Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

15
Sastyo Aji Darmawan 13065422 Page 1 of 15 Konsep Kebijakan Perumahan Bagi Masyarakat Miskin Di Provinsi DKI Jakarta Sastyo Aji Darmawan Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia I. Latar Belakang Keberadaan permukiman kumuh dan rendahnya aksesibilitas kaum miskin untuk mendapat hunian yang layak, memang merupakan masalah yang terdapat di kota-kota di Asia, tak terkecuali di Indonesia. Daya tarik kota sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, menyebabkan hadirnya tingkat migrasi desa-kota yang tidak mampu diakomodasi dengan jumlah perumahan layak huni bagi warganya, sehingga seringkali kaum miskin menjadi kelompok yang tersingkirkan dari persediaan hunian yang ada. Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2000 sebesar 8,34 juta jiwa dan meningkat pada tahun 2014 sebesar 10,07 juta jiwa. Sebagai kawasan megapolitan Jakarta memang memiliki daya tarik investasi, sumber daya dan kreativitas. Daya tarik inilah yang membuat lonjakan urbanisasi dan pada akhirnya memperbesar jumlah penduduk di kota-kota besar (BPS DKI Jakarta, 2013). Laju urbanisasi yang sulit ditekan ini berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada September 2013 tercatat sebanyak 375,7 ribu orang atau 3,72% dari total penduduk Jakarta lebih besar dari tahun 2010 yaitu sebesar 348 ribu orang atau 3,12% dari total penduduk Jakarta (BPS DKI Jakarta, 2013). Berbagai program pembangunan perumahan yang dijalankan pemerintah hingga kini belum kunjung memberikan harapan terpenuhinya pemenuhan perumahan yang layak bagi seluruh rakyat. Pembangunan rumah sederhana, subsidi kredit pemilikan rumah sederhana, rumah susun sederhana sewa maupun milik, fasilitasi perumahan swadaya dan pengembangan kawasan permukiman, adalah di antara program-program yang menunjukkan kinerja yang belum melembaga dan berkelanjutan. Visi satu keluarga menghuni sebuah rumah layak huni tampaknya masih jauh dari harapan realisasi nyata. Pada kenyataannya, penyediaan rumah-rumah sederhana (RSH) dengan dukungan subsidi kredit pemilkan rumah (KPR) dengan harga jual maksimum yang dipatok (Rp 55 juta) masih belum terjangkau oleh lapisan besar masyarakat berpenghasilan rendah, kelompok miskin maupun mereka yang berpenghasilan tidak tetap dari sektor informal. (Siregar, 2006) Tidak kunjung terpenuhinya kebutuhan perumahan segmen masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok miskin terutama di kawasan yang sedang mengkota (urbanised area) terjadi di tengah kesan adanya keberlanjutan program subsidi KPR dan pengadaan blok demi blok Rusunawa. Padahal sebenarnya, program subsidi KPR yang berasal dari subsidi APBN setiap tahun, lebih berhasil memperlancar bisnis properti para pengembang, ketimbang semakin menjangkau kemampuan dan kebutuhan perumahan rakyat berpenghasilan rendah dan miskin. Hal

Transcript of Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Page 1: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 1 of 15

Konsep Kebijakan Perumahan Bagi Masyarakat Miskin

Di Provinsi DKI Jakarta

Sastyo Aji Darmawan

Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

I. Latar Belakang

Keberadaan permukiman kumuh dan rendahnya aksesibilitas kaum miskin

untuk mendapat hunian yang layak, memang merupakan masalah yang terdapat di

kota-kota di Asia, tak terkecuali di Indonesia. Daya tarik kota sebagai pusat kegiatan

ekonomi, perdagangan dan jasa, menyebabkan hadirnya tingkat migrasi desa-kota

yang tidak mampu diakomodasi dengan jumlah perumahan layak huni bagi warganya,

sehingga seringkali kaum miskin menjadi kelompok yang tersingkirkan dari

persediaan hunian yang ada.

Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2000 sebesar 8,34 juta jiwa dan

meningkat pada tahun 2014 sebesar 10,07 juta jiwa. Sebagai kawasan megapolitan

Jakarta memang memiliki daya tarik investasi, sumber daya dan kreativitas. Daya

tarik inilah yang membuat lonjakan urbanisasi dan pada akhirnya memperbesar

jumlah penduduk di kota-kota besar (BPS DKI Jakarta, 2013).

Laju urbanisasi yang sulit ditekan ini berdampak pada peningkatan jumlah

penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada September 2013

tercatat sebanyak 375,7 ribu orang atau 3,72% dari total penduduk Jakarta lebih besar

dari tahun 2010 yaitu sebesar 348 ribu orang atau 3,12% dari total penduduk Jakarta

(BPS DKI Jakarta, 2013).

Berbagai program pembangunan perumahan yang dijalankan pemerintah

hingga kini belum kunjung memberikan harapan terpenuhinya pemenuhan perumahan

yang layak bagi seluruh rakyat. Pembangunan rumah sederhana, subsidi kredit

pemilikan rumah sederhana, rumah susun sederhana sewa maupun milik, fasilitasi

perumahan swadaya dan pengembangan kawasan permukiman, adalah di antara

program-program yang menunjukkan kinerja yang belum melembaga dan

berkelanjutan. Visi satu keluarga menghuni sebuah rumah layak huni tampaknya

masih jauh dari harapan realisasi nyata. Pada kenyataannya, penyediaan rumah-rumah

sederhana (RSH) dengan dukungan subsidi kredit pemilkan rumah (KPR) dengan

harga jual maksimum yang dipatok (Rp 55 juta) masih belum terjangkau oleh lapisan

besar masyarakat berpenghasilan rendah, kelompok miskin maupun mereka yang

berpenghasilan tidak tetap dari sektor informal. (Siregar, 2006)

