KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA...
Transcript of KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA...
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Disusun oleh:
Muhammad Fanshobi
109033100020
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH-FALSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H/2014 M
i
ABSTRAK
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ
Kata Kunci: Kepemimpinan, Negara Utama, Al-Fārābī.
Tulisan ini memfokuskan pada konsep kepemimpinan yang ditulis al-Fārābī
dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah atau secara singkat disebut Negara
Utama. Di dalam buku itu, al-Fārābī menuliskan ciri-ciri negara utama yang
menurutnya sebagai konsep ideal untuk dijadikan contoh membangun negara. Di
dalam ciri-ciri negara utama itu, al-Fārābī menuliskan beberapa konsep
kepemimpinan. Hal ini dikerenakan dalam membangun suatu negara ideal, tentu
harus diimbangi dengan kepemimpinan yang ideal pula. Negara diibaratkan
sebagai tubuh, kemudian pemimpin menjadi pusat dari keinginan tubuh itu
sendiri, maka dari itu kepemimpinan menjadi poin penting dalam membangun
negara ideal. Dengan menguraikan konsep kepemimpinan yang ideal, maka akan
terwujud negara yang ideal pula.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis
penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi
berkaitan dengan masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan
secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī.
Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa buku Negara
Utama memuat konsep-konsep kepemimpinan ideal. Konsep itu berdasarkan
pemikiran al-Fārābī yang dipengaruhi oleh doktrin agama dan juga pengaruh
falsafat Yunani. Diawali dengan tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan, al-
Fārābī mengungkapkan metode-metode bagaimana mencapai kebahagiaan itu,
salah satunya dengan membangun Negara Utama/Ideal yang didalamnya terdapat
masyarakat ideal dan kepemimpinan ideal. Dua objek itulah yang menjadi unsur
utama dalam membangun Negara Utama/Ideal. Sedangkan tulisan ini hanya
memfokuskan kepada kepemimpinan ideal.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Melihat lagi Maha
Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak
yang telah memberikan bantuan baik materiil dan immateriil, oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Mursyidi Jayadi dan Ibunda Yani
yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa
yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai;
2. Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi Penulis, terima
kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk Penulis;
3. Prof. Dr. H. Masri Mansoer, MA. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta;
4. Dr. Edwin Syarif, MA dan Dra. Tien Rahmatin, MA. selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Akidah-Filsafat;
5. Sahabat terdekat Andhini Iasha Amala untuk menemani dalam
penyusunan skripsi ini;
6. Teman-teman alumni Pondok Pesantren Attaqwa Putera angkatan 2009
yang berkulian di UIN Jakarta;
7. Seluruh Teman-teman anggota Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN
Jakarta;
8. Seluruh teman-teman Akidah-Filsafat A angkatan 2009;
iii
9. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik materiil maupun imateriil,
Penulis memanjatkan doa semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan
menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi
para pembaca umumnya.
Jakarta, September 2014
Muhammad Fanshobi
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
ī ī إى
ī ī أو
v
Daftar Isi
Abstrak .................................................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Pedoman Transliterasi ......................................................................................... iv
Daftar Isi ................................................................................................................. v
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Batasan Rumusan Masalah........................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 6
E. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8
Bab II Riwayat Hidup al-Fārābī
A. Pendidikan .................................................................................................. 10
B. Kehidupan Sosial Politik ............................................................................ 12
C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik ............................................................. 14
D. Karya-Karya ............................................................................................... 19
Bab III Konsep Kepemimpinan menurut al-Qur’ān dan Ḥadīts
A. Definisi Konsep dan Kepemimpinan ......................................................... 26
B. Tugas dan Fungsi ....................................................................................... 44
C. Pengangkatan Pemimpin ............................................................................ 46
D. Kriteria ....................................................................................................... 48
Bab IV Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī
A. Konsep Negara Ideal/Utama ...................................................................... 59
B. Tugas dan Fungsi Pemimpin ...................................................................... 71
C. Pengangkatan Pemimpin ............................................................................ 76
D. Kriteria Pemimpin ...................................................................................... 82
Bab V Penutup
A. Kesimpulan................................................................................................. 97
B. Saran ........................................................................................................... 98
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai pendapat tentang kepemimpinan banyak dikemukakan oleh para
ahli. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan manusia, kepemimpinan merupakan
instrumen penting. Sebagai contoh ketika manusia membangun sebuah keluarga,
dalam komunitas kecil itu, seorang bapak menjadi kepala keluarga yang berfungsi
sebagai pemimpin. Kemudian komunitas yang cakupannya lebih besar seperti
halnya pemerintahan negara, pada akhirnya akan dipimpin oleh kepala negara.
Hal ini dilakukan karena setiap manusia membutuhkan pemimpin dan salah satu
fungsi pemimpin adalah meningkatkan efektifitas dari tujuan-tujuan yang ingin
dicapai di setiap komunitas. Maka dari itu, dalam kepemimpinan akan banyak
dibicarakan tentang kriteria pemimpin, tugas dan fungsi pemimpin, dan lain
sebagainya.
Di antara sekian banyak para ahli di setiap bidang ilmu yang
membicarakan tentang kepemimpinan, terdapat seorang ahli falsafat politik Islam
klasik yang layak menjadi salah satu referensi. Pemikirannya yang falsafi dan
mendalam menjadi nilai lebih dalam menjadikannya referensi tentang
kepemimpinan. Ia adalah Abū Naṣr al-Fārābī (259-339 H./870 -956 M.)1
Sebenarnya ia adalah seorang idealis bahkan cenderung utopis seperti Plato.
Al-Fārābī telah menyumbangkan pemikiran falsafat politiknya terhadap
khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan istilah
1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), h. 49.
2
Negara Utama (madīnah fāḍilah). Konsep tentang Negara Utama banyak diwarnai
oleh pemikiran Plato di dalam karangannya yaitu Republic. Di samping itu, al-
Fārābī juga hidup dalam kondisi politik yang kacau yang dipimpin oleh khalifah
dinasti ʻAbbāsiyyah, sehingga kehancuran demi kehancuran dinasti membuatnya
berpikir mengenai suatu bentuk negara ideal.
Dalam memikirkan negara ideal itu, seperti halnya Plato, al-Fārābī juga
melihat bahwa kehancuran negara diakibatkan oleh hancurnya moralitas
pemimpinnya. Untuk kepemimpinan dalam Negara Utama, al-Fārābī menjelaskan
tentang kriteria dan mekanisme pengangkatan kepala negara dan bermaksud agar
para pemimpin yang diangkat oleh rakyat lebih bermoral dan kompeten. Di
samping itu pula, pemimpin yang bermoral dan kompeten dapat menjadi
fasilitator rakyat untuk mencapai kebahagiaan.
Di dalam konsep Negara Utama al-Fārābī, kepala negara adalah satu-
satunya orang yang memegang peranan penting, karena kedudukan kepala negara
sama dengan kedudukan jantung dalam sistem organ tubuh manusia, sumber dan
pusat koordinasi sebagai suatu hal yang penting di dalam diri manusia yang
sempurna. Oleh karena itu, pekerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis,
melainkan etis sebagai pengendali way of life.2
Kemudian dalam rangka merealisasi Negara Utama, di samping
membicarakan tentang pembagian negara berdasarkan ideologi dan pandangan
tentang masyarakat, al-Fārābī juga membahas tentang kepala negara atau seorang
pemimpin. Dengan tidak menutup kemungkinan mobilisasi vertikal dari kelas
2 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh
Richard Walzer, al-Farabi on The Perfect State (Oxford: Claeedon Press, 1985), h. 247.
3
yang lebih bawah, karena mekanisme alamiah, tetapi perlu ditegaskan bahwa
tidak semua warganya, tentu saja, akan mampu dan dapat menjadi kepala negara
atau pemimpin negara. Hanya orang yang berada pada kelas tertinggilah yang
boleh menjadi pemimpin negara. Tingkat tinggi-rendah posisi mereka ditentukan
oleh dekat-jauh mereka dari “jajaran kepala” negara dan ini ditentukan oleh
tingkat kesempurnaan pengetahuan mereka tentang keutamaan dan kebahagiaan
sesungguhnya.
Negara atau Kota Utama yang menjadi cita-cita al-Fārābī adalah kota-kota
yang memiliki ciri-ciri kota yang benar-benar utama, yang dipimpin oleh
penguasa utama.3 Lawan dari al-Madīnah al-Fāḍilah (negara utama) adalah al-
Madīnah al-Fāsidah (negara rusak/korup) yang ditandai dengan kebodohan,
kebobrokan, gonjang-ganjing, dan merugi.
Al-Fārābī memberikan kriteria khusus untuk menjadi seorang kepala
negara, seperti yang disebutkan di bawah ini:
1. Sempurna anggota badannya
2. Besar pengertiannya dalam memahami
3. Bagus daya tangkapnya
4. Sempurna ingatannya
5. Cakap dan bijak dalam berbicara
6. Mencintai pengetahuan
7. Tidak serakah dalam minuman, makanan, dan hubungan seks
8. Cinta akan kebenaran dan benci kebohongan
9. Cinta akan keadilan dan benci kezaliman
10. Tidak hidup dalam kemewahan dunia dan foya-foya
11. Sanggup menegakkan keadilan, optimisme dan besar hati
12. Kuat pendirian, penuh keberanian, antusiasme, dan tidak berjiwa kerdil.4
3 Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan,
2002), Cet Ke-1, h. 65. 4 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8, h.
127.
4
Al-Fārābī ingin menggambarkan pula keutamaan bagi kepala negara untuk
membersihkan jiwanya dari berbagai aktifitas hewani, seperti korupsi, manipulasi,
tirani, yang merupakan aktualisasi pemerintah jahiliyyah, pemerintahan fasik,
pemerintahan apatis dan pemerintahan sesat. Karena kepala negara menjadi
sumber peraturan dan keserasian hidup dalam masyarakat, maka ia harus bertubuh
sehat, kuat, berani, pintar, serta cinta kepada ilmu pengetahuan, sebagaimana yang
telah disebutkan di atas. Sehingga yang paling ideal menjadi kepala negara adalah
mampu berkomunikasi dengan akal aktif.5
Mengenai pengangkatan kepala negara, al-Fārābī tidak sedetail yang ada di
negara demokrasi, karena al-Fārābī tidak menjelaskan bagaimana mekanisme
pengangkatan kepala negara. Namun, seandainya tidak ada satu orang pun yang
memenuhi kriteria menurut al-Fārābī, kepala negara dapat dipilih secara kolektif
“presidium”.6 Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin, kemudian
dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih
berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli
pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara dan komunikasi, dan
sebagainya.
Dengan demikian, penulis ingin mencoba mengangkat judul skripsi yang
berasal dari sebuah pembahasan menarik di atas yaitu, “Konsep Kepemimpinan
dalam Negara Utama al-Fārābī”
5 Kautsar Azhari Noer, “Pemikiran dan Peradaban”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 215. 6 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta:
Rajawali, 1996), h. 79.
5
Itulah gambaran penalaran yang memberikan alasan mengapa penulis
memilih judul ini. Berawal dari wacana di atas, maka penulis merasa perlu untuk
mengangkat sebuah judul yang telah penulis paparkan pada latar belakang
masalah di atas.
B. Batasan Rumusan Masalah
Agar skripsi ini dapat terarah, tersistematisasi dan teridentifikasi
maksudnya, penulis ingin memberi batasan masalah yang akan dianalisis. Untuk
itu pembatasan masalah dalam skripsi ini adalah tentang definisi kepemimpinan
dalam Negara Utama al-Fārābī.
Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, untuk melacak
jawaban dan masalah pokok secara terarah maka dibuat satu pertanyaan:
Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Negara Utama menurut Al-Fārābī
dengan fokus pada empat (4) hal; pertama, kepemimpinan menurut al-Fārābī;
kedua, tugas dan fungsi pemimpin; ketiga kriteria kepala negara; keempat,
pengangkatan kepala negara.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi Konsep Kepemimpinan
dalam Negara Utama Al-Fārābī, bertujuan menceritakan secara mendalam
tentang kepemimpinan dalam konsep Negara Utama al-Fārābī.
6
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui pandangan-
pandangan al-Fārābī tentang kepemimpinan dan Negara Utama guna menambah
perspektif baru dalam memandang dan mencari pemimpin dan negara yang ideal.
D. Tinjauan Pustaka
Dengan melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil karya
yang membahas tentang pemikiran politik al-Fārābī. Adapun karya tersebut
adalah: Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, yang mengungkapkan tentang hubungan
sosial antara masyarakat dengan masyarakat negara, negara (bangsa) dengan
negara.
Selain karya di atas, penulis menemukan buku-buku yang membahas
tentang pemikiran falsafat politik al-Fārābī, seperti buku-buku yang berjudul
Negara Utama menurut al-Fārābī, yang dikarang oleh Ahmad Zainal Abidin. Di
dalam bukunya ia menggambarkan bagaimana Negara Utama menurut al-Fārābī,
dan buku tersebut membahas tentang bagaimana hubungan sosial antara
masyarakat dengan masyarakat dan negara dengan negara.
Selanjutnya yaitu buku yang berjudul Filsafat Politik Islam: Antara al-
Fārābī dan Khomeni, yang dikarang oleh Yamani. Di dalam bukunya, Yamani
membahas perbandingan pemikiran Khomeini dengan pemikiran al-Fārābī dengan
beberapa tujuan. Pertama, ia memaparkan falsafat politik al-Fārābī yang belum
banyak diketahui. Padahal banyak peneliti yang percaya bahwa pemikiran tokoh
ini merupakan suatu upaya yang cukup berhasil dalam menjelaskan batang tubuh
falsafat klasik. Kedua, penyandingan ini bermaksud untuk melacak kemungkinan
adanya akar-akar Wilāyah al-Faqīh pemikiran Ayatullah Khomeini dalam
7
pemikiran al-Fārābī. Di dalam buku tersebut, keduanya membahas tentang
seorang pemimpin yang saleh, arif, dan bijaksana, bahkan dianggap maʻṣūm
berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala agama.
Selain buku-buku dan karya-karyanya, penulis juga telah menemukan
karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Desi Koencoro
salah satu mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah
Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2000-2001. Adapun skripsi
tersebut berjudul Relevansi Politik Abad Modern dalam Rekonstruksi Pemikiran
al-Fārābī. Di dalam skripsinya, ia membahas sepenuhnya pemikiran yang
dituangkan oleh al-Fārābī, yang membandingkan dengan pemikiran Ayatullah
Khomeini tentang konsep imamah (Wilāyah al-Faqīh) terhadap pemerintahan Iran
juga tentang tubuh struktur Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ia berusaha
menelusuri adanya kemiripan konsep kepemimpinan dalan struktur pembagian
kekuasaan PBB dengan konsep bentuk-bentuk kerja sama antar elemen
masyarakat yang terbagi dalam tiga kategori, khususnya dalam Masyarakat Besar
(salah satu pemikiran al-Fārābī), yang bekerja sama antara bangsa yang dimiliki
oleh dewan keamanan PBB dengan sosial struktur masyarakat al-Fārābī yang
sekaligus merupakan bentuk Islamisasi konsep struktur sosial Plato.
Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk
skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Amirullah salah satu mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah Program
Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2001-2002. Adapun skripsi tersebut berjudul
Negara Utama al-Fārābī dan Ide Demokrasi. Di dalam skripsinya ia membahas
8
tentang al-Fārābī yang telah menyumbangkan pemikiran filsafat politiknya
terhadap khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut
dengan istilah Negara Utama. Konsep tersebut merupakan sebuah perkumpulan
kerjasama manusia untuk mencapai tujuan yang ingin mendapatkan kebahagiaan.
Negara Utama al-Fārābī merupakan sebuah konsep politik Islam yang lahir pada
abad klasik, berbeda dari demokrasi yang pada kenyataannya berkembang pesat
hingga saat ini. Pemikiran al-Fārābī yang lain yang sejalan dengan filsafat politik
Plato adalah mengenai bentuk negara ideal yang diidealkan oleh keduanya, yaitu
bentuk Negara Kota. Al-Fārābī mengidolakan Negara Kota yang utama, bukan
bentuk negara demokratis, seperti juga Plato dan Aristoteles.
Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan di atas
adalah bahwa penulis memfokuskan tulisan terhadap pembahasan mengenai
konsep kepemimpinan yang diungkapkan al-Fārābī dan konsep Negara Utama
yang dituliskan al-Fārābī dalam bukunya yang berjudul Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-
Fāḍilah. Di dalam buku tersebut di antaranya dibahas tentang negara ideal yang
di dalamnya terdapat pembagian negara-negara berdasarkan ideologi menurut al-
Fārābī, kriteria kepala negara, dan sebagainya.
E. Metode Penelitian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis
9
penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi
berkaitan dengan masalah penelitian.7
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang
konsep kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī.
Jenis data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer,
sekunder, dan lainnya. Data primer ini merujuk pada buku-buku hasil karya al-
Fārābī seperti Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Data sekunder, berupa tulisan-
tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel, yang mengandung pembahasan
tentang kepemimpinan dan komentar, maupun analisis terhadap pemikiran al-
Fārābī yang ditulis oleh para sarjana dan cendekiawan yang menggeluti pemikiran
al-Fārābī. Data yang lain ialah seperti ensiklopedi, kamus, internet, koran, jurnal
dan lain-lain, yang relevan dengan kajian skripsi ini sebagai pendukung terhadap
rujukan yang penulis sebutkan sebelumnya.
Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal “Ilmu
Ushuluddin” yang diterbitkan Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
7 Consuelo G Sevilla dkk., Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: UI Press. 1993), h.
37.
10
BAB II
RIWAYAT HIDUP AL-FĀRĀBĪ
A. Pendidikan
Nama lengkap al-Fārābī adalah Abū Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin
Tarkhan bin Uzlag al-Fārābī. Ia lahir pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. dan
meninggal pada tahun 339 H./950 M.1, pada zaman pemerintahan Kerajaan
Sammāniyyah. Di Barat ia terkenal dengan sebutan Avennasar.2 Menurut
keterangan, bapaknya berasal dari Persia atau keturunan Persia (kendatipun nama
kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Sedangkan ibunya berasal juga
dari Persia. Bapak al-Fārābī bekerja sebagai seorang pegawai tentara kerajaan,
sedangkan pekerjaan ibunya tidak diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, ia bisa
disebut orang Persia dan orang Turki.3
Selama hidupnya al-Fārābī selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke
waktu. Saat kecil ia dikenal sangat rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas. Ia
banyak memelajari agama dan bahasa di tempat kelahirannya yaitu desa kecil
bernama Wāsij, Fārāb, daerah dekat sungai Jaxartes dan di daerah Transoxiana
yang masih masuk wilayah Turkistan.4
Pada saat muda ia belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhārā. Setelah
mendapat pendidikan awal, al-Fārābī belajar logika kepada seorang Kristen
1Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), h. 49. 2Abd. Sidiq, Islam dan Filsafat (Jakarta: Triputra, 1984), h. 89; lih. juga, Mircea Eliade,
The Encyclopedia of Religion (Londen: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol Ke-5, h. 284. 3Menurut Eliade, The Encyclopedia of Religion (London: Macmillan Publishing
Company, 1987), Vol Ke-5, h. 284, lebih tegas ia disebut sebagai orang Turki “Turkish Descent”,
atau “Turkish Origin”. 4M.M. Sharif, Para Filosof Muslim, terj. dari buku tiga bagian, The Philosophers, dalam
History of Islam Philosophy ,1963 (Bandung: Mizan, 1994), cet. Ke-7, h. 55-58; De boer, The
History of Philosophy in Islam (London: Lizac & Company, 1970), h. 107-109.
11
Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuḥannah ibn Haylān. Pada masa
kekhalifahan al-Muʻtadīd (892-902), al-Fārābī dan Yuḥannah ibn Haylān pergi ke
Baghdad dan al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī selanjutnya banyak
memberi sumbangsih dalam penempaan falsafat baru dalam bahasa Arab
meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.
