KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF H....
Transcript of KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF H....
i
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF
H. MUZAYYIN ARIFIN
Skripsi
Diajukan kepada fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Disusun oleh:
PUTRI ROBIAH ADAWIYAH
11140110000061
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
ii
iii
iv
v
i
ABSTRAK
Putri Robiah Adawiyah, NIM 11140110000061 “Konsep Pendidikan Islam
dalam Perspektif H. Muzayyin Arifin”, Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tujuan penelitian untuk mengetahui konsep pendidikan Islam dan solusi dari
problem-problema pendidikan Islam menurut H. Muzayyin. Jenis penelitian yang
digunakan ialah penelitian kualitatif dengan metode library research Dengan
menelaah buku-buku dari tokoh H. Muzayyin Arifin. Salah satu sumber primer
yang digunakan yaitu buku Ilmu Pendidikan Islam karya H. Muzayyin Arifin.
Dalam analisis data menggunakan deskriptif analisis dengan fokus kajian yang
dibahas dalam penelitian ini adalah konsep pendidikan Islam menurut H.
Muzayyin Arifin.
Dalam skripsi ini dibahas tentang pendidikan Islam dan problema pendidikan
Islam menurut H. Muzayyin Arifin. Menurut H. Muzayyin Arifin pendidikan
Islam ini merupakan sistem pengubahan tingkah laku manusia agar menjadi
manusia yang bertanggung jawab dan beradab, sesuai dengan nilai-nilai islami.
IPTEK memang sudah menjadi tumpuan harapan bagi manusia zaman sekarang,
oleh karena itu H. Muzayyin Arifin menjawab solusi dengan mengembangkan
fitrah manusia agar manusia mempunyai tujuan pendidikan Islam dengan baik dan
tidak melenceng serta dapat tetap menjalani hidupnya sesuai dengan
perkembangan zaman sekarang dengan tidak meninggalkan IPTEK.
Kata Kunci: Pendidikan Islam, IPTEK, Fitrah
ii
ABSTRACK
Putri Robiah Adawiyah, NIM 11140110000061 “The Concept Islamic Education
in H. Muzayyin Arifin”, Skripsi, Departement of Islamic Education, Faculty of
Tarbiya and Teacher’s Training, Syarif Hidayatullah state University Jakarta,
2018.
The purpose of the study is to find out the concept islamic education in H.
Muzayyin Arifin and the solution to the problem of islamic education. The type of
research used is qualitative research with library research methode with
reviewing books of works H. Muzayyin Arifin. One of the primary sources used is
islamic education books by H. Muzayyin Arifin. In this analysis using descriptive
analysis. The focus of the study discussed in this study is the concept islamic
education in H. Muzayyin Arifin.
In this paper discussed about islamic educatin and the problem of islamic
education. In H. Muzayyin Arifin, islamic education is the system of canging
human behavior in order to be a responsible and civilized human in accordance
with islamic values. Science and teknologi has indeed become the foundation of
human hope today. So H. Muzayyin Arifin answered the solution by developing
human potential in order to have good islamic education goals and not off the
mark. And still can live his life in accordance with the development of the present
and not leave.
Kerwords: Islamic Education, Science and Technology, Nature
iii
KATA PENGANTAR
حيم حمن الره الره بسم للاه
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, serta yang telah melimpahkan keimanan, memberikan
Nikmat sehat kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan
dengan sebaik-baiknya dan semoga memberi manfaat bagi yang membacanya.
Shalawat serta salam kepada satu-satunya uswah (suri tauladan) yang baik
yaitu Nabi Muhammad SAW. Beserta para keluarganya, para sahabatnya, Tabi’in,
Tabiut’ tabiin dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Pendidikan (S.Pd) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama Penulisan Skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak
sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat Do’a, perjuangan,
kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai
pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. H. Abdul majid Khon, M.Ag., Selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Agama Islam dan Dosen Penasehat Akademik Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
4. Hj. Marhamah Saleh, Lc., M.A., Selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Zaimuddin M.Ag., Selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh
perhatian dalam memberikan Bimbingan, arahan, dan Motivasi serta Ilmu
Pengetahuan kepada Penulis. Semoga Allah Memberikan keberkahan dan
membalas semua kebaikan bapak. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu
namun tidak sedikit pun mengurangi rasa hormat dan takzim penulis,
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan membimbing penulis
selama masa kuliah di Jurusa Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Semoga ilmu yang telah bapak dan ibu berikan
mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.
7. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan (FITK) dan Bu Isti selaku staf
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Kedua orang Tua ku tercinta, yaitu H. Ahmad Juaeni dan Ibunda Siti
Khojanah yang telah merawat dengan penuh kasih sayang, yang berjuang
untuk memberikan Pendidikan yang terbaik kepada Putrinya, mendidik
dengan sabar, tulus, Ikhlas, serta memotivasi dan mendoakan penulis
dalam setiap langkahnya. Semoga Allah SWT memberkahi dan membalas
kebaikan bapak dan Ibu dengan mengkaruniakan Surga Tanpa Hisab.
Aamiin Ya Rabbal Alamin.
9. Kakak-kakak dan adik-adikku, Asef Muhammad Rifat, Dalli Dahlia,
Winda Fitriana Sari, Hasbiallah, Mohammad Riziq, Muhammad Raihan,
Dinar Syihabul Millah, yang selalu membuatku semangat dengan segala
dukungan dan doa mereka.
10. Teman-teman terbaikku, Ari Noer Khoiriyyah, Nurlaila Fitriani, Iis
Meiliani, Dina Nova Yana, Rizkah Fadliah, Zahrah Nurnajmi Laila,
Luthfiah Nur Annisa, Nurul Maemunah, Mulyani Zakiyah. Mereka yang
v
selalu menemaniku selama perkuliahan dan memberi semangat dalam
kuliah.
11. Teman Kelas B ‘’PUKIS’’ Yang selalu sama-sama memberikan semangat
satu sama lain, sama-sama menempuh Pendidikan S1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian Skipsi ini dibuat. Seperti pepatah dikatakan tiada gading
yang tak retak, begitupun dengan pembuatan skripsi ini, penulis menyadari
dan mengakui bahwa masih terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, baik yang berkaitan dengan segi penulisan, susunan kalimat,
atau lainnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sagat penulis
harapkan dalam membangun kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bisa bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama, lebih khususnya bagi penulis
sendiri, dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan dunia pendidikan, khususnya pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 30 Oktober 2018
Penulis,
Putri Robiah Adawiyah
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAUJIAN
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 8
C. Rumusan Masalah ............................................................... 9
D. Pembatasan Masalah ........................................................... 9
E. Tujuan Penelitian ................................................................. 9
F. Manfaat Penelitian ............................................................... 9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Islam ................................................................. 10
1. Pengertian Pendidikan Islam .......................................... 10
2. Landasan Pendidikan Islam ............................................ 14
3. Tujuan Pendidikan Islam ................................................ 18
4. Metode Pendidikan Islam ............................................... 24
B. Konsep Fitrah Manusia dalam Al-Qur’an ........................... 26
1. Pengertian Fitrah ............................................................. 26
2. Potensi-potensi Dasar Manusia ....................................... 30
3. Kaitan Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam ............. 34
C. Konsep Manusia dalam Al-Qur’an ..................................... 37
1. Pengertian Manusia ........................................................ 37
2. Proses Penciptaan Manusia ............................................ 42
D. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................. 46
vii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................ 47
B. Jenis Penelitian .................................................................... 47
C. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 49
D. Teknik Analisis Data ........................................................... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Biografi H. Muzayyin Arifin ............................................... 53
B. Pendidikan Islam Menurut H. Muzayyin Arifn ................... 55
C. Tujuan Pendidikan Islam menurut H. Muzayyin Arifin ...... 57
D. Metode Pendidikan Islam menurut H. Muzayyin Arifin ..... 61
E. Proses Pengembangan Fitrah Manusia ................................ 63
F. Membangun Manusia Ideal dalam Pendidikan ................... 68
G. Problem-Problem Pendidikan Islam .................................... 71
H. Solusi-solusi Pendidikan Islam............................................ 78
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan .......................................................................... 84
B. Saran .................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal era modern para pemikir dan pemimpin muslim menyadari
betapa pentingnya pendidikan sebagai upaya memajukan umat, terutama untuk
menghadapi hegemoni sosial, ekonomi dan kebudayaan barat. Dalam masyarakat
yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan
perkembangan masyarakat, ekonomi dan budaya tersebut. Oleh sebab itu,
pendidikan merupakan usaha melestarikan dan mengalihkan serta
mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya
kepada generasi penerus. Pendidikan sebagai cara paling efektif untuk
menghadapi persoalan kejumudan dan kemunduran umat selama ini. Pendidikan
Islam diharapkan bisa mengakomodasi perkembangan-perkembangan baru di
barat.1
Pendidikan merupakan upaya untuk membantu manusia memperoleh
kehidupan yang bermakna, sehingga diperoleh suatu kebahagiaan hidup baik
secara individu maupun kelompok. Sebagai proses, pendidikan memerlukan
sebuah sistem yang terprogram dan mantap, serta tujuan yang jelas agar arah yang
dituju mudah dicapai.2
Menurut Saifuddin Anshari yang dikutip oleh Azyumardi Azra bahwa
pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh
subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, dan
intuisi), dan raga objek didik dengan bahan materi tertentu, pada jangka waktu
tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kea rah
terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam.3
1 Abdul Ghofur, Konstruksi Epistemologi Pendidikan Islam, Jurnal Kependidikan Islam,
Vol 2, No 2, Desember 2016, h. 239 2 Muhammad Haris, Pendidikan Islam dalam Perspektif H.M Arifin, Jurnal Ummul Qura
Vol VI, No 2, September 2015, h. 2 3 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, (Jakarta: Kencana, 2014), cet. 2, h. 6
2
Konsep pendidikan pada era globalisasi menurut penulis, selain dengan
menanamkan nilai-nilai yang baik, harus juga disesuaikan dengan perkembangan-
perkembangan yang ada saat ini. Seperti perkembangan ilmu pengetahuan-
teknologi dan sebagainya. Sehingga dengan pendidikan yang baik, akan
mendorong peserta didik ke arah ekonomi yang lebih baik.
Namun pendidikan tersebut, harus diimbangi dengan upaya melestarikan
budaya bangsa, agar generasi kedepan memiliki rasa cinta tanah air dan tidak
terpengaruh oleh budaya luar.
Saat ini, kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan
monoton, teacher centered, top down, mekanis, orientasi kognitif dan tujuan
pendidikan kadang telah melenceng. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek
dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu
memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul.
Pendidikan dianggap tidak cukup efektif memberikan kontribusi dalam
penyelesaian masalah, karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya
melakukan perubahan terhadap pendidikan, termasuk melakukan perubahan
paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan.4
Al-Quran yang merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang
berbicara mengenai fitrah, yang secara normatif syarat dengan nilai-nilai
transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian
pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun
ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya
melalui proses humanisering sehingga keberadaan manusia semakin
bermakna. Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber daya manusia tersebut
dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah
maupun tauhid uluhiyah.
4 Tian Wahyudi, Konsep Pembelajaran Berbasis Potensi FItrah, Tesis Pada Pascasarjana
UIN Yogyakarta, h. 3
3
Dari pembahasan ini, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan di dalam
kelas saat ini lebih banyak berpusat pada guru sebagai sumber utama dari ilmu
pengetahuan atau disebut juga teacher centered. Dan masih banyak pula pendidik
memandang tugasnya hanya mengajar di kelas, sekadar menjalankan kewajiban
pekerjaan. Bukan mendidik untuk mengubah tingkah laku peserta didik menjadi
lebih baik, sehingga ia menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama dan
mengharap ridho Allah Swt.
Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan
kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada
untuk pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya
telah memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai
agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia, bahkan
menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan
eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna.5
Islam pada dasarnya tidak mengenal adanya perbedaan antar sesama
manusia kecuali atas dasar ketakwaannya kepada Allah dan kebaikan perilakunya
dalam kehidupan. Dengan dasar ini Islam memberi kesempatan diciptakan dari
lempung seperti tembikar, kemudian disebutkan pula ia diciptakan dari lempung
dari lumpur yang dicetak.6
Namun potensi yang dimiliki setiap manusia itu tak sepenuhnya
berkembang secara optimal, para ahli Psikologi telah memperkirakan bahwa
manusia hanya menggunakan sepuluh persen dari kemampuan yang dimilikinya
sejak lahir. Oleh karena itu, tugas orang tua dan para pelaku pendidikan, untuk
mengembangkan segala potensi yang dimiliki setiap anak agar mampu
berkembang secara optimal melalui sebuah proses pembelajaran yang efektif.7
Dari paparan di atas, Penulis menyimpulkan bahwa fitrah adalah potensi
yang ada pada manusia sejak lahir dan mempunyai fitrah bermacam-macam, salah
5 Guntur Cahaya Kesuma, Konsep FItrah Manusia Perspektif Pendidikan Islam,
Ijtimaiyya, Vol 6, No 2, Agustus 2013, h. 80 6 Nurul Huda, “Konsep Pendidikan Al-Fitrah dalam Al-Qur’an”, Tesis Pada Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta , h. 3-4 7 Ibid, h. 4
4
satunya fitrah tauhid atau fitrah beragama. Namun dalam pendidikan, fitrah
sangatlah penting untuk dikaji karena fitrah adalah potensi yang harus di gali dan
dioptimalkan melalui sistem pendidikan yang baik.
Salah satu persoalan pokok yang perlu diketahui tentang manusia sebagai
peserta didik ialah sifat-sifat dasar (pembawaan) yang dimiliki manusia ketika ia
dilahirkan. Dalam literatur Islam, masalah ini dibahas dengan topik fithrah. Para
ahli pendidikan sepakat menyatakan bahwa teori dalam pendidikan sangat
dipengaruhi dan ditentukan oleh pandangan tentang fitrah manusia.8
Tujuan pendidikan adalah untuk memfungsikan pendidikan sesuai dengan
fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk
menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus pendidikan yang
berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk mengaktualisasikan potensi
peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problem yang
dihadapi. Merancang pendidikan agar fungsional bagi kehidupan peserta didik
dalam menghadapi kehidupan di masa mendatang. Pendidikan haruslah
membesarkan dan mencerdaskan warga Negara dari berbagai belenggu yang ada
sesuai dengan potensi atau fitrah manusia.9
Pandangan atau konsepsi tentang fitrah manusia ini menjadi pangkal tolak
dari teori dan pelaksanaan pendidikan. Ia menentukan apakah pendidikan
diperlukan atau tidak, apakah pendidikan berguna atau tidak. Jika diperlukan,
aspek apa saja yang perlu ditumbuhkembangkan dalam pendidikan serta
bagaimana melakukannya. Kata fitrah lalu diberi arti suci, potensi-potensi baik,
Islam, dan lain-lain. Semua kata ini merupakan beberapa aspek penting dari fitrah
manusia menurut pandangan Islam.10
Dari pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan
pendidikan merupakan hasil akhir dari pendidikan, namun tujuan itu harus
disesuaikan dengan fitrah yang ada agar tujuan itu tidak menyimpang. Fitrah pula
8 Abdul Basyit, Memahami Fitrah Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam,
Rausyan Fikr, Vol. 13, No. 1, Maret 2017 ISSN. 1979-0074, h. 1340 9 Tian Wahyudi, “Konsep Pembelajaran Berbasis Potensi FItrah”, Tesis Pada
Pascasarjana UIN Yogyakarta, h. 5 10
Abdul Basyit, Memahami Fitrah Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan
Islam, Rausyan Fikr, Vol. 13, No. 1, Maret 2017 ISSN. 1979-0074, h. 1340-1341
5
yang menjadi dasar penting untuk dapat mendewasakan diri dari problem-problem
pendidikan agar bisa mengatasinya dengan baik.
Adapun sifat khas yang bersumber pada bakat, besar peranannya dalam
proses pendidikan, yang sangat ideal jikalau kita dapat memberikan pendidikan
yang benar-benar sesuai dengan bakat manusia. Bakat, disposisi disebut juga
potensi dasar, masalahnya sudah sama tuanya dengan manusia itu sendiri, sejak
dahulu manusia telah berusaha menggarap masalah ini, walaupun tentu saja kalau
dipandang dari kaca mata ilmu pengetahuan modern dewasa ini hasilnya masih
sangat jauh dari memuaskan. Urgensi untuk menggarap masalah ini masih tetap
hangat hingga sekarang terlebih-lebih dalam hubungan dengan usaha pendidikan
saat ini.11
Penelitian masalah fitrah manusia sangatlah penting baik itu secara filosofis,
sosiologis maupun pedagogis. Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh
Nailah Farah dan Cucum Novianti menjelaskan bahwa Sejak zaman Mesir kuno,
Yunani, Romawi, Persia, India, cina sampai abad kita ini ahli-ahli filsafat dan
ilmu pengetahuan telah memikirkan bagaimana sebaiknya generasi muda
dipersiapkan untuk menghadapi tantangan zaman pada masa yang akan datang.12
Salah satu kekuatan penting dari pendidikan Islam, khususnya untuk
konteks Indonesia, adalah moral. Lembaga pendidikan Islam menjadi institusi
yang memiliki kepercayaan moral sangat besar yang diberikan oleh masyarakat.
Dengan kekuatan moral ini, lembaga pendidikan Islam tidak saja dianggap
menjadi medium pengembangan wawasan atau pengetahuan keislaman di
Indonesia, akan tetapi juga katup pengaman moral atas perkembangan dan atau
perubahan zaman yang bila tidak diantisipasi berpotensi memunculkan dampak
negatif bagi masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah pentingnya lembaga
pendidikan Islam dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang muncul di
era globalisasi ini.13
11
Naila Farah dan Cucum Novianti, Fitrah dan Perkembangan Jiwa Manusia dalam
Perspektif Al-Ghazali, Yaqhzan Vol. 2, Nomor 2, Desember 2016, h. 189-190 12
Ibid, h. 190 13
Siti Suwaibatul Aslamiyah, Problematika Pendidikan Islam di Indonesia, Alhikmah
Jurnal Studi Keislaman, Volume 3, Nomor 1, Maret 2013, h. 73
6
Dari paparan di atas, menurut penulis bahwa lembaga pendidikan Islam
tidak hanya untuk mewadahi ilmu keislaman saja, akan tetapi menjadi panutan
moral khususnya di Indonesia ini, sebagai penghambat dari arus globalisai yang
terdapat dampak negatifnya.