Tidak kunjung terpenuhinya kebutuhan perumahan segmen masyarakat

berpenghasilan rendah dan kelompok miskin terutama di kawasan yang sedang

mengkota (urbanised area) terjadi di tengah kesan adanya keberlanjutan program

subsidi KPR dan pengadaan blok demi blok Rusunawa. Padahal sebenarnya, program

subsidi KPR yang berasal dari subsidi APBN setiap tahun, lebih berhasil

memperlancar bisnis properti para pengembang, ketimbang semakin menjangkau

kemampuan dan kebutuhan perumahan rakyat berpenghasilan rendah dan miskin. Hal

Page 2: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 2 of 15

ini terlihat indikasinya dari luas permukiman kumuh di perkotaan yang semakin

bertambah dari tahun ke tahun (sekitar 47.000 Ha tahun 2000, 54.000 Ha pada tahun

2004 dan menjadi 59.000 Ha pada tahun 2009, BPS). (Siregar, 2006)

Penambahan luas permukiman kumuh dan informal adalah pertanda tidak

adanya pilihan bagi kaum miskin kota yang hendak bertempat tinggal di dekat tempat

kerjanya, dengan pengeluaran untuk perumahan dan transportasi yang mampu mereka

jangkau. Selain menghuni lahan-lahan terlarang dan terlantar yang tidak terawasi,

fenomena unsustainable housing and settlements ini terus semakin memadatkan dan

memperluas permukiman kumuh dan semakin memiskinkan warga masyarakat.

Pertambahan luas permukiman kumuh ini seiring pula dengan laju urbanisasi yang

tetap tinggi di kota-kota besar dan metropolitan di tanah air. Sehingga selain

mengindikasikan kelemahan program perumahan rakyat, menunjukkan pula lemahnya

pengelolaan proses urbanisasi di tanah air. (Siregar, 2006)

Meskipun telah diamanatkan Undang-undang untuk segera mengatasinya dan

setiap tahun tidak sedikit anggaran pembangunan dikerahkan, penanganan

permukiman kumuh yang tak kunjung menunjukkan hasil ini mengindikasikan pula

tidak pernah terjadinya proses formalisasi/ regularisasi dari perumahan dan

permukiman informal, yang merupakan wujud permukiman MBR dan miskin, ke

dalam pola-pola pembangunan kota yang formal. Ketiadaan kajian-kajian dari

berbagai program perumahan yang dijalankan pemerintah menyebabkan rendahnya

stabilitas kebijakan dalam jangka panjang, dan menjadikan program perumahan dan

permukiman bersifat sporadis tahunan dan tidak melembaga. Ancaman

ketidakberlanjutan dapat saja terjadi sewaktu-waktu, seperti ketika dilikuidasinya

Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 1999-2004, dan menurunnya peran dan

melemahnya kapasitas Perum-Perumnas dan lembaga-lembaga terkait perumahan

lainnya. (Siregar, 2006)

Ketidakberlanjutan program-program pemerintah ini bukan hanya

menunjukkan porsi suplai perumahan formal yang tetap kecil sebesar 10-20 %

dibanding pengadaan yang dilakukan masyarakat secara swadaya sebesar 80 - 90%,

namun keadaan ini mengindikasikan tidak pernah terbangunnya sistem penyediaan

perumahan (housing delivery system) secara komprehensif dan terintegrasi antar

ragam multi moda, sehingga lebih bisa menjamin target rumah yang layak dan

terjangkau bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 28-H UUD 1945.

(Siregar, 2006)

II. Tujuan Penulisan Makalah

Dilatar belakangi permasalahan yang muncul pada penerapan kebijakan perumahan

bagi masyarakat miskin di DKI Jakarta, Penulis bermakud melakukan kajian teoritis

yang bertujuan untuk:

1. Mengetahui konsep penyediaan rumah bagi masyarakat miskin yang tepat untuk

diterapkan di kota-kota besar;

2. Mengetahui perkembangan program perumahan bagi masyarakat miskin yang

telah diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;

Page 3: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 3 of 15

3. Menganalisa tata kelola kelembagaan yang tepat pada program perumahan bagi

masyarakat miskin sebagai bentuk sektor publik;

4. Merekomendasikan kebijakan penyediaan rumah bagi masyarakat miskin yang

sesuai di DKI Jakarta.

III. Konsep Rumah Untuk Masyarakat Miskin

Memperhatikan praktek penyelenggaraan perumahan yang dilakukan baik

oleh pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha swasta, setidaknya ada 4 (empat)

moda atau bentuk-bentuk penyedian perumahan, yaitu: Moda Perumahan Swadaya,

Moda Perumahan Umum, Moda Perumahan Sosial dan Moda Perumahan Komersial.

(Siregar, 2006)

Perumahan swadaya adalah moda penyediaan perumahan yang paling banyak

memproduksi perumahan rakyat di tanah air. Berdasarkan data produksi perumahan

secara formal oleh Perum-Perumnas dan pengembang swasta yang lebih kurang hanya

memenuhi 15 % dari kebutuhan perumahan setiap tahunnya, berarti ada lebih kurang

85% pengadaan perumahan dilakukan melalui moda perumahan swadaya. Baik

dilakukan secara formal individual maupun informal. Para pimilik tanah yang

memegang hak status yang jelas kemudian mengurus ijin bangunan ketika

membangun rumahnya adalah tergolong moda perumahan swadaya formal

(individual). Sedangkan warga yang menempati bantaran sungai dan lahan kosong

kemudian membangun hunian mereka sendiri, tergolong perumahan swadaya

informal.

Perumahan umum dan perumahan sosial adalah moda-moda penyelenggaraan

perumahan yang dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah nasional maupun

pemerintah daerah. Di negara-negara sosialis seperti China dan Rusia (di era Uni

Soviet), negara lebih memihak pada moda perumahan sosial. Di negara-negara

kesejahteraan (welfare state) seperti Swedia, Finlandia dan Norwegia, Jerman, Jepang

dan Singapura, keberpihakan lebih ditujukan kepada moda perumahan umum dan

terbukti relatif sukses membawa ekonomi negara-negara tersebut sebagai ekonomi

yang kokoh didukung oleh nilai lingkungan binaan yang semakin terapresiasi.

Sedangkan moda perumahan komersial atau real estat adalah semua praktik

penyediaan perumahan yang diadakan oleh pengembang swasta secara terencana.

