Format Proposal Sentra Pemberdayaan Tani (Yayasan Obor Tani)
KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA...
Transcript of KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA...
KONSEPSI HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA
MENURUT MUHAMMAD AMIN SUMA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Muhammad Hira Hidayat
1111044100008
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( A H W A L S Y A K H S H I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
iv
ABSTRAK
Muhammad Hira Hidayat. NIM 1111044100008. KONSEPSI HUKUM
KELUARGA ISLAM DI INDONESIA MENURUT MUHAMMAD AMIN
SUMA. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Konsenttrasi Peradilan Agama,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1437 H/2016 M.
Seiring dengan kemajuan zaman, konsep Hukum Keluarga Islam
mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu-ke waktu. Terutama ketika
masyarakat telah mengalami kemajemukan, baik secara sosial, budaya. Maka
dibutuhkan sebuah konsep atau pemahaman untuk membangun sebuah
keharmonisan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Muhammad Amin
Suma merupakan salah satu tokoh yang mempuyai konsep mengenai Hukum
Keluarga Islam. Tidak hanya itu, ia memiliki konsep yang berbeda dengan tokoh-
tokoh yang lain mengenai Hukum Keluarga Islam meskipun memang ada
beberapa hal yang sama. Oleh karena itu, hal ini sangat unik dan menarik kiranya
untuk dibahas dalam penulisan skrisi ini. Sehingga sangatlah penting untuk
mengetahui pokok-pokok permasalahan Hukum Keluarga Islam dan mengethui
Hukum Keluarga Islam di Indonesia menurut Muhammad Amin Suma.
Penulisan skripsi ini menggunakan studi pustaka, yaitu sebuah kajian yang
mengunakan buku-buku sebagai sumber utamanya, dengan cara mempelajari,
menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relefansi
materi dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal ini buku-buku yang penulis gunakan
tentunya buku-buku yang ditulis oleh Muhammad Amin Suma sebagai bahan
primer dan buku-buku lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini sebagai bahan
skunder. Selain itu juga penulis menggunakan metode interview, yaitu proses
wawancara dengan narasumber langsung yang merupakan tokoh dalam penulisan
skripsi ini.
Mengenai Hukum Keluarga Islam, Muhmmad Amin Suma mempunyai
konsep mengenai perkawinan. Menurut ia perkawinan merupakan bagian integral
dari perbuatan duniawi tepatnya urusan muamalah layaknya perbuatan jual-beli,
sewa-menyewa, gadai, dan lainnya. Pendeknya, perkawinan itu tidak termasuk ke
dalam perbuatan ibadah murni meskipun mengandung nilai-nilai ubudiah.
Mengenai Rukun dan Syarat Perkawinan, ia menempatkan ijab-kabul ke dalam
rukun perkawinan sedangkan wali, sksi, dan mahar, ia tempatkan ke dalam syarat
perkawinan. Mengenai Kafa’ah Perkawinan, ia menyebutkan bahwa selain
kafa’ah agama yang terpenting adalah antara suami dan istri bisa membangun
kesesuaian dan harmonisasi dalam rumah tangga yang dibangunnya. Untuk
Pencatatan Perkawinan, ia berpendapat bahwa hal tersebut di wajibkan, tidak
v
hanya peraturan perundang-undagan saja yang mewajibkan tetapi al-Quran juga
memerintahkannya. Sedangkan dalam masalah poligami, ia berpendapat
sesungguhnya poligami itu merupakan solusi (rukshoh) yang diberikan kepada
suami dalam keadaan darurat. Dan yang terakhir mengenai perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda, ia menjelaskan bahwa hampir semua agama
termasuk dalam agama Islam itu pada dasarnya melarang perkawinan beda agama,
meskipun begitu tidak di pungkiri kenyataannya dalam realita kehidupan di
masyarkat tetap ada saja yang melakukan perkawinan beda agama itu.
Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa sejatinya Hukum Keluarga
Islam di Indonesia ini sudah baik, dalam arti dari kerangka berfikir bangsa
Indonesia sebagai negara beragama dan sebagai negara hukum. Karena, baik
secara formal ataupun secara umum peraturan perundang-undangan di Indonesia
sudah mengakomodir permasalahan mengenai Hukum Keluarga di Indonesia.
Kata kunci : Konepsi Hukum Keluarga Islam. Muhammad Amin Suma.
Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.A
Dafrat Pustaka : Tahun 1979 s.d Tahun 2015
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillahirabbil’alamin, tiada untaian kata yang pantas diucapkan
melainkan ucapan kalimat puja puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam. Karena rahmat dan karunianya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Konsepsi Hukum Keluarga Islam di Indonesia Menurut
Muhammad Amin suma”. Sholawat berlantunkan salam semoga tercurahkan
kepada manusia pengubah zaman yakni baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
Tak lupa juga kepada para Sahabat, Tabiin, dan kita selaku Umatnya.
Berkat rahmat dan kasih sayang yang diberikan Allah SWT, penulis
mendapatkan kemampuan untuk bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi
ini tidak akan bisa selesai tanpa adanya bantuan, bimbingan, arahan, dukungann,
dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini
penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. Asep Saepuddin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakart, beserta Wakil Dekan I, II, dan III.
vii
3. Dr. H. Abdul Halim, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Islam dan Arip Purkon , S.HI, M.A., selaku Sekertaris Program Studi
Hukum Keluarga Islam.
4. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.A., Wakil Dekan II Fakultas
Syariah dan Hukum, dan dosen pembimbing skripsi yang telah sabar dan
banyak membantu penulis dari awal hingga akhir dalam menyelesaikan
skripsi ini. Sehingga memudahkan penulis dalam penulisan skripsi.
5. Dr. KH. Juaini Syukri, M.A., selaku dosen penasehat akademik.
6. Dr. Hj. Mesraini, M.A., selaku penguji I dan Alfitra, S.H, M.H., selaku
penguji II.
7. Seluruh Dosen dan karyawan di lingkunan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M., selaku narasumber
atau tokoh dalam penulisan skripsi yang telah bersedia membimbing dan
membantu penulis untuk menulis skripsi ini.
9. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum beserta staff UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan layanan berupa buku-buku selama penulis menempuh jenjang
S1 ini.
10. KH Baharuddin, S.Ag., selaku Pimpinan Pondok Pesantren Darr El-
Hikam. Dimana penulis tinggal dan menimba ilmu Agama selama
melangsungkan studi S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
viii
11. Paling istimewa kedua orang tua, Ayahanda dan Ibunda tercinta.
Terimakasih atas segala pengorbanan dan do’a yang tak terhingga kepada
penulis, serta dukungan moril, materil, dan juga tenaga sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai menyelesaikan studi S1
di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
kesemuanya itu tidak bisa terbayarkan dengan materi, hanyalah do’a yang
dapat penulis berikan untuk membalas segala jasa-jasa dan
pengorbanannya. Serta saudara-saudaraku yang tercinta.
12. Teman-teman HMPS Hukum Keluarga. Teman-teman Program Double
Degree Ilmu Hukum. Teman-teman Berita UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Teman-teman Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Teman-teman Komisariat Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Syariah
dan Hukum. Teman-teman Ikatan Keluarga Alumni Darussalam (IKADA)
Jabodetabek dan Banten, Pondok Pesantren Darussalam Ciamis. Teman-
teman Pondok Pesantren Dar El-Hikam. Teman-teman KKN Centauri.
Penulis sadari bahwa masih begitu banyak kekurangan yang terdapat
dalam penulisan skripsi ini, namun begitu mudah-mudahan dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Akhir kata tiada yang dapat
penulis ucapkan, kecuali rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi, arahan, bantuan, do’a, dan bimbingannya atas
terselesaikannya penulisan skripsi ini. Semoga ilmu yang penulis dapatkan
dijadikan ilmu yang bermanfaat dan berkah. Dan semoga kita semua selalu dalam
bimbingan, Rahmat, dan Hidayah Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin.
ix
Ciputat, 04 April 2016
Hormat saya,
Muhammad Hira Hidayat
Penulis
x
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.................................ii
LEMBAR PERNYATAAN...............................................................................iii
ABSTRAK...........................................................................................................iv
KATA PENGANTAR........................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................1
B. Identifikasi Masalah...................................................................4
C. Pembatasan Masalah..................................................................4
D. Rumusan Massalah.....................................................................5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................5
F. Metode Penelitian.......................................................................6
G. Tinjauan Studi Terdahulu.........................................................10
H. Sistematika Penulisan...............................................................11
BAB II KONSEPSI DAN PRAKTIK PERKAWINAN ISLAM DI
INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan...........................................................13
B. Regulasi Perkawinan..............................................................18
C. Dinamika Perkawinan di Indonesia........................................26
D. Praktik Perkawinan di Indonesia............................................43
E. Hukum Keluarga Islam dalam Tata Hukum Indonesia..........51
BAB III BIOGRAFI MUHAMMAD AMIN SUMA
A. Latar Belakang Keluarga..........................................................58
B. Latar Belakang Pendidikan......................................................59
C. Aktifitas dan Prestasi................................................................61
D. Guru-guru.................................................................................69
E. Karya-karya..............................................................................71
BAB IV POKOK-POKOK PEMIKIRAN MUHAMMAD AMIN SUMA
DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM DI
INDONESIA
A. Konsepsi Perkawinan...............................................................76
1. Pengertian Perkawinan.......................................................76
2. Rukun dan Syarat Perkawinan............................................80
3. Kafa’ah dalam Perkawinan.................................................83
4. Pencataatan Perkawinan.....................................................86
5. Poligami..............................................................................89
xi
6. Perkawinan antar Pemeluk Agama yang Berbeda..............91
B. Hukum Keluarga Islam di Indonesia menurut Muhammad
Amin Suma...............................................................................95
C. Posisi Muhammad Amin Suma dalam Bidang Hukum Keluarga
Islam di Indonesia.....................................................................98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................101
B. Saran-saran.............................................................................103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada mulanya hukum keluarga Islam terdapat dalam kitab-kitab Fikih
konvensional yang hidup dan berkembang di masyarakat, sehingga hukum
keluarga Islam tersebut mengalami proses kelembagaan, yang pada akhirnya
berubah menjadi hukum tertulis yang harus ditaati dan diakui secara bersama.
Sehingga pada abad sembilan belas perjalanan hukum keluarga Islam mengalami
perkembangan dan perubahan secara besar-besaran.
Hukum keluarga selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu,
meskipun perubahan tersebut seringkali berbeda-beda dari satu negara ke negara
lain. Hukum keluarga juga secara berangsur angsur mengalami perubahan
signifikan, terutama ketika masyarakat tengah mengalami kemajuan baik secara
sosial, budaya, maupun ekonomi. Termasuk di era globalisasi, kehidupan
masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah,
hubungan suami istri semakin tidak harmonis, kesakralan keluarga semakin
menipis.1 Sehingga faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi terjadinya
perubahan hukum yang ada di suatu negara atau masyarakat. Faktor-faktor
tersebut menuntut adanya perubahan signifikan dalam hukum khususnya hukum
keluarga Islam.
1 T.O.Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999), h. 284.
2
Selain hal tersebut, doktrin hak asasi manusia yang meniscayakan negara-
negara Muslim untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam wacana tersebut, dan
sedikit banyak memberikan pengaruh dalam kebijakan nasional, terutama dalam
konteks hak-hak perempuan, maka wacana Hak Asasi Manusi ini pun punya
banyak mewarnai proses legislasi dan kanunisasi hukum keluarga di negara
tersebut. Pada saat yang sama hukum keluarga juga menjadi bidang hukum yang
justru paling banyak mengalami perubahan dan reformasi dibandingkan dengan
bidang-bidang hukum Islam yang lain. Karena secara historis dan praktis di
komunitas muslim, hukum keluarga sangat responsif dengan perubahan dan
kemajuan masyarakat.2
Memasuki akhir abad dua puluh, hukum keluarga mengalami perubahan
yang mendasar baik secara teoretik atau praktis. Jika dahulu hukum keluarga
hanya identik dengan hukum atau Undang-undang Perkawinan saja, maka dewasa
ini hukum keluarga justeru terikat dengan berbagai peraturan perundang-
undangan. Seperti halnya di Indonesia, bidang keluarga tidak hanya diatur dalam
Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tetapi juga dalam
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang
Perlindungan Anak, Undang-undang Peradilan Agama.3
Meskipun Undang-undang Perkawinan di satu Negara belum direvisi atau
diperbarui, tetapi perangkat hukum lainnya telah mengalami perubahan cukup
jauh. Sehingga apabila hanya memandang Undang-Undang Perkawinan saja yang
2 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SYAHID, 2011), h. 3. 3 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, h. 4.
3
merupakan hukum keluarga, maka gambaran perkembangan hukum keluarga yang
terjadi di negara-negara Muslim termasuk di Indonesia selama ini justru tidak
terpotret secara komperhensif.4 Untuk memelihara dan melindungi serta
meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut maka perlulah
disusun peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan dan keluarga.5
Melihat dari berbagai fenomena perkawinan yang ada dalam masyarakat
sekarang ini khususnya di Indonesia, kita bisa melihat bahwa masih banyak
perkawinan yang belum sesuai dengan maksud dan tujuan dilangsungkannya
perkawinan yaitu sakinah mawaddah wa rahmah. Oleh karena itu dari dampak-
dampak hal tersebut maka banyak perkawinan yang tidak langgeng yang
kemudian berakhir dalam perceraian.
Sebagai tindakan preventif, maka dibutuhkan konsep yang perlu dipegang
dalam menjalankan rumah tangga yang diajarkan oleh Rasul SAW. Konsep inilah
yang menjadi salah satu pondasi utuh dalam membangun sebuah keluarga yang
sakinah mawaddah wa rahmah sebagai tujuan pernikahan itu sendiri. Oleh karena
itu para ahli di Indonesia membuat suatu konsep tentang hukum keluarga yang
mengatur tentang hukum perkawinan. Salah satunya adalah Muhammad Amin
Suma, beliau memberikan konsep mengenai beberapa asas yang harus dijalankan
dan dipatuhi untuk mendapatkan tujuan pernikahan yang langgeng yaitu sainah
mawaddah wa rahmah.
4 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, , h. 5. 5 Sajtipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), h. 146.
4
Berangkat dari latar belakang di atas, hukum keluarga dewasa ini tentu
telah dan tengah mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan ini
mendorong adanya perubahan hukum mengenai hukum keluarga. Untuk itu,
dibutuhkan konsep yang perlu dipegang dalam menjalankan rumah tangga dari
ahli hukum keluarga di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dirasa
penting mengenai “Konsepsi Hukum Keluarga Islam di Indonesia Menurut
Muhammad Amin Suma“ sebagai salah satu alternatif untuk membaca
pemikiran Muhammad Amin Suma dalam bidang Hukum Keluarga Islam.
B. Identifikasi Masalah
Berbicara mengenai konsep Hukum Keluarga Islam akan selalu
mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga sangatlah penting untuk
mengetahui mengenai konsep Hukum Keluarga Islam untuk membangun sebuah
keluarga yang sakinah mawaddah warahmah sebagai tujuan perkawinan.
C. Pembatasan Masalah
Seperti yang telah dipaparkan di atas berbicara masalah Hukum
Keluarga Islam tentunya akan sangat luas mengingat banyaknya kaum muslim
yang tersebar di seluruh penjuru Dunia dan banyak pula tokoh-tokoh atau ahli di
bidang hukum keluarga termasuk di Indonesia yang ikut berkontribusi dalam
pemikirannya, maka untuk lebih memfokuskan dan lebih terarah dalam penulisan
skripsi ini maka akan di bahas mengenai Konsep Pemikiran Hukum Keluarga
Islam di Indonesia menurut Muhammad Amin Suma.
5
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
1. Apa saja pokok-pokok permasalahan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
menurut Muhmmad Amin Suma?
2. Bagaimana Hukum keluarga Islam di Indonesia menurut Muhammad
Amin Suma?
3. Bagaimana Posisi Muhammad Amin Suma dalam bidang Hukum
Keluarga Islam?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pokok-pokok permasalahan Hukum Keluarga Islam di
Indonesia menurut Muhammad Amin Suma
b. Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Indonesia menurut Muhamma
Amin Suma
c. Untuk mengetahui posisi Muhammad Amin Suma dalam bidang Hukum
Keluarga Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian skripsi ini adalah :
a. Sebagai wujud kontribusi penulis dalam perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya Hukum Keluarga Islam.
6
b. Sebagai pengetahuan dan gambaran khususnya bagi pembaca dan umumnya
bagi masyarakat mengenai konsep pemikiran Hukum Keluarga Islam di
Indonesia menurut Muhammad Amin suma.
c. Mengetahui dan mendapatkan ilmu yang berharga dalam pemikiran
Muhammad Amin Suma, yakni dalam bidang Hukum Keluarga Islam.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research),
data penelitian merujuk pada literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi.6
Di mana buku-buku sebagai sumber datanya dengan jalan menelaah dan
memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi
pembahasaan ini.7 Dalam hal ini penulis menelaah buku-buku yang ditulis oleh
Muhammad Amin Suma tentang Hukum Keluarga Islam yang merupakan sumber
primer, yaitu buku Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, buku Kawin Beda
Agama di Indonesia, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma.
Selain itu juga menggunakan buku-buku lain yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini sebagai sumber skunder, yaitu Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hukum Perkawinan Islam
Sasak, Hukum Perdata Islam, Fiqh Munakahat, Hukum Keluarga Pidana dan
Bisnis, Hukum Keluarga Indonesia, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, Perbandingan Hukum Perdata, Islam Negara. Dan peraturan
6 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 16.
7 Aceng Mumus Muslimin,” Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut Khairuddin Nasution,”
(Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, 2012), h. 14.
7
perundang-undangan sebagai sumber tersier, seperti UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU No 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk,
Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagai Pegawai Negeri Sipil, dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
pendekatan normatif. Pendekatan penelitian ini juga bisa disebut sebagai
pendekatan hukum doktriner atau penelitian perpustakaan, dikarenakan
pendekatan normatif ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis
sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan. Kemudian
menjelaskan dan menyajikan melalui sumber-sumber pustaka karangan
Muhammad Amin Suma dan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.8
3. Sumber Data
Sumber data ini terdiri dari data primer, skunder dan tersier.
a. Adapun yang menjadi sumber data primer yaitu buku-buku Muhammad
Amin Suma. Di antaranya buku tentang Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam, Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Refleksi 55 Tahun
Muhammad Amin Suma, dan buku-buku lainnya yang berhubungan eret
dengan penulisan skripsi ini.
b. Sedangkan yang termasuk data skunder adalah buku-buku, jurnal, dan
berbagai karya ilmiah yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam
skripsi ini.
8 Idrus Habsyi, “ Konsep Iman Menurut Ibn Taimiyyah,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 8.
8
c. Dan data tersier merupakan perturan Perundang-undangan baik UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, kompilasi Hukum Islam, dan peraturan
lainnya mengenai Hukum Keluarga Islam.
4. Alat Pengumpul Data dan Analisis Data
a. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data tidak lain dari satu proses pengadaan data primer
untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis
dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.9 Untuk dapat
memperoleh semua data yang dikumpulkan dalam penelitian ini maka di
butuhkan alat pengumpul data sebagai berikut:
1) Studi dokumen, penulis akan mengumpulkan data mengenai buku-buku
Muhammad Amin Suma, dan berbagai hal yang berkaitan langsung
dengan penelitian ini, baik berupa sumber skunder maupun tersier. Dan
juga dilakukan dengan teknik analisis dokumen atau analisis isi.10
1) Indept interview (wawancara yang mendalam) terhadap tokoh yang
akan dijadikan sebagai sumber informasi perihal tema penulisan
skripsi ini yaitu Muhammad Amin Suma. Sehingga data yang
diperoleh dikembangkan, dan melakukan pengumpulan data
wawancara.11
Dalam interview ini selalu melibatkan dua pihak yang
berbeda fungsinya yaitu seorang pengejar informasi dan seorang
9 Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), h. 174.
10 Nana Syaodih Sukmadiata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Rosada, 2008), h.
81. 11
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Selemba Humanika,
2012), h. 152.
9
pemberi informasi.12
Wawancara tersebut dilakukan secara
mendalam sehingga bisa menggali lebih mendalam apa yang
terembunyi dalam sanubari seseorang.13
Serta melakukan analisis
wawancara, analisis wawancara menfokuskan pada pesan yang
tersembunyi atau memperhatikan makna yang tersirat.14
b. Analisis Data
Dalam pengolahan data digunakan metode analisis isi (content
analysis), yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi
atau informasi.15
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan ini akan diurai dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga
disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah yang
telah dirumuskan. Selanjutnya semua bahan dan data dianalisis. 16
Analisi isi dalam pembahasan ini dipergunakan untuk menganalisis
makna yang terkandung dalam pemikiran tokoh.17
Kemudian akan dilakukan
penarikan kesimpulan terhadap konsepsi perkawinan menurut Muhammad
Amin Suma yang kemudian akan dibandingkan menggunakan comparatif
analisis. Comparatif analisis di sini yaitu membandingkan pemikiran-
12
Sukandarumidi, Metode Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), h 89. 13
Burhan Bungin, DataPenelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2007), h.
67. 14
Muhammad Ristar, “Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara,” (Tesis S2
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 16. 15
Andre Yuris. “Berkenalan dengan Analisis Isi (Cintent Analysis)” Artikel diakses pada 5
April 2016 dari https://andreyuris.wordpress.com/2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/. 16
Amiruddin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2003), h. 4. 17
Zaini Miftah, “Konsep Homescooling dalam Pendidikan Islam,” Tesis S2 Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 24.
10
pemikiran Muhammad Amin Suma dengan tokoh-tokoh lain mengenai
konsepsi Hukum Keluarga Islam.
G. Tinjauan Studi Terdahulu
Berkaitan dengan konsep hukum keluarga Islam di Indonesia, penulis
mengambil beberapa literatur yang berkaitan sekaligus dijadikan sebagai rujukan
dalam penulisan skripsi ini. Dan yang paling pokok adalah buku-buku yang ditulis
Muhammad Amin Suma yang merupakan objek kajian dalam pembahasan skripsi
ini.