Pada kekhalifahan al-Muktafī (902-908) dan awal kekhalifahan al-
Muqtadir (908-932) al-Fārābī pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama
delapan tahun serta memelajari seluruh silabus falsafat. Pada tahun 297 H.
bersamaan 910 M., ia telah kembali ke Baghdad. Kembalinya ia ke Baghdad
adalah untuk belajar, mengajar, mengaji buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles
dan menulis karya-karya. Setelah hijrah ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20
tahun, ia memerdalam ilmu-ilmu falsafat, logika, etika, ilmu politik, musik, dan
lain sebagainya.5 Di sinilah ia kembali memerdalam falsafat Yunani. Al-Fārābī
adalah seorang komentator falsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam.
Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para
failasuf Yunani: Plato, Aristoteles, dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya
terletak di berbagai bidang seperti matematika, falsafat, pengobatan, bahkan
musik. Al-Fārābī telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah karya
penting dalam bidang musik, Kitāb al-Mūsīqā. Ia dapat memainkan dan telah
menciptakan berbagai alat musik.
Pada tahun 330 H. bersamaan 942 M., al-Fārābī telah berpindah ke
Damaskus yaitu satu daerah di negara Syiria akibat kekacauan dan ketidakstabilan
5 Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol. 1,
Cet. Ke-4, h. 331.
12
politik yang berlaku di Baghdad. Pada tahun 332 H. bersamaan 944 M., al-Fārābī
pergi ke Mesir, tetapi tidak diketahui tujuan, mengapa dan kegiatan ia di sana, tapi
menurut Ibn Abī ʻUṣaybīʻah yang mana merupakan seorang ahli sejarah, al-Fārābī
telah mengarang sebuah karya mengenai politik ketika berada di Mesir yaitu
sekitar tahun 337 H.
Pada bulan Rajab 339 H. bersamaan 950 M., al-Fārābī meninggal dunia di
Damaskus, saat berumur 80 tahun. Ia dikebumikan di sebuah perkuburan di
bagian luar pintu selatan dan pintu sampingan kota tersebut. Sayf al-Dawlah
sendiri yang memberi tahu para pembesar negeri untuk menyalati jenazah al-
Fārābī.
B. Kehidupan Sosial Politik
Al-Fārābī hidup pada masa zaman kekuasaan Dinasti ʻAbbāsiyyah yang
digoncang oleh berbagai macam gejolak, pertentangan, dan pemberontakan,
dengan berbagai motif; agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-anak raja
berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekayaan milik nenek moyang
mereka khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba bermaksud
dengan cara infiltrasi subversi dan kudeta, bekerja sama dengan kelompok Syīʻah
yang berkeyakinan lebih berhak memerintah dan berkuasa daripada keturunan
ʻAbbās, paman Nabi Muḥammad SAW. Stabilitas lebih kacau lagi dengan
13
hilangnya Imam Muḥammad Mahdī (Imam Keduabelas dari Syīʻah Imāmiyyah)
dalam usia empat atau lima tahun.6
Akhir periode ʻAbbāsiyyah merupakan masa yang di dalamnya kekuasaan
khalifah mengalami kemunduran. Sedangkan yang berkuasa adalah dinasti-dinasti
baru yang kebanyakan dari Turki dan Persia. Pada akhirnya, dinasti-dinasti ini
menguasai Baghdad itu sendiri, dan khalifah pun praktis merupakan boneka di
tangan mereka.7
Pada hidupnya al-Fārābī tidak dekat dengan penguasa dan tidak
menduduki salah satu jabatan pemerintah. Ia lahir pada zaman pemerintahan
Khalifah al-Muʻtamīd (892-902 M) dan meninggal pada masa Khalifah al-Muṭīʻ
yang merupakan suatu periode paling kacau dengan stabilitas politik yang sangat
mengenaskan. Hal ini yang disinyalir menyebabkan dirinya merasa perlu untuk
memikirkan dan menemukan pola-pola kehidupan bernegara dan bentuk
pemerintahan yang ideal di samping pengaruh dari pendidikan falsafat Yunani
yang banyak dipelajarinya.
Kehancuran demi kehancuran dinasti membuatnya berpikir dan
berimajinasi mengenai suatu bentuk negara ideal yang pernah ia lihat pada dinasti
Sammāniyyah. Seperti halnya Plato, al-Fārābī juga melihat bahwa kehancuran
sebuah negara atau dinasti adalah akibat dari kehancuran moralitas bangsa dan
pimpinan pada khususnya. Dari situlah kemudian ia tertarik untuk menawarkan
sebuah negara yang sejahtera melalui negara utama dengan pimpinan yang utama
dan masyarakat yang utama pula.
6 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 79-80. 7 Yamani, al-Farabi Filosof Politik Muslim (Jakarta: Teraju, 2005), Cet. 1, h. 13.
14
Stabilitas politik dan kondisi kehidupan al-Fārābī menunjukkan bahwa ia
hidup di dalam sebuah negara yang mengalami kekacauan yang ditimpa berbagai
macam konflik yang dilatarbelakangi adanya motif politik, sehingga al-Fārābī di
dalam kehidupannya memberikan beberapa konsep tentang falsafat politik
khususnya terhadap negara. Dengan latar belakang motif politik dan kondisi
kehidupan yang kacau, al-Fārābī menuangkan konsep pemikirannya dalam bentuk
negara utama, karena di dalam konsep tersebut al-Fārābī menjelaskan tentang
sebuah negara yang masyarakatnya memunyai suatu tujuan yaitu mencapai
kebahagiaan.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran al-
Fārābī dilatarbelakangi dengan beberapa poin. Pertama, adanya kondisi
kehidupan yang kacau yang di dalamnya mengalami keributan dan perebutan
kekuasaan di dalam kerajaan. Kedua, stabilitas poiltik yang tidak aman, yang
mengalami beberapa pergantian khalifah, sehingga tidak adanya suatu efektifitas
pemerintahan yang stabil. Dari kedua faktor tersebut al-Fārābī menuangkan
pemikirannya di dalam falsafat politik dalam sebuah konsep dengan istilah Negara
Utama al-Fārābī.
C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik
Sebagaimana para failasuf Muslim lain pada umumnya, pemikiran-
pemikiran falsafi al-Fārābi tidak luput dari pengaruh pemikiran-pemikiran para
failasuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus.
15
Pengaruh Plato bisa dilihat ketika al-Fārābi membahas tentang kelas-kelas
sosial dalam masyarakat. Sebagaimana ditulis dalam Taḥṣīl ʻalā Sabīl al-Saʻādah,
dia menyatakan bahwa, sesuai pekerjaannya, masyarakat terbagi menjadi tiga
golongan yaitu; ʻāmmah, khāṣṣah dan akhaṣṣ al-khāṣṣ, dengan menjunjung tinggi
keadilan sebagai barometer kebaikan.8 Keadilan merupakan hal yang penting
dalam menciptakan suatu masyarakat yang ideal.
Pendapat ini tak jauh berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan
bahwa negara yang ideal harus berdasar keadilan. Keadilan ini tercapai apabila
tiap-tiap orang melakukan pekerjaannya. Berhubungan dengan pekerjaan, Plato
membagi penduduk dalam tiga golongan yaitu, golongan terbawah yang terdiri
dari rakyat jelata, golongan tengah sebagai penjaga dan golongan atas adalah
pemerintah atau failasuf.9
Golongan bawah adalah mereka yang bekerja untuk menghasilkan
kebutuhan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka tak boleh turut andil dalam
pemerintahan tetapi boleh memiliki hak milik, harta, rumah tangga sendiri, dan
hidup dalam rumah masing-masing. Penekanan pendidikan pada golongan ini
adalah budi yang pandai menguasai diri.
Golongan tengah adalah mereka yang bertugas memertahankan serangan
dari musuh dan menegakkan undang-undang. Mereka tidak boleh memiliki harta
perseorangan dan keluarga karena hidup dalam sistem komunisme, termasuk
dalam hal perempuan dan anak-anak. Anak-anak yang lahir dipelihara negara.
Mereka mengaku semua penjaga sebagai bapak, begitu pula sikap terhadap ibu.
8 Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah (Hyderabad: Majlis Dā’irah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah,
1349 H.), h. 36-37. 9 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 145
16
Laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan yang sama juga kesempatan untuk
menjadi penjaga. Keberanian adalah budi yang dituntut golongan ini.
Golongan paling atas adalah pemerintah atau failasuf. Mereka adalah
orang-orang terpilih dari kelas penjaga setelah melewati proses khusus. Tugas
mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Selain
itu, waktu luang yang dimiliki digunakan untuk memerdalam falsafat dan
pengetahuan tentang idea kebaikan sehingga memerdalam kesempurnaan budi
kebijaksanaan.
Plato, dengan bertitik tolak dari manusia yang harmonis dan adil,
menggunakan jiwa manusia atas tiga fungsi, yaitu keinginan, energi dan rasio
(ephitymia, enerji, thymas dan logos). Jika keinginan dan enerji – di bawah
pimpinan rasio – dapat berkembang sebagaimana mestinya, menurut Plato, akan
muncullah manusia yang harmonis dan adil. Secara analogis dengan bagian-
bagian jiwa ini, Plato menganggap bahwa negara itu laksana manusia besar,
sebagai organisme tertinggi dari tiga bagian atau tiga golongan, yang masing-
masing sepadan dengan bagian jiwa. Tiga bagian tersebut ialah; pertama,
golongan produktif, yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang, ephitymia.
Kedua, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, thymas. Ketiga,
golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.10
Plato adalah pencipta ajaran serba cita (idenleer), karena itu falsafatnya
disebut idealisme. Ajaran Plato lahir karena pergaulannya dengan kaum sofis.
Plato beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh berkat pengamatan panca
10
P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote
Filosofen over de Mens (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 16-17
17
indera adalah bersifat relatif. Memang, lanjut Plato, kebajikan tidak mungkin ada
tanpa adanya pengetahuan, namun pengetahuan (yang sebenarnya) tidak hanya
terbatas pada pengamatan (inderawi). Pengetahuan, bagi Plato, lahir dari alam,
bukan benda. Bentuk-bentuk dari benda yang diamati melalui panca indera
hanyalah bayangan dari kenyataan-kenyataan alam bukan benda, di mana benda-
benda itu ada dalam bentuk yang lebih murni. Cita (ide) kuda misalnya, yang
memunyai sifat-sifat benda dalam bentuk yang murni tidak dapat diamati di dunia
ini. Kuda yang kita lihat sekarang, berbeda sama sekali dalam bentuk, warna dan
sifatnya. Kemudian Plato bertanya kepada diri sendiri, “Apa sebabnya kita
mengenali kuda dalam gejala yang sedemikian rupa?” “Karena,” dia menjawab
sendiri, “Jiwa manusia telah bermukim lebih dahulu dalam alam serba cita murni
sebelum ia memasuki badan, di alam serba cita itu, manusia telah melihat cita dari
kuda itu dan kemudian ia kenal kuda tersebut dalam bentuknya yang kurang
sempurna di dunia ini.”11
Dalam pandangan politik al-Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua
failasuf besar Yunani (Plato dan Aristoteles). Ketika berbicara tentang politik dan
negara, al-Fārābī, selain mengaitkan dalam proposisi-proposisi teologis, berpijak
dalam dunia nyata dengan memberi alternatif pada kemungkinan tidak
ditemukannya pimpinan negara pada peringkat yang paling sempurna, dengan
mendistribusikan kecakapan individual kepada kecakapan dan profesionalitas
kolektif.12
Berkenaan dengan pemikiran politik Aristoteles, pada umumnya, orang
hanya menganggap sebagai langkah penting ke arah lebih maju dari Plato karena
11
P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, h. 16-17. 12
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126.
18
dia (Aritoteles) adalah seorang realis. Akan tetapi, pada dasarnya, Aristoteles juga
seorang idealis dan menjadikan alam pikiran sebagai pokok penyelidikan, hingga
kemudian orang mendapat tanggapan-tanggapan abstrak seperti adil, tidak adil,
negara dan lain sebagainya, yang sangat berarti pada dunia kenyataan.
Aristoteles juga berpendapat seperti Plato, bahwa dalam suatu masyarakat
rohani yang luasnya terbatas dan terdiri dari orang-orang merdeka, ada lebih besar
harapan akan terciptanya keadilan. Ini berarti seyogyanya pemerintah harus
membuat masyarakat yang dipimpinnya merasa merdeka sambil menjalankan
pemerintah yang adil dan bijaksana. Keadaan ini untuk Plato hanya merupakan
tanggapan pikiran, sedangkan Aristoteles memerdalam penyelidikannya untuk
menciptakan dan memertahankan keadaan tersebut. Pada akhirnya, baik Plato
maupun Aristoteles berpendapat bahwa jika tidak ada kecenderungan etis dan
sosial pada warga negara, maka tak ada harapan akan tercapai suatu keadilan yang
tertinggi dalam negara meskipun yang memerintah orang-orang baik dan dengan
undang-undang yang baik pula. Maka ini semua laksana jiwa dan badan yang
harus ada keseimbangan sebagai keadilan.13
Pandangan kedua failasuf (Plato dan Aristoteles) itu kemudian dianalisis
oleh al-Fārābī sebagai suatu (kebajikan) yang mutlak menjadi persyaratan bagi
pimpinan negara/kota. Keadilan, secara operasional, harus diterapkan dalam
pembagian kebajikan kepada seluruh warga kota/negara. Kebajikan itu dapat
berupa kedamaian, harta benda, penghormatan dan lain sebagainya dan barang
13
J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato sampai
Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over Staat en Recht (von Plato
tot Kant) (Jakarta: Pembangunan, 1965), h. 46.
19
siapa yang mengurangi bagian itu – lanjut al-Fārābī – dia adalah orang yang
curang dan tidak patut menjadi pimpinan.
D. Karya-karya
Hampir di segala bidang ilmu pengetahuan, al-Fārābī mengarang buku-
buku yang berharga. Baik buku-buku itu berisi karangan dan pemikirannya
sendiri, maupun bersifat terjemahan atau komentar-komentar terhadap failasuf-
failasuf yang mendahuluinya. Pengarang al-Qifṭī dalam bukunya Ikhbār al-
ʻUlamāʼ fī Akhbār al-Ḥukamāʼ, dan Ibn ʻUṣaybīʻah dalam bukunya ʻUyūn al-
Akhbār fī Ṭabaqāt al-Ṭibbāʻī menghitung bahwa buku-buku al-Fārābī berjumlah
102 buah yang terbagi kepada: 17 buah bersifat komentar, 60 buah karangan dan
25 buah risalah.
ʻAbbās Maḥmūd berdasarkan catatan-catatan sejarah, menghitung jumlah
sampai 117 buah, yang dibaginya menurut bidang pengetahuan kepada enam
bidang: 43 buah mengenai mantiq, yang meliputi hermeneutik, analytica priora,
analytica aposteriora, topica, sophistica elenchi, rhetorica dan poetic. 11 buah
mengenai ilmu-ilmu kepandaian yang meliputi ilmu-ilmu musik, teknik, bintang-
bintang, hitungan, dan lain-lain. Sebelas (11) buah mengenai ilmu ketuhanan yang
meliputi metafisika, rahasia alam, akal dan sebagainya. Empat belas (14) buah
mengenai ilmu politik yang meliputi ilmu-ilmu akhlak, dan kenegaraan. Dua
puluh delapan (28) buah mengenai “Bunga Rampai” yang meliputi komentar-
20
komentar terhadap karangan-karangan failasuf Yunani dan segala macamnya.
Termasuk di dalam bagian “Bunga Rampai” buku Iḥṣāʼ al-ʻUlūm.14
Jika memerhatikan bidang-bidang yang diisi oleh al-Fārābi dengan
karangan-karangannya di atas, dapat kita yakini bahwa failasuf Islam itu betul-
betul menguasai segala cabang ilmu pengetahuan.
Muḥammad Luṭfī Jumʻah dalam bukunya Tārīkh Falāsifah al-Islāmī
menerangkan bahwa buku-buku al-Fārābī yang sudah dicetak ke dalam bahasa
Arab berjumlah 6 buah, ditambah dengan 12 buah buku-bukunya yang tersebar di
berbagai perpustakaan-perpustakaan Eropa mengenai ilmu logika, kemudian 8
buah buku mengenai politik dan akhlak, sehingga jumlah-jumlah yang masih
diperoleh sekarang 26 buah.15
Buku-buku karangan al-Fārābī mulai ditulis sewaktu berada di Harran
pada 310 H./ 941 M., setelah usianya hampir mencapai 50 tahun. Jika
diperhitungkan bahwa semenjak dia menulis sampai usianya 80 tahun, berarti
paling lama waktunya mengarang tak lebih dari 30 tahun.
Pertama, Mengenai bukunya (Iḥṣāʼ al-ʻUlūm) adalah himpunan segala
ilmu. Sebagaimana namanya, buku itu memuat pembagian cabang-cabang ilmu
pengetahuan sampai kepada masanya. Buku itu membagi segala ilmu kepada 5
golongan:
1. Ilmu-ilmu sastra
2. Ilmu-ilmu logika
3. Ilmu-ilmu matematika
4. Ilmu-ilmu alam
14
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madīnah al- Faḍīlah) (Jakarta: Kinta. 1968),
h. 23. 15
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 23.
21
5. Ilmu-ilmu politik, sosial dan ekonomi
Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, menamakan buku itu
“Encyclopaedia of Islam”. Dikatakannya: “Iḥṣāʼ al-ʻUlūm itu memberikan
peninjauan kembali secara umum tentang ilmu-ilmu. Para ahli bangsa Latin
memberikan ide tentang pembagian ilmu-ilmu pengetahuan menurut cabang ilmu
ada lima macam, yaitu bahasa, logika, matematika, ilmu-ilmu alam, dan politik
serta sosial ekonomi.”
Buku itu tersebar di Eropa karena terjemahannya yang banyak.
Terjemahan pertama berbahasa Latin diterjemahkan oleh John of Spain (John of
Seville, atau John of Toledo, atau John of Luna or Limia, atau John Avendehut)
yang meninggal pada 1157 M. Buku itu menggunakan nama Alpharabu
Vetustissimi Aristotelis interpretis, opera omnia, quae Latina lingua. Terjemahan
itu disebarkan oleh Guiliemus Comerarius, guru besar teologi di Universitas Paris,
pada tahun1938 M. dan sekarang dapat diperoleh dalam British Museum di
London.
Terjemahan bahasa Latin yang kedua dilakukan oleh Gerards de Ceremona
yang meninggal pada 1187 M. dengan judul buku De Scientus yang sebagian
disebarkan oleh Dr. Eilhard Wiedmann dalam bahasa Jerman pada 1907 dan
sekarang naskah terjemahan itu masih terdapat di perpustakaan Paris No. 9335
fols. 148-184.
Terjemahan yang ketiga dilakukan oleh Dominicus Guinissalinus yang
diberi judul De Devisione Philosophiae. Walaupun Wustandfel mengatakan buku
22
itu bukanlah terjemahan dari karangan al-Fārābī, tetapi setelah diselidiki oleh
Wolff, hampir 2/3 dari buku al-Fārābī dimuat di dalamnya.
Adapun aslinya dalam bahasa Arab barulah dicetak pertama kali oleh
majalah al-ʻIrfān pada 1821 M. dari naskahnya tertanggal abad 13 M. Cetakan
kedua diterbitkan oleh Dr. Otsman Amien pada tahun 1931.
Kedua, selain itu ada bukunya yang bernilai tinggi ialah komentarnya
terhadap karangan Aristoteles bernama Aghrāḍ Kitāb mā Warāʼa al-Ṭabīʻah li
Arisṭū (On the Objects of Metaphysica, Tujuan buku Aristoteles tentang
Metafisika).