Moda real estat menjadikan produksi perumahan sebagai suatu moda bisnis yang

terorganisir. Salah satu ciri khas pengadaan perumahan real estate (komersial) adalah

adanya motif mencari untung yang layaknya menjadi motif dunia usaha.

Kesamaannya dengan perumahan umum adalah bahwa baik perumahan umum

maupun perumahan komersial diselenggarakan secara terencana dalam skala kecil

hingga skala besar dan bersifat formal.

Di negara-negara demokrasi yang menonjol seperti Amerika Serikat,

kebebasan individual warganya lebih menonjol dengan moda perumahan swadaya dan

perumahan komersial, namun dilakukan di dalam iklim regulasi dan sistem yang

sudah melembaga. Namun demikian tumpuan pada sistem pembiayaan dan

penjaminan yang berlebihan di Amerika Serikat ternyata hanya menghasilkan

ekonomi gelembung (tidak riil) dan terbukti berkontribusi merubuhkan bangun

Page 4: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 4 of 15

ekonomi Amerika Serikat. Hanya di negara-negara yang sedang berkembang saja

moda perumahan komersial biasanya mendominasi di tengah iklim regulasi dan

kelembagaan yang sangat lemah.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa setelah pemberlakuan otonomi daerah,

secara total di Indonesia terdapat sekitar 90 wilayah dengan status kota. Dari skala

jumlah penduduknya maka secara rinci kota-kota tersebut dapat dikelompokkan

menjadi 3 yaitu, 18 kota besar (termasuk metropolitan) dengan penduduk diatas 700

ribu jiwa; 29 kota sedang dengan penduduk antara 200 ribu hingga 700 ribu jiwa; dan

43 kota kecil dengan penduduk dibawah 200 ribu jiwa. Kepadatan penduduk di kota

besar dan sedang berkisar 13.000 jiwa per km persegi (Kementerian Pekerjaan

Umum, 2008).

Dengan mempertimbangkan fakta sempitnya lahan perkotaan untuk tempat

tinggal dan nilai ekonomis lahan yang sangat tinggi karena harus bersaing dengan

kepentingan bisnis, Kementerian Pekerjaan Umum (2008) melakukan telaahan

strategis yang menyimpulkan bahwa Pemerintah dapat melakukan intervensi dalam

penyediaan perumahan bagi masyarakat miskin di wilayah perkotaan dengan

alternatif rumah susun.

Rusunami

Kehadiran rusunami di perkotaan bisa menjawab kebutuhan tempat tinggal

bagi masyarakat yang menganut paradigma konvensional yaitu bertempat tinggal

berarti menempati rumah milik sendiri. Namun rusunami memiliki beberapa

kelemahan. Dari segi harganya pasti relatif lebih mahal sehingga jangkauan pasarnya

relatif juga terbatas. Kecuali apabila kebijakan subsidi pemerintah diterapkan maka

pangsa pasar menjadi lebih luas sehingga golongan MBR dapat menjangkaunya.

Disamping itu rusunami juga memiliki kelemahan teknis, yaitu dari aspek

maintainace sustainability atau keberlanjutan pemeliharaan bangunan.

Rusunawa

Rusunawa sebagai alternatif lain dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal

di perkotaan memiliki beberapa keunggulan. Dari sisi harga sewa dan sistem sewa

(harian,bulanan atau tahunan) dapat dibuat banyak variasi yang relatif terjangkau oleh

golongan MBR maupun MBS (masyarakat berpenghasilan sedang), karena komponen

terbesar dari harga sewa yaitu kepemilikan lahan dapat ditekan seminimal mungkin.

Hal ini sangat mungkin dilakukan karena status kepemilikan lahan tidak berpindah

tangan sehingga fluktuasi harga lahan dapat dikendalikan. Disamping itu biaya untuk

kelengkapan prasarana dan sarana utilitas lingkungan relatif kecil karena kebutuhan

fasilitas ini sebagian besar dapat dipenuhi oleh fasilitas kota yang telah ada

sebelumnya. Keunggulan lain yaitu keberlanjutan pemeliharaan bangunan dapat

terjamin karena telah diprediksikan sejak awal dan diperhitungkan kedalam harga

sewa.

Disamping keunggulan diatas rusunawa juga memiliki beberapa kelemahan.

Yang pertama adalah belum adanya kepastian regulasi atas fluktuasi harga sewa. Para

penyewa seringkali harus mengalah atas kenaikan harga sewa yang dilakukan

semena-mena oleh pemilik bangunan terutama milik perseorangan. Hal ini dapat

terjadi karena masih langkanya supply rumah sewa di perkotaan. Karena itu

Page 5: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 5 of 15

diperlukan upaya yang sungguh sungguh dari berbagai pihak (pemerintah dan

masyarakat) untuk dapat menggeser secara bertahap atau merubah paradigma

bertempat tinggal dari landed houses menjadi rumah susun sewa.

Sementara itu United Nations Economic and Social Commission for Asia and

the Pacific (UNESCAP) dan United Nations Human Settlements Programme (UN-

HABITAT) di tahun 2008 juga menyusun Panduan Ringkas Untuk Pembuat

Kebijakan: Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-kota Asia pada tahun yang sama,

namun mendeskripsikannya secara lebih komprehensif.

Menurut UNESCAP dan UN-Habitat (2008), kebijakan yang dapat diterapkan

dalam rangka menyediakan perumahan bagi masyarakat miskin harus menggunakan

pendekatan yang komprehensif, dan tidak mengandalkan satu cara saja. Ada empat

pendekatan yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah penyediaan rumah

bagi masyarakat miskin dengan jitu.

Pertama, kebijakan yang diterapkan menggunakan pendekatan penyelesaian

masalah perumahan kota secara keseluruhan, bukan per proyek. Kebijakan perumahan

yang diambil sebaiknya menguntungkan populasi di permukiman kumuh dan ilegal

secara keseluruhan dalam sebuah kota, bukan hanya dibeberapa tempat saja. Yang

diperlukan adalah program sertifikasi tanah, perbaikan permukiman kumuh,

pengorganisasian permukiman kembali yang sukarela dan partisipatif ke lokasi baru

yang layak. Kebijakan perumahan juga harus mempromosikan kemitraan antara

pemerintah, MBR, LSM, organisasi masyarakat sipil, dan pihak swasta, dimana setiap

pihak menjalankan perannya masing-masing.

