ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL...

82
ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Siti Salbiyah NIM: 1113033100040 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H./2018 M.

Transcript of ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL...

Page 1: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi

Persyaratan Mendapatkan Gelar

Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Siti Salbiyah

NIM: 1113033100040

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H./2018 M.

Page 2: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang
Page 3: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang
Page 4: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang
Page 5: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

v

ABSTRAK

Siti Salbiyah

ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ

Tulisan ini fokus pada pemikiran etika politik menurut al-Fārābī yang

tertuang dalam sejumlah karyanya. Salah satu karya al-Fārābī yang menjadi

referensi penulis adalah Āra‟ Ahl al-madīnah al-Fāḍilah atau secara singkat

disebut Negara Utama. Di dalam buku itu, al-Fārābī menuliskan ciri-ciri negara

utama yang didalamnya terdapat konsep etika kepemimpinan ideal.

Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa pemikiran al-

Fārābī memuat konsep etika politik dalam karyanya. Poin utama dari pemikiran

etika politiknya adalah tentang metode kepemimpinan yang akan mengarahkan

warga menuju kebahagiaan. Dari sini, al-Fārābī menginginkan kriteria pemimpin

yang memiliki sifat nabi sekaligus failasuf. Hal ini dikarenakan bagi al-Fārābī,

nabi merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan pemimpin sedangkan failasuf

adalah sosok yang nyata yang juga dapat dijadikan pemimpin. Oleh sebab itu,

hanya pemimpin yang memiliki sifat failasuf-nabi yang mampu mengarahkan

para warga menuju kebahagiaan. Hal ini dikarenakan pemimpin itu laksana

jantung yang menjadi pusat keinginan tubuh, artinya warga hanya mengikuti

keinginan pemimpin.

Tujuan dari etika politik al-Fārābī adalah untuk mencapai para warga

menuju kebahagiaan, dengan memberikan rincian kriteria pemimpin ideal.

Kemudian keinginan untuk menjadikan seorang pemimpin failasuf-nabi adalah

dengan metoe pengangkatan pemimpin melalui proses penunjukan langsung

sebagaiman seorang nabi yang ditunjuk menjadi pemimpin oleh Tuhan.

Kata Kunci: Etika, Politik, Etika Politik, al-Fārābī

Page 6: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

vi

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta

salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Agama (S.Ag.) pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

baik materiil dan immateriil, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan

terimakasih kepada:

1. Iqbal Hasanuddin, M. Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah

bersedia meluangkan waktunya, dengan sabar membimbing penulis,

terimakasih atas semua kritik dan saran yang membangun sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. H. Masri Mansoer, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dra. Tien Rohmatin, MA, selaku Ketua Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam dan Dr. Abdul Hakim Wahid, MA, selaku sekertaris

Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

vii

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen, khususnya Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam, Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, beserta Civitas

Akademik, yang telah setia melayani penulis dalam segala keperluan

untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Mimi Yoyoh

dan Bapak Sukma yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya

selama ini, serta doa yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai. Tak

lupa kepada kedua adik tercinta Nurul Hikmah dan Jamaluddin yang

telah menjadi pemacu semangat.

7. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Suami tercinta

Abdurohman, yang tak pernah lelah menasehati, membimbing, dan

mensuport penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Terimakasih kepada Cak Gugus Joko Waskito, selaku Staff Khusus

Kementrian Agama Republik Indonesia, yang telah menjadi orang tua

(Ciputat) penulis selama menyelesaikan studi ini.

9. Terimakasih kepada Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Banten,

Teti, Bintang, Ka Adhiya, Afif, Robi, Awad, Cucun Tahlina, Mazidah,

Jamilatul Faidzah, dll yang telah menyemangati penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

10. Triana Sugesti, Fitrotul Azizah, Teti Pujiawati, Aulia Ning Ma‟rifati,

Mursyidah, Dalilah Ukhriyati, Selfiana Manurung, Nuramalia Dini

Priatmi, Rizka Widayanti, Nur Intan, Siti Nurliana Sari, Anita Amalia,

Page 8: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

viii

Cici Zulaikha teman setia penulis yang menemani perjalanan dalam

suka maupun duka.

11. Tim RJA DPR-RI Kalibata Mba Eva, Mba Aya, Mba Sofi, Mba Reni,

Teh Imas, Mba Vivin, Mba Sarah, Mba Anes, Bang Izul, Mas

Rahman, Bang Emy, Cak Iqbal, Kafi, Ka Yahya, yang telah

memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

12. Keluarga besar Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, yang telah

menemani berjuang dan belajar bersama di kampus tercinta ini.

Terimakasih atas bantuan kepada semua pihak yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini,

semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah

yang tidak pernah berhenti mengalir, Amin. Penulis berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan para pembaca umumnya.

Ciputat,19 Juli 2018

Siti Salbiyah

NIM.1113033100040

Page 9: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ................................................................................ vi

DAFTAR ISI ............................................................................................... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah........................................................ 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7

D. Tinjauan Kepustakaan ...................................................................... 8

E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 10

BAB II RIWAYAT HIDUP AL-FĀRĀBĪ

A. Pendidikan ....................................................................................... 11

B. Kehidupan Sosial Politik ................................................................. 13

C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik ................................................. 15

D. Karya-Karya .................................................................................... 20

BAB III ETIKA POLITIK

A. Pengertian Etika Politik .................................................................. 25

B. Etika Politik Platon ......................................................................... 35

C. Etika Politik Aristoteles .................................................................. 39

D. Al-Fārābī sebagai Penafsir Etika Politik Platon dan Aristoteles..... 43

BAB IV KAJIAN KRITIS TENTANG ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-

FĀRĀBĪ

A. Masyarakat Ideal Pandangan al-Fārābī ........................................... 45

B. Konsep Negara Ideal/Utama al-Fārābī ............................................ 48

1. Konsep Daya menurut al-Fārābī ............................................... 50

2. Konsep Kebahagiaan menurut al-Fārābī ................................... 51

3. Konsep Negara menurut al-Fārābī ............................................ 53

C. Konsep Kepemimpinan Politik ....................................................... 58

D. Lawan-Lawan Negara Utama ......................................................... 63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 65

B. Saran ............................................................................................... 66

Page 10: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

x

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 69

Page 11: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ṭ ṭ ط a a ا

ẓ ẓ ظ b b ب

„ „ ع t t ت

gh gh غ ts th ث

f f ف j j ج

q q ق ḥ ḥ ح

k k ك kh kh خ

l l ل d d د

m m م dz dh ذ

n n ن r r ر

w w و z z ز

h h ه s s س

, , ء sy sh ش

y y ي ṣ ṣ ص

h h ة ḍ ḍ ض

VOKAL PANJANG

Arab Indonesia Inggris

ā ā آ

ī ī إى

ū ū أوْ

Page 12: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Etika merupakan cabang falsafat yang merefleksikan tugas manusia dalam

upaya menggali nilai-nilai moral. Kedudukan etika dalam kehidupan manusia

menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan

bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana

etikanya. Apabila etikanya baik, sejahteralah lahir batinnya; bila etikanya rusak,

rusaklah lahir dan batinnya.1

Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

memunyai banyak arti. Etika, misalnya, diartikan sebagai kebiasaan (habits) yang

berarti adat, atau akhlak, atau watak, atau perasaan, atau sikap dan cara berpikir.

Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Maka “etika”

berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.2

Sedangkan menurut bahasa terminologi etika berarti perasaan batin, atau

kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Pada sisi lain etika adalah ilmu

tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak dan kewajiban, ilmu

tentang kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia,

ilmu tentang nilai mengenai benar-salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk dan

1M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.

2. 2K. Bertens, Etika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 4-5.

Page 13: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

2

kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat.3 Etika juga diartikan

sebagai kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan

kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan.4

Kata “politik”, dari kata “polis” dalam bahasa Yunani yang berarti kota

atau negara kota. Politik menurut etimologi adalah sesuatu yang berhubungan

antara warga negara pada suatu negara. Sedangkan pada sisi lain politik sering

juga diartikan sebagai kekuasaan. Terkadang seorang penguasa harus memiliki

kemampuan memaksa dan mengendalikan orang lain karena manusia kadang-

kadang tidak mengerti akan batas-batas kepentingan pribadi yang sesungguhnya.

Oleh sebab itu, tindakan seorang pemimpin harus mengatur masyarakat agar tidak

terjadi kekacauan.5

Selanjutnya dikatkan lagi bahwa politik berasal dari kata “polis” yang

berarti “Negara Kota”. Dengan politik berarti ada hubungan khusus antara

manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan kewenangan dan

kekuasaan bagi pelakunya. Oleh karenanya pelaku politik haruslah cerdik dan

bijaksana dalam menentukan dan melaksanakan tujuan-tujuannya.6

Ada banyak pandangan tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan

“politik” dan tidak ada satupun dari pandangan-pandangan tersebut yang dapat

diterima secara luas karena memiliki keunggulan teoritis dari pandangan-

pandangan lainnya. Politik, yang berasal dari bahasa Yunani itu, yakni polis yang

3Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etik, h.4-5.

4H. A. W. Widjaja, Etika Pemerintahan (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h.8.

5Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Kompas, 2004), h.7.

6Inu Kencana Syafi‟I, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. Ke-1, h.19.

Page 14: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

3

berarti kota, negara kota dari polis itu berkembang konsep polites yang bermakna

warga negara dan konsep politikos yang berarti kewarganegaraan. Maka dari

penjelasan etimologis, disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang

berhubungan antara warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar

katanya dalam bahasa Inggris, adalah politics, yang bermakna bijaksana.

Kemudian jika kita menyatukan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari

bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun dari bahasa Yunani itu,

maka politik dapat dipahami sebagai sesuatu proses dan sistem penentuan dan

pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam suatu negara

kota.7

Pembahasan al-Fārābī tentang akhlak dan politik tidak bisa dilepaskan dari

teorinya tentang jiwa manusia karena pembangunan akhlak dan politik itu

haruslah bertujuan terwujudnya jiwa-jiwa yang utama, yang berbahagia, baik

dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan mendatang. Ilmu akhlak,

bagi al-Fārābī, tidak lain dari bahasan tentang keutamaan-keutamaan, yang dapat

menyampaikan manusia kepada tujuan hidupnya yang tertinggi, yaitu

kebahagiaan.

Kebahagiaan dapat dicapai melalui upaya terus-menerus mengamalkan

perbuatan yang terpuji berdasarkan kesadaran dan kemauan. Siapa yang

merindukan kebahagiaan, maka wajiblah ia berusaha terus-menerus

menumbuhkan dan mengembangkan sifat-sifat baik yang terdapat dalam jiwa

secara potensial, dan dengan upaya-upaya demikian, sifat-sifat baik itu akan

7P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h.6.

Page 15: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

4

tumbuh dan berakar secara aktual dalam jiwa. Latihan adalah unsur yang penting,

kata al-Fārābī, untuk memperoleh akhlak terpuji atau tercela, dan dengan latihan

terus menerus terwujudlah kebiasaan.8

Dalam tulisannya tentang politik, al-Fārābī menjelaskan bahwa manusia

itu bersifat sosial, tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Manusia butuh hidup

bermasyarakat dan perlu bekerja sama, bantu-membantu untuk mencapai tujuan

hidup, yakni kebahagiaan. Masyarakat yang mampu bekerja sama untuk mencapai

kebahagiaan itu disebutnya masyarakat utama.9

Sebenarnya nama al-Fārābī diambil dari nama kota Fārāb, tempat ia

dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H. Nama lengkapnya

adalah Abū Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Fārābī,

yang biasa disingkat saja menjadi al-Fārābī. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik farab,

Turkistan pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. Ayahnya seorang jenderal

berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.10

Pada waktu mudanya, al-Fārābī pernah belajar bahasa dan sastra Arab di

Bagdad kepada Abu Bakar al-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr

Mattitus ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan

filsafat Yunani, dan kepada Yuhanna ibn Hailam. Kemudian ia pindah ke Harran,

8Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan,2003), h.74

9Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h.76

10Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2009), h. 15.

Page 16: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

5

pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad.

Tetapi tidak berapa lama, ia kembali ke Bagdad untuk memperdalam filsafat.11

Menurut al-Fārābī, politik yang paling baik adalah sistem demokrasi, dan

bentuk negara yang paling baik adalah negara utama (Al-Madinah Al-Fadilah),

sedangkan kedaulatan negara yang paling baik adalah autokrasi dengan seorang

yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut al-Fārābī, Negara yang utama

(al-Madinatul fadilah) ialah kota (negara) yang warga-warganya tersusun menurut

susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan kecil (mikrokosmos).

Di dalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara. Dimisalkan dengan hati,

yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena hati adalah unsur badan

manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara juga haruslah dipilih orang

yang paling sempurna dari semua warga Negara (kota).

Al-Fārābī adalah salah satu pemikir politik muslim yang menggabungkan

antara teori-teori politik dari para filsuf Yunani seperti Platon, Aristoteles dan

Plotinus dengan ajaran Islam. Teori-teori politik al-Fārābī sangat kental dengan

nuansa teologis yang bermuara kepada kesatuan, tujuan sejati manusia yaitu

memperoleh kebahagiaan baik duniawi maupun ukhrowi. Teori politik al-Fārābī

hampir mustahil untuk dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dinegara manapun

karena persyaratannya yang sangat berat.12

Maka dari itu, dalam pemikiran al-

Fārābī, politik menduduki tempat yang terpenting karena semua bagian

falsafatnya mempunyai tujuan politik. Namun, politik bukanlah tujuan dirinya,

11

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 32 12

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI

Press, 2001), h.41

Page 17: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

6

tapi sebagai sarana untuk memeroleh tujuan terakhir bagi manusia, yakni

kebahagaiaan.

Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan cara

hidup yang dijalankan. Terlebih al-Fārābī berpendapat bahwa kebahagiaan yang

hakiki (sebenarnya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi

sesudah kehidupan sekarang yaitu ahirat. Namun, sekarang ada juga kebahagiaan

yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat

nampak dan dijadikan pedoman hidup.13

Al-Fārābī telah menyumbangkan pemikiran etika politiknya terhadap

khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, di dalam konsep negara

utama al-Fārābī, kepala negara adalah satu-satunya orang yang memegang

peranan penting, karena kedudukan kepala negara sama dengan kedudukan

jantung dalam sistem organ tubuh manusia, sumber dan pusat kordinasi sebagai

suatu hal yang penting di dalam diri manusia yang sempurna. Oleh karena itu,

pekerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis, melainkan etis.14

Al-Fārābī dengan tegas mengatakan bahwa di dalam jiwa seorang

pemimpin itu ia menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki ialah bijak, berbadan

kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, tidak

13

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), h.49. 14

Al-Fārābī, Ăra‟ Ahl-Madīnah al-Fādilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh Richard

Walzer al-Farabi on The Perfect State (Oxford: Claeedon Press,1985), h.247.

