KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT DALAM MENDIDIK …eprints.radenfatah.ac.id/940/1/MEGAWATI SAFITRI...
Transcript of KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT DALAM MENDIDIK …eprints.radenfatah.ac.id/940/1/MEGAWATI SAFITRI...
KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT DALAM MENDIDIK ANAK DI
LINGKUNGAN KELUARGA MENURUT AJARAN RASULULLAH SAW
SKRIPSI SARJANA S.I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Oleh
MEGAWATI SAFITRI
NIM : 12210159
Program Studi Pendidikan Agama Islam
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2017
iv
Halaman Motto
“Jangan Pernah Menyerah Karena Ada Tempat dan Saat
Dimana Ombak Paling Tinggi Sekalipun Akan Berbalik Arah.“
Skripsiku ini Kupersembahakan Untuk :
Ayahandaku (Angkut Anang) dan Ibundaku (Almh.
Nurjannah serta ibundaku Roidiah) yang telah memberikan
dukungan moril dan materil yang tak terhingga
Saudara-saudaraku yang kusayang, Kakanda Ibrahim,
Ayunda Dian Kartini, Kakanda Safrizal, Ayunda Dian
Kartina, Ayunda Dewi Susanti Serta Kakanda Pipit Ariyanto.
Keponakan ku yang telah membuat ku semangat, Arya Ekka
Putra, Rahmat Firdaus, Dhidio Cassano Mantop, Annisa
Kurnia Putri, M.Dimas Putra Argametha, Rizky Aditya,
M.Yasril Mansani, Ratu Bilqis Khairah, Khanaiya Tri
Katrima, Sela Moulina, dan Riswan Sobari. Raihlah
kehidupan dan prestasi yang lebih bai dari Bi Cik.
Sahabat-sahabatku senasib dan seperjuangan (RA. Monalisa,
Selvi Salamah, Eliza, Eka Puspita Sari, Mastina,Miftahul
Jannah,Tri Nopika) serta Adek-adekku (Fitria Wanda Sari,
Bela Yuana, Haryati).
Almamaterku UIN Raden Fatah Palembang
Agama dan Bangsaku
vii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Alhamdulillahirobbil ‘Alamiin, segala puji bagi Allah yang selalu
memberikan Rahmat dan Ridho-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan,
terlimpahkan kepada idola kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman kegelapan dan kebodohan ke zaman yang terang benderang seperti
sekarang ini.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden
Fatah Palembang.
Begitu juga kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaiakn skripsi ini. Saya selaku
penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan. Ucapan terima kasih ini
saya sampaikan kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Drs. H. M. Sirozi, MA. Ph.D., selaku Rektor UIN Raden Fatah
Palembang yang telah memberi ilmu melalui program yang diadakannya.
2. Bapak Prof. Dr. H. Kasinyo Harto, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang yang telah memberi
fasilitas yang memadai dalam proses pembelajaran.
vii
3. Bapak H. Alimron, M.Ag. dan Bunda Mardeli, MA., selaku Ketua Program
Studi dan Sekretaris Program Studi PAI yang telah memberi arahan kepada
penulis selama kuliah di UIN Raden Fatah Palembang.
4. Ibu Nurlaila M.Pd.I., selaku Bina Skripsi yang telah memberi arahan kepada
penulis mengenai prosedur pembuatan skripsi.
5. Bapak Dr. H. Fajri Ismail,M.Pd.I., selaku dosen pembimbing I serta Bapak
Muhammad Fauzi,M.Ag., selaku dosen pembimbing II, yang senantiasa
membimbing dengan tulus ikhlas, menasehati, memberi pengarahan serta ilmu
baru selama proses bimbingan.
6. Bapak Dr. H. Akmal Hawi, M.Ag., selaku dosen penguji I serta Bunda
Mardeli,MA., selaku dosen penguji II yang telah memberikan pengarahan
serta penilaian secara objektif selama proses ujian dimulai hingga selesai.
7. Bapak / Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah
Palembang yang telah memberikan ilmu selama saya kuliah di UIN Raden
Fatah Palembang.
8. Pemimpin perpustakaan Pusat dan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang
telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan
9. Kedua Orang Tua saya, Ayahanda Angkut Anang dan Ibunda
Almh.Nurjannah serta Ibunda Roidiah yang selalu memberikan support dan
dukungan untuk terus bangkit dan melangkah maju untuk mendapatkan
kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik. Dan saudara-saudara ku
Kakanda Ibrahim, Ayunda Dian Kartini, Kakanda Safrizal, Ayunda Dian
vii
Kartina, Ayunda Dewi Susanti serta Kakanda Pipit Ariyanto. Terima kasih
atas bantuan moril maupun materil.
10. Keluarga besarku serta orang tua angkat Ayahanda Wanto,S.Ag. dan Ibu
Aldawati yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi untukku.
11. All of students PAI 7 ( Akidah Akhlak 2) and my best Friends ( RA.Monalisa,
Eliza, Mastina, Eka Puspita Sari) serta adek-adekku (Bela Yuana, Fitria
Wanda Sari, Haryati).
12. Sahabat-sahabat PPLK II di MA Muhammadiyah 1 Palembang serta Sahabat
KKN Tematik Posdaya Kelompok 4 di Desa Lubuk Saung Kecamatan Jarai
Kabupaten Lahat yang tidak pernah saya lupakan.
Penulis sangat menyadari jika manusia tidak luput dari salah dan khilaf
karena pada prinsipnya tidak ada manusia yang sempurna. Maka dari itu dalam
penyusunan skripsi ini pasti masih terdapat banyak sekali kesalahan dan
kekurangan, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan guna membangun
semangat dan kinerja agar lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Besar harapan saya semoga skripsi yang saya susun ini dapat berguna
khususnya bagi saya selaku penulis dan umumnya bagi masyarakatnya juga bagi
kampus tercinta, UIN Raden Fatah Palembang.
Palembang, 28 April 2017
Penulis
Megawati Safitri
NIM. 12210159
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING . .................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN . ........................................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv
KATA PENGANTAR . ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
ABSTRAK ........................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................................... 20
C. Batasan Masalah ............................................................................................ 21
D. Rumusan Masalah ......................................................................................... 21
E. Tujuan dan Kegunaan .................................................................................... 21
1. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 22
2. Kegunaan Penelitian .................................................................................. 22
F. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 23
G. Kerangka Teori .............................................................................................. 27
H. Metodologi Penelitian ................................................................................... 34
1. Jenis Pendekatan Penelitian ...................................................................... 35
2. Jenis Data .................................................................................................. 35
3. Sumber Data ............................................................................................. 36
4. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 37
5. Teknik Analisis Data ................................................................................ 37
I. Sistematika Pembahasan ............................................................................... 38
BAB II KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT SERTA MENDIDIK
ANAK DALAM KELUARGA
A. Konsep Reward dan Punishment .................................................................. 40
1. Pengertian Reward dan Punishment .......................................................... 40
2. Tujuan Pemberian Reward dan Punishment ............................................. 47
3. Fungsi Pemberian Reward dan Punishment .............................................. 50
4. Prinsip-prinsip Pemberian Reward dan Punishment ................................. 53
5. Macam-macam bentuk Pemberian Reward dan Punishment .................... 56
6. Kekuatan dan Kelemahan Pemberian Reward dan Punishment ............... 60
B. Mendidk Anak dalam Keluarga ...................................................................... 62
1. Pengertian Mendidik Anak dalam Keluarga ............................................. 62
2. Orang Tua dan Anak dalam Keluarga ....................................................... 66
3. Fungsi Keluarga ......................................................................................... 67
4. Tujuan Pendidikan Anak dalam Keluarga.................................................. 69
5. Posisi Anak dalam Keluarga ..................................................................... 71
6. Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak ................................. 73
viii
7. Metode Mendidik Anak yang diajarkan Rasulullah SAW ......................... 74
8. Kisah-Kisah Tentang Rasulullah SAW ...................................................... 98
BAB III PENERAPAN KONSEP REWAD DAN PUNISHMENT DALAM
MENDIDIK ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA MENURUT
AJARAN RASULULLAH SAW
A. Pemberian Reward dalam Mendidik Anak yang diajarkan
Rasulullah SAW ......................................................................................... 112
1. Bentuk-bentuk Reward atau Penghargaan ............................................. 113
2. Cara Menerapkan atau Mengaplikasikan Reward
(Hadiah / Ganjaran / Penghargaan) ....................................................... 121
B. Pemberian Punishment dalam Mendidik Anak yang diajarkan
Rasulullah SAW ......................................................................................... 123
1. Bentuk-bentuk Hukuman yang Memberi Alternatif ............................ 124
2. Bentuk-bentuk hukuman yang dilarang ............................................... 126
3. Bentuk-bentuk hukuman yang Mendidik ............................................. 127
4. Cara Menerapkan atau Mengaplikasikan Punishment (Hukuman) ...... 139
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 143
B. Saran ........................................................................................................... 144
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
ABSTRAK
Mendidik anak merupakan tugas yang berat, karena tidak ada sekolah untuk
menjadi orang tua. Allah telah memfasilitasi agar dapat menjalankan amanah
sebagai orang tua melalui utusan-Nya, Rasulullah SAW. Rasulullah SAW, diutus
sebagai suri teladan atau figur terbaik yang harus diikuti oleh seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, mari berkaca dari cara mendidik anak menurut Beliau.
Rasulullah SAW adalah contoh konkret bagaimana mendidik anak yang Islami.
Dalam Islam, mendidik anak bukanlah di mulai dari anak lahir kedunia, namun
dimulai dari memilih pasangan suami isteri.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana konsep
reward dan punishment dalam mendidik anak menurut ajaran Rasulullah SAW.
Kedua, bagaimana menerapkan konsep reward dan punishment tersebut dalam
mendidik anak di lingkungan keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
konsep reward dan punishment dalam mendidik anak menurut ajaran Rasulullah
SAW. Dan untuk mengetahui konsep reward dan punishment dalam mendidik
anak di lingkungan keluarga.
Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan kepustakaan (Library
Research) yaitu, penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan
menelaah literatur atau sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan pokok
permasalahan. Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data
kualitatif yaitu berupa literatur dari berbagai ahli. Sumber data sekunder adalah
data yang berasal dari buku-buku literatur yang memuat informasi terkait dengan
permasalahan ini. Dalam menganalisa data yang diperoleh dan sebagai usaha
untuk menarik kesimpulan, maka data yang terkumpul akan dianalisa dengan
menggunakan analisa deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil analisis, penelitian ini menghasilkan beberapa temuan
yaitu pertama, Dalam memberikan reward tidaklah harus selalu memberikan
barang-barang yang mahal. Namun tidak ada salahnya jika memberikan anak
reward berupa barang-barang. Asalkan barang tersebut benar-benar sudah
dibutuhkannya. Ketika anak melakukan kesalahan maka jangan langsung
dimarahi, karena hal ini bisa menyebabkaan anak tertekan, secara psikologis. Jika
dimarahi terus bisa membuat perkembangan psikis anak jadi tidak normal. Cara
menerapkan konsep reward atau hadiah dalam mendidik anak di lingkungan
keluarga yang diajarkan Rasulullah SAW yaitu dengan cara pujian yang indah,
imbalan materi atau hadiah, menyayangi anak, memandang dan tersenyum kepada
anak. Sedangkan cara mengaplikasikan hukuman dalam mendidik anak di
lingkungan keluarga yang diajarkan Rasulullah SAW yaitu dengan cara melalui
teguran langsung, melalui sindiran dan melalui pemukulan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Orang tua adalah pendidik utama dan pertama. Kegiatan orang tua mendidik
anaknya sebagian terbesar dilakukan di rumah. Kegiatan itu hampir tidak ada yang
berupa pengajaran. Bentuk kegiatan pendidikan yang dilakukan orang tua ialah
pembiasaan, pemberian contoh, dorongan, pujian, hadiah, dan hukuman.1
Dalam hal ini sebaiknya hadiah yang diberikan tidak berupa materi dengan
harga mahal yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan keadaan ekonomi. Karena
jika orang tua memberikan materi maka makin lama makin meningkat nilai
materinya dan jika itu pada suatu saat tidak terpenuhi bisa menjadi media anak
untuk mengancam orang tua, menjadikan anak malas, manja, semena-mena dan
paling parah anak akan bunuh diri ketika keinginannya tidak terpenuhi.
Pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian hadiah
tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup
difungsikan hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja. Manakala proses
pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka hal
terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin
kepada anak tentang pembatasan ini.
1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ( Bandung: Remaja Rosdakarya,
2011), hal. 186
2
Jika anak diperlakukan oleh kedua orang tuanya dengan perlakuan kejam,
dididik dengan pukulan yang keras dan cemoohan pedas, yang selalu menjurus
kepada hinaan dan ejekan. Karenanya, gejala seperti ini akan melahirkan perilaku
dan akhlak anak, dan gejala rasa takut serta cemas yang tampak pada tindakan-
tindakan anak.2
Hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian
hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman,
bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan
’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau
dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.
Begitu juga ketika anak melakukan kesalahan maka jangan langsung
dimarahi, karena hal ini bisa menyebabkan anak tertekan secara psikologis. Oleh
sebab itu berilah pengertian dan menasehati anak dengan baik ketika anak
melakukan kesalahan itu dengan tutur kata yang lembut, karena anak juga masih
dalam perkembangan sehingga si anak masih dalam tahap belajar.
Orang tua merupakan figur sentral bagi terlaksananya proses pendidikan.
Mereka adalah pengelola sistem terkecil dari masyarakat itu. Oleh karena itu
secara operasional pendidikan anak yang berlangsung dalam keluarga, masyarakat
dan sekolah merupakan tanggung jawab utama orang tua, tidak bisa di lepaskan
begitu saja kepada guru di sekolah. Dibebankannya pendidikan di pundak orang
2 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy-Syifa,
2005), hal. 123
3
tua oleh karena itu pada umumnya mereka di bekali naluri membina dan mendidik
anak. Karena itu pendidikan dari orang tua sering di sebut pendidikan alami
(kehidupan kodrat). Kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan mudah dan wajar
karena orang tua mencintai anaknya.
Anak adalah amanat dari Allah Swt. Amanat wajib di pertanggungjawabkan.
Jelas,tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Atas dasar tanggung
jawab yang besar itulah, maka selayaknya orang tua dibekali dengan naluri
kependidikan yang dilandasai dengan kasih sayang. Atas dasar itu, maka
sesungguhnya proses pendidikan yang di berikan oleh orang tua kepada anaknya
telah dimulai dalam keluarga semenjak anak lahir kemuka bumi.3Anak merupakan
penyejuk pandangan mata (qurrah a’yun), sumber kebahagiaan dan belahan hati
manusia di dunia.4 Hal ini seperti yang di jelaskan dalam Firman Allah di dalam
QS. Al-Furqon: 74 yang berbunyi:5
Artinya:
“ Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
3 Ibid, hal. 61
4 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), hal. 70
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2014), hal.
366
4
Dalam ajaran Islam, anak merupakan titipan dari Allah yang diamanatkan
kepada kedua orang tuanya yang diberi tanggung jawab untuk mendidiknya agar
kelak menjadi anak yang bertakwa kepada Allah serta berbakti kepada kedua
orang tuanya, karena akan menjadi fitrah dan merupakan ujian dari Allah bila
tidak pandai mendidiknya. Bila si anak berakhlak yang tidak baik, maka yang
menanggung beban adalah ke dua orang tuanya karena berarti kurangnya
pendidikan dan pengarahan kepada anak tersebut, untuk itulah lebih-lebih
pendidikan agama yang merupakan; pendidikan pokok untuk keselamatan dunia
dan akhirat yang harus ditanamkan oleh kedua orang tuanya dan secara otomatis
menjadi tanggung jawabnya. 6 Dalam al-Qur’an bahwa anak adalah sama dengan
amanah dari Allah, yang disebutkan dalam surat At-Tahrim ayat 6 yang berbunyi
:7
واهليكم نارايآ ايها الذين آمنوا قواانفسكم
Artinya :
“wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa
api neraka.
Islam memerintahkan agar anak hendaknya dididik sebagaimana yang di
jelaskan oleh Al-Qur’an dan Hadits agar anak kelak setelah dewasa mendapatkan
6 Rohmalina Wahab, Psikologi Agama, (Palembang: Grafika Pelindo Press, 2014), hal.102-
103 7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnnya, (Bandung: Diponegoro, 2014), hal.
560
5
bekal yang kuat untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang yang
penuh dengan ragam dan kesulitan. Pendidik (kedua orang tua) dapat dikatakan
sebagai suatu proses persiapan anak untuk menerapkan ilmu pengetahuan dalam
membentuk manusia yang seutuhnya yaitu seimbang antara pengetahuan umum
dengan pengetahuan agama, sehingga seorang anak akan tercipta mampu dan
sanggup untuk menghadapi kehidupan dunia dengan kata lain memilih suatu
keahlian yang sesuai dengan kemampuannya, namun tetap diwarnai atau dilakukan
bila dibenarkan oleh ajaran Islam. Sehingga anak tersebut berprilaku tidak akan
berlawanan dengan ajaran Islam, sekalipun apa kerja atau usaha yang dia tentukan.
8 Allah Azza Wa Jalla memberikan amanah kepada para ayah untuk mendidik
keluarga. 9
Untuk itu penyuluhan agama kepada anak-anak adalah suatu hal yang
mutlak, sejak mereka dapat mengenali apa saja yang dapat mereka kenali, mereka
yang masih suci itu harus kita berikan sketsa dengan garis-garis tajam dengan
warna-warna yang Islami, sehingga selanjutnya akan mewarnai seluruh bagian
lukisan jiwa mereka.10
Keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan
utama, mengandung arti bahwa anak pertama kali mengenal dan menerima
pendidikan dari keluarga, yaitu orang tua mereka dan seluruh personal yang ada di
8 Rahmalina Wahab, Op.Cit, hal. 103
9 Ayu Agus Rianti, Cara Rasulullah SAW Mendidik Anak, (Jakarta: Gramedia, 2016), hal. 2
10 Muhammad Tholhah Hasan, Islam & Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
Lantabora Press, 2005), hal. 14
6
keluarga tersebut.11
Kita semua tentu telah maklum bahwa pengaruh keluarga
terhadap pendidikan anak-anak berbeda-beda. Sebagian keluarga atau orang tua
mendidik anak-anaknya menurut pendirian-pendirian modern, sedangkan sebagian
lagi masih menganut pendirian-pendirian yang kuno atau kolot.12
Keadaan tiap-tiap keluarga berlain-lainan pula satu sama lain. Ada keluarga
yang kaya, ada yang kurang mampu. Ada keluarga yang besar (banyak anggota
keluarganya), dan ada pula keluarga kecil. Ada keluarga yang selalu di liputi oleh
suasana tenang dan tentram, ada pula yang selalu gaduh, bercekcok, dan
sebagainya. Dengan sendirinya keadaan dalam keluarga yang bermacam-macam
coraknya itu akan membawa pengaruh yang berbeda-beda pula terhadap
pendidikan anak-anak. Dari kecil anak di pelihara dan di besarkan oleh dan dalam
keluarga. Segala sesuatu yang ada dalam keluarga, baik yang berupa benda-benda
dan orang-orang serta peraturan-peraturan dan adat istiadat yang berlaku dalam
keluarga itu sangat berpengaruh dan menentukan corak perkembangan anak-
anak.13
Adapun kesalahan orang tua dalam mendidik anak adalah sebagai berikut:14
1. Menumbuhkan rasa takut dan minder. Sebagai contoh, ketika anak menangis,
kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka
11
Mohammad Surya, Landasan Pendidikan Menjadi Guru Yang Baik, (Bandung: Ghalia
Indonesia, 2010), hal. 40 12
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, ( Bandung: Remaja Rosdakarya,
2008), hal. 84 13
Ibid, hal. 85 14
Muhaimin al-Qudsy dan Ulfah Nurhidayah, Mendidik Anak Lewat Dongeng,
(Yogyakarta: Madania, 2010), hal.78
7
dengan adanya hantu, jin, suara angin dan lain-lain yang akan mengambil
anak yang suka menangis. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi penakut.
Takut pada bayangan sendiri, takut pada yang sebenarnya tidak perlu ditakuti.
Analisis : Orang tua mempunyai peranan sangat penting dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Oleh karena itu sebagai orang tua,
harus memberikan tauladan yang baik, serta mengajarkan nilai-nilai Islami
dan hindari menakut-nakuti anak.
Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya
mendengar cerita tentang hantu, jin, dan lain-lain. Dan yang paling parah,
tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri atau
misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya,
tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan
menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya
justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta
membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak akan semakin keras tangisnya
dan akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.
2. Anak sombong dianggap pemberani. Dengan bangga seorang ibu berkisah
tentang anaknya, “anak saya sudah berani ngomong ketemannya kalau dia
anak seorang pejabat, makanya temannya pada takut. Kebanggaan tersebut
mengandung kesombongan dan dapat menjadi 7ank aren bagi anaknya.
Analisis: Kesalahan ini merupakan kebalikan analisis poin pertama. Yang
benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-
8
kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada
orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila
memaang sesuatu itu harus ditakuti. Misalnya takut berbohong, karena ia takut
jika Allah tidak suka pada anak yang suka bohong atau rasa takut kepada
binatang buas yang membahyakan. Orang tua harus mendidik anaknya harus
bersikap berani dan tidak takut dalam mengamalkan kebenaran.
3. Membiasakan anak hidup mewah dan foya-foya. Dengan kebiasaan ini, anak
tumbuh menjadi orang yang suka kemewahan, suka bersenang-senang, hanya
mementingkan dirinya sendiri. Dan tidak peduli dengan keadaan orang lain.
Analisis : Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap
istiqamah dalam merusak fitrah, membunuh sikap istiqamah dakam bersikap
zuhud di dunia, membinasakan muru’ah (harga diri) dan kebenaran.
4. Selalu memenuhi permintaan anak. Tidak setiap keinginan anak itu
bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Kewajiban orang tua
adalah memenuhi kebutuhan anak, bukan keinginannya.
Analisis : sebagian orang tua ada yang selalu member setiap yang diinginkan
anaknya, tanpa memikirkan baik buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap
yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan
kebutuhannya.
Misalnya si anak minta tas baru yang trend, padahal baru sebulan yang lalu
orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-
hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaannya, maka
9
mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan
beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa
membelanjakan uangnya dengan baik.
5. Menerima “senjata” menangis untuk memenuhi keinginan anak. Apabila
setiap tangisan anak sebagai senjata agar permintaannya dipenuhi dan selalu
dituruti orang tua, maka dapat berakibat anak menjadi lemah, cengeng dan
tidak punya jati diri.
Analisis : sering terjadi anak yang masih kecil minta sesuatu. Jika orang tua
menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan senjata
yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi permintaannya
karena kasihan atau agar anak segera beerhenti menangis.
6. Terlalu keras dan kaku dalam menghadapi anak, bahkan melebihi batas
kewajaran. Kekerasan yang dilakukan dapat berupa fisik ataupun psikis. Fisik
dengan menampar, memukul, menendang, dan segala perbuatan yang
menghadapi kesalahan anak, orang tua tidak boleh langsung menghukum
dengan kekerasan fisik atau psikis.
Analisis : Misalnya dengan memukul mereka hingga meemar, memarahinya
dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara keras lain. Ini kadang
terjadi, ketika sang anak berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali
melakukannya. Alangkah lebih baiknya apabila dicari dulu penyebab anak
melakukan kesalahan. Siapa tahu memang belum tahu atau mungkin sengaja
tapi hanya coba-coba.
10
7. Terlalu pelit terhadap anak. Hemat dan perhitungan boleh, tapi terlalu pelit
membuat anak merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Dengan perasaan
tersebut, akan mendorong anak memenuhi kebutuhannya dengan cara yang
tidak benar. Dapat saja dia menghalalkan segala cara untuk meraih yang
diinginkannya. Dari sekedar untuk memenuhi apa yang dia inginkan, dapat
berkembang menjadi tabiat, dan hal tersebut merugikan anak. Orang tua harus
dapat memahami secara seimbang semua kebutuhan anak dan bagaimana cara
memenuhinya. Terlalu pelit merugikan, terlalu boros juga tidak baik bagi
pendidikan anak.
Analisis : Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga
anak-anaknya, merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya,
mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan berbagai cara.
Misalnya dengan mencuri, meminta-minta dengan yang lain. Yang lebih
parahnya lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anak-anaknya kepanti
asuhan untuk mengurangi beban orang tuanya. Bahkan adapula yang tega
menjual anaknya, karena merasa tidak mapu membiayai hidup.
Na’udzubillahhi mindzalik
8. Tidak memberikan kasih sayang sepenuh hati. Perhatian orang tua yang
kurang dapat membuat anak mencari kasih sayang di luar keluarganya. Masih
beruntung kalau dia memperoleh kasih sayang dari temannya yang baik, akan
tetapi kalau tidak, maka akan terpengaruh sikap dan perilaku 10ank are dari
pelariannya.
11
Analisis : Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-
anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Seorang anak perempuan
misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya, ia mencari
perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang
mendapatkan perhatian dari laki-laki itu, karena serimg memujinya, merayu
dan sebagainya. Hingga ia rela meyerahkan kehormatannya demi cinta semu.
9. Hanya memperhatikan kebutuhan jasmani. Banyak orang tua merasa telah
memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi,
pakaian yang bagus, dan sekolah yang berkualitas. Dengan begitu mereka
mengira telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Padahal, selain
kebutuhan jasmani, rohani mesti diperhatikan. Harus ada upaya untuk
mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia.
Aanalisis : tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama
secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak cukup
hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih
sayang. Bila kasih sayang tidak didapatkan di rumahnya, maka ia akan
mencarinya dari orang lain.
10. Terlalu berprasangka baik kepada anak. Kesalahan orang tua adalah
menganggap baik kepada anak-anaknya. Mereka menyangka, bila anak-
anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak
pernah mengecek keadaan anak-anaknya. Padahal, bisa jadi dari diamnya
anak, ternyata ada suatu penyakit yang berbahaya atau tertekan masalah
12
dengan teman mainnya dan sebagainya. Terlau berprasangka baik juga tidak
tepat, terlalu berprasangka buruk juga tidak sehat. Untuk mengantisipasi hal
yang tidak diinginkan, maka diperlukan kewaspadaan orang tua setiap saat.
Yang paling tepat adalah tidak terlalu berprasangka buruk, juga tidak
berprasangka baik.
Analisis : Untuk itu orang tua berusaha untuk terus mencari ilmu, terutama
berkaitan dengan pendidikan anak. Agar orang tua terhindar dari kesalahan-
kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa
depan mereka. Orang tua selalu berdoa, semoga anak-anaknya tumbuh
menjadi generasi shalih dan shalihah, serta berakhlak mulia.
11. Anak melakukan kesalahan atau berperilaku buruk, tetapi dibiarkan oleh
orang tua. Terkadang orang tua merasa tidak tega atau terlalu lemah dalam
mendidik anak, sehingga membiarkaan perilaku buruk yang dilakukan anak
dengan beranggapan, ah…! Namanya juga masih anak-anak. Sikap semisal ini
salah besar. Justru mumpung masih anak-anak, dia harus dibenahi. Anak-anak
harus diberi tahu mana yang baik dan tidak baik untuk dilakukan.
Analisis : jika orang tua menganggap bahwa anak tak pernah salah, hal ini
sebenarnya orang tua telah mengajarkan kepada anak bahwa ia tidak pernah
bersalah. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya
setiap ia mengalami peristiwa dan terjadi kekeliruan, maka yang keliru atau
salah adalah oranglain, dan dirinya selalu benar.
13
12. Anak terlalu banyak dilarang. Memang sebagai orang tua kita merasa cemas
akan keselamatan anak-anak. Dan terkadang ini mebuat kita menjadi
overprotektif. “jangan nak…nanti jatuh, jangan, nak..nanti sakit..!” padahal
semua itu belum tentu. Anak yang terlalu banyak dilarang akan menjadi anak
yang penakut dan tidak berani bereksplorasi, ia merasa semua yang ada
disekitarnya merupakan ancaman. Eksplorasi sangat dibutuhkan anak dalam
perkembangan motoriknya. Biarkan anak melakukan ekspolorasinya, tugas
orang tua hanyalah mengawasi dan mengarahkan mereka.
