KONSEP METODE PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH...
Transcript of KONSEP METODE PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH...
KONSEP METODE PENDIDIKAN AKHLAK IBNU
MISKAWAIH DAN RELEVANSINYA TERHADAP
PENDIDIKAN AKHLAK DI SDN PETIR 3
SKRIPSI
Diajukan Kepada Jurusan Pendidikan Agama Islam Untuk Memenuhi Persyaratan
Meraih Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
ASEP QUSYAIRI
1113011000041
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2020 M / 1441 H
i
ABSTRAK
Asep Qusyairi (NIM: 1113011000041) Konsep Metode Pendidikan Akhlak Ibnu
Miskawaih Dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Akhlak Di Sdn Petir 3
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak ibnu
miskwaih dan relevansinya terhadap pendidikan karakter di Indonesia. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualtitatif, yaitu data yang diperoleh (berupa kata-
kata, gambar dan perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka
melainkan tetap dalam bentuk kualitatif, sifatnya menganalisa dan memberi
pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk naratif. Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian kepustakaan/library research yakni
mengumpulkan, menelaah dan mengkaji data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan
dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan. Sumber
data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. Dalam hal
ini kitab Tahzib al Akhlaq. Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang
mendukung data primer, yaitu buku-buku dan literatur yang relevan dengan
penelitian ini. Data sekunder yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
buku, jurnal dan sumber literatur lainnya yang mengkaji tentang akhlak terkait
konsep pendidikan akhlak ibnu akhlak. Teknik analisis data menggunakan teknik
content analysis dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian ini yakni konsep
pendidikan ibnu miskawaih masih relavan terhadap pendidikan karakter di
Indonesia. Karena konsep yang beliau bawa dalam kitabnya, menekankan
pembangunan pendidikan moral. Hal itu tentu sesuai dengan apa yang di inginkan
oleh masyarakat Indonesia yang nilai moral masih jauh tertinggal oleh Negara lain.
Terutama dalam moral akhlak islami.
ii
ABSTRACT
Asep Qusyairi (NIM: 1113011000041) The Concept of Ibn Miskawaih Moral
Education Method and Its Relevance to Moral Education in Sdn Petir 3
This study aims to determine the concept of Ibn Miskwaih's moral education and
its relevance to character education in Indonesia. This study uses a qualitative
approach, ie the data obtained (in the form of words, pictures and behavior) is not
set forth in the form of numbers or numbers but remains in a qualitative form, the
nature of analyzing and giving exposure to the situation under study in narrative
form. The type of research used is library research / library research that is
collecting, studying and reviewing data or scientific papers that aim at the object of
research or collection of data that are library. Primary data sources are data obtained
directly from the object under study. In this case the book of Tahzib al Akhlaq.
While secondary data is data that supports primary data, namely books and
literature relevant to this study. Secondary data used by researchers in this study are
books, journals and other sources of literature that examines morals related to the
concept of Ibn Moral Moral Education. Data analysis techniques using content
analysis techniques in descriptive form. The results of this study are Ibnu
Miskawaih's concept of education is still relevant to character education in
Indonesia. Because the concept he brought in his book, emphasizes the building of
moral education. That is certainly in accordance with what is desired by the people
of Indonesia whose moral values are still far behind by other countries. Especially
in Islamic moral morals.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamua’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh ..
Segala Puji bagi Allah atas limpahan rahmat-Nya, atas segala nikmat yang
telah diberikan, baik nikmat islam, iman dan sehat wal afiat. Shalawat dan salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah diberikan keistimewaan
oleh Allah SWT yakni Jawami’ulkalim (ungkapan yang singkat namun maknanya
padat).
Penulis bersyukur atas rahmat dan berkah-Nya, sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan judul “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dan
Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter di Indonesia.” Skripsi ini disusun
untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan (S.Pd). Penelitian ini terselesaikan tentunya tidak dengan hasil kerja
penulis pribadi, melainkan mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu
penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Ibu
Sururin, M.Ag beserta Staf dan Jajarannya.
3. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag selaku
Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Terima kasih pula kepada Drs. Rusdi Jamil, M.Ag Selaku Sekretaris Jurusan
Pendidikan Agama Islam.
5. Bapak Drs. Achmad Gholib, M.Ag. selaku dosen pembimbing penulisan
Skripsi yang telah meluangkan waktu dan tenaganya sehingga skripsi
selesaikan. Semoga Allah swt membalas segala amal baik beliau dengan
sebaik-baiknya balasan.
6. Bapak. Dr Dimyati, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik.
iv
7. Segenap para Dosen jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah
memberikan banyak ilmu dan membantu baik prihal akademik maupun hal
lainnya.
8. Kedua Orang tua, Almarhum Ayahanda saya H. Ali dan Ibunda Hj.
Kosriyah yang tanpa henti memberikan Do’a, dukungan dan bimbingannya
kepada penulis dan semoga ibunda saya selalu diberikan kesehatan.
9. Kepada para sahabat seperjuangan kelas PAI-B dan juga keluarga besar
PAI angkatan 2013 yang telah memberikan banyak kesan baik selama
berkecimpung di dunia perkuliahan. Semoga Allah membalas segala amal
baik kalian.
10. Keluarga Besar SDN Petir 3 yang telah memberikan masukan, dukungan
dan motivasi kepada penulis, semoga selalu diberikan kesehatan dan selalu
dalam lindungan Allah Swt.
11. Sahabat-sahabat Keluarga Besar MAPK 2013 terutama Ahmad Milki,
Ajrine Rahma, Ahmad Ulan Fahri serta Forum AL-MADANY (Alumni MA
Annida Al-Islamy) yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga
selalu dalam lindungan Allah Swt.
Dan kepada semua pihak, teman-teman yang lain dimanapun kalian berada
yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya
skripsi ini semoga dimanapun kalian berada senantiasa diberikan kesehatan dan
dilancarkan segala urusan. Penulis meminta maaf karena pasti terdapat kekurangan
dalam penulisan ini, Olehkarenanya, saran dan kritik yang membangun dari
berbagai pihak senantiasa penulis harapkan demi terciptanya penelitian yang lebih
baik lagi.
Wassalamu ‘alaikum …
Jakarta, 1 Jnui 2020
Penulis
Asep Qusyairi
v
DAFTAR ISI
HALAMAN
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
LAMPIRAN vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 6
C. Pembatasan Masalah 6
D. Rumusan Masalah 7
E. Tujuan Penelitian 7
F. Manfaat Penelitian 7
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Akhlak 8
B. Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih 21
C. Metode Mujahadah dan Riyadhoh 33
D. Model Pendidikan Akhlak 36
E. Hasil Penelitian Yang Relevan 44
vi
HALAMAN
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 46
B. Objek dan Subjek Penelitian 47
C. Teknik Pengumpulan Data 48
D. Teknik Analisis Data 48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih 50
B. Metode Pendidikan Akhlak di SDN Petir 3 Kota Tangerang 54
C. Relevansi Konsep Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih
Terhadap Pendidikan Akhlak di SDN Petir 3 Kota Tangerang 57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 64
B. Saran 66
DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN 72
vii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Surat Bimbingan Skripsi
LAMPIRAN 2 Surat Izin Penelitian
LAMPIRAN 3 Surat Keterangan Penelitian
LAMPIRAN 4 Surat Uji Referensi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah terbesar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia adalah semakin
merosotnya moral bangsa. Perilaku yang tidak bermoral dapat disaksikan setiap saat
melalui media elektronik, mulai dari kasus korupsi, pencurian, pemerkosaan,
pembunuhan, judi, minuman keras, obat-obatan terlarang, seks bebas, kekerasan
dalam rumah tangga, tauran pelajar, gang motor dan lain-lain.
Kemerosotan moral yang demikian itu lebih menghawatirkan lagi, karena
bukan hanya terjadi di kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan, kedudukan
dan profesinya, melainkan juga telah menimpa para pelajar, pemuda yang di
harapkan dapat melanjutkan perjuangan membela kebenaran, keadilan dan
perdamaian masa depan.
Tingkah laku menyimpang yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda
harapan masa depan itu, sekalipun jumlahnya mungkin hanya seperkian persen dari
jumlah pelajar secara keseluruhan, tetapi tetap sangat disayangkan. karena
fenomena tersebut dapat mencoreng citra bangsa Indonesia yang dulu terbiasa
santun dalam berperilaku, ramah tamah, musyawarah mufakat dalam
menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas,
serta bersikap toleran dan gotong royong.
Pelajar sebagai seorang remaja memiliki peranan sangat penting dan
keberadaannya tidak bisa kita pisahkan dari masyarakat. Hal ini dapat diasumsikan
bahwa permasalahan remaja dengan berperilaku negatif merupakan bagian dari
permasalahan sosial yang merugikan masyarakat. Pada masa usia seperti mereka
inilah terjadi kerawanan, sehingga memerlukan perhatian khusus.
Kerawanan yang sering terjadi pada masa remaja ini disebabkan
bergejolaknya keinginan dan dorongan-dorongan yang kadang dapat
2
menjerumuskan mereka kepada perilaku negatif. Karena masa remaja adalah masa
timbulnya berbagai macam kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan
kemampuan fisik lebih jelas dan daya pikir menjadi matang.
Semua perilaku negatif masyarakat Indonesia baik yang terjadi di kalangan
pelajar dan mahasiswa maupun kalangan yang lainnya, jelas menunjukkan
rapuhnya moral bangsa Indonesia yang salah satunya disebabkan oleh tidak
optimalnya pengembangan pendidikan akhlak di lembaga pendidikan. Padahal
negara dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) telah menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Apabila gejala dan fakta realitas tersebut tidak disikapi secara profesional
dan bijak, bangsa ini menjadi bangsa yang gagal karena generasi mudanya telah
teracuni narkoba, miras, sex bebas dan tawuran, sedangkankan generasi tuanya
telah terkontaminasi oleh budaya koruptif dan selingkuh, yang merupakan
eksistensi dari kehidupan matrealisme, permisivisme dan glamorisme.1
Membuat peserta didik berkarakter adalah tugas pendidikan, yang esensinya
adalah membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter.2
Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengemban
fungsi reproduksi, penyadaran, dan mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah
itu diawadahi melalui proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti bisnisnya.
1 Anas Salahudin dan Irwanto, Pendidikan Karakter, Pendidikan Berbasis Agama dan
Budaya, (Bandung: Pustaka setia, 2013), h. 16. 2 Ibid., h. 43
3
Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah terjadi aktivitas kemanusiaan dan
pemanusiaan sejati.3
Menurut ajaran Islam, hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai
ilahiah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Qur’an dan Hadits sehingga
menjadi manusia yang berakhlak mulia.4 Hal tersebut sangat sesuai dengan firman
Allah SWT. Yang menjelaskan:
كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولو اللباب
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S Shadd:29)
Salah satu misi utama agama Islam adalah menyempurnakan akhlak
manusia. al-akhlak al-karimah yang diajarkan Islam merupakan orientasi yang
harus dipegang oleh setiap muslim. Seseorang yang hendak memperoleh
kebahagiaan sejati (al-sa’âdah al-haqîqiyyah), hendaknya menjadikan akhlak
sebagai landasan dalam berperilaku. Sebaliknya orang yang tidak memperdulikan
pembinaan akhlak adalah orang yang tidak memiliki arti tujuan hidup.
Membicarakan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan sangat
mendasar. Akhlak yang baik adalah semulia-mulianya sesuatu, sebaik-baiknya
manusia. Dengan Akhlak yang baik, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya
ketimbang derajat binatang.5 Begitu pentingnya akhlak bagi kehidupan manusia
sehingga jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana
akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya, apabila
akhlaknya rusak maka rusaklah lahir dan batinnya.
Di era modern seperti sekarang ini, sedikitnya terdapat tiga fungsi akhlak
dalam kehidupan manusia. Pertama, ia dapat dijadikan sebagai panduan dalam
3 Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 1 4 Ibid., h. 49 5 Ibnu Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. I, h. 25
4
memilih apa yang boleh diubah, dan apa pula yang harus dipertahankan. Kedua,
dapat dijadikan sebagai obat penawar dalam menghadapi berbagai ideologi
kontemporer (seperti materalisme, nihilisme, hedonisme, radikalisme, marxisme,
sekulerisme dan lain-lain).6
Dan ketiga, akhlak sebagai filter terhadap arus globalisasi, dimana
globalisasi telah menyebarkan arus informasi yang begitu banyak dan beragam.
Arus informasi tersebut tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai,
dan nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing. Apakah nilai-nilai tersebut
positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang berlaku
didalam masyarakat.7
Dalam menghadapi globalisasi tersebut sebaiknya kita tidak boleh bersikap
apriori menolak apa saja yang datang bersama arus globalisasi itu, misalnya dengan
dalih semua itu adalah budaya dan nilai-nilai Barat yang bersifat negatif.
Sebaliknya kita harus bersikap selektif dan berusaha memfilter nilai-nilai dan
menanamkan nilai-nilai (akhlak) pada peserta didik agar dapat mempersiapkan
mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi yang mereka hadapi dan alami.
Dalam rangka penanaman nilai-nilai (akhlak) tersebut pendidikan menjadi
kunci utama, tentu saja penanaman nilai-nilai tersebut tidak akan dapat diwujudkan
bila ia hanya mengandalkan pendidikan formal semata, setiap sektor pendidikan
lain baik formal, informal maupun non formal harus difungsikan secara integral.
Disamping itu pendidikan harus diarahkan secara seimbang antara aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik
Penanaman nilai-nilai (akhlak) dan budi pekerti, bukanlah masalah yang
baru muncul saat ini. Dalam sejarah pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh
yang menyibukkan diri dalam bidang ini.
6 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanasils, 1987), h. 15 7 Shindhunata, Menggagas Pendidikan Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil
Society Globalisasi, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000), h. 106 – 107
5
Kajian tentang akhlak (etika) dikalangan umat islam pada masa permulaan
Islam hanya terbatas pada upaya memahami akhlak dari Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya, kajian akhlak ini berkembang menjadi lebih luas seiring dengan
perkembangan zaman, terutama setelah era penerjemah literatur filsafat Yunani,
bermunculan tokoh-tokoh yang berkonsentrasi mengkaji khasanah klasik Yunani
termasuk teori-teori mereka mengenai akhlak dan berbagai corak pemikiran.
Di antara segelintir filsuf muslim yang konsen dibidang ini antara lain al-
Farabi, al-Kindi, dan Ibnu Miskawaih dikawasan timur dunia Islam, serta Ibnu
Majah dan Ibnu Thufail dibelahan Barat.
Usaha dan kontribusi yang dicurahkan para filsuf yang berkecimpung dalam
filsafat akhlak dan berbegai macam corak pemikiran ini bukan sekedar taklid
“mengekor” dari pendahulu mereka dari kalangan filsuf Yunani, akan tetepi mereka
melakukan upaya pembaruan dan memiliki otentisitas tersendiri dalam cara
berpikir. Hal ini tampak jelas ketika kita mendalami karya-karya mereka, terutama
kitab Tahzîb al-Akhlâq wa tathîr al-a’râq karya Ibnu Miskawaih.
Penulis memilih pemikiran Ibnu Miskawaih dalam kitabnya tersebut, karena
membicarakan tentang akhlak dan dirasa relavan dan dapat dijadikan acuan untuk
memperbaiki pendidikan etika pada zaman yang serba modern ini, karena
pemikiran Ibnu Miskawaih dalam kitabnya tersebut mengemukakan teori jalan
tengah. Doktrin jalan tengah yang dikemukakan Ibnu Miskwaih tidak hanya
memiliki nuansa dinamis akan tetapi juga fleksibel. Maka dari itu doktrin tersebut
dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa
menghilangkan nilai-nilai esensial dari pendidikan akhlak itu sendiri. Jadi, dengan
doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
Selain itu alasan penulis memilih Ibnu Miskawaih dan pemikirannya dalam
skripsi ini karena Ibnu Miskawaih adalah seorang tokoh filsof pertama yang
menulis tentang teori etika sekaligus menulis buku tentang akhlak. Ibnu Miskawaih
juga mendapat julukan sebagai bapak akhlak karena pemikirannya yang cemerlang
6
tentang akhlak. Ibnu Miskwaih juga memiliki kelebihan dibidang filsafat akhlak,
karena sejak masa mudanya ia telah mempelajari akhlak Persia dan Yunani.