Page 18: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

7

rakus pada kenikmatan, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil, dan teladan

bagi semua orang.15

Dari berbagai pengertian di atas menurut penulis, dalam ketatanegaraan

seorang pemimpin harus memiliki suatu etika politik yang baik, yang nantinya

akan mewujudkan suatu kota utama yang didalamnya melalui perkumpulan

bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya.

Dengan demikian, dari hasil analisa “pandangan” di atas, menarik

perhatian penulis untuk memahami lebih dalam tentang etika politik perspektif al-

Fārābī. Untuk itu penulis tertarik mengajinya dengan melalui skripsi yang

berjudul: “Etika Politik Perspektif Al-Fārābī”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar skripsi ini dapat terarah, tersistematisasi maksudnya, penulis ingin

memberi batasan masalah yang akan dianalisis. Untuk itu pembatasan penulisan

skripsi ini adalah tentang Etika Politik menurut al-Fārābī.

Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, untuk mengetahui

jawaban dan masalah secara terarah maka di buat satu pertanyaan: Bagaimana

Etika Politik menurut al-Fārābī?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi “Etika Politik Perspektif

15

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. (Bandung:

Mizan,2002), h.12.

Page 19: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

8

al-Fārābī”, Yang bertujuan untuk menceritakan secara luas tentang etika berpolitik

yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat

bagi bangsa- bangsa dan setiap warga negara.

Penelitian ini juga dilakukan untuk memenuhi persyaratan memeroleh

gelar Sarjana Strata Satu (S1), namun juga memberikan manfaat pada khalayak

dengan memperkaya pengetahuan falsafat tentang etika politik dalam perspektif

al-Fārābī. Penulis berharap penelitian ini juga memberikan pandangan untuk

mencari pemimpin yang beretika.

D. Tinjauan Pustaka

Dengan melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil karya

yang membahas tentang pemikiran politik al-Fārābī. Adapun karya tersebut

adalah: Ārā‟ Ahl-Madīnah al-Fāḍilah, yang menjelaskan tentang hubungan sosial

antara masyarakat dengan masyarakat negara, negara (bangsa) dengan negara.

Selain karya di atas; penulis juga menemukan beberapa buku yang

membahas tentang falsafat politik al-Fārābī, seperti buku yang berjudul Negara

Utama menurut al-Fārābī, yang ditulis oleh Ahmad Zainal Abidin. Di dalam

bukunya ia menggambarkan Negara Utama menurut al- Fārābī, dan buku tersebut

membahas tentang bagaimana hubungan sosial antara masyarakat dengan

masyarakat dan negara dengan negara.

Selanjutnya yaitu buku yang berjudul Filsafat Politik Islam: Antara Al-

Farabi dan Khomeini, yang dikarang oleh Yamani. Di dalam bukunya, Yamani

Page 20: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

9

membahas perbandingan pemikiran Khomeini dengan pemikiran al-Fārābī dengan

beberapa tujuan. Pertama, ia memaparkan filsafat politik al-Fārābī yang belum

banyak diketahui. Padahal banyak peneliti yang percaya bahwa pemikiran tokoh

ini merupakan suatu upaya yang cukup brhasil dalam menjelaskan batang tubuh

falsafat klasik. Kedua, penyandingan ini bermaksud untuk melacak kemungkinan

adanya akar-akar Wilayah al- Faqih pemikiran Ayatullah Khomeini dalam

seorang pemimpin yang saleh, arif, dan bijaksana, bahkan dianggap ma‟sun

berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala agama.

Selain buku-buku dan karya-karyanya, penulis juga telah menemukan

karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Muhammad

Fanshobi salah satu Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Aqidah –

Falsafat, angkatan 2009. Adapun skripsi tersebut berjudul Konsep Kepemimpinan

Dalam Negara Utama Al- Farabi. Di dalam skripsinya, ia membahas konsep

kepemimpinan dalam Negara Utama menurut al-Fārābī dengan Fokus pada empat

(4) hal: kepemimpinan menurut al-Fārābī, tugas dan fungsi pemimpin, kriteria

kepala negara, pengangkatan kepala negara. Negara Ideal/utama al-Fārābī

berpijak pada tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī

menyebutkan bagaimana caranya menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah

manusia harus berada ditangan pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai

dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.

Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk

skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Amirullah mahasiswa UIN Syarif

Hidayatullah Fakultas Syari‟ah dan Hukum Jurusan Jinsayah Siyasah Program

Page 21: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

10

Studi Siyasah Syar‟itah, angkatan 2002. Skripsi tersebut berjudul Negara Utama

al-Fārābī dan Ide Demokrasi. Di dalam skripsinya ia membahas tentang al-Fārābī

yang telah menumbangkan pemikiran falsafat politiknya terhadap khazanah

pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan istilah Negara

Utama. Konsep tersebut merupakan sebuah perkumpulan kerjasama manusia

untuk mencapai tujuan yang ingin mendapatkan kebahagiaan. Negara Utama al-

Fārābī merupakan sebuah konsep politik Islam yang lahir pada abad klasik,

berbeda dari demokrasi yang pada kenyataannya berkembang pesat hingga saat

ini. Pemkiran al-Fārābī yang lain sejalan dengan falsafat politik Platon adalah

mengenai bentuk negara ideal yang diidealkan oleh keduanya, yaitu bentuk

Negara Kota. al-Fārābī mengidolakan Negara Kota yang utama, bukan bentuk

negara demokratis, seperti juga Platon dan Aristoteles.

Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan di atas

adalah bahwa penulis memfokuskan tulisan pembahasan terhadap Etika Politik

perspektif al-Fārābī seperti didalam bukunya yang berjudul “Ārā‟ Ahl-Madīnah

al-Fāḍilah”. Di mana seorang pemimpin itu harus memiliki akhlak mulia.

Page 22: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

11

E. METODE PENELITAN

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset

pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis

penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi

berkaitan dengan masalah penelitian.16

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer,sekunder, dan lainnya. Data primer merujuk kepada buku hasil karya al-

Fārābī, seperti Ārā‟ Ahl-Madīnah al-Fāḍilah. Data sekunder, berupa tulisan-

tulisan, baik dalam bentuk buku ataupun artikel, yang mengandung pembahasan

Etika Politik perspektif al-Fārābī yang ditulis oleh para sarjana, peneliti dan

cendikiawan. Data yang lain ialah seperti ensiklopedia, internet, jurnal dan lain-

lain. Metode yang digunakan oleh penulis yaitu metode pendekatan kualitatif.

Teknik penulisan pada skrispsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan

Skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di buku Pedoman

Akademik tahun 2013.

16

Consuelo G Sevilla dkk.,Pengantar Metodologi Penelitian,(Jakarta: UI

Press,1993),h.37

Page 23: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

11

BAB II

RIWAYAT HIDUP AL-FĀRĀBĪ

A. Pendidikan Al-Fārābī

Nama al- Fārābī mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn

ṭorhan Al- Fārābī. Sebenarnya nama Al- Fārābī diambil dari nama kota Fārāb,

tempat ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H. Nama

lengkapnya adalah Abū Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlag

al-Fārābī, yang biasa disingkat saja menjadi al-Fārābī. Ia dilahirkan di Wasij,

Distrik farab, Turkistan pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. Ayahnya seorang

jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.17

Pada masa remajanya ia telah hijrah bersama orang tuanya ke Bagdad, tapi

menurut informasi lain, ia telah bekerja sebagai hakim dan kemudian baru berada

di Bagdad pada usia 50 tahun atau pada usia 40 tahun. Disana ia dapat berdiskusi

dan saling mengambil manfaat dengan banyak ahli dalam berbagai bidang. Al-

Fārābī mendapat gelar kehormatan sebagai guru kedua dengan catatan bahwa

gelar guru pertama dialamatkan orang kepada Aristoteles.

Selama hidupnya al-Fārābī selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke

waktu. Saat kecil ia dikenal sangat rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas. Ia

banyak memelajari agama dan bahasa di tempat kelahirannya yaitu desa kecil

17

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2009), h. 15.

Page 24: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

13

bernama Wāsij, Fārāb, daerah dekat sungai Jaxartes dan di daerah Transoxiana

yang masih masuk wilayah Turkistan.18

Pada saat muda ia belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhārā. Setelah

mendapat pendidikan awal, al-Fārābī belajar logika kepada seorang Kristen

Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhannah ibn Haylān. Pada masa

kekhalifahan al-Mu‟tadīd (892-902), al-Fārābī dan Yuḥannah ibn Haylān pergi ke

Bahgdad dan al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī selanjutnya banyak

memberi sumbangsih dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab

meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.

Pada kekhalifahan al-Muktafi (902-908) dan awal kekhalifahan al-

Muqtadir (908-932) al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī pergi ke

Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun serta memelajari seluruh

silabus filsafat. Pada tahun 297 H. bersamaan 910 M., ia telah kembali ke

Baghdad. Kembalinya ia ke Baghdad adalah untuk belajar, mengajar, mengaji

buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Setelah hijrah

ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20 tahun, ia memerdalam ilmu-ilmu

filsafat, logika, etika, ilmu politk, musik dan lain sebagainya.19

Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan

dengan Saif al-Daulah al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan

memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang

18

M.M. Syarif (Ed), Para Filosof Muslim, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung:

Mizan, 1994), cet.7, h.55-58. 19

Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol.1,

Cet. Ke-4, h. 331.

Page 25: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

14

besar sekali, tetapi al-Fārābī lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak

tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham

saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, hal yang

menggembirakannya di tempat yang baru ini, al-Fārābī bertemu dengan para

sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fikih, dan kaum cendekiawan lainnya. Al-

Fārābī adalah seorang filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak

bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta

mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti

Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.

Pengetahuan al-Fārābī yang mendalam mengenai filsafat Yunani, seperti Plato

dan Aristoteles, sehingga ia dijuluki al-Mu‟allim al-Tsani (guru kedua).20

Al-Fārābī wafat di Damaskus pada 950 M. Usianya pada saat itu sekitar

delapan puluh tahun.21

Ia dikebumikan di sebuah perkuburan di bagian luar pintu

selatan dan pintu sampingan kota tersebut. Syaf al-Dawlah sendiri yang memberi

tahu para pembesar negeri untuk menyalati jenazah al-Fārābī.22

B. Kehidupan Sosial Politik

Periode akhir „Abbāsiyyah merupakan masa yang di dalamnya kekuasaan

khalifah mengalami kemunduran, sedangkan yang sesungguhnya berkuasa adalah

dinasti-dinasti baru yaitu Turki dan Persia yang berada di batas luar. Pada

20

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.33. 21

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan,

2002), h.57. 22

Muhammad Fanshobi, Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi,

(Ciputat: Skripsi UIN Jakarta, 2014), h. 12.

Page 26: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

15

akhirnya, dinasti ini menguasai Bagdad itu sendiri, dan khalifahpun praktis seperti

boneka di tangan mereka.23

Al-Fārābī hidup pada zaman kekuasaan Dinasti „Abbāsiyyah yang

digoncang oleh berbagai macam gejolak, pertentangan, dan pemberontakan,

dengan berbagai motif, agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-anak raja

berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekayaan milik nenek moyang

mereka khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba bermaksud

mengkudeta, bekerja sama dengan kelompok Syī‟ah yang berkeyakinan lebih

berhak memerintah dan berkuasa dari keturunan „Abbās, paman Nabi

Muḥammad. Stabilitas lebih kacau lagi dengan hilangnya Imam Muḥammad

Mahdī (Imam keduabelas dari Syī‟ah Imāmiyyah) dalam usia empat atau lima

tahun.24

Khalifah „Abbāsiyyah ketika al-Fārābī lahir adalah al-Mu‟tamid. Al-

Mu‟tamid mengangkat Nashr ibn Ahmad menjadi gubernur untuk seluruh

Transoxiana kendatipun fakta menunjukkan bahwa Isma‟illah yang memenangi

pertikaian. Isma‟il menghormati pengangkatan ini sampai kematian saudaranya

pada 892 M.25

Pada hidupnya al-Fārābī tidak dekat dengan penguasa dan tidak

menduduki salah satu jabatan pemerintah. Ia lahir pada zaman pemerintahan

Khalifah al-Mu‟tamid (892-902 M) dan meninggal pada masa Khalifah al-Muṭī

23

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.52 24

Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-1, h.79. 25

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.53.

Page 27: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

16

yang merupakan suatu periode paling kacau dengan stabilitas politik yang sangat

mengenaskan. Hal ini disinyalir menyebabkan dirinya merasa perlu untuk

memikirkan dan menemukan pola perilaku kehidupan bernegara dengan bentuk

pemerintahan yang ideal di samping pengaruh dari pendidikan falsafat Yunani

yang banyak dipelajarinya.

Stabilitas politik dan kondisi kehidupan al-Fārābī menunjukkan bahwa ia

hidup di dalam sebuah negara yang mengalami kekacauan yang ditimpa dari

berbagai macam konflik yang dilatarbelakangi adanya motif kekuasaan politik,

membuat al-Fārābī dalam kehidupannya memberikan beberapa konsep tentang

politik khususnya terhadap negara.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran al-Fārābī

dilatarbelakangi dengan beberapa poin. Pertama, adanya kondisi kehidupan yang

kacau yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Kedua, stabilitas politik yang

tidak aman, yang mengalami beberapa pergantian khalifah. Dari kedua faktor

tersebut al-Fārābī menuangkan pemikirannya di dalam falsafat politiknya terdapat

beberapa sifat-sifat dan etika seorang pemimpin.

C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik

Sebagaimana para failasuf Muslim lain pada umumnya, pemikiran-

pemikiran falsafi al-Fārābī tidak luput dari pengaruh peikiran-pemikiran para

failasuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus.

