KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI...

94
KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI KARTANEGARA Skripsi Diajukan ke Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : Oleh: RUSMIYANAH NIM: 1113033100068 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H / 2018 M

Transcript of KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI...

Page 1: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI

KARTANEGARA

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Oleh:

RUSMIYANAH

NIM: 1113033100068

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M

Page 2: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM
Page 3: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM
Page 4: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM
Page 5: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM
Page 6: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

iv

ABSTRAKSI

Judul: Konsep Epistemologi Menurut Mulyadhi Kartanegara

Epistemologi Islam Mulyadhi Kartanegara menggambarkan cara pandang

pencapaian terhadap ilmu secara luas. Tidak hanya materi epistemologi umum

dengan segala keterbatasan-keterbatasannya, melainkan juga epistemologi Islam

dengan melihat ketentuan-ketentuan tertentu yang menjadikan epistemologi Islam

sebagai pengetahuan yang kompleks. Tidak dapat dipungkiri, epistemologi umum

yaitu Barat lebih dikenal dengan baik oleh masyarakat dibanding epistemologi

Islam. Jika diamati sesungguhnya epistemologi Islam mampu menyajikan

pemahaman lebih mendalam, yaitu dengan menentukan langkah-langkah berikut.

Pertama, status ontologis obyek ilmu. Kedua, basis ontologis klasifikasi ilmu.

Ketiga, metode-metode ilmiah. Keempat, kriteria obyektivitas ilmu.

Secara umum bentuk epistemologi yang ditawarkan Mulyadhi Kartanegara

adalah sikap kritis dan perbandingan terhadap epistemologi Barat dan

epistemologi Islam. Ia melihat bahwa epistemologi Barat telah mempengaruhi

sistem pendidikan termasuk di negara-negara Muslim yang mana hal tersebut

tidak cocok dengan nilai-nilai budaya Islam yang apabila dibiarkan tentu dapat

mempengaruhi keyakinannya. Sebagaimana diketahui epistemologi Islam

memandang obyek ilmu lebih luas, yaitu ia mengakui obyek-obyek fisik juga

nonfisik. Sebaliknya, berbeda dengan Barat yang memandang obyek ilmu secara

sempit yaitu hanya membatasi kajian pada obyek yang fisik saja.

Skripsi ini mengkaji epistemologi Mulyadhi Kartanegara, tujuan utama

penelitian ini adalah untuk mengetahui, membahas dan menganalisis secara

sistematis pemikiran Mulyadhi Kartanegara demi menjawab sejauh manakah

konsep epistemologi menurut pandangannya. Metode yang digunakan oleh

penulis dalam menyusun skripsi ini adalah library research.

Page 7: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................... iii

ABSTRAK .......................................................................................................... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ........................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7

D. Metodologi Penelitian ......................................................... 8

E. Sistematika Pembahasan ..................................................... 9

BAB II BIOGRAFI MULYADHI KARTANEGARA

A. Biografi dan Latar Belakang Intelektual ............................ 10

B. Pokok-pokok Pikirannya .................................................... 12

C. Karya-karyanya .................................................................. 15

D. Kedudukannya dalam Filsafat Islam………………........19

BAB III TEORI TENTANG EPISTEMOLOGI DAN BAGIAN-

BAGIANNYA

A. Definisi Epistemologi ......................................................... 20

B. Obyek Kajian Epistemologi ............................................... 24

C. Sejarah Epistemologi .......................................................... 27

D. Aliran-aliran Epistemologi Islam ....................................... 41

1. Burhânȋ ........................................................................ 42

2. ‘Irfânȋ .......................................................................... 43

Page 8: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

x

3. Bayânȋ .......................................................................... 44

BAB IV TINJAUAN TERHADAP KONSEP EPISTEMOLOGI

ISLAM

A. Konsep Status Ontologis Obyek Ilmu ................................ 47

B. Konsep Klasifikasi Ilmu ..................................................... 57

C. Metode-metode Ilmiah ....................................................... 63

D. Kriteria Obyektivitas Ilmu .................................................. 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 76

B. Saran-saran ......................................................................... 77

Daftar Pustaka ................................................................................................. 78

Riwayat Hidup Peneliti ................................................................................... 83

Page 9: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

vi

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang amat sangat mendalam kepada Allah swt, atas segala

limpahan rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta kepada keluarganya,

sahabatnya dan para pengikutnya yang telah menyebarluaskan dakwah Islam ke

seluruh penjuru dunia.

Alhamdulillah, penulisan skrpisi yang berjudul “ Konsep Epistemologi

Menurut Mulyadhi Kartanegara”, telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya

Ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi strata satu (1) guna memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk

itu saya merasa perlu menghanturkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin) dan segenap

civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.

2. Dra. Tien Rohmatin, MA. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam)

terimakasih telah menyetujui proposal skripsi, juga atas nasihat dan

bantuannya.

3. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan

Filsafat Islam.

Page 10: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

vii

4. Kusen, Ph. D, sebagai pembimbing skripsi, terimakasih telah meluangkan

waktunya dan mengerahkan segala tenaga dan pikirannya, terimakasih

telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini dengan baik.

5. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

beserta jajarannya.

6. Teruntuk kedua orang tua penulis Rusdi dan Maryunah, yang tak henti-

hentinya memberikan doa, serta bantuan baik moril maupun materil

kepada penulis demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Juga kepada

kakak-kakak dan adik-adik yang selalu mendukung dan menyemangati

penulis.

7. Para dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan

ilmu yang luas kepada penulis. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan

Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, terimakasih atas sumber

daya dan fasilitasnya.

8. Terimakasih untuk calon imam, Fahrurrozi Wahid, S.Pd. I yang selalu

memberikan semangat setiap saat.

9. Terimakasih untuk teman-teman seperjuangan Aqidah Filsafat Islam

angkatan 2013, Rizka, Fitroh, Puji, Dalilah, Geti, Cici dan teman-teman

yang lainnya, atas diskusi dan partisipasinya dalam proses penyelesaian

skripsi

10. Terimakasih untuk para pengurus Pondok Pesantren Bait al-Qur’an Mulia,

untuk sarana dan prasarananya serta dukungannya.

Page 11: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

viii

11. Dan kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,

yang banyak membantu, mempermudah dan memperlancar hingga skripsi

ini akhirnya selesai.

Ciputat, 21 Februari 2018

Rusmiyanah

Page 12: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menyelesaikan permasalahan, kita dituntut untuk berpikir, bersikap,

dan bertindak secara obyektif. Pertanyaannya adalah apa itu obyektif ? Apa ukuran

atau kriteria sesuatu itu dapat dikategorikan obyektif atau tidak obyektif ? Inilah

salah satu masalah utama dalam ranah epistemologi.

Salah satu aliran falsafah, yaitu positivisme berpendapat bahwa segala

sesuatu dapat dikategorikan obyektif bilamana sesuatu itu dapat dibuktikan

kebenarannya secara ilmiah. Menurut posistivisme, sesuatu dapat dikatakan ilmiah

jika sesuatu itu dapat terinderawi (terlihat, terdengar, terasa, teraba), dapat

diujicobakan (eskperimen), diukur dan diramalkan.1Sedangkan menurut Alfred

Jules Ayer menyangkut realitas inderawi maka mesti dilakukan observasi atau

sekurang-kurangnya mempunyai hubungan dengan observasi. Begitupun sebuah

ucapan dapat dikategorikan mempunyai makna jika menunjuk kepada suatu hal

yang sifatnya empiris. Misalnya “keranjang itu berisi 30 buah Mangga”.2Apakah

pernyataan tersebut benar ? Untuk mendapatkan benar atau tidak benarnya, maka

diperlukan observasi dan verifikasi. Jika setelah diobservasi dan diverifikasi

ternyata jumlah mangganya cuma 20 buah, maka pernyataan yang menyatakan

1Keterangan lebih lanjut tentang positivisme lihat buku Filsafat Agama 1, oleh Amsal

Bakhtiar, diterbitkan di Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 114. Dan buku Filsafat Ilmu dan Ilmu KeIslaman, oleh Biyanto, diterbitkan di Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, h. 257.

2K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), h. 35.

Page 13: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

2

bahwa keranjang itu berisi 30 buah Mangga menjadi tidak benar. Sebaliknya jika

setelah diobservasi dan diverifikasi ternyata jumlah Mangganya 30, maka

pernyataan itu benar. Benar dan tidak benarnya sesuatu mesti bersesuaian dengan

fakta. Dalam epistemologi, kebenaran yang didasarkan pada fakta dilapangan

disebut korespondensi.3

Ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri.

Pengetahuan (knowledge) mempunyai berbagai cabang pengetahuan dan ilmu

(science) merupakan salah satu cabang pengetahuan tersebut. Karakteristik

keilmuan itulah yang mencirikan hakekat keilmuan dan sekaligus yang

membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan lainnya. Karakteristik

keilmuan menjadikan pengetahuan menjadi bersifat ilmiah.4

David Hume berpendapat bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman

yang diterima oleh kesan inderawi. Hal ini mendorong kita bahwa untuk

menemukan sebuah pengetahuan, diperlukan adanya pengalaman. Dengan

demikian, bahwa untuk membuktikan kebenaran akan pengetahuan, diperlukan

penelitian di lapangan, observasi, percobaan, agar manusia dapat mengetahui

berbagai hal.5Comte meyakini bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah

pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Ia mendepak metafisika dengan

keyakinannya bahwa segala sesuatu yang dapat manusia ketahui adalah apa yang

3Keterangan lebih lanjut soal korespondensi lihat buku Integrasi Ilmu Agama dan Umum:

Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan ditulis oleh Masri Elmahsyar Bidin, M. Syairozi Dimyati, DKK, diterbitkan di Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003, h. 12.

4Universitas Muhammadiyah Surakarta, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994), h. 1.

5Muhammad Alfan, Filsafat Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 171.

Page 14: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

3

tertangkap pancaindra. Para metafisikus yang bersibuk di kursi goyangnya

mencoba mereka-reka kemutlakan semesta dipandang sebelah mata oleh Comte.