Mengenai buku ini, diakui oleh Ibn Sīnā, bahwa dia telah membaca buku
Metaphysic of Aristoteles (Metafisika dari Aristoteles) sampai diulanginya, tetap
dia tidak mengerti. Tapi setelah membaca komentar al-Fārābī terhadap buku itu
barulah dia mengerti seluruh isinya dengan sekali baca saja
Ketiga, buku lain yang penting juga ialah Al-Taʻlīm al-Tsānī (pelajaran
falsafat yang kedua), yang dikarangnya atas permintaan kepala daerah. Karena
buku itu, nama al-Fārābī menanjak tinggi dengan gelar “Second Preceptor” (Maha
Guru Kedua), sesudah Aristoteles sebagai Maha Guru Pertama.16
Di antara hasil-
hasil karyanya yang berjumlah 117 buah, buku karangannya di bidang politik
cukup populer dan sangat mengagumkan. Segala buku-buku itu meliputi tiga
bidang:
1. Politik dan Hukum
2. Sosial dan Ekonomi
3. Akhlak
16
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 24-28
23
Adapun nama buku-buku politik karangan al-Fārābī itu ialah:
1. Mabādiʼ Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (The principle of the community
of model city, dasar-dasar ideologi warga negara utama), atau singkatnya
dinamakan Madīnah al-Fāḍilah. Menurut keterangan Ibn Abī ʻUṣaybīʻah,
buku itu mulai dikarang al-Fārābī sewaktu di Bahgdad dan dibawanya
pindah ke Syām pada akhir 330 H., lalu disempurnakan di Damaskus pada
331 H. Barulah selesai dengan membagi-bagi bab dan pasalnya pada 337
H., sewaktu dia berada di Mesir. Jadi diselesaikan dalam waktu 7 tahun.
Naskah buku ini masih terdapat di Dār al-Kutub di Mesir No. 743 bagian
ilmu kalām. Sudah dicetak dan diterbitkan di Leiden pada 1895 dan
kemudian di Mesir.
2. Siyāsah al-Madaniyyah (political economy, politik ekonomi). Buku ini
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew oleh Moses ben Tebon pada
1248 M. dan juga telah disebarkan oleh M. Philopporski dalam suatu
kumpulan yang dinamakannya “Sepher ha~Asiph” pada 1850 di London.
Buku siyasah ini dinamakan juga Mabādiʼ al-Mawjūdāt (dasar-dasar
segala wujud)”, telah dicetak di Heyderabad, India, pada 1346 H. Kedua
buku di atas diakui oleh Ibn Abī ʻUṣaybīʻah dan al-Qifṭī sebagai “Dua
buku yang tidak ada bandingannya”.
3. Jawāmiʻ al-Siyāsah (cimpedium of politics, himpunan politik) disebarkan
oleh Shaiko dari manuskripnya yang masih tersimpan di Vatikan.
24
4. Jawāmiʻ Kutub al-Nawāmīs li Aflāṭūn (a summary of Plato laws, ringkasan
dari buku hukum karangan Plato). Manuskrip aslinya terdapat di
perpustakaan Leiden No. 1429.
5. Kitāb al-Alfāẓ al-Flāṭūniyyah wa Takwīn al-Siyāsah al-Mulukiyyah wa al-
Akhlāq (monarchal policy making and moral, kata-kata Plato tentang
pembentukan negara monarki dan akhlak). Manuskripnya tersimpan di
Aya Sophia, Istanbul, No. 2820.
6. Risālah fī Qawd al-Juyūsy (risalah tentang pembentukan tentara)
7. Al-Maʻāyisy wa al-Ḥurub (hubungan ekonomi dan peperangan)
8. Al-Ijtimāʻiyyah wa al-Madīnah (community of the city, masyarakat-
masyarakat kota)
9. Al-Faḥṣ al-Madanī (penyelidikan rencana pembangunan).
10. Taḥṣīl al-Saʻādah (reality of the happines, merealisasikan tujuan
kebahagiaan). Buku ini telah dicetak di Heyderabad pada 1345 H. Dan
naskahnya disimpan di Dār al-Kutub Mesir, No 601 bagian Hikmah.
11. Risālah fī al-Saʻādah (pamphlet on happines, risalah tentang kebahagiaan),
dapat diperoleh di Dār al-Kutub, Mesir No. 120.
12. Risālah fī at-Tanbīh ʻalā Subul al-Saʻādah (risalah tentang peringatan
mengenai jalan-jalan menuju kebahagiaan). Sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Ibrani dan satu naskah aslinya tersimpan di British Museum,
London No. 77.
13. Al-Ṣīrāṭ al-Faḍīlah (model of etihcs, akhlak utama). Buku ini pernah
dipuji sebagai puncak karangan al-Fārābī di bidang akhlak.
25
14. Ṣadr Kitāb al-Akhlāq li Arisṭū (preface to ethics of aristotle, pengantar dari
buku akhlak karangan aristoteles). Menurut Steincheineder, kemungkinan
besar buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani, karena
kebanyakan pengarang-pengarang Yahudi selalu menyebut-nyebutnya,
seperti Maimonides, Samuel ben Taboun, Jozef ben Shantoub dan David
ben Jahuda.
15. Jawāmiʻ al-Sayr al-Marḍiyyah fī Iqtifāʼ al-Faḍāʼil al-Insiyyah (himpunan
akhlak-akhlak yang baik dalam mengikuti sifat-sifat keutamaan manusia).
Satu naskah buku ini terdapat dalam perpustakaan di Leiden, No. 1931.17
Demikianlah jumlah buku-buku karangan al-Fārābī. Kita menyadari
bahwa pembagiannya kepada tiga bidang di atas (politik dan hukum, sosial dan
ekonomi, dan akhlak), tidaklah begitu tepat. Tidak mungkin suatu buku
membatasi dirinya kepada suatu bidang saja dengan tidak mencampuri bidang
lainnya. Misalnya buku-buku mengenai kebahagiaan, dapat dimasukkan ke dalam
soal-soal sosial dan ekonomi, sebagai tujuan negara, tetapi dapat juga dimasukkan
dalam soal politik, bahkan juga dalam bidang akhlak.
Dari buku-buku yang disebutkan di atas ada tiga buah buku yang merupakan
puncak tertinggi dari setiap bidang yaitu:
1. Mabādī Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, dalam soal-soal politik
2. Siyāsah al-Madāniyyah dalam soal-soal sosial dan ekonomi
3. Al-Ṣīrāṭ al-Faḍīlah dalam soal-soal akhlak
Jika buku-buku yang merupakan puncak di bidang masing-masing itu
dihimpun menjadi satu, kita melihat satu kesempurnaan yang mengagumkan bagi
17
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, h. 30-33.
26
uraian-uraian al-Fārābī di bidang ilmu kenegaraan. Buku-buku inilah yang
menjadi konsepsi al-Fārābī.
27
BAB III
KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT AL-QURʼĀN DAN ḤADĪTS
A. Definisi Konsep dan Kepemimpinan
Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
rancangan atau buram surat, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa
konkret, gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar
bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.1 Woodruff
mendefinisikan konsep sebagai suatu gagasan/ide yang relatif sempurna dan
bermakna, suatu pengertian tentang suatu obyek, produk subyektif yang berasal
dari cara seseorang membuat pengertian terhadap obyek-obyek atau benda-benda
melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap obyek/benda). Pada
tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa obyek
atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan kompleks, konsep
merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman atau
kejadian tertentu.2
Sedangkan kepemimpinan menurut KBBI adalah perihal pemimpin, cara
memimpin.3 Setiap kegiatan manusia yang dilakukan secara kolektif selalu
membutuhkan suatu sistem kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi sukses
dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia yang
1 Kemendikbud, http://kbbi.web.id/pimpin, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Online”, 13/03/2014, pukul 14.15 WIB. 2 http://carapedia.com/pengertian_definisi_ konsep_menurut_ para_ahli_info402.html,
13/03/2014, pukul 14.30 WIB. 3 Kemendikbud, http://kbbi.web.id/pimpin, 13/02/2014, pukul 17.55 WIB.
28
jutaan banyak ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis untuk melatih
dan memersiapkan pemimpin-pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan
penelitian dilakukan orang untuk memelajari masalah pemimpin dan
kepemimpinan.
Maka dari itu, pembahasan dalam bab ini akan fokus pada konsep atau ide
tentang hal apa saja yang berkaitan dengan kepemimpinan atau cara memimpin
berdasarkan al-Qurʼān dan Ḥadīts yang memang merupakan landasan utama
kehidupan. Dalam hal ini, penulis akan mengungkapkan ayat beserta tafsir dengan
tujuan agar kita dapat melihat kesesuaian ayat dengan bahasan. Ditambah juga
beberapa pandangan ahli Ḥadīts tentang Ḥadīts-Ḥadīts yang akan penulis
ungkapkan. Adapun mengenai ayat al-Qurʼān, tafsir pada pembahasan nanti akan
diungkapkan berdasarkan dua tafsir:
Pertama, Tafsīr al-Ṭabarī yang ditulis sebelum kelahiran al-Fārābī. Hal ini
dimaksudkan agar kita dapat mengetahui bagaimana trend tafsir yang beredar
pada masa-masa kehidupan al-Fārābī dan bagaimana pengaruhnya.
Kedua, Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, yang ditulis pada
abad 20. Hal ini dimaksudkan supaya kita dapat melihat perkembangan penafsiran
di era modern di mana sudah banyak teori kepemimpinan yang berkembang.
Dua tafsiran di atas cukup merepresentasikan pandangan tentang
kepemimpinan di zaman klasik yang diwakili oleh Tafsīr al-Ṭabarī dan zaman
modern yang diwakili oleh Tafsir al-Mishbah. Dengan begitu, kita dapat melihat
bagaimana perkembangan teori kepemimpinan dalam pandangan mufassir.
29
Dari sekian banyak tokoh yang menulis tentang kepemimpinan menurut
al-Qurʼān adalah Munawir Sjadzali yang menulis buku Islam dan Tata Negara
yang menjadi referensi utama. Hal ini dikarenakan beberapa ayat yang ia
cantumkan di dalam bukunya itu sesuai dengan pembahasan mengenai
kepemimpinan.
Tulisan ini kita mulai dari bagaimana al-Qurʼān berbicara mengenai
kepemimpinan. Munawir Sjadzali mengungkapkan, di dalam al-Qurʼān terdapat
ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara. Ayat-ayat tersebut di antaranya:4
Pertama, mengajarkan tentang kedudukan manusia di muka bumi sebagai
pemimpin yaitu:
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Anʻām: 165).
Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, Allah SWT berfirman kepada Nabi, “Wahai manusia, dan Dialah yang
menjadikan kamu sekalian manusia, sebagai penguasa-penguasa di bumi, dengan
memusnahkan orang-orang dan umat-umat sebelum kalian, serta menjadikan
4 Munawir Sjadzali, Islam dan Ilmu Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 4.
30
kalian sebagai khalīfah dan pengganti mereka di muka bumi. Kalian menguasai
bumi dan menjadi penguasa setelah mereka.”5
Firman Allah SWT, “dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian
(yang lain) beberapa derajat,” sesungguhnya dalam ayat ini Allah SWT
menjelaskan bahwa keadaan manusia berbeda-beda, dan Dia menjadikan status
sebagian lebih tinggi dari sebagian lain dengan melapangkan rizki sebagian
mereka, sehingga sebagian manusia menjadi lebih utama disebabkan rizki dan
kekayaan yang dianugerahi kepada mereka lebih tinggi dari si fakir.
Selanjutnya firman Allah SWT, “Untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu,” maksudnya adalah untuk menguji manusia dengan apa
yang dianugerahkan kepadanya berupa keutamaan dan rizki, sehingga dapat
diketahui siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya.
Kemudian maksud dari, “Dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” adalah sesungguhnya Allah akan menutupi dosa orang-orang
yang diberi ujian berupa kenikmatan, atau diuji dengan perintah dan larangan.
Kemudian ia menerima dan taat kepada-Nya, maka Allah akan menutupi
kehinanaan pada saat ia dihisab.6
Sedangkan menurut Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, ayat ini
menjelaskan disamping Allah SWT sebagai pemelihara segala sesuatu, “Dan Dialah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi,” yakni pengganti umat-umat
yang lalu dalam mengembangkan alam. “Dan Dia meninggikan” derajat akal,
ilmu, harta kedudukan sosial, kekuatan jasmani, dan lain-lain “sebagian kamu atas
5 Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 787. 6Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 787.
31
sebagian” yang lain “beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Tuhanmu wahai Nabi Muḥammad
SAW “amat cepat siksaan-Nya” karena Dia tidak membutuhkan waktu, alat, dan
tidak pula disibukkan oleh satu aktifitas untuk menyelesaikan aktifitas yang lain
“dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun” bagi yang tulus bertaubat “lagi Maha
Penyayang” bagi hamba-hamba-Nya yang taat.
Kata khalāʼif adalah bentuk jamak dari kata khalīfah. Kata ini terambil dari
kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalīfah
seringkali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang
datang sebelumnya. Ini karena kedua makna itu selalu berada atau yang datang
sesudah yang ada atau datang sebelumnya.7
Kedua, prinsip yang sangat mendasar adalah keadilan sebagaimana di
dalam al-Qurʼān Allah berfirman:
Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan (Q.S. Ṣād: 26).
Maksud ayat di atas dalam Tafsīr al-Ṭabarī adalah, Allah katakan kepada
Dāwud, “Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikanmu sebagai khalīfah di
7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Jilid IV, hal. 362.
32
muka bumi sesudah Kami menjadikanmu sebagai rasul yang memutuskan perkara
di antara penduduk bumi”8
Kemudian, berilah keputusan secara adil dan tengah. Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, dalam memutuskan perkara di antara mereka sehingga
engkau menyimpang dari kebenaran, karena hawa nafsu akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah akan
mendapat adzab yang berat di akhirat atas kesesatan mereka dari jalan Allah
lantaran melupakan perintah Allah yang dalam hal ini tidak memberi keputusan
secara adil dan tidak menaati Allah.9
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah dikatakan
bahwa Allah SWT mengangkat Dāwud sebagai khalīfah, Allah berfirman: “Hai
Dāwud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalīfah” yakni penguasa “di muka
bumi,” yaitu di Bayt al-Maqdis, “Maka berilah Keputusan” semua persoalan yang
engkau hadapi “di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu” antara lain dengan tergesa-gesa menjatuhkan putusan sebelum
mendengarkan semua pihak, sebagaimana yang engkau lakukan dengan kedua
pihak yang berperkara tentang kambing itu, “karena” jika engkau mengikuti
nafsu, apapun dan yang bersumber dari siapa pun, baik dirimu maupun mengikuti
nafsu orang lain, maka “ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang” terus-menerus hingga tiba ajalnya “sesat dari
8 Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 144.
9 Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 144.
33
jalan Allah akan mendapat adzab yang berat” akibat kesesatan mereka itu, sedang
kesesatan itu sendiri adalah “karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Kata khalīfah pada mulanya berarti “yang menggantikan” atau “yang
datang sesudah siapa yang datang sebelumnya”. Pada masa Dāwud, terjadi
peperangan antara dua penguasa besar Ṭālūt dan Jālūt. Dāwud adalah salah
seorang pasukan Ṭālūt. Kepandaiannya menggunakan ketapel mengantarkannya
pada keberhasilan dalam membunuh Jālūt, dan setelah keberhasilan itu dan
setelah Ṭālūt meninggal, Allah mengangkatnya sebagai khalīfah menggantikan
Ṭālūt.10
Ketiga, tentang musyawarah, di dalam al-Qurʼān Allah berfirman:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada
mereka, mereka nafkahkan (Q.S. al-Syūrā: 38).
Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, Allah SWT berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,” maksudnya adalah orang-
orang yang memenuhi seruan Allah saat dia menyeru mereka agar mengesakan-
Nya, mengakui keesaan-Nya, dan terbebas dari penyembahan kepada setiap yang
disembah selain Dia.11
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 132. 11
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.
34
Dan firman Allah, “Dan mendirikan salat,” maksudnya adalah salat wajib
sesuai dengan batas waktunya.
Kemudian firman Allah, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka,” maksudnya adalah jika mereka menghadapi suatu
perkara, maka mereka saling bermusyawarah.
Lalu firman Allah, “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada
mereka, mereka nafkahkan” maksudnya adalah mereka menginfakkan sebagian
harta yang Allah anugerahkan kepada mereka di jalan Allah, dan menunaikan
kewajiban mereka hak-hak orang-orang yang berhak menerimanya, berupa zakat
dan infak kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.12
Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan
bahwa “Dan” kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi “orang-orang yang” benar-
benar “menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat” secara
berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan
khusyu kepada Allah, “dan” semua “urusan” yang berkaitan dengan masyarakat
“mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” yakni mereka
memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat
otoriter dengan memaksakan pendapatnya, “dan” di samping itu mereka juga “dari
sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka” baik harta maupun
selainnya, “mereka” senantiasa “nafkahkan” secara tulus serta berkesinambungan
baik nafkah wajib maupun sunnah.
12
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.
35
Kata syūrā terambil dari kata syawur. Kata syūrā bermakna mengambil
dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memerhadapkan satu pendapat
dengan pendapat yang lain. Kata ini terambil dari kalimat syirtu al-ʻasal yang
bermakna: saya mengeluarkan madu (dari wadahnya). Ini berarti memersamakan
pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih
madu itu di mana pun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapa pun
bisa dinilai benar tanpa memertimbangkan siapa yang menyampaikan.13
Keempat, tentang ketaatan kepada pemimpin, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu tarik-menarik
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
Hari Kemudian. Demikian itu baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya
(Q.S. al-Nisāʼ: 59).
Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī
mengatakan: maksudnya adalah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
sebagai Tuhanmu, patuhilah segala perintah-Nya dan larangan-Nya. Serta taatilah
Rasul-Nya yaitu Muḥammad SAW, karena sesungguhnya ketaatanmu kepada
Muḥammad adalah bentuk ketaatanmu kepada Tuhanmu dan semata-mata karena
menjalankan perintah Allah kepadamu.”14
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 512. 14
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 249.
36
Para mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan makna ūlū al-amr pada
ayat ini. Namun, Abū Jaʻfār mengatakan pendapatnya bahwa maksudnya adalah
para pemimpin dan penguasa, berdasarkan ḥadīts ṣaḥīḥ dari Rasulullah SAW
yang memerintahkan kita untuk taat kepada perintah (yang mendatangkan
kemaslahatan bagi kaum Muslimin) para imam dan penguasa.
Dan firman Allah, “Kemudian jika kamu tarik-menarik pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.” Maksudnya
adalah, wahai orang-orang beriman, jika kamu berbeda pendapat dalam urusan
agama dengan pemimpin kalian, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān),
yaitu kembalikanlah pengetahuan hukum yang kalian dan pemimpin kalian
perselisihkan, kepada hukum Allah. Ikutilah apa yang kalian dapatkan di
dalamnya.
Kemudian ayat, “Demikian itu baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya,”
maksudnya adalah kembalikanlah apa saja yang kamu perselisihkan kepada Allah
dan Rasul, karena itu lebih baik bagimu di sisi Allah pada hari kamu
dikembalikan kelak, dan lebih baik dalam urusan duniamu, sebab itu mengajak
kepada kasih sayang dan meninggalkan peselisihan serta perpecahan.15
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, maksud ayat di
atas adalah memerintahkan kaum Mukmin agar menaati putusan hukum siapa pun yang
berwenang menetapkan hukum. Secara berturut dinyatakan-Nya, “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah” dalam perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam
15
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , h. 249-266.