Kedua, kebijakan yang ditempuh bukan hanya memperbaiki kondisi

permukiman eksisting, perlu juga untuk mengantisipasi kedatangan rumah tangga

miskin yang baru tiba di kota. Para pendatang baru ini memerlukan perumahan juga.

Penghuni permukiman illegal, dan juga kontraktor kecil yang membantu permukiman

tersebut, seringkali merupakan produsen yang paling tepat dan efisien dalam

membangun perumahan yang terjangkau. Mereka dapat memainkan peran utama

sebagai produsen perumahan bagi rumah tangga baru ini. Tetapi pembangunan tipe

swadaya seperti ini tidak dapat terjadi dimana saja, karena tidak ada yang

menginginkan meningkatnya jumlah perumahan informal. Pembangunan semacam ini

harus terencana dengan baik dan memiliki lokasi dan pelayanan yang jelas.

Ketiga, sistem sewa dapat menjadi pilihan yang tepat bagi kebanyakan rumah

tangga miskin. Kebanyakan rumah tangga miskin lebih memilih untuk menyewa

daripada membangun rumah di permukiman kumuh. Mereka mungkin tidak mampu

meminjam atau mengumpulkan dana untuk membeli lahan melalui jalur informal,

atau membangun rumah. Mereka lebih memilih tetap fleksibel dan dapat pindah

sewaktu-waktu ada kerja di tempat lain, terutama bagi kepala rumah tangga yang

bekerja sebagai buruh atau pekerja tidak tetap. Atau sebagian memilih untuk tinggal

di kota untuk sementara waktu saja dan kembali ke kampung asalnya setelah

menabung dana yang cukup untuk membangun rumah. Karenanya, sebaiknya terdapat

kebijakan pemerintah yang memastikan ketersediaan rumah sewa yang cukup dan

terjangkau.

Dan yang keempat adalah memastikan kebijakan perumahan bagi kaum

miskin menjadi bagian dari proses perencanaan kota secara makro. Apabila upaya

penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah dan perencanaan kota

terintegrasi, maka hal tersebut akan membawa manfaat bagi kaum miskin dan juga

seluruh kota. Perencanaan kota di Asia seringkali dikeluhkan karena telah terganti

Page 6: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 6 of 15

dengan proyek ad-hoc yang dibuat berdasarkan permainan politik uang dan agenda

para lembaga donor, dan tidak melalui proses perencanaan di tingkat lokal seperti

seharusnya. Seringkali pejabat di kota Asia kurang memiliki kekuatan politik untuk

menerapkan rencana kota yang sudah disusun, terlepas dari baik atau buruknya

kualitas rencana tersebut. Akibatnya, kekuatan pasarlah yang mengatur pembangunan

kota. Kaum miskin kota, sebagai pihak yang lemah, akan tertindas atau dipaksa

pindah ke lahan marjinal yang tak layak huni, atau ke daerah peri-urban yang jauh

dari kesempatan kerja.

Strategi yang dapat diterapkan untuk melaksanakan kebijakan diatas adalah

sebagai berikut:

Investasi dalam membangun kemitraan

Upaya untuk memastikan penyediaan rumah murah, baik dalam kuantitas

maupun keragamannya, terlalu besar untuk ditangani oleh satu pihak saja. Akan

tetapi, untuk memastikan kemitraan tersebut efektif, mitra utama haruslah kaum

miskin itu sendiri. Sebagaimana umumnya sebuah kemitraan, harus dipastikan bahwa

setiap pihak memiliki peran yang sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Pemerintah dapat membantu kaum miskin untuk mengakses lahan melalui

beberapa cara. Mereka dapat mengalokasikan lahan dalam rencana pembangunan,

serta membantu mediasi antara agensi pemilik lahan, individu dan penghuni ilegal,

untuk bekerja sama dan berkompromi melalui berbagi lahan dan konsolidasi lahan.

Pemerintah juga sebaiknya meregulasi proses kepemilikan rumah sehingga tidak

menghambat inisiatif komunitas. Untuk mencegah kelas menengah mengambil jatah

lahan, pemerintah juga harus mengembangkan berbagai bentuk kebijakan inovatif

mengenai kepemilikan tanah di kota, seperti sertifikat tanah atau sewa tanah kolektif.

Kaum miskin dapat membuat tabungan kolektif, mengembangkan rencana

perbaikan rumah dan kampung, mengimplementasi rencana tersebut serta tetap

memiliki kontrol terhadap konstruksi dan proses penataan kawasan. Mereka juga

dapat mengembangkan organisasi komunitas yang solid dan mampu mengatur

kebutuhan anggotanya di masa datang, di dalam sebuat rencana pengentasan

kemiskinan jangka panjang.

LSM dapat membantu mendampingi organisasi komunitas tersebut agar

berjalan baik, memiliki mekanisme pembuatan keputusan kolektif, dan keahlian

manajemen finansial yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan rumah dan

lingkungan sebagai sebuah kelompok, suatu pekerjaan yang tidak dapat dilakukan

sendiri.

Pihak swasta dapat bernegosiasi dalam menyusun perjanjian berbagi lahan

(land sharing) atau mensubsidi proses relokasi, dan bukan hanya melakukan

penggusuran terhadap penghuni ilegal di tanah tersebut. Terdapat banyak kasus di

kota Asia dimana pemilik lahan melakukan negosiasi dengan para penghuni liar,

namun tetap menghasilkan keuntungan untuk pembangunan kembali di lahan tersebut.

Dengan cara ini juga, kaum miskin, yang juga penghuni pemukiman liar, tetap diberi

bantuan untuk mendapat tempat tinggal baru yang lebih layak.