Menurutnya, para failasuf spekulatif tersebut belum mencapai tahap

kedewasaannya yaitu pada falsafah positif. Positivisme sangat menekankan ilmu

pengetahuan atau ilmu positif sebagai puncak perkembangan manusia.6

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, kiranya dapat ditarik pemahaman

bahwa sesuatu dapat dikategorikan obyektif bilamana sesuatu itu bersesuaian

dengan fakta di lapangan. Dengan kata lain, pengalaman inderawi dilihat sebagai

sarana paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Melalui indera-indera

seseorang dapat berhubungan dengan dan mencerap berbagai macam obyek di luar

dirinya. Penekanan kuat pada kenyataan ini dikenal dengan nama realisme (hanya

kenyataan atau sesuatu yang sudah menjadi faktum dapat diketahui).7Jadi, dalam

empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris

yang diperoleh dari panca indera.8

Jika rumusan obyektivitas ilmu pengetahuan didasarkan semata-mata pada

hal-hal yang empiris, maka disinilah muncul persoalan yang sifatnya sangat serius,

yakni menyangkut keberadaan Tuhan. Sebagai Muslim, Tuhan ditempatkan

sebagai dzat yang tertinggi. Dan keberadaan Tuhan tidak dapat diempiriskan.

Karena itu jika kita menggunakan rumusan kaum positivisme, maka keberadaan

6Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai

Thomas Kuhn, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 65. 7Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), h. 43-44. 8Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 45.

Page 15: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

4

Tuhan menjadi tidak ada, karena Tuhan tidak dapat terinderawi, terukur dan

terujicobakan. Kebenaran metafisika dianggap tidak obyektif.

Sebagai umat Muslim meyakini keberadaan Tuhan hukumnya adalah

wajib, yaitu bisa dicapai melalui pengetahuan. Sebagaimana Islam adalah agama

yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Al-qur’an adalah kitab yang begitu

besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Hal ini seperti

tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali.

Misal, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berkaitan

dengan perintah membaca (Iqra’) dan menulis yang disimbolkan dengan “pena”

(qalam).9Perintah Allah yang pertama kepada Nabi melalui wahyu pertama yang

diterimanya tersebut adalah “bacaan dengan (menyebut) nama Allah”, dan dari

sudut pandang Islam, membaca itu bukan hanya pintu menuju ilmu, akan tetapi

juga cara untuk mengetahui dan menyadari Allah.10

Tentu saja sebagai Muslim tidak sepakat dengan pandangan kaum

positivisme. Pertanyaannya adalah kalau begitu apakah ada kriteria lain

menyangkut obyektivitas ilmu pengetahuan ? Menurut perspektif falsafah Islam,

obyektivitas ilmu itu tidak semata-mata didasarkan pada empiris semata. Ibn Sȋnâ

dan Mulla Shadra misalnya, beliau berpendapat selain indera dan akal sebagai alat

utama penelitian ilmiah, failasuf Ibn Sȋnâ masih mengakui adanya daya lain yang

dimiliki manusia, yaitu hati (intuisi) yang disebutnya al-hads al-qudsi (intuisi

9Adian Husaini, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 27-

28. 10C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj: Hasan Basari, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 16.

Page 16: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

5

suci), yang dimiliki oleh para nabi dan sampai taraf tertentu oleh para wali

(Sufi).11

Mulyadhi Kartanegara adalah Salah seorang yang menolak pandangan

Barat tersebut. Beliau berpendapat bahwa mestinya obyektif itu artinya sesuai

dengan obyeknya. Namun, karena yang nyata atau riil itu tidak hanya yang fisik,

tetapi juga, paling tidak menurut para failasuf Muslim, yang non fisik, maka

ukuran obyektivitas sebuah objek ilmu tidak bisa hanya diukur dengan kriteria

fisik, tetapi harus diukur berdasarkan atau disesuaikan dengan sifat dasar dari

obyeknya yang bisa fisik tetapi juga bisa non fisik.12

Dalam konteks inilah pentingnya menggali pemikiran Mulyadhi

Kartanegara lebih lanjut, karena itu penulis tertarik untuk mengangkat pembahasan

epistemologi sebagai judul.

Sisi lainnya kenapa mesti perlu mengangkat pemikiran epistemologi

Mulyadhi Kartanegara adalah tentang status ontologis obyek-obyek baik yang fisik

maupun yang metafisik.

Para failasuf Muslim mempercayai status ontologis obyek-obyek

metafisika seperti wujud sebagai wujud, Tuhan, Malaikat, akal dan jiwa, maka

pengetahuan tentang obyek-obyek metafisika ini sebagaimana adanya adalah

sesuatu yang mungkin secara filosofis.13

Untuk mengetahui obyek-obyek ilmu

sebagaimana adanya, seseorang bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur

11Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2003), h. 86. 12Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:

Mizan, 2003), h. 64-65. 13Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 47.