37
al-Qurʼān “dan taatilah Rasul (Nya)” yakni Muḥammad, dalam segala macam
perintahnya, baik perintah melakukan sesuatu, maupun perintah untuk tidak
melakukan sesuatu, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang sahih, “dan”
perkenankan juga perintah “ūlū al-amr” yakni yang berwenang menangani urusan-
urusan kamu, selama mereka merupakan bagian “di antara kamu” wahai orang-
orang Mukmin, dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah
atau perintah rasul-Nya. “Kemudian jika kamu tarik-menarik” yakni berbeda
“pendapat tentang sesuatu” karena kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk
Allah dalam al-Qurʼān dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang sahih,
“maka kembalikanlah ia kepada” nilai-nilai dan jiwa firman “Allah” yang
tercantum dalam al-Qurʼān serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan “Rasul” yang kamu
temukan dalam sunnahnya, “jika kamu benar-benar beriman” secara mantap dan
berkesinambungan “kepada Allah dan hari kemudian. Demikian itu” yakni
sumber hukum ini adalah “baik” lagi sempurna, sedang lainnya buruk atau
memiliki kekurangan, “dan” di samping itu, ia juga “lebih baik akibatnya”, baik
untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan akhirat kelak.
Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ūlū al-amr. Dari segi
bahasa, ūlū adalah bentuk jamak dari walī yang berarti pemilik atau yang
mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa
mereka itu banyak, sedang kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan
demikian, ūlū al-amr adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum
Muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani
persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat
38
bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan
bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga adalah bahwa mereka yang
mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.16
Kelima, tentang hubungan antar umat dari berbagai agama, Allah
berfirman:
Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri
kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku adil
kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawan orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu
dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim (Q.S al-Mumtaḥanah: 8-9)
Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, maksud ayat di atas adalah Allah tidak melarang kita mencintai atau
berkasih sayang kepada orang-orang yang tidak memerangi kita atas dasar agama,
dan tidak pula mengusir kita dari rumah kita. Kita boleh berbuat baik kepada
mereka dan melakukan tindakan adil, yaitu tetap berbuat baik kepada mereka.17
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 459. 17
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 942.
39
Kemudian kita hanya dilarang oleh Allah untuk berbuat baik kepada orang
yang memerangi karena agama dan mengusir kita. Dan siapa yang menjadikan
mereka kawan, menjadikan mereka pembela selain yang diperbolehkan Allah atau
menempatkan pertemanan itu bukan pada tempat seharusnya, berarti telah
menyelisihi perintah Allah.18
Akan tetapi menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah bahwa
perintah untuk memusuhi kaum kafir (non Muslim) yang diuraikan oleh ayat-ayat
yang lalu boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non Muslim harus
dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru ini, ayat-ayat di atas menggariskan
prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum Muslimin dan non Muslim. Ayat di
atas secara tegas menyebut nama Yang Maha Kuasa dengan mengatakan: “Allah”
yang memerintahkan kamu bersikap tegas terhadap orang kafir—walaupun
keluarga kamu “tidak melarang kamu” menjalin hubungan dan berbuat baik
“terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu.” Allah tidak melarang kamu “berbuat baik” dalam
bentuk apapun “bagi mereka dan” tidak juga melarang kamu “berlaku adil pada
mereka.” Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka berada di pihak yang
benar, sedang salah seorang dari kamu berada di pihak yang salah, maka kamu
harus membela dan memenangkan mereka. “Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah” tidak lain “hanya melarang
kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu karena agama
dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu” orang lain “untuk
18
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 942-947.
40
mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan” tempat
menyimpan rahasia, “maka mereka itulah” yang sungguh jauh kebejatannya dan
“orang-orang yang zalim” yang sungguh mantap kezalimannya.19
Tidak hanya itu, penulis juga akan membahas beberapa Ḥadīts Nabi yang
berkaitan dengan kepemimpinan. Penulis mengungkapkan pendapat Ibn Khaldūn
mengenai Ḥadīts. Hal ini dikarenakan Ibn Khaldūn memiliki pemikiran yang
brilian tentang bagaimana memandang Ḥadīts. Seperti Ḥadīts yang mensyaratkan
keturunan Quraysy untuk pemimpin negara, dan Ḥadīts lainnya yang terkait
dengan masalah politik, Ibn Khaldūn berusaha meninjau kembali bagian-bagian
dari Ḥadīts Nabi yang membahas tentang politik termasuk duniawi. Menurutnya
Ḥadīts yang seperti itu tidak perlu dianggap sebagai suatu yang absolut dan suci
yang mengatasi ruang dan waktu. Nabi Muḥammad, menurut Ibn Khaldūn, tidak
ingin umatnya mengikuti secara taqlid tanpa melihat sebab-sebab atau alasan yang
ada di baliknya. Lagi menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan atau dikatakan
oleh Nabi yang mengacu kepada urusan dunia harus ditempatkan dalam
konteksnya yang temporal dan relatif, tidak sebagaimana tradisi agama murni.
Tradisi sekular hanya patut untuk batasan ruang dan waktu di mana peristiwa itu
berlangsung.20
Dalam hal ini, Ibn Khaldūn dapat dianggap sebagai orang pertama
dalam Islam yang menempatkan Ḥadīts Nabi dalam batas ruang dan waktu.
Kepemimpinan dalam literatur Islam, khususnya sunnah Nabi Muḥammad
SAW. baik dalam praktik politik, atau teks-teks Ḥadīts yang terkait dengannya,
19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XIV, hal. 168. 20
Fuad Baali & Ali Wardi, Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka
Hidayat), Cet. Ke-I, h. 50.
41
juga perlu dikaji dengan seksama, agar didapat pengetahuan yang menyeluruh dan
benar tentang masalah ini. Hal ini penting karena banyak pemahaman dan praktik
politik kaum Muslimin yang tidak terlepas dari hasil pemahaman mereka terhadap
Ḥadīts-Ḥadīts Nabi. Seluruh prinsip-prinsip bermasyarakat bernegara ini telah
dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. seperti Ḥadīts yang diriwayatkan ʻĀʼisyah istri
Nabi, ketika ia ditanya tentang perilaku Rasulullah, ia menjawab bahwa segala
perilaku Nabi adalah berlandaskan al-Qurʼān (kāna khuluquhu al-Qurʼān) dan
diteruskan juga oleh para pengikut beliau yakni al-Khulafāʼ al-Rāsyidūn, yang
dengan teguh dan konsisten memegang dan melaksanakan prinsip-prinsip al-
Qurʼān, dalam bermasyarakat bernegara dan memimpin umat.
Ḥadīts paling terkenal populer yang berbicara mengenai kepemimpinan
adalah Ḥadīts Nabi yang berbunyi:
Dari Ibnu ʻUmār r.a. berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Begitu pula seorang
pemimpin bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya (Ḥ.R. Bukhārī
Muslim).21
Di samping itu, dalam literatur Ḥadīts Nabi terdapat beberapa riwayat
tentang istilah “khalīfah”, “imāmah”, dan juga “amīr al-muʼminīn”. Di antaranya
adalah Ḥadīts yang diriwayatkan dari Abī Hazm RA:
21
Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, terj. H. Salim Bahreisy (Bandung: al-
Maʻārif, 1987) Jilid I, h. 491.
42
Aku telah berteman dengan Abū Hurayrah selama lima tahun, kemudian
aku mendengarkan ia meriwayatkan Ḥadīts dari Nabi SAW: Bani Israel
adalah kamu yang dipimpin oleh para nabi, ketika nabi mereka meninggal
lalu diganti lagi oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi
sesudahku, akan tetapi adalah para khalīfah (pengganti), dan mereka
banyak jumlahnya. Sahabat bertanya: Kemudian apa yang engkau
perintahkan kepada kami? Rasulullah bersabda: Maka baiatlah mereka satu
demi satu dan berikanlah hak mereka, karena sesungguhnya Allah yang
nanti akan menanyai kepemimpinan mereka.22
Dari Ḥadīts ini terdapat batasan tentang karakteristik sistem kekhilāfahan
Islam yang berbeda dari sistem Yahudi. Dalam pandangan Yahudi kekuasaan
agama menjadi satu dengan kekuasaan politik, karena mereka selalu dipimpin
oleh seorang nabi, dan ketika nabi tersebut meninggal kemudian digantikan lagi
oleh nabi yang lain. Sedangkan dalam Islam para khalīfah bukanlah nabi, karena
nubuwwah tidak ada lagi sesudah wafat Rasulullah SAW.
Kata “imārah” dan “amīr” adalah dua isilah yang sudah dikenal dan
digunakan dalam literatur sunnah Nabi sebelum munculnya sistem khilāfah. Pada
periode Nabi Muḥammad, istilah imārah digunakan untuk kepemimpinan
pasukan tentara, pemimpin kota-kota, dan daerah-daerah. Sama halnya pula kata
“umarāʼ”, seperti riwayat sebuah Ḥadīts:
22
Imām al-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb Imarāh”
(Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987), h. 230.
43
Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sesungguhnya ia telah taat kepada
Allah, dan barangsiapa berbuat maksiat kepadaku, sesungguhnya ia telah
maksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amīrku, maka
sesungguhnya ia telah taat kepadaku, dan siapa orang berbuat maksiat
terhadap amīrku, maka sesungguhnya ia telah berbuat maksiat
terhadapku.23
Riwayat Ḥadīts lain menyebutkan:
Barangsiapa melihat sesuatu (kekurangan) terhadap amīrnya
(pemimpinnya) kemudian membencinya, maka hendaklah ia bersabar,
karena tidak ada seorang yang berpisah dari jamaah kecuali ia mati dalam
keadaan mati Jahiliyyah.24
Dalam sunnah Nabi juga dijumpai cukup banyak istilah “imām” dan
kebanyakan kata tersebut memberikan arti “yang terdepan”, “ketaqwaan”,
“petunjuk”, dan “pengetahuan”. Ḥadīts yang diriwayatkan Ibn ʻAwf dari
Rasulullah SAW menyatakan:
Sebaik-baik pemimpinmu (imām) adalah orang-orang yang kalian cintai
dan mereka mencintai kalian, menghormati kalian, dan kalian
menghormati mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin di antara kalian
adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka membenci kalian, dan
orang-orang yang kalian murkai dan mereka murka pada kalian.25
23
Lih. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitāb al-Aḥkām, Jilid IX (Kairo: Dār al-Syaʻb), h. 77-78. 24
Lih. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitb al-Aḥkām,, h. 78. 25
Lih. Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, Jilid 12, h. 224.
44
Dalam Ḥadīts ini tidak didapat pemahaman bahwa yang dimaksud dalam
Ḥadīts ini adalah pemimpin pemerintah, atau pemimpin politik dan kepala negara.
Dan Ḥadīts ini tidak pula menegaskan bahwa yang dimaksud imām di sini adalah
para pemimpin agama, seperti dikatakan oleh Imam Muslim dalam kitab Ṣaḥiḥ-
nya, di mana ia tidak mengkhususkan bahwa yang dimaksud adalah pemimpin
tertinggi pemerintah atau bidang politik ataupun khusus pada pengertian lainnya.
Tapi yang dimaksud imām di sini berlaku umum kepada siapa saja yang terdepan
dalam sebuah kepemimpinan baik besar maupun kecil, agama maupun negara,
dan lain sebagainya.
Pada intinya, masalah kepemimpinan negara dalam Islam secara khusus
tidak ditemukan teks-teks yang kuat untuk menjustifikasi praktik politik yang
pada dasarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri. Al-Qurʼān dan Ḥadīts lebih
kepada memberikan pedoman-pedoman atau garis besarnya saja dalam kehidupan
manusia di dunia, kecuali beberapa hal yang terkait langsung dengan apa yang
disebut sebagai ibadah maḥḍah (ritual keagamaan murni). Karenanya kemudian,
pemahaman terhadap teks-teks agama dalam masalah ini lebih kepada interpretasi
manusia terhadap teks-teks tersebut yang hasilnya juga bersifat manusiawi.
Karena itu untuk membantu memahami bentuk kepemimpinan negara banyak
ulama yang lebih condong kepada upaya menelusuri praktik politik yang
dijalankan langsung oleh Rasulullah SAW. dan para penerusnya, yaitu al-Khulafāʼ
al-Rāsyidūn, sehingga didapat gambaran yang lebih jelas bagaimana sebenarnya
inti dari konsep politik Islam.
45
B. Tugas dan Fungsi
Hal penting yang juga menjadi pembahasan dalam kajian kepemimpinan
adalah masalah dasar dari fungsi dan tugas pemimpin. Di antara sekian banyak
tokoh falsafat Islam klasik yang berbicara tentang politik, Ibn Abī Rabīʻ menjadi
pertimbangan penulis dalam berbicara tentang tugas dan fungsi pemimpin. Hal ini
dikarenakan Ibn Abī Rabīʻ hidup sebelum al-Fārābī. Dengan begitu kita dapat
melihat bagaimana kondisi pemikiran falsafat politik sebelum al-Fārābī.
Ibn Abī Rabīʻ menulis karyanya di bidang politik dipengaruhi oleh
pemikiran Aristoteles, yang berpendirian bahwa monarki adalah bentuk
pemerintahan yang terbaik. Dengan memberikan alasan rasional mengenai
kekuasaan istimewa untuk raja dengan menyatakan bahwa seorang raja “yang
memiliki segala keutamaan” yang serba lebih dibandingkan dengan para warga
negara, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari negara, dan tidak harus tunduk
kepada hukum negara seperti warga-warga negara lainnya. Bahkan raja
merupakan hukum, sumber dan pelaksanaan hukum, karena serba lebih dalam
segala keutamaan dan kemampuan politik. Seorang raja berhak memaksakan
pandangan dan perintahnya tanpa merusak keserasian hubungan dengan negara
selama kebijaksanaannya tetap untuk kepentingan negara. Selanjutnya Ibn Abī
Rabīʻ mencari dasar dari otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama. Ia
mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja dengan segala
keutamaan, telah memerkokoh kedudukan mereka di muka bumi, dan
memercayakan hamba-hamba-Nya kepada raja atau pemimpin negara. Kemudian
Allah mewajibkan para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan taat
46
kepada perintah kepala negara. Dalam hubungan ini ia mengemukakan dua ayat
al-Qurʼān berikut:
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Anʻām: 165).
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Q.S. al-Nisāʼ: 59).
Jadi, dari pernyataan Ibn Abī Rabīʻ itu, tampak bahwa dasar dari
kekuasaan dan otoritas pemimpin negara adalah mandat dari Tuhan, atau
merupakan tugas yang diberikan Tuhan dengan kedudukan istimewa berupa
keutamaan dan keunggulan, demi memerkokoh kekuasaan pemimpin negara, dan
memberikan kepada pemimpin negara untuk memerintah hamba-hamba-Nya dari
47
semua tingkatan, atau tunduk dan taat kepada pemimpin negara demi
kesejahteraan negara.26
C. Pengangkatan Pemimpin
Terjadi perbedaan pendapat dalam hal kepemimpinan tentang cara-cara
pengangkatan pemimpin, yaitu apakah pengangkatan tersebut berdasarkan nas
(penunjukan) atau al-ikhtiyār (pemilihan). Inilah permasalahan pokok yang
menjadi perdebatan di antara kaum Muslim seputar masalah pengangkatan
pemimpin.
Ada sekelompok kecil dari golongan ahl al-sunnah, ahli Ḥadīts, dan
golongan al-Ẓāhiriyyah berpendapat bahwa pengangkatan kepala negara
berdasarkan nas. Alasan mereka adalah bahwa khilāfah Abū Bakr itu berdasarkan
nas dari Rasulullah. Mereka menyebut riwayat tersebut dari Ḥasan al-Baṣrī dan
sejumlah ahli Ḥadīts. Salah satunya adalah yang diriwayatkan dari Aḥmad bin
Hanbal dan Ibn Hazm dari al-Ẓāhiriyyah juga berpandangan sama dengan
kelompok kecil yang disebut dengan golongan al-Bakriyyah. Akan tetapi mereka
berbeda sudut pandang dalam argumen pemahaman nas dengan kelompok
lainnya. Ibn Hazm menolak bahwa pengangkatan Abū Bakr sebagai khilāfah telah
selesai, dengan menganalogikannya sebagai “imam salat” yang diberikan oleh
Rasulullah menjelang wafatnya kepada Abū Bakr.27
Terlepas dari itu, dalam hal ini Rasulullah mengungkapkan bahwa tidak
boleh mengangkat seorang pemimpin terkecuali ditunjuk. Karena melalui
26
Munawir Sjadzali, Islam dan Ilmu Tata Negara, h. 47-48. 27
Ibnu Hazm, al-Ahkām fī Uṣul al-Aḥkam (Kairo: 1921), h. 986.
48
penunjukan berarti seorang pemimpin itu mampu memenuhi kriteria dalam
memimpin, sebagaimana sabda Nabi:
Dari Abū Saʻīd ʻAbd al-Rahmān bin Samurah r.a. berkata: Rasulullah telah
bersabda kepada saya: Ya ʻAbd al-Rahmān bin Samurah, jangan menuntut
kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa
meminta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya. Tetapi jika
dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas
bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah
untuk sesuatu kemudian ternyata kau melakukannya dengan lebih baik,
maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu (Ḥ.R.
Bukhari Muslim).28
Hal tersebut juga senada dengan Ḥadīts Nabi di bawah ini:
Dari Abū Dzarr r.a. berkata: Ya Rasulullah tidakkah kau memberi jabatan
apa-apa kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Hai
Abū Dzarr kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang
pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali
orang yang dapat memenuhi hak kewajibannya, dan mememuni tanggung
jawabnya (Ḥ.R. Muslim).29
Dari pernyataan Ḥadīts di atas, nampaknya dalam persoalan mengangkat
seorang pemimpin, yaitu menggunakan cara penunjukan. Hal ini dikarenakan
melalui penunjukan seorang pemimpin itu berarti sudah memenuhi kriteria ideal.
28
Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, h. 502 29
Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, h. 503.
49
Namun, urusan pengangkatan seorang pemimpin tidak selesai pada metode
penunjukan seorang pemimpin. Pada selanjutnya, timbul pertanyaan, siapa orang
yang menunjuk pemimpin tersebut?
Dalam hal ini timbul banyak perdebatan, karena memang dalam al-Qurʼān
tidak dibahas secara detail pengangkatan pemimpin, apalagi sampai kepada
pembahasan siapa yang menunjuk seseorang untuk dijadikan pemimpin.
Sedangkan dalam riwayat Ḥadīts sendiri, hanya dapat diketahui melalui riwayat
penunjukan Abū Bakr sebagai imam salat pada saat Rasul sakit. Riwayat tersebut
tidak cukup untuk memberikan informasi mengenai siapa yang menunjuk
seseorang menjadi pemimpin.
Menurut hemat penulis, di sanalah ruang untuk mengembangkan teori
kepemimpinan dalam hal pengangkatan pemimpin: Apakah ditunjuk oleh
pemimpin sebelumnya, atau ditunjuk oleh rakyat?
D. Kriteria
Pemimpin memiliki tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban, yaitu
memelihara agama, menegakkan hukum, menjaga keamanan, memerluas
keamanan pertahanan negara, mengatur keuangan, dan lain-lain. Oleh karena itu,
pemimpin harus memiliki kriteria sebagai kelayakan diri menjadi pemimpin.
Dalam hal ini penulis mengutip kriteria berdasarkan Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-
Qurʼan dan Kenegaraan yang diterbitkan Kementerian Agama Republik
Indonesia. Dalam kriteria itu diungkapkan berdasarkan penafsiran dari Lajnah
50
Pentashih Mushaf al-Qurʼān yang terdiri dari mufassir Indonesia. Adapun kriteria-
kriteria itu adalah sebagai berikut:30
a. Beriman dan Bertaqwa
Seorang pemimpin negara harus beriman dan bertaqwa dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban. Dengan demikian, dapat diharapkan ia
mendapat taufik dan hidayah dari Allah untuk mengatasi berbagai kesulitan yang
diatasi. Ia juga mengetahui bahwa segala perbuatannya akan dimintai
pertanggungjawaban di dunia, terutama di akhirat akan mendapat ganjaran yang
setimpal dengan perbuatan, sebagaimana firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim (Q.S. al-Māʼidah: 51)
Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī
mengungkapkan bahwa: Sesungguhnya Allah melarang seluruh orang Mukmin
untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong dan pemimpin
bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga
memberitahukan bahwa barangsiapa menjadikan mereka (Yahudi dan Nasrani)
30
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-Qurʼan dan Kenegaraan
(Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qurʼān, 2011), Cet. Ke-I, hal. 191.