Page 28: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

17

Pengaruh Plato bisa dilihat ketika al-Fārābī membahas tentang kelas-kelas

sosial dalam masyarakat. Sebagaimana ditulis dalam Taḥṣīl „alā Sabīl al-Sa‟ādah,

dia menyatakan bahwa, sesuai pekerjaannya, masyarakat terbagi menjadi tiga

golongan yaitu; „āmmah, khāṣṣah dan akhaṣṣ al-khāṣṣ, dengan menjunjung tinggi

keadilan sebagai barometer kebaikan.26

Keadilan merupakan hal yang penting

dalam menciptakan suatu masyarakat yang ideal.

Pendapat ini tak jauh berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan

bahwa negara yang ideal harus berdasar keadilan. Keadilan ini tercapai apabila

tiap-tiap orang melakukan pekerjaannya. Berhubungan dengan pekerjaan, Plato

membagi penduduk dalam tiga golongan yaitu, golongan terbawah yang terdiri

dari rakyat jelata, golongan tengah sebagai penjaga dan golongan atas adalah

pemerintah atau failasuf.27

Golongan bawah adalah mereka yang bekerja untuk menghasilkan

kebutuhan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka tak boleh turut andil dalam

pemerintahan tetapi boleh memiliki hak milik, harta, rumah tangga sendiri, dan

hidup dalam rumah masing-masing. Penekanan pendidikan pada golongan ini

adalah budi yang pandai menguasai diri.

Golongan tengah adalah mereka yang bertugas memertahankan serangan

dari musuh dan menegakkan undang-undang. Mereka tidak boleh memiliki harta

perseorangan dan keluarga karena hidup dalam sistem komunisme, termasuk

26

Muhammad Fanshobi, Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi , skripsi

h-15. 27

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h.145.

Page 29: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

18

dalam hal perempuan dan anak-anak. Anak-anak yang lahir dipelihara negara.

Mereka mengaku semua penjaga sebagai bapak, begitu pula sikap terhadap ibu.

Laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan yang sama juga kesempatan untuk

menjadi penjaga. Keberanian adalah budi yang dituntut golongan ini.

Golongan paling atas adalah pemerintah atau filasuf. Merek adalah orang-

orang terpilih dari kelas penjaga setelah melewati proses khusus. Tugas mereka

adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Selain itu,

waktu luang yang dimiliki digunakan untuk memerdalam kesempurnaan budi

kebijaksanaan.

Plato, dengan bertitik tolak dari manusia yang harmonis dan adil,

menggunakan jiwa manusia atas tiga fungsi, yaitu keinginan, energi dan rasio

(ephitymia, enerji, thymas, dan logos). Jika keinginan dan enerji dibawah

pimpinan rasio dapat berkembang sebagaimana mestinya, menurut Plato, akan

muncullah manusia yang harmonis dan adil. Secara analogis dengan bagian-

bagian jiwa ini, Plato menganggap bahwa negara itu laksana manusia besar,

sebagai organisme tertinggi dari tiga bagian atau tiga golongan, yang masing-

masing sepadan dengan bagian jiwa. Tiga bagian tersebut ialah; pertama,

golongan produktif, yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang, ephitymia.

Kedua, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, thymas. Ketiga,

golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.28

28

P.A Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote

Filosofen over de Mens, (Jakarta: Gramedia, 1988), h.16-17.

Page 30: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

19

Platon adalah pencipta ajaran serba cita (idenleer), karena itu filsafatanya

disebut idealisme. Ajaran Plao lahir karena pergaulannya dengan kaum sofis.

Plato beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh berkat pengamatan panca

indera adalah bersifat relatif. Memang, lanjut Plato, kebajikan tidak mungkin ada

tanpa adanya pengetahuan, namun pengetahuan (yang sebenarnya) tidak hanya

terbatas pada pengamatan (inderawi). Pengetahuan, bagi Plato, lahir dari alam,

bukan benda. Bentuk-bentuk dari benda yang diamati melalui panca indera

hanyalah bayangan dari kenyataan-kenyataan alam bukan benda, di mana benda-

benda itu ada dalam bentuk yang lebih murni. Cita (ide) kuda misalnya, yang

mempunyai sifat-sifat benda dalam bentu yang murni tidak dapat diamati di dunia

ini. Kuda yang kita lihat sekarang, berbeda sama sekali dalam bentuk, warna, dan

sifatnya. Kemudian Plato bertanya kepada diri sendiri, “Apa sebabnya kita

mengenali kuda dalam gejala yang sedemikian rupa?” “Karena,” dia menjawab

sendiri, “Jiwa manusia telah bermukim lebih dahulu dalam alam serba cita murni

sebelum ia memasuki badan, di alam serba cita itu, manusia telah melihat cita dari

kuda itu dan kemudian ia kenal kuda tersebut dalam bentuknya yang kurang

sempurna di dunia ini.”29

Dalam pandangan politik al-Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua

failasuf besar Yunani (Platon dan Aristoteles). Ketika berbicara tentang politik

dan negara, al-Fārābī , selain mengaitkan dalam proposisi-proposisi teologis,

berpijak dalam dunia nyata dengan memberi alternatif pada kemungkinan tidak

ditemukannya pimpinan negara pada peringkat yang paling sempurna, dengan

29

P.A Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, h.16-17.

Page 31: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

20

mendistribusikan kecakapan individual kepada kecakapan dan profesionalitas

kolektif.30

Berkenaan dengan pemikiran politik Aristoteles, pada umumnya, orang

hanya menganggap sebagai langkah penting ke arah lebih maju dari Plato karena

dia (Aristoteles) adalah seorang realis. Akan tetapi, pada dasarnya. Aristoteles

juga seorang idealis dan menjadikan alam pikiran sebagai pokok penyelidikan,

hingga kemudian orang mendapat tanggapan-tanggapan abstrak seperti adil, tidak

adil, negara dan lain sebagainya, yang sangat berarti pada dunia kenyataan.

Aristoteles juga berpendapat seperti Plato, bahwa dalam suatu masyarakat

rohani yang hasnya terbatas dan terdiri dari orang-orang merdeka, ada lebih besar

harapan akan terciptanya keadilan. Ini berarti seyogyanya pemerintah harus

membuat masyarakat yang dipimpinnya merasa merdeka sambil menjalankan

pemerintah yang adil dan bijaksana. Keadaan ini untuk Plato hanya merupakan

tanggapan pikiran, sedangkan Aristoteles memerdalam penyelidikannya untuk

menciptakan dan mempertahankan keadaan tersebut. Pada akhirnya, baik Plato

maupun Aristoteles berpendapat bahwa jika tidak ada kecenderungan etis dan

sosial pada warga negara, maka tak ada harapan akan tercapai suatu keadilan yang

tertinggi dalam negara meskipun yang memerintah orang-orang baik dan dengan

undang-undang yang baik pula. Maka ini semua laksana jiwa dan badan yang

harus ada keseimbangan sebagai keadilan.31

30

Al-Fārābī, Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah, h.126. 31

J.J Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato sampai

Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over Staat en Recht (von Plato

tot Kant) (Jakarta: Pembangunan, 1965), h.46.

Page 32: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

21

Pandangan kedua failasuf (Plato dan Aristoteles) itu kemudian dianalisis

oleh al-Fārābī sebagai suatu (kebajikan) yang mutlak menjadi persyaratan bagi

pimpinan negara/kota. Keadilan, secara operasional, harus diterapkan dalam

pembagian kebajikan kepada seluruh warga kota/negaral. Kebajikan itu dapat

berupa kedamaian, harta benda, penghormatan dan lain sebagainya dan siapa yang

mngurangi bagian itu – lanjut al-Fārābī dia adalah orang yang curang dan tidak

patut menjadi pimpinan.

D. Karya-karya

Al-Fārābī hampir menulis seluruh karyanya dalam bahasa Arab. Sebagian

besar karyanya itu difokuskan pada kajian mengenai logika. Dalam bidang ini, dia

menulis komentar atas seluruh bagian Organon-nya Aristoteles, di samping

komentar atas Isagoge, karya Porphyry. Di luar komentar-komentar tersebut, al-

Fārābī juga menulis risalah-risalah pendek tentang aspek-aspek tertentu logika.

Karyanya yang menarik dan penting dalam kategori ini adalah tulisan-tulisannya

mengenai hadis Nabi Saw, yang dikumpulkannya dengan tujuan untuk

mendemonstrasikan bahwa sesungguhnya hadis-hadis tersebut menganjurkan seni

logika Aristoteles.32

Karya-karyanya yang lain meliputi cabang filsafat yang lain, yakni fisika

atau filsafat alam (natural philosophy), termasuk psikologi. Di samping beberapa

karya yang dikhususkan untuk menyangkal pandangan-pandangan beberapa

filosof dan ahli teologi tertentu tentang fisika.

32

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan,

2002), h. 57.

Page 33: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

22

Di bidang matematika, dia menulis komentar atas karya Phytagoras dan

Ptolemeus. Namun, karyanya yang terpenting di bidang ini justru mengenai

musik. Yang terpenting di antaranya adalah Al-Musīqa Al-Kabīr. Karya al-Fārābī

yang satu ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai karya terbaik di bidang

musik yang pernah ditulis orang di Abad Pertengahan. Khusus di bidang musik

ini, al-Fārābī adalah seorang komposer dan pemain musik sekaligus.

Kategori penting lain dari karya al-Fārābī adalah kira-kira lima belas

tulisannya tentang ilmu-ilmu metafisika. Di samping logika diantara ilmu-ilmu

teoritis, di bidang inilah al-Fārābī dianggap menyumbang paling besar bagi

wacana filsafat Abad Pertengahan. Di antara karya-karanya di bidang ini, terdapat

suatu judul, Fushūs al-Hikam yang dianggap kontroversial karena kandungannya

yang berbeda dengan umumnya karya al-Fārābī lainnya. Jika karya-karyanya yang

lain bisa disebut sebagai bersifat eksoteris (zhāhiriyyah) dan Aristotelian,

karyanya yang satu ini lebih bersifat esoteris (bāthiniyyah) dan sufistik.

Betapapun ditentang oleh sebagian kalangan, beberapa ahli di bidang ini termasuk

Seyyed Hossein Nasr percaya sepenuhnya pada keautentikannya sebagai karya al-

Fārābī. Karya-karya metafisika al-Fārābī yang selebihnya mencakup Al-Jam‟bain

Ra‟yai Al-Hakīmain Aflātūn Al-Ilāhī wa Aristūthalis (Kitab Keselarasan Pikiran

Plato dan Aristoteles).

Di bidang ilmu-ilmu teoretis ini, karya al-Fārābī masih dilengkapi oleh

beberapa buku tentang astrologi persisnya tentang hukum-hukum astrologi

(Aḥkām Al-Nujūm), alkemi, dan penafsiran mimpi serta aspek-aspek linguistik dan

Page 34: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

23

ilmu-ilmu teologi. Di luar ilmu-ilmu teoretis, ketenaran al-Fārābī terutama

bersumber pada karya-karya di bidang ilmu-ilmu praktis, yakni di bidang ilmu-

ilmu kemasyarakatan (al-ulūm al-madani), khususnya ilmu politik. Di antara

karyanya yang harus disebut di bidang ini termasuk Arā Ahl Al-Madīnah Al-

Fādhilah (Pendapat-Pendapat para Warga Kota Utama), Al-Siyāsah Al-

Madaniyyah (Pemerintahan Negara Kota), Fushūl Al-Madanī (Aforisme-

Aforisme Negarawan), dan Taḥsīl Al-Sa‟adah (Pencapaian Kebahagiaan), yang

antara lain menjadi dasar penulisan filsafat al-Fārābī dalam buku yang ada di

hadapan pembaca ini. Di dalam karya-karya ini sebagian peneliti al-Fārābī

melihat keberhasilannya dalam menyitesiskan pandangan-pandangan para filosof

Yunani, khususnya Plato dengan doktrin-doktrin Islam sebagaimana terungkap

dalam Al-Quran dan Sunnah. Karya-karya politik al-Fārābī ini memberikan

pengaruh yang besar atas banyak pemikir Muslim dan Yahudi, khususnya sejak

abad ke-13.33

Demikianlah jumlah buku-buku karangan al-Fārābī. Kita menyadari

bahwa pembagiannya kepada tiga bidang di atas (politik dan hukum, sosial dan

ekonomi, dan akhlak), tidaklah begitu tepat. Tidak mungkin suatu buku

membatasi dirinya kepada suatu bidang saja dengan tidak mencampuri bidang

lainnya. Misalnya buku-buku mengenai kebaghagiaan, dapat dimasukkan ke

dalam soal sosial dan ekonomi, sebagai tujuan negara, tetapi dapat juga

dimasukkan dalam soal politik, bahkan juga dalam bidang akhlak. Dari buku-buku

33 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.58-59

Page 35: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

24

yang disebutkan di atas ada tiga buah buku yang merupakan puncak tertinggi dari

setiap bidang yaitu:

1. Mabādī Arā Ahl al-Madīnah al-Fādilah, dalam soal politik

2. Siyāsah al-Madāniyyah dalam soal sosial dan ekonomi

3. Al-Sīrāt al-Fadīlah dalam soal akhlak

Jika buku-buku tersebut merupakan puncak di bidang masing-masing itu

dihimpun menjadi satu, kita dapat melihat kesempurnaan yang mengagumkan

bagi uraian-uraian al-Fārābī di bidang ilmu kenegaraan. Buku-buku inilah yang

menjadi konsepsi al-Fārābī.

Page 36: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

25

BAB III

ETIKA POLITIK

A. Pengertian Etika Politik

1. Pengertian Etika

Etika atau filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang

praksis manusiawi, tentang tindakan. Kata “etika” berasal dari kata Yunani ethos

yang berarti „adat‟, „cara bertindak‟, „tempat tinggal‟, „kebiasaan‟. Kata “moral”

berasal dari kata Latin mos (genetif moris) yang mempunyai arti yang sama. Etika

dibedakan dari semua cabang filsafat lain karena tidak mempersoalkan keadaan

manusia, melainkan bagaimana ia harus bertindak.34

Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma (Latin: norma

„siku‟). Norma- norma dapat dibagi atas norma sopan santun, norma hukum, dan

norma moral. Norma-norma ini merupakan bidang etika. Etika menolong manusia

untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya

manusia mencapai kesadaran moral yang otonom.35

Etika merupakan cabang filsafat yang merefleksikan tugas manusia dalam

upaya menggali nilai-nilai moral. Kedudukan etika dalam kehidupan manusia

menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan

34

Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h.32. 35

Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, h.33.