Analisis : Seberapa banyak kita jumpai orang tua yang ingin menjadikan
anaknya seperti apa yang dia inginkan secara sempurna (Perfectionist)? Yang
cenderung membentuk anaknya sesuai dengan keinginannya, anaknya harus
begini dan tidak boleh begitu, dilarang melakukan ini dan itu. Anak tercipta
untuk menjadi dirinya sendiri dengan cara yang benar sesuai nilai-nilai yang
berlaku. Berilah ijin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan
positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog. Bangunlah situasi saling
mempercayai antara kita dan anak kita. Kurangilah jumlah larangan yang
berlebihan. Gunakan kesepakatan-kesepakatan untuk memberikan batas yang
lebih baik.
13. Anak terlalu banyak dituntut. Orang tua yang perfeksionis biasanya selalu
menginginkan anaknya selalu bisa dan mampu seperti apa yang mereka
harapkan. Sikap tersebut mengakibatkan anak tertekan dan tidak berkembang
14
sebagaimana mestinya. Dan suatu saat anak bisa menjadi sangat anti terhadap
apa yang terlalu orang tua tuntutkan kepada anak.
Analisis : Jika or ng tua mengharapkan perubahan kebiasaan pada anak,
berikanlah waktu untuk tahapan-tahapan perubahan yang rasional untuk bisa
dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya.
Bila mungkin ajak ia melakukan perubahan dari hal yang paling mudah.
Biarkan ia memilih hal yang paling mudah menurutnya uantuk diubah. Jika ia
berhasil, itu akan memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang
lebih sulit. Puji dan jika perlu dirayakan setiap perubahan yang berhasil
dilakukannya, sekecil dan sesederhana apa pun perubahan tersebut. Ini untuk
menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah
dilakukannya. Pusatkan pujian kita pada usaha kerasnya dan jangan
memusatkan pada hasilnya yang kadang-kadang kurang memuaskan orang
tua.
14. Anak tidak diberi contoh yang baik. Terkadang orang tua tidak menyadari
bahwa pernah melakukan kesalahan. Orang tua melarang anak agar jangan
membuang sampah sembarangan, sementara tanpa disadari, orang tua juga
pernah melakukannya. Anak merupakan cerminan dari orang tua. Maka dari
itu, sebagai orang tua berperilakulah yang baik karena secara tidak langsung
orang tua telah mendidik anaknya sendiri. Disinilah pentingnya keteladanan
orang tua pada buah hatinya.
15
Analisis : Apa pun yang bisa orang tua berikan secara benar pada anak nya
adalah hal yang terbaik. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak
sama. Ada orang punya kelebihan pada aspek financial tapi miskin waktu
bertemu dengan anak, sebaliknya ada yang punya banyak waktu bersama tapi
kekurangan dari sisi ekonomi. Jadi yakinlah bahwa dalam kondisi apa pun kita
tetap bisa memberikan yang terbaik. Jadi, jangan pernah memaklumkan hal-
hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika orang tua hanya
punya sedikit waktu, gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa
sepenuhnya dengan anaknya. Menyisihkan waktu di antara sisa-sisa tenaga
orang tua, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga
kita, maka akan terbiasa.
15. Melakukan kekerasan fisik ataupun terhadap orang lain di hadapan anak.
Kekerasan merupakan momok yang sangat tidak baik bagi perkembangan
jiwa anak. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan membawa kebiasaan
kekerasannya itu hingga ia dewasa sebenarnya tidak hanya kekerasan fisik
saja yang “haram” disaksikan anak, menyakiti hati orang lain dengan ucapan
yang kasar juga berbahaya apabila disaksikan oleh anak. Untuk itu, sebisa
mungkin hindarilah melakukannya dihadapan anak.
Analisis : Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak,
mencubit, memukul atau manampar bahkan menggunakan alat seperti ikat
pinggang atau rotan. Anak kita adalah anak manusia yang telah dirancang oleh
Penciptanya untuk bisa diatur dengan kata-kata. Bila kata-kata kita sudah
16
tidak lagi didengar oleh anak, koreksilah segera diri kita, pasti ada yang salah
dengan kebiasaan kita hingga anak tidak menurut. Seandainya dulu kita
pernah diperlakukan demikian oleh orang tua kita, maafkanlah orang tua kita
dan jangan lanjutkan kebiasaan yang sangat buruk ini pada anak kita.
Hukuman pukulan lebih cocok kepada binatang daripada manusia.
Gunakanlah media dialog, pujian dan kelembutan.
16. Kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada anak tidak cukup. Sesibuk
apapun orang tua seyogyanya harus tetap memberikan kasih sayang dan
perhatian dengan porsi yang cukup, tidak kekurangan dan tidak berlebihan.
Anak yang kelebihan perhatian dan kasih sayang akan menjadi anak yang
manja, kurang berempati, suka pamer, mudah putus asa, dan kurang
menghargai apapun yang menjadi miliknya. Begitu juga sebaliknya, anak
yang kekurangan perhatian dan kasih sayang akan menjadi anak yang tidak
percaya diri, suka berperilaku buruk untuk mencari perhatian, bersikap tidak
acuh, tidak disiplin, agresif, dan kasar. Bahkan anak merasa dianak tirikan
oleh orang tuanya sendiri. Akibatnya, anak akan mencari kasih sayang di
tempat orang lain.
Analisis : sebagai orang tua harus memberikan perhatian dan kasih sayang
kepada anak-anaknya tanpa di beda-bedakan atau pilih kasih.
17. Tidak ada kekompakan orang tua dalam mendidik anak. Ayah dan ibu harus
mempunyai kesepakatan bersama dalam mendidik anak, sehingga tidak ada
perbedaan. Perbedaan dalam mendidik anak akan membuat anak bingung dan
17
tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Semestinya tidak hanya
kedua orang tua yang kompak, akan tetapi semua anggota keluarga yang ikut
“mendidik” secara langsung pada anak, seperti saudaranya, kakek nenek,
paman bibi, dan keluarga dekatnya. Sebagai orang tua di rumah sudah
kompak dalam mendidik anak, akan tetapi begitu anak liburan di rumah
kakeknya selama seminggu maka akan berubah lagi. Itu jauh berbeda dengan
orang tua. Kakeknya sangat memanjakannya dan perlakuan ini membuat anak
akan lebih memilih kakeknya dari pada orang tua.
Analisis : Peranan orang tua sangat penting dalam mendidik anaknya. Peran
itu bukan tugas ibu saja atau bapak saja, tapi keduanya. Ketika orang tua tidak
kompak dalam mendidik anak-anaknya, maka anak tidak akan pernah menjadi
lebih baik. Dihadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal-hal
yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Apabila ada
pandangan yang berbeda dalam mendidik anak, bicarakan hal ini secara
pribadi dengan pasangan kita.
18. Sering menilai buruk dan menjelek-jelekkan anak. Terkadang tanpa disadari
orang tua telah memberikan nilai buruk kepada ananya. Sebagai contoh, jika
anak suatu kali lupa membereskan mainannya setelah bermain, padahal
biasanya selalu membereskan, kita langsung marah dan mengatakan, “kamu
ini memmang anak pemalas, tidak pernah mau merapikan mainannya sendiri”.
Dengan kata-kata seperti itu, anak merasa tidak dihargai, karena yang kemarin
dianggap tidak pernah dilakukan.
18
Analisis : Jika orang tua ingin bercanda dengan anak, pilihlah materi bercanda
yang tidak membuatnya malu atau merendahkan dirinya. Jagalah batas-batas
dan hindari bercanda yang membuat anak-anak kesal atau malu. Bila sedang
bercanda, ekspresi anak kesal dan meminta orang tua segera
menghentikannya, segera hentikan dan jika perlu meminta maaflah atas
kejadian yang baru terjadi. Katakanlah orang tua tidak bermaksud
merendahkannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
19. Apabila anak berbuat dan berperilaku baik tidak diberi hadiah. Dalam
mendidik anak kita mengenal hukuman (punishment) dan hadiah (reward),
kalau salah kita berikan sanksi, begitu juga dalam berperilaku baik, hendaknya
orang tua memberikan apresiasi dalam bentuk pujian ataupun hadiah berupa
ciuman dan pelukan. Sebab, hadiah tidak selalu berbentuk materi, uang atau
barang. Dengan demikian, mereka akan merasa dihargai. Sekecil apapun
pujian kita, akan memberikan dorongan yang luar biasa kepada anak. Orang
tua yang pelit memberikan pujian kepada anak akan menghasilkan anak yang
gampang putus asa dan membuatnya enggan berbuat dan berperilaku baik,
karena ia beranggapan semua situ sia-sia.
Analisis : Bila orang tua tidak melaksanakan kesepakatan dalam hukuman,
anak akan menilai kita sebagai orang tua yang selalu lupa atau hanya
mengancam. Maka sering terjadi anak mempunyai pola 18ank untuk selalu
melanggar kesepakatan karena sangsi atau hukuman tidak
pernah terjadi. Apa yang sebaiknya kita lakukan?
19
Jika orang tua sudah punya kesepakatan dan anak melanggarnya, sangsi atau
hukuman tetap berlaku. Segera laksanakan sangsi itu dan jangan menunda-
nunda. Bila orang tua kasihan mungkin orang tua bisa kurangi sangsi atau
hukumannya. Perlu diingat bahwa sangsi atau hukuman yang dimaksud
bukanlah sangsi atau hukuman secara fisik, tetapi lebih pada pengurangan
bobot kesukaannya seperti mengurangi jam menonton 19ank are, mengurangi
jam bermain, dan lainnya.
Jadi, Mendidik anak merupakan tugas yang berat, karena tidak ada sekolah
untuk menjadi orang tua. Allah telah memfasilitasi kita agar dapat menjalankan
amanah sebagai orang tua melalui utusan-Nya, Rasulullah Saw. Rasulullah Saw,
diutus sebagai suri teladan atau 19ank a terbaik yang harus diikuti oleh seluruh
umat manusia. Oleh karena itu, mari kita berkaca dari cara mendidik anak menurut
Beliau. Rasulullah Saw adalah contoh konkret bagaimana mendidik anak yang
Islami. Dalam Islam, mendidik anak bukanlah di mulai dari anak itu lahir kedunia.
Namun dimulai dari memilih pasangan suami atau istri.
Bagaimana cara mendidik yang berlaku dalam keluarga itu, demikianlah
cara anak itu mereaksi terhadap lingkungannya. Jika di dalam lingkungan
keluarganya, misalnya, anak itu sering di tertawakan dan di ejek jika tidak berhasil
melakukan sesuatu, maka dengan tidak sadar ia akan selalu berhati-hati tidak akan
mencoba melakukan yang baru atau yang sukar. Ia akan menjadi orang yang selalu
di liput oleh keragu-raguan. Jika di dalam lingkungan keluarganya ia selalu di
anggap dan di katakan bahwa ia masih kecil dan karena itu belum dapat
20
melakukan sesuatu, kemungkinan besar anak itu akan menjadi orang yang selalu
merasa kecil, tidak berdaya, tidak sanggup melakukan sesuatu. Ia akan
berkembang menjadi orang yang bersifat masa bodoh, tidak atau kurang
mempunyai perasaan harga diri.
Sebaliknya, jika anak itu di besarkan dan di didik oleh orang tua atau
lingkungan keluarga yang mengetahui akan kehendaknya dan berdasarkan kasih
sayang kepadanya, ia akan tumbuh menjadi anak yang tenang dan mudah
menyesuaikan diri terhadap orang tua dan anggota-anggota keluarga lainnya, serta
terhadap teman-temannya. Wataknya akan berkembang dengan tidak mengalami
kesulitan-kesulitan yang besar. Dengan kenyataan masih banyak kita dapati
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh anggota keluarga dalam mendidik anak-
anaknya. Mengingat buruknya hal tersebut lah yang melatar belakangi peneliti
untuk mengadakan penelitian dengan judul “Konsep Reward dan Punishment
dalam Mendidik Anak di Lingkungan Keluarga Menurut Ajaran Rasulullah
SAW”.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yaitu mendeteksi masalah-masalah yang ada dalam
judul, maka berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah yaitu di antaranya:
1. Masih ada orang tua yang memberikan hadiah atau ganjaran yang berlebihan
kepada anak sehingga mengakibatkan anak menjadi malas, manja dan lain-lain.
21
2. Menurunnya pemahaman orang tua mengenai mendidik anak sehingga orang
tua tidak segan-segan memberikan hukuman ketika anak melakukan kesalahan.
3. Masih ada orang tua yang belum mampu mengaplikasikan cara mendidik anak
menurut Rasulullah SAW.
C. Batasan Masalah
Agar masalah yang di teliti tidak terlalu lebar dan merambah ke masalah
yang lain maka perlu diadakannya masalah secara jelas yaitu: melihat bagaimana
konsep reward dan punishment dalam mendidik anak di lingkungan keluarga
menurut ajaran Rasulullah SAW.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan di kaji dalam penelitiaan ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep reward dan punishment dalam mendidik anak di lingkungan
kelurga?
2. Bagaimana menerapkan konsep reward dan punishment tersebut dalam
mendidik anak di lingkungan keluarga menurut ajaran Rasulullah SAW?
E. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
22
a. Untuk mengetahui konsep reward dan punishment menurut ajaran Rasulullah
SAW.
b. Untuk menerapkan konsep reward dan punishment dalam mendidik anak di
lingkungan keluarga.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu:
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran khususnya kepada
para orang tua dan pendidik lain dalam rangka membina dan mendidik anak
yang shaleh dan shalehah.
b. Secara praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak dalam pendidikan keluarga
yang berpedoman pada ajaran Rasulullah SAW.
2) Sebagai masukan dan khazanah keilmuwan serta untuk memperkaya
wawasan mengenai konsep pendidikan anak dalam keluarga menurut
ajaran Rasulullah SAW bagi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Raden Fatah Palembang berupa karya ilmiah.
23
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka yang dimaksud di sini adalah uraian tentang hasil penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian yang sedang direncanakan yaitu apakah
permasalahan yang akan diteliti sudah ada mahasiswa yang membahasnya. Berikut
ini peneliti akan mengemukakan berbagai kajian pustaka penelitian yang
berhubungan dengan penelitian ini, dan berguna untuk membantu peneliti dalam
menyusun skripsi ini. Adapun skrispi-skripsi tersebut adalah:
Dwi Hastuti Pungkasari, dalam skripsinya yang berjudul “Konsep Reward
dan Punishment dalam Teori Pendidikan Anak dan Relevansinya dengan
Pendidikan Islam” yang disusun oleh Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2014.
Dalam skripsinya peneliti menggunakan penelitian kepustakaan (library research)
maka metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriftif-
analitik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah psikologis-
paedagogis. Hasil dari penelitian ini adalah: (1) reward (alat untuk mendidik anak-
anak supaya anak dapat merasa senang) dan punishment merupakan bentuk
konsekuensi yang memiliki sebuah perilaku. Reward berfungsi untuk memperkuat
perilaku positif sedangkan punishment digunakan untuk menekan perilaku negatif
agar tidak terulang lagi; (2) hukuman dan ganjaran merupakan salah satu metode
yang diakui dalam pendididkan Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadist
yang mengisyaratkan hukuman dan ganjaran sebagai metode mendidik. Hukuman
dan ganjaran diberikan sebagai bentuk konsekuensi terhadap anak yang
24
menunjukkan adanya perilaku negatif atau perilaku positif; (3) adanya hubungan
yang relevan antara konsep reward dan punishment dalam teori pembelajaran
behavioristik dengan konsep hukuman dan ganjaran dalam pendidikan Islam.
Hukuman dan ganjaran diberikan sebagai sebuah konsekuensi untuk pembinaan
umat serta merupakan sarana untuk mwncapai tujuan pendidikan. Selain itu,
hukuman dan ganjaran dalam teori pembelajaran behavioristik akan relevan jika
dihubungkan dengan penerapannya dalam pendidikan Islam di keluarga dan di
sekolah sesuai dengan ayat-ayat dan hadist-hadsit yang sesuai.15
Sucipto, dalam skripsinya yang berjudul “Konsep Reward dan Punishmenst
dalam Membentuk Karakter Anak dalam Keluarga”. Dalam skripsinya peneliti
menggunakan penelitian pustaka, yaitu kajian literatur melalui riset kepustakaan
dengan menggunakan data kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan filosofis pedagogis. Teknik pengumpulan data penulisannya
melalui dokumentasi terhadap data primer maupun data sekunder. Data yang
sudah terkumpul kemudian dianalisis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang
diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan pertama keluarga memiliki peran yang
penting dalam pembentukan karakter anak. Pendidikan di keluarga adalah
pendidikan awal dan utama karena masa itu adalah masa dimana seorang manusia
masih menerima segala sesuatu dan mudah terpengaruh oleh apapun dalam
15
Dwi Hastuti Pungkasari, Konsep Reward dan Punishment dalam Teori Pembelajaran
Behavioristik dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun
Ajaran 2013/2014, (Online). http: //digilib.uin-suka.ac.id//11238/2/BAB I, IV, DAFTAR
PUSTAKA.pdf. Diakses pada tanggal 22 Juni 2016, hal. 40.
25
bentukan lingkungan pertama ini. Kedua, menurut buku Prophetic Parenting
aspek-aspek materi yang harus dibentuk dan ditanamkan pada diri anak meliputi:
aspek akidah, ibadah, sosial kemasyarakatan, akhlak, perasaan, jasmani, ilmu,
kesehatan dan seksual. Kesembilan aspek materi tersebut mempunyai hubungan
korelatif, berjalan erat dan menyatu antara satu dengan lainnya, serta tidak bisa
terpisah-pisah. Ketiga, metode yang digunakan untuk membentuk karakter anak
dalam buku Prophetic Parenting dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu metode
untuk mempengaruhi kognitif anak meliputi menceritakan kisah, tanya jawab,
berbicara sesuai kadar akal anak. Metode untuk mempengaruhi afektif anak
meliputi bermain dengan anak, mengadakan perlombaan, memberikan pujian dan
sanjungan, memberikan panggilan yang baik dan memberikan janji dan ancaman.
Metode untuk mempengaruhi psikomotorik anak meliputi, menampilkan suri
teladan yang baik, mencari waktu yang tepat dalam memberi pengarahan, bersikap
adil pada anak, dan membantu anak dalam mengerjakan ketaatan.16
Penelitian relevan lainnya yang dilakukan oleh Fitri Nuriah Rivah, dalam
skripsinya yang berjudul “ Konsep Pendidikan Agama Islam dalam Pemberian
Reward dan Punishment Untuk Anak Dalam Keluarga Muslim”. Dalam
Penelitiannya, penulis menggunakan Metode Riset kualitatif, yaitu menekankan
analisanya pada data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
16
Sucipto, Konsep Reward dan Punishment dalam Menbentuk Karakter Anak dalam
Keluarga, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,Tahun Ajaran 2008/2009, (Online).http://digilib.uin-
suka.ac.id/10336/1/BAB%20I,%20IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Diakses pada tanggal 22
Juni 2016, hal. 40
26
dan perilaku yang diamati. Pendekatan kualitatif penulis gunakan untuk
menganalisis konsep pendidikan agama Islam dalam pemberian reward dan
Punishment untuk anak dalam keluarga muslim. Maka dengan sendirinya
penganalisaan data ini lebih difokuskan pada Penelitian Kepustakaan (Library
Research), yakni dengan membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku dan
sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. Adapun dalam
pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif karena data yang
dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian deskriptif tidak
dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu tetapi hanya menggambarkan apa
adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan. Selain itu semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Dengan
demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah
atau dokumen lainnya. Hasil penelitian yang penulis temukan terkait dengan
konsep pendidikan agama Islam dalam pemberian reward dan punishment untuk
anak dalam keluarga muslim adalah keluarga merupakan peranan yang sangat
penting dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Yaitu menanamkan nilai-
nilai aqidah pada anak, pembinaan ibadah pada anak, menanamkan nilai-nilai
akhlak pada anak, membina kepribadian anak serta menanamkan intelektual pada
anak. Dengan demikian anak akan mampu tumbuh dan berkembang dan mampu
27
menghadapi tantangan zaman modern sekarang ini, serta mampu menjalani
kehidupannya sebagai hamba Allah.17
Penelitian-penelitian di atas membahas tentang konsep reward dan
punishment dalam pendidikan anak sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian
tersebut relevan dengan penelitian ini yang juga membahas tentang konsep reward
dan punishment dalam mendidik anak di lingkungan keluarga menurut ajaran
Rasulullah SAW.
Dari ketiga skripsi di atas penelitian tersebut terdapat kesamaan dari segi
tema. Berdasarkan pendapat peneliti persamaan yang terdapat pada peneliti di atas
dengan peneliti yang akan di teliti yaitu sama-sama meneliti tentang Konsep
Reward dan Punishment dalam Pendidikan Anak. Dan hal yang membedakan
penelitian ini dengan skripsi-skripsi di atas adalah skripsi ini lebih di fokuskan
menurut Ajaran Rasulullah SAW dan di Fokuskan Pada Konsep Reward dan
Punishment Dalam Mendidik Anak di Lingkungan Keluarga.
G. KERANGKA TEORI
Kerangka teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah di identifikasi sebagai masalah
yang penting.18
17
Fitri Nuria Rivah, Konsep Pendidikan Agama Islam dalam Pemberian Reward dan
Punishment Untuk Anak dalam Keluarga Muslim, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,Tahun Ajaran
2011/2012. (Online),http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2638/1/FITRI%20N
URIA%20RIVAH-FITK.pdf. Di akses pada tanggal 17 Maret 2016
28
1. Konsep Reward (Hadiah) dan Punishment (hukuman)
Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Reward sebagai
alat pendidikan diberikan ketika seorang anak melakukan sesuatu yang baik, atau
telah berhasil mencapai sebuah tahap perkembangan tertentu, atau tercapainya
sebuah target. Dalam konsep pendidikan, reward merupakan salah satu alat untuk
peningkatan motivasi para peserta didik. Metode ini bisa meng-asosiasi-kan
perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya
akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-
ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi
usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat
dicapainya.
Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Punishment
biasanya dilakukan ketika apa yang menjadi target tertentu tidak tercapai, atau ada
perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma-norma yang diyakini oleh sekolah
tersebut. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka
punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan
secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah
menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat
sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu
untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik. Seorang guru atau
18
Sugiono, Metodologi Penelitian Kuantitaif Kualitatif R & D, (Bandung: Alfabeta, 2016),
hal. 283
29
orang tua diperbolehkan memukul dengan pukulan yang tidak keras. Ini dilakukan
ketika beberapa cara seperti menasehati, menegur, tidak mempan juga. Hukuman
ini terutama menyangkut kewajiban shalat bagi anak-anak yang usianya telah
mencapai sepuluh tahun.
Indikator dalam pemberian reward dan punishment dalam mendidik anak
yaitu sebagai berikut:
a. Pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya, alternative
penghargaan lain biasa berupa perhatian;
b. Pemberian hadiah harus dimusyawarahkan kesepakatannya, serta
distandarkan pada proses bukan hasil.
c. Hukuman di standarkan pada perilaku, menghukum tanpa emosi;
d. Hukuman sudah disepakati, serta hukuman harus mempunyai tahapan.
2. Mendidik Anak dalam Keluarga
Anak merupakan generasi penerus bangsa dan sumber insan bagi
pembangunan nasional, maka harus diperhatikan dan dibina sedini mungkin agar
menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi bangsa.19
Sebagai orang tua,
haruslah mempunyai tujuan dan berikhtiar agar anak di masa depan mempunyai
kualitas yang lebih tinggi dari orang tuanya, minimal sejajar atau sama dengan
orang tuanya. Dengan demikian dia perlu mempersiapkan anak itu sejak dini agar
menjadi manusia unggul.
19
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014),
hal.10
30
Orang tua dan anak dalam suatu keluarga memiliki kedudukan yang berbeda.
Dalam pandangan orang tua, anak adalah buah hati dan tumpuan di masa depan
yang harus dipelihara dan dididik. Memeliharanya dari segala marabahaya dan
mendidiknya agar menjadi anak yang cerdas.20
Anak sebagai generasi yang baru lahir dari suatu keluarga akan di pengaruhi
oleh suasana keluarga dimana ia hidup. Dalam hal ini keluarga merupakan faktor
yang sangat penting bagi kehidupan anak karena keluarga sebagai kelompok
primer yang di dalamnya terjadi interaksi diantaranya para anggota keluarga dan
disitulah terjadinya.
Orang tua mendidik anaknya karena kewajaran, karena kodratnya, selain itu
karena cinta.21
Tujuan pendidikan anak di dalam keluarga ialah agar anak itu
menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh itulah anak yang wajar dibanggakan.
Tujuan lain ialah sebaliknya, yaitu agar anak itu kelak tidak menjadi musuh orang
tuanya, yang akan mencelakakan orang tuanya.
Anak yang saleh dapat mengangkat nama baik orang tuanya. Anak adalah
dekorasi keluarga. Anak yang saleh tentu mendoakan orang tuanya.Bila tidak
mendoakan orang tuanya, kesalehannya itu telah cukup merupakan bukti amal
baik bagi orang tuanya. Pokoknya, setiap orang senang mempunyai anak yang
saleh. Oleh karena itu, orang tua mendidik anaknya agar menjadi anak yang saleh.
20
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2005), hal. 27-28 21
Ahmad Tafsir., Op. Cit., hal.163
31
Indikator mendidik anak dalam keluarga yaitu:
a. Orang tua sebagai central teacher dalam keluarga;
b. Mendidik dengan cara menghormati anak;
c. Membimbing dan mendidik anak untuk bertakwa kepada Allah SWT dan
berbakti kepada kedua orang tua.
d. Metode Mendidik Anak Menurut Ajaran Rasulullah SAW
3. Metode Mendidik Anak yang Rasulullah Ajarkan ada 6, yaitu :22
a. Metode mendidik cara Rasulullah Saw melalui “Keteladanan”
1). Keteladanan Akidah
Apabila kita cermati lagi, ke enam rukun iman bersifat ghaib/abstrak. Karena
makna keimanan itu sendiri bukanlah hal yang zahir atatu bisa dilihat. Rasulullah
Saw mengajarkan 5 pilar penting dalam menanamkan akidah pada usia dini, di
antaranya yaitu:
a). Mendiktekan Kalimat Tauhid Kepada Anak,
b). Menghadirkan Allah dalam Kehidupan,
c). Mencintai Nabi, Sahabat, dan Keluarga Beliau,
d). Mengajarkan Al-Qur’an Sejak Dini,
e). Menanamkan Akidah yang Kuat dan Rela Berkorban Kepada-Nya,
2). Keteladanan dengan Ibadah yang Meliputi:
a). Salat,
22
Ayu Agus Rianti., Op. Cit, hal. 95- 219
32
b). Zakat,
c). Puasa,
d). Haji.