Sedangkan kalau kita melihat skripsi-skripsi yang terdahulu terhadap
perkembangan Hukum keluarga Islam sudah banyak dan terus di up-date dalam
berbagai bentuk karya baik itu melalui buku-buku seperti di atas, jurnal, dan yang
lainnya. Begitu juga mengenai kajian tentang tokoh-tokoh yang diteliti. Namun
demikian belum ditemukan karya ilmiah berupa Skripsi yang dibuat oleh temen-
temen sebelumnya sebagai tugas akhir pendidikan strata yang membagas tentang
kajian Konsepsi Hukum Keluarga Islam menurut Muhammad Amin Suma,
terlebih belum ada yang membahas atau mengangkat judul skripsi mengenai
pemikiran Muhammad Amin Suma.
Hal yang membedakan skripsi ini dengan tulisan yang terdahulu adalah
mengenai tokoh yang dikaji, Konsepsi Hukum Keluarga Islam, dan apa saja
pokok-pokok permasalahan dalam bidang Hukum Keluarga Islam di Indonesia.
Tentunya hal tersebut berkaitan dengan konsep muhammad Amin Suma.
11
H. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab Pertama, Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan
yang akan di bahas. Pendahuluan berisikan latar belakang masalah, yang
menjelaskan tentang permasalahan yang diangkat perlu diteliti. Identifikasi
masalah, mendata dan mengidentifikasi permasalahan yang berhubungan dengan
tema penelitian. Pembatasan Masalah18
, yang dimaksudkan agar lebih terfokuskan
dalam permasalahan agar supaya tidak ada tumpang tindih dengan masalah lain
yang tidak ada kaitannya dengan penelitian. Perumusan Masalah, berisikan
tentang uraian masalah yang akan diteliti, yaitu pernyataan tegas mengenai apa
yang akan menjadi tema penelitian. Tujuan Penelitian, yaitu rumusan mengenai
apa sebenarnya yang ingin diketahui oleh peneliti sehingga menjawab seluruh
pertanyaan penelitian. Manfaat Penelitian, diharapkan dari hasil penelitian yang
dilakukan menghasilkan nilai guna dari penelitian. Metode Penelitian,
menguraikan tentang bagaimana cara kerja dan prosedur pelaksanaan penelitian,
dalam arti kata metode apa yang akan digunakan dalam menjalankan penelitian
ini. Tinjauan Studi Terdahulu, menjelaskan mengenai kajian-kajian terdahulu
yang berkaitan dengan tema penelitian. Sitematika Penulisan, menjelaskan
sistematika penulisan yang berisikan deskripsi karya tulisan per bab, uraian
tersebut dijelaskan dalam bentuk esai yang menggambarkan alur dari bahan
pembahasan dalam skripsi yang akan dijelaskan.
18
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2012), h. 21.
12
Bab Kedua, Konsepsi dan Praktik Perkawinan Islam di Indonesia yang
memaparkan mengenai bagaimana konsep dan praktik perkawinan Islam di
Indonesia. Berisikan mengenai regulasi perkawinan, bagaimana proses
perkawinan seharusnya dilaksanakan supaya perkawinan itu dianggap sah atau
diakui oleh Negara sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Dinamika
perkawinan yang menjelaskan bagaimana permasalahan-permasalahan mengenai
perkawinan. Praktik perkawinan yang menjelaskan mengenai realita perkawinan
di Indonesia. Dan bagaimana posisi hukum keluarga Islam di Indonesia dalam
Tata Hukum Indonesia.
Bab Ketiga, menjelaskan mengenai biografi Muhammad Amin Suma.
Mulai dari latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, prestasi yang diraih
dan aktifitas atau kegiatan yang pernah atau sedang beliau jalankan, karya-karya
yang dihasilkan dalam bentuk buku.
Bab Keempat, merupakan bab inti yang merupakan pembahasan dalam
skripsi ini. Yakni menganalisis konsepsi Muhammad Amin Suma tentang
bagaimana Hukum Keluarga Islam di Indonesia ini harus dijalankan dengan
sebaik-baiknya, sehingga kita mendapatkan jawaban dan kesimpulan atas
pertanyaan penelitan dalam skripsi ini.
Bab Kelima, bab ini merupakan bagian bab akhir dalam penulisan skripsi
ini yang di dalamnya berisikan kesimpulan dari penelitian dan saran-saran yang
bersifat membangun bagi penyempurnaan skripsi penelitian ini.
13
BAB II
KONSEPSI DAN PRAKTIK PERKAWINAN ISLAM DI
INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan
Menurut bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “Kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh,1 berbini (berlaki)
2 Perkawinan disebut juga
“Pernikahan” berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh. Kata
“Nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad
nikah.
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki. Zakiah Daradjat
memberikan definisi perkawinan yang lebih luas, yaitu akad yang memberikan
faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria
dan wanita dengan mengadakan tolong menolong dan memberikan batas hak bagi
pemiliknya serta pemenuhan hak kewajiban bagi masing-masing.3 Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa memahami kata nikah bisa memastikan
maksud pemaknaan kata nikah dari rangkaian kata-kata yang digunakan.
1 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) cet. Ke-3,
edisi kedua, h. 456. 2 Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia, (Malang: C.V. Penerbit, 1999), h. 156.
3 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, h. 37.
14
Kata nikah sesungguhnya bisa didekati dari tiga sudut pandang (aspek)
pengertian yang berbeda satu sama lain, namun pada saat yang bersamaan
memiliki satu kesatuan konsep yang sedemikian rupa utuh dan padunya. Ketiga
macam pengertian atau tepatnya sudut pandang pernikahan yang dimaksud ialah:4
Pertama, nikah dari sudut pandang lughawi (kebahasaan), dimana nikah
diartikan dengan berkumpul atau berhimpun (al-jam’ wa adh-dhamm), atau
bersetubuh dan akad (al-wath’ wa al-‘aqd).
Kedua, dari sudut pandang (pengartian) syar’i atau al-usuli, di mana para
ulama berbeda pendapat ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Kelompok pertama, berpendapat bahwa nikah itu secara hakiki maksudnya
adalah bersetubuh atau bersenggama, dan secara majazi maksudnya adalah
akad.
b. Kelompok kedua, mengatakan sebaliknya bahwa yang kahiki dari nikah
adalah akadnya itu sendiri, sedangkan majazinya adalah bersebadan,
bersetubuh, berjima, atau bersenggama.
c. Kelompok ketiga, mengatakan bahwa nikah itu adalah lafal musytarak,
yakni kata-kata yang memiliki makna ganda, bahkan multi dan lazim
digunakan untuk pengertian yang menggabungkan antara makna yang satu
dengan makna yang lain. Dalam hal kata “nikah”, pada satu sisi digunakan
untuk pengertian akad dan sekaligus untuk makna persetubuhan pada sisi
yang lain. Maksudnya, kata “nikah” lazim digunakan untuk dua maksud
pengertian yang paralel dalam hal ini antara kata “nikah” dalam arti
4 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia (Tangerang: Lentera Hati,
2015), h. 18
15
bersetubuh. Pasalnya, bisa jadi ada orang yang bersetubuh tanpa akad
nikah lebih dulu alias zina, dan pada saat yang bersamaan sangat mungkin
ada orang yang melakukan akad nikah, namun bukan untuk tujuan
persetubuhan. Kemungkinan ada orang bersenggama tanpa nikah, ini zina
namanya. Dan kemungkinan ada orang menikah bukan untuk senggama,
itu dipastikan sesuatu yang luar biasa diluar adat kebiasaan orang menikah.
Misalnya orang impoten atau orang yang sudah tidak lagi memiliki nafsu
biologis, karena usia yang sudah terlalu tua atau karena faktor lain diluar
itu, namun dia tetap memerlukan teman hidup untuk tujuan lain diluar
pemenuhan biologis yang memang sudah tidak lagi dia perlukan.
Ketiga, pengertian nikah dari sudut pandang Ilmu Fiqih di mana para ahli
fiqih juga berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian nikah. Kalangan
ulama Hanafiah, misalnya sebagian dari mereka mendefinisikan nikah sebagai
“akad yang memberikan faedah (manfaat) dalam bentuk milik atau tepatnya hak
untuk bersenang senang dengan sengaja”. Kalangan ulama Malikiyah,
mendefinisikan nikah sebagai “akad yang dilakukan dengan motif semata-mata
untuk mendapatkan kepuasan seksual (al-taladzdzudz) dengan perempuan
(adamiyyah). Kalangan ulama Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai “akad
yang menjamin hak kepemilikan (suami istri) untuk bersenggama dengan
menggunakan lafal nikah atau tazwij, atau dengan mengunakan lafal lain yang
mengandung pengertian keduanya. Kalangan ulama Hanabilah, mendefinisikan
nikah dengan “akad yang menggunakan lafal keduanya untuk memperoleh
manfaat berupa senang-senang (al-istimta).
16
Seiring dengan perjalanan waktu definisi ini mulai berubah, dengan lebih
menekankan aspek tujuan dan maksud dari perkawinan. Sebagaimana ditetapkan
di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
untuk membentuk rumah tangga (keluarga) bahagia yang kekal abadi
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang tidak
mengurangi arti-arti definisi undang-undang tersebut, namun bersifat menambah
penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut:
Perkawinan menurut hukum islam adalah perikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqin ghalizha untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.6
Ungkapan Akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan merupakan
penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan
undang-undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah
semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ini lebih menjelaskan bahwa
perkawinan bagi umat islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu
orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.7
5 Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974.
6 Lihat Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Pernadamedia Grup, 2014), h. 41.
17
Undang-Undang mendefinisikan perkawinan tidak hanya sebagai
hubungan sekual, tetapi juga sebagai ikatan lahir dan batin di antara suami dan
istri, dengan tujuan untuk memebentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal. Ketentuan ini semakin menyiratkan adanya pengaruh kepentingan
masyarakat moderen yang lebih menghormati hubungan keluarga sebagai sebuah
ikatan suci dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.8
Pengertian-pengertian di atas nampaknya dibuat hanya melihat dari satu
segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan
seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Seperti terjadinya
perceraian, kurang adanya keseimbangan antara suami dan istri, sehingga
memerlukan penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan
seksual tapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.9
Menurut Amir Syarifuddin ada beberapa hal dari rumusan Undang-undang
Perkawinan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:10
Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah jesin kelamin yang berbeda. Hal
ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu itu telah dilegalkan oleh
beberapa negara Barat.
Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti
bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jelis kelamin yang berbeda dalam
suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah hidup bersama.
8 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SYAHID, 2011), h. 260 9 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 9.
10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 40.
18
Ketiga, dalam definisi terebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus
perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan
perkawinan tahlil.
Keempat, disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa
menunjukan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan
dilakukan untuk memenuhi perintah agama.
B. Regulasi Perkawinan
Dewasa ini perundang-undangan telah mengatur tata cara perkawinan dan
perceraian secara jelas dan rinci, keadaan ini dapat menjamin adanya kepastian
hukum di bidang hukum Perkawinan. Adapun tata cara pelaksanaan perkawinan
ini diatur dalam peraturan perundang-undangan pasal 12 Undang-undang
Perkawinan yaitu UU No 1 Tahun 1974. Adapun tata cara pelaksanaannya
ditentukan lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan yang dikaitkan dengan adanya pengumuman
kehendak perkawinan, yaitu Peraturan Pemerintah RI No 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan.
Sebelum perkawinan dilaksanakan, kedua calon mempelai dianjurkan
melakukan persiapan. Setelah melakukan persiapan, sesuai dengan PP No 9
Tahun 1975 pasal 3 menjelaskan11
:
“Setiap orang yang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Nikah ditempat perkawinan akan
dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap
11
PP No 9 Tahun 1975 pasal 3.
19
jangka waktu tersebut disebabkan sesuatu alasan yang penting, sehingga dapat
diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah”
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan
pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum Sesuai dengan Pasal 9 PP No 9 Tahun 1975.
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah seperti yang dimaksud dalam
Pasal 8 Peraturan Pemerintah. Namun, bilamana dalam tenggang waktu satu bulan
terhitung sejak pengumuman kehendak kawin, perkawinan tersebut tidak
dilangsungkan maka perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan kembali kecuali
setelah diulangi lagi pengumuman kembali untuk kedua kalinya seperti semula.
Setelah perkawinan dilansungkan, kemudian dilaksanakan penanda
tanganan akta perkawinan sesuai peraturan. Sesaat sesudah dilangsungkkannya
perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 PP ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setelah akta perkawinan ditandatangani oleh
mempelai, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua orang saksi dan Pegawai
Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, serta ditandatangani juga oleh wali nikah atau yang
mewakilinya. Dengan adanya penandatanganan akta perkawinan, maka
perkawinan tersebut telah tercatat secara resmi.
20
Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah, maka kedua mempelai menandatangani
akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku. Menurut ketentuan pasal 10 ditegaskan bahwa12
:
1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke sepuluh sejak pengumuman kehendak
oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam pasal 8 PP ini,
2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu,
3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, maka perkawinan harus dilaksanakan di
hadapan PPN dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Selain hal-hal yang sudah dijelaskan di atas mengenai tata cara pernikahan
ada beberapa poin penting juga yang harus diketahui mengenai pengaturan
tentang perkawinan, Pertama, Pencatatan Perkawinan. Sebagaimana diktahui,
konsepsi hukum Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan atau
pendaftaran, yang ada hanya pembuktian yang didasarkan kepada dua orang saksi
yang dapat dipercaya.13
Di Indonesia, UU RI No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat
(2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dijelaskan juga dalam Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) di jelaskan14
:
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,
dan Rujuk.
12
PP No 9 Tahun 1957 Pasal 10. 13
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, , h. 262. 14
PP No 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (1) dan (2).
21
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud
dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan
Adapun dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) menyebutkan15
:
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperlukan. Adapun fungsi dan
kegunaan pencatatan adalah untuk memberikan jaminan hukum terhadap
perkawinan yang dilakukan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan sungguh-
sungguh, berdasarkan itikad baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan
transaksi bener-benar akan menjalankan segala konsekuensi atau akibat hukum
dari perkawinan yang dilaksanakannya itu. Melalui pencatatan perkwinan yang
dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami isteri mendapatkan
salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau
salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lainnya dapat melakukan
upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.16
Kedua, Beristeri Lebih dari Seorang (Poligami). Poligami menjadi salah
satu isu yang cukup marak di Negara-negara Muslim, karena secara mendasar
hukum Islam tidak pernah menetapkan keharaman poligami. Hanya beberapa
pemikiran muslim kontemporer, melalui penafsiran yang bersifat ijtihadi,
mengharamkan poligami untuk masa sekarang ini.17
15
PP No 9 Tahun 1975 Pasal 3 ayat (1) dan (2). 16
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 131. 17
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, h. 268.
22
Di tengah perdebatan tersebut, hukum keluarga indonesia, sebagaimana
ditetapkan di dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menerapkan jalan
tengah yang sebetulnya masih mengakomidasi ketentuan hukum Islam dalam
poligami. Pasal 3 UU Perkawinan Indonesia menyatakan bahwa pada asasnya
seorang pria hanya boleh memiliki seorang siteri dan seorang perempuan hanya
boleh memiliki satu orang suami. Namun dalam pasal 3 ayat (2) menyebutkan
pula, bahwa Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.18
Ada dua hal yang harus diberikan penegasan yakni pertama, poligami
hanya bisa dilakukan apabila memperoleh ijin dari Pengadilan. Kedua, pengadilan
hanya akan mengeluarkan ijin apabila poligami itu dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.19
Pelaksanaan tidak boleh dilakukan secara liar, ada beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika hendak berpoligami dengan
mengajukan permohonan ke Pengadilan. Seperti yang tercantum dalam KHI pasal
57 adalah :
(1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
(2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Dalam UU Perkawinan pasal 5 ayat (1) diperjelas lagi, untuk dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
18
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, h. 269. 19
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 162.
23
(1) Adanya persetujuan dari siteri/ isteri-isteri
(2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
Selain itu juga ada PP 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan tersebut mengatur bahwa PNS
yang akan berpoligami harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat
sebelum ia mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama. Izin dapat
diberikan oleh pejabat jika telah memenuhi syarat alternatif dan ketiga syarat
kumulatif (PP.No. 10 tahun 1983 pasal 10 [1]). Tujuan dibuatkannya PP 10 ini
adalah dinyatakan dalam konsideran pertimbangan poin b yakni Pegawai Negeri
Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi
teladan bagi warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam
menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.20
PP 45 Tahun 1990 merupakan perubahan dari PP 10 tahun 1983 tentang
ijin perkawinan dan perceraian bagi PNS yang mengubah aturan tersebut dan
mengatur bahwa PNS wanita tidak boleh menjadi isteri kedua dan seterusnya dari
baik laki-laki PNS maupun non-PNS.. Jika dibandingkan dengan PP 10 Tahun
1983 wanita PNS masih bisa jadi isteri kedua/ketiga/keempat asal suaminya
bukan PNS.21
20
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 164. 21
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 165.
24
Ketiga, Perceraian. Menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perceraian hanya dapat dilakukan di depaan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami siteri
itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
Keempat, Usia Perkawinan. Perkawinan usia dini memiliki efek negatif
bagi perkembangan seseorang atau rumah tangga. Di antara yang dapat disebutkan
adalah resiko kematian ibu atau anak yang dilahirkan dari usia yang belum
matang, kemungkinan besar terkena serangan kangker rahim, secara sosial
tingginya angka perceraian atau kegagalan membina hubungan keluarga karena
ketidak siapan masing-masing pasangan.22
Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum keluarga di
Indonesia memberikan pembatasan bagi suami untuk tidak menceraikan sitrinya
sewenang-wenang, tetapi melalui prosedur peradilan dan dengan alasan yang
dapat diterima.23
Yayan Sopyan dalam bukunya Islam Negara berpendapat, kita
harus mendorong untuk menyerahkan hak cerai ini kepada pengadilan. Artinya,
hanya pengadilanlah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan
talak. Talak tidak lagi dimiliki oleh suami secara progresif, dan juga oleh isteri.
Hal itu terjadi atas permohonan suami/isteri.24
22
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, h. 251-252. 23
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, h.278. 24
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 192.
25
Seperti halnya UU Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2)
tentang Perkawinan telah menetapkan bahwa :
(1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Salah satu syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan adalah telah
memenuhi batas usia yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi perempuan dan
apabila belum memenuhi umur ada upaya dispensasi untuk melakukan
perkawinan. Dispensasi perkawinan ialah permohonan dispensasi bagi calon
mempelai yang belum memenuhi ketentuan batasan usia minimal perkawinan,
yakni kurang dari 19 tahun untuk pria dan kurang dari 16 tahun untuk wanita. Jika
salah satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhi batasan usia tersebut
maka diwajibkan memiliki surat Dispensasi Kawin dari Pengadialan Agama
setempat.
Pasal 7 ayat (1) dan (2) menjelaskan :
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 17 UU No 1 Tahun 1974 yakni perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa usia perkawinan bagi seorang laki-
laki adalah 19 tahun dan bagi perempuan adalah 16 tahun, dengan terlebih dahulu
mendapatkan izin dari pengadilan. Dalam kondisi normal, seorang laki-laki atau
26
perempuan dapat menikah ketika mencapai usia 21 tahun.25
Perkawinan tidak bisa
diadakan sebelum calon mempelai mencapai umur yang ditetapkan, yaitu untuk
perempuan 16 tahun dan untuk laki-laki 19 tahun. Anak laki-laki dan perempuan
yang berusaha nikah sebelum umur yang telah ditetapkan tersebut maka harus
mendapat izin dari pengadilan. Selain itu, hukum negara menetapkan bahwa
perempuan dan laki-laki yang berusaha nikah tetapi sebelum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya secara tertulis.26
Aturan ini terdapat dalam KHI pasal 15 dan UU Perkawinan pasal 6 dan 7
yang menetapkan bahwa anak perempuan dan laki-laki bisa memasuki kehidupan
perkawinan jika mereka telah mencapai usia 16 tahun bagi perempuan atau 19
tahun bagi laki-laki, dan apabila belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
persetujuan secara tertulis dari orang tuanya. Artinya dalam hal ini seorang laki
atau perempuan yang akan menikah dan usianya sudah mencapai 21 tahun atau
lebih maka mereka tidak harus mendapatkan izin untuk melangsungkan
perkawinannya, izin secara tertulis dari k kedua orang tuanya ke Pengadilan
Agama setempat.
C. Dinamika Perkawinan di Indonesia
1. Pencatatan Perkawinan
Pada mulanya memang tidak terdapat aturan tentang keharusan pencatatan
perkawinan dalam aturan hukum Islam konvensional. Perkembangan zaman
telah mendorong para ulama untuk melakukan sebuah pembaruan mengenai
25
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional , h. 253. 26
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis.(Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013), h. 44.
27
perkawinan, tentunya perkembangan dengan berbagai pertimbangan
kemaslahatan, hukum perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya guna
kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat.27
di beberapa negara
muslim telah menyadarai bahwa kontrak perkawinan perlu didaftarkan sebagai
bukti dari pernikahan tersebut.
Seperti yang ditulis juga oleh Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep
Syarifuddin Hidayat, konsepsi hukum Islam tidak mengenal adanya pencatatan
perkawinan atau pendaftaran, yang ada hanya pembuktian yang didasarkan
kepada dua orang saksi yang dapat dipercaya. Ketika standar masyarakat
modern menghendaki adanya pencatatan atau pendaftaran perkawinan sebagai
bukti yang sah perkawinan, negara-negara Muslim meresponnya dengan sangat
berbeda.28
Berikut perbandingan pencatatan perkawinan di Negara-negara
Muslim :
Perbandingan Pencatatan Perkawinan di Negara-negara Muslim29
Negara Peraturan Perundang-
undangan
Sanksi
Indonesia Ada Tidak Ada
Filifina Ada Tidak Ada
Malaysia Ada Ada
Brunei Darussalam Ada Ada
Yaman Ada Tidak Ada
Sudan Ada Tidak Ada
27
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2013), h. 91. 28
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, h. 263. 29
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, h. 282-286.
28
Uni Emirat Arab Ada Tidak Ada
Bahrain Ada Tidak Ada
Tunisia Ada Ada
Yordania Ada Ada
Bangladesh Ada Ada
Undang-undang atau peraturan-peraturan yang buat oleh beberapa
negara Muslim secara umum memperlihatkan aturan tentang pencatatan
perkawinan. Namun, prinsip atau aturan-aturan yang dibuat dan digunakan dari
satu negara Muslim ke negara Muslim lainnya berbeda-beda. Beberapa negara
Muslim secara jelas mengatur tentang status atau posisi dari pencatatan
perkawinan tersebut, apakan pencatatan tersebut merupakan syarat administrasi
saja atau merupakan syarat kesahan secara agama.
Seperti halnya di Indonesia, aturan tentang pencatatan perkawinan
dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1946. UU ini hanya mengatur tentang
tentang administrasi perkawinan dan menegaskan bahwa pernikahan diawasi
oleh pegawai pencatat nikah, yang kemudian diperkuat dalam UU No. 1 tahun
1974 pasal 2 sasmpai pasal 9.
Kompilasi Kukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan dinyatakan
sah dengan hadirnya pencatatan perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan.
Apabila perkawinannya tidak didaftarkan maka berakibat pada
ketidakabsahannya suatu perkawinan, dan upayahukum di pengadilan akan
ditolak jika perkawinan tidak didaftarkan. Ini berarti, KHI tidak memberi ruang
bagi perkawinan yang tidak didaftarkan atau tidak dicatatkan. Namun, KHI
29
membedakan antara keabsahan secara agama dengan legalitas perkawinan
menurut negara, dengan demikian tidak menganggap perkawinan batal secara
agama jika pihak-pihak tidak mendaftarkan perkawinannya.30
Begitupun dalam UU Perkawinan Pasal 2 (1) menyatakan, perkawinan
dianggap sah jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan
masing-masing pasangan. Pasal ini seakan ingin menegaskan pernikahan tidak
perlu dicatatkan, karena tidak mengatur tentang keharusan untuk dicatatkan.
Namun, ayat selanjutnya menegaskan keharusan pencatatan, dan untuk
ketertiban, pernikahan harus dilaksanakan di depan pegawai pencatatan
nikah.31
Namun demikian baik UU Perkawinan ataupun KHI tidak mengatur
sanksi bagi mereka yang tidak mendaftarkan pencatatan pernikahannya.
Peraturan Pemerintah tahun 1975 yang menegaskan penerapan UU Perkawinan
mengatur tentang sanksi. Namun, sanksi yang ditetapkan hanya diberlakukan
bagi para pencatat, dengan menyatakan, jika seorang pencatat tidak
mendaftarkan perkawinan, dia didenda 7.500 rupiah. Pencatatan perkawinan
diatur tentunya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan
perlindungan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam dalam ikatan pernikahan.
Dengan adanya pencatatan, baik pihak suami maupun isteri mempunyai bukti
kuat telah dilangsungkannya pernikahan.
30
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 26. 31
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 27.
30
Berkenaan dengan persoalan pencatatan perkawinan tersebut, ada dua
pandangan yang berkembang.32
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa
pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan
hanya merupakan persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya
sebuah pernikahan. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan
perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.
Ahmad Rofiq menempatkan pencatatan perkawinan hanya sebagai
syarat administratif sangat tidak menguntungkan upaya sosialisasi UU
Perkawinan di Indonesia. Padahal apabila dilacak metodologisnya, secara
teknis para ulama ushul menyebutnya dengan maslahat al-mursalah.33
Lebih
jauh dari pencatatan ini lebih maslahat terutama bagi wanita dan anak-anak.
Dengan adanya pencatatan perkawinan dengan status hukum yang jelas, maka
berbagai macam bentuk kemudharatan seperti ketidak pastian status bagi
wanita dan anak-anak akan dapat dihindari.34
Pergeseran kultur lisan kepada
kultur tulisan sebaagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta
sebagai surat buktu autentik.
Selain itu juga, bila diperhatikan ayat tentang mudayanat (utang
piutang) mengisyaratkan bahwa adanya bukti autentik sangat diperlukan untuk
menjaga kepastian hukum. Bahkan secara redaksional menunjukan bahwa
32
Hartono Mardjono, Menegakan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung:
Mizan, 1997), h. 97. 33
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, h. 109. 34
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 135.
31
cacatan didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam perkawinan persaksian
menjadi salah satu rukun yang harus dilaksanakan.35
QS. Al-Baqarah [2] : 282 :
ا يأ ي ي سمى ف ٱلذ جن ي
إل أ ا إذا حداينخى ةدي ه ءاي ولمخب ٱكخت
كى كحب ة ٱهعدل ةذي ا عوذ ن يكخب لب كحب أ
ول يأ ٱللذ
ون يفويمخب ول ولخذق ٱلق عوي ٱلذ ٱللذ ۥربذ ول يتخس ي ا ى شي
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah, tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Dengan demikian, salah satu bentuk pembaharuan hukum keluarga
Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan
perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena
masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab Fiqih ataupun fatwa-
fatwa Ulama.36
2. Poligami
Pada prinsipnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami. Seperti dalam surat al-Nisa [4] : 3:
35
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011. 36
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 121
32
ف إون ا لذ تقسط ف ٱلتم خفخى أ ا ٱكح ٱهنساء يا طاب هكى ي
كى يمو يا مومج أ
حدة أ فن ا لذ تعدل
ع فإن خفخى أ د ورب يرن وذل
ا لذ تعلدن أ
لك أ ٣ذ
Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dan juga seperti dalam surat al-Nisa [4] : 129
بي وه ا ن تعدل أ ا حرصخى ٱهنساء تسخطيع كذ ول ا يو ين فل ح ٱل
ا ل عوذقث فخذرو ا فإنذ ٱل ا وتخذق إون حصوح ا ٱللذ ى ا رذحي ١٢٩كن غفرى Artinya: dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kedua ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukan bahwa prinsip perkawinan
dalam Islam adalah monogami. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-
rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, atau beristri lebih dari seorang
perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dipenuhi dengan baik.37
Hal
ini kemudian diperkuat dengan UU Perkawinan pasal 3. Yaitu :
1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seeorang sitri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
37
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 140.
33
2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
Masalah poligami memang bukan isu baru dalam wacana perdebatan
hukum Islam. Namun, karena aturan-aturannya yang terus berkembang di
beberapa negara termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang
dari para ulama dan ahli hukum terkait dengan hukum berpoligami, sehingga
isu poligami masih tetap menarik untuk terus didiskusikan.
Berlaku adil kepada para istri itu hanya dipersyaratkan dalam hal-hal yang
bersifat lahiriah, seperti rumah yang sama, jadwal yang sama, nafkah yang
sama, dan sebagainya. Suami tidak diminta untuk berlaku adil dalam cinta dan
hal-hal lain yang berada di luar kendalinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT, seperti dalam Q.S an-Nisa ayat 129 di atas.38
Poligami merupakan salah
satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus
kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi
baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan
ketidakadilan jender. Bahkan para penulis Barat sering mengklaim bahwa
poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat
diskriminatif terhadap perempuan.39
Hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk
berpoligami atau beristri lebih dari satu orang perempuan, sepanjang
persyaratan keadilan di antara istri dapat dipenuhi dengan baik. Karena hukum
Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya agar poligami
38
Muhammad Mutawwali Sya’rawi, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Askara, 2006), h.
155. 39
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 156.
34
dapat dilaksanakan manakala memang diperlukan, tidak merugikan, dan tidak
terjadi kesewenang-wenangan terhadap isteri, maka hukum Islam di Indonesia
perlu mengaturnya.40
Sering terjadi bahwa para hakim tidak menerapkan aturan-aturan poligami
dengan ketat. Beberapa dari mereka meluluskan permohonan poligami para
suami, meskipun mereka tidak dapat menghadirkan alasan seperti tertuang
dalam aturan. Konsep ijtihad sering mereka elukan dan mereka jadikan
pegangan. Selain itu, kemaslahatan yang kadang sering dipahami tidak tepat,
sering juga dipakai untuk meluluskan permohonan poligami para suami.41
Sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir tentang perlindungan
hak-hak individu manusia, aturan poligami yang ditemukan dalam buku-buku
Fiqih mengalami penafsiran ulang dan pembaruan. Sama halnya dengan di
beberapa negara lain, seperti di Indonesia poligami diatur dalam UU No 1
tahun 1974 dan KHI yang menjelaskan bahwa poligami dimungkinkan untuk
dilakukan. Dengan kemungkinan diizinkannya seorang laki-laki melakukan
poligami, maksimal dengan empat orang.
Permasalahan tersebut di atas dapat dianggap memberikan celah pada
ketidakadilan bagi perempuan dan bisa dengan demikian dianggap
bertentangan dengan CEDAW pasal 16. Hak-hak yang ditentang dalam hal ini,
salah satunya, adalah hak atas kesetaraan atau kesamaan isteri dan suami dalam
menentukan nasib pernikahan mereka, ketika isteri sering merasa tidak
mempunyai hak untuk ketidaksetujuannya atas`pernikahan kedua yang
40
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, , h. 140. 41
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 31.
35
diinginkan suami.42
Pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap
sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan
prostitusi.
3. Usia Perkawinan
Sebagaiman diketahui, hukum Islam tidak menetapkan usia minimal
kecakapan seseorang untuk melangsungkan perkawinan, kecuali adanya
ketetapan bahwa seseorang tersebut telah baligh atau mumayyiz. Perdebatan
tentang kecakapan perkawinan memang mengemuka di antara para Ulama
fiqih, tetapi tidak pada apakah usia tersebut layak menikah atau tidak, tetapi
lebih kepada kecakapan seorang perempuan untuk menikahkan dirinya sendiri.
Usia perkawinan dipandang perlu memperoleh perhatian dan pengaturan yang
jelas. Maka, selain usia minimun perkawinan ditetapkan, beberapa negara
mengatur cara untuk mengantisipasi masih dimungkinkannya pernikahan di
bawah umur bisa dilaksanakan.43
Beberapa KUA mengaku sering didatangi oleh pasangan yang ingin
menikah, padahal usia dari salah satu pasangan belum cukup. KUA dengan
tegas menolak permohonan pernikahan dan mengarahkan pasangan untuk
datang ke Pengadilan meminta dispensasi jika mereka tetap ingin menikah
pada usia yang belum memadai. Beberapa pasangan mengikuti arahan KUA.
Namun, banyak dari mereka yang melaksanakan pernikahannya dengan
42
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 34. 43
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontempore, h. 251.
36
kondisi usia yang belum cukup dengan hanya menghadirkan sesepuh atau
tokoh ulama, dan akhirnya tidak mencatatkan pernikahan mereka.44
Aturan tersebut tentunya secara luas telah dipahami oleh para hakim
pengadilan, dan para hakim menyetujui aturan itu. Namun, karena sejumlah
alasan mereka kadang-kadang mengabaikannya dan memberi izin kepada
mereka yang dibawah usia minimum untuk menikah melalui aturan dispensasi.
Banyak sekali pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur dan
mereka mendatangi pengadilan untuk memohon dispensasi. Dengan alasan
kemaslahatan, para hakim sering mengabulkan permohonan dispensasi nikah
tersebut.45
Meskipun Undang-undang telah menentukan batas usia minimum
bagi seseorang untuk menikah, dengan kuatnya tradisi dan kebiasaan yang ada
di masyarakat, Undang-undang selalu membuka peluang bagi pasangan yang
belum mencapai usia minimal perkawinan untuk menikah dengan terlebih
dahulu meminta persetujuan dari pengadilan atau walinya.
Terkait dengan usia perkawinan, UU Perkawinan di Indonesia telah
mengatur soal umur berapa seorang laki-laki atau perempuan bisa menikah.
Perkawinan tidak bisa dilaksanakan sebelum calon mempelai mencapai umur
yang telah ditetapkan, yaitu untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Seperti yang sudah tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15
dan UU Perkawinan pasal 7. Namun, meskipun aturan tersebut sudah ada dan
beberapa pihak menerapkan aturan tersebut, beberapa pihak lain masih ada
yang melakukan pernikahan dalam usia yang belum mencukupi dan tidak
44
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 45. 45
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 46.
37
memohon dispensasi ke Pengadilan Agama, sehingga pernikahannya tidak
dilaksanakan di depan pegawai pencatat nikah.
Berdasarkan pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia perkawinan,
lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan
perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan
kasih sayang. Dalam hal ini Undang-undang Perkawinan tidak konsisten. Di
satu sisi, Pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan
perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
izin kedua orang tua, di sisi lain Pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Bedanya, jika kurang dari 21 tahun,
yang diperlukan izin dari orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun, perlu izin
pengadilan, ini di kuatkan Pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.46
Perlu dikemukakan bahwa meskipun penekanan dari pembedaan yang
diatur di Indonesia jelas, bahwa dispensasi anak yang dikemukakan dalam UU
Perlindungan Anak lebih menekankan pada hak-hak anak secara umum ketika
ia berada di bawah usia 18 tahun dan ketika ia berusia di atas 18 tahun, dan di
mana penetapan usia minimum pernikahan anak perempuan, yaitu 16 tahun
seperti diatur dalam KHI menekankan hanya pada batas minimum usia
kebolehan anak perempuan untuk menikah, pembedaan tersebut menimbulkan
kerancuan dan kebingungan pemahaman di beberapa kalangan..47
46
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 60-61. 47
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 49.
38
Apabila dibandingkan dengan batasan usia calon mempelai di beberapa
negara Muslim, Indonesia secara definitif belum yang tertinggi tapi juga tidak
yang terendah. Berikut data komparatif yang dikemukakan Tahir Mahmood
dalam buku Personal Law in Islamic Countries yang dikutip dari Ahmad
Rofiq.48
Perbandingan Batas Usia Nikah di Negara-negara Muslim
Negara Laki-laki Perempuan
Aljazair 21 18
Bangladesh 21 18
Mesir 18 16
Indonesia 19 18
Irak 18 15
Jordania 16 17
Libya 18 16
Malaysia 18 15
Maroko 18 15
Yaman Utara 15 16
Pakistan 18 18
Somalia 18 18
Yaman Selatan 18 16
Suriah 18 17
Tunisia 19 17
Turki 17 15
48
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 61.
39
4. Perkawinan antar Pemeluk Agama yang Berbeda
Perkawinan antar pemeluk yang beda agama merupakan permasalahan
yang sangat sensitif untuk dibahas. Masalah pernikahan beda agama sampai
saat ini masih kontroversial di kalangan ulama Indonesia. Perdebatan atas
hukum atau aturan pernikahan beda agama disebabkan oleh perbedaan
interpretasi terhadap ayat al-Quran yang menjelaskan tentang hukum
pernikahan beda agama.
Terkait masalah perbedaan agama ini, Indonesia melalui UU Perkawinan
No 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Saatsblad 1898 No 185
menatur dengan jelas tentang Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde
Huwelijken. Menilik pasal-pasal saatsblad tersebut secara tegas salah satu
ayatnya menjelaskan, perbedaan agama tidak dapat dijadikan sebagai alasan
untuk mencegah terjadinya perkawinan. Sehingga perkawinan beda agama
dibolehkan dan mempunyai dasar hukum di Indonesia. Namun, aturan ini
menurut beberapa kalangan ahli hukum dihapus atau dibatalkan oleh UU
Perkawinan. Meskipun tidak secara langsung menyatakan bahwa perkawinan
beda agama dilarang.49
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menjelaskan, perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Pasal 44 KHI secara eksplisit mengatur tentang larangan
perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah dan
begitupun sebaliknya. Pasal 44 KHI tersebut menjelaskan bahwa, seorang
49
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 66.
40
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam.
Terkait dengan aturan tentang pernikahan beda agama ini, para pakar
hukum mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda. Menurut
Muhibuddin seperti yang dituliskan oleh Asep Saepudin Jahar dalam bukunya,
perbedaan pandangan ini disebabkan karena UU Perkawinan tidak menyebut
secara tertulis dan eksplisit terkait perkawinan beda agama. Paling tidak ada
tiga pandangan yang berbeda50
.
Pertama, perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan jika dilakukan
dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap UU Perkawinan.
Kedua, perkawinan beda agama dapat dilakukan dan diperbolehkan, dan
dianggap sah, sebab pernikahan tersebut dapat dianggap sebagai perkawinan
campuran dengan pemahaman bahwa pasal 57 tentang perkawinan campuran
ditekankan pada klausul “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan”.
Ketiga, pandangan yang menekankan pada kenyataan bahwa UU
Perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda agama.
Peraturan lama dapat diterapkan selama UU perkawinan belum mengaturnya.
Dengan cara pandang seperti ini, aturan perkawinan beda agama harus tetap
berpedoman pada peraturan perkawinan campuran.
Melihat pandangan peserta diskusi yang diselenggarakan Kowani, Pasal I
UU Perkawinan belum menampung perkawinan antar pemeluk agama dan
50
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 69.
41
antar bangsa yang terjadi selama ini, salah satu pihak harus mengalah dan ini
bertentangan dengan HAM. Karena itu harus ditampung. Usulan peserta
diskusi yang diselenggarakan Kowani ini bisa dipahami bahwa UU Perkawinan
belum mengakomodasi perkawinan calon suami dan calon isteri yang berbeda
agama meski sesama warga negara Indonesia atau yang kewarganegaraannya
berbeda.51
Selain itu juga, menurut pandangan kelompok pro-feminisme
Modern Progresif yang ikut sebagai peserta diskusi yang diselenggarakan
Kowani, Pasal I UU Perkawinan belum menampung perkawinan laki-laki
dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan padahal ini terjadi di
masyarakat. Oleh karena itu, mereka menuntut harus ditampung. Jika
dicermati, usulan ini lebih menekankan pada perlunya pengakomodasian
berbagai model perkawinan.52
Para penentang kawin beda agama selalu berprinsip bahwa kami punya
hak untuk mempertahankan dan melindungi keimanan umat kami dari upaya
pemurtadan dari pihak lain. Bagi kelompok ini melegalkan kawin beda agama
dalam UU Perkawinan sama halnya dengan memberi peluang bagi kemurtadan
kaumnya dan memeri peluang untuk menginjak-nginjak keimanannya. Namun,
bagi pendukung kawin beda agama pun tak mau kalah, ia selalu berprinsip
bahwa kami punya hak untuk mengembangkan keimanan kami kepada pihak
lain yang berminat.
Indonesia meski bukan negara sekuler, perilaku homo dan lesbi mungkin
masih bisa saja dimengerti, namun kemengertian itu tidak harus diwujudkan
51
Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN-Malang Pers, 2008), h. 250. 52
Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, h. 255.
42
sampai pada tingkat perlunya dilegalisasi dalam UU Perkawinan. Kalau kita
melihat kepada fenomena sosiologis masyarakat Indonesia yang kental akan
religiusitasnya, maka legalitas kawin sesama jenis kemungkinan untuk
diterapkannya bahkan cenderung sangat mustahil untuk saat ini.
Selain itu juga masih ada beberapa kalangan yang menginginkan upaya
penyempurnaan UU Perkawinan, dengan beberapa alasan. Pertama, UU
Perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama. Kedua, masyarakat
Indonesia adalah maasyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda
agama tidak dapat dihindarkan. Ketiga, persoalan agama adalah menyangkut
hak asasi setiap orang. Keempat, kekosongan hukum dalam bidang perkawinan
tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab akan mendorong terjadinya
perzinahan.53
Menanggapi hal tersebut, mayoritas masyarakat muslim Indonesia
memandang bahwa hal itu berlebihan dan tidak relevan. Menurut mereka, UU
Perkawinan tidak perlu menjelaskan tentang perkawinan beda agama, karena
UU Perkawinan tersebut telah mengatur hukum perkawinan beda agama
dengan tegas dan jelas. Mahkamah Agung dalam suratnya No.
KMA/72/IV/1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri secara sangat relevan dengan pendapat kelompok ketiga. Ketua
Mahkamah Agung menekankan tiga hal, yaitu: kemajemukan, kenyataan
adanya hubungan (pernikahan) beda agama, dan Kemungkinan diterapkannya
53
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis. h. 70.
43
S. 1898 No. 158 jika UU Perkawinan belum mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan perkawinan campuran yang dimaksud.54
D. Praktik Perkawinan di Indonesia
1. Pencatatan Perkawinan
Administrassi atau dalam hal ini pencatatan perkawinan diberlakukan
dihampir semua negara Muslim di Dunia, meskipun berbeda satu sama lain
dalam penekanannya. Di Indonesia, regulasi pencatatan perkawinan telah
ditetapkan tidak lama setelah Indonesia merdeka, yakni diundangkannya UU
No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.55
Dalam UU
ini disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan pemberitahuan kepada
Pegawai Pencatatan Nikah yang dituangkan dalam pasal 1 ayat (1).
Pencatatan perkawinan sendiri baru direfisi dan diundangkan kembali
melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun
demikian tidak menutup kemungkinan ada sebagian masyarakat yang tidak
dicatatkan perkawinannya, seperti melakukan perkawinan di bawah tangan
ataupun pernikahan sirri.
Seperti ditulis Ahmad Tholabi Kharlie. Hal ini misalnya terjadi di daerah
Rembang Pasuruan Jawa Timur. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa
perkawinan sirri merupakan suatu hal yang lumrah dan karena itu pula daerah
ini disebut Daerah Kawin Sirri. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa kyai
(Tokoh Agama) mempunyai andil besar dalam proses penyelenggaraan nikah
sirri ini, bahkan pengakad sendiri sengaja mengunakan doktrin fiqih untuk
54
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 69. 55
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 189.
44
melegalkan praktik ini.56
Berdasarkan pendataan PEKKA sendiri, dari seluruh jumlah PEKKA
diketahui bahwa hanya 63% anggota kelompok PEKKA yang mendaftarkan
pernikahan mereka ke Kantor Urusan Agama (KUA), dan selebihnya tidak.
Sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan HAM UIN Jakarta
yang bekerjasama dengan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Departemen Agama di Kabupaten Lebak Banten, menghasilkan data yang
cukup mengejutkan terhadap masyarakat akan kesadaran pencatatan
perkawinan. Dari hasil penelitian tersebut terungkap bahwa tingkat kesadaran
masyarakat untuk mencatat perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA)
cukup rendah, yakni hanya 46,7% dari responden yang mencatatkan
perkawinannya, sedangkan para pihak yang melakukan pernikahan dibawah
tangan sebanyak53,3%. 57
Pada pernikahan pertama mencapai 46,7%, pernikahan kedua dan
selanjutnya justeru semakin menurun menjadi 28,3% , dan terakhir hanya
26,3% pasangan yang mencatat perkawinannya. Demikian halnya dengan
penelitian yang dilakukan Puskumham UIN Jakarta menunjukkan bahwa dari
responden yang tidak mencatatkan perkawinannya tergambar bahwa yang
paling dominan adalah mereka yang tidak pernah duduk di bangku sekolah
sama sekali, yaitu 73,0%. Sementara yang sempat bersekolah di SD cukup
menurun yaitu 57,8%, SLTP semakin turun lagi 35,8%, dan SMA hanya
28,9%.
56
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
191. 57
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 193.
45
Cukup menarik dari penelitian ini adalah fakta yang menunjukkan bahwa
bagi mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi, baik itu Diploma atau
Strata 1, tidak satupun yang tidak mencatatkan perkawinannya. Selain itu,
keengganan untuk mencatatkan perkawinan ini disebabkan karena tingginya
biaya yang harus dikeluarkan. Seperti halnya terjadi di Subang, dari sekian
pasangan suami-istri yang tidak terdaftar, sekiranya 6%-nya didasarkan pada
alasan ini.58
2. Usia Perkawinan
Berbicara masalah perkawinan, Indonesia merupakan salah satu negara
yang cukump mentoleransi usia perkawinan, dibandingkan dengan kitab-kitab
Fiqih konvensional maupun negara negara lain yang menerapkan batas
minimal usia perkawinan. Hal ini bisa kita lihat dalam UU Perkawinan yang
menerapkan batasan minimal usia perkawinan sejatinya adalah 19 tahun bagi
laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia
tersebut maka harus mendapatkan izin dari pengadilan, dan bagi mereka yg
sudah berusia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.
Bila dilihat secara umum, terjadi peningkatan usia nikah di indonesia,
sehingga pada tahun 2005 usia rata-rata menikah perempuan mencapai umur
23,2 tahun dan usia laki-laki mencapai 26,9 tahun. Namun demikian bukan
berarti perkawinan usia muda ini tidak dijumpai lagi di masyarakat.
Sebagaimana penelusuran di daerah Indramayu, ditemukan fakta tingginya
angka perkawinan muda. Dari setiap lulusan pada tingkat SD, 50% diantaranya
58
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h, 195.
46
adalah perempuan, dan hanya 5% saja yang sanggup bertahan hingga lulusan
SLTA, selebihnya memilih untuk menikah. Dan hingga kini angka perkawinan
di bawah umur di Kabupaten Indramayu masing tinggi.59
Perkawinan di bawah umur juga banyak terjadi di Kabupaten Ponorogo
Jawa Timur, data menunjukan peningkatan angka perkawinan di bawah umur
bila dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data Pengadilan Agama
Ponorogo, sepanjang 2007 rata-rata 15 hingga 19 surat dispensasi telah
diajukan perbulan, sehingga perkawinan di bawah umur meningkat 75%.
Selain itu, telah ada sembilan kasus perkawinan di bawah umur yang
dilaporkan kepada Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)
JawaTengah untuk tahun 2009. Sedangkan di kota malang misalnya, menurut
catatan Pengadilan Agama Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15
tahun meningkat 50% dibanding pada 2007. Hal serupa juga terjadi di Nias
Sumatera Utara, mengacu pada hasil penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan
Anak Nias, pada 2008 di kabupaten Nias angka pernikahan usia antara 13-18
tahun sekitar 9,4% dari 218 responden perempuan yang telah menikah dan
akan menikah.60
Penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur atau pernikahan usia dini,
selain faktor ekonomi, sosial, budaya, khususnya bagi masyarakat pedesaaan,
faktor cara pendidikan yang mengakibatkan cara pandang masyarakat yang
sederhana bahkan cenderung salah dalam memaknai esensi dari sebuah
perkawinan. Menurut Rahmat Sentika yang merupakan satgas Perlindungan
59
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia,, h. 207. 60
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 209.
47
Anak Ikatan Dokter anak Indonesia, menurut dia, Data Badan Pusat Statistik
pada tahun 2002 di Indonesia terdapat 34,2% perempuan menikah di bawah
usia 15 tahun dan laki-laki 11,9%. Di satu sisi lain juga penelitian yang
dilakukan di daerah pantura terdapat 42,8% ternyata menikah di bawah usia 15
tahun.61
3. Poligami
Masalah poligami telah diatur dalam peraturan Perundang-Undangan, baik
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
No 9 Tahun 1975 Maupun Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1983 dan
Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi PNS sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya. Nasarudin
Umar mengatakan bahwa poligami menjadi masalah yang serius dalam
perkawinan. Dalam data Ditjen Bimnas islam, poligami menjadi penyumbang
angka yang sangat besar terhadap perceraian. Sebanyak 813 perceraian pada
2004 di sebabkan oleh poligami.62
Seperti yang ditulis Ahmad Tholabi Kharlie. Suatu penelitian yang
dilakukan M Ja’far di Kabupaten Pidie, dari 86 pasangan poligami dalam satu
kecamatan mutiara menunjukan ada tiga pola pasangan dalam melakukan
perkawinan poligami, yaitu poligami yang dilakukan sebelum adanya UU
Perkawinan dan pelaturan pelaksanaannya, mengikuti prosedur yang ada dalam
UU, dan Poligami yang tidak mengikuti UU. Dari penelitian ini ditemukan
bahwa 24 pasangan melakukan perkawinan menurut prosedur UU Perkawinan,
61
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 208. 62
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 208.
48
sedangkan 36 pasangan di luar prosedur yang ada. Menurut Leli Nurohmah
menyebutkan bahwa longgarnya kebolehan pernikahan sirri di masyarakat
sangat memudahkan poligami. Menurut dia, di Cinere (Bogor) di dalam satu
RT saja bisa terdapat 10 rumah tangga poligami melalui pernikahan sirri.
Selain itu, dari 48 kasus poligami yang ada di LBH APIK Jakarta, 21 dari
kasus ini menikah di bawah tangan dan 19 lainnya melakukan pemalsuan
identitas.63
4. Perceraian
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah
Agung, pada 2007 perceraian di DKI Jakarta mencapai 6.218 kasus, terdiri atas
isteri gugat cerai suami 3.482 kasus, dan suami cerai talak isteri 2.115 kasus.
Sedangkan pada 2008 tercatat 5.193 kasus, dan pada 2000 mencapai 4.197
kasus. Di daerah lainpun menunjukan hasil yang serupa. Di Pengadilan Agama
Purwikerto, misalnya pada 2007 total kasus yang ditangani ada 1.491
meningkat sampai 1.805 kasus pada 2008. Di madiun pada 2006, kasus
perceraian mencapai 819 perkara, kemudian pada 2007 naik menjadi 1.110
perkara. Sementara di Kabupaten Cilacap, dalam kwartal pertama 2008 jumlah
kasus perceraian telah mencapai rata-rata 230 kasus perbulan. Di Pengadilan
Agama Bandung pun terjadi hal yang sama, pada 2006 ada 2.194 perkara yang
masuk ke Pengadilan, sementara 2007 jumlahnya meningkat menjadi 2.374
perkara, ada peningkatan sekitar 20,7%.64
63
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 225-226. 64
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Islam, h 234-235.
49
Selain dari fakta meningkatnya data perceraian di atas, menurut data yang
terhimpun pada Ditjen Bimas Islaam pada 2000 dan Mahkamah Agung tahun
2005, secara relatif dapat dikatakan jumlah perceraian di Indonesia meningkat.
Pada 2000, semua kasus pereraian yang di terima Pengadilan Agama seluruh
Indonesia sebanyak 161.672 perkara, yang terdiri atas 71.121 perkara cerai
talak dan 90.551 cerai gugat. Sementara pada 2005, jumlah perkara yang
diterima Pengadilan Agama di seluruh Indonesia mencapai 165.820 perkara,
yang terdiri atas 62.437 (35.651%) perkara cerai talak dan 103.383 (5.031%)
cerai gugat.65
Seperti yang ditulis Cahyadi Takariawan. Bahwa kenyataannya,
perselingkuhan adalah penyebab tertinggi kedua terjadinya perceraian di
Indonesia pada tahun 2011, sebagaimana data dari Dirjen Badilag Mahkamah
Agung RI. Penyebab perceraian pertama di tahun 2011 adalah faktor ekonomi.
Sebagai sebuah potret yang lebih mikro, kita lihat data di Kota Makassar,
Sulawesi Selatan. Di Makassar istri lebih banyak menggugat. Dan, 90%
perkara cerai (di PA Kota Makassar) karena selingkuh. Perselingkuhan sebagai
pemicu konflik keluarga, bahkan sampai ke tingkat pembunuhan, mutilasi dan
perceraian, sudah bukan rahasia lagi. Pengalaman Prof. Dr. Dadang Hawari
menangani konsultasi perkawinan, menunjukkan kasus perceraian umumnya
disebabkan oleh ketidaksetiaan pasangan. Sebagian besar didominasi oleh
ketidaksetiaan para suami. Istri juga ada tapi lebih sedikit. perkawinan
disebabkan oleh perselingkuhan suami dan 10 % oleh perselingkuhan istri.66
65
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indinesia, h. 236 . 66 Cahyadi Takariawan “Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam”. Artikel diakses pada 16
Maret 2016 dari http://www. kompasiana. Com / pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-jam.
50
Namun dalam setiap kasus selingkuh, berapapun prosesntasenya, siapapun
yang lebih besar atau lebih kecil proisentasenya dari suami maupun istri, selalu
ada keterlibatan pasangan jenis yang sama-sama menikmati perselingkuhan
tersebut. Misalnya data kasar Dadang Hawari yang menyatakan kasus
keretakan hubungan rumah tangga 90 % merupakan kontribusi perselingkuhan
suami, dan 10 % dari perselingkuhan istri. Hampir bisa dipastikan, 90 % suami
yang berselingkuh itu melakukan perselingkuhan dengan perempuan. Mungkin
saja masih lajang atau mungkin juga sudah bersuami.67
Perhatikan juga data
yang dimuat Republika Online. Tahun 2009 menikah 2. 162.268 sedangkan
cerai 216.286. Tahun 2010 menikah 2.207.364 sedangkan cerai 285.184.
Tahun 2011 menikah 2.319.821 sedangkan cerai 258.119. Tahun 2012
menikah 2.291.265 sedangkan cerai 372.577. Tahun 2013 menikah 2.218.130
sedangkan cerai 324.527. Data Kementerian Agama RI.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi meningkatnya angka
perceraian diantaranya adalah faktor ekonomi, poligami, jarak, cacat, ketidak
cocokan, perkawinan dibawah umur, perbedaan pola pikir, KDRT. Namun
menurut penulis faktor ekonomi dan KDRT merupakan salah satu faktor
terbesar dalam perceraian, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya tingkat cerai
gugat itu lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak.
Kementerian Agama mendapat temuan meningkatnya angka perceraian
dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Temuan itu didapat dari hasil
penelitian mengenai tren cerai gugat masyarakat muslim di Indonesia yang
67
Republik Online. “Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam”. Artikel diakses pada 16
Maret 2016 dari http://www. kompasiana. Com / pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-jam.
51
dijalankan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan
Kemenag. Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag Muharam
Marzuki mengatakan, dari dua juta pasangan menikah, sebanyak 15 hingga 20
persen bercerai. Sementara, jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan
Tinggi Agama seluruh Indonesia pada 2014 mencapai 382.231, naik sekitar
kasus 131.023 dibanding tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus. Sementara
dalam persentase berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung,
dalam lima tahun terakhir terjadi kasus Cerai Gugat mencapai 59 persen hingga
80 persen. Angka itu didominasi kasus cerai gugat di beberapa daerah seperti
Aceh, Padang, Cilegon, Indramayu, Pekalongan, Banyuwangi, dan Ambon.68
Data dari Kementerian Agama RI itu disampaikan oleh Kepala Subdit
Kepenghuluan, Anwar Saadi. Sebagai sampel kita ambil data dua tahun terakhir di
2012 dan 2013 saja. Jika diambil tengahnya, angka perceraian di dua tahun itu sekitar
350.000 kasus. Berarti dalam satu hari rata-rata terjadi 959 kasus perceraian, atau 40
perceraian setiap jam. Luar biasa fantastis. Di Indonesia terjadi 40 kasus perceraian
setiap jamnya. Hampir seribu kasus perceraian setiap harinya.69
E. Hukum Keluarga Islam dalam Tata Hukum Indonesia
Salah satu ciri paling penting dari hukum modern adalah mempunyai
bentuk tertulis dan terkodifikasi. Kodifikasi adalah pembuatan hukum dalam satu
pembuatan hukum dalam suatu himpunan perundang-undangan dalam materi
68
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag, artikel diakses pada 16 Maret 2016 dari
http://www.dream.co.id/news/angka-perceraian-meningkat-lima-tahun-terakhir. 69
Munadi. “Angka Perceraian di Indonesia Sangat Fantastis”. Artikel diakses pada 16
Maret 2016 dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/angka-perceraian-di-indonesia-sangat-
fantastis
52
yang sama.70
Aktifitas kodifikasi hukum tak lepas dari politik hukum. Bagi
Indonesia yang sedang membangun, politik hukum ditujukan pada pembaharuan
hukum untuk mewujudkan sistem hukum nasional dan berbagai aturan hukum
yang dapat memenuhi kebutuhan Indonesia. Setiap negara berwenang
menentukan sendiri hukum yang berlaku di dalam wilayahnya. Hukum nasional
melekat pada negara tertentu. Setiap negara mempunyai hukum nasional. Pada
hakikatnya, setiap hukum bersifat nasional. Jadi, hukum nasional dibatasi wilayah
negara.71
Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum modern. Dalam negara
berdasar atas hukum yang domokratis, kegiatan eksekutif dan yudikatif tunduk
serta mengikuti hukum dan perundang-undangan. Hukum nasional yang berlaku
di Indonesia ada dua bentuk, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Jika
terjadi persaingan antara hukum tertulis dan tidak tertulis, maka yang memperoleh
keutamaan adalah hukum tertulis.72
Setidaknya ada tiga ciri hukum nasional.
Pertama, bersifat umum dan konferhensip, yakni menyeluruh dan tidak terbatas.
Kedua, universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa akan datang yang
belum jelas bentuk konkritnya. Ketiga, otoritatif. Ia memiliki kekuatan untuk
mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.73
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merupakan sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam pembangunan nasional
di bidang hukum Indonesia. Penyusunan Undang-undang tersebut mempunyai
70
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 92 71
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1991), h. 107. 72
Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, h. 141 73
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, h. 84
53
tujuan luhur baik dilihat dari segi hukum, segi kesejahteraan masyarakat maupun
dari segi agama.Yang dimaksud dengan Undang-undang Perkawinan ialah segala
suatu dalam bentuk aturan yang dapat dijadikan petunjuk oleh umat Islam dalam
hal perkawinan dan dijadikan pedoman hakim di lembaga peradilan agama dalam
memeriksa dan memutuskan perkara perkawinan.74
UU Perkawinan dikeluarkan
pada tahun 1974, dan diberlakukan bagi seluruh warga Indonesia, tidak peduli
agama yang dianut. Undang-undang ini mencerminkan upaya untuk menyatukan
undang-undang yang berkaitan dengan undang-undang perkawinan itu sendiri dan
bidang-bidang lainnya yang sesuai dengan hukum adat dan hukum agama.
Undang-undang Perkawinan juga merupakan upaya pemerintah dalam
menanggapi tuntutan kaum perempuan di Indonesia tentang kedudukan hukum
mereka dalam beberapa peristiwa hukum terutama poligami dan perceraian.75
Dengan diberlakukannya UU No1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini
tidak menjadikan hukum perkawinaan di Indonesia telah terunifikasi. Hukum
Perkawinan di Indonesia tetap bersifat pluralisme hukum kerena hal-hal yang
belum diatur dalam UU Perkawinan berlaku ketentuan-ketentuan yang termuat
dalam BW dan peraturan perundangan lainnya.76
Menurut Amir Syarifudin, seperti yang ditulis Yayan Sopyan. Setidaknya
ada tiga kelompok yang menyikapi UU Perkawinan. Pertama, mereka yang tidak
mengakui UU Perkawinan itu sebagai aturan yang menggantikan hukum fiqih dan
mereka tetap menjalankan sesuai hukum fiqih. Kedua, mengakui UU Perkawinan
74
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Pernadamedia Grup, 2014), h.20. 75
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 14. 76
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Perss, 2007), h. 1
54
sebagai peraturan yang harus diikuti namun mereka juga tetap menjalankan
aturan fiqih. Ketiga, mereka yang menganggap UU Perkawinan sebagai peraturan
sah yang mengatur urusan perkawinan umat Islam di Indonesia.77
Karena perkawinan merupakan suatu bentuk hubungan sakral yang
berkaitan erat dengan agama, maka terhadapnya dapat dilakukan unifikasi, dalam
arti asas dan tujuan perkawinan. Sehingga UU No 1 Tahun 1974 merupakan UU
Perkawinan yang bersifat nasional dan menyeluruh, sehingga dapaat melingkupi
seluruh warga negara tanpa menghilangkan identitas khas setiap golongan
masyarakat.78
Menurut Yayan Sopyan, kelompok ideal yang paling baik adalah sikap
kelompok ketiga. Menurut dia, merupakan kewajiban setiap warga negara untuk
selalu mentaati dan melaksanakan per-UU-an yang berlaku di persada ini tak
terkecuali umat Islam sebagai warga negara mayoritas, bahkan Umat Islam
Indonesia dalam melaksanakan UU Perkawinan. Karena ada beberapa alasan yang
mengikat umat Islam Indonesia dalam melaksanakan UU Perkawinan yaitu79
:
UU Perkawinan merupakan salah satu perundang-undangan yang berlaku
dan mengikat bagi seluruh warga negara Indoesia termasuk di dalamnya Umat
Islam bagi warga negara mayoritas. Kewajiban tersebut tercantum dalam pasal 27
UUD 1945 yang berbunyi:
77
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 204. 78
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema
Insani Perss, 1996), h. 250. 79
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 205.
55
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan
Pemerintahan dan wajin menjungjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
Demikian pula yang tercantum dalam mukkadimah UU Perkawinan
sendiri dalam pertimbangannya dikatakan:
Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum
nasional, perlu adanya UU tentang Perkawinan yang berlaku bagi samua warna
negara.
Selain UU perkawina peraturan yang mengatur tentang perkawinan ada
Kompilasi Hukum Islam. KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU
Perkawinan yang disusun secara praktis yang kedudukannya sebagai hukum
perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu. Dalam
kedudukannya sebagai pelaksanaan praktis dari UU Perkawinan, maka materinya
tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan.80
Kompilasi Hukum Islam
merupakan hukum meteriil pengadilan di lingkungan peradilan Agama di
Indonesia, yang dikeluarkan melalui Intruksi Presiden pada tahun 1991. KHI
terdiri dari tiga bab: perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, yang dituangkan
dalam 229 pasal.
Sehingga Peraturan Per-UU-an Perkawinan adalah kukum yang berlaku
secara nasional bagi semua warga negara, termasuk orang asing yang berada
dalam negara Indonesia. Dalam pembentukan hukum nasioal, semua unsur-unsur
yang berlaku ditanah air kita yang dapat diterima secara nasional dipergunakan
sebagai bahan dalam penyususnannya. Hukum islam mengenai perkawinan di
80
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.31.
56
samping hukum Adat dan hukum Barat dipergunakan sebagai bahan baku dalam
pembentukan hukum perkawinan nasional.81
Inpres mengintruksikan Menteri Agama untuk menyebar luaskan
Kompilasi Hukum Islam ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan
masyarakat, dan untuk melaksanakan intruksi itu sebaik mungkin. Meskipun
bukan undang-undang, KHI memiliki dasar hukum yang sangat kuat dalam
Inpres. Selain itu sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden ini, Menteri Agama
mengeluarkan keputusan sebagai Keputusan Menteri Agama No. 154/1991
tentang pelaksanaan Inpres.
Setelah keputusan itu merujuk pada Inpres sebagai pertimbangannya, dan
kepada sejumlah peraturan hukum, Keputusan Menteri Agama itu menyatakan
poin-poin yang menegaskan dengan kuat keharusan Departemen Agama dan
lembaga-lembaga pemerintah lainnya menyebarluaskan KHI itu, dan
menggunakannya sebagai rujukan sedapat mungkin dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang diaturnya. Intruksi Presiden untuk menggunakan KHI
itu sesungguhnya bukanlah sebuah intruksi yang kuat, tetapi Keputusan Menteri
Agama memperkuat intruksi tersebut.82
Oleh karena itu baik UU Perkawinan
maupun Kompilasi Hukum Islam harus sama-sama dijalankan oleh setiap warga
negara karena keduanya merupakan peraturan perundang-undangan yang secara
sah sudah diakui oleh negara keberadaannya.
UU Perkawinan adalah hasil dari ijtihad umat Islam Indonesia, melalui
para wakilnya di DPR bersama pemerintah yang bersifat pengembangan tentang
81
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h, 203. 82
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, h. 22.
57
hukum syariat atau hukum agama Islam mengenai perkawinan yang terdapat
dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah untuk kemaslahatan Umat Islam
Indonesia. Kompilasi Hukum Islam merupakan himpunan ketentuan hukum Islam
yang ditulis dan disusun secara teratur. KHI menunjkkan adanya hukum tidak
tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar
rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menelusuri norma-norma hukum
bersangkutan apabila diperlukannya.83
83
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 15.
58
BAB III
BIOGRAFI MUHAMMAD AMIN SUMA
A. Latar Belakang Keluarga
Muhammad Amin Sulaiman Maimunah Munawaraah yang lazim
disingkat dengan Muhammad Amin Suma, beliau lahir pada tanggal 5 Mei 1955
di kampung Cilurah, desa Kepuh, kecamatan Ciwandan (dulu Anyer), Kota
Madya Cilegon-Banten, beliau merupakan anak ketiga dari pasangan guru ngaji
H. Sulaiman bin Semaun dan Hj. Maimunah binti H. Ali Hasan.
Beliau dilahirkan di keluarga yang sederhana, selain Bapak Ibunya seorang
guru ngaji juga seorang petani, pedagang, dan kadang menjadi tukang sebagai
mata pencahariannya sehari-hari. Namun demikian hal tersebut cukup untuk
membiayai dan mendidik anak-anaknya sampai besar. Beliau sangat bersyukur
telah dibesarkan di tengah-tengah keluarga santri yang amat sangat mencintai
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan agama Islam. Terutama Bapak
dan Ibunya yang merupakan guru ngaji. Ayahanda beliau (H. Sulaiman bin
Semaun) lebih dahulu wafat pada tahun 1992 sedangkan Ibundanya (Hj.
Maimunah binti H. Ali Hasan) alhamdllah masih sehat dalam usia kurang lebih 90
tahun1
Muhammad Amin Suma merupakan suami Hj. Kholiyah Thohir, M.A.
(Guru Madrasah Aliyah Negeri 4 Jakarta) dan ayah dari sebelas anak diantaranya:
Ummu Muthi’ah Amin, Iim Qo’imuddin Amin, Ahmad Mujaddid Amin,
Imaduddin Amin, Fadhilatut Nisa Amin, Dzuratul Gholiyah Amin, Mar’atus
1 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 14 Maret 2016.
59
Shafwah Amin, Adi Dhiwa Ramadhan Amin, Ima Qimmatul Maflahah Amin, Aal
Muqawwim Al-Haqq Amin, Via Qawiyah Qalbi Amin.
B. Latar Belakang Pendidikan
Riwayat pendidikannya dimulai dari belajar al-Quran di rumah kepada
kedua orang tuanya H. Sulaiman dan Hj. Maimunah yang keduanya adalah guru
ngaji di kampungnya.2 Selama melangsungkan pendidikan formalnya dari SD,
SLTP dan SLTA, Amin Suma juga ternyata rajin mengikuti pendidikan non
formal pengajian atau mondok di pesantren di beberapa pondok pesentren yang
ada di daerah Banten.
Pondok-pondok yang pernah ia menimba ilmu diantaranya ada Pondok
Pesantren Bani Hasyim di Lijajar Tegal Ratu (1965-1967) di sini ia sebagai santri
kalong di bawah asuhan K.H. Syamsuddin, Pondok Pesantren Islam Al-
Khairiyyah di Cipaot Kepuh Anyer (1971-1972) di sini ia mengaji pasaran di
bawah asuhan K.H. Muslih, Pondok Pesantren di Citangkil Cilegon Banten (1968-
1974) di sini ia sambil sekolah Tsanawiyah dan Aliyah, Pondok Pesantren di
Pelamunan Serang Banten (1972 dan 1974) di sini ia sambil mengaji pasaran
khususnya kitab Tafsir al-Jalalain di bawah asuhan K.H. Bahruddin Afif, dan
Pondok Pesantren Raudhatul Alfiyyah di Kadu Kaweng Pandeglang (1972-1974)
di sini ia mengaji kitab hadis yaitu Shahih al-Bukhari dan kitab alat yaitu kitab
Alfiyyah ibn Malik di bawah asuhan K.H. Sandja.3
Pendidikan formalnya beliau dimulai dari Sekolah Dasar Negeri di
Serangir Anyer (1961-1967), Madrasah Ibtidaiyah Raudhatul Ulum Lijajar (1961-
2 Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.
163. 3 Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, (Jakarta: 2010), h. 127.
60
1968), Madrasah Tsanawiyah Pergurais Al-Khairiyyah Citangkil (1968-1971),
Madrasah Aliyah Pergurais Al-Khairiyyah Citangkil (1971-1974).
Pada tahun 1975 ia melanjutkan studi ke Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) yang kini telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Syariah dan Hukum jurusan Qadha (Ahwal al-
Syaksiyyah). Gelar sarjana muda (BA) diraihnya pada tahun 1978, dan sarjana
lengkap (Drs) ia raih juga di Fakultas yang sama pada tahun 1979-1981.
Kemudian mendapatkan beasiswa pada tahun ajaran 1985-1987 hingga 1988-1989
untuk mengikuti program S-2 (MA) dan S-3 (Doktor) pada Program Pasca
Sarjana IAIN Jakarta (SPS UIN). 4
Meskipun telah berpangkat Doktor, Muhammad Amin Suma tetap
melanjutkan sekolahnya lagi dengan mengambil S-1 (SH) di Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah (1992-1996). Untuk memantapkan kepakarannya
dalam bidang syariat dan ilmu hukum, beliau yang sebagai aktifis organisasi
pelajar dan kemahasiswaan ini sejak tahun ajaran 1992-1993 mengikuti kuliah
pada Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta, dalam program
kekhususan Hukum Tata Negara, hingga meraih gelar Sarjana Hukum tahun 1996
dan kemudian melanjutkan lagi S-2 (MM) pada tahun 2004-2006.5
Selama menempuh pendidikan formalnya S-2 dan S-3 tersebut,
Muhammad Amin Suma tergolong cepat karena hanya memakan waktu 3 tahun 9
bulan, bahkan tercatat sebagai doktor termuda di IAIN (UIN) Jakarta. Muhammad
Amin Suma dikukuhkan sebagai Guru Besar IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah
4 Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 126
5 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 386.
61
Jakarta. Lagi-lagi ia tergolong sebagai Profesor paling muda di lingkungan IAIN
(UIN) Jakarta.
Muhammad Amin Suma yang menyelesaikan semua program studi
formalnya dari sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah hingga program S-2 dan S-3 di
dalam Negeri, beliau banyak terlibat dengan aktifitas lembaga atau keilmuan yang
bergerak dalam bidang ilmu-ilmu kesyariahan dan ilmu hukum. Karenanya, tidak
diragukan lagi jika beliau merupakan pencinta Ilmu Syariah dan Ilmu Hukum
yang sering menulis tentang persoalan-persoalan hukum.
Selain itu juga Muhammad Amin Suma pernah mengikuti kursus-kursus
dan berbagai pelatihan di beberapa lembaga, diantaranya: Pendidikan Bahasa
Arab di Lembaga Bahasa IAIN Jakarta (1977-1978), Penataran Anministrasi
(1982), pendidikan dan Latihan pra-jabatan (1983), Penataran Juru Penerangan
Agama Islam Tingkat Nasional (1981), Penatara P-4 bagi juru penerangan umat
beragama di Departemen Agama RI (1981), Lokakarya KKN/P-2 M di
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1993), Penataran pelaksanaan P-4
terpadu bagi Pegawai RI di PB-7 DKI Jakarta (1994), Course of study in
Indonesian Institute of English Language (1998), Pelatihan Hak Asasi Manusia di
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia kerjasama dengan The Asian
Foundation (2001), dan masih banyak yang lainnya.6
C. Aktivitas dan Prestasi
Muhammad Amin Suma merupakan Guru besar yang meniti karir
keguruannya dimulai dari guru madrasah ibtidaiyah hingga guru besar program S-
6 Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 126.
62
3, masih tetap aktif memberi kuliah pada sejumlah perguruan tinggi apakah itu
universitas, institut maupun sekolah tinggi. Selain pernah menjadi guru besar
tidak tetap pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Jati cabang Serang-kini
STAIN Maulana Yusuf Banten (1997-1999), STAIN Me, dan Institut Perguruan
Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta tahun 1985.7
Beliau juga mengajar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta tahun 1986,
Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia (UII) kelas jauh di Serang
Banten tahun 2005-2008, Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta
(UMJ) tahun 1998-2002, Pasca Sarjana Universitas Indenesia (UI) tahun 2002-
2006, dan Pasca Sarjana Universitas Ibnu Kholdun (UIK) Bogor tahun 2006,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Institus Agama Islam
Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang tahun 2009, Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Raden Intan Lampung, Institut Agama Islam Banten tahun 2000-2003,
Institut Agama Islam Negeri Serang tahun 1999-2002, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Serang tahun 1996-1998, sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Metro Lampung tahun 1995-2003. Universitas Tri Sakti tahun
2007-2009, Universitas Islam Djakarta tahun 2002, Kolej Universiti Islam
Malaysia 2006, Universitas Muhamadiyah Solo tahun 2007, Universitas
Muhamadiyah Sumatera Barat tahun 2008, Akademi Pengajian Islam Bidang
Syariah dan UU Universiti Malaya Kuala Lumpur tahun 2006, dan Universitas
Islam Negeri Jakarta baik di Fakultas Syariah dan Hukum maupun di Pasca
Sarjana.8
7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 385.
8 Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 135.
63
Tugas utama dan pertama Mugammad Amin Suma yaitu sebagai Guru
Besar di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tepatnya pada
Fakultas Syariah dan Hukum. Terutama sebagai pengampu mata kuliah-mata
kuliah tertentu pada program S-2 (Magister) dan S-3 (Doktor). Muhammad Amin
Suma Juga aktif menjadi Dosen pada Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Quran
(LBIQ) tahun 1996 dan Kordinasi Dakwah Islamiyah (KODI) tahun 1997, yang
keduanya milik Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bahkan juga aktif
mengasuh kajian al-Quran di Majelis Taklim Ulinuha Jakarta Design Center
(JDC) dan Kajian Intensif Agama Islam pada Badan Dakwah Islamiyah (BDI)
Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta.9
Tafsir Ahkam dan Hadis Ahkam merupakan mata kuliah utama yang
diasuhnya hingga sekarang terutama di lingkungan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mantan Dekan Fakultas Syariah IAIN-kini
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dua periode yaitu periode pertama
tahun (1998-2002) kemudian terpilih kembali menjadi Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum pada tahun (2006-2014) ini telah cukup lama mengasuh mata kuliah
yang berlebelkan Hukum Islam. Beliau juga mengajar Metodologi Penemuan
Hukum Islam dan Ushul Fiqih pada Program S-2 maupun S-3 pada perguruan
tinggi yang telah disebutkan di atas. Perbandingan Hukum merupakan mata kuliah
lain yang tetap beliau minati dalam kancah keilmuan bersama-sama dengan team
teaching yang lain baik dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun
yang lain-lainnya.10
9 Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I, h. 164.
10 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 146.
64
Masalah tentang karir Muhammad Amin Suma memulainnya dari asisten
dosen, Lektor dan kemudian Guru Besar setelah menjalani semua dan setiap tahap
kepangkatan akademik. Hanya dari Lektor ke Guru Besar Madya yang ia jalani
melompat tanpa melalui Pangkat Lektor Kepala, selebihnya semuanya benar-
benar dijalani tahap demi tahap.11
Karir dalam bidang administratif-birokrasi dimulainya dari seorang staf di
Fakultas Syariah (1981-1981), kemudian dari tahun ketahun secara diagonal terus
menapakinya menjadi Kepala Seksi Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Syariah
(1982-1984), Kepala Seksi Pendidikan dan Pengajaran Fakultas Syariah (1984-
1986), Koordinator Praktikum Fakultas Syariah (1989-1990), Ketua Jurusan
Peradilan Agama Fakultas Syariah (1990-1992), Kepala Pusat Pengabdian Pada
Masyarakat IAIN Syarif Hidayatullah (1992-1995), Kepala Pusat Penelitian IAIN
(1995-1998), dan kemudian Dekan Fakultas Syariah (1998-2002), Hakim Ad.Hoc
HAM pada Pengadilan Tinggi Jakarta (2002-2006), Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2002-2006) dan (2010-2014).12
Aktifitas lainnya, beliau juga terlibat aktif dengan dunia dahwah yakni
sebagai penceramah dan komentator (hukum Islam). Melalui berbagai mimbar
terutama mimbar jum’at dan ceramah-ceramah pada puluhan dan bahkan mungkin
ratusan masjid dan tempat-tempat lainnya dalam kalangan masyarakat luas
termasuk melalui media elektronik dalam hal ini televisi khususnya TPI, TVRI,
ANTV, dan SCTV bahkan juga pernah pada RCTI dan Metro TV, serta beberapa
radio seperti radio Fimale dan terutama F.M. Moeslem Aththahiriyyah.13
11
Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 22 12
Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 22. 13
Muhammad Amin Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001),
h. 205.
65
Selain tergolong sering menulis dalam beberapa media cetak tertentu,
mantan pengasuh Majlis Mudzakarah Majalah Panji Masyarakat (1990-1991) dan
pengasuh Ruang Tanya Jawab Hukum Tabloid Gema Takbir (1998), dan juga
merupakan salah seorang pengasuh ruang konsultan hukum, khususnya hukum
Islam di Majalah Pembina Rohani (2004). Beliau juga terus aktif dan tergolong
produktif dalam mengabdi kepada masyarakat luas melalui penggalian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Ilmu Hukum dengan
Hukum Islam sebagai titik sentral kajiannya.
Ia juga merupakan anggota pusat Pengkajian Hukum Islam Departemen
Agama Republik Indonesia, ini juga tercatat sebagai anggota Tim Pakar Hukum
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia pada
tahun 2002. Juga sebagai anggota tim Revisi Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Beliau juga tergabung sebagai Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran
(PSQ) Jakarta. Selain itu juga beliau pernah menjadi anggota tim penulis dan
editor Ensiklopedia Islam Indonesia, anggota Tim Penulis dan Editor
Ensiklopedia Islam dan Ensiklopedia Hukum Islam.14
Selain itu juga, sungguhpun Muhammad Amin Suma menamatkan semua
pendidikan formalnya di Tanah Air Indonesia, tidak berarti cendikiawan muslim
ini asing dengan pengalaman luar negeri, dan untuk mengembangkan pengetahuan
dan wawasan pengalaman, Amin Suma pernah mengunjungi beberapa negara.
Selain Saudi Arabia dalam rangka menunaikan ibadah haji dan anggota tim
pembimbing haji Indonesia tahun 1991-1996, beliau juga pernah ke Kairo Mesir
14
Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I, h. 165.
66
(1998) untuk penelitian dan ke Mc Gill University Canada (1998) untuk
mengikuti kursus management pada kegiatan Senior Manager Program.15
Masih dalam kegiatan kunjungan atau pengalaman luar negerinya, beliau
juga pernah ke beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura (1996, 1998,
1999 dan 2000), Malaysia (1999 dan 2000), Brunei Darussalam (1999) dan
Thailand (2000). Terutama dalam kegiatan dengan penelitian tentang “Studi
Kukum Islam di kawasan Negara-Negara Asia Tenggara”. Dan pada bulan Juli
2001 beliau juga pernah mengunjungi Australia atas nama Komisi Fatwa Majlis
Ulama Indonesia (MF MUI). Kunjungannya tersebut tiada lain dalam rangka
melakukan penelitian ilmu-ilmu keislaman khususnya di bidang hukum islam.
Kunjungan luar negeri lainnya yaitu ke Abu Dhabi dalam rangka
penelitian penyelesaian sengketa ekonomi Islam di pengadilan (2008), Amerika
Serikat seminar Konfrensi Agama-agama (2008), Australia Sembelihan kerjasama
UIN Jakarta dengan Melbron University (2001 dan 2009), Bahrain observasi
penyelesaian sengketa ekonomi Islam (2008), Belanda mengikuti sidang Majelis
Ifta Negara-negara Eropa (2006 dan 2007), Iran sebagai pemakalah dalam seminar
internasional (2010), Turky dalam rangka Safari Syar’i (2008).16
Dalam dunia organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan,
Muhammad Amin Suma pernah aktif di Pelajar Islam Indinesia (PII) pada tahun
1972-1974 dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1975-1979, Ketua
Ikatan Remaja As-Sa’adah pada tahun 1976-1977, Ketua Ikatan Remaja Kampung
Utan Selatan (IRKUS) pada tahun 1977-1980, Ketua Umum Humpunan
15
Muhammad Amin Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II, h. 206. 16
Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 136
67
Mahasiswa Banten (HMB) Ciputat pada tahun 1980-1982, dan Wakil Ketua
Badan Urusan Peribadatan dan Dakwah (BUPERDA) Masjid Fatullah IAIN
(UIN) Jakarta. Selain itu juga beliau merupakan sebagai salah satu pendiri Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat, ICMI Orwil DKI Jakarta dan
juga merupakan mantan Ketua ICMI Orsat Ciputat selama dua periode yakni pada
tahun 1991-1993 dan 1993-1996.17
Selain itu juga beliau tercatat memiliki sejamlah jabatan penting yang
pernah di jabatnya, antara lain sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama
Indonesia (MUI) padda tahun 1995-2010, Presidium Korp Himpunan Mahasiswa
Islam (KAHMI) Rayon UIN Jakarta tahun 2010-2015, Pembina Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) UIN Jakarta tahun 1998-2010, Wakil Ketua Dewan
Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim ORWIL DKI Jakarta tahun 2005-2010, Ketua
Umum Majelis Perdagangan tahun 2003-2008, Anggota Dewan Syariah Nasional
(DSN), anggota Dewan Pembina Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh BAZIS)
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dewan Pertimbangan Syariah Baitul
Mal Umat Islam (BAIMUS), Ketua Dewan Pengawas Syariah Asuransi jiwa,
Ketua Dewan Pengawas Syariah Asuransi Adira Syariah, Ketua Dewan Pengawas
Syariah Bank Permata Syariah, Direktur Yayasan Tanmia Insani, dan Ketua
Umum Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) pada tahun
2008-2013.18
Sebagai Profesor, yang telah berhasil menggondol 9 lembar ijazah di luar
surat pengangkatan dan pengukuhannya sebagai guru besar pada tahun 1997, kini
17
Iim Qo’imuddin, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, h. 130 18
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia (Tangerang: Lentera Hati,
2015), h. 267.
68
tetap terlibat aktif dan eksis dalam kancah tri dharma perguruan tinggi. Termasuk
di dalamnya melakukan aktifitas penelitian di samping kegiatan pendidikan dan
pengajaran (Dikjar) serta pengabdian pada masyarakat. Rangkaian aktifitas
panjang yang telah dikemukakan sebelumnya ini, belum termasuk yang tidak
sempat tertuliskan, mudah-mudahan dapat melengkapi partisipasinya dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap tuntutan tri dharma perguruan tinggi.
Masih dalam kaitan dengan prestasi pengajaran, dekan yang oleh
rektornya pada waktu itu (Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA) disemati julukan hiper
aktif dan oleh mahasiswa IAIN (UIN) Jakarta pernah dinyatakan sebagai dosen
terbaik dan terpopuler ke VI di Fakultas Syariah dan Hukum. Selain itu
Muhammad Amin Suma merupakan pemilik gelar akademik terbanayak
(Profesor, Dr, Drs, BA, SH, MA, MM) yang diselesaikannya dalam waktu cepeat,
sehingga beliau dinobatkan sebagai Guru Besar termuda di Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta tepatnya di Fakultas Syariah dan Hukum pada tahun
1997.19
Muhammad Amin Suma pernah mendapatkan piaham penghargaan tanda
kehormatan Satyalencana Karya Satya 10 tahun dari Presiden Republik Indonesia
yang pada waktu itu alm Abdurrahman Wahid (18 Desember 2000) dan piagam
kehormatan sebagai Putra Daerah Cilegon Terbaik (27 April 2002) dari Walikota
Cilegon, piagam tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya 20 tahun PNS oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005.20
Muhammad Amin Suma menyebut lingkungan kampus Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Ibu Almamater dan Induk Dapurnya,
19
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 268 20
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 386.
69
Mantan Kepala Pusat Penelitiaan IAIN (UIN) Jakarta pada tahun 1996-1998, ini
telah menghasilkan sejumlah karya ilmiah dalam beberapa bidang keilmuan
khususnya keislaman. Di antara karya ilmiahnya dalam bidang hukum terutama
yang telah dipublikasikan ialah: “Kedudukan Qadha (Peradilan) dan Hukum
Menegakannya dalam Islam” (Risalah Sarjana Muda, 1998). “Studi Perbandingan
tentang Hukum Penjara Seumur Hidup dalam Hukum Pidana Islaam dan Hukum
Pidana Positif” (Risalah Sarjana, 1981). “Ijtihad Ibnu Taymiyyah dalam Bidang
Fiqih Islam” (Pustaka Firdaus, 2003). “Tafsir Ahkam I” (Jakarta: Logos, 1992).
“Pengantar Tafsir Ahkam” (Raja Grafindo Persada, 2001). “HAM [Hak Asasi
Manusia] dan KAM [Kewajiban Asasi Manusia] dalam Perspektif Hukum Islam”
dalam buku, Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional
(Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2002).
“Keadilan Hukum Waris Islam” (Raja Grafindo Persada, 2013).
Kawin Beda Agama di Indonesia (Lentera Hati, 2015). Hukum Keluarga
Islam di Dunia Islam (Raja Grafindo Persada) yang merupakan buku referensi
utama dalam pembahasan skripsi ini, dan masih banyak buku-buku yang lain yang
belum di sebutkan.
D. Guru-guru
Berbicara pendidikan Muhammad Amin Suma tentunya tidak terlepas
dari orang-orang yang berjasa dalam pendidikan beliau, sampai mengantarkan
beliau menjadi seorang Profesor dan Guru Besar di berbagai Universitas yang ada
di Nusantara khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta. Adapun guru beliau diantaranya:
70
1. K.H. M. Syadzali Hasan (w. 1400 H/1979 M)
Beliau merupakan guru tafsir Al-Quran yang benar-benar merangsang
Muhammad Amin suma saat-saat beliau menjadi santri di Madrasah Al-
Khairiyah Citangkil Cilegon Banten pada tahun 1974. Wawasan penafsiran
yang luas dan tutur katanya yang enak di dengar, sehingga membuat beliau
terobsesi menjadi seorang mufassir.
2. Prof. Dr. K.H. Peunoh Daly (1350-1416 H/1931-1995 M)
Peunoh Daly adalah dosen Tafsir Ahkam pada saat Muhammad Amin Suma
menjadi mahasiswa S-1 di Fakultas Syariah IAIN Jakarta (1975-1981) yang
kini menjadi UIN, beliau juga memaksa kepada Muhammad Amin Suma
mengasuh mata kuliah Ulumul Al-Quran dan terutama Tafsir Ahkam di saat-
saat Muhammad Amin Suma sedang berkonsentrasi pada Fiqih terutama Fiqih
Muamalah.
3. Prof. Dr. M Qurais Shihab, MA.
Adapun Qurais Shihab adalah guru besar Muhammad Amin Suma ketika
mengambil jenjang pendidikan S-3 (Program Doktor) pada Program
Pascasarjan IAIN Jakarta (1988-1989) yang banyak memberikan masukan
tentang kiat dan gaya penafsiran Al-Quran yang benar-benar piawai (alim)
dinamis dan menarik.21
4. K.H. Bahruddin Afif
Baharuddin Afif merupakan guru semasa Amin mondok di salah satu pondok
yang berada di daerah Citangkil Cilegon. Baharuddin merupakan ustad muda
21
Muhammad Amin Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II, h. xi.
71
pada waktu itu, namun memiliki pemikiran dan pendidikan yang dewasa,
Baharuddin selalu menanamkan jiwa keilmuan dan keprilakuan itu seimbang.
Di sini Amin belajar ilmu-ilmu alat (Nahwu Shorof) dan ushul fiqih. Diantara
kitab-kitab yang diajarkan Mabadi al-Awaliyah, As-Sulam, al-Bayan.
5. K.H. Abdullah
K.H Abdullah merupakan Guru yang unik, dimana ia selalu mengajar dengan
gaya ceplas-ceplos dan ketika ada ujian apabila muridnya tidak bisa maka ia
selalu marah. K.H Abdullah selalu mengajarkan kitab-kitab fiqih salah satunya
kitab Kifayatul Akhyar, dan beliau selalu mempraktekan di samping teori.22
E. Karya-karya
Kehidupan akademis Muhammad Amin Suma sudah dimulai sejak lama
sampai beliau menjadi guru besar dan mengajar di berbagai Universitas di
Indonesia, dari menjadi Guru Besar, menjadi Ketua Dewan Syariah, sampai
menjadi Hakim Ad Hoc HAM. Beliau juga termasuk orang yang produktif dalam
menulis, sehingga tidak salah kalau karya-karya beliau sudah banyak termasuk
buku-buku yang beliau tulis. Adapun buku-buku yang beliau tulis diantaranya
adalah :
1. Buku Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fiqih Islam (1990)
2. Buku Studi Perbandingan tentang Hukum Penjara Seumur Hidup dalam
Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif (1991)
3. Buku Tafsir Wa Ulumuh I (1992)
4. Buku Quran Hadis I (1992)
22
Wawancara Pribadi dengan Muhammmad Amin Suma. Jakarta, 14 Maret 2016.
72
5. Buku Quran Hadis II (1998)
6. Buku Pluralisme Agama (2004)
7. Buku HAM (Hak Asasi Manusia) dan KAM (Kewajiban Asasi Manusia)
dalam Perspektif Hukum Islam (2002)
8. Buku Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan
lainnya di Negara Hukum Indonesia (2007)
9. Buku Lima Pilar Islam (2006)
10. Buku Asuransi Syariah dan Konvensional (2007)
11. Buku Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam (2008)
12. Buku Kedudukan dan Peran Hukum Islam di Negara Hukum Islam (2009)
13. Buku Membangun Ekonomi Negeri Berbasis Kitab Suci (2009)
14. Buku Ensikloedi Islam Indonesia (1992)
15. Buku Ensiklope Islam (1993)
16. Buku Ensiklopedi Hukum Islam (1997)
17. Buku Ensiklopedi al-Quran (1997)
18. Buku Ensiklopedi Dunia Islam (1999)
19. Buku Ensiklopedi Hukum Islam (2007)
20. Buku Kedudukan Qadha (Peradilan) dan Hukum Menegakannya dalam Islam
(1998)
21. Buku Tafsir Ahkam I (1997)
Pembahasan yang digunakan dalam penyusunan buku ini dilakukan dengan
menuliskan ayat yang bertalian dengan topik yang dibahas, kemudian diikuti
73
dengan terjemahan, makna mufrodat, makna global, sebab nuzul, serta
kemudian menjelaskan dan terakhir istimbath hukum.23
22. Buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I (2000)24
Buku ini merupakan kumpulan bahan-bahan kuliah yang diberikan di
beberapa perguruan tinggi dan juga makalah-makalah serta tulisan ilmiah
yang disampaikan untuk dibahas di dalam petemuan-pertemuan ilmiah.
23. Buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II (2001)
Pada hakikatnya buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II ini merupakan kelanjutan
dari buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I. Buku II bermaksud ingin membantu
pembaca terutama para mahasiswa yang berminat untuk lebih memperdalam
ilmu tafsir yang merupakan bahagian paling signifikan dan Ilmu-Ilmu Al-
Quran pada umumnya.25
Lebih dari itu buku ini juga bertujuan mendorong
calon-calon mufassir berlatih menafsirkan Al-Quran secara mandiri dengan
berguru kepada mufassir-mufassir klasik maupun kontemporer yang dapat
ditelusuri melalui pendekatan sejarah tafsir dan mufassir yang telah berjalan
demikian panjang.
24. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran III (2004)
Buku ini merupakan rangkaian atau lanjutan buku-buku sebelumnya yaitu
Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I dan Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II. Buku ini
membahas ilmu-ilmu tertentu yang memiliki peranan penting dalam
menafsirkan Al-Quran. Dan dalam rangka mempermudah pemahaman itu
23
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam I (Tangerang: Wacana Ilmu, 1997), h. 3. 24
Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I, h. 3. 25
Muhammad Amin Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II, h. 12.
74
pula dalam muqaddimah dibuatkan bagan yang menggambarkan input dan
sekaligus Output Al-Quran dihubungkan dengan ilmu pengetahuan.26
25. Buku Pengantar Tafsir Ahkam (2001)
Buku ini mengemukakan tentang batasan dan istilah tafsir ahkam. Model dan
langkah-langkah penafsiran ayat-ayat hukum, yang di dalamnya dibahas
tentang penafsiran Al-Quran yang ideal, studi tafsir ahkam di Mesir dan di
Indonesia.27
26. Buku Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (2005)
Berbicara manengenai Sitem Hukum di Dunia pada kenyataannya memang
menunjukan bahwa isi hukum dimana-mana tidak ada yang sama dengan kata
lain tidak ada yang namanya Hukum Dunia. Malah tidak jarang dalam satu
negara atau masyarakat hukum, berlaku sistem hukum yang berbeda.
27. Buku Keadilan Hukum Waris Islam (2013)
Buku ini memfokuskan pada kasus-kasus tertentu dan dengan pola pikir
tertentu pada perimbangan pembagian 2:1 untuk laki-laki dan perempuan.
Sehingga seolah-olah Hukum Kewarisan Islam itu selalu dan melulu
memberikan dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan..28
28. Buku Kawin Beda Agama di Indonesia (2015)
Sesuai dengan judulnya, buku ini memberikan argumentasi tambahan
bagi para pembaca umumnya dan para calon pelaku pernikahan beda agama
khususnya untuk kemudian menetapkan pilihan antara terus melangsungkan
26
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004),
h. 32. 27
Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), h. 24. 28
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h. 4.
75
pernikahan beda agama dengan kemungkinan resiko yang sedikit banyak
akan mengganggu keberlangsungan pasangan berbeda agama dan/atau
keluarganya kelak, atau lebih baik mengurungkan niatnya untuk melakukan
pernikahan beda agama dengan mempertimbangkan demi kemaslahatan
rumah tangga jangka panjang daripada semata-mata mengejar kebahagiaan
jangka pendek, tepatnya memenuhi selera cinta.29
29. Dan ratusan makalah, artikel dan lain-lainnya yang sulit untuk dituliskan satu
persatu.
Dari karya-karya beliau di atas, harapan kita khususnya penulis semoga
semua karya beliau termasuk kedalam deretan ilmu-ilmu yang beramanfaat
kedapan dan atau dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas. Seperti halnya
dengan karya-karya yang lainnya.
29
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 14.
76
BAB IV
POKOK-POKOK PEMIKIRAN MUHAMMAD AMIN SUMA DALAM
BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA
A. Konsepsi Perkawinan
1. Penngertian Perkawinan
Amir Syarifuddin bependapat bahwa, dalam pandangan Islam di samping
perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, juga merupakan sunnah Allah dan
sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam
penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah
ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.1 Hal serupa
juga diungkapkan Sayyid Sabiq seperti yang ditulis Abdul Rahman Ghozali,
perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk
tuhan.2 Kemudian Kompilasi Hukum Islam mempertegas dalam pasal 2 bahwa
melaksanakan perkawinan merupakan ibadah.
Hal berbeda diungkapkan Nur Yasin, bahwa perkawinan atau pernikahan
merupakan perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita. Perjanjian yang dimaksudkan di sini bukan sembarang perjanjian,
seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah
adalah perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan suci. Di sini dilihat dari segi keagamaannya.3
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014), h. 41 2 Abdul Rahman Ghazali,, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 10
3 Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN-Malang Pers, 2008), h. 55
77
Sedangkan menurut Muhammad Amin Suma, hakikat dari pekawinan
ialah akad lahir-batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang
perempuan sebagai sebagai isteri berdasarkan niat dan tujuan bersama
keduanya untuk membentuk suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasaran prinsip-prinsip hukum Islam.4
Berkenaan dengan takrif/definisi perkawinan, Muhammad Amin Suma
menjelaskan bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
dengan bentuk akad atau kontrak (contract). Perkawinan dalam hukum Islam
ialah sebuah kontrak, dan seperti halnya semua kontrak-kontrak yang lain,
perkawinan disimpulkan melalui pembinaan suatu penawaran (ijab) oleh satu
pihak dan pemberian suatu penerimaan (Qabul) oleh pihak yang lain. Bukan
bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi wajib, sepanjang maksudnya
dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad perkawinan adalah jelas (sah)5.
Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa pernikahan itu tidak termasuk
ke dalam perbuatan ibadah murni meskipun mengandung nilai-nilai ubudiah.
Intinya, perkawinan itu bukanlah ibadah dalam arti ibadah murni, namun lebih
merupakan bagian integral dari perbuatan duniawi tepatnya urusan muamalah
layaknya perbuatan jual-beli/bisnis, sewa-menyewa, gadai, dan lainnya.6
Ada beberapa alasan yang diungkapkan, mengapa perkawinan itu
bukanlah ibadah dalam arti ibadah murni melainkan lebik kepada urusan atau
perbuatan muamalah, diantaranya:7
4 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia (Tangerang: Lentera Hati,
2015), h. 24. 5 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 50. 6 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 91.
7 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 92-93.
78
Pertama, seperti halnya perkawinan yang dilakukan pasangan non muslim
itu hukumnya tetap sah. Kalau perkawinan itu dikategorikan ke dalam
perbuatan ibadah, maka seharusnya akad perkawinan yang dilangsungkan oleh
pasangan non muslim itu hukumnya tidak sah, ini menunjukan pengakuan sah
semua perkawinan yang dilakukan oleh pasangan non muslim.
Kedua, tujuan utama dari suatu perkawinan pada dasarnya dan pada
umumnya adalah untuk memenuhi kebutuhan syahwat pribadi, sedangkan
tujuan dari amal ibadah ialah demi amal yang semata-mata karena Allah.
Ketiga, dari definisi akad nikah itu sendiri yang mencerminkan keberadaan
dua belah pihak dalam hal ini suami dan istri yang harus dilakukan dengan
melalui ijab-kabul yang menjadi rukun sebuah pernikahan.
Keempat, fakta lain adalah kenyataan penempatan kajian atau tepatnya
pembahasan pernikahan dalam hampir semua literatur tafsir, hadis, dan
terutama kitab-kitab fiqih, di mana meletakan pernikahan dalam kelompok
kitab/bab “al-mu’amalat” bahkan tidak ada yang mencantumkannya di dalam
bagian kitab/bab “al-ibadat”.
Kelima, harus adanya para saksi nikah minimal dua orang dan harus ada
wali nikah bagi pihak perempuan, minimal menurut sebagian ulama. Inilah
sebabnya mengapa anak kecil tidak boleh menjadi wali dan saksi dan
pernikahan seperti halnya dalam perbuatan muamalat, karena sesengguhnya
dalam ibadah itu tidak diperlukan saksi.8
8 Wawancara Pribadi dengan Muhammad amin Suma. Jakarta 8 Maret 2016.
79
Keenam, yang membedakan ibadah dan muamalah ialah, dalam muamalah
harus adanya akad seperti ibab-kabul dalam pernikahan, sedangkan dalam
ibadah adalah niatnya.9
Ketujuh, dalam sebuah hadis tidak menjelaskan bahwa nikah adalah
ibadah tetapi nikah merupakan sunnah, sunnah disitu menunjukan kesunahan
para nabi, sehingga nikah mengandung ibadah dan sebagai sarana
peribadatan.10
Dari beberapa pendapat di atas tersebut jelas bahwa baik menurut
Kompilasi Hukum Islam yang sama hlnya dengan Amir Syarifuddin, Nur
Yasin, dan Muhammad Amin Suma, masing masing mempunya pandangan
yang berbeda mengenai Konsep Perkawinan. Namun demikian bahwa sebuah
perkawinan mempunya tujuan dan akibat hukum yang ditimbulkannya.
Mengambil pendapat dari Muhammad Amin Suma, menurut penulis
pendapat ini bisa dijakikan sebagai argumentasi bagi seseorang yang mudah
sekali mengatakan kalau melakukan perkawinan itu adalah sebuah ibadah,
sehingga dijadikan alasan untuk melakukan poligami. Memang betul ada ruang
untuk melakukan ibadah, akan tetapi bukanlah ibadah dalam arti ibadah
mahdhah (murni) melainkan bentuk perbuatan hukum muamalah yang
mengandung atau berdimensikan nilai-nilai ubudiah.
Pengertian tersebut akan memperoleh pahalan jika dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah dan akan berdosa manakala pelaksanaannya
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah tersebut.
9 Wawancara Pribadi dengan Muhammad amin Suma. Jakarta 8 Maret 2016.
10 Wawancara Pribadi dengan Muhammad amin Suma. Jakarta 8 Maret 2016.
80
Sehingga hal-hal yang paling penting yang harus di garis bawahi dalam
alasan-alasan di atas ialah, pendapat para ulama yang mengatakan bahwa
nikah/kawin tidak tergolong kedalam lingkup perbuatan ibadah murni, akan
tetapi lebih tepat tergolong ke dalam perbuatan hukum muamalah meskipun
tetap masih berdimensikan nilai ubudiah.
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius dikalangan
Fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan apa yang
termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu terjadi dalam
menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Jadi bisa jadi
sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama yang lain menyebutnya
sebagai syarat.11
Begitu juga dengan pendapat para tokoh lain dalam bukunya, Achamad
Khuzairi memilih unsur-unsur akad nikah ketimbang rukun atau syarat
perkawinan.12
Muhammad Baqir al-Habsyi lebih memilih rukun dan
persyaratan akad nikah.13
Idris Ramulyo menggunakan rukun dan syarat yang
sah menurut hukum Islam.14
Ulama fiqih menyatakan bahwa rukun nikah itu adalah kerelaan hati kedua
belah pihak (laki-laki dan perempuan). Karena kerelaan adalah hal yang
tersembunyi di dalam hati, maka itu harus diungkapkan melalui ijab dan kabul.
11
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 60. 12
Ahmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 34. 13
Muhammad Baqir al-Habsyi, Fiqih Praktis Seputar Perkawinan dan Warisan, (Bandung:
Mizan, 2003), h. 71. 14
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Askara, 1996), h. 49.
81
Adapun syarat adalah sesuatu yang tidak menyebabkan sesuatu yang lain itu
menjadi tiada walaupun keberadaannya akan menjadi kurang atau tidak ideal
(sempurna) tanpa keberadaan syarat tersebut.
Menurut Syafi’iyyah berkenaan dengan rukun, bagi mereka ada lima,
calon suami, calon istri, dua orang saksi, dan sighat. Menurut Malikiyah, rukun
nikah ada lima, wali, mahar, calon suami, calon istri, dan sighat. Malikiyah
tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan Syafi’i menjadikan dua
orang saksi sebagai rukun dalam perkawinan. Sedangkan Hanafiyah rukun
nikah haya terdiri dari ijab dan kabul saja.
Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqaha, rukun nikah terdiri dari
al-Ijab dan al-Qabul. Lafal akad, harus dari kata nikah, tazwij atau maknanya
tidak boleh dari kata kiasan seperti kata halal, milik atau hibah. Dalam
pelaksanaan akad nikah boleh didahulukan lafal “kabul” pihak suami daripada
lafal “ijab” yang diucapkan pihak wali, karena maksud pernikahan akan
berhasil juga.15
Memperhatikan rukun nikah yang dikemukakan oleh para ulama berbagai
mazhab, dapat disimpulkan bahwa rukun nikah yang disepakati oleh semua
kalangan mazhab fiqih ( Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah)
ialah cuma al-ijab wa al-qabul (ijab-kabul). Dalam pada itu, ulama fiqih juga
ada yang tegas-tegas menetapkan bahwa rukun hakiki dari suatu akad nikah
sejatinya adalah terletak pada “ijab-qabul” tidak pada yang lainnya. Sehinggga
hal inilah yang menjadi substansi mutlak dari pelaksanaan akad nikah.16
15
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 74. 16
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 39-40.
82
Sehingga atas dasar di atas Muhammad Amin Suma berpendapat, adanya
wali nikah, boleh jadi lebih didasarkan pada pertimbangan hubungan moral
atau etika di mana ayah mempelai perempuan khususnya atau wali-wali yang
lain pada umumnya, telah menanamkan jasa sedemikian rupa melalui
pemberian kasih sayang dan lain-lain dalam waktu yang sangat lama selama
dia belum menikah. Adapun terkait dengan saksi nikah yang minimal harus dua
orang, itu sangat berhubungan erat dengan penyelenggaraan nikah maupun
keberlangsungan dari akad nikah itu sendiri dari kemungkinan gangguan orang
lain yang boleh jadi menganggap atau dianggap belum memiliki suami atau
isteri. Sedangkan terkait dengan mahar, menurut Muhammad Amin Suma,
lebih dimaksudkan sebagai simbol rasa tanggung jawab seorang suami
terhadap isteri dan anak-anaknya, karena mustahil untuk dipertahankan
seabadi mungkin tanpa ditopang oleh kecukupan ekonomi dan keuangan.17
Poinnya, Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa keberadaan wali
nikah, saksi nikah, dan mahar, itu tetap menjadi rangkaian yang juga penting
keberadaannya dalam proses akad nikah meskipun kedudukannya tidak sampai
ke dalam derajat rukun nikah. Sebab yang menjadi rukun nikah adalah akad
ijab-kabul yang dirajut oleh kedua mempelai. Sedangkan untuk wali, saksi, dan
mahar lebih cenderung ditempatkan ke dalam syarat-syarat perkawinan,
Berkenaan dengan rukun perkawinan juga, Kompilasi Hukum Islam
menempatkan wali dan saksi sebagai rukun dalam perkawinan. Pasal 19
menyebutkan, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
17
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 43.
83
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Begitupun dengan pasal 24 yang menyebutkan, saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Sedangkan UU Perkawinan tidak
mengenal adanya rukun perkawinan, hanya memuat hal-hal yang berkenaan
dengan syarat-syarat perkawinan. Hal tersebut bisa dilihat pada Bab II pasal 6
hanya ditemukan syarat-syarat perkawinan.
3. Kafa’ah dalam Perkawinan
Kufu adalah hak wali dan hak perempuan yang akan kawin. Dalam suatu
perkawinan, apabila pihak wali dan perempuan yang bersangkutan sudah
sepakat mengabaikan kufu maka pernikahannya sah. Yang dimaksud kufu
dalam perkawinan adalah adanya kesamaan derajat antara suami dan isteri,
kesamaan itu dipandang dari berbagai segi. Adapun norma kufu antara seorang
wanita dengan laki-laki ada lima macam, ialah:18
a. Tidak cacat jasmani dan rohani (gila)
b. Merdeka
c. Keturunan (nasab)
d. Iffah, yaitu kesalehan dan ketaatan kepada agama
e. Hirfah, yaitu pencaharian sebagai sumber nafkah
Menurut jumhur ulama (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali) bahwa
kafa’ah itu ada dan merupakan syarat lazim dalam pernikahan. Kemudian
diperkuat lagi oleh Wahbah Zuhaili, alasan logika yang dikemukakan adalah
bahwa kebahagiaan rumah tangga biasanya akan terwujud jika dilakukan oleh
orang-orang yang sekufu. Dengan kata lain, bahwa lajunya bahtera sangat
18
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 78.
84
ditentukan oleh orang-orang yang sekufu. Meskipun para ulama berbeda
pendapat tentang ukuran kafa’ah.19
Sesuai dengan ayat al-Quran, hadis ataupun pendapat ulama, dapat
disimpulkan bahwa unsur Kafa’ah yang telah diepakati oleh ahli hukum Islam
ialah adanya kesesuaian atau tepatnya kesamaan dalam hal agama dalam hal ini
sama sama agama Islam. Sedangkan kesamaan dalam hal lain seperti ekonomi,
sosial, keturunan dan yang lainnya, posisi ke-Kafa’ah-annya tidak disepakati
oleh semua ulama karena berlainan.20
Menurut Hasan Basri, al-Tsauri dan al-Kharhi, bahwa kafa’ah bukanlah
merupakan syarat asal, bukan syarat sah suatu pernikahan, dan bukan pula
syarat luzum. Menurut mereka sahnya suatu perkawinan tidak ditentukan oleh
apakah pernikahan itu dilangsungkan antara orang yang sekufu atau tidak.21
Para ahli fiqih Islam berbeda-beda pendapatnya dalam memberikan kriteria apa
saja yang tergolong ke dalam instrumen Kafa’ah.
Amir Syarifuddin dalam bukunya menjelaskan, yang dijadikan standar
dalam penentuah Kaafa’ah itu adalah status sosial pihak perempuan karena
dialah yang akan dipinang oleh laki-laki untuk dikawini. Laki-laki yang akan
mengawininya paling tidak harus sama dengen perempuan, seandainya lebih
tidak menjadi halangan. Seandainya pihak istri dapat menerima kekurangan
laki-laki yang kurang status sosialnya sehingga dikatakan si laki-laki tidak
sekufu dengan istri.22
19
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 81. 20
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 58. 21
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 81. 22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 141.
85
Menurut Muhammad Amin Suma didasarkan pada keumuman ayat al-
Quran dan matan Hadis tidak secara langsung menyebutkan ihwal Kafa’ah,
dan memperhatikan pendapat para ulama berbagai mazhab yang tidak
menyertakan eksistensi Kafa’ah fi ad-din apalagi Kafa’ah di luar agama ke
dalam syarat sah nikah maupun ke dalam rukun nikah. Dengan kalimat lain,
posisi Kafaah fi ad-din dalam suatu pernikahan, pada dasarnya dapat dikatakan
bukan hal yang dharuriyat (kebutuhan primer) sehingga tidak dijadikan
sebagai rukun nikah, melainkan lebih menempati posisi Hajiyat (skunder).
Sedangkan Kafa’ah dalam bidang yang lain bersifat umum, seperti status
sosial, pendidikan, keturunan, etnik dan yang lainnya, hanya termasuk kedalam
hal-hal yang bersifat tahsiyat/takmiliyat (pelengkap).23
Sehingga Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa Kafa’ah di luar
agama, hukumnya hanya mubah atau setinggi-tingginya hanya sunnah
(anjuran) yang dapat dikatakan sepenuhnya menjadi hak perdata (individu)
masing-masing calon mempelai untuk menjadikan atau tidak menjadikannya
sebagai salah satu Kafa’ah yang menjadi dasar pertimbangan untuk
melangsungkan rangkaian akad pernikahan yang hendak dilaluinya.24
Karena
yang paling terpenting adalah bagaimana antara suami dan isteri bisa
membangun kesesuaian harmonisasi dalam rumah tangganya.25
Melihat dari beberapa pendapat di atas jelas ada perbedaan menempatkan
posisi Kafa’ah dalam suatu perkawinan. Ada yang memposisikan Kafa’ah
dalam keturunan, agama, status sossial, dan lainnyaa. Namun seskiun demikian
23
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia , h. 60. 24
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 61 25
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma.Jakarta 8 Maret 2016.
86
posisi Kafa’ah tidak dijadikan sebagai rukun perkawinan melainkan hanya
sebagaai kebutuhan dan pilihan. Sehinga yang perlu diperhatikan adalah sikap
hidup yang lurus, bukan karena keturunan, pekerjaan, dan sebagainya.
Kalau kita melihat beberapa pendapat, Kafa’ah tidak tergolong ke dalam
rukun nikah dan bahkan juga tidak ada yang mencantumkan sebagai salah satu
syarat sah dari sahnya pernikahan. Dengan demikian ststus Kafa’ah dalam
pernikahan tidak serta merta harus disimpulkan menjadi wajib hukumnya
secara mutlak. Karena perintah Kafa’ah tidak spesifik hanya diarahkan kepada
orang beriman, akan tetapi lebih bersifat umum kepada semua umat manusia
secara keseluruhan. Meskipun demikian bukan berarti Kafa’ah dalam suatu
perkawinan tidak penting, tetapi kita juga harus melihat kebaikan yang ada
dalam Kafa’ah.
4. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yangserius oleh fiqih,,
sehingga dalam kitab-kitab fiqih konvensional tidak pernah dibicarakan.
Namun, bila diperhatikan ayat tentang mudayanat (utang piutang) QS. Al-
Baqarah 282 mengisyaratkan adanya bukti autentik sangat diperlukan untuk
menjaga kepastian hukum. Bahkan secara redaksional menunjukan bahwa
catatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan persaksian
menjadi salah satu rukun yang harus dilaksanakan.
Ada beberapa faktor mengapa pada zaman dahulu perkawinan tidak
dicatatkan. Pertama, budaya tulis-baca khususnya di kalangan orang arab
jahiliyah masih jarang. Oleh karena itu orang arab mengandalkan pada daya
87
ingat (hafalan) ketimbang tulisan. Kedua, perkawinan bukan syariat baru
dalam Islam. Ia merupakan syariat nabi-nabi terdahulu secara terus menerus
diturunkan. Ketiga, pada masyarakat zaman dulu nilai-nilai kejujuran dan
ketulusan dalam menjalankan kehidpan masih sangat kuat sehingga sikap
saling percaya dan tidak saling mencurigai menjadi fundamen kehidupan
masyarakat. Keempat, problematika hidup pada zaman dahulu masih sederhana
belum sekompleks dan serumit zaman sekarang ini.26
Perkawinan tidak dicatat adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan
syarat sesuai dengan Hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan atau belunm
dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sebagaai Unit peleksanaan Teknis Dinas
Intansi Pelaaksana di wilayah kecamatan setempat. sebagaimana ditentukan
UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.27
Menurut Muhammad Amin Suma, semua dan setiap Perkawinan yang
dilangsungkan di wilayah negara hukum Indonesia, harus (wajib) dicatat oleh
petugas pencatat nikah.28
Negara telah mewajibkan pencatatan nikah melalui
peraturan perundang-undangannya, hal ini juga mendapat dukungan kuat
sesuai dengan ayat al-Quran yang memandang penting pencatatan suatu
perbuatan hukum muamalah termasuk Pernikahan. Sehinga pencatatan
Pernikahan wajib dan harus dijalankan.29
Hal tersebut bisa kita lihat dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat (2) yang
menyatakan bahwa, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
26
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional. ( akarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.), h. 129 27
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar
Grafika), h. 153. 28
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 27. 29
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 8 Maret 2016.
88
undangan yang berlaku. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan pasal
5 ayat (1), agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagai masyarakat Islam,
setiap perkawinan harus dicatat.
Berkenaan dengan persoalaan pencatataan perkawinan, ada dua pandangan
yang berkembang. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan
perkawinan tidak menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan
persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan.
Kedua, pandaangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap
menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.30
Menurut penulis, dengan melihat pandangan yang dituliskan Hartono
Mardjono mengenai pencatatan perkawinan di atas, Muhammad Amin Suma
tergolong kedalam pandangan yang kedua. Ia berpendapat bahawa pencatatan
perkawinan tersebut harus (wajib) dicatatkan. Selain melihat perintah al-Quran
juga melihat hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melihat
penjelasan tersebut terkesan masalah pencatatan perkawinan tersebut tidak saja
rumit tetapi seolah-olah menjadi sangat penting bahkan urusan catat mencatat
tersebut jauh lebih lama waktunya ketimbang plaksanaan akad nikah itu
sendiri. Lebih jauh dari itu ada kesan pencatatan itu menjadi mutlak dalam
sebuah perkawinan.
Alasan-alassan yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikatakan bahwa
pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus
30
Hartono Mardjono, menegakkan Syari’at Islam dalam Kontekas Keindonesiaan,
(Bandung: Mizan, 1997), h. 97.
89
berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran
kultur lisan kepada kultur tulisan sebagai ciri masyarakat moderen menuntut
dijadikannya akta surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak bisa
diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia juga
bisa mengalami kelupaan dan kehilafan. Oleh karena itu, atas dasar inilah
diperlukan sebuah bukti yang abada yaitu berupa akta perkawinan.
Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta nikah sangat diperlukan di
dunia modern seperti sekarang ini seseorang yang menikah tanpa dicatat oleh
Pejabat Pencatat Nikah (PPN) atau tidak mempunyai akta nikah, maka
nikahnya tidak sah menurut undang-undang yang berlaku di suatu negara. Hal
ini merupakan suatu tindakan pemerintah agar terjaminnya kepentingan dan
kemaslahatan masyarakat.
5. Poligami
Al-Quran maupun hadis Nabi tidak ditemukan secara ekplisit ketentuan
yang mengatur alasan poligami karena keadan isteri. Seperti ayat Al-Quran
surat al-Nisa ayat 3, al-Nisa ayat 29. Ayat ayat tersebut sebenarnya bukanlah
menunjuk kepada sifat dan makna yang berlaku umum, tetapi mengandung
suatu maksud, yaitu menegakan keaadilan terhadap anak yatim.31
Ayat ini
turun setelah selesainya perang Uhud yang memakan korban tewas 70 orang
laki-laki dari 700 tentara Islam. Dan Rasul ternyata menikah sejak usia 25
tahun hingga berumur 54 (selama 29 tahun) hanya seorang isteri (monogami).32
Muhammad Amin Suma bertendapat bahwa poligami itu milik dunia,
karena poligami merupakan hukum Islam dan orang muslim tersebar di
31
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 86-87. 32
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 88.
90
berbagai negara sehingga poligami berlaku di seluruh dunia khususnya umat
muslim. Di Indonesia sendiri pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri (asas monogami). Namun dalam hal lain
karena mempunyai alasan yang kuat seseorang diperbolehkan untuk poligami.
Poligami merupakan Rukshah yang diberikan kepada suami, karena berbicara
poligami bukan kasihan atau tidak kasihan. Bisa jadi karena istrinya sakit atau
ada pertimbangan lain seperti rasa cinta kepada perempuan lain, namun dengan
syarat bisa berlaku adil. Karena Islam hanya membolehkan seseorang
berhubungan biologis dengan hubungan pernikahan.33
Rukshoh di situ bisa menjadikan solusi bagi seseorang yang ingin
melakukan poligami. Meskipun memang pada dasarnya poligami itu
diperbolehkan tetapi tidak semua orang bisa melakukan poligmi begitu saja
dengan mudah. Boleh jadi pada kasus tertentu, waktu tertentu, orang tertentu,
dan di tempat tertentu, diaa tidak bisa melakukan hubungan biologisnya
kecuali pintu perkawina itu. Sehingga, poligami menjadi solusi (rukshoh) yang
diberikan.
Banyak orang salah paham poligami merupakan ciri khas perkawinan
Islam, mereka menganggap islamlah yang membawa ajaran poligami, bahkan
ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam poligami
tidak akan dikenal dalam sejarah manusia. Pandangan tersebut keliru, karena
berabad-abad manusiadiberbagai belahan dunia telah mengenal dan
mempraktikkan polihami. Bahkan bapak moyang para nabi yakni Nabi Ibrahim
33
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 14 Maret 2016.
91
melakukan poligami dengan mempersunting Sarah dan Hajar. Sejalan dengan
perkembangan zaman dan cara berpikir tentang perlindungan hak-hak individu
manusia, aturan poligami yang ditemukan dalam buku-buku fiqih mengalami
penafsiran ulang dan pembaharuan seperti halnya di Indonesia. Baik UU
Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa poligami
dimungkinkan untuk dilakukan. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 3 ayat (1-
2) UU Perkawinan dan pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
Setidaknya dari penjelasan di atas ada tiga hal yang harus diperjatikan.
Pertama, menyangkut prosedur poligami yang tampaknya memberikan
kewenangan yang cukup besar terhadap pengadilan. Kedua, makna
keadilansebaagai syarat kualitatif poligami. Ketiga, berkenaan dengan
substansi kebolehan poligami yang sering disalahpahami.
6. Perkawinaan antar Pemeluk Agama yang Berbeda
Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda merupakan masalah yang
sangat sensitif untuk dibahas, karena sampai saat ini masih kontroversial di
antara kalangan ulama begitupun di Indonesia. Perdebatan atas hukum atau
pekawinan beda agama disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap ayat
al-Qran yang menjelaskan tentang hukum pernikahan antar pemeluk agama
yang berbeda.
Terkait dengan aturan pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda ini,
para pakar hukum di Indonesia mempunya pandangan dan pendapat yang
berbeda. Seperti yang dituliskan Asep Saepudin Jahar. Menurut Asep,
Muhibuddin berpendapat bahwa perbedaan pandangan ini disebabkan karena
92
UU Perkawinan tidak menyebut secara tertulis dan eksplisit terkait perkawinan
antar pemeluk agama yang berbeda. Terdapat paling tidak, tiga pandangan
tentang perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda di Indonesiaa jika
dikaitkan dengan aturan yang tertera dalam UU Perkawinan.34
Pertama, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda tidak dibenarkan
dan jika dilakukan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap UU
Perkawinan berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan
tegas menyebutkan hal itu. Sehingga, perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda tidak sah dan batal demi hukum.
Kedua, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda dapat dilakukan
dan diperbolehkan, dan dianggap sah. Sebab perkawinan tersebut dapat
dianggap sebagai perkawinan campuran dengan pemahaman bahwa pasal 57
tentang perkawinan campuran ditekankan klausul “dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan”. Dengan menekankan pada klausul ini,
pasal tersebut tidak hanya mengatur perkawinan antar dua orang yang memiliki
kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antar dua
orang yang memiliki agama yang bebeda.
Ketiga, pandangan yang menekankan pada kenyataan bahwa UU
Perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda. Menurut pandangan ini, hukum dan aturan perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda dapat diambil dari pasal 66 UU Perkawinan yang
menyebutkan bahwa peraturan-peraturan lama dapaat diterapkan selama UU
34 Asep Saepudin Jahar, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013), h. 68
93
Perkawinan belum mengaturnya. Dengan cara pandang seperti ini, aturan
pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda harus tetap berpedoman pada
peraturan perkawinan campuran.
Sedangkan Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa, hukum
melakukan perkawinan beda agama pada dasarnya adalah sama dengan
prinsip-prinsip hukum pernikahan pada umumnya yang bisa menjadi mubah,
sunnah, dan bahkan wajib meskipun bisa dikatakan nyaris langka kasusnya.
Tetapi bisa juga menjadi makruh dan bahkan haram untuk kasus-kasus tertentu.
Analogi dengan perceraian yang dikatakan halal tapi dibenci, maka hukum
pernikahan beda agama dalam kasus tertentu bisa dinyatakan ada yang halal,
tetapi dibenci, atau bahkan haram.35
Pada prinsipnya perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda tidak
diperbolehkan, begitupun para ulama umumnya melarang perkawinan beda
agama, kalaupun ada yang mengatakan boleh hanya sebagian kecil saja. Akan
tetapi dalam prakteknya ada saja kemungkinan terjadi dan ini tidak bisa
dihindari, sehingga bisa saja di mungkinkan tetapi dengan alasan dan
persyaratan tertentu.36
Ketika perkawinan beda ini terjadi maka dikembalikan
kepada pasangannya dan harus bisa bertangung jawab kepaada hukum.
Bagi insan Muslim-Muslimah tertentu yang karena alasan-alasan tertentu
dan dalam kondisi yang tertentu pula tepatnya dalam keadaan/situasi darurat
perkawinan beda agama bisa dibenarkan oleh syariah. Pengharaman
perkawinan beda agama tidak bisa digeneralisir untuk semua dan setiap kasus
35
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 162. 36
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 14 Maret 2016.
94
yang dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Terutama bagi
mereka yang terlanjur melakukannya.37
Dari pandaangan tersebut Muhammad Amin Suma pada dasarnya
melarang atau tidak membolehkan perkawinan natar pemeluk agama yang
berbeda. Sehingga apabila melihat pandangan-pandangan di aatas Muhammad
Amin Suma termasuk ke dalam pandangan yang pertama. Namun demikian
seringkali kenyataan dan realita kehidupan di masyarakat berdeba, dengan
demikian kalaupun terjadi perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda
maka dikembalikan kepaada masing-masing individu untuk menjalani
kehidupan rumah tangganya dan mereka harus bisa mempertanggung
jawabkan perkawinan mereka baik menurut peraturan perundang-undangan
yang ada ataupun menurut agamanya masing-masing.
Apabila kita teliti dan lihat kembali mengenai UU Perkawinan, di sana
memuat beberapa pasal yang dijadikan sebagai landasan sebagai perkawinan
antar pemeluk agama yang berbeda. Seperti yang di jelaskaan di atas pasal-
pasal tersebut yaitu pasal 2 ayat (1) menjelaskan, perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Pasal ini menyiratkan bahwa perkawinan harus didasarkan pada aturan dari
pasangan secara seragam agamanya. Pasal 8 huruf (f) menyebutkan,
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk melakukan
perkawinan. Pasal ini ingin mengakomodir hukum-hukum yang berlaku pada
setiap agama termasuk agama Islam tak terkecuali.
37
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 157.
95
Masih dalaam UU Perkawinan, Pasal-pasal tersebut diperkuat lagi dengan
pasal yang mengatur secara khusus tentang perkawinan campuran. Pasal 57
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU
ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak beekewarganegaraan
Indonesia. Dengan aturan ini, cakupan perkawinan antara pemeluk agama yang
berbeda telah dikeluarkan dari pengertian perkawinan campuran, karena yang
ditekankan pada aturan ini adalah ketundukan pada hukum yang berbeda
didasarkan pada perbedaan kewarganegaraannya bukan agamanya.
Aturan tersebut dipertegas kembali oleh Kompilassi Hukum Islam pasal 40
yang secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki
Muslim dengan wanita non-Muslimah dan wanita Muslimah dengan laki-laki
non-Muslim.
B. Hukum Keluarga Islam di Indonesia menurut Muhammad Amin Suma
Mengenai Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Muhammad Amin Suma
berpendapat bahwa secara formal dan secara umum peraturan perundang-
undangaan di Indonesia sudah baik, dalam arti dari kerangka pikir bangsa
Indonesia sebagai negara beragama dan sebagai negara hukum. Karena Indonesia
adalah negara beragama maka wajar apabila undang-undangnya selalu
menyertakan norma-norma keagamaan. Sehingga tidak ada hak sebebas-bebasnya
96
secara individu semua haknya ingin semua haknya diakui di Indonesia. Hanya
dalam tataran praktiknya kadan-kadang dijumpai ada kekurangan.38
Hal ini bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan, baik UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Islam yang telah
mengakomodir permasalahan-permasalahan mengenai Hukum Keluarga Islam di
Indonesia. Seperti yang telah diuraikan dalam penulisan skripsi ini. Ada beberapa
permasalahan seperti misalnya mengenai :
Pertama, mengenai pengertian dan tujuan perkawinan. Meskipun memang
ada beberapa perbedaan mengenai pengertian perkawinan, seperti Muhammad
Amin Suma yang mengartikan perkawinan itu sebagai perbuatan muamalah yang
mengandung unsur ibadah, tetapi Kompilasi Hukum Islam sendiri telah
menyebutkannya dalam pasal 2 mengenai pengertian perkawinan. Meskipun ada
perbedaan mengenai pengertian perkawinan, akan tetapi dari situ semua
sependapat mengenai tujuan perkawinan sebagai bangsa Indonesia yang
mempunyai kerangka berfikir sebagai negara beragama, yaitu untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Kedua, mengenai Rukun dan Syarat Perkawina. Mengenai rikun
perkawinan meskipun memang terjadi perbedaan pendapat mengenai rukun dalam
perkawinan, namun terlepas dari perbedaan pendapat tersebut Kompilasi Hukum
Islam telah mengaturnya, bisa kita lihat dalam pasal 14 bahwa rukun perkawinan
ada lima. Calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul.
Sedangkan syarat-syarat perkawinan dijelaskan dalam UU No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dalam Bab II pasal 6-pasal 12.
38
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta 14 Maret 2016.
97
Ketiga, mengenai Kafa’ah dalam Perkawinan. Meskipun mengenai
kafa’ah ini tidak diatur secara jelas baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Isslam, tetapi sebagai bangsa Indonesia
yang beragama masalah Kafa’ah dikembalika pada individu masing-masing
sebagai pilihan untuk menjalankan rumah tangganya.
Keempat, mengenai Pencatatan Perkawinan. Meskipun pencatatn
perkawinan ini ada yang mengatakan hanya sebagai syarat administratif saja
dalam sebuah perkawinan, tetapi ada juga yang menyebutkan sebagai syarat
tambahan dalam pernikahan seperti yang dituangkan dalam UU No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. pasal 2 menyebutkan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan pencatatan perkawinan dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2).
Kelima, mengenai Poligami. Di Indonesia sendiri mengenai masalah
poligami meskipun memang diperbolehkan tetapi tidak serta merta mudah untuk
melakukannya. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya dalam
pasal 3-pasal 5, yang kemudian diperkuat dengan Kompilasi Hukum Islam pada
Bab IX pasal 50-pasal 59.
Keenam, mengenai Perkawinan antar Pemeluk Agama yang Berbeda.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai perkawinan antar pemeluk
agama yang berbeda, di Indonesia berkembang tiga pendapat yang berbeda.
Namun demikain lagi-lagi baik UU No 1 Tahun 1974 tentaang Perkawinan
ataupun Kompilasi Hukum Islam telah mengaturnya, meskipun memang tidak
secara jelas diatur atau menyebutkannya. Dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang
98
Perkawinan disebutkan pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf (f), dan pasal 57. Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 40 seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Sehingga menurut penulis, dari permasalahan-permasalahan mengenai
perkawinan termasuk dalam hal yang telah disebutkan di atas, peraturan
perundang-undangan baik itu UU No 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan
peraturan-peratulan lain yang menyangkut permasalahan Hukum Keluarga Islam
telah mengakomodir permasalahan-permasalahan yang ada dalam masuarakat.
Meskupun memang tidak bisa dipungkiri dalam prakteknya di masyarakat masih
ada yang tidak sesuai dengan peraturan tersebut, misalnya dalam hal pencatatan
perkawinan, poligami, dan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, masih
ada oknum-oknum yang melanggarnya.
Meskipun demikian hal yang terpenting adalah bahwa peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia telah mengakomodir permasalahan-
permasalahan mengenai Hukum Keluarga Islam. Meskipun pada prakteknya
aturan ini dikembalikan kepada individu masing-masing.
C. Posisi Muhammad Amin Suma dalam Bidang Hukum Keluarga Islam
Dari pemaparan yang sudah dijelaskan di atas bisa dilihat bahwa corak
pemikiran Muhammad Amin Suma dalam bidang Hukum Keluarga Islam lebih
condong mendekati pemahaman terhadap penafsiran al-Quran dan Hadist. Hal ini
bisa dilhat dari penjelasannya mengenai perkawinan terlebih khusus mengenai
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
99
Muhammad Amin Suma menggunakan pendekatannya dengan penafsiran
al-Quran, ada beberapa ayat al-Quran yang coba ia interpretasikan untuk
memahami maksud dan tujuan ayat-ayat tersebut. Seperti al-Baqarah ayat 105 dan
ayat 221, al-Mumtahanah ayat 10, al-Maidah ayat 5, al-Bayyinah ayat 6, dan al-
Nisa ayat 141. Kemudian ayat-ayat al-Quran perihal perkawinan seperti dalam al-
Nisa ayat 3, ar-Rum ayat 21, at-Tahrim ayat 6.
Selain itu juga penafsiran terhadap Hadist bisa diliha dari Hadist “la
nikaha illa biwaliyyin wasyahiday adlin”, tidak lahir secara tiba-tiba akan tetapi
sudah dilalui oleh proses pemikiran dan praktek mengamalan jangka panjang yang
kemudian disimpulkan dengan bahasa Hadist yang sangat singkat, padat, dan
akurat.39
Sehingga Muhammad Amin Suma berpendapat meskipun wali nikah dan
saksi tetap menjadi rangkaiaan yang penting bagi keberlangsungaan akad
nikahnya namun kedudukannya tidak sampai ke dalam derajat rukun nikah. Juga
terhadap Hadist yang menyebutkan bahwa perkawinan itu sebagai sunnah.
Muhammad Amin Suma beranggapan sunnah di sana bukan dalam
pengertian hukumnya sunnah melainkan merupakan tradisi keagamaan yang
dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, sebagaimana diungkapkan dengan julukan
sunnatul anbiya (perkawinan itu tradisi atau perbuatan baik para nabi).
Terlebih lagi Muhammad Amin Suma menuliskan bahwa hubungan
kausalitas antara al-Quran dan Hadist itu laksana hubungan Anggaran Dasar (AD)
dan Anggaran Rumah Tangg (ART) dalam sebuah organisasi, atau ibarat sebuah
subungan antara konstitusi dan peraturan perundang-undangan dalam suatu
39
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 44
100
negara. Karena sungguh sukar dibayangkan oleh siapa pun untuk bisa memahami
al-Quran secara baik dan benar tanpa melibatkan pemahaman Hadist,
sebagaimana juga mustahil memantapkan keyakinan jika merujuk Hadist tanpa
melirik sama sekai ayat-ayat al-Quran.40
Setiap tokoh pasti mempunyai disiplin ilmu dan ke khasan yang
dimilikinya tak terkecuali Muhammad Amin Suma. Ke khasan yang dimiliki
Muuhammad Amin Suma terletak pada konsep perkawinan itu sendiri. Sedikit
sekali atau bahkan sangat jarang tokoh yang mengungkapkan kalau perkawinan
itu merupakan perbuatan muamalah yang sama halnya dengan bentuk perikatan-
perikatan lainnya seperti jual-beli, gadai, sewa, dan lainnya.
Yang dimaksdukan melakukan perkawinan merupakan ibadah itu
bukanlah ibdah dalam arti ibadah mahdhah (murni) melainkan bentuk perbuatan
hukum muamalah yang mengandung atau berdimensikan nilai-nilai ubudiah.
Yakni dalam pengertian akan memperoleh pahala jika dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah dan akan berdosa manakala pelaksanaannya bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah.41
40
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 71. 41
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 71.
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum yang paling tua usianya ialah hukum perkawinan, hukum yang
mengatur hubungan internal anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang
berkenaan dengan masalah-masalah keluarga. oleh karena itu sudah sangat tentu
kalau hukum keluarga sangatlah penting. Seiring dengan perkembangan zaman
maka konsep atau pemikiran mengenai hukum keluarga terus mengalami
perkembangan, sehingga memperhatikan sekian banyak pendapat mengenai
konsep perkawinan sangatlah wajar kalau pendapat satu berbeda dengan pendapat
yang lainnya. Perlu kearifan dan ketelitian dalam memahami bagaimana
sesungguhnya konsep perkawinan itu. Muhammad Amin Suma merupakam salah
satu tokoh yang memberikan konsep dan pandangan mengenai Hukum Keluarga
Islam di Indonesia. Diantaranya adalah :
1. Ada beberapa konsep dan pandangan Hukum Keluarga Islam menurut
Muhammad Amin Suma. Pertama, mengenai konsep perkawinan. Menurut ia
perkawinan merupakan bagian integral dari perbuatan duniawi tepatnya
urusan muamalah layaknya perbuatan jual-beli, sewa-menyewa, gadai, dan
lainnya. Pendeknya, perkawinan itu tidak termasuk ke dalam perbuatan ibadah
murni meskipun mengandung nilai-nilai ubudiah. Kedua, Mengenai Rukun
dan Syarat Perkawinan. Ia menempatkan ijab-kabul ke dalam rukun
perkawinan, sedangkan wali, sksi, dan mahar, tidak sampai ke dalam derajat
rukun nikah, ia tempatkan ke dalam syarat perkawinan. Ketiga, Mengenai
102
Kafa’ah Perkawinan. Ia menyebutkan bahwa selain kafa’ah agama, yang
terpenting adalah antara suami dan istri bisa membangun kesesuaian dan
harmonisasi dalam rumah tangga yang dibangunnya. Keempat, Pencatatan
Perkawinan. Ia berpendapat bahwa hal tersebut di wajibkan, tidak hanya
peraturan perundang-undagan saja yang mewajibkan tetapi al-Quran juga
memerintahkannya. Kelima, masalah poligami. Ia berpendapat sesungguhnya
poligami itu merupakan solusi (rukshoh) yang diberikan kepada suami dalam
keadaan darurat. Keenam, mengenai perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda. Ia menjelaskan bahwa hampir semua agama termasuk dalam agama
Islam itu pada dasarnya melarang perkawinan beda agama, meskipun begitu
tidak di pungkiri kenyataannya dalam realita kehidupan di masyarkat tetap ada
saja yang melakukan perkawinan beda agama itu.
2. Hukum Keluarga Islam di Indonesia sejatinya sudah baik, hal terseut bisa
dilihat dari beberapa peraturaan perundang-undangan di Indonesia. Sehingga
secara formal ataupun secara umum peraturan perundang-undangana di
Indonesia sudah mengakomodir permasalahan-permasalahan mengenai
Hukum Keluarga Islam. Meskipun memang dalam tataran praktiknya ada atau
bahkan sering dijumpai kekurangan.
3. Muhammad Amin Suma merupakan salah satu tokoh yang berbeda dengan
kebanyakan tokoh yang lainya dalam menyajikan konsep perkawinan,
meskipun memang ada beberapa hal yang sama. Di antara perbedaannya
mengenai pengertian perkawinan, jarang sekali ada tokoh yang berpendapat
bahwa perkawinaan merupakan perbuatan muamalah sama halnya dengan
103
perikatan-perikatan yang lain seperti jual-beli, gadai, sewa, dan lain-lain.
Kemudian seperti dalam buku yang dituliskannya, ia menjelaskaan bahwa
yang menjadi rukun nikah adalah ijab-kabul yang dirajut oleh kedua
mempelai, sedangkan untuk wali nikah, saksi, dan mahar, kedudukannya tidak
sampai kedalam rukun nikah. Dan mengenaai pencatataan perkawinan
Muhammad Amin Suma termasuk ke dalam golongan yang berpendapat.
perkawinan itu harus dilaksanakan (wajib), dengan kata lain pencatatan nikah
tetap menjadi syarah sah tambahan dalam suatu perkawinan yang harus
dilaksanakan. Sehingga sangatlah penting untuk penulis tuliskan. Dalam
melihat permasalahan Hukum Keluarga Islam, Muhammad Amin Suma tidak
hanya melihat dari teori tetapi juga prakteknya. Artinya tidak hanya melihat
peraturannya baik secara agama maupun peraturan perundang-undangan tetapi
juga melihat realita di masyarakat.
B. Saran-saran
Demikianlah tulisan ini penulis sajikan kepada para pembaca, semoga
dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, akhirnya
penulis ingin menyampaikan beberapa saran diantaranya
1. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih mempunyai
keterbatasan dan kekurangan, oleh karena itu penulis mohon maaf apabila ada
kesalahan dalam pengetikan dan lain-lain, dan agar supaya menelaah lebih
jauh mengenaai pemikiran tokoh ini.
104
2. Penulis juga berharap semoga kita dapat mengambil pelajaran dari Konsepsi
Muhammad Amin Suma mengenai hukum perkawinan, dan menjadi sebuah
pengetahuan baru bagi kita semua.
Ahkir kata penulis mengucapkan terimakasih banyak, Wallahu’alam
105
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Gema Insani Perss, 1996.
al-Habsyi, Muhammad Baqir, Fiqih Praktis Seputar Perkawinan dan Warisan,
Bandung: Mizan, 2003.
Amiruddin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2003.
Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Fakultas Syaiah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu, 2012.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid 2.
Djubaidah, Neng,. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat,
Jakarta: Sinar Grafika.
Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010
Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Selemba
Humanika, 2012.
Ihromi, T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor
Indonesia, 1999.
Jahar, Asep Saepudin, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2013.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Kharlie, Ahmad Tholabi dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di
Dunia Islam Kontemporer Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SYAHID,
2011.
Kuzairi, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Rajawali Pers, 1995
106
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Mardjono, Hartono, Menegakan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan,
Bandung: Mizan, 1997
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1991
Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Prenada Media, 2004.
Peunoh, Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979.
________, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Askara, 1996.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Perada, 2000.
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Perss, 2007.
Qo’imuddin, Iim, Refleksi 55 Tahun Muhammad Amin Suma, Jakarta: 2010
Sopyan, Yayan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.
Sukandarumidi, Metode Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
____________________. Kawin Beda Agama di Indonesia, Tangerang: Lentera
Hati 2015.
___________________. Keadilan Hukum Waris Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013.
107
___________________. Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
___________________. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran I, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000.
___________________. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran II, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001
___________________. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran III, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004.
___________________. Tafsir Ahkam I, Tangerang: Wacana Ilmu, 1997.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Sukmadiata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Rosada,
2008.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014.
Sya’rawi, Muhammad Mutawwali, Fiqih Wanita, Jakarta: Pena Pundi Askara,
2006.
Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia, Malang: C.V. Penerbit, 1999.
Yasin, Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN-Malang Pers,
2008
SKRIPSI DAN TESIS
Habsyi, Idrus, “ Konsep Iman Menurut Ibn Taimiyyah,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Miftah, Zaini, “Konsep Homescooling dalam Pendidikan Islam,” Tesis S2 Sekolah
Pascaasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Muslimin, Aceng Mumus,” Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut Khairuddin Nasution,”
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, 2012.
Ristar, Muhammad, “Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara,” Tesis S2
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
108
ARTIKEL DAN WAWANCARA
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 cet.
Ke-3, edisi kedua,
Munadi. “Angka Perceraian di Indonesia Sangat Fantastis”. Artikel diakses pada
16 Maret 2016 dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/angka-
perceraian-di-indonesia-sangat-fantastis
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag, artikel diakses pada 16 Maret dari
http://www.dream.co.id/news/angka-perceraian-meningkat-lima-tahun-
terakhir
Republika Online. “Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam”. artikel diakses pada
16 Maret 2016 dari http://www. kompasiana. Com / pakcah/di-indonesia-
40-perceraian-setiap-jam.
Takariawan, Cahyadi. “Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam”. artikel diakses
pada 16 Maret 2016 dari http://www. kompasiana. Com / pakcah/di-
indonesia-40-perceraian-setiap-jam.
Andre Yuris. “Berkenalan dengan Analisis Isi (Cintent Analysis)” Artikel diakses
pada 5 April 2016 dari
https://andreyuris.wordpress.com/2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma. Jakarta. 7 Maret 2016.
__________________________________________. Jakarta. 14 Maret 2016.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah 45 Tahun 1990 merupakan perubahan dari PP 10 tahun
1983 tentang ijin perkawinan dan perceraian bagi PNS
Kompilasi Hukum Islam
HASIL WAWANCARA DENGAN NARASUMBER
PROF. DR. H. MUHAMMAD AMIN SUMA, S.H, M.A, M.M
Pertanyaan :
Bagaimana konsepsi bapak mengenai pengertian perkawinan?
Jawaban :
Muhammad Amin Suma memandang perkawinan termasuk kedalam
perbuatan muamalah, karena didasarkan pada beberapa alasan. Yang pertama dan
utama adalah perkawinan itu harus ada akad (ijab-kabul). Sementara dalam
ibadah, tidak ada akad tetapi niat. Bukan hanya itu saja, dalam perkawinan juga
harus adanya wali dan minimal harus ada dua orang saksi. Dalam kasus tertentu,
Perwalian dan terutama persaksian berlaku pula pada akad-akad yang lain,
misalnya dalam kasus jual-beli anak kecil dan/atau orang sakit yang pada
prinsipnya dilarang, kecuali atas sepengetahuan dan seizin orang tua atau wali
pengampu. Sebab, anak kecil tidak boleh melakukan transaksi. Makanya, harus
ada walinya, dan juga kalau melakukan transaksi harus ada saksi. Pada umumnya,
di negara-negara Muslim mengharuskan adanya wali dan saksi dalam perkawinan.
Sedangkan, ibadah tidak diperlukan kesaksian. Selain itu, dalam perkawinan juga
dimungkinkannya adanya perceraian. Sementara dalam ibadahmengingat sifatnya
yang berulang atau berulang-ulang dan kontinyu (istimrar), pada dasarnya tidak
ada pengganti di tengah jalan.
Pertanyaan :
Bagaimana dengan hadist yang menyebutkan bahwa pernikahan adalah
sunnah dan melakukan pernikahan adalah menyempurnakan separuh agama?
Jawaban :
Menurut Muhammad Amin Suma, Sunnah di sana bukan dalam pengertian
hukumnya sunnah melainkan merupakan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh
para Nabi dan Rasul, sebagaimana diungkapkan dengan julukan sunnatul anbiya
(perkawinan itu tradisi atau perbuatan baik para nabi), dalam arti para nabi itu
melakukan Pernikahan, kecuali nabi Yahya dan Isa alaihisalam saja yang tidak
sempat menikah. Anikkah sunnati, maksudnya nikah itu adalah perbuatan yang
dilakukan para nabi, bukan dalam pengertian hukumnya. Mengingat hukum
pernikahan itu bisa wajib, sunnah, makruh, mubah, dan bahkan haram.
Sungguhpun demikian, Pernikahan itu tetap mengandung nilai ibadah dan bahkan
sebagai sarana untuk peribadatan dalam konteksnya yang luas (bukan ibadah
mahdoh). Seperti senggama itu bisa tergolong ibadah selama dalam konteks
perkawinan yang sah. Demikian pula terutama dengan menafkahi isteri dan anak
yang dilahirkan dari perkawinan menjadi nilai ibadah.
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan bapak mengenai Rukun dan Syarat Perkawinan?
Jawaban :
Memperhatikan rukun nikah yang dikemukakan oleh para ulama berbagai
mazhab, dapatlah disimpulkan bahwa rukun nikah yang disepakati oleh semua
kalangan mazhab fiqih (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) ialah
Cuma al-ijab wa al-qabul (ijab-kabul). Dengan kalimat lain, Cuma ijab-kabul lah
status rukun nikah yang disepakati oleh semua ulama fiqih tanpa mengecualikan
apa negara bangsa maupun mazhab fiqih atau bahkan aliran keagamaan
sekaalipun. Untuk yang lain-lain, dalam hal ini keberadaan wali nikah, dua orang
saksi nikah maupun mahar, kedudukannya sebagai rukun nikah telah lama
menjadi perdebatan sebagian ulama fiqih. Namun demikian, keberadaan wali
nikah, saksi nikah dan mahar, itu tetaap menjadi rangkaian yang juga penting
keberadaannya dalam proses akad nikah meskipun kedudukannya tidak sampai ke
dalam derajat rukun nikah.
Pertanyaan :
Kafa’ah apa yang paling penting dalam sebuah perkawinan?
Jawaban :
Terkait dengan Kafa’ah, selaain dalam hal kesamaan agama (Kafa’ah fi
al-din), padadasarnya tidak ada yang sfesifik. Kafa’ah-kafa’ah yang lain dalam
perkawinan, dipersilahkan dilakukan adat masyarakat setempat, misalnya terkait
dengan pendidikan, etnik, ekonomi, dll. Kafa’ah fi al-din hanya diarahkan kepada
orang-orang beriman keseluruhan. Dalam kadar tertentu, pengaruh utama
kredibelitas dan integritas calon suami maupun calon istri dari sudut pandang
kesusilaan kelihatannya justru merupakan hal yang lebih dipentingkan atau
minimal tidak dikurangi dan bahkan diutamakan untuk dipertimbangkan oleh
masing-masing calon sebelum melangsungkan akad nikah. Tanpa mengabaikan
peran agama dalam konteksnya yang lebih makro di mana posisi agama menjadi
segala-galanya dalam kehidupan, terkait dengan urusan perkawinan justru
persoalan cinta kasih dan kesusilaanlah di antara hal yang paling dikedepankan.
Minimal, kedua atau ketiga persoalan ini (agaama, cinta, dan kesucian diri), ini
menempati kedudukan yang sama atau sederajat. Dengan demikian, maka status
Kafaa’ah fi ad-din dalam akad perkawinan, tidak serta merta harus disimpulkan
menjadi wajib hukumya secara mutlak. Minimal dalam kasus-kasus tertentu,
yang bisa di mungkinkan ststus hukum perkawinannya dikatakan cukup dengan
tingkatan hukumnya yang sunnah muakadah, bukan menjadi wajib tanpa
kompromi. Sehingga, yang paling penting dalam Kafa’ah adalah bagaimana
suami dan istri bisa membangun kesesuaian dan harmonisasi dalam rumah tangga
yang dibangunnya.
Pertanyaan :
Bagaimana dengan fenomena di Indonesia yang mempunyai
berbagaimacam suku bangsa, mereka seringgkali ingin menikahkan anak atau
keluarganya dengan yang satu suku atau keturunan yang sama?
Jawaban :
Di luar kesamaan agama (sesama muslim dengan muslimat), Agama Islam
membebaskan perkawinan mengenai hal-hal tersebut. Namun, apabila terjadi
keinginan untuk menikahkan kepada satu keturunan atau suku yang sama, itu
hanya merupakan pilihan saja. Hanya saja di hawatirkan terjadi ketidak sesuaian
dalam pernikahannya, maka dilakukanlah pernikahan yang seperti itu. Agama
islam memberikan keleluasan untuk menjadikan atau tidak menjadikan hal-hal
lain di luar Kafa’ah fi al-din sebagai persyaratan dalam perkawinan.
Pertanyaan :
Apa pandangan bapak mengenai pencatatan perkawinan? Haruskah atau
hanya sebagai persyaratan administratif saja?
Jawaban :
Semua dan setiap perkawinan yang dilangssungkan di wilayah negara
hukum Indonesia, harus (wajib) dicatat oleh petugas pencatat nikah. Ini perintah
Undang-undang negara yang juga sesuai dengan kaidah-kaidah agama islam
sebagaimana tercantum dalam surat al-Maidah (5):1 dan al-Baqarah (2): 282-283.
Dengan demikian maka pencatatan Pernikahan yang diharuskan (diwajibkan) oleh
peraturan perundang-undangan ini jelas mendapatkan dukungan kuat atau
sekurang-kurangnya sesuai dengan tuntutan al-Quran yang memandang penting
pencatatan suatu perbuatan hukum muamalah termasuk Pernikahan.
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan bapak dengan sebagian masyaratakat yang hanya
menggunakan syarat fiqih saja? Artinya perkawinannya tidak dicatatkan.
Jawaban :
Baik fiqih maupun al-Quran dapat dikatakan mewajibkan pencatatan.
Dalam berbagai transaksi muamalat sepanjang telah diatur dan diwajibkan oleh
negar dan selama selama tidak bertentangan dengan teks-teks syariah. Negara pun
mewajibkan mengenai pencatatan Perkawinan sehingga pencatatan Perkawinan
wajib dilaksanakan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan bapak mengenai fenomena poligami di Indonesia?
Jawaban :
Pada dasarnya, poligami itu milik dunia. Alasannya karena poligami itu
dikenal dalam hukum Islam, dimana hukum Islam bersifat mendunia
(internasional), maka poligami berlaku hampir diseluruh dunia. Paling tidak
pemahaman umum ulama islam memungkinkan poligami itu. Tentu dengan alsan-
alasan yang diberikan oleh mereka. Prinsipnya, hukum Islam itu hanya
membolehkan orang melakukan hubungan biologis hanya lewat pintu perkawinan.
Karena pintu penyaluran hubungan biologis hanya dibolehkan dengan pintu
perkawinan dan zina tidak diperbolehkan, maka boleh jadi pada kasus-kasus
tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, dan di tempat tertentu, dia tidak bisa
menyalurkan hubugan biologisnya kecuali dengan pernikahan itu. Sehingga
poligami menjadi solusi dan (rukshoh) yang diberikan dalam keadaaan darurat.
Misalanya, di Indonesia daruratnya dengan istri sakit sehingga tidak bisa
melaksanakan kewajibannya sebagai istri. Bukan masalah kasihan dan tidak
kasihan karena tidak mungkin suami akan bisa bertahan lama. Bisa juga dengan
pertimbangan lain, suami jatuh cinta, sehingga daripada melakukan zina maka dia
diberi solusi untuk poligami. Syaratnya, asalkan dia bisa dan mampu berlaku adil
dalam pengertian bisa melakukan kewajiban kepada pasangannya. Pada
prinsipnya, semua negara sama menganut asas monogami dalam perkawinan
termasuk di Indonesi. Hanya saja, implementasinya berbeda-beda antar negara
yang satu dan negara yang lain. Belum lagi dihubungkan dengan individu-
individu muslimnya itu sendiri.
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan bapak mengenai pernikahan beda agama di
Indonesia?
Jawaban :
Hampir semua agama itu (Islam maupun non Islam) pada dasarnya
melarang pernikahan beda agama, minimal tidak merestui. Kalaupun
dimungkinkan, ada syarat-syarat tertentu yang harus diperhatikan oleh para
pelakunya. Namun, dalam kehidupan ini selalu saja ada perbedaan karena tidak
hanya berteori, tetapi juga praktek yang kerap tidak sama (menyimpang).
Maksudnya, tidak selalu mulus sesuai dengan yang diinginkan. Maka, kalau
terjadi disharmoni dalam prakteknya maka solusinya adalah dikembalikan kepada
pasangannya masing-masing karena nanti pasangan itulah yang akan menjalankan
segala konsekuensinya, mau diapakan rumah tangganya, dan harus bisa
bertanggung jawab terhadap hukum. Umumnya ulama, tidak membenarkan
pernikahan beda agama atau tepatnya mengharamkan. Kalaupun ada yang
membolehkan, hanya sebagian kecil saja. Sehingga, saya tidak memberikan
legitimasi untuk orang yang melakukan pernikahan beda agama. Karena,
perkawinan itu dirancang untuk jangka panjang. Apabila terjadi perkawinan beda
agama, bisa tidak pasangan itu mempertahankan pekawinannya, mengingat
perbedaan agama itu akan turut menentukan yang bersangkutan dalam
mengarungi kehidupan yang bisa dikatakan puluhan tahun. Pada faktanya sama-
sama saja agamanya kerap terjadi perbedaaan dalam pernikahan apalagi beda
agama.
Pertanyaan :
Bagaimana dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, apakah
sudah cukup baik dalam mengakomodir segala permasalahan mengenai
perkawinan ataukah masih perlu adanya peraturan tambahan?
Jawaban :
Secara formal dan secara umum peraturan perundang-undangaan di
Indonesia sudah baik, dalam arti dari kerangka pikir bangsa Indonesia sebagai
negara beragama dan sebagai negara hukum. Karena Indonesia adalah negara
beragama maka wajar apabila undang-undangnya selalu menyertakan norma-
norma keagamaan. Sehingga tidak ada hak sebebas-bebasnya secara individu
semua haknya ingin semua haknya diakui di Indonesia. Hanya dalam tataran
praktiknya kadan-kadang dijumpai ada kekurangan.
Jakarta, 14 Maret 2016
Narasumber
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M