Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

40
KONSEP KERJASAMA KEAMANAN (COOPERATIVE SECURITY ) DALAM RANGKA MENGHADAPI BAHAYA KEAMANAN KOMPREHENSIF (COMPHREHENSIVE SECURITY) DAN KETAHANAN NASIONAL -------------------------------------------------------- Prof. Dr. Muladi, SH (Gubernur Lemhannas RI) Pendahuluan Istilah kerjasama keamanan secara bergantian digunakan sebagai terjemahan dari “security cooperation” atau cooperative security”. Hal ini menjadi sangat populer di kalangan negara-negara ASEAN dengan tekadnya pada tahun 2003 dalam summit meeting di Bali menerima ASEAN Concord II, menggantikan Deklarasi ASEAN Concord I (1976). Untuk membangun pilar ASEAN Security Community”, di mana terkandung tekad agar supaya segala konflik dikelola secara kolektif (managed collectively). Dalam hal ini tercakup apa yang dinamakan “conflict prevention”, “conflict resolution” dan “post conflict peace building”. Dengan istilah “cooperative security” dapat digambarkan adanya penekanan perbedaan dengan pendekatan konvensional seperti “collective defence and collective security”. “Collective defence” menekankan pada pembentukan “military alliances” (defence pact) diarahkan untuk melawan musuh yang bersifat spesifik. Dengan demikian pendekatan yang digunakan adalah bersifat konfrontatif, yang ditujukan untuk mencegah atau menghalangi serangan musuh dengan cara memelihara kemampuan militer untuk melancarkan serangan balik. 1

Transcript of Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Page 1: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

KONSEP KERJASAMA KEAMANAN(COOPERATIVE SECURITY )

DALAM RANGKA MENGHADAPIBAHAYA KEAMANAN KOMPREHENSIF

(COMPHREHENSIVE SECURITY)DAN KETAHANAN NASIONAL

--------------------------------------------------------Prof. Dr. Muladi, SH

(Gubernur Lemhannas RI)

Pendahuluan

Istilah kerjasama keamanan secara bergantian digunakan sebagai

terjemahan dari “security cooperation” atau “cooperative security”. Hal ini

menjadi sangat populer di kalangan negara-negara ASEAN dengan tekadnya

pada tahun 2003 dalam summit meeting di Bali menerima ASEAN Concord

II, menggantikan Deklarasi ASEAN Concord I (1976). Untuk membangun

pilar “ASEAN Security Community”, di mana terkandung tekad agar supaya

segala konflik dikelola secara kolektif (managed collectively). Dalam hal ini

tercakup apa yang dinamakan “conflict prevention”, “conflict resolution” dan

“post conflict peace building”.

Dengan istilah “cooperative security” dapat digambarkan adanya

penekanan perbedaan dengan pendekatan konvensional seperti “collective

defence and collective security”. “Collective defence” menekankan pada

pembentukan “military alliances” (defence pact) diarahkan untuk melawan

musuh yang bersifat spesifik. Dengan demikian pendekatan yang digunakan

adalah bersifat konfrontatif, yang ditujukan untuk mencegah atau

menghalangi serangan musuh dengan cara memelihara kemampuan militer

untuk melancarkan serangan balik.

Sebaliknya pengertian “cooperative security” mendorong negara-negara

untuk melakukan suatu pendekatan kerjasama dan bertujuan membangun

usaha-usaha multilateral tanpa beranggapan adanya hubungan antara

teman-musuh. Dengan demikian merupakan usaha untuk mencapai “security

with others”, sedangkan “collective defence” merupakan suatu usaha untuk

memelihara prinsip “security against enemy”. Selanjutnya tujuan “collective

security” adalah mematahkan agresi melalui pemeliharaan kekuatan militer

untuk menghukum agresor. Di dalam kerangka “collective security “ ini, asas

1

Page 2: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

“one for all, all for one” diterapkan. Agresi terhadap salah satu anggota

dianggap sebagai suatu serangan terhadap seluruhnya, sehingga semua

anggota dapat menghukum agresor.

Sebaliknya “cooperative security” pada hakikatnya bersifat “non-

militeristic”. Dalam kerangka kerjasama ini semua peserta bekerjasama

untuk meningkatkan stabilitas suatu kawasan, yang sangat didambakan oleh

semua anggota. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah “all for all”.

Hal ini sangat menjiwai makna security community yang memungkinkan

para anggotanya untuk mengembangkan rasa “We-ness” atau “We -feeling”

dan ada suatu jaminan bahwa mereka tidak akan berkelahi secara fisik satu

sama lain dan akan menyelesaikan segala perselisihannya dengan cara lain

(Deutchan security community). Cara lain adalah cara damai.

Bagi Indonesia konsep “cooperative security” sangat tepat sehubungan

politik bebas aktif yang dianut oleh Indonesia dan berkaitan pula dengan

salah satu tujuan nasional yakni “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Kadang-kadang hal ini bersifat ironis, mengingat di sekitar kita terdapat

semacam “collective defence” yaitu FPDA (The Five Power Defence

Arrangements) antara Australia, New Zealand, The United Kingdom, Malaysia

dan Singapura (sejak 1971) pasca konfrontasi Indonsia –Malaysia ( 1963-

1966), sekalipun bentuknya sebagia forum konsultasi. Seorang penulis

mnyebutknnya sebagai “unobtrusive alliance” (aliansi rendah hati).

Indonesia sepenuhnya tidak mengkhawatirkan hal ini, karena

perdamaian dan keamanan internasional dilindungi oleh norma, nilai dan

standard badan-badan internnasional seperti PBB dengan UN Charternya

serta berfungsinya Dewan Keamanan PBB, di samping kesepakatan-

kesepakatan baik multilateral, bilateral maupun regional.

Bahkan ada berita positif (Ban Ki-Moon : “the historic agreement in the a

new age of accountability, replacing the old era of impunity”) yang datang dari

Kampala, Uganda (14 Juni 2010), di mana ICC Review Conference (The

Assembly of State Parties of Rome Statute of ICC) setelah 2 minggu

melakukan perdebatan telah mendefinisikan dengan baik salah satu

yurisdiksi materi yang tertera di dalam Statuta Roma 1998 tentang apa yang

dinamakan “the crime of aggression” (di samping yang sudah baku seperti

2

Page 3: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

genosida, kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan perang) yang dapat

diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).

Karena alasan prosedural, perjuangan bertahun-tahun tersebut akan mulai

berlaku tahun 2017. Definisi agresi yang disepakati adalah :

“the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a position effectively to exercise control over or to direct the political or military action of a State, of an act of aggression which, by its character, gravity and scale, constitutes a manifest violation of the Charter of the United Nations”. Dalam kerangka ini blockade pelabuhan dan pantai dari suatu Negara

oleh angkatan bersenjata Negara lain, termasuk suatu invasi atau serangan

oleh tentara suatu Negara ke dalam wilayah Negara lain, merupakan

perbuatan agresi di bawah statute tersebut.

Namun demikian pilihan untuk memperkuat sistem pertahanan nasional

yang didukung oleh substasi, struktur dan kultur yang solid serta keberadaan

alutista yang didukung oleh industri strategis yang kuat merupakan pilihan

yang tidak dapat dihindarkan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia serta

menimbulkan efek deterrent.

Ada yang berpendapat bahwa lingkungan ASEAN yang penuh konflik

memang sulit untuk menerapkan spirit “security community” tersebut. Tetapi

yang jelas hampir tidak ada konflik bersenjata/perang antar negara ASEAN.

