KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA...

112
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Disusun oleh: Muhammad Fanshobi 109033100020 FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN AQIDAH-FALSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M

Transcript of KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA...

Page 1: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar

Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Disusun oleh:

Muhammad Fanshobi

109033100020

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN AQIDAH-FALSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1435 H/2014 M

Page 2: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara
Page 3: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara
Page 4: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara
Page 5: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

i

ABSTRAK

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ

Kata Kunci: Kepemimpinan, Negara Utama, Al-Fārābī.

Tulisan ini memfokuskan pada konsep kepemimpinan yang ditulis al-Fārābī

dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah atau secara singkat disebut Negara

Utama. Di dalam buku itu, al-Fārābī menuliskan ciri-ciri negara utama yang

menurutnya sebagai konsep ideal untuk dijadikan contoh membangun negara. Di

dalam ciri-ciri negara utama itu, al-Fārābī menuliskan beberapa konsep

kepemimpinan. Hal ini dikerenakan dalam membangun suatu negara ideal, tentu

harus diimbangi dengan kepemimpinan yang ideal pula. Negara diibaratkan

sebagai tubuh, kemudian pemimpin menjadi pusat dari keinginan tubuh itu

sendiri, maka dari itu kepemimpinan menjadi poin penting dalam membangun

negara ideal. Dengan menguraikan konsep kepemimpinan yang ideal, maka akan

terwujud negara yang ideal pula.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset

pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis

penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi

berkaitan dengan masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian

ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan

secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī.

Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa buku Negara

Utama memuat konsep-konsep kepemimpinan ideal. Konsep itu berdasarkan

pemikiran al-Fārābī yang dipengaruhi oleh doktrin agama dan juga pengaruh

falsafat Yunani. Diawali dengan tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan, al-

Fārābī mengungkapkan metode-metode bagaimana mencapai kebahagiaan itu,

salah satunya dengan membangun Negara Utama/Ideal yang didalamnya terdapat

masyarakat ideal dan kepemimpinan ideal. Dua objek itulah yang menjadi unsur

utama dalam membangun Negara Utama/Ideal. Sedangkan tulisan ini hanya

memfokuskan kepada kepemimpinan ideal.

Page 6: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Melihat lagi Maha

Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan

kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak

yang telah memberikan bantuan baik materiil dan immateriil, oleh karena itu

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Mursyidi Jayadi dan Ibunda Yani

yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa

yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai;

2. Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi Penulis, terima

kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk Penulis;

3. Prof. Dr. H. Masri Mansoer, MA. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas

Ushuluddin UIN Jakarta;

4. Dr. Edwin Syarif, MA dan Dra. Tien Rahmatin, MA. selaku Ketua dan

Sekretaris Program Studi Akidah-Filsafat;

5. Sahabat terdekat Andhini Iasha Amala untuk menemani dalam

penyusunan skripsi ini;

6. Teman-teman alumni Pondok Pesantren Attaqwa Putera angkatan 2009

yang berkulian di UIN Jakarta;

7. Seluruh Teman-teman anggota Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN

Jakarta;

8. Seluruh teman-teman Akidah-Filsafat A angkatan 2009;

Page 7: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

iii

9. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik materiil maupun imateriil,

Penulis memanjatkan doa semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan

menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi

para pembaca umumnya.

Jakarta, September 2014

Muhammad Fanshobi

Page 8: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ṭ ṭ ط a a ا

ẓ ẓ ظ b b ب

‘ ‘ ع t t ت

gh gh غ ts th ث

f f ف j j ج

q q ق ḥ ḥ ح

k k ك kh kh خ

l l ل d d د

m m م dz dh ذ

n n ن r r ر

w w و z z ز

h h ه s s س

ء sy sh ش

y y ي ṣ ṣ ص

h h ة ḍ ḍ ض

Vokal Panjang

Arab Indonesia Inggris

ā ā آ

ī ī إى

ī ī أو

Page 9: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

v

Daftar Isi

Abstrak .................................................................................................................... i

Kata Pengantar ..................................................................................................... ii

Pedoman Transliterasi ......................................................................................... iv

Daftar Isi ................................................................................................................. v

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1

B. Batasan Rumusan Masalah........................................................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 5

D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 6

E. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8

Bab II Riwayat Hidup al-Fārābī

A. Pendidikan .................................................................................................. 10

B. Kehidupan Sosial Politik ............................................................................ 12

C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik ............................................................. 14

D. Karya-Karya ............................................................................................... 19

Bab III Konsep Kepemimpinan menurut al-Qur’ān dan Ḥadīts

A. Definisi Konsep dan Kepemimpinan ......................................................... 26

B. Tugas dan Fungsi ....................................................................................... 44

C. Pengangkatan Pemimpin ............................................................................ 46

D. Kriteria ....................................................................................................... 48

Bab IV Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī

A. Konsep Negara Ideal/Utama ...................................................................... 59

B. Tugas dan Fungsi Pemimpin ...................................................................... 71

C. Pengangkatan Pemimpin ............................................................................ 76

D. Kriteria Pemimpin ...................................................................................... 82

Bab V Penutup

A. Kesimpulan................................................................................................. 97

B. Saran ........................................................................................................... 98

Page 10: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbagai pendapat tentang kepemimpinan banyak dikemukakan oleh para

ahli. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan manusia, kepemimpinan merupakan

instrumen penting. Sebagai contoh ketika manusia membangun sebuah keluarga,

dalam komunitas kecil itu, seorang bapak menjadi kepala keluarga yang berfungsi

sebagai pemimpin. Kemudian komunitas yang cakupannya lebih besar seperti

halnya pemerintahan negara, pada akhirnya akan dipimpin oleh kepala negara.

Hal ini dilakukan karena setiap manusia membutuhkan pemimpin dan salah satu

fungsi pemimpin adalah meningkatkan efektifitas dari tujuan-tujuan yang ingin

dicapai di setiap komunitas. Maka dari itu, dalam kepemimpinan akan banyak

dibicarakan tentang kriteria pemimpin, tugas dan fungsi pemimpin, dan lain

sebagainya.

Di antara sekian banyak para ahli di setiap bidang ilmu yang

membicarakan tentang kepemimpinan, terdapat seorang ahli falsafat politik Islam

klasik yang layak menjadi salah satu referensi. Pemikirannya yang falsafi dan

mendalam menjadi nilai lebih dalam menjadikannya referensi tentang

kepemimpinan. Ia adalah Abū Naṣr al-Fārābī (259-339 H./870 -956 M.)1

Sebenarnya ia adalah seorang idealis bahkan cenderung utopis seperti Plato.

Al-Fārābī telah menyumbangkan pemikiran falsafat politiknya terhadap

khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan istilah

1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:

Bulan Bintang, 1990), h. 49.

Page 11: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

2

Negara Utama (madīnah fāḍilah). Konsep tentang Negara Utama banyak diwarnai

oleh pemikiran Plato di dalam karangannya yaitu Republic. Di samping itu, al-

Fārābī juga hidup dalam kondisi politik yang kacau yang dipimpin oleh khalifah

dinasti ʻAbbāsiyyah, sehingga kehancuran demi kehancuran dinasti membuatnya

berpikir mengenai suatu bentuk negara ideal.

Dalam memikirkan negara ideal itu, seperti halnya Plato, al-Fārābī juga

melihat bahwa kehancuran negara diakibatkan oleh hancurnya moralitas

pemimpinnya. Untuk kepemimpinan dalam Negara Utama, al-Fārābī menjelaskan

tentang kriteria dan mekanisme pengangkatan kepala negara dan bermaksud agar

para pemimpin yang diangkat oleh rakyat lebih bermoral dan kompeten. Di

samping itu pula, pemimpin yang bermoral dan kompeten dapat menjadi

fasilitator rakyat untuk mencapai kebahagiaan.

Di dalam konsep Negara Utama al-Fārābī, kepala negara adalah satu-

satunya orang yang memegang peranan penting, karena kedudukan kepala negara

sama dengan kedudukan jantung dalam sistem organ tubuh manusia, sumber dan

pusat koordinasi sebagai suatu hal yang penting di dalam diri manusia yang

sempurna. Oleh karena itu, pekerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis,

melainkan etis sebagai pengendali way of life.2

Kemudian dalam rangka merealisasi Negara Utama, di samping

membicarakan tentang pembagian negara berdasarkan ideologi dan pandangan

tentang masyarakat, al-Fārābī juga membahas tentang kepala negara atau seorang

pemimpin. Dengan tidak menutup kemungkinan mobilisasi vertikal dari kelas

2 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh

Richard Walzer, al-Farabi on The Perfect State (Oxford: Claeedon Press, 1985), h. 247.

Page 12: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

3

yang lebih bawah, karena mekanisme alamiah, tetapi perlu ditegaskan bahwa

tidak semua warganya, tentu saja, akan mampu dan dapat menjadi kepala negara

atau pemimpin negara. Hanya orang yang berada pada kelas tertinggilah yang

boleh menjadi pemimpin negara. Tingkat tinggi-rendah posisi mereka ditentukan

oleh dekat-jauh mereka dari “jajaran kepala” negara dan ini ditentukan oleh

tingkat kesempurnaan pengetahuan mereka tentang keutamaan dan kebahagiaan

sesungguhnya.

Negara atau Kota Utama yang menjadi cita-cita al-Fārābī adalah kota-kota

yang memiliki ciri-ciri kota yang benar-benar utama, yang dipimpin oleh

penguasa utama.3 Lawan dari al-Madīnah al-Fāḍilah (negara utama) adalah al-

Madīnah al-Fāsidah (negara rusak/korup) yang ditandai dengan kebodohan,

kebobrokan, gonjang-ganjing, dan merugi.

Al-Fārābī memberikan kriteria khusus untuk menjadi seorang kepala

negara, seperti yang disebutkan di bawah ini:

1. Sempurna anggota badannya

2. Besar pengertiannya dalam memahami

3. Bagus daya tangkapnya

4. Sempurna ingatannya

5. Cakap dan bijak dalam berbicara

6. Mencintai pengetahuan

7. Tidak serakah dalam minuman, makanan, dan hubungan seks

8. Cinta akan kebenaran dan benci kebohongan

9. Cinta akan keadilan dan benci kezaliman

10. Tidak hidup dalam kemewahan dunia dan foya-foya

11. Sanggup menegakkan keadilan, optimisme dan besar hati

12. Kuat pendirian, penuh keberanian, antusiasme, dan tidak berjiwa kerdil.4

3 Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan,

2002), Cet Ke-1, h. 65. 4 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8, h.

127.

Page 13: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

4

Al-Fārābī ingin menggambarkan pula keutamaan bagi kepala negara untuk

membersihkan jiwanya dari berbagai aktifitas hewani, seperti korupsi, manipulasi,

tirani, yang merupakan aktualisasi pemerintah jahiliyyah, pemerintahan fasik,

pemerintahan apatis dan pemerintahan sesat. Karena kepala negara menjadi

sumber peraturan dan keserasian hidup dalam masyarakat, maka ia harus bertubuh

sehat, kuat, berani, pintar, serta cinta kepada ilmu pengetahuan, sebagaimana yang

telah disebutkan di atas. Sehingga yang paling ideal menjadi kepala negara adalah

mampu berkomunikasi dengan akal aktif.5

Mengenai pengangkatan kepala negara, al-Fārābī tidak sedetail yang ada di

negara demokrasi, karena al-Fārābī tidak menjelaskan bagaimana mekanisme

pengangkatan kepala negara. Namun, seandainya tidak ada satu orang pun yang

memenuhi kriteria menurut al-Fārābī, kepala negara dapat dipilih secara kolektif

“presidium”.6 Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin, kemudian

dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih

berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli

pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara dan komunikasi, dan

sebagainya.

Dengan demikian, penulis ingin mencoba mengangkat judul skripsi yang

berasal dari sebuah pembahasan menarik di atas yaitu, “Konsep Kepemimpinan

dalam Negara Utama al-Fārābī”

5 Kautsar Azhari Noer, “Pemikiran dan Peradaban”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia

Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 215. 6 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta:

Rajawali, 1996), h. 79.

Page 14: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

5

Itulah gambaran penalaran yang memberikan alasan mengapa penulis

memilih judul ini. Berawal dari wacana di atas, maka penulis merasa perlu untuk

mengangkat sebuah judul yang telah penulis paparkan pada latar belakang

masalah di atas.

B. Batasan Rumusan Masalah

Agar skripsi ini dapat terarah, tersistematisasi dan teridentifikasi

maksudnya, penulis ingin memberi batasan masalah yang akan dianalisis. Untuk

itu pembatasan masalah dalam skripsi ini adalah tentang definisi kepemimpinan

dalam Negara Utama al-Fārābī.

Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, untuk melacak

jawaban dan masalah pokok secara terarah maka dibuat satu pertanyaan:

Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Negara Utama menurut Al-Fārābī

dengan fokus pada empat (4) hal; pertama, kepemimpinan menurut al-Fārābī;

kedua, tugas dan fungsi pemimpin; ketiga kriteria kepala negara; keempat,

pengangkatan kepala negara.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi Konsep Kepemimpinan

dalam Negara Utama Al-Fārābī, bertujuan menceritakan secara mendalam

tentang kepemimpinan dalam konsep Negara Utama al-Fārābī.

Page 15: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

6

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui pandangan-

pandangan al-Fārābī tentang kepemimpinan dan Negara Utama guna menambah

perspektif baru dalam memandang dan mencari pemimpin dan negara yang ideal.

D. Tinjauan Pustaka

Dengan melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil karya

yang membahas tentang pemikiran politik al-Fārābī. Adapun karya tersebut

adalah: Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, yang mengungkapkan tentang hubungan

sosial antara masyarakat dengan masyarakat negara, negara (bangsa) dengan

negara.

Selain karya di atas, penulis menemukan buku-buku yang membahas

tentang pemikiran falsafat politik al-Fārābī, seperti buku-buku yang berjudul

Negara Utama menurut al-Fārābī, yang dikarang oleh Ahmad Zainal Abidin. Di

dalam bukunya ia menggambarkan bagaimana Negara Utama menurut al-Fārābī,

dan buku tersebut membahas tentang bagaimana hubungan sosial antara

masyarakat dengan masyarakat dan negara dengan negara.

Selanjutnya yaitu buku yang berjudul Filsafat Politik Islam: Antara al-

Fārābī dan Khomeni, yang dikarang oleh Yamani. Di dalam bukunya, Yamani

membahas perbandingan pemikiran Khomeini dengan pemikiran al-Fārābī dengan

beberapa tujuan. Pertama, ia memaparkan falsafat politik al-Fārābī yang belum

banyak diketahui. Padahal banyak peneliti yang percaya bahwa pemikiran tokoh

ini merupakan suatu upaya yang cukup berhasil dalam menjelaskan batang tubuh

falsafat klasik. Kedua, penyandingan ini bermaksud untuk melacak kemungkinan

adanya akar-akar Wilāyah al-Faqīh pemikiran Ayatullah Khomeini dalam

Page 16: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

7

pemikiran al-Fārābī. Di dalam buku tersebut, keduanya membahas tentang

seorang pemimpin yang saleh, arif, dan bijaksana, bahkan dianggap maʻṣūm

berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala agama.

Selain buku-buku dan karya-karyanya, penulis juga telah menemukan

karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Desi Koencoro

salah satu mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah

Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2000-2001. Adapun skripsi

tersebut berjudul Relevansi Politik Abad Modern dalam Rekonstruksi Pemikiran

al-Fārābī. Di dalam skripsinya, ia membahas sepenuhnya pemikiran yang

dituangkan oleh al-Fārābī, yang membandingkan dengan pemikiran Ayatullah

Khomeini tentang konsep imamah (Wilāyah al-Faqīh) terhadap pemerintahan Iran

juga tentang tubuh struktur Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ia berusaha

menelusuri adanya kemiripan konsep kepemimpinan dalan struktur pembagian

kekuasaan PBB dengan konsep bentuk-bentuk kerja sama antar elemen

masyarakat yang terbagi dalam tiga kategori, khususnya dalam Masyarakat Besar

(salah satu pemikiran al-Fārābī), yang bekerja sama antara bangsa yang dimiliki

oleh dewan keamanan PBB dengan sosial struktur masyarakat al-Fārābī yang

sekaligus merupakan bentuk Islamisasi konsep struktur sosial Plato.

Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk

skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Amirullah salah satu mahasiswa

UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah Program

Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2001-2002. Adapun skripsi tersebut berjudul

Negara Utama al-Fārābī dan Ide Demokrasi. Di dalam skripsinya ia membahas

Page 17: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

8

tentang al-Fārābī yang telah menyumbangkan pemikiran filsafat politiknya

terhadap khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut

dengan istilah Negara Utama. Konsep tersebut merupakan sebuah perkumpulan

kerjasama manusia untuk mencapai tujuan yang ingin mendapatkan kebahagiaan.

Negara Utama al-Fārābī merupakan sebuah konsep politik Islam yang lahir pada

abad klasik, berbeda dari demokrasi yang pada kenyataannya berkembang pesat

hingga saat ini. Pemikiran al-Fārābī yang lain yang sejalan dengan filsafat politik

Plato adalah mengenai bentuk negara ideal yang diidealkan oleh keduanya, yaitu

bentuk Negara Kota. Al-Fārābī mengidolakan Negara Kota yang utama, bukan

bentuk negara demokratis, seperti juga Plato dan Aristoteles.

Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan di atas

adalah bahwa penulis memfokuskan tulisan terhadap pembahasan mengenai

konsep kepemimpinan yang diungkapkan al-Fārābī dan konsep Negara Utama

yang dituliskan al-Fārābī dalam bukunya yang berjudul Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-

Fāḍilah. Di dalam buku tersebut di antaranya dibahas tentang negara ideal yang

di dalamnya terdapat pembagian negara-negara berdasarkan ideologi menurut al-

Fārābī, kriteria kepala negara, dan sebagainya.

E. Metode Penelitian

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset

pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis

Page 18: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

9

penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi

berkaitan dengan masalah penelitian.7

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis

deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang

konsep kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī.

Jenis data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer,

sekunder, dan lainnya. Data primer ini merujuk pada buku-buku hasil karya al-

Fārābī seperti Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Data sekunder, berupa tulisan-

tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel, yang mengandung pembahasan

tentang kepemimpinan dan komentar, maupun analisis terhadap pemikiran al-

Fārābī yang ditulis oleh para sarjana dan cendekiawan yang menggeluti pemikiran

al-Fārābī. Data yang lain ialah seperti ensiklopedi, kamus, internet, koran, jurnal

dan lain-lain, yang relevan dengan kajian skripsi ini sebagai pendukung terhadap

rujukan yang penulis sebutkan sebelumnya.

Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan “Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal “Ilmu

Ushuluddin” yang diterbitkan Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

7 Consuelo G Sevilla dkk., Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: UI Press. 1993), h.

37.

Page 19: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

10

BAB II

RIWAYAT HIDUP AL-FĀRĀBĪ

A. Pendidikan

Nama lengkap al-Fārābī adalah Abū Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin

Tarkhan bin Uzlag al-Fārābī. Ia lahir pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. dan

meninggal pada tahun 339 H./950 M.1, pada zaman pemerintahan Kerajaan

Sammāniyyah. Di Barat ia terkenal dengan sebutan Avennasar.2 Menurut

keterangan, bapaknya berasal dari Persia atau keturunan Persia (kendatipun nama

kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Sedangkan ibunya berasal juga

dari Persia. Bapak al-Fārābī bekerja sebagai seorang pegawai tentara kerajaan,

sedangkan pekerjaan ibunya tidak diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, ia bisa

disebut orang Persia dan orang Turki.3

Selama hidupnya al-Fārābī selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke

waktu. Saat kecil ia dikenal sangat rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas. Ia

banyak memelajari agama dan bahasa di tempat kelahirannya yaitu desa kecil

bernama Wāsij, Fārāb, daerah dekat sungai Jaxartes dan di daerah Transoxiana

yang masih masuk wilayah Turkistan.4

Pada saat muda ia belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhārā. Setelah

mendapat pendidikan awal, al-Fārābī belajar logika kepada seorang Kristen

1Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:

Bulan Bintang, 1990), h. 49. 2Abd. Sidiq, Islam dan Filsafat (Jakarta: Triputra, 1984), h. 89; lih. juga, Mircea Eliade,

The Encyclopedia of Religion (Londen: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol Ke-5, h. 284. 3Menurut Eliade, The Encyclopedia of Religion (London: Macmillan Publishing

Company, 1987), Vol Ke-5, h. 284, lebih tegas ia disebut sebagai orang Turki “Turkish Descent”,

atau “Turkish Origin”. 4M.M. Sharif, Para Filosof Muslim, terj. dari buku tiga bagian, The Philosophers, dalam

History of Islam Philosophy ,1963 (Bandung: Mizan, 1994), cet. Ke-7, h. 55-58; De boer, The

History of Philosophy in Islam (London: Lizac & Company, 1970), h. 107-109.