Pendidikan Islam menghadapi berbagai persoalan, salah satunya yaitu
berkaitan dengan normatif-filosofis. Lembaga pendidikan Islam belum bisa
menuntaskan model lembaga pendidikan yang adaptik terhadap perkembangan
zaman, apakah model pesantren yang lebih menampilkan watak tradisionalnya
yang mengidealisasikan masa lalu, atau model madrasah yang menampilkan
kemoderenan yang lebih pragmatis dan progresif, atau model pesantren moderen
yang lebih mengacu ke masa depan dengan tetap mempertahankan ruh
keislaman seperti yang terdapat dalam pesantren. Selain itu pendidikan Islam
masih belum dapat menemukan konsep ilmu-ilmu keislaman, apakah dengan
menggalinya dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Hadits, atau dengan adopsi
ilmu-ilmu sekuler yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits, atau
dengan mengambil konsep-konsep ilmu sekuler dan mencarikan ayat Al-Qur’an
dan Hadits untuk mengintimidasinya, atau dalam bentuk asimilasi yaitu dengan
mengambil konsep ilmu sekuler dan menyesuaikannya disana sini. Walaupun
sudah ada pemikiran ke arah Islamisasi ilmu pengetahuan, pengintegrasian
IMTAK dan IPTEK namun dalam prakteknya masih menjurus kepada dualisme-
dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum dalam kurikulum
lembaga pendidikan Islam.14
Dampak dari perkembangan dan kemajuan Iptek telah bermunculan, yang
pada prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental spiritual. Permasalahan
baru yang tampaknya harus segera dipecahkan oleh pendidikan Islam khususnya
adalah dehumanisasi pendidikan dan netralisasi nilai-nilai agama. Terjadinya
benturan antara nilai-nilai sekuler dengan absolutisme dari Tuhan. Akibat
rentannya pola pikir manusia teknologis yang bersifat pragmatis-relativistis
menurut pendidikan Islam harus membuktikan kemampuan dalam mengendalikan
14
Ibid, h. 76
7
dan menangkal dampak negatif dari Iptek terhadap nilai-nilai etika keagamaan
Islam serta nilai-nilai moral dalam kehidupan individual dan sosial.15
Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan pendidikan saat ini harus
menghadapi IPTEK yang mana sangat besar pengaruh manfaatnya di zaman
sekarang, namun apabila terlalu berlebihan mengacu pada IPTEK, maka kekuatan
spiritual bangsa kita akan menurun karena mempunyai dampak yang negative
pula sehingga nilai-nilai spiritual pun menurun. Dan masih jadi permasalahan
mengenai integrasi antara IMTAK dan IPTEK saat ini agar seimbang dalam di
dunia pendidikan Islam.
Menurut Hasbullah yang dikutip oleh Zaenal Mustakim, mengatakan bahwa
adanya tuntutan modernisasi pendidikan yang menjadi ciri zaman sekarang
memiliki dimensi dan kekuatan yang sangat kuat dan dahsyat. Terjadinya evolusi
semacam ini memang dilatarbelakangi berbagai alasan, tingkat perkembangan
ekonomi, kemajuan teknologi, kebudayaan dan sistem politiknya, tidak bisa
dipungkiri bahwa inilah fenomena global yang sedang dihadapi dunia
pendidikan sekarang ini.16
Mengingat kekhawatiran akan pengaruh jangka panjang dari kemajuan
iptek yang mungkin melampaui batas, pendidikan Islam harus bertindak untuk
mencegah bahaya-bahaya yang menyertai kemajuan tersebut. Pendidikan Islam
dituntut untuk mampu menciptakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang bermuara pada nilai-nilai Islam.17
Keyakinan diri dan kemampuan menghadapi masa depan sangat tergantung
pada bagaimana cara berpikir. Jika Islam mengajarkan bahwa Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka sendiri mengubah apa yang ada
pada diri mereka, maka interpretasi yang paling sesuai dengan perubahan nasib
sangat tergantung pada perubahan cara berpikir. Sebab cara berpikir merupakan
salah satu hal yang paling substantif dalam diri manusia.18
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Islam
saat ini menghadapi ekonomi yang maju, sains, kebudayaan dan sistem politiknya,
15
M. Slamet Yahya, Strategi Pendidikan Islam Menghadapi Kemajuan Iptek, Insania,
Volume 11, Nomor 1, Januari-April 2006, h. 4-5 16
Zaenal Mustakim, Pendidikan Islam, Globalisasi Teknologi Informasi, dan Moralitas
Bangsa, Forum Tarbiyah, Volume 11, Nomor 1, Juni 2013, h. 39. 17
Ibid, h. 39 18
Ibid, h. 46
8
jika tidak di perbaharui pendidikan Islam kita, maka kita akan tertinggal jauh dari
masalah-masalah tersebut. Dan semua itu harus di kuasai dengan seluruh pikiran
dan kemampuan kita agar kita tidak tertinggal di era globalisasi ini.
Maka, dalam usaha pembaruan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara
jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits yang menyangkut dengan
"fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan
tersebut akan menjadi konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat
atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik
jikalau kondisi-kondisi lingkungan (sosial-kultural) diperhatikan. Jadi,
apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal
yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang
sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan secara empiris prinsip-prinsip yang
mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan (sosial-kultural) yang
dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi, tanpa kerangka dasar filosofis dan
teoritis yang kuat, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya fondasi
yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti.19
Dari latar belakang di atas, maka yang akan penulis simpulkan adalah
pendidikan harus mempunyai dasar filosofis untuk memajukan dunia pendidikan
Islam dengan berbagai faktor, berawal dari fitrah itu sendiri yang harus kita
ketahui apa saja potensi-potensi yang ada pada diri sendiri. Kemudian setelah itu
mempunyai tujuan yang benar, sehingga apapun tantangnnya apalagi di dunia
pendidikan Islam saat ini kita telah kuat dengan fondasi yang ada.
B. Identifikasi Masalah
1. Pendidik belum mengetahui potensi dari setiap anak didiknya.
2. Rentannya pola pikir manusia teknologis yang pragmatis-relativistis yang
akan berakibat kurangnya nilai-nilai etika keagamaan
3. Lembaga pendidikan Islam belum bisa menuntaskan model lembaga
pendidikan yang adaptik terhadap perkembangan zaman.
19
Ibid, h. 48
9
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Pendidikan Islam menurut H. Muzayyin Arifin?
2. Bagaimana H. Muzayyin Arifin memandang problematika pendidikan
Islam dan solusinya?
D. Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah di sini adalah resolusi yang ditawarkan H.
Muzayyin Arifin pada pengembangan pendidikan di masa depan untuk
menyelesaikan problem-problem pendidikan Islam kekinian dan yang akan
datang.
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam menurut H. Muzayyin Arifin
2. Untuk mengetahui problematika pendidikan Islam dan solusinya
F. Manfaat Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua bagian,
yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Bagi Pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, berupa
pengetahuan mengenai solusi pendidikan untuk menyempurnakan
pengembangan fitrah di era IPTEK dan sebagai kontribusi pemikiran bagi
dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan Islam.
2. Kegunaan Praktis
Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai konsep pendidikan
Islam dan problematika pendidikan Islam serta solusinya menurut H. M
Arifin
10
BAB II
KAJIAN TEORI
Di sini penulis akan membahas pengertian Pendidikan Islam, konsep
manusia dalam Al-Qur’an, konsep Fitrah, dan kaitan fitrah manusia dengan
pendidikan Islam. Adapun yang pertama penulis akan bahas yaitu pengertian
pendidikan Islam.
A. PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian Pendidikan Islam
Ada tiga terminologi yang digunakan para ahli untuk menunjuk
istilah pendidikan Islam, yaitu ta‟lim, tarbiyah, dan ta‟dib.
a. Ta‟lim
Kata ta‟lim merupakan masdar dari kata „allama yang berarti
pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian, pengertian,
pengetahuan dan keterampilan. Pengertian ta‟lim hanya sebatas proses
pentransferan seperangkat nilai yang ditransfer secara kognitif dan
psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif.20
Menurut Samsul Nizar, pengertian ta‟lim mengandung makna,
bahwa pendidikan merupakan proses pentransferan seperangkat
pengetahuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Dengan kekuatan
yang dimilikinya, baik kekuatan pancaindera maupun akal, manusia
dituntut untuk menguasai materi yang ditransfer. Kekuatan tersebut
berkembang secara bertahap dari yang sederhana ke arah yang lebih
baik.21
Adapun menurut Ahmad Tafsir yang mengutip Jalal, menjelaskan
bahwa ta‟lim tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriah, juga tidak
hanya sampai pada pengetahuan taklid. Ta‟lim mencakup pula
pengetahuan teoritis, mengulang kaji secara lisan, dan meyuruh
melaksanakan pengetahuan itu. Ta‟lim mencakup pula aspek-aspek
pengetahuan lainnya seperti keterampilan yang dibutuhkan dalam
kehidupan serta pedoman berperilaku. Pengertian ini diambil Jalal dari
20
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 86 21
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Inteletktual dan pemikiran HAMKA
tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 106
11
ayat 5 surat Yunus. Ayat ini menjelaskan aspek-aspek pengetahuan seperti
ilmu falak, teknik, dan logika. 22
b. Tarbiyah
Tarbiyah berasal dari kata rabba, yarbu tarbiyatan yang memiliki
makna tambah (zad) dan berkembang (numu). Pengertian ini misalnya
terdapat dalam surat ar-rum ayat 39 yang artinya “Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikaan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”.23
Berdasarkan ayat tersebut, maka tarbiyah dapat berarti proses
menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta didik,
baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.24
Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-
nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan
pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain
pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi
ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek
kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik.25
c. Ta‟dib
Menurut Naquib Al-Attas yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, istilah
ta‟dib adalah istilah yang paling tepat digunakan dalam menggambarkan
pengertian pendidikan, sementara tarbiyah terlalu luas karena pendidikan
dalam istilah ini mencakup juga untuk hewan. Selanjutnya ia menjelaskan
bahwa istilah ta‟dib merupakan mashdar kata kerja addaba yang berarti
pendidikan. Dari kata addaba ini diturunkan juga kata adabun. Menurut
Al-attas yang dikutip Ahmad Tafsir, adabun berarti pengenalan dan
pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur
secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan
22
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2015), Cet.
Ke-3, h. 41 23
Ibid, h. 40 24
Ibid, h. 40 25
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Inteletktual dan pemikiran HAMKA
tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 113
12
mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya
dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah,
intelektual, maupun ruhaniah seseorang.26
Dari ketiga kata tersebut yaitu ta‟lim, tarbiyah dan ta‟dib, maka
penulis menyimpulkan bahwa kata yang paling tepat untuk definisi dari
pendidikan yaitu ta‟dib. Karena ta‟dib lah yang mempunyai pengertian
secara komprehensif. Tidak hanya mentransfer ilmu saja, tidak hanya
mengasuh peserta didik saja, melainkan dapat memberikan arahan, ilmu,
serta keterampilan dan dapat mengetahui dan memahami mana yang baik
dan mana yang buruk.
Pendidikan dari segi istilah menurut Hasan Langgulung yaitu
“suatu Proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk
menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang
yang sedang dididik”.
Menurut Azyumardi Azra “pendidikan adalah proses pemindahan
nilai-nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya.”27
Sedangkan menurut M. Kanal Hasan yang dikutip oleh Samsul
Nizar, bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses yang komprehensif
dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang
meliputi intelektual, spiritual, emosi, dan fisik. Sehingga seorang muslim
disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya di sisi
Tuhan sebagai hamba dan wakil-Nya di muka bumi.
Adapun menurut Marimba yang dikutip oleh Ahmad Tafsir,
pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.28
26
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2015), Cet.
Ke-3, h. 39 27
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 5 28
Op.cit, h. 34
13
Sedangkan pendidikan dalam wacana keislaman lebih popular
dengan istilah Tarbiyah, Ta‟lim, dan Tadib. Masing-masing istilah tersebut
memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian disebut secara
bersamaan. Namun kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika
disebut salah satunya, sebab beberapa buku pendidikan Islam, semua
istilah itu digunakan secara bergantian guna memiliki peristilahan
pendidikan Islam.29
Pendidikan disebut sebagai suatu proses belajar mengajar, karena
pendidikan selalu melibatkan seorang guru yang berperan sebagai tenaga
pengajar dan murid sebagai suatu kajian ilmiah karena pendidikan dapat
dijadikan salah satu objek penelitian ilmiah. Objeknya juga banyak, mulai
dari fakta dan kenyataan pendidikan yang terjadi di lapangan, sampai
telaah filosofi sebagai acuan pengembangan keilmuannya. Sedangkan
pendidikan sebagai suatu lembaga yang disebut sekolah, madrasah, atau
lembaga perguruan yang menyelenggarakan proses belajar mengajar.30
Adapun menurut Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, hasil seminar
pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 dirumuskan pendidikan Islam
dengan :”Bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut
ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih,
mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.” Upaya
pendidikan dalam pengertian ini diarahkan pada keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, melalui
bimbingan, pengarahan, pengajaran, pelatihan, pengasuhan, pengawasan,
yang kesemuanya dalam koridor ajaran Islam.31
Menurut Syariati yang dikutip oleh Azyumardi Azra, Jika dikaji
lebih jauh, di balik semua pengertian pendidikan Islam di atas terkandung
pandangan dasar Islam berkenaan dengan manusia dan dignifikansi
29
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 21-22 30
Jasa Ungguh Muliawan, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,
2015), h. 13 31
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2014),
cet. Ke-4, h. 14
14
dengan ilmu pengetahuan. Manusia, menurut Islam adalah makhluk Allah
yang paling mulia dan unik. Ia terdiri dari jiwa dan raga yang masing-
masingnya mempunyai kebutuhan tersendiri. Manusia dalam pandangan
Islam adalah makhluk rasional, sekaligus pula mempunyai hawa nafsu
kebinatangan. Ia mempunyai organ-organ kognitif semacam hati, intelek,
dan kemampuan fisik, intelektual, pandangan kerohanian, pengalaman,
dan kesadaran. Dengan berbagai potensi semacam itu, manusia dapat
menyempurnakan kemanusiaannya sehingga menjadi pribadi yang dekat
dengan Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dapat pula menjadi makhluk paling
hina karena dibawa kecenderungan hawa nafsu dan kebodohannya.32
Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa pendidikan adalah usaha pendidik dalam membimbing, mengasuh,
membina seseorang untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
seperti mengembangkan pengetahuan, keterampilan, emosi, fisik dan yang
paling penting menjadikan manusia yang berkepribadian baik.
2. Landasan Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan landasan atau dasar pendidikan adalah
pandangan hidup yang melandasi seluruh aktivitas pendidikan. Karena
dasar menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka diperlukan
landasan pandangan hidup yang kokoh dan komprehensif, serta tidak
mudah berubah. Hal ini karena telah diyakini memiliki kebenaran yang
telah teruji oleh sejarah. Kalau nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang
dijadikan dasar pendidikan itu bersifat relatif dan temporal, maka
pendidikan akan mudah terombang-ambing oleh kepentingan dan tuntutan
sesaat yang bersifat teknis dan pragmatis.33
Selanjutnya karena pandangan hidup seorang muslim berdasarkan
pada Al-Qur’an dan Sunnah, maka yang menjadi dasar dasar pendidikan
Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah tersebut. Hal yang demikian
32
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, (Jakarta: Kencana, 2014), cet. Ke-2, h.7 33
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 59
15
dilakukan karena dalam teologi umat Islam, Al-Qur’an dan Sunnah
diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental,
universal dan eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini oleh
pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi
kebutuhan manusia kapan dan di mana saja.34
Namun menurut Abdul Fattah Jalal yang dikutip oleh Samsul
Nizar, ia membagi sumber pendidikan Islam kepada dua macam, yaitu
pertama, sumber ilahi, yang meliputi al-Qur’an, Hadits, dan alam semesta
sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber
insaniah, yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena yang muncul
dari kajian lebih lanjut terhadap sumber ilahi yang masih bersifat global.
Al-Qur’an, Hadits, dan Ijitihad dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang telah diwahyukan-Nya
kepada Nabi Muhammad bagi seluruh umat manusia. Al-qur’an
merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman bagi manusia yang
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal.
Keuniversalan ajarannya mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi dan
sekaligus merupakan mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti,
kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.35
Al-Qur’an dijadikan sumber pendidikan Islam yang pertama
dan utama karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari
Tuhan. Allah SWT menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik
manusia, yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyu-
Nya. Tidak satu pun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang
luput dari jangkauan Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam surat al-
An’am ayat 38 dan surat an-Nahl ayat 89:
34
Ibid, h. 60 35
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 95
16
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga)
seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab
“Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami
datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat
manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pendidikan Islam
cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al-qur’an.36
Isinya mencakup seluruh dimensi manusia dan mampu
menyentuh seluruh potensi manusia baik itu motivasi untuk
mempergunakan pancaindera dalam menafsirkan alam semesta bagi
kepentingan formulasi lanjut pendidikan manusia (pendidikan Islam),
motivasi agar manusia mempergunakan akalnya, lewat tamsilan-
tamsilan Allah SWT. dalam Al-Qur’an maupun motivasi agar manusia
mempergunakan hatinya untuk mampu mentransfer nilai-nilai
pendidikan Ilahiyah, dan lain sebagainya. Kesemua proses ini
merupakan sistem umum pendidikan yang ditawarkan Allah SWT
dalam Al-Qur’an, agar manusia dapat menarik kesimpulan dan
36
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2014),
cet. Ke-4, h. 32-33
17
melaksanakan kesemua petunjuk tersebut dalam kehidupannya sebaik-
baik mungkin.37
Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan terlengkap yang
mencakup kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), spiritual
(kerohanian), material (kejasmanian), dan alam semesta. Al-Qur’an
merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh. Eksistensinya tidak
akan pernah mengalami perubahan. Al-Qur’an merupakan pedoman
normatif-teoritis yang masih memerlukan penafsiran lebih lanjut
terhadap pelaksanaan operasional pendidikan Islam.38
b. Hadits
Kesemua contoh yang telah ditunjukkan Nabi, merupakan
sumber dan acuan yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh
aktivitas kehidupannya. Hal ini disebabkan meskipun secara umum
bagian terbesar dari syariah Islam telah terkandung dalam al-Qur’an,
namun muatan hukum yang terkandung, belum mengatur berbagai
dimensi aktivitas kehidupan ummat secara terperinci dan analitis.
Menurut Robert L. Gullick sebagaimana disitir oleh Jalaluddin
Rahmat yang dikutip pula oleh Samsul Nizar, mengakui akan
keberadaan Nabi sebagai seorang pendidik yang paling berhasil dalam
membimbing manusia ke arah kebahagiaan kehidupan, baik di dunia
maupun akhirat. Proses yang ditunjukkan nabi ini dapat dijadikan
acuan dasar dalam pelaksanaan pendidikan Islam.39
c. Ijtihad
Ijtihad secara bahasa berarti berusaha secara sungguh-sungguh.
Sementara itu, Umar Shihab yang dikutip oleh Sri Minarti
mendefiniskan ijtihad dengan kesulitan atau kesusahan. Lebih lanjut ia
mendefiniskan ijtihad dengan segala daya dan upaya yang mengarah
pada pengkajian, baik pengkajian dalam ilmu hukum, ilmu kalam,
37
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h.96 38
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h.44 39
Op.cit, h. 98
18
maupun ilmu tasawuf. Semuanya itu dikategorikan sebagai ijtihad.