Page 17: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

6

yang diambil oleh seorang ilmuwan untuk sampai pada pengetahuan tentang

sebuah obyek sebagaimana adanya.14

Seperti peristiwa kenabian, menurut para

failasuf Muslim, tak lain adalah kontak Nabi dengan akal aktif, sedangkan dalam

doktrin failasuf mereka, kontak dengan akal aktif merupakan pengalaman normal

yang bisa dilakukan oleh siapa pun yang telah mencapai tingkat akal Mustafad,

yakni para failasuf. Bedanya adalah kalau para failasuf mencapai kontak tersebut

melalui usaha yang keras dan melalui daya intelektual manusia, Nabi memperoleh

kontak tersebut tanpa usaha dan melalui daya yang luar biasa istimewanya yang

dianugerahkan oleh Allah.15

Keyakinan para ilmuwan Barat / modern akan status ontologis obyek-

obyek tidak didasarkan pada kenyataan bahwa mereka dapat dicerap oleh indera,

sedangkan obyek-obyek non-fisik tidak. Tetapi mereka lupa bahwa dengan

ketundukannya kepada “kejadian” (generation) dan “kehancuran” (corruption),

maka alam fisik tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya. Itulah sebabnya maka

menurut para pemikir Muslim alam membutuhkan agen lain yang lebih tetap

sebagai “pencipta” dunia fisik ini. Tentu saja sebagai “pencipta” (atau “sebab

pertama” dalam istilah falsafah), status ontologis sang Sebab akan lebih

fundamental dari pada status ontologis akibat-akibatnya, yakni alam fisik ini.

Kalau alam fisik ini sebagai akibat dari sebab pertama , sudah memiliki tingkat

obyektivitas atau status ontologis yang begitu nyata, maka apalagi status ontologis

pencipta, sebagai sebab primernya. Tentu ia akan jauh lebih sempurna dan lebih

14Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 51. 15Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 144-145.

Page 18: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

7

fundamental. Indikasi ketergantungan alam fisik pada sebab pertama, dapa dilihat

misalnya dari sebutan yang diberikan Suhrawardi kepada alam sebagai al-faqȋr

(yang membutuhkan) yaitu membutuhkan sebab pertama yang disebut al-Ghanȋ

(yang berdiri sendiri) dan tidak membutuhkan yang lain untuk keberadaan-Nya.16

Dalam konteks inilah saya merasa perlu mengangkat tema “Konsep

Epistemologi menurut Mulyadhi Kartanegara” yang akan saya jadikan sebagai

judul skripsi.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan sebuah hasil yang sistematis dan agar masalah tidak

melebar dalam pembahasannya, pengaji merasa perlu memberikan batasan dan

perumusan masalah terhadap obyek yang dikaji. Adapun batasannya adalah

mengenai epistemologi Islam: telaah terhadap obyektivitas ilmu menurut

Mulyadhi Kartanegara dari Tahun 2002 – 2009. Sedangkan perumusannya adalah:

1. Bagaimana konsep epistemologi menurut Mulyadhi Kartanegara ?

2. Bagaimana obyektivitas menurut Mulyadhi Kartanegara ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah pengaji rumuskan di atas, maka

tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Mengetahui dan memahami pandangan Mulyadhi Kartanegara

Tentang epistemologi

16Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 39-40.

Page 19: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

8

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Dapat menjadi koleksi khazanah ilmu pengetahuan yang bermanfaat

2. Memberi wawasan kepada para pembaca tentang penjelasan

epistemologi

3. Secara akademis penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah

satu persyaratan guna meraih gelar sarjana Strata satu (S1).

D. Metode Penelitian

Dalam Penulisan skripsi ini, pengaji menggunakan kajian kepustakaan

(library research), suatu metode dengan pengumpulan data-data dan informasi,

baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasikan

secara sistematis dan analisi dengan bantuan dari berbagai macam sarana yang

terdapat di ruang pustaka. Adapun buku-buku yang menjadi sumber primer dalam

hal ini tentunya buku karangan Mulyadhi Kartanegara yang memuat pembahasan

tentang epistemologi Islam. Sedangkan sebagai bahan penunjang adalah sumber

sekunder yaitu diambil dari buku-buku yang terkait dengan pokok pembahasan ini.

Metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan ini sendiri adalah

metode analisis deskriptif analisis. Dengan metode ini, penulis akan

menggambarkan dan memaparkan secara obyektif pemikiran Mulyadhi

Kartanegara seputar epistemologi Islam berdasarkan referensi yang digunakan.

Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,

Page 20: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

9

2007. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan

Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin).

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini,

maka pengaji mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, sistematika

penulisan sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian dan sistematika penulisan. BAB II adalah mengandung isi biografi dan

latar belakang intelektualnya, pokok-pokok pikirannya, karya-karyanya dan

kedudukan Mulyadhi Kartanegara dalam filsafat Islam.

Bab III menjelaskan tentang teori epistemologi dan bagian-bagiannya.

Sekilas akan dibahas mengenai definisi epistemologi, obyek kajian epistemologi,

sejarah perkembangan epistemologi dari masa ke masa serta aliran-aliran

epistemologi Islam.

BAB IV adalah pemikiran Mulyadi Kartanegara mengenai epistemologi.