Page 20: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

11

Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuḥannah ibn Haylān. Pada masa

kekhalifahan al-Muʻtadīd (892-902), al-Fārābī dan Yuḥannah ibn Haylān pergi ke

Baghdad dan al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī selanjutnya banyak

memberi sumbangsih dalam penempaan falsafat baru dalam bahasa Arab

meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.

Pada kekhalifahan al-Muktafī (902-908) dan awal kekhalifahan al-

Muqtadir (908-932) al-Fārābī pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama

delapan tahun serta memelajari seluruh silabus falsafat. Pada tahun 297 H.

bersamaan 910 M., ia telah kembali ke Baghdad. Kembalinya ia ke Baghdad

adalah untuk belajar, mengajar, mengaji buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles

dan menulis karya-karya. Setelah hijrah ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20

tahun, ia memerdalam ilmu-ilmu falsafat, logika, etika, ilmu politik, musik, dan

lain sebagainya.5 Di sinilah ia kembali memerdalam falsafat Yunani. Al-Fārābī

adalah seorang komentator falsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam.

Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para

failasuf Yunani: Plato, Aristoteles, dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya

terletak di berbagai bidang seperti matematika, falsafat, pengobatan, bahkan

musik. Al-Fārābī telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah karya

penting dalam bidang musik, Kitāb al-Mūsīqā. Ia dapat memainkan dan telah

menciptakan berbagai alat musik.

Pada tahun 330 H. bersamaan 942 M., al-Fārābī telah berpindah ke

Damaskus yaitu satu daerah di negara Syiria akibat kekacauan dan ketidakstabilan

5 Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol. 1,

Cet. Ke-4, h. 331.

Page 21: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

12

politik yang berlaku di Baghdad. Pada tahun 332 H. bersamaan 944 M., al-Fārābī

pergi ke Mesir, tetapi tidak diketahui tujuan, mengapa dan kegiatan ia di sana, tapi

menurut Ibn Abī ʻUṣaybīʻah yang mana merupakan seorang ahli sejarah, al-Fārābī

telah mengarang sebuah karya mengenai politik ketika berada di Mesir yaitu

sekitar tahun 337 H.

Pada bulan Rajab 339 H. bersamaan 950 M., al-Fārābī meninggal dunia di

Damaskus, saat berumur 80 tahun. Ia dikebumikan di sebuah perkuburan di

bagian luar pintu selatan dan pintu sampingan kota tersebut. Sayf al-Dawlah

sendiri yang memberi tahu para pembesar negeri untuk menyalati jenazah al-

Fārābī.

B. Kehidupan Sosial Politik

Al-Fārābī hidup pada masa zaman kekuasaan Dinasti ʻAbbāsiyyah yang

digoncang oleh berbagai macam gejolak, pertentangan, dan pemberontakan,

dengan berbagai motif; agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-anak raja

berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekayaan milik nenek moyang

mereka khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba bermaksud

dengan cara infiltrasi subversi dan kudeta, bekerja sama dengan kelompok Syīʻah

yang berkeyakinan lebih berhak memerintah dan berkuasa daripada keturunan

ʻAbbās, paman Nabi Muḥammad SAW. Stabilitas lebih kacau lagi dengan

Page 22: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

13

hilangnya Imam Muḥammad Mahdī (Imam Keduabelas dari Syīʻah Imāmiyyah)

dalam usia empat atau lima tahun.6

Akhir periode ʻAbbāsiyyah merupakan masa yang di dalamnya kekuasaan

khalifah mengalami kemunduran. Sedangkan yang berkuasa adalah dinasti-dinasti

baru yang kebanyakan dari Turki dan Persia. Pada akhirnya, dinasti-dinasti ini

menguasai Baghdad itu sendiri, dan khalifah pun praktis merupakan boneka di

tangan mereka.7

Pada hidupnya al-Fārābī tidak dekat dengan penguasa dan tidak

menduduki salah satu jabatan pemerintah. Ia lahir pada zaman pemerintahan

Khalifah al-Muʻtamīd (892-902 M) dan meninggal pada masa Khalifah al-Muṭīʻ

yang merupakan suatu periode paling kacau dengan stabilitas politik yang sangat

mengenaskan. Hal ini yang disinyalir menyebabkan dirinya merasa perlu untuk

memikirkan dan menemukan pola-pola kehidupan bernegara dan bentuk

pemerintahan yang ideal di samping pengaruh dari pendidikan falsafat Yunani

yang banyak dipelajarinya.

Kehancuran demi kehancuran dinasti membuatnya berpikir dan

berimajinasi mengenai suatu bentuk negara ideal yang pernah ia lihat pada dinasti

Sammāniyyah. Seperti halnya Plato, al-Fārābī juga melihat bahwa kehancuran

sebuah negara atau dinasti adalah akibat dari kehancuran moralitas bangsa dan

pimpinan pada khususnya. Dari situlah kemudian ia tertarik untuk menawarkan

sebuah negara yang sejahtera melalui negara utama dengan pimpinan yang utama

dan masyarakat yang utama pula.

6 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 79-80. 7 Yamani, al-Farabi Filosof Politik Muslim (Jakarta: Teraju, 2005), Cet. 1, h. 13.

Page 23: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

14

Stabilitas politik dan kondisi kehidupan al-Fārābī menunjukkan bahwa ia

hidup di dalam sebuah negara yang mengalami kekacauan yang ditimpa berbagai

macam konflik yang dilatarbelakangi adanya motif politik, sehingga al-Fārābī di

dalam kehidupannya memberikan beberapa konsep tentang falsafat politik

khususnya terhadap negara. Dengan latar belakang motif politik dan kondisi

kehidupan yang kacau, al-Fārābī menuangkan konsep pemikirannya dalam bentuk

negara utama, karena di dalam konsep tersebut al-Fārābī menjelaskan tentang

sebuah negara yang masyarakatnya memunyai suatu tujuan yaitu mencapai

kebahagiaan.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran al-

Fārābī dilatarbelakangi dengan beberapa poin. Pertama, adanya kondisi

kehidupan yang kacau yang di dalamnya mengalami keributan dan perebutan

kekuasaan di dalam kerajaan. Kedua, stabilitas poiltik yang tidak aman, yang

mengalami beberapa pergantian khalifah, sehingga tidak adanya suatu efektifitas

pemerintahan yang stabil. Dari kedua faktor tersebut al-Fārābī menuangkan

pemikirannya di dalam falsafat politik dalam sebuah konsep dengan istilah Negara

Utama al-Fārābī.

C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik

Sebagaimana para failasuf Muslim lain pada umumnya, pemikiran-

pemikiran falsafi al-Fārābi tidak luput dari pengaruh pemikiran-pemikiran para

failasuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus.

Page 24: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

15

Pengaruh Plato bisa dilihat ketika al-Fārābi membahas tentang kelas-kelas

sosial dalam masyarakat. Sebagaimana ditulis dalam Taḥṣīl ʻalā Sabīl al-Saʻādah,

dia menyatakan bahwa, sesuai pekerjaannya, masyarakat terbagi menjadi tiga

golongan yaitu; ʻāmmah, khāṣṣah dan akhaṣṣ al-khāṣṣ, dengan menjunjung tinggi

keadilan sebagai barometer kebaikan.8 Keadilan merupakan hal yang penting

dalam menciptakan suatu masyarakat yang ideal.

Pendapat ini tak jauh berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan

bahwa negara yang ideal harus berdasar keadilan. Keadilan ini tercapai apabila

tiap-tiap orang melakukan pekerjaannya. Berhubungan dengan pekerjaan, Plato

membagi penduduk dalam tiga golongan yaitu, golongan terbawah yang terdiri

dari rakyat jelata, golongan tengah sebagai penjaga dan golongan atas adalah

pemerintah atau failasuf.9

Golongan bawah adalah mereka yang bekerja untuk menghasilkan

kebutuhan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka tak boleh turut andil dalam

pemerintahan tetapi boleh memiliki hak milik, harta, rumah tangga sendiri, dan

hidup dalam rumah masing-masing. Penekanan pendidikan pada golongan ini

adalah budi yang pandai menguasai diri.

Golongan tengah adalah mereka yang bertugas memertahankan serangan

dari musuh dan menegakkan undang-undang. Mereka tidak boleh memiliki harta

perseorangan dan keluarga karena hidup dalam sistem komunisme, termasuk

dalam hal perempuan dan anak-anak. Anak-anak yang lahir dipelihara negara.

Mereka mengaku semua penjaga sebagai bapak, begitu pula sikap terhadap ibu.

8 Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah (Hyderabad: Majlis Dā’irah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah,

1349 H.), h. 36-37. 9 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 145

Page 25: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

16

Laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan yang sama juga kesempatan untuk

menjadi penjaga. Keberanian adalah budi yang dituntut golongan ini.

Golongan paling atas adalah pemerintah atau failasuf. Mereka adalah

orang-orang terpilih dari kelas penjaga setelah melewati proses khusus. Tugas

mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Selain

itu, waktu luang yang dimiliki digunakan untuk memerdalam falsafat dan

pengetahuan tentang idea kebaikan sehingga memerdalam kesempurnaan budi

kebijaksanaan.

Plato, dengan bertitik tolak dari manusia yang harmonis dan adil,

menggunakan jiwa manusia atas tiga fungsi, yaitu keinginan, energi dan rasio

(ephitymia, enerji, thymas dan logos). Jika keinginan dan enerji – di bawah

pimpinan rasio – dapat berkembang sebagaimana mestinya, menurut Plato, akan

muncullah manusia yang harmonis dan adil. Secara analogis dengan bagian-

bagian jiwa ini, Plato menganggap bahwa negara itu laksana manusia besar,

sebagai organisme tertinggi dari tiga bagian atau tiga golongan, yang masing-

masing sepadan dengan bagian jiwa. Tiga bagian tersebut ialah; pertama,

golongan produktif, yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang, ephitymia.

Kedua, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, thymas. Ketiga,

golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.10

Plato adalah pencipta ajaran serba cita (idenleer), karena itu falsafatnya

disebut idealisme. Ajaran Plato lahir karena pergaulannya dengan kaum sofis.

Plato beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh berkat pengamatan panca

10

P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote

Filosofen over de Mens (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 16-17

Page 26: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

17

indera adalah bersifat relatif. Memang, lanjut Plato, kebajikan tidak mungkin ada

tanpa adanya pengetahuan, namun pengetahuan (yang sebenarnya) tidak hanya

terbatas pada pengamatan (inderawi). Pengetahuan, bagi Plato, lahir dari alam,

bukan benda. Bentuk-bentuk dari benda yang diamati melalui panca indera

hanyalah bayangan dari kenyataan-kenyataan alam bukan benda, di mana benda-

benda itu ada dalam bentuk yang lebih murni. Cita (ide) kuda misalnya, yang

memunyai sifat-sifat benda dalam bentuk yang murni tidak dapat diamati di dunia

ini. Kuda yang kita lihat sekarang, berbeda sama sekali dalam bentuk, warna dan

sifatnya. Kemudian Plato bertanya kepada diri sendiri, “Apa sebabnya kita

mengenali kuda dalam gejala yang sedemikian rupa?” “Karena,” dia menjawab

sendiri, “Jiwa manusia telah bermukim lebih dahulu dalam alam serba cita murni

sebelum ia memasuki badan, di alam serba cita itu, manusia telah melihat cita dari

kuda itu dan kemudian ia kenal kuda tersebut dalam bentuknya yang kurang

sempurna di dunia ini.”11

Dalam pandangan politik al-Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua

failasuf besar Yunani (Plato dan Aristoteles). Ketika berbicara tentang politik dan

negara, al-Fārābī, selain mengaitkan dalam proposisi-proposisi teologis, berpijak

dalam dunia nyata dengan memberi alternatif pada kemungkinan tidak

ditemukannya pimpinan negara pada peringkat yang paling sempurna, dengan

mendistribusikan kecakapan individual kepada kecakapan dan profesionalitas

kolektif.12

Berkenaan dengan pemikiran politik Aristoteles, pada umumnya, orang

hanya menganggap sebagai langkah penting ke arah lebih maju dari Plato karena

11

P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, h. 16-17. 12

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126.

Page 27: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

18

dia (Aritoteles) adalah seorang realis. Akan tetapi, pada dasarnya, Aristoteles juga

seorang idealis dan menjadikan alam pikiran sebagai pokok penyelidikan, hingga

kemudian orang mendapat tanggapan-tanggapan abstrak seperti adil, tidak adil,

negara dan lain sebagainya, yang sangat berarti pada dunia kenyataan.

Aristoteles juga berpendapat seperti Plato, bahwa dalam suatu masyarakat

rohani yang luasnya terbatas dan terdiri dari orang-orang merdeka, ada lebih besar

harapan akan terciptanya keadilan. Ini berarti seyogyanya pemerintah harus

membuat masyarakat yang dipimpinnya merasa merdeka sambil menjalankan

pemerintah yang adil dan bijaksana. Keadaan ini untuk Plato hanya merupakan

tanggapan pikiran, sedangkan Aristoteles memerdalam penyelidikannya untuk

menciptakan dan memertahankan keadaan tersebut. Pada akhirnya, baik Plato

maupun Aristoteles berpendapat bahwa jika tidak ada kecenderungan etis dan

sosial pada warga negara, maka tak ada harapan akan tercapai suatu keadilan yang

tertinggi dalam negara meskipun yang memerintah orang-orang baik dan dengan

undang-undang yang baik pula. Maka ini semua laksana jiwa dan badan yang

harus ada keseimbangan sebagai keadilan.13

Pandangan kedua failasuf (Plato dan Aristoteles) itu kemudian dianalisis

oleh al-Fārābī sebagai suatu (kebajikan) yang mutlak menjadi persyaratan bagi

pimpinan negara/kota. Keadilan, secara operasional, harus diterapkan dalam

pembagian kebajikan kepada seluruh warga kota/negara. Kebajikan itu dapat

berupa kedamaian, harta benda, penghormatan dan lain sebagainya dan barang

13

J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato sampai

Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over Staat en Recht (von Plato

tot Kant) (Jakarta: Pembangunan, 1965), h. 46.

Page 28: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

19

siapa yang mengurangi bagian itu – lanjut al-Fārābī – dia adalah orang yang

curang dan tidak patut menjadi pimpinan.

D. Karya-karya

Hampir di segala bidang ilmu pengetahuan, al-Fārābī mengarang buku-

buku yang berharga. Baik buku-buku itu berisi karangan dan pemikirannya

sendiri, maupun bersifat terjemahan atau komentar-komentar terhadap failasuf-

failasuf yang mendahuluinya. Pengarang al-Qifṭī dalam bukunya Ikhbār al-

ʻUlamāʼ fī Akhbār al-Ḥukamāʼ, dan Ibn ʻUṣaybīʻah dalam bukunya ʻUyūn al-

Akhbār fī Ṭabaqāt al-Ṭibbāʻī menghitung bahwa buku-buku al-Fārābī berjumlah

102 buah yang terbagi kepada: 17 buah bersifat komentar, 60 buah karangan dan

25 buah risalah.

ʻAbbās Maḥmūd berdasarkan catatan-catatan sejarah, menghitung jumlah

sampai 117 buah, yang dibaginya menurut bidang pengetahuan kepada enam

bidang: 43 buah mengenai mantiq, yang meliputi hermeneutik, analytica priora,

analytica aposteriora, topica, sophistica elenchi, rhetorica dan poetic. 11 buah

mengenai ilmu-ilmu kepandaian yang meliputi ilmu-ilmu musik, teknik, bintang-

bintang, hitungan, dan lain-lain. Sebelas (11) buah mengenai ilmu ketuhanan yang

meliputi metafisika, rahasia alam, akal dan sebagainya. Empat belas (14) buah

mengenai ilmu politik yang meliputi ilmu-ilmu akhlak, dan kenegaraan. Dua

puluh delapan (28) buah mengenai “Bunga Rampai” yang meliputi komentar-

Page 29: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

20

komentar terhadap karangan-karangan failasuf Yunani dan segala macamnya.

Termasuk di dalam bagian “Bunga Rampai” buku Iḥṣāʼ al-ʻUlūm.14

Jika memerhatikan bidang-bidang yang diisi oleh al-Fārābi dengan

karangan-karangannya di atas, dapat kita yakini bahwa failasuf Islam itu betul-

betul menguasai segala cabang ilmu pengetahuan.

Muḥammad Luṭfī Jumʻah dalam bukunya Tārīkh Falāsifah al-Islāmī

menerangkan bahwa buku-buku al-Fārābī yang sudah dicetak ke dalam bahasa

Arab berjumlah 6 buah, ditambah dengan 12 buah buku-bukunya yang tersebar di

berbagai perpustakaan-perpustakaan Eropa mengenai ilmu logika, kemudian 8

buah buku mengenai politik dan akhlak, sehingga jumlah-jumlah yang masih

diperoleh sekarang 26 buah.15

Buku-buku karangan al-Fārābī mulai ditulis sewaktu berada di Harran

pada 310 H./ 941 M., setelah usianya hampir mencapai 50 tahun. Jika

diperhitungkan bahwa semenjak dia menulis sampai usianya 80 tahun, berarti

paling lama waktunya mengarang tak lebih dari 30 tahun.

Pertama, Mengenai bukunya (Iḥṣāʼ al-ʻUlūm) adalah himpunan segala

ilmu. Sebagaimana namanya, buku itu memuat pembagian cabang-cabang ilmu

pengetahuan sampai kepada masanya. Buku itu membagi segala ilmu kepada 5

golongan:

1. Ilmu-ilmu sastra

2. Ilmu-ilmu logika

3. Ilmu-ilmu matematika

4. Ilmu-ilmu alam

14

H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madīnah al- Faḍīlah) (Jakarta: Kinta. 1968),

h. 23. 15

H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 23.

Page 30: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

21

5. Ilmu-ilmu politik, sosial dan ekonomi

Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, menamakan buku itu

“Encyclopaedia of Islam”. Dikatakannya: “Iḥṣāʼ al-ʻUlūm itu memberikan

peninjauan kembali secara umum tentang ilmu-ilmu. Para ahli bangsa Latin

memberikan ide tentang pembagian ilmu-ilmu pengetahuan menurut cabang ilmu

ada lima macam, yaitu bahasa, logika, matematika, ilmu-ilmu alam, dan politik

serta sosial ekonomi.”

Buku itu tersebar di Eropa karena terjemahannya yang banyak.

Terjemahan pertama berbahasa Latin diterjemahkan oleh John of Spain (John of

Seville, atau John of Toledo, atau John of Luna or Limia, atau John Avendehut)

yang meninggal pada 1157 M. Buku itu menggunakan nama Alpharabu

Vetustissimi Aristotelis interpretis, opera omnia, quae Latina lingua. Terjemahan

itu disebarkan oleh Guiliemus Comerarius, guru besar teologi di Universitas Paris,

pada tahun1938 M. dan sekarang dapat diperoleh dalam British Museum di

London.

Terjemahan bahasa Latin yang kedua dilakukan oleh Gerards de Ceremona

yang meninggal pada 1187 M. dengan judul buku De Scientus yang sebagian

disebarkan oleh Dr. Eilhard Wiedmann dalam bahasa Jerman pada 1907 dan

sekarang naskah terjemahan itu masih terdapat di perpustakaan Paris No. 9335

fols. 148-184.

Terjemahan yang ketiga dilakukan oleh Dominicus Guinissalinus yang

diberi judul De Devisione Philosophiae. Walaupun Wustandfel mengatakan buku

Page 31: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

22

itu bukanlah terjemahan dari karangan al-Fārābī, tetapi setelah diselidiki oleh

Wolff, hampir 2/3 dari buku al-Fārābī dimuat di dalamnya.

Adapun aslinya dalam bahasa Arab barulah dicetak pertama kali oleh

majalah al-ʻIrfān pada 1821 M. dari naskahnya tertanggal abad 13 M. Cetakan

kedua diterbitkan oleh Dr. Otsman Amien pada tahun 1931.