Dengan demikian, orang yang terjun dalam pengkajian itu disebut
mujtahid.40
Dalam dunia pendidikan, sumbangan ijtihad dalam ikut secara
aktif menata sistem pendidikan yang dialogis, cukup besar peranan dan
pengaruhnya. Umpamanya dalam menetapkan tujuan pendidikan yang
ingin dicapai. Meskipun secara umum rumusan tujuan tersebut telah
disebutkan dalam al-Qur’an, akan tetapi secara khusus, tujuan-tujuan
tersebut memiliki dimensi yang harus dikembangkan sesuai dengan
tuntunan kebutuhan manusia pada suatu periodesasi tertentu, yang
berbeda dengan masa-masa sebelumnya.41
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari ketiga sumber
tersebut ialah bahwa pendidikan harus mempunyai landasan. Terutama
untuk kaum Muslim. Karena agar dapat terarah dalam segala
kehidupannya. Tidak hanya berpegang pada Al-Qur’an, tetapi juga
hadits, karena hadits pula yang merupakan sebab Nabi berhasil
membimbing seluruh umatnya untuk menjadi manusia yang berakhlak
mulia. Ijtihad juga merupakan landasan penting bagi pendidikan,
karena dengan ijtihad, seseorang tidak salah langkah dalam
memutuskan hal yang belum ditemui permasalahannya di Al-Qur’an
maupun hadits.
3. Tujuan Pendidikan Islam
Secara etimologi, tujuan adalah arah, maksud, atau haluan. Dalam
bahasa Arab “tujuan” diistilahkan dengan “ghayat, maqashid”. Secara
terminologi tujuan berarti “sesuatu yang diharapkan tercapai setelah
sebuah usaha atau kegiatan selesai”.42
Menurut HAMKA, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan
mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia,
40
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 55-56 41
Ibid, h 57 42
Armai Arief, Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:Ciputat Pers, 2002), h.
15
19
serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna
di tengah-tengah komunitas sosialnya. Tujuan pendidikan sesungguhnya
lebih berorientasi pada transinternalisasi ilmu kepada peserta didik agar
mereka menjadi insan yang berkualitas, baik dalam aspek keagamaan
maupun sosial. Dalam arti lain, tujuan pendidikan Islam yang dibangunnya
bukan hanya bersifat internal bagi peserta didik guna memiliki sejumlah
ilmu pengetahuan dan mengenal Khaliknya, akan tetapi juga secara
eksternal mampu hidup dan merefleksikan ilmu yang dimiliki bagi
kemakmuran alam semesta.43
Adapun menurut Imam al-Ghazali yang dikutip Armai Arief,
tujuan pendidikan Islam diklasifikasikan menjadi dua:
a. Membentuk insan purna yang akhirnya mendekatkan diri kepada Allah
SWT
b. Membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
Dari tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan menurut Imam
al-Ghazali tidak hanya bersifat ukhrowi namun duniawi. Karena itu al-
Ghazali memberi ruang yang cukup luas dalam sistem pendidikannya bagi
perkembangan dunia. Dan dunia hanya sebagai jalan menuju kebahagiaan
hidup di akhirat untuk bekal nanti.44
Tujuan pendidikan yang paling sederhana adalah “memanusiakan
manusia” atau “membantu manusia menjadi manusia”. Menurut Naquib
al-Attas yang dikutip oleh Heri Gunawan menyatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah “manusia yang baik”. Kemudian Marimba
menyatakan tujuan pendidikan Islam adalah terciptanya orang yang
berkepribadian muslim.45
43
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Inteletktual dan pemikiran HAMKA
tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 117 44
Armai Arief, Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:Ciputat Pers, 2002), h.
22 45
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 10
20
Menurut Langgulung tujuan pendidikan adalah tujuan hidup
manusia itu sendiri, sebagaimana yang tersirat dalam peran dan
kedudukannya sebagai khalifatullah dan abdullah. Oleh karena itu,
menurutnya tugas pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia agar
dapat mengemban tugas dan kedudukan tersebut. Dengan demikian, tujuan
pendidikan menurut Langgulung adalah membentuk pribadi “khalifah”
yang dilandasi dengan sikap ketundukan, kepatuhan, dan kepasrahan
sebagaimana hamba Allah.
Menurut Muhammad Quthub yang dikutip oleh Ahmad Tafsir,
tujuan pendidikan adalah bahwa tujuan lebih penting dari pada sarana
pendidikan. Sarana pendidikan selalu berubah dari masa ke masa dan dari
generasi ke generasi. Namun tujuan tidak akan berubah. Yaitu tujuan yang
umum, berbeda dengan tujuan khusus yang masih bisa berubah sesuai
kondisinya.
Dan menurutnya pula, tujuan pendidikan adalah manusia yang
takwa. Itulah manusia yang baik menurutnya. Itu diambilnya dari Al-
Quran surat al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Manusia takwa ialah manusia yang selalu beribadah kepada Allah
(al-Dzariyat:56); manusia yang selalu menuruti ajaran Allah (al-
Baqarah:38); singkatnya, manusia yang memenuhi syarat untuk menjadi
khalifah di bumi al-Baqarah:30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
21
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui."
Syarat menjadi khalifah Allah di bumi adalah harus bisa bekerja sesuai
kehormatan yang diberikan Tuhan kepadanya, tidak boleh turun derajatnya
dari derajat kemanusiaan ke derajat makhluk lain, harus memiliki kemampuan
untuk menjadi khalifah yang bertugas membangun bumi sesuai dengan wahyu
Allah.46
Menurut Al-Syaibani yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, menjabarkan
tujuan pendidikan sebagai berikut:
a. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan berupa
pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuan-
kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia maupun akhirat.
b. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku
masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan
kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan
masyarakat.47
Namun menurut Samsul Nizar, tahap-tahap tujuan pendidikan Islam
itu dapat dikelompokkan kepada 3 tahap:
a. Tujuan tertinggi
Orientasi tujuan ini bersifat mutlak dan tidak mengalami perubahan serta
berlaku secara umum bagi seluruh umat Islam, tanpa terbatasi oleh
tetitorial-geografis dan ideologi yang dianut oleh negaranya.48
b. Tujuan Umum
Berbeda dengan tujuan tertinggi yang lebih mengutamakan pendekatan
filosofis, maka tujuan umum yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam
46
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya: 1992), cet. Ke-7, h. 48 47
Ibid, h. 49 48
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 115
22
lebih bersifat empirik-realistik. Tujuan umum merupakan bagian dari
tujuan tertinggi, yang berfungsi sebagai pemberi arah kemana operasional
pendidikan Islam itu akan dilakukan.49
c. Tujuan Khusus
Orientasi tujuan khusus di sini merupakan operasionalisasi dari tujuan
umum dan tujuan tertinggi pendidikan Islam. Bentuknya operasional dan
mudah dilakukan evaluasi. Sifatnya elastik dan adaptik sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan zaman, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai
Ilahi sebagai tujuan tertinggi yang harus diraihnya. Mekanisme dan sistem
nilai inilah yang membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan
umum lainnya.50
Tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah. Ibadah dalam
arti yang luas. Yaitu yang mencakup semua hal; amal, pikiran, dan perasaan
yang disandarkan kepada Allah. Ibadah mencakup jalan hidup yang mencakup
seluruh aspek kehidupan seperti perkataan, perbuatan, perasaan, dan
pemikiran yang disandarkan kepada Allah. Dalam hal inilah maka tujuan
pendidikan Islam harus mempersiapkan manusia agar mampu beribadah
sebagaimana yang dimaksud, agar menjadi hamba yang bertakwa sehingga
akhirnya jika ia mati, maka ia akan dalam keadaan Islam serta mendapat ridho
Allah SWT.51
Menurut Zakiyah Daradjat yang dikutip oleh Nur Uhbiyati bahwa
tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan yaitu kepribadian seseorang untuk
menjadi insan kamil dengan takwa, insan kamil artinya manusia yang utuh
rohani dan jasmaninya, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal
karena takwanya kepada Allah SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan
Islam diharapkan menghasilkan manusia bermanfaat bagi dirinya dan
49
Ibid, h.116 50
Ibid, h. 117-118 51
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2014),h. 12
23
mengamalkan serta dapat mengambil manfaat yang semakin manfaat dari
alam semesta ini untuk bekal di akhirat nanti.52
Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta betanggung
jawab. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan pengejawantahan dari dasar
pendidikan nasional.
Dalam perspektif Islam, dasar dan tujuan pendidikan nasional di atas
secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk
pribadi seseorang yang paripurna. Pribadi tersebut menunjukkan terwujudnya
esensi manusia, yaitu sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
bermoral, dan makhluk yang bertuhan. Citra pribadi itu disebut manusia
paripurna.
Manusia yang sempurna yaitu manusia yang memahami Tuhannya,
diri dan lingkungannya. Jadi, pendidikan akan mencapai tujuan jika terdapat
nilai-nilai humanis tersebut masuk dalam dirinya serta dapat bermanfaat bagi
sesama. Peserta didik yang selalu belajar, akan menjadi manusia yang cerdas,
kreatif, hati yang bersih, tingkat spiritual, kekuatan dan kesehatan fisik yang
prima. Semua keunggulan itu akan diabdikan kepada Tuhannya dan untuk
memberi manfaat kepada diri sendiri dan orang lain.53
Allah menciptakan alam semesta ini dengan tujuan yang jelas. Dia
menciptakan manudia dengan tujuan untuk menjadi khalifah di muka bumi
melalui ketaatan-Nya. Untuk mewujudkan tujuan itu, Allah memberikan
hidayah serta berbagai fasilitas alam semesta kepada manusia. Artinya,
manusia dapat memanfaatkan alam semesta ini sebagai sarana merenungi
kebesaran Pencipta-Nya. Hasil perenungan itu memotivasi manusia untuk
lebih menaati dan mencintai Allah. Di sisi lain Allah memberikan kebebasan
kepada manusia untuk memilih pekerjaan mana yang akan dipilih manusia,
52
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-2, h.
41 53
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-ruzz
Media, 20016), cet. Ke-3, h. 25-26
24
kebaikan atau keburukan. Namun, melalui para Rasul, Allah memberikan
petunjuk kepada manusia agar memahami tujuan hidup yang semata-mata
untuk beribadah kepada Allah.54
Dari beberapa pengertian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah menjadi khalifah di muka bumi dan menjadi
hamba hamba Allah dengan sebaik-baiknya. Dengan didasari proses
pendidikan yang menghasikan manfaat bagi diri sendiri, orang lain dan alam
semesta. Serta mengharap ridho Allah dan mempunyai bekal di akhirat nanti.
4. Pengertian Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran merupakan bagian terpenting dalam
melaksanakan proses belajar. Pembelajaran sebaiknya dilaksanakan dengan
cara menarik yang mampu membangkitkan minat siswa untuk melaksanakan
pembelajaran.
Menurut Sutikno (2014: 33-34) metode secara harfiah berarti
“cara”. Metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai
untuk mencapai tujuan tertentu. Kata “pembelajaran” berarti segala upaya
yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri peserta
didik. Jadi, metode pembelajaan adalah cara-cara menyajikan materi
pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada
diri peserta didik dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Hamzah dan Nurdin (2011: 7),
mendefinisikan metode pembelajaran sebagai cara yang digunakan guru
dalam menjalankan fungsinya dan merupakan alat untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Metode pembelajaran yang digunakan sesuai dengan
kebutuhan akan dapat menentukan keberhasilan dalam menyampaikan
pembelajaran.
Komalasari (2010: 56) menyatakan bahwa metode pembelajaran
dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam
mengimplementasikan metode secara spesifik. Misalnya, penggunaan
metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak
54
Abdurrahman An-nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 116-117
25
membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda
dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya
terbatas. Demikian pula dengan metode diskusi, perlu digunakan teknik
yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang
siswanya tergolong pasif. Metode pembelajaran adalah cara konkret yang
dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru dapat berganti-ganti
teknik pembelajaran meskipun dalam koridor metode yang sama.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
metode pembelajaran adalah suatu cara dan upaya yang dilakukan
seseorang dalam melaksanakan sebuah pembelajaran yang ditampilkan
secara praktis. Tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal dengan
metode pembelajaan yang tepat dan menarik yang dapat membangkitkan
minat siswa dalam belajar.
a. Macam-macam Metode Pembelajaran
Ada banyak macam metode yang dapat dipakai oleh guru
dalam proses pembelajaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Pribadi (2009: 42), bahwa pemilihan metode yang tepat dapat
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran atau melakukan
internalisasi atau materi pembelajaran.
Macam-macam metode menurut Sutikno (2014: 39), antara
lain: metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode
diskusi kelompok, metode demonstrasi, metode permainan (games),
metode kisah/cerita, team teaching, peer teaching, metode karya
wisata, metode tutorial, metode suri tauladan, metode kerja kelompok,
metode penugasan, brain storming (curah pendapat), metode latihan,
metode eksperimen, metode pembelajaran dengan modul, metode
praktik lapangan, micro teaching, dan metode simposium.
Siswa lebih dapat berinteraksi secara aktif dengan
memanfaatkan segala potensi yang dimiliki siswa melalui metode
pembelajaran yang digunakan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Budimansyah (2010: 5), bahwa arsitek pengubah gagasan peserta didik
26
adalah siswa itu sendiri dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan
penyedia kondisi supaya proses belajar bisa berlangsung.
B. Konsep Fitrah Manusia dalam Al-Qur’an
1. Pengertian Fitrah
Kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti menjadikan. Kata
tersebut berasal dari akar kata al-fathr yang berarti belahan atau pecahan.55
Adapun dalam buku Abdul Rahman Shaleh, fathr adalah bagian
dari khalq (penciptaan) Allah. Merujuk pada pernyataan tersebut dapatlah
dipahami bahwa fitrah manusia adalah kejadian sejak semula atau bawaan
sejak lahir yakni potensi beragama yang lurus. Dari sini timbul pertanyaan
apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak,
oleh karena itu tepatlah apa yang dinyatakan oleh Muhammad bin Askar,
sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dan dikutip ulang oleh Abdul
Rahman Shaleh, beliau mengatakan: “fitrah adalah bentuk dan sistem yang
diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan
dengan jasmani dan akalnya (serta rohnya).”56
Bila makna fitrah dikaitkan pada manusia dengan merujuk surat
30:30, secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya
sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid ila Allah). Dipihak lain,
ada juga yang memaknai fitrah sebagai iman bawaan yang telah diberikan
Allah sejak manusia berada dalam alam rahim. Pendapat ini merujuk pada
surat 7:172. Ketika kedua pandangan di atas dikembangkan lebih lanjut
dalam dataran pendidikan, secara umum hanya pendapat kelompok
pertama yang dapat diterima. Hanya saja dalam batasan bahwa begitu
pentingnya eksistensi agama sebagai kebutuhan asasi. Akan tetapi secara
khusus, bila pemaknaan tersebut dimaksudkan sebagai potensi beragama
sebagai iman bawaan manusia, agaknya belum bisa
55
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 73 56
Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), cet. Ke-5, h. 61-62
27
dipertanggungjawabkan. Sebab makna tersebut belum dapat merangkum
makna esensial fitrah manusia secara utuh. Sebab, makna fitrah di atas
memiliki kecenderungan manusia bersikap pasif dan fatalis.57
Pada pengertian lain interpretasi fitrah secara etimologis berasal
dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansya‟a
digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan pengertian mencipta,
menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan
pola dasar yang perlu penyempurnaan. Dalam kamus al-Munjid
diterangkan bahwa makna harfiah dari fitrah adalah al-Ibtida‟u wa al
ikhtira‟u, yakni al shifat allati yattashifu biha kullu maujudin fi awwali
zamani khalqihi. Makna lain adalah shifatu al insani al thabi‟iyah. Lain
daripada itu ada yang bermakna al dinu wa al sunnah.
Menurut Guntur Cahaya Kusuma yang megutip dari Abu A’la al-
Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh ibunya
sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada
Tuhan, tetapi di lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau non
muslim. Sehingga ada hubungannya dalam aspek terminologi fitrah selain
memiliki potensi manusia beragama tauhid, manusia secara fitrah juga
bebas untuk mengikuti atau tidaknya ia pada aturan-aturan lingkungan
dalam mengaktualisasikan potensi tauhid (ketaatan kepada Tuhan) itu,
tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh lingkungan positif serta
negatif yang mempengaruhi diri manusia secara fitrahnya.58
Menurut Al-Qurtubi yang dikutip oleh Saryono mengatakan bahwa
fitrah bermakna kesucian jiwa dan rohani. Fitrah di sini adalah firman Allah
SWT yang ditetapkan kepada manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir
dalam keadaan suci dalam artian tidak memiliki dosa.59
57
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 73-74 58
Guntur Cahaya Kesuma, Konsep Fitrah Manusia Perspektif Pendidikan Islam,
(Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 2, 2013), h. 80-81 59
Saryono, Konsep FItrah dalam Perspektif Islam,( Jurnal Studi Islam, Volume 14,
Nomor 2, Desember 2016), h. 163
28
Menurut Toni Pransiska yang mengutip Louis Ma’luf dalam kamus
Al-Munjid, menyebutkan bahwa fitrah adalah sifat yang ada pada setiap
yang ada pada awal penciptaannya, sifat alami manusia, agama, sunnah.
Sedangkan Menurut imam Al-Maraghi, fitrah adalah kondisi dimana
Allah menciptakan manusia yang menghadapkan dirinya kepada kebenaran
dan kesiapan untuk menggunakan pikirannya.