Dalam bab ini menyangkut pembahasan tinjauan terhadap konsep epistemologi

yaitu konsep status ontologis obyek ilmu, konsep klasifikasi ilmu, metode-metode

ilmiah dan kriteria obyektifitas ilmu. Dan BAB V adalah penutup yang terdiri dari

kesimpulan dan saran-saran, daftar pustaka serta riwayat hidup peneliti.

Page 21: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

10

BAB II

BIOGRAFI MULYADHI KARTANEGARA

A. Biografi dan Latar Belakang Intelektual

Mulyadi Kartanegara lahir di Tangerang pada tanggal 11 Juni 1959. Ia

adalah seorang guru besar falsafah lulusan University of Chicago. Berkat

keilmuwannya saat ini beliau mengajar mata kuliah falsafah di berbagai perguruan

tinggi, diantaranya Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta; Program Pascasarjana UIN

Jakarta; Islam College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta; Universitas

Paramadina Jakarta. Pada tahun 2001-2003 beliau juga pernah menjadi Direktur

Pelaksana Program Pascasarjana Pusat Kajian Agama dan Lintas Budaya

Universitas Gajah Mada.1

Mulyadhi Kartanegara mengenyam bangku pendidikan dasar di SD Legok

Tangerang dan melanjutkan pendidikannya di PGAN selama 4 tahun di Tangerang

juga. Kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Persiapan (SP)

IAIN Ciputat pada tahun 1978 dan mendapatkan gelar BA pada tahun 1984.

Setelah itu, ia mendapatkan tugas dari Departemen Agama RI untuk melanjutkan

pendidikannya di luar Negeri, tepatnya di Center for Middle East Studies, The

University of Chicago. Hal itu berlangsung pada tahun 1986 atas dasar beasiswa

dari Ford Foundation untuk English International Course di Davis California dan

Fullbright Foundation. Hingga akhirnya program Master berhasil diraihnya pada

1Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h.

225.

Page 22: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

11

tahun 1989 dengan thesisnya yang berjudul “The Mistical Reflection Of Rumi”.

Begitu juga dengan gelar Doktornya yang ia raih di universitas yang sama dan

mendapat gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dari Department of Near Eastern

Languages and Civilization (NELC), The University of Chicago (1996). Sekarang

ia menjadi guru besar falsafah Islam lulusan Chicago yang menjabat sebagai staf

ahli pada Yayasan Madania, serta sebagai dosen di berbagai universitas dan

perguruan tinggi ternama di Indonesia. Kini ia juga aktif sebagai direktur di Center

of Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) Jakarta.2

Beberapa posisi akademik yang pernah dijabat oleh Mulyadhi Kartanegara

diantaranya:

1. Wakil Direktur Pasca Sarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000-

2001).

2. Eksekutif Direktur di Center for Religious and Cross-cultural Studies

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2001-2003).

3. Direktur di Pusat Kajian Epistemologi Islam, Fakultas Ushuluddin, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta (2008-sekarang).

4. Professor Filsafat Islam dan Mistisisme di Fakultas Ushuluddin dan

Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dosen Filsafat Ilmu dan Etika Islam di Universitas Paramadina, Jakarta.

2http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf#page=1&zoom=auto,-12,848,

diakses pada tgl: 18 November 2017, Pukul: 22.10. Ditulis oleh Hajar Mutahir, Skripsi tentang

Pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan

Ilmu Pengetahuan di Universitas Islam di Indonesia

Page 23: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

12

6. Dosen Filsafat di Swiss-German University BSD, Tangerang.

7. Senior Visiting Professor di ISTAC, Kuala Lumpur.3

B. Pokok-pokok Pikirannya

Dilihat dari berbagai karya-karya Mulyadhi Kartanegara, di sana terlihat

bahwa ia ingin menyampaikan pokok-pokok pikirannya kepada khalayak pembaca

guna diaktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan bagaimana

bersikap terhadap diri sendiri, masyarakat, alam semesta dan pencipta alam yaitu

Tuhan. Diantaranya:

1. Etika

Dalam beberapa tulisannya Mulyadhi Kartanegara menuliskan tentang

apa itu etika. Menurutnya etika adalah termasuk ke dalam salah satu cabang

ilmu-ilmu praktis yang mana sasaran ilmu-ilmu praktis adalah tindakan

manusia, bukan sesuatu, yang memiliki tujuan bagaimana mengarahkan

tindakan manusia ke arah yang benar, sehingga ia menjadi orang yang baik.

Di sini, etika mengajarkan kepada kita untuk menjadi sebaik-baiknya individu

atau manusia sebagai anggota masyarakat. Dikatakan, apabila sebuah

masyarakat manusia sudah baik individunya, keluarganya dan masyarakatnya,

maka ia akan menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Ia juga

3http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf, diakses pada tanggal: 21 Desember

2017, Pukul: 21.47. Ditulis oleh Hajar Mutahir, Skripsi tentang Pemikiran Mulyadhi Kartanegara

tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Universitas

Islam di Indonesia

Page 24: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

13

mengutarakan bahwasanya etika berkaitan dengan psikologi yang membahas

tentang tingkah laku yang tidak bisa dilepaskan dari kejiwaan seseorang,

karena tingkah laku itu adalah ekspresi apa yang manusia rasakan dalam

jiwanya.