Dalam hal ini proses konsultasi dan dialog melalui diplomasi selalu didorong

oleh perasaan kepentingan dan nilai bersama (contoh antara Thailand dan

Kamboja, Indonesia dan Malaysia).

Di kalangan ASEAN dikenal istilah “the ASEAN Way” yang norma-

normanya menekankan betapa pentingnya kedaulatan dan otonomi atas

dasar prinsip “non-interference” di dalam masalah dalam negerinya masing-

masing dan segala keputusan diperoleh melalui konsensus. Secara luas hal

ini dirumuskan dalam Chapter I (Purposes and Principles Asean Charter).

Asean Security Community tersebut kemudian menjadi semakin kuat

dengan adanya ASEAN Charter yang diharapkan dapat memberikan andil

terhadap baik di kawasan ASEAN maupun Asia Timur.

3

Page 4: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Dalam perkembangannya baik ASEAN maupun ASEAN + 3 (ASEAN +

China, Jepang dan Korsel) yang semula lebih menekankan pada kerjasama

ekonomi dan keuangan, beberapa tahun terakhir sangat aktif berbicara

tentang keamanan komprehensif, termasuk apa yang dinamakan kerjasama

di bidang issue-issue keamanan non- tradisional seperti terorisme global, dan

keamanan maritim, termasuk issue-issue sosial seperti kemiskinan dan

kesetaraan gender.

Yang menarik adalah terjadinya East Asian Summit (EAS) pada tgl. 14

Desember 2005 di Kuala Lumpur yang dihadiri negara-negara ASEAN, ,

China, India, Jepang, Korea Selatan, , Australia dan New Zealand, sedang

Russia mengirimkan peninjau. Hal ini bersaing dengan East Asian Community

(EAC) yang hanya terdiri atas ASEAN 10 + 3 yang banyak didominasi China,

bersifat tertutup dan eksklusif, sedangkan EAS bersifat inklusif dan telah

merobah arsitektur keamanan Asia. Hal ini melengkapi ARF (Asean Regional

Forum) yang mempromosikan perdamaian dan keamanan di Asia Pasifik

melalui dialog dan kerjasama dan APEC (Asia Pacific Economi Cooperation)

yang juga membahas tentang issue-issue keamanan non-tradisional seperti

counter terrorisme dan penyakit menular serta keamanan maritim , energi dan

lingkungan dan lebih luas dimana AS juga berperanan di dalamnya. AS

mempertimbangkannya keduanya sebagai instrumen diplomatik terhadap

sistem aliansi militer bilateral, khususnya dengan Jepang.

Keamanan Komprehensif

Istilah “comphrehensive security” yang juga muncul dalam Bali Concord

II (2003), semakin populer (burning issue) seiring dengan berakhirnya Perang

Dingin sekitar tahun 1988, yang berseberangan dengan harapan masyarakat

dunia yang mengharapkan dengan penuh optimisme munculnya perdamaian

abadi, baik internal maupun antar negara, berkurangnya kekerasan dan

tegaknya ketertiban dunia di bawah kendali PBB.

Namun yang terjadi pada tahun 1990-an justru menimbulkan

pertanyaan, karena yang muncul adalah kekerasan yang dilakukan oleh “non-

state actors” seperti perang saudara, pelanggaran HAM berat seperti

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, konflik berdasar identitas,

pemanasan bumi (global warming) yang menyebabkan perubahan iklim

4

Page 5: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

(climate change) yang membahayakan umat manusia akibat ulah manusia

(man made), terorisme yang dipicu oleh frustasi akibat perasaan-perasaan

kasenjangan sosial ekonomi, ketidakadilan, “xenophobia”, ketidakamanan

akibat globalisasi yang dirasakan sebagai “corporate globalism” yang

menimbulkan “global injustice” (kaji pula peristiwa krisis ekonomi global

sebagai dampak krisis di Amerika Serikat sebagai center of gravity),

separasi politik, tuntutan solidaritas agama yang sempit, yang dimanipulasi

oleh kaum ekstremis, fanatik, fundamentalis dan kelompok radikalis. (Muladi,

2006).

Dalam perkembangannya istilah “comphrehensive security” pada

dasarnya merupakan “re-organized security concept” yang “goes beyond

(but does not exclude) the military to embrace the political, economic and

sociocultural dimensions”. (Alagappa, 1998). Oleh Council for Security

Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP) “comphrehensive security”

didefinisikan sebagai “the pursuit of sustainable security in all fields (personal,

political. economic, social, cultural, military, environmental) in both the

domestic and external spheres, essentially through cooperative means”.

(CSCAP, 1995).

Secara tradisional, keamanan telah didefinisikan dalam kerangka geo-

politik, yang mencakup pelbagai aspek seperti “deterrence, power balancing

and military strategy” yang cenderung melekat pada “nation’s security”,

hubungan antar negara dan kekuatan militer. Hal ini selama beberapa waktu

merefleksikan “intellectual myopia” atau “intellectal straitjacket”. (Tan and

Boutin, 2001)

Konsep keamanan komprehensif tersebut mempromosikan apa yang

dinamakan “human security” untuk menggantikan kerangka pemikiran yang

berorientasi pada “state-centrism”, yang sama sekali meninggalkan ruang

lingkup pengertian keamanan simetrik, untuk merefleksikan ketidakamanan

yang biasa dihadapi oleh manusia baik individual, kelompok atau masyarakat

yang bersifat kronis dan kompleks dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan

sehari-hari seperti persoalan makanan, tempat berteduh, lapangan kerja,

kesehatan, keamanan umum, dan HAM, jauh dari kaitannya dengan

hubungan dengan negara lain dan kekuatan militer.

5

Page 6: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Doktrin Jepang tentang “human security” dilandasi oleh premis bahwa

keamanan nasional tidak hanya berkaitan dengan keamanan yang bersifat

militer (military security) untuk mempertahankan suatu bangsa dari ancaman

dari luar, tetapi juga “human security” untuk mempertahankan bangsa dari

ancaman dari dalam , karena stabilitas nasional tergantung pada kondisi

dimana manusia individual mempunyai dan merasakan “food security;

employment security; social security (education, health and old age pension);

energy security;informatiobn security (acces to transport and communication).

(Rana, 2008 , p.3).

Canada mensikapi pemikiran tentang keamanan komprehensif lebih

luas lagi dan mencakup “individual human rights as an integral part of

international law and diplomacy”. Dengan demikian terkait di sini “rights and

duties” dari negara-negara untuk mengikuti Preamble Piagam PBB (UN

Charter) yang menyatakan bahwa “ We the peoples of the UN------------------“.

Jadi bukan “states atau governments” yang ditekankan untuk menjaga

perdamaian dan harmoni internasional. Gangguan terhadap kualitas

kehidupan akan menyebabkan “human insecurity” dan ujung-ujungnya akan

mengancam perdamaian dunia, sebab dalam kerangka globalisasi yang

menumbuhkan “international society”, aktor-aktor non-negara (non-state

actors) memainkan peranan penting di dalam perdamaian dan kemajuan

dunia.

UN Development Programme (Report 1994) menggambarkan bahwa

“human security” mencakup “safety from chronic threats such as hunger,

disease, and repression, as well as protection from sudden and harmful

disruptions in the pattern of daily life”. Semua dalam kerangka “freedom from

want and freedom from fear” bagi semua orang yang mencakup tujuh area

yaitu : keamanan ekonomi, makanan, kesehatan, lingkungan hidup, personal,

masyarakat dan keamanan politik.

Konsep keamanan komprehensif sangat valid di Era pasca perang

dingin 1990-an , karena di era globalisasi saat ini tidak ada sesuatu negara

yang secara sendirian mampu mengendalikan, mengkoordinasikan

kepentingan nasionalnya melalui diplomasi tradisional, yang mengandalkan

penggunaan kekuatan untuk ditaati, karena dalam hal ini yang terlibat politik

internasional tidak hanya negara tetapi juga aktor-aktor non-negara .

6

Page 7: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Ditambah lagi bahaya yang ditimbulkan oleh “the failed states” (Failed states

can no longer perform basic functions such as education, security, or

governance, usually due to fractious violence or extreme poverty. –Global

Policy Forum, 2008), yang sangat rentan, lemah, dan berada dalam konflik

atau krisis yang pemerintahan pusatnya sangat lemah atau tidak effektif,

tidak dapat mengawasi dan mengendalikan wilayahnya serta sangat

membahayakan keamanan regional dan global.

Selanjutnya muncul istilah “Roque States” (Noam Chomsky, 2000) yang

menggambarkan suatu Negara yang memerintah atas dasar kekerasan (the

Rule of Force), tidak taat dan tidak merasan terikat kepada norma-norma

hukum internasional (UN Charter, pelbagai konvensi internasional, putusan

International Court of Justice), sering pula disebut sebagai “outlaw nation”

atau “criminal state” yang membahayakan negara tetangga dan dunia

internasional.

Untuk itu muncullah pelbagai pemikiran untuk mengembangkan

kerjasama keamanan regional atau internasional seperti “ASEAN Security

Community” di bawah ASEAN Charter (ART.1.8. “ To respond effectively, in

accordance with the principle of comphrehensive security, to all forms of

threat, transnational crimes,and transboundary challenges”), kemudian

Lombok Treaty (2007) antara Indonesia dan Australia (2007). Hal ini

merupakan ‘legal basis’ pengakuan atas integritas teritorial masing-masing,

yang mengatur kerjasama sebagai berikut :

a. Defence cooperation;

b. Law enforcement cooperation (in preventing and combating

transnational crimes, in particular related to : people smuggling and

trafficking in persons; money laundering; financing terrorism;

corruption; illegal fishing; cyber crimes, illicit trafficking in narcotics

drugs and psychotropic substances and its precursors; illicit

trafficking in arms, ammunition, explosives and other dangerous

materials and the illegal production thereof; and other types of crime

if deemed necessary by both parties);).

c. Counter-terrorism cooperation;

d. Intelligence cooperation;

e. Maritime security;

7

Page 8: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

f. Aviation safety and security;

g. Proliferation of weapon of mass destruction;

h. Emergency cooperation;

i. Community understanding and people to people cooperation.

SAARC (1985) (South Asian Association for Regional Cooperation)

terdiri atas : India, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, Bhutan, Pakistan,

Bangladesh, Nepal, Afganistan. Akan menusul Korea Selatan, Iran, Myanmar,

Russia.

Catatan :

Baru-baru ini di Indonesia melalui Perpres No. 46/2010, tgl. 16 Juli 2010

telah dibentuk Badan Nasional Penggulangan Terorisme (BNPT), mengingat

terorisme merupakan bahaya latent, untuk menggantikan Desk Anti Terorism

di lingkungan Menko Polhukam.

Hal-hal yang ditekankan dalam kerjasama keamanan adalah :

1) Penghormatan terhadap kedaulatan, kemerdekaan dan integritas

teritorial;

2) Tanggungjawab kolektif untuk memperkokoh perdamaian, keamanan

dan kesejahteraan;

3) Penolakan agresi;

4) prinsip non-interference dalam masalah internal;

5) mengembangkan konsultasi;

6) penolakan kekerasan;

7) pengembangan terhadap kebenaran dan rekonsiliasi;

8) penolakan blokade ekonomi dan boikot serta ancaman penggunaan

kekuatan;

9) batas nasional yang tak boleh diganggu gugat;

10) penghormatan terhadap HAM , perbedaan kultur, bahsa dan agama

serta warisan peradaban;

11) ketentuan tentang “human security” untuk semua;

12) penyelesaian perselisihan secara damai;

13) saling membantu dalam mengatasi bencana alam;

14) perhatian atas keluhan atas rasa takut atau khawatir;

15) terbuka, komprehensif dan berorientsi ke depan;

8

Page 9: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

16) menghargaiPiagam PBB, hukum internasional; good governance,

demokrasi dan konstitusi;

17) menghargai pluralisme budaya, sosial dan agama dan

keanekaragaman;

18) perlakuan khusus terhadap negara-negara yang belum berkembang;

19) pengembangan “people to people contact”;

Di samping itu kerjasama pertahanan dan atau keamanan juga

dilakukan dengan pelbagai negara seperti dengan India, Korea Selatan,

China, Amerika Serikat dll. al. untuk memajukan industry strategis dan latihan

bersama serta pendidikan.

Dengan Korea Selatan kerjasama sangat maju dalm bentuk “Joint

Defence Logistics and Industrial Committee” yang telah membangun kapal

“landing plattform dock” bersama PT PAL, overhaul kapal selam, pembuatan

panser kanon dan rencana membangun Korean Fighter (KF-X).

Istilah keamanan komprehensif ini dalam perkembangannya dikaitkan

dengan “non-traditional security” (NTS) atau “non-military security threat”

atau “non-conventional security threat” atau “asymetric security threat”.

Digunakannya istilah “security” dalam hal ini dimaksudkan agar masalahnya

memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari negara-negara di dunia, karena

potensi viktimisasi yang ditimbulkannya terhadap umat manusia sangat besar.

Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada 50 tahun terakhir dalam

kerangka proses globalisasi, pertumbuhan dinamis masyarakat dunia luar

biasa, yang diwarnai oleh pelbagai inovasi di segala bidang. Namun demikian

kita juga tidak buta terhadap kenyataan, bahwa terutama sejak krisis ekonomi

di Asia orang juga disadarkan oleh keterbukaan dan interdependensi serta

sifat transnasional dari hal-hal yang bersifat mencederai tidak hanya negara,

tetapi juga “human security”. Contoh terakhir adalah krisis ekonomi global

yang melanda dunia, akibat perilaku korporasi multi nasional di Amerika

Serikat yang berperilaku jauh dari etika bisnis.

Kejadian terakhir di Indonesia yang menjurus terrorisme yang diarahkan

untuk mencederai symbol-simbol Negara oleh kelompok radikalis dapat

dikatakan merupakan sinergi (hybrid) antra ancaman yang simetrik dan

asimetrik.

9

Page 10: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Kita sadar bahwa masalah keamanan selalu didominasi oleh

keprihatinan tradisional seperti kedaulatan, kemerdekaan politik dan militer

serta pertahanan sampai dengan keamanan regional.

Meskipun demikian kenyataan yang terjadi adalah munculnya

tantangan-tantangan baru seperti ancaman kesehatan (penyakit infeksi

menular seperti SARS, flu burung dll), pengangguran, kemiskinan, krisis

ekonomi, bencana alam (tsunami) , degradasi lingkungan hidup, migrasi

manusia yang tidak tertib, kompetisi untuk memperoleh sumberdaya alam,

kejahatan transnasional terorganisasi, perdagangan illegal narkoba,

terorisme dan saling ketergantungan ekonomi, yang sangat berbahaya baik

bagi negara maupun umat manusia.

Hal ini sama sekali telah merobah pandangan manusia, bahwa ancaman

bahaya keamanan tidak hanya bersumber pada hal-hal yang bersentuhan

dengan terminologi geopolitik, yang meliputi “deterrence, power balancing

and military strategy” yang berkaitan dengan pertahanan dari serangan

militer dari luar saja, yang sebelumnya merupakan fokus eksklusif dari

kebijakan keamanan. Dengan demikian pengertian keamanan dalam arti

sempit (narrow definition of security) mulai dipertanyakan dan seharusnya

juga mencakup ancaman keamanan yang non- militer.

Human security konsep menyadarkan kita bahwa apa yang dinamakan

“people centered view of security” sangat penting untuk diperhatikan dalam

rangka terciptanya stabilitas baik secara nasional, regional maupun global.

Suatu konsorsium baru yaitu Consortium on Non-Traditional Security Studies

in Asia mendefinisikan NTS sebagai “challenges to the survival and well-

being of peoples and states that arise primarily out of non military sources,

such as climate change, resource scarcity, infectous deseases (SARS,

pandemi avian flu), natural disasters, irregular migration, famine, people

smuggling, drug trafficking and transnational crime”. Krisis finansial 1997-

1998, bencana asap, terorisme, TOC, bancana alam (tsunami) termasuk di

dalam ruang lingkup NTS.

Bahaya terhadap keamanan non-tradisional pada dasarnya cenderung

bersifat transnasional, yang penanggulangannya harus didasarkan atas

kerjasama antar negara dan bahaya ini mencakup 3 (tiga) kategori :

10

Page 11: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Bahaya alam (nature threat) seperti bahaya penyakit infeksi menular

misalnya virus HIV/AIDS, SARS, H5NI, bencana alam, “climate change/global

warming” karena ulah umat manusia yang meningkatkan emisi gas rumah

kaca secara tidak terkendali, dalam proses industrialisasi (karbondioksida)

dan deforestisasi;

Bahaya terhadap ekonomi dan pembangunan (economic and

development threat) seperti dampak negatif globalisasi (the worldwide

phenomenon of technological, economic, political, and cultural exchanges,

brought about by modern communication, transportation and legal

infrastructure as well as the political choise to consciously open cross border

links in international trade and finance) yang cenderung menguntungkan

nmegara-negara maju dengan mengesampingkan solidaritas sosial,

demokrasi, egalitarianisme, ham ; urbanisasi; peledakan penduduk;

kemiskinan; penganggguran; krisis ekonomi; degradasi lingkungan; krisis

energi; dan

Bahaya sosial dan politik (social and political threat) yang mencakup

konflik etnik, agama dan budaya, terorisme, kultur militerisme, kejahatan

terorganisasi, bahaya narkoba, ketidaksetaraan gender, perompakan di laut,

“illegal fishing, illegal logging dan illgal mining”, penyelundupan; ekstrimisme,

migran gelap, perdagangan manusia (termasuk perdagangan organ tubuh),

gerakan separatis, radikalisme dan sebagainya. (Feng, 2007).

Khusus tentang “global warming and climate change”, masalahnya

sangat aktual, sebab pelbagai bencana alam yang ditimbulkannya seperti

meningkatnya gelombang panas, peningkatan curah hujan yang

menimbulkan banjir, peningkatan badai tropis, cuaca buruk, pengurangan

salju dan gletzer, munculnya penyakit-penyakit endemi, kenaikan air laut,

peningkatan suhu di permukaan bumi dan sebagainya, disamping faktor

alam juga karena ulah manusia yang tidak terkendali di bidang industri,

kendaraan bermotor, deforestasi, , pertanian, manufaktur, dll, yang

mengakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir

(CO, CH4, N2 dll). Dengan demikian sangat dibutuhkan kerjasama antar

negara baik antar negara maju (emission trading, joint implementation)

maupun antara nergara maju dengan negara berkembang (clean

11

Page 12: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

development mechanism) untuk melakukan langkah-langkah mitigasi

(memperlambat) maupun adaptasi (menyesuaikan diri) terhadap perobahan

iklim (climate change) tersebut (Muladi, 2008).

Dalam beberapa hal bahaya terhadap keamanan non-tradisional

menimbulkan kondisai “overlap” di mana “soft security” berinteraksi dan

bersinergi dengan “hard security” yang menimbulkan dilemma terhadap

keterlibatan militer dalam suasana demokrasi, mengingat hal ini cenderung

bisa mencederai kedaulatan negara dan bahaya terhadap masyarakat

sekaligus. Contohnya adalah terorisme, perompakan di laut dan

ekastremisme serta keberadaan kelompok bersenjata transnasional. Terkait

di sini apa yang dinamakan dalam kehidupan militer sebagai “military

operation other than war”.(vide UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 2 butir b).

Kofi A. Annan pada laporannya semasa menjabat Sekretaris Jenderal

PBB mengidentifikasi adanya 6 kelompok ancaman atau bahaya bersama

(six clusters of threats) yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia yaitu

ancaman sosial ekonomi berupa kemiskinan, penyakit menular dan degradasi

lingkungan; konflik antar negara, konflik internal negara termasuk perang

saudara, genosida dan kekejaman berskala besar lainnya; senjata nuklir,

radiologi, kimia dan biologi; terorisme dan kejahatan lintas negara

terorganisasi (TOC). (Annan, 2005).

Dari sini nampak bahwa bahaya bersama terhadap keamanan manusia

di masa depan akan bersifat dua dimensi, yaitu bahaya keamanan yang

tradisional (konflik antar negara) yang masih ada seperti konflik China-

Taiwan, Korea Utara-Korea Selatan, India-Pakistan dll. dan bahaya

keamanan non -tradisional di atas.

Sehubungan dengan ini “South African White Paper on Defence”

mendefinisikan keamanan (security) sebagai :

“an all-encompassing condition in which individual citizens live in freedom, peace and safety; participate fully in the process of governance; enjoy the protection of fundamental rights; have access to resources and the basic neccecities of life; and inhabit an environmental which is not detrimental to their health and well-being” (Len le Roux, 1999).

Selanjutnya dikatakan bahwa di tingkat nasional tujuan kebijakan

keamanan (security policy) mencakup konsolidasi demokrasi, pencapaian

12

Page 13: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

keadilan sosial, pembangunan ekonomi, dan suatu lingkungan hidup yang

aman; pengurangan signifikan tingkat kejahatan, kekerasan, instabilitas

politik. Stabilitas dan pembangunan saling memperkuat satu sama lain

(mutually reinforcing) dan berkaitan satu sama lain (inextricbly linked). Di

tingkat internasional tujuan kebijakan keamanan mencakup usaha untuk

mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial dan kemerdekaan politik,

dan promosi keamanan regional.

Dengan demikian dapat difahami bahwa di dalam kerjasama keamanan

(security cooperation) antara Indonesia dan Australia (Lombok Treaty, 2008)

yang baru-baru ini disetujui oleh kedua negara, mencakup tidak hanya

“defence cooperation” yang bersentuhan dengan angkatan bersenjata (armed

forces) kedua negara , tetapi juga mencakup “law enforcement cooperation”

dalam rangka penanggulangan kejahatan transnasional (people smuggling

and trafficking in persons, money laundering, financing of terrorism,

corruption, illegal fishing, cyber crimes, illicit trafficking in narcotics drugs and

psychotropic substances and its precusors, illicit trafficking in arms,

ammunition, explosives and other dangerous materials and the illegal

production thereof; and other types of crime if deemed necessary by both

Parties) dan “counter-terrorism cooperation” dan lain-lain. Dalam hal ini

keamanan harus ditafsirkan sebagaqi “comphrehensive security” , yang

mencakup pula “non military security”.

Dalam hal ini sebagai referensi dapat dikemukakan pula kebijakan

keamanan komprehensif Canada yang mencakup elemen militer dan non-

militer (national soft power) yang dirumuskan sebagai “The Five D’s of

Security”yang mencakup :

Development – Measures to create the kind of economic, social, and

environmental conditions that are conducive to sustainable peace

and stability;

Democracy – Measures to promote good governance that emphasize

political inclusiveness and participatrion, as well as respect for human

rights;

Disarmament – Measures to prevent excessive and destabilizing

accumulations of arms and to prohibit weapons of mass destruction;

13

Page 14: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Diplomacy – Engagement in multilateral efforts toward the prevention

of armed conflict, the peaceful management of political conflict, the

development of a rules-based international order, and the promotion

of development, democracy and disarmament;

Defence – The capacity to resort to the use of force in extraordinary

circumstancew in support of the full range of peace and security

efforts; (Regehr, 2005)

Pendekatan Dikotomis

a. Referent : Keamanan Tradisional (KT) melindungi batas-batas negara,

rakyat, lembaga dan nilai-nilai yang berkaitan dengan negara;

Keamanan Non-Tradisional (KNT) melindungi kesejahteraan umat

manusia ;

b. Ruang Lingkup (Scope) : KT berusaha mempertahankan integritas

dan wilayah negara dari serangan agresi eksternal (deter or defeat);

KNT juga berusaha memperluas ruang lingkup untuk melindungi dari

ancaman yang lebih luas jangkauannya termasuk lingkungan, polusi,

penyakit menular dan deprevasi atau kerugian ekonomi;

c.Aktor : KT menampakkan adanya peran negara dan pemerintah

sebagai aktor tunggal dalam pengambilan keputusan untuk menjamin

daya survival; KNT melibatkan tidak hanya pemerintah dan negara,

tetapi tetapi juga partisipasi dari aktor lain yaitu organisasi regional,

internasional dan NGO termasuk komunitas lokal;

d. Sarana (means) : KT menyandarkan diri kepada pembangunan

kekuatan nasional atau militer yang berakibat perlombaan senjata dan

aliansi militer; KNT tidak hanya melindungi, tetapi juga

memberdayakan masyarakat sebagai sarana keamanan.

14

Page 15: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Kecenderungan Global (Global Trends) 2015

Suatu dialog tentang masa depan yang dilakukan oleh National

Intelligence Council (NIC) , suatu lembaga studi strategis di lingkungan US

Intelligence Community menggambarkan beberapa kecenderungan menonjol,

yang pada dasarnya mengandung “drivers” bagi munculnya bahaya non-

tradisional yang antara lain adalah sebagai berikut :

Peledakan penduduk terutama di negara-negara berkembang akibat

meningkatnya harapan hidup karena kemajuan teknologi kesehatan

dan menurunnya angka kematian bayi serta tidak effektifnya keluarga

berencana akan meningkatkan arus urbanisasi serta mengalirnya

imigran gelap lintas negara ke negara-negara maju, yang memicu

instabilitas dan ketegangan sosial dan politik;

Permintaan terhadap kebutuhan air dan energi semakin meningkat,

khususnya di negara-negara industri, yang cenderung menimbulkan

ketegangan politik internasional;

Perkembangan IPTEK yang maju pesat di bidang-bidang IT,

bioteknologi, dan nanoteknologi, yang dapat memicu pula terjadinya

perkembangan pesat terhadap senjata-senjata pemusnah masal

(WMD), termasuk kemungkinan pemanfaatannya oleh para teroris dan

penjahat transnasional terorganisasi (weapon proliferators,

narcotictrafickers) serta negara-negara yang tidak stabil (fail state,

rogue states) yang dapat membahayakan keamanan dunia; Dalam hal

ini ada istilah “cyber-warfare” dalam bentuk perang informasi yang

bersifat offensivwe dengan target sistem komputer yang potensial

sangat berbahaya mulai dari telekomunikasi, keamanan dan

perbankan atau sering disebut “digital Pearl Harbor”;

Issue pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan akan tetap

menjadi fokus negara-negara di dunia untuk mengatasinya melalui

mitigasi dan adaptasi, disertai usaha untuk mengembangkan

alternative –energy ;

Perkembangan ekonomi global terjadi dan dipicu oleh arus cepat dan

tidak terbatas atas informasi, ide, nilai-nilai kultural,modal, barang dan

jasa, serta manusia. Hal ini di samping menguntungkan negara-negara

maju, juga akan menimbulkan permasalahan besar di lingkungan

15

Page 16: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

regional, negara-negara, kelompok yang merasa ketinggalan (tidak

mampu, tidak effektif) , dengan akibat stagnasi ekonomi, instabilitas

politik, dan keterasingan budaya. Hal ini akan menggerakkan

ekstrimisme politik, ethnik, ,ideologi dan agama, yang tidak jarang

disertai dengan kekerasan yang menimbulkan konflik baik di dalam

negeri maupun di luar negeri;

Di dalam “national dan international governance” peranan negara

akan tetap dominan, tetapi sulit mengawasi dan mengendalikan arus

informasi, teknologi, penyakit menular, migran, senjata, dan transaksi

finansial, baik yang sah maupun tidak sah serta lintas batas negara.

Dalam hal ini peranan “non-state actors” sangat besar, baik berupa

“for-profit sector” seperti MNC; “non-profit sector or organizations” di

bidang-bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial serta

proyek kemanusiaan lainnya, melalui pelayanan informasi, dan

keahlian, advokasi kebijakan serta bergerak melalui organisasi

internasional; maupun dalam bentuk “traditional communal groups”,

baik keagamaan mupun ethnik yang bergerak di bidang HAM,

lingkungan hidup, sosial dan sebagainya.

Negara-negara adikuasa, khususnya AS akan menghadapi 3 (tiga)

jenis ancaman :

(1) “asymmetric threats” di mana negara-negara dan aktor-aktor

non-negara yang bermusuhan akan menghindari konflik

langsung secara militer, tetapi mengembangkan strategi, taktik,

dan persenjataan modern, untuk memperkecil kekuatan AS dan

mengeksploitasi kelemahannya;(the fourth generation of war);

(2) Penggunaan senjata-senjata pemusnah masal (WMD) termasuk

senjata nuklir (peluru kendali) oleh Russia, China, Korut, Iran,

yang dapat menyerang AS dan secara potensial terjadi

penyebarluasan secara inkonvensional WMD (nuklir, biologi,

kimia) baik oleh negara-negara atau aktor non-negara;

(3) Ancaman militer regional dimana beberapa negara memelihara

kekuatan militer besar dengan menggabungkan konsep-konsep

dan teknologi Perang Dingin dan Pasca Perang Dingin;

16

Page 17: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

AS akan tetap merupakan pemegang hegemoni kekuatan utama

dalam masyarakat dunia baik di bidang ekonomi, teknologi, militer dan

diplomasi, sehingga akan mendapat menfaat besar dari proses

globalisasi yang sangat intensif. (NIC, 2000).

Pergeseran Hakekat Lingkungan Keamanan Abad 21

Selama kurang lebih 15 tahun terakhir masyarakat di dunia menjadi

saksi terjadinya 3 hal yang berkaitan satu sama lain, yaitu : berakhirnya

Perang Dingin; keruntuhan Marxisme-Leninisme sebagai suatu ideologi

revolusioner di dunia; dan bangkitnya suatu lingkungan keamanan dunia

yang baru. Lingkungan strategis telah mengalami suatu transformasi dari

apa yang oleh John Lewis Gaddis dikatakan sebagai the “Long Peace’of the

20 century Cold War” ke arah suatu situasi yang oleh US Pentagon

digambarkan sebagai a “Long War’ against the diffuse of an Islamist

insurgency”.(Evans, 2007).

Selama Perang Dingin (Long Peace) abad 20 terjadi banyak perang

regional mulai dari Korea terus ke Vienam dan selanjutnya Afganistan, tetapi

stabilitas struktural tidak pernah goyah sebab tidak terjadi perang utama

antara dua kekuatan besar. Digambarkan bahwa persiapan perang memang

terjadi antara Pakta Pertahanan NATO dan Pakta Warsawa, yang

digambarkan sebagai suatu “symphony orchestra” yang megah dengan

tahapan (lembaran musik) yang bisa diperkirakan dan dimengerti dengan

baik oleh masing-masing musisi. Saat ini dalam suasana “Long War “ abad

21 persiapan konflik bersenjata menyerupai musik jazz (jazz playing), dengan

segala improvisasinya dan akan sulit diramalkan bentuk musik yang akan

terdengar.

Kejadian 11 September 2001 merupakan gejala mengerikan tentang

terjadinya perobahan mendalam di dunia . Teknologi telah menyebarkan

kekuatan jauh dari pemerintah dan memperkuat individu dan kelompok untuk

berperanan dalam politik dunia termasuk menimbulkan kerusakan secara

besar-besaran untuk melawan pemerintah.

Privatisasi telah meningkat dan terorisme merupakan privatisasi

perang (terrorism is the privatization of war). Kejadian 11 September berasal

17

Page 18: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

dari globalisasi dari kekerasan informal sebagai kategori baru dari

“asymmetric warfare” yang diprakarsai oleh “non-state actors”.

Di dalam perkembangan “the Long War” terjadi apa yang oleh Blok

Barat disebut sebagai bentuk baru dari penyebaran senjata pemusnah

masal, penapis turbulensi global , dan penyebaran rasa takut terorisme (novel

setting of diffusion and diversification of weapons of mass destruction,

percolating global turbulence, and widespread fear of terrorism). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa karakter atau hakekat perang telah berobah.

Namun harus dicatat bahwa berkembangnya bahaya asimetrik yang

bersifat dan berdimensi “new multi-centric environment” tidak dengan

sendirinya akan menghapuskan bahaya tradisional yang bersifat simetrik

(state-centric world order).. Yang terjadi adalah “the two worlds of world

politics”, dimana interaksi dunia yang berkarakter simetrik atau “state centric”

dan dunia asimetrik berupa “multicentric world” semakin meningkat dan

menciptakan bentuk konflik bersenjata yang berubah-ubah dan sulit

diprediksi sebelumnya.

Apa yang menjadikan lingkungan strategis abad 21 begitu bergolak

bukanlah faktor perobahan itu sendiri, tetapi karena kompresi atau tekanan

dan saling keterkaitan dari perobahan yang cepat antara dunia “the state-

centric” dan “multi-centric” akibat penggunaan jaringan elektronik.

Dalam hal ini dua cabang sistem keamanan global yang telah

berkembang mengandung 3 (tiga) kecenderungan: (a) pergeseran pemikiran

yang berorientasi pada teritorialitas kearah keterhubungan (connectedness)

dan pengurangan frekuensi perang antar negara; (b) kekaburan perbedaan

antara negara dan masyarakat serta kebijakan luar negeri dan domestik

sehingga menciptakaan suatu kebutuhan nasional tentang kebijakan

keamanan; dan (c) penggabungan dari bentuk –bentuk konflik bersenjata

yang konvensional dan tidak konvensional. Dalam hal ini dikatakan bahwa

“the most powerful weapon in the world, the ability to manage every aspect of

a conflict from one operation centre”.

Dalam hal ini Jenkins menggambarkan perbedaan antara musuh dunia

Barat di Era Perang Dingin dan yang berkembang di abad 21 sebagai

berikut:

18

Page 19: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

“The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous, rigid, hierarchical, and resistant to change. The enemies of today are dynamic, unpredictable, diverse, fluid, networked, and constantly evolving” (Evans, 2007).

Logika dari timbulnya perang asimetrik pada dasarnya berkaitan dengan

ketidakseimbangan kekuatan dan teknologi perang antara negara yang

beselisih (mis. Palestina menghadapi Israel; Al Qaeda melawan AS).sehingga

menerapkan taktik yang tidak konvensional. Yang lemah mengklaim punya

hak untuk menggunakan taktik tidak konvensional, yang terdiri atas serangan

terhadap penduduk sipil, karena merupakan jalan satu-satunya untuk

mengimbangi kekuatan musuh. Mereka mengklaim dirinya sebagai pihak

yang tidak beruntung menghadapi perang yang tidak imbang.

Dengan demikian nampak adanya dua dimensi bahaya terhadap baik

negara maupun manusia di masa depan pasca Perang Dingin. Di samping

tetap adanya ketegangan antar negara seperti antara India dan Pakistan yang

sama-sama memiliki senjata nuklir, munculnya kekuatan baru seperti China,

kecurigaan AS dan Barat terhadap negara-negara yang dianggap sebagai

“roque States” (Korea Utara, Iran), intervensi antar negara dalam masalah-

masa;llah konflik antar nagara (di Afrika), maka muncul “new threat patterns”

seperti : kejahatan transnasional terorganisasi, perdagangan senjata-senjata

ringan (small arms) , perompakan dl laut bebas, terrorisme yang melengkapi

dirinya dengan senjata-senjata pemusnah massal, “information warfare”,

ancaman terhadap kedutaan-kedutaan besar, kapal, pesawat udara dan

asset-asset lepas pantai, migrasi illegal, dan degradasi lingkungan.

Generasi Perang ke-4 dan ke-5

Terkait dengan apa yang telah dikemukakan di atas, perlu dikaji apa

yang dinamakan Generasi Keempat Perang (Fourth Generation of War -

4GW) sebagai berikut:

Generasi I perang modern terjadi antara 1648-1860. Perang ini

merupakan perang dalam barisan dan lajur, di mana perang dilakukan secara

formal dan medan perang yang tertib dan rapi serta linier. Hal ini dikaitkan

dengan kultur militer yang penuh keteraturan. Hal-hal yang membedakan

antara orang sipil dan militer seperti pakaian seragam, pemberian hormat,

19

Page 20: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

dan pangkat, pada dasarnya merupakan produk Generasi I ini dan

dimaksudkan untuk menegakkan budaya ketertiban. Generasi I ini

didominasi oleh “massed manpower” seperti yang terjadi dalam perang

Napoleon;

Generasi II perang dikembangkan oleh Tentara Perancis, selama

Perang Dunia I, dengan mengedepankan daya tembak atau “mass firepower”

yang sebagian besar memanfaatkan tembakan meriam tidak langsung.

Doktrin yang dikembangkan adalah “ The artillery conquers, the cavalry as

the attacker and the infantry occupies”. Daya tembak yang terkendali secara

terpusat dan hati-hati disinkronisasikan dengan menggunakan rencana yang

khusus dan terperinci dan teratur bagi infantri, tank dan artilery di mana

komander sangat memegang peranan.

Generasi III perang yang sebenarnya juga merupakan produk PD I

dikembangkan oleh Tentara Jerman dalam PD II yang dikenal secara luas

sebagai “Blitzkrieg” atau perang dengan maneuver, didasarkan atas daya

tembak dan menghabiskan tenaga lawan (attrition), tetapi mengutamakan

kecepatan, daya dadak, dan kekuatan mental serta fisik. Sebagai pengganti

doktrin “close with and destroy” motto yang lain yang dikembangkan adalah

“bypass and collapse”. Generasi ketiga ini bersifat “non-linier”. Ketertiban

menentukan hasil yang akan dicapai, tetapi tidak menentukan cara. Inisiatif

lebih penting daripada ketaatan.