Oleh karena itu, penulis memberi judul skripsi ini dengan judul “Konsep
Metode Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih Dan Relevansinya Terhadap
Pendidikan Akhlak Di Sdn Petir 3”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis mencoba akan
memaparkan masalah yang terjadi. Berikut indentifikasinya :
1. Merosotnya pendidikan akhlak di Indonesia
2. Banyak yang mengetahui tentang konsep metode pendidikan akhlak yang
di bawa para ilmuan muslim dan namun dalam implementasinya hingga saat
ini masih kurang khususnya konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih
3. Masihkan ada relavansi metode pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh
Ibn Miskwaih terhadap metode pendidikan yang ada pada saat ini, terutama
di tingkat sekolah dasar, khususnya di Sekolah Dasar Negeri Petir 3, Kota
Tangerang
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang penulis paparkan
diatas, maka penulis membatasi masalah ini pada metode pendidikan akhlak Ibn
Miskawaih dan Relevansi metode tersebut terhadap model pendidikan akhlak di SD
Negeri Petir 3, Kota Tangerang.
7
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah
dijelaskan sebelumnya. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana metode pendidikan Akhlak menurut Ibnu Miskawaih ?
2. Bagaimana relevansi konsep metode pendidikan akhlak Ibnu Miskwaih
dengan model pendidikan akhlak di SDN Petir 3, Kota Tangerang ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis pada penelitian ini adalah:
1. Mengetahui metode pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih
2. Mengetahui relevansi metode pendidikan Ibnu Miskawaih dengan model
pendidikan karakter di SDN Petir 3, Kota Tangerang.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan penulis pada penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, sebagai informasi dan menambah pengetahuan serta wawasan
yang bermanfaat mengenai metode pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dan
relevansinya terhadap model pendidikan akhlak di Indonesia, khususnya di
SDN Petir 3, Kota Tangerang. Guna dalam rangka untuk mengembangkan
berbagai konsep pendidikan islam di era modern ini.
2. Bagi almamater, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam menambah nuansa karya ilmiah di lingkungan kampus.
3. Hasil penelitian ini dapat menjadikan rujukan bagi guru dan siswa serta
masyarakat pada umumnya.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan Munurut Bahasa
Pengertian menurut bahasa Arab, Pendidikan mempunyai beberapa makna
dan arti. Berikut akan dijelaskan beberapa makna dalam bahasa Arab Di
antaranya:
a. At-Tarbiyah
Kata tarbiyah berasal dari kata rabba, yarubbu, rabban8 yang memiliki
rarti mengasuh, memimpin, mengasuh (anak). Penjelasan diatas
berdasarkan kata Al-Tarbiyah ini lebih lanjut dapat dikemukakan sebagai
berikut. rabba, yarubbu tarbiyatan mengandung arti memperbaiki
(ashlaha), menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah,
memberi makna, mengasuh, memiliki, mengatur, dan menjaga kelestarian
maupun eksistensinya. Dengan menggunakan kata yang ketiga ini, maka
tarbiyah ini pun memiliki arti usaha memelihara, mengasuh, merawat,
memperbaiki dan mengatur kehidupan peserta didik, agar
dapat survive lebih baik dalam kehidupannya. 9 Dengan demikian, pada
kata Al-Tarbiyah tersebut mengandung cakupan tujuan pendidikan, yaitu
menumbuhkan dan mengembangkan potensi; dan proses pendidikan, yaitu
memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengaturnya.
Karena demikian pengertian Al-Tarbiyah ini, ada sebagian pakar
pendidikan, seperti Naquib al-Attas yang tidak sependapat dengan pakar
pendidikan lainnya yang menggunakan kata Al-Tarbiyah dengan arti
pendidikan. Menurutnya kata Al-Tarbiyah terlalu luas arti dan
8 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : PT Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah,
2007), h.136 9 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media,2010), h.11
9
jangkauannya. Kata tersebut tidak hanya menjangkau manusia melainkan
juga menjaga alam jagat raya sebagaimana tersebut. Benda-benda alam
selain manusia, menurutnya tidak dapat dididik, karena benda-benda alam
selain manusia itu tidak memiliki persyaratan potensional seperti akal,
panca indera, hati nurani, insting, dan fitrah yang memungkinkan untuk di
didik. Yang memiliki potensi-potensi akal, panca indera, hati nurani insting
dan fitrah itu hanya manusia. Untuk itu Naquib al-Attas lebih memiliki kata
al-ta'dib (sebagaimana nanti akan dijelaskan) untuk arti penidikan., dan
bukan kata Al-Tarbiyah.10
b. At-Ta’lim
Menurut Mahmud Yunus dengan singkat mengartikan bahwa al-
Ta'lim adalah hal yang berkaitan dengan mengajar dan melatih.11 Sementara
itu Muhammad Rasyid Ridha mengartiakn al-Ta'lim sebagai proses
transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu.12 Sedangkan H.M Quraisy Shihab, ketika
mengartikan kata yu’allimu sebagaimana terdapat pada surah al-
Jumu'ah (62) ayat 2, dengan arti mengajar yang intinya tidak lain kecuali
mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam
metafisika serta fisika. 13 Kata al-Ta'lim di dalam al-Quran menunjukan
sebuah proses pengajaran, yaitu menyampaikan sesuatu berupa ilmu
pengetahuan, hikmah, kandungan kitab suci, wahyu, sesuatu yang belum
diketahui manusia, keterampilan membuat alat pelindung, ilmu laduni (yang
langsung dari tuhan), nama-nama atau simbol-simbol dan rumus-rumus
yang berkaitan dengan alam jagat raya, dan bahkan ilmu yang terlarang
seperti sihir. Ilmu-ilmu baik yang disampaikan melalui proses at-Talim
10 Abudddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2012), h.11 11 Mahmud Yunus, h.278 12 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, h.19 13 Abudddin Nata, h.11
10
tersebut dilakukan oleh Allah Ta'ala, malaikat, dan para Nabi. Sedangkan
ilmu pengetahuan yang berbahaya diajarkan oleh setan.
Al-Ta’lim dalam arti pendidikan sesungguhnya merupakan kata yang
paling lebih dahulu digunakan dari pada kata al-Tarbiyah. Kegiatan
pendidikan dan pengajaran yang pertama kali dilakukan oleh Nabi
Muhammad dirumah al-Arqom (daar al Arqom) di Mekah, dapat disebut
sebagai majlis al-Ta'lim. Demikian pula kegiatan pendidikan Islam di
Indonesia yang dilaksanakan oleh para dai di rumah, mushala, masjid,
surau, langgar, atau tempat tertentu. pada mulanya merupakan kegiatan al-
Ta’lim.
Dengan memberikan data maupun informasi tersebut, maka dengan
jelas, kata Al-Ta’lim termasuk kata yang paling tua dan banyak digunakan
dalam kegiatan non formal dengan tekanan utama pada pemberian
wawasan, pengetahuan atau informasi yang bersifat kognitif. Atas dasar ini
pula, maka arti Al-Ta’lim lebih pas diartikanpengajaran daripada diartikan
pendidikan. Namun, karena pengajaran merupakan bagian dari kegiatan
pendidikan, maka pengajaran juga termasuk pendidikan.
c. At-Ta’dib
Kata At-Ta’dib berasal dari kata addaba, yuaddibu, ta'diban yang
berarti pendidikan. At-Ta’dib berasal dari kata adab yang berarti beradab.
Bersopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika.14
Kata At-Ta’dib dalam arti pendidikan, sebagaimana penjelasan diatas,
ialah kata yang dipilih oleh Naquib al Attas. Dalam hubungan ini, ia
menjelaskan bahwa kata At-Ta’dib sebagai pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-
tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan, sehingga
membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan
14 Mahmud Yunus, h.37
11
Tuhan. Melalui kata At-Ta’dib ini, al Ataas ingin menjadikan pendidikan
sebagai sarana transformasi nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber dalam
ajaran Agama yang bersumber pada diri manusia, sehingga menjadi dasar
bagi terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu
pengetahuan ini menurutnya perlu dilakukan dalam rangka membendung
pengaruh materialisme, sekularisme, dan dikotomisme ilmu pengetahuan
yang dikembangkan oleh barat.15
d. At-Tahdzib
Kata At-Tahdzib secara harfiah berarti pendidikan akhlak,
atau menyucikan diri dari perbuatan akhlak yang buruk, dan berarti pula
terdidik atau terpelihara dengan baik, dan berarti pula yang beradab dan
sopan santun.16 Dari pengertian tersebut, tampak bahwa secara keseluruhan
kata At-Tahdzib terkait dengan perbaikan mental spiritual, moral dan
akhlak, yaitu memperbaiki mental seseorang yang tidak sejalan dengan
ajaran atau norma kehidupan menjadi sejalan dengan ajaran atau norma;
memeperbaiki perilakunya agar menjadi baik dan terhormat, serta
memperbaiki akhlak dan budi pekertinya agar menjadi berakhlak mulia.
Berbagai kegiatan tersebut termasuk bidang kegiatan pendidikan. Itulah
sebabnya, kata At-Tahdzib juga berarti pendidikan.
e. Al-Wa'dz atau al-Mau'idzoh
Al- Wa'dz berasal dari kata wa'adza yang berarti mengajar, kata hati,
suara hati nurani, memperingatkan atau mengingatkan, mendesak dan
memperingatkan. 17 Inti Al- Wa'dz atau al-Mau'idzoh adalah pendidikan
dengan cara memberikan penyadaran dan pencerahan batin, agar timbul
kesadaran untuk menjadi orang yang baik.
15 Abudddin Nata, h.14 16 Mahmud Yunus, h.480 17 Mahmud Yunus, h.502
12
f. Ar-Riyadhah
Ar-Riyadhah berasal dari kata raudha, yang mengandung arti
penjinakan, latihan, melatih. 18 Dalam pendidikan, kata Ar-
Riyadhah diartikan mendidik jiwa anak dan akhlak mulia.Kata Ar-
Riyadhah selanjutnya banyak digunakan dikalangan para ahli tasawuf dan
diartikan agak berbeda dengan arti yang digunakan para ahli pendidikan
dikalangan para ahli tasawuf Ar-Riyadhah diartikan latihan spiritual
rohaniah dengan cara khalwat dan uzlah (menyepi dan menyendiri) disertai
perasaan batin yang takwa.
g. At-Tadzkiyah
Al-Tazkiyah berasal dari kata zakka, yuzakki, tazkiyyatan yang berarti
pemurnian atau pensucian.19 Al-Tazkiyah atau yuzakki telah digunakan oleh
para ahli dalam hubungannya dengan mensucikan atau pembersihan jiwa
seseorang dari sifat-sifat yang buruk (al-Takhali), dan mengisinya dengan
akhlak yang baik (al-Tahali), sehingga melahirkan manusia yang memiliki
keahlian dan akhlak yang terpuji. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina dan al
Ghazali menggunakan istilah Al-TazkiyahAlannafs (menyucikan diri)
dalam arti membersihkan rohani dari sifat-sifat yang tercela. 20 Dari
penjelasan tersebut terlihat bahwa kata Al-Tazkiyah ternyata juga digunakan
untuk arti pendidikan yang bersifat pembinaan mental spiritual dan akhlak
mulia.
h. At-Talqin
Kata al-Talqin berasal dari laqqana yulaqqinu talqinan yang berarti
pengajaran atau mengajarkan perkataan. 21 Abuddin Nata menyebutkan
bahwa kata tersebut sering dijumpai dalam hadits sebagai berikut: "ajarilah
18 Mahmud Yunus, h.149 19 Mahmud Yunus, h.156 20 Abudddin Nata, h.20 21 Mahmud Yunus, h.400
13
(orang yang hampir neminggal dunia) kalimat laa ila haillallah (tiada
tuhan selain Allah )."Perintah mengajarkan kalimat tauhid ( lailaha
illallah ) sebagaimana tersebut selalu dipraktikkan umat Islam pada setiap
kali menyaksikan keluarga, teman, tetangga atau lainya yang sesama
muslim, pada saat mereka menjelang datangnya ajal atau sakaratul maut.
Dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa kata al-Talqin digunakan pula
untuk arti pendidikan dan pengajaran.22
i. At-Tadris
Kata al-Tadris berasal dari kata darrasa yudarrisu tadrisan, yang dapat
berarti pengajaran atau mengajarkan. 23 Selain itu, kata al-
Tadris berarti Baqa' atsaruha wa baqa' al Atsar yaqtadli inmihauhu fi
nafsihi, yang artinya: sesuatu yang pengaruhnya membekas, menghendaki
adanya perubahan pada diri seseorang. Intinya, kata al-Tadris berarti
pengajaran, yakni menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik
yang selanjutnya memberi pengaruh dan menimbulkan perubahan pada
dirinya.24 Kata al-Tadris, termasuk yang sudah banyak digunakan para ahli
pendidikan, bahkan pada perguruan tinggi Islam. kata al-Tadris digunakan
untuk nomenklatur jurusan atau program studi yang mempelajari ilmu-ilmu
umum, seperti matematika, biologi, ilmu pengetahuan sosial, ilmu budaya
dan dasar, dan fisika.
j. At-Tafaqquh
Kata al-Tafaqquh berasal dari kata tafaqqoha yatafaqqohu tafaqquhan,
yang berarti mengerti dan memahami.25 Kata al-Tafaqquh selanjutnya lebih
digunakan untuk menunjukan pada kegiatan pendidikan dan pengajaran
ilmu agama Islam. masyarakat yang mendalami ilmu agama di pesantren-
pesantren di Indonesia misalnya, sering menyebut sedang melakukan al-
22 Abudddin Nata, h.20 23 Mahmud Yunus, h.126 24 Abudddin Nata, h.21 25 Mahmud Yunus, h.321
14
Tafaqquhfi al ddin, yakni mendalami ilmu agama, sehingga ahli ilmu agama
yang mumpuni yang selanjutnya disebut ulama, kiai, ajengan, buya, syaikh,
dan sebagianya.
k. At-Tabyin
Kata al-Tabyin berasal dari kata bayyana yubayyinu tabyinan, yang
mengandung arti mengemukakan, mempertunjukan, berarti pula
menyatakan atau menerangkan.26 Di kalangan para ahli, belum ada yang
menggunakan Al-Tabyin sebagai salah satu arti pendidikan. Namun dengan
alasan tersebut Abuddin Nata berkeyakinan untuk memasukkan kata Al-
Tabyin sebagai salah satu arti pendidikan. Di dalam dalam al Quran,
kosakata at-Tabyin dengan derifasinya disebutkan sebanyak 75 kali, Di
antaranya:“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia
supaya mereka bertakwa”(QS. al Baqarah [2] : 187)
Dari penjelasan ayat tersebut terlihat, bahwa pada umumnya, kata al-
Tabyin diartikan menerangkan atau menjelaskan tentang ayat-ayat Allah
Ta'ala sebagaimana terdapat di dalam al Quran dan kitab-kitab lainnya yang
diwahyukan Tuhan. Penerangan dan penjelasan tersebut dilakukan oleh
para nabi atas perintah Tuhan. Dengan demikian para nabi bertugas
sebagai al Mubayyin, yaitu orang yang menjelaskan atau orang yang
menerangkan.