Ajaran tentang etika memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan.

Dalam bukunya ia mengutip pendapat dari Nashir al-Din Thusi menyatakan,

bahwa kebahagiaan akan tercapai apabila sesuatu atau seseorang telah

mencapai kesempurnaannya, yakni mencapai tujuan penciptaannya. Dan

karena kebaikan adalah tujuan akhir dari sesuatu, maka kebaikan merupakan

kesempurnaannya.4Di sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya

kebaikan pada akhirnya akan sama dengan kebahagiaan. Jika seseorang dapat

berbuat baik kepada siapapun di muka bumi ini dan menyadari dirinya akan

kehadiran Tuhan, maka disitulah ia akan mencapai kebahagiaan yang hakiki.

2. Tasawuf

Mulyadhi Kartanegara menyatakan dalam bukunya bahwa Tasawuf

bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt (taqarrub ila Allah). Lalu

dengan cara apa ? yaitu dengan cara ibadah melakukan kontak dengan sumber

dan terus berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka manusia boleh

berharap mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup. Tuhanlah tempat

kembali dan Ia adalah asal dan kampung halaman manusia yang sesunguhnya.

Hal ini sudah tertera di dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 156

4Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf, (Ciputat: Ushul Press, 2009), h.

55-66.

Page 25: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

14

جعون ا إل يه ر إن ا لل و إن

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah

kami kembali”.

Selain itu Mulyadhi Kartanegara juga mengajarkan manusia untuk

mencintai makhluk ciptaan Tuhan. Perlu diketahui, alam bukan hanya obyek

mati yang bisa dieksploitasi semaunya atau sebebas-bebasnya tanpa respek,

karena sesungguhnya alam adalah makhluk hidup yang memiliki kemampuan

untuk menyinta dan dicinta. Di sini tasawuf dijadikan sarana bagi penyadaran

atau pencerahan akan hakikat alam semesta, sehingga dapat

memperlakukannya secara santun dan penuh cinta.5

3. Islamisasi Ilmu

Dikatakan bahwa munculnya upaya Islamisasi sains yaitu disebabkan

adanya sekularisasi terhadap ilmu seperti yang terjadi di Barat. Akibat dari

sekularisasi tersebut yaitu dapat menimbulkan ancaman-ancaman bahkan

serangan-serangan yang begitu meruntuhkan terhadap pilar-pilar kepercayaan

kepada Tuhan dan alam gaib yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan besar

dunia. Maka dari itu Mulyadhi Kartanegara merasa perlu untuk

meminimalkan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan

agama dan perlu melindunginya yakni dengan cara islamisasi yaitu dengan

mengambil bentuk naturalisasi. Islamisasi sains merupakan sebuah proses di

mana ilmu yang diperoleh dari Barat diadaptasi dan diasimilasi kembali ke

5Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf, h. 130-132.

Page 26: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

15

dalam nilai-nilai budaya dan religius Islam. Islamisasi sains bukanlah sebuah

upaya pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis, melainkan ia

bekerja pada tingkat epistemologis yang meliputi pembahasan tentang status

ontologis objek-objek ilmu, sistem klasifikasi ilmu yang meliputi ilmu-ilmu

fisika, matematika dan metafisika, serta metode ilmiah yang meliputi metode

eksperimen (tajrȋbȋ), demonstratif (burhânȋ) dan intuitif (‘irfânȋ).6

Dari pemaparan di atas, Penulis menyimpulkan agar tidak ada pemisah

antara ilmu dan agama. Jika demikian maka dapat mengurangi kadar

keimanan seseorang. Apabila terdapat ilmu yang mempunyai prinsip yang

bertentangan dengan prinsip-prinsip agama maka harus disikapi secara kritis.

Sebaliknya, jika ada ilmu yang bersifat positif maka harus dihargai. Karena

sudah sepatutnya bagi mereka yang telah menuntut ilmu ia dapat lebih

mengenal dan dekat kepada Tuhan, semakin tinggi ilmunya maka rasa cinta

terhadap Tuhannya juga semakin meningkat. Karena sesungguhnya agama

adalah bagian dari ilmu. Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan

mengenal Tuhan-Nya.

C. Karya-karyanya

Mengenal Mulyadhi Kartanegara tidak akan lengkap hanya dengan melihat

biografinya. Mengetahui pemikirannya dari karya-karyanya sangat penting untuk

bisa membuka pengetahuan kita tentang sosoknya. Mulyadhi Kartanegara telah

6Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:

Mizan, 2003), h. 145.

Page 27: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

16

menulis sejumlah buku dalam rangka mengembangkan pemikirannya dan juga

membagikan setiap ilmu yang dimilikinya.