Page 37: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

26

bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana

etikanya. dan batinnya.36

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan secara

terminologi dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa

yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau

nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang

dianut suatu golongan atau masyarakat.37

Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

mempunyai banyak arti. Etika, misalnya, diartikan sebagai kebiasaan (habits)

yang berarti adat, atau akhlak, atau watak, atau perasaan, atau sikap dan cara

berpikir. Dalam bentk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan.38

Sedangkan menurut terminologi etika berarti perasaan batin, atau

kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Pada sisi lain etika adalah ilmu

tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak dan kewajiban, ilmu

tentang kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia.39

Etika juga diartikan sebagai kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas

dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan.40

Maka “etika”

berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.

36

M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),

h.2. 37

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (ditulis KBBI) (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet.ke-3, h.237. 38

K. Bertens, Etika , (Yogyakarta: Kanisisus, 2013), h. 3. 39

M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h.4-5. 40

H. A. W.Widjaja, Etika Pemerintahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997),h.8.

Page 38: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

27

Etika dalam filsafat Islam merupakan bagian yang amat penting karena

hakikat kemanusiaan itu adalah pada moral atau akhlaknya. Bahkan Nabi

menegaskan bahwa dia diutus ke dunia ini tidak lain hanya untuk

menyempurnakan akhlak manusia. Artinya, sikap dan tindak tanduk sesorang

adalah unsur yang utama dalam dirinya.41

Etika adalah ilmu tentang adat

kebiasaan untuk mengatur tingkah laku manusia. Baik atau buruk perbuatan

manusia dapat dilihat dari persesuaian dengan adat istiadat yang umum berlaku di

lingkungan dan kesatuan sosial tertentu.42

Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang

ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika adalah ilmu bukan sebuah ajaran.

Apabila etika menjadi penelitian sistematis dan metodis, maka etika di sini sama

artinya filsafat moral.43

Etika dijelaskan dengan berbagai arti yakni, ilmu tentang apa yang baik

dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), diartikan pula

sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai

benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.44

Kata “moral” etimologinya sama dengan “etika”, sekalipun bahasa asalnya

berbeda. Memandang arti kata “moral”, perlu diperhatikan bahwa kata ini bisa

dipakai sebagai nomina (kata benda) atau sebagai adjektiva (kata sifat). Jika kata

“moral” dipakai sebagai kata sifat artinya sama dengan “etis” dan jika dipakai

41

Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.210. 42

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai

Pustaka, 1990), h.592. 43

Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.16. 44

K. Bertens, Etika, h.4.

Page 39: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

28

sebagai kata benda artinya sama dengan “etika” menurut arti pertama tadi, yaitu

nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu

kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, bahwa perbuatan

seseorang tidak bermoral. Dengan itu, kita menganggap perbuatan orang itu

melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang menjadikan pegangan etis yang

berlaku dalam masyarakat.45

Menurut Franz Magnis Suseno, kata “moral” selalu menunjuk pada

manusia sebagai manusia. Maka kewajiban moral dibedakan dari kewajiban-

kewajiban lain, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai

manusia, dan norma moral adalah norma untuk mengukur betul salahnya tindakan

manusia sebagai manusia.46

Sedangkan akhlak, Dalam bahasa Indonesia memiliki arti sebagai tata

susila atau budi pekerti yang merupakan kata majemuk dari kata budi dan

pekerti.47

Dalam bahasa arab kata ini berasal dari khalaqa yang berarti

menciptakan, seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluk (yang diciptakan),

dan khalq (penciptaan). Dan akhlak dalam bentuk jamak dari khuluq yang berarti

budi pekerti, perangai, tingkah laku, dan tabiat. Akhlak memang bukan saja tata

aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia,

tetapi juga mengatur hubungan antar manusia dengan dengan alam semesta.48

45

K. bertens, Etika, h.6. 46

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,

(Jakarta: Gramedia, 1987), h.14. 47

Rahmat Jatmika, Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985),

h.25. 48

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI,2001), Cet. Ke-4, h.1.

Page 40: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

29

Akhlak adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan

ikhtiar dan sengaja, ia mengetahui waktu melakukan apa yang diperbuat.49

Inilah

yang dapat diberi hukum “baik dan buruk”, dengan arti lain akhlak adalah

kebiasaan dan kehendak. Selain itu akhlak mengandung arti sifat yang tertanam

dalam jiwa, tanpa membutuhkan atau memerlukan pemikiran dan pertimbangan

untuk kemudian memilih melakukan dan meninggalkan.50

Ada beberapa persamaan yang bisa penulis amati dari penjelasan antara

akhlak, etika, dan moral yaitu ketiganya sama-sama mengacu kepada ajaran atau

gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat dan perangai yang baik.

Kemudian, akhlak, etika, dan moral juga merupakan prinsip atau aturan hidup

manusia untuk menakar martabat dan harkat kemanusiannya. Apabila semakin

rendah kualitas akhlak, etika dan moral seseorang, maka semakin rendah pula

kualitas kemanusiaannya.

Menurut Platon, etika adalah ajaran tentang aturan dan arahan agar

kehidupan manusia dapat terasa utuh dan bulat, agar ia bukan hanya asal

mempertahankan hidupnya (zen), melainkan juga mencapai hidup yang bernilai

(euzen, “hidup yang baik”), yang terasa berhasil, yang terasa tidak percuma,

melainkan bermakna. Menurut Plato, orang itu baik apabila ia dikuasai oleh akal

budi, buruk apabila ia dikuasai oleh nafsu dan emosi. Oleh karena itu, apabila

manusia ingin mencapai suatu hidup yang baik, yang tenang, bersatu, dan terasa

49

Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet. Ke-8, h.5. 50

Yunahar, Ilyas, Kuliah Etika, h.3.

Page 41: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

30

bernilai, hal pertama yang perlu kita usahakan adalah membebaskan diri dari

kekuasaan hawa nafsu dan emosi serta mengarahkan diri menurut akal budi.51

Sedangkan menurut Aristoteles, etika termasuk ajaran tentang masyarakat.

Ia mengatakan bahwa manusia itu menurut kodratnya adalah “zoon politikon”

atau makhluk sosial.52

Tujuan kehidupan manusia ialah mencari kebahagiaan atau

eudaimonia (kesejahteraan, kesentosaan). Hal ini semua dapat dicapai melalui

jalan etika.53

Menurutnya, hidup manusia akan semakin bermutu maka akan

semakin ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Karena dengan mencapai

tujuan hidupnya, manusia mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. Dengan demikian,

hidupnya mencapai mutu sepenuh-penuhnya yang terbuka baginya.54

Etika Aristoteles juga disebut Eudemonisme karena nilai tertinggi adalah

kebahagiaan. Cita-citanya adalah “hidup yang baik”. Etika Aristoteles mau

mengantar kepada cara hidup yang terasa bermakna, positif, bermutu,

memuaskan.55

Menurut Ibn Miskawaih, etika diartikan sebagai jiwa kebaikan dan

kebahagiaan. Ketika kita temukan dalam diri manusia adanya sesuatu yang

bertentangan dengan perbuatan fisik dan bagian-bagian tubuh, maka kita

simpulkan bahwa sesuatu tersebut bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh, dan

bukan pula bentuk. Jiwa bukanlah tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan buka

51

Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19,

(Yogyakarta: Kanisius, 1997), h.20. 52

A. Sudiardja, SJ, dkk, Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Gramedia, 2006), h.1192. 53

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Utama, 2005), h.218. 54

Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, h.20. 55

Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, h.41.

Page 42: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

31

pula bagian materi. Dengan demikian jelas bahwa jiwa bukan tubuh, bukan pula

keadaan dalam tubuh, tetapi sesuatu yang lain dengan tubuh, baik dari segi

substansinya, penilaiannya, sifat-sifat serta tingkah lakunya.56

Kecenderungan jiwa pada ilmu pengetahuan merupakan kebaikan atau

keutamaannya. Oleh karena itu, keutamaan seseorang diukur dengan sejauh mana

dia mengupayakan dan mendambakan kebajikan. Keutamaan ini akan semakin

meningkat, ketika dia semakin memperhatikan jiwanya dan berusaha keras

menyingkirkan segala yang merintanginya untuk mencapai keutamaan. Ada

beberapa kendala yang menjadi penghambat manusia untuk mencapai keutamaan

itu sendiri, kendala itu berupa sifat badani, inderawi, serta yang berhubungan

dengan keduanya. Sedang keutamaan itu sendiri, tidak mungkin bisa kita capai,

kecuali setelah jiwa kita suci dari perbuatan-perbuatan keji, yang merupakan

kebalikan dari keutamaan. Perbuatan kji itu adalah nafsu badani yang hina serta

nafsu keji hewani yang tercela.57

2. Pengertian Politik

Kata “politik”, dari kata “polis” dalam bahasa Yunani yang berarti kota

atau negara kota. Politik menurut etimologi adalah sesuatu yang berhubungan

antara warga negara pada suatu negara. Sedangkan pada sisi lain politik sering

juga diartikan sebagai kekuasaan. Terkadang seorang penguasa harus memiliki

kemampuan memaksa dan mengendalikan orang lain karena manusia kadang-

kadang tidak mengerti akan batas-batas kepentingan pribadi yang sesungguhnya.

56

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), h.39. 57

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h.39.

Page 43: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

32

Oleh sebab itu, tindakan seorang pemimpin harus mengatur masyarakat agar tidak

terjadi kekacauan.58

Selanjutnya dikatkan lagi bahwa politik berasal dari kata “polis” yang

berarti “Negara Kota”. Dengan politik berarti ada hubungan khusus antara

manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan kewenangan dan

kekuasaan bagi pelakunya. Oleh karenanya pelaku politik haruslah cerdik dan

bijaksana dalam menentukan dan melaksanakan tujuan-tujuannya.59

Ada banyak pandangan tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan

“politik” dan tidak ada satupun dari pandangan-pandangan tersebut yang dapat

diterima secara luas karena memiliki keunggulan teoritis dari pandangan-

pandangan lainnya. Politik, yang berasal dari bahasa Yunani itu, yakni polis yang

berarti kota, negara kota dari polis itu berkembang konsep polites yang bermakna

warga negara dan konsep politikos yang berarti kewarganegaraan. Maka dari

penjelasan etimologis, disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang

berhubungan antara warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar

katanya dalam bahasa Inggris, adalah politics, yang bermakna bijaksana.

Kemudian jika kita menyatukan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari

bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun dari bahasa Yunani itu,

maka politik dapat dipahami sebagai sesuatu proses dan sistem penentuan dan

58

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Kompas, 2004), h.7. 59

Inu Kencana Syafi‟I, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. Ke-1, h.19.

Page 44: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

33

pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam suatu negara

kota.60

Menurut Aristoteles politik merupakan bagian dari etika yang berurusan

dengan manusia dalam kegiatan kelompok. Manusia adalah makhluk polis

(negara-kota). Maksud (tujuan, sasaran) politik sama dengan tujuan etika dengan

tujuan kehidupan manusia pada umumnya: untuk mencapai eudaimonia

(kebahagiaan).61

Sedangkan menurut Miriam Budiarjo, sedikitnya ada lima pendekatan

yang digunakan untuk mendefinisikan istilah tersebut. Pendekatan-pendekatan

tersebut adalah pendekatan kenegaraan (state), kekuasaan (power), pengambilan

keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy, belied), dan pembagian

kekuasaan (distribution) atau alokasi (allocation).62

Dari pengertian etika dan politik di atas, maka definisi etika politik

menurut Franz Magnis Suseno adalah filsafat moral tentang dimensi politis

kehidupan manusia.63

Etika politik dapat dipahami sebagai pengetahuan yang

mendiskusikan apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku

manusia sebagai politikus. Etika politik membicarakan masalah-masalah yang

berkaitan dengan obyek formal etika, yaitu tinjauan kehidupan politik berdasarkan

60

P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h.6. 61

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Utama, 2005), h.857. 62

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1998), Cet. Ke-19, h. 8. 63

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern

(Jakarta: PT. Gramedia, 1987),h.13.

Page 45: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

34

prinsip-prinsip dasar etika. Obyek materialnya meliputi legitimasi negara, hukum,

kekuasaan dan penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.64

Menurut Franz Magnis Suseno, etika dapat dilihat dari dua bagian: etika

umum dan etika khusus. Etika umum adalah prinsip-prinsip dasar yang berlaku

bagi segenap tindakan manusia, sementara etika khusus adalah membahas prinsip-

prinsip dasar dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup

kehidupan. Dalam etika khusus dibedakan antara etika individual dan etika sosial.

Etika individual adalah prinsip-prinsip yang menjelaskan kewajiban manusia

sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri dan melalui suara hati

terhadap Tuhan. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai

wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Di sini termasuk,misalnya,

kewajiban di sekitar permulaan kehidupan, dan juga norma-norma moral yang

berlaku dalam hubungan dengan satuan-satuan kemasyarakatan yang berlembaga

seperti etika berkeluarga, etika sebagai profesi dan etika pendidikan. Dan disini

juga etika politik atau filsafat moral mengenai dimensi politis kehidupan

manusia.65

Franz Magnis Suseno juga menjelaskan bahwa etika politik menuntut agar

segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada

prinsip-prinsip moral dasar. Filsafat politik meningkatkan tekanan agar

kekuasaan-kekuasaan dalam masyarakat mencari legitimasi yang benar dan

mempersulit merajalelanya legitimasi-legitimasi yang ideologis. Dengan demikian

64

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan

Modern, h.xiii. 65

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,

(Jakarta: PT. Gramedia, 1987), h.2-5.

Page 46: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

35

etika politik terutama berfungsi sebagai sarana kritik ideologi. Obyek pertama

kritik ideologi etika politik adalah dirinya sendiri.66

B. Etika Politik Platon

Platon, merupakan cikal bakal lahirnya para filsuf politik Barat sekaligus

penggerak pemikiran etika dan metafisika Yunani kuno. Pendapat-pendapatnya

dalam bidang filsafat sudah terbaca secara luas selama lebih dari 2.300 tahun.