51
sebagai penolong, pemimpin, dan wali, sesungguhnya ia telah termasuk golongan
mereka dalam membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka telah
memutuskan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.31
Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab mengungkapkan
jika keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani—atau siapa pun, seperti dilukiskan
oleh ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti hukum Jahiliyah dan mengabaikan
hukum Allah, bahkan bermaksud memalingkan kaum Muslim dari sebagian apa
yang telah diturunkan Allah, maka “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil” dengan susah payah, apalagi dengan mudah “orang-orang
Yahudi dan Nasrani” serta siapa pun yang bersifat seperti sifat mereka—yang
dikecam ini, jangan mengambil mereka “menjadi pemimpin-pemimpin(mu)”
yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam
kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika “sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain” dalam menghadapi kamu, karena
kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu
sama lain berbeda. “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka” yang
memusuhi Islam itu “menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk” dan tidak
mengantar “orang-orang yang zalim” menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.32
b. Sehat Jasmani dan Rohani, Jujur, serta Memiliki Kemampuan
31
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 103. 32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Cet. Ke-1, Jilid III, hal. 144.
52
Seorang pemimpin negara harus kuat, yaitu sehat jasmani dan rohani, atau
sehat fisik dan mental, jujur (dapat dipercaya) dan berani, serta memiliki
kemampuan, yaitu berilmu dan memiliki wawasan yang luas, seperti firman
Allah:
Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata:Wahai ayahku!
Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang
paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat dan dapat dipercaya (Q.S. al-Qaṣaṣ: 26).
Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, maksud ayat di atas adalah sesungguhnya orang yang paling baik
dijadikan sebagai penggembala ternak—dalam konteks itu, adalah orang yang
kuat menjaga hewan-hewan ternakmu dan melaksanakan tugas demi kebaikan
ternakmu. Al-Amīn adalah orang yang tidak perlu dikhawatirkan akan berbuat
khianat terhadap sesuatu yang kamu percayakan kepadanya.33
Dalam ayat ini disebutkan bahwa sesungguhnya orang yang paling baik
dipekerjakan adalah orang yang kuat dan terpercaya. Menurut Quraish Shihab,
kekuatan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kekuatan dalam berbagai
bidang. Karena itu, terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan
kepada yang dipilih. Selanjutnya kepercayaan yang dimaksud adalah integritas
pribadi, yang menuntut adanya sifat amanah sehingga orang yang dipilih itu tidak
merasa milik pribadi, tetapi milik pemberi amanat yang harus dipelihara dan bila
dimintai kembali, maka ia harus rela mengembalikan.34
33
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid XX, h. 188. 34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid X, hal. 334
53
c. Adil dan Profesional
Kata adil berasal dari bahasa Arab dalam bentuk maṣdar yaitu ʻadl yang
berarti lurus atau sama. Dari makna ini kata ʻadl berarti menetapkan hukum
dengan benar. Selanjutnya berkenaan dengan adil yang merupakan salah satu
syarat menjadi pemimpin, Allah berfirman:
Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan (Q.S. Ṣād: 26).
Tafsir ayat di atas, sudah penulis cantumkan dalam subjudul pertama yaitu
konsep kepemimpinan menurut al-Qurʼān dan Ḥadīts.
d. Bertanggung jawab dan Amanah
Agar pemimpin negara itu bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya, diperlukan pula sifat amanah dari pemimpin negara, karena
prinsip kekuasaan dalam suatu negara adalah amanah. Allah memerintahkan agar
manusia melaksanakan amanah yang diemban di pundaknya dalam Surah al-Nisāʼ
ayat 58:
54
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī
berkata: menurutku pendapat yang paling tepat adalah bahwa ayat itu ditujukan
kepada para pemimpin kaum Muslim agar melaksanakan amanat kepada orang-
orang yang telah menyerahkan urusan dan hak mereka, serta berbagai urusan
mereka yang telah mereka percayakan kepada para pemimpin. Oleh karena itu,
para pemimpin sebaiknya berlaku bijak dalam memberikan keputusan di antara
mereka, serta berlaku adil dalam membagi-bagikan hak mereka, karena itu
menunjukkan sikap yang bertanggung jawab.
Selanjutnya, wahai pemimpin kaum Muslim, sesungguhnya Allah
memberikan sesuatu yang dapat menjadi pelajaran bagi kalian dengan sebaik-
baiknya dan memberikan pelajaran dalam melaksanakan perintah-Nya, agar dapat
melaksanakan amanat yang telah diserahkan kepada ahlinya dengan baik dan agar
memberikan keputusan dengan seadil-adilnya. Hal ini dikarenakan Allah
senantiasa mendengar apa yang kamu ucapkan, dan melihat apa yang kamu
kerjakan dalam melaksanakan tanggung jawabmu terhadap hak-hak tanggungan
dan harta mereka.35
35
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī , terj. Akhmad Affandi dkk
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 248.
55
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, “Sesungguhnya Allah” yang
Maha Agung, yang wajib wujud-Nya serta menyandang segala sifat terpuji lagi
suci dari segala sifat tercela, “menyuruh kamu menyampaikan amanat” secara
sempurna dan tepat waktu “kepada yang berhak menerimanya”, baik amanat
Allah kepadamu maupun amanat manusia, betapapun banyaknya yang diserahkan
kepada kamu. “Dan” Allah juga (menyuruh kamu) “ apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia” baik yang berselisih dengan manusia lain maupun
tanpa perselisihan, maka “kamu” harus “menetapkan” putusan “dengan adil,”
sesuai dengan apa yang diajarkan Allah, tidak memihak kecuali kepada kebenaran
dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak
menganiaya walau lawanmu dan tidak pula memihak kepada temanmu.
“Sesungguhnya Allah” dengan memerintahkan untuk menunaikan amanah dan
menetapkan hukum dengan adil, telah “memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu”. Karena itu, berupayalah sekuat tenaga untuk melaksanakannya, dan
ketahuilah bahwa Dia yang memerintahkan kedua hal ini mengawasi kamu, dan
“Sesungguhnya Allah” sejak dahulu hingga kini “adalah Maha mendengar” apa
yang kamu bicarakan, baik dengan orang lain maupun dengan hati kecilmu, “lagi
Maha Melihat” sikap dan tingkah lakumu.36
Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara
dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah
36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 457.
56
adalah lawan dari khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai
oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu.37
e. Berani dan Tegas
Berkenaan dengan sikap berani dan tegas, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-
Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Māʼidah: 54).
Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, bahwa firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya” maksudnya adalah orang yang kembali
(kafir) di antara kamu, orang yang telah mengganti dan mengubahnya ke dalam
kekafiran, baik Yahudi atau Nasrani, atau yang lain dari golongan kafir.
Dan firman Allah, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,” maksudnya adalah
37
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 457.
57
kelak Allah akan mendatangkan kaum yang mengganti kaum yang murtad, suatu
kaum yang mencintai Allah dan Allah mencintai mereka.
Kemudian firman Allah: “Yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang Mukmin,” maksudnya adalah bersikap halus kepada mereka, welas asih
terhadap mereka.
Dan firman Allah: “Yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,”
maksudnya adalah orang yang bersikap kasar dan kejam kepada mereka (orang
kafir).
Firman Allah: “Yang berjihad di jalan Allah,” adalah orang-orang
Mukmin, orang-orang yang telah Allah janjikan kepada mereka bahwa jika salah
seorang dari mereka ada yang murtad juga, maka Allah akan menggantikan
dengan orang yang bersungguh-sungguh berjihad.
Firman Allah: “Dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela,” maksudnya adalah jangan kalian takut terhadap zat Allah yang telah
memerangi musuh-musuh yang telah mencela mereka.
Kemudian firman Allah: “Itulah karunia Allah”, maksudnya adalah inilah
nikmat Allah yang diberikan kepada orang-orang yang bersikap lemah lembut
yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, “dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”38
Menurut M. Quraish Shihab, sikap tegas kepada orang-orang kafir yang
disebutkan dalam ayat tersebut, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau
memaksa mereka memeluk Islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi
38
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid IX, h. 122-140
58
mereka melaksanakan tuntunan agama dan kepercayaan mereka. Tetapi yang
dimaksud adalah bersikap tegas terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya
mereka yang melecehkan ajaran agama Islam dan kaum Muslim, apalagi jika
mereka merebut hak sah kaum Muslim.39
f. Cinta Kebenaran dan Musyawarah
Pemimpin yang cinta kebenaran adalah pemimpin yang benar dalam
segala urusannya dan selalu memerintahkan para pembantu, keluarga, dan
rakyatnya untuk selalu benar dalam perkataan, perbuatan, niat, dan cara berpikir.
Di samping cinta kebenaran dari pemimpin negara, juga dia harus cinta
pada musyawarah. Dalam melaksanakan urusan negara, pemimpin harus
bermusyawarah dengan lembaga-lembaga, atau para pejabat yang terkait,
sebagaimana firman Allah:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada
mereka, mereka nafkahkan (Q.S. al-Syūrā: 38).
Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al-
Ṭabarī, Allah SWT berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,” maksudnya adalah orang-
orang yang memenuhi seruan Allah saat dia menyeru mereka agar mengesakan-
39
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid III, hal. 131.
59
Nya, mengakui keesaan-Nya, dan terbebas dari penyembahan kepada setiap yang
disembah selain Dia.
Dan firman Allah, “Dan mendirikan salat,” maksudnya adalah salat wajib
sesuai dengan batas waktunya.
Kemudian firman Allah, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka,” maksudnya adalah jika mereka menghadapi suatu
perkara, maka mereka saling bermusyawarah.
Lalu firman Allah, “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada
mereka, mereka nafkahkan” maksudnya adalah mereka menginfakkan sebagian
harta yang Allah anugerahkan kepada mereka di jalan Allah, dan menunaikan
kewajiban mereka hak-hak orang-orang yang berhak menerimanya, berupa zakat
dan infak kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.40
Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan
bahwa “Dan” kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi “orang-orang yang” benar-
benar “menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat” secara
berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan
khusyu kepada Allah, “dan” semua “urusan” yang berkaitan dengan masyarakat
“mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” yakni mereka
memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat
otoriter dengan memaksakan pendapatnya, “dan” di samping itu mereka juga “dari
sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka” baik harta maupun
40
Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, h. 909.
60
selainnya, “mereka” senantiasa “nafkahkan” secara tulus serta berkesinambungan
baik nafkah wajib maupun sunnah.41
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 512.
61
BAB IV
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ
A. Konsep Negara Ideal/Utama
Jikalau pada bab sebelumnya telah dibahas tentang konsep kepemimpinan
menurut al-Qurʼān dan Ḥadīts yang merupakan landasan kehidupan, di mana kita
mendapati banyak ayat dan Ḥadīts yang berbicara kepemimpinan secara umum,
maka pada bab ini akan dibahas tentang konsep kepemimpinan menurut al-Fārābī,
karena di sana akan didapatkan rincian konsep kepemimpinan yang mendalam
dan menarik.
Di dalam karya fenomenal al-Fārābī yang berjudul Ārāʼ Ahl al-Madīnah
al-Fāḍilah, pembicaraan mengenai Negara Ideal/Utama dimulai dengan
keterangan asal-usul negara bahwa negara muncul karena kumpulan manusia,
yang di dalamnya manusia membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi
kebutuhan, dan ini adalah bibit pertama bagi lahirnya negara. Al-Fārābī
beranggapan bahwa negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu
masyarakat yang saling membantu memenuhi kebutuhan hidup. Setiap individu
memunyai kepandaian yang berbeda-beda, tapi berjanji akan menyumbangkan
hasil kepandaiannya untuk memenuhi kebutuhan individu lainnya, agar tercapai
cita-cita bersama, yaitu kebahagiaan. Al-Fārābī menyatakan dalam Ārāʼ Ahl al-
Madīnah al-Fāḍilah bahwa:
62
1
Setiap individu manusia secara natural saling membutuhkan di dalam
kelompoknya untuk memenuhi kebutuhannya yang banyak, maka ia tidak
mungkin dapat mengatasai semuanya sendirian, tetapi ia membutuhkan
kelompok untuk mengatasi setiap kebutuhannya.
Selanjutnya al-Fārābī juga berbicara mengenai komunitas dari sisi sifat
yang berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan yaitu terdiri dari komunitas
sempurna dan komunitas tidak sempurna. Komunitas sempurna adalah komunitas
yang saling memenuhi kebutuhan dan memunyai cita-cita bersama. Sedangkan
komunitas tidak sempurna adalah komunitas yang belum sanggup memenuhi
kebutuhannya dan tidak memunyai cita-cita bersama.2
Kemudian dari cakupan teritorial, ia membagi komunitas sempurna
dibedakan atas tiga jenis, yaitu besar, menengah, dan kecil. Komunitas besar
adalah komunitas masyarakat yang bertempat di al-ma’mūrah (komunitas
masyarakat dunia), komunitas menengah adalah suatu umat yang bertempat di
suatu bagian dari dunia, dan komunitas kecil adalah komunitas masyarakat kota
yang bertempat tinggal di bagian-bagian dari belahan suatu wilayah. Adapun
komunitas tidak sempurna terdiri dari masyarakat desa, masyarakat yang tinggal
di daerah tertentu, masyarakat di tempat-tempat umum dan masyarakat keluarga.3
1 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8,h.
118. 2 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama (Jakarta: Kinta, 1968), h. 57.
3 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 118.
63
Sedangkan yang banyak dibahas dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah
adalah pembahasan mengenai komunitas sempurna. Di dalamnya terdapat
perubahan-perubahan bentuk suatu komunitas yang sudah mampu memenuhi
kebutuhan dan memiliki cita-cita bersama. Perubahan ini berupa pengristalan
tujuan masyarakat kepada suatu bentuk sempurna yang terdapat dalam corak
kepemimpinan yang ada di dalam Negara Ideal/Utama.
Bentuk perubahan itu diawali dengan manusia yang saling berinteraksi
dalam suatu komunitas, baik komunitas kecil, menengah maupun besar, dan
kemudian komunitas itu membentuk organisasi negara dan mereka sebagai warga.
Setelah saling memenuhi kebutuhan pokok, para warga memiliki tujuan utama
yang ingin dicapai. Tujuan utama mereka itu merupakan cerminan dari tujuan
hidup yang ingin mereka raih. Setelah tujuan awal mereka raih, maka akan
muncul dalam jiwa mereka perasaan-perasaan seperti puas, merasa bermanfaat,
terhormat dan lain sebagainya. Namun setelah itu, ada sesuatu yang belum mereka
peroleh dan rasakan sebagai faktor yang menyebabkan ketidaktentraman dalam
jiwa mereka. Itulah yang ingin mereka raih selanjutnya. Keadaan semacam itu,
membuat mereka pada akhirnya berpaling dari tujuan pertama ke tujuan lain
setelah keperluan pokok mereka teratasi. Tujuan yang ingin diraih itu adalah suatu
tujuan yang diyakini lebih baik dari tujuan pertama yang dapat membawa mereka
kepada ketentraman dan menjadikan hidup mereka berbahagia dalam arti yang
sebenarnya.4
4 Al-Fārābī, al-Siyāsah al-Madaniyyah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), Cet Ke- II, h. 44.
64
Tujuan di sini seperti yang al-Fārābī inginkan bahwa setiap warga negara
harus memunyai ide (Ārāʼ) yang mesti diperjuangkan terus-menerus dan menuju
kepada satu titik terakhir dari suatu negara, yang menjadi harapan dan tujuan
bersama. Bagi al-Fārābī tujuan akhir itu adalah kebahagiaan.
Dalam buku Negara Utama (Madīnah Fāḍilah) karya Ahmad Zainal
Abidin yang meneliti buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah bahwa persetujuan
masyarakat untuk mendirikan negara didasarkan kepada keikhlasan mereka untuk
meniadakan hak-hak individual mereka demi kebahagiaan bersama. Perjanjian
untuk saling meniadakan hak-hak (individu) adalah dasar dari segala penaklukan
diri secara damai kepada negara. Jika ada penduduk yang mencoba menekan
penduduk yang lain, seluruh penduduk akan bersatu dan saling membantu untuk
memertahankan kemerdekaannya.”5
Saling meniadakan hak-hak pribadi, tidak diartikan bahwa seluruh hak-hak
kemanusiaan harus dikorbankan dan dilenyapkan, sehingga manusia hidup dan
diperintah bagai hewan. Meniadakan hak-hak itu untuk suatu maksud dan cita-cita
yang lebih luhur, ialah menciptakan ideologi negara.
Al-Fārābī memisahkan antara satu negara dari negara lainnya berdasarkan
ideologi yang dianut oleh negara itu. Ia tidak mengikuti cara-cara Yunani yang
membagi negara menurut kepala negara seperti monarki, aristokrasi, dan
demokrasi. Dan tidak pula ia sepakat dengan pembagian negara secara modern
yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat, kedaulatan kekuasaan, dan
kedaulatan hukum. Al-Fārābī menempuh jalannya sendiri, yaitu pembagian
5 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 53.
65
berdasarkan ideologi, di mana al-Fārābī menuliskan konsep Negara Ideal/Utama
beserta negara-negara yang berlawanan terhadap konsep Negara Ideal/Utama.6
Pertama, Madīnah al-Fāḍilah (Negara Ideal/Utama) menurut al-Fārābī
adalah negara yang didirikan oleh warga negara yang memunyai tujuan yang tegas
yaitu kebahagiaan. Dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah dinyatakan bahwa
terwujudnya Kota Ideal/Utama dalam Negara Ideal/Utama adalah suatu kota yang
para warganya memiliki pengertian-pengertian sebagai berikut:
(Para warganya) memiliki pengertian-pengertian tentang sebab pertama
dan segala sifat-sifatnya, segala bentuk yang menjadi halangan terjalinnya
hubungan dengan akal aktif, benda-benda langit dan segala sifatnya,
benda-benda fisik dan di bawahnya, bagaimana (benda) itu muncul dan
kemudian hancur. (Mereka juga memiliki kesadaran) akan munculnya
segala yang ada ini berjalan dengan serasi dan adil lagi penuh hikmah.
(Tuhan) yang menciptakan segalanya tidak mungkin memiliki kekurangan
dan tidak mungkin pula Dia berbuat zalim. (Mereka juga memiliki
kesadaran) akan (tujuan) keberadaan manusia, bagaimana munculnya
daya-daya jiwa, bagaimana jiwa itu diterangi oleh sinar yang beremanasi
dari akal aktif sehingga dia mengenal wujud pertama, bagaimana
(manusia) memiliki kehendak dan pilihan. Kemudian munculnya
6 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 102.
66
pemimpin utama dan (diperolehnya) wahyu. Kemudian pemimpin-
pemimpin yang menjadi wakil-wakil pemimpin utama kalau pemimpin
utama berhalangan dan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang seharusnya
dimiliki oleh warga dalam Negara Ideal/Utama. Kemudian munculnya
Kota Ideal/Utama yaitu suatu kota yang para warganya memeroleh
kebahagiaan yang diidam-idamkan. 7
Hal ini juga ditegaskan dalam Negara Utama (Madīnah al-Fāḍilah)
karangan M. Zainal Abidin berdasarkan buku al-Siyāsah al-Madaniyyah karya
al-Fārābī bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang tertinggi dan yang diidam-
idamkan. Tidak satu pun yang lebih tinggi daripadanya, yang mungkin dicapai
oleh manusia. Ia tidak dapat diwujudkan kecuali dengan ilmu pengetahuan dan
dengan usaha. Dan manusia tidak bisa memahami kebahagiaan secara baik,
kecuali sesudah mengenal arti keutamaan.”8
Dikutip dari buku yang sama berdasarkan buku al-Fārābī Taḥṣīl al-
Saʻādah, ada empat macam keutamaan manusia yang dapat menjamin bagi segala
bangsa di dunia dan segala penduduk dari suatu negara, akan kebahagiaan sejati
dan sempurna. Unsur-unsur keutamaan itu adalah:
1. Keutamaan pikiran dan ilmu pengetahuan, yaitu keunggulan cara berpikir
dan menyelidiki ilmu pengetahuan yang melebihi bangsa lain.
2. Keutamaan tanggapan di dalam menetapkan barang yang paling berguna,
yaitu keunggulan di dalam mengatur dan merencanakan barang yang
paling berguna.
3. Keutamaan moral di dalam berpikir dan berbuat, yaitu keunggulan di
dalam budi pekerti dan akhlak yang tetap memelihara kemanusiaan dan
kesopanan.
4. Keutamaan cara bekerja dan berusaha, yaitu keunggulan dalam teknik
pekerjaan di dalam segala lapangan perusahaan, baik perusahaan teknik
dan perindustrian, atau perusahaan lainnya.9
7 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 146.
8 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 72.
9 Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 112.
67
Jalan satu-satunya untuk mencapai 4 (empat macam) keutamaan itu ialah
setiap orang bekerja untuk bakatnya di bawah pemimpin yang memunyai bakat
yang lebih besar dan sungguh-sungguh kuat.10
Kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan dan usaha yang
mati-matian, yaitu kebahagiaan yang dikatakan al-Fārābī sebagai “saʻādah
mādiyyah wa maʻnawiyyah”. Kebahagiaan jasmani dan rohani, material dan
spritual, untuk hidup dunia dan akhirat.
Untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tidaklah dapat dilakukan
dengan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri. Negara harus menghimpun segenap
tenaga yang ada, dengan membuat rencana yang lengkap untuk melakukan
pembangunan. Al-Fārābī mengemukakan tiang-tiang utama bagi pembangunan:
1. Kerja sama manusia secara kolektif
2. Kesucian pribadi masing-masing dalam pikiran dan perbuatan
3. Semangat kemasyarakatan berupa koperatif, harmoni, dan simpati11
Dengan tiga tiang utama yang disebutkan di atas, maka sistem
pembangunan tidak bersifat individualis. Al-Fārābī tetap tidak mengingkari
adanya hak perseorangan, tetapi menganjurkan supaya bekerja sama, gotong
royong, dan saling simpati antara satu sama lain.
Al-Fārābī mengatakan bahwa di samping adanya hak milik bersama di
mana masing-masing orang dan tiap-tiap kelas memunyai hak yang sama,12
diizinkan pula memunyai hak pribadi sebagai hasil dari kepandaian dan kerja
keras.13
10
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 113. 11
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 113. 12
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 88. 13
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 93.
68
Kedua, Madīnah al-Jāhilah (Negara Jahiliyah) ialah negara yang tidak
memunyai ideologi yang tinggi, artinya tidak memunyai tujuan yang ideal sama
sekali atau menganut ideologi yang salah, yang bertentangan dengan kebahagiaan.
Kota ini dihuni oleh warga yang tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan (yang
seharusnya menjadi tujuan utama manusia) dan hal ini memang tidak pernah
terlintas di dalam benak mereka. Bahkan, jika diarahkan secara benar untuk
sampai kepada hal tersebut (kebahagiaan), mereka tetap tidak dapat
memahaminya, bahkan tidak memercainya. Hal-hal baik yang mereka kenali
hanyalah hal-hal yang secara superfisial, tetapi mereka menganggapnya sebagai
sesuatu yang paling baik dan itu pulalah yang mereka jadikan tujuan hidup. Di
antara hal-hal baik dan esensial yang menjadi perhatian dan tujuan mereka
hanayalah seperti kesehatan badan, kemakmuran, kenikmatan kesenangan jasmani
(badani), kebebasan melampiaskan hawa-nafsu, dan merasa dihormati. Menurut
para warga kota kebodohan, hal-hal ini merupakan unsur-unsur yang menjadi
kelengkapan dari kebahagiaan. Kebahagiaan terbesar dan paling sempurna bagi
mereka adalah apabila orang dapat memeroleh semuanya itu secara total.
Sebaliknya, menurut mereka, keadaan-keadaan seperti badan yang tidak sehat,
kemiskinan, tidak adanya hiburan, ketiadaan kebebasan melampiaskan hawa-
nafsu, dan tidak memeroleh penghormatan merupakan sebuah penderitaan.14
Untuk itu mereka berusaha menghindari hal-hal tersebut.
Menurut al-Fārābī, jiwa penduduk kota/negara kebodohan adalah tidak
sempurna karena keinginan mereka terhadap hal-hal yang bersifat materi terlalu
14
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128.
69
besar dan tidak mau berpikir tentang hakekat materi itu yang kemudian berujung
(pengenalan) kepada Pencipta Pertama. Mereka bagaikan binatang yang tanpa
memunyai perasaan akan adanya kehidupan akhirat. Semua yang ada ini, bagi
mereka, pada akhirnya akan hilang (musnah) juga.15
Al-Fārābī membagi Kota/Negara Kebodohan menjadi enam macam
yaitu;
1. Al-Madīnah al-Ḍarūriyyah (Kota/Negara Kebutuhan Dasar).
2. Al-Madīnah al-Baddālah (Kota/Negara Jahat)
3. Al-Madīnah al-Khissah wa al-Siqūṭ (Kota/Negara Rendah dan Hina)
4. Al-Madīnah al-Karāmah (Kota/Negara Kehormatan, Aristokratik)
5. Al-Madīnah al-Taghallub (Kota/Negara Imperialis)
6. Al-Madīnah al-Jamāʻiyyah (Kota/Negara Komunis)
Al-Madīnah al-Ḍarūriyyah (Kota/Negara Kebutuhan Dasar) adalah suatu
kota/negara yang di dalamnya para warga hanya memrioritaskan persoalan-
persoalan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan badan mereka, seperti
makan, minum, berpakaian, bertempat tiggal, dan menikah. Mereka selalu
berusaha sungguh-sungguh dan saling bahu membahu dalam memerolehnya.16
Al-Madīnah al-Baddālah (Kota/Negara Jahat), yaitu suatu kota/negara
yang warganya menjadikan kekayaan dan kemakmuran secara berlebih-lebihan
sebagai tujuan hidup,17
dan mereka tidak mau membelanjakan (harta benda)
kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan dasar (jasmani). Apa yang mereka peroleh
bisa berasal dari pekerjaan dari berbagai jenis profesi maupun dari sumber daya
alam yang ada di negeri itu. Yang paling utama di antara mereka adalah yang
paling dapat memeroleh kekayaan itu dengan mudah. Sedangkan yang menjadi
15
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 139. 16
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 17
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132.
70
pimpinan bagi mereka adalah orang yang paling banyak perolehannya dan selalu
dapat memertahankan perolehan (kekayaan itu).18
Al-Madīnah al-Khissah wa al-Siqūṭ (Kota Hina dan Rendah) yaitu suatu
kota/negara yang tujuan hidup para warganya hanya memburu kesenangan, dan
kenikmatan belaka. Kesenangan dan kenikmatan itu bisa berwujud makanan,
rninuman, dan menikah (hubungan seks). Kenikmatan indrawi dan khayali itu
mereka lakukan tidak lain hanyalah bertujuan untuk bersenda gurau dan main-
main belaka.19
Al-Madīnah al-Karāmah (Kota/Negara Kehormatan Aristokratik), yaitu
suatu kota/ negara yang tujuan para warganya adalah untuk meraih kehormatan,
pujian dari bangsa-bangsa lain, (merasa) dimuliakan, baik dengan kata-kata
maupun dengan perbuatan (perlakuan), memiliki kebanggaan dan kemegahan,
baik di mata orang lain maupun di antara mereka (warga) itu sendiri.20
Madīnah al-Taghallub (Kota Imperialis), yaitu kota/negara yang tujuan
pokok warganya hanyalah untuk mengalahkan (menundukkan) orang lain,
mencegah orang (kelompok) lain mengalahkan dan menundukkan dirinya, dan
kerja keras mereka hanyalah didasari pada rasa mengalahkan orang lain.21
Al-Madīnah al-Jamāʻiyyah (Kota/Negara sosialis) yaitu suatu kota yang
tujuan inti para warganya adalah memeroleh kebebasan yang tanpa batas untuk
18
Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h. 97. 19
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 20
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132. 21
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 132.
71
melampiaskan hawa nafsu. Dalam kota itu tak seorang pun berhak melarang apa
yang menjadi keinginan dan apa yang dilakukan oleh warga kota22
.
Ketiga, Madīnah al-Fāsiqah (Kota/Negara Fasiq) ialah negara yang
pandangan-pandangan para warganya adalah pandangan Kota Ideal/Utama.
Mereka mengetahui (konsep) kebahagiaan, dengan meyakini akan adanya
(mengenal) Allah, benda-benda langit, dan akal aktif, dan semua cara yang lazim
dilakukan oleh warga negara utama untuk mencapainya tetapi apa yang mereka
lakukan sangat bertolak belakang dengan pandangan mereka. Perbuatan-perbuatan
yang mereka lakukan adalah perbuatan yang lazim dilakukan oleh warga negara
kota kebodohan.23
Mereka melakukan itu semua dengan alasan yang bermacam-
macam; ada kalanya demi memeroleh/memertahankan jabatan, demi
penghormatan atau demi kemenangan dan gengsi sehingga mereka melakukan
hal-hal demikian di luar apa yang mereka yakini kebenarannya.24
Jadi, persamaan
warga kota ini dan warga Kota Ideal/Utama hanyalah dalam hal pendapat yang
mereka yakini saja, tidak pada praktiknya.25
Penduduk Kota/Negara Fāsiqah ini
memiliki jiwa yang sakit karena sebenarnya mereka menderita oleh perbuatan-
perbuatan mereka yang hina. Jiwa ini, sebagaimana dinyatakan al-Fārābī, akan
tersiksa dan tetap menderita selama-lamanya atau dalam bahasa lain, mereka akan
selalu ada dalam kesengsaraan.26
Pandangan-pandangan mereka tentang
bagaimana seharusnya bernegara dan apa yang seharusnya menjadi tujuan inti
dalam bernegara itu sudah benar, namun karena adanya faktor-faktor dari luar
22
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 23
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 24
Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h. 103. 25
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 26
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133.
72
yang memengaruhinya, mereka berbalik arah sehingga melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan pandangannya.
Keempat, Madīnah al-Mubaddilah (Negara/kota yang bertukar kebutuhan)
ialah negara yang pandangan-pandangan dan perbuatan-perbuatan penduduknya
pada mulanya sama dengan pandangan dan perbuatan-perbuatan masyarakat
negara utama kemudian beralih dari pandangan-pandangan itu karena kemasukan
pandangan lain sehingga menyeleweng dari pandangan semula.27
Penyelewengan-
penyelewengan itu menyebabkan negara menyimpang jauh dari garis-garis yang
ada dalam negara utama sehingga apa yang mereka lakukan semakin menjauh dari
tercapainya kebahagiaan.28
Kelima, Madīnah al-Ḍāllah (Kota/Negara Sesat) ialah negara yang para
warganya memrediksi adanya kebahagiaan sejati setelah mati di akhirat tetapi
mereka berubah (pikiran). Penduduk kota ini memercayai adanya Tuhan,
malaikat-malaikat dan akal aktif dengan keyakinan yang rusak (tidak benar) dan
mengekspresikan dalam bentuk patung-patung dan khayalan-khayalan. Pemimpin
utama mereka adalah orang yang dipercaya yang kemudian kepercayaan itu
disalahgunakan dan dia menciptakan opini tersendiri yang kemudian berujung
kepada kepalsuan, penipuan, dan pengelabuan.29
Dari uraian di atas mengenai konsep Negara Ideal/Utama beserta negara
yang berlawanan dengan Negara Ideal/Utama, kita mulai mendapati pemahaman
tentang pembagian-pembagian negara. Pembagian negara itu berdasarkan ideologi
27
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133. 28
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 104. 29
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 133..
73
warga dan pemimpinnya, karena memang unsur utama dalam negara adalah warga
dan pemimpinnya.
Lalu pada sub bab selanjutnya, penulis akan memfokuskan pembahasan
pemimpin. Di sana akan dibahas mengenai kepemimpinan ideal yang ada di
dalam Negara Ideal/Utama yaitu berupa pembahasan mengenai apa tugas dan
fungsi pemimpin yang ideal, seperti apa cara pengangkatan pemimpin yang ideal,
dan bagaimana kriteria pemimpin ideal.
B. Tugas dan Fungsi Pemimpin
Sudah banyak dibahas dalam ilmu kepemimpinan modern mengenai
pengertian tugas dan fungsi pemimpin yaitu melaksanakan fungsi-fungsi
kepemimpinan yang terdiri dari: merencanakan, mengorganisasikan,
menggerakkan, dan mengawasi. Namun hal ini berbeda dari pengertian tugas dan
fungsi seorang pemimpin menurut al-Fārābī. Al-Fārābī memahami tugas dan
fungsi pemimpin sebagai simbol yang bersifat falsafi.
Hal ini dikarenakan bagi al-Fārābī pemimpin yang sesungguhnya adalah
pemimpin yang tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi
manfaat kepada diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan
tugas pemimpin. Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling
sejahtera di antara yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga
kota.30
30
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), h. 47.
74
Kemudian juga al-Fārābī memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti
atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang
memiliki kesempurnaan tujuan. Apabila perbuatan-perbuatan, keutamaan-
keutamaan, dan kreatifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh
masyarakat, maka kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain
pemimpin adalah orang yang paling utama, paling kreatif, dan memiliki tujuan
yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi apabila dia tidak memiliki
ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana yang dimiliki oleh
seorang failasuf.31
Karena itu bagi al-Fārābī, agar semua komunitas manusia ini memeroleh
kebahagiaan sejati, pemimpin utama (dalam melaksanakan tugasnya) di Negara
Utama bisa memergunakan dua metode, yaitu pengajaran dan pembentukan
karakter. Metode pengajaran dilakukan dengan memerkenalkan kebajikan teoritis,
dengan harapan orang dapat memahami teori-teori dan melaksanakannya sesuai
dengan ketentuan-ketentuan teoritis normatif tersebut. Sedangkan pembentukan
karakter adalah metode memerkenalkan kebajikan moral dan seni praktis dengan
membiasakan bangsa dan penduduk untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bersumber dari keadaan lingkungan sekitar yaitu dengan cara membangkitkan
pada diri mereka tekad untuk melakukan tindakan-tindakan (utama) baik secara
persuasif maupun paksaan.32
Di sini ada dua unsur utama yang sebenarnya memungkinkan untuk
berpartisipasi dalam membangun umat yaitu, kelompok pertama adalah orang
31
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah (Hyderabad: Majlīs Dāʼirah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah,
1349 H.), h. 43. 32
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 29.
75
berilmu teoritis yang dengan suka hati dan kemauannya sendiri menransfer ilmu
pengetahuan teoritisnya kepada orang lain, dan kelompok kedua adalah kelompok
orang yang menransfer ilmu pengetahuan teoritisnya dengan terpaksa. Laksana
sebuah rumah tangga, pemimpin adalah pengajar dan pembentuk karakter semua
anggota-anggota keluarga itu. Dia harus mengajari dan membentuk karakter
semua anggota keluarga, mulai dari yang masih anak-anak sampai yang beranjak
dewasa. Sebagian dari mereka ada yang memerlukan didikan secara lemah lembut
dan penuh pengertian, sementara yang lain ada yang harus keras dan paksaan.
Demikian halnya dengan umat, ada yang cukup dengan perlakuan lemah lembut,
tapi ada juga yang mesti keras dan paksa untuk mengarahkan mereka menjadi
warga yang baik. Tujuan dari semua itu adalah kebahagiaan tertinggi.33
Bagi al-Fārābī, pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan
dapat merealisasikan dalam kepemimpinannya sehingga kepercayaan masyarakat
terhadap dirinya semakin kuat. Dia tidak hanya pandai tebar pesona tetapi
mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Karakter demikian ini biasanya
dimiliki orang-orang yang memahami falsafat secara baik, dia adalah failasuf
sejati, bukan failasuf palsu atau failasuf pendusta yaitu para failasuf yang
memelajari ilmu pengetahuan (teoritis) dan kebenaran dan kebijaksanaan tetapi
tidak memraktikkannya.34
Kemudian juga semakin amat terlihat jelas, bahwa al-Fārābī benar-benar
memahami pemimpin sebagai simbol yaitu tentang teorinya mengenai organisme,
33
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 31-32. 34
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 44.
76
di mana hakikat negara adalah laksana suatu tubuh yang hidup sebagaimana tubuh
manusia.
Sebagai ciri-ciri dari organisme ialah sifatnya yang berubah-ubah. Badan
organisme yang hidup dapat menerima dan mengambil bahan-bahan dan zat-zat
dari luar dirinya, lalu diolah untuk kebutuhan hidup dan kemudian dipisahkan
mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Di dalam organisme terdapat
struktur dan hierarki sehingga setiap bagiannya memiliki kedudukan tertentu.35
Hal ini sebagaimana yang dikutip dari Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah
bahwa Negara Ideal/Utama tak ubahnya bagaikan susunan tubuh manusia yang
sehat dan sempurna:
Negara Ideal/Utama tak ubahnya bagaikan susunan tubuh manusia yang
sehat dan sempurna. Masing-masing anggotanya bekerja sama untuk
menyempurnakan dan memelihara segala kebutuhan hidup bersama. Setiap
anggota tubuh memiliki fungsi dan kemampuan yang berbeda-beda, yang
masing-masing bertugas sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya.
Dia atas semua itu ada suatu anggota yang berfungsi sebagai kepala yang
mengendalikan segala gerak dari keseluruhan bagian tubuh yang lain yaitu
hati (jantung).36
Pemimpin utama itu laksana jantung manusia. Jantung adalah organ utama
dalam tubuh manusia. Dia harus dalam kondisi prima sebelum anggota-anggota
tubuh vital lainnya. Anggota-anggota tubuh vital (selain jantung) itu dalam
beraktifitas selalu di bawah koordinasi dan otoritas jantung. Demikian juga
35
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h. 54. 36
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 118.
77
pemimpin negara utama. Dia adalah unsur paling utama dan menentukan bagi
pemimpin-pemimpin di bawahnya dan seterusnya yang memiliki kapasitas dan
dalam posisi memimpin dan dipimpin.37
Sebagaimana jantung adalah anggota utama tubuh yang paling vital yang
harus pertama kali dalam keadaan prima sebelum anggota tubuh vital lainnya,
demikian juga pemimpin utama, bahwa ia harus dalam keadaan prima baik secara
fisik maupun psikis, karena apa yang terjadi pada pemimpin utama itu pasti akan
berimbas kepada pemimpin-pemimpin lain di bawahnya. Pemimpin utama adalah
seorang yang secara natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling
mulia di antara pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan
pimpinan utama sampai pada jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang
tingkat kemuliaannya sedikit.38
Sebab utama adanya peringkat kepemimpinan itu adalah bahwa pemimpin
utama adalah laksana seorang raja dalam kota (negara) utama dengan semua
kawasan (wilayah) lainnya. Pemimpin utama cenderung untuk tidak
memerdulikan hal-hal yang bersifat materi, sedangkan yang lain tidak demikian.
Pemimpin utama fokus kepada satu tujuan utama, yaitu (mengabdi) kepada Sebab
Pertama, tunduk kepada-Nya dan mencukupkan diri hidup untuk-Nya. Pemimpin-
pemimpin di bawahnya mengikuti apa yang dilakukan pemimpin utama namun
tidak terlalu fokus pada tujuan utama, demikian seterusnya.39
37
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 119. 38
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 120. 39
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 121.
78
Setelah kita memahami tugas dan fungsi pemimpin ideal menurut al-
Fārābī yang bersifat simbolis dan falsafi, dapat kita lihat bahwa pemikiran al-
Fārābī amat terpengaruh doktrin-doktrin agama yang menganalogikan negara
sebagai tubuh manusia sebagaimana Ḥadīts di bawah ini:
Perumpamaan kaum Mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta
cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka
akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tidak bisa tidur dan merasa
demam (H.R. Bukhārī Muslim).
Kita patut apresiasi ide ini karena al-Fārābī mengemukakan teorinya
begitu detail sehingga pesan-pesan falsafi itu sampai kepada kita, kemudian kita
dapat memahami bagaimana tugas dan fungsi pemimpin yang sifatnya simbolis
dan falsafi.
Selanjutnya, untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang
kepemimpinan, penulis akan membahas mengenai tata cara pengangkatan
pemimpin ideal menurut al-Fārābī.
C. Pengangkatan Pemimpin
Mengenai pengangkatan kepala negara, al-Fārābī tidak sedetail menurut
tata cara negara demokrasi, karena al-Fārābī tidak menjelaskan bagaimana
mekanisme pengangkatan kepala negara.40
Namun dalam hal ini ada beberapa
40
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta:
Rajawali, 1996), h. 79.
79
pemikiran al-Fārābī, khususnya berkaitan dengan pengangkatan pemimpin banyak
dipengaruhi oleh kaum Syīʻah.
Sebelum membahas tata cara pengangkatan seorang pemimpin, kita harus
mengerti apa sebenarnya yang diinginkan al-Fārābī mengenai sosok pemimpin
yang ideal. Hal ini dikarenakan setelah kita mengetahui keinginan al-Fārābī
tentang sosok pemimpin yang ideal, kita akan tahu bagaimana al-Fārābī
mengemukakan tata cara pengangkatan pemimpin. Untuk itu kita awali dengan
mengidentifikasi pemimpin utama menurut al-Fārābī.
Bagi al-Fārābī sendiri, pemimpin utama adalah pemegang otoritas utama
yang tidak mungkin dipimpin oleh pimpinan lain. Demikian pula pemimpin utama
dalam negara utama tidak mungkin dipimpin oleh pemimpin-pemimpin lain di
atas atau di bawahnya. Dia adalah orang yang menjadi panutan bagi pemimpin-
pemimpin yang lain dalam segala hal, dan di tangan dialah segala persoalan-
persoalan dalam negara utama itu bermuara. Dia adalah orang yang paling
sempurna di antara yang lain. Dia adalah ʻaql sekaligus maʻqūl, daya khayalnya
secara natural telah mencapai kesempurnaan. Daya ini adalah daya yang secara
natural ada padanya, baik waktu terjaga maupun di waktu tidur, muncul dari akal
aktif partikular, baik dengan sendirinya maupun di sebabkan oleh pengaruh lain.
Akal potensial telah mencapai kesempurnaan dengan segala bentuk-bentuk
sehingga dapat melepaskan arti-arti materinya dan menjadi akal aktual.41
Lalu, barang siapa yang akal potensialnya telah mencapai kesempurnaan
dengan segala bentuk kemudian menjadi akal aktual sekaligus bentuk aktual,
41
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 123.
80
bentuk-bentuk itu yang dia peroleh dari dalam akalnya, ia telah mencapai akal
aktual yang tingkatannya di atas akal potensial. Ia lebih sempurna dan berpisah
dari materi, dekat dengan akal aktif, yang disebut dengan akal mustafad. Dia
berada di tengah-tengah antara akal potensial dan akal aktif, di saat itu tidak ada
lagi pembatas antara dirinya dengan akal aktif.42
Akal aktif adalah sesuatu yang menyebabkan arti-arti dari materi menjadi
terlepas. Arti-arti itu telah memunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya.
Bukan lagi dalam bentuk potensial tetapi dalam bentuk aktual, dan yang dapat
menangkap akal aktif itu adalah daya berpikir. Daya berpikir terdiri dari dua
macam yaitu daya berpikir teoritis dan daya pikir praktis. Daya berpikir praktis
adalah daya berpikir yang berimplikasi pada juzʼiyyāt/partikular, sekarang dan
yang akan datang. Sedangkan daya pikir teoritis meliputi bentuk-bentuk materi
yang belum diketahui. Daya imajinasi merupakan perantara untuk dua jenis daya
pikir ini.43
Kemudian akal aktif yang ditangkap oleh daya imajinasi itu dapat bereaksi
pada diperolehnya sesuatu yang berupa bentuk-bentuk materi, al-maʻqūlāt, yang
dihasilkan oleh daya pikir yang teoritis dan kadang-kadang dapat berupa juzʼiyyāt
al-maḥsūsāt (partikular inderawi) yang dihasilkan oleh daya pikir praktis. Daya
imajinasi itu menangkap arti dari bentuk-bentuk inderawi yang telah tersusun
sebagaimana adanya dan kadang-kadang menerima partikular (rincian)-nya
42
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 124. 43
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 125.
81
setelah melalui proses imajinatif dan juga kadang-kadang diikuti pula dengan
benda-benda inderawi.44
Setelah penjelasan al-Fārābī di atas tentang akal, pada akhirnya al-Fārābī
memberi pengertian terakhir tentang pemimpin utama bahwa:
Allah SWT memancarkan akal aktif dengan perantara akal mustafad
terhadap akal potensial dan kuatnya imajinasi. Jika akal aktif yang
dipancarkan oleh Allah SWT melalui akal mustafad kepada akal potensial,
maka akan menghasilkan seorang failasuf yang bijaksana dan memunyai
pemikiran yang sempurna. Dan jika akal aktif yang dipancarkan oleh Allah
melalui akal mustafad kepada kekuatan imajinasi, maka akan
menghasilkan seorang nabi yang memberi peringatan, dialah yang akan
memberikan informasi terhadap masalah-masalah partikular dengan
adanya akal yang di dalamnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Dan manusia
seperti itu adalah manusia yang paling sempurna dan memiliki derajat
kebahagiaan yang paling tinggi. Dia (nabi) menjadi sosok sempurna yang
bersatu dengan akal aktif sebagaimana yang dijelaskan. Manusia seperti ini
juga merupakan manusia yang setiap tindakannya memungkinkan untuk
menggapai kebahagiaan, dan ini merupakan syarat pertama untuk menjadi
seorang pemimpin.45
Dari pendapat al-Fārābī di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa
sebenarnya al-Fārābī menginginkan seorang nabi untuk dijadikan pemimpin,
karena nabi memiliki kriteria sempurna dan akan menjadi pemimpin yang dapat
berhubungan sekaligus bersatu dengan Akal Aktif yaitu Tuhan.
44
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 125. 45
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126.
82
Hal ini dikarenakan kenabian dalam pandangan al-Fārābī, bukanlah
sesuatu di luar jangkauan manusia dan bukan pula merupakan hal yang luar biasa,
ia adalah sebagai fenomena sebagaimana dalam fenomena alam lainnya. Nabi
adalah seorang manusia yang daya khayalnya telah sampai kepada kesempurnaan.
Daya khayal ini dalam pandangan al-Fārābī memegang peranan penting. Ia
menghimpun bentuk-bentuk yang berasal dari luar alam indrawi ke alam indrawi.
Ia meramu susunan bentuk-bentuk itu untuk memunculkan bentuk-bentuk baru di
alam indrawi dan alam nyata. Hal yang penting dari itu semua adalah bahwa nabi
memiliki daya (kemampuan) untuk selalu berhubungan dengan alam tertinggi.
Inilah yang disebut dengan mimpi yang benar dalam sebuah (konsep) kenabian.46
Nampaknya, meskipun tersirat, al-Fārābī ingin melegitimasi konsep
Imāmiyyah dalam Syīʻah, karena pemimpin-pemimpin dalam Syīʻah ditunjuk
berdasarkan garis keturunan Nabi. Bagi Syīʻah pemimpin yang disebut imam,
tidaklah dipilih oleh rakyat, ia merupakan hak ahl al-bayt (keturunan Nabi) secara
turun-temurun dari bapak ke anak, seterusnya ke cucu dan demikian seterusnya.
Penentuan pengganti imam ini adalah secara limpahan (al-fayḍ), yang oleh Syīʻah
disebut wasiat (al-waṣiyyah).47
Dalam konteks sejarah juga, memang pada masa
itu sedang terjadi perseteruan Syīʻah-Sunnī, sehingga melegitimasi konsep
kepemimpinan menjadi penting karena bagian dari kampanye Syīʻah.
Dalam buku Antara Al-Fārābī dan Khomeini: Filsafat Politik Islam,
Yamani menulis dalam pendahuluannya bahwa memang terdapat spekulasi bahwa
46
M. Abd. Rahman Marhaba, Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah al-
Islāmiyyah (Beirut: ʻUwaydah li al-Nasyr wa al-Ṭibāʻah, 2000) h. 448. 47
Falsafah Kenabian Al-Fārābī, http://yolmartohidayat-
asmam.ita.blogspot.com/2015/05/falsafah-kenabian-al-Fārābī.html, 07/05/2014, pukul 10.45 WIB.
83
falsafah politik al-Fārābī, khususnya gagasan mengenai penguasa utama,
mencerminkan rasionalisasi ajaran Imāmah dalam Syīʻah. Penulis seperti Fauzy
Najjar, Walzer, Henry Corbin, Ibrahim Madkour, Hosein Nasr, dan Osman
Bakar—kendatipun yang disebut terakhir skeptis terhadap spekulasi ini—percaya
bahwa al-Fārābī memang seorang Syīʻah. Kenyataan bahwa al-Fārābī menyebut
imam sebagai Pemimpin Pertama, meskipun pada dasarnya dipinjam dari falsafah
politik Plato, tentu mudah digunakan oleh penganut Syīʻah untuk membenarkan
rezim imam yang ilahiah ini. Menurut Najjar, kita juga jadi melihat paralelisme
tertentu antara ajaran (falsafah) al-Fārābī dan ajaran (doktrinal) Syīʻah. Untuk
membenarkan hubungan ilahiah imam itu, kaum Syīʻah menemukan dalam teori
neo-Platonis mengenai emanasi dan gagasan “akal universal”, adanya dukungan
“rasional” yang kuat untuk melihat dalam karya-karya politis al-Fārābī, dan
adanya suatu upaya terselubung untuk mendukung gerakan Syīʻah hererodoks
melawan serangan gencar ortodoksi Sunnī.48
Richard Walzer, salah seorang ahli terkemuka dalam hal al-Fārābī, percaya
bahwa falsafah al-Fārābī sangat dipengaruhi oleh Syīʻah Imāmiyyah. Dengan
menganalisis isi al-Madīnah al-Fāḍilah, khususnya teori tentang penguasa
maupun eskatologinya, dia berkesimpulan bahwa konsep imāmah al-Fārābī
“kelihatan seperti counter-part pandangan-pandangan Imāmiyyah pada
zamannya.” 49
Hal ini juga diungkapkan Dedi Supriyadi dalam Pengantar Filsafat Islam
bahwa dalam pengangkatan pemimpin al-Fārābī lebih cenderung kepada proses
48
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini: Falsafah Politik Islam, h. 45. 49
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini: Falsafah Politik Islam, h. 45.
84
penunjukan langsung, tidak dengan pemilihan oleh seluruh warga negara.
Pandangan ini mirip dengan paham Syīʻah, di mana pemimpin ditunjuk langsung
bukan dipilih oleh warga masyarakat. Seorang pemimpin negara
adalah maʻṣūm, dan secara tabiatnya, ia telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk
menjadi kepala negara. Dengan demikian, kepala negara ada lebih dahulu, baru
kemudian rakyatnya.50
Namun, bukan berarti al-Fārābī menganggap pengangkatan pemimpin
dengan cara penunjukan langsung adalah benar sepenuhnya. Seperti telah
diungkapkan sebelumnya memang tidak detail tata cara pengangkatan pemimpin
menurut al-Fārābī khususnya dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah.
Penulis hanya berusaha menelusuri data yang ada dan sesuai dengan kutipan-
kutipan al-Fārābī. Terlepas dari itu, perdebatan mengenai tata cara pengangkatan
pemimpin akan selalu menarik dibahas, terlebih pada zaman sekarang.
Kemudian setelah membahas tentang pengangkatan pemimpin, tibalah
pada pembahasan yang terakhir mengenai kriteria pemimpin. Di samping kita
harus memahami tentang tugas dan fungsi pemimpin, lalu pengangkatan
pemimpin, kita juga harus memahami kriteria pemimpin. Hal ini dikarenakan itu
semua bagian dari konsep sebuah kepemimpinan.
D. Kriteria Pemimpin
Pokok penting dari pembahasan mengenai kepemimpinan adalah kriteria
pemimpin. Dalam hal ini al-Fārābī ingin mengungkapkan kriteria ideal bagi
50
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 95-96.
85
seseorang yang akan menjadi pemimpin. Pembahasan tentang kriteria pemimpin
amat gamblang dalam Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah karena al-Fārābī
menuliskannya dalam bab khusus mengenai kriteria pemimpin, sehingga kita
dapat memahaminya dengan baik tanpa interpretasi yang cukup rumit seperti
pembahasan dalam sub bab sebelumnya.
Kemudian sebelum membahas kriteria pemimpin menurut al-Fārābī ada
tiga golongan manusia, dari segi kapasitasnya untuk memimpin, yaitu:
1. Manusia yang memiliki kapasitas yang memandu dan menasehati. Ini yang
disebut oleh al-Fārābī Akhaṣṣ al-Khawāṣṣ. Ia wajib menduduki (jabatan)
sebagai pemimpin utama karena secara natural memiliki bakat memimpin
atau yang disebut dengan Khuṣūṣ al-Khāṣṣ dan menjadi teladan bagi semua
orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Untuk menjadi teladan,
pemimpin harus memiliki otak cemerlang dan pengetahuan luas sehingga ia
dapat memberi arahan kepada pimpinan-pimpinan di bawahnya maupun
kepada masyarakat umum tentang kebahagiaan sejati dan keutamaan
paripurna dengan penjelasan yang meyakinkan.
2. Manusia yang berperan sebagai penguasa subordinat yang memimpin
sekaligus dipimpin disebut al-Fārābī dengan al-Khāṣṣah. Mereka selain
memiliki ilmu-ilmu teoritis yang spesifik, juga memiliki keyakinan terhadap
kebenaran dari apa yang diajarkan (pimpinan di atasnya) dan mengajarkannya
kepada orang lain. Mereka memiliki kemampuan memimpin di atas rata-rata
masyarakat tetapi hanya mampu memimpin suatu kota saja.
86
3. Manusia yang dikusai sepenuhnya atau tanpa kualifikasi, al-Fārābī
menyebutnya al-ʻĀmmah. Mereka yang memiliki kemampuan teoritis dan
kekuatan yang amat terbatas.51
Maksud dari al-Fārābī menentukan kapasitas pemimpin adalah untuk
memberi gambaran umum kriteria manusia agar kita dapat menentukan pemimpin
berdasarkan potensi-potensinya dalam memimpin.
Pemimpin pada peringkat pertama adalah pemimpin yang secara natural
memiliki 12 persyaratan dasar sebagaimana dikutip dari Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-
Fāḍilah:
51
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah, h. 36-38.
87
52
Pertama, memiliki anggota badan yang sempurna, sehingga
memungkinkan dia untuk melakukan perkerjaan-pekerjaan secara baik. Apabila
ada pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan dengan anggota badan dia dapat
melakukannya dengan mudah.53
Kecuali memiliki anggota badan yang sempurna,
seorang pemimpin harus sehat badannya. Badan yang sakit akan berakibat pada
rusaknya indra (rasa) dan kepekaan, seperti manis, bagi orang sakit bisa terasa
pahit, sesuatu yang tepat di mata orang sakit bisa menjadi tidak tepat. Analogi ini
bisa diterapkan kepada orang-orang yang buruk (perangainya) dan tidak
52
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127-129. 53
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127.
88
sempurna. Mereka ini, oleh al-Fārābī, disebut dengan orang yang sakit jiwanya.
Bagi mereka hal-hal yang baik, di matanya, bisa menjadi buruk. Demikian pula
sebaliknya, hal-hal yang buruk, di matanya bisa menjadi baik. Adapun orang yang
utama dan memiliki keutamaan akhlaq akan selalu condong dan selamanya
merindukan tujuan-tujuan yang terbaik dalam arti sebenarnya dan orang yang
buruk perangainya akan selalu condong dan selalu merindukan keburukan
sebagaimana yang dibayangkannya sebagai suatu kebaikan disebabkan jiwanya
yang "sakit”.54
Padahal untuk mencapai kebahagiaan salah satu di antaranya
adalah dengan menghilangkan keburukan/kejahatan yang ada di tengah-tengah
(masyarakat) kota dan dan umat.55
Kedua, secara natural, memiliki pemahaman dan penggambaran yang baik
terhadap apa (persoalan) yang disampaikan orang kepadanya sehingga (dengan
pemahaman tersebut) dia dapat menanggapi (memecahkan) persoalan sesuai
dengan maksud dan harapannya.56
Hal ini terkait erat dengan kemampuan berpikir
baik pada seorang pemimpin; yaitu kemampuan berpikir yang berakibat pada
terjadinya kepuasan dan ketepatan kesimpulan tentang sesuatu secara lebih baik
dan lebih tepat sehingga berimplikasi pada terjadi kebaikan pada orang lain.
Kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan sejati, bertujuan mulia dan utama yang
kemudian bermuara pada diperolehnya kebahagiaan.57
Ketiga, memiliki ingatan dan hafalan yang kuat, baik terhadap apa yang
dipahami, dilihat, didengar, maupun diketahuinya. Dengan kata lain, secara
54
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 56-57. 55
Al-Fārābī, Al-Siyāsah al-Madaniyyah, h.. 84. 56
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. 57
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 55.
89
umum, dengan ingatan dan hafalan yang kuat itu, apa yang dialaminya tidak ada
yang terlupakan.58
Keempat, memiliki kepandaian dan kecerdasan yang baik. Apabila dia
melihat sesuatu dengan sedikit bukti (dalil), ia cepat tanggap ke arah mana dalil
(bukti) itu akan menuju.59
Untuk itu akal teoritis seorang pimpinan utama sangat
dominan, karena akal teoritis yang dimilikinya merupakan daya yang ada secara
natural, tidak dicari dan tidak pula (dipelajari) secara analogis. Dia mengetahui
premis-premis pokok yang universal yang berfungsi sebagai permulaan ilmu,
misalnya pengetahuan bahwa universal itu lebih besar dari partikular, mengukur
benda yang sama dengan ukuran sama akan memeroleh hasil yang sama pula, dan
premis-premis yang lain sampai pada pengetahuan tentang segala yang ada.
Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa semua yang ada ini bukan karya manusia
melainkan ciptaan Tuhan.60
Kelima, baik penyampaiannya, dengan kata-katanya dia dapat
menerangkan dengan baik apa (keterangan) yang tersembunyi di balik
keterangan itu dengan keterangan penjelasan yang baik dan sempurna.61
Keenam, cinta kepada ilmu pengetahuan, dapat mengambil manfaat
(hikmah) dari apa yang diketahui dan dirasakannya, suka dikritik, mudah/bersedia
menerima (saran), tidak mudah putus asa, dan siap menerima risiko apapun yang
terjadi padanya.62
Ilmu itu memang beragam jenisnya tetapi ilmu teoritis
58
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. 59
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 127. 60
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 50. 61
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 62
Al-Fārābī, ĀrāʼAhl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128.