Mulyadhi Kartanegara adalah seorang penulis yang mumpuni, di mana

terdapat waktu luang maka ia manfaatkan dengan baik menuangkan isi pikirannya

ke dalam tulisan, contohnya, ia pernah berkata di hadapan mahasiswanya ketika

jam mata kuliah berlangsung bahwasanya ia berusaha mampu menulis di manapun

ia berada, misalnya ketika berada dalam perjalanan menuju universitas di dalam

mobil kata demi kata ia torehkan di buku catatannya, selain itu ia juga senang

menulis di malam hari saat yang lain terlelap dalam tidurnya.

Berikut ini adalah karya-karya Mulyadhi Kartanegara, yaitu:

1) Renungan Mistik Jalan al-Din Rumi, diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada

tahun 1986.

2) Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, diterbitkan oleh

Paramadina pada tahun 2000.

3) Menembus Batas Waktu: Panorama Falsafah Islam, diterbitkan oleh Mizan

pada tahun 2002.

4) Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, diterbitkan oleh

Mizan pada tahun 2003.

5) Jalal al-Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair Agung, diterbitkan oleh Teraju

pada tahun 2004.

6) Seni Mengukir Kata: Kiat-kiat Menulis Efektif-Kreatif, diterbitkan

oleh Mlc pada tahun 2005.

7) Integritas Ilmu: Sebuah Pendekatan Holistik, diterbitkan oleh Arasy pada

Page 28: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

17

tahun 2005.

8) The Best Chicken Soup Philosopher, diterbitkan oleh Hikmah pada

tahun 2005.

9) Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Falsafah Islam, Jakarta: Lentera Hati,

2006.7

10) Sejarah Falsafah Islam (Translation of Majid Fakhry’s A History of Islamic

Philosophy), diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1986.

11) The Mystical Reflections of Rumi (tesis master), pada tahun 1984.

12) Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, diterbitkan oleh BI pada tahun 2006.

13) Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Falsafah Islam (Lentera Hati),

diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2006.

14) Nalar Religius: Mengenal Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, diterbitkan

oleh Erlangga pada tahun 2007.

15) Islam Bagi Yang Ingin Tahu, diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2007.

16) Falsafah Islam, Tasawuf dan Etika, diterbitkan oleh Ushul Press pada tahun

2009.

17) Sains dan Matematika dalam Islam, diterbitkan oleh Ushul Press pada

tahun 2009.

18) Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap Modernitas, diterbitkan

oleh Erlangga pada tahun 2007.

19) Pengantar Studi Islam, diterbitkan oleh UIN Press pada tahun 2010.

20) The Essentials of Islamic Epistemology

7Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 225.

Page 29: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

18

21) Terjemahan the Venture of Islam 1, diterbitkan oleh Paramadina pada

tahun 1999.

22) Terjemahan the Venture of Islam 2, diterbitkan oleh Paramadina pada

tahun 2002.

23) Muslim Scholars and Heroes, Chicago.

24) The Mukhtasar Siwan al-hikmah of Umar b. Sahlan al-Sawi, disertasinsaya

dalam bahasa Arab pengantar Inggris, tentang kata- kata hikmah. , (desertasi)

pada tahun 1996.

25) Para Pemikir dalam Tradisi Ilmiah Islam

26) Menyelami Lubuk Tasawuf, diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2006.

27) Rasail Ikhwan al-Shafa’, buku 3

28) Rasa'il Ikhwan al-Shafa' buku 4

29) Rasa'il Ikhwan al-Shafa’ buku

30) Rasa'il Ikhwan al-Shafa’ buku 6.8

31) Pengantar Ilmu Kalam, diterbitkan oleh Masjid Sunda Kelapa pada tahun

2009.

32) Tiara, Sebuah Nyanyian Cinta (belum terbit).

33) Dua Sisi Kehidupan (belum terbit).

34) Pengantar Psikologi Islam (belum terbit).9

8Artikel diakses pada 24 November 2017 dari

http://fikrialmabrur.blogspot.co.id/2015/10/daftar-buku-prof-mulyadhi-kartanegara.html. Ditulis oleh

Fikri. Tentang daftar Buku Mulyadhi Kartanegara. 9Artikel diakses pada 21 Desember 2017 dari

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf. Ditulis oleh Hajar Mutahir, skripsi tentang

Pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan

Ilmu Pengetahuan di Universitas Islam di Indonesia.

Page 30: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

19

D. Kedudukan Mulyadhi dalam Falsafah Islam

Menurut Kusen, sebagaimana mengutip pendapat Haidar Bagir

disampaikan secara langsung bahwa Mulyadhi Kartanegara adalah satu-

satunya ilmuwan Muslim Indonesia yang secara linier konsisten pada falsafah

Islam. Sedangkan Cak Nur beralih ke falsafah Politik dan Komarudin Hidayat

beralih pada psikologi.

Page 31: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

20

BAB III

TEORI TENTANG EPISTEMOLOGI

A. Definisi Epistemologi

Istilah epistemologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah cabang ilmu falsafah tentang dasar-dasar dan batas-batas

pengetahuan.1Selanjutnya, Menurut Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus,

ditinjau dari segi etimologi Epistemologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu

episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti

ilmu atau informasi. Dapat dikatakan, pengetahuan tentang pengetahuan.