Secara etimologi, Fitrah berarti Al-Khilqah (naluri, pembawaan)
dan al-thabi‟ah (tabiat, watak, karakter) yang diciptakan Allah swt pada
manusia. Fitrah juga terambil dari kata al-fathr yang berarti syaq
(belahan). Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta
atau kejadian. Berbagai interpretasi dari makna fitrah menurut Toni
Pransiska adalah:
a. Fitrah berarti Suci (thuhr) Menurut Al-Auza’iy, fitrah adalah kesucian,
dalam jasmani dan rohani. Akan tetapi, dalam konteks pendidikan,
kesucian adalah kesucian manusia dari dosa waris, atau dosa asal. b. Fitrah berarti Islam (dienul Islam). Abu Hurairah berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan fitrah adalah agama. Oleh karena itu, anak kecil
yang meninggal dunia akan masuk surga, karena ia dilahirkan dengan
dienul Islam walaupun ia terlahir dari keluarga non muslim. c. Fitrah berarti mengakui ke-Esaan Allah (at-tauhid). Manusia lahir
dengan membawa konsep tauhid, atau paling tidak ia berkecenderugan
untuk meng-Esa-kan Tuhannya dan berusaha terus mencari
untuk mencapai ketauhidan tersebut. d. Fitrah berarti murni (al-ikhlash). Manusia lahir dengan berbagai sifat
Salah satu diantaranya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam
menjalankan suatu aktivitas. e. Fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai
kecenderungan untuk menerima kebenaran.60
Adapun dalam buku Ilmu Pendidikan Islam menurut Novan Ardy
Wiyani dan Barnawi, fitrah merupakan keutamaan yang diberikan oleh Allah
kepada manusia yang menjadi potensi manusia yang educable. Potensi
tersebut bersifat kompleks yang terdiri atas ruh, (ruh), qalb (hati), „aql (akal),
dan nafs (jiwa), potensi-potensi tersebut ruhaniah atau mental-psikis. Selain
60
Toni Pransiska, konsep Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam dan Implikasinya
dalam pendidikan Islam Kontemporer, (Jurnal Ilmiah Didaktika, Volume 17, Nomor 1, Agustus
2016), h. 7
29
itu, manusia juga dibekali potensi fisik-sensual berupa seperangkat alat indera
yang berfungsi sebagai instrumen untuk memahami alam luar dan berbagai
peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, fitrah merupakan
konsep dasar manusia yang ikut berperan dalam membentuk perkembangan
peserta didik disamping lingkungan.61
Fitrah yang bersifat potensial tersebut harus dikembangkan secara
faktual dan aktual. Untuk melakukan upaya tersebut. Islam memberikan
prinsip-prinsip dasarnya berupa nilai-nilai islami sehingga pertumbuhan
potensi manusia terbimbing dan terarah. Dalam proses inilah, faktor
pendidikan sangat besar perananya, bahkan menentukan bentuk corak
kepribadian sesorang. Tampaknya, itulah yang menjadikan Nabi Muhammad
SAW. menjadikan umatnya untuk mencari ilmu.62
Agama asli umat manusia adalah menyembah Allah Swt. hal ini
berkaitan dengan suatu keyakinan kaum muslimin yang berdasarkan dari
keterangan al-Quran bahwa manusia setelah diciptakan membuat sebuah
perjanjian atau ikatan dengan Tuhan. Sebagaimana dilukiskan pada ayat 172
dari surat al-A’raf, Allah telah menyatakan tentang fitrah itu. Ketika manusia
belum dilahirkan di muka bumi, Allah telah bertanya: “Bukankah Aku ini
Tuhan kamu? Semua menjawab; Pasti! Kami berikan kesaksian”. Jadi,
akidah tauhid itulah fitrah manusia. Merujuk kepada ayat tersebut dapat
dikatakan, sesungguhnya manusia telah bertauhid sejak ia di alam arwah. Hal
ini juga bermakna, Allah menciptakan manusia dengan kodrat yang hanif,
memihak kepada kebenaran, sebagaimana juga Islam diciptakan atas kodrat
yang hanif atau sesuai dengan fitrah manusia, sehingga tidak ada alasan bagi
manusia untuk tidak mengimani dan mengamalkan ajaran Islam.63
Dari beberapa pengertian fitrah di atas, penulis menyimpulkan bahwa
fitrah adalah potensi dasar yang dimiliki manusia seperti potensi agama,
61
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Arruz Media,
2016), cet. Ke-3, h.41. 62
Ibid, h.41 63
Saryono, Konsep Fitrah dalam Perspektif Islam,( Jurnal Studi Islam, Volume 14,
Nomor 2, Desember 2016), h. 165
30
iman, menginginkan dan menerima kebenaran, mempunyai Tuhan serta
ikhlas dengan apa yang telah ia punya dari pencipta-Nya. Dengan didukung
oleh ruh, hati, jiwa manusia yang ada dalam dirinya. Kesemua itu tidak lain
untuk menjalani kehidupan yang tidak akan goyah karena sudah didasari oleh
fitrah-fitrah tersebut, baik dalam kehidupan untuk dirinya maupun kehidupan
atau bersosialisasi dengan lingkungannya.
2. Potensi-potensi Dasar Manusia
Potensi-potensi yang dimaksud, di samping agama, menurut Ibn
Taimiyah sebagaimana disitir Juhaja S. Praja dan dikutip oleh Samsul Nizar,
pada diri manusia juga memiliki setidaknya ada tiga potensi fitrah, yaitu:
a. Potensi intelektual, yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia
dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya,
manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.64
b. Potensi ofensif, yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang mampu
menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi
kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan
seimbang.65
c. Potensi defensif, yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia
dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun demikian, di
antara ketiga potensi tersebut, di samping agama, potensi akal menduduki
posisi sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya. Dengan demikian,
akan dapat teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal,
sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran-ajaran-
Nya. Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang
dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan
amoral.66
Dalam batasan ini, terlihat pengertian fitrah diartikan sebagai potensi
yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi tersebut, manusia
64
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 76-77 65
Ibid, h. 76-77 66
Ibid, h. 76-77
31
mampu melaksanakan amanat yang dibebankan oleh Allah kepadanya. Potensi
tersebut meliputi potensi seluruh dimensi manusia. Dalam konteks ini sebagai
contoh dari sekian banyak potensi yang dimiliki manusia diantara potensi
tersebut adalah: pertama, potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua
kaki, merupakan bentuk potensi jasadiah. Kedua, kemampuan manusia untuk
menarik suatu kesimpulan dari sejumlah premis, merupakan bentuk potensi
akliahnya. Ketiga, kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang,
nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya, merupakan bentuk potensi
rohaniahnya.67
Kemudian dalam buku Psikologi menurut Abdul Rahman Shaleh,
potensi manusia sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an melalui kisah Adam
dan Hawa (Q.S 2:30-39) bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah
merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi.
Untuk maksud tersebut Allah memberikan akal dan rohani. Dengan akal dan
rohani inilah Allah memberikan beberapa potensi kepada manusia, di
antaranya:
1) Potensi untuk mengetahui nama-nama dan fungsi benda-benda alam
2) Pengalaman hidup di surga, baik yang berhubungan dengan kecukupan
dan kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya.
3) Petunjuk-petunjuk Agama.68
a) Alat-alat potensial manusia
Menurut Abdul Fattah Jalal dalam kitab Min Al-Ushul al-
tarbawiyah al-islamiyah yang dikutip oleh Muhaimin, telah mengkaji
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan alat-alat potensial yang
dianugerahkan oleh Allah kepada manusia untuk meraih ilmu
pengetahuan. Masing-masing alat itu saling berkaitan dan melengkapi
dalam mencapai ilmu. Alat-alat tersebut yaitu:
67
Ibid, h. 77 68
Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), cet. Ke-5, h. 61
32
1. Al-lams. Manusia mempunyai raga dengan bentuk yang sebaik-
baiknya, dengan rupa dan bentuk yang sebaik-baiknya ini diharapkan
manusia menjadi bersyukur kepada Allah (Q.S. al-Nahl:78).69
2. Al-sam‟u (alat pendengar). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan
penglihatan dan qalbu, yang menunjukkan adanya saling melengkapi
antara berbagai alat itu untuk mencapai ilmu pengetahuan.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-isra ayat 36, al-mukminun
ayat 78, al-sajdah ayat 9, al-Mulk ayat 23, dan sebagainya.70
3. Al-abshar (penglihatan). Banyak ayat Al-Quran yang menyeru
manusia untuk melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya,
sehingga dapat mencapai hakikatnya. Sebagaimana dalam surat al-
A’raf ayat 185, Yunus ayat 101, al-Sajdah ayat 27, dan sebagainya.71
4. Al-„aql. Akal dalam pengertian Islam, bukan otak melainkan daya
berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam
mempunyai ikatan pada tiga unsur yakni pikiran, perasaan, dan
kemauan.72
5. Al-qalb. Hal ini termasuk alat ma‟rifah yang digunakan manusia untuk
dapat mencapai ilmu, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj
ayat 46, surat Muhammad ayat 24 dan sebagainya. Kalbu ini
mempunyai kedudukan khusus dalam ma‟rifah ilahiyah, dengan kalbu
manusia dapat meraih berbagai ilmu serta ma‟rifah yang diserap dari
sumber Ilahi. Dan wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam kalbu Nabi
Muhammad Saw.73
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Syu’araa’ ayat 192-194.
69
Fadhilah Suralaga dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2005), h. 37. 70
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2004),
cet. Ke 3, h. 13. 71
Ibid, h. 13. 72
Fadhilah Suralaga dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2005), h. 38 73
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2004),
cet. Ke 3, h. 12-13
33
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam,
Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),
ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di
antara orang-orang yang memberi peringatan.”
Demikian uniknya alat-alat potensial manusia dengan berbagai daya
dan kemampuannya yang dimiliki oleh manusia itu dan merupakan nikmat
Allah yang patut disyukuri. Menurut Muhammad Abduh yang dikutip
Muhaimin, bahwa yang dinamakan syukur itu, menggunakan nikmat anugerah
sesuai dengan fungsinya, dan sesuai dengan kehendak yang
menganugerahkannya (yaitu Allah)
Pendidikan dalam Islam, antara lain berusaha untuk mengembangkan
alat-alat potensial dari manusia tersebut seoptimal mungkin untuk dapat
difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan
kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya
manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah.74
Dari pengertian potensi-potensi tersebut, maka penulis menyimpulkan
bahwa potensi-potensi dasar manusia merupakan suatu yang sangat penting
untuk digunakan sebaik-baiknya. Potensi-potensi tersebut berfungsi dan
sempurna untuk digunakan dalam melakukan seluruh aktivitas manusia seperti
dalam hal pendidikan, manusia pasti membutuhkan alat-alat untuk terjadinya
proses pendidikan yaitu akal, hati, jiwa. Dan akal menjadi sentral dalam
melakukan hal-hal yang dapat mempertimbangkan mana yang baik dan yang
buruk.
3. Kaitan Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam
Setidaknya ada dua unsur dasar yang menjadi sasaran proses
pendidikan Islam, yaitu pengembangan daya jasmani dan kualitas mental.
74
Ibid, h. 16
34
Melalui potensi unsur-unsur tersebut menjadikan manusia makhluk yang
dinamis, ingin tahu, mau lekas tahu, dan berusaha menambah ilmu yang telah
dimilikinya tabi’at yang demikian merupakan potensi yang sangat berharga
dan perlu dibimbing agar potensi tersebut berkembang sesuai dengan nilai-
nilai Islam. Akan tetapi dalam upaya manusia (peserta didik) melakukan
kreativitasnya, ia sering kali dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu, terutama
terhadap hal-hal yang bersifat abstrak (metafisik). Lapangan geraknya terikat
oleh undang-undang atau hukum, baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal. Pandangan ini menuntut adanya tanggung jawab peserta didik atas
kreativitas yang dilakukannya guna terpelihara kemaslahatan sesamanya dan
makhluk Allah lainnya.75
Menurut HAMKA, setiap anak memiliki fitrah (potensi) yang dinamis.
Fitrah tersebut merupakan kekuatan bagi anak untuk berkembang. Kekuatan
tersebut antara lain adalah kekuatan berpikir, merasa, dan kemauan. Pada
dasarnya, fitrah senantiasa menuntun manusia untuk berbuat kebajikan dan
tunduk terhadap aturan Khaliknya. Jika ada di antara manusia yang tidak
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari fitrahnya
tersebut. Ekspresi fitrah manusia akan terpancar dalam tabi’at
kemanusiaannya. Eksistensi fitrah hendaknya ssenantiasa disempurnakan dan
diperhalus sehingga tercapai tujuan budi dan keluasan ilmu. Di sini fitrah
manusia merupakan potensi yang bersifat dinamis dan suci.76
Melalui pendidikan, peserta didik akan memperoleh ilmu pengetahuan
yang dapat dipergunakannya memilah nilai baik dan buruk, serta
memperindah kehidupannya. Pendidikan merupakan proses
menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang bermasyarakat dan
berbudaya dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global.
Dalam wacana Islam, pendidikan bukan sekadar proses transfer of knowledge,
akan tetapi merupakan petunjuk dan penangkal berbagai fenomena sosial,
berikut akses yang dibawanya. Dengan ilmu yang dimilikinya, ia akan dapat
menetralisir perkembangan fitrahnya yang hanif dari pengaruh negatif yang
ditimbulkan oleh lingkungan di mana ia berada. Agar peserta didik mampu
75
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Inteletktual dan pemikiran HAMKA
tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 125-126 76
Ibid, h. 126-127
35
menetralisir berbagai pengaruh tersebut, maka peserta didik dituntut untuk
senantiasa menteladani kepribadian Rasulullah77
Melalui pendidikan, manusia dapat mengetahui nilai kebenaran,
menentukan cara berpikir, menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan baik
pada sebuah kesatuan sosial, dan sekaligus mengembangkan fitrahnya. Baik
fitrah fisik maupun psikis secara optimal.
Dalam rangka membina dan mengembangkan seluruh potensi, baik
potensi jasmani maupun rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui
pendidikan. Dengan proses pendidikan. Dengan proses pendidikan, manusia
mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaannya dari suatu
komunitas kepada komunitas yang lain, mengetahui nilai baik dan buruk, dan
lain sebagainya. Untuk menciptakan suasana kondusif bagi terlaksananya
proses tersebut, diperlukan bentuk interaksi PBM yang mampu menyentuh
dan mengembangkan seluruh aspek manusia (peserta didik). Ketersentuhan
seluruh aspek diri manusia akan mempermudah terangsangnya reaksi dan
perhatian, serta keinginan peserta didik untuk melaksanakan PBM secara
efektif.78
Bila makna manusia yang ditunjukkan Allah dalam Al-Quran
dicermati secara seksama, sesungguhnya akan dapat dijadikan pedoman bagi
upaya memformat interaksi pendidikan yang proposional dan ideal. Hal ini
dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu pertama, pendekatan perkata. Ketika
Allah menggunakan terma al-basyar dalam menunjuk manusia sebagai
makhluk biologis, maka interaksi pendidikan yang ditawarkan harus pula
mampu menyentuh perkembangan potensi biologi (fisik) peserta didik. Ketika
Allah menggunakan terma al-insan, maka interaksi pendidikan harus pula
mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik. Demikian pula
ketika Allah menggunakan terma al-nas, maka interaksi pendidikan harus pula
mampu menyentuh aspek kehidupan sosial peserta didik. Ketiga terma
tersebut harus diformulasi secara integral dan harmonis dalam setiap interaksi
77
Ibid, h 127 78
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Gaya Media Pratama:
Jakarta, 2001), h. 132
36
pendidikan yang ditawarkan. Hanya saja mungkin dalam operasionalnya,
proporsi antara ketiga terma tersebut sedikit berbeda penekanannya, sesuai
dengan materi dan tujuan yang ingin dicapai dari proses tersebut.79
Konsep fitrah, menurut Islam juga berbeda dengan teori konvergensi
yang dilakukan oleh William Stern. Sebab dalam pandangan Islam,
perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh
lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas,
sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membentuk
kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yang lebih dominan dalam
membentuk kepribadian manusia, tapi ada juga kalanya lingkungan yang lebih
dominan, atau kedua-duanya sama-sama dominan. Bahkan dalam Islam, di
luar kedua pengaruh tersebut, ada pengaruh lainnya yang juga ikut
memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia, yaitu
faktor hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hambanya yang
dikehendaki.
Dengan berpijak pada konsep fitrah insaniah (al-insaniah), Islam
sebagai agama dan acuan moral memiliki landasannya tersendiri dalam bidang
pendidikan. Konsep ini merupakan landasan normative bagi pengembangan
kualitas manusia (peserta didik) melalui proses pendidikan yang dilaksanakan.
Pengembangan dari pandangan di atas. Dapat dilihat dari desain sistem
pendidikan al-insaniah yang ditawarkannya dan bersifat komprehensif-
integralistik, yaitu sistem pendidikannya memiliki visi dan orientasi masa
fitrah manusia.
Pola ini memandang, bahwa pelaksanaan sistem pendidikan dalam
perspektif Islam, merupakan upaya pengarahan optimalisasi potensi dasar
yang dimiliki peserta didik. Untuk itu, pada dimensi ini, kedudukan dan tugas
pendidik adalah tidak lebih sebagai fasilitator, dinamisator, motivator, dan
pembimbing peserta didik untuk/dalam memfungsikan seluruh potensi yang
dimilikinya, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang terwujud pada terbinanya
sosok pribadi muslim yang berkualitas, dengan dibalut iman dan taqwa. Pola
79
Ibid, h. 133
37
ini memandang dan memposisikan peserta didik sebagai subyek didik yang
aktif dan merdeka. Setidaknya, ada tiga hak kemerdekaan yang harus
diperhatikan dalam pendidikan, yaitu hak bebas dari rasa takut, hak bebas
berkehendak, dan hak berpendapat. Oleh karena itu, sosok peserta didik bukan
lagi dipandang sebagai obyek didik yang pasif dan terbelenggu oleh
sistematika tertentu yang telah diformulasikan oleh sistem pendidikan.80
C. Konsep Manusia dalam Al-Qur’an
1. Pengertian Manusia
Ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk makna
manusia, yaitu al-basyar, al-insan, dan al-nas. Secara khusus memiliki
penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan ini bisa dilihat dengan uraian
berikut:
a. Al-basyar
Kata al-basyar berasal dari kata yang pada mulanya berarti
“menampakkan sesuatu dengan baik dan indah”. Dari akar kata yang
sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar
karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang
lain. Proses kejadian manusia sebagai isyarat, melalui tahap-tahap
sehingga mencapai tahap kedewasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam
surat al-Ruum:20 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu
menjadi basyar ksmu bertebaran”.81
Kata al-basyar dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali dan
tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-basyar berarti kulit, kepala,
wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Al-basyar
juga dapat diartikan mulamasah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki
dengan perempuan. Makna etimologis ini dapat dipahami bahwa manusia
merupakan makhluk biologis yang memiliki sifat kemanusiaan dan
80
Ibid, h. 136 81
Fadhilah Suralaga dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2005), h. 11
38
keterbatasan seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan
lain sebagainya. Penunjukkan kata al-basyar ditujukan Allah kepada
seluruh manusia tanpa terkecuali. Demikian pula halnya dengan rasul-
rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan
kepada manusia umumnya tidak diberikan wahyu.82
Kata al-basyar di beberapa tempat dalam Al-Qur’an seluruhnya
memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut
adalah anak Adam yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan
mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Dengan demikian, kata
basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek lahiriahnya,
mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang
ada dalam alam ini, dan oleh pertambahan usianya, kondisi tubuhnya akan
menurun, menjadi tua dan akhirnya ajalpun menjemputnya.83
Adapun menurut Abdul Rahman Shaleh, kata basyar terambil dari
akar kata yang mulanya berarti “mentampakkan sesuatu dengan baik dan
bersih”. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Manusia dinamai basyar karena memiliki kuulit yang jelas dan berbeda
dengan kulit binatang yang lain. Proses kejadian manusia sebagai basyar,
melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.84
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-Ruum ayat 20
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu
dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu
bertebaran.
b. Al-insan
Kata al-insan yang berasal dari kata al-uns dinyatakan dalam al-Qur’an
sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi al-insan
dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kata al-
82
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 44 83
Abuddin Nata, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 83 84
Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), cet. Ke-5, h. 53-54
39
insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia
sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut
dengan berbagai potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia
sebagai makhluk Allah yang unik dan seistimewa, sempurna, dan
memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lain.
Kesempurnaan ini mengantarkan manusia sebagai makhluk dinamis,
sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.85
Menurut Abuddin Nata, kata al-insan jika dilihat dari asalnya al-
uns atau anisa dapat berarti jinak. Atas dasar ini, binatang jinak seperti
kucing, dapat diebut binatang yang anis. Kata al-insan dan kata al-insi
keduanya dapat berasal dari kata anisa. Akan tetapi dalam Al-Qur’an
kata al-insi selamanya dipakai dalam kaitan dengan kata al-jinni dapat
diartikan sebagai lawan dari kata anisa (jinak). Oleh karena itu,
makhluk jin dapat dikatakan sebagai makhluk yang buas.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat diperoleh
pengertian bahwa manusia pada dasarnya adalah jinak, dapat
menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
Manusia memiliki kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial
maupun perubahan alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik,
sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya. Manusia tidak liar,
baik secara sosial maupun alamiah.86
Kata al-insan yang berasal dari kata anasa dan nasiya. Kata anasa
dalam arti melihat.87
Misalnya terlihat pada surat Thaha: 10
85
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 47 86
Abuddin Nata, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 82 87
Ibid, h.84
40
“Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya:
"Tinggallah kamu (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-
mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku
akan mendapat petunjuk di tempat api itu.”
Integrasi antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia
untuk mengekspresikan dimensi insan al-basyar, yaitu sebagai
makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan
buruk, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Dengan kemampuan ini, manusia akan dapat membentuk dan
mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai
insaniah yang memiliki nuansa Ilahiyah yang hanif. Integralitas ini
akan tergambar pada nilai iman dan bentuk amaliahnya. Dengan
kemampuan ini, manusia akan mampu mengemban amanah Allah di
muka bumi secara utuh. Namun demikian, manusia sering lalai bahkan
melupakan nilai insaniah yang dimilikinya dengan berbuat berbagai
bentuk mafsadah di muka bumi. Yang mana Allah menyandingkan kata
al-insan dengan kata syaitan di dalam surat Yusuf ayat 5, yang mana
ayat tersebut secara general memberikan peringatan agar manusia
senantiasa sadar dan menempatkan posisi fitrahnya sesuai yang
diinginkan Allah, yaitu pada posisi yang hanif.88
Sebagaimana dalam surat Yusuf ayat 5
“Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan
mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat
makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagi manusia.”
c. Al-nas
88
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Arruz Media,
2016), cet. Ke-3, h.45
41
Kata al-nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan
tersebar dalam 53 surat. Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi
manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status
keimanan atau kekafirannya.89
Dalam menunjuk makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum
bila dibandingkan dengan kata al-insan. Keumuman tersebut dapat dilihat
dari penekanan makna yang dikandungnya.
Dalam al-Qur’an kosa kata al-Nas umumnya dihubungkan dengan
fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai
makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita,
kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling kenal
menganal (Q.S 49:13). Manusia merupakan makhluk sosial yang secara
fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan yang terkecil
(keluaraga) hingga ke yang paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan
umat manusia.90
Dari pengertian tersebut, maka penulis menyimpulkan kata al-
basyar, al-nas, dan al-insan mempunyai arti manusia yang berbeda-beda
hanya dari segi fisik dan totalitasnya. Basyar mempunyai arti kulit atau
lebih kepada pertumbuhan manusia, sedangkan al-insan mempunyai arti
jinak, yang mana mereka merupakan makhluk yang berbudaya, saling
membantu, ramah, dapat bersosialisasi dengan alam sekitar. Sedangkan
al-nas masih bersifat umum, yaitu makhluk sosial yang tanpa melihat
status keimanan atau kekafirannya.
2. Proses Penciptaan Manusia
Pengertian khalaqa berarti menciptakan, pengertian ini tepat sekali
diterapkan dalam proses kejadian manusia, dalam arti bahwa ia diciptakan
dari sesuatu yang telah ada sumbernya. Ayat-ayat yang berbicara tentang
reproduksi manusia menegaskan bahwa manusia tercipta dari sesuatu yang
89
Ibid, h. 48 90
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 2, h. 23
42
merupakan asal baginya, yaitu dari tanah atau dari saripati yang berasal dari
tanah.91
Tahapan proses kejadian manusia sebagaimana isyarat yang telah di
lukiskan dalam al-Qur’an dapat dilihat kepada beberapa proses, antara lain;
pertama, nuthfah yaitu saripati makanan yang telah berubah menjadi
air mani (sperma) yang masuk ke dalam rahim.92
Hal ini dinukilkan Allah dalam al-Qur’an surat Al-Qiyamah:
“Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim).”
Kedua, sperma dalam alam rahim bercampur dengan ovum,
kemudian terjadi pembuahan sel dalam rahim yang kemudian berproses
menjadi segumpal darah. Firman Allah: surat Al-Qiyamah ayat 38
“Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah
menciptakannya, dan menyempurnakannya.”
Ketiga, berproses menjadi segumpal daging untuk kemudian
diciptakan-Nya tulang belulang (rangka manusia) yang dibalut dengan
daging. Peristiwa tersebut, diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim
berproses selama 40 hari pada setiap fase. Fase-fase tersebut meliputi setelah
terjadinya pembuahan antara sel sperma dan ovum dalam rahim berproses
menjadi nuthfah 40 hari, kemudian menjadi „alaqah selama 40 hari dan
menjadi mudlghah selama 40 hari, untuk kemudian ditiupkan-Nya ruh serta
perlengkapan manusia lainnya.
Keempat, di ciptakan-Nya ruh dalam tubuh ciptaan-Nya serta
menetapkan ilmu, rezeki, ajal dan celaka bahagia bagi manusia
91
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004),
Cet. Ke-3, h. 5-6 92
Ibid, h. 54
43
Adapun menurut Novan Ardy Wiyani dan Barnawi tahap pertama
proses penciptaan manusia yaitu:
a. Tahapan Primordial, manusia pertama yaitu Adam yang diciptakan dari
tanah, tanah debu, tanah liat, tanah lumpur yang dibentuk Allah dengan
seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri
Adam.93
Sebagaimana dalam urat al-an’am ayat 2.
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu
ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada
sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih
ragu-ragu (tentang berbangkit itu.”
b. Tahapan biologi, di dalam proses ini, manusia diciptakan dari intisari
tanah yang dijadikan dari air mani yang tersimpan dalam tempat yang
kukuh (rahim). Kemudian, nuthfah itu dijadikan darah beku („alaqah)
yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian
dijadikan-Nya segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan
tulang belulang, lalu kepadanya ditiupkan ruh. Hadits yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah ke dalam
janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah,
40 hari mudghah.94
Sebagaimana dalam surat al-Mu’minun ayat 14.
93
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Arruz Media,
2016), cet. Ke-3, h.50 94
Ibid, h. 52
44
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging
itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”
Al-Qur’an menguraikan produksi dan reproduksi manusia ketika
berbicara tentang penciptaan manusia pertama, Al-Qur’an menunjukkan
kepada sang pencipta dengan menggunakan penggantian nama tunggal.
Untuk hal ini diterangkan dalam surat Shaad ayat 71 “Sesungguhnya Aku
akan menciptakan manusia dari tanah”. Penciptaan manusia secara
umum, melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu ibu
dan bapak. Keterlibatan ibu dan bapak mempunyai pengaruh pada bentuk
fisik dan psikis manusia.95
Dari pengertian di atas, penulis menyimpulkan proses penciptaan
manusia berawal dari nuthfah yang bergabung pada ovum, kemudian,
nuthfah itu dijadikan darah beku („alaqah) yang menggantung dalam
rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumpal daging
(mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang belulang, lalu kepadanya
ditiupkan ruh. Dari semua itu, betapa Maha sempurnanya Allah
menciptakan ciptaannya dengan sebaik-baiknya agar kita tidak pernah
lupa akan Sang Penciptanya yang selalu memberikan kasih saying kepada
hambanya. Maka dari situ, kita dapat menyimpulkan untuk mendapat
kebahagiaan dunia akhirat serta mendapat ridho Allah, kita harus
mempergunakan fitrah dengan cara menjalani proses pendidikan.
D. Hasil Penelitian yang relevan
1. Pada jurnal yang ditulis oleh Toni Pransiska dari UIN Yogyakarta, yang
berjudul konsepsi “Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam dan
Implikasinya terhadap Pendidikan Islam Kontemporer.” Beliau
menjelaskan bahwa Segenap fitrah manusia yang berupa potensi
95
Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), cet. Ke-5, h.55
45
takwa selain diusahakan agar tumbuh dan berkembang, mesti
dan perlu untuk juga dididik dan diarahkan. Karena pengaruh orang
tua (mewakili lingkungan berupa pergaulan, bacaan, pendidikan,
dan lain sebagainya) dapat mempengaruhi manusia menjadi buruk,
jahat dan seterusnya.
2. Pada jurnal yang ditulis oleh Guntur Cahaya Kusuma, Dosen Fakultas
Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung dengan judul “Fitrah Manusia
dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Beliau menjelaskan bahwa konsep
fitrah bila dikaitkan dengan pendidikan Islam sangat bersifat religius,
yang lebih menekankan pada pendekatan keimanan. Karena setiap
manusia dilahirkan dia mempunyai potensi keimanan terhadap Allah
atau biasanya disebut potensi tauhid. Karena itu manusia yang tidak
bertauhid merupakan penyimpangan terhadap fitrahnya.
3. Pada skripsi yang ditulis oleh Muhammad Ilham Asy’ari dengan judul
“Peranan pendidikan dalam Pengembangan Fitrah sebagai Potensi
Dasar Manusia di SMA Dharma Karya UT Pamulang Tangerang
Selatan”, ia menjelaskan bahwa sekolah merupakan tempat
pengembangan potensi siswa, karena siswa adalah manusia tidak lepas
dari kekurangan dan kelebihan masing-masing. Guru seharusnya
memahami itu semua, tapi kenyataannya di lapangan paradox dengan
dengan teori dan konsepnya. Maka timbullah kekerasan yang diperoleh
oleh siswa dari gurunya.
46
47
BAB III
METODE PENELITIAN
Setelah selesai menjelaskan teori tentang pendidikan Islam, konsep
manusia dan fitrahnya, selanjutnya penulis akan akan membahas mengenai waktu
penelitian, jenis penelitian serta teknik analisis data agar skrispi yang disampaikan
dapat dipertanggung jawabkan. Adapun objek dan waktu penelitian sebagai
berikut:
A. Objek dan Waktu Penelitian
Menurut Sugiyono pengertian objek penelitian yaitu “sesuatu atribut
atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi
tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya.”96
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah resolusi pendidikan
Islam yang ditawarkan H.Muzayyin Arifinpada pengembangan pendidikan di
masa depan. Tempat penelitian dilakukan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan menelaah buku-buku H.Muzayyin Arifindan buku-buku yang
berkaitan dengan buku-buku H. Muzayyin Arifin.
B. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan dan mengnalisis fenomena, peristiwa, sikap, aktivitas sosial,
kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun
kelompok.97
Menurut Lexy Moleong, Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis
statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Jelas bahwa pengertian ini
96
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2012), hal. 38. 97
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 60
48
mempertentangkan penelitian kualitatif dengan penelitian yang bernuansa
kuantitatif yaitu dengan menonjolkan bahwa usaha kuantifikasi apapun tidak
perlu digunakan pada penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan
mereka yang diteliti yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik
dan rumit. Definisi ini lebih melihat perspektif emik dalam penelitian yaitu
memandang sesuatu upaya membangun pandangan subjek penelitian yang
rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit.98
Adapun literatur-literatur yang penulis pakai untuk penelitian ini
adalah:
1. Data Primer
Sumber atau data primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data.99
Menurut Joko Subagyo data primer adalah data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat baik yang dilakukan melalui wawancara,
observasi, dan alat lainnya. Data primer diperolehnya sendiri secara
mentah-mentah dari masyarakat dan masih dari masyarakat dan masih
memerlukan analisa lebih lanjut. Data yang didapat dari responden yang
masih sangat polos, tidak menutup-nutupi atau mengganti dengan jalan
pikirannya, diceritakan sesuai yang ia dapat atau ia lihat sendiri sesuai
dengan keadaan senyatanya merupakan data murni. 100
Karya-karya yang ditulis Prof. H.Muzayyin ArifinM.Ed yaitu:
a. Ilmu Pendidikan Islam (Suatu tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), Bumi Aksara, 2016
b. Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, 2010
c. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Islam dan Umum), Bumi Aksara,
2014
98
Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2016), Cet. Ke-35, h. 6 99
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 3 100
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta), h.
87
49
d. Ilmu Perbandingan Pendidikan, Golden Terayon Press, 2003
e. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah
dan Keluarga (sebagai Pola Pengembangan Metodologi), Bulan
Bintang, 1997
f. Teori-teori counseling Umum Agama , Golden Terayon Press, 1994
g. Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan Dan Penyuluhan Agama,
Bulan Bintang, 1979.
2. Data Sekunder
Menurut Joko Subagyo data sekunder adalah data yang diperoleh
dari atau berasal dari bahan kepustakaan. Data ini biasanya digunakan
untuk melengkapi data primer, mengingat bahwa data primer dapat
dikatakan sebagai data praktek yang ada secara langsung dalam praktek di
lapangan atau ada di lapangan karena penerapan suatu teori. Untuk melihat
konsepsi penerapannya perlu merefleksikan kembali ke dalam teori-teori
yang terkait, sehingga perlunya data sekunder sebagai pemadu.101
C. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan102
Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai
sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari setting-nya, data dapat
dikumpulkan pada setting alamiah, pada laboratorium dengan metode
eksperimen, di sekolah dengan tenaga pendidikan dan kependidikan, di rumah
dengan berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi, di jalan dan lain-
lain.103
101
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta), h.
88 102
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 308 103
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi, (mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 308
50
Sugiyono berpendapat bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlaku. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-
karya monumental dari seseorang.104
Untuk mendapatkan data-data yang valid maka diperlukan sumber
data penelitian yang valid juga. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan
data sebagai berikut:
1. Interview/ Wawancara
Wawancara yakni suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan pada para responden. Wawancara bermakna
berhadapan langsung antara interviewer dengan responden dan
kegiatannya dilakukan secara lisan.105
Wawancara dilakukan sebagai teknik pengumpulan data apabila
peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Teknik
pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri atau
keyakinan pribadi.106
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah “mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, agenda dan sebagainya.107
Dokumen merupakan catatan peristiwa penting yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental
dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian,
sejarah kehidupan, biografi, criteria, peraturan, kebijakan. Dokumen
104
Op.cit, h. 329 105
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
20l1), h. 39 106
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi, (mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 316 107
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), hal. 225
51
berbentuk gambar misalnya foto, gambar, hidup, sketsa, dan lain-lain.
Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni yang dapat berupa
gambar, patung, film, dan lain-lain. 108
D. Teknik Analisis Data
Analisis data tidak saja dilakukan setelah data terkumpul, tetapi
sejak tahap pengumpulan data proses analisis telah dilakukan. ini
dimaksudkan bahwa analisis bertolak dari data-data dan bermuara pada
kesimpulan-kesimpulan umum.109
Berdasarkan pada analisis data ini, dalam
rangka membentuk kesimpulan-kesimpulan umum analisis dapat dilakukan
menggunakan kerangka pikir “induktif”
Penulis melakukan penelitian dengan mendeskripsikan data-data
secara sistematis dan diformulasikan sedemikian rupa hingga diperoleh
kesimpulan yang komprehensif.
Beberapa langkah dalam menganalisis data:
1. Reduksi Data
Mereduksi data merupakan proses pemulihan, pemusatan perhatian pada
hal-hal yang penting, memilih hal-hal yang pokok, dan membuang yang
tidak diperlukan, maka hal tersebut akan mempermudah peneliti dalam
melakukan pengumpulan data selanjutnya untuk mencari data lainnya
bila diperlukan. Data-data direduksi diperlukan untuk mengorganisasikan
data untuk memudahkan peneliti dalam penarikan kesimpulan.
2. Penyajian Data
Setelah data direduksi kemudian dilakukan penyajian data, dalam
penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.
Penyajian data ini digunakan dalam rangka memperoleh pemahaman
yang lebih baik terhadap konteks penelitian.
108
Op.cit, h. 326 109
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h. 202
52
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan langkah selanjutnya dalam penelitian
kualitatif setelah penyajian data. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif
yang diharapkan yakni merupakan temuan baru yang sebelumnya belum
pernah ada. Temuan baru tersebut dapat berupa deskripsi atau gambaran
suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas sehingga menjadi jelas
dapat berupa hubungan kausal ataupun teori.110
110
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi, (mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 335-345
53
BAB IV
PEMIKIRAN H. MUZAYYIN ARIFIN DALAM
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Dalam bab ini, akan penulis menceritakan biografi H.Muzayyin Arifindan
akan menjelaskan analisis pemikiran beliau mengenai pendidikan Islam, konsep
manusia serta fitrah manusia. Penulis akan mulai bahas tentang biografi
H.Muzayyin Arifinsebagai berikut:
A. Biografi H. Muzayyin Arifin
Prof. Dr. H. Muzayyin Arifin, M.ed., lahir di Bogor pada tanggal 2
Agustus 1954. Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Wajib Belajar di Nagrog,
Ciampea Bogor tahun 1968. Kemudian melanjutkan pendidikannya di
sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun. Sambil bersekolah beliau
tinggal dan menginap (mondok) di Pondok Pesantren Nurul Ummah dan
lulus tahun 1972. H. M.111
Arifin melanjutkan pendidikannya pada sekolah Pendidikan Guru
Agama tingkat Atas (PGA A) 6 tahun. Sambil mondok di Pesantren
Jauharatun Naqiyah Cibeber Cilegon Serang Jawa Barat, dan tamat
tahun 1974. Setelah itu beliau memperoleh gelar Sarjana Muda (BA) pada
tahun 1979, dan Sarjana Lengkap (baca: Drs) pada Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta (sekarang bernama Universitas Islam Negeri
Jakarta), dan tamat tahun 1981. Gelar Magister bidang Studi Islam
diperolehnya tahun 1991, sedangkan gelar Doktor bidang Studi Islam
diperoleh pada tahun 1993 masing-masing dari Fakultas Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.112
Karir H.Muzayyin Arifin dimulai sebagai tenaga peneliti lepas pada
Lembaga Studi Pembangunan (LSP) di Jakarta 1981-1982; pada tahun
111
Muhammad Haris, Pendidikan Islam dalam Perspektif H.M Arifin, Jurnal Ummul
Quro, Vol VI, September 2015, h. 3 112
Ibid, h. 3
54
yang sama menjadi Direktur Koperasi Pelajar Kerja Sama Pemerintah
Jepang dengan Indonesia pada Himpunan Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (HP2M). Kemudian menjadi instruktur pada Lembaga Bahasa
dan Ilmu Al Qur’an (LBIQ) Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1982-
1985.113
Setelah itu akhirnya bertugas sebagai dosen Mata Kuliah Filsafat
Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
mulai tahun 1985. Tahun 1990 bertugas pula sebagai dosen Fakultas
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bidang mata kuliah
Sejarah Sosial dan Filsafat Pendidikan Islam. Namun, H.M. Arifin wafat
pada tahun 2003. Meski beliau sudah wafat, pemikiran serta peran dan
perjuangan beliau bisa kita ambil hikmah dan nilai-nilainya.114
H. Muzayyin Arifin, di kalangan civitas akademika UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dikenal sebagai salah seorang yang concern dengan
persoalan pendidikan, terutama pendidikan Islam. Hidupnya diabdikan
sepenuhnya untuk kemajuan lembaga yang menjadi pilar utama kemajuan
peradaban umat manusia. Hal ini bukan hanya terlihat dari berbagai karya
tulis di bidang pendidikan, melainkan juga keterlibatannya secara langsung
dalam mengelola berbagai lembaga pendidikan.