Platon lahir sekitar tahun 428 SM. Ia berasal dari keluarga terkemuka yang

turun-temurun memegang jabatan politik penting di Athena. Ayahnya bernama

Ariston dan Ibunya bernama Periktione. Setelah ayahnya meninggal, ibunya

menikah lagi dengan Pyrilampes yang tak lain adalah adik kandung ayahnya.

Pyrilampes adalah seorang politikus, sementara Platon sendiri banyak bergaul

dengan para politikus Athena. Karena itu, tak heran jika pemikiran Platon banyak

terpengaruh oleh Pyrilampes.67

Menurut Platon, pemerintahan yang baik

seharusnya dipegang oleh aristokrat, yaitu seorang pemimpin terbaik, terbijak dan

orang pilihan dari suatu negara.68

Berbagai karya Platon sendiri merupakan bukti yang memadai bahwa ia

telah memperoleh pendidikan yang baik, terlepas dari pengembangan minatya

terhadap politik dan persoalan sosial, yang telah membuka pikirannya ke seluruh

cakrawala kehidupan intelektual zamannya. Konflik politik dan sosial melibatkan

perjuangan ide dan nilai maupun pertempuran bersenjata dan persaingan ekonomi.

66

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,

h.3. 67

Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjjah, (Yogyakarta:

IRCiSoD cet.III, 2014), h.50. 68

Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjjah , h.52.

Page 47: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

36

Platon tumbuh dewasa di tengah konflik besar antara Athena dan Sparta serta

ketika terjadi perebutan kekuasaan antarpendukung oligarki dengan faksi

demokrasi dalam negara kota.69

Menurut Platon, manusia dan negara memiliki persamaan yang hakiki,

oleh sebab itu apabila manusianya baik negara pun baik dan apabila negara baik

itu berarti manusia pun baik; sebaliknya apabila manusia buruk negarapun buruk

dan apabila negara buruk itu berarti manusianya pun buruk. Negara adalah

pencerminan dari manusia yang menjadi warganya.

Platon mau memberikan orientasi, Ia menggagaskan pola kehidupan

kenegaraan yang baik. Kehidupan itu akan tercapai apabila masyarakat ditata

menurut cita-cita keadilan. Perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud Platon

dengan keadilan bukanlah secara individualistik sekedar keadaan dimana hak

semua anggota masyarakat terjamin. Masyarakat yang adil bagi Plato adalah

masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masing-

masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat

pendidikan mereka.70

Motivasi inilah yang mendorong Platon membangun

sekolah atau akademi pengetahuan. Platon menilai negara yang mengabaikan

prinsip keadilan jauh dari negara yang didambakan manusia (negara ideal).

Mereka yang berhak menjadi penguasa hanyalah mereka yang mengerti

sepenuhnya mengenai prinsip keadilan.71

69

David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, (Yogyakarta: Narasi,2016), h.7. 70

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,

h.187. 71

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.38.

Page 48: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

37

Argumentasi Platon membicarakan keadilan dengan merujuk pada

“kodrat” manusia, atau jiwanya. Bila manusia yang optimal adalah manusia yang

jiwanya (kodratnya) adil, maka keadilan itu ditemukan manakala tiap bagian jiwa

bersifat optimal. Definisi jiwa menurut Platon adalah gerak konflik antar berbagai

dorongan dan hasrat yang ada dalam diri manusia. Maka upaya mencari keadilan

dalam jiwa memang tak bisa lepas dari soal “gerakan”. Bila manusia Sofis

gerakannya cenderung bergerak tanpa arah, maka upaya filsafat Platon adalah

mengarahkan agar gerakan ini diorientasikan ke Kebaikan.72

Platon menggambarkan hadirnya tiga manifestasi dalam diri manusia.

Pertama, ada bagian nafsu-nafsu di perut ke bawah yang bernama epithumia

(keinginan makan, minum, seks dan uang). Kedua, di atasnya, di sekitar dada, ada

thumos (keinginan akan kehormatan dan harga diri). Dan ketiga, rasio (logistikon)

yang berada pada leher ke atas (kepala). Keutamaan tiga bagian jiwa dalam diri

manusia, yang sejajar dengan tiga jenis fungsi dalam Negara.73

Atas dasar pengertian itu Platon dapat membangun suatu model negara.

Menurutnya dalam negara terdapat tiga golongan: 1) para penjamin makanan,

golongan ini adalah mereka yang bekerja agar barang kebutuhan manusia dapat

tersedia; 2) para “penjaga”, golongan ini adalah termasuk golongan yang

mengabdikan diri pada kepentingan umum; 3) (para) pemimpin adalah golongan

72

A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Kanisius,

2017), h.221.

73

A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, h.229.

Page 49: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

38

yang diambil dari antara para penjaga, dari mereka yang paling mendalami filsafat

yang sanggup melihat idea-idea atau hakikat-hakikat rohani di belakang.74

Keadilan dalam The Republic mesti dilakukan hati-hati. Pemahaman

tentang keadilan yang sebisa mungkin menghormati kompleksitas tawaran Platon.

Tawaran Plaon tentang keadilan adalah sebagai “masing-masing melakukan

tugasnya” bagi calon pemimpin yang adil, Filsuf, Raja/Ratu. Oleh karena itu, di

The Repubic Plaon mewacanakan figur Filsuf, Raja/Ratu, seorang filsuf yang

menjadi pemimpin. Masyarakat yang busuk hanya bisa ditransformasi lewat

penataan Negara oleh pemimpin seperti itu yang dipersiapkan lewat cara-cara

tertentu.75

Platon tahu persis bahwa memunculkan pemimpin adalah tugas yang sulit.

Apalagi ia juga menjelaskan bahwa seandainya Filsuf Raja/Ratu, seperti itu ada,

mengingat kodrat alamiahnya sebagai filsuf (born natural pjilosopher) adalah

menikmati kontemplasi, maka ia juga harus dipaksa untuk berkuasa. Tidak ada

kepastian bahwa mereka sungguh akan berkuasa.76

Apakah orang adil bahagia? Menurut Plato, keadilan (kebenaran) adalah

pencarian tentang kebahagiaan filosofis. Platon tidak pernah berambisi membuat

road map atau blueprint bernama kebahagiaan yang hendak ia terapkan pada

seuruh polis (Negara). Idealisme membentuk Negara yang adil di bawah pimpinan

Filsuf Raja/Ratu, menurut Platon, akan merosot secara bertahap. Karena, menurut

74

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,

h.188. 75

A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Kanisius,

2017), h.178. 76

A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, h.179.

Page 50: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

39

Platon bahwa sebagus apapun rezim politik yang ia bayangkan, rezim itu juga

akan membusuk.77

C. Etika Politik Aristoteles

Arsitoteles lahir pada tahun 384 SM di Stageira, suatu kota di Yunani

Utara. Bapanya adalah dokter pribadi Amyntas II, raja Makedonia. Mungkin

sekali dalam masa mudanya ia hidup di istana raja Makedonia di kota Pella dan

dapat diandaikan pula bahwa ia mewarisi minatnya yang khusus untuk ilmu

pengetahuan empiris dari bapanya. Pada usia 17 atau 18 tahun Aristoteles dikirim

ke Athena, supaya ia belajar di Akademia Plato. Ia tinggal di sana sampai Plato

meninggal pada tahun 348 SM; jadi, kira-kira 20 tahun lamanya. Pada waktu ia

berada dalam Akademia, Aristoteles menerbitkan beberapa karya.78

Pandangan Aristoteles terhadap etika tidak banyak terpegaruh oleh

berbagai keyakinan agama mistik; tidak pula pandangan itu mengemukakan teori-

teori yang menyimpang dari adat yang lazim seperti yang terdapat dalam buku

Republic dalam kaitannya dengan hak milik keluarga. Aristoteles menyebutkan

bahwa yang baik adalah kebahagiaan, yang merupakan aktivitas jiwa. Aristoteles

mengatakan bahwa Platon benar ketika memilah jiwa menjadi dua bagian, yang

satu rasional, dan yang lain irasional. Bagian yang irasional itu sendiri ia pilahkan

menjadi vegetatif (yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan) dan apetitif (yang

terdapat pada semua binatang).

77

A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, h.188. 78

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1999), h.154.

Page 51: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

40

Ada dua macam keutamaan, ialah intelektual dan moral, yang berkaitan

dengan dua bagian jiwa tadi. Keutamaan intelektual dihasilkan dari pengajaran,

keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Menurut Aristoteles, suatu saat kita akan

menemukan kenikmatan dalam menjalankan tindakan-tindakan yang baik itu.79

Setiap keutamaan adalah suatu pertengahan di antara dua sisi ekstrem,

yang masing-masing buruk. Keberanian adalah pertengahan antara sikap pengecut

dan sikap ugal-ugalan; kebebasan adalah antara sifat boros dan sifat kikir; harga

diri adalah antara kecongkakan dan kerendahan diri. Aristoteles mengatakan

bahwa kejujuran ini adalah pertengahan antara kesombongan dan kesederhanaan

semu, tetapi ini hanya sesuai untuk kejujuran pada diri seseorang.

Menurut Aristoteles, keberanian merupakan jalar, tengah anatara

ketakutan dan kepercayaan diri, telah ditunjukkan. Apa yang kita takutkan jelas

sesuatu yang menakutkan. Secara umum, rasa takut adalah sesuatu yang buruk.

Karena itulah, sebagian orang mendefinisikan ketakutan sebagai pengharapan dari

keburukan. Seorang pemberani adalah orang yang gagah berani sebagai manusia.

Namun, ia tetap akan takut terhadap apa yang menakutkan. Tapi ia akan tahan

terhadapnya dengan cara yang tepat dan mengarahkannya untuk bertindak mulia.

Itulah ujung dari keutamaan. Tentu saja, kita bisa takut terhadap berbagai hal

dengan derajat lebih besar atau lebih kecil. Kita juga dapat takut terhadap apa

yang tidak menakutkan. Kesalahan muncul dari takut terhadap sesuatu yang tidak

79

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustak a Pelajar, Cet-3,2007),

h.233.

Page 52: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

41

menakutkan, takut dengan cara yang salah, takut dalam waktu yang salah, dan

sebagainya.80

Menurut Aristoteles, keberanian berhubungan dengan kesenangan.

Karena, tujuan yang dicapai keberanian adalah apa yang menyenangkan. Semakin

dekat seseorang terhadap kebajikan atau keutamaan dalam keseluruhannya, akan

semakin bahagialah dia, dan semakin sakit kematian baginya. Hidup lebih

berharga bagi satu orang daipada orang lainnya. Untuk mencapai kebahagiaan,

Aristoteles membahas tentang pengendalian diri, karena merupakan keutamaan

dari bagian irasional kita. Pengendalian diri merupakan jalan tengah dalam

kaitannya dengan kesenangan dan kenikmatan. Kesenangan tersebut meliputi

kesenangan tubuh dan kesenangan jiwa.81

Pendapat Aristoteles tentang moral tak lain adalah pandangan

konvensional pada zamannya. Aristoteles berpendapat bahwa keadilan bukanlah

kesetaraan ini; melainkan bahwa keadilan pembagian hak, yang tidak selalu

berarti kesetaraan. Aristoteles menganggap etika adalah cabang dari politik, dan

karenanya tak mengherankan jika kita melihat dia, sesudah memberikan pujiannya

pada rasa harga diri, lantas menganggap monarki adalah bentuk pemerintahan

terbaik, dan aristokrasi adalah yang terbaik berikutnya. Para raja dan kaum

bangsawan bisa “berbudi luhur”, namun warganegara biasa hanya akan menjadi

bahan tertawaan jika mereka berusaha menerapkan pola sikap demikian itu.

80

Aristoteles, The Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Mizan, 2004),

h.68. 81

Aristoteles, The Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Mizan, 2004),

h.75.

Page 53: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

42

Arsitoteles mengungkapkan bahwa orang yang mendirikan Negara adalah

dermawan terbesar; sebab tanpa adanya hukum maka manusia adalah binatang

paling ganas, sementara keberadaan hukum tergantung pada Negara. Negara

bukanlah masyarakat yang tujuannya sekedar pertukaran dan mencegah kejahatan.

“Tujuan Negara adalah kehidupan yang baik.82

Aristoteles membahas polis dalam rangka permasalahan tentang tujuan

manusia. Tujuan terahir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia), karena hanya

kebahagiaan diusahakan demi dirinya sendiri, sedangkan bagi orang yang sudah

bahagia tak ada sesuatu lagi yang dirindukannya. Untuk hidup dengan baik artinya

sebagai manusia yang beradab, yang dapat mengembangkan potensi-potensinya,

ia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama manusia dalam satu

masyarakat. Dari situ Aristoteles menarik kesimpulan bahwa tujuan negara adalah

sama dengan tujuan manusia: agar manusia mencapai kebahagiaan. Maka negara

bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan para warganya.83

Menurut Aristoteles Tujuan negara adalah menunjang kebahagiaan

masyarakat. Maka negara yang paling baik adalah negara yang organisasinya

sesuai dengan fungsinya itu dan dipimpin oleh orang yang berpengalaman dan

memiliki keutamaan-keutamaan yang diperlukan. Maka walaupun pandangan

dasar metafisik Plato dan Aristoteles cukup berbeda, namun dua-duanya mau

82

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, h.252. 83

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,

h.188.

Page 54: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

43

menunjukkan negara yang mana yang paling sesuai dengan kepentingan

masyarakat.84

D. Al-Farabi sebagai Penafsir Etika Politik Platon dan Aristoteles

Al-Fārābī adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di

dunia Islam. Ia mengenal para failasuf Yunani: Plato, Aristoteles, dan Plotinus

dengan baik. Sebagaimana para failasuf Muslim lainnya al-Fārābī tidak luput dari

pengaruh pemikiran-pemikran para failasuf Yunani seperti Plato, dan Aristoteles.

Dalam pandangan politik al-Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua failasuf

besar Yunani (Plato dan Aristoteles).

Al-fārābī dikenal sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles, “guru

pertama”. Dia adalah failasuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan,

mempertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik (Yunani)

klasik dengan Islam, dan berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks

agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal, Al-Madinah Al-Fadhilah

(Kota atau Negara Utama) berkenaan dengan pencapaian kebhagiaan melalui

kehidupan politik dan hubungan antara antara rezim yang paling baik menurut

pemahaman Platon. Kalau dalam Plato kebahagiaan puncak hanya dapat diperoleh

dalam negara (politea) yang ideal, dalam al-Fārābī kesempurnaan dan

kebahagiaan puncak hanya dapat diperoleh dalam negara ideal.85

Menurut al-Fārābī, peringkat kepemimpinan pada setiap asosiasi itu

dibutuhkan untuk menjalankan dan mengordinasikan kerja sama. Tidak setiap

84

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,

h.189. 85

Yamani, Antara Al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan,

2002), h.33.

Page 55: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

44

orang mempunyai kapasitas yang sama untuk memimpin. Dan tidak setiap fungsi

atau keahlian yang ditampilkan oleh satu bagian dari asosiasi mempunyai nilai

yang sama dengan keseluruhannya dan juga tingkat kecanggihan yang sama.86

Pandangan kedua failasuf (Platon dan Aristoteles) itu kemudian dianalisis

oleh al-Fārābī sebagai suatu (kebajikan) yang mutlak menjadi persyaratan bagi

pimpinan negara/ kota. Keadilan, secara operasional, harus diterapkan dalam

pembagian kebajikan kepada seluruh warga kota/negara. Kebajikan itu dapat

berupa kedamaian, harta benda, penghormatan dan lain sebagainya dan bagi siapa

yang mengurangi bagian itu menurut al-Fārābī dia adalah orang yang curang dan

tidak patut untuk menjadi pemimpin.

86

Yamani, Antara Al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.63.

Page 56: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

45

BAB IV

KAJIAN TENTANG ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ

A. Kaitan Etika dan Politik Menurut al-Fārābī

Sebagaimana disebutkan di bab 3, etika merupakan ilmu tentang apa yang

baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban. Selanjutnya, etika juga

sebagai kumpulan asas nilai yang berkenaan dengan perbuatan, tindakan dan

sikap.87

Seperti apa yang dikatakan oleh Socrates, etika merupakan penilaian yang

baik tidak berdasarkan sebab-akibat, akan tetapi prinsip batin atau kesenangan

jiwa merupakan salah satu komponennya.88

Sebagaimana etika, politik dapat dimaknai sebagai konsep yang berkenaan

dengan soal pemerintahan. Makna politik mengandung nilai estetik dan nilai etis

yang memerlukan seperangkat unsur, seperti halnya menjalankan pemerintahan,

mengatur pola aktivitas keseharian masyarakat.89

Maka dari itu, politik

seyogyanya dapat mengukur perilaku buruk dan baik manusia, serta mengatur

perilaku hidup tersebut kearah yang lebih baik lagi.90

Dengan demikian, politik

bukanlah bertujuan untuk kekuasaan belaka, melainkan juga untuk dapat

mewujudkan kesejahteraan secara umum. Bila diamati lebih lanjut, politik dan

etika, merupakan sebuah relasi yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya

87

K.Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.5. 88

Loren Bagus, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga, (Jakarta: Gramedia, 2002),h.217. 89

Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004), h.186. 90

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia,1992), h.1.

Page 57: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

46

diibaratkan dua sisi yang saling membutuhkan. Ketika yang satu terapung maka

satu sisi lainnya akan tenggelam.

Franz Magnis Suseno mengartikan etika politik dengan sejumlah nilai

luhur yang seharusnya diterapkan dalam politik. Etika politik juga merupakan

kewajiban hati nurani yang tidak difokuskan pada apa yang baik dan benar dalam

situasi yang konkrit. Etika politik bukan hanya masalah moral individual belaka,

melainkan masalah moral sosial tidak bisa dilepaskan dari tindakan kolektif.

Sederhananya, etika politik bertujuan untuk mengulas prinsip moral

kenegaraan. Melakukan pengajian pandangan-pandangan dasar yang berkembang

selama lebih dari dua ribu tahun, terutama dalam tiga ratus tahun terahir, tentang

bagaimana harkat manusia dan keberadaan kehidupan masyarakat dapat dijamin

berhadapan dengan kekuasaan negara.91

Etika Politik menjawab dua pertanyaan, pertama, bagaimana seharusnya

menata masyarakat yang ideal dan bagaimana etika kepemimpinan yang bisa

menjaga lembaga-lembaga negara seperti hukum dapat berjalan dengan adil dan

bijaksana. Selain itu membahas tentang bagaimana bentuk negara yang

seharusnya demokratis. Kedua, apa yang seharusnya menjadi dasar dan tujuan

segala kebijakan politik.

Pemikiran al-Fārābī yang amat penting tentang politik adalah seperti yang

dia tuangkan dalam karyanya, Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Pendapat-

pendapat tentang Negara Utama). Yang paling penting dalam tubuh manusia

adalah kepala, karena dari kepalalah (otak) segala perbuatan manusia

91

Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2003), h.xiii.

Page 58: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

47

dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati.

Demikian juga dalam negara. Menurut al-Fārābī yang amat penting dalam negara

adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya

sebagaimana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara

berturut-turut. Penguasa ini haruslah orang yang paling unggul baik dalam bidang

intelektual maupun moralnya di antara yang ada. Di samping daya profetik yang

dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas berupa: kecerdasan,

ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat

dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,

kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan

jasmani, dan kefasihan berbicara.

Kota utama yang sering dijadikan bahan rujukan, pada hakikatnya

hanyalah satu di mana kehidupan yang baik atau berbahagia dijadikan tujuan

utama dan di mana keutamaan dapat berkembang dengan subur. Tetapi mungkin

ada juga sebuah negara dimana tidak ada tujuan yang dijadikan pertimbangan

kecuali pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam beberapa negara, raja, dan

pembantu-pembantunya mungkin merasa puas dengan mencari kejayaan, dan

kehormatan untuk diri mereka sendiri,baik lewat keutamaan (seperti pada negara

aristokrasi dan timokrasi), kesehatan (seperti pada negara plutokrasi), asuhan yang

baik (seperti pada monarki yang turun-temurun), maupun penaklukan (seperti

pada negara tirani). Terakhir dalam beberapa negara (yaitu demokrasi)

kesenangan mungkin dipandang sebagai tujuan akhir negara, sementara pada yang

Page 59: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

48

lain, dengan bentuk-bentuk pemerintahan campuran tujuan-tujuan kesehatan,

kesenangan dan kehormatan mungkin digabungkan.92

B. Konsep Negara Ideal/Utama al-Fārābī

Pemikiran kenegaraan al-Fārābī yang dikenal sistematis tertuang dalam

karyanya Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Kitab ini secara substansial banyak

diilhami oleh buku Republic karya Platon, sehingga ide-ide kenegaraannya

banyak diwarnai pemikiran Platon. Sebagaimana Platon dan Aristoteles, al-Fārābī

juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki

kecenderungan untuk hidup bermasyarakat (bernegara) dengan tujuan disamping

memenuhi kebutuhan pokok hidup juga mencapai kebahagiaan material dan

spiritual di dunia dan di akhirat.93

Dari pendapat tersebut tampak bahwa al-Fārābī

memberi warna Islam pada pandangan Platon dan Aristoteles dengan

menambahkan tujuan masyarakat yang bersifat ukhrawi dari pembentukan

negara.94

Di dalam karya fenomenal al-Fārābī yang berjudul Ārā Ahl al-Madīnah al-

Fāḍilah, pembicaraan mengenai Negara Ideal/Utama dimulai dengan keterangan

asal-usul negara bahwa negara muncul karena kumpulan manusia, yang di

dalamnya manusia membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan,

92

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.40. 93

Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:

UI Press, 1993), h. 50. 94

Tujuan Negara bagi Plato adalah untuk mencapai kebahagiaan, tanpa menyebut

kebahagiaan ukhrawi. Sementara Aristoteles berpendapat bahwa tujuan negara (hidup bersama) itu

untuk kepentingan warganya agar hidup baik dan bahagia. Lihat Soehina, Ilmu Negara

(Yogyakarta: Liberti, 1996), h.24.

Page 60: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

49

dan ini adalah awal pertama lahirnya negara. Al-Fārābī beranggapan bahwa

negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu masyarakat yang saling

membantu memenuhi kebutuhan hidup. Setiap individu memiliki kepandaian

yang berbeda-beda, tapi berjanji akan menyumbangkan hasil kepandaiannya

untuk memenuhi kebutuhan individu lainnya, agar tercapai cita-cita bersama,

yaitu kebahagiaan. Al-Fārābī menyatakan dalam Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah.

In order to preserve himself and to attain his highest perfections every

human being is by his very nature in need of many things which he cannot

provide all by himself; he is indeed in need of people who each supply him

with some particular need of his.95

Kemudian al-Fārābī membagi tiga jenis komunitas yang sempurna, besar,

sedang dan kecil. Komunitas yang besar adalah komunitas masyarakat yang

bertempat di al-ma‟mūrah (komunitas masyarakat dunia), komunitas menengah

adalah suatu umat yang bertempat suatu bagian dari dunia, dan komunitas kecil

adalah komunitas masyarakat kota yang bertempat tinggal di bagian-bagian dari

belahan suatu wilayah. Adapun komunitas tidak sempurna terdiri dari masyarakat

desa, masyarakat yang tinggal di daerah tertentu, masyarakat di tempat-tempat

umum dan masyarakat keluarga.96

Sedangkan yang banyak dibahas dalam Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah

adalah pembahasan mengenai komunitas sempurna. Di dalamnya terdapat

perubahan-perubahan bentuk suatu komunitas yang sudah mampu memenuhi

kebutuhan dan memiliki cita-cita bersama. Perubahan ini berupa pengkristalan

95

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila , terj. Richard Walzer dari

Al-Fārābī the Perfect State (Oxford: Clarendon, 1985), h.229. 96

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 229.

Page 61: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

50

tujuan masyarakat kepada suatu bentk sempurna yang terdapat dalam corak

kepemimpinan yang ada di dalam Negara Ideal/Utama.

Bentuk perubahan itu diawali dengan manusia yang saling berinteraksi

dalam suatu komunitas, baik komunitas kecil, menengah maupun besar, dan

kemudian komunitas itu membentuk organisasi negara dan mereka sebagai warga.

Setelah saling memenuhi kebutuhan pokok, para warga memiliki tujuan utama

yang ingin dicapai. Tujuan utama mereka itu merupakan cerminan dari tujuan

hidup yang ingin mereka raih. Setelah tujuan awal mereka raih, maka akan

muncul dalam jiwa mereka perasaan-perasaan seperti puas, merasa bermanfaat,

terhormat dan lain sebagainya. Namun setelah itu, ada sesuatu yang belum mereka

peroleh dan rasakan sebagai faktor yang menyebabkan ketidaktentraman dalam

jiwa mereka. Itulah yang ingin mereka raih selanjutnya. Keadaan semacam itu,

membuat mereka pada akhirnya berpaling dari tujuan pertama ke tujuan lain

setelah keperluan pokok mereka teratasi. Tujuan yang diyakini lebih baik dari

tujuan pertama yang dapat membawa mereka kepada ketentraman dan menjadikan

hidup mereka berbahagia dalam arti yang sebenarnya.97

1. Daya menurut Al-Fārābī

Dalam pemikiran al-Fārābi, pada buku Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah

Manusia memiliki daya-daya, diantaranya: daya tumbuh kembang, daya indra,

dan daya rasional. Berbicara tentang daya rasional, al-Fārābī membagi menjadi

dua bagian: rasio teoritis dan rasio praktis. Rasio praktis bekerja sebagai pelayan

bagi rasio teoritis. Sementara itu, rasio teoritis tidak bekerja untuk hal-hal lain

97

Al-Fārābī, al-Sīyasah al-Madaniyyah, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), Cet. Ke.II, h.44.

Page 62: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

51

selain untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan apa yang

dimaksud bagi manusia? Menurut al-Fārābī, kesempurnaan bagi manusia adalah

ketika ia mencapai kebahagiaan. Kemudian, apakah kebahagiaan itu? Al- Fārābī

mengatakan bahwa kebahagiaan tertinggi bagi manusia sebagai mahluk berakal

adalah ketika ia mencapai suatu kondisi di mana jiwa manusia tidak lagi

membutuhkan materi. Sebab, jiwa manusia menjadi bersifat ruhani, menjadi

substansi immateri.

Al-Fārābī mengatakan bahwa daya indra, daya representasi dan daya rasio

terhubung dengan daya hasrat. Sebab, kegiatan mengindra, berimajinasi atau

memikirkan tidak memiliki kemampuan untuk mendorong manusia melakukan

berbagai tindakan atau perbuatan, kecuali melalui bantuan daya hasrat. Dalam hal

ini, mengetahui kebaikan tidak lantas bisa mendorong manusia juga harus terlebih

dulu menginginkan kebaikan itu agar ia mau menjalankan perbuatan-perbuatan

yang baik. maka dari itu, keinginan atau kehendak atas obyek yang diindra,

diimajinasi atau dipikirkan adalah dasar bagi munculnya tindakan atau

perbuatan.98

2. Kebahagiaan menurut Al-Fārābī

Kemudian, untuk mencapai pada kebahagiaan, manusia harus mengerti

apakah yang disebut dengan kebahagiaan. Al-Fārābī mengatakan bahwa

kebahagiaan adalah kondisi di mana jiwa manusia tidak lagi membutuhkan

dukungan materi. Kemudian, setelah kebahagiaan itu diketahui oleh daya rasional

manusia, kebahagiaan itu juga ditetapkan sebagai tujuan yang diinginkan oleh

98

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 108.

Page 63: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

52

daya hasrat. Setelah itu, daya pertimbangan yang ada dalam rasio teoritis juga

menentukan tindakan apa saja yang harus dilakukan agar kebahagiaan sebagai

tujuan itu bisa dicapai. Kemudian, berkat bantuan daya hasrat, tindakan-tindakan

itu betul-betul dilakukan oleh manusia, maka dengannya manusia telah melakukan

tindakan yang baik.

Namun demikian, kebahagian bisa saja tidak berhasil diketahui oleh daya

rasional seorang manusia tertentu, atau berhasil diketahui, tapi manusia itu tidak

menginginkannya. Dengan kata lain, daya hasrat yang dimilikinya tidak

mendukung apa yang diketahui oleh daya rasionalnya. Dalam kondisi seperti ini,

daya rasional akan menentukan tujuan lain yang hendak dicapai, sebuah tujuan

yang bisa diinginkan juga oleh daya hasrat. Ketika tujuan lain selain kebahagiaan

itu ditetapkan, daya pertimbangan yang ada dalam rasio teoritis juga menentukan

tindakan-tindakan apa saja yang harus dilakukan agar tujuan itu bisa dicapai.

Kemudian, berkat bantuan daya hasrat, tindakan-tindakan itu betul-betul

dilakukan oleh manusia, maka dengannya manusia telah melakukan tindakan-

tindakan yang tidak diarahkan pada pencapaian kebahagiaan. Bagi al-Farabi,

tindakan-tindakan yang tidak diarahkan untuk pencapaian kebahagiaan adalah

tindakan-tindakan yang cacat, rendah dan hina.

al-Fārābī memandang bahwa kebahagiaan manusia bisa dicapai ketika

daya rasional yang dimilikinya menjadi optimal. Kemudian, optimalitas daya

rasional manusia dapat tercapai ketika jiwa manusia tidak lagi membutuhkan

dukungan materi, telah menjadi substansi ruhaniah dan immaterial.99

99

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 107-109.

Page 64: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

53

Kebahagiaan adalah tema sentral ilmu politik al-Fārābī. Tema ini

menentukan sifat, ruang lingkup, fungsi dan tujuan ilmu politiknya. Kebahagiaan

hakiki menurut al-Fārābī hanya dapat dicari melalui kebajikan dan hal-hal yang

luhur (mulia), seperti halnya, kesehatan, kehormatan dan kesenangan, serta

menanamkan dan memberikan bimbingan pada masyarakat akhlak yang baik.100

Dalam buku Negara Utama (Madīnah Fāḍilah) karya Ahmad Zainal

Abidin yang meneliti buku Ārā‟ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah bahwa persetujuan

masyarakat untuk mendirikan negara didasarkan kepada keihklasan mereka untuk

meniadakan hak-hak individual mereka demi kebahagiaan bersama. Perjanjian

untuk saling meniadakan hak-hak (individu) adalah dasar dari segala penaklukan

diri secara damai kepada negara. Jika ada penduduk yang mencoba menekan

penduduk yang lain, seluruh penduduk akan bersatu dan saling membantu untuk

memertahankan kemerdekaannya.101

Saling meniadakan hak-hak pribadi, tidak diartikan bahwa seluruh hak-hak

kemanusiaan harus dikorbankan dan dilenyapkan, sehingga manusia hidup dan

diperintah bagai hewan. Meniadakan hak-hak itu untuk suatu maksud dan cita-cita

yang lebih luhur, ialah menciptakan ideologi negara.

3. Negara menurut Al-Fārābī

Al-Fārābī memisahkan antara suatu negara dari negara lainnya

berdasarkan ideologi yang dianut oleh negara itu. Ia tidak mengikuti cara-cara

Yunani yang membagi negara menurut kepala negara seperti monarki, aristokrasi,

dan demokrasi. Dan tidak pula ia sepakat dengan pembagian negara secara

100

Osman Bakar, Hirarki Ilmu (Membangun rangka pikir Islamisasi ilmu), (Bandung:

Mizan,1997). H.167. 101

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.53.

Page 65: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

54

modern yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat, kedaulatan kekuasaan, dan

kedaulatan hukum. Al-Fārābī menempuh jalannya sendiri, yaitu pembagian

berdasarkan ideologi, di mana al-Fārābī menuliskan konsep Negara Ideal/Utama

beserta negara-negara yang berlawanan terhadap konsep Negara Ideal/Utama.102

Negara utama menurut al-Fārābī ibarat tubuh manusia yang satu bagian

dengan bagian saling kerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing. Jantung

merupakan pusat dari segala organ tubuh tersebut. Organ yang satu bersifat

melayani organ yang lain. Demikian pula negara yang terdiri dari warga negara

dengan bakat dan kemampuan yang berbeda saling bekerjasama satu sama lain. Di

antaran mereka ada kepala negara dan sejumlah warga yang fungsinya berbeda

satu sama lain sesuai dengan kapasitasnya.103

Pola negara utama yang seperti ini

nampaknya dipengaruhi oleh pandangan Platon yang membagi warga negara atas

tiga kelas, kepala negara, militer, dan rakyat biasa. Keadilan akan terbentuk

apabila masing-masing kelas melakukan tugasnya dengan baik. Warga negara

yang berada pada kelas yang lebih rendah dapat menempati posisi yang diatasnya

apabila benar-benar memiliki kualitas yang memadai.

Karena itu al-Fārābī bependapat tidak semua warga bisa menjadi kepala

negara utama. Hanya orang yang berada pada kelas tertinggi dan yang paling

sempurna yang berhak memimpin warga-warga kelas di bawahnya. Kepala negara

utama seharusnya diadakan terlebih dahulu, kemudian dibentuk negara dan

bagian-bagian atau rakyatnya, dan dialah yang menentukan wewenang, tugas dan

kewajiban serta martabat atau posisi masing-masing warga negara. Dan kalau ada

102

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.102. 103

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 228.

Page 66: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

55

warga negara yang tidak baik, kepala negara dapat menghilangkan ketidakbaikan

itu.104

Kebahagiaan adalah kebaikan yang tertinggi dan yang diidam-idamkan.

Tidak satu pun yang lebih tinggi daripadanya, yang mungkin dicapai oleh

manusia. Ia tidak dapat diwujudkan kecuali dengan ilmu pengetahuan dan dengan

usaha. Dan manusia tidak bisa memahami kebahagiaan secara baik, kecuali

sesudah mengenal arti keutamaan.105

Ada empat macam keutamaan manusia yang dapat menjamin bagi segala

bangsa di dunia dan segala penduduk dari suatu negara, akan kebahagiaan sejati

dan sempurna. Unsur-unsur keutamaan itu adalah:

1. Keutamaan pikiran dan ilmu pengetahuan, yaitu keunggulan cara

berpikir dan menyelidiki ilmu pengetahuan yang melebihi bangsa lain.

2. Keutamaan tanggapan di dalam menetapkan barang yang paling

berguna, yaitu keunggulan di dalam mengatur dan merencanakan

barang yang paling berguna.

3. Keutamaan moral di dalam berpikir dan berbuat, yaitu keunggulan di

dalam budi pekerti dan akhlak yang tetap memelihara kemanusiaan

dan kesopanan.

4. Keutamaan cara bekerja dan berusaha, yaitu keunggulan dalam teknik

pekerjaan di dalam segala lapangan perusahaan, baik perusahaan

teknik dan perindustrian, atau perusahaan lainnya.106

Jalan satu-satunya untuk mencapai 4 (empat macam) keutamaan itu ialah

setiap orang bekerja untuk bakatnya di bawah pemimpin yang mempunyai bakat

yang lebih besar dan sungguh-sungguh kuat.107

104

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 240. 105

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.72. 106

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.112. 107

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.113.

Page 67: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

56

Kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan dan usaha yang

mati-matian, yaitu kebahagiaan yang dikatakan al-Fārābī sebagai “sa‟ādah

mādiyyah wa ma‟nawiyyah”. Kebahagiaan jasmani dan rohani, material dan

spiritual, untuk hidup dunia dan akhirat.

Untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tidaklah dapat dilakukan

dengan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri. Negara harus menghimpun segenap

tenaga yang ada, dengan membuat rencana yang lengkap untuk melakukan

pembangunan. Al-Fārābī mengemukakan tiang-tiang utama bagi pembangunan:

1. Kerja sama manusia secara kolektif

2. Kesucian pribadi masing-masing dalam pikiran dan perbuatan

3. Semangat kemasyarakatan berupa koperatif, harmoni, dan simpati.108

Di dalam Ārā‟ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Kota Utama), dia menguraikan

hal ini secara lebih terperinci. “Demi mempertahankan (keberadaan)-nya dan

mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara alami

membutuhkan banyak hal yang tak semuanya dapat ia penuhi sendiri. Ia sungguh

membutuhkan orang-orang yang masing-masing memasoknya dengan kebutuhan-

kebutuhan tertentunya. Setiap orang mendapati dirinya dalam hubungan yang

sama dengan orang lain dengan cara seperti ini. Oleh karenanya, manusia tak akan

dapat meraih kesempurnaan itu, yang untuk itu sifat bawaannya telah diberikan

kepadanya, kecuali (melalui asosiasi) banyak (kelompok) orang, yang bekerja

sama, berkumpul bersama, masing-masing memasok orang-orang lainnya dengan

beberapa kebutuhan tertentu. Sehingga, sebagai hasil sumbangan seluruh

108

Ara ahl al-Madinah al-Fadilah, h.113

Page 68: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

57

komunitas, segala sesuatu yang dibutuhkan semua orang untuk mempertahankan

diri dan mencapai kesempurnaan (dapat) dikumpulkan (dan didistribusikan).109

Kota utama adalah kota yang melalui perkumpulan yang ada di dalamnya

bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan yang

sesungguhnya. Tidak semua orang cenderung atau berkeinginan mengetahui

kebahagiaan yang merupakan tujuannya dan juga tujuan setiap asosiasi, serta cara

mencapai kebahagiaan itu. Sebagian besar, pada kenyataannya, sangat

membutuhkannya. Kendatipun seseorang tahu kebahagiaan dan cara

mencapainya, baik tahu sendiri atau karena mendapat pengetahuan dan bimbingan

dari seorang guru, sudah barang tentu tidak dengan sendirinya dia akan berbuat

menurut pengetahuannya, bila tidak ada rangsangan dari luar. Jadi, dia

membutuhkan orang yang akan membuatnnya berbuat demikian.

Kota utama adalah kota yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang

benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan. Ia mampu

memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing

dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu

memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan,

mendefinisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan. Hal

ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar lagi

unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif.110

Kebahagiaan akan dapat dicapai hanya melalui lenyapnya keburukan-

keburukan, tidak saja keburukan yang muncul secara sukarela, tetapi juga

109

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan,

2002), h.60. 110

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.61.

Page 69: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

58

keburukan yang muncul secara alamiah dari kota-kota dan bangsa-bangsa, dan

bila keduanya berhasil memperoleh kebaikan-kebaikan, baik kebaikan yang

terjadi secara alami maupun kebaikan yang terjadi berkat karsa. Fungsi penguasa

kota adalah mengelola kota sedemikian rupa sehingga semua bagian kota saling

berkaitan dan serasi, serta sedemikian teratur sehingga membuat penduduknya

mampu bekerjasama untuk menyingkirkan berbagai keburukan dan untuk

memperoleh berbagai kebaikan.111

C. Konsep Kepemimpinan Politik menurut al-Fārābī

Menurut al-Fārābī pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang

tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada

diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan tugas pemimpin.

Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling sejahtera di antara

yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga kota.112

Kemudian juga al-Fārābī memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti

atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang

memiliki kesempurnaan tujuan. apabila perbuatan-perbuatan, keutamaan-

keutamaan, dan kreatifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh

masyarakat, maka kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain

pemimpin adalah orang yang paling utama, paling kreatif, dan memiliki tujuan

yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi apabila dia tidak memiliki

111

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.66. 112

Al-Fārābī, Fuṣūl Muntaza‟ah, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), h.47.

Page 70: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

59

ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana yang dimiliki oleh

seorang failasuf.113

Bagi al-Fārābī, pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan

dapat merealisasikan dalam kepemimpinannya sehingga kepercayaan masyarakat

terhadap dirinya semakin kuat. Dia tidak hanya pandai tebar pesona tetapi

mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Karakter demikian ini biasanya

dimiliki orang-orang yang memahami filsafat secara baik, dia adalah failasuf yang

memelajari ilmu pengetahuan (teoritis) dan kebenaran dan kebijaksanaan tetapi

tidak memraktikannya.114

Kemudian juga semakin amat terlihat jelas, bahwa al-Fārābī benar-benar

memahami pemimpin sebagai simbol yaitu tentang teorinya mengenai organisme,

dimana hakikat negara adalah laksana suatu tubuh yang hidup sebagaimana tubuh

manusia. Sebagai ciri-ciri dari organisme ialah sifatnya yang berubah-ubah.

Badan organisme yang hidup dapat menerima dan mengambil bahan-bahan dan

zat-zat dari luar dirinya, lalu diolah untuk kebutuhan hidup dan kemudian

dipisahkan mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Di dalam organisme

terdapat struktur hierarki sehingga setiap bagiannya memiliki kedudukan

tertentu.115

Pemimpin Kota atau Negara yang luar biasa tidak bisa sembarang

manusia, karena pemerintahan membutuhkan dua syarat: (a) ia harus dipengaruhi

oleh sifat bawaannya, (b) ia seharusnya memperoleh sikap dan kebiasaan

113

Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‟adah, (Hyberabad: Majlis Da‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah,

1349 H), h.43. 114

Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‟ādah, h.44. 115

Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.54.

Page 71: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

60

kehendak bagi penguasa yang akan berkembang dalam diri seorang lelaki yang

sifat bawaannya cenderung untuk itu.116

Diantara sifat-sifat pemimpin yang disebutkannya ialah: “bijak, berbadan

kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat

cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menanggung beban dan

kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta kepada

kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang, cinta terhadap diri

dan keluarganya, serta berani dan paling awal.117

Pimpinan utama, menurut al-Fārābī, adalah pemegang otoritas utama yang

tidak mungkin dipimpin atau diatur oleh pihak lain. Demikian pula pimpinan

utama dalam al-Madīnah al-Fāḍilah itu bermuara. Dia adalah orang yang paling

sempurna di antara yang lain. Dia adalah „aql sekaligus ma‟qul, daya khayalnya

secara natural telah mencapai puncak kesempurnaan. Daya ini adalah daya yang

secara natural ada padanya setiap saat. Hal itu muncul dari akal aktif partikular

baik sendirinya maupun disebabkan oleh pengaruh lain. Akal potensial telah

mencapai kesempurnaan dengan segala bentuk, sehingga dapat melepaskan arti-

arti materinya dan menjadi akal aktual.118

Barangsiapa yang akal potensialnya telah mencapai kesempurnaan dengan

segala bentuk, menjadi akal aktual, ia telah mencapai sesuatu yang tigkatannya di

atas akal potensial. Ia lebih sempurna dan berpisah dengan materi, dekat dengan

akal aktif, yang disebut dengan akal mustafād. Dia berada di tengah-tengah antara

116

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 239. 117

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.12. 118

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 123.