3). Keteladanan dengan Muamamalah
a). Mengajak anak untuk hadir dalam forum-forum orang dewasa,
b). Membiasakan anak membantu urusan rumah tangga,
c). Membiasakan anak memberi salam,
d). Mengunjungi orang sakit,
e). Memilihkan teman yang baik bagi anak,
f). Membiasakan anak untuk berlatih tata cara jual beli,
g). Mengajak anak menginap di rumah kerabat yang saleh.
b. Metode Rasulullah Saw Menasehati
1). Mempersiapkan Kondisi Psikis Orang yang Mau dinasehati,
2). Memulai Nasihat dengan Pujian,
3). Beda Usia, Beda Cara,
4). Menasehati Tidak Didepan Orang Banyak.
c. Metode Mendidik Rasulullah Saw “Bersikap Adil”
1). Adil dalam Pemberian,
2). Adil dalam Konsekuensi/Sanksi.
d. Metode Mendidik Rasulullah Saw Memenuhi Hak-Hak Anak
1). Mendapatkan Kasih Sayang dari Orang tuanya,
2). Mendapatkan Nasab Ayahnya,
33
3). Mendapatkan Hak Hidup,
4). Terpenuhi Kebutuhan Sandang, Pangan, dan Nafkah,
5). Mendapatkan Perlakuan Adil dan Tidak Pilih Kasih.
e. Metode Mendidik Rasulullah Saw “Mendo’akan”
Do’a adalah inti dari ibadah. Karena dengan berdo’a berarti kita mengakui
Allah Azza Wajalla sebagai satu-satunya tempat berlindung dan memohon
ampunan. Tidak mungkin seorang muslim berdo’a, jika ia tidak yakin bahwa Allah
Swt dapat menolongnya. Oleh karena itu, mengajarkan anak berdo’a dan
mendo’akan mereka merupakan sesuatu yang sangat urgent dalam akidah
Islamiah. Anak yang terbiasa berdo’a, maka dapat di pastikan lurus dan kokoh
akidahnya. Adapun manfaat berdo’a yaitu:
1). Bentuk Ibadah & Ketaatan Kepada Allah Swt,
2). Mencegah Bala Bencana & Peredam Amarah Allah Swt,
3). Mengandung Banyak (dengan izin Allah Swt),
4). Bukti Keimanan Kepada Allah Swt,
5). Pembuktian Tawakkal Kepada Allah Swt.
f. Metode Mendidik Cara Rasulullah SAW. “Membimbing Anak Berbakti
Kepada Orang Tua”
1). Mengucapkan Kata “Tolong” dan “Terima Kasih”
2). Mendahulukan Orang yang Lebih Tua
3). Berkata-kata Lembut dan Sopan Kepada Orang yang Lebih Tua,
4). Mendo’akan Orang Tua
34
5). Mengunjungi Orang yang Lebih Tua,
6). Merawat Orang Tua yang Sakit,
7). Menghibur Orang Tua.
g. Metode Mendidik Cara Rasulullah Saw. “Menghindari dari Mencela dan
Memaki Anak”
1). Menjauh dari Anak Untuk Menenangkan diri Untuk Berfikir Bagaimana
Merespons dengan Lebih Baik,
2). Bergegas Kembali Kepada Anak dan Jelaskan Mengapa Anda (Orang Tua)
Tidak Menyukai Apa yang Dilakukan Anak Tadi,
3). Tanyakan Kepada Anak Alasan Ia Berlaku Demikian,
4). Katakan Kepada Anak Bahwa Ia dapat Berprilaku yang Lebih Baik dari
Itu,
5). Katakan Kepada Anak Bahwa Kelakuannya Membuat Orang Tua Kecewa,
6). Tanyakan Kepada Anak Apa yang dapat Orang Tua Lakukan Supaya Anak
Berprilaku Lebih Baik,
7). Pastikan Hukuman atau Konsekuensi yang Orang Tua Berikan adalah Adil
.
H. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiyah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.23
23
Sugiono, Op. Cit, hal. 2
35
1. Jenis Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan Library Reaserch yakni studi
kepustakaan. Artinya, penelitian ini merupakan telaah pustaka yang merujuk
kepada buku-buku yang relevan dengan masalah yang hendak dibahas. Jenis
pendekatan penelitian ini adalah kualitatif yaitu akan memberikan sumbangan
pemikiran bagaimana konsep reward dan punishment dalam mendidik aanak di
lingkungan keluarga menurut ajaran Rasulullah Saw. Karena penelitian kualitatif
itu sendiri adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Jelas bahwa
pengertian ini mempertentangkan penelitian kualitatif dengan penelitian yang
bernuansa kuantitatif yaitu dengan menonjolkan bahwa usaha kuantifikasi apapun
tidak perlu digunakan pada penelitian kualitatif.24
2. Jenis Data
Jenis data pada penelitian ini diklasifikasikan pada jenis data kualitatif yang
berkenaan dengan konsep reward dan punishment dalam mendidik anak di
lingkungan keluarga menurut ajaran Rasulullah Saw. Data kualitatif yaitu
penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami
sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang.
Ternyata definisi ini hanya mempersoalkan satu metode yaitu wawancara terbuka,
sedang yang penting dari definisi ini mempersoalkan apa yang diteliti yaitu upaya
24
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2016), hal. 6
36
memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku baik individu maupun
sekelompok orang.25
3. Sumber Data
Yang dijadikan sumber data penelitian ini adalah berbagai sumber yang
berkaitan dengan pembahasan ini, diantaranya: Al-Qur’an dan hadits, buku-buku
yang relevan, serta hasil-hasil penelitian yang ada hubungan atau dapat menunjang
pembahasan dalam penelitian ini. Atau dengan kata sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini ada 2 macam yaitu:26
a. Sumber data sekunder adalah data yang ada dalam pustaka-pustaka atau buku-
buku penunjang yang diambil untuk dijadikan sebagai bahan acuan dalam
penulisan skripsi ini yaitu menggunakan buku Ayu Agus Rianti yang berjudul
Cara Rasulullah SAW Mendidik Anak, buku Irawati Istadi yang berjudul
Mendidik dengan Cinta, buku Abdullah Nashih Ulwan yang berjudul Pedoman
Pendidikan Anak dalam Islam, buku Muhammad Suwaid yang berjudul
Mendidik Anak Bersama Nabi SAW, dan buku Hasan Syamsi Basya yang
berjudul Cara Jitu Mendidik Anak.
b. Sumber data primer adalah data yang langsung dikumpulkan dari individu-
individu yang diselidiki atau data pokok yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits
dan pendapat para pakar ilmu pendidikan melalui buku-buku tulisan mereka.
Sebagai acuan untuk memperkuat landasan baik di dalam Al-Qur’an dan Hadits
25
Ibid, hal. 6 26
Margono, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 23
37
di dalam skripsi ini yang telah tercantum di dalam QS.Furqon : 74 yang
membahas tentang anak sebagai penyejuk pandangan mata, QS. At-Takhrim :
6 yang membahas tentang anak sebagai amanah dari Allah SWT. Dan di dalam
Hadits salah satunya HR. Abu Dawud, cara mendidik anak yang dilandasi
kasih sayang dan menomor duakan hukuman.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan tipe penelitian yakni Library Reaserch, maka pengumpulan
data dilakukan dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat dalam
perpustakaan, seperti buku-buku yang ada relevansinya dengan pembahasan
penelitian.
Setelah data terhimpun dari berbagai sumber data yang di peroleh, selanjutnya
data-data itu diklasifikasikan ke dalam permasalahan yang ada. Data di olah
sedemikian rupa sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang akan
dicapai. Selanjutnya setelah data terhimpun dan terkumpul serta telah
diklasifikasikan, akhirnya diaambil kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari
penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan data yang terkumpul, penelitian ini dianalisa secara deskriptif
kualitatif dengan pendekatan Library Reaserch (tinjauan kepustakaan). Menurut
Miles dan Hubberman dalam buku Saipul Annur yang disebut “Three Concurrent
38
Flows Of Activity” (tiga arus aktivitas yang terjadi secara bersamaan) yaitu
pereduksian data, pemaparan data, dan kesimpulan serta verifikasi.27
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan teknik analisa data ini
adalah pertama data dipilih, difokuskan, disederhanakan, diabstraksikan, dan
ditransformasikan untuk selanjutnya diringkas atau diparafrase. Terakhir data
diorganisasi dan dipadatkan untuk diambil kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah mengetahui secara keseluruhan isi dari skripsi ini,
maka di susun sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Berisi Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori,
Metodologi Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab II Konsep Reward dan Punishment
Berisi tentang landasan teori yang digunakan sebagai landasan berfikir dan
menganalisis data yang berupa, konsep reward dan punishment dalam mendidik
anak (pengertian reward dan punishment, tujuan pemberian reward dan
punishment, fungsi pemberian reward dan punishment, prinsip-prinsip pemberian
27
Saipul Annur, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Palembang: Rafah Press,2011),
hal.126
39
reward dan punishment, macam-macam bentuk pemberian reward dan
punishment, kelemahan dan kekuatan pemberian reward dan punishment),
mendidik anak dalam keluarga (pengertian mendidik anak dalam keluarga, orang
tua dan anak dalam keluarga, fungsi keluarga, tujuan pendidikan anak dalam
keluarga, posisi anak dalam keluarga, tanggung jawab orang tua dalam mendidik
anak, metode mendidik anak yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, serta kisah-
kisah tentang Rasulullah SAW).
Bab III Penerapan Konsep Reward dan Punishment dalam Mendidik Anak
di Lingkungan Keluarga Menurut Ajaran Rasulullah SAW
Berisi tentang pemberian reward dalam mendidik anak yang diajarkan
Rasulullah SAW yang meliput (bentuk-bentuk penghargaan, cara menerapkan atau
mengaplikasikan reward) serta pemberian punishment dalam menddidik anak
yang diajarkan Rasulullah SAW meliputi (bentuk-bentuk hukuman yang memberi
alternatif, bentuk-bentuk hukuman yang dilarang, bentuk-bentuk hukuman yang
mendidik, cara menerapkan atau mengaplikasikan punishment).
Bab IV Penutup
Berisi kesimpulan, saran dari penulis dan daftar pustaka serta lampiran-
lampiran yang diperlukan
40
BAB II
KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT SERTA MENDIDIK ANAK
DALAM KELUARGA
A. Konsep Reward dan Punishment
1. Pengertian Reward dan Punishment
a. Pengertian Reward
Menurut kamus Bahasa Indonesia, hadiah adalah pemberian, ganjaran
(Pemenang perlombaan, sayembara dan sebagainya).1 Di dalam buku Muhammad
Kosim, Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan.2 Reward
(hadiah) adalah memberikan suatu kepada orang lain sebagai penghargaan untuk
kenang-kenangan atau cenderamata. Hadiah yang diberikan kepada orang lain bisa
berupa apa saja, tergantung dari keinginan pemberi. Atau bisa juga disesuaikan
dengan prestasi yang dicapai oleh seseorang.3 Hadiah yang diberikan sebagai
motivasi anak dalam belajar haruslah hadiah yang memang anak-anak sedang
senangi atau sedang diinginkan. Orang tua harus cermat dalam memilih hadiah
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, tt), hal. 221 2 Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, (Padang : Ekpress Rubrik Artikel,
2008), hal. 1 3 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosadakarya,
2011), hal. 182
41
untuk prestasi yang telah dicapai oleh anak.4 Hal ini terdapat dalam salah satu
firmannya QS.An-Najm 31.5
(١٣زي الذين أسسووا ااحسى )ن أساءوا با عملوا وي السماوات وما ف األرض ليجزي الذيولله ما ف
Artinya :
Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
(Dengan demikian) Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
jahat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan Dia akan memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).
(QS.An-Najm:31)
Jadi dapat disimpulkan bahwa reward (hadiah) merupakan sesuatu yang
menyenangkan bagi anak atau salah satu alat untuk meningkatkan motivasi pada
anak. Hadiah adalah salah satu alat pendidikan untuk mendidik anak-anak supaya
anak menjadi merasa senang karena perbuatan dan pekerjaannya mendapat
penghargaan. Hadiah sebagai alat untuk mendidik anak agar tidak boleh bersifat
sebagai upah. Karena upah merupakan sesuatu yang mempunyai nilai sebagai
ganti rugi dari suatu pekerjaan atau suatu jasa yang telah dilakukan oleh seseorang.
Jika hadiah itu sudah berubah sifat menjadi upah, hadiah itu tidak lagi bernilai
mendidik karena anak akan mau bekerja giat dan berlaku baik karena
mengharapkan upah. Dalam hal ini sebaiknya hadiah yang diberikan tidak berupa
4 Ibid, hal. 183
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:Diponegoro,2014),
hal.527
42
materi dengan harga mahal yang tidak sesuai dengan kebutuhan anda dan keadaan
ekonomi anda. Karena jika kita (orang tua) memberikan materi maka makin lama
makin meningkat nilai materinya dan jika itu pada suatu saat tidak terpenuhi bisa
menjadi media anak untuk mengancam orang tua, menjadikan anak malas, manja,
semena - mena dan paling parah dalah bunuh diri ketika keinginannya tidak
tercapai.
Agar reward efektif dalam membentuk perilaku yang baik pada anak, maka
hal-hal yang harus diperhatikan orang tua dalam setiap tindakan reward, yaitu
ketika memberikan reward perhatikan:6
1). Hadiah diberikan dengan tujuan memberikan motivasi pada anak agar berbuat
baik.
2). Hindarkan memberikan reward dalam bentuk barang.
3). Berikan reward seperti pelukan, ciuman dan kata-kata pujian yang benar-
benar tulus.
4). Sesuaikan dengan kemampuan orang tua jika ingin memberikan berupa
barang.
5). Harus konsisten dalam memberi reward tersebut.
6). Perhatikan efek reward yang diberikan pada anak.
7). Hadiah harus memiliki unsur memotivasi anak untuk menjadi lebih baik.
6 Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013), hal.156
43
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan reward tidaklah harus
selalu memberikan barang-barang yang mahal. Dengan kalimat pujian saja, anak
sudah merasa senang. Misalnya ketika mereka mendapatkan nilai baik saat
ulangan maka berikan kalimat pujian yang memotivasi mereka agar
mempertahankan nilai baik tersebut. Namun tidak ada salahnya jika sesekali
memberikan anak reward berupa barang-barang. Asalkan barang tersebut benar-
benar sudah dibutuhkannya.
Contoh reward yang dianjurkan: Ketika si anak mendapat nilai 100 dalam
semua ujian maka anak perlu diberi pujian dan motivasi atau support untuk tetap
bisa mempertahankan prestasinya. Sebagai hadiah bisa juga mengajaknya jalan -
jalan bersama keluarga, misalnya tamasya ke kebun binatang, piknik, makan di
restoran,dan lain-lain. Asalkan jangan selalu memberikan hadiah materi ketika
anak mencapai kesuksesannya, misalnya HP, laptop, pada usia yang dia belum
memerlukannya, karena bisa berbahaya untuk anak tersebut.
b. Pengertian Punishment
Punishment (hukuman) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
dengan; 1). Siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang-orang yang
melanggar undang-undang dan sebagainya. 2). Keputusan yang dijatuhkan oleh
hakim. 3). Hasil atau akibat menghukum.7 Secara umum disepakati bahwa
7 Kamus Besar Bahasa Indonesia,Op.Cit, hal. 223
44
hukuman adalah ketidaknyamanan (suasana tidak menyenangkan) dan perlakuan
yang buruk atau jelek.8 Punishment (hukuman) diartikan sebagai hukuman atau
sanksi. Punishment biasanya dilakukan ketika apa yang menjadi target tertentu
tidak tercapai, atau ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku.9
Orang tua diperbolehkan memukul dengan pukulan yang tidak keras. Ini
dilakukan ketika beberapa cara seperti menasehati, menegur, tidak mempan juga.
Hukuman ini terutama menyangkut kewajiban shalat bagi anak-anak yang usianya
telah mencapai sepuluh tahun.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
هللا صلى هللا عليه وسلم : عن عمروبن شعيب عن ابيه عن جده قال : قال رسول
قوا بينهم في الم لة وهم ابناء سنين واضربهم ابناء عشر و فر ضاج مروا اولدكم بالص
و داود () رواه اب
“Dari Amr Bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata : Raulullah
SAW bersabda : “perintahkanlah anakmu untuk melakukan shalat, pada saat
mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka pada saat mereka berusia
sepuluh tahun jika mereka meninggalkan shalat dan pisahkanlah mereka dalam
hal tempat tidur.” (HR. Abu Dawud).
8 Abdurrahman Mas’ud, Reward and Punishment dalam Pendidikan Islam, Jurnal Media,
2006), hal. 23 9 Muhammad Kosim., Op. Cit., hal. 1
45
Dalam nasehat Rasulullah itulah terkandung cara mendidik anak yang
dilandasi dengan kasih sayang, dan menomor duakan hukuman. Bukankah beliau
terlebih dahulu menyuruh membiasakan anak mengerjakan shalat mulai usia tujuh
tahun. Kalau tiga tahun setelah itu, ternyata belum juga shalat, sangat wajar jika
diberikan hukuman.
Jadi dapat disimpulkan dalam hal ini ketika anak melakukan kesalahan maka
jangan langsung dimarahi, karena hal ini bisa menyebabkan anak tertekan, secara
pikologis. Oleh sebab itu berilah pengertian dan menasehati anak dengan baik
ketika anak melakukan kesalahan itu dengan tutur kata yang lembut, meskipun
sebagai orang tua merasa kesal, karena anak juga masih dalam tahap
perkembangan sehingga si anak masih dalam tahap belajar. Jika dimarahi terus,
bisa membuat perkembangan psikis anak jadi tidak optimal.
Ketika memberikan punishment (hukuman) orang tua harus memperhatikan
hal hal sebagai berikut:10
a) Pastikan bukan balita yang menerima punishment (hukuman). Balita
belum paham punishment (hukuman).
b) Hindarkan memberikan punishment (hukuman) dalam keadaan emosi.
c) Perhatikan apakah punishment (hukuman) tersebut memiliki efek baik
untuk anak.
d) Jelaskan pada anak mengenai sebab-akibat suatu perilaku.
10
Purwa Atmaja Prawira., Op.Cit., hal.157
46
e) Hindarkan hukuman fisik dan psikis.
f) Tegaslah dalam menghukum anak. Jangan mudah luluh ketika mereka
menangis.
g) Jangan jadikan punishment sebagai kegiatan rutinitas yang harus
dilakukan ketika anak bersalah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa walaupun anak melakukan kesalahan,
punishment diberikan harus tetap memperhatikan usia, dan efek yang akan
dirasakan anak. Hukuman yang tidak boleh dilandasi amarah orang tua. Jika
amarah yang melandasi sebuah hukuman, maka tidak dipungkiri pukulan,
tamparan, kata-kata kasar akan didapatkan anak. Tindakan tersebut justru akan
membuat anak semakin buruk. Bertanyalah dengan sabar dan penuh lembut ketika
anak telah melakukan kesalahan.
Sebaiknya cara memberi hukuman sebagai ibu yang baik maka seorang ibu
bisa dengan cara ketika tahu anaknya memecahkan gelas, dekati anak tersebut dan
tanyakan peristiwa apa yang terjadi dan bagaimana bisa terjadi dengan kata - kata
halus.11
Ketika si anak tidak mau menjawab, jangan dimarahi. Sebagai hukuman,
suruhlah anak tersebut mengambil sapu dan cikrak untuk membersihkan pecahan
gelas tadi. Setelah si anak mengambilkan, sebagai ibu yang membersihkan. Karena
pecahan gelas ini berbahaya, apalagi anak masih kecil. Ketika semua sudah bersih
maka ajaklah si anak berbicara, nasehati dia dengan tutur kata yang baik dan
11
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal.223
47
menyuruh anak untuk meminta maaf pada ayahnya sebagai pertanggungjawaban
dan hukuman atas kesalahannya. Dan si ayah jangan memarahi tetapi menasehati
agar si anak tidak mengulangi kesalahnnya lagi. Ini lebih baik, karena anak
menjadi tahu apa kesalahannya dan dia menjadi tahu bagaimana cara
menyelesaikan ketika dia berbuat salah.
2. Tujuan Pemberian Reward dan Punishment
a. Tujuan Pemberian Reward
Tujuan dari pemberian penghargaan (reward) merupakan "fungsi
reinforcement" atau fungsi penguatan yang lebih mendorong pada anak untuk
semakin meningkatkan prestasi yang pernah diraihnya. Pemberian penghargaan
berupa pujian berperan sangat signifikan dalam upaya peningkatan motivasi
belajar anak demi tercapainya keberhasilan anak. Dan hal itu akan memberikan
semangat bagi anak terhadap pekerjaan dan prestasi baik yang telah dilakukannya.
Dengan begitu, anak akan bertambah semangat lagi meningkatkan prestasinya dan
termotivasi untuk mempertahankannya.12
Pemberian hadiah atau reward sangat berarti bagi anak yaitu:13
1). Memberikan semangat baru untuk melakukan kegiatan yang akan diberikan
2). Menghargai karya orang lain
3). Meningkatkan daya saing anak
4). Membesarkan hati anak
12
Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal.86 13
Ibid, hal. 87
48
Seorang anak yang rajin, berakhlak baik, dan yang dapat menjalankan
kewajiban, layak memperoleh hadiah dari orang tuanya. Oleh karena itu, si anak
akan menemukan jiwanya senang menerima itu di hadapan teman-temannya.
Sebab, pada usia pelajar, jiwa seorang anak lebih dipenuhi insting suka memiliki.
Hal ini dikarenakan manfaat dari reward sendiri adalah anak dapat termotivasi
untuk membentuk karakter yang diharapkan dan belajar mengenali lingkungan
disekitarnya.14
b. Tujuan Pemberian Punishment
Tujuan pemberian punishment kepada anak, sedangkan punishment itu
sendiri merupakan suatu tindakan yang lebih mengarah kepada hal-hal yang
kurang baik.Yang mana sebenarnya, maksud dari pemberian punishment itu
sendiri yaitu untuk memberikan efek jera kepada anak. Tetapi juga tidak dapat
dipungkiri bahwa akibat dari pemberian punishment itu sendiri juga akan
mengganggu rasa kepercayaan diri anak tersebut. Hukuman yang diberikan oleh
orang tua yang biasanya memberikan dukungan, cenderung lebih efektif daripada
hukuman yang sama, yang diberikan oleh orang tua yang biasanya bersikap dingin
dan tidak dekat dengan si anak. Hukuman dari orang tua yang selalu
mempraktekkan apa yang dinasehatkan, biasanya lebih efektif dari pada orang tua
yang tidak memberi keteladanan. Orang tua yang sehabis menghukum kemudian
menunjukkan kasih sayang yang berlebihan, bisa menghilangkan manfaat
hukuman bahkan mungkin mendukung reaksi yang tidak dikehendaki.
14
Ibid, hal.95
49
Segala sesuatu perlu ukuran, perlu keseimbangan. Yaitu proporsi ukuran yang
sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Belum tentu ukuran tersebut harus
berbagi sama. Keseimbangan imbalan dan hukuman pun tidak berarti harus
diberikan dalam porsi sama, satu-satu.15
Yang akan dipakai sebagai standar keseimbangan adalah sama seperti standar
yang dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan dosa bagi hamba-
hamba-Nya. Seperti kita ketahui, Allah menjanjikan pahala bagi manusia, untuk
sekedar sebuah niat berbuat baik. Manakala niat itu diwujudkan dalam bentuk
sebuah amal, Allah SWT akan membalasnya dengan pahala yang bukan hanya
satu, melainkan berlipat ganda. Sebaliknya, Allah mempersulit pemberian dosa
bagi hamba-Nya. Niat untuk bermaksiat belumlah dicatat sebagai dosa, kecuali
niat itu terelaksana, itupun bisa segera dia hapuskan ketika kita segera beristigfar.
Keseimbangan inilah yang harus di teladani dalam memberikan imbalan dan
hukuman kepada anak. Sebagai orang tua harus mengutamakan dan
mempermudah memberikan penghargaan atau hadiah kepada anak dan
meminimalkan pemberian hukuman.16
Kalau anak di hukum, sebaiknya ia di ajari respon lain untuk menggantikan
reaksi yang mendatangkan hukuman kepadanya itu. Memberikan penjelasan dan
alasan mengapa anak di hukum, akan meningkatkan efektivitas hukuman itu.
15
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal.115 16
Ibid, hal.116
50
Alasan penjelasan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan pengendalian diri di kalangan anak-anak yang lebih besar.17
Jadi dapat disimpulkan bahwa antara reward dan punishment memiliki
kelebihan dan kekurangannya. Kita diperbolehkan menggunakan kedua cara
tersebut guna mendidik anak. Tetapi, kita harus memperhatikan bagaimana situasi
dan kondisi dari anak tersebut. Ketika mereka melakukan kesalahan jangan
langsung memberikan hukuman (punishment) tetapi kita sebagai orang tua mesti
memahami apa yang terjadi. Sedangkan untuk reward, jangan memberikannya
secara rutin dan mengumbar janji karena anak akan selalu mengharapkannya.
3. Fungsi Pemberian Reward dan Punishment
Ada tiga fungsi penting dari reward (hadiah), yaitu:18
1) Memiliki nilai pendidikan
Hadiah adalah salah satu bentuk pengetahuan yang membuat anak segera tahu
bahwa tingkah lakunya itu baik.
2) Memotivasi anak untuk mengulangi tingkah laku yang baik
Anak umumnya akan bereaksi positif terhadap penerimaan lingkungan yang
diekspresikan lewat hadiah. Hal ini mendorong mereka bertingkah laku baik
agar mendapat hadiah lebih banyak.
17
Moehari Kardjono, Mempersiapkan Generasi Cerdas, (Jakarta: Qisthi Press, 2008), hal.
96-97 18
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 24
51
3) Memperkuat tingkah laku yang dapat diterima lingkungan
Apabila anak mendapat penghargaan atas tingkah lakunya ia mendapatkan pem
ahaman bahwa apa yang dilakukannya itu berarti. Ini yang membuat anak termo
tivasi untuk terus mengulangi.
Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya dalam
reward terdapat suatu kekuatan yang dapat mendorong anak untuk melakukan
perbaikan. Dengan reward anak merasa bahwa perbuatan baik yang dilakukannya
membuatnya dihormati, disayangi orang lain sebagai bentuk penghargaan diri, atas
usaha tindakan yang telah dilakukan.
Ada tiga fungsi penting dari Punishment (hukuman), yaitu:19
1). Fungsi restriktif
Hukuman dapat menghalangi terulangnya kembali perilaku yang tidak
diinginkan pada anak. Jika seorang anak pernah mendapat hukuman karena ia
telah melakukan satu kesalahan atau pelanggaran, maka ia akan berusaha
untuk tidak mengulangi kesalahan yang serupa di masa datang.
2). Fungsi pendidikan
Hukuman yang diterima anak merupakan pengalaman bagi anak yang dapat
dijadikan pelajaran yang berharga. Anak bisa belajar tentang salah dan benar
melalui hukuman yang telah diberikan kepadanya. Hal ini menyadarkan anak
akan adanya suatu aturan yang haras dipahami dan dipatuhi, yang bisa
19
Ibid, hal. 27
52
menuntunnya untuk memastikan boleh atau tidaknya suatu tindakan
dilakukan.
3). Fungsi motivasi
Hukuman dapat memperkuat motivasi anak untuk menghindarkan diri dari
tingkah laku yang tidak diinginkan. Dari pengalaman hukuman yang pernah
diterima anak, maka anak merasakan bahwa menerima hukuman merupakan
suatu pengalaman yang kurang menyenangkan, dengan demikian anak
bertekad tidak mengulangi kesalahan yang sama dan akhirnya timbul
dorongan untuk berperilaku wajar, yaitu perilaku yang diinginkan dan dapat
diterima oleh kelompoknya.20
Jadi dapat disimpulkan bahwa hadiah dan hukuman adalah alat pendidikan
represif (usaha yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi seperti mengekang,
menahan, menekan dan lain-lain) dan kuratif (suatu kegiatan untuk menolong)
terhadap apa yang dilakukan dan diperbuat si anak. Penghargaan dan hukuman
diberikan dengan maksud memperbaiki dan mempertinggi sifat, sikap dan tingkah
laku anak serta memberikan kesadaran akan segala kesalahan yang dilakukannya
dan bagaimana memperbaikinya.
Hukuman bukan sebagai balas dendam dan tampilan kekuasaan tapi sebagai
koreksi dan teguran. Sedangkan penghargaan jangan dijadikan sebagai upah dan
tujuan, tetapi sebagai alat membangkitkan minat dan motivasi belajar anak.
20
Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja,
Rosdakarya, 2011), hal. 186
53
4. Prinsip-Prinsip Pemberian Reward dan Punishment
a. Prinsip-Prinsip Pemberian Reward
1). Penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. Untuk membedakan
antara ’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit. Apalagi kebiasaan dan
persepsi yang tertanam kuat dalam pola pikir kita yang sering menyamakan
kedua hal tersebut. Istilah atau panggilan semacam ’anak shaleh’, anak pintar’
yang menunjukkan sifat ’pelaku’ tidak dijadikan alasan pemberian
penghargaan karena akan menimbulkan persepsi bahwa predikat ’anak shaleh’
bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus menyebutkan secara langsung perilaku
anak yang membuatnya memperoleh hadiah.
2). Pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian hadiah
tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup
difungsikan hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja. Manakala proses
pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka
hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini
mungkin kepada anak tentang pembatasan ini.
3). Penghargaan berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah
berupa materi, tetapi berupa perhatian, baik verbal maupun fisik. Perhatian
verbal bisa berupa komentar-komentar pujian, seperti, ’Subhanallah’,
Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara hadiah perhatian fisik
bisa berupa pelukan, atau acungan jempol.
54
4). Dimusyawarahkan kesepakatannya. Setiap anak yang ditanya tentang hadiah
yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan barang-barang yang ia
sukai. Maka disinilah dituntut kepandaian dan kesabaran orang tua untuk
mendialogkan dan memberi pengertian secara detail sesuai tahapan
kemampuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi.
5). Distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak orang lupa, bahwa proses jauh
lebih penting daripada hasil. Usaha yang dilakukan anak, adalah merupakan
lahan perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti
tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya.21
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberian reward atau penghargaan tidak
selamanya bersifat baik, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pemberian
reward penghargaan merupakan satu hal yang bernilai positif. Dalam mendidik
anak, reward digunakan sebagai bentuk motivasi atau sebuah penghargaan untuk
hasil atau prestasi yang baik kepada anak, dapat berupa kata-kata pujian,
pandangan senyuman, pemberian tepukan tangan serta sesuatu yang
menyenangkan, misalnya orang tua memberikan hadiah bagi anaknya yang telah
mendapat nilai bagus.
b. Prinsip-Prinsip Pemberian Punishment
1). Kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik yang tetap
harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak.
21
Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Jakarta: Pustaka Inti, 2005), Hal. 93
55
Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka
dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan
pengakuan bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan
tersebut, mereka hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar.
2). Hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah
yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman,
bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan
’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah
mau dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.
3). Menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua
adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan.
Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan
untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian
hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tidak lagi
melakukan kesalahan.
4). Hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang
harus dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula
yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan
memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia
akan menerima hukuman, dan ia dalam kondosi yang tidak siap.
Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat
56
besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga
untuk menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya.
5). Tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan hukuman tentu harus
melalui beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga akhirnya jadi yang
terberat.22
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberian hukuman pada anak memiliki
keuntungan antara lain dapat menghentikan dengan segera tingkah laku anak yang
menyimpang, memberi petunjuk kepada anak mengenai tingkah laku yang dapat
diterima selain itu sebagai pengajaran bagi anak dengan kenyataan bahwa
hukuman mampu mengurangi kemungkinan anak dan meniru tingkah laku
tersebut. Selanjutnya hukuman yang diberikan bukanlah dengan kekerasan, tetapi
diberikan dengan ketegasan. Jika hukuman dilakukan dengan kekerasan, maka
hukuman tidak lagi memotivasi seseorang berbuat baik, melainkan membuat anak
merasa takut dan benci sehingga bisa menimbulkan pemberontakan batin.
5. Macam-Macam Bentuk Pemberian Reward dan Punishment
a. Macam-Macam Bentuk Pemberian Reward
Pemberian penghargaan terkesan sederhana tetapi bisa menjadi motivasi
tersendiri bagi anak. Pemberian Reward meliputi :23
22
Ibid, Hal. 94 23
Fristiana Irina, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Parana Ilmu, 2016), hal. 221
57
1). Pemberian kepercayaan
Dalam diri anak membutuhkan pengakuan bagi eksistensinya di mata orang
lain (teman-temannya). Pemberian kepercayaan membuat diri anak merasa diakui
dan dihargai oleh orang tua. Dengan diberikan kesempatan untuk membuktikan
kemampuannya, anak mulai menghargai keberadaan diri dan orang lain. Hal ini
akan memunculkan responsibility (Tanggung Jawab) untuk mampu menjaga dan
mewujudkan amanat yang ada. Pemberian kepercayaan lebih berimplikasi positif
pada diri anak daripada pemberian materi maupun kata-kata pujian yang tidak
realistik. Kepercayaan menjamin kesenangan seseorang untuk mengurangi tekanan
jiwa.
2). Senyuman, Pandangan, Tepukan Punggung
Pemberian kasih sayang oleh orang tua yang diwujudkan melalui ekspresi
wajah dan tindakan jasmaniah akan lebih mengena. Keadaan emosional anak yang
labil akan sering menimbulkan sikap menolak, mencela bahkan merombak
ketentuan apapun yang dirasa mempersempit kebebasannya, karena anak pada
masa pendidikan dasar ingin mendapatkan kebebasan dari ketergantungan. Adanya
tekanan-tekanan dan kungkungan akan menimbulkan ketegangan yang menjadikan
anak semakin marah. Oleh karena itu, adanya sikap penerimaan positif dari orang
tua sebagai wujud persetujuan mereka pada perilaku anak, akan diimbangi pula
oleh penerimaan pemberian reward harus mampu menjadikan cermin diri yang
menampakkan kepada anak gambaran realistis tentang apa yang diperbuat,
mengenai prestasi.
58
Pemberian reward yang berlebihan berdampak pada anak menjadi manja
dan sombong. Secara umum, bentuk reward adalah kata-kata pujian, pemberian
kepercayaan, senyuman dan tepukan punggung, sesuatu yang bersifat materil
(buku-buku pengetahuan). Dalam setiap pemberian reward dalam mendidik anak
diarahkan pada: 24
a). Reward mempunyai arti mendidik, yaitu mengajarkan kepada anak untuk
berperilaku sesuai dengan cara yang disepakati masyarakat. Dalam konteks ini
adanya penghargaan mengisyaratkan pada anak bahwa perilaku itu baik dan
disetujui secara sosial.
b). Reward berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui
secara sosial. Artinya, peran reward positif dalam memotivasi anak untuk
melakukan apa yang dianggap sesuai secara sosial. Pada fungsi ini anak
bereaksi positif terhadap persetujuan yang dinyatakan dalam penghargaan.
c). Berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial adanya
reward yang diberikan digunakan untuk membentuk asosiasi yang
menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberian hadiah sebagai salah satu cara
untuk mendidik anak mempunyai beberapa bentuk, yaitu berupa materi dan non
materi. Bentuk materi berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi
anak, misalnya pemberian pensil, buku tulis, dan lain-lain. Penghargaan berbentuk
non materi berupa kata-kata yang menggembirakan (pujian), ucapan selamat atas
24
Ibid, hal. 224
59
prestasi, pemberian tepuk tangan, orang tua mengangguk-ngangguk tanda senang
dan membenarkan suatu jawaban yang diberikan oleh anak.
b. Macam-Macam Bentuk Punishment
Dalam pemberian hukuman, orang tua harus mampu menghindari sejauh
mungkin hal-hal yang akan berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis
anak. Beberapa macam-macam hukuman yang harus diketahui oleh orang tua
adalah sebagai berikut:25
1). Hukuman membalas dendam: orang yang merasa tidak senang karena anak
berbuat salah, anak lalu dihukum.
2). Hukuman badan atau jasmani: hukuman ini memberi akibat yang merugikan
anak, karena bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi anak.
3). Hukuman jeruk manis: maksudnya yaitu, anak yang nakal tidak perlu dihukum,
tetapi didekati dan diambil hatinya.
4). Hukuman alam: kalau ada anak yang nakal, jangan dihukum, biarlah kapok
atau jera dengan sendirinya.
Dari pengertian tersebut, nampak dengan jelas bahwa punishment tidak
sebatas pada menjatuhkan hukuman pada anak karena suatu kesalahan, perlawanan
atau pelanggaran, melainkan juga untuk peningkatan kedisiplinan anak,
memotivasi belajar dan perbaikan perilaku (moralitas).
25
Ibid, hal. 234
60
6.Kekuatan dan Kelemahan Pemberian Reward dan Punishment
a. Kekuatan dan Kelemahan Pemberian Reward dalam mendidik anak
1). Kekuatan Pemberian Reward (Hadiah)
a). Memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak untuk
melakukan perbuatan yang positif dan bersikap progresif atau maju.
b). Dapat menjadi pendorong bagi anak-anak didik lainnya untuk mengikuti
anak yang telah memperoleh pujian dari orang tuanya, baik dalam tingkah
laku, sopan santun ataupun semangat dan motivasinya dalam berbuat yang
lebih baik. Proses ini sangat besar kontribusinya dalam memperlancar
pencapaian tujuan pendidikan.26
2). Kelemahan Pemberian Reward (hadiah)
a). Dapat menimbulkan dampak negatif apabila guru melakukannya secara
berlebihan, sehingga mungkin bisa mengakibatkan murid merasa bahwa
dirinya lebih tinggi dari teman-temannya.
b). Umumnya hadiah membutuhkan alat tertentu dan membutuhkan biaya.27
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak salah bila reward (hadiah) berupa
penghargaan menjadi salah satu bentuk alat untuk mendidik anak, sebagai sarana
untuk memberikan motivasi belajar bagi anak. Manakala seorang anak
mendapatkan penghargaan karena dia berprestasi, tentu semangat belajarnya pun
26
Ngalim Purwanto., Op. Cit., hal. 183 27
Ibid, hal. 184
61
akan meningkat, karena keinginan untuk mempertahankan dan menaikkan prestasi
belajarnya. Motivasi belajar anak akan meningkat ketika prestasi dan kerja keras
untuk mencapai kesuksesan belajar itu diiringi penghargaan dan apresiasi yang
baik.
Pemberian penghargaan berupa pujian berperan sangat signifikan
dalam upaya peningkatan motivasi belajar anak demi tercapainya keberhasilan
dalam mendidik anak. Dan hal itu akan memberikan semangat bagi anak terhadap
pekerjaan atau perbuatan dan prestasi baik yang telah dilakukannya. Dengan
begitu, si anak akan bertambah semangat lagi meningkatkan prestasinya dan
termotivasi untuk mempertahankannya.
b. Kekuatan dan kelemahan pemberian hukuman dalam mendidik anak
1). Kekuatan Pemberian Punishment (Hukuman)
Pendekatan hukuman dinilai memiliki kelebihan apabila dijalankan dengan
benar, yaitu:
a). Hukuman akan menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan anak.
b). Anak tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
c). Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.28
28
Ibid, hal. 185
62
2). Kelemahan pemberian Punishment (Hukuman)
a) Akan membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
b) Anak akan selalu merasa sempit hati, bersifat pemalas, serta akan
menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum).
c) Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.29
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak
diperlukan. Ada orang-orang yang baginya teladan dan nasehat saja sudah cukup,
tidak perlu lagi hukuman. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya diantara
mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali. Hukuman bukan pula tindakan yang
pertama kali terbayang oleh seorang pendidik, dan tidak pula cara yang
didahulukan. Nasehatlah yang paling didahulukan begitu juga ajaran untuk berbuat
baik, dan tabah terus menerus semoga jiwa orang itu berubah sehingga dapat
menerima nasehat tersebut.
B. Mendidik Anak dalam Keluarga
1. Pengertian Mendidik Anak Dalam Keluarga
Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan
kepribadian anak.30
Mengajarkan kebiasaan baik merupakan unsur pendidikan yang
29
Ahmad Tafsir.,Op. Cit., hal. 186 30
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga,
( Jakarta:Rineka Cipta,2014), hal.53
63
sangat penting terutama bagi anak-anak.31
Bagi anak usia dini 3-6 tahun, dunianya
adalah keluarga, lingkungan terdekat dan pertama adalah orang tuanya, dan
pengaruh orang tua adalah sangat dominan ( 90-100%). Pada masa ini anak belajar
dengan menirukan, karena itu hal utama dalam mendidik anak adalah memberikan
teladan. Keteladanan adalah proses mendidik anak yang sangat sederhana, namun
begitu efektif karena mudah dimengerti.32
Pendidikan anak itu dimulai dari isteri dan suami, mereka mesti saling
menghormati dan melaksanakan kewajiban mereka masing-masing. Selain itu
mereka juga dituntut agar selalu berbenah diri untuk menjadi insan yang shaleh
dan bertakwa kepada Allah SWT. Kondisi ini merupakan tonggak utama dalam
pendidikan keluarga. Kebiasaan orang tua dalam keharmonisan dan ketaatan
kepada Allah dapat mempengaruhi anak-anak sebagai peserta didik dalam
keluarga.33
Sejak kecil anak sudah mendapat pendidikan dari kedua orang tuanya
melalui keteladanan dan kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga. Baik
tidaknya keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan orang tua sehari-
hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Kebiasaan dan
keteladanan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan berperilaku tidak
terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan hidup orang tua
31
Aidil Fathi Abdillah, Membangun Masa Depan Anak, ( Solo: Pustaka Arafah,2012),
hal.56 32
Jarot Wijanarko, Mendididk Anak, ( Banten: Happy Holly Kids,2012), hal.11 33
Kadar M.Yusuf, Tafsir Tarbawi, ( Jakarta: Sinar Grafika Offset,2013), hal.152
64
adalah suatu hal yang sering anak lakukan karena memang pada masa
perkembangannya, anak selalu ingin menuruti apa-apa yang orang tua lakukan.
Anak ingin selalu meniru ini dalam pendidikan dikenal dengan istilah anak belajar
melalui imitasi.34
Masa anak merupakan suatu fase yang sangat penting dan berharga, dan
merupaakan masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia. Oleh
karenanya masa anak sering dipandang sebagai masa emas (golden age) bagi
penyelengaraan pendidikan. Masa anak merupakan fase yang sangat fundamental
bagi perkembangan individu karena pada fase inilah terjadinya peluang yang
sangat besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang.35
Pendidikan in-formal terutama berlangsung ditengah keluarga. Keluarga
adalah satu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki manusia yang bertempat tinggal
dan ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi, mendidik, melindungi, dan
sebagainya. Penanaman nilai ilahiyah dilakukan terutama dirumah oleh orang tua
dan anak. Orang tua adalah pendidik utama dan pertama. Utama karena pengaruh
mereka amat mendasar dalam kepribadian perkembangan anaknya, pertama karena
orang tua orang pertama dan paling banyak melakukan kontak dengan anaknya.36
Proses pendidikan dalam keluarga merupakan tonggak awal keberhasilan
proses pendidikan selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam lingkungan
34
Syaiful Bahri Djamarah., Op.Cit., hal.54 35
Franc. Andri Yanuarita, Rahasia Otak dan Kecerdasan Anak, ( Yogyakarta: Teranova
Book, cet 1, 2004), hal. 51 36
Rusmaini, Ilmu Pendidikan, ( Yogyakarta: Pustaka Felicha, 2013), hal.50
65
masyarakat. Demikian pula sebaliknya, kegagalan pendidikan keluarga akan
berdampak pula pada keberhasilan proses pendidikan anak selanjutnya.37
Orang tua, ayah dan ibu harus sepaham dalam mendidik anak, kekompakan
mutlak diperlukan agar dapat mengasuh lebih baik. Mereka harus merundingkan
segala aturan dan disiplin dalam rumah tangga. Pertentangan dan
ketidaksepahaman hanya akan membingungkan anak dan simpati anak anak
berkurang. Apabila kedua orang tua terpecah, berselisih paham maka anak juga
akan terpecah perhatiannya. Hingga ia akan mempunyai kecenderungan kepada
salah satunya saja. Perbedan pendapat tidak semestinya terlampau diperlihatkan di
depan anak-anak yang belum memahami banyak hal. Setelah anak mulai mengerti
dan memahami kenyataan, baru boleh dijelaskan perbedaan-perbedaan itu, hingga
anak paham bahwa perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan.38
Pendidikan
anak paling banyak dilakukan dalam rumah tangga maka suasana rumah tangga
harus selalu dijaga dalam keadaan harmonis, penuh cinta dan kasih sayang. Rumah
tangga harus dibuat sebagai istananya semua anggota keluarga. Sabda Rasulullah
SAW dalam salah satu haditsnya: “Rumahku adalah Istanaku”.39
37
Ibid. 38
Moehari Kardjono, Tuntunan dalaam Mendidik dan Mempersiapkan Anaak Cerdas dan
Berakhlak Islami, ( Jakarta: Qisthi Press, 2008), hal. 67 39
Ibid, hal.160
66
2. Orang Tua dan Anak dalam Keluarga
Orang tua dan anak adalah satu ikatan dalam jiwa. Dalam keterpisahan raga,
jiwa mereka bersatu dalam ikatan keabadian. Tidak seorang pun dapat mencerai
beraikannya. Ikatan itu dalam bentuk ikatan emosional antara anak dan orang tua
yang tercermin dalam perilaku. Orang tua dan anak dalam satu keluarga memiliki
kedududkan yang berbeda. Dalam pandangan orang tua, anak adalah buah hati dan
tumpuan dimasa depan yang harus dipelihara dan di didik. Memeliharanya dari
segala marabahaya dan mendidiknya agar menjadi anak yang cerdas. Itulah sifat
fitrah orang tua. Sedangkan sifat-sifat fitrah orang tua yang lainnya, seperti
diungkapkan oleh M.Thalib, adalah senang mempunyai anak, senang anak-
anaknya shaleh, berusaha menempatkan anak ditempat yang baik, sedih melihat
anaknya lemah atau hidup miskin, memohon kepada Allah bagi kebaikan anaknya,
lebih memikirkan keselamatan anak, senang mempunyai anak yang bisa
dibanggakan, menghendaki anaknya berbakti kepadanya. Sedangkan diantara tife-
tife orang tua menurut M.Thalib adalah penyantun dan pengayom, berwibawa dan
pemurah, lemah lembut, dermawan, egois, emosional, mau menang sendiri dan
kejam.40
Menurut Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip pokok,
yaitu:41
40
Syaiful Bahri Djamarah., Op.Cit., hal.28 41
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penangan Konflik dalaam
Keluarga, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal. 19
67
a). Interaksi, orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang
menciptapkan suatu hubungan. Berbagai interaksi tersebut membentuk
kenangan interaksi dimasa lalu dan antisipasi terhadap interaksi
dikemudian hari.
b). Kontribusi mutual, orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan
dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi keduanya.
c). Keunikan, setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua
pihak, dan karenanya tidak ditirukan dengan orang tua, atau dengan
anak yang lain.
d). Penghargaan masa lalu, interaksi orang tua-anak yang telah terjadi
membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya.
e). Antisipasi masa depan, karena relasi orang tua dan anak bersifat kekal,
masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam
hubungan keduanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya orang tua dan anak dalam
keluarga merupakan satu kesatuan atau ssatu ikatan jiwa yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, dan didalam hubungan antara
keduanya, orang tua dan anak terdapat interaksi yang baik dalam keluarga.
3. Fungsi Keluarga
Keluarga pada hakekatnya adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami-isteri, isteri dengan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dan
anaknya. Selanjutnya menurut Syaiful Bahri Djamarah meyebutkan bahwa fungsi
keluarga itu berkaitan langsung dengan aspek-aspek keagamaan, budaya, cinta
kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan
pembinaan lingkungan.42
42
Ibid, Hal.22
68
Keluarga merupakan lembaga utama bagi pembentukan aqidah anak, karena
keluarga adalah struktur masyarakat terkecil dalam kehidupan bermasyarakat.
Kualitas keluarga berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat.43
Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara
fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih
sayang, perlindungan dan identitas bagi anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi
yang penting bagi masyarakat dari generasi kegenerasi.44
Menurut Berns, keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu:45
a) Reproduksi, keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan
populasi yang ada dalam masyarakat.
b) Sosialisasi / edukasi, keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai,
keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari
generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
c) Penugasan peran sosial, keluarga memberikan identitas pada
anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran
gender.
d) Dukungaan ekonomi, keluarga menyediakan tempat berlindungan,
makanan, dan jaminan kehidupan.
e) Kehidupan emosi / pemeliharaan, keluarga memberikan pengalaman
interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi
bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga
memberikan daya tahan kepada anak.
Dalam perspektif perkembangan fungsi penting dari keluarga adalah,
melakukan perawatan, dan sosilaisasi pada anak. Sosialisasi merupakan proses
43
Rusmaini, Ilmu Pendidikan, ( Palembang: CV. Grafika Telindo Press, 2011), hal.58 44
Sri Lestari., Op.Cit., hal. 22 45
Ibid.
69
yang ditempuh anak untuk memperoleh keyakinan, nila-nilai perilaku yang
dianggap perlu dan pantas oleh anggota keeluarga dewasa, terutama orang tua.46
4. Tujuan Pendidikan Anak dalam Keluarga
Apapun yang diciptakan oleh Allah SWT di dunia ini tidak ada yang sia-sia,
ada manfaatnya, ada tujuannya termasuk penciptaan manusia. Hal ini terdapat
dalam salah satu firmannya dalam QS. Adzariyat ayat 56:
نس إل ليعبدون وما خلقت الجن وال
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku” ( QS. Adzariyat:56)47
Dari ayat diatas jelas, bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah
terciptanya manusia hanya mengabdi kepada Allah SWT. Dan tujuan pendidikan
keluarga hendaknya mengarah kesana, yaitu terciptanya insan mengabdi, yang
hanya mengabdikan diri kepada Allah SWT. Kamrani Buseri mengatakan bahwa
tujuan pendidikan keluarga adalah untuk mewujudkan keluarga ideal, guna
terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah atau menjadi keluarga
yang tentram, saling mengasihi, dan saling menyayangi sehingga menjadi keluarga
yang sejahtera dan bahagia.48
46
Ibid. 47
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro,2014), hal.
523 48
Syaiful Bahri Dajamah., Op.Cit., hal.25
70
Selanjutnya dijelaskan bahwasanya tujuan pendidikan anak dalam keluarga
adalah pembentukan akhlakul karimah pada anak tentunya hal itu dimulai sejak
awal membina rumah tanggga. Kemudian tujuan pendidikan anak dalam keluarga
yang selanjutnya adalah pembentukan akidah anak.49
Proses penanaman akhlak al-
karimah secara bertahap meliputi:50
a. Memberinya dengan nama yang baik.
b. Melaksanakan aqiqah.
c. Mengkhitankan anak.
d. Memberi pendidikan dan pengajaran, terutama pendidikan agama.
e. Membiasakan anak dengan akhlak mulia.
f. Membiasakan anak mengerjakan shalat sejak usia dini.
g. Menjodohkan dan mengawinkannya.
h. Memberikan perlakuan yang baik dan adil kepada anak-anak.
Selanjutnya Proses pembentukan akidah anak meliputi: 51
1). Mengenalkan konsep-konsep atau nilai-nilai agama kepada anak melalui
bahasa, seperti pada saat memberi makan, memyusui, memandikan,
membedaki, memakaikan pakaian kepada anak maka ucapkanlah
basmallah, dan bacalah hamdalah, setelah selesai.
2). Memperlakukan anak dengaan kasih sayang. Hal ini penting karena pada
usia ini belum berkembang pemahaman akan kasih sayang Tuhan.
Melalui kasih sayang orang tua, anak akan menaruh sikap percaya
kepada orang tua, dan bersikap positif terhadap apa yang akan
disampaikan orang tuanya. Sikap-sikap ini akan membawa pengaruh
yang sangat besar terhadap kesadaran beragama anak.
3). Memberi contoh dalam mengamalkan ajaran agama secara baik. Karena
anak memiliki kemampuan mengimitasi penampilan atau perbuatan
orang tuanya. Karena orang tua harus tampil sebagai figur yang
memberi teladan dalam mengamalkan nilai-nilai agama pada anak.
49
Rusmaini., Loc.Cit., hal.50 50
Ibid. 51
Zuhdiyah, Psikologi Agama, ( Yogyakarta: Pustaka Felicha, 2012), hal. 61
71
Keteladanan itu seperti sopan santu, mengamalkan shalat, berdo’a, tutur
kata sopan, menjaga kebersihaan dan sebagainya.
5. Posisi Anak dalam Keluarga
Dalam Islam posisi anak dalam keluarga, anak tidak boleh hanya diakui
sebagai amanah Allah SWT, tetapi juga sebagai harapan (dambaan, penyejuk
mata, dan hiasan dunia).52
a). Anak sebagai Amanah Allah
ن أزو اجكم ن أنفسكم أزواجا وجعل لكم م وهللا جعل لكم م
يكفرون ٢٧ ن الطيبات أفبالباطل يؤمنون وبنعمت هللا هم زقكمور م بنين وحفدة
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu, dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”. (QS.An-
Nahl:72)53
Pada hakikatnya anak adalah amanah dari Allah SWT, amanah artinya
kepercayaan. Jadi anak adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah kepada
orang tua yang dititipi untuk melakukan tugas-tugas dari pemberi amanah. Proses
amanah Allah SWT kepada kedua orang tua adalah semenjak anak masih dalam
52
Syaiful Bahri Djamarah., Op.Cit., hal.26 53
Departemen Agama RI., Op.Cit., hal.274
72
janin, lahir, dan menjelang dewasa, bahkan menjelang mampu untuk beristeri bagi
anak lelaki, atau bersuami bagi anak perempuan.54
b). Hak anak sebagai harapan (dambaan, penyejuk mata, dan hiasan dunia)
سميا٢ رك بغلم اسمه يحيى لم نجعل له من قبل يا زكريا إنا نبش
قد بلغت من ا الكبر كانت امر أتي عاقر و م و عتيا٨ أن ى يكون لي غل
Artinya: “Hai Zakaria, Sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu
dengan seorang anak laki-laki namanya Yahya, yang sebelumnya Kami
belum pernah memberikan nama seperti sebelumnya. Dan Zakaria
berkata, “Ya Tuhan-ku bagaimana aku akan mempunyai anak, padahal
isteriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah
mencapai usia yang sangat tua”. (QS.Maryam:7-8)55
Ayat diatas memberikan kabar gembira atas sesuatu yang didambakan Nabi
Zakaria adalah profil manusia ideal yang dikisahkan di dalamnya. Di dalam
sejarah kemanusiaan, Nabi Zakaria sangat mendambakan anak sebagai penerus
keterunannya. Akan tetapi, cukup lama berumah tangga belum juga mendapatkan
anak. Nabi Zakaria tidak pernah putus asa dan Allah maha mendengar,
pengulangan do’a-do’a yang dipanjatkan Nabi Zakaria akhirnya dikaabulkan oleh
Allah SWT dengan memberinya anak bernama Yahya, yang setelah dewasa
menjadi nabi, menggantikan kedudukan ayahnya, Nabi Zakaria. Pada hakikatnya
54
Syaiful Bahri Djamarah., Op.Cit., hal.28 55
Departemen Agama RI., Op.Cit.,hal.305
73
setiap pasangan suami-isteri pasti mendambakan seorang anak.56
Dengan demikian
dari kedua ayat diatas menggambarkan bahwa anak adalaah penyejuk mata hati
dan perhiasan hidup bagi kedua orang tuanya. Anak adalah permata jiwa belahan
jiwa kedua orang tua, tumpuan harapan dihari tua.
6. Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak
Keluarga adalah suatu institusi yang terbentuk karena ikatan perkawaninan
antara sepasang suami isteri untuk hidup bersama, seia sekata, seiring, dan
setujuan, dalam membina mahligai rumah tangga untuk mencapai keluarga
sakinah dalam lindungan Allah SWT. Di dalamnya selain ada ayah dan ibu, juga
ada anak yang menjadi tanggung jawab orang tua.57
Tidak diragukan lagi bahwa pendidikan anak merupakan tanggung jawab
bersama kedua orang tua. Seorang isteri tidak sepatutnya melarang suaminya
untuk ikut membantunya dalam mendidik anak.58
Tanggung jawab orang tua
terhadap anaknya tampil dalam bentuk yang bermacam-macam. Secara garis besar
tanggung jawab orang tua terhadap anaknya adalah bergembira menyambut
kelahiran anak, memberi nama yang baik, memperlakukan dengan lembut dan
kasih sayang, menanamkan rasa cinta sesama anak, memberikan pendidikan
akhlak, menanamkan akidah tauhid, melatih anak mengerjakan shalat, berlaku
adil, memperhatikan teman anak, menghormati anak, memberi hiburan, mencegah
56
Syaiful Bahri Djamarah., Op.Cit., hal.30 57
Ibid., hal.28 58
Hasan Syamsyi Basya, Cara Jitu Mendidik Anak, ( Jakarta: Zikrul Hakim, 2010), hal.20
74
perbuatan bebas, menjauhkan anak dari hal-hal porno, menempatkan dalam
lingkungan yang baik, memperkenalkan kerabat kepada anak, mendidik
bertetangga dan bermasyarakat.59
7. Metode Mendidik Anak yang diajarkan Rasulullah SAW
Metode atau metoda berasal dari bahasa Yunani. yaitu metha dan methos.
Yang berarti melewati dan jalan atau cara. Hasan Langulung mengemukakan
bahwa metode mengajar adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai
tujuan pembelajaran.60
Metode merupakan salah satu komponen pendidikan yang cukup penting
untuk diperhatikan. Penyampaian materi dalam arti penanaman nilai-nilai
pendidikan sering gagal karena cara yang digunakannya kurang tepat. Penguasaan
pendidik terhadap materi belum cukup dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu
proses pembelajaran.61
Mengingat akan pentingnya hal tersebut, maka metode
menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam mendidik.