Penyediaan pelayanan dasar melalui kemitraan

Tanggung jawab untuk mengembangkan prasarana dasar di komunitas miskin

dapat dibagi antara pemerintah, komunitas, dan rumah tangga. Prasarana besar

Page 7: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 7 of 15

eksternal harus disediakan oleh pemerintah. Anggota komunitas miskin, jika

terorganisasi dengan baik dan diberi sedikit bantuan teknis, dapat menjadi perancang,

kontraktor, dan pemelihara jaringan jalan internal, selokan, jaringan air limbah dan air

bersih serta listrik yang sangat efisien dan efektif. Pembangunan rumah dan

infrastruktur untuk setiap plot rumah dapat diatur terpisah oleh tiap rumah tangga,

ataupun kolektif, sebagai bagian dari kerjasama komunitas. Peraturan bangunan

formal, dan pilihan teknologi untuk konstruksi, harus fleksibel mengikuti proses

pembangunan yang bertahap karena tergantung dari keberadaan dana komunitas.

Tabungan komunitas dan peminjaman kredit

Mengingat harga rumah yang mahal, dan tidak terjangkau, sistem tabungan

dan simpan-pinjam menjadi penting. Kebanyakan rumah tangga miskin tidak bisa

meminjam ke bank sehingga kelompok komunitas dan LSM mempromosikan

tabungan komunitas dan kelompok kredit yang terorganisir. Manfaat mekanisme

simpan-pinjam kolektif ini sangatlah besar, baik bagi rumah tangga, maupun

komunitas. Melalui mekanisme simpan pinjam dan tabungan kolektif ini, mereka

belajar cara mengatur keuangan dan kapasitas manajerial, yang dibutuhkan untuk

proyek komunitas dalam skala lebih besar. Tabungan dan kredit juga memberikan

kaum miskin akses ke pinjaman jumlah kecil untuk pembangunan rumah berkala dari

tabungan kolektif tersebut, ataupun dari dana eksternal. Melalui cara ini, kelompok

menabung menjadi dasar pengembangan komunitas selanjutnya

Pembangunan berdasarkan komunitas

Warga miskin tidak memiliki kekuatan sebagai individu. Namun apabila

mereka bersatu, dan membentuk sebuah organisasi komunitas, baik dalam skala kota

ataupun skala negara, barulah mereka bisa mendapat kekuatan dan posisi negosiasi

yang baik. Tanpa organisasi komunitas semacam ini, kaum miskin akan terus

tergantung kepada orang lain, dan akan terus ditentukan kebutuhannya. Saat

terorganisasi menjadi kelompok yang kuat, kaum miskin kota dapat secara efisien dan

efektif meningkatkan kondisi perumahan dan lingkungan mereka, melalui cara yang

memastikan kelayakan huni bagi setiap rumah tangga di pemukiman tersebut.

Mempermudah peraturan dan prosedur yang ada

Peraturan dan prosedur untuk pembangunan rumah sebaiknya tidak

membatasi, namun justru mendukung peran kaum miskin untuk memecahka masalah

perumahannya. Seringkali peraturan daerah, peraturan membangun dan prosedur

perijinan hanya didesain untuk melayani pembangunan perumahan di sektor formal.

Jika pemerintah serius ingin menciptakan kondisi kota yang memungkinkan kaum

miskin untuk mendapatkan tempat tinggal, maka penyesuaian peraturan-peraturan

tersebut penting untuk dilakukan.

Bekerja dengan dasar informasi lokal

Satu masalah terbesar di pemerintahan yang terpusat ialah keputusan-

keputusan penting tidak dibuat oleh penduduk yang tinggal di daerah tersebut, namun

oleh pemerintahan pusat yang seringkali memiliki agenda pembangunan yang tidak

sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal. Oleh karena alasan inilah, desentralisasi

di tahap pembuatan keputusan dan perencanaan penganggaran marak dilakukan oleh

kota-kota Asia selama beberapa waktu terakhir ini. Hal penting dalam melaksanakan

Page 8: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 8 of 15

desentralisasi adalah pemutakhiran informasi lokal mengenai isu, populasi, kebutuhan

dan aspirasi kota tersebut. Pemerintah pusat perlu untuk bekerja lebih dekat dengan

pemerintah daerah dan pemangkukepentingan lokal untuk memastikan bahwa

informasi-informasi tersebut mutakhir dan dapat digunakan untuk menyusun proses

pembangunan. Dengan demikian, akan terjadi perencanaan, negosiasi dan monitoring

yang lebih baik, komprehensif, dan aspiratif, terutama bagaimana pembangunan

tersebut akan mempengaruhi warganya, termasuk kaum miskin yang memiliki

masalah dan kebutuhan perumahan yang seringkali tidak tertanggapi di dalam rencana

pembangunan, serta informasi yang digunakan untuk menyusun rencana tersebut.

Membuka kesempatan untuk dialog

Perubahan besar yang terjadi di kota Asia akhir-akhir ini, bukanlah hasil dari

rencana pembangunan jangka panjang yang disusun oleh pemerintah, namun hasil

dari proyek ad-hoc yang diwarnai dengan nuansa politis, investasi pihak swasta dan

dukungan dana besar dari lembaga donor asing. Dalam konteks ini, forum dan

pendekatan yang mendukung hadirnya dialog dan pembuatan konsensus antar

pemangku kepentingan, sangatlah penting. Pendekatan semacam ini adalah seperti

strategi pembangunan kota, forum kota dan konsultasi dengan kota. Kesamaan utama

diantaranya adalah, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan berdasarkan pelibatan para

pemangku kepentingan dalam riset, diskusi, perencanaan dan pelaksanaan. Dialog

tersebut juga dapat diinisiasi oleh pemerintah pusat dan lokal, sebagaimana halnya

dalam strategi pembangunan kota (city development strategies) dan konsultasi kota,

atau melalui organisasi sipil seperti Urban Resource Centre, dan juga forum kota.

IV. Perkembangan Program Perumahan Bagi Masyarakat Miskin di DKI Jakarta

Untuk menanggulangi permasalahan perumahan bagi masyarakat miskin,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan sejumlah kebijakan yang menjadi

bagian dari program kerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013-2017. Dari

11 program kerja urusan perumahan rakyat di Provinsi DKI Jakarta untuk tahun

2013–2017, ada 3 program yang terkait dengan penyediaan rumah bagi masyarakat

miskin.