Page 72: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

61

akal potensial dan akal mustafād, di saat itu tidak ada lagi pembatasan antara

dirinya dan akal aktif.119

Pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang tujuan utama dari

segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada diri dan para

warganya dalam meraih kebahagiaan. Hal ini merupakan tugasnya sebagai

pemimpin. Untuk itu pimpinan al-Madīna al-Fāḍilah harus orang yang paling

sejahtera di antara yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan para

warga negara.120

Menurut al-Fārābī, pimpinan di dalam al-Madīna al-Fāḍilah punya

kecenderungan untuk tidak peduli pada hal-hal yang bersifat materi. Artinya, dia

sudah sampai pada tingkatan akal mustafād yang mampu berkomunikasi dengan

akal aktif, sedangkan yang lainnya tidak demikian. Dia fokus pada satu tujuan

utama, yaitu mengabdi kepada Sebab Pertama(Tuhan), tunduk kepada-Nya dan

mencukupkan diri hidup untuk-Nya. Pimpinan-pimpinan di bawahnya atau

bahkan masyarakat umum mengikuti apa yang dilakukan pimpinan utama,

sekalipun sempurna sebagaimana pimpinannya.121

Terhimpunnya semua syarat dan sifat ini dalam diri seseorang adalah

sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini terpenuhi dalam diri seseorang,

dialah sang pemimpin. Kalau tidak, orang yang paling banyak memiliki sifat-sifat

tersebutlah yang dapat menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang pun yang

memenuhi sifat-sifat tersebut secara maksimal, namun ada dua orang, yang satu

119Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍilah, h. 123-124. 120

Moh. Asy‟ari Muthar, Konstektualisasi Filsafat Politik al-Fārābī dalam Pemikiran

Politik Modern, (Jurnal, 2016), h.14. 121

Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍilah, h. 122.

Page 73: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

62

bijak (hakim) dan lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka kedua-duanya

menjadi pemimpin secara bersama. Dan masing-masing orang saling melengkapi

satu dengan yang lainnnya. Apabila sifat-sifat ini ada pada lebih dari dua orang,

dan mereka saling mengerti, maka semuanya adalah para pemimpin yang

dihormati.122

Karena sedemikian mulia dan tingginya derajat pimpinan utama dalam al-

Mdīnah al-Fāḍilah, sehingga memamng tidak semua orang bisa menmpati posisi

tersebut. Ia merupakan fitrah dan karakteristik bawaan, atau bisa juga melalui

usaha keras sekalipun berat untuk mencapainya. Suatu kepemimpinan akan sukses

apabila berada di tangan orang yang memiliki fitrah dan karakteristik bawaan

memimpin. Dalam kepemimpinan itu tidak cukup hanya berbekal keterampilan

saja, karena sebagian besar dari keterampilan-keterampilan itu adalah

keterampilan yang dipelajari secara khusus dan diarahkan untuk tujuan mengabdi

dalam sebuah negara. Fitrah dan karakteristik yang melekat pada pimpinan utama

adalah fitrah dan karakteristik pengabdian.

Adapun persyaratan yang lain adalah dia harus pandai menyampaikan

dengan baik apa yang diketahuinya melalui daya khayal, mampu menasihati orang

lain dan menunjukannya jalan menuju kebahagiaan, bekerja agar dapat

memperoleh kebahagiaan dan memiliki kemampuan untuk memberi contoh

tentang cara-cara melakukan pekerjaan dengan baik. Dalam menjalankan

pemerintahannya, menurut al-Fārābī, juga harus membuat kesepakatan bersama.

122

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.12.

Page 74: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

63

Hal ini dilakukan, karena dalam kehidupan bersama ibaratnya satu tubuh dan

jiwa. Jadi, dalam hal apapun harus didasarkan pada kesepakatan bersama.123

D. Lawan-lawan Negara Utama

Untuk melengkapi pemahaman mengenai makna kota utama dalam filsafat

politik al-Fārābī, berikut ini akan penulis uraikan mengenai kota-kota lain yang

bukan, bahkan berlawanan dengan kota utama. Al-Fārābī menyebut tiga

kelompok kota, “kota jahiliah” (al-madīnah al-jāhiliyyah), “kota fasiq” (al-

madīnah al-fāsiqah), “kota yang berubah” (al-madīnah al-mubaddilah), dan “kota

sesat” (al-madīnah al-dhalālah).

Kota jahiliah adalah kota yang warganya tak tahu tentang kebahagiaan

yang sebenarnya. Pikiran tentang hal ini memang tak pernah terlintas di benak

mereka. Bahkan, jika mereka diarahkan secara benar kepadanya, mereka tetap

tidak memahaminya, atau tak percaya kepadanya. Hal-hal baik yang mereka

kenali hanyalah hl-hal yag secara superfisial dianggap sebagai baik di antara apa

yang di anggap sebagai tujuan-tujuan hidup, seperti kesehatan tubuh,

kemakmuran, menikmati kesenangan-kesenangan, kebebasan untuk memenuhi

nafsu-nafsu, dan diperlakukan dengan penuh hormat dan kebebasan. Menurut

pandangan para warga “kota jahiliah”, masing-masing hal ini adalah sejenis

kebahagiaan, dan kebahagiaan terbesar serta paling sempurna adalah jumlah total

dari kesemuanya itu. Hal-hal yang bertentangan dengan ini adalah kesedihan,

seperti kelemahan tubuh, kemiskinan, ketiadaan, penikmatan kesenangan-

123

Moh. Asy‟ari Muthar, Konstektualisasi Filsafat Politik al-Fārābī dalam Pemikiran

Politik Modern, (Jurnal, 2016), h.16.

Page 75: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

64

kesenangan, ketiadaan kebebasan untuk mengikuti nafsu-nafsu, dan tak

diperlakukan dengan penuh kehormatan dan kebesaran.124

Kelompok kedua kota yang berlawanan dengan kota utama, yakni “kota

fasiq”, adalah kota yang sesungguhnya memahami tentang kebahagiaan sejati,

tentang Tuhan, serta tahu, terbimbing, dan percaya pada tindakan-tindakan yang

akan membawa kepada kebahagiaan itu sebagai mana warga kota utama. Hanya

saja, setelah semuanya ini, mereka menolak untuk berbuat sesuai dengan

pengetahuan dan keyakinan mereka itu. Sebaliknya, mereka malah menghendaki

untuk meraih kebutuhan-kebutuhan sebagaimana yang dikehendaki oleh para

warga “kota-kota jahiliah” seperti tersebut di atas. Jadi, persamaan warga kota ini

dan warga kota utama hanyalah dalam hal pendapat yang mereka yakini saja,

tidak pada praktiknya.

Terakhir, “Kota Sesat”. Para warga kota ini sesungguhnya menghendaki

kebahagiaan di akhirat, tetapi memiliki kepercayaan keliru mengenai hal-hal yang

dapat membawa mereka kepada kebahagiaan sejati itu. Pemimpin utama mereka

(boleh jadi) adalah sesorang yang berpura-pura menerima wahyu dan kemudian

menciptakan kesan yang salah seperti itu lewat pemalsuan, penipuan, dan

pengelabuan.125

124

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.68. 125

Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.70.

Page 76: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang

hak dan kewajiban. Selanjutnya, etika juga sebagai kumpulan asas nilai yang

berkenaan dengan perbuatan, tindakan dan sikap. Seperti apa yang dikatakan oleh

Socrates, etika merupakan penilaian yang baik tidak berdasarkan sebab-akibat,

akan tetapi prinsip batin atau kesenangan jiwa merupakan salah satu

komponennya. Demikian juga Aristoteteles mengatakan, bahwa etika merupakan

satu nilai yang memiliki tujuan kebahagiaan dalam hidup.

Sebagaimana etika, politik dapat dimaknai sebagai konsep yang berkenaan

dengan soal pemerintahan. Makna politik disini mengandung nilai estetik dan

nilai etis yang memerlukan seperangkat unsur, seperti halnya menjalankan

pemerintahan, mengatur pola aktivitas keseharian masyarakat. Maka dari itu,

politik seyogyanya dapat mengukur perilaku buruk dan baik manusia, serta

mengatur perilaku hidup tersebut kearah yang lebih baik lagi.

Dengan demikian, politik bukanlah bertujuan untuk kekuasaan belaka,

melainkan juga untuk dapat mewujudkan kesejahteraan secara umum. Bila

diamati lebih lanjut, politik dan etika, merupakan sebuah relasi yang tidak dapat

dipisahkan. Keduanya diibaratkan dua sisi yang saling membutuhkan. Ketika

yang satu terapung maka satu sisi lainnya akan tenggelam.

Page 77: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

66

Pemikiran al-Fārābī yang amat penting tentang politik adalah seperti yang

dia tuangkan dalam karyanya, Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Pendapat-

pendapat tentang Negara Utama). Yang paling penting dalam tubuh manusia

adalah kepala, karena dari kepalalah (otak) segala perbuatan manusia

dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati.

Demikian juga dalam negara. Menurut al-Fārābī yang amat penting dalam negara

adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya

sebagaimana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara

berturut-turut. Penguasa ini haruslah orang yang paling unggul baik dalam bidang

intelektual maupun moralnya di antara yang ada. Di samping daya profetik yang

dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas berupa: kecerdasan,

ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat

dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,

kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan

jasmani, dan kefasihan berbicara.

Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Mengenai Etika Politik, al-Fārābī berpijak pada tujuan hidup manusia,

yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan bagaimana

caranya menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia harus

berada di tangan pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai

dengan konsep kepimimpinan al-Fārābī.

Page 78: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

67

2. Mengenai kepemimpinan, al-Fārābī amat menekankan kriteria

pemimpin yang memiliki sifat nabi sekaligus failasuf. Hal ini

dikarenakan bagi al-Fārābī, nabi merupakan sosok ideal yang dapat

dijadikan pemimpin. Maka dari itu, al-Fārābī menguraikan beberapa

kriteria pemimpin yang sebenarnya merupakan rincian dari sifat-sifat

kenabian sekaligus failasuf.

3. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Plato dapat dilihat di karangan

al-Fārābī. Di antaranya karangan Plato berupa Republic, yang hampir

mirip dengan karangan al-Fārābī Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah.

Namun itu tidak serta-merta al-Fārābī menjiplak semuanya,

penggabungan filsafat dan agama menjadi produk orisinil dari karya

al-Fārābī.

B. Saran

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak baik di

dunia akademis maupun non akademis. Penulis dengan senang hati menerima

segala kritik dan saran sehingga penulis mendapatkan ilmu baru yang berguna

untuk dunia akademik maupun penulisan di masa yang akan datang. Penulis yakin

sebuah karya mengandung kelebihan dan kekurangan. Setelah penulis selesaikan

tulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang terkait dengan pembahasan pada

tulisan-tulisan sebelumnya, yaitu:

1. Konsep kepemimpinan al-Fārābī yang sifatnya klasik amat terlihat

dalam pembahasan ini. Tentu sangat mudah menilai kekurangan dalam

Page 79: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

68

konsep kepemimpinan al-Fārābī yaitu dengan membandingkan dengan

konsep-konsep kepemimpinan modern. Salah satunya mengenai

rincian metode pemimpin yang ideal, seperti gaya kepemimpinan,

pengambilan keputusan, dan sebagainya.

2. Al-fārābī juga tidak detail dalam mengungkapkan metode

pengangkatan pemimpin, bahkan tidak menuliskan sama sekali

periodisasi kepemimpinan, padahal itu sangat penting dalam

menunjang teori kepemimpinan ideal.

3. Sedangkan dalam buku Ārā‟ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah hampir

setengahnya berisi tentang teori metafisika. Hal ini dirasa tidak perlu

karena dalam mengutarakan teori negara ideal, cuku diunkapkan

dengan metode-metode bagaimana manusia mampu mewujudkan

negara ideal.

Page 80: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

69

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2006.

Al-Fārābī. al-Sīyasah al-Madaniyyah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.

Al-Fārābī. Fuṣūl Muntaza’ah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.

Al-Fārābī. Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila , terj. Richard Walzer dari Al-

Fārābī the Perfect State. Oxford: Clarendon, 1985.

Al-Fārābī. Taḥṣīl al-Sa’adah. Hyberabad: Majlis Da’irah al-Ma’ārif al-

‘Utsmaniyyah, 1349 H.

Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Aristoteles. The Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati. Jakarta: Mizan,

2004.

Azhar, Muhammad. Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Aziz Dahlan, Abdul. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan,

2003.

Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.

Bakar, Osman. Hirarki Ilmu (Membangun rangka pikir Islamisasi ilmu.

Bandung: Mizan,1997.

Bakhtiar, Amsal. Tema-tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Bertens, K. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: PT. Kanisius, 1999.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1998.

Charis Zubair, Ahmad. Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Page 81: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

70

Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2006.

Der Weij, P.A Van. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari

Grote Filosofen over de Mens. Jakarta: Gramedia, 1988.

Fanshobi, Muhammad. Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-

Farabi. Ciputat: Skripsi UIN Jakarta, 2014.

G Sevilla, Consuelo dkk. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI

Press,1993.

Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,

2008.

Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas, 2004.

Ibn Miskawayh. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan, 1994.

Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI,2001.

Jatmika, Rahmat. Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia. Surabaya: Pustaka Islam,

1985.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan:

Balai Pustaka, 1990.

Magnis Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-

19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Magnis Suseno, Franz. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral

Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1987.

Melling, David. Jejak Langkah Pemikiran Plato. Yogyakarta: Narasi,2016.

Murtiningsih, Wahyu. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjjah.

Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.

Muthar, Moh. Asy’ari. Konstektualisasi Filsafat Politik al-Fārābī dalam

Pemikiran Politik Modern. Jurnal, 2016.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Ridwan, Kahrawi(ed.). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999.

Page 82: ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40615/2/SITI... · Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang

71

Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet-

3,2007.

Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004.

Schmid, J.J Von. Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari

Plato sampai Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over

Staat en Recht (von Plato tot Kant). Jakarta: Pembangunan, 1965.

Setyo Wibowo, A. Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon. Yogyakarta:

Kanisius, 2017.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.

Jakarta: UI Press, 2001.

Soehina, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberti, 1996.

Sudiardja, SJ, A. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia, 2006.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, h.38.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia,1992.

Syafi’I, Inu Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Syarif, M.M. (Ed). Para Filosof Muslim, terj. Tim Penerjemah Mizan.

Bandung: Mizan, 1994.

Widjaja, H. A. W. Etika Pemerintahan. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Yamani. Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam. Bandung:

Mizan, 2002.

Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etik, h.4-5.

Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2009.