Rasulullah merupakan suami yang luar biasa, ayah yang sempurna dan
kakek yang istimewa. Rasulullah istimewa dalam banyak hal. Rasulullah
memperlakukan anak-anak dan cucu-cucunya dengan kasih sayang yang besar,
dan tidak pernah lupa untuk membimbing mereka menuju akhirat dan mengajak
beramal baik. Rasulullah tersenyum kepada mereka, merawat dan mencintai
59
Ibid. 60
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Amzah,2010), hal. 180 61
Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, ( Bandung: Alfabeta, 2009),
hal.75
75
mereka, tetapi tidak membiarkan mereka lupa pada hal-hal yang berkaitan dengan
akhirat. Dalam persoalan-persoalan duniawi, Rasulullah sangat terbuka tetapi jika
berhubungan dengan Allah SWT, Rasulullah sangat serius dan bermartabat.
Rasulullah menunjukkan kepada mereka bagaimana menajalani hidup secara
manusiawi dan tidak pernah membiarkan mereka mengabaikan kewajiban-
kewajiban agama dan menjadi manja. 62
Tujuan utama Rasulullah yaitu mempersiapkan mereka untuk hari kemudian.
Keseimbangannya yang sempurna dalam soal-soal itu adalah dimensi lain dari
inteleknya yang diilhami oleh ilahi. Rasulullah SAW sangat seimbang dalam
membesarkan anak-anaknya. Rasulullah SAW sangat mencintai anak-anak dan
cucu-cucunya. Tak satupun dari mereka yang secara sengaja berani berbuat
kekeliruan. Jika mereka membuat kesalahan yang tak disengaja, perlindungan
Rasulullah mencegah mereka untuk menyimpang. Rasulullah SAW melakukan ini
dengan menaungi mereka dengan cinta dan aura kehormatan. Misalnya, pernah
Hasan dan Husain ingin makan sebutir korma yang hendak dibagikan kepada
kaum miskin sebagai zakat. Rasulullah segera mengambil dari tangannya dan
berkata, “segala sesuatu yang diberikan sebagai zakat dilarang untuk kita.” Dalam
mengajari mereka yang masih muda agar sensitif terhadap perbuatan yang
dilarang, Rasulullah SAW menetapkan prinsip pendidikan yang penting. 63
62
M Fethullah Gulen, Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hal.176 63
Ibid, 176
76
Setiap kali Rasulullah kembali ke Madinah, Rasulullah SAW akan
menggendong puteranya di punggungnya. Pada kesempaatan itu Rasulullah tidak
hanya memeluk cucunya tetapi juga cucu-cucu di rumah sekitarnya. Rasulullah
menaklukkan hati dengan kasih sayangnya. Rasulullah mencintai semua anak-
anak. Rasulullah SAW mencintai dan mendidik mereka menuju akhirat, ke dunia
keindahanan abadi dan kepada Allah SWT.64
Rasulullah merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin dia
ajarkan melalui dengan tindakannya, dan kemudian menerjemahkan tindakannya
kedalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah, bagaimana bersikap sederhana,
bagaimana duduk dalam shalat dan doa, bagaimana sujud dengan perasaan,
bagaimana tunduk, bagaimana menangis kepada Allah di tengah malam, semuanya
ini dia lakukan dulu dan kemudian baru mengajarkannya kepada orang lain.
Sebagai hasilnya, apapun yang dia ajarkan diterima dengan segera di dalam
keluarganya dan oleh para pengikutnya, karena ucapannya menembus ke hati
mereka. Setelah dia, manusia memandang standarnya di bawah di mana-mana oleh
orang-orang yang naik dengan kewalian, penyucian, ketaatan kepada Allah SWT,
dan keinginan untuk dekat dengannya kapan saja mereka pergi. Mereka berjalan di
dalam jejak nabi Muhammad, yang lainnya akan melakukannya di masa depan.65
Perilaku Rasulullah SAW memberi inspirasi dan berkah kepada setiap orang
disekelilingnya. Anak-anak dan isteri dari Rasulullah juga merasa kagum dan
64
Ibid, 176 65
Ibid, 197-198
77
takut, ketika Rasulullah berkhutbah, memberi perintah, dan menyampaikan apa-
apa yang mereka alami dan dilakukan, dan memberi contoh melalui tindakan
mereka. Kita dapat menilai dampak seseorang melalui perilakunya di rumah. Jika
semua ahli pendididikan berkumpul dan menyatukan semua pengetahuan mereka
tentang pendidikan, mereka tidak sefektif seorang nabi. Nabi Muhammad SAW
memberi contoh terbaik bagi umatnya dalam hal iman, ibadah, dan akhlak yang
baik, dalam semua aspek kehidupan. 66
Metode mendidik anak yang Rasulullah ajarkan ada 7 yaitu:67
a. Metode Mendidik Cara Rasulullah SAW melalui “Keteladanan”
1). Keteladanan Akidah
Akidah Islam memiliki enam pokok keimanan atau yang bisa disebut dengan
“Rukun Iman”. 6 rukun iman tersebut adalah beriman kepada Allah SWT, beriman
kepada malaikat-malaikat-Nya, beriman kepada kitab-Nya, beriman kepada Rasul-
Nya, beriman kepada yaumil akhir, beriman kepada qadha serta qadar baik
ataupun buruk.
Apabila kita cermati lagi, ke-6 rukun iman tersebut bersifat ghaib atau
abstrak. Karena makna keimanan itu sendiri bukanlah hal yang zahir atau bisa
dilihat. Rasulullah SAW mengajarkan 5 pilar dalam menanamkan akidah ada usia
dini di antaranya:
66
Ibid, hal.198-207 67
Ayu Agus Rianti, Cara Rasulullah SAW Mendidik Anak, ( Jakarta: Gramedia, 2016),
hal.95-223
78
a). Mendiktekan kalimat Tauhid kepada Anak
Sejak pertama kali mendapatkan amanah risalah, Rassulullah SAW. Tidak
pernah mengecualikan anak-anak dalam dakwahnya. Rasulullah SAW berangkat
menemui Ali bin Abi Thalib, yang pada saat itu belum genap berusia 10 tahun.
Beliau mengajaknya untuk beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ali
akhirnya mengikuti ajaran Nabi dan dengan setia menemani beliau dalam
melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi di lembah Mekkah, sehingga
tidak diketahui oleh keluarga bahkan ayahnya sekalipun.
b). Menghadirkan Allah dalam Kehidupan
Orang tua dan pendidik berkewajiban menjaga fitrah anak dari segala bentuk
penyimpangan akidah dan kesyirikan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang
menggantungkan jimat atau jampi-jampi. Rasulullah SAW mengajarkan agar sejak
dini anak dibiasakan untuk berserah diri atau berpegang teguh hanya kepada Allah
SWT. ingatkan anak terus akan kebaikan-kebaikannya yang telah Allah SWT
berikan padanya. Karena kebaikan-Nya terhadap hamba-Nya sesungguhnya hati
seseorang akan cenderung untuk mencintai siapa saja yang telah berbuat baik
padanya.
c). Mencintai Nabi, Sahabat, dan Keluarga Beliau
Mencintai Rasulullah SAW termasuk bagian dari cinta kepada Allah SWT.
Sesungguhnya belum dikatakan beriman kecuali setelah mencintai Allah SWT dan
Rasul-Nya.
79
Beri pemahaman kepada anak-anak tentang sifat-sifat terpuji yang bisa kita
teladani dan sejarah hidup Rasulullah SAW. Diantaranya adalah memiliki rasa
belas kasihan terhadap anak dan orang yang lebih muda, bahkan terhadap
pembaantu. Kenalkan pula dengan figur sahabat-sahabat beliau yang mulia.
Dengan menceritakan risalah atau sejarah perjalanan hidup Rasulullah SAW, maka
anak-anak akan mengetahui bagaimana figur Rasul dalam berperilaku, berakhlak,
dan beribadah, sehingga akan membekas dalam jiwa anak-anak dan hatinya
terpanggil untuk mencintai Rasulullah SAW.
d). Mengajarkan Al-Qur’an Sejak Dini
Agar anak meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhannya, maka orang tua
dan pendidik perlu mengajarkan Al-Qur’an sejak mereka masih kecil. Selain itu,
anak akan mengetahui bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT, dengan
demikiam ruh Al-Qur’an akan masuk ke dalam hatinya dan cahaya Al-Qur’an
akan menerangi pikiran, pemahaman, dan perasaannya. Saat anak-anak dewasa,
mereka akan mencintai Al-Qur’an dan melaksanakan perintah-perintah dan
menjauhi larangan-larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, serta berakhlak sesuai
dengan akhlak yang diperintahkan Al-Qur’an. Tugas mulia nan berat ini sungguh
setimpal dengan pahala dari Allah SWT kepada orang tua atau pendidik yang
mengaajarkan Al-Qur’an.
e). Menanamkan Akidah yang Kuat dan Rela Berkorban Karena-Nya
Mendidik anak agar yakin dengan akidahnya, akan melahirkan sikap rela
berkorban karenanya. Semakin besar keyakinan seorang muslim dengan
80
akidahnya, maka semakin besarlah pengorbanannya. Semakin besar pengorbanan
seseorang terhadap akidahnya, berarti semakin konsisten dengan akidahnya.
Sesungguhnya di dalam pengorbanan seorang muslim terhadap keimanannya,
niscaya ia akan merasakan manisnya iman dan bertambah kadar ketaqwaannya.
Seorang anak dapat pula merasakan hal seperti itu, tentu dengan dibantu oleh
orang tua dan pendidik. Mulai dari ibadah rutin, misalnya shalat. Saat anak sedang
asyik menonton film kartun kesukaannya dan di saat yang bersamaan adzan
berkumandang. Ingatkan anak untuk mematikan televisi dan mendengarkan adzan
untuk melaksanakan shalat. Tentu anak akan protes dan lebih memilih
melanjutkan menonton. Namun, sebagai orang tua tidak boleh menyerah. Ingatkan
anak-anak, bahwa mereka harus berkorban meninggalkan keasyikannya menonton
televisi untuk menunaikan shalat. Ungkapan bahwa kecintaan kita kepada Allah
SWT, harus dibuktikan dengan perbuatan, salah satu caranya dengan
mengorbankan waktu menonton anak. Jika anak melakukan apa yang kita
anjurkan, beri pujian. Katakan bahwa Allah SWT maha melihat apa yang sudah
dilakukan anak dan akan diberi balasan yang setimpal. Orang tua dan pendidik
perlu juga menceritakan kisah-kisah nabi, agar anak semakin yakin dengan
akidahnya.
2). Keteladan dengan Ibadah
Pembiasan ibadah merupakan bagian dari pembentukan akidah pada anak.
Ibadah adalah bentuk aplikasi dan visualisasi dari akidah yang dinut. Ketika anak
memenuhi panggilan Tuhan-nya dan menuruti perintah-Nya, maka pada saat itulah
81
dia telah memenuhi fitrah yang ada dalam dirinya, sehingga dia telah merasa
tenang.
Masa kanak-kanak bukanlah saat yang tepat untuk mewajibkan anak
melakukan ibadah. Pada masa tersebut, anak hanya dipersiapkan dan dibiasakan
untuk melakukan ibadah, agar kelak mereka sudah baligh mudah menunaikan
kewajiban-kewajibannya dalam beribadah.
a). Shalat
tahapan pembinaan ibadah shalat bagi anak dibagi menjadi beberapa tahap
sebagai berikut:
1) tahap mengajarkan shalat pertama kali
Islam sangat memperhatikan perkembangan mental anak sebelum
memberikan suatu perintah. Untuk memerintah anak agar mengerjakan shalat
maka anak tersebut harus sudah mampu membedakan antara kanan dan kiri.
2) tahap melatih mengerjakan shalat
Idealnya seorang anak baru dilatih mengerjakan shalat secara rutin setelah
berussia 7 tahun. Pada saat menginjak usia 10 tahun, orang tua diperbolehkan
untuk “memukul” anak sepanjang tidak membahayakan fisik maaupun psikisnya
dalam rangka mengajarkan disiplin pada anak.
3) tahap melatih disiplin shalat anak
Orang tua wajib melatih disiplin anak dalam mengerjakan shalat. Pada
tahapan ini anak harus diberi pemahaman terlebih dahulu bahwa tujuan memukul
di sini adalah untuk kebaikan anak, dan bukan menyakitinya. Setan akan terus
82
menerus berusaha memengaruhi anak sejak masih dini. Dan bila sudah berusia 10
tahun belum melaksanakan shalat juga, maka setan akan semakin memengaruhi si
anak. Untuk mencegah hal ini, maka anak wajib melaksanakan shalat.
4) tahap melatih shalat jum’at
Shalat jum’at adalah salah satu kewajiban muslim, dan hal tersebut harus
diajarkan sejak masih kecil.
b). Zakat
Zakat merupakan ibadah yang mengandung unsur-unsur pendidikan terhadap
jiwa karena memprioritaskan orang lain. Di dalam perintah zakat mengandung
tanggung jawab sosial sekaligus unsur kebersamaan di antara manusia. Dengan
kata lain, melalui perintah zakat, Islam telah mengatur kehidupan manusia dalam
bidang ekonomi.
Mengajarkan anak berzakat, berarti mendidik anak untuk berbagi dan peduli
dengan kaum yang lemah. Tekankan pada anak, bahwa harta yang kita miliki,
terdapat hak fakir miskin, berzakat tidak membuat seseorang menjadi miskin,
karena digunakan untuk membantu orang lain. Zakat dapat menumbuhkan rasa
kasih sayang antara yang kaya dan fakir. Mengurangi kesenjangan sosial serta
mengikis sikap serakah yang cenderung dimiliki setiap manusia.
c). Puasa
Ibadah puasa sangat berkaitan dengan makna spiritualitas dan fisik.
Berpuasa mengajarkan anak bersikap ikhlas yang sesungguhnya hanya kepada
Allah SWT semata. Puasa juga melatih anak untuk menahan hawa nafsu serta
83
membiasakan diri bersikap sabar dan tabah. Para sahabat pun telah mendidik anak-
anak mereka untuk melaksanakan ibadah puasa.
Allah SWT mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan disebutkan hikmah di
baliknya. Puasa dapat membebaskan manusia dari pengaruh hawa nafsu dan
membantu manusia untuk manaklukkan syahwatnya.
d). Haji
Apabila anak sudah berusia baligh, maka si anak berkewajiban untuk
melaksanakan ibadah haji jika mampu. Ibadah haji yang dilakukan pada usia
baligh dianggap sebagai ibadah sunnah.
3). Keteladanan dengan Muamalah
Hal-hal yang ditekankan Rasulullah SAW dalam pembentukan muamalah
atau interaksi sosial pada anak-anak sebagai berikut:
a). Mengajak anak untuk hadir dalam forum-forum orang dewasa. Pada zaman
Rasulullah SAW, para orang tua kerap mengajak anak-anak mereka
menghadiri majelis orang dewasa. Hal ini bertujuan, agar anak dapat belajar
akhlak, adab, ataupun etika, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari
orang dewasa.
b) Membiasakan anak membantu urusan rumah tangga. Melibatkan anak dalam
urusan rumah tangga akan memberikan dampak positif dalam proses tumbuh
kembangnya. Pekerjaan seperti, menyapu, mengepel, merapikan kamar tidur,
dan lain ssebagainya, akan membentuk kemampuan, keahlian, dan rasa
percaya diri yang tinggi pada anak
84
c). Membiasakan anak memberi salam. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tentu
menemui banyak orang dengan berbagai tingkatan usia dan posisinya di
masyarakat. Untuk itu, mereka membutuhkan salam sebagai kunci pembuka
untuk berinteraksi dengan mereka. Orang tua dan pendidik hendaknya
membiasakan salam pada anak-anak, baik di rumah maupun tempat-tempat
umum lainnya. Ajarkan pada anak-anak, bahwa salam merupakan ucapan
Islami antara sesama kaum muslimin.
d). Mengunjungi orang sakit. Dengan mengunjungi keluarga ataupun keluarga
yang sakit, anak akan belajar persaudaraan dan ikatan kekerabatan yang
tinggi. Jika anak melihat orang dewasa menjenguknya di saat sakit, maka dia
akan membiasakan diri untuk melakukan hal-hal yang serupa. Di samping itu,
menjenguk orang yang sakit dapat menimbulkan efek psikologis, sehingga
mempercepat kesembuhannya, insha Allah.
e). Memilihkan teman yang baik bagi anak. Meskipun anak perlu diberi kebebasan
untuk berteman dengan anak seusianya, namun orang tua dan pendidik
hendaknya dapat mengarahkan mereka agar memilih teman yang baik dan
saleh.
f). Membiasakan anak untuk berlatih tata cara jual beli. Kemampuan Rasulullah
SAW dalam berniaga sesungguhnya sangat baik jika diajarkan pada anak-
anak. Dalam kegiatan jual beli, anak-anak tidak hanya dikenalkan pada
kegiatan yang berbasis ekonomi, namun juga interaksi sosial, karena mereka
berinteraksi dengan banyak orang. Semakin sering anak berinteraksi dengan
85
orang banyak, maka semakin percaya dirilah mereka. Selain itu, aktivitas jual
beli dapat mendidik anak untuk bersungguh-sungguh dalam suatu masalah
dan meninggalkan sikap main-main atau ceroboh.
g). Mengajak anak menginap di rumah kerabat yang saleh. Melaui aktivitas ini
anak belajar silaturahmi dan mengunjungi kerabat, sehingga terjalin rasa cinta
kasih terhadap saudara. Anak juga mendapat pengetahuan dan wawasan dalam
beribadah dari orang-orang yang patut dijadikan teladan.
b. Metode Mendidik Cara Rasulullah SAW melalui “Menasehati”
Menasehati juga menjadi salah satu metode dakwah Rasulullah SAW yang
efektif. Ini menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW mengedepankan lisan dalam
mensyiarkan Islam. Walaupun, pada masa itu Nabi Muhammad SAW hidup di
tengah-tengah komunitas yang menganut fanatisme kesukuan, biadab, serta
berperikemanusiaan. Namun, nyatanya Islam dapat berkembang dengan begitu
pesat.
Kesuksesan dakwah Rasulullah ini disebabkan dua faktor, yaitu uswah
hasanah (teladan yang baik) serta tradisi menasihati. Teladan dan tradisi
menasihati, hendaknya juga digunakan oleh orang tua dan pendidik dalam
mendidik anak. Nasihat akan memiliki dampak perubahan pada perilaku anak,
jika disertai dengan teladan dan bukan ucapan semata.
Agar nasihat yang disampaikan dapat efektif, berikut ini adalah adab-adab
yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menasihati orang lain.
86
1). Mempersiapkan kondisi psikis orang yang mau dinasihati
Salah satu adab menasihati yang diajarkan Rasulullah SAW adalah
menyiapkan kondisi psikis orang yang akan dinasihati sebelum nasihat
disampaikan. Dalam menasihati, berarti kita akan bersinggungan dengan jiwa,
hati, dan psikis seseorang, bukan dengan fisiknya. Hati dan jiwa perlu
dikondisikan terlebih dahulu, agar siap menerima nasihat yang diberikan.
2). Memulai nasihat dengan pujian
Rasulullah SAW sangat piawai dalam berkomunikasi. Beliau sangat
memahami bagaimana cara menyampaikan kebenaran dengan cara yang santun
dan menyenangkan kepada para sahabatnya.
Saat nabi ingin mengajarkan sebuah doa kepada Muadz ibn Jabal, beliau
tidak langsung memerintah Muadz untuk membaca doa tersebut, akan tetapi nabi
memulai nasihatnya dengan pujian kepada Muadz.
3). Beda usia, Beda Cara
Cara Rasulullah SAW menasihati para sahabatnya, berbeda satu dengan
lainnya. Ini disebabkan tiap orang memiliki karakter, usia, dan latar belakang yang
berbeda. Rasulullah SAW saja mau mengahargai perbedaan karakter para
sahabatnya, apalagi orang tua kepada anak-anaknya. Tiap anak tentu memiliki sifat
yang berbeda-beda. Orang tua atau pendidik perlu jeli melihatnya.
4). Menasihati tidak di depan orang banyak
Setiap anak memiliki harga diri yang harus dihormati oleh orang tua atau
pendidik. Semakin besar usia anak, semakin tinggi harga dirinya. Menasihati anak
87
usia sekolah dasar tentu berbeda dengan usia. Biasakan menasihati anak di tempat
tersembunyi yang tidak dapat dilihat orang banyak. Kalaupun terpaksa menasihati
anak di tempat umum, lakukan dengan kata-kata yang santun agar anak tidak
merasa dipermalukan.
Waktu yang tepat untuk menasihati anak yaitu:
a). Saat rekreasi atau dalam perjalanan
b). Saat makan
c). Ketika anak sakit
d). Sebelum anak tidur
e). Ketika anak sedang tidur
f). Setelah anak bangun tidur
g). Setelah anak mandi
h). Setelah anak shalat
i). Setelah anak membaca Al-Qur’an
j). Setelah anak berdoa
k). Setelah anak melakukan perbuatan baik kepada orang lain
l). Setelah anak meredam amarahnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Rasulullah SAW sangat memahami cara yang
positif dalam menangani kenakalan anak. Rasulullah SAW tidak pernah
membentak apalagi memukul, jika anak melakukan kesalahan. Sesungguhnya,
teriakan dan pukulan dapat memberikan efek negatif pada emosi anak.
88
c. Metode Mendidik Cara Rasulullah SAW melalui “Bersikap Adil”
Apabila orang tua sangat menyayangi anak yang paling saleh/salehah. Namun
demikian, hendaknya orang tua tidak mengekspresikan kecondongannya pada
salah satu anak tersebut dengan cara yang berlebihan. Selain menimbulkan
kecemburuan dari saudaranya yang lain, dapat pula menjerumuskan anak-anak ke
dalam kedurhakaan pada orang tua, akibat permusuhan di antara mereka, wal
‘iyadzu billah.
1). Adil dalam pemberian
Pemberian secara adil dalam bentuk apa pun hendaknya dipahami tidak secara
harfiah (semua orang mendapat bagian yang sama). Adil dapat berarti setiap orang
mendapatkan haknya secara proporsional. Sebagai contoh, orang tua yang
memberi uang jajan kepada anak-anaknya, tentu memperhatikan tingkat usianya.
Anak yang masih sekolah dasar, uang jajannya tidak akan sebanyak si kakak yang
duduk di bangku SMA. Orang tua dapat pula memberikan lebih kepada salah satu
anak disebabkan sebagai penghargaan baginya. Misalnya adik lebih rajin menyetor
hafalan surat dibandingkan kakak. Sebagai hadiahnya, adik mendapat hadiah lebih
banyak daripada kakak. Perlu kiranya memberi pengertian akan hal ini kepada
anak-anak, agar mereka tidak salah sangka. Islam pun melakukan hal demikian,
terutama dalam masalah hak waris. Anak laki-laki mendapat jatah lebih banyak
daripada anak perempuan, karena laki-laki adalah pemimpin keluarga yang
bertanggung jawab menafkahi istri dan anak. Harta warisan yang mereka dapat
diperuntukkan kepada orang yang lebih banyak. Sedangkan anak perempuan di
89
mana posisinya sebagai istri, tentu harta warisan yang diperoleh akan menjadi
miliknya sendiri.
2). Adil dalam pemberian konsekuensi / sanksi
Adakalanya anak bertengkar dengan saudaranya yang lain. Salah satu sikap
adil dalam mendidik adalah melerai pertengkaran, lalu memberikan konsekuensi
atau sanksi kepada pihak yang menzalimi dan memberi perlindungan kepada pihak
yang dizalimi. Jangan sampai karena ingin dianggap adil, orang tua memarahi
serta menghukum kedua belah pihak yang dizalimi. Jangan sampai karena
dianggap tidak adil, orang tua memarahi serta menghukum karena ingin dianggap
adil, orang tua memarahi serta menghukum kedua belah pihak. Sikap ini akan
memunculkan dendam di antara anak-anak. Oleh karena itu, orang tua dan
pendidik perlu mencari tahu terlebih dahulu akar permasalahan, sebelum bertindak
dan mengambil penyelesaian. Pemberian sanksi berlaku bagi semua anak, tanpa
terkecuali, namun yang membedakan adalah bentuk konsekuensi yang disesuaikan
dengan usia. Rasulullah SAW sendiri tidak pandang bulu dalam memberikan
sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran, bahkan kepada anaknya sendiri
Fatimah.
d. Metode Mendidik Cara Rasulullah SAW melalui “Memenuhi Hak-Hak Anak”
Islam mewajibkan dan mengatur pemenuhan hak-hak anak oleh orang tua
agar ia bisa tumbuh dengan sehat dan baik, serta terbebas dari segala bentuk
permasalahan yang mengakibatkan buruknya akhlak. Terpenuhinya hak-hak anak
90
akan memunculkan rasa percaya diri, kehormatan, kemuliaan, kemampuan untuk
menolong orang lain, cinta negara dan tanah air, serta membela Islam dalam jiwa
anak.
Sesuai dengan tuntutan dari Rasulullah SAW, hak-hak anak dalam ajaran
Islam adalah sebagai berikut:
1). Mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya
Setiap orang tua pasti memiliki kecenderungan untuk mencintai anak-
anaknya, memiliki kedekatan emosional, menyayangi, memiliki rasa belas
kasihan, dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan anak.
Andaikan Allah SWT tidak memberikan kecenderungan tersebut, niscaya
orang tua tidak akan bersabar dalam mengasuh, menjaga, mendidik, serta memberi
nafkah untuk memenuhi segala kebutuhannya. Allah SWT telah menjadikan anak
sebagai perhiasan bagi orang tua.
2). Mendapatkan nasab ayahnya
Nasab dalam hukum Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, karena
nasab merupakan legalitas hubungan kekeluargaan berdasarkan pertalian darah,
sebagai akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat
(zina).
Nasab juga berarti pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan
garis keturunan ayahnya, sehingga ia berhak memperoleh hak-hak akibat adanya
hubungan nasab tersebut. Namun demikian, anak boleh saja diasuh oleh keluarga
91
atau kerabat yang mau bertanggung jawab merawat dan memosisikannya sebagai
anak, bukan melalui proses adopsi, misalnya membantu memelihara anak yatim.
3). Mendapatkan hak hidup
Hak hidup merupakan hak dasar setiap umat manusia, berhubungan dengan
keberadaannya di muka bumi ini. Hak alamiah manusia ini merupakan nikmat
sebagai hak perogatif Allah SWT. Namun, terdapat beberapa peradaban yang
justru menghalangi manusia untuk memperoleh hak tersebut dengan alasan takut
miskin atau malu / aib. Ajaran Islam datang sebagai rahmat untuk seluruh umat
manusia, dengan melarang segala bentuk pembunuhan dan pertumpahan darah.
Islam memberikan hak hidup bagi anak dan mengancam orang yang menentang
ketetapan Allah SWT dengan berbagai ancaman.
4). Terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan nafkah
Tiap anak memiliki hak untuk hidup, maka dia juga berhak dipenuhi
kebutuhan sandang, pangan, dan nafkah. Apabila seorang ayah mendapatkan
pahala dan ganjaran karena sudah memberikan nafkah kepada keluarga, dan
sebaliknya seorang ayah akan mendapat dosa dan hukuman jika menelantarkan
anak serta keluarganya, sementara dia bisa memberi makan dan minum kepada
mereka.
Hal yang termasuk dalam menafkahi keluarga adalah menyediakan makanan
yang bergizi, tempat tinggal yang layak, serta baju atau pakaian yang layak dan
pantas untuk selurruh anggota keluarga, smapai dengan jaminan kesehatan bagi
92
seluruh anggota keluarga. Dalam hal ini kebutuhan akan sandang atau pakaian,
Islam mewajibkan agar anak laki-laki maupun perempuan, diberi pakaian yang
dapat menutupi auratnya.
5). Mendapatkan perlakuan adil dan tidak pilih kasih
Ajaran Islam tidak pernah membedakan antara anak laki-laki dan perempuan
untuk mendapatkan kasih sayang dan memperoleh pendidikan dari kedua orang
tuanya. Kalaupun ditemukan orang tua yang mengutamakan antara anak laki-
lakinya, maka hal tersebut semata-mata karena karena pengaruh adat istiadat dari
masyarakat jahiliah.