Program Peningkatan Kualitas dan Perbaikan Kampung

Indikator kinerja yang akan dicapai pada program ini antara

lain: terlaksananya penataan kampung sepanjang daerah aliran sungai Ciliwung,

jumlah unit Rusun tematik yang terbangun, jumlah lokasi Kampung Tematik, jumlah

RW kumuh yang tertata, memberdayakan masyarakat dalam perbaikan kampung

terpadu, memperbaiki jalan lingkungan, dan terlaksananya pengembangan perbaikan

kampung terpadu.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Corporate Social Responsibility

(CSR), menggandeng sejumlah perusahaan swasta, BUMD dan BUMN untuk

melakukan perbaikan kampung, sebagai komitmen awal dunia usaha menjadi mitra

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan program Perbaikan Kampung

Permukiman Kumuh di DKI Jakarta (Kompas.com).

Program perbaikan kampung di DKI Jakarta menitikberatkan pada kegiatan

pembangunan fisik lingkungan seperti pembangunan prasarana jalan, saluran

Page 9: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 9 of 15

penghubung, sarana kesehatan dan fasilitas publik lainnya. Pemprov DKI Jakarta

melaksanakan program perbaikan kampung pada lokasi permukiman kumuh yang

dilaksanakan secara berkesinambungan, mulai dari pembentukan kelompok swadaya

masyarakat, pendampingan dan penguatan kelompok swadaya masyarakat,

peningkatan peran serta masyarakat dan pemandirian kelompok swadaya masyarakat

dengan salah satu hasilnya adalah dirumuskannya Community Action Plan (CAP)

dengan berdasarkan kepada kebutuhan masyarakatnya.

Dari CAP inilah, Pemprov DKI Jakarta melakukan pemilahan program

perbaikan kampung bekerjasama dengan dunia usaha, antara lain pembangunan

prasarana umum kawasan perumahan mulai dari perencanaan teknis sampai dengan

pelaksanaan fisiknya, termasuk pembangunan ruang interaksi sosial, perbaikan rumah

tidak layak huni, perbaikan MCK dan sarana penunjang fasilitas publik lainnya.

Program Penyediaan Perumahan Rakyat

Indikator kinerja yang akan dicapai antara lain: terbangunnya Super Blok

Rusunawa, jumlah unit Rusunawa yang terbangun (APBD), Jumlah unit Rusunawa

yang terbangun (APBN), terbangunnnya unit Rusunawa di lokasi pasar, dan

terlaksananya pembangunan perumahan yang layak huni dan terjangkau.

Saat ini status kepemilikan rumah masyarakat yang berada di permukiman

kumuh umunya berstatus milik sendiri (73,10%), kemudian disusul kontrak/ sewa

(23,25%), menempati rumah dinas (0,79%), dan sisanya 2,86% berstatus lainnya.

Kondisi lainnya ini kemungkinan karena mereka yang tinggal di bantaran sungai,

pinggir rel Kereta Api, dan sebagainya. Jika diamati antar wilayah, tampak bahwa

masyarakat di permukiman Kepulauan Seribu dan Jakarta Pusat memiliki porsi

terbesar dalam status rumah milik sendiri (91,83% dan 78,54%), sementara yang

terendah ada di Jakarta Selatan (69,29%), lihat lampiran Tabel 3.

Pada tahun 2013, proyek Super Blok Rusunawa baru terealisasi 45 hektare di

Marunda dan Pasar Minggu dari rencana pembangunan seluas 400 hektare di

Marunda dan 200 hektare di Pasar Minggu. Penggunaan Rusunawa terpadu ini

ditujukan untuk merelokasi warga yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung

(republika.co.id).

Pada tahun 2012, Pemerintah DKI Jakarta menyelesaikan pembangunan 900 unit

Rusunawa. Dengan tambahan ini, total jumlah rumah susun di Jakarta mencapai lebih dari 12

ribu unit yang tersebar di lima wilayah. Data dari BPS DKI Jakarta menunjukan bahwa

peningkatan ketersediaan rumah susun di tahun 2012 cukup tinggi. Saat ini jumlah

unit di DKI Jakarta ada 28.422 unit dari 520 lokasi Rusunami, lihat lampiran Tabel 1

dan 2.

Sedikitnya 3.741 unit atau 33,3 persen rusun yang selesai dibangun tersebut

belum terhuni. Penyebabnya antara lain adalah masih banyak warga yang

diprioritaskan menyewa rumah susun tidak mau masuk, ada pula yang terhambat oleh

aturan Pemda DKI sendiri. Untuk masuk rumah susun, setidaknya masyarakat harus

memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Selain itu, mereka harus dipastikan

tidak memiliki rumah dan penghasilannya mesti di bawah Rp 2,5 juta sebulan. Biaya

sewa yang diterapkan untuk setiap unit rumah susun juga menjadi masalah tersendiri.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 mengenai Besaran Tarif, biaya sewa

Page 10: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 10 of 15

rumah susun beragam. Ada yang paling murah di Tambora, Jakarta Barat, sebesar Rp

45 ribu per bulan. Ada pula biaya sewa rumah susun yang mencapai Rp 500 ribu per

bulan, yakni di Pondok Bambu, Jakarta Timur (tempo.co).

Program Penyiapan Mayarakat Calon Penghuni Rumah Susun

Indikator kinerja yang akan dicapai antara lain: terlaksananya sosialisasi hak

dan kewajiban penghuni Rusun, dan termanfaatkannya study dan kajian-kajian

tentang persepsi masyarakat terhadap hunian apartemen dan rumah tapak.

V. Tata Kelola Kelembagaan Pada Program Perumahan Bagi Masyarakat Miskin

Sektor publik terdiri dari aktivitas-aktivitas ekonomi yang dikendalikan oleh

pemerintah. Isu terlegitimasinya adalah bahwa sektor publik bukan merupakan subjek

dari pasar kompetitif dan mungkin kekurangan insentif untuk mengendalikan biaya,

menyediakan layanan berkualitas, dan merespon kebutuhan konsumen. Karena itu,

lingkungan apa yang sesuai bagi sektor publik dan sektor mana yang seharusnya

memberikan layanan publik tertentu menjadi pertanyaan yang penting (Grout, 2007).