l. At-Tadzkirah
Kata al-Tadzkirah berasal dari kata dzakkaraa yudzakkiru tadzkirotan,
yang berarti peringatan, mengingatkan kembali.27 Selain itu, juga berarti
sesuatu yang perlu diperingatkan yang sifatnya lebih umum dari pada
indikasi (addilalah) atau tanda-tanda ( al imarah ). Dari beberapa arti
kata altadzkirah tersebut ternyata ada arti yang berhubungan dengan
26 Mahmud Yunus, h.75 27 Mahmud Yunus, h.134
15
kegiatan pendidikan dan pengajaran, yaitu mengingatkan kembali atau
memberikan peringatan, karena didalam kegiatan pendidikan dan
pengajaran terdapat kegiatan yang bertujuan mengingatkan peserta didik
agar memahami sesuatu atau mengingatkan agar tidak terjerumus kedalam
perbuatan yang keji.
m. Al-Irsyad
Kata al-Irsyad dapat mengandung arti menunjukan, bimbingan,
melakukan sesuatu, menunjukan jalan. 28 Dari pengertian al-Irsyad ini,
terdapat pengertian yang berhubungan dengan pengajaran dan pendidikan,
yaitu bimbingan, pengarahan, pemberian informasi, pemberitahuan,
nasihat, dan bimbingan spiritual. Dengan demikian kata al-Irsyad layak
dipertimbangkan untuk dimasukkan kedalam arti kata pendidikan dan
pengajaran.29
2. Pengertian Pendidikan Menurut Istilah30
Secara istilah atau terminologi pada dasarnya merupakan kesepakatan
yang dibuat oleh para ahli dalam bidangnya masing-masing terhadap
pengertian tentang sesuatu dalam hal ini pendidikan. Dengan demikian
dalam istilah tersebut terdapat visi, misi, tujuan yang diinginkan oleh yang
merumuskannya, sesuai dengan latar belakang pendidikan, keahlian,
kecenderungan, kepentingan, kesenangan dan sebagainya. Berikut
pengertian menurut para ahli;
Menurut Ahmad Fuad al Ahwaniy : “Pendidikan adalah pranata yang
bersifat sosial yang tumbuh dari pandangan hidup tiap
masyarakat. Pendidikan senantiasa sejalan dengan pandangan falsafah
28 Mahmud Yunus, h.141 29 Abudddin Nata, h.25-26 30 Abudddin Nata, h.28-31
16
hidup masyarakat tersebut, atau pendidikan itu pada hakikatnya
mengaktualisasikan falsafah dalam kehidupan nyata.”
Menurut Ali Khalil Abul Ainain : “Pendidikan adalah program yang
bersifat kemasyarakatan, oleh karena itu, setiap falsafah yang dianut oleh
suatu masyarakat berbeda dengan falsafah yang dianut masyarakat lain
sesuai dengan karakternya, serta kekuatan peradaban yang
memengaruhinya yang dihubungkan dengan upaya menegakkan spiritual
dan falsafah yang dipilih dan disetujui untuk memperoleh kenyamanan
hidupnya. Makna dari ungkapan tersebut ialah bahwa tujuan pendidikan
diambil dari tujuan masyarakat, dan perumusan operasionalnya ditujukan
untuk mencapai tujuan tersebut, dan disekitar tujuan pendidikan tersebut
terdapat atmosfer falsafah hidupnya. Dari keadaan yang demikian itu, maka
falsafah pendidikan yang terdapat dalam suatu masyarakat lainnya, yang
disebabkan perbedaan sudut pandang masyarakat, serta pandangan hidup
yang berhubungan dengan sudut pandang tersebut.
Menurut Muhammad Athiyah al Abrasyi : “Pendidikan Islam tidak
seluruhnya bersifat keagamaan, akhlak, dan spiritual, namun tujuan ini
merupakan landasan bagi tercapainya tujuan yang bermanfaat. Dalam asas
pendidikan Islam tidak terdapat pandangan yang bersifat materialistis,
namun pendidikan Islam memandang materi, atau usaha mencari rezeki
sebagai masalah temporer dalam kehidupan, dan bukan ditujukan untuk
mendapatkan materi semata-mata, melainkan untuk mendapatkan manfaat
yang seimbang. Di dalam pemikiraan al Farabi, Ibnu Sina, Ikhwanul as
Shafa terdapat pemikiran, bahwa kesempurnaan seseorang tidak akan
tercapai, kecuali dengan mensinergikan antara agama dan ilmu.”
Menurut rumusan Konferensi Pendidikan Islam sedunia yang ke-2, pada
tahun 1980 di Islamabad: “Pendidikan harus ditujukan untuk mencapai
keseimbangan pertumbuhan personalitas manusia secara menyeluruh,
dengan cara melatih jiwa, akal, perasaan, dan fisik manusia. Dengan
17
demikain pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia pada
seluruh aspeknya ; spiritual, intelektual, daya imajinasi, fisik, keilmuan dan
bahasa, baik secara individual maupun kelompok serta dorongan seluruh
aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. tujuan akhir
pendidikan diarahkan pada upaya merealisasikan pengabdian manusia
kepada Allah ta’ala, baik pada tingkat individual, maupun masyarakat dan
kemanusiaan secara luas.”
Pendidikan adalah sesuatu yang dapat mengembangkan potensi
masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu
generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya
secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan
menyeluruh. Pada dasarnya islam sebagai agama yang sempurna telah
memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan,
yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-
nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai
hamba Allah.31
Pendidikan merupakan kewajiban setiap warga yang merupakan
cerminan akan maju atau mundurnya suatu bangsa, karena pendidikan
merupakan proses untuk mengubah dan mengembangkan pengetahuan dan
bukan sekedar mewarisi kebudayaan dari generasi ke generasi. Pendidikan
adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan
pemerintah, termasuk disini adalah tanggung jawab untuk meningkatkan
kecerdasan anak bangsa.32
Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas maka peneliti
dapat menyimpulkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang
dilakukan manusia secara sadar dalam rangka untuk mengolah bakat serta
31 Nurhidayat, “Peran dan tantangan pendidikan agama islam di era global”, jurnal
pendidikan agama islam, Vol. 12, No. 1, juni 2015, hal. 62 32 Sa’diah. Khalimatus, “Kualitas pembeljaran al-qur’an dengan metode tartila”, jurnal
pendidikan agama islam, Vol. 2, nomor 2, November 2013
18
potensi-potensi yang dimilikinya agar dapat terbentuk kepribadian manusia
yang baik, serta menjadikan manusia yang sadar dan bertanggung jawab
akan tugas-tugas dan kewajibannya sebagai manusia.
3. Pengertian Akhlak
Secara bahasa (etimologi) Akhlak berasal dari bahasa Arab (bentuk
dari isim mashdar = infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang
berarti perangai, ta’biat, kebiasaan, dan peradaban yang baik.33
Namun ada pendapat bahwa kata akhlaqa dari bentuk infinitif ini
kurang tepat karena isim masshdar dari akhlaqa adalah iklaqan bukan
akhlaqan. Sehingga muncul pendapat baru yang menyatakan bahwa akhlak
tergolong dalam isim jamid (bentuk isim yang tidak memiliki asal kata).
Jadi, kata akhlak tidak berasal dari kata lain melainkan kata yang sudah
ada.34
Menurut Quraish Shihab walaupun kata akhlak terambil dari bahasa
Arab tetapi kata tersebut tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an, yang
ditemukan hanyalah bentuk tunggal yaitu Khuluq yang tercantung dalam
surat al-Qalam ayat 4:
(٤و إنك لعلى خلق عظيم )
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang
luhur.” (Q.S Al-Qalam: 4)35
Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan
kehendak.36 Ini berarti bahwa kehendak itu bisa dibiasakan akan sesuatu
33 Achmad Gholib, 2017, Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami,
Jakarta:Berkah FC, hlm.,1 34 Achmad Gholib, 2017, Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami,
Jakarta:Berkah FC, hlm.,1-3 35 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004), Cet,
hlm. 451. 36 Ahmad Amin, Kitab Akhlak, (Cairo: Dar Al-Kutubiyah), hlm. 15.
19
maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Contohnya, bila dibiasakan
memberi, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan. Di dalam Ensiklopedi
Pendidikan dikatakan bahwa akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan
(kesadaran etik dan moral) yaitu kelakukan baik yang merupakan akibat dari
sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan terhadap sesama manusia.37
Dilihat dari sudut istilah (terminologi), pengertian akhlak menurut
para ahli adalah sebagai berikut:
a. Ibn Miskawaih dalam bukunya Tahdzib Al-Akhlaq, beliau
mendefinisikan akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih
dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.38
b. Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan
yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga
jiwanya terisi dengan kebaikan dan tentang keburukan yang
harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala
bentuk keburukan.39
c. Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang objeknya
membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia,
dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.40
d. Farid Ma’ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa
manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena
kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih
dahulu.41
37 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hlm.
9.
38 Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006),
h. 151. 39 Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qru’an, (Jakarta: Amzah, 2007), h.
3. 40 Ibid., 41 Ibid., h. 4.
20
Dikutip oleh Asmaran, di dalam kitab Al-Mu’jam al-Wasit
disebutkan definisi akhlak sebagai berikut:
لق عبارة حال للنفس راسخة تصدر عنها العمال من خير أو شر من غير حاجة الخ
إلى فكر و رؤية
“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau
buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.42
Imam Ghazali mengemukakan dalam kitab Ihya Ulumuddin
sebagai berikut:
الخلق عبارة عن هيئة النفس راسخة عنها تصد رالافعال بسهولة
ويسر من غير حاجة الى فكر وروية
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak memerlukan pertimbangan dan fikiran terlebih
dahulu”.43
Jadi pada hakikatnya Khulq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu
kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian
hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan
dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.
4. Pengertian Pendidikan Akhlak
Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan
dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak
adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk
memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penamaan
42 Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), Cet ke II,
h. 5 43 Ibid.,
21
nilai-nilai islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah
positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan
kebiasaan bertingkah laku, berfikir dan berbudi pekerti luhur menuju
terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat menghasilakan
perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan
disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran.44
B. Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih
1. Riwayat Singkat Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah salah seorang filosof muslim yang paling
banyak mengkaji dan mengungkapkan persoalan-persoalan akhlak. Nama
lengkapnya adalah Abu Ali al-Khazin Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
Ya’qub Ibnu Miskawaih. la dilahirkan di Kota Ray (Iran) pada tahun 932
M2 dan meninggal di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 412 H atau 16 Februari
1030 M. Informasi meninggalnya Ibnu Miskawaih tidak bayak diketahui
karena kelangkaan berita yang ditulis oleh para sejarawan, di samping Ibnu
Miskawaih sendiri tidak pernah menuliskan otobiografinya.45
Sebelum menganut agama Islam, Ibnu Miskawaih adalah seorang
pemeluk agama Majusi. Namun setelah masuk Islam, ia merupakan salah
seorang sarjana yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya. Banyak
penulis berpendapat bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang Syi'i. Pendapat
tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar hidupnya
dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi (salah satu
kerajaan beraliran Syi'ah yang menggantikan posisi Daulah Abbasiyah di
Irak sekitar abad ke 10 -12 M).
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara pasti.
Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa ia menempuh pendidikan
44 Ali Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah al-Khuluqiyyah, (Gema Insani: Jakarta, 2004) hlm.
121 45 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta
: Kanasils, 1987), h. 15
22
seperti anak-anak seusianya. Ahmad Amin mendeskripsikan bahwa
pendidikan anak pada masa Abbasiyyah saat itu pada umumnya anak-anak
mulai belajar membaca, menulis, mempelajari al-Qur'an, dasar-dasar bahasa
Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan Arud (ilmu membaca dan membuat
sya'ir). Pelajaran-pelajaran tersebut diselenggarakan di surau-surau dan di
rumah-rumah bagi keluarga yang mampu mendatangkan guru privat bagi
anak-anak mereka. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diberikan, dilanjutkan
dengan mata pelajaran ilmu fikih, hadits, sejarah Arab Persi khususnya dan
India, serta ilmu matematika. Selain itu, diberikan pula pelajaran ilmu-ilmu
praktis seperti musik, main catur, dan furusiah (ilmu militer).46
Aktivitas intelektual Ibnu Miskawaih dimulai dengan belajar sejarah
kepada Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil al Qadhi. Selajutnya ia belajar filsafat
kepada Ibnu al Khammar, seorang komentator atas karya-karya
Ariestoteles. Disamping itu, ia juga belajar kimia dari Abi al-Tayyibah al-
Razi, seorang ahli kimia terkenal di zamanya. Karena keahliannya dalam
berbagai ilmu, Iqbal mengelompokannya sebagai seorang pemikir, moralis,
dan sejarawan Parsi paling terkenal.47
Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Abbasiyyah yang
berada dibawah kekuasaan Bani Buwaihi yang beraliran Syi'ah dan berasal
dari keturunan Persi. Karena begitu besar pengaruhnya terhadap
pemerintahan Abbasiyyah sejak kekuasaan dipegang oleh Al-Mustakfi dari
Bani Abbas, maka Ahmad bin Buwaih diangkat sebagai perdana menteri
(Amir al-Umara') dengan gelar Muizz al-Daulah pada tahun 945 M.48
Zaman keemasan Bani Buwaihi adalah pada masa "Adhud al- Daulah"
yang berkuasa pada tahun 367-372 H.49 Pada masa inilah Ibnu Miskawaih
46 M. Yusuf Musa, Falsafat al-akhlak fi al-Islam, terjemahan, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
1963), h. 71 47 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Bandung : Mizan, 1999), h. 56 48 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al- Misriyayyah, 1974), Juz
11, 66 – 69 49 M.M. Syarief, Para Filosof of Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), h.84
23
mendapat kepercayaan untuk menjadi bendaharawan Adhud Al-Daulah,
dan pada masa ini pula Ibnu Miskawaih terkenal sebagai seorang filosof,
dokter, penyair dan ahli bahasa.50 Selain itu Ibnu Miskawaih juga banyak
bergaul dengan para ilmuwan semasanya seperti Abu Hayyan al-Tauhidi,
Yahya Ibnu A'di dan Ibnu Sina. Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai
sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, Al- Thabari
(w. 3190 H / 923M ).51
Dari berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya, Ibnu Miskawaih
memberikan perhatian besar kepada masalah akhlak sehingga ia dikenal
sebagai seorang pemikir muslim dalam bidang ini. Sebagai bukti atas
kebesarannya itu, ia telah menulis banyak buku Di antaranya; Tahzib al-
Akhlaq (tentang moralitas), Thaharah al-hubs (penyucian jiwa), al-Fauz al-
Akbar (kiat memperoleh kebahagiaan dalam hidup), al Fauz al-:Shaqir
(lanjutan dari al-Fauz al-Akbar), Kitab al Sa 'adah (Buku tentang
kebahagiaan), Adab al Dunya wa al-Din (moralitas dunia dan agama), dan
lain-lain.52
2. Pemikiran Pendidikan
Pemikiran Ibnu Miskawaih dalam hal pendidikan tidak bisa dilepaskan
dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Berikut akan dikemukakan
tentang dasar pemikiran (tingkatan daya dan akhlak) dan konsep pendidikan
( tujuan, materi, metode, lingkungan pendidikan dan kode etik pendidik dan
peserta didik) menurut Ibnu Miskawaih.