90
partikular yang utama adalah ilmu yang berujung pada keyainan jiwa terhadap
Pencipta segala yang ada dengan bukti yang nyata.63
Ketujuh, apa yang dimakan, diminum dan dinikahi, diperoleh melalui jalan
yang baik. Secara natural terhindar dari sifat senang bermain-main (berfoya-foya)
dan dia benci terhadap kenikmatan-kenikmatan seperti itu.64
Kedelapan, mencintai kejujuran dan orang berbuat yang jujur, membenci
kebohongan dan orang-orang yang bohong.65
Kesembilan, memiliki jiwa besar, (menyukai pekerjaan-pekerjaan)
terhormat; berjiwa besar terhadap masalah-masalah (kesulitan-kesulitan) yang
menimpa dirinya, yang secara otomatis akan meningkatkan derajatnya kepada
yang lebih tinggi.66
Kesepuluh, memandang bahwa dirham dan dinar (harta benda) dan segala
sesuatu yang bersifat duniawi adalah sesuatu yang remeh baginya.67
Kesebelas mencintai keadilan dan orang-orang yang berbuat adil,
membenci kelaliman dan aniaya beserta para pelakunya, memberikan separoh dari
apa yang dimilikinya dan menganjurkan yang lain untuk berbuat demikian.68
Keduabelas, memiliki kemauan yang keras untuk melakukan sesuatu yang
diyakini benar dan harus dilakukannya. Dia melakukannya dengan penuh
keberanian, maju terus dan tidak takut risiko, dan dia tidak lemah jiwanya.69
63
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 51. 64
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 65
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 66
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 67
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 68
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 128. 69
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129.
91
Dua belas persyaratan di atas adalah rincian dari sifat-sifat failasuf-nabi
yang merupakan syarat utama seorang pemimpin sebagaimana kutipan di bawah
ini:
Manusia (yang memiliki sifat failasuf-nabi) seperti ini juga merupakan
manusia yang setiap tindakannya memungkinkan untuk menggapai
kebahagiaan, dan ini merupakan syarat pertama untuk menjadi seorang
pemimpin.70
Dengan menjadikan seorang pemimpin yang memiliki sifat failasuf-nabi,
maka akan mendekatkan para warga menuju kebahagiaan yang diidam-idamkan.
Hal ini dikarenakan Pemimpin Utama/Ideal yang memiliki sifat failasuf-nabi
dapat sampai pada tingkatan (yang berhubungan) dengan ʻaql al-faʻʻāl, akal aktif,
di mana pada tingkatan itu dapat diperoleh wahyu dan ilham. ʻAql al-faʻʻāl,
sebagaimana kita ketahui adalah salah satu dari akal kesepuluh (dalam teori
emanasi) yang telah lepas dari alam dan dia (akal kesepuluh) menjadi titik
pertemuan antara Tuhan dan hamba-Nya. Ia merupakan sumber segala syariʻah,
undang-undang (ketentuan/aturan) hidup secara etis (al-Khuluqiyyah) dan
sosiologis (ijtimāʻiyyah).71
Kalau diteliti, semua ini memang merupakan khayalan al-Fārābī,
meskipun bisa dikatakan (agak) lebih mendekati kenyataan daripada khayalan
Plato. Ketika pengarang Republic (Plato) berkhayal tentang munculnya failasuf
70 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 126.
71 Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Ṭatbīquh (Kairo: Dār al-
Maʻārif), h. 76.
92
yang turun dari alam ide untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik (di
Yunani), maka al-Fārābī berharap pemimpin Kota Ideal/Utama bangkit dari alam
ruh. Dia akan lebih banyak hidup dengan ruhnya daripada jasadnya dan al-Fārābī
mensyaratkan bahwa pemimpin negara utama harus dapat terus-menerus
berhubungan dengan akal aktif. De Boer, sebagaimana dinukil Madkour
menyatakan, “Sebagai persyaratan pemimpin negara utama, al-Fārābī
menggabungkan seluruh sifat-sifat manusia dan failasuf, dan dia ini bisa disebut
sebagai Plato dengan baju kenabian Muḥammad.”72
Demikian indah cita-cita al-Fārābī sehingga Ibrahim Madkour mengatakan
bahwa kita dihadapkan dengan suatu Negara Ideal yang penduduknya terdiri dari
orang-orang yang suci belaka, sedang kepala negaranya adalah seorang yang
bersifat nabi, suatu negara yang belum pernah terwujud yang hanya hidup di
dalam fantasi al-Fārābī.73
Dengan meletakkan al-nubuwwah di tengah masyarakat manusia, dapatlah
dipecahkan sengketa-sengketa yang timbul di sekitar pemimpin agama dan
pemimpin politik yang telah menggoncangkan kaum Muslim sejak abad pertama.
Bagi al-Fārābī, jabatan-jabatan nabi, imam, raja, hakim, dan failasuf yang
diajarkan Plato dalam bukunya Republic adalah untuk kepentingan politik belaka.
Merekalah yang mengatur susunan masyarakat dengan berpedoman kepada
perintah Ilahi. Mereka harus sanggup menghubungkan rohani mereka dengan
72
Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 76. 73
Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 85.
93
Tuhan, baik waktu sadar maupun tidur, baik dengan perantara khayal atau dengan
pikiran mereka.74
Selanjutnya al-Fārābī memberikan alternatif untuk pemimpin negara
utama pada peringkat kedua, karena persyaratan pemimpin ideal sulit terpenuhi.
Pemimpin peringkat kedua yaitu, pemimpin yang dapat menjadi pelanjut dari
pemimpin utama yang ideal dengan kriteria-kriteria bahwa pemimpin kedua itu
harus terdapat beberapa persyaratan yang melekat pada dirinya sejak lahir, masa
kanak-kanak, dan berlangsung sampai dia beranjak dewasa. Persyaratan-
persyaratan itu, sebagaimana disebutkan oleh al-Fārābī ada 6 (enam) yaitu:
1. Bijaksana75
Kebijaksanaan atau dalam bahasa Arab ḥikmah digunakan untuk
menyempurnakan tujuan ilmu yaitu kebahagiaan tertinggi dan kesempurnaan
paripurna yang dapat diraih oleh manusia. Dengan demikian, yang diajarkan oleh
hikmah tidak lain adalah bagaimana ilmu dapat sampai pada tujuan utamanya
yaitu kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya.76
2. Mengerti dan mampu melaksanakan undang-undang
Dia harus mengerti dan mampu menjaga syariʻat, undang-undang dan
melaksanakannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulunya.
Sehingga apa-apa yang dipraktikkan adalah sebagai penyempurna dari apa yang
pernah dilakukan oleh mereka (para pendahulu) itu.77
3. Memiliki kecerdasan dalam mengambil kesimpulan
74
Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhāj wa Ṭatbīquh, h. 122. 75
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129. 76
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntazaʻah, h. 62. 77
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 129.
94
Memiliki kemampuan yang baik dalam mengambil kesimpulan terhadap
syariʻat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan kontemporer (yang
belum muncul di masa lalu).
4. Mampu memrediksi persoalan yang terjadi di masa mendatang
Memiliki kemampuan yang baik dalam pengambilan kesimpulan terhadap
fenomena yang terjadi sekarang kemudian dapat memrediksi persoalan-persoalan
yang akan dihadapi nanti.
5. Mampu menasehati orang
Mampu memberi nasihat dengan kata-kata yang baik tentang pelaksanaan
syariʻat, sebagaimana yang dijalankan oleh para terdahulunya dan memiliki
kemampuan untuk menerangkan kesimpulan-kesimpulan pelaksana syariʻat yang
diambil oleh orang-orang sesudahnya.
6. Berbadan sehat
Secara fisik ia sehat, bahkan memiliki kemampuan untuk berperang
apabila diperlukan sewaktu-waktu dan dalam peperangan dia mampu menjadi
panglima.78
Apabila persyaratan tersebut tidak ditemukan pada satu orang, tetapi ada
pada dua orang, yang satu adalah orang yang penuh kebijaksanaan sedangkan
persyaratan selebihnya dimiliki oleh yang lain, maka keduanya dapat bersama-
sama menjadi pemimpin-pemimpin negara yang bekerja sama satu sama lain.
Apabila persyaratan itu terdapat pada beberapa orang, kebijaksanaan (persyaratan
pertama) ada pada diri seseorang, persyaratan kedua, ketiga, keempat, kelima, dan
78
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 130.
95
keenam pada orang yang berbeda-beda, mereka secara kolektif adalah pemimpin
utama. Namun apabila terdapat persyaratan semua di atas tetapi tidak ada hikmah
(kebijaksanaan), sebagai bagian dari persyaratan, negara itu sama dengan tidak
memunyai pemimpin karena di dalamnya tidak ada orang yang bijaksana, yang
dapat mengatur negara itu dengan baik. Akibatnya negara akan mengalami
kehancuran dalam waktu yang tidak lama lagi.79
Dalam hal ini, al-Fārābī ternyata tidak memutlakkan kriteria terhadap satu
orang saja, tetapi kriteria itu bisa juga terdapat pada beberapa orang. Di sini kita
dapat melihat keluwesan al-Fārābī dalam mengemukakan teorinya. Seperti
kutipan di atas, al-Fārābī membolehkan sebuah sistem kolektif, di mana dalam
sistem kenegaraan modern disebut sistem parlementer.
Sistem parlementer sendiri adalah sebuah sistem pemerintahan di mana
parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Parlemen adalah satu-
satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan
umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan atau
lembaga legislatif. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam
mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan,
yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Dalam sistem
parlementer, presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Kekuasaan
eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan
undang-undang. Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen
79
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 130.
96
dan non-departemen. Sedangkan kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala
pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala
negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara
monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya
berperan sebagai simbol kedaulatan dan keutuhan negara.80
Jika kita urai, ada beberapa kesamaan antara sistem kolektif al-Fārābī
dengan sistem perlementer:
Pertama, terletak pada peranan parlemen yang amat penting dalam
pemerintahan yang diisi oleh beberapa orang. Sedangkan al-Fārābī juga
mengganggap penting peran beberapa orang sebagai pemimpin dengan tidak
memutlakkan kriteria pemimpin dalam satu individu saja.
Kedua, dalam sistem parlementer, pemimpin adalah simbol. Al-Fārābī
juga menganggap pemimpin utama adalah simbol, hal ini sebagaimana dalam sub
bab sebelumnya tentang tugas dan fungsi pemimpin.
Ketiga, mengenai perdana menteri. Dalam sistem parlementer perdana
menteri memunyai hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri, artinya ini bersifat teknis. Bagi al-Fārābī pemimpin utama adalah
seorang yang secara natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling
mulia di antara pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan
80
http://ikazakiyah.wordpress.com/2012/11/30/sistem-parlementer/, 16/06/2014, pukul
16.45 WIB.
97
pimpinan utama sampai pada jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang
tingkat kemuliaannya sedikit.81
Sedangkan selebihnya adalah hal-hal teknis yang sifatnya sebagai
pelengkap. Namun pada intinya, al-Fārābī ikut memberikan kontribusi pemikiran
dalam politik modern meskipun tidak secara langsung.
Dari ungkapan al-Fārābī tentang kriteria pemimpin peringkat utama,
kriteria pemimpin peringkat kedua, sampai alternatif ketiga, kita dapat melihat
keluwesan pemikiran al-Fārābī. Di samping ia memunyai standar tinggi dalam
menentukan kriteria pemimpin yaitu sosok failasuf-nabi, ia juga tetap menolerir
standar minimal seorang pemimpin. Ini dikarenakan memiliki seorang pemimpin
adalah suatu hal yang diperlukan sebagaimana firman Allah yang telah dibahas
pada bab sebelumnya, di mana al-Qurʼān dan Ḥadīts sendiri yang merupakan
landasan kehidupan berbicara tentang manusia yang hidup bermasyarakat dan
konsep kepemimpinan dalam masyarakat. Sedangkan al-Fārābī berusaha merinci
konsep kepemimpinan yang memang sudah dilandaskan pada al-Qurʼān dan
Ḥadīts melalui pemikirannya.
Tidak ayal pemikiran-pemikiran al-Fārābī di samping banyak dipengaruhi
oleh failasuf Yunani, juga dipengaruhi oleh doktrin agama yaitu al-Qurʼān dan
Ḥadīts. Terlebih konsep metafisika berupa emanasi yang amat kental unsur
ketuhanan dalam konsep tersebut.
Hal ini sebagaimana menurut M. Abd. Rahman Marhaba bahwa apa yang
dilakukan al-Fārābī adalah sebagai usaha penggabungan antara falsafat dan agama
81
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 120.
98
sebagai ciri khas Falsafat Islam. Falsafat Islam sendiri adalah falsafat yang
memadukan antara falsafat dan agama sebagaimana perpaduan pendapat antara
falsafat Plato dan Aristoteles. Falsafat dan agama adalah satu kesatuan yang tak
terpisahkan dan tidak ada perbedaan pengertian antara keduanya apabila dipahami
secara mendalam. Untuk itu agama dan falsafat hanya nampak berbeda dari
luarnya saja. Tetapi pada hakikatnya keduanya adalah sama, tidak ada perbedaan.
Kebenaran agama sama nilainya dengan kebenaran falsafat, begitu juga
sebaliknya, karena keduanya saling menguatkan.82
Jadi tidak heran jika pemikiran al-Fārābī amat kental unsur keagamaan dan
unsur falsafat Yunani, karena dari perpaduan itu kita mendapati pemikirian yang
tidak semata-mata idealistis dan tidak semata-mata realistis. Maka demikian besar
pemikiran al-Fārābī sehingga banyak yang menjuluki ia al-Muʻallim al-Tsānī
yaitu Guru Kedua.
82
M. Abd. Rahman Marhaba, Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah al-
Islāmiyyah, h. 379.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelum, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Mengenai konsep kepemimpinan, al-Fārābī amat menekankan kriteria
pemimpin yang memiliki sifat nabi sekaligus failasuf. Hal ini dikarenakan
bagi al-Fārābī, nabi merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan pemimpin
sedangkan failasuf adalah sosok nyata yang juga dapat dijadikan pemimpin.
Maka dari itu, al-Fārābī menguraikan beberapa kriteria pemimpin yang
sebenarnya merupakan rincian dari sifat-sifat kenabian sekaligus failasuf.
2. Mengenai konsep Negara Ideal/Utama, al-Fārābī berpijak pada tujuan hidup
manusia, yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan
bagaimana caranya menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia
harus berada di tangan pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai
dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.
3. Pemikiran al-Fārābī banyak dipengaruhi doktrin-doktrin agama, yaitu berupa
al-Qurʼān dan Ḥadīts yang mendominasi konsep kepemimpinan ideal al-
Fārābī. Salah satunya mengenai tugas dan fungsi pemimpin yang al-Fārābī
paparkan berdasarkan teori organisme yang sudah ada sebelumnya di dalam
Ḥadīts. Tidak hanya itu, teori tentang pembentukan negara juga banyak
dikutip berdasarkan ayat al-Qurʼān tentang keharusan membuat komunitas
untuk saling mengenal.
100
4. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Plato dapat dilihat di karangan al-
Fārābī. Di antaranya karangan Plato berupa Republic, yang hampir mirip
dengan karangan al-Fārābī Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Namun itu tidak
serta-merta al-Fārābī menjiplak semuanya, penggabungan filsafat dan agama
menjadi produk orisinal dari karya al-Fārābī.
B. Saran
Setelah penulis selesaikan tulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang terkait
dengan pembahasan pada tulisan-tulisan sebelumnya, yaitu:
1. Konsep kepimpinan al-Fārābī yang sifatnya klasik amat terlihat dalam
pembahasan ini. Tentu sangat mudah menilai kekurangan dalam konsep
kepemimpinan al-Fārābī yaitu dengan membandingkan dengan konsep-
konsep kepemimpinan modern. Salah satunya mengenai rincian metode
pemimpin yang ideal, seperti gaya kepemimpinan, pengambilan keputusan,
dan sebagainya.
2. Ditambah juga, al-Fārābī tidak detail dalam mengungkapkan metode
pengangkatan pemimpin, bahkan tidak menuliskan sama sekali periodisasi
kepemimpinan, padahal itu sangat penting dalam menunjang teori
kepemimpinan ideal.
3. Sedangkan dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah hampir setengahnya
berisi tentang teori metafisika. Hal ini dirasa tidak perlu karena dalam
mengutarakan teori negara ideal, cukup diungkapkan metode-metode
bagaimana manusia mampu mewujudkan negara ideal.
101
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Marhaba, M.. Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah al-
Islāmiyyah. Beirut: ʻUwaydah li al-Nasyr wa al-Ṭibāʻah, 2000.
al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr. Tafsīr al-Ṭabarī. terj. Akhmad
Affandi dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Abū Zakariyyā Yaḥyā, Imām. Riyāḍ al-Ṣaliḥīn, terj. H. Salim Bahreisy. Bandung:
al-Maʻārif, 1987. Jilid I.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat.
Jakarta: Rajawali, 1996.
Baali, Fuad & Ali Wardi. Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam. Jakarta:
Pustaka Hidayat. Cet. Ke-I.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Bukhāri, Imām. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri: Kitāb al-Aḥkām, Jilid IX. Kairo: Dār al-Syaʻb.
Edward, Paul, The Encyclopedia of Philosophy. London: Collier Macmilian
Publisher, 1927. Vol.3
Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. London: Macmillan Publishing
Company, 1987. Vol Ke-5.
Al-Fārābī. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Beirut: Dār al-Masyriq, 2002. Cet.
Ke-8.
-------. al-Siyāsah al-Madaniyyah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993. Cet Ke- II.
-------. Fuṣūl Muntazaʻah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.
-------. Taḥṣīl al-Saʻādah. Hyderabad: Majlīs Dāʼirah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah,
1349 H.
-------. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh
Richard Walzer. Oxford: Claeedon Press, 1985.
Hazm, Ibnu. al-Ahkām fī Uṣul al-Aḥkam. Kairo: 1921.
Kemendikbud. http://kbbi.web.id/pimpin. “Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Online”.
102
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-Qurʼan dan Kenegaraan.
Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qurʼān, 2011. Cet. Ke-I.
Kusnadiningrat, E, “Al-Farabi Tentang Negara Utama”, Refleksi, No.3, Vol. III,
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001.
al-Nawawī, Imām. Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb
Imarāh”. Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987.
Madkour, Ibrahim. Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Ṭatbīquh. Kairo:
Dār al-Maʻārif.
Noer, Kautsar Azhari, “Pemikiran dan Peradaban”. Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove.
Quraish Shihab, M. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2001.
Ridwan, Kahrawi (ed.). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999.
Vol. 1. Cet. Ke-4.
Sevilla, Consuelo G dkk, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press.
1993.
Sharif, M.M.. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1994. cet. Ke-7.
Sidiq, Abd. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputra, 1984.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: Bulan Bintang. 1990.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Van der Weij, P.A.. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, terj. K. Bertens dari
Grote Filosofen over de Mens. Jakarta: Gramedia, 1988.
Von Schmid, J.J.. Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato
sampai Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers
Over Staat en Recht (von Plato tot Kant). Jakarta: Pembangunan, 1965.
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. Bandung:
Mizan, 2002. Cet Ke-1
-------, Al-Farabi Filosof Politik Muslim. Jakarta: Teraju, 2005, Cet Ke-1.
Zainal, Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinah Fadilah), Jakarta: Kinta, 1968.
103
Definisi Konsep. http://carapedia.com/pengertian_definisi_
konsep_menurut_ para_ahli_info402.html.
Falsafah Kenabian Al-Fārābī. http://yolmartohidayat-
asmam.ita.blogspot.com/2015/05/falsafah-kenabian-al-Fārābī.html.
Sistem Parlementer. http://ikazakiyah.wordpress.com/2012/11/30/sistem-
parlementer/.