Adapun karya-karya beliau yaitu:
1. Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner)
2. Filsafat Pendidikan Islam
3. Kapita Selekta Pendidikan (Islam Dan Umum)
4. Ilmu Perbandingan Pendidikan
5. Pendidikan Dalam Arus Dinamika Masyarakat
6. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Di Lingkungan Sekolah
Dan Keluarga (Sebagai Pola Pengembangan Metodologi)
7. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar
113
Ibid, h. 4 114
Ibid, h. 4
55
8. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Dan Penyuluhan Agama
9. Teori-Teori Counseling Agama Dan Umum
10. Psikologi Dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah Manusia
11. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
12. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan Dan Penyuluhan Agama115
B. Pendidikan Islam menurut H. Muzayyin Arifin
Islam diturunkan sebagai petunjuk atau pedoman bagi manusia. Cara
manusia memahami Islam yaitu dengan melalui pendidikan. Bagaimana pun
kondisi dan perkembangan zama, syariat Islam tetap harus berjalan secara
mutlak. Seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Tujuan manusia sendiri
dalam melaksanakan hidupnya ingin bahagia dunia akhirat, sesuai dengan
fitrah yang ada, bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk bahagia
dalam kondisi apapun dan dimanapun.116
Kemudian, pendidikan Islam ini tidak dilakukan atau didapat secara
singkat, melainkan dengan cara bertahap. Seperti ilmu, jika hanya mencapai
di tingkat kognitif saja, bukan afektif, berarti belum mencapai ilmu tersebut,
maka dari itu, proses pendidikan mempunyai jangka yang panjang.117
Kepribadian manusia yaitu akhlak manusia yang sudah mendarah
daging di dalam dirinya. Maka tugas pendidikan Islam ialah membentuk
manusia menjadi manusia berakhlak sebagai makhluk sosial. Namun itu
semua memerlukan pendekatan dari segi pedagogis. Jadi, pendidikan Islam
juga perlu dengan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan tugasnya.
Seperti belajar ilmu astronomi, matematika dan sebagainya.118
Menurut H. Muzayyin Arifin, pendidikan berarti menumbuhkan
personalitas serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan
115
Ana Biaunika, “Konsep Pendidikan Islam Perspektif H.M Arifin”, Skripsi Pada
Program Sarjana IAIN Salatiga, h. 114 116
H. M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), cet. Ke-4, h 6 117
Ibid, h. 6 118
Ibid, h. 6
56
bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi
pertumbuhan manusia. 119
Manusia yang berpredikat muslim, ia akan menjadi penganut
agamanya. Maka manusia harus dididik melalui proses pendidikan Islam,
yang mana pendidikan Islam itu sistem pendidikan untuk membentuk
manusia menjalankan hidupnya dengan baik dengan dilandasi nilai-nilai
islami.120
Dengan demikian, pendidikan Islam akan terus ada sepanjang hayat
dengan kondisi apapun dan terbuka sesuai perkembangan zaman, dan relevan
tetap pada batas-batas tertentu.
Pendidikan harus mampu mengarahkan kemampuan dari dalam diri
manusia menjadi suatu kegiatan hidup yang berhubungan dengan Tuhan, baik
kegiatan itu bersifat pribadi maupun kegiatan sosial.121
Menurutnya pula, bahwa pendidikan itu tidak hanya menumbuhkan,
melainkan mengembangkan ke arah tujuan akhir. Juga tidak hanya suatu
proses yang sedang berlangsung, melainkan suatu proses yang berlangsung ke
arah sasarannya.122
Dari paparan di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah
usaha menumbuhkan kemampuan yang ada dalam diri manusia dan rasa
tanggung jawab dan mempunyai tujuan, yaitu mengharap kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam harus
bisa menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai
tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan
dengan nilai-nilai Islam yang melandasi, merupakan proses ikhtiariah yang
secara pedagogis mampu mengembangkan hidup anak ke arah
kedewasaan/kematangan yang menguntungkan dirinya. Oleh karena itu,
119
H. M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), cet. Ke-4, h. 7 120
Ibid, h. 7 121
H.M Arifin, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), cet. Ke-8, h.
14 122
Ibid, h. 14
57
usaha ikhtiariah tersebut tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan trial and
error (coba-coba) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidikan tanpa
dilandasi dengan teori-teori kependidikan yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah pedagogis.123
Islam sebagai petunjuk Ilahi mengandung implikasi kependidikan yang
mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin,
muslim, muhsin dan muttakin melalui proses tahap demi tahap. Islam sebagai
ajaran yang mengandung sistem nilai di mana proses pendidikan Islam
berlangsung dan dikembangkan secara konsisten untuk mencapai tujuan.124
Dan adapun hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa
muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik
melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan
perkembangannya.125
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Islam menjadi
petunjuk pendidikan yang harus di lakukan dengan cara mengarahkan,
membimbing manusia menjadi seorang yang mukmin, muhsin dan muttakin.
Tidak hanya mengarahkan dan membimbing, melainkan harus didasari
dengan nilai-nilai Islam dan teori-teori kependidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah pedagogis.
C. Tujuan pendidikan Islam
Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara
tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Hal ini mengandung makna
bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi
identitas islami. Sedangkan idealitas islami itu sendiri pada hakikatnya adalah
mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.126
123
H.M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, h. 9 124
Ibid, h. 21 125
Ibid, h. 22 126
H.M Arifin, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), cet. Ke-8, h.
108
58
Dengan demikian, pendidikan Islam bertugas di samping
menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai islami, juga
mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai
itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi identitas wahyu
Tuhan. Hal ini berarti Pendidikan Islam secara optimal harus mampu
mendidik anak didik agar memiliki “kedewasaan dan kematangan” dalam
beriman, bertakwa, dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh,
sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam yang dialogis
terhadap perkembangan kemajuan zaman. Dengan kata lain, bidang kehidupan
duniawi ukhrowi yang berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan
antara kedua bidang itu.127
Oleh karena itu, tujuan akhir pendidikan Islam berada di dalam garis
yang sama dengan misi tersebut, yaitu membentuk kemampuan dan bakat
manusia agar mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan yang penuh
rahmat dan berkat Allah tersebut tidak akan terwujud nyata, bilamana tidak
diaktualisasikan melalui ikhtiar yang bersifat kependidikan secara terarah dan
tepat.
Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah membentuk manusia agar memiliki pengetahuan, kedewasaan,
menanamkan nilai-nilai islami dan menjadi pengamal ajaran Islam yang
dialogis terhadap perkembangan zaman agar menciptakan kesejahteraan dan
kebahagiaan serta rahmat dari Allah Swt.
Secara teoritis, tujuan akhir ini dapat dibedakan menjadi 3 bagian,
yaitu:
1. Tujuan normatif
Tujuan ini adalah tujuan yang harus dicapai berdasarkan kaidah-kaidah
(norma)
a. Tujuan formatif yang bersifat memberikan persiapan dasar yang
korektif.
127
H.M Arifin, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), cet. Ke-8,
h.111
59
b. Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk
membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
c. Tujuan determinatif yang bersifat memberikan kemampuan untuk
mengarahkan diri kepada sasaran-sasaran yang sejalan dengan proses
kependidikan.
d. Tujuan integratif yang bersifat memberikan kemampuan untuk
memadukan fungsi psikis (penyerapan terhadap rangsangan pelajaran,
pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan nafsu) ke arah tujuan akhir
proses pendidikan.128
2. Tujuan fungsional
Tujuan ini bersasaran pada kemampuan anak didik untuk memfungsikan
daya kognitif, afektif, dan psikomotor.
a. Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar
dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan
akhirat.
b. Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat
sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya
serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan
pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
c. Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni,
dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.129
3. Tujuan operasional
Tujuan ini mempunyai sasaran teknis manajerial yang meliputi:
a. Tujuan umum atau tertinggi yang bersasaran pada pencapaian
kemampaun optimal yang menyeluruh (integral) sesuai idealistis yang
diinginkan.
b. Tujuan intermediair yang bersifat sementara untuk dijadikan sarana
mencapai tujuan tertinggi
128
H.M Arifin, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), cet. Ke-8, h.
115 129
H.M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, h. 29
60
c. Tujuan partial yang bersasaran pada suatu bagian dari keseluruhan
aspek dari tujuan umum, yang berfungsi untuk memudahkan
pencapaian tujuan umum.
d. Tujuan insidental yang bersasaran pada hal-hal yang tidak
direncanakan, tetapi hal-hal tersebut mempunyai kaitan dengan
pencapaian tujuan umum. Tujuan ini bersifat lebih memperlancar
pencapaian tujuan umum.
e. Tujuan khusus yang bersasaran pada faktor-faktor khusus tertentu yang
menjadi salah satu aspek penting dari tujuan umum, yaitu memberikan
dan mengembangkan kemampuan atau skill khusus pada anak didik,
sehingga mampu bekerja dalam bidang pekerjaan tertentu yang
berkaitan erat dengan tujuan umum.130
Kalau pendidikan umum hanya ingin mencapai kehidupan duniawi
yang sejahtera baik dalam dimensi bernegara maupun bermasyarakat maka
pendidikan Islam bercita-cita lebih jauh yang bernilai transcendental, bukan
incidental atau aksidental di dunia, yaitu kebahagiaan hidup setelah mati.131
Oleh karena pendidikan merupakan sarana atau alat untuk
merealisasikan tujuan hidup orang muslim secara universal maka tujuan
pendidikan Islam di seluruh dunia harus sama bagi semua umat Islam, yang
berbeda hanyalah sistem dan metodenya.132
Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa
secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan
fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik
maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.133
Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian memberi makan
kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering
diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia. Bila dingin
130
H.M Arifin, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), cet. Ke-8, h.
116 131
Ibid, h. 125 132
Ibid, h. 125 133
H. M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), cet. Ke-4, h. 22
61
diarahkan kepada pertumbuhan sesuai dengan ajaran Islam maka harus
berproses melalui sistem kependidikan Islam, baik melalui kelembagaan
maupun sistem kurikuler.134
Esensi dari potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu terletak pada
keimanan atau keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak dan pengalamannya. Dan
keempat potensi esensial ini menjadi tujuan fungsional pendidikan Islam. Oleh
karenanya, dalam strategi pendidikan Islam, keempat potensi dinamis yang
esensial tersebut menjadi titik pusat dari lingkungan proses kependidikan
Islam sampai kepada tercapainya tujuan akhir pendidikan, yaitu manusia
dewasa yang mukmin atau muslim, muhsin dan muhlisin muttakin.135
Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tujuan secara
teoritis, tujuan akhir dapat dibedakan menjadi 3 bagian, ke semua itu adalah
tujuan yang harus di capai dari segi norma-norma peserta didik, kognitif
peserta didik serta skill yang harus di miliki peserta didik untuk menghadapi
perkembangan sekarang.
D. Metode dalam Pendidikan Islam menurut H. Muzayyin Arifin
Metode merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode
mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat konsisten dan
sistematis, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang sedang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan, jadi penggunaan metode dalam
proses kependidikan pada hakikatnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati
dalam pekerjaan mendidik/mengajar.136
Menurut Herman H. Horne yang dikutip oleh H.M Arifin, pembatasan
arti metode dalam pendidikan sebagai suatu prosedur dalam mengajar.
Biasanya suatu metode atau kombinasi metode yang dipergunakan dapat
diidentifikasi, walaupun guru sama sekali tidak menyadari tentang
permasalahan metode itu. Suatu prinsip metode yang seiring diikuti dengan
134
H. M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), cet. Ke-4, h. 22 135
H. M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), cet. Ke-4, h.
22-23 136
H.M Arifin, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), cet. Ke-8, h.
90
62
setengah sadar ialah “ajarlah orang lain seperti orang lain pernah
mengajarmu”.137
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tentang metode yang disebut
metodologi memberikan gambaran jelas bahwa bagaimana suatu metode
mendidik atau mengajar dapat menjadi efektif atau tidak efektif, terutama
didasarkan atas pandangan-pandangan psikologis, bukan atas dasar pandangan
administrative.
Tujuan mempergunakan suatu metode yang paling tepat dalam
pendidikan ialah untuk memperoleh efektivitas dari kegunaan metode itu
sendiri. Efektivitas tersebut dapat diketahui dari kesenangan pendidik yang
memakainya di satu pihak, serta timbulnya minat dan pengajaran. Kedua belah
pihak timbul rasa senang mengerjakan suatu pekerjaan karena apa yang
dikerjakan itu bermanfaat bagi mereka.138
Aspek-aspek kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan manusia
itu pada hakikatnya tercermin dalam gaya bahasa khithab Tuhan yang bersifat
direktif. Metode-metode yang diajarkan dalam Al-Quran menurut H.Muzayyin
Arifinadalah:
1. Metode perintah dan larangan serta metode praktik, contohnya yaitu
perintah shalat, puasa, dan jihad. Demikian pula tentangg menjalankan
puasa ramadhan, Tuhan menunjukkan manfaatnya bagi kehidupan
manusia, baik dalam hubungan dengan Tuhannya, dengan masyarakatnya
maupun dengan alam sekitar.139
2. Mendorong berjihad. Dengan melalui jihad fi sabilillah itu manusia akan
memperoleh jalan kebenaran Tuhan serta menjadi orang yang beruntung.
Berjihad di sini berarti bersungguh-sungguh dalam pekerjaan. Dalam
hubungan ini maka metode yang berdasarkan pendekatan motivatif akan
mampu menggerakkan semangat bekerja dan berusaha seseorang anak
137
Ibid h. 91-92 138
Ibid, h. 92 139
Ibid, h. 104
63
didik bilamana sekaligus didorong oleh nilai-nilai motivatif dari ketiga
aspek, yaitu motivasi teogenetis, sosiogenetis dan biogenetis.140
3. Metode pemberian suasana, misalnya Allah menunjukkan bahwa memeluk
Islam itu tidak melalui paksaan, melainkan atas dasar kesadaran dan
kerelaan.141
4. Metode mendidik secara kelompok yang dapat disampaikan dengan
metode mutual education. Dengan cara berkelompok inilah, maka proses
mengetahui dan memahami pelajaan akan lebih efektif, oleh karena satu
sama lain dapat saling bertanya dan saling mengoreksi bila satu sama lain
melakukan kesalahan.142
5. Metode pendidikan dengan menggunakan cara instruksional, yaitu bersifat
mengajar yang lebih menitikberatkan pada kecerdasan dan pengetahuan.
Misalnya Allah mengajarkan tentang ciri-ciri orang yang beriman dalam
bersikap dan bertingkah laku agar mereka dapat mengetahui bagaimana
seharusnya mereka bersikap sehari-hari.143
E. Proses Pengembangan Fitrah Manusia
Kemampuan dasar atau pembawaan disebut fitrah, kata yang berasal
dari fatoro yang dalam pengertian etimologi mengandung arti kejadian. Kata
fitrah ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Pengertian fitrah dapat diambil secara terminologis, yaitu sebagai
berikut:
140
Ibid, h. 106 141
Ibid, h. 106 142
Ibid, h. 107 143
Ibid, h. 107
64
1. Secara terminologis kata fitrah mengandung makna kejadian yang di
dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus yaitu Islam.
Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapa pun atau lingkungan
apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan
mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi
manusia.144
2. Dalil-dalil lainnya yang dapat diinterpretasikan untuk mengartikan fitrah
yang mengandung kecenderungan yang netral ialah antara lain sebagai
berikut.
Dalam surat Al-Alaq 3-4 dinyatakan oleh Allah sebagai berikut.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia tanpa melalui belajar,
niscaya tidak akan mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi
kelangsungan hidupnya di dunia dan akhirat.145
Pengaruh dari luar diri manusia terhadap fitrah sebagaimana dalam
sabda Nabi Muhammad saw. Riwayat Abu Hurairah dapat disimpulkan
sebagai berikut:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya ibu bapaknya lah
yang menyebabkan anak menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”
Fitrah dalam hadis tersebut diartikan sebagai faktor pembawaan
sejak manusia lahir yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan, bahkan ia tak
akan dapat berkembang sama sekali bila tanpa adanya pengaruh
lingkungan. Sedang lingkungan itu sendiri dapat diubah bila tidak
favourable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita
manusia).146
144
H. M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), cet. Ke-4, h. 43 145
Ibid, h. 45 146
Ibid, h. 45
65
Dari interpretasi tentang fitrah di atas, meskipun fitrah dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah tersebut tidaklah netral
terhadap pengaruh dari luar. Potensi yang terkandung di dalamnya secara
dinamis mengadakan reaksi atau respon terhadap pengaruh tersebut.
Dengan kata lain bahwa dalam proses perkembangannya, terjadi interaksi
(saling mempengaruhi) antara fitrah dan lingkungan sekitar, sampai akhir
hayat manusia.147
3. Konsep Alquran yang menunjukkan tiap manusia diberi kecenderungan
nafsu untuk menjadikannya kafir bagi yang ingkar terhadap Tuhannya dan
kecenderungan yang membawa sikap bertakwa menaati perintah-Nya.
Sebagaimana surat Al-Syams ayat 7-10 sebagai berikut:
7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.
9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Firman Allah tersebut dapat dijadikan sumber pandangan bahwa
usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan
positif untuk mengarahkan perkembangan seseorang kepada jalan
kebenaran, yaitu Islam. Tanpa melalui usaha pendidikan, manusia akan
terjerumus ke jalan yang salah atau sesat.
Dari ketiga pengertian tersebut, penulis dapat ambil kesimpulan
bahwa fitrah adalah potensi dasar yang dimiliki manusia sejak lahir. Yaitu
potensi dasar mempunyai agama yang lurus, yaitu agama Islam. Dan fitrah
juga mempunyai makna kecenderungan yang ada pada dirinya tentang
pemilihan yang ada di lingkungan sekitar, apakah ia menjadi kafir atau
tetap cenderung pada pendirian nya bahwa ia beragama Islam.
147
Ibid, h. 45
66
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat dalam
fitrah manusia berpusat pada kemampuan berpikir sehat (berakal sehat),
karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan yang benar secara
tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat.148
Dengan demikian berpikir sehat dan benar merupakan kemampuan
fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan latihan.149
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa akal sehat
dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk karena manusia
mempunyai faktor memilih yang teradapat dalam fitrahnya.
4. Komponen psikologis dalam fitrah
Fitrah dapat diambil kesimpulan bahwa fitrah adalah suatu
kemampuan dasar perkembangan manusia yang dianugerahkan Allah
kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologi yang
satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup
manusia.
Komponen-komponen fitrah tersebut adalah:
a. Kemampuan dasar untuk beragama Islam, di mana faktor iman
merupakan inti beragama manusia.
b. Bakat dan tendensi atau kecenderungan, yang mengacu kepada
keimanan kepada Allah. Dengan demikian, fitrah mengandung
komponen psikologis yang berupa keimanan tersebut.
c. Naluri dan kewahyuan bagaikan dua sisi dari mata uang logam,
keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia.
d. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum
e. Dalam fitrah, tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena
fitrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci, bersih yang reseptif
terbuka kepada pengaruh eksternal, termasuk pendidikan. Kemampaun
untuk mengadakan reaksi atau response terhadap pengaruh dari luar
tidak terdapat di dalam fitrah.150
Dalam hubungannya dengan konsepsi kependidikan Islam yang
nativistis, fakor pembawaan diakui pula sebagai unsur pembentuk corak
148
Ibid, h. 47 149
Ibid, h. 47 150
Ibid, h. 48-50
67
keagamaan dalam diri manusia. Hal ini digambarkan dalam kitab suci
Alquran tentang peristiwa Nabi Ibrahim yang orang tuanya menyembah
berhala. Dengan kemampuan akal pikirannya yang mencari dan
menyelidiki alam sekitar. Akhirnya dapat menemukan Tuhannya yang
benar sesuai dengan keislamannya. Sebaliknya anak Nabi Nuh yang tidak
mau mengikuti ayahnya naik ke atas perahu ketika banjir besar melanda
dunia. Ia tetap dalam status non muslim walaupun ayahnya sebagai Nabi
yang Islam.151
Sudah tentu paham-paham yang selanjutnya dikembangkan
menjadi teori pendidikan didasarkan atas pengalaman atau observasi
jangka panjang terhadap perkembangan hidup manusia sejak masa
kehidupannya yang dini sampai dengan masa dewasa atau lanjut usia.
Oleh karena itu, bilamana dipertanyakan mengapa manusia
menjadi muslim dan menjadi non muslim, maka jawabannya dapat
diberikan bahwa setiap manusia telah memiliki arah kecenderungan
individual yang diperkuat oleh proses pendidikan atau diperlemah melalui
pengalaman kependidikan dan pengaruh eksternal lainnya.152
Maka jelaslah bagi kita bahwa manusia dalam proses kependidikan
menurut Islam, tidak lain adalah manusia yang memerlukan tuntunan dan
bimbingan yang tepat melalui proses kependidikan, sehingga terbentuklah
dalam pribadinya suatu kemampuan mengaktualisasikan dirinya selaku
sosok individual, dan sekaligus kemampuan memfungsikan dirinya selaku
anggota masyarakat serta mendarmabaktikan dirinya hanya kepada
Khaliknya semesta.153
Dari paparan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa fitrah
merupakan kecenderungan individual untuk memilih hal-hal yang baik
atau salah dengan di dorong oleh akal yang sehat, untuk mengembangkan
akal sehat, maka diperlukan belajar atau diajarkan melalui pendidikan.
151
H.M Arifin, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), cet. Ke-8, h.
146 152
Ibid, h. 146 153
Ibid, h. 149
68
Karena sejatinya manusia memerlukan tuntutan dan bimbingan dengan
melalui pendidikan sehingga terbentuklah kemampuan mengaktualisasikan
dirinya sosok individual dan anggota masyarakat yang baik.
Untuk tujuan itulah manusia dijadikan oleh Tuhan dalam bentuk
acuan yang paling baik.154
Sebagaimana firman-Nya dalam surat At-Tin
ayat 4-6.
4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya .
5. kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-
rendahnya (neraka),
6. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
F. Membangun Manusia Ideal dalam Pendidikan
Menurut H.M Arifin, dalam pandangan Islam suatu pertumbuhan
manusia itu dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:
1. Pertumbuhan secara biologis
2. Pertumbuhan bersifat psikologis
3. Pertumbuhan paedagogis
Pertumbuhan adalah suatu proses pertumbuhan anak itu berlangsung
secara fase demi fase.155
Firman Allah surat Al-Mukmin ayat 67
154
Ibid, h. 149 155
H. M Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), h. 26
69
67. Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes
mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu
sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai
kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di
antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu
memahami(nya).
Jadi ayat tersebut menunjukkan bahwa fase-fase pertumbuhan manusia
itu berlangsung sebagai berikut:
1. Masa embrio (masih dalam perut ibu)
2. Masa kanak-kanak (sejak lahir dari rahim ibu)
3. Masa kuat (kuat jasmani dan rohani atau pikiran)
4. Masa tua
5. Masa meninggal dunia156
Adapun pertumbuhan yang bersifat psikologis ialah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Al-Fikry yang dikutip H.Muzayyin Arifinyaitu:
1. Masa kanak-kanak: dari lahir sampai umur 7 tahun. Bila anak telah sampai
umur 40 hari ia telah dapat tersenyum dan dapat melihat. Pada saat ini
anank juga telah dapat merasa sakit, merasakan hajat-hajat biologis. Umur
6 bulan anak telah mempunyai kemauan. Umur 7 bulan anak mulai
tumbuh gigi.
2. Masa berbicara: mulai tahun ke 8 sampai ke 14. Masa ini dapat juga
disebut periode cita-cita sebab pada masa ini anak menuju ke arah segala
sesuatu yang berhubungan erat dengan tabiat dan akalnya.
3. Masa akil baligh : dari umur 15-21 tahun
4. Masa syabibah (adolisen): dari umur 22-26 tahun
5. Masa rujulah: (pemuda pertama atau dewasa): dari 29-35 tahun
6. Masa pemuda kedua: dari umur 36-42 tahun
7. Masa Kuhulah: dari umur 43-49
156
H. M Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang), h.
26
70
8. Masa umur menurun: dari 50-56 tahun
9. Masa kakek-kakek/nenek-nenek pertama: dari 56-63
10. Masa kakek-kakek/nenek-nenek kedua: dari 64-75 tahun
11. Masa Harom (pikun): dari 75-91 tahun
12. Masa meninggal dunia157
Adapun pertumbuhan dari segi paedagogis yaitu:
1. Periode pendidikan pertama: sejak lahir-6 tahun. Anak dijaga dari segala
yang mengotorkan jasmani dan rohani. Dengan kata lain, periode ini
adalah masa pendidikan secara dressur (pembiasaan) dalam hal-hal yang
baik.158
Pada perkembangan keagamaannya pada usia 6 tahun ini makin kuat,
apalagi bilamana praktek ibadah selalu diberikan kepada mereka, maka
sikap tersebut akan semakin kuat. Hubungan dengan Tuhan sangat bersifat
pribadi, mereka senang berdoa dengan sepenuh hati.159
2. Periode pendidikan kedua yakni anak didik tentang adab kesusilaan.
Pendidikan demikian ini dimulai umur 6 tahun.160
3. Periode pendidikan ketiga: anak didik sexuilnya dengan cara terpisah
tempat tidurnya dari orang tua, sebab hubungan sexual ayah dan ibu bila
sampa dilihat oleh anak, akan membahayakan jiwa anak tersebut
mengingat anak mempunyai watak suka meniru perbuatan orang lain
terutama orang tuanya. Anak dalam periode ini, menginjak umur 9 tahun.
Mereka mulai memperoleh sikap yang lebih matang terhadap agama.
Mereka lebih ingin mengetahui tentang Tuhan dan banyak mengajukan
pertanyaan tentang hal tersebut. Mereka merasa terganggu perasaannya
157
Ibid, h. 27 158
Ibid, h. 28-29 159
H.M Arifin, Pokok-pokok Pikiran tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 56-57 160
H. M Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang), h.
29
71
bilamana Tuhan diberi tahukan kepadanya berada di sekelilingnya yang
tidak Nampak oleh panca indera.161
4. Periode pendidikan ke empat yakni bagi anak yang telah berumur 13 tahun
diharuskan menjalankan sembahyang guna menenangkan jiwanya, karena
masa ini anak mulai memasuki alam puberteit (sturm and drang) di mana
pada masa ini anak mengalami kegoncangan-kegoncangan jiwa sangat
membutuhkan pimpinan yang teguh.
5. Periode pendidikan kelima yakni bagi anak umur 16 tahun. Pada masa ini
anak telah mengalami kedewasaan nafsu birahinya yang banyak
mengahajatkan penjagaan dari orang tuanya agar tidak terjadi exces-exces
sexual yang merugikan.
Dari tahap-tahap proses pertumbuhan manusia, penulis
menyimpulkan bahwa manusia memerlukan pendidikan sejak dini, agar
manusia dapat menjalani kehidupan yang lurus dan lebih teratur serta
mempunyai tujuan dengan segala aktivitasnya.
G. Problem-problem Pendidikan Islam
1. Sistem pendekatan dan Orientasi
Di tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh
ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan sosial, pendekatan
pendidikan Islam yang memandang bahwa kebenaran Islam yang mutlak
pasti mampu mengalahkan kebatilan yang merajalela di luar kehidupan
Islam dengan dasar dalili:
(jika telah datang perkara yang hak, maka hancurlah perkara yang
batil) perlu dilakukan modifikasi/perubahan menjadi pendekatan yang
berdasarkan atas pandangan yang realistis bahwa Islam sebagai suatu
kebenaran mutlak baru mampu berkembang dengan sepenuhnya dalam
masyarakat bila para pendukungnya berusaha keras dan tepat sasaran
melalui sistem dan metode yang efektif dan efisien.
161
H.M Arifin, Pokok-pokok Pikiran tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 57
72
Efektivitas dan efisiensi pendidikan Islam menuntut untuk
menerapkan pelbagai rekayasa dan rekadaya yang didasari oleh ilmu
pengetahuan teoritis dan praktis sesuai dengan sasaran yang digarap.
Pendidikan Islam masa kini dihadapkan kepada tantangan yang
jauh lebih berat dari tantangan yang dihadapi pada masa permulaan
penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan
idealitas umat manusia yang serba multi interes yang berdimensi nilai
ganda dengan tuntutan hidup yang multi kompleks pula. Jadi tugas
pendidikan Islam dalam proses pencapaian tujuannya tidak lagi
menghadapi problema kehidupan yang simplisistis, melainkan amat
kompleks akibat rising demand manusia semakin kompleks pula. Semakin
kompleks rising demand, semakin kompleks pula hidup kejiwaannya,
maka semakin tidak mudah jiwa manusia itu diberi nafas agama. Bagaikan
obat pahit yang menyembuhkan, namun banyak orang yang tak mau
menelannya. Oleh karena itu diperlukan sistem dan metode yang menarik.
162
Krisis konsep tentang kesepakatan arti hidup yang baik masyarakat
mulai merubah pandangan tentang cara hidup bermasyarakat yang baik
dalam bidang ekonomi, politik, kemasyarakatan dan implikasinya terhadap
kehidupan individual.163
Dari problema di atas dapat disimpulkan bahwa probelema
mengenai sistem pendekatan dan orientasi adalah krisis nilai-nilai kultural
berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan
sosial, timbulnya aspirasi dan idealitas umat manusia yang serba multi
interes yang berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi
kompleks pula.
2. Pelembagaan Proses Kependidikan Islam
Bilamana Toffler benar-benar menyadari bahwa kelemahan fungsi
lembaga pendidikan sebagai sub-sistem masyarakat, pada hakikatnya tidak
162
Ibid, h. 5 163
Ibid, h. 38
73
terlepas dari mekanisme sistem sosio-kultural yang saat ini sedang diserbu
oleh membanjirnya pengaruh sains dan teknologi itu sendiri, maka faktor
interaksional dalam pertumbuhan sekolah dan masyarakat adalah satu-
satunya yang bertanggung jawab terhadap timbulnya kelemahan
fungsional sistem lembaga kependidikan kita.
Di samping itu pergeseran idealitas masyarakat yang menuju ke
arah pola pikir rasional-teknologis yang cenderung melepaskan diri dari
tradisionalisme kultural-edukatif makin membengkak. Fungsi lembaga
kependidikan kita mau atau tidak mau harus bersifat laten terhadap
kecenderungan sosial tersebut. Akibatnya lembaga ini terlalu dibebani
over demanded, karena dianggap sekedar sebagai public and social
servant yang harus tunduk kepada kebinekaan kepentingan yang berubah-
ubah.164
Beban institusi sekolah kita terlalu besar melebihi kemampuannya:
Sekolah kita dituntut untuk memikul beban tanggung jawab moral dan
sosial-kultural yang tidak termasuk program instruksional yang di desain,
oleh karenanya sekolah tidak siap memikul tanggung jawab tersebut.
Sistem birokrasi lah yang telah memperberat beban yang di luar
kemampuan sekolah. Seperti membebani titipan-titipan mata pelajaran
yang bersifat menunjang kebijaksanaan teknis departemental atau
sektoral.165
Makin membesarnya kesenjangan si kaya dan si miskin: Sekolah
kita yang diandalkan menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan
kesejahteraan hidup ekonomis, terutama bagi alumni-alumninya,
memerlukan dukungan mmasyarakat secara berimbang. Bukan hanya
golongan kaya saja yang dapat menyekolahkan anak, akan tetapi juga
golongan miskin yang terdampar di abu. Oleh karena itu, sekolah dituntut
untuk berlaku adil dan bersikap demokratis terhadap enrolment, dan
164
Ibid, h. 7 165
Ibid, h. 39
74
sekaligus mendidik pendemokrasian dan persamaan serta keadilan sosial
dalam pola hidup ekonomis untuk kemakmurannya yang merata.166
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sekolah
dan masyarakat adalah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap
timbulnya kelemahan fungsional sistem lembaga kependidikan kita.
Pergeseran idealitas masyarakat yang menuju ke arah pola pikir rasional-
teknologis yang cenderung melepaskan diri dari tradisionalisme kultural-
edukatif makin membengkak.
3. Pengaruh Sains dan Teknologi Canggih
Sebagaimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif
daripada kemajuan teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif
(memudahkan) kehidupan manusia yang hidup sehari-hari sibuk dengan
berbagai problema yang semakin mengemelut. Teknologi menawarkan
berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin bineka,
memasuki ruang-ruang dan celah-celah kehidupan kita sampai yang
remang-remang dan bahkan yang gelap pun dapat dipenetrasi.167
Dampak-dampak negatif dari teknologi modern telah mulai
menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan
melemahkan daya mental-spiritual/jiwa yang sedang tumbuh berkembang
dalam berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayanya. Tidak hanya nafsu
mutmainah yang dapat diperlemah oleh rangsangan negative dari
teknologi elektronis dan informatika, melainkan juga fungsi-fungsi
kejiwaan lainnya seperti kecerdasan pikiran, ingatan, kemauan dan
perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya dengan alat-alat
teknologis-elektronis dan informatika seperti computer, foto copy, VCR,
dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik tidak perlu lagi belajar
bahasa asing dan berfikir ilmiah taraf tinggi, karena alat-alat teknologis
telah mampu menggantikannya dengan computer penerjemah semua
bahasa asing, robot-robot telah siap mengerjakan tugas-tugas yang ahrus
166
Ibid, h. 40 167
Ibid, h. 8
75
dikerjakan dengan tangan dan mesin otak (computer) yang mampu
berpikir lebih cepat dari otak manusia sendiri.168
Permasalahan baru yang harus dipecahkan oleh pendidikan Islam
pada khususnya antara lain adalah dehumanisasi pendidikan, netralisasi
nilai-nilai agama, atau upaya mengendalikan dan mengarahkan nilai-nilai
tradisional kepada suatu pemukiman yang Illahi yang kokoh dan tahan
banting, baik dalam dimensi individual maupun sosio kultural.
Di arena perbenturan antara nilai sekuler dan nilai absolutisme dari Tuhan
akibat rentannya pola pikir manusia teknologis yang pragmatis-relativistis
inilah pendidikan Islam harus hidup mengacu dan membuktikan
kemampuan canggihnya. Di sinilah to be or not to be-nya (eksistensinya)
pendidikan Islam.
Tuntutan masyarakat industrial-teknologis masa kini dan masa
datang adalah seperti digambarkan oleh Skinner yang dikutip oleh H.M
Arifin, pelopor pendidikan yang teknologis-behavioris bahwa “Pendidikan
kita saat ini hanya dijadikan sebagai cabang dari teknologi ilmiah yang
paling penting, yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia”.
Padahal seharusnya pendidikan harus dijadikan pusat-pusat pengembangan
peradaban dan kebudayaan umat manusia dalam masyarakat. Kekeliruan
pandang demikian memang beralasan, bahwa lembaga pendidikan kita
dalam beberapa seginya harus dijadikan sumber pengembangan sains dan
taknologi dengan menteknologikan proses kependidikan yang berlangsung
untuk mencapai outcome yang seirama dengan kemajuan teknologi itu
sendiri. Nilai-nilai apapun tidak lagi diperlukan, karena teknologi pun
bebas dari nilai apapun baik yang moral dan yang spiritual. Ini adalah
salah satu aspek pandangan pragmatisme.169
Fenomena sosial yang telah diteliti oleh para ahli perencanaan
kebijaksanaan pendidikan, misalnya menunjukkan bukti bahwa setiap
tahap kemajuan ilmu dan teknologi canggih, selalu membawa perubahan
168
Ibid, h. 9 169
Ibid, h. 9-10
76
sosial yang sepadan atau bahkan lebih besar dari pada perkiraan atau
peramalan mereka. Dampak positif dan negatifnya terhadap kehidupan
manusia kadang-kadang tak dapat lagi dikontrol atau diarahkan oleh
lembaga-lembaga sosial dan kultural atau moral yang sengaja dibangun
oleh masyarakat misalnya lembaga sekolah.170
Akibat dari dampak negatif IPTEK, dalam bidang moral dan
spiritual menimbulkan keresahan batin yang menyakitkan, karena kejutan-
kejutannya tidak terkendali lagi. Maka dari itu masyarakat kini, sedang
dihinggapi kerawanan sosial dan kultural yang obat penyembuhnya sedang
dicari oleh para ahli dari berbagai bidang keilmuan, di sana-sini para ahli
sedang melakukan diagnosa, namun proses diagnosa mereka kalah cepat
dari serbuan penyakit baru yang susul-menyusul, sehingga kronistas
penyakit itu tak dapat dibendung lagi. Maka makin membengkaklah
akumulasi virus tekno-sosial yang ditularkan oleh kepesatan kemajuan
IPTEK itu sendiri.171
Kita tidak bisa hanya menyalahkan IPTEK saja, karena IPTEK
telah menjadi tumpuan harapan manusia. Kita mengharapkan suatu bentuk
kehidupan yang paling baik berkat kemajuan yang telah kita raih, namun
pada gilirannya kita justru harus menanggung resiko yang makin
kompleks yang mencemaskan batin kita. Itulah peta kehidupan umat
manusia masa kini dan masa depan yang hanya mengandalkan
kemampuan intelektualitas dan logika, tanpa memperhatikan
perkembangan mental-spiritual dan nilai-nilai agama. “Nampaknya kita
hidup normal tapi sebenarnya kita berada di dalam keadaan sakit.” Kata
ahli sosial-futorologi, Theodore Roszak. Masyarakat sedang mengalami
krisis transisi yang makin diperkacau oleh pertikaian dan permusuhan serta
dissosiasi.172
170
H. M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h. 35 171
Ibid, h. 35 172
Ibid, h. 35
77
Penulis menyimpulkan bahwa pengaruh sains dan teknologi
merupakan pengaruh besar yang berdampak pada pendidikan, seharusnya
pendidikan harus dijadikan pusat-pusat pengembangan peradaban dan
kebudayaan umat manusia dalam masyarakat. Lembaga pendidikan kita
dalam beberapa seginya harus dijadikan sumber pengembangan sains dan
taknologi dengan menteknologikan proses kependidikan yang berlangsung
untuk mencapai outcome yang seirama dengan kemajuan teknologi itu
sendiri.
4. Perencanaan dan Model-model Pendidikan Islam
Oleh karena pendidikan beserta kelembagaannya sering harus
mengalami inovasi dan peka terhadap perubahan sosial, maka perencanaan
pendidikan harus mulai dari identifikasi kebutuhan yaitu kebutuhan
perkembangan anak didik seirama dengan perkembangan masyarakat.173
Tingkat kebutuhan kependidikan (seperti ilmu pengetahuan, sikap
dan keterampilan) anak didik. Dimensi-dimensi kebutuhan tersebut
ditetapkan setelah mengidentifikasi tingkat dan macam kebutuhan
kependidikan apa dari tiga aspek tuntutan yaitu masyarakat, siswa, dan
pendidik.174
Dari segi manajemen kependidikan, suatu perencanaan untuk
pendidikan masa depan harus meliputi tiga ciri pokok masyarakat,
menurut Herold G. Shane yang dikutip H.M Arifin, ia mengatakan salah
seorang futuris yang optimis, yaitu masa depan sosio, masa depan tekno
dan masa depan bio, dengan segala implikasi dan dampaknya terhadap
jiwa manusia. 175
Penulis menyimpulkan bahwa perencanaan pendidikan harus mulai
dari identifikasi kebutuhan yaitu kebutuhan perkembangan anak didik
seirama dengan perkembangan masyarakat. Dimensi-dimensi kebutuhan
tersebut ditetapkan setelah mengidentifikasi tingkat dan macam kebutuhan
173
Ibid, 10 174
Ibid, 10-11 175
Ibid, h. 12
78
kependidikan apa dari tiga aspek tuntutan yaitu masyarakat, siswa, dan
pendidik.
H. Solusi-solusi terhadap Problema Pendidikan Islam
1. Sistem Pendekatan dan Orientasi
Orientasi pendidikan Islam dalam zaman teknologi masa kini dan
masa depan perlu diubah. Yang semula berorientasi kepada kehidupan
ukhrowi menjadi duniawi-ukhrowi bersamaan. Orientasi ini menghendaki
suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program
pembelajarannya harus lebih diproyeksikan ke masa depan daripada masa
kini atau masa lampau. Meskipun masa lampau dan kini tetap dijadikan
khazanah kekayaan empiris yang amat berharga bagi batu loncatan ke
masa depan, sehingga nostalgia ke masa keemasan dunia Islam masa
lampau (abad 7-14) tidak perlu lagi mengobsesi pemikiran kita.176
Jadi, menurut penulis, pendidikan merupakan salah satu pusat
gerakan paling strategis dalam masyarakat, karena ia mempunyai landasan
ideal dan operasional yang kokoh berdasarkan nilai-nilai yang pasti kepada
kemajuan hidup masa seakrang. Pendidikan Islam yang bertugas menggali
dan mengamalkan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadits
sudah jelas memperoleh bimbingan dan arahan dari kedua sumber
tersebut.
Al-Quran telah mengajarkan manusia dalam mengembangkan rasio
untuk memantapkan iman dan takwanya itu diperkokoh melalui ilmu
pengetahuan, yang mana menjadi ciri khas islami. Dan tidak terdapat di
kitab-kitab lainnya.
Manusia telah mendapat wawasan terhadap masa depannya dengan
diberikannya akal sampai ditemukannya IPTEK. Seperti contoh dalam
surat Arrahman yang menjelaskan kelautan dan ruang luar angkasa dan
surat Saba ayat 10-13 tentang bahan teknologis bangunan-bangunan
kolosal. Oleh karena itu, manusia harus bersikap bahwa agama dan IPTEK
bisa saling mempengaruhi nilai-nilai yang baik, yaitu dengan memberikan
176
Ibid, h. 5-6
79
makna kemanusiawian. Maka, IPTEK tetap harus terus berjalan sepanjang
hidup agar kehidupan tetap stabil dan damai dengan dilandasi iman dan
takwa. Serta tujuan pendidikan Islam saat ini harus berorientasi pada dua
tujuan, yakni tujuan dunia dan tujuan akhirat. Jadi, belajar ilmu-ilmu untuk
masa depan lebih utama daripada belajar hal-hal masa lalu.
2. Pelembagaan Proses Kependidikan Islam
Pendidikan Islam kita yang masih bersifat konservatis dan statis
dalam menyerap tendensi dan aspirasi masyarakat transisional seperti
masa kini, perlu memacu diri untuk melakukan inovasi dalam wawasan,
strategi, dan program-programnya sedemikian rupa sehingga mampu
menjawab secara faktual dan fungsional terhadap tantangan baru. Apalagi
bila diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-
nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam lubuk hati
tiap pribadi manusia melalui bidang-bidang kehidupan manusia, maka
pendekatan sistemik yang bersifat missionair di mana faktor humanisasi
menjadi sentral strategi, perlu lebih diprioritaskan dalam perencanaan.177
Jadi, menurut penulis lembaga pendidikan Islam saat ini seperti
pesantren harus mengikuti perkembangan zaman, seperti menerapkan
metode atau mengajar dengan variatif, tidak hanya ceramah atau hafalan
saja. Serta perlu dikenali dengan teknologi kepada peserta didik.
Kemudian, secara konten, anak didik diajarkan memecahkan
masalah kehidupan nyata yang dimana nilai-nilai kemanusiaan lebih di
kedepankan. Dan anak tetap diajarkan kritis, namun tetap tidak
menghilangkan kesadaran sebagai hamba Allah Swt. Lalu mengenai
pendidik, pendidik harus bertanggung jawab dan mulailah menganggap
murid sebagai sumber pengetahuan juga, jadi bukan sebagai objek
pendidikan yang pasif. Selanjutnya mengenai anak didik, anak didik
diajarkan dialogis dengan siapapun. Menghayati kehidupan dan pandangan
orang lain, kemudian merevisi sikap pandangannya sendiri. Jadi corak
tersebut merupakan sikap inovatif.
177
Ibid, h. 77-8
80
3. Pengaruh Sains dan Teknologi
Dampak-dampak negatif dari teknologi modern telah mulai
menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan
melemahkan daya mental-spiritual/jiwa yang sedang tumbuh berkembang
dalam berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayanya. Tidak hanya nafsu
mutmainah yang dapat diperlemah oleh rangsangan negative dari
teknologi elektronis dan informatika, melainkan juga fungsi-fungsi
kejiwaan lainnya seperti kecerdasan pikiran, ingatan, kemauan dan
perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya dengan alat-alat
teknologis-elektronis dan informatika seperti computer, foto copy, VCR,
dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik tidak perlu lagi belajar
bahasa asing dan berfikir ilmiah taraf tinggi, karena alat-alat teknologis
telah mampu menggantikannya dengan computer penerjemah semua
bahasa asing, robot-robot telah siap mengerjakan tugas-tugas yang ahrus
dikerjakan dengan tangan dan mesin otak (computer) yang mampu
berpikir lebih cepat dari otak manusia sendiri.178
Menurut H.M Arifin, tuntutan masyarakat industrial-teknologis
masa kini dan masa datang adalah seperti digambarkan oleh Skinner,
pelopor pendidikan yang teknologis-behavioris bahwa “pendidikan kita
saat ini hanya dijadikan sebagai cabang dari teknologi ilmiah yang paling
penting, yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia”. Padahal
seharusnya pendidikan harus dijadikan pusat-pusat pengembangan
peradaban dan kebudayaan umat manusia dalam masyarakat. Kekeliruan
pandang demikian memang beralasan, bahwa lembaga pendidikan kita
dalam beberapa seginya harus dijadikan sumber pengembangan sains dan
teknologi dengan menteknologikan proses kependidikan yang berlangsung
untuk mencapai outcomes yang seirama dengan kemajuan teknologi itu
sendiri. Nilai-nilai apapun tidak lagi diperlukan, karena teknologi pun
178
Ibid, h. 9
81
bebas dari nilai apapun baik yang moral dan yang spiritual. Ini adalah
salah satu aspek pandangan pragmatisme.179
Namun demikian pelopor aliran behaviorisme tersebut masih tetap
menghargai sekolah selaku lembaga pendidikan yang berdaya guna. Ia
menganggap bahwa “oleh karena manusia saat ini berada di dalam kubu
zaman revolusioner yang amat menarik perhatian, dimana studi tentang
manusia dipusatkan pada kepentingan hidup paling utama manusia, maka
pendidikan harus dapat berperan serta didalamnya, pendidikan harus mau
menerima kenyataan bahwa suatu revisi secara menyeluruh mengenai
praktek-praktek kependidikan tak terhindarkan lagi. Barulah setelah tugas
ini, pendidikan dapat mengharapkan sepenuh keyakinan kepada sekolah
sebagai suatu sistem yang mampu memenuhi ciri-ciri dan watak dari
tugasnya, yang mampu menjamin metode-metodenya dan secara suka rela
di-support oleh warga Negara yang efektif dan berpengetahuan yang mana
justru pendidikan itu sendiri harus menciptakan mereka.180
Jadi, menurut penulis, Al-Quran memang telah terlebih dahulu
menjelaskan adanya teknologi dari zaman Nabi. Hal ini membuktikan
bahwa manusia di dorong agar menganalisa dan mengembangkan ilmu dan
teknologi.
Pendidikan Islam yang tugas pokoknya membimbing, membina
peserta didik harus mampu mengetengahkan perencanaan dan kegiatan
operasional kependidikan terutama yang bekaitan dengan IPTEK. Seperti
pendidik harus memotivasi peserta didik dalam keterampilan
memanfaatkan IPTEK.
4. Perencanaan dan Model-model Pendidikan Islam
Pendidikan yang dijadikan tumpuan harapan manusia harus
mampu memproyeksikan keadaan masa depan ke dalam ketiga kategori
tersebut di atas yaitu:
179
Ibid, h. 9-10 180
Ibid, h. 10
82
1. Masa depan sosio, yang mengandung fenomena prinsipal, antara lain
penyebaran alternatif struktur rumah tangga yang lamban, sharing child-
rearing (pengasuhan anak oleh orang tuanya), pandangan tentang posisi
keibuan, hubungan–hubungan seksualitas dan moralitas sosial baru, serta
interpretasi kembali tentang peranan agama dalam masyarakat. Makin
banyaknya kaum wanita menjadi tenaga kerja. Penekanan hidup pada
aspek-aspek sosial, penolakan umum terhadap penggunaan senjata
penghancur massal (nuklir dan kimia), terjadi peningkatan perkawinan
lintas suku dan agama, radikalisme pelajar makin menurun, status kurang
dikaitkan dengan benda-benda consumer, pemecahan tentang krisis energi
jangka panjang tak kunjung tercapai, dan penggunaan energi per kapita
makin menurun.181
2. Masa depan Tekno, secara singkat dapat disimpulkan bahwa masyarakat
masa depan akan dilanda pengaruh energi fisika tinggi, inovasinya dan
implikasinya yang cenderung lebih besar terhadap energi sinar laser,
bidang sibernetika, proses control sistem-sistem mekanik, biologi dan
elektronik makin dimurnikan pemakaiannya, terjadinya perubahan
terhadap media massa. Adanya sukses besar dalam manipulasi dan
restorasi lingkungan, pengurangan tenaga kerja, penyempurnaan energy
solar dan nuklir, peningkatan penggunaan komputer dan teknik
pemrosesan data, penyempurnaan komputer rumah tangga.182
3. Masa depan bio. Secara prinsipal ditandai dengan makin menghangatnya
diskusi tentang pemakaian teknik modifikasi behavioral seperti kimia,
elektronik dan kejiwaan serta isu-isu manipulasi genetika, akibat
timbulnya hasrat ZPG, tugas-tugas keorangtuaan dan keibuan semakin
selektif berdasarkan prinsip-prinsip genetika, teknik-teknik pengendalian
kelahiran makin disempurnakan.183
Pendidikan Islam yang diharapkan oleh umat Islam adalah
pendidikan yang mampu menjadi obor yang menerangi kebingungan dan
181
Ibid, h. 12 182
Ibi, h. 13 183
Ibid, 13
83
kegelapan hidup manusia masa kini dan secara maksimal dapat menjadi
Juru Selamat moral bagi masyarakat teknologis yang pragmatis anti
moralitas Illahi yang absolut. Dengan menyerap nilai-nilai Islam seperti
yang muncul dan berkemampuan tinggi pada masa permulaan risalahnya
kemudian dikonseptualisasikan ke dalam sistem nilai yang mengacu
kepada tuntutan baru, maka vitalitas pendidikan Islam akan bangkit
kembali.184
Dari solusi-solusi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa melalui
pendidikan, manusia diharapkan mengikuti arus kehidupan sesuai
perkembangannya agar tidak tertinggal, dengan mempunyai 3 masa depan.
Yaitu masa depan sosio, tekno, dan masa depan bio. Ke semua itu antara
lain penyebaran alternatif struktur rumah tangga yang lamban, sharing
child-rearing (pengasuhan anak oleh orang tuanya), pandangan tentang
posisi keibuan, hubungan–hubungan seksualitas dan moralitas sosial baru,
serta interpretasi kembali tentang peranan agama dalam masyarakat.
mampu menjadi obor yang menerangi kebingungan dan kegelapan hidup
manusia masa kini dan secara maksimal dapat menjadi Juru Selamat moral
bagi masyarakat teknologis yang pragmatis anti moralitas Illahi yang
absolut.
184
Ibid, h. 37-38
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Islam merupakan membimbing, membina, mengarahkan
manusia menjadi makhluk yang bertanggung jawab dan berperilaku baik.
Namun pendidikan kita saat ini sedang mengalami krisis moral. IPTEK yang
seharusnya menjadi tumpuan harapan manusia menjadi manusia yang
berkualitas, berpikir cerdas dan maju dari konservatif dan statis, namun
ternyata kebablasan dalam menggunakannya. Sehingga manusia itu terlena
oleh pengaruh IPTEK. Pengaruh IPTEK yang sedemikian canggih dan cepat,
lambat laun menggerus nilai-nilai sikap mental dan spiritual seseorang
sehingga menyebabkan tujuan pendidikan tidak tercapai.
Fitrah merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia sejak lahir.
Yaitu fitrah beragama, bakat, naluri, dan sikap netral terhadap lingkungan.
Semua ini penting untuk diketahui dan digali semaksimal mungkin, dengan
dibantu pula oleh lembaga pendidikan. Pendidik harus mengetahui potensi-
potensi yang dimiliki peserta didik. Jadi, macam-macam fitrah tersebut itu
penting semua digali dan dioptimalkan manusia dengan dibantu oleh
pendidikan. Karena dengan begitu, kita tidak akan kebablasan lagi dalam
menghadapi tantangan apapun yang terjadi di zaman sekarang atau zaman
yang akan datang. Kita dapat menghadapi tantangan yang begitu canggih atau
lebih maju dengan tetap tidak kehilangan nilai-nilai keagamaan kita atau
tidak hilang mental-spiritual kita.
Tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri adalah untuk menjadi
manusia yang bermanfaat, menjadi manusia paripurna, bahagia, dan
mengharap ridho Allah Swt. Tujuan pendidikan Islam tidak hanya untuk
kepentingan duniawi, melainkan tujuan ukhrowi. Agar seimbang dalam
menjalani hidup. Jika kita hanya fokus pada tujuan akhirat, maka kita tidak
akan merasakan pengetahuan teknologi yang canggih ini, yang mana sangat
memudahkan kita dalam melakukan aktivitas di zaman sekarang. Maka perlu
85
sekali berkembang tujuan kita, dari yang semulanya bertujuan untuk akhirat
saja, maka sekarang harus berubah menjadi tujuan dunia dan akhirat.
B. Saran
Bagi pendidik, sudah sebaiknya kita mengetahui konsep fitrah. Yang
mana sangat penting untuk pengembangan potensi peserta didik dengan
melalui pendidikan. Karena sistem pendidikan merupakan sistem yang cocok
untuk mendidik dan menggali potensi apa yang dimiliki peserta didik. Agar
setiap peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani, 1995.
Arief, Armai. Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Arifin, H.M Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Arifin, H.M. FIlsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. 8, 2016.
Arifin, H.M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
1975
Arifin, H.M. Pokok-pokok Pikiran tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama,
Jakarta: Bulan Bintang. 1976
Arifin,H.M Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. 4, 2009.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 1998.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium II., Jakarta: Kencana. Cet. 2, 2014.
Basyit, Abdul. Memahami Fitrah Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan
Islam, Rausyan Fikr, Vol. 13, Maret 2017.
Biaunika, Ana. Konsep Pendidikan Islam Perspektif H.M Arifin, Skripsi Pada
Program Sarjana IAIN Salatiga, 2017. Tidak Dipublikasikan.
Cahaya Kesuma, Guntur. Konsep FItrah Manusia Perspektif Pendidikan Islam,
Ijtimaiyya, Vol 6, Agustus 2013.
Fadhilah Suralaga dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2005
Farah Naila, dan Cucum Novianti, Fitrah dan Perkembangan Jiwa Manusia dalam
Perspektif Al-Ghazali, Yaqhzan Vol. 2, Desember 2016
Ghofur, Abdul. Konstruksi Epistemologi Pendidikan Islam, Jurnal Kependidikan
Islam, Vol 2, Desember 2016.
Gunawan, Heri. Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.
Haris, Muhammad. Pendidikan Islam dalam Perspektif H.M Arifin, Jurnal Ummul
Qura Vol VI, September 2015
Huda, Nurul. Konsep Pendidikan Al-Fitrah dalam Al-Qur’an, Tesis Pada
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2006. Tidak
Dipublikasikan.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002
Mahmud. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2013
Moleong, Lexy, J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet. 35, 2016
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.
3, 2004.
Mujib, Abdul, dan Yusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana,
cet. 4, 2014
Muliyawan, Jasa Ungguh. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015.
Mustakim, Zaenal. Pendidikan Islam, Globalisasi Teknologi Informasi dan
Moralitas Bangsa, Forum Tarbiyah, Volume 11, Nomor 1, Juni 2013.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Inteletktual dan pemikiran HAMKA
tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Nizar, Samzul. Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001.
Pransiska, Toni. konsep Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam dan Implikasinya
dalam pendidikan Islam Kontemporer, (Jurnal Ilmiah Didaktika, Volume
17, Nomor 1, Agustus 2016), h. 7
Saryono, Konsep FItrah dalam Perspektif Islam, Jurnal Studi Islam, Volume 14,
Nomor 2, Desember 2016.
Shaleh, Abdul Rahman. Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Prenadamedia Group, cet. 5, 2015.
Subagyo, Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2012.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi, (mixed
Methods), Bandung: Alfabeta, 2011.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013
Suwaibatul Aslamiyah, Siti. Problematika Pendidikan Islam di Indonesia,
Alhikmah Jurnal Studi Keislaman, Volume 3, Nomor 1, Maret 2013.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, cet. 7, 1992.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet.
3. 2015.
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, cet. 2, 1999.
Wahyudi, Tian. Konsep Pembelajaran Berbasis Potensi FItrah, Tesis Pada
Pascasarjana UIN Yogyakarta. 2015. Tidak Dipublikasikan.
Wiyani, Novan Ardy, dan Barnawi. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-ruzz
Media, cet. 3, 2016
Yahya, M. Slamet. Strategi Pendidikan Islam Menghadapi Kemajuan Iptek,
Insania, Volume 11, Nomor 1, Januari-April 2006.