a. Tingkatan Daya
Pandangan Ibnu Miskawaih terhadap manusia tidak jauh berbeda
dengan pandangan para filosof lainnya. Menurutnya di dalam diri
50 Philip K, Hitti, History of The Arabic, terj. Arab oleh Edward Jurji, dkk., (Beirut : Dar al-
Fikr, 1952), h. 566 – 567 51 B.H. Shiddiqui, Maskawaih on The Purpose of Historiography dalam The Muslim World,
(USA, The Hartford Seminary Foundation, 1971), h. 21 52 Hasyimsyah, h. 58
24
manusia mempunyai 3 (tiga) macam daya, yaitu (1) daya bernafsu (al-
nafs albahimiyyat) sebagai daya paling rendah, (2) Daya berani (al-nafs
al-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan dan (3) daya berpikir (al-nafs
al-nathiqah) sebagai daya tertinggi.53 Ketiga unsur tersebut merupakan
unsur ruhani pada manusia yang asal mula kejadiannya itu berbeda
antara satu dengan yang lainnya.Sebagaimana yang dikutip oleh
Abuddin Nata, Bahwasanya Ibnu Miskawaih memahami unsur ruhani
berupa daya bernafsu (al-nafs al-bahimiyyat) dan daya berani (al-nafs
al-sabu’iyyat) berasal dari unsur materi sedangkan daya berpikir (al-
nafs al-nathiqah) berasal dari ruh Tuhan. Oleh karena itu unsur yang
berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan sedangkan
unsur (al-nafs al-nathiqah) yang berasal dari ruh Tuhan tidak akan
mengalami kehancuran sedikitpun.54
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-
bahimiyyat/alsyahwiyyat (bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyat/al-
sabu’iyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya saling mempengaruhi
satu dengan yang lainnya. Kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya
tubuh berpengaruh terhadap kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya
kedua macam jiwa tersebut. Kedua macam jiwa ini dalam melaksanakan
fungsinya tidak akan sempurna kalau tidak menggunakan alat bendawi
atau badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Oleh karena itu Ibnu
Miskawaih melihat bahwa manusia terdiri dari unsur jasad dan ruhani
yang saling berhubungan.55
b. Konsep Akhlaq
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak
memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu
53 Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, (Beirut : Mansyurah Dar al-
Maktabah al-Hayat, 1398 H), cet.II, h. 62 54 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. raja Grafindo
Persada, 2000), h. 7 55 Abuddin Nata, h. 7 -8
25
Miskawaih banyak dipengaruhi oleh para filosof Yunani, seperti
Aristoteles, plato, dan Galen dengan meramu pemikiran-pemikiran
tersebut dengan ajaran-ajaran Islam. Disamping itu, Ibnu Miskawaih
juga banyak dipengaruhi filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi dan
al-Razi serta lainnya. Oleh karena itu, corak pemikiran Ibnu Miskawaih
dapat dikategorikan ke dalam tipologi etika filosofi (etika rasional),
yaitu pemikiran etika yang banyak dipengaruhi oleh para filosof,
terutama para filosof Yunani.56
Karakteristik pemikiran Ibnu Miskawaih di dalam pendidikan
akhlak secara umum dimulai dari pembahasan tentang akhlak
(karakter/watak). Menurutnya watak itu ada yang bersifat alami dan ada
watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan. Kedua watak
tersebut menurut Ibnu Miskawaih bahwa watak itu pada hakekatnya
tidak alami, walaupun kita diciptakan dengan menerima watak, akan
tetapi watak tersebut dapat diusahakan melalui pendidikan dan
pengajaran. Dalam pembahasannya tentang watak tersebut Ibnu
Miskawaih tidak mengambil diskursus dari ayat-ayat al-Qur‘an atau Al-
Sunnah. Menurutnya, akhlak dalam Islam dibangun atas pondasi
kebaikan dan keburukan. Kebaikan dan keburukan tadi berada pada
fitrah yang selamat dan akal yang lurus, sehingga segala sesuatu yang
dianggap baik oleh fitrah dan akal yang lurus, ia termasuk bagian dari
akhlak yang baik, dan sebaliknya yang dianggap jelek, ia termasuk
akhlak yang buruk.
Ibnu Miskawaih juga menegaskan bahwa pendidikan akhlak
didasarkan pada doktrin jalan tengah. 57 Menurutnya jalan tengah
diartikan dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau
posisi tengah antara dua ekstrem baik dan buruk yang ada dalam jiwa
56 Abuddin Nata, h. 7 -8 57 Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1995), h. 22
26
manusia. Menurutnya, posisi tengah jiwa bahimiyah adalah iffah, yaitu
menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Selanjutnya posisi tengah
jiwa al-ghadlabiyah adalah al-saja ‘ah yaitu keberanian yang
dipertimbangkan untung dan ruginya. Sedangkan posisi tengah jiwa
nathiqah adalah al-hikmah yaitu, kebijaksanaan. Adapun perpaduan
dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Keempat keutamaan (al fadhilah akhlak al-iffah, al-saja 'ah, al hikmah
dan al-adalah adalah merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia.
Adapun lawannya ada empat pula yaitu al-jah,l as-syarh, al-jubn dan
al-jur.58 Setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi ekstrem. Yang
tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem bersifat tercela. Oleh sebab itu
manusia harus senantiasa berada pada jalan tengah, supaya ia tidak jatuh
dan selamat dari kehinaan. Akan tetapi sayang sekali doktrin jalan
tengah yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih tersebut sama sekali
tidak mengutip ayat al-Qur'an atau al-Hadits sebagai sumber ajaran
Islam.59 Selanjutnya pemikiran Ibnu Miskawaih tentang konsep/aspek
pendidikan akhlak dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Tujuan Pendidikan Akhlaq
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak
adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara
spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik.60
sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan
yang sejati dan sempurna. Dalam Muhammad Yusuf Musa, Abuddin
Nata bahwa persoalan al-sa’adat merupakan persoalan utama dan
mendasar bagi kehidupan umat manusia dan sekaligus bagi
pendidikan akhlak. Menurut M. Abdul Hak Ansari, alsa’adat
merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung
58 Ibnu Maskawaih, h. 38-39 59 Abuddin Nata, h. 9 60 Abuddin Nata, h. 11
27
unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity),
keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan
(blessedness), dan kecantikan (beautitude).61
Oleh karena itu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Ibnu
Miskawaih adalah bersifat menyeluruh, yakni mencapai
kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
2) Muatan Materi
Di samping konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Miskawaih,
untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam konteks pendidikan
akhlak, maka perlu mendeskripsikan komponen-komponen sebagai
jembatan yang harus dilalui. Komponen yang dimaksud dalam hal
ini ialah materi pendidikan sebagai perantara menuju tujuan. Materi
pendidikan yang disampaikan harus berkaitan dengan tujuan yang
ingin dicapai agar berkesinambungan. Ada tiga hal penting atau
pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya,
yaitu: hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, hal-hal
yang wajib bagi jiwa dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya
dengan sesama manusia. Oleh karenanya, Ibnu Miskawaih berbeda
dengan al-Ghazali yang mengkategorikan dan mengklasifikasikan
ilmu dengan dua macam, yaitu ilmu agama dan ilmu non-agama
serta hukum mempelajarinya. Adapun materi yang wajib bagi
kebutuhan manusia menurut Ibnu Miskawaih ialah seperti salat dan
puasa. Sedangkan materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari
bagi keperluan jiwa ialah seperti pembahasan tentang akidah yang
benar, meng-Esakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta
memotivasi untuk senang terhadap ilmu.
61 Abuddin Nata, h. 11-12
28
Selanjutnya, materi yang terkait dengan keperluan manusia
terhadap manusia lain ialah seperti ilmu muamalat, pertanian,
perkawinan, saling menasehati, peperangan dan sebagainya.
Ketiganya merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak harus dimiliki
oleh manusia demi keberlangsungan hidupnya dan mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian, karena materi-materi
tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka
apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asalkan
semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Ibnu
Miskawaih tampaknya akan menyetujuinya.
Dan juga Ibnu Miskawaih menganjurkan agar mempelajari
buku-buku yang khusus berbicara tentang akhlak supaya mendapat
motivasi yang kuat untuk beradab. Pendapat Ibnu Miskawaih di atas
nampaknya lebih jauh mempunyai maksud agar setiap
guru/pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus
diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi diri sendiri dan
murid-muridnya.62
3) Kode etik Pendidik dan Peserta Didik
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidik mempunyai tugas dan
tanggung jawab untuk meluruskan peserta didik melalui ilmu
rasional agar mereka dapat mencapai kebahagiaan intelektual dan
untuk mengarahkan peserta didik pada disiplin-disiplin praktis dan
aktifitas intelektual agar dapat mencapai kebahagiaan praktis.63 Dari
pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa pandangan Ibnu
Miskawaih tentang pendidik sesuai dengan pandangannya tentang
daya jiwa yang ada dalam diri manusia dan pendidik mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan ilmu yang bersifat
62 Maghfiroh., Muliatul, “Pendidikan Akhlak menurut kitab Tahzib Al-Akhlak karya Ibnu
Miskwaih”, Tadris, Vol. 11 nomor 2, Desember 2016, hal. 210. 63 Ibn Miskawaih, h. 61-62
29
rasional dan praktis tersebut, sehingga etika filsafat Ibnu Miskawaih
dapat dikategorikan pada filsafat etika praktis dan teoritis.
Pandangan Ibnu Miskawaih tentang pendidik diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu orang tua dan guru. Sementara itu, guru
menurutnya ada dua, yaitu guru ideal mua'lim al-hakim dan guru
biasa dengan persyaratan masing-masing. Adapun pandangan Ibnu
Miskawaih tentang kewajiban peserta didik adalah mencintai guru
yang melebihi cintanya terhadap orang tua. Bahkan kecintaan
peserta didik terhadap gurunya disamakan dengan cinta terhadap
Tuhannya. Oleh karena itu, dalam interaksi edukatif antara guru dan
murid harus didasarkan pada perasaan cinta kasih. Dengan adanya
dasar semacam ini proses pembelajaran diharapkan berjalan sesuai
dengan yang diharapkan.
4) Metode Pendidikan
Metode yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam upaya
mencapai akhlak yang baik adalah pertama; kemauan yang
bersungguh-sungguh. Adanya kemauan secara bersungguh-sungguh
untuk berlatih secara terus menerus dan menahan diri (al-‘adat wa
al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang
sebenarnya adalah sesuai dengan keutamaan jiwa.64
Latihan ini bertujuan untuk menahan kemauan jiwa al-
syahwaniyyat dan alghadabiyyat. Latihan yang dilakukan antara lain
adalah dengan makan dan minum yang tidak berlebihan yang
membawa pada kerusakan tubuh. Sedangkan yang kedua; yakni
menjadikan pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin
bagi dirinya, yaitu pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan
hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan
64 Ibn Miskawaih, h. 65
30
keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan
hanyut kepada perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin
kepada perbuatan buruk dan akibat buruk yang dialami orang lain.65
5) Materi Pendidikan Akhlaq
Secara garis besar Ibnu Miskawaih mengklasifikasikan materi
pendidikan akhlak ke dalam tiga jenis, Di antaranya yaitu (1) hal-hal
yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib
bagi jiwa manusia dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya
dengan sesama manusia. Pembagian semacam ini tidak terlepas dari
pembagian Ibnu Miskawaih tentang daya jiwa manusia. 66 Dari
ketiga pokok materi tersebut, maka akan diperoleh ilmu yang secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama; ilmu-ilmu
tentang pemikiran (al-‘ulum al-fikriyah), kedua; ilmu yang berkaitan
dengan indera (al-‘ulum al-bissiyat).
6) Lingkungan Pendidikan
Kebahagiaan tidak akan dapat dicapai oleh manusia tanpa
bantuan orang lain, kebahagiaan bisa dicapai jika manusia
bekerjasama, saling tolong menolong dan saling melengkapi.
Kondisi tersebut akan tercipta jika sesame manusia saling mencintai.
Menurut Ibnu Miskawaih sebaik-baik manusia adalah orang yang
berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada
kaitan dengannya; baik saudara, anak atau orang yang masih ada
hubungan dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan,
tetangga, kawan atau kekasih.67 Salah satu tabiat manusia adalah
memelihara diri.
65 Abuddin Nata, h. 23-25 66 Ibn Miskawaih, h. 116 67 Ibn Miskawaih, h. 44
31
Untuk memperolehnya, maka manusia harus berusaha dan
memperolehnya secara bersama-sama dengan makhluk sejenisnya,
Di antaranya adalah dengan cara melakukan pertemuan; seperti
shalat berjamaah. Untuk mencapai lingkungan yang demikian, maka
kepala negara dan aparatnya wajib menciptakannya. 68 Walaupun
Ibnu Miskawaih tidak membicarakan secara eksplisit tentang
lingkungan pendidikan, tetapi ia banyak membicarakan tentang
lingkungan masyarakat secara umum.
c. Orientasi Pendidikan Akhlaq
Kehidupan manusia yang senantiasa terus berproses dalam
perkembangan kehidupannya. Di antara persoalan pendidikan yang
cukup penting dan mendasar adalah mengenai tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan, sebab
tanpa adanya perumusan tujuan pendidikan yang baik, maka perbuatan
mendidik tidak akan jelas, tanpa arah dan bahkan bisa menjadi tersesat.
Oleh karenanya masalah tujuan pendidikan menjadi inti dan sangat
penting dalam menentukan isi dan arah pendidikan yang diberikan.69
Menurut Ibnu Miskawaih tujuan pendidikan akhlak adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong melakukan perbuatan
yang bernilai baik atau pribadi susila, sehingga akan memperoleh
kebahagiaan disisi Allah di akhirat kelak dan hidup dengan perilaku
yang baik di dunia. Dengan begitu diharapkan akan diperoleh
kebahagiaan (al-Sa'adah).70
Dalam mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong perbuatan
yang bernilai baik, menurut Ibnu Miskawaih dapat dilakukan dengan
68 Ibn Miskawaih, h. 128-129 69 Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung : Mandar Maju, 1992), h.
214 70 Busyairi Majidi, Konsep Penddikan Islam Para Filosof Muslim, (Yogyakarta : al-Amin
Press, 1997), h. 70
32
keharusan meluruskan perangai berlandaskan ajaran filsafat yang benar,
sehingga perbuatan akan terwujud dengan mulus. Ibnu Miskawaih
menganalisis kebahagiaan dan mendefinisikan kebaikan tertinggi guna
menyimpulkan kebahagiaan manusia selaku manusia. Kebahagiaan
dimaksud harus menjadi tujuan tertinggi dengan sendirinya, karena
berhubungan dengan akal, suatu hal yang paling mulia pada diri
manusia.71
Menurutnya, manusia memiliki dua kebajikan, pertama adalah
kebajikan ruhani yang dengannya ia dapat mencapai kebahagiaan
menyamai ruh-ruh yang baik (ruh malaikat) dan kedua adalah kebajikan
jasmani, yang dengannya ia dapat mencapai kebahagiaan menyamai
binatang. Dengan berbekal fisik,yang dengannya ia menyamai binatang,
manusia tinggal di alam rendah dan akan mendapat kebahagiaan yang
relatif singkat untuk memakmurkan bumi ini. Apabila dia telah
mencapai derajat kesempurnaan dalam mengemban tugas
kemanusiaannya, dia akan berpindah ke alam tinggi dan tinggal di sana
penuh keabadian dan kesentosaan bersama para malaikat atau ruh-ruh
yang baik.72
Dengan demikian kebahagiaan yang paling tinggi adalah kebajikan
yang bersifat ilahi, yaitu perbuatan yang seluruhnya sudah menjadi
perbuatan ilahi dan keluar dari diri sejati yang merupakan akal yang
bersifat ilahi, dan esensi realnya berarti esensi-Nya juga. Kalau manusia
sudah mencapai tingkatan ini, maka jiwa kebinatangannya akan hilang
dan digantikan dengan jiwa akal.
Untuk itu manusia harus berusaha mencapai kebajikan terakhir ini,
akan tetapi karena kebajikan bukanlah sesuatu yang bersifat alami dalam
diri manusia, maka harus diusahakan. Karenanya menjadi suatu
71 Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika ; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intusionalis
Islam, (Jakarta : Serambi, 2001), 310 72 Ibn Miskawaih, h. 94-96
33
kewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan pergaulan.
Pengetahuan yang paling penting bagi anak kecil adalah pengetahuan
syariat, sebab itu adalah kewajiban guna menerima kebijaksanaan dan
mencari keutamaan dan kebahagiaan.
Demikianlah arah dan orientasi tujuan pendidikan akhlak Ibnu
Miskawaih yang berusaha mewujudkan peserta didik yang berbudi
pekerti susila dan punya ilmu pengetahuan yang memadai, sehingga
akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat secara sempurna.
Disamping itu yang patut dibanggakan dalam pendidikan akhlak Ibnu
Miskawaih adalah juga berorientasi untuk membentuk manusia yang
berkepribadian utama atau manusia yang berkepribadian muslim atau
insan kamil, sehingga orientasi pendidikan akhlak bersesuaian dengan
formulasi rumusan tujuan pendidikan Islam.
C. Metode Mujahadah dan Riyadhah
Di kalangan para sâlikîn atau pengamal tarikat, istilah mujâhadah
dan riyâdhah dikenal sebagai metode. Mujâhadah menurut bahasa artinya
bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan.6 Secara lebih luas,
mujâhadah adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi
hawa nafsu (keinginankeinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya
jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa
saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai
pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.
Dengan demikian, mujâhadah merupakan tindakan perlawanan
terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan perilaku
buruk yang ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut
mujâhadah alnafs.7
Berkaitan dengan ini, Allah Swt. berfirman, “Dan mereka yang
mujâhadah /bersungguh-sungguh mencari Allah, maka sungguh kami
(Allah) akan menunjukkan jalan (Tarekat) kepada kamu.” (Q.S. [29]:49)
34
Ujung dari keberhasilan mujâhadah adalah munculnya kebiasaan dari
seorang sâlikîn untuk menghiasi dirinya dengan dzikrullah sebagai cara
untuk membersihkan hatinya dan sebagai upaya untuk mencapai
musyahadah (merasakan adanya kehadiran Allah).8
Adapun riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan
rohaniah untuk menyucikan jiwa dengan memerangi keinginan-keinginan
jasad (badan). Proses yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan
pembersihan atau pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah,
kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan
berakhlak mulia. Pekerjaan yang termasuk kedalam amalan riyâdhah adalah
mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam, menghindari
ucapan yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan
dengan orang banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan
dosa.9
Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri,
baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.10 Karena itu, riyâdhah
haruslah dilakukan secara sungguhsungguh dan penuh dengan kerelaan.
Riyâdhah yang dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seorang
sâlikîn dari berbuat kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk
lainnya, terutama terhadap Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyâdhah
merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat
kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.11
Mujâhadah dan riyâdhah yang dilakukan oleh sâlikin secara
sungguh-sungguh akan mendatangkan cahaya di dalam kalbu mereka.
Dengan kesungguhan ber-mujâhadah dan berriyâdhah, Allah akan
menumbuhkan rasa manisnya amal ibadah di hati para sâlikin, sehingga
mereka semakin tekun beribadah. Mereka benar-benar akan merasakan
nikmatnya salat, puasa, zikir, dan ketaatan lainnya. Dan akhirnya Allah akan
35
menumbuhkan dalam kalbu mereka sifat-sifat terpuji, seperti ikhlas,
tuma’ninah, sabar, jujur, istiqamah dan selalu gemar beribadah.
Bagi mereka yang sudah bersungguh-sungguh melakukan
mujâhadah dalam ibadahnya, biasanya akan menerima nur dari Allah yang
datang ke hatinya, sehingga hati itu mengalami keadaan (hâl) yang
bermacam-macam. Ada yang merasakan keresahan dan ketakutan yang
sangat kepada Allah, atau rasa cinta yang besar kepada Allah, atau
munculnya rasa kasih sayang kepada semua makhluk Allah, atau
menimbulkan gairah menegakkan agama Allah, dan bahkan ada yang
mendapatkan kasyf (tersingkapnya rahasia batin) atau musyâhadah.
Dalam suatu hadits Qudsi, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Senatiasa hamba-Ku tetap berupaya mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalamal sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya,
maka Aku adalah pendengarannya yang dipakainya untuk mendengar, dan
penglihatannya yang dipakai olehnya untuk melihat serta tangannya yang
dipakainya untuk menggenggam”.12 Bagi para sâlikin, hadits qudsi di atas
sering dijadikan rujukan dalam beribadah secara sungguh-sungguh. Tak
heran, jika ahli ahli tarikat sering kali dicirikan sebagai orang yang
keterlaluan dalam menjalankan mujâhadah.
Namun demikian, Islam adalah agama pertengahan dan
penyeimbang. Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan umatnya agar berlaku
pertengahan dalam menjalankan ibadah dan tidak ekstrim. Beliau bersabda:
“Aku berpuasa dan berbuka, makan daging dan juga menggauli istri-istriku.
Maka barang siapa tidak menyukai sunahku, dia tidak termasuk
golonganku.”13 Sebagaimana dikatakan di atas, mujâhadah dan riyâdhah
yang diamalkan oleh para sâlikîn merupakan latihan rohaniah dalam rangka
menyucikan jiwa (tazkiyyatun nafs), agar hati diliputi nur Ilahiah,
tersingkapnya rahasia batin (mukâsyafah), merasakan nikmat dan lezatnya
36
beribadah. Ini merupakan keadaan (hâl) bagi para sâlikîn dalam
mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.
Pencapaian tersebut tidak lepas dari jalan (tharîq) yang harus mereka
lalui. Karena syariat bagaikan pohon, tarekat bagaikan cabang, makrifat
bagaikan daun, dan hakekat bagaikan buah”, demikian ungkap As-Syekh
Abdul Qadir Jaelani.14 Dalam menempuh jalan, diumpamakan cabang
tersebut terdiri dari beberapa tingkatan (maqâmât) yang harus ditempuh satu
demi satu, dan memerlukan waktu yang panjang dan berat, mereka akan
mengalami berbagai keadaan batin yang disebut dengan ahwal. Jadi,
maqâmât dan ahwâl merupakan tahap-tahap yang lazim dilalui oleh para
sâlik menuju tujuan puncaknya, yaitu mencapai ma`rifatullâh (buah).
D. Model Pendidikan Karakter
1. Pengertian Model Pendidikan Akhlak
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang dipergunakan
sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan sesuatu yang berurutan
mewujudkan suatu proses seperti penilaian suatu kebutuhan, pemilihan
media, metode maupun evaluasi. 73 Sedangkan pendidikan akhlak
merupakan sub atau bagian pokok dari materi pendidikan agama yang
merupakan proses internalisasi nilai-nilai akhlak mulia ke dalam peserta
didik sehingga nilai-nilai tersebut tertanam kuat dalam pola pikir (mindset),
ucapan dan perbuatannya, serta dalam interaksinya dengan Tuhan, manusia,
serta lingkungan alam.74
Maka dilihat dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Model
pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai bentuk pendidikan yang
tergambar dari awal hingga akhir yang disajikan secara khas oleh sekolah
73 Amirullah Syarbini, Model Pendidikan Karakter Dalam Keluarga, hlm. 7 74 Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu Isu Kontemporer tentang Pendidikan
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 209
37
mengenai pendidikan akhlak. Di dalamnya terkandung strategi pencapaian
kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, dan teknik.
Dari pengertian tersebut diketahui bahwa model mencakup beberapa
hal, yang terangkum dalam strategi yang dilaksanakan, dan menjadi
pedoman, yang mana model tersebut digunakan sebagai petunjuk oleh guru
dalam operasionalnya dari awal hingga akhir dalam mendidik sehingga
menjadi kekhasan tersendiri. Dengan demikian, model pendidikan akhlak
tidaklah monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi suatu sistem
di lembaga, melainkan terintegrasi38 dalam berbagai mata pelajaran atau
kegiatan sekolah.
Merespon sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan
akhlak dan budi pekerti, sebagaimana dipaparkan dalam “Pendidkan
karaker Islami“ terutama melalui dua mata pelajaran Pendidikan agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasiinovasi
pendidikan, berikut ini inovasi-inovasi tersebut:
1) Pendidikan akhlak dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata
pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam
substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan
pembelajaran yang memfasilitasi dipraktiknya nilainilai dalam setiap
aktifitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran
2) Pendidikan akhlak juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan
pembinaan peserta didik
3) Pendidikan akhlak dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan semua urusan
disekolah yang melibatkan semua warga sekolah.75
Dari bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung
bersentuhan dengan aktifitas pembelajaran sehari-hari adalah
pengintegrasian pendidikan akhlak atau karakter dalam proses
75 Marzuki, Pendidikan Karakter Islami, (Jakarta : Amzah 2015), Hlm 115
38
pembelajaran. Pengintegrasian pendidikan akhlak melalui proses
pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah sekarang menjadi salah satu
model yang banyak ditetapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma
bahwa semua guru adalah pendidik akhlak, semua mata pelajaran juga
diasumsikan memiliki misi dalam membentuk akhlak mulia peserta didik.
Disamping model ini ada juga model subjeck matter dalam bentuk
mata pelajaran sendiri, yaitu menjadikan pendidikan akhlak sebagai mata
pelajaran tersendiri sehingga memerlukan adanya rumusan tersendiri
mengenai standar isi, standar kompetensi, kompetensi dasar, silabus, RPP,
bahan ajar serta srategi pembelajaran dan penilaian.76 Model ini tidaklah
mudah dan akan menambah beban peserta didik yang sudah diberi sekian
banyak mata pelajaran. Oleh karena itu, model pendidikan akhlak dalam
mata pelajaran dinilai lebih efektif dan efisien disbanding dengan model
sebjeck matter.
2. Implementasi Model Pendidikan Akhlak
Untuk merumuskan model pendidikan akhlak sebagaimana dalam buku
yang berjudul “model pendidikan karakter dalam keluarga” dapat dijelaskan
bahwa pendidikan akhlak meliputi: tujuan, pendidik, peserta didik, materi,
metode, alat, progam, dan evaluasi.
1) Tujuan
Tujuan sangat penting di dalam aktivitas pendidikan, karena
merupakan arah yang hendak di capai. Tujuan pendidikan akhlak adalah
sasaran atau hasil akhir yang ingin dicapai melalui proses pendidikan akhlak
dalam sekolah. Adapun besar atau kecil dan ruang lingkup yang ingin
dicapai hasil pendidikan itu ditentukan dan dibatasi oleh klasifikasi
76 Marzuki, Pendidikan Karakter Islami,,Hlm 116
39
tujuannya. Oleh karena itu tujuan dan model ini dibagi menjadi dua
kategori, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Secara khusus tujuan pendidikan akhlak adalah sebagai
pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perbaikan
perilaku anak didik agar mereka mampu menjalani kehidupan secara
selaras, serasi, seimbang (lahir-batin, materialspiritual, individu-sosial).
Melalui pendidikan akhlak peserta didik diharapkan mampu memahami
nilai-nilai positif atau terpuji dan menginternalisasikannya dalam perilaku
kehidupan sehari-hari.77 Sedangkan secara umum tujuan pendidikan akhlak
adalah untuk membina anakanak agar menjadi pribadi yang taat pada Allah
dan rosulnya, berbakti kepada orang tua dan bermanfaat bagi masyarakat
serta berguna bagi agama dan bangsa.
2) Pendidik
Peserta didik atau Anak didik adalah orang yang menerima
pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan
memusatkan segala perhatian dan usahanya ke arah itu, melepas segala
kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah
Allah.
Untuk memperoleh keberhasilan dalam proses pendidikan
diperlukan persyaratan dan adab sopan santun yang harus dilaksanakan
selama masa pendidikan dibawah bimbingan pendidik. Dan juga harus
menyerahkan diri sepenuhnya kepada pendidik serta tunduk dan rela dengan
tata tertib yang ada.78
77 Amirullah Syarbini, Model Pendidikan Karakter Dalam Keluarga, Hlm 99 78 Nur Uhbiyati, Dasar Dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: FITK Walisongo, 2012),
Hlm 139.
40
3) Peserta Didik
Yang dimaksud pendidik disini adalah orang dewasa yang
bertanggung-jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik
dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya
dan mamu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di
permukaan bumi, sebagai makhluk social dan sebagai individu yang
sanggup berdiri sendiri.
Sebagaimana tersirat dalam pengertian pendidik, maka didalamnya
tersirat pula mengenai tugas pendidik Di antaranya adalah (1) Membimbing
peserta didik dalam mencari pengenalan terhadap kebutuhan ilmu,
kesanggupan, bakat, minat bagi peserta didiknya. (2) Menciptakan situasi
untuk pendidikan, agar dalam proses pendidikan bias berjalan dengan lancer
(3) berkompeten dalam bidang ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Pengetahuan ini jangan hanya sekedar diketahui tetapi juga diamalkan dan
diyakininya sendiri, karena kedudukan pendidik adalah pihak yang lebih
dalam situasi pendidikan.79
4) Materi
Materi adalah sekumpulan pesan, pengetahuan, informasi,
pengalaman dan nilai-nilai akhlak yang akan diberikan kepada peserta didik.
Materi tersebut dibagi menjadi dua sebagaimana prioritasnya materi pokok
dan materi penunjang. Materi pokok seperti Akidah-akhlak, fiqih, Sejarah
Islam, Qur’an dan Hadits. Kemudian materi penunjang seperti tambahan
kegiatan ekstrakulikuler rohani islamiyah, kegiatan amaliyah harian.
5) Metode
Metode adalah semua cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai
untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan akhlak, metode yang biasa
79 Nur Uhbiyati, Dasar Dasar Ilmu Pendidikan Islam, Hlm 142
41
diterapkana dalam rangka pembentukan atau pembinaan akhlak siswa
disekolah Di antaranya adalah:
a) Metode Internalisasi
b) Melalui mata pelajaran tersendiri dan terintegrasi ke dalam
semua mata pelajaran
c) Melalui kegiatan diluar mata pelajaran yaitu pembiasaan-
pembiasaan dan pengembangan diri.
d) Melalui metode keteladanan (uswah hasanah)
e) Melalui nasihat-nasihat dan memberi perhatian
f) Metode reward dan punishment.80
6) Alat
Alat adalah segala sesuatu yang digunakan oleh pelaksana
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan dengan demikian alat
mencakup apa saja yang dapat digunakan untuk membantu berjalannya
sebuah pendidikan. Baik alat tersebut yang bersifat visual, audio, maupun
audio visual.81
Karena berhasil dan tidaknya pedidikan akhlak dipengaruhi oleh
seluruh faktor yang mendukung pelaksanaan pendidikan. Apabila timbul
permasalahan di dalam pendidikan maka suatu lembaga harus dapat
mengklarifikasikan masalah yang dihadapi kedalam faktor-faktor yang ada.
Terutama dari segi alat pendukung melalui sarana dan prasarana pendidikan
yang memadai.
7) Program
Progam adalah segala bentuk kegiatan usaha yang dilakukan dalam
menanamkan karakter pada diri anak. Progam ini dapat dilakukan melalui
pengajaran, pemotivasian, peneladanan, pembiasaan, dan penegakan aturan.
80 Marzuki, Pendidikan Karakter Islami,,Hlm 113 81 Nur Uhbiyati, Dasar Dasar Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 198
42
8) Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian/pengukuran tingkat keberhasilan anak
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah progam. Terkait
dengan keberhasilam siswa dalam membudayakan nilai-nilai akhlak mulia,
tentu bias dilakukan evaluasi dalam bentuk penilaian oleh guru. Dalam
pendidikan akhlak penilaian harus dilakukan dengan baik dan benar.
Penilaian tidak hanya menyangkut pencapaian kognitif peserta didik tetapi
juga pencapaian afektif dan psikomotoriknya. Pada pendidikan akhlak lebih
ditekankan pada penilaian afektif dan psikomotoriknya mengingat
keberhasilan pendidikan akhlak dapat terlihat dari sikap dan perilaku peserta
didik.82
3. Model-model Pendidikan Akhlak
Ada berbagai model pendidikan akhlak dalam menciptakan suasana
religius di sekolah antara lain adalah sebagai berikut:83
a) Model Struktural
Penciptaan Suasana religius yang disemangati oleh adanya
peraturan-peraturan, pembangunan kesan baik dari dunia luar atas
kepemimpina atau kebijakan suatu lembaga pendidikan atau suatu
organisasi. Model ini bersifat top-down yakni kegiatan prakarsa atau
intruksi dari pejabat/pimpinan atasan.
b) Model Formal
Penciptaan Suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa
pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-
masalah kehidupan akhirat atau ruhani saja. Model ini berimplikasi terhadap
pengembangan pendidikan agama yang lebih berorientasi kepada akhirat,
82 Marzuki, Pendidkan Karakter Islami,,Hlm 114 83 Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam, hlm, 305
43
sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting. Model ini bersifat
normative, doktriner, dan absolutis.
c) Model Mekanik
Penciptaan Suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa
kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai
penanaman dan pengembangan seperangkat kehidupan yang masing-
masing bergerak dan berjalan sesuai fungsinya. Masing-masing bergerak
bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-
elemen yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri. Model
ini berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama yang menonjolkan
dimensi afektif. Dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk
pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda dengan mata pelajaran
lainnya (kegiatan dan kajian-kajian keagamaan hanya untuk pendalaman
agama dan kegiatan spiritual).
d) Model Organik
Penciptaan Suasana religius yang disemangati oleh pandangan
bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sebagai sistem yang
berusaha mengembangan pandandangan hidup agamis yang
dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang religius.
Model ini berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama yang
dibangun dari fundamental doctrins dan fundamental value yang terdapat
dalam al-Qur’an dan al-sunnah shahih sebagai sumber pokok.84
84 Muhaimin, dkk.Paradigma Pendidikan Islam, hlm, 305-307
44
E. Hasil penelitian yang relavan
1. Skripsi Muthoharoh (2014), dengan judul “Konsep Dan Strategi
Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih Dalam Kitab Tahdzib Al-
Akhlak.” Dalam penelitian tersebut membahas segala konsep pendidikan
akhlak menurut Ibnu Miskawaih. Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu
lebih melihat bagaimana pandangan pendidikan modern terhadap konsep
pendidikan modern.
2. Skripsi Siti Rohmah (2012), dengan judul “Relevansi Konsep Pendidikan
Islam Ibnu Khaldun Dengan Pendidikan Modern.” Penelitian yang
dilakukan oleh Siti Rohmah ini bertujuan untuk mengetahui relevansi
konsep pendidikan modern dengan konsep pendidikan modern. Perbedaan
dengan penelitian penulis yaitu, penulis meneliti konsep pendidikan Ibnu
Miskawaih sedangkan Siti Rohmah meneliti tentang konsep pendidikan
Ibnu Khaldun.
45
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada dasarnya, setiap melakukan penelitian ilmiah untuk lebih terarah
diperlukan metode yang sesuai dengan objek yang diteliti, karena metode tersebut
berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu dalam upaya agar kegiatan penelitian
dapat terlaksana secara rasional guna mencapai hasil optimal. Dengan adanya
metode dapat dijamin kemahiran seseorang dalam melakukan penelitian dan
penulisan.
Metode adalah strategi dalam penelitian ilmiah yang bertujuan untuk
meramalkan, dan menjelaskan gejala-gejala yang teramati guna mendapatkan
kebenaran yang diinginkan. 85 Sedangkan penelitian adalah usaha untuk
menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran suatu pengetahuan yang
dilakukan dengan menggunakan metode.86 Metode penelitian menurut Sugiono
adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat
ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga
pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah.
Pada penelitian pustaka akan ditemukan suatu teori atau pendekatan baru
yang lebih akurat dan konprehensif (menyeluruh). Studi kepustakaanmenghasilkan
berupa teori dan bahan-bahan lain yang dijadikan landasan dan latar belakang yang
dapat mendasari dalam penulisan dan penelitian.87
Untuk terarahnya pembahasan maka perlu ditentukan tahaptahapan yang
digunakan dalam proses penyusunan skripsi ini. Tahaptahapan ini meliputi: jenis
dan pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik
analisis data.
85 Muhammad Suban, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Jilid 1, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), h. 10. 86 Sutrisnso Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, (Yogyakarta: Andi Affset, 2004), h. 4. 87 Rusdi Pohan, Penelitian Pendidikan, (Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah UIN Ar-raniry,
2005), h. 37.
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif. Penelitian Deskriptif adalah sebuah meode penelitian
yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang ada yang
masih terjadi sampai saat sekarang atau waktu yang lalu.
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode Library Research (Penelitian Perpustakaan). Penelitian perpustakaan
merupakan kegiatan mengamati berbagai literature yang berhubungan dengan
pokok permasalahan yang diangkat baik itu berupa buku, makalah, ataupun
tulisan yang sifatnya membantu, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman
penelitian. Menurut Kartono (1986:28) dalam buku Pengantar Metodologi
Penelitian Sosial mengemukakan bahwa tujuan penelitian perpustakaan
adalah untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-
macam material yang ada di perpustakaan, hasilnya dijadikan fungsi dasar
dan alat utama bagi praktek penelitian dilapangan.
Penggunaan pendekatan deskriptif dalam penelitian ini karena data
yang dikumpulkan berupa kata-kata (pemikiran tokoh Ibnu Miskawaih
tentangmetode pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih).Hal ini sesuai
dengan penggunaan Lexy J. Moeleong terhadap istilah deskriptif sebagai
karakteristik dari pendekatan kualitatif disebabkan semua yang dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap obyek yang sudah diteliti.88
Karena dalam penelitian ini peneliti menguraikan secara keseluruhan
tentang metode pendidikan akhlak dari pendapat Ibnu Miskawaih. Penelitian
kepustakaan merupakan teknik penelittian yang mengumpulkan data dan
informasi dengan berbagai macam materi yang terkandung dalam
kepustakaan, baik berupa buku, majalahjurnal dan beberapa tulisan yang
memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.89
88 Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), h. 11. 89 P. Joko Subagyo, Metodoiogi Penelitian Dan Praktek, (Jakarta: RinekaCipta, 1991), h.
100.
B. Objek dan Subjek Penelitian
1. Objek Penelitian
Objek Penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pokok
permasalahan yang menjadi fokus penelitian.Dalam sebuah penelitian,
menemukan masalah adalah suatu keniscayaan bagi seorang peneliti.Tanpa
adanya masalah, penelitian tidak dapat dilaksanakan.Masalah harus
difikirkan serta dirumuskan secara jelas dan sederhana sebelum penelitian
dilakukan.
Dengan demikian, penelitian akan menjadi terfokus ketika masalah
yang menjadi objeknya terfikirkan secara cermat dan jelas. Terkait dengan
permasalahan ini, pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah
"Metode Pendidikan Akhlak menurut Ibnu Miskawaih".Oleh karena itu,
penelitian ini menjadikan Metode Pendidikan Akhlak sebagai objek
penelitian.Objek tersebut sekaligus menjadi sumber data primer bagi
penelitian skripsi ini.
2. Subjek Penelitian
Subjek Penelitian merupakan suatu yang dituju untuk diteliti oleh
peneliti, yakni yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti. 90
Maksudnya ialah, seseorang atau sesuatu yang ingin diperoleh keterangan.
Bisa kita simpulkan subjek penelitian adalah individu, benda atau organisme
yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data
penelitian.
Adapun subjek dalam penelitian ini adalah metode-metode pendidikan
yang dilakukan para pendidik di SDN Petir 3 dalam membangun karakter
siswa dan siswi. Maksud dari penelitian skripsi ini adalah sumber data
penelitian berupa data informasi yang bersumber langsung dari buku-buku
pendidikan dan pendidikan Islam atau kaiya-karya ilmiah lainnya yang
berkaitan dengan pembahasan penelitian untuk memecahkan (solving) pokok
permasalahan yang dihadapi.
90 Muhammad Nazir, Metode Penelitian ..., h. 79.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data (data collecting) dalam sebuah penelitianmerupakan
suatu keniscayaan dan bersifat esensial Pengumpulan data merupakan pekerjaan
peneliti yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan penelitian dan merupakan
faktor terpenting demi keberhasilan sebuah penelitian terkait cara pengumpulan
data, siapa sumbernya, dan alat apa saja yang digunakan. Berikut ini ada
beberapa teknik pengumpulan data yaitu: melalui observasi, dengan melakukan
telaahan terhadap berbagaireferensi yang relevan dengan focus penelitian, baik
berbentuk konsep, teori yang terdapat dalam buku-buku, internet dan lain-lain
yang dianggap relevan dengan penelitian ini.
Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data yang tersedia, yaitu
fakta mengenai dunia kenyataan (das sein) yang diperoleh melalui penelitian
yang menjadi objek dan subjek penelitian untuk memperoleh data yang
sebenarnya (das sollen).91
Dalam hal ini yang menjadi das seinnya adalah metode-metode
pendidikan yang dilakukan para pendidik di SDN Petir 3 dalam membangun
karakter siswa dan siswi. Dan yang menjadi (das sollennya) adalah metode-
metode pendidikan akhlak yang ada dalam pendapat Ibnu Miskawaih.
D. Teknik Analisis Data
Menurut Nasution, analisis data adalah proses penyusunan data agar
dapat ditafsirkan, yang berarti menggolongkan dalam suatu pola tertentu,
kemudian diinterpretasikan (menafsirkan) dalam arti memberi makna dan
mencari makna dan mencari hubungan berbagai konsep yang telah
dikumpulkan.92
Untuk menganalisis data-data tersebut maka penulis menggunakan
Metode Analisis Deskriptif.
Metode Deskriptif Analisis artinya setelah data terkumpul dan
didistribusikan sesuai dengan sistematika pembahasan kemudian diadakan
analisis. Metode Deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok
91 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian. (Jakarta(pTIjfeneka Cipta, 2002), h. 20. 92 Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatifa&andung: Tarsito, 1992), h. 126
manusia, suatu objek, susut kondisi, suatu sistem pemikiranataupun suatu kelas
penstiwa pada masa sekarang.93
Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data-data yang ingin di analisis,
yaitu metodemetode pendidikan akhlak dan buku-buku Ibnu Miskawaih yang
telah diamati, kemudian akan diadakan analisis sesuai dengan sistematika
pembahasan.
Analisis data merupakan upaya untuk menelaah dan menata secara
sistematis data-data yang telah dikumpulkan.Dalam tahap ini data yang telah
dikumpulkan diorganisir, kemudian dianalisis dan dicari korelasinya, sehingga
menjadi satu kesatuan yang harmonis dan logis.Pada tahap selanjutnya hasil
analisis tersebut dirumuskan sedemikian rupa sehingga konsep yang jelas untuk
kemudian disusun menjadi karyatulis yang dipahami.
Dalam hal ini penelitian data yang telah terkumpul kemudian dianalisis
satu persatu dengan menggunakan pola pikir deduktif, induktif, dan komperatif.
Pola pikir deduktif adalah cara pikir yang berangkat dari masalah-masalah yang
sifatnya umum kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus. Kemudian
pola pikir induktif yaitu cara berpikir yang titik tolak dari hal-hal yang sifatnya
khusus ditarik kemudian ditarik suatu kesimpulan umum. Selanjutnya, pola pikir
komperatif yaitu penyelidikan deskriptif yang berusaha mencari pemecahan
melalui analisis tentang hubungan sebab akibat, yaitu menyelidiki faktor-faktor
tertentu yang berhubungan dengan kondisi atau fenomena yang diteliti,
kemudian dibandingkan dengan yang lain.94
Dalam hal ini peneliti akan melihat fenomena metode pendidikan akhlak
yang ada di SDN Petir 3 dalam membentuk karakter siswa siswi yang akan
peneliti kaitkan dengan nilai-nilai pendidikan dan pendidikan agama Islam,
dimana penelitian ini akan menganalisis relevansi metode pendidikan akhlak
yang ada di SDN Petir 3 dengan metode pendidikan akhlak Ibnu Miskwaih
Adapun teknik penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
"Panduan Akademik dan Penulisan Skripsi Tahun 2017".
93 Muhammad Nazir, Metode ….,h. 63 94 Sustrisno Hadi, Metodologi..., h. 4.
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Metode Pendidikan Ibnu Miskawaih
Metodologi pendidikan dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu
perubahan-perubahan kepada keadaaan yang lebih baik dari sebelumnya.
Perubahan yang demikian dianggap sangatlah serius oleh Ibnu Miskawaih
untuk menyempurnakan akhlak yang tidak stabil pada diri manusia. Jalan
yang ditempuh oleh Ibnu Miskawaih bersifat mengetahui Sang Pencipta.
Dengan demikian, metode ini terkait dengan perubahan atau
perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak, maka metode
pendidikan di sini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Dalam
kaitan ini Ibn Miskawaish berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak
bukanlah merupakan bawaan atau warisan, karena jika demikian
keadaannya tidak diperlukan adanya pendidikan. Ibn Miskawaih
berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat diusahakan atau menerima
perubahan yang di usahakan, jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk
mengubahnya diperlukan adanya car-cara yang efektif yang selanjutnya
dikenal dengan istilah metodologi.
Metodologi perbaikan akhlak di sini dapat diberi pengertian sebagai
metode mencapai akhlak yang baik, dan metode memperbaiki akhlak yang
buruk. Walaupun demikian, pembahasannya disatukan karena antara satu
dengan yang lainnya saling melengkapi dan tidak dipisahkan secara ketat.
Semua pengetahuan yang dimiliki seseorang adalah dianggap
sebagai cermin bagi dirinya. Oleh karena itu, ilmu yang dijadikan oleh Allah
SWT. hendaknya dipakai untuk hal-hal yang membawa ke jalan lurus. Hal
ini bertujuan agar sandaran yang dipakai tidak menyeleweng dari agama.
Pengalaman yang di dapati seseorang menjadikan dia sebuah cermin yang
digunakan sebagai tolak ukur patokan dimana dia mengetahui apa yang
dialaminya.
Adanya kemauan yang keras dalam diri seseorang untuk belajar
terus-menerus membuat manusia itu memperoleh keutamaan terutama
memperoleh derajat Di antara orang-orang yang berilmu pengetahuan.
Seperti pernah dikemukakan sebelumnya, Ibn Miskawaih berpendapat
bahwa usaha mendapat kebahagiaan (asset 'adat) tidak dapat dilakukan
sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling
melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta apabila sesama manusia saling
mencintai.
Setiap pribadi merasa bahwa kesempumaan dirinya akan terwujud
karena kesempumaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan
tidak dapat dicapai dengan sempurna. Atas dasar itu, maka setiap individu
mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari seluruh anggota badan.
Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempumaan anggota-anggota
badannya. Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat, bahwa sebagai
makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya.95
Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang
yang berbuat baik terhadap keluarga dan orangorang yang masih ada ikatan
dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada
hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan,
tetangga, kawan atau kekasih.96
95 Menurutnya karena binatang dapat hidup tanpa perlu bantuan orang lain, maka manusia
demikian halnya. Lihat Ibn Miskawaih, Al-Fauz al-Ashghar, op. cit,.h. 55-56. 96 Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, op. cit, h. 44
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat
manusia adalah memelihara diri. Karena itu manusia selalu berusaha untuk
memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya.97
Di antara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu.
Manfaat dari hasil pertemuan di antaranya adalah akan memperkuat akidah
yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara
lain dengan melaksanakan kewajiban syari'at Shalat Jum'at, shalat
berjama'ah, shalat hari raya, dan haji menurut Ibn Miskawaih merupakan
isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurangnya
satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang
berada dalam lingkungan terdekat, tetapi sampai pada tingkat yang paling
jauh.98
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut
Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala negara berikut
aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya. Karena itu, Ibn
Miskawaih berpendapat bahwa agama dan Negara ibarat dua saudara yang
saling melengkapi. Satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan.
Cinta kasih kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta
kasih orang tua terhadap anakanaknya.99
Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal
cinta anak terhadap orang tuanya. Selanjutnya bagaimana dengan
lingkungan pendidikan yang merupakan pokok bahasan pada bagian ini.
Selama ini dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak
membicarakan ketiga masalah tersebut. Ibn Miskawaih membicarakan
lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan
membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari
97 Ibid.,h. 128. 98 Ibid., h. 128-129 99 Ibid.,h. 132.
lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid,
lingkungan pemerintahan yang menyangkut hubungan rakyat dengan
pemimpinnya, sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan
orang tua dengan anak dan anggota lingkungan lainnya. Keseluruhan
lingkungan ini satu dan lainnya secara akumulatif berpengaruh terhadap
terciptanya lingkungan pendidikan.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam
mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-
sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al- ladat wa al-
jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenamya sesuai
dengan keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak
memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan alghadabiyyat. Karena
kedua jiwa ini sangat tekait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan
menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak
minum yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa.
Apabila kemalasan muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain
adalah bekerja yang di dalamnya mengandung unsur yang berat, seperti
mengerjakan shalat yang lima, atau melakukan sebagian pekerjaan baik
yang di dalamnya mengandung unsur yang melelahkan. Latihan yang
sungguh-sungguh semacam ini diumpamakan oleh Ibn Miskawaih seperti
kesiapan raja sebelum berhadapan dengan musuh. Kesiapan dimaksud
mengadung pengertian harus dilakukan secara dini, terus-menerus dan tidak
menggagu waktu. Metode semacam ini ditemui pula dalam karya etika para
filosofi lain seperti halnya yang dilakukan Imam al-Ghazali, Ibn Arabi dan
Ibn Sina. Metode semacam ini termasuk metode yang paling efektif untuk
memperoleh keutamaan jiwa.
Kedua dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman
orang lain sebagi cermin bagi dirinya. Adapaun pengetahuan dan
pengalamn yang dimaksud dengan pemyataan ini adalah pengetahuan dan
pengelaman berkenaan dengan hokum-hukum akhlak yang berlaku bagi
sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini
seseorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik, karena ia
bercermin kepada perdalaman buruk dan akibatnya yang dialami orang lain.
Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia
kemungkinan mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banyak
memiliki kekurangan seperti orang tersebut, Ialu menyelediki dirinya.
dengan demikian, maka setiap malam dan siang ai akan selalu meninjau
kembali semua perbuatannya, sehingga tidak satu pun perbuatannya
terhindar dari perhatiannya.
B. Metode Pendidikan Akhlak di SDN Petir 3
Model pendidikan akhlak di SDN Petir 3 Kota Tangerang terkonsep
dalam komponen-komponen pendidikan akhlak, sebagai berikut :
1. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan Pendidikan Akhlak di SDN Petir 3, termaktub dalam Visi
dan Misi Sekolah tersebut. Yaitu :
SDN PETIR 3
VISI
“Membentuk Karakter Siswa/I Yang Berakhlakul Karimah,
Cerdas, Disiplin Dan Peduli Terhadap Lingkungan.”
MISI
1) Melaksanakan Serta Menghayati Ajaran Agama
2) Melaksanakan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif Dan
Menyenangkan (Paikem) Dengan Mengoptimalkan Potensi Siswa
Dan Profesionalisme Guru
3) Meningkatkan Disiplin Warga Sekolah
4) Memotivasi Siswa Untuk Berprestasi Dalam Ilmu Pengetahuan
5) Menumbuhkembangkan Rasa Cinta Kebersihan, Keindahan,
Keamanan, Kesehatan Dan Kekeluargaan
6) Memanfaatkan Lingkungan Sekolah Sebagai Salah Satu Sarana
Dan Media Pembelajaran
7) Menggalakkan Program Hemat Energi
2. Materi Pendidikan Akhlak
Materi pendidikan akhlak yang diberikan di sekolah berupa
pengetahuan dan perbuatan. Dalam pemberian ilmu pengetahuan materi
yang diberikan adalah buku kurikulum 2013 edisi revisi 2018 dari kelas 1
hingga kelas 6.
Dalam buku tersebut banyak memuat tentang pendidikan akhlak,
mulai dari kisah-kisah Nabi dan Rasul, asmaul husna dan sifat-sifat yang
harus di miliki oleh pelajar saat ini.
Sedangkan dalam pemberian materi pendidikan akhlak melalui
perbuatan ialah guru menjadi suri tauladan siswa. Contohnya dalam cara
berpakaian yang rapih serta akhlak yang baik. Dan juga dalam berinteraksi
dengan siswa. Tidak memberikan hukuman yang berat serta memberikan
sanksi social jika siswa melakukan pelanggaran yang berat.
3. Program Pendidikan Akhlak
Dalam program pendidikan akhlak sekolah SDN Petir 3 ada yang
harian, mingguan dan tahunan. Untuk harian siswa di wajibkan mengikuti
tata tertib siswa SDN Petir 3. Contohnya, siswa wajib datang ke sekolah 10
menit sebelum pelajaran dimulai, siswa wajib memakai seragam sekolah
lengkap, siswa melakukan piket sekolah, siswa wajib menjaga lingkungan
sekolah agar selalu bersih.
Untuk program mingguannnya dilakukan pada saat upacara hari
senin, siswa wajib memakai seragam yang sesuai dan atribut lengkap (Topi,
Dasi, Rompi, Ikat Pinggang, Kaus Kaki putih dan Sepatu hitam). Dan
program pendidikan akhlaknya juga dilakukan pada saat hari jumat, karena
ada kegiatan tadarus bersama-sama baik murid maupun guru. Siswa
membawa juz ‘amma, kemudian dilanjutkan dengan melakukan sholat dhuha
berjamaah.
Sedangkan untuk program pendidikan akhlak tahunan biasanya siswa
ada kegiatan islami. Seperti isra’ mi’raj, mauled nabi, dan juga hari sampah
seduni. Itu semua dilakukan untuk mendidikan akhlak siswa agar lebih
disiplin, islami dan mencintai lingkungan.
4. Alat
Alat-alat yang digunakan untuk mendidik siswa agar akhlaknya
terbangun adalah banyak di tempel slogan-slogan untuk mengingatkan siswa
di sekolah. Di antaranya, slogan 5 S, slogan menjaga lingkungan, slogan
berpakaian rapih, slogan menhemat listrik.
5. Metode Pendidikan Akhlak
Metode yang dilakukan untuk membangun akhlak siswa adalah
dengan cara pembiasaan, reward dan punishment. Pembiasaan disini
dilakukan setiap hari pada saat KBM ataupun diluar KBM. Pada saat KBM
metode agar akhlak siswa terbangun adalah dengan pembelajaran yang aktif,
tidak terpaku dengan guru. Dan juga murid dibiasakan pada saat KBM
dengan tidak berbicara yang tidak baik, contohnya nyeletuk sembarangan
dan tidak ada isinya.
Pada saat diluar KBM siswa dibiasakan untuk mengikuti tata tertib
sekolah, contohnya tadi memakai seragam yang sesuai dengan atribut yang
lengkap. Contoh lainnya dengan mencontohkan membuang sampah pada
tempatnya. Karena SDN Petir 3 adalah sekolah adiwiyata tingkat nasional
pada tahun 2019. Jadi siswa diminta untuk membawa tempat makan dan
minum dari rumah untuk keperluan makan mereka, sehingga di sekolah
siswa tidak banyak membuang sampah.
Reward dalam metode pendidikan akhlak sudah tentu memberikan
nilai keterampilan yang lebih tinggi jika siswa tersebut bersifat baik. Selain
itu juga reward yang diberikan bisa penunjukkan siswa tersebut sebagai duta
kebersihan di sekolah ataupun menjadi dokter cilik di sekolah.
Metode punishment yang dilakukan adalah dengan cara memberikan
siswa tersebut hukuman yang sesuai apabila melakukan tindakan yang
kurang baik di sekolah. Contohnya pada saat itu siswa melakukan upacara
dan hukuman yang diberikan adalah dengan meminta siswa untuk memungut
sampah yang ada di linhkungan sekolah.
6. Evaluasi Pendidikan Akhlak
Evaluasi dalam pendidikan akhlak dilakukan setiap hari, setiap
minggu, setaip semester ataupun setiap tahun ajaran baru. Dengan koordinasi
dengan guru kelas, guru bidang dan juga semua penduduk sekolah. Jika ada
siswa yang kelakuannya kelewat batas maka orang tuanya akan di panggil
dan di beri pengarahan.
Evaluasi juga dilakukan oleh guru kelas, para guru kelas biasanya
melakukan panggilan kepada siswa siswa yang sering membuat keributan di
dalam kelas. Kemudian memberikan punishment social.
C. Relevansi Konsep Metode Pendidikan Ibnu Miskawaih dengan Konsep
Pendidikan di SDN Petir 3
Dalam Islam masalah akhlak, termasuk masalah krusial. Selama 13
tahun periode Mekkah dimana turun ayatayat Makkiah terlihat konsen
nubuwwah terfokus pada masalah aqidah dan akhlak.100 Seperti perintah
untuk menghormati kedua orang tua, perintah untuk berkata yang baik dan
benar, untuk tidak saling menghasut, tidak mengghibah, tidak memfitnah,
100 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2008, hlm. 3.
dan lain sebagainya. Karena begitu pentingnya masalah akhlak ini, nabi saw
bersabda;
“Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
baik”. (HR. Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadis ini, nabi ingin mengatakan bahwa tujuan diturunkan
wahyu yang disampaikan melalui dirinya adalah untuk mendidik manusia
agar berakhlak mulia. Atau dalam pandangan Nurkhalis Madjid, berfungsi
mengarahkan manusia untuk menjadi makhluk moral, yakni mahkluk yang
bertanggungjawab sepenuhnya atas segala perbuatan yang dipilihnya
dengan sadar, yang saleh maupun yang jahat.101
Ibnu Miskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan
jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan tanpa
dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.
“Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seorang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan”.102
Pengertian akhlak menurut Ibnu Miskawaih diatas sejalan dengan
pengertian yang disampaikan oleh Imam alGhazali, dimana ia mengatakan
akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-
macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa pemikiran dan
pertimbangan.
“Khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa
pemikiran dan pertimbangan”.103
Point penting dari definisi akhlak Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali
tersebut adalah kata “tanpa pemikiran dan pertimbangan” yang ini berarti
101 Nurkhalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 6 102 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut,Libanon: Darul Kutub Al-ilmiah, 1985, hlm
25. 103 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, jilid 3, Kairo: Dar al-Hadits, 2004, hlm. 70.
bahwa akhlak itu berhubungan dengan prilaku yang sudah menjadi
kebiasaan.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Aristoteles dalam
bukunya “Nicomachean Ethics”.
“Kebaikan moral (baca. Akhlak) dibentuk oleh kebiasaan. Ini juga
menunjukkan bahwa tidak ada kebajikan moral yang ditanamkan
pada manusia oleh alam, karena tidak ada sesuatu yang ada secara
alamiah dapat diubah oleh kebiasaan. Sebagai contoh, tidaklah
mungkin sebuah batu, yang memiliki sifat alamiah jika dilempar
akan jatuh ke bawah, dibiasakan untuk jatuh ke atas. Bahkan jika
seseorang melemparnya sepuluh ribu kali maka tetap saja batu akan
jatuh ke bawah.”104
Kebiasaan lahir dari suatu tindakan yang berulangkali dilakukan dan
sudah mendarah daging. Pada mulanya kebiasaan adalah suatu yang
diusahakan dan dipaksakan untuk dilakukan. Contohnya, dalam pendidikan
akhlak di SDN Petir 3 dilakukan pembiasaan yang dimulai dari dating ke
sekolah hingga pulang sekolah. Di antaranya, melakukan 5S setiap pagi.
Guru setiap pagi mulai pukul 06.15 WIB sudah berdiri di depan
gerbang untuk menyambut siswa, mulai dari memeriksa kerapihan siswa
dan juga salam kepada siswa. Lanjut dikelas, siswa dibiasakan memulai
pembelajaran dengan berdoa, dilanjut dengan membaca juz 30.
Kebiasaan berawal dari pengetahuan akan sesuatu. Pengetahuan
didapatkan dari dua sumber yaitu dari pengalaman dan pendidikan.
Pengalaman didapatkan dari suatu perbuatan yang telah dilakukan, sehingga
yang bersangkutan sudah mengetahui seluk beluk perbuatan tersebut.
Dalam kebudayaan bangsa Indonesia, orang yang jatuh kedalam
kesalahan dan kegagalan yang sama akan dicap sebagai orang yang hina dan
104 Aristoteles, Nicomachean ethics, Terj. Embun Kenyowati, Bandung; Mizan, 2004,hlm
29
bodoh. Karena dirinya tidak mampu belajar dari pengalaman yang sudah
dialaminya sendiri.
Sepertinya Ibnu Miskawaih percaya bahwa akhlak itu pada
keseluruhannya diperoleh dari pengalaman dan pedidikan. Ia terpengaruh
oleh faktor-faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi masyarakat, adat,
tradisi, sistemnya, dan harapan-harapannya. Ia tidak terpelihara (ma’sum).
Dalam Tahdzib Ibnu Miskawaih mengatakan :
“Setiap karakter dapat berubah. Sedangkan apapun yang berubah
maka sifatnya tidak alami. Karena tidak ada yang bisa merubah
sesuatu yang alami. Tidak ada seorang pun yang bisa membuat batu
yang dilempar agar jatuh ke atas, tidak ke bawah.”105
Sedangkan pendidikan menurut Hasan Langgulung adalah suatu
proses yang bertujuan untuk menciptakan pola tingkah laku tertentu pada
anak-anak atau orang yang sedang dididik.106
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya
pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat
manusia biasa.107
Abuddin Nata berpendapat pendidikan adalah suatu usaha yang
didalamnya ada proses belajar untuk menumbuhkan atau menggali segenap
potensi fisik, psikis, bakat, minat, dan sebagainya yang dimiliki oleh para
manusia.108
Intinya, dalam pendidikan itu ada proses dan tahapan, dimana
membutuhkan waktu dan sistem. Sebenarnya pendapat dalam masalah
105 Ibnu Miskawaih, hlm. 28. 106 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Akhlak, Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru,
2003, hlm. 1. 107 M. Arifin, Filsafat Penddikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hlm. 1. 108 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012,
hlm. 19
pendidikan dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu golongan yang
menggunakan sudut internal, dan golongan yang menggunakan sudut
eksternal. Bagi golongan pertama, menganggap bahwa pengembangan
potensi manusia ditentukan oleh faktor hereditas, yaitu faktor pembawaan
yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang tidak dapat dirubah oleh
lingkungan atau pengajaran dari luar. Gagasan ini diperkenalkan oleh
Sokrates. Misalnya, ia berkata , bahwa; “saya ini bukanlah seorang guru,
melainkan seorang bidan”. Tugas bidan hanya mengeluarkan janin yang
sebenarnya sudah ada dan berbentuk, bukan merubah dan menciptakan
janin. Selanjutnya gagasan sudut internal ini dikembangkan oleh Arthur
Schopenhauer (1788-1860) dengan aliran nativismenya.109
Jika dilihat, UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional juga cenderung mengikuti aliran nativisme ini. Disebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.110
Sedangkan golongan sudut eksternal adalah kebalikan dari golongan
sudut internal dimana mereka menganggap bahwa pengembangan potensi
manusia harus dipelajari dan tidak bersifat kodrati, bawaan sejak lahir.
Diasumsikan proses pendidikan, bahwa peserta didik adalah gelas kosong,
atau kertas putih, atau dapat dibentuk sesuai dengan keinginan orang yang
akan membentuknya. Golongan ini diikuti oleh Aritoteles dan mayoritas
ahli pendidikan modern.111
Terkait dua golongan ini, nampaknya Ibnu Miskawaih berada pada
posisi tengah antara golongan sudut internal dan eksternal, dimana dalam
109 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, hlm. 30 110 www.dikti.go.id/files/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf , di akses pada (15 Januari 2020). 111 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat.., hlm. 32
salah satu penjelasannya ia membagi manusia menjadi tiga golongan, yaitu;
Pertama, golongan yang baik menurut tabi‟atnya. Jika orang baik menurut
tabi‟atnya, maka ia tidak bisa berubah menjadi orang jahat. Kedua,
Manusia yang jahat menurut tabi‟atnya. Mereka akan sulit merubahnya,
karena merupakan bawaan. Kedua golongan ini merupakan hal yang jarang
terjadi. Terjadi tapi mungkin hanya kepada orang-orang tertentu. Yang
Ketiga adalah Golongan yang dapat menjadi baik dan menjadi jahat, hal itu
terjadi karena faktor lingkungan atau faktor pendidikan yang ia terima. Ini
adalah mayoritas dari manusia dan fungsi pendidikan akhlak adalah untuk
membimbing golongan ini.112
Sedangkan pengertian pendidikan akhlak atau pembinaan akhlak,
menurut Ibnu Miskawaih adalah :
“Pendidikan akhlak adalah pendidikan yang difokuskan untuk
mengarahkan tingkah laku manusia agar menjadi baik (sebagaimana
yang akan saya sampaikan)”.113
Point penting dari defenisi pendidikan akhlak menurut Ibnu
Miskawaih adalah mengarahkan tingkah laku manusia. Tingkah laku
manusia menurutnya ada 2 (baik) yaitu baik dan buruk. Tingkah laku yang
baik adalah tingkah laku yang sesuai dengan esensi manusia diciptakan,
karena menurutnya manusia mempunyai kecenderungan untuk menyukai
kebaikan dari pada keburukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan
dalam hadis Nabi saw, yaitu:
“Tidak seorang anak itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah,
maka kedua ibu bapaknyalah yang membuatnya menjadi Yahudi,
atau Nashrani atau bahkan Majusi.”114
Naluri manusia untuk melakukan kebaikan dapat dilihat ketika
orang melihat suatu musibah besar yang menimpa suatu tempat, misal, dala
112 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak...,hlm. 12-13. 113 Ibnu Miskawaih, hlm. 30 114 Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shohih Muslim, Bairut: Daar Ihya alMaktab al-Arabiyah,
jil. 4, 1985, hlm. 2047.
pendidikan akhlak di SDN petir 3 siswa biasanya diminta untuk
memberikan uang takziyah jika ada orang tua temannya yang meninggal
dunia. Maka terlihat semua siswa, baik yang terkenal kebaikannya maupun
yang terkenal keburukannya. Mereka menaruh belas kasihan, ikut berduka,
dan bahkan mencoba mengulurkan tangan membantu dengan pelbagai
upaya. Tetapi Di antara semua orang yang ikut merasa iba, ada sebagian
yang hanya cukup sebatas iba saja, dan sebagian lagi dengan kesadaran
tergugah hatinya untuk ikut menolong.
Relevansi metode pendidikan akhlak Ibn Miskawaih dengan yang
terjadi di SDN Petir 3 masih sangat relavan. Karena Ibn masih banyak
kesamaan yang terjadi antara kedua metode tersebut. Di SDN Petir 3 masih
mengutamakan metode pembiasaan, begitu juga Ibn Miskwaih yang yakin
bahwa akhlak seseorang masih bisa diubah. Melalui pelatihan dan
pembiasaan sehari-hari.
64
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ibnu Miskawaih memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad
bin Ya’qub bin Miskawaih, Abu Ali, seorang pengkaji dan sejarawan. Ada
pula yang memanggilnya hanya dengan Miskawaih (tanpa Ibnu). Ia
dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 932 M/320 H. Menetap di Isfahan
dan meninggal dunia di kota ini pada tahun 421 H/1030 M.
Ia menekuni bidang kimia, filsafat, dan logika untuk masa yang
cukup lama. Banyak penulis berpendapat bahwa Ibnu Miskawaih adalah
seorang Syi'i. Pendapat tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian
besar hidupnya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti
Buwaihi (salah satu kerajaan beraliran Syi'ah yang menggantikan posisi
Daulah Abbasiyah di Irak sekitar abad ke 10 -12 M).
Ibnu Miskawaih sangat tertarik kepada masalah sejarah, filsafat dan
etika. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles.
Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya al-Fauz al-Asghar.
Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa, sejarah dan filsafat, namun ia
lebih populer sebagai filosof akhlak (al-Falsafah al 'Amaliyah), ketimbang
sebagai filosof ketuhanan (al-Falsafah al-Nadzariyyah al-'Amaliyah).
Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah
pendidikan, pengajaran, etika yang utama dan metode-metode yang baik
bagi semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya adalah Tajarih Al-
Umam, Ta’qub Al-Himam, Thaharat Al-Nafs, Adab Al-‘Arab wa Al-
Firs, Al-Fawz Al-Ashgar fi Ushul Al-Dinayat, Al-Fawz Al-Akbar (dalam
bidang etika), Kitab Al-Siasat, Mukhtar Al-Asy’ar, Nadim Al-Farid, Nuzhat
65
Namah ‘Alaiy, Jawidan Khird, Tartib Al-Sa’adat, Al-Adwiyah Al-
Mufridah, Al-Asyribah dan Tahdzîb al-Akhlaq wa Tathîr al-A'raq
Pemikiran Ibnuu Miskawaih sangat dipengaruh oleh filsafat Yunani,
peradaban Pesia, ajaran syariat islam dan pengalaman pribadi. Walaupun
tidak ditemukan satupun yang mebahas secara khusus tentang pendidikan
karakter, namun dalam beberapa karyanya dinilai banyak berhubungan
dengan pendidikan. Ibnuu Miskawaih sendiri mengakui hakikat dan fungsi
dari pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian diri manusia
sehingga terbentuk manusia yang memiliki karakter terpuji.
Pemikiran Ibnu Miskawaih terkait pendidikan, tidak terlepas dari
pemikirannya mengenai manusia dan akhlak. Mengenai konsepnya tentang
manusia, Ibnu Miskawaih memandang bahwa manusia memiliki tiga daya,
yaitu daya bernafsu (an-Nafs al-Bahimiyat), daya berani (an-Nafs al-
Sabu’iyat) dan daya berpikir (an-Nafs al-Natiqah).
Mengenai akhlaq, menurutnya akhlaq merupakan suatu keadaan
jiwa. Keadaan jiwa ini yang membuat manusia berbuat tanpa berpikir atau
dipertimbangkan secara mendalam. Akhlaq dibagi menjadi dua, pertama
barsifat alamiah dan bertolak dari jiwa. Kedua, yang tercipta melalui
kebiasaan dan latihan. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karena
dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus
menerus, menjadi karakter. Kedua watak tersebut menurut Ibnu Miskawaih
pada hakekatnya tidak alami, meskipun kita diciptakan dengan menerima
watak, akan tetapi watak tersebut dapat diusahakan melalui pendidikan dan
pengajaran. Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa pendidikan akhlak
didasarkan atas doktrin jalan tengah. Menurutnya jalan tengah diartikan
sebagai keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah
antara dua ekstrim baik dan buruk yang ada dalam jiwa manusia.
Pendidikan akhlak yang digagas pertama kali oleh Ibnu Miskawaih
memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan, dalam hal ini, Ibnu
66
Miskawaih menekankan pendidikan moral (moral education) bagi
pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan manusia adalah
pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqwîm) harus berbanding
lurus dengan kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan.
Kehidupan manusia bukanlah kehidupan zuhud dan penolakan,
melainkan kompromi dan penyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh
(jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan
kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi menghubungkannya dengan
kenikmatan spiritual dengan etika sebagai kontrolnya. Hal ini cukup relevan
jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita tidak hanya mementingkan
kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan kita harus
mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar
segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk
kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.
Menurut penulis, konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dalam
metodenya masih sangat relevan dan dapat dijadikan acuan untuk
memperbaiki pendidikan etika zaman sekarang. Beberapa hal yang perlu
diterapkan dalam pendidikan sekarang Di antaranya: reorientasi ilmu
pengetahuan, menghidupkan dan mengembangkan tradisi pemikiran dalam
islam, system pendidikan yang terpadu, dan integrasi keilmuan.
B. Saran
Pemikiran konsep pendidikan akhlak Ibnuu Miskawaih ini cukup
relavan dengan dengan konsep pendidikan karakter di Indonesia.
Membangun manusia yang berkarakter islami tidak terlepas dari kajian-
kajian atau penelitian-penelitian para aktivis akademisi dalam menggali
suatu konsep yang digagas para pemikir islam pada masa lampau sehingga
bisa digunakan para era seperti sekarang ini.
67
Berdasarkan simpulan dalam kajian ini dapat disarankan sebagai
berikut :
Pertama, keluarga perlu memberikan perhatian dalam membentuk
karakter anak dimulai dari anak masih dalam kandungan. Para calon orang
tua hendaknya sudah memberikan perhatian dalam menyiapkan karakter
anak dengan menjaga perilaku orang tua mulai dari ucapan, tingkah laku,
makanan yang dikonsumsi ibu berasal dari yang halal dan bergizi serta
pengamalan agama yang lebih baik. Demikian juga ketika anak sudah lahir
para orang tua juga tetap menanamkan nilai-nilai dengan contoh perilaku
orang tua sehari-hari dengan akhlak mulia.
Kedua, sekolah sebagai tempat kedua dari lingkungan keluarga juga
perlu menciptakan kondisi yang lebih baik dalam memberikan
pembentukan karakter peserta didik. Sekolah perlu menciptakan hubungan
yang dengan peserta didik dengan memperlakukan lemah lembut tetapi
tetap dalam kondisi disiplin kepada peserta didik. Sekolah memberikan
dorongan anak untuk tetap berkreasi tanpa ada tekanan dan memberikan
penghargaan bagi peserta didik yang berprestasi sebaliknya bagi peserta
didik yang melanggar tata tertib sekolah perlu dikenakan sanksi yang dapat
memberikan pembelajaran supaya peserta didik mengerti bahwa apa yang
dilakukan tidak benar. Keteladanan guru perlu diciptakan karena gurulah
sebagai tokoh sentral yang setiap saat di sekolah menjadi perhatian peserta
didik sehingga perilaku guru mulai dari ucapan, penampilan selalu terjaga
dalam membentuk karakter peserta didik.
Ketiga, pendidikan karakter perlu juga keterlibatan semua
komponen bangsa dalam hal ini masyarakat dimana lingkungan anak
tersebut berada . Artinya perlu adanya peran dari masyarakat lingkungan,
media masa, dalam membentuk karakter anak sehingga semua komponen
bangsa ikut bertanggung jawab dalam membentuk karakter anak untuk bisa
68
mandiri menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga dan
bangsanya.
Dengan demikian, diharapkan akan terciptanya pendidikan karakter
islami sesuai dengan konsep pendidikan akhlak Ibnuu Miskawaih dan juga
akan tercapainnya tujuan pendidikan islam. Khususnya di Indonesia yang
berbudi luhur ini.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qru’an, (Jakarta: Amzah,
2007)
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2006)
Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al- Misriyayyah,
1974), Juz 11
Amin, Ahmad. Kitab Akhlak,(Cairo: Dar Al-Kutubiyah)
Asmaran. Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), Cet
ke II
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan terjemah, (Semarang : CV. Diponegoro,
2006)
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan terjemah, (Surakarta: Ziyad, 2009)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro,
2004)
Fakhry, Majid. Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1995)
Gholib, Achmad. 2017, Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami,
Jakarta:Berkah FC
Kartono, Kartini. Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung : Mandar Maju,
1992)
Koesoema, Doni. Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global, (Jakarta: Grafindo, 2010)
Lickona, Thomas. Pendidikan Karakter Panduan Mendidik Siswa Menjadi Pintar
dan Baik, (Bandung: Nusa Media, 2008)
Maghfiroh, Muliatul. “Pendidikan Akhlak menurut kitab Tahzib Al-Akhlak karya
Ibnu Miskwaih”, Tadris, Vol. 11 nomor 2, Desember 2016
Magnis Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral, (Yogyakarta : Kanasils, 1987)
Mahmud, Ali Abdul Halim. Tarbiyah al-Khuluqiyyah, (Gema Insani: Jakarta, 2004)
70
Majidi, Busyairi. Konsep Penddikan Islam Para Filosof Muslim, (Yogyakarta : al-
Amin Press, 1997)
Maskawaih, Ibnu. Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, (Beirut : Mansyurah Dar
al- Maktabah al-Hayat, 1398 H), cet.II
Mujib, Abdul dan Mudzakkir, Yusuf. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana
Prenada Media,2010)
Musa, M. Yusuf. Falsafat al-akhlak fi al-Islam, terjemahan, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1963)
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, (Bandung : Mizan, 1999)
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. raja
Grafindo Persada, 2000)
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2012)
Nurhidayat, “Peran dan tantangan pendidikan agama islam di era global”, jurnal
pendidikan agama islam, Vol. 12, No. 1, juni 2015
Pendidikan adalah Senjata untuk Mengubah Dunia, dalam
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/05/21/panglima-tni-pendidikanadalah-
senjata-untuk mengubah-dunia, diakses tanggal 21 Mei 2014 Pukul 21:25 WIB
Philip K, Hitti. History of The Arabic, terj. Arab oleh Edward Jurji, dkk., (Beirut :
Dar al- Fikr, 1952)
Poerbakawatja, Soegarda. Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1981)
Rozi, Fakrur. Model Pendidikan Karakter dan Moralitas Siswa di Sekolah Islam
Modern; Studi pada SMP Pondok Pesantren Selamat Kendal, (Semarang, IAIN
Walisongo, 2012)
Sa’diah, Khalimatus, “Kualitas pembeljaran al-qur’an dengan metode tartila”,
jurnal pendidikan agama islam, Vol. 2, nomor 2, November 2013
Shiddiqui, B.H. Maskawaih on The Purpose of Historiography dalam The Muslim
World, (USA, The Hartford Seminary Foundation, 1971)
Subhi, Ahmad Mahmud. Filsafat Etika ; Tanggapan Kaum Rasionalis dan
Intusionalis Islam, (Jakarta : Serambi, 2001)
71
Syarbini, Amirullah. Buku Pintar Pendidikan Karakter; Panduan Lengkap
Mendidik karakter Anak di Sekolah, Madrasah, dan Rumah, (Jakarta: As@-Prima
Pustaka, 2012)
Syarief, M.M. Para Filosof of Muslim, (Bandung : Mizan, 1998)
Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktifistik,
(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007)
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1,
ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2011)
Wiyani, Novan Ardy. Membumikan Pendidikan Karakter di SD; Konsep, Praktik
dan Strategi, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013)
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : PT Mahmud Yunus Wa
Dzuriyyah, 2007)
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter : Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011)
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Surat Bimbingan Skripsi
73
LAMPIRAN 2 Surat Izin Penelitian
74
LAMPIRAN 3 Surat Keterangan Penelitian
75
LAMPIRAN 4 Surat Uji Referensi
76
77
78
79
80
81