Adakalanya disebut “teori tentang ilmu pengetahuan”.2Sedangkan menurut

terminologinya, epistemologi berarti ilmu falsafah tentang pengetahuan atau

falsafah pengetahuan.3Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J. F.

Ferrier pada tahun 1854 untuk membedakannya dengan cabang falsafah

lainnya yaitu ontology.4

Selanjutnya, Harun Nasution berpendapat dalam bukunya Falsafat

Agama, epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan

dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.5Sedangkan, A. Susanto

mendefinisikan epistemologi sebagai cabang falsafah yang mempelajari asal

1Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 234. 2Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 212.

3Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Falsafah Pengetahuan Islam,

(Jakarta: UI-Press, 2006), h. 2. 4Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,

2014), h. 31. 5Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 10.

Page 32: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

21

mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.6Di

sisi lain, Jalaluddin dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan berpendapat

bahwa epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang mengacu kepada proses. Dalam pandangan

epistemologi, setiap pengetahuan merupakan hasil dari pemeriksaan dan

penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia.7Kemudian Mukhtar

Latif dalam bukunya Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu

mengatakan, epistemologi merupakan salah satu cabang falsafah yang

mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan atau dengan kata

lain, epistemologi merupakan disiplin falsafah yang secara khusus hendak

memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.8Selain itu, Inu Kencana

Syafiie dalam bukunya Pengantar Filsafat berargumen bahwa epistemologi

adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika,

etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah,

kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran

ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.9Terakhir Amsal Bakhtiar dalam

bukunya Filsafat Ilmu berpandangan epistemologi adalah cabang falsafah

yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-

pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan

mengenai pengetahuan yang dimiliki.10

6A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan

Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 102. 7Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 166. 8Mukhtar Latif, Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia

Group, 2014), h. 197. 9Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2014), h. 10.

10Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 148.

Page 33: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

22

Jika dilihat dari penjelasan beberapa tokoh di atas, maka penulis dapat

menyimpulkan bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu pengetahuan,

mulai dari cara memperolehnya, melaui proses-proses hingga menjadi

pengetahuan yang ilmiah yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan

dan diakui masyarakat.

Sebagai cabang ilmu falsafah, epistemologi bermaksud mengkaji dan

mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.11

Menurut Surajiyo epistemologi membicarakan tentang asal muasal, sumber,

metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan

dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang

memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana

prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan

pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apakah

kriterianya ? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam

mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?.12

Epistemologi atau falsafah pengetahuan pada dasarnya merupakan

suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif

pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan

alam sekitarnya. Maka, epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat

evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai

apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat

dibenarkan, dijamin kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat

11

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,

2016), h. 63. 12

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,

2013), h. 151.

Page 34: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

23

dipertanggungjawabkan secara nalar. Selanjutnya, normatif adalah

menentukan norma atau tolok ukur dan dalam hal ini tolok ukur kenalaran

bagi kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak

mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia

mengetahui.13

Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang

justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Menurut AR Lacey,

untuk menemukan kebenaran maka perlu melakukan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Menemukan kebenaran dari masalah

2. Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran

3. Pengamatan dan eksperimen untuk menemukan kebenaran

4. Falsification atau operasionalism (experimental operation, operation

research)

5. Konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran

6. Metode hipotetico-deduktif

7. Induksi dan presuposisi / teori untuk menemukan kebenaran fakta.14

Untuk mencapai kebenaran tersebut tentu memerlukan alat-alat

pengetahuan yaitu dapat diperoleh melalui pengalaman data-data indera,

benda-benda memori, keadaan internal, diri kita sendiri, orang lain atau

benda-benda fisik.15

13

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Falsafah Pengetahuan, (Yogyakarta:

Kanisius, 2002), h. 18-19. 14

Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu

Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 78. 15

Apollo Daito, Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi,

(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), h. 55.

Page 35: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

24

Pembahasan tentang epistemologi (teori tentang ilmu pengetahuan)

dimulai dengan penjelasan tentang definisi sains, ilmu dan opini. Ilmu dalam

epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah science dalam

epistemologi Barat. Sains dalam epistemologi dibedakan dengan knowledge,

ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ra’y). Sementara

sains dipandang sebagai sembarang pengetahuan yang terorganisasi (any

organized knowledge) Ilmu didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang

sesuatu sebagaimana adanya”. Ilmu bukanlah sembarang pengetahuan atau

opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian

ilmu tidak jauh berbeda dengan sains, hanya saja sains dibatasi pada bidang-

bidang fisik atau inderawi, ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik,

seperti metafisika.16

Dari pengertian di atas, pembahasan epistemologi kali ini lebih luas

tidak hanya berkutat pada aspek yang fisik tetapi juga pada yang metafisik.

B. Obyek Kajian Epistemologi

Obyek kajian epistemologi terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu

pengetahuan, logika dan metode.

1. Ilmu Pengetahuan

Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun

secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan

untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)

16

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,

(Bandung: Mizan, 2003), h. 1.

Page 36: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

25

itu.17

Di sisi lain Basiq Djalil mengatakