti di tengah jalan.

Pertanyaan :

Bagaimana dengan hadist yang menyebutkan bahwa pernikahan adalah

sunnah dan melakukan pernikahan adalah menyempurnakan separuh agama?

Jawaban :

Menurut Muhammad Amin Suma, Sunnah di sana bukan dalam pengertian

hukumnya sunnah melainkan merupakan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh

para Nabi dan Rasul, sebagaimana diungkapkan dengan julukan sunnatul anbiya

(perkawinan itu tradisi atau perbuatan baik para nabi), dalam arti para nabi itu

Page 125: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

melakukan Pernikahan, kecuali nabi Yahya dan Isa alaihisalam saja yang tidak

sempat menikah. Anikkah sunnati, maksudnya nikah itu adalah perbuatan yang

dilakukan para nabi, bukan dalam pengertian hukumnya. Mengingat hukum

pernikahan itu bisa wajib, sunnah, makruh, mubah, dan bahkan haram.

Sungguhpun demikian, Pernikahan itu tetap mengandung nilai ibadah dan bahkan

sebagai sarana untuk peribadatan dalam konteksnya yang luas (bukan ibadah

mahdoh). Seperti senggama itu bisa tergolong ibadah selama dalam konteks

perkawinan yang sah. Demikian pula terutama dengan menafkahi isteri dan anak

yang dilahirkan dari perkawinan menjadi nilai ibadah.

Pertanyaan :

Bagaimana pandangan bapak mengenai Rukun dan Syarat Perkawinan?

Jawaban :

Memperhatikan rukun nikah yang dikemukakan oleh para ulama berbagai

mazhab, dapatlah disimpulkan bahwa rukun nikah yang disepakati oleh semua

kalangan mazhab fiqih (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) ialah

Cuma al-ijab wa al-qabul (ijab-kabul). Dengan kalimat lain, Cuma ijab-kabul lah

status rukun nikah yang disepakati oleh semua ulama fiqih tanpa mengecualikan

apa negara bangsa maupun mazhab fiqih atau bahkan aliran keagamaan

sekaalipun. Untuk yang lain-lain, dalam hal ini keberadaan wali nikah, dua orang

saksi nikah maupun mahar, kedudukannya sebagai rukun nikah telah lama

menjadi perdebatan sebagian ulama fiqih. Namun demikian, keberadaan wali

nikah, saksi nikah dan mahar, itu tetaap menjadi rangkaian yang juga penting

keberadaannya dalam proses akad nikah meskipun kedudukannya tidak sampai ke

dalam derajat rukun nikah.

Pertanyaan :

Kafa’ah apa yang paling penting dalam sebuah perkawinan?

Jawaban :

Terkait dengan Kafa’ah, selaain dalam hal kesamaan agama (Kafa’ah fi

al-din), padadasarnya tidak ada yang sfesifik. Kafa’ah-kafa’ah yang lain dalam

Page 126: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

perkawinan, dipersilahkan dilakukan adat masyarakat setempat, misalnya terkait

dengan pendidikan, etnik, ekonomi, dll. Kafa’ah fi al-din hanya diarahkan kepada

orang-orang beriman keseluruhan. Dalam kadar tertentu, pengaruh utama

kredibelitas dan integritas calon suami maupun calon istri dari sudut pandang

kesusilaan kelihatannya justru merupakan hal yang lebih dipentingkan atau

minimal tidak dikurangi dan bahkan diutamakan untuk dipertimbangkan oleh

masing-masing calon sebelum melangsungkan akad nikah. Tanpa mengabaikan

peran agama dalam konteksnya yang lebih makro di mana posisi agama menjadi

segala-galanya dalam kehidupan, terkait dengan urusan perkawinan justru

persoalan cinta kasih dan kesusilaanlah di antara hal yang paling dikedepankan.

Minimal, kedua atau ketiga persoalan ini (agaama, cinta, dan kesucian diri), ini

menempati kedudukan yang sama atau sederajat. Dengan demikian, maka status

Kafaa’ah fi ad-din dalam akad perkawinan, tidak serta merta harus disimpulkan

menjadi wajib hukumya secara mutlak. Minimal dalam kasus-kasus tertentu,

yang bisa di mungkinkan ststus hukum perkawinannya dikatakan cukup dengan

tingkatan hukumnya yang sunnah muakadah, bukan menjadi wajib tanpa

kompromi. Sehingga, yang paling penting dalam Kafa’ah adalah bagaimana

suami dan istri bisa membangun kesesuaian dan harmonisasi dalam rumah tangga

yang dibangunnya.

Pertanyaan :

Bagaimana dengan fenomena di Indonesia yang mempunyai

berbagaimacam suku bangsa, mereka seringgkali ingin menikahkan anak atau

keluarganya dengan yang satu suku atau keturunan yang sama?

Jawaban :

Di luar kesamaan agama (sesama muslim dengan muslimat), Agama Islam

membebaskan perkawinan mengenai hal-hal tersebut. Namun, apabila terjadi

keinginan untuk menikahkan kepada satu keturunan atau suku yang sama, itu

hanya merupakan pilihan saja. Hanya saja di hawatirkan terjadi ketidak sesuaian

dalam pernikahannya, maka dilakukanlah pernikahan yang seperti itu. Agama

islam memberikan keleluasan untuk menjadikan atau tidak menjadikan hal-hal

lain di luar Kafa’ah fi al-din sebagai persyaratan dalam perkawinan.

Page 127: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

Pertanyaan :

Apa pandangan bapak mengenai pencatatan perkawinan? Haruskah atau

hanya sebagai persyaratan administratif saja?

Jawaban :

Semua dan setiap perkawinan yang dilangssungkan di wilayah negara

hukum Indonesia, harus (wajib) dicatat oleh petugas pencatat nikah. Ini perintah

Undang-undang negara yang juga sesuai dengan kaidah-kaidah agama islam

sebagaimana tercantum dalam surat al-Maidah (5):1 dan al-Baqarah (2): 282-283.

Dengan demikian maka pencatatan Pernikahan yang diharuskan (diwajibkan) oleh

peraturan perundang-undangan ini jelas mendapatkan dukungan kuat atau

sekurang-kurangnya sesuai dengan tuntutan al-Quran yang memandang penting

pencatatan suatu perbuatan hukum muamalah termasuk Pernikahan.

Pertanyaan :

Bagaimana pandangan bapak dengan sebagian masyaratakat yang hanya

menggunakan syarat fiqih saja? Artinya perkawinannya tidak dicatatkan.

Jawaban :

Baik fiqih maupun al-Quran dapat dikatakan mewajibkan pencatatan.

Dalam berbagai transaksi muamalat sepanjang telah diatur dan diwajibkan oleh

negar dan selama selama tidak bertentangan dengan teks-teks syariah. Negara pun

mewajibkan mengenai pencatatan Perkawinan sehingga pencatatan Perkawinan

wajib dilaksanakan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain sesuai

peraturan perundang-undangan.

Pertanyaan :

Bagaimana pandangan bapak mengenai fenomena poligami di Indonesia?

Jawaban :

Pada dasarnya, poligami itu milik dunia. Alasannya karena poligami itu

dikenal dalam hukum Islam, dimana hukum Islam bersifat mendunia

(internasional), maka poligami berlaku hampir diseluruh dunia. Paling tidak

pemahaman umum ulama islam memungkinkan poligami itu. Tentu dengan alsan-

Page 128: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

alasan yang diberikan oleh mereka. Prinsipnya, hukum Islam itu hanya

membolehkan orang melakukan hubungan biologis hanya lewat pintu perkawinan.

Karena pintu penyaluran hubungan biologis hanya dibolehkan dengan pintu

perkawinan dan zina tidak diperbolehkan, maka boleh jadi pada kasus-kasus

tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, dan di tempat tertentu, dia tidak bisa

menyalurkan hubugan biologisnya kecuali dengan pernikahan itu. Sehingga

poligami menjadi solusi dan (rukshoh) yang diberikan dalam keadaaan darurat.

Misalanya, di Indonesia daruratnya dengan istri sakit sehingga tidak bisa

melaksanakan kewajibannya sebagai istri. Bukan masalah kasihan dan tidak

kasihan karena tidak mungkin suami akan bisa bertahan lama. Bisa juga dengan

pertimbangan lain, suami jatuh cinta, sehingga daripada melakukan zina maka dia

diberi solusi untuk poligami. Syaratnya, asalkan dia bisa dan mampu berlaku adil

dalam pengertian bisa melakukan kewajiban kepada pasangannya. Pada

prinsipnya, semua negara sama menganut asas monogami dalam perkawinan

termasuk di Indonesi. Hanya saja, implementasinya berbeda-beda antar negara

yang satu dan negara yang lain. Belum lagi dihubungkan dengan individu-

individu muslimnya itu sendiri.

Pertanyaan :

Bagaimana pandangan bapak mengenai pernikahan beda agama di

Indonesia?

Jawaban :

Hampir semua agama itu (Islam maupun non Islam) pada dasarnya

melarang pernikahan beda agama, minimal tidak merestui. Kalaupun

dimungkinkan, ada syarat-syarat tertentu yang harus diperhatikan oleh para

pelakunya. Namun, dalam kehidupan ini selalu saja ada perbedaan karena tidak

hanya berteori, tetapi juga praktek yang kerap tidak sama (menyimpang).

Maksudnya, tidak selalu mulus sesuai dengan yang diinginkan. Maka, kalau

terjadi disharmoni dalam prakteknya maka solusinya adalah dikembalikan kepada

pasangannya masing-masing karena nanti pasangan itulah yang akan menjalankan

segala konsekuensinya, mau diapakan rumah tangganya, dan harus bisa

Page 129: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.

bertanggung jawab terhadap hukum. Umumnya ulama, tidak membenarkan

pernikahan beda agama atau tepatnya mengharamkan. Kalaupun ada yang

membolehkan, hanya sebagian kecil saja. Sehingga, saya tidak memberikan

legitimasi untuk orang yang melakukan pernikahan beda agama. Karena,

perkawinan itu dirancang untuk jangka panjang. Apabila terjadi perkawinan beda

agama, bisa tidak pasangan itu mempertahankan pekawinannya, mengingat

perbedaan agama itu akan turut menentukan yang bersangkutan dalam

mengarungi kehidupan yang bisa dikatakan puluhan tahun. Pada faktanya sama-

sama saja agamanya kerap terjadi perbedaaan dalam pernikahan apalagi beda

agama.

Pertanyaan :

Bagaimana dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, apakah

sudah cukup baik dalam mengakomodir segala permasalahan mengenai

perkawinan ataukah masih perlu adanya peraturan tambahan?

Jawaban :

Secara formal dan secara umum peraturan perundang-undangaan di

Indonesia sudah baik, dalam arti dari kerangka pikir bangsa Indonesia sebagai

negara beragama dan sebagai negara hukum. Karena Indonesia adalah negara

beragama maka wajar apabila undang-undangnya selalu menyertakan norma-

norma keagamaan. Sehingga tidak ada hak sebebas-bebasnya secara individu

semua haknya ingin semua haknya diakui di Indonesia. Hanya dalam tataran

praktiknya kadan-kadang dijumpai ada kekurangan.

Jakarta, 14 Maret 2016

Narasumber

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M

Page 130: KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 284.