Allah SWT telah menciptakan kaum lak-laki dan perempuan serta
menjadikan bentuk mereka berbeda satu dengan lainnya. Allah SWT juga
membekali keduanya dengan ajaran yang harus dilaksanakan dalam menjalani
kehidupan, perbedaan tersebut menjadikan keduanya saling melengkapi dan
menyempurnakan kekurangan masing-masing. Sama halnya dengan kaum laki-
laki, kaum perempuan juga dianugerahi akal yang memiliki kemampuan untuk
memberdayakan diri menjadi makhluk Allah yang berguna di muka bumi ini.
Kemampuan ini semakin meningkat seiring kedewasaan akal dan pikirannya.
Oleh sebab itu, baik anak laki-laki maupun anak perempuan harus
ditumbuhkan kemampuannya, terutama ketika mereka sudah menginjak masa
murahaqah (mendekati baligh). Pada masa itu karakter pribadi mereka sudah
mulai tampak. Seorang laki-laki sudah mulai menampakkan karakter dirinya
93
sebagai ayah. Begitu pula perempuan, akan tampak karakternya sebagai seorang
ibu. Dengan demikian, menjadi sebuah keutamaan bagi seorang pemudi agar
mendalami ilmu keagamaan secara detail, baik dalam soal akidah, syariah,
maupun ibadah.
e. Metode Mendidik Cara Rasulullah SAW melalui “Mendoakan”
Doa adalah inti dari ibadah. Karena dengan berdoa berarti kita mengakui
Allah Azza Wa Jalla sebagai satu-satunya tempat berlindung dan memohon
pertolongan. Tidak mungkin seorang muslim berdoa, jika dia tidak yakin bahwa
Allah SWT dapat menolongnya. Oleh karena itu, mengajarkan anak berdoa dan
mendoakan mereka merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam akidah islamiah.
Anak yang terbiasa berdoa, maka dapat dipastikan lurus dan kokoh akidahnya.
Pada zaman Rasulullah SAW anak-anak sudah mencapai kematangan dalam
berperilaku dan berkomunikasi dengan orang dewasa. Tentu ini berkat metode
mendidik dengan uswah hasanah dan membiasakan nasihat-menasihati sesama
muslim, sehingga anak-anak pada zaman itu tidak mengalami krisis teladan dari
orang tua dan para pemimpin. Setelah orang tua dan pendidik menanamkan nilai-
nilai akidah pada anak, ajarkanlah dia untuk senantiasa berdoa, memohon hanya
kepada Allah SWT. Agar anak tidak hanya sekedar menghafal amalan doa yang
diajarkan orang tua, jelaskan manfaat yang akan didapat dalam berdoa. Adapun
manfaat berdo’a yaitu:
1). Bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT
94
2). Mencegah bala berencana dan peredam amarah Allah SWT
3). Mengandung banyak manfaat (dengan izin Allah SWT)
4). Bukti keimanan kepada Allah SWT
5). Pembuktian tawakkal kepada Allah SWT
f. Metode Mendidik Cara Rasulullah SAW melalui “Membimbing Anak Berbakti
Kepada Orang Tua”
Cinta dan kasih anak kepada orang tua akan terbina, apabila terjalin dengan
harmonis ikatan kasih sayang, perlindungan terhadap mereka, melakukan segala
hal yang mencerminkan penghormatan kepada mereka, serta memprioritaskan
bantuan untuk mereka. Penghormatan kepada orang tua merupakan kewajiban
dalam keluarga serta agama. Bahkan, tata cara penghormatan kepada orang tua
diperintahkan dalam Al-Qur’an.
Kecintaaan anak kepada orang tua berbanding lurus dengan ketulusan
mencintai orang lain. Barang siapa yang tidak mencintai orang tuanya, maka ia
tidak akan bisa mencintai orang lain dengan tulus. Oleh karena itu, Rasulullah
SAW menjadikan orang pertama yang paling utama untuk diperlakukan dengan
baik oleh seserorang adalah ibu, kemudian ibu, lalu ibu lagi, dan setelah itu baru
ayah.
Salah satu resep mujarab agar anak berbakti kepada orang tua adalah teladan
(uswah hasanah) dari orang tua itu sendiri. Setelah iu, kita tawakkal kepada Allah
SWT melalui doa-doa kita. Sesungguhnya doa orang tua akan diijabah oleh Allah
95
SWT. Beberapa hal yang dapat dicontohkan kepada anak dalam usaha membentuk
anak yang berbakti kepada oraang tua diantaranya yaitu:
1). Mengucapkan kata “Tolong” dan “Terima Kasih”
Biasakan anak mengucapkan tolong dan terima kasih, ketika dibantu oleh
orang lain, walaupun kepada pembantu sekalipun. Selain mengajarkan sopan
santun, anak akan terbentuk sikap menghormati orang yang lebih tua darinya.
2). Mendahulukan orang yang lebih tua
Biasakan anak untuk mendahulukan orang yang lebih tua. Misalnya, saat
jamuan makan, berbicara, dan lain sebagaainya. Rasulullah SAW bahkan
menganjurkan memilih orang yang paling tua sebagai imam, selain akhlak dan
hafalan Al-Qur’annya. Hal ini merupakan contoh perilaku mendahulukan orang
yang lebih tua. Mencium tangan orang yang lebih tua dan mendahulukan memberi
salam juga termasuk mengutamakan orang yang lebih tua.
3). Berkata-kata lembut dan sopan kepada orang yang lebih tua
Untuk para ayah dan ibu, biasakan saling memanggil pasangan dengan
panggilan yang sopan apalagi di hadapan anak-anak. Hati-hati juga saat berbicara
dengan suami atau isteri. Gaya berbicara suami kepada isteri yang cenderung
meremehkan atau sebaliknya isteri kepada suami, akan ditiru oleh anak-anak pada
saat mereka berkomunikasi dengan orang tua. Pada saat anak-anak kita merengek
meminta perhatian, repons dengan kata-kata yang lembut dan penuh kasih sayang.
Ingatlah, kelak kita sudah tua renta, kita pun akan rewel meminta perhatian dari
anak-anak. Pada saat anak merengek minta perhatian, respons dengan kata-kata
96
yang lembut dan penuh kasih sayang. Ingatlah kelak kalau sudah tua renta, kita
pun akan rewel meminta perhatian dari anak-anak.
4). Mendoakan orang tua
Sekali ajak anak ikut mendoakan kakek dan neneknya, selipkan nasihat pada
mereka, bahwa orang tua perlu didoakan oleh anak-anaknya. Katakan bahwa Allah
SWT akan mengijabah doa anak yang saleh, bahkan ketika orang tuanya sudah
meninggal sekalipun.
5). Mengunjungi orang yang lebih tua
Sempatkan bersilaturahmi kepada sanak keluarga yang lebih tua, terutama
kakek dan neneknya. Dengan demikian, anak-anak akan belajar bersikap dan
bertutur kata yang baik saat bertamu dengan orang yang lebih tua. Lakukan
kunjungan secara rutin, agar anak mengetahui bahwa kelak dewasa, mereka tidak
boleh melupakan orang tuanya.
6). Merawat orang tua yang sakit
Sebagaimana orang tua merawat anaknya yang sakit, maka sebagai
balasannya anak berkewajiban merawat orang tua di kala sakit. Ketika ayah atau
ibu sakit, beri kesempatan pada anak untuk ikut merawatnya. Biasanya anak-anak
senang jika dimintai tolong memberikan obat atau menyuapi ayah atau ibu yang
sakit. Beri pujian, jika anak melakukan dengan senang hati.
7). Menghibur orang tua
Biasanya, anak dapat merasakan jika orang tua sedang sedih atau marah.
Sesekali biarkan anak mendekati orang tuanya. Selain anak akan belajar
97
mengendalikan emosi secara positif dari orang tuanya, anak juga belajar berempati
dan menghibur orang tuanya sendiri.
g. Metode Mendidik Cara Rasulullah SAW melalui “Menghindar dari Mencela
dan Memaki Anak”
Berikut ini ada beberapa alasan bagi para orrang tua untuk sebaiknya tidak
memaki atau mencela anak yaitu:
1). Memaki atau mencela akan membuat anak takut dan merasa tidak aman, tidak
disayangi dan sedih
2). Orang tua yang suka memaki dan mencela anak akan memberikan contoh yang
buruk dalam menghadapi guncangan emosi
3). Apabila orang tua memperlihatkan diri di depan anak saat memaki dan mencela
orang lain, maka sama saja dengan mengajari anak untuk melakukan hal yang
sama di lingkungan keluarga atau sekolah
4). Melihat orang tua yang suka mencaci dan mencela, akan memotivasi anak
untuk berbohong dan menyembunyikan perasaan mereka supaya tidak
dimarahi orang tua.
Apabila orang tua terlanjur memaki atau mencela anak, maka yang harus
dilakukan adalah:
a). Menjauh dari anak untuk menenangkan diri untuk berpikir tentang bagaimana
merespons dengan lebih baik
98
b). Bergegas kembali kepada anak dan jelaskan mengapa anak tidak menyukai apa
yang dilakukan anak tadi
c). Tanyakan kepada anak alasan ia berperilaku demikian
d). Katakan kepada anak bahwa ia dapat berperilaku yang lebih baik dari itu
e). Katakan kepada anak bahwa kelakuannya membuat orang tuanya kecewa
f). Tanyakan kepada anak, apa yang dapat orang tuanya lakukan supaya anak
berperilaku lebih baik
g). Pastikan hukuman atau konsekuensi yang orang tua berikan adalah adil.
8. Kisah-Kisah tentang Rasulullah SAW
a. Budi Pekerti
Rasulullah SAW mempunyai budi pekerti dan etika-etika bergaul yang
baik. Beliau selalu menyuruh para sahabatnya di depannya, dan ketika berjalan
dan tidak pernah mendahului mereka. Selain itu Rasulullah SAW juga selalu
mendahului mengucapkan salam kepada orang yang dijumpainya. Ketika sedang
berbicara Rasulullah SAW menggunakan bahasa ringkas namun mudah dipahami,
kata-katanya jelas, tidak berlebihaan dan tidak juga terlalu pendek melainkan
sesuai kebutuhan.
Apabila mereka membicarakan dunia, Rasulullah SAW pun ikut
membicarakannya. Apabila mereka bercerita tentang makanan dan minuman,
Rasulullah SAW pun ikut menceritakannya. Tidak pernah mencela makanan yang
disuguhkan kepadanya, kalau suka dimakan, kalau tidak ditinggalkan.
99
Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya.” (Dishahihkan Al-Albani dalam Takhrij Ath-
Thahawiyyah)
“Sesungguhnya orang yang paling mencintai aaku di antara kamu dan yang
paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku adalah yang paling baik
akhlaknya.”
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang kebaikan, beliau menjawab,
“Akhlak yang baik,” dan ketika ditanya, “Amal apakah yang paling utama?”,
beliau menjawab, “Akhlak yang baik.” (HR.Muslim)
Rasulullah SAW adalah orang yang paling gigih untuk merajut cinta kasih
sesame muslim. Rasulullah SAW selalu berpeesan kepada mereka, “Apabila tiga
orang di antara kalian berkumpul, maka janganlah berbisik dua orang saling
berbisik-bisik tanpa mengikutsertakan yang ketiga, karena itu menyedihkannya”.
Rasulullah SAW juga berpesan, “Janganlah salah seorang di antara kalian
menyuruh temannya berdiri dari tempat duduknya, kemudian dia duduk di tempat
itu. Tetapi berlapang-lapanglah dalam majlis kalian dan luaskannlah, niscaya
Allah akan melapangkan hati kalian”. (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Semakin nyatalah ketinggian akhlak dan keindahan budi peekertinya dalam
kehati-hatian menjaga harga diri manusia yang telah dimuliakan oleh Allah, serta
kelihaiannya untuk menjaga perasaan manusia. Di antara yang menunjukkan hal
itu adalaah Rassulullah tiddak pernah secara langsung menunjukkan kesalahan
seseorang, namun dia berkata, “Mengapa masih ada saja suatu kaum yang
100
melakukan begini dan begitu. “ Rasulullah membiarkan pelaku yang sebenarnya
merenungi kekeliruannya, sehingga dia tahu aakan kesalahannya tanpa harus
diberi tahu oleh orang lain.
Mu’awiyah bin Hakam pernah bercerita, “ketika saya sedang shalat bersama
Rasulullah, tiba-tiba seorang laki-laki bersin, lalu aku berucap, ‘Yarhamukallah’,
maka orang-orang pun memandangku”. Aku katakana, ‘Mengaapa kalian melihatku
seperti itu?’ lalu mereka mulaimemukul-mukul paha mereka dengan tangan. Setelah
aku paham, bahwa itu adalah isyarat agar aku diam. Maka aku pun diam.
Setelah Rasulullah SAW selesai shalat, maka demi bapak dan ibuku, akau
belim pernah melihat seorang pengajar yang lebih baik darinya sebelum dan
sesudah ini. Demi Allah, dia tidak memaksaku dan tidak memukulku, dan tidak juga
mencaciku. Rasulullah hanya berkata, “Sesunggguhnya, shalat ini tidak boleh di
sela di dalamnya kata-kata manusia, dia hanya boleh diisi dengan tasbih, takbir dan
bacaan Al-Qur’an. Kendatipun demikian selalu berdoa, “Ya Allah..! Baguskanlah
budi pekertiku, sebagaimana engkau telah membaguskan bentukku. (HR.Baihaqi)
b. Dermawan
Contoh-contoh sikap kedermawaan Rasulullah SAW sangat banyak.
Rasulullah SAW tidak pernah menolak orang yang meminta-minta selama masih
ada sesuatu yang bisa diberikan. Pernah, seorang laki-laki meminta baju yang
ssedang dipakainya, Rasulullah SAW pun segera masuk ke dalam rumahnya dan
101
menaggalkan bajunya tersebut, kemudian keluar dan memberikan kepada laki-laki
tersebut.
Ada lagi oranag lain yang meminta, lalu diberikannya kambing-kambing
yang terdapat di antara dua bukit. Laki-laki itu pun segera pergi dengan bergegas-
gegas sambil menoleh ke belakang, karena takut kalau-kalau Nabi menarik kembali
ucapannya. Setelah itu, dia kembali ke kaumnya dan berkata, “Wahai kaumku
masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad akan memberikan apa
yang kalian minta sekakan-akan orang yang tidak takut miskin”. (HR.Muslim)
Ibnu Abbas berkata ketika ditanya tentang Rasulullah SAW, “Rasululah
SAW adalah orang yang paling pemurah (dermawan), dan lebih dermawan lagi
ketika bulan Ramadhan, yaitu ketika Jibril menemuinya untuk mengeecek bacaan
Al-Qur’annya. Ketika itu Rasulullah SAW menjadi orang yang lebih dermawan
dibandingkan angin yang bertiup”. (HR.Bukhari)
Beberapa contoh menakjubkan dari kemurahan hati dan kedermawaan
Rasulullah SAW yaitu:
1). Memberikan emas kepada Ibnu Abbas dalam jumlah yang ia sendiri tidak
sanggup membawanya.
2). Memberi Mu’adz bin Arfa secupak emas dan permata ketika dia datang
kepadanya dengan membawa hadiah kurma basah dan qitsa’ (buah seperti
mentimun).
3). Ketika seorang laki-laki datang meminta sesuatu kepadanya, beliau berkata,
“Saya tidak punya apa-apa, tapi silahkan kamu beli apa saja yang kamu
102
butuhkan. Biarkan saya yang akan membayarnya, jika telaha ada harta yang
dikirim kepada kita, insya Allah.
c. Kelembutan
kelembutan atau suatu sikap pengendalian diri ketika sedang marah sehingga
tidak pernah muncul perkataan dan perbuatan dengan sesuatu yang tidak disukai
dari Rasulullah SAW banyak diriwayatkan di dalam kisah-kisah berikut. Yang
paling menarik di antaranya adalah:
1). Ketika dua bibir Rasulullah SAW terluka dan dua gigi taring depannya retak
pada saat perang Uhud, Rasulullah SAW menengadahkan kedua tangannya ke
langit. Para sahabat mengira bahwa beliau sedang mendoakan kecelakkan bagi
orang-orang kafir itu. Ternyatanya berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku,
sesungguhnya mereka tidak mengetahui”.
2). Saat ada seorang Badui menarik selendangnya denagn keras sampai
meninggalkan bekas jeratan di leher, dan Badui itu berkata, “Muatilah
punggung kedua untaku ini dengan sebagian harta Allah yang dititipkannya
kepadamu, karena kamu tidak pernah memuati keduanya dari hartamu sendiri
ataupun harta kedua orang tuamu”. Rasulullah SAW tetap bersikpa lemah
lembut kepadanya dan hanay berkata, “Semua harta itu memang milik Allah,
sedang saya adalah hamba-Nya. Dan kamu wahai badui, akan dibalas atas apa
yang telah kamu perbuat terhaadapku”.
103
Badui itu menjawab, “Tidak bisa, “Nabi bertanya, “Kenapa?” Jawabnya, “Karena
engkau tidak pernah membalas kejahatan dengan kejaahatan”.setelah
meendengar perkataan badui tersubut, Rasulullah SAW pun tersenyum dan
meeminta sahabat untuk meuiati unta pertama dengan gandum dan unta yang
lain enggan kurma.
3). Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan Rasulullah SAW pernah
memukul pembantu atau istrinya sekalipun. Hal ini dijelaskan oleh Aisyah,
ia berkata, “Belum pernah saya melihat Rasulullah SAW membalas
kezhaliman yang ditimpakan kepadanya selama kezhaliman itu bukan
melanggar ketentuan yang diharamkan oleh Allah. Rasulullah belum pernah
memukul sesuatu dengan tangannya sama sekali kecuali ketika berperang
dijalan Allah, dan tidak pernah memukul pembantu dan juga perempuan.
d.Pemaaf
Sifat pemaaf – tidak menuntut balas atas orang yang berbuat jahat di saat dia
mampu untuk membalasnya – merupakan akhlak Nabi Muhammad SAW. Allah
telah memerintahkan hal yang demikian melalui ayat yang dibawa oleh Jibril:
Rasulullah SAW telah mengerjakan yang diperintahkan oleh Rabbnya.
Dalam memilih satu dari dua perkara, beliau selalu memilih perkara yang
termudah, selama hal itu tidak berdosa. Namun kalau perkara itu mengandung
dosa, dia adalah orang yang paling jauh menghindarinya.
104
Terbuktilah pemaafnya Rasulullah SAW ketika berhadapan dengan Ghaurust
bin Al-Haris ketika ingin membunuh Rasulullah SAW pada waktu Rasulullah
SAW berbaring sendirian di bawah sebatang pohon (tidur pada waktu qailulah
atau waktu sebelum zuhur), sementara sahabat-sahabatnya juga sedang
beristirahat, dan itu terjadi pada waktu perang.
Rasulullah SAW tidak menyadari hal itu kecuali setelah Ghaurust berdiri
di atas kepalanya dengan pedang terhunus sambil berkata, “Siapa yang akan bisa
menyelamatkanmu dari pedangku ini?” Maka Rasullah SAW menjawab, “Allah!”
Tiba-tiba pedang itu terjatuh dari tangan Ghaurust. Lalu dengan cepat Rasulullah
SAW mengambilnya dan berkata, “Siapa yang akan menyelamatkanmu dari
pedangku ini?”Ghaurust berkata, “Jadilah engkau orang yang terbaik dalam
mengambil tindakan, “lalu Rasulullah pun meninggalkan dan memaafkannya.
Setelah itu Ghaurust kembali kepada kaumnya dan berkata mereka, “Saya datang
kepada kalian dari seorang manusia terbaik”. (HR.Al-Muhaidi)
Di saat memasuki masjid Al-Haram di hari penaklukan di hari penaklukan
kota Mekkah, Rasulullah SAW mendapati para pemuka Quraisyyang selama ini
mendustakannya, menghina, menyiksa sahabat-sahabatnya dan mengusir mereka-
duduk sambil kepada tertunduk menunggu keputusan Rasulullah SAW yang telah
mengalahkan mereka. Tiba-tiba beliau berkata kepada mereka, “Wahai orang-
orang Quraisy, menurut kalian, kira-kira apa yang akan aku lakukan kepada
kalian?” Mereka menjawab, “Anda adalah saudara kami yang baik hati dan anak
saudara kami yang baik hati juga”. Rasulullah SAW berkata, “Pergilah! Kalian
105
semua dibebaskan”. Rasulullah SAW memaafkan mereka, kendati mereka telah
melakukan berbagai bentuk pelanggaran pada haknya dan para sahabatnya yang
tak terhitung jumlahnya.
Orang-orang munafik bersekongkol untuk membunuhnya saat perjalanan
pulang dari perang Tabuk menuju Madinah. Rasulullah SAW telah mengetahui
siapa mereka dan telah diberi tahu tentang rencana mereka tersebut. Namun
Rasulullah SAW memaafkan mereka dan berkata, “Jangan sampai ada yang
berkata bahwa Muhammad telah membunuh para sahabatnya”.
Ketika orang-orang kafir memanggilnya dengan sebutan “Si Pencela”
(karena telah mencela berhala-berhala mereka). Sebagai ganti dari panggilan
“Muhammad”, para sahabat marah. Namun Rasulullah SAW hanya berkata,
“Meskipun mereka menjulukiku “Si Pencela” tapi toh aku tetap Muhammad”.
e. Keberanian
Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat pemberani-hati dan akalnya
sekaligus. Keberanian hatinya maksudnya tidak pernah merasa takut dengan apa
yang biasa ditakuti orang dan selalu menghadapi hal-hal yang ditakuti orang lain
dengan penuh kegagahan dan keteguhan. Adupun yang disebut dengan berani
akalnya adalah melaksanakan segala pendapatnya tanpa memikirkan akibatnya
selama itu dalam koridor kebenaran. Secara mutlak, Rasulullah SAW adalah
manusia paling berani.
106
Sebagai bukti keberaniannya, Allah SWT memerintahkannya untuk
berperang sendirian.
Di antara bukti dan contoh keberanian Rasulullah SAW adalah kisah-kisah
yang tertera di bawah ini:
Inilah pengakuan Ali bin Abi Thalib perihal keberaniannya,” Setiap kita
diselimuti bahaya (di tengah-tengah berkecamuknya perang) dan mata-mata kita
memerah (karena takut), kita selalu berlindung kepada Rasulullah SAW dari
sabetan pedang dan tusukan tombak.
Inilah peristiwa kepahlawanannya yang luar biasa di Perang Uhud. Saat
jiwa para ksatria mulai disusupi rasa takut, Rasulullah SAW masih tetap berdiri
tegap laksana gunung yang menjulang, sehingga para sahabatnya bisa berlindung
kepadanya. Mereka senantiasa berperang di sekitarnya sampai peperangan itu
berakhir dengan kemenangan-setelah kepahitan dan kekalahan yang dialami
kaumnya akibat penyimpangan mereka terhadap perintah Rasulullah SAW.
Setelah Perang Hunain pun demikian. Ketika para sahabatnya mengalami
kekalahan dan pasukannya lari pontang panting karena tidak mampu menghadapi
serangan pasukan Islam, yang tidak merasa sadari sebelumnya. Hanya Rasulullah
SAW yang masih tetap berada di arena pertempuran sendirian dengan terus
menerobos dan menyerang musuh di atas tunggangannya. (Muttafaqun’alaihi)
Beliau berteriak, “ Saya tidak berdusta, saya adalah seorang Nabi, saya
keturunan Abdul Muthalib”. Rasulullah SAW terus-menerus memanggil para
sahabatnya dari tengah-tengah medan, “ Kemarilah wahai hamba-hamba Allah!
107
Kemarilah wahai hamba-hamba Allah!” Sehingga para sahabat pun berkumpul di
sekitarnya dan mulai menyerang balik sampai mereka mampu mengalahkan
musuh dalam sekejap.
Di atas tadi adalah sebagian bukti dari keberanian hatinya. Sedangkan
bukti-bukti keberanian akalnya, cukuplah bagi kita menyebutkan satu contoh saja
untuk mewakili ribuan contoh lainnya, bahkan lebih. Yaitu peristiwa di saat
menghadapi tekanan Suhail bin Amru. Ketika itu ia sedang mendiktekan
maklumat perjanjian Hudaibiyah saat Rasulullah SAW harus rela mengganti lafal
“Bismillah” (dengan menyebut nama Allah) menjadi “Bismikallahhumma”
(Muhammad utusan Allah) menjadi “Muhammad bin Abdullah” (Muhammad
Anak Abdullah).
Pada waktu itu para sahabat diliputi kemarahan yang berkobar-kobar,
sampai-sampai ada salah seorang sahabatnya yang diliputi kemarahan yang tidak
terkira. Tetapi beliau senantiasa sabar dan teguh hingga tuntasnya masalah
tersebut. Ternyata selang beberapa saat, terjadilah kemenangan yang luar biasa.
(HR.Al-Bukhari)
Dalam peristiwa tersebut, Rasulullah SAW telah memberikan contoh
sangat mengagumkan dalam keberanian, pandangan yang jauh ke depan dan
pendapat yang brilian.
f. Kesabaran
108
Sabar adalah keteguhan diri untuk senantuasa melaksanakan ketaatan
kepada Allah SWT, menghindari maksiat, ridha atas takdir-Nya sehingga dia tidak
gelisah dan kecewa pada Allah. Itulah akhlak Muhammad SAW. Dalam kurun
waktu yang cukup panjang, ia bersabar dan selalu berusaha menyabarkan diri
dalam menyampaikan risalah yang pelaksanaannya memakan waktu selama dua
puluh tiga tahun. Sehari pun ia tidak pernah merasa gelisah dan membayangkan
untuk risalah dakwahnya sampai puncak ketinggian yang diinginkan Allah SWT
tercapai.
Kesabaran Rasulullah SAW yang menjadi teladan bagi setiap muslim laki-
laki dan perempuan dalam hidupnya:
1). Kesabaran beliau atas penyiksaan-penyiksaan yang ditimpakan kaum Quraisy
selama berada di Mekkah. Mereka memukulinya, menaruh kotoran unta di
punggungnya, terkadang mencaci dan menuduhnya sebagai orang gila, tukang
sihir, tukang tenung dan penyair.
2). Kesabarannya dalam mengarungi setiap pertempuran; perang badar, uhud,
khandaq, fathu makkah, hunain di thaif, di atas semua negeri memeranginya,
dan juga di Tabuk. Rasulullah SAW tidak merasa takut, menyerah, merasa
gagal dan minder. Rasulullah SAW tetap mengarungi pertempuran-
pertempuran dan memimpin beberapa pasukan pengintai. Selama sepuluh tahun
beliau senantiasa hidup dari satu peperangan ke peperangan yang lain.
3). Beliau SAW sabar dalam menahan lapar. Sampai wafat, belum pernah
sekalipun Rasulullah SAW merasa kenyang dengan roti gandum dua kali
109
sehari. Paddahal, sseandainya beliau berniat memiliki dunia seisinya, niscaya
mampu mewujudkannyaa. Tetapinya lebih mengutamakan kenikmatan di
akhirat.
g. Belas Kasih
Rasulullah SAW adalah orang yang sangat kasih terhaddap manusia.
Layaknya kasih ssayang orang-orang gagah yang mencurahkan kekuatannya,
bukan sekadar kasih sayang orang-orang lemah. Rasulullah selalu membiasakan
hal itu sebagaimana orang mukmin lain juga membiasakan hal itu. Sampai-sampai
Allah membanggakan sifat kasih sayangnya tersebut kepada semua makhluk.
Ketika Rassulullah SAW disakiti di Mekkah, lalu hijrah Thaif, ternyata
penduduk Thaif bangkit berbaris membentuk dua barisan di kanan-kirinya sambil
melemparkan batu hingga dua tumit kakinya berdarah. Rasulullah SAW pun
mengadu kepada Allah SWT akan kelemahan dan ketidakmampuannya bertindak,
serta kehinaannya di hadapan manusia.
Rasulullah SAW adalah orang yang sangat pengasih. Sampai ketika
berperang melawan musuh agamanya sekalipun, beliau selalu berpesan pada
pasukan perangnya untuk tidak memerangi kecuali terhadap orang-orang yang
memeranginya atau mengangkat senjata kepadanya. Beliau selalu memesankan
kepada para pasukannya sebelum berangkat perang, “Jangan kamu bunuh
perempuan juga anak-anak dan orang tua! Jangan kamu bakar pohon kurma dan
tanam-tanaman!” Beliau juga melarang pasukannya memotong-motong tubuh
110
musuh yang sudah meninggal, atau berlebih-lebihan di dalam melukai. Rasulullah
SAW bersabda, “ Hindarilah muka dan jangan memukulnya”.
Rasulullah SAW berwasiat untuk selalu berbelas kasihan terhadap orang-
orang yang lemah. Sehingga kita dapati beliau berpesan untuk selalu berbuat baik
terhadap anak yatim, “Rumah yang paling baik adalah rumah yang di dalamnya
ada anak yatim yang dimualiakan”.
h. Balas Budi
Rasulullah SAW seorang yang telah memenuhi perintah Rabbnya, orang
yang pernah menyusuinya, istrinya, para sahabatnya dan menepati janjinya
terhadap semua makhluk.
Suatu hari Aisyah bertanya kepadanya ketika melihatnya shalat malam
sampai kedua kakinya membengkak. “Mengapanya harus memaksakan diri seperti
ini, padahal Allah SWT telah mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan
datang?” Beliau SAW menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi seorang
hamba yang bersyukur?” (Muttafaqun’alaih)
Suatu hari seorang perempuan tua datang menziarahinya. Rasulullah SAW
pun menyambut kedatangannya dengan penuh keramahan dan suka cita. Dengan
segeranya mengambil burdahnya (selendang) yang bagus dan membentangkannya
di atas lantai untuk tempat duduk perempuan tua itu. Setelah perempuan itu
pulang, Aisyah bertanya tentang sebab sikapnya yang sedemikian rupa. Rasulullah
111
SAW menjawab, “karena dia pernah menziarahi kami di saat Khadijah masih
hidup.
Di antara kamarnya dan mihrab tempatnya biasa menjadi imam, ada sebuah
jalan yang selalu Rasulullah SAW lintasi setiap hari ketika shalat. Beliau sangat
mencintai sebidang tanah ini karena di situlah tempat yang selalu dilewatinya
menuju Allah dan penghibur hatinya (shalat). Bahkan karena kecintaannya
tersebut, sampai-sampainya memuliakan dan mengagungkan tempat tersebut
melalui sebuah sabdanya, “jalan yang membujur antara rumahku dan mimbarku
ini merupakan salah satu taman di antara taman-taman surge”. (Muttafaqun’alaih)
112
BAB III
PENERAPAN KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT DALAM MENDIDIK
ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA MENURUT AJARAN
RASULULLAH SAW
A. Pemberian Reward dalam Mendidik Anak yang diajarkan Rasulullah
SAW
Reward atau hadiah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Hadiah merupakan bukti cinta dan
kejernihan hati. Di dalam hadiah terdapat nilai penghargaan dan penghormatan.
Oleh karena itu, nabi menerima hadiah, baik dari orang muslim atau orang kafir.
Nabi menerima dari wanita, sebagaimana beliau menerimanya dari laki-laki.
Beliau juga menganjurkan umatnya agar saling memberi hadiah.1
Nabi SAW menganjurkan memberi hadiah walaupun sedikit. Maksudnya
adalah nabi menganjurkan orang tua agar memberikan hadiah kepada anaknya dan
bermurah hati dengan sesuatu yang mudah. Walaupun hadiah yang diberikan
hanya sedikit itu lebih baik daripada tidak memberi. Hadiah merupakan bukti
adanya cinta. Dalam hadits juga dianjurkan bagi yang diberi hadiah untuk
menerima hadiah, walaupun sedikit. Itu merupakan bukti penghargaan orang yang
diberi hadiah kepada orang yang memberi hadiah.2
1 Syaikh Musthafa Al-Adawy, Fikih Akhlak, ( Jakarta: Qisthi Press, 2009), hal.42
2 Ibid, hal.44
113
1. Bentuk –bentuk Penghargaan
Adapun bentuk penghargaan yaitu:3
a). Penghargan secara materi
Anak memiliki tabiat menyukai hadiah. Biasanya mereka begitu ingin
mendapaatkannya. Karena itu, layak kiranya jika orang tua memberikan apa yang
mereka sukai ini pada kesempatan tertentu. Anak yang rajin, berakhlak baik,
melaksanakan kewajiban shalat atau perbuatan baik lainnya, kemudian
mendapatkan hadiah, akan merasa gembira dan puas dengan apa yang
didapatkannya.
b). Doa
Semestinya pula orang tua memberikan motivasi kepada anak yang rajin,
beradab atau rajin menegakkan shalat dengan mendoakannya, misalnya “Semoga
Allah SWT memberikan taufik kepadamu, mudah-mudahan masa depanmu cerah”
Kepada anak yang biasa lalai atau berperilaku jelek, orang tua bisa
mendoakannya, misalnya “Semoga Allah SWT memperbaiki dirimu dan memberi
petunjuk kepadamu”
c). Menganggap diri kita bagian dari mereka
Bila orang tua memberikan penghargaan pada anak-anak yang memiliki
kelebihan, bisa pula dengan menyatakan bahwa orang tua merupakan bagian dari
anak. Ini akan menjadi penghargaan besar bagi anak.
3 Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi SAW, ( Solo: Pustaka Arafah, 2003),
hal. 75-78
114
d). Pujian
Sewajarnya sebagai orang tua memuji anak bila melihatnya berperilaku baik
atau bersungguh-sungguh. Orang tua bisa mengatakan, misalnya, “Bagus, semoga
Allah SWT memberikan berkah kepadamu!” atau “Memang anak yang paling
baik!” ataupun ucapan-ucapan baik yang sejenis. Ucapan ini akan memotivasi
anak, menguatkan jiwanya, juga memberikan pengaruh yang sangat baik dalam
dirinya. Hal ini akan mendorongnya untuk mencintai orang yang mendidiknya.
Terbuka pula pikirannya untuk terus belajar.
Di samping itu, dalam waktu yang sama akan memotivasi anak lain untuk
mencontoh si anak yang di puji dalam adab, perilaku, atau kesungguhannya, agar
memperoleh pujian pula. Ini lebih baik daripada memberikan hukuman fisik
kepada mereka.
Para orang tua memberi pujian kepada anak mereka dengan sewajarnya.
Namun kita jarang sekali memikirkan tentang pemberian pujian secara wajar
tersebut, walaupun kita tahu pasti bahwa memberi pujian itu baik, dan bagi
kebanyakan orang, memberi pujian itu mudah saja. Apa yang terbaik bagi anaknya
adalah mudah baginya sebagai orang tua. Jika orang tua memuji anaknya, berarti
orang tua membangun perasaan percaya diri pada anak, suatu perasaan yang
tertanam dalam jiwa bahwa dirinya adalah anak yang memiliki kemampuan.
Kesemuanya itu akan menentukan keberhasilan hidup anak di kemudian hari.4
4 Jacob Azzerad, Membangun Masa Depan Anak, ( Bandung: Nusamedia, 2005), hal. 89-90
115
Orang tua tidak perlu memberi pujian kepada anak tujuh kali sehari karena,
sebagaimana yang telah dikatakan jika orang tua memuji anak terlalu banyak,
orang tua mungkin justru akan menghambat perkembangan, yang dinamakan
harga diri anak, atau akan menghambat kemampuan anak dalam mengetahui, tanpa
di beritahu sebelumnya, bahwa ia melakukan sesuatu dengan baik. Selain itu orang
tua juga akan menciptakan ketergantungan yang berlebihan pada anak terhadap
kata-kata persetujuan dari luar.5
Pada awalnya, anak memerlukan pujian lebih banyak, pujian tulus terhadap
perilakunya yang biasa. Pemberian pujian seharusnya tidak lama diberikan
kepadanya, yaitu sebelum anak memerlukan sedikit pujian, karena kita mencoba
untuk menyiapkan anak menuju dunia luar, di mana pujian tidak akan sering
diberikan kepadanya, bahkan kepada hal-hal sebenarnya perlu mendapat pujian
sekalipun.6
Orang tua atau pendidik yang menjadi teladan bagi anak adalah yang pada
saat bertemu atau tidak dengan anak senantiasa berperilaku yang taat terhadap
nilai-nilai moral. Dengan demikian, mereka senantiasa patut dicontoh karena tidak
sekedar memberi contoh. Orang tua atau pendidik yang mampu berperilaku seperti
di atas telah menyadari bahwa perilakunya yang tidak sekedar memberi contoh.
Orang tua atau pendidik yang mampu berperilaku seperti diatas telah menyadari
bahwa perilakunya yang tidak disadari untuk dicontohkan, oleh anak dapat
5 Ibid, hal.90
6 Ibid, hal.90
116
dijadikan bahan imitasi dan identifikasi. Artinya, anak sadar untuk menjadikan
bahan imitasi dan identifikasi perilaku orang tua atau pendidik yang oleh pendidik
atau orang tua tidak disadari sebagai bantuan bagi anak-anak.7
Derajat ketidakpatuhan anak terhadap aturan-aturan yang dibuat orang tua
membuat perbedaan pengambilan keputusan orang tua dalam menghukumnya.
Para orang tua bisa langsung mengambil tindakan jika anak berbuat sesuatu secara
berulang meskipun kita sudah mengingatkannya. Walaupun demikian, orang tua
tidak diperkenankan untuk bersikap dan berperilaku kasar terhadap anak. Orang
tua harus bisa membuat anak berubah perilakunya hanya lewat bahasa dan
tindakan yang mendidik.8
Anak adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang dititipkan kepada orang
tuanya sebagai amanah. Allah SWT menganugerahkan bermacam-macam perilaku
kepada anak. 9
Anak adalah aset terbesar yang dimiliki umat, dan orang tua adalah orang
yang diamanati menjaga dan mengelola kekayaan ini. Meski anak pada dasarnya
dilahirkan dengan membawa fitrah keimanan dan tauhid, namun orang tualah yang
berperan meluruskannya di jalan Islam atau menyimpangkannya ke jalan
kesyirikan dan kekafiran.10
7 Moh Shochib, Pola Asuh Orang Tua, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal.124
8 Hardi Darmawan dkk, Jurus Jitu Mendidik Anak, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2011),
hal. 193 9 Abdullah Muhammad Ash Shubbi, Seni Mendidik dan Mengatasi Masalah Perilaku Anak
Secara Alami, ( Jakarta: Pustaka Al-Fadhilah, 2010), hal. 2 10
Mahmud Muhammad Al-Jauhari, Membangun Keluarga Qur’ani, ( Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2005), hal.224
117
Sebelum mendapat pendidikan formal dan nonfromal di sekolah dan di
tengah masyarakat, anak-anak sudah terdidik secara informal di lingkugan rumah
dan keluarga sehingga corak perilakunya pun sangat di tentukan oleh orang
tuanya.11
Peran orang tua menjaga, mendidik, dan mengasuh anak sangat penting.
Sebagai modal dasar pertumbuhan otaknya menjadi optimal sehingga mudah
berinteraksi dengan lingkungannya. Pendidikan yang disuguhkan kepada anak
sangat bermanfaat agar mapu berinteraksi dan menghadapi kehidupan yang baru.
Mendidik dan mengasuh anak bukanlah seperti halnya pendidikan yang didapati di
bangku sekolah yang mempunyai kurikulum dan peraturan tertentu. 12
Dalam Islam, orang tua atau keluarga merupakan institusi sosial terpenting
dalam membentuk generasi dan keturunan yang baik. Orang tua dalam keluarga
selanjutnya memiliki peranan strategis dalam membentuk anak yang baik dan jauh
dari keburukan. Kesalehan orang tua dengan kata lain, sangat dituntut dalam
membentuk keturunan (anak-anak yang baik).
Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan
dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin
diri. Keluarga yang utuh memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun
kepercayaan terhadap kedua orang tuanya, yang merupakan unsur esensial dalam
membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri.
11
Ibid, hal.224 12
Abdullah Muhammad Ash-Shubbi., Op.Cit., hal.2
118
Kepercayaan dari orang tua yang dirasakan oleh anak akan mengakibatkan arahan,
bimbingan , dan bantuan orang tua yang diberikan kepada anak akan menyatu dan
memudahkan anak untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukan.13
Keluarga dikatakan “utuh”, apabila disamping lengkap anggota, juga
dirasakan lengkap oleh anggotanya tertutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga
terjadi kesenjangan hubungan, perlu di imbangi dengan kualitas dan intensitas
hubungan sehingga ketidakadaan ayah atau ibu di rumah tetap dirasakan
kehadirannya dan dihayati secara psikologis. Ini diperlukan agar pengaruh,
arahan, bimbingan , dan sistem nilai yang direalisasikan orang tua senantiasa tetap
di hormati, mewarnaai sikap dan pola perilaku anak-anaknya.14
Keluarga seimbang adalah keluarga yang di tandai oleh keharmonisan
hubungan (realisi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan
anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap
anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta.
Orang tua sebagai koordinator keluarga harus berperilaku proaktif. Jika anak
menentang otoritas, segera ditertibkan karena di dalam keluarga terdapat aturan-
aturan dan harapan-harapan. Anak-anak merasa aman, walaupun tidak selalu
disadari. Di antara anggota keluarga saling mendengarkan jika bicara bersama,
13
Moh Shochib, Pola Asuh Orang Tua, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 18 14
Ibid, hal.18
119
melalui teladan dan dorongan orang tua. Setiap masalah dihadapi dan diupayakan
untuk dipecahkan bersama.15
Keluarga adalah sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan.
Pengertian keluarga juga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan
hubungan sosial.16
Keluarga dalam dimensi hubungan darah, dapat dibedakan
menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan pengertian keluarga dalam
dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh
adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu
dengan lainnya, walaupun di antara mereka terdapat hubungan darah. Dalam
pengertian pedagogis, keluarga adalah satu persekutuan hidup yang dijalin oleh
kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan
pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri.
Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat.17
Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan
wanita, perhubungan itu sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan
membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu
kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum dewasa.
Seperti halnya sekolah, keluarga memiliki arti penting bagi perkembangan
nilai kehidupan pada anak. Namun, dengan segala kehasannya keluarga memiliki
15
Ibid, hal. 19 16
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, (
Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 16 17
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 221
120
corak pendidikan yang berbeda dari sekolah. Di dalam keluarga, pendidikan
berjalan bukan atas dasar tatanan ketentuan yang di formalkan melainkan tumbuh
dari kesadaran moral sejati antar orang tua dan anak. Karena itu dapat dikatakan
bahwa pendidikan nilai di keluarga di bangun bukan atas dasar rasional melainkan
beralas sumbu pada ikatan emosional kodrati. Ciri-ciri ini dapat menjadi petunjuk
adanya perbedaan intensitas pendidikan nilai antara yang dilakukan orang tua
kepada anaknya dengan di lakukan guru kepada siswanya.18
Dalam mendidik anak orang tua harus memberikan kepada anaknya berupa
kasih sayang dan mengajarkan mereka konsep-konsep luhur untuk mengasihi,
mencintai dan menyayangi. Hak tertinggi yang terletak dipundak orang tua
terhadap anaknya adalah hak ketakwaan. Sewaktu anak mencapai usia 7 tahun ia
wajib mempelajari pelaksanaan shalat secara benar. Dan orang tua wajib
memberikan motivasi kepadanya dengan memberikan hadiah atau penghargaan.
Demikian pula halnya dengan ibadah puasa.19
Mendidik anak seharusnya dikuasai orang tua, maka orang tua hendaknya
lebih memiliki kreasi untuk mengembangkan dan mencari alternatif yang paling
baik. Karena mendidik itu merupakan seni maka, beberapa hal cocok untuk orang
tertentu tetapi ketika diterapkan untuk orang lain menjadi tidak cocok lagi.20
18
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, ( Bandung: Alfabetha, 2013), hal. 95 19
Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, ( Jakarta: Lentera Basritama, 2003), hal. 25 20
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014),
hal. 305
121
2. Cara Menerapkan atau Mengaplikasikan Reward (Hadiah /
Ganjaran)
Berbagai macam cara yang dapat dilakukan dalam memberikan hadiah atau
ganjaran antara lain:21
a). Ekspresi Verbal / Pujian yang Indah
Penggunaan tekhnik ini dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika memuji
cucunya, al-Hasan dan al-Husein yang menunggangi punggungnya seraya beliau
berkata, “sebaik-baik unta adalah unta kalian, dan sebaik-baik penunggang adalah
kalian”. (H.R.Ath-Thabrani dari Jabir ra). Oleh karenanya orang tua diharapkan
mengikuti makna-makna dalam rangka memberi ganjaran atau pujian yang akan
bermanfaat dan lebih menarik perhatian. Ganjaran-ganjaran yang diberikan dengan
mudah terhadap suatu perbuatan akan menghilangkan akibat-akibat yang tidak
baik.
b). Imbalan Materi / Hadiah
Tidak sedikit anak-anak yang termotivasi dengan pemberian hadiah. Cara ini
bukan hanya menunjukkan perasaan cinta, tetapi juga dapat menarik cinta dari si
anak, terutama apabila hal itu tidak diduga. Rasulullah SAW telah mengajarkan
hal tersebut dengan mengatakan, “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian
saling mencintai”. Beliau tidak mengatakan, “Saling memberi hadiahlah kalian,
niscaya kalian akan saling mencintai”. Tidak dengan kata akan. Jadi hasilnya
21
Syaiful Hadi, Pintar Mendidik Anak Ala Rasulullah SAW, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015),
hal. 67
122
muncul secara tepat dalam menarik perasan cinta. Setiap orang tua mengetahui apa
yang disukai dan diharapkan oleh anaknya, sehingga hadiah yang diberikan dapat
berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan keadaan anaknya.
c). Menyayanginya
Di antara perasan-perasaan mulia yang Allah titipkan pada hati kedua orang
tua adalah perasan sayang, ramah, dan lemah lembut terhadapnya. Ia merupakan
perasaan yang mulia yang memiliki dampak yang paling utama dan pengaruh yang
sangat besar dalam mendidik, menyiapkan, dan membentuk anak. Hati yang tidak
memiliki kasih sayang akan memiliki kekerasan yang tercela. Diketahui bahwa
sifat-sifat yang huruk ini akan menimbulkan reaksi pada anak-anak berupa
kebencian mereka terhadap ayah dan ibunya. Kasih sayang itu harus diberikan
kepada anak-anak. Anak tidak boleh dihukum ketika melakukan kesalahan seperti
tindakan terhadap orang dewasa. Karena, orang dewasa dapat membedakan antara
yang benar dengan yang salah. Sedangkan anak tidak demikian, jadi, yang menjadi
prinsip ketika berinteraksi dengan anak adalah kelembutan, kasih sayang, dan
keramahan.
d). Memandang dan Tersenyum kepada Anak
Hal ini terkadang dianggap sepele, padahal ia menunjukkan cinta dan kasih
sayaang, sebagaimana juga dapat menunjukkan hukuman apabila pandangan yang
diberikan adalah pandangan yang tajam disertai muka yang masam. Karena itu,
pandangan yang lembut disertai dengan senyuman dapat menambah kecintaan
anak terhadap orang tua. Pandangan sering pula menjadi menjadi sebab kebencian
123
anak terhadap orangtuanya apabila mereka bermuka masam terhadapnya tanpa
sebab yang jelas dan menyangkanya sebagai kewibawaan. Senyuman merupakan
sedekah sebagaimana dikatakan oleh Nabi SAW, “Tersenyumnya engkau terhadap
saudaramu adalah sedekah”. Senyuman sama sekali bukan suatu beban yang
memberatkannya, tetapi ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat, ketika
berbicara dengan anak-anak hendaknya seorang ayah membagi pandangannya
secara merata kepada mereka semua, sehingga mereka mendengarkannya dengan
perasaan cinta dan kasih sayang serta tidak membenci pembicaraannya.
B. Pemberian Punishment dalam Mendidik Anak yang diajarkan
Rasulullah SAW
Menghukum anak yang sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan,
memang disyariatkan oleh Islam. Seorang manusia dalam berbagai fase
kehidupannya cenderung menerjang kejahatan dan melanggar dosa. Itu wajar,
karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.22
Orang tua tidak hanya menghukum anak lewat bahasa verbal saja, terkadang
juga harus menghukum anak dengan suatu perbuatan nyata. Pengambilan tindakan
oleh orang tua jika permasalahan tidak bisa diselesaikan lewat bahasa non formal.
Biasanya orang melakukan hal ini jika kesal atau terpaksa karena kesalahan yang
dibuat anak untuk memecahkan permasalahan. Dalam contoh ini, orang tua tidak
22
Syaikh M Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, ( Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), hal. 132
124
besikap keras terhadap anak, mereka hanya membuat sindiran bahasa dan perilaku
agar anak mengetahui kesalahannya.23
Tidak ada anak yang berbuat salah sama halnya dengan orang tua. Pada saat
anak berbuat salah orang tua harus memberi hukuman pada anak, tetapi hukuman
mendidiklah yang harus diterapkan. Sebagai orang tua diharapkan lebih santun
dalam bersantun manakala si anak berbuat salah. Salah satu strategi yang dapat
digunakan adalah memberi hukuman dengan alternatif. Dengan cara ini orang tua
memberikan pilihan sikap dan perilaku pada anak. Dengan alternatif juga, kesan
memaksakan kehendak pada anak dapat diturunkan kadarnya.
1. Bentuk Hukuman yang Memberi Alternatif
Bentuk hukuman dengan memberi alternatif yang dapat diterapkan sebagai
berikut:24
a). Tunjukkan ketidaksetujuan tanpa menyerang pribadi
Menghukum anak dengan cara ini perlu hati hati karena salah pilihan kata
akan berakibat fatal bagi perkembangan jiwa anak. Jika ini terjadi anak akan
meniru perilaku orang tuanya. Banyak kita temui dimasyarakat orang tua tidak
bisa mengontrol emosinya sehingga mereka mengekspesikan kemarahan mereka
lewat kata-kata kasar dan disertai dengan penyerangan pribadi anak. Hal ini harus
dihindari para orang tua.
23
Hadi Darmawan dkk., Op. Cit., hal.194 24
Ibid, 190.
125
Menunjukkan ketidaksetujuan tanpa menyerang pribadi anak adalah pilihan
hukuman yang dapat digunakan oleh orang tua. Dalam konteks ini, sebaiknya
orang tua menggunakan alternatif jawaban dengan menggunakan kata-kata bila,
jika, atau, kalau pada kalimat ketidaksetujuan tersebut.
b). Nyatakan harapan orang tua (ekspektasi)
Cara menyatakan harapan orang tua dalam menghukum anak yaitu
pernyataan harapan dalam sebuah kalimat bermaksud agar anak mengetahui
bahwa orang tua ingin agar anak melakukan sesuatu lebih baik. Pernyatan harapan
ini juga harus menggunakan kata yang bermakna pemberian alternatif jawaban.
c). Tunjukkan kepada anak-anak bagaimana memelihara sesuatu
Orang tua harus menyadari bahwa tidak semua anak dapat memelihara
sesuatu dengan baik. Anak yang ceroboh cenderung tidak hati-hati dalam
memelihara sesuatu barang. Orang tua perlu selalu mengingatkan hal itu. Namun
demikian, jika anak melakukan suatu kesalahan , orang tua hendaknya
menghukum anak dengan menunjukkan kepada anak bagaimana memelihara
sesuatu. Ini dapat dikatakan suatu hukuman terselubung. Hanya lewat sebuah
kalimat yang disertai alternatif jawaban (bila, jika dan kalau), ekspresi baik, dan
nada suara yang rendah, anak dibuat merasa bersalah.
d). Berikan pilihan
Menghukum anak dengan cara mendidik perlu dipahami dan dilakukan oleh
para orang tua. Pemberian pilihan hukuman adalah salah satu trik orang tua dalam
mendidik anak. Pilihan yang digunakan harus disesuaikan dengan kesalahan,
126
permasalahan, dan karakteristik anak. Meskipun sebuah hukuman , orang tua
sebaiknya lebih bijak membuat pilihan yang akan dijatuhkan pada anak. Dalam
tips ini, orang tua harus menggunakan pilihan kata kalau, bila, dan jika.
Sebailiknya, orang tua hendaknya menjauhi bentuk-bentuk hukuman fisik,
karena ini membahayakan, baik bagi diri si anak ataupun bagi diri sendiri. Selain
itu juga mebuang-buang waktu. Terkadang malah si anak mendapat mudarat
karena pukulan yang mengenainya, yang membuahkan ketakutan si anak pada
orang tua.
2. Bentuk-bentuk Hukuman yang dilarang yaitu:
a). Tamparan
Tamparan atau pukulan di wajah bisa mengenai mata atau telinga. Bahkan
kadang menyebabkan rusaknya salah satu indera.
b). Caci makian
Caci makian justru akan membuat anak semakin jauh dan menyimpang.
Bahkan bisa jadi nantinya membuat si anak semakin senang berbuat dosa. Anak
juga akan “belajar” mencaci maki, lalu dipraktikkan di hadapan teman sekolahnya
atau saudaranya. Orang tualah yang bertanggung jawab bila terjadi demikian.
c). Memukul saat emosi meluap
Abu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu pernah mengisahkan, “Aku pernah
mencambuk budaku. Tiba-tiba kudengar suara di belaakangku, “ketahuilah, wahai
Abu Mas’ud!” namun aku tak bisa memahami ucapan itu karena emosi. Ketika
mendekat, tahulah aku, ternyata itu suara Raslulullah SAW. beliau mengatakan,
127
“ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” segera kulemparkan cambuk di tanganku.
Beliau pun berkata, “ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih
mampu meberikan hukuman kepadamu daripada budak ini!”
d). Menendang
Kadang tendangan mengenai organ tubuh yang penting sehingga
membahayakan jiwa anak. Pertanggungjawaban pun dituntut. Akhirnya
kesudahannya hanyalah penyesalan di saat tak ada gunanya lagi penyesalan,
sementara orang tua tahu bahwa menendang itu bukan perangai manusia.
e). Kemurkaan
Orang tua harus bisa mengendalikan emosi dan memahami kekhasan masa
kanak-kanak, sehingga orang tua bisa memaklumi segala tingkah anak. Orang tua
pun harus ingat, bagaimana tingkah orang tua semasa kanak-kanak dulu yang
mungkin malah lebih jelek lagi. Dengan begitu, amarah pun akan reda dan orang
tua akan bisa menahan diri. Jangan menghukum anak ketika amarah memuncak
agar tidak menyakiti si anak.
3. Bentuk –bentuk hukuman yang mendidik yaitu:
a). Nasihat dan Bimbingan
Ini merupakan metode dasar dalam mendiddik dan mengajari anak yang
tidak dapat ditinggalkan. Metode ini telah ditempuh oleh sang pendidik yang
agung (Rasulullah SAW) terhadap anak-anak kecil maupun orang dewasa.
Penerapan metode ini pada anak-anak dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika
melihat seorang anak yang tangannya menjelajahi makanan yang terhidang saat
128
itu. Tidak ada seorang pun yang mengatakan metode ini hanya memberikan
pengaruh yang minim pada anak-anak.
b). Wajah Masam
Kadang kala boleh pula sebagai orang tua menunjukkan wajah masam pada
c). Teguran Keras
Biasanya bila orang tua menegur dengan keras anak yang berbuat salah,
anak akan berhenti berbuat kessalahan dan duduk kembali dengan penuh adab.
Metode ini diterapkan pula oleh Rassulullah SAW saat melihat seseorang yang
menggiring unta hadyu ( hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalannya
berhaji dan tidak mau menungganginya. Beliau mengatakan, “Tunggangi hewan
itu!” orang itu menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia
pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu!” setelah dua
atau tiga kali, akhirnya beliau menghardiknya, “Tunggangi hewan itu! Celaka
kamu!”
d). Memalingkan Wajah
Ketika anak berbohong, memaksa meminta sesuatu yang tidak layak, atau
berbuat kesaalahan yang lain, boleh sebagai orang tua memalingkan wajah dari si
anak, agar si anak tahu kemarahan orang tua dan menghentikan perbuatannya.
e). Mendiamkan
Boleh pula sebagai orang tua mendiamkan (tidak berbicara dengan) anak
yang melakukan kesalahan seperti meninggalkan shalat, menonton film, aatau
perbuatan-perbuatan yang tidak beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari.