Kedua, selain itu ada bukunya yang bernilai tinggi ialah komentarnya

terhadap karangan Aristoteles bernama Aghrāḍ Kitāb mā Warāʼa al-Ṭabīʻah li

Arisṭū (On the Objects of Metaphysica, Tujuan buku Aristoteles tentang

Metafisika).

Mengenai buku ini, diakui oleh Ibn Sīnā, bahwa dia telah membaca buku

Metaphysic of Aristoteles (Metafisika dari Aristoteles) sampai diulanginya, tetap

dia tidak mengerti. Tapi setelah membaca komentar al-Fārābī terhadap buku itu

barulah dia mengerti seluruh isinya dengan sekali baca saja

Ketiga, buku lain yang penting juga ialah Al-Taʻlīm al-Tsānī (pelajaran

falsafat yang kedua), yang dikarangnya atas permintaan kepala daerah. Karena

buku itu, nama al-Fārābī menanjak tinggi dengan gelar “Second Preceptor” (Maha

Guru Kedua), sesudah Aristoteles sebagai Maha Guru Pertama.16

Di antara hasil-

hasil karyanya yang berjumlah 117 buah, buku karangannya di bidang politik

cukup populer dan sangat mengagumkan. Segala buku-buku itu meliputi tiga

bidang:

1. Politik dan Hukum

2. Sosial dan Ekonomi

3. Akhlak

16

H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 24-28

Page 32: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

23

Adapun nama buku-buku politik karangan al-Fārābī itu ialah:

1. Mabādiʼ Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (The principle of the community

of model city, dasar-dasar ideologi warga negara utama), atau singkatnya

dinamakan Madīnah al-Fāḍilah. Menurut keterangan Ibn Abī ʻUṣaybīʻah,

buku itu mulai dikarang al-Fārābī sewaktu di Bahgdad dan dibawanya

pindah ke Syām pada akhir 330 H., lalu disempurnakan di Damaskus pada

331 H. Barulah selesai dengan membagi-bagi bab dan pasalnya pada 337

H., sewaktu dia berada di Mesir. Jadi diselesaikan dalam waktu 7 tahun.

Naskah buku ini masih terdapat di Dār al-Kutub di Mesir No. 743 bagian

ilmu kalām. Sudah dicetak dan diterbitkan di Leiden pada 1895 dan

kemudian di Mesir.

2. Siyāsah al-Madaniyyah (political economy, politik ekonomi). Buku ini

sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew oleh Moses ben Tebon pada

1248 M. dan juga telah disebarkan oleh M. Philopporski dalam suatu

kumpulan yang dinamakannya “Sepher ha~Asiph” pada 1850 di London.

Buku siyasah ini dinamakan juga Mabādiʼ al-Mawjūdāt (dasar-dasar

segala wujud)”, telah dicetak di Heyderabad, India, pada 1346 H. Kedua

buku di atas diakui oleh Ibn Abī ʻUṣaybīʻah dan al-Qifṭī sebagai “Dua

buku yang tidak ada bandingannya”.

3. Jawāmiʻ al-Siyāsah (cimpedium of politics, himpunan politik) disebarkan

oleh Shaiko dari manuskripnya yang masih tersimpan di Vatikan.

Page 33: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

24

4. Jawāmiʻ Kutub al-Nawāmīs li Aflāṭūn (a summary of Plato laws, ringkasan

dari buku hukum karangan Plato). Manuskrip aslinya terdapat di

perpustakaan Leiden No. 1429.

5. Kitāb al-Alfāẓ al-Flāṭūniyyah wa Takwīn al-Siyāsah al-Mulukiyyah wa al-

Akhlāq (monarchal policy making and moral, kata-kata Plato tentang

pembentukan negara monarki dan akhlak). Manuskripnya tersimpan di

Aya Sophia, Istanbul, No. 2820.

6. Risālah fī Qawd al-Juyūsy (risalah tentang pembentukan tentara)

7. Al-Maʻāyisy wa al-Ḥurub (hubungan ekonomi dan peperangan)

8. Al-Ijtimāʻiyyah wa al-Madīnah (community of the city, masyarakat-

masyarakat kota)

9. Al-Faḥṣ al-Madanī (penyelidikan rencana pembangunan).

10. Taḥṣīl al-Saʻādah (reality of the happines, merealisasikan tujuan

kebahagiaan). Buku ini telah dicetak di Heyderabad pada 1345 H. Dan

naskahnya disimpan di Dār al-Kutub Mesir, No 601 bagian Hikmah.

11. Risālah fī al-Saʻādah (pamphlet on happines, risalah tentang kebahagiaan),

dapat diperoleh di Dār al-Kutub, Mesir No. 120.

12. Risālah fī at-Tanbīh ʻalā Subul al-Saʻādah (risalah tentang peringatan

mengenai jalan-jalan menuju kebahagiaan). Sudah diterjemahkan ke dalam

bahasa Ibrani dan satu naskah aslinya tersimpan di British Museum,

London No. 77.

13. Al-Ṣīrāṭ al-Faḍīlah (model of etihcs, akhlak utama). Buku ini pernah

dipuji sebagai puncak karangan al-Fārābī di bidang akhlak.

Page 34: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

25

14. Ṣadr Kitāb al-Akhlāq li Arisṭū (preface to ethics of aristotle, pengantar dari

buku akhlak karangan aristoteles). Menurut Steincheineder, kemungkinan

besar buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani, karena

kebanyakan pengarang-pengarang Yahudi selalu menyebut-nyebutnya,

seperti Maimonides, Samuel ben Taboun, Jozef ben Shantoub dan David

ben Jahuda.

15. Jawāmiʻ al-Sayr al-Marḍiyyah fī Iqtifāʼ al-Faḍāʼil al-Insiyyah (himpunan

akhlak-akhlak yang baik dalam mengikuti sifat-sifat keutamaan manusia).

Satu naskah buku ini terdapat dalam perpustakaan di Leiden, No. 1931.17

Demikianlah jumlah buku-buku karangan al-Fārābī. Kita menyadari

bahwa pembagiannya kepada tiga bidang di atas (politik dan hukum, sosial dan

ekonomi, dan akhlak), tidaklah begitu tepat. Tidak mungkin suatu buku

membatasi dirinya kepada suatu bidang saja dengan tidak mencampuri bidang

lainnya. Misalnya buku-buku mengenai kebahagiaan, dapat dimasukkan ke dalam

soal-soal sosial dan ekonomi, sebagai tujuan negara, tetapi dapat juga dimasukkan

dalam soal politik, bahkan juga dalam bidang akhlak.

Dari buku-buku yang disebutkan di atas ada tiga buah buku yang merupakan

puncak tertinggi dari setiap bidang yaitu:

1. Mabādī Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, dalam soal-soal politik

2. Siyāsah al-Madāniyyah dalam soal-soal sosial dan ekonomi

3. Al-Ṣīrāṭ al-Faḍīlah dalam soal-soal akhlak

Jika buku-buku yang merupakan puncak di bidang masing-masing itu

dihimpun menjadi satu, kita melihat satu kesempurnaan yang mengagumkan bagi

17

H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 30-33.

Page 35: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

26

uraian-uraian al-Fārābī di bidang ilmu kenegaraan. Buku-buku inilah yang

menjadi konsepsi al-Fārābī.

Page 36: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

27

BAB III

KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT AL-QURʼĀN DAN ḤADĪTS

A. Definisi Konsep dan Kepemimpinan

Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

rancangan atau buram surat, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa

konkret, gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar

bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.1 Woodruff

mendefinisikan konsep sebagai suatu gagasan/ide yang relatif sempurna dan

bermakna, suatu pengertian tentang suatu obyek, produk subyektif yang berasal

dari cara seseorang membuat pengertian terhadap obyek-obyek atau benda-benda

melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap obyek/benda). Pada

tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa obyek

atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan kompleks, konsep

merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman atau

kejadian tertentu.2

Sedangkan kepemimpinan menurut KBBI adalah perihal pemimpin, cara

memimpin.3 Setiap kegiatan manusia yang dilakukan secara kolektif selalu

membutuhkan suatu sistem kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi sukses

dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia yang

1 Kemendikbud, http://kbbi.web.id/pimpin, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Online”, 13/03/2014, pukul 14.15 WIB. 2 http://carapedia.com/pengertian_definisi_ konsep_menurut_ para_ahli_info402.html,

13/03/2014, pukul 14.30 WIB. 3 Kemendikbud, http://kbbi.web.id/pimpin, 13/02/2014, pukul 17.55 WIB.

Page 37: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

28

jutaan banyak ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis untuk melatih

dan memersiapkan pemimpin-pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan

penelitian dilakukan orang untuk memelajari masalah pemimpin dan

kepemimpinan.

Maka dari itu, pembahasan dalam bab ini akan fokus pada konsep atau ide

tentang hal apa saja yang berkaitan dengan kepemimpinan atau cara memimpin

berdasarkan al-Qurʼān dan Ḥadīts yang memang merupakan landasan utama

kehidupan. Dalam hal ini, penulis akan mengungkapkan ayat beserta tafsir dengan

tujuan agar kita dapat melihat kesesuaian ayat dengan bahasan. Ditambah juga

beberapa pandangan ahli Ḥadīts tentang Ḥadīts-Ḥadīts yang akan penulis

ungkapkan. Adapun mengenai ayat al-Qurʼān, tafsir pada pembahasan nanti akan

diungkapkan berdasarkan dua tafsir:

Pertama, Tafsīr al-Ṭabarī yang ditulis sebelum kelahiran al-Fārābī. Hal ini

dimaksudkan agar kita dapat mengetahui bagaimana trend tafsir yang beredar

pada masa-masa kehidupan al-Fārābī dan bagaimana pengaruhnya.

Kedua, Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, yang ditulis pada

abad 20. Hal ini dimaksudkan supaya kita dapat melihat perkembangan penafsiran

di era modern di mana sudah banyak teori kepemimpinan yang berkembang.

Dua tafsiran di atas cukup merepresentasikan pandangan tentang

kepemimpinan di zaman klasik yang diwakili oleh Tafsīr al-Ṭabarī dan zaman

modern yang diwakili oleh Tafsir al-Mishbah. Dengan begitu, kita dapat melihat

bagaimana perkembangan teori kepemimpinan dalam pandangan mufassir.

Page 38: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

29

Dari sekian banyak tokoh yang menulis tentang kepemimpinan menurut

al-Qurʼān adalah Munawir Sjadzali yang menulis buku Islam dan Tata Negara

yang menjadi referensi utama. Hal ini dikarenakan beberapa ayat yang ia

cantumkan di dalam bukunya itu sesuai dengan pembahasan mengenai

kepemimpinan.

Tulisan ini kita mulai dari bagaimana al-Qurʼān berbicara mengenai

kepemimpinan. Munawir Sjadzali mengungkapkan, di dalam al-Qurʼān terdapat

ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup

bermasyarakat dan bernegara. Ayat-ayat tersebut di antaranya:4

Pertama, mengajarkan tentang kedudukan manusia di muka bumi sebagai

pemimpin yaitu:

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia

meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat,

untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.

Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Anʻām: 165).

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-

Ṭabarī, Allah SWT berfirman kepada Nabi, “Wahai manusia, dan Dialah yang

menjadikan kamu sekalian manusia, sebagai penguasa-penguasa di bumi, dengan

memusnahkan orang-orang dan umat-umat sebelum kalian, serta menjadikan

4 Munawir Sjadzali, Islam dan Ilmu Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran

(Jakarta: UI Press, 1993), h. 4.

Page 39: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

30

kalian sebagai khalīfah dan pengganti mereka di muka bumi. Kalian menguasai

bumi dan menjadi penguasa setelah mereka.”5

Firman Allah SWT, “dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian

(yang lain) beberapa derajat,” sesungguhnya dalam ayat ini Allah SWT

menjelaskan bahwa keadaan manusia berbeda-beda, dan Dia menjadikan status

sebagian lebih tinggi dari sebagian lain dengan melapangkan rizki sebagian

mereka, sehingga sebagian manusia menjadi lebih utama disebabkan rizki dan

kekayaan yang dianugerahi kepada mereka lebih tinggi dari si fakir.

Selanjutnya firman Allah SWT, “Untuk mengujimu tentang apa yang

diberikan-Nya kepadamu,” maksudnya adalah untuk menguji manusia dengan apa

yang dianugerahkan kepadanya berupa keutamaan dan rizki, sehingga dapat

diketahui siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya.

Kemudian maksud dari, “Dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang” adalah sesungguhnya Allah akan menutupi dosa orang-orang

yang diberi ujian berupa kenikmatan, atau diuji dengan perintah dan larangan.

Kemudian ia menerima dan taat kepada-Nya, maka Allah akan menutupi

kehinanaan pada saat ia dihisab.6

Sedangkan menurut Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, ayat ini

menjelaskan disamping Allah SWT sebagai pemelihara segala sesuatu, “Dan Dialah

yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi,” yakni pengganti umat-umat

yang lalu dalam mengembangkan alam. “Dan Dia meninggikan” derajat akal,

ilmu, harta kedudukan sosial, kekuatan jasmani, dan lain-lain “sebagian kamu atas

5 Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk.

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 787. 6Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 787.

Page 40: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

31

sebagian” yang lain “beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang

diberikan-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Tuhanmu wahai Nabi Muḥammad

SAW “amat cepat siksaan-Nya” karena Dia tidak membutuhkan waktu, alat, dan

tidak pula disibukkan oleh satu aktifitas untuk menyelesaikan aktifitas yang lain

“dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun” bagi yang tulus bertaubat “lagi Maha

Penyayang” bagi hamba-hamba-Nya yang taat.

Kata khalāʼif adalah bentuk jamak dari kata khalīfah. Kata ini terambil dari

kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalīfah

seringkali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang

datang sebelumnya. Ini karena kedua makna itu selalu berada atau yang datang

sesudah yang ada atau datang sebelumnya.7

Kedua, prinsip yang sangat mendasar adalah keadilan sebagaimana di

dalam al-Qurʼān Allah berfirman:

Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di

muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan

adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan

menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat

dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka

melupakan hari perhitungan (Q.S. Ṣād: 26).

Maksud ayat di atas dalam Tafsīr al-Ṭabarī adalah, Allah katakan kepada

Dāwud, “Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikanmu sebagai khalīfah di

7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Jilid IV, hal. 362.

Page 41: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

32

muka bumi sesudah Kami menjadikanmu sebagai rasul yang memutuskan perkara

di antara penduduk bumi”8

Kemudian, berilah keputusan secara adil dan tengah. Dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu, dalam memutuskan perkara di antara mereka sehingga

engkau menyimpang dari kebenaran, karena hawa nafsu akan menyesatkan kamu

dari jalan Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah akan

mendapat adzab yang berat di akhirat atas kesesatan mereka dari jalan Allah

lantaran melupakan perintah Allah yang dalam hal ini tidak memberi keputusan

secara adil dan tidak menaati Allah.9

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah dikatakan

bahwa Allah SWT mengangkat Dāwud sebagai khalīfah, Allah berfirman: “Hai

Dāwud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalīfah” yakni penguasa “di muka

bumi,” yaitu di Bayt al-Maqdis, “Maka berilah Keputusan” semua persoalan yang

engkau hadapi “di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti

hawa nafsu” antara lain dengan tergesa-gesa menjatuhkan putusan sebelum

mendengarkan semua pihak, sebagaimana yang engkau lakukan dengan kedua

pihak yang berperkara tentang kambing itu, “karena” jika engkau mengikuti

nafsu, apapun dan yang bersumber dari siapa pun, baik dirimu maupun mengikuti

nafsu orang lain, maka “ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang” terus-menerus hingga tiba ajalnya “sesat dari

8 Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 144.

9 Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 144.

Page 42: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

33

jalan Allah akan mendapat adzab yang berat” akibat kesesatan mereka itu, sedang

kesesatan itu sendiri adalah “karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Kata khalīfah pada mulanya berarti “yang menggantikan” atau “yang

datang sesudah siapa yang datang sebelumnya”. Pada masa Dāwud, terjadi

peperangan antara dua penguasa besar Ṭālūt dan Jālūt. Dāwud adalah salah

seorang pasukan Ṭālūt. Kepandaiannya menggunakan ketapel mengantarkannya

pada keberhasilan dalam membunuh Jālūt, dan setelah keberhasilan itu dan

setelah Ṭālūt meninggal, Allah mengangkatnya sebagai khalīfah menggantikan

Ṭālūt.10

Ketiga, tentang musyawarah, di dalam al-Qurʼān Allah berfirman:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan

mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah

antara mereka dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada

mereka, mereka nafkahkan (Q.S. al-Syūrā: 38).

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-

Ṭabarī, Allah SWT berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima

(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,” maksudnya adalah orang-

orang yang memenuhi seruan Allah saat dia menyeru mereka agar mengesakan-

Nya, mengakui keesaan-Nya, dan terbebas dari penyembahan kepada setiap yang

disembah selain Dia.11

10

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 132. 11

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.

Page 43: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

34

Dan firman Allah, “Dan mendirikan salat,” maksudnya adalah salat wajib

sesuai dengan batas waktunya.

Kemudian firman Allah, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan

musyawarah antara mereka,” maksudnya adalah jika mereka menghadapi suatu

perkara, maka mereka saling bermusyawarah.

Lalu firman Allah, “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada

mereka, mereka nafkahkan” maksudnya adalah mereka menginfakkan sebagian

harta yang Allah anugerahkan kepada mereka di jalan Allah, dan menunaikan

kewajiban mereka hak-hak orang-orang yang berhak menerimanya, berupa zakat

dan infak kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.12

Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan

bahwa “Dan” kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi “orang-orang yang” benar-

benar “menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat” secara

berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan

khusyu kepada Allah, “dan” semua “urusan” yang berkaitan dengan masyarakat

“mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” yakni mereka

memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat

otoriter dengan memaksakan pendapatnya, “dan” di samping itu mereka juga “dari

sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka” baik harta maupun

selainnya, “mereka” senantiasa “nafkahkan” secara tulus serta berkesinambungan

baik nafkah wajib maupun sunnah.

12

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.

Page 44: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

35

Kata syūrā terambil dari kata syawur. Kata syūrā bermakna mengambil

dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memerhadapkan satu pendapat

dengan pendapat yang lain. Kata ini terambil dari kalimat syirtu al-ʻasal yang

bermakna: saya mengeluarkan madu (dari wadahnya). Ini berarti memersamakan

pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih

madu itu di mana pun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapa pun

bisa dinilai benar tanpa memertimbangkan siapa yang menyampaikan.13

Keempat, tentang ketaatan kepada pemimpin, Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu tarik-menarik

pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān)

dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

Hari Kemudian. Demikian itu baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya

(Q.S. al-Nisāʼ: 59).

Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī

mengatakan: maksudnya adalah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah

sebagai Tuhanmu, patuhilah segala perintah-Nya dan larangan-Nya. Serta taatilah

Rasul-Nya yaitu Muḥammad SAW, karena sesungguhnya ketaatanmu kepada

Muḥammad adalah bentuk ketaatanmu kepada Tuhanmu dan semata-mata karena

menjalankan perintah Allah kepadamu.”14

13

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 512. 14

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 249.

Page 45: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

36

Para mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan makna ūlū al-amr pada

ayat ini. Namun, Abū Jaʻfār mengatakan pendapatnya bahwa maksudnya adalah

para pemimpin dan penguasa, berdasarkan ḥadīts ṣaḥīḥ dari Rasulullah SAW

yang memerintahkan kita untuk taat kepada perintah (yang mendatangkan

kemaslahatan bagi kaum Muslimin) para imam dan penguasa.

Dan firman Allah, “Kemudian jika kamu tarik-menarik pendapat tentang

sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan Rasul (sunnahnya),

jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.” Maksudnya

adalah, wahai orang-orang beriman, jika kamu berbeda pendapat dalam urusan

agama dengan pemimpin kalian, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān),

yaitu kembalikanlah pengetahuan hukum yang kalian dan pemimpin kalian

perselisihkan, kepada hukum Allah. Ikutilah apa yang kalian dapatkan di

dalamnya.

Kemudian ayat, “Demikian itu baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya,”

maksudnya adalah kembalikanlah apa saja yang kamu perselisihkan kepada Allah

dan Rasul, karena itu lebih baik bagimu di sisi Allah pada hari kamu

dikembalikan kelak, dan lebih baik dalam urusan duniamu, sebab itu mengajak

kepada kasih sayang dan meninggalkan peselisihan serta perpecahan.15

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, maksud ayat di

atas adalah memerintahkan kaum Mukmin agar menaati putusan hukum siapa pun yang

berwenang menetapkan hukum. Secara berturut dinyatakan-Nya, “Hai orang-orang

yang beriman, taatilah Allah” dalam perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam

15

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 249-266.

Page 46: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

37

al-Qurʼān “dan taatilah Rasul (Nya)” yakni Muḥammad, dalam segala macam

perintahnya, baik perintah melakukan sesuatu, maupun perintah untuk tidak

melakukan sesuatu, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang sahih, “dan”

perkenankan juga perintah “ūlū al-amr” yakni yang berwenang menangani urusan-

urusan kamu, selama mereka merupakan bagian “di antara kamu” wahai orang-

orang Mukmin, dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah

atau perintah rasul-Nya. “Kemudian jika kamu tarik-menarik” yakni berbeda

“pendapat tentang sesuatu” karena kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk

Allah dalam al-Qurʼān dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang sahih,

“maka kembalikanlah ia kepada” nilai-nilai dan jiwa firman “Allah” yang

tercantum dalam al-Qurʼān serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan “Rasul” yang kamu

temukan dalam sunnahnya, “jika kamu benar-benar beriman” secara mantap dan

berkesinambungan “kepada Allah dan hari kemudian. Demikian itu” yakni

sumber hukum ini adalah “baik” lagi sempurna, sedang lainnya buruk atau

memiliki kekurangan, “dan” di samping itu, ia juga “lebih baik akibatnya”, baik

untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan akhirat kelak.

Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ūlū al-amr. Dari segi

bahasa, ūlū adalah bentuk jamak dari walī yang berarti pemilik atau yang

mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa

mereka itu banyak, sedang kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan

demikian, ūlū al-amr adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum

Muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani

persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat

Page 47: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

38

bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan

bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga adalah bahwa mereka yang

mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.16

Kelima, tentang hubungan antar umat dari berbagai agama, Allah

berfirman:

Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak

memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri

kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku adil

kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku

adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai

kawan orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu

dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan

barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah

orang-orang yang zalim (Q.S al-Mumtaḥanah: 8-9)

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-

Ṭabarī, maksud ayat di atas adalah Allah tidak melarang kita mencintai atau

berkasih sayang kepada orang-orang yang tidak memerangi kita atas dasar agama,

dan tidak pula mengusir kita dari rumah kita. Kita boleh berbuat baik kepada

mereka dan melakukan tindakan adil, yaitu tetap berbuat baik kepada mereka.17

16

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 459. 17

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 942.

Page 48: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

39

Kemudian kita hanya dilarang oleh Allah untuk berbuat baik kepada orang

yang memerangi karena agama dan mengusir kita. Dan siapa yang menjadikan

mereka kawan, menjadikan mereka pembela selain yang diperbolehkan Allah atau

menempatkan pertemanan itu bukan pada tempat seharusnya, berarti telah

menyelisihi perintah Allah.18

Akan tetapi menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah bahwa

perintah untuk memusuhi kaum kafir (non Muslim) yang diuraikan oleh ayat-ayat

yang lalu boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non Muslim harus

dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru ini, ayat-ayat di atas menggariskan

prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum Muslimin dan non Muslim. Ayat di

atas secara tegas menyebut nama Yang Maha Kuasa dengan mengatakan: “Allah”

yang memerintahkan kamu bersikap tegas terhadap orang kafir—walaupun

keluarga kamu “tidak melarang kamu” menjalin hubungan dan berbuat baik

“terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula)

mengusir kamu dari negerimu.” Allah tidak melarang kamu “berbuat baik” dalam

bentuk apapun “bagi mereka dan” tidak juga melarang kamu “berlaku adil pada

mereka.” Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka berada di pihak yang

benar, sedang salah seorang dari kamu berada di pihak yang salah, maka kamu

harus membela dan memenangkan mereka. “Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah” tidak lain “hanya melarang

kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu karena agama

dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu” orang lain “untuk

18

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 942-947.

Page 49: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

40

mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan” tempat

menyimpan rahasia, “maka mereka itulah” yang sungguh jauh kebejatannya dan

“orang-orang yang zalim” yang sungguh mantap kezalimannya.19

Tidak hanya itu, penulis juga akan membahas beberapa Ḥadīts Nabi yang

berkaitan dengan kepemimpinan. Penulis mengungkapkan pendapat Ibn Khaldūn

mengenai Ḥadīts. Hal ini dikarenakan Ibn Khaldūn memiliki pemikiran yang

brilian tentang bagaimana memandang Ḥadīts. Seperti Ḥadīts yang mensyaratkan

keturunan Quraysy untuk pemimpin negara, dan Ḥadīts lainnya yang terkait

dengan masalah politik, Ibn Khaldūn berusaha meninjau kembali bagian-bagian

dari Ḥadīts Nabi yang membahas tentang politik termasuk duniawi. Menurutnya

Ḥadīts yang seperti itu tidak perlu dianggap sebagai suatu yang absolut dan suci

yang mengatasi ruang dan waktu. Nabi Muḥammad, menurut Ibn Khaldūn, tidak

ingin umatnya mengikuti secara taqlid tanpa melihat sebab-sebab atau alasan yang

ada di baliknya. Lagi menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan atau dikatakan

oleh Nabi yang mengacu kepada urusan dunia harus ditempatkan dalam

konteksnya yang temporal dan relatif, tidak sebagaimana tradisi agama murni.

Tradisi sekular hanya patut untuk batasan ruang dan waktu di mana peristiwa itu

berlangsung.20

Dalam hal ini, Ibn Khaldūn dapat dianggap sebagai orang pertama

dalam Islam yang menempatkan Ḥadīts Nabi dalam batas ruang dan waktu.

Kepemimpinan dalam literatur Islam, khususnya sunnah Nabi Muḥammad

SAW. baik dalam praktik politik, atau teks-teks Ḥadīts yang terkait dengannya,

19

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XIV, hal. 168. 20

Fuad Baali & Ali Wardi, Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka

Hidayat), Cet. Ke-I, h. 50.

Page 50: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

41

juga perlu dikaji dengan seksama, agar didapat pengetahuan yang menyeluruh dan

benar tentang masalah ini. Hal ini penting karena banyak pemahaman dan praktik

politik kaum Muslimin yang tidak terlepas dari hasil pemahaman mereka terhadap

Ḥadīts-Ḥadīts Nabi. Seluruh prinsip-prinsip bermasyarakat bernegara ini telah

dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. seperti Ḥadīts yang diriwayatkan ʻĀʼisyah istri

Nabi, ketika ia ditanya tentang perilaku Rasulullah, ia menjawab bahwa segala

perilaku Nabi adalah berlandaskan al-Qurʼān (kāna khuluquhu al-Qurʼān) dan

diteruskan juga oleh para pengikut beliau yakni al-Khulafāʼ al-Rāsyidūn, yang

dengan teguh dan konsisten memegang dan melaksanakan prinsip-prinsip al-

Qurʼān, dalam bermasyarakat bernegara dan memimpin umat.

Ḥadīts paling terkenal populer yang berbicara mengenai kepemimpinan

adalah Ḥadīts Nabi yang berbunyi:

Dari Ibnu ʻUmār r.a. berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW

bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai

pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Begitu pula seorang

pemimpin bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya (Ḥ.R. Bukhārī

Muslim).21

Di samping itu, dalam literatur Ḥadīts Nabi terdapat beberapa riwayat

tentang istilah “khalīfah”, “imāmah”, dan juga “amīr al-muʼminīn”. Di antaranya

adalah Ḥadīts yang diriwayatkan dari Abī Hazm RA:

21

Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, terj. H. Salim Bahreisy (Bandung: al-

Maʻārif, 1987) Jilid I, h. 491.

Page 51: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

42

Aku telah berteman dengan Abū Hurayrah selama lima tahun, kemudian

aku mendengarkan ia meriwayatkan Ḥadīts dari Nabi SAW: Bani Israel

adalah kamu yang dipimpin oleh para nabi, ketika nabi mereka meninggal

lalu diganti lagi oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi

sesudahku, akan tetapi adalah para khalīfah (pengganti), dan mereka

banyak jumlahnya. Sahabat bertanya: Kemudian apa yang engkau

perintahkan kepada kami? Rasulullah bersabda: Maka baiatlah mereka satu

demi satu dan berikanlah hak mereka, karena sesungguhnya Allah yang

nanti akan menanyai kepemimpinan mereka.22

Dari Ḥadīts ini terdapat batasan tentang karakteristik sistem kekhilāfahan

Islam yang berbeda dari sistem Yahudi. Dalam pandangan Yahudi kekuasaan

agama menjadi satu dengan kekuasaan politik, karena mereka selalu dipimpin

oleh seorang nabi, dan ketika nabi tersebut meninggal kemudian digantikan lagi

oleh nabi yang lain. Sedangkan dalam Islam para khalīfah bukanlah nabi, karena

nubuwwah tidak ada lagi sesudah wafat Rasulullah SAW.

Kata “imārah” dan “amīr” adalah dua isilah yang sudah dikenal dan

digunakan dalam literatur sunnah Nabi sebelum munculnya sistem khilāfah. Pada

periode Nabi Muḥammad, istilah imārah digunakan untuk kepemimpinan

pasukan tentara, pemimpin kota-kota, dan daerah-daerah. Sama halnya pula kata

“umarāʼ”, seperti riwayat sebuah Ḥadīts:

22

Imām al-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb Imarāh”

(Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987), h. 230.

Page 52: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

43

Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sesungguhnya ia telah taat kepada

Allah, dan barangsiapa berbuat maksiat kepadaku, sesungguhnya ia telah

maksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amīrku, maka

sesungguhnya ia telah taat kepadaku, dan siapa orang berbuat maksiat

terhadap amīrku, maka sesungguhnya ia telah berbuat maksiat

terhadapku.23

Riwayat Ḥadīts lain menyebutkan:

Barangsiapa melihat sesuatu (kekurangan) terhadap amīrnya

(pemimpinnya) kemudian membencinya, maka hendaklah ia bersabar,

karena tidak ada seorang yang berpisah dari jamaah kecuali ia mati dalam

keadaan mati Jahiliyyah.24

Dalam sunnah Nabi juga dijumpai cukup banyak istilah “imām” dan

kebanyakan kata tersebut memberikan arti “yang terdepan”, “ketaqwaan”,

“petunjuk”, dan “pengetahuan”. Ḥadīts yang diriwayatkan Ibn ʻAwf dari

Rasulullah SAW menyatakan:

Sebaik-baik pemimpinmu (imām) adalah orang-orang yang kalian cintai

dan mereka mencintai kalian, menghormati kalian, dan kalian

menghormati mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin di antara kalian

adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka membenci kalian, dan

orang-orang yang kalian murkai dan mereka murka pada kalian.25

23

Lih. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitāb al-Aḥkām, Jilid IX (Kairo: Dār al-Syaʻb), h. 77-78. 24

Lih. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitb al-Aḥkām,, h. 78. 25

Lih. Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, Jilid 12, h. 224.

Page 53: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

44

Dalam Ḥadīts ini tidak didapat pemahaman bahwa yang dimaksud dalam

Ḥadīts ini adalah pemimpin pemerintah, atau pemimpin politik dan kepala negara.

Dan Ḥadīts ini tidak pula menegaskan bahwa yang dimaksud imām di sini adalah

para pemimpin agama, seperti dikatakan oleh Imam Muslim dalam kitab Ṣaḥiḥ-

nya, di mana ia tidak mengkhususkan bahwa yang dimaksud adalah pemimpin

tertinggi pemerintah atau bidang politik ataupun khusus pada pengertian lainnya.

Tapi yang dimaksud imām di sini berlaku umum kepada siapa saja yang terdepan

dalam sebuah kepemimpinan baik besar maupun kecil, agama maupun negara,

dan lain sebagainya.

Pada intinya, masalah kepemimpinan negara dalam Islam secara khusus

tidak ditemukan teks-teks yang kuat untuk menjustifikasi praktik politik yang

pada dasarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri. Al-Qurʼān dan Ḥadīts lebih

kepada memberikan pedoman-pedoman atau garis besarnya saja dalam kehidupan

manusia di dunia, kecuali beberapa hal yang terkait langsung dengan apa yang

disebut sebagai ibadah maḥḍah (ritual keagamaan murni). Karenanya kemudian,

pemahaman terhadap teks-teks agama dalam masalah ini lebih kepada interpretasi

manusia terhadap teks-teks tersebut yang hasilnya juga bersifat manusiawi.

Karena itu untuk membantu memahami bentuk kepemimpinan negara banyak

ulama yang lebih condong kepada upaya menelusuri praktik politik yang

dijalankan langsung oleh Rasulullah SAW. dan para penerusnya, yaitu al-Khulafāʼ

al-Rāsyidūn, sehingga didapat gambaran yang lebih jelas bagaimana sebenarnya

inti dari konsep politik Islam.

Page 54: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

45

B. Tugas dan Fungsi

Hal penting yang juga menjadi pembahasan dalam kajian kepemimpinan

adalah masalah dasar dari fungsi dan tugas pemimpin. Di antara sekian banyak

tokoh falsafat Islam klasik yang berbicara tentang politik, Ibn Abī Rabīʻ menjadi

pertimbangan penulis dalam berbicara tentang tugas dan fungsi pemimpin. Hal ini

dikarenakan Ibn Abī Rabīʻ hidup sebelum al-Fārābī. Dengan begitu kita dapat

melihat bagaimana kondisi pemikiran falsafat politik sebelum al-Fārābī.

Ibn Abī Rabīʻ menulis karyanya di bidang politik dipengaruhi oleh

pemikiran Aristoteles, yang berpendirian bahwa monarki adalah bentuk

pemerintahan yang terbaik. Dengan memberikan alasan rasional mengenai

kekuasaan istimewa untuk raja dengan menyatakan bahwa seorang raja “yang

memiliki segala keutamaan” yang serba lebih dibandingkan dengan para warga

negara, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari negara, dan tidak harus tunduk

kepada hukum negara seperti warga-warga negara lainnya. Bahkan raja

merupakan hukum, sumber dan pelaksanaan hukum, karena serba lebih dalam

segala keutamaan dan kemampuan politik. Seorang raja berhak memaksakan

pandangan dan perintahnya tanpa merusak keserasian hubungan dengan negara

selama kebijaksanaannya tetap untuk kepentingan negara. Selanjutnya Ibn Abī

Rabīʻ mencari dasar dari otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama. Ia

mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja dengan segala

keutamaan, telah memerkokoh kedudukan mereka di muka bumi, dan

memercayakan hamba-hamba-Nya kepada raja atau pemimpin negara. Kemudian

Allah mewajibkan para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan taat

Page 55: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

46

kepada perintah kepala negara. Dalam hubungan ini ia mengemukakan dua ayat

al-Qurʼān berikut:

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia

meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat,

untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.

Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Anʻām: 165).

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan

Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari

Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya. (Q.S. al-Nisāʼ: 59).

Jadi, dari pernyataan Ibn Abī Rabīʻ itu, tampak bahwa dasar dari

kekuasaan dan otoritas pemimpin negara adalah mandat dari Tuhan, atau

merupakan tugas yang diberikan Tuhan dengan kedudukan istimewa berupa

keutamaan dan keunggulan, demi memerkokoh kekuasaan pemimpin negara, dan

memberikan kepada pemimpin negara untuk memerintah hamba-hamba-Nya dari

Page 56: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

47

semua tingkatan, atau tunduk dan taat kepada pemimpin negara demi

kesejahteraan negara.26

C. Pengangkatan Pemimpin

Terjadi perbedaan pendapat dalam hal kepemimpinan tentang cara-cara

pengangkatan pemimpin, yaitu apakah pengangkatan tersebut berdasarkan nas

(penunjukan) atau al-ikhtiyār (pemilihan). Inilah permasalahan pokok yang

menjadi perdebatan di antara kaum Muslim seputar masalah pengangkatan

pemimpin.

Ada sekelompok kecil dari golongan ahl al-sunnah, ahli Ḥadīts, dan

golongan al-Ẓāhiriyyah berpendapat bahwa pengangkatan kepala negara

berdasarkan nas. Alasan mereka adalah bahwa khilāfah Abū Bakr itu berdasarkan

nas dari Rasulullah. Mereka menyebut riwayat tersebut dari Ḥasan al-Baṣrī dan

sejumlah ahli Ḥadīts. Salah satunya adalah yang diriwayatkan dari Aḥmad bin

Hanbal dan Ibn Hazm dari al-Ẓāhiriyyah juga berpandangan sama dengan

kelompok kecil yang disebut dengan golongan al-Bakriyyah. Akan tetapi mereka

berbeda sudut pandang dalam argumen pemahaman nas dengan kelompok

lainnya. Ibn Hazm menolak bahwa pengangkatan Abū Bakr sebagai khilāfah telah

selesai, dengan menganalogikannya sebagai “imam salat” yang diberikan oleh

Rasulullah menjelang wafatnya kepada Abū Bakr.27

Terlepas dari itu, dalam hal ini Rasulullah mengungkapkan bahwa tidak

boleh mengangkat seorang pemimpin terkecuali ditunjuk. Karena melalui

26

Munawir Sjadzali, Islam dan Ilmu Tata Negara, h. 47-48. 27

Ibnu Hazm, al-Ahkām fī Uṣul al-Aḥkam (Kairo: 1921), h. 986.

Page 57: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

48

penunjukan berarti seorang pemimpin itu mampu memenuhi kriteria dalam

memimpin, sebagaimana sabda Nabi:

Dari Abū Saʻīd ʻAbd al-Rahmān bin Samurah r.a. berkata: Rasulullah telah

bersabda kepada saya: Ya ʻAbd al-Rahmān bin Samurah, jangan menuntut

kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa

meminta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya. Tetapi jika

dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas

bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah

untuk sesuatu kemudian ternyata kau melakukannya dengan lebih baik,

maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu (Ḥ.R.

Bukhari Muslim).28

Hal tersebut juga senada dengan Ḥadīts Nabi di bawah ini:

Dari Abū Dzarr r.a. berkata: Ya Rasulullah tidakkah kau memberi jabatan

apa-apa kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Hai

Abū Dzarr kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang

pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali

orang yang dapat memenuhi hak kewajibannya, dan mememuni tanggung

jawabnya (Ḥ.R. Muslim).29

Dari pernyataan Ḥadīts di atas, nampaknya dalam persoalan mengangkat

seorang pemimpin, yaitu menggunakan cara penunjukan. Hal ini dikarenakan

melalui penunjukan seorang pemimpin itu berarti sudah memenuhi kriteria ideal.

28

Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, h. 502 29

Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, h. 503.

Page 58: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

49

Namun, urusan pengangkatan seorang pemimpin tidak selesai pada metode

penunjukan seorang pemimpin. Pada selanjutnya, timbul pertanyaan, siapa orang

yang menunjuk pemimpin tersebut?

Dalam hal ini timbul banyak perdebatan, karena memang dalam al-Qurʼān

tidak dibahas secara detail pengangkatan pemimpin, apalagi sampai kepada

pembahasan siapa yang menunjuk seseorang untuk dijadikan pemimpin.

Sedangkan dalam riwayat Ḥadīts sendiri, hanya dapat diketahui melalui riwayat

penunjukan Abū Bakr sebagai imam salat pada saat Rasul sakit. Riwayat tersebut

tidak cukup untuk memberikan informasi mengenai siapa yang menunjuk

seseorang menjadi pemimpin.

Menurut hemat penulis, di sanalah ruang untuk mengembangkan teori

kepemimpinan dalam hal pengangkatan pemimpin: Apakah ditunjuk oleh

pemimpin sebelumnya, atau ditunjuk oleh rakyat?

D. Kriteria

Pemimpin memiliki tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban, yaitu

memelihara agama, menegakkan hukum, menjaga keamanan, memerluas

keamanan pertahanan negara, mengatur keuangan, dan lain-lain. Oleh karena itu,

pemimpin harus memiliki kriteria sebagai kelayakan diri menjadi pemimpin.

Dalam hal ini penulis mengutip kriteria berdasarkan Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-

Qurʼan dan Kenegaraan yang diterbitkan Kementerian Agama Republik

Indonesia. Dalam kriteria itu diungkapkan berdasarkan penafsiran dari Lajnah

Page 59: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

50

Pentashih Mushaf al-Qurʼān yang terdiri dari mufassir Indonesia. Adapun kriteria-

kriteria itu adalah sebagai berikut:30

a. Beriman dan Bertaqwa

Seorang pemimpin negara harus beriman dan bertaqwa dalam

melaksanakan tugas dan kewajiban. Dengan demikian, dapat diharapkan ia

mendapat taufik dan hidayah dari Allah untuk mengatasi berbagai kesulitan yang

diatasi. Ia juga mengetahui bahwa segala perbuatannya akan dimintai

pertanggungjawaban di dunia, terutama di akhirat akan mendapat ganjaran yang

setimpal dengan perbuatan, sebagaimana firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang

Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian

mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara

kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang

itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang yang zalim (Q.S. al-Māʼidah: 51)

Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī

mengungkapkan bahwa: Sesungguhnya Allah melarang seluruh orang Mukmin

untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong dan pemimpin

bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga

memberitahukan bahwa barangsiapa menjadikan mereka (Yahudi dan Nasrani)

30

Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-Qurʼan dan Kenegaraan

(Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qurʼān, 2011), Cet. Ke-I, hal. 191.

Page 60: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

51

sebagai penolong, pemimpin, dan wali, sesungguhnya ia telah termasuk golongan

mereka dalam membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka telah

memutuskan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.31

Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab mengungkapkan

jika keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani—atau siapa pun, seperti dilukiskan

oleh ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti hukum Jahiliyah dan mengabaikan

hukum Allah, bahkan bermaksud memalingkan kaum Muslim dari sebagian apa

yang telah diturunkan Allah, maka “Hai orang-orang yang beriman, janganlah

kamu mengambil” dengan susah payah, apalagi dengan mudah “orang-orang

Yahudi dan Nasrani” serta siapa pun yang bersifat seperti sifat mereka—yang

dikecam ini, jangan mengambil mereka “menjadi pemimpin-pemimpin(mu)”

yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam

kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika “sebahagian mereka adalah

pemimpin bagi sebahagian yang lain” dalam menghadapi kamu, karena

kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu

sama lain berbeda. “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka” yang

memusuhi Islam itu “menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang itu termasuk

golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk” dan tidak

mengantar “orang-orang yang zalim” menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.32

b. Sehat Jasmani dan Rohani, Jujur, serta Memiliki Kemampuan

31

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 103. 32

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Cet. Ke-1, Jilid III, hal. 144.

Page 61: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

52

Seorang pemimpin negara harus kuat, yaitu sehat jasmani dan rohani, atau

sehat fisik dan mental, jujur (dapat dipercaya) dan berani, serta memiliki

kemampuan, yaitu berilmu dan memiliki wawasan yang luas, seperti firman

Allah:

Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata:Wahai ayahku!

Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang

paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang

yang kuat dan dapat dipercaya (Q.S. al-Qaṣaṣ: 26).

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-

Ṭabarī, maksud ayat di atas adalah sesungguhnya orang yang paling baik

dijadikan sebagai penggembala ternak—dalam konteks itu, adalah orang yang

kuat menjaga hewan-hewan ternakmu dan melaksanakan tugas demi kebaikan

ternakmu. Al-Amīn adalah orang yang tidak perlu dikhawatirkan akan berbuat

khianat terhadap sesuatu yang kamu percayakan kepadanya.33

Dalam ayat ini disebutkan bahwa sesungguhnya orang yang paling baik

dipekerjakan adalah orang yang kuat dan terpercaya. Menurut Quraish Shihab,

kekuatan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kekuatan dalam berbagai

bidang. Karena itu, terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan

kepada yang dipilih. Selanjutnya kepercayaan yang dimaksud adalah integritas

pribadi, yang menuntut adanya sifat amanah sehingga orang yang dipilih itu tidak

merasa milik pribadi, tetapi milik pemberi amanat yang harus dipelihara dan bila

dimintai kembali, maka ia harus rela mengembalikan.34

33

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid XX, h. 188. 34

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid X, hal. 334

Page 62: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

53

c. Adil dan Profesional

Kata adil berasal dari bahasa Arab dalam bentuk maṣdar yaitu ʻadl yang

berarti lurus atau sama. Dari makna ini kata ʻadl berarti menetapkan hukum

dengan benar. Selanjutnya berkenaan dengan adil yang merupakan salah satu

syarat menjadi pemimpin, Allah berfirman:

Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di

muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan

adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan

menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat

dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka

melupakan hari perhitungan (Q.S. Ṣād: 26).

Tafsir ayat di atas, sudah penulis cantumkan dalam subjudul pertama yaitu

konsep kepemimpinan menurut al-Qurʼān dan Ḥadīts.

d. Bertanggung jawab dan Amanah

Agar pemimpin negara itu bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas

dan kewajibannya, diperlukan pula sifat amanah dari pemimpin negara, karena

prinsip kekuasaan dalam suatu negara adalah amanah. Allah memerintahkan agar

manusia melaksanakan amanah yang diemban di pundaknya dalam Surah al-Nisāʼ

ayat 58:

Page 63: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

54

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang

berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di

antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya

Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya

Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī

berkata: menurutku pendapat yang paling tepat adalah bahwa ayat itu ditujukan

kepada para pemimpin kaum Muslim agar melaksanakan amanat kepada orang-

orang yang telah menyerahkan urusan dan hak mereka, serta berbagai urusan

mereka yang telah mereka percayakan kepada para pemimpin. Oleh karena itu,

para pemimpin sebaiknya berlaku bijak dalam memberikan keputusan di antara

mereka, serta berlaku adil dalam membagi-bagikan hak mereka, karena itu

menunjukkan sikap yang bertanggung jawab.

Selanjutnya, wahai pemimpin kaum Muslim, sesungguhnya Allah

memberikan sesuatu yang dapat menjadi pelajaran bagi kalian dengan sebaik-

baiknya dan memberikan pelajaran dalam melaksanakan perintah-Nya, agar dapat

melaksanakan amanat yang telah diserahkan kepada ahlinya dengan baik dan agar

memberikan keputusan dengan seadil-adilnya. Hal ini dikarenakan Allah

senantiasa mendengar apa yang kamu ucapkan, dan melihat apa yang kamu

kerjakan dalam melaksanakan tanggung jawabmu terhadap hak-hak tanggungan

dan harta mereka.35

35

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 248.

Page 64: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

55

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, “Sesungguhnya Allah” yang

Maha Agung, yang wajib wujud-Nya serta menyandang segala sifat terpuji lagi

suci dari segala sifat tercela, “menyuruh kamu menyampaikan amanat” secara

sempurna dan tepat waktu “kepada yang berhak menerimanya”, baik amanat

Allah kepadamu maupun amanat manusia, betapapun banyaknya yang diserahkan

kepada kamu. “Dan” Allah juga (menyuruh kamu) “ apabila kamu menetapkan

hukum di antara manusia” baik yang berselisih dengan manusia lain maupun

tanpa perselisihan, maka “kamu” harus “menetapkan” putusan “dengan adil,”

sesuai dengan apa yang diajarkan Allah, tidak memihak kecuali kepada kebenaran

dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak

menganiaya walau lawanmu dan tidak pula memihak kepada temanmu.

“Sesungguhnya Allah” dengan memerintahkan untuk menunaikan amanah dan

menetapkan hukum dengan adil, telah “memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

kepadamu”. Karena itu, berupayalah sekuat tenaga untuk melaksanakannya, dan

ketahuilah bahwa Dia yang memerintahkan kedua hal ini mengawasi kamu, dan

“Sesungguhnya Allah” sejak dahulu hingga kini “adalah Maha mendengar” apa

yang kamu bicarakan, baik dengan orang lain maupun dengan hati kecilmu, “lagi

Maha Melihat” sikap dan tingkah lakumu.36

Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara

dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah

36

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 457.

Page 65: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

56

adalah lawan dari khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai

oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu.37

e. Berani dan Tegas

Berkenaan dengan sikap berani dan tegas, Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad

dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang

Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap

lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap

orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut

kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-

Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas

(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Māʼidah: 54).

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-

Ṭabarī, bahwa firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di

antara kamu yang murtad dari agamanya” maksudnya adalah orang yang kembali

(kafir) di antara kamu, orang yang telah mengganti dan mengubahnya ke dalam

kekafiran, baik Yahudi atau Nasrani, atau yang lain dari golongan kafir.

Dan firman Allah, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum

yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,” maksudnya adalah

37

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 457.

Page 66: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

57

kelak Allah akan mendatangkan kaum yang mengganti kaum yang murtad, suatu

kaum yang mencintai Allah dan Allah mencintai mereka.

Kemudian firman Allah: “Yang bersikap lemah lembut terhadap orang

yang Mukmin,” maksudnya adalah bersikap halus kepada mereka, welas asih

terhadap mereka.

Dan firman Allah: “Yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,”

maksudnya adalah orang yang bersikap kasar dan kejam kepada mereka (orang

kafir).

Firman Allah: “Yang berjihad di jalan Allah,” adalah orang-orang

Mukmin, orang-orang yang telah Allah janjikan kepada mereka bahwa jika salah

seorang dari mereka ada yang murtad juga, maka Allah akan menggantikan

dengan orang yang bersungguh-sungguh berjihad.

Firman Allah: “Dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka

mencela,” maksudnya adalah jangan kalian takut terhadap zat Allah yang telah

memerangi musuh-musuh yang telah mencela mereka.

Kemudian firman Allah: “Itulah karunia Allah”, maksudnya adalah inilah

nikmat Allah yang diberikan kepada orang-orang yang bersikap lemah lembut

yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, “dan Allah Maha luas

(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”38

Menurut M. Quraish Shihab, sikap tegas kepada orang-orang kafir yang

disebutkan dalam ayat tersebut, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau

memaksa mereka memeluk Islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi

38

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid IX, h. 122-140

Page 67: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

58

mereka melaksanakan tuntunan agama dan kepercayaan mereka. Tetapi yang

dimaksud adalah bersikap tegas terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya

mereka yang melecehkan ajaran agama Islam dan kaum Muslim, apalagi jika

mereka merebut hak sah kaum Muslim.39

f. Cinta Kebenaran dan Musyawarah

Pemimpin yang cinta kebenaran adalah pemimpin yang benar dalam

segala urusannya dan selalu memerintahkan para pembantu, keluarga, dan

rakyatnya untuk selalu benar dalam perkataan, perbuatan, niat, dan cara berpikir.

Di samping cinta kebenaran dari pemimpin negara, juga dia harus cinta

pada musyawarah. Dalam melaksanakan urusan negara, pemimpin harus

bermusyawarah dengan lembaga-lembaga, atau para pejabat yang terkait,

sebagaimana firman Allah:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan

mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah

antara mereka dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada

mereka, mereka nafkahkan (Q.S. al-Syūrā: 38).

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-

Ṭabarī, Allah SWT berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima

(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,” maksudnya adalah orang-

orang yang memenuhi seruan Allah saat dia menyeru mereka agar mengesakan-

39

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid III, hal. 131.

Page 68: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

59

Nya, mengakui keesaan-Nya, dan terbebas dari penyembahan kepada setiap yang

disembah selain Dia.

Dan firman Allah, “Dan mendirikan salat,” maksudnya adalah salat wajib

sesuai dengan batas waktunya.

Kemudian firman Allah, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan

musyawarah antara mereka,” maksudnya adalah jika mereka menghadapi suatu

perkara, maka mereka saling bermusyawarah.

Lalu firman Allah, “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada

mereka, mereka nafkahkan” maksudnya adalah mereka menginfakkan sebagian

harta yang Allah anugerahkan kepada mereka di jalan Allah, dan menunaikan

kewajiban mereka hak-hak orang-orang yang berhak menerimanya, berupa zakat

dan infak kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.40

Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan

bahwa “Dan” kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi “orang-orang yang” benar-

benar “menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat” secara

berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan

khusyu kepada Allah, “dan” semua “urusan” yang berkaitan dengan masyarakat

“mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” yakni mereka

memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat

otoriter dengan memaksakan pendapatnya, “dan” di samping itu mereka juga “dari

sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka” baik harta maupun

40

Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.

Page 69: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

60

selainnya, “mereka” senantiasa “nafkahkan” secara tulus serta berkesinambungan

baik nafkah wajib maupun sunnah.41

41

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 512.

Page 70: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

61

BAB IV

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ

A. Konsep Negara Ideal/Utama

Jikalau pada bab sebelumnya telah dibahas tentang konsep kepemimpinan

menurut al-Qurʼān dan Ḥadīts yang merupakan landasan kehidupan, di mana kita

mendapati banyak ayat dan Ḥadīts yang berbicara kepemimpinan secara umum,

maka pada bab ini akan dibahas tentang konsep kepemimpinan menurut al-Fārābī,

karena di sana akan didapatkan rincian konsep kepemimpinan yang mendalam

dan menarik.

Di dalam karya fenomenal al-Fārābī yang berjudul Ārāʼ Ahl al-Madīnah

al-Fāḍilah, pembicaraan mengenai Negara Ideal/Utama dimulai dengan

keterangan asal-usul negara bahwa negara muncul karena kumpulan manusia,

yang di dalamnya manusia membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi

kebutuhan, dan ini adalah bibit pertama bagi lahirnya negara. Al-Fārābī

beranggapan bahwa negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu

masyarakat yang saling membantu memenuhi kebutuhan hidup. Setiap individu

memunyai kepandaian yang berbeda-beda, tapi berjanji akan menyumbangkan

hasil kepandaiannya untuk memenuhi kebutuhan individu lainnya, agar tercapai

cita-cita bersama, yaitu kebahagiaan. Al-Fārābī menyatakan dalam Ārāʼ Ahl al-

Madīnah al-Fāḍilah bahwa:

Page 71: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

62

1

Setiap individu manusia secara natural saling membutuhkan di dalam

kelompoknya untuk memenuhi kebutuhannya yang banyak, maka ia tidak

mungkin dapat mengatasai semuanya sendirian, tetapi ia membutuhkan

kelompok untuk mengatasi setiap kebutuhannya.

Selanjutnya al-Fārābī juga berbicara mengenai komunitas dari sisi sifat

yang berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan yaitu terdiri dari komunitas

sempurna dan komunitas tidak sempurna. Komunitas sempurna adalah komunitas

yang saling memenuhi kebutuhan dan memunyai cita-cita bersama. Sedangkan

komunitas tidak sempurna adalah komunitas yang belum sanggup memenuhi

kebutuhannya dan tidak memunyai cita-cita bersama.2

Kemudian dari cakupan teritorial, ia membagi komunitas sempurna

dibedakan atas tiga jenis, yaitu besar, menengah, dan kecil. Komunitas besar

adalah komunitas masyarakat yang bertempat di al-ma’mūrah (komunitas

masyarakat dunia), komunitas menengah adalah suatu umat yang bertempat di

suatu bagian dari dunia, dan komunitas kecil adalah komunitas masyarakat kota

yang bertempat tinggal di bagian-bagian dari belahan suatu wilayah. Adapun

komunitas tidak sempurna terdiri dari masyarakat desa, masyarakat yang tinggal

di daerah tertentu, masyarakat di tempat-tempat umum dan masyarakat keluarga.3

1 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8,h.

118. 2 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama (Jakarta: Kinta, 1968), h. 57.

3 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 118.

Page 72: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

63

Sedangkan yang banyak dibahas dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah

adalah pembahasan mengenai komunitas sempurna. Di dalamnya terdapat

perubahan-perubahan bentuk suatu komunitas yang sudah mampu memenuhi

kebutuhan dan memiliki cita-cita bersama. Perubahan ini berupa pengristalan

tujuan masyarakat kepada suatu bentuk sempurna yang terdapat dalam corak

kepemimpinan yang ada di dalam Negara Ideal/Utama.

Bentuk perubahan itu diawali dengan manusia yang saling berinteraksi

dalam suatu komunitas, baik komunitas kecil, menengah maupun besar, dan

kemudian komunitas itu membentuk organisasi negara dan mereka sebagai warga.

Setelah saling memenuhi kebutuhan pokok, para warga memiliki tujuan utama

yang ingin dicapai. Tujuan utama mereka itu merupakan cerminan dari tujuan

hidup yang ingin mereka raih. Setelah tujuan awal mereka raih, maka akan

muncul dalam jiwa mereka perasaan-perasaan seperti puas, merasa bermanfaat,

terhormat dan lain sebagainya. Namun setelah itu, ada sesuatu yang belum mereka

peroleh dan rasakan sebagai faktor yang menyebabkan ketidaktentraman dalam

jiwa mereka. Itulah yang ingin mereka raih selanjutnya. Keadaan semacam itu,

membuat mereka pada akhirnya berpaling dari tujuan pertama ke tujuan lain

setelah keperluan pokok mereka teratasi. Tujuan yang ingin diraih itu adalah suatu

tujuan yang diyakini lebih baik dari tujuan pertama yang dapat membawa mereka

kepada ketentraman dan menjadikan hidup mereka berbahagia dalam arti yang

sebenarnya.4

4 Al-Fārābī, al-Siyāsah al-Madaniyyah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), Cet Ke- II, h. 44.

Page 73: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

64

Tujuan di sini seperti yang al-Fārābī inginkan bahwa setiap warga negara

harus memunyai ide (Ārāʼ) yang mesti diperjuangkan terus-menerus dan menuju

kepada satu titik terakhir dari suatu negara, yang menjadi harapan dan tujuan

bersama. Bagi al-Fārābī tujuan akhir itu adalah kebahagiaan.

Dalam buku Negara Utama (Madīnah Fāḍilah) karya Ahmad Zainal

Abidin yang meneliti buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah bahwa persetujuan

masyarakat untuk mendirikan negara didasarkan kepada keikhlasan mereka untuk

meniadakan hak-hak individual mereka demi kebahagiaan bersama. Perjanjian

untuk saling meniadakan hak-hak (individu) adalah dasar dari segala penaklukan

diri secara damai kepada negara. Jika ada penduduk yang mencoba menekan

penduduk yang lain, seluruh penduduk akan bersatu dan saling membantu untuk

memertahankan kemerdekaannya.”5

Saling meniadakan hak-hak pribadi, tidak diartikan bahwa seluruh hak-hak

kemanusiaan harus dikorbankan dan dilenyapkan, sehingga manusia hidup dan

diperintah bagai hewan. Meniadakan hak-hak itu untuk suatu maksud dan cita-cita

yang lebih luhur, ialah menciptakan ideologi negara.

Al-Fārābī memisahkan antara satu negara dari negara lainnya berdasarkan

ideologi yang dianut oleh negara itu. Ia tidak mengikuti cara-cara Yunani yang

membagi negara menurut kepala negara seperti monarki, aristokrasi, dan

demokrasi. Dan tidak pula ia sepakat dengan pembagian negara secara modern

yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat, kedaulatan kekuasaan, dan

kedaulatan hukum. Al-Fārābī menempuh jalannya sendiri, yaitu pembagian

5 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 53.

Page 74: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

65

berdasarkan ideologi, di mana al-Fārābī menuliskan konsep Negara Ideal/Utama

beserta negara-negara yang berlawanan terhadap konsep Negara Ideal/Utama.6

Pertama, Madīnah al-Fāḍilah (Negara Ideal/Utama) menurut al-Fārābī

adalah negara yang didirikan oleh warga negara yang memunyai tujuan yang tegas

yaitu kebahagiaan. Dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah dinyatakan bahwa

terwujudnya Kota Ideal/Utama dalam Negara Ideal/Utama adalah suatu kota yang

para warganya memiliki pengertian-pengertian sebagai berikut:

(Para warganya) memiliki pengertian-pengertian tentang sebab pertama

dan segala sifat-sifatnya, segala bentuk yang menjadi halangan terjalinnya

hubungan dengan akal aktif, benda-benda langit dan segala sifatnya,

benda-benda fisik dan di bawahnya, bagaimana (benda) itu muncul dan

kemudian hancur. (Mereka juga memiliki kesadaran) akan munculnya

segala yang ada ini berjalan dengan serasi dan adil lagi penuh hikmah.

(Tuhan) yang menciptakan segalanya tidak mungkin memiliki kekurangan

dan tidak mungkin pula Dia berbuat zalim. (Mereka juga memiliki

kesadaran) akan (tujuan) keberadaan manusia, bagaimana munculnya

daya-daya jiwa, bagaimana jiwa itu diterangi oleh sinar yang beremanasi

dari akal aktif sehingga dia mengenal wujud pertama, bagaimana

(manusia) memiliki kehendak dan pilihan. Kemudian munculnya

6 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 102.

Page 75: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

66

pemimpin utama dan (diperolehnya) wahyu. Kemudian pemimpin-

pemimpin yang menjadi wakil-wakil pemimpin utama kalau pemimpin

utama berhalangan dan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang seharusnya

dimiliki oleh warga dalam Negara Ideal/Utama. Kemudian munculnya

Kota Ideal/Utama yaitu suatu kota yang para warganya memeroleh

kebahagiaan yang diidam-idamkan. 7

Hal ini juga ditegaskan dalam Negara Utama (Madīnah al-Fāḍilah)

karangan M. Zainal Abidin berdasarkan buku al-Siyāsah al-Madaniyyah karya

al-Fārābī bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang tertinggi dan yang diidam-

idamkan. Tidak satu pun yang lebih tinggi daripadanya, yang mungkin dicapai

oleh manusia. Ia tidak dapat diwujudkan kecuali dengan ilmu pengetahuan dan

dengan usaha. Dan manusia tidak bisa memahami kebahagiaan secara baik,

kecuali sesudah mengenal arti keutamaan.”8

Dikutip dari buku yang sama berdasarkan buku al-Fārābī Taḥṣīl al-

Saʻādah, ada empat macam keutamaan manusia yang dapat menjamin bagi segala

bangsa di dunia dan segala penduduk dari suatu negara, akan kebahagiaan sejati

dan sempurna. Unsur-unsur keutamaan itu adalah:

1. Keutamaan pikiran dan ilmu pengetahuan, yaitu keunggulan cara berpikir

dan menyelidiki ilmu pengetahuan yang melebihi bangsa lain.

2. Keutamaan tanggapan di dalam menetapkan barang yang paling berguna,

yaitu keunggulan di dalam mengatur dan merencanakan barang yang

paling berguna.

3. Keutamaan moral di dalam berpikir dan berbuat, yaitu keunggulan di

dalam budi pekerti dan akhlak yang tetap memelihara kemanusiaan dan

kesopanan.

4. Keutamaan cara bekerja dan berusaha, yaitu keunggulan dalam teknik

pekerjaan di dalam segala lapangan perusahaan, baik perusahaan teknik

dan perindustrian, atau perusahaan lainnya.9

7 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 146.

8 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 72.

9 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 112.

Page 76: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

67

Jalan satu-satunya untuk mencapai 4 (empat macam) keutamaan itu ialah

setiap orang bekerja untuk bakatnya di bawah pemimpin yang memunyai bakat

yang lebih besar dan sungguh-sungguh kuat.10

Kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan dan usaha yang

mati-matian, yaitu kebahagiaan yang dikatakan al-Fārābī sebagai “saʻādah

mādiyyah wa maʻnawiyyah”. Kebahagiaan jasmani dan rohani, material dan

spritual, untuk hidup dunia dan akhirat.

Untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tidaklah dapat dilakukan

dengan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri. Negara harus menghimpun segenap

tenaga yang ada, dengan membuat rencana yang lengkap untuk melakukan

pembangunan. Al-Fārābī mengemukakan tiang-tiang utama bagi pembangunan:

1. Kerja sama manusia secara kolektif

2. Kesucian pribadi masing-masing dalam pikiran dan perbuatan

3. Semangat kemasyarakatan berupa koperatif, harmoni, dan simpati11

Dengan tiga tiang utama yang disebutkan di atas, maka sistem

pembangunan tidak bersifat individualis. Al-Fārābī tetap tidak mengingkari

adanya hak perseorangan, tetapi menganjurkan supaya bekerja sama, gotong

royong, dan saling simpati antara satu sama lain.

Al-Fārābī mengatakan bahwa di samping adanya hak milik bersama di

mana masing-masing orang dan tiap-tiap kelas memunyai hak yang sama,12

diizinkan pula memunyai hak pribadi sebagai hasil dari kepandaian dan kerja

keras.13

10

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 113. 11

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 113. 12

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 88. 13

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 93.

Page 77: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

68

Kedua, Madīnah al-Jāhilah (Negara Jahiliyah) ialah negara yang tidak

memunyai ideologi yang tinggi, artinya tidak memunyai tujuan yang ideal sama

sekali atau menganut ideologi yang salah, yang bertentangan dengan kebahagiaan.

Kota ini dihuni oleh warga yang tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan (yang

seharusnya menjadi tujuan utama manusia) dan hal ini memang tidak pernah

terlintas di dalam benak mereka. Bahkan, jika diarahkan secara benar untuk

sampai kepada hal tersebut (kebahagiaan), mereka tetap tidak dapat

memahaminya, bahkan tidak memercainya. Hal-hal baik yang mereka kenali

hanyalah hal-hal yang secara superfisial, tetapi mereka menganggapnya sebagai

sesuatu yang paling baik dan itu pulalah yang mereka jadikan tujuan hidup. Di

antara hal-hal baik dan esensial yang menjadi perhatian dan tujuan mereka

hanayalah seperti kesehatan badan, kemakmuran, kenikmatan kesenangan jasmani

(badani), kebebasan melampiaskan hawa-nafsu, dan merasa dihormati. Menurut

para warga kota kebodohan, hal-hal ini merupakan unsur-unsur yang menjadi

kelengkapan dari kebahagiaan. Kebahagiaan terbesar dan paling sempurna bagi

mereka adalah apabila orang dapat memeroleh semuanya itu secara total.

Sebaliknya, menurut mereka, keadaan-keadaan seperti badan yang tidak sehat,

kemiskinan, tidak adanya hiburan, ketiadaan kebebasan melampiaskan hawa-

nafsu, dan tidak memeroleh penghormatan merupakan sebuah penderitaan.14

Untuk itu mereka berusaha menghindari hal-hal tersebut.

Menurut al-Fārābī, jiwa penduduk kota/negara kebodohan adalah tidak

sempurna karena keinginan mereka terhadap hal-hal yang bersifat materi terlalu

14

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128.

Page 78: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

69

besar dan tidak mau berpikir tentang hakekat materi itu yang kemudian berujung

(pengenalan) kepada Pencipta Pertama. Mereka bagaikan binatang yang tanpa

memunyai perasaan akan adanya kehidupan akhirat. Semua yang ada ini, bagi

mereka, pada akhirnya akan hilang (musnah) juga.15

Al-Fārābī membagi Kota/Negara Kebodohan menjadi enam macam

yaitu;

1. Al-Madīnah al-Ḍarūriyyah (Kota/Negara Kebutuhan Dasar).

2. Al-Madīnah al-Baddālah (Kota/Negara Jahat)

3. Al-Madīnah al-Khissah wa al-Siqūṭ (Kota/Negara Rendah dan Hina)

4. Al-Madīnah al-Karāmah (Kota/Negara Kehormatan, Aristokratik)

5. Al-Madīnah al-Taghallub (Kota/Negara Imperialis)

6. Al-Madīnah al-Jamāʻiyyah (Kota/Negara Komunis)

Al-Madīnah al-Ḍarūriyyah (Kota/Negara Kebutuhan Dasar) adalah suatu

kota/negara yang di dalamnya para warga hanya memrioritaskan persoalan-

persoalan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan badan mereka, seperti

makan, minum, berpakaian, bertempat tiggal, dan menikah. Mereka selalu

berusaha sungguh-sungguh dan saling bahu membahu dalam memerolehnya.16

Al-Madīnah al-Baddālah (Kota/Negara Jahat), yaitu suatu kota/negara

yang warganya menjadikan kekayaan dan kemakmuran secara berlebih-lebihan

sebagai tujuan hidup,17

dan mereka tidak mau membelanjakan (harta benda)

kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan dasar (jasmani). Apa yang mereka peroleh

bisa berasal dari pekerjaan dari berbagai jenis profesi maupun dari sumber daya

alam yang ada di negeri itu. Yang paling utama di antara mereka adalah yang

paling dapat memeroleh kekayaan itu dengan mudah. Sedangkan yang menjadi

15

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 139. 16

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 17

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132.

Page 79: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

70

pimpinan bagi mereka adalah orang yang paling banyak perolehannya dan selalu

dapat memertahankan perolehan (kekayaan itu).18

Al-Madīnah al-Khissah wa al-Siqūṭ (Kota Hina dan Rendah) yaitu suatu

kota/negara yang tujuan hidup para warganya hanya memburu kesenangan, dan

kenikmatan belaka. Kesenangan dan kenikmatan itu bisa berwujud makanan,

rninuman, dan menikah (hubungan seks). Kenikmatan indrawi dan khayali itu

mereka lakukan tidak lain hanyalah bertujuan untuk bersenda gurau dan main-

main belaka.19

Al-Madīnah al-Karāmah (Kota/Negara Kehormatan Aristokratik), yaitu

suatu kota/ negara yang tujuan para warganya adalah untuk meraih kehormatan,

pujian dari bangsa-bangsa lain, (merasa) dimuliakan, baik dengan kata-kata

maupun dengan perbuatan (perlakuan), memiliki kebanggaan dan kemegahan,

baik di mata orang lain maupun di antara mereka (warga) itu sendiri.20

Madīnah al-Taghallub (Kota Imperialis), yaitu kota/negara yang tujuan

pokok warganya hanyalah untuk mengalahkan (menundukkan) orang lain,

mencegah orang (kelompok) lain mengalahkan dan menundukkan dirinya, dan

kerja keras mereka hanyalah didasari pada rasa mengalahkan orang lain.21

Al-Madīnah al-Jamāʻiyyah (Kota/Negara sosialis) yaitu suatu kota yang

tujuan inti para warganya adalah memeroleh kebebasan yang tanpa batas untuk

18

Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h. 97. 19

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 20

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 21

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132.

Page 80: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

71

melampiaskan hawa nafsu. Dalam kota itu tak seorang pun berhak melarang apa

yang menjadi keinginan dan apa yang dilakukan oleh warga kota22

.

Ketiga, Madīnah al-Fāsiqah (Kota/Negara Fasiq) ialah negara yang

pandangan-pandangan para warganya adalah pandangan Kota Ideal/Utama.

Mereka mengetahui (konsep) kebahagiaan, dengan meyakini akan adanya

(mengenal) Allah, benda-benda langit, dan akal aktif, dan semua cara yang lazim

dilakukan oleh warga negara utama untuk mencapainya tetapi apa yang mereka

lakukan sangat bertolak belakang dengan pandangan mereka. Perbuatan-perbuatan

yang mereka lakukan adalah perbuatan yang lazim dilakukan oleh warga negara

kota kebodohan.23

Mereka melakukan itu semua dengan alasan yang bermacam-

macam; ada kalanya demi memeroleh/memertahankan jabatan, demi

penghormatan atau demi kemenangan dan gengsi sehingga mereka melakukan

hal-hal demikian di luar apa yang mereka yakini kebenarannya.24

Jadi, persamaan

warga kota ini dan warga Kota Ideal/Utama hanyalah dalam hal pendapat yang

mereka yakini saja, tidak pada praktiknya.25

Penduduk Kota/Negara Fāsiqah ini

memiliki jiwa yang sakit karena sebenarnya mereka menderita oleh perbuatan-

perbuatan mereka yang hina. Jiwa ini, sebagaimana dinyatakan al-Fārābī, akan

tersiksa dan tetap menderita selama-lamanya atau dalam bahasa lain, mereka akan

selalu ada dalam kesengsaraan.26

Pandangan-pandangan mereka tentang

bagaimana seharusnya bernegara dan apa yang seharusnya menjadi tujuan inti

dalam bernegara itu sudah benar, namun karena adanya faktor-faktor dari luar

22

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 23

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 24

Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h. 103. 25

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 26

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133.

Page 81: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

72

yang memengaruhinya, mereka berbalik arah sehingga melakukan hal-hal yang

bertentangan dengan pandangannya.

Keempat, Madīnah al-Mubaddilah (Negara/kota yang bertukar kebutuhan)

ialah negara yang pandangan-pandangan dan perbuatan-perbuatan penduduknya

pada mulanya sama dengan pandangan dan perbuatan-perbuatan masyarakat

negara utama kemudian beralih dari pandangan-pandangan itu karena kemasukan

pandangan lain sehingga menyeleweng dari pandangan semula.27

Penyelewengan-

penyelewengan itu menyebabkan negara menyimpang jauh dari garis-garis yang

ada dalam negara utama sehingga apa yang mereka lakukan semakin menjauh dari

tercapainya kebahagiaan.28

Kelima, Madīnah al-Ḍāllah (Kota/Negara Sesat) ialah negara yang para

warganya memrediksi adanya kebahagiaan sejati setelah mati di akhirat tetapi

mereka berubah (pikiran). Penduduk kota ini memercayai adanya Tuhan,

malaikat-malaikat dan akal aktif dengan keyakinan yang rusak (tidak benar) dan

mengekspresikan dalam bentuk patung-patung dan khayalan-khayalan. Pemimpin

utama mereka adalah orang yang dipercaya yang kemudian kepercayaan itu

disalahgunakan dan dia menciptakan opini tersendiri yang kemudian berujung

kepada kepalsuan, penipuan, dan pengelabuan.29

Dari uraian di atas mengenai konsep Negara Ideal/Utama beserta negara

yang berlawanan dengan Negara Ideal/Utama, kita mulai mendapati pemahaman

tentang pembagian-pembagian negara. Pembagian negara itu berdasarkan ideologi

27

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 28

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 104. 29

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133..

Page 82: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

73

warga dan pemimpinnya, karena memang unsur utama dalam negara adalah warga

dan pemimpinnya.

Lalu pada sub bab selanjutnya, penulis akan memfokuskan pembahasan

pemimpin. Di sana akan dibahas mengenai kepemimpinan ideal yang ada di

dalam Negara Ideal/Utama yaitu berupa pembahasan mengenai apa tugas dan

fungsi pemimpin yang ideal, seperti apa cara pengangkatan pemimpin yang ideal,

dan bagaimana kriteria pemimpin ideal.

B. Tugas dan Fungsi Pemimpin

Sudah banyak dibahas dalam ilmu kepemimpinan modern mengenai

pengertian tugas dan fungsi pemimpin yaitu melaksanakan fungsi-fungsi

kepemimpinan yang terdiri dari: merencanakan, mengorganisasikan,

menggerakkan, dan mengawasi. Namun hal ini berbeda dari pengertian tugas dan

fungsi seorang pemimpin menurut al-Fārābī. Al-Fārābī memahami tugas dan

fungsi pemimpin sebagai simbol yang bersifat falsafi.

Hal ini dikarenakan bagi al-Fārābī pemimpin yang sesungguhnya adalah

pemimpin yang tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi

manfaat kepada diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan

tugas pemimpin. Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling

sejahtera di antara yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga

kota.30

30

Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), h. 47.

Page 83: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

74

Kemudian juga al-Fārābī memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti

atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang

memiliki kesempurnaan tujuan. Apabila perbuatan-perbuatan, keutamaan-

keutamaan, dan kreatifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh

masyarakat, maka kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain

pemimpin adalah orang yang paling utama, paling kreatif, dan memiliki tujuan

yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi apabila dia tidak memiliki

ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana yang dimiliki oleh

seorang failasuf.31

Karena itu bagi al-Fārābī, agar semua komunitas manusia ini memeroleh

kebahagiaan sejati, pemimpin utama (dalam melaksanakan tugasnya) di Negara

Utama bisa memergunakan dua metode, yaitu pengajaran dan pembentukan

karakter. Metode pengajaran dilakukan dengan memerkenalkan kebajikan teoritis,

dengan harapan orang dapat memahami teori-teori dan melaksanakannya sesuai

dengan ketentuan-ketentuan teoritis normatif tersebut. Sedangkan pembentukan

karakter adalah metode memerkenalkan kebajikan moral dan seni praktis dengan

membiasakan bangsa dan penduduk untuk melakukan tindakan-tindakan yang

bersumber dari keadaan lingkungan sekitar yaitu dengan cara membangkitkan

pada diri mereka tekad untuk melakukan tindakan-tindakan (utama) baik secara

persuasif maupun paksaan.32

Di sini ada dua unsur utama yang sebenarnya memungkinkan untuk

berpartisipasi dalam membangun umat yaitu, kelompok pertama adalah orang

31

Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah (Hyderabad: Majlīs Dāʼirah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah,

1349 H.), h. 43. 32

Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 29.

Page 84: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

75

berilmu teoritis yang dengan suka hati dan kemauannya sendiri menransfer ilmu

pengetahuan teoritisnya kepada orang lain, dan kelompok kedua adalah kelompok

orang yang menransfer ilmu pengetahuan teoritisnya dengan terpaksa. Laksana

sebuah rumah tangga, pemimpin adalah pengajar dan pembentuk karakter semua

anggota-anggota keluarga itu. Dia harus mengajari dan membentuk karakter

semua anggota keluarga, mulai dari yang masih anak-anak sampai yang beranjak

dewasa. Sebagian dari mereka ada yang memerlukan didikan secara lemah lembut

dan penuh pengertian, sementara yang lain ada yang harus keras dan paksaan.

Demikian halnya dengan umat, ada yang cukup dengan perlakuan lemah lembut,

tapi ada juga yang mesti keras dan paksa untuk mengarahkan mereka menjadi

warga yang baik. Tujuan dari semua itu adalah kebahagiaan tertinggi.33

Bagi al-Fārābī, pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan

dapat merealisasikan dalam kepemimpinannya sehingga kepercayaan masyarakat

terhadap dirinya semakin kuat. Dia tidak hanya pandai tebar pesona tetapi

mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Karakter demikian ini biasanya

dimiliki orang-orang yang memahami falsafat secara baik, dia adalah failasuf

sejati, bukan failasuf palsu atau failasuf pendusta yaitu para failasuf yang

memelajari ilmu pengetahuan (teoritis) dan kebenaran dan kebijaksanaan tetapi

tidak memraktikkannya.34

Kemudian juga semakin amat terlihat jelas, bahwa al-Fārābī benar-benar

memahami pemimpin sebagai simbol yaitu tentang teorinya mengenai organisme,

33

Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 31-32. 34

Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 44.

Page 85: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

76

di mana hakikat negara adalah laksana suatu tubuh yang hidup sebagaimana tubuh

manusia.

Sebagai ciri-ciri dari organisme ialah sifatnya yang berubah-ubah. Badan

organisme yang hidup dapat menerima dan mengambil bahan-bahan dan zat-zat

dari luar dirinya, lalu diolah untuk kebutuhan hidup dan kemudian dipisahkan

mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Di dalam organisme terdapat

struktur dan hierarki sehingga setiap bagiannya memiliki kedudukan tertentu.35

Hal ini sebagaimana yang dikutip dari Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah

bahwa Negara Ideal/Utama tak ubahnya bagaikan susunan tubuh manusia yang

sehat dan sempurna:

Negara Ideal/Utama tak ubahnya bagaikan susunan tubuh manusia yang

sehat dan sempurna. Masing-masing anggotanya bekerja sama untuk

menyempurnakan dan memelihara segala kebutuhan hidup bersama. Setiap

anggota tubuh memiliki fungsi dan kemampuan yang berbeda-beda, yang

masing-masing bertugas sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya.

Dia atas semua itu ada suatu anggota yang berfungsi sebagai kepala yang

mengendalikan segala gerak dari keseluruhan bagian tubuh yang lain yaitu

hati (jantung).36

Pemimpin utama itu laksana jantung manusia. Jantung adalah organ utama

dalam tubuh manusia. Dia harus dalam kondisi prima sebelum anggota-anggota

tubuh vital lainnya. Anggota-anggota tubuh vital (selain jantung) itu dalam

beraktifitas selalu di bawah koordinasi dan otoritas jantung. Demikian juga

35

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 54. 36

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 118.

Page 86: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

77

pemimpin negara utama. Dia adalah unsur paling utama dan menentukan bagi

pemimpin-pemimpin di bawahnya dan seterusnya yang memiliki kapasitas dan

dalam posisi memimpin dan dipimpin.37

Sebagaimana jantung adalah anggota utama tubuh yang paling vital yang

harus pertama kali dalam keadaan prima sebelum anggota tubuh vital lainnya,

demikian juga pemimpin utama, bahwa ia harus dalam keadaan prima baik secara

fisik maupun psikis, karena apa yang terjadi pada pemimpin utama itu pasti akan

berimbas kepada pemimpin-pemimpin lain di bawahnya. Pemimpin utama adalah

seorang yang secara natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling

mulia di antara pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis

melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan

pimpinan utama sampai pada jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang

tingkat kemuliaannya sedikit.38

Sebab utama adanya peringkat kepemimpinan itu adalah bahwa pemimpin

utama adalah laksana seorang raja dalam kota (negara) utama dengan semua

kawasan (wilayah) lainnya. Pemimpin utama cenderung untuk tidak

memerdulikan hal-hal yang bersifat materi, sedangkan yang lain tidak demikian.

Pemimpin utama fokus kepada satu tujuan utama, yaitu (mengabdi) kepada Sebab

Pertama, tunduk kepada-Nya dan mencukupkan diri hidup untuk-Nya. Pemimpin-

pemimpin di bawahnya mengikuti apa yang dilakukan pemimpin utama namun

tidak terlalu fokus pada tujuan utama, demikian seterusnya.39

37

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 119. 38

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 120. 39

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 121.

Page 87: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

78

Setelah kita memahami tugas dan fungsi pemimpin ideal menurut al-

Fārābī yang bersifat simbolis dan falsafi, dapat kita lihat bahwa pemikiran al-

Fārābī amat terpengaruh doktrin-doktrin agama yang menganalogikan negara

sebagai tubuh manusia sebagaimana Ḥadīts di bawah ini:

Perumpamaan kaum Mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta

cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka

akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tidak bisa tidur dan merasa

demam (H.R. Bukhārī Muslim).

Kita patut apresiasi ide ini karena al-Fārābī mengemukakan teorinya

begitu detail sehingga pesan-pesan falsafi itu sampai kepada kita, kemudian kita

dapat memahami bagaimana tugas dan fungsi pemimpin yang sifatnya simbolis

dan falsafi.

Selanjutnya, untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang

kepemimpinan, penulis akan membahas mengenai tata cara pengangkatan

pemimpin ideal menurut al-Fārābī.

C. Pengangkatan Pemimpin

Mengenai pengangkatan kepala negara, al-Fārābī tidak sedetail menurut

tata cara negara demokrasi, karena al-Fārābī tidak menjelaskan bagaimana

mekanisme pengangkatan kepala negara.40

Namun dalam hal ini ada beberapa

40

Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta:

Rajawali, 1996), h. 79.

Page 88: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

79

pemikiran al-Fārābī, khususnya berkaitan dengan pengangkatan pemimpin banyak

dipengaruhi oleh kaum Syīʻah.

Sebelum membahas tata cara pengangkatan seorang pemimpin, kita harus

mengerti apa sebenarnya yang diinginkan al-Fārābī mengenai sosok pemimpin

yang ideal. Hal ini dikarenakan setelah kita mengetahui keinginan al-Fārābī

tentang sosok pemimpin yang ideal, kita akan tahu bagaimana al-Fārābī

mengemukakan tata cara pengangkatan pemimpin. Untuk itu kita awali dengan

mengidentifikasi pemimpin utama menurut al-Fārābī.

Bagi al-Fārābī sendiri, pemimpin utama adalah pemegang otoritas utama

yang tidak mungkin dipimpin oleh pimpinan lain. Demikian pula pemimpin utama

dalam negara utama tidak mungkin dipimpin oleh pemimpin-pemimpin lain di

atas atau di bawahnya. Dia adalah orang yang menjadi panutan bagi pemimpin-

pemimpin yang lain dalam segala hal, dan di tangan dialah segala persoalan-

persoalan dalam negara utama itu bermuara. Dia adalah orang yang paling

sempurna di antara yang lain. Dia adalah ʻaql sekaligus maʻqūl, daya khayalnya

secara natural telah mencapai kesempurnaan. Daya ini adalah daya yang secara

natural ada padanya, baik waktu terjaga maupun di waktu tidur, muncul dari akal

aktif partikular, baik dengan sendirinya maupun di sebabkan oleh pengaruh lain.

Akal potensial telah mencapai kesempurnaan dengan segala bentuk-bentuk

sehingga dapat melepaskan arti-arti materinya dan menjadi akal aktual.41

Lalu, barang siapa yang akal potensialnya telah mencapai kesempurnaan

dengan segala bentuk kemudian menjadi akal aktual sekaligus bentuk aktual,

41

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 123.

Page 89: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

80

bentuk-bentuk itu yang dia peroleh dari dalam akalnya, ia telah mencapai akal

aktual yang tingkatannya di atas akal potensial. Ia lebih sempurna dan berpisah

dari materi, dekat dengan akal aktif, yang disebut dengan akal mustafad. Dia

berada di tengah-tengah antara akal potensial dan akal aktif, di saat itu tidak ada

lagi pembatas antara dirinya dengan akal aktif.42

Akal aktif adalah sesuatu yang menyebabkan arti-arti dari materi menjadi

terlepas. Arti-arti itu telah memunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya.

Bukan lagi dalam bentuk potensial tetapi dalam bentuk aktual, dan yang dapat

menangkap akal aktif itu adalah daya berpikir. Daya berpikir terdiri dari dua

macam yaitu daya berpikir teoritis dan daya pikir praktis. Daya berpikir praktis

adalah daya berpikir yang berimplikasi pada juzʼiyyāt/partikular, sekarang dan

yang akan datang. Sedangkan daya pikir teoritis meliputi bentuk-bentuk materi

yang belum diketahui. Daya imajinasi merupakan perantara untuk dua jenis daya

pikir ini.43

Kemudian akal aktif yang ditangkap oleh daya imajinasi itu dapat bereaksi

pada diperolehnya sesuatu yang berupa bentuk-bentuk materi, al-maʻqūlāt, yang

dihasilkan oleh daya pikir yang teoritis dan kadang-kadang dapat berupa juzʼiyyāt

al-maḥsūsāt (partikular inderawi) yang dihasilkan oleh daya pikir praktis. Daya

imajinasi itu menangkap arti dari bentuk-bentuk inderawi yang telah tersusun

sebagaimana adanya dan kadang-kadang menerima partikular (rincian)-nya

42

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 124. 43

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 125.

Page 90: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

81

setelah melalui proses imajinatif dan juga kadang-kadang diikuti pula dengan

benda-benda inderawi.44

Setelah penjelasan al-Fārābī di atas tentang akal, pada akhirnya al-Fārābī

memberi pengertian terakhir tentang pemimpin utama bahwa:

Allah SWT memancarkan akal aktif dengan perantara akal mustafad

terhadap akal potensial dan kuatnya imajinasi. Jika akal aktif yang

dipancarkan oleh Allah SWT melalui akal mustafad kepada akal potensial,

maka akan menghasilkan seorang failasuf yang bijaksana dan memunyai

pemikiran yang sempurna. Dan jika akal aktif yang dipancarkan oleh Allah

melalui akal mustafad kepada kekuatan imajinasi, maka akan

menghasilkan seorang nabi yang memberi peringatan, dialah yang akan

memberikan informasi terhadap masalah-masalah partikular dengan

adanya akal yang di dalamnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Dan manusia

seperti itu adalah manusia yang paling sempurna dan memiliki derajat

kebahagiaan yang paling tinggi. Dia (nabi) menjadi sosok sempurna yang

bersatu dengan akal aktif sebagaimana yang dijelaskan. Manusia seperti ini

juga merupakan manusia yang setiap tindakannya memungkinkan untuk

menggapai kebahagiaan, dan ini merupakan syarat pertama untuk menjadi

seorang pemimpin.45

Dari pendapat al-Fārābī di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa

sebenarnya al-Fārābī menginginkan seorang nabi untuk dijadikan pemimpin,

karena nabi memiliki kriteria sempurna dan akan menjadi pemimpin yang dapat

berhubungan sekaligus bersatu dengan Akal Aktif yaitu Tuhan.

44

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 125. 45

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126.

Page 91: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

82

Hal ini dikarenakan kenabian dalam pandangan al-Fārābī, bukanlah

sesuatu di luar jangkauan manusia dan bukan pula merupakan hal yang luar biasa,

ia adalah sebagai fenomena sebagaimana dalam fenomena alam lainnya. Nabi

adalah seorang manusia yang daya khayalnya telah sampai kepada kesempurnaan.

Daya khayal ini dalam pandangan al-Fārābī memegang peranan penting. Ia

menghimpun bentuk-bentuk yang berasal dari luar alam indrawi ke alam indrawi.

Ia meramu susunan bentuk-bentuk itu untuk memunculkan bentuk-bentuk baru di

alam indrawi dan alam nyata. Hal yang penting dari itu semua adalah bahwa nabi

memiliki daya (kemampuan) untuk selalu berhubungan dengan alam tertinggi.

Inilah yang disebut dengan mimpi yang benar dalam sebuah (konsep) kenabian.46

Nampaknya, meskipun tersirat, al-Fārābī ingin melegitimasi konsep

Imāmiyyah dalam Syīʻah, karena pemimpin-pemimpin dalam Syīʻah ditunjuk

berdasarkan garis keturunan Nabi. Bagi Syīʻah pemimpin yang disebut imam,

tidaklah dipilih oleh rakyat, ia merupakan hak ahl al-bayt (keturunan Nabi) secara

turun-temurun dari bapak ke anak, seterusnya ke cucu dan demikian seterusnya.

Penentuan pengganti imam ini adalah secara limpahan (al-fayḍ), yang oleh Syīʻah

disebut wasiat (al-waṣiyyah).47

Dalam konteks sejarah juga, memang pada masa

itu sedang terjadi perseteruan Syīʻah-Sunnī, sehingga melegitimasi konsep

kepemimpinan menjadi penting karena bagian dari kampanye Syīʻah.

Dalam buku Antara Al-Fārābī dan Khomeini: Filsafat Politik Islam,

Yamani menulis dalam pendahuluannya bahwa memang terdapat spekulasi bahwa

46

M. Abd. Rahman Marhaba, Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah al-

Islāmiyyah (Beirut: ʻUwaydah li al-Nasyr wa al-Ṭibāʻah, 2000) h. 448. 47

Falsafah Kenabian Al-Fārābī, http://yolmartohidayat-

asmam.ita.blogspot.com/2015/05/falsafah-kenabian-al-Fārābī.html, 07/05/2014, pukul 10.45 WIB.

Page 92: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

83

falsafah politik al-Fārābī, khususnya gagasan mengenai penguasa utama,

mencerminkan rasionalisasi ajaran Imāmah dalam Syīʻah. Penulis seperti Fauzy

Najjar, Walzer, Henry Corbin, Ibrahim Madkour, Hosein Nasr, dan Osman

Bakar—kendatipun yang disebut terakhir skeptis terhadap spekulasi ini—percaya

bahwa al-Fārābī memang seorang Syīʻah. Kenyataan bahwa al-Fārābī menyebut

imam sebagai Pemimpin Pertama, meskipun pada dasarnya dipinjam dari falsafah

politik Plato, tentu mudah digunakan oleh penganut Syīʻah untuk membenarkan

rezim imam yang ilahiah ini. Menurut Najjar, kita juga jadi melihat paralelisme

tertentu antara ajaran (falsafah) al-Fārābī dan ajaran (doktrinal) Syīʻah. Untuk

membenarkan hubungan ilahiah imam itu, kaum Syīʻah menemukan dalam teori

neo-Platonis mengenai emanasi dan gagasan “akal universal”, adanya dukungan

“rasional” yang kuat untuk melihat dalam karya-karya politis al-Fārābī, dan

adanya suatu upaya terselubung untuk mendukung gerakan Syīʻah hererodoks

melawan serangan gencar ortodoksi Sunnī.48

Richard Walzer, salah seorang ahli terkemuka dalam hal al-Fārābī, percaya

bahwa falsafah al-Fārābī sangat dipengaruhi oleh Syīʻah Imāmiyyah. Dengan

menganalisis isi al-Madīnah al-Fāḍilah, khususnya teori tentang penguasa

maupun eskatologinya, dia berkesimpulan bahwa konsep imāmah al-Fārābī

“kelihatan seperti counter-part pandangan-pandangan Imāmiyyah pada

zamannya.” 49

Hal ini juga diungkapkan Dedi Supriyadi dalam Pengantar Filsafat Islam

bahwa dalam pengangkatan pemimpin al-Fārābī lebih cenderung kepada proses

48

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini: Falsafah Politik Islam, h. 45. 49

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini: Falsafah Politik Islam, h. 45.

Page 93: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

84

penunjukan langsung, tidak dengan pemilihan oleh seluruh warga negara.

Pandangan ini mirip dengan paham Syīʻah, di mana pemimpin ditunjuk langsung

bukan dipilih oleh warga masyarakat. Seorang pemimpin negara

adalah maʻṣūm, dan secara tabiatnya, ia telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk

menjadi kepala negara. Dengan demikian, kepala negara ada lebih dahulu, baru

kemudian rakyatnya.50

Namun, bukan berarti al-Fārābī menganggap pengangkatan pemimpin

dengan cara penunjukan langsung adalah benar sepenuhnya. Seperti telah

diungkapkan sebelumnya memang tidak detail tata cara pengangkatan pemimpin

menurut al-Fārābī khususnya dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah.

Penulis hanya berusaha menelusuri data yang ada dan sesuai dengan kutipan-

kutipan al-Fārābī. Terlepas dari itu, perdebatan mengenai tata cara pengangkatan

pemimpin akan selalu menarik dibahas, terlebih pada zaman sekarang.

Kemudian setelah membahas tentang pengangkatan pemimpin, tibalah

pada pembahasan yang terakhir mengenai kriteria pemimpin. Di samping kita

harus memahami tentang tugas dan fungsi pemimpin, lalu pengangkatan

pemimpin, kita juga harus memahami kriteria pemimpin. Hal ini dikarenakan itu

semua bagian dari konsep sebuah kepemimpinan.

D. Kriteria Pemimpin

Pokok penting dari pembahasan mengenai kepemimpinan adalah kriteria

pemimpin. Dalam hal ini al-Fārābī ingin mengungkapkan kriteria ideal bagi

50

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 95-96.

Page 94: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

85

seseorang yang akan menjadi pemimpin. Pembahasan tentang kriteria pemimpin

amat gamblang dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah karena al-Fārābī

menuliskannya dalam bab khusus mengenai kriteria pemimpin, sehingga kita

dapat memahaminya dengan baik tanpa interpretasi yang cukup rumit seperti

pembahasan dalam sub bab sebelumnya.

Kemudian sebelum membahas kriteria pemimpin menurut al-Fārābī ada

tiga golongan manusia, dari segi kapasitasnya untuk memimpin, yaitu:

1. Manusia yang memiliki kapasitas yang memandu dan menasehati. Ini yang

disebut oleh al-Fārābī Akhaṣṣ al-Khawāṣṣ. Ia wajib menduduki (jabatan)

sebagai pemimpin utama karena secara natural memiliki bakat memimpin

atau yang disebut dengan Khuṣūṣ al-Khāṣṣ dan menjadi teladan bagi semua

orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Untuk menjadi teladan,

pemimpin harus memiliki otak cemerlang dan pengetahuan luas sehingga ia

dapat memberi arahan kepada pimpinan-pimpinan di bawahnya maupun

kepada masyarakat umum tentang kebahagiaan sejati dan keutamaan

paripurna dengan penjelasan yang meyakinkan.

2. Manusia yang berperan sebagai penguasa subordinat yang memimpin

sekaligus dipimpin disebut al-Fārābī dengan al-Khāṣṣah. Mereka selain

memiliki ilmu-ilmu teoritis yang spesifik, juga memiliki keyakinan terhadap

kebenaran dari apa yang diajarkan (pimpinan di atasnya) dan mengajarkannya

kepada orang lain. Mereka memiliki kemampuan memimpin di atas rata-rata

masyarakat tetapi hanya mampu memimpin suatu kota saja.

Page 95: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

86

3. Manusia yang dikusai sepenuhnya atau tanpa kualifikasi, al-Fārābī

menyebutnya al-ʻĀmmah. Mereka yang memiliki kemampuan teoritis dan

kekuatan yang amat terbatas.51

Maksud dari al-Fārābī menentukan kapasitas pemimpin adalah untuk

memberi gambaran umum kriteria manusia agar kita dapat menentukan pemimpin

berdasarkan potensi-potensinya dalam memimpin.

Pemimpin pada peringkat pertama adalah pemimpin yang secara natural

memiliki 12 persyaratan dasar sebagaimana dikutip dari Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-

Fāḍilah:

51

Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 36-38.

Page 96: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

87

52

Pertama, memiliki anggota badan yang sempurna, sehingga

memungkinkan dia untuk melakukan perkerjaan-pekerjaan secara baik. Apabila

ada pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan dengan anggota badan dia dapat

melakukannya dengan mudah.53

Kecuali memiliki anggota badan yang sempurna,

seorang pemimpin harus sehat badannya. Badan yang sakit akan berakibat pada

rusaknya indra (rasa) dan kepekaan, seperti manis, bagi orang sakit bisa terasa

pahit, sesuatu yang tepat di mata orang sakit bisa menjadi tidak tepat. Analogi ini

bisa diterapkan kepada orang-orang yang buruk (perangainya) dan tidak

52

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127-129. 53

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127.

Page 97: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

88

sempurna. Mereka ini, oleh al-Fārābī, disebut dengan orang yang sakit jiwanya.

Bagi mereka hal-hal yang baik, di matanya, bisa menjadi buruk. Demikian pula

sebaliknya, hal-hal yang buruk, di matanya bisa menjadi baik. Adapun orang yang

utama dan memiliki keutamaan akhlaq akan selalu condong dan selamanya

merindukan tujuan-tujuan yang terbaik dalam arti sebenarnya dan orang yang

buruk perangainya akan selalu condong dan selalu merindukan keburukan

sebagaimana yang dibayangkannya sebagai suatu kebaikan disebabkan jiwanya

yang "sakit”.54

Padahal untuk mencapai kebahagiaan salah satu di antaranya

adalah dengan menghilangkan keburukan/kejahatan yang ada di tengah-tengah

(masyarakat) kota dan dan umat.55

Kedua, secara natural, memiliki pemahaman dan penggambaran yang baik

terhadap apa (persoalan) yang disampaikan orang kepadanya sehingga (dengan

pemahaman tersebut) dia dapat menanggapi (memecahkan) persoalan sesuai

dengan maksud dan harapannya.56

Hal ini terkait erat dengan kemampuan berpikir

baik pada seorang pemimpin; yaitu kemampuan berpikir yang berakibat pada

terjadinya kepuasan dan ketepatan kesimpulan tentang sesuatu secara lebih baik

dan lebih tepat sehingga berimplikasi pada terjadi kebaikan pada orang lain.

Kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan sejati, bertujuan mulia dan utama yang

kemudian bermuara pada diperolehnya kebahagiaan.57

Ketiga, memiliki ingatan dan hafalan yang kuat, baik terhadap apa yang

dipahami, dilihat, didengar, maupun diketahuinya. Dengan kata lain, secara

54

Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 56-57. 55

Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h.. 84. 56

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. 57

Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 55.

Page 98: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

89

umum, dengan ingatan dan hafalan yang kuat itu, apa yang dialaminya tidak ada

yang terlupakan.58

Keempat, memiliki kepandaian dan kecerdasan yang baik. Apabila dia

melihat sesuatu dengan sedikit bukti (dalil), ia cepat tanggap ke arah mana dalil

(bukti) itu akan menuju.59

Untuk itu akal teoritis seorang pimpinan utama sangat

dominan, karena akal teoritis yang dimilikinya merupakan daya yang ada secara

natural, tidak dicari dan tidak pula (dipelajari) secara analogis. Dia mengetahui

premis-premis pokok yang universal yang berfungsi sebagai permulaan ilmu,

misalnya pengetahuan bahwa universal itu lebih besar dari partikular, mengukur

benda yang sama dengan ukuran sama akan memeroleh hasil yang sama pula, dan

premis-premis yang lain sampai pada pengetahuan tentang segala yang ada.

Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa semua yang ada ini bukan karya manusia

melainkan ciptaan Tuhan.60

Kelima, baik penyampaiannya, dengan kata-katanya dia dapat

menerangkan dengan baik apa (keterangan) yang tersembunyi di balik

keterangan itu dengan keterangan penjelasan yang baik dan sempurna.61

Keenam, cinta kepada ilmu pengetahuan, dapat mengambil manfaat

(hikmah) dari apa yang diketahui dan dirasakannya, suka dikritik, mudah/bersedia

menerima (saran), tidak mudah putus asa, dan siap menerima risiko apapun yang

terjadi padanya.62

Ilmu itu memang beragam jenisnya tetapi ilmu teoritis

58

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. 59

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. 60

Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 50. 61

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 62

Al-Fārābī, ĀrāʼAhl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128.

Page 99: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

90

partikular yang utama adalah ilmu yang berujung pada keyainan jiwa terhadap

Pencipta segala yang ada dengan bukti yang nyata.63

Ketujuh, apa yang dimakan, diminum dan dinikahi, diperoleh melalui jalan

yang baik. Secara natural terhindar dari sifat senang bermain-main (berfoya-foya)

dan dia benci terhadap kenikmatan-kenikmatan seperti itu.64

Kedelapan, mencintai kejujuran dan orang berbuat yang jujur, membenci

kebohongan dan orang-orang yang bohong.65

Kesembilan, memiliki jiwa besar, (menyukai pekerjaan-pekerjaan)

terhormat; berjiwa besar terhadap masalah-masalah (kesulitan-kesulitan) yang

menimpa dirinya, yang secara otomatis akan meningkatkan derajatnya kepada

yang lebih tinggi.66

Kesepuluh, memandang bahwa dirham dan dinar (harta benda) dan segala

sesuatu yang bersifat duniawi adalah sesuatu yang remeh baginya.67

Kesebelas mencintai keadilan dan orang-orang yang berbuat adil,

membenci kelaliman dan aniaya beserta para pelakunya, memberikan separoh dari

apa yang dimilikinya dan menganjurkan yang lain untuk berbuat demikian.68

Keduabelas, memiliki kemauan yang keras untuk melakukan sesuatu yang

diyakini benar dan harus dilakukannya. Dia melakukannya dengan penuh

keberanian, maju terus dan tidak takut risiko, dan dia tidak lemah jiwanya.69

63

Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 51. 64

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 65

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 66

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 67

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 68

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 69

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129.

Page 100: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

91

Dua belas persyaratan di atas adalah rincian dari sifat-sifat failasuf-nabi

yang merupakan syarat utama seorang pemimpin sebagaimana kutipan di bawah

ini:

Manusia (yang memiliki sifat failasuf-nabi) seperti ini juga merupakan

manusia yang setiap tindakannya memungkinkan untuk menggapai

kebahagiaan, dan ini merupakan syarat pertama untuk menjadi seorang

pemimpin.70

Dengan menjadikan seorang pemimpin yang memiliki sifat failasuf-nabi,

maka akan mendekatkan para warga menuju kebahagiaan yang diidam-idamkan.

Hal ini dikarenakan Pemimpin Utama/Ideal yang memiliki sifat failasuf-nabi

dapat sampai pada tingkatan (yang berhubungan) dengan ʻaql al-faʻʻāl, akal aktif,

di mana pada tingkatan itu dapat diperoleh wahyu dan ilham. ʻAql al-faʻʻāl,

sebagaimana kita ketahui adalah salah satu dari akal kesepuluh (dalam teori

emanasi) yang telah lepas dari alam dan dia (akal kesepuluh) menjadi titik

pertemuan antara Tuhan dan hamba-Nya. Ia merupakan sumber segala syariʻah,

undang-undang (ketentuan/aturan) hidup secara etis (al-Khuluqiyyah) dan

sosiologis (ijtimāʻiyyah).71

Kalau diteliti, semua ini memang merupakan khayalan al-Fārābī,

meskipun bisa dikatakan (agak) lebih mendekati kenyataan daripada khayalan

Plato. Ketika pengarang Republic (Plato) berkhayal tentang munculnya failasuf

70 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126.

71 Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Ṭatbīquh (Kairo: Dār al-

Maʻārif), h. 76.

Page 101: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

92

yang turun dari alam ide untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik (di

Yunani), maka al-Fārābī berharap pemimpin Kota Ideal/Utama bangkit dari alam

ruh. Dia akan lebih banyak hidup dengan ruhnya daripada jasadnya dan al-Fārābī

mensyaratkan bahwa pemimpin negara utama harus dapat terus-menerus

berhubungan dengan akal aktif. De Boer, sebagaimana dinukil Madkour

menyatakan, “Sebagai persyaratan pemimpin negara utama, al-Fārābī

menggabungkan seluruh sifat-sifat manusia dan failasuf, dan dia ini bisa disebut

sebagai Plato dengan baju kenabian Muḥammad.”72

Demikian indah cita-cita al-Fārābī sehingga Ibrahim Madkour mengatakan

bahwa kita dihadapkan dengan suatu Negara Ideal yang penduduknya terdiri dari

orang-orang yang suci belaka, sedang kepala negaranya adalah seorang yang

bersifat nabi, suatu negara yang belum pernah terwujud yang hanya hidup di

dalam fantasi al-Fārābī.73

Dengan meletakkan al-nubuwwah di tengah masyarakat manusia, dapatlah

dipecahkan sengketa-sengketa yang timbul di sekitar pemimpin agama dan

pemimpin politik yang telah menggoncangkan kaum Muslim sejak abad pertama.

Bagi al-Fārābī, jabatan-jabatan nabi, imam, raja, hakim, dan failasuf yang

diajarkan Plato dalam bukunya Republic adalah untuk kepentingan politik belaka.

Merekalah yang mengatur susunan masyarakat dengan berpedoman kepada

perintah Ilahi. Mereka harus sanggup menghubungkan rohani mereka dengan

72

Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 76. 73

Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 85.

Page 102: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

93

Tuhan, baik waktu sadar maupun tidur, baik dengan perantara khayal atau dengan

pikiran mereka.74

Selanjutnya al-Fārābī memberikan alternatif untuk pemimpin negara

utama pada peringkat kedua, karena persyaratan pemimpin ideal sulit terpenuhi.

Pemimpin peringkat kedua yaitu, pemimpin yang dapat menjadi pelanjut dari

pemimpin utama yang ideal dengan kriteria-kriteria bahwa pemimpin kedua itu

harus terdapat beberapa persyaratan yang melekat pada dirinya sejak lahir, masa

kanak-kanak, dan berlangsung sampai dia beranjak dewasa. Persyaratan-

persyaratan itu, sebagaimana disebutkan oleh al-Fārābī ada 6 (enam) yaitu:

1. Bijaksana75

Kebijaksanaan atau dalam bahasa Arab ḥikmah digunakan untuk

menyempurnakan tujuan ilmu yaitu kebahagiaan tertinggi dan kesempurnaan

paripurna yang dapat diraih oleh manusia. Dengan demikian, yang diajarkan oleh

hikmah tidak lain adalah bagaimana ilmu dapat sampai pada tujuan utamanya

yaitu kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya.76

2. Mengerti dan mampu melaksanakan undang-undang

Dia harus mengerti dan mampu menjaga syariʻat, undang-undang dan

melaksanakannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulunya.

Sehingga apa-apa yang dipraktikkan adalah sebagai penyempurna dari apa yang

pernah dilakukan oleh mereka (para pendahulu) itu.77

3. Memiliki kecerdasan dalam mengambil kesimpulan

74

Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 122. 75

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129. 76

Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 62. 77

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129.

Page 103: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

94

Memiliki kemampuan yang baik dalam mengambil kesimpulan terhadap

syariʻat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan kontemporer (yang

belum muncul di masa lalu).

4. Mampu memrediksi persoalan yang terjadi di masa mendatang

Memiliki kemampuan yang baik dalam pengambilan kesimpulan terhadap

fenomena yang terjadi sekarang kemudian dapat memrediksi persoalan-persoalan

yang akan dihadapi nanti.

5. Mampu menasehati orang

Mampu memberi nasihat dengan kata-kata yang baik tentang pelaksanaan

syariʻat, sebagaimana yang dijalankan oleh para terdahulunya dan memiliki

kemampuan untuk menerangkan kesimpulan-kesimpulan pelaksana syariʻat yang

diambil oleh orang-orang sesudahnya.

6. Berbadan sehat

Secara fisik ia sehat, bahkan memiliki kemampuan untuk berperang

apabila diperlukan sewaktu-waktu dan dalam peperangan dia mampu menjadi

panglima.78

Apabila persyaratan tersebut tidak ditemukan pada satu orang, tetapi ada

pada dua orang, yang satu adalah orang yang penuh kebijaksanaan sedangkan

persyaratan selebihnya dimiliki oleh yang lain, maka keduanya dapat bersama-

sama menjadi pemimpin-pemimpin negara yang bekerja sama satu sama lain.

Apabila persyaratan itu terdapat pada beberapa orang, kebijaksanaan (persyaratan

pertama) ada pada diri seseorang, persyaratan kedua, ketiga, keempat, kelima, dan

78

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 130.

Page 104: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

95

keenam pada orang yang berbeda-beda, mereka secara kolektif adalah pemimpin

utama. Namun apabila terdapat persyaratan semua di atas tetapi tidak ada hikmah

(kebijaksanaan), sebagai bagian dari persyaratan, negara itu sama dengan tidak

memunyai pemimpin karena di dalamnya tidak ada orang yang bijaksana, yang

dapat mengatur negara itu dengan baik. Akibatnya negara akan mengalami

kehancuran dalam waktu yang tidak lama lagi.79

Dalam hal ini, al-Fārābī ternyata tidak memutlakkan kriteria terhadap satu

orang saja, tetapi kriteria itu bisa juga terdapat pada beberapa orang. Di sini kita

dapat melihat keluwesan al-Fārābī dalam mengemukakan teorinya. Seperti

kutipan di atas, al-Fārābī membolehkan sebuah sistem kolektif, di mana dalam

sistem kenegaraan modern disebut sistem parlementer.

Sistem parlementer sendiri adalah sebuah sistem pemerintahan di mana

parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Parlemen adalah satu-

satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan

umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan atau

lembaga legislatif. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam

mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan,

yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Dalam sistem

parlementer, presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Kekuasaan

eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan

undang-undang. Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk

mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen

79

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 130.

Page 105: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

96

dan non-departemen. Sedangkan kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala

pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala

negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara

monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya

berperan sebagai simbol kedaulatan dan keutuhan negara.80

Jika kita urai, ada beberapa kesamaan antara sistem kolektif al-Fārābī

dengan sistem perlementer:

Pertama, terletak pada peranan parlemen yang amat penting dalam

pemerintahan yang diisi oleh beberapa orang. Sedangkan al-Fārābī juga

mengganggap penting peran beberapa orang sebagai pemimpin dengan tidak

memutlakkan kriteria pemimpin dalam satu individu saja.

Kedua, dalam sistem parlementer, pemimpin adalah simbol. Al-Fārābī

juga menganggap pemimpin utama adalah simbol, hal ini sebagaimana dalam sub

bab sebelumnya tentang tugas dan fungsi pemimpin.

Ketiga, mengenai perdana menteri. Dalam sistem parlementer perdana

menteri memunyai hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan

menteri-menteri, artinya ini bersifat teknis. Bagi al-Fārābī pemimpin utama adalah

seorang yang secara natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling

mulia di antara pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis

melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan

80

http://ikazakiyah.wordpress.com/2012/11/30/sistem-parlementer/, 16/06/2014, pukul

16.45 WIB.

Page 106: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

97

pimpinan utama sampai pada jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang

tingkat kemuliaannya sedikit.81

Sedangkan selebihnya adalah hal-hal teknis yang sifatnya sebagai

pelengkap. Namun pada intinya, al-Fārābī ikut memberikan kontribusi pemikiran

dalam politik modern meskipun tidak secara langsung.

Dari ungkapan al-Fārābī tentang kriteria pemimpin peringkat utama,

kriteria pemimpin peringkat kedua, sampai alternatif ketiga, kita dapat melihat

keluwesan pemikiran al-Fārābī. Di samping ia memunyai standar tinggi dalam

menentukan kriteria pemimpin yaitu sosok failasuf-nabi, ia juga tetap menolerir

standar minimal seorang pemimpin. Ini dikarenakan memiliki seorang pemimpin

adalah suatu hal yang diperlukan sebagaimana firman Allah yang telah dibahas

pada bab sebelumnya, di mana al-Qurʼān dan Ḥadīts sendiri yang merupakan

landasan kehidupan berbicara tentang manusia yang hidup bermasyarakat dan

konsep kepemimpinan dalam masyarakat. Sedangkan al-Fārābī berusaha merinci

konsep kepemimpinan yang memang sudah dilandaskan pada al-Qurʼān dan

Ḥadīts melalui pemikirannya.

Tidak ayal pemikiran-pemikiran al-Fārābī di samping banyak dipengaruhi

oleh failasuf Yunani, juga dipengaruhi oleh doktrin agama yaitu al-Qurʼān dan

Ḥadīts. Terlebih konsep metafisika berupa emanasi yang amat kental unsur

ketuhanan dalam konsep tersebut.

Hal ini sebagaimana menurut M. Abd. Rahman Marhaba bahwa apa yang

dilakukan al-Fārābī adalah sebagai usaha penggabungan antara falsafat dan agama

81

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 120.

Page 107: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

98

sebagai ciri khas Falsafat Islam. Falsafat Islam sendiri adalah falsafat yang

memadukan antara falsafat dan agama sebagaimana perpaduan pendapat antara

falsafat Plato dan Aristoteles. Falsafat dan agama adalah satu kesatuan yang tak

terpisahkan dan tidak ada perbedaan pengertian antara keduanya apabila dipahami

secara mendalam. Untuk itu agama dan falsafat hanya nampak berbeda dari

luarnya saja. Tetapi pada hakikatnya keduanya adalah sama, tidak ada perbedaan.

Kebenaran agama sama nilainya dengan kebenaran falsafat, begitu juga

sebaliknya, karena keduanya saling menguatkan.82

Jadi tidak heran jika pemikiran al-Fārābī amat kental unsur keagamaan dan

unsur falsafat Yunani, karena dari perpaduan itu kita mendapati pemikirian yang

tidak semata-mata idealistis dan tidak semata-mata realistis. Maka demikian besar

pemikiran al-Fārābī sehingga banyak yang menjuluki ia al-Muʻallim al-Tsānī

yaitu Guru Kedua.

82

M. Abd. Rahman Marhaba, Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah al-

Islāmiyyah, h. 379.

Page 108: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

99

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelum, maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Mengenai konsep kepemimpinan, al-Fārābī amat menekankan kriteria

pemimpin yang memiliki sifat nabi sekaligus failasuf. Hal ini dikarenakan

bagi al-Fārābī, nabi merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan pemimpin

sedangkan failasuf adalah sosok nyata yang juga dapat dijadikan pemimpin.

Maka dari itu, al-Fārābī menguraikan beberapa kriteria pemimpin yang

sebenarnya merupakan rincian dari sifat-sifat kenabian sekaligus failasuf.

2. Mengenai konsep Negara Ideal/Utama, al-Fārābī berpijak pada tujuan hidup

manusia, yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan

bagaimana caranya menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia

harus berada di tangan pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai

dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.

3. Pemikiran al-Fārābī banyak dipengaruhi doktrin-doktrin agama, yaitu berupa

al-Qurʼān dan Ḥadīts yang mendominasi konsep kepemimpinan ideal al-

Fārābī. Salah satunya mengenai tugas dan fungsi pemimpin yang al-Fārābī

paparkan berdasarkan teori organisme yang sudah ada sebelumnya di dalam

Ḥadīts. Tidak hanya itu, teori tentang pembentukan negara juga banyak

dikutip berdasarkan ayat al-Qurʼān tentang keharusan membuat komunitas

untuk saling mengenal.

Page 109: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

100

4. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Plato dapat dilihat di karangan al-

Fārābī. Di antaranya karangan Plato berupa Republic, yang hampir mirip

dengan karangan al-Fārābī Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Namun itu tidak

serta-merta al-Fārābī menjiplak semuanya, penggabungan filsafat dan agama

menjadi produk orisinal dari karya al-Fārābī.

B. Saran

Setelah penulis selesaikan tulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang terkait

dengan pembahasan pada tulisan-tulisan sebelumnya, yaitu:

1. Konsep kepimpinan al-Fārābī yang sifatnya klasik amat terlihat dalam

pembahasan ini. Tentu sangat mudah menilai kekurangan dalam konsep

kepemimpinan al-Fārābī yaitu dengan membandingkan dengan konsep-

konsep kepemimpinan modern. Salah satunya mengenai rincian metode

pemimpin yang ideal, seperti gaya kepemimpinan, pengambilan keputusan,

dan sebagainya.

2. Ditambah juga, al-Fārābī tidak detail dalam mengungkapkan metode

pengangkatan pemimpin, bahkan tidak menuliskan sama sekali periodisasi

kepemimpinan, padahal itu sangat penting dalam menunjang teori

kepemimpinan ideal.

3. Sedangkan dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah hampir setengahnya

berisi tentang teori metafisika. Hal ini dirasa tidak perlu karena dalam

mengutarakan teori negara ideal, cukup diungkapkan metode-metode

bagaimana manusia mampu mewujudkan negara ideal.

Page 110: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

101

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Marhaba, M.. Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah al-

Islāmiyyah. Beirut: ʻUwaydah li al-Nasyr wa al-Ṭibāʻah, 2000.

al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr. Tafsīr al-Ṭabarī. terj. Akhmad

Affandi dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Abū Zakariyyā Yaḥyā, Imām. Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, terj. H. Salim Bahreisy. Bandung:

al-Maʻārif, 1987. Jilid I.

Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat.

Jakarta: Rajawali, 1996.

Baali, Fuad & Ali Wardi. Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam. Jakarta:

Pustaka Hidayat. Cet. Ke-I.

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Bukhāri, Imām. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitāb al-Aḥkām, Jilid IX. Kairo: Dār al-Syaʻb.

Edward, Paul, The Encyclopedia of Philosophy. London: Collier Macmilian

Publisher, 1927. Vol.3

Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. London: Macmillan Publishing

Company, 1987. Vol Ke-5.

Al-Fārābī. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Beirut: Dār al-Masyriq, 2002. Cet.

Ke-8.

-------. al-Siyāsah al-Madaniyyah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993. Cet Ke- II.

-------. Fuṣūl Muntazaʻah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.

-------. Taḥṣīl al-Saʻādah. Hyderabad: Majlīs Dāʼirah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah,

1349 H.

-------. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh

Richard Walzer. Oxford: Claeedon Press, 1985.

Hazm, Ibnu. al-Ahkām fī Uṣul al-Aḥkam. Kairo: 1921.

Kemendikbud. http://kbbi.web.id/pimpin. “Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) Online”.

Page 111: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

102

Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-Qurʼan dan Kenegaraan.

Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qurʼān, 2011. Cet. Ke-I.

Kusnadiningrat, E, “Al-Farabi Tentang Negara Utama”, Refleksi, No.3, Vol. III,

Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001.

al-Nawawī, Imām. Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb

Imarāh”. Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987.

Madkour, Ibrahim. Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Ṭatbīquh. Kairo:

Dār al-Maʻārif.

Noer, Kautsar Azhari, “Pemikiran dan Peradaban”. Ensiklopedi Tematis Dunia

Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove.

Quraish Shihab, M. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2001.

Ridwan, Kahrawi (ed.). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999.

Vol. 1. Cet. Ke-4.

Sevilla, Consuelo G dkk, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press.

1993.

Sharif, M.M.. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1994. cet. Ke-7.

Sidiq, Abd. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputra, 1984.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.

Jakarta: Bulan Bintang. 1990.

Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Van der Weij, P.A.. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, terj. K. Bertens dari

Grote Filosofen over de Mens. Jakarta: Gramedia, 1988.

Von Schmid, J.J.. Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato

sampai Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers

Over Staat en Recht (von Plato tot Kant). Jakarta: Pembangunan, 1965.

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. Bandung:

Mizan, 2002. Cet Ke-1

-------, Al-Farabi Filosof Politik Muslim. Jakarta: Teraju, 2005, Cet Ke-1.

Zainal, Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinah Fadilah), Jakarta: Kinta, 1968.

Page 112: KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25367/1/MUHAMMAD... · secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara

103

Definisi Konsep. http://carapedia.com/pengertian_definisi_

konsep_menurut_ para_ahli_info402.html.

Falsafah Kenabian Al-Fārābī. http://yolmartohidayat-

asmam.ita.blogspot.com/2015/05/falsafah-kenabian-al-Fārābī.html.

Sistem Parlementer. http://ikazakiyah.wordpress.com/2012/11/30/sistem-

parlementer/.