Selanjutnya desentralisasi dan inisiatif yang berasal dari generasi ketiga

diambil alih oleh Generasi IV perang. Yang sangat menonjol dalam Generasi

IV ini adalah perobahan radikal terhadap norma yang dihasilkan oleh

perjanjian Westphalia 1648 bahwa negara adalah yang memonopoli perang,

karena di seluruh dunia militer negara dalam generasi ini bertempur dengan

“non-state opponents”, seperti al Qaeda dan organisasi-organisasi teroris lain.

Dalam generasi ini sebenarnya yang terjadi adalah berulangnya budaya

perang di masa lalu di mana yang terlibat konflik bukanlah negara, tetapi

keluarga, suku, penganut agama, kota, dunia usaha yang menggunakan

segala cara. Generasi keempat ini mengembangkan apa yang dinamakan

“insurgency”, bersifat asimetrik yang mendayagunakan segala jaringan yang

tersedia -politik, ekonomi, sosial, militer- untuk meyakinkan pengambil

20

Page 21: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

keputusan musuh bahwa tujuan strategis mereka tidak dapat dicapai atau

sangat mahal. (Lind, 2007).

Karakter lain adalah bersifat transnasional, tidak mengenal “battlefield”

yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa perang

dan damai, tidak mengenal “front-line”, dan bergerak melalui kelompok-

kelompok kecil. Contohnya adalah terorisme.

“As the world moves further away from the 20th century concept of the Cold War, it becomes increasingly clear that the very nature of warfare itself has changed. The Old Style conflicts were about overpowering the enemy and winning ground. The new wars are about ideas, belief systems and ideologies. The battle is no longer about winning territory, it is about winning minds”.

Akhir-akhir ini mulai muncul wacana tentang Generasi V Perang (Fifth

Generation of Warfare) yang disebut sebagai “Information

Operations/Warfare” melalui mass media, internet (cyber warrior) yang dapat

menimbulkan kerusakan luar biasa di segala bidang (ekonomi, pertahanan,

transportasi, politik dll). (Patriot Post, 2007)

Dalam menghadapi Generasi IV dan Generasi V perang ini, khususnya

yang dikendalikan oleh “non-state actor” dan “rogue state” (states considered

threatening to the world’s peace, such as being ruled by authoritarian

regimes that severely restrict human rights, sponsor terrorism, and seek to

proliferate weapons of mass destruction) Amerika Serikat menerapkan

“nontrinity war” (war fought not by an army on behalf of a people nor directed

by some form of government for one or both sides in the war) yakni dengan

menerapkan “anticipatory strike”. Bahkan saat ini bersama sekutu-sekutunya

AS menerapkan “Proliferation Security Initiatives”(PSI) yang memungkinkan

negara-negara pendukung PSI mencegat kapal-kapal asing dan kapal-kapal

lainnya yang berlayar di laut bebas dan di perairan nasional jika dicurigai

membawa senjata pemusnah massal (WMD) dan atau bahan-bahannya

untuk mencegah penyebarannya, khususnya dari atau ke negara-negara

yang dicurigai mengembangkan senjata nuklir atau WMD lainnya.

Doktrin Ketahanan Nasional dan Kekuatan Nasional.

21

Page 22: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Doktrin Ketahanan Nasional (National Resilience) mulai disadari bangsa

Indonesia setelah secara relatif dapat melewati krisis keamanan tradisional

pasca kemerdekaan yang banyak menyentuh masalah-masalah pertahanan

(defence) sebagai faktor dominan, sehingga Bung Karno memunculkan

keberadaan Lembaga Pertahanan Nasional pada tahun 1965. Kemudian

Doktrin Ketahanan Nasional di Era Presiden Suharto bersifat khas (unique

and different)), - yang melihat kehidupan nasional sebagai sistem sosial dan

sistem alamiah yang utuh - khususnya apabila disandingkan dengan Doktrin

Kekuatan Nasional (National Power) yang diadopsi oleh negara-negara adi

kuasa.

Doktrin Ketahanan Nasional erat sekali kaitannya dengan Tujuan

Nasional yang terpateri dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk

memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial “. Doktrin Ketahanan Nasional,

sekalipun tidak pernah menafikan elemen “outward looking” sebagai

lingkungan strategis yang harus diperhitungkan, namun cenderung bersifat

defensif dan mementingkan pendekatan “inward looking” . Tannas

mengandung kemampuan untuk segera bangkit dari krisis (engineering

resilience), kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan

positif (ecological resilience) dan kemampuan untuk memprediksi apa yang

akan terjadi di depan (anticipatory resilience).

Sebaliknya Doktrin Kekuatan Nasional (National Power), cenderung

bersifat ofensif dan militeristik. Dalm hal ini fokus terhadap “power” diarahkan

sebagai sarana (means), kekuatan (strength) dan kemampuan (capacity)

yang menyediakan “the ability to influence the behavior of other actors in

accordance with ones own objectives”.

Hal ini diadopsi dalam arena internasional, baik sebagai tujuan sesaat,

maupun sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir. Doktrin ini cenderung

offensive, milteristik, berwawasan keluar dan bersifat kontekstual, serta

hanya dapat dievaluasi dalam kerangka seluruh determinan dalam kaitannya

dengan pelaku-pelaku lain dan situasi dimana kekuatan harus diterapkan

(Jablonsky, 2006).

22

Page 23: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Namun demikian tidak berarti bahwa antara keduanya tidak terdapat

persamaan (similarities) . Dalam hal ini persamaan antara keduanya yang

bisa diidentifikasi adalah adanya kesadaran adanya hubungan

multidimensional antar elemen atau determinan, baik natural maupun sosial;

adanya kaitan determinan satu sama lain dan bersifat dinamis, karena sifat

determinan tersebut tidak bersifat kemampuan abstrak, tetapi hanya dapat

dinilai dalam hubungan dengan negara lain. Dalam hal ini Doktrin Kekuatan

Nasional memfokuskan diri pada keunggulan kompetitif, sedangkan Doktrin

Ketahanan Nasional memfokuskan diri pada evaluasi tentang keunggulan

komparatif dan keunggulan kompetitif.

Persamaan logis yang muncul adalah bahwa baik tannas maupun

kekuatan nasional sama-sama menghindari kesalahan akibat terjebak hanya

dalam fokus pada satu determinan semata-mata (Morgenthau ; “the fallacy of

single factor”).

Persamaan yang lain adalah karakter “situasional”, karena beberapa

elemen atau determinan atau kombinasi antar elemen tidak dapat diterapkan

dalam situasi-situasi khusus sehubungan dengan kompleksitas dari

lingkungan strategis.

Dalam hal ini bagi Doktrin Ketahanan Nasional mungkin bahaya yang

datang bersifat baru, terlalu cepat atau terlalu besar untuk dihadapi, dan bagi

Doktrin Kekuatan Nasional penerapan kekuatan selalu didasarkan atas

analisis biaya dan hasil (cost and benefit analysis).

23

Page 24: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Penutup

Pemahaman tentang kerjasama keamanan dan keamanan

komprehensif di atas sangat diperlukan untuk menyadari adanya bahaya

ancaman kamanan yang multidimensional di dunia termasuk menghadapi

NTS yang bersifat transnasional, yang tidak mungkin dihadapi sendiri oleh

suatu negara, di mana konflik dan ancaman akan dikelola secara kolektif

melalui kerjasama internasional atau regional, baik multilateral maupun

bilateral.

Contoh ASEAN Security Community, yang telah dimantabkan melalui

ASEAN Charter yang mencakup “conflict prevention, conflict resolution and

post-conflict building” dan Defence Cooperation Agreement antara Indonesia-

Australia (Lombok Treaty). Hal ini bukan semacam pakta militer (military

alliances and collective security) menghadapi musuh khusus, tetapi

merupakan “cooperative security”, yang merupakan “multilateral effort to

achieve security among all the participants through non-military means,

without attributing either friend or enemy status to the relation involved”.

(Katsumata, 2007).

Dalam kerjasama keamanan tersebut masing-masing negara harus

menghormat kebijakan pertahanan nasional (the policy of national defence)

masing-masing dengan sikap dan cara :

Mentaati pelbagai perjanjian internasional;

Menghormati integritas dan kedaulatan negara lain;

Menghormati asas-asas perdamaian, stabilitas dan keamanan

internasional serta aktif berpartisipasi secara internasional untuk

pencapaiannya;

Mengusahakan penyelesaian secara damai segala perbedaan dan

mengutamakan pencegahan terhadap gangguan keamanan nasional

melalui saluran diplomatik, politik dan militer;

Menentang penyebarluasan penggunaan senjata-senjata pemusnah

massal (nuklir, kimia, biologi) .

Perobahan nama Lembaga Pertahanan Nasional menjadi Lembaga

Ketahanan Nasional merupakan langkah yang tepat bagi LEMHANNAS,

karena sekaligus menyadarkan kepada kita tentang realitas “two worlds of

world politics” di atas, dimana bahaya atau ancaman tradisional terhadap

24

Page 25: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

negara yang bersifat militeristik saat ini bersinergi dengan jaringan

desentralisasi ancaman yang berasal dari aktor-aktor non –negara yang

mendayagunakan segenap senjata (ideologi politik, ekonomi, sosial budaya ).

Di samping itu pendekatan komprehensif-integral terhadap Ketahanan

Nasional (National Resilience) yang mengandung determinan Asta Gatra

yang merupakan gabungan antara determinan natural dan sosial, juga

meningkatkan kewaspadaan kita terhadap “Non-Traditional Security Threat”

(NTS) baik yang bersifat “soft threat” maupun “hard threat”.

Dalam hal ini harus diyakini bahwa hubungan antar determinan Asta

Gatra tersebut bersifat “multidimensional interrelationship; dinamic dan

situational”. Morgenthau telah memperingatkan agar dalam mengelola

pelbagai determinan sebagai kekuatan nasional, kita tidak terjabak pada apa

yang dinamakan “the Fallacy of the Single Factor”. Fallacy yang lain adalah

“the failure to distinguish between potential and actual power”. Alumni

Lemhannas dan keluarga besar Lemhannas diharapkan dapat menjadi

kelompok yang memelopori terwujudnya “Comphrehensive Security

Community” sebagai tanggungjawab bersama.

Persoalan tentang kewenangan dan pembagian kewenangan antar

lembaga yang menangani masalah pertahanan atau keamanan dalam arti

sempit, dan kerjasama antar lembaga yang menangani keamanan

komprehensif, sangat tergantung pada Konstitusi dan hukum positif yang

berlaku di suatu negara dalam rangka Sistem Keamanan Nasional, dengan

menjauhi egoisme sektoral. Dalam hal ini pembentukan semacam Dewan

Keamanan Nasional sangat diharapkan.

Selain itu harus tetap disadari bahwa atas dasar perjanjian internasional

pada dasarnya keamanan nasional merupakan sub-sistem keamanan

regional dan semuanya merupakan sub-sistem perdamaian dan keamanan

internasional (international peace and security system).

Sebagai contoh dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa dalam ASEAN

Charter sudah digunakan istilah “regional resilience”. Indonesia saat ini

sangat dipercaya komitmennya terhadap perdamaian dan keamanan regional

dan internasional, karena Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi

ketiga terbesar di dunia, disertai parlemen yang aktif dan masyarakat madani

yang berkembang secara positif dalam masyarakat yang sangat pluralistik.

25

Page 26: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Belum lagi dengan kondisi ekonomi yang relatif stabil, sekalipun menghadapi

krisis finansial global. Pertumbuhan ekonomi masih terjadi dan strandar

kehidupan meningkat.\

Sering dikatakan bahwa untuk dapat melakukan kerjasama keamanan

diperlukan “level of playing field” yang sama seperti “promotion of democracy,

human rights and obligations, transparency and good governance and

strengfthening democratic institutions”.

Jakarta, 17 September 2010.

26

Page 27: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Daftar Pustaka

Alagappa, Muthiah, Asian Security Practices {Material and Ideational Influences), Stanford University Press, 1988.

Annan, Kofi A., In Larger Freedom :Towards Development, Security and Human Rights for All, UN, 2005.

Agreement Between The Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation, Lombok, 13 Desember 2007.

CSCAP, Memorandum No. 3: The Concept of Comphrehensive and Cooperative Security, Kuala Lumpur, ISIS, 1995.

Desker, Barry, New Security Dimensions in the Asia Pacific, tha Indonesian Quarterly. Vol. 36. No. 3-4, 2008 p.355-368.

Emmers, Ralf, Anthony, Melly Caballero, Acharya, Amitav, Studying Non-Traditional Security in Asia, Trend and Issues, Marshall Cavendish Academic, Singapore, 2006.

Evans, From the Long Peace to the Long War : Armed Conflict and Military Education and Training in the 21 st Century, Australian Defence College, Occasional Series No. 1, 2007.

Feng,Han, NTS Challenges and Policy Responses in North East Asia, in Inaugural Meeting of the Consortium of NTS Studies in Asia, Singapore, 2007.

Hernandez, Carolina, The Asean Charter and the Building of an ASEAN Security Community, The Indonesia Quarterly Vol. 36 No. 3-4, 2008, p.296-311.

Hsiung, James C., Comphrehensive Security,: Challenge for Pacific Asia, New York University, 2008.

Jablonsky, David, National Power, US War College Guide to National Security Policy and Strategy, 2 nd Edition, June 2006.

Katsumata, Hiro, Asean Security Community Background Paper for the Informal Meeting of ASEAN Defence and Security Think Tanks, Singapore, 2007.

Len le Roux, Defining defence requirements : Force Design Considerations for the South African National Defence Force, ,African Security Review Vol. 8 No. 5, 1999.

27

Page 28: Konsep Kerjasama Keamanan Dalam Rangka Menghadapi Keamanan Komprehensif Dan Ketahanan Regional

Lind, William S, Understanding Fourth Generation War, http://www.lewrockwell.com/lind/lind3b.html, 2007..

Muladi, International Terrorism, Paper Presented in IDSS Seminar, Singapore, 2006.

Muladi, “Global Warming” dan a”Climate Change” Sebagai Masalah

Nasional dan Internasional, Jakarta, 10 Maret 2008.

NIC, Global Trends 2015, A Dialog About the Future With NGO Expert, December 2000.

Patriot Post. Us, http://patriotpost.us/papers/05-10 paper asp., 2007

Rana, Madhukar, SJB, Comphrehensiver Security for South Asia, Conceptualization Toward a Regional Strategy, Sge Publication, New Delhi, 2008.

Regehr, Ernie, Project Ploughshares, Canadian Defence Policy Within a Comphrehensive Security Strategy, March 21, 2005.

Sukma, Rizal, The Future of Asean, Towards a Security Community, New

York, 3 June 2003.

Tan, Andrew T.H. and Boutin Kenneth J.D., Non Traditional Security Issues in Southeast Asia, IDSS, Singapore, 2001.

28