129
f). Cercaan
Jika anak melakukan kesalahan yang besar, sebagai orang tua boleh
mencercanya bila nasihat dan bimbingan tidak lagi berpengaruh.
g). Duduk Qurfusha’
Anak yang malas atau bandel bisa dihukum dengan menyuruhnya duduk
qurfusha’ sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Posisi seperti ini akan
membuatnya capai dan menjadi hukuman baginya. Ini jauh lebih baik daripada
kita memukulnya dengan tangan atau tongkat.
h). Pukulan Ringan
Bila metode lain tidak membuahkan hasil, kita boleh memukul dengan
pukulan ringan, terutama ketika memerintahkan mereka menunaikan shalat jika
telah berumur sepuluh tahun.
Hukuman digunakan hanya untuk kesalahan yang serius. Adapun kategori
hukuman yaitu:25
1. Hukuman yang paling baik ialah yang tidak sering diberikan.
2. Hukuman yang paling baik ialah yang dilakukan dengan segera.
3. Hukuman yang paling baik ialah yang paling singkat.
Jika orang tua atau pendidik dalam memberikan hukuman dengan memukul
ini berakibat buruk pada anak, ini bisa melukai anak. Akan halnya memukul dada
dan perut, juga dilarang karena mengakibatkan bahaya besar yang terkadang
mengakibatkan kematian. Dan biasanya orang tua kalau sedang menghukum
25
Jacob Azzerad., Op.Cit., hal. 220
130
anaknya masih dalam keadaan emosi. Sehingga anak jiwanya akan tertekan jika
hukuman itu terlalu keras (trauma). Sementara kelemahan adalah apabila hukuman
diberikan tidak efektif, maka akan timbul beberapa kelemahan antara lain:26
1. Akan membangkitkan suasana rusuh, takut dan kurang percaya diri
2. Anak akan selalu merasa sempit hati, bersifat pemalas, serta akan
menyebabkan ia akan suka berdusta ( karena takut dihukum)
3. Mengurangi keberanian anak untuk bertindak .
Kelebihan anak ketika merasakan bahwa orang tua–setelah menurunkan
hukuman-berbuat baik kepadanya, beramah tamah, berlemah lembut dan bermanis
muka. Disamping anak tidak menginginkan dengan hukuman itu kecuali mendidik
dan memperbaikinya, maka tidak mungkin anak merasa sempit jiwanya, dan
menyimpang akhlaknya. Tetapi ia akan menanggapi perlakuan baik menunaikan
haknya dan berjalan di jalan orang-oranag yang betakwa dan bersama-sama
kelompok orang-orang pilihan.
Pendekatan hukuman yang dinilai memiliki kelebihan apabila dijalankan
dengan benar, yaitu:27
1. Hukuman akan menjadi perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan anak.
2. Anak tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
3. Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
26
Fariadi Ruslan, Menyelami Nasihat Lukman Al-Hakim, ( Hidayah Voume 8 Edisi 87,
2008), hal. 303 27
Ibid, 307
131
Keluarga merupakan pendidik moral yang utama bagi anak-anak. Orang tua
adalah guru moral pertama anak-anak, pemberi pengaruh yang paling dapat
berpengaruh lama: anak-anak berganti guru setiap tahunnya, tetapi mereka
memiliki satu orang tua sepanjang masa pertumbuhannya. Hubungan orang tua
dan anaknya juga mengandung signifikansi emosional khusus, yang bisa
menyebabkan anak merasa dicintai dan berharga atau sebaliknya merasa tidak
dicintai dan tidak berharga. Terakhir, orang tua berada pada posisi sebagai
pengajar moralitas yang merupakan bagian dari pandangan dunia yang lebih luas
yang menawarkan sebuah visi kehidupan dan alasan utama untuk menjalani
kehidupan yang bermoral.28
1. Peran Ayah dalam Mendidik Anak
a). Keutamaan Mendidik Anak Bagi Seorang Ayah
Tugas mendidik anak adalah tanggung jawab atau tugas utama para istri.
Tugas ayah atau suami adalah bekerja. Jadilah para ayah sibuk di luar rumah,
tanpa memperdulikan proses pendidikan anak-anak mereka. Apabila terjadi suatu
hal yang buruk pada sang buah hati, maka ibu adalah pihak pertama yang harus
bertanggung jawab karena dianggap tidak mampu “mengurus” rumah tangga dan
anak-anak.29
28
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter Panduan Lengkap, ( Bandung: Nusa Media,
2008), hal.42 29
Ayu Agus Rianti, Cara Rasulullah SAW Mendidik Anak, ( Jakarta: Gramedia, 2016),hal.
4
132
Semakin parahnya tingkat kenakalan (bahkan kriminal) yang dilakukan para
remaja, menurut para ahli disebabkan oleh kurangnya figur ayah dalam kehidupan
mereka. Boleh jadi secara karier, para ayah berhasil mencapai puncak prestasi.
Namun, apa arti semua itu, jika di balik kesuksesan tersebut mereka gagal dalam
mendidik keluarga. Rumah, mobil, emas, dan segala hal yang sifatnya duniawi
tidak akan bermanfaat di akhirat nanti. Kecuali, jika kita menggunakan semua hal
tersebut di jalan Allah. Doa anak yang saleh atau salehah lah yang menyelamatkan
kita kelak di hadapan Allah Azza Wa Jalla.
Selama ruh masih bersemayam dalam jasad, tidak ada kata terlambat untuk
melakukan kebaikan. Mulailah dari yang mudah, mulailah saat ini, dan jangan
pernah menundanya. Selagi Allah SWT memberikan kita kesempatan untuk
beribadah di dunia, maka selayaknya kita bermujahadah (bersungguh-sungguh)
untuk menjadi seorang ayah yang taat kepada Allah dan Rasulnya. Segera tunaikan
kewajiban sebagai orang tua agar selamat dunia akhirat.
b). Kewajiban Seorang Ayah dalam Islam
Islam sebagai agama yang sempurna, mengatur semua aspek kehidupan
manusia dalam hal mendidik anak. Alangkah baiknya, jika calon suami dan istri
menyiapkan mental dan spiritual (keimanan) sebaik-baiknya, agar kelak dapat
mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.30
30
Ibid, hal. 5
133
Dalam hal ini Ayah (orang tua) dapat melakukan tahapan-tahapan sebagai
berikut:31
1). Diajari tata cara membaca kalimat tauhid. Jika anak sudah mulai
berbicara, hendaknya anak dituntun untuk melafadzkan Laa ilaaha illallah
Muhammadur Rasulullah.
2). Menanamkan cinta kepada Allah dan Rasulnya sejak masih kecil. Orang
tua dapat memulainya dengan menceritakan kisah-kisah yang penuh hikmah
kepada anak. Selain itu, membiasakan anak bershalawat ibrahimiyah juga patut
dilakukan.
3). Mengajarkan bacaan atau ayat Al-Qur’an kepada anak. Pada tahap awal,
dimulai dengan mengajarkan surat-surat pendek. Kemudian, dilanjutkan dengan
surat-surat panjang dan surat-surat yang lebih panjang lagi.
4). Membiasakan anak untuk melakukan shalat ketika usianya mencapai 7
tahun. Ingat, bukan mewajibkan, namun membiasakan. Karena pada fase anak-
anak bukanlah masa yang tepat untuk membebani mereka dengan kewajiban.
Tahap tersebut merupakan masa persiapan, latihan, dan pembiasaan agar kelak jika
sudah berusia baligh, anak bisa mengemban beban (kewajiban) sebagai seorang
muslim.
5). Mendidik anak untuk berakhlak Islam, serta memberikan pengertian
tentang hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan.
31
Ibid, hal.7-8
134
2. Peran Ibu dalam Mendidik Anak
Meskipun tugas mendidik anak adalah tanggung jawab ayah, namun ibu
merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Melalui seorang ibulah anak-
anaknya banyak belajar. Dibandingkan ayah, ibulah yang paling banyak
menghabiskan waktu bersama anak-anak, karena tugas utama seoranag ibu adalah
menyusui dan mengasuh anak.32
Pengasuhan merupakan hak kaum perempuan. Oleh karena itu, seorang ibu
lebih utama mengasuh anaknya dibandingkan seorang ayah. Perempuan yang
diberi tanggung jawab mengasuh anak disyaratkan bisa memberi pendidikan dan
pengajaran terhadap anak dalam masalah etika, agama, dan budi pekerti, serta
mampu menjaga dan memperhatikan kesehatan dan gizi anak.33
Untuk para ibu yang menginginkan anak- anaknya menjadi generasi Qur’ani,
hendaknya melakukan hal-hal berikut ini:34
a). Menyusui selama 2 tahun
b). Senantiasa mendoakan kebaikan untuk anak-anak kita, karena doa
seorang ibu adalah doa yang maqbul.
c). Mengajarkan anak-anak untuk selalu berdoa setiap saat, sehingga
tertanam rasa takut dan harap hanya kepada Allah SWT.
d). Mengajarkan al-Qur’an, akhlakul karimah, sesuai tuntunan Rasulullah
SAW.
32
Ibid, hal. 23 33
Ibid, hal. 24 34
Ibid, hal. 29-30
135
e). Menjaga anak-anak dari pengaruh buruk televisi, internet, dan media
lainnya yang dapat merusak fisik dan mental mereka.
f). Memberi makanan yang bergizi dan menjaga kebersihan serta kesehatan
anak-anak
g). Perbanyak waktu bersama anak-anak, agar terjalin kedekatan antara ibu
dan anak-anak. Jika hubungan ibu dan anak memiliki ikatan bathin yang kuat,
maka akan lebih mudah untuk mendidik serta mengarahkan mereka.
Keluarga dalam hal ini adalah satu-satunya lingkungan yang mampu
mendidik anak-anak menjadi sosok muslim yang saleh. Keluarga adalah lahan
istimewa untuk menanamkan perasaan cinta kepada Allah dan Rasul, juga
perasaan cinta kasih dan gotong royong. Dari keluarga yang saleh inilah kelak
terbangun sebuah masyarakat muslim yang bersolidaritas dan berlandaskan serta
altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri
sendiri) yang melenyapkan segala faktor pemicu konflik dan ketegangan.35
Pendidikan dalam keluarga memiliki pengaruh besar yang tidak tertandingi
oleh pengaruh organisasi sosial manapun dalam pembentukan dan
penggemblengan kepribadian, khususnya pada masa anak-anak.36
Selain itu, peranan keluarga dalam meningkatkan kemampuan olah pikir
anak tidak dapat dipungkiri. Kemampuan dasar berpikir anak banyak dibentuk
dalam keluarga. Apalagi kalau orang tua memiliki perhatian yang cukup besar
35
Mahmud Muhammad Al-Jauhari., Op.Cit., hal.20 36
Ibid, hal.20
136
terhadap hal tersebut. Peranan seperti ini memiliki arti bahwa pengembangan
intelektual seperti melatih berpikir logis, analitis, kritis, dan rasional, tidak hanya
berlangsung dalam lingkungan akademis di sekolah, meskipun pada kenyataannya
sekolah berperan lebih besar dalam pencerdasan anak.37
Begitu pula jika seorang anak menampakkan kecenderungan memberikan
perhatian kepada orang lain. Maka orang tua harus memotivasinya dan
mengembangkan naluri ini kepadanya. Bila seorang anak memberikan pelayannan
atau bantuan tertentu kepada tetangganya atau kerabat dan kawannya, maka wajib
bagi kita memberikan semangat atas kecenderungan ini, dengan menyodorkan
hadiah yang pantas baginya. Bila seorang puteri telah mencapai usia 9 tahun (usia
baligh dan taklif), dan seorang putera telah mencapai usia baligh dan taklif,
hendaknya perangai takwa mendalam pada eksistensinya dan hadir dalam
perilakunya.38
Sifat ketakwaan ini tidak mungkin berpindah kepada anak, kecuali melalui
lingkungan keluarga dan berpengaruh langsung orang tua, yang menanamkan
nilai-nilai keagamaan pada jiwa anak dengan mendidik mereka mengenal ma’ad
(hari kebangkitan) serta takut kepada Allah SWT. Selanjutnya diantara hak-hak
anak juga adalah adab (sopan santun). Orang yang tidak menghias dirinya dengan
adab yang baik, akan terisolir dari masyarakat dan dikeluarkan dari lingkup
hubungan-hubungannya yang wajar. Dan orang yang terisolir dari masyarakat,
37
Thomas Lickona., Op.Cit., hal. 96-97 38
Ibid, hal.25
137
hidupnya menjadi persemayan kejahatan, karena ia tumbuh pada lingkaran yang
mendorongnya menuju kejahatan dan penyelewengan.39
Sungguh, orang tua mempunyai peranan mendasar dalam mendidik anak
hingga pada persoalan sekecil-kecilnya. Lantaran itu, orang tua harus mengajarkan
kepada anak cara berbicara, duduk, memandang makan, dan berhubungan dengan
orang lain di rumah, di sekolah, dan di masyarakat.
Anak-anak sebagai tanaman mulia yang sedang tumbuh, akan meniru garis
kedua orang tua mereka dalam hal-hal yang besar maupun yang kecil. Orang tua
bagaikan bagi anaknya. Perumpamaan anak adalah bagaikan kamera yang tidak
bekerja kecuali mengambil gambar yang dikehendakinya.40
Panutan atau teladan adalah orang tua terbaik bagi seorang anak yang masih
berada dalam fase proses kematangan jiwa dan akalnya. Karena itulah, orang tua
sedapat mungkin harus bisa menjadi seorang panutan yang baik lahir dan bathin
bagi anaknya.41
Keluarga bertanggung jawab mendidik anak-anak dengan benar dalam
kriteria yang benar, dan jauh dari penyimpangan. Rasa kasih dan sayang pada anak
memiliki hubungan paling besar pada komposisi individu-individu yang benar.
Anak-anak tidak siap menerima segala nasihat atau bimbingan kecuali ada
semacam rasa cinta yang tulus di antara anggota keluarga.
39
Ibid, hal.26 40
Ibid, hal.28 41
Syaikh M Jamaluddin Mahfuzh., Op. Cit., hal. 227
138
Anak sebagai tanaman yang tumbuh, sehingga peran pendidik atau orang tua
adalah sebagai tukang kebun, dan sekolah merupakan rumah kaca dimana anak
tumbuh dan matang sesuai dengan pola pertumbuhannya yang wajar. Sebagai
tukang kebun berkewajiban untuk menyirami, memupuk, merawat, dan
memelihara terhadap tanaman yang ada dalam kebun. Ilustrasi itu menggambarkan
bahwa sebagai orang tua ataupun pendidik. haruslah melaksanakan proses
pendidikan agar mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak
didik. Suatu konsekuensi alami dari pertumbuhan dan kematangan ibarat pohon,
banyak miripnya dengan mekarnya bunga dalam kondisi yang tepat. Dapat
dikatakan, bahwa apa yang akan terjadi pada anak tergantung pada pertumbuhan
secara wajar dan lingkungan yang memberikan perawatan. Adapun pertumbuhan
yang dialami adalah kegiatan bermain dan kesiapan atau proses kematangan. Isi
dan proses belajar terkandung dalam kekuatan bermain dan materi serta aktivitas
dirancang untuk kegiatan bermain yang menyenangkan dan membahayakan.42
Pada masa anak-anak umumnya yang siap untuk belajar adalah melalui
motivasi dan bermain. Hal itu menunjukkan bahwa anak-anak akan siap untuk
dikembangkan keterampilannya apabila telah mencapai suatu tingkatan dimana
mereka dapat mengambil keuntungan dari suatu instruksi yang tepat. Setiap anak
mempunyai jadwal kematangan berbeda dan merupakan faktor bawaan. Masing-
masing anak berbeda waktunya, maka sebaiknya orang tua tidak memaksa anak
untuk belajar sesuatu apabila belum siap atau matang. Apabila anak belum siap
42
Mansur., Op. Cit., hal. 3-4
139
belajar menunjukkan bahwa anak itu belum matang, proses yang alami belum
terjadi. Oleh karena itu orang tua hendaknya selalu memberi motivasi dalam
kegiatan bermain untuk mengembangkan keterampilan anak.43
4. Cara Mengaplikasikan Hukuman
Prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman, yaitu bahwa
hukuman adalah jalan yang terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak
menyakiti anak. Tujuan utama dari pendekatan umum ini adalah untuk
menyadarkan anak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya.
a. Melalui Teguran Langsung
Umar bin Abi Salamah r.a berkata,”Dulu aku pernah menjadi pembantu di
rumah Rasulullah SAW. Ketika makan, biasanya aku mengulurkan tanganku ke
berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, “Hai ghulam, bacalah basmallah,
makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu”.
1). Rasulullah SAW senatiasa menyempatkan untuk makan bersama anak-
anak. Cara tersebut akan memperat keterikatan batin antara orang tua
dengan anak. Dengan begitu, dapat diluruskan kembali berbagai
kekeliruan yang mereka lakukan melalui dialog terbuka dan diskusi.
Alangkah baiknya jika orang tua berkumpul dengan anak-anaknya ketika
makan bersama, sehingga mereka merasakan pentingnya peran kedua
orang tua. Hal ini juga dapat mempermudah meresapnya segala nasihat
43
Ibid, hal.4
140
oranag tua kepada anak-anaknya, baik itu nasihat dalam hal perilaku,
keimanan, atau pendidikan.
2). Waktu yang beliau pilih pun sangat tepat. Beliau segera menegur ketika
kekeliruan Umr bin Abi Salamah itu terjadi berulang-ulang sebelum
kebiasaan tersebut menjadi kebiasaan sehari –hari. Jika dibiarkan,
kekeliruan akan sulit diluruskan. Kalaupun dapat, kita membutuhkan
waktu dan tenaga yang lebih banyak lagi. Karenanya, mengacu pada
metode Rasulullah SAW di atas, maka kebiasaan jelek anak harus segera
mungkin diluruskan.
3). Sebagai seorang pendidik, Rasulullah SAW memanggil anak dengan
panggilan yang menyenangkan, seperti “wahai ghulam”. Abu
Salamahpun menyenangi panggilan tersebut. Cara tersebut cukup efektif
menarik perhatian anak sehingga mereka tidak kesulitan menerima
nasihat. Ironisnya sekarang ini, jika melihat kekeliruan anak-anaknya,
para orang tua marah besar sambil memanggil dengan sejelek-jelek nama
b. Melalui Sindiran
Mengatasi kesalahan anak melalui sindiran dapat menjaga wibawa anak
dimata teman-temannya, sehingga anak tidak rendah diri. Hal itu mengisyaratkan
bahwa upaya meluruskan kesalahaan anak jangan dilakukan dengan cara
menjatuhkan mentalnya karena itu dapat menimbulkan berbagai kelainan mental.
Selanjtnya ketika orang tua memperbaiki kesalahan anak melalui sindiran,
diharapkan tali kasih dan rasa percaya diri akan membentang di antara mereka.
141
Orang tua merasakan ketenangan dan kerelaan hati tatkala meluruskan kesalahan
sang anak , tanpa harus menyebutkan kesalahaan sang anak tersebut dihadapan
orang banyak.
c. Melalui Pemukulan
Cara mengatasi kekeliruan yang cukup besar di antaranya melalui
pemukulaan yang tidak berbekas. Namun, anehnya, saat ini banyak orang yang
menentang teori tersebut dengan dalih, teori semacam itu tidak
berperikemanusiaan, atau merupakan teori kuno. Padahal, Allah SWT, Sang
Pencipta alam raya, manusia, dan jin, Maha Mengetahui akan kemaslahatan urusan
dunia dan akhirat. Namun “memukul” jangan diartikan sebagai tindakan pukul-
memukul. Dalam cara itu terdapat kode etik secara syar’i yang dapat
melindunginya diantaranya”
1). Orang tua tidak boleh memukul kecuali jika seluruh sarana peringatan
dan ancaman tidak mempan lagi.
2). Tidak boleh memukul dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan
membahayakan diri anak.
3). Pemukulan tidak boleh pada tempat-tempat yang berbahaya, seperti
kepala, dada, perut, atau muka. Hal ini mengacu pada sabda Rasululla
SAW, “Jika salah seorang dari kamu memukul, maka jauhilah muka”.
(HR.Abu Daud)
4). Disarankan agar pukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan.
Sasarannya adalah kedua tangan atau kedua kaki dengan alat pukul yang
142
lunak (tidak keras). Selain itu, hendaknya pukulan-pukulan itu dimulai
dari hitungan satu sampai tiga jika si anak belum baligh. Tetapi, jika
sudah menginjak masa remaja, sementara orang tua melihat bahwa
pukulannya tadi tidak membuat jera si anak, dia boleh menambahnya
lagi sampai hitungan kesepuluh.
5). Jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan, si aanak harus diberi
kesempatan sampai bertaubat dari perbuatannya.
6). Hukuman harus dilakukan oleh orang tua, tidak boleh diwakilkan kepada
orang lain, agar terhindar dari kedengkian dan perselisihan.
7). Orang tua harus dapat menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk
mulai memukul, yaitu langsung ketika anak melakukan kesalahan. Tidak
dibenarkan, apabila orang tua memukul orang bersalah setelah berselang
dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukulan sampai hari
kedua ini hampir tidak ada gunanya sama sekali
8). Jika orang tua melihat bahwa dengan cara memukul masih belum
membuahkan hasil yang diinginkan, orang tua tidak boleh
meneruskannya dan harus mencari jalan pemecahan yang lain.
143
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisa bab sebelumnya maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Dalam memberikan reward tidaklah harus selalu memberikan barang-barang
yang mahal. Dengan kalimat pujian saja, anak sudah merasa senang. Misalnya
ketika mereka mendapatkan nilai baik saat ulangan maka berikan kalimat pujian
yang memotivasi mereka agar mempertahankan nilai bai tersebut. Namun tidak
ada salahnya jika memberikan anak reward berupa barang-batrang. Asalkan
barang tersebut benar-benar sudah dibutuhkannya.
Ketika anak melakukan kesalahan maka jangan langsung dimarahi, karena
hal ini bisa menyebabkaan anak tertekan, secara psikologis. Oleh sebab itu berilah
pengertian dan menasehati anak dengan baik ketika anak melakukan kesalahan itu
dengan kata yang lembut, meskipun sebagai orang tua merasa kesal, karena anak
juga masih dalam tahap perkembangan sehingga si anak masih dalam tahap
belajar. Jika dimarahi terus bisa membuat perkembangan psikis anak jadi tidak
normal.
Cara menerapkan konsep reaward atau hadiah dalam mendidik anak di
lingkungan keluarga yang diajarkan Rasulullah SAW yaitu dengan cara pujian
yang indah, imbalan materi atau hadiah, menyayangi anak, memandang dan
tersenyum kepada anak.
144
Cara mengaplikasikan hukuman dalam mendidik anak di lingkungan
keluarga yang diajarkan Rasulullah SAW yaitu dengan cara melalui teguran
langsung, melalui sindiran dan melalui pemukulan.
B. Saran
Diharapkan kepada orang tua ketika Reward dan Punishment diberikan pada
anak itu agar mereka dapat berubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu
perhatikanlah efek yang akan timbul. Reward dan Punishment di terapkan dengan
harapan anak akan bertambah baik dan menjauh dari tingkah yang buruk.
Diharapkan kepada orang tua agar bijaksana dalam mendidik anak serta
dapat menjadi contoh suri tauladan yang baik pada anak tetap berlandasakan pada
Al-Qur’an, hadits dan sunnah yang telah di ajarkan Rasulullah SAW dalam
mendidik anak. Serta diharapkan pada anak agar bisa berlaku sopan dan bertutur
kata lembut kepada orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Ayu Rianti. 2016. Cara Rasulullah SAW Mendidik Anak. Jakarta:
Gramedia.
Ahmadi, Abu. 2009. Psokologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Andri, Franc Yanuarita. 2004. Rahasia Otak dan Kecerdasan Anak. Yogyakarta:
Teranova Book.
Annur, Saipul. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Palembang: Rafah Press.
Atmaja, Purwa Perwira. 2012. Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Azzerad, Jacob. 2005. Membangun Masa Depan Anak. Bandung: Nusamedia.
Bahri, Syaiful Djamarah. 2005. Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam
Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Bahri, Syaiful Djamarah. 2014. Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam
Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Danim, Sudarwan. 2011. Pengantar Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Darmawan, Hardi. 2011. Jurus Jitu Mendidik Anak. Jakarta: Pustaaka Sinar
Harapan.
Departemen Agama RI. 2014. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Diponegoro.
Elmubarok, Zaim. 2013. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Fathi, Aidil Abdillah. 2012. Membangun Masa Depan Anak. Solo: Pustaka
Arafah.
Hadi, Syaiful. 2015. Pintar Mendidik Anak Ala Rasulullah SAW. Jakarta: Kalam
Mulia.
Hasbullah. 2013. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Iriana, Fristiana. 2016. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Parana Ilmu.
Istadi, Irawati. 2005. Mendidik dengan Cinta. Jakarta: Pustaka Inti.
J, Lexy Moleong. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga. Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga. Jakarta: Prenada Media Group.
Lickona, Thomas. 2008. Pendidikan Karakter Panduan Lengkap. Bandung: Nusa
Media.
Kardjono, Moehari. 2008. Mempersiapkan Generasi Cerdas. Jakarta: Qisthi Press.
Kosim, Muhammad. 2008. Antara Reward dan Punishment. Padang:Ekspress
Rubrik Artikel.
M, Syaikh Jamaluddin. 2007. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
M, Kadar Yusuf. 2013. Tafsir Tarbawi. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Mansur. 2014. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Mas’ud Abdurrahman. 2006. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam.
Jurnal Media.
Mazhahiri, Husain. 2003. Pintar Mendidik Anak. Jakarta: Basritama.
Muhammad, Abdullah Ash-Shubbi. 2010. Seni Mendidik dan Mengatasi Masalah
Perilaku Anak Secara Alami. Jakarta: Pustaka Al-Fadhilah.
Mustafa, Syaikh Al-Adawy. 2009. Fiqih Akhlak. Jakarta: Qisthi Press.
Nashih, Abdullah Ulwan. 2005. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam.
Semarang: Asy-Syifa.
Purwanto, Ngalim. 2011. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Ruslan, Fariadi. 2008. Menyelami Nasihat Lukman Al-Hakim. Hidayah Volume 8
Edisi 87.
Rusmaini. 2011. Ilmu Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo Press.
Rusmaini. 2013. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Felicha.
Schohib, Moch. 2005. Pola Asuh Orang Tua. Jakarta: Rineka Cipta.
Sharif, Baqir Al-Qarashi. 2005. Seni Mendidik Islami. Jakarta: Pustaka Zahra.
Sugiono. 2016. Metodologi Penelitian Kuantitaif Kualitatif R & D. Bandung:
Alfabeta.
Surya, Mohammad. 2010. Landasan Pendidikan Menjadi Guru Yang
Baik.Bandung: Ghalia Indonesia.
Suwaid, Muhammad. 2003. Mendidik Anak Bersama Nabi SAW. Solo: Pustaka
Arafah.
Syamsi, Hasan Basya. 2010. Cara Jitu Mendidik Anak. Jakarta: Zikrul Hakim.
Tafsir, Ahmad. 2011. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tholhah, Muhammad Hasan,. 2005. Islam & Masalah Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Lantabora Press.
Tim Penyusun. 2014. Pedoman Penyusunan dan Penulisan Skripsi Program
Sarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Raden
Fatah. Palembang: IAIN Press.
Ulfatmi.2011. Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam.Jakarta: Kementrian
Agama RI.
Wahab, Rohmalina. 2014. Psikologi Agama. Palembang: Grafika Pelindo Press.
Winarko, Jarot. 2012. Mendidik Anak. Banten: Happy Holly Kids.
Zainudin. 2007. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.
Zuhdiyah. 2012. Psikologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Felicha.
Online
Dwi Hastuti Pungkasari. Diakses pada tanggal 22 Juni 2016. Konsep Reward dan
Punishment dalam Teori Pembelajaran Behavioristik dan Relevansinya dengan
Pendidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Online). http:
//digilib.uin-suka.ac.id//11238/2/BAB I, IV, DAFTAR PUSTAKA.pdf.,
Fitri Nuria Rivah. Di akses pada tanggal 17 Juli 2016. Konsep Pendidikan Agama
Islam Untuk Anak dalam Keluarga Muslim. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(Online). http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2638/1/FIT
RI%20NURIA%20RIVAH FITK.pdf.
Sucipto. Diakses pada tanggal 22 Juni 2016, hal.40.Konsep Pendidikan Karakter
Anak dalam Keluarga.UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Online).http://digilib.ui
nsuka.ac.id/10336/1/BAB%20I,%20IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.