Untuk beberapa bentuk layanan publik, Grout (2007) menunjukan bahwa

Pemerintah memilih mempertahankan hubungan yang lebih langsung dengan sektor

swasta atau terus menyajikan layanan publik seorang diri. Ada beberapa alasan

mengapa mereka melakukan hal ini:

1. Karakteristik layanan mungkin membuat model privatisasi penuh tidak dapat

dijalankan, misalnya jaringan jalanan perkotaan yang terintegrasi;

2. Kemiskinan mungkin membuat pengenaan tarif ekonomi tidak memungkinkan;

3. Kadang satu-satunya pembeli adalah pemerintah sendiri, misalnya pertahanan,

atau di banyak ekonomi, layanan perawatan kesehatan dan pendidikan dasar;

4. Pemerintah mungkin menghadapi tekanan politik anti privatisasi dari pekerja atau

pemilih.

Lantas, bagaimana program penyediaan perumahan di negara-negara

berkembang lainnya. Apakah Pemerintah harus selalu mengintervensi pasar agar

masyarakat miskin mudah untuk mendapatkan lahan, dapat tinggal dirumah yang

layak dan dekat dengan sumber mata pencaharian.

Di Mumbai dan Bangkok terdapat beberapa program pembangunan rumah

deret yang terkenal dan berhasil. Rumah deret adalah salah satu cara untuk

mengurangi harga rumah per unit adalah dengan membangun rumah dengan ukuran

kecil, memiliki gang yang sempit dan berkepadatan tinggi agar dapat menampung

rumah tangga sebanyak-banyaknya. (UNESCAP et.al, 2008).

Di Kamboja, perbaikan permukiman kumuh didanai dari Dana Pembangunan

Kaum Miskin Kota (Urban Poor Development Fund – UPDF) yang diprakarsai

masyarakat setempat. UPDF mendukung proses perbaikan komprehensif, dimana

masyarakat merencanakan dan menjalankannya sendiri. Pendekatan ini termasuk

membuat jalan, saluran, kamar mandi, dan beberapa perbaikan lingkungan, termasuk

menyediakan pinjaman kolektif untuk perbaikan perumahan, kegiatan yang

mendatangkan pendapatan dan skema kesejahteraan masyarakat. Proyek perbaikan

komprehensif di Phnom Penh ini juga mengarah ke perbaikan status kepemilikan

lahan di beberapa masyarakat di pemukiman ilegal. (UNESCAP et.al, 2008).

Page 11: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 11 of 15

Pengikut setia kebijakan perumahan pemerintah sering menggunakan cerita

sukses dari Hong Kong dan Singapura di tahun 1960an dan awal tahun 1970an, untuk

membuktikan bahwa pemerintah dapat menyediakan perumahan yang terjangkau dan

layak bagi kaum miskin kota. Yang perlu diketahui dari kedua kasus itu adalah, Hong

Kong merupakan sebuah koloni dan Singapura adalah negara kota, sehingga

keduanya memiliki anggaran kerja yang lebih besar dari negara-negara lain. Tidak

seperti kota Asia pada umumnya, Singapura tidak memiliki pinggiran kota dan tidak

ada migrasi desa kota secara terus menerus, hingga menyulitkan persediaan

perumahan kota. (UNESCAP et.al, 2008).

Sementara di Malaysia sejak 1982, kebijakan pemerintah Malaysia adalah

swastanisasi perumahan untuk MBR, dengan mensyaratkan pengembang menyisihkan

30% proyek pembangunan mereka, sebagai kewajiban sosial. Gagasannya: laba dari

penjualan ruang komersil dan perumahan mewah akan memberikan subsidi silang

bagi pembangunan unit untuk MBR, yang dijual dengan harga tetap bagi rumah

tangga yang digusur pada tahun 1980an dari kampung tradisional mereka, dan

direlokasi ke perumahan sementara milik pemerintah di luar kota. (UNESCAP et.al,

2008).

Dari beberapa contoh kebijakan yang diterapkan di negara-negara

berkembang, Program Baan Mankong merupakan contoh penting bagi pemerintah

Asia lainnya, yang menunjukkan bahwa penggunaan aset publik bagi perumahan

publik sebetulnya bisa terjadi. Dari 957 proyek perumahan komunitas yang diterapkan

mulai September 2007 (di 226 kota Thailand, dan memberi manfaat bagi 52.776

rumah tangga), lebih dari setengahnya berada pada lahan publik yang dimiliki oleh

badan pemerintah. (UNESCAP et.al, 2008).

VI. Rekomendasi Kebijakan

Kebijakan yang dapat diterapkan dalam rangka menyediakan perumahan bagi

masyarakat miskin adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan perumahan bagi masyarakat miskin harus bersifat menyeluruh meliputi

program sertifikasi tanah, perbaikan permukiman kumuh, pengorganisasian

permukiman kembali yang sukarela dan partisipatif ke lokasi baru yang layak,

dan program pembiayaannya.

2. Kebijakan yang ditempuh perlu juga untuk mengantisipasi kedatangan rumah

tangga miskin yang baru tiba di kota. Oleh karena itu selain memperhitungkan

pembangunan tipe perumahan yang terencana dengan baik, memilih lokasi yang

tepat dan pelayanan yang jelas, kebijakan untuk menekan urbanisasi dan

memperkecil ketimpangan daerah juga harus dijalankan.

3. Rusunawa adalah salah satu alternatif kebijakan sistem sewa dapat menjadi

pilihan yang tepat bagi kebanyakan rumah tangga miskin ditengah kondisi kota

dengan kepadatan tinggi. Karena kebanyakan rumah tangga miskin lebih memilih

untuk menyewa daripada membangun rumah. Selain itu prosedur untuk

mendapatkan izin penggunaan Rusunawa juga harus dipermudah dan menerapkan

asas keadilan dan pemerataan.

Page 12: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 12 of 15

4. Memastikan kebijakan perumahan bagi kaum miskin menjadi bagian dari proses

perencanaan kota secara makro dan tidak terpengaruh dengan gejolak politik.

5. Mempererat semua elemen kemitraan, yaitu Pemerintah, MBR, LSM, organisasi

masyarakat sipil, dan pihak swasta.

VII. Daftar Pustaka

Akuntono, Indra, (2012), Perbaikan Kampung Ala Jokowi Siap Dieksekusi 2013,

terdapat di situs http://lipsus.kompas.com/gebrakan-jokowi-basuki/, diunduh

tanggal 12 Juni 2014.

BPS DKI Jakarta, (2013), Evaluasi Rukun Warga Kumuh Provinsi DKI Jakarta 2013,

Katalog BPS 3304002.31, BPS Provinsi DKI Jakarta.

BPS DKI Jakarta, (2014), Informasi Statistik DKI Jakarta Juni 2014, Leaflet Edisi

3100.0614, Bidang IPDS - BPS Provinsi DKI Jakarta.

BPS DKI Jakarta, (2013), Tingkat Kemiskinan di DKI Jakarta Maret 2013, Berita

Resmi Statistik BPS Provinsi DKI Jakarta No. 32/07/31/XV, 1 Juli 2013.

Grout, P. A., (2008), Private Delivery of Public Service, based on Professor Grout’s

keynote address at the European Commission’s Eurosocial Taxation

Conference,Mexico, 24th – 28th November, The Centre for Market and Public

Organisation University of Bristol.

Kementerian Pekerjaan Umum, (2008), Merubah Paradigma Bermukim dari Landed

House Menjadi Rumah Susun, terdapat di situs http://www.pu.go.id/, diunduh

tanggal 10 Juni 2014.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Program Kerja Urusan Perumahan Rakyat Tahun

2013-2017, terdapat di situs http://www.jakarta.go.id/web/news/2013/12/

urusan-perumahan-rakyat-2013-2017, diunduh tanggal 12 Juni 2014.

Republika.co.id, (2013), Pemprov DKI Jakarta Akan Bangun Rusun Superblok,

terdapat di situs http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-

nasional/, diunduh tanggal 12 Juni 2014.

Sen, Amartya, 2000, Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford and

New York.

Siregar, M. Jehansyah, 2006, Identifying Policy Networks in the Development of

Indonesian Housing Policy, Disertasi pada Urban Planning and Regional

Development Laboratory, Department of Urban Engineering, The University

of Tokyo, Jepang

Tempo.co, (2012), Meski 30 Persen Kosong, Jakarta Terus Bangun Rusun, terdapat di

situs http://www.tempo.co/read/news/2012/10/27/, diunduh tanggal 12 Juni

2014.

UNESCAP et.al, (2008), Housing the Poor in Asian Cities, Quick Guide 1-8, United

Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific

(UNESCAP) dan United Nations Human Settlements Programme (UN-

HABITAT), United Nations Office, Nairobi.

Page 13: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 13 of 15

Lampiran Gambar

Gambar 1. Penduduk Miskin DKI Jakarta 2003 - 2013

Sumber: BPS DKI Jakarta

Gambar 2. Multi-moda Penyediaan Perumahan Secara Komprehensif

Sumber: Siregar, 2006.

Page 14: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 14 of 15

Lampiran Tabel

Tabel 1. Rumah Susun Sederhana Menurut Kota Tahun 2012

Kota Jumlah Lokasi Luas Area (Ha) Jumlah Unit

Jakarta Selatan 2 3,00 520

Jakarta Timur 15 73,24 9.401

Jakarta Pusat 10 23,73 7.297

Jakarta Barat 8 35,81 3.430

Jakarta Utara 13 95,92 7.774

DKI Jakarta 48 231,70 28.422

Sumber : BPS DKI Jakarta

Tabel 2. Indikator Perumahan (%) di DKI Jakarta

Karakteristik 2010 2011 2012

Lantai (bukan tanah) 96,40 99,75 99,64

Luas Lantai perkapita

(< 10m2)

53,91 58,01 57,51

Dinding (tembok) 90,80 91,88 91,21

Atap (kayu/ sirap,

beton, genteng)

56,11 55,03 50,57

Fasilitas penerangan 99,79 99,95 99,92

Fasilitas air minum

(Leding,kemasan)

79,30 81,94 85,99

Jamban (milik sendiri) 72,84 76,30 77,33

Septic tank 93,34 93,90 93,02

Sumber : BPS DKI Jakarta

Tabel 3. Persentase Kepala Keluarga di RW Kumuh

Kabupaten/ Kota Status Kepemilikan Rumah

Milik Sendiri

Kontrak/ Sewa

Rumah Dinas

Lainnya

Jakarta Selatan 69,29 26,61 1,48 2,42

Jakarta Timur 71,35 27,31 0,92 0,42

Jakarta Pusat 78,54 14,99 0,70 5,77

Jakarta Barat 72,17 24,72 0,81 2,30

Jakarta Utara 72,18 24,34 0,39 3,09

Kepulauan Seribu 91,83 6,75 0,94 0,47

DKI Jakarta 73,10 23,25 0,79 2,86

Sumber : BPS DKI Jakarta

Page 15: Konsep kebijakan perumahan rakyat miskin

Sastyo Aji Darmawan – 13065422 Page 15 of 15

STATEMENT OF AUTHORSHIP

“Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa paper terlampir adalah murni

hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa

menyebutkan sumbernya."

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk paper orang lain

kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan menggunakannya.

Saya memahami bahwa paper yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau

dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Nama : Sastyo Aji Darmawan

NPM : 1306355422

Mata Kuliah : Kebijakan Ekonomi Indonesia

Judul Paper : Konsep Kebijakan Perumahan Bagi Masyarakat Miskin

Di Provinsi DKI Jakarta

Tanggal : 13 Juni 2014

Dosen : Ringoringo H. Achmadi

Salemba, 13 Juni 2014

Sastyo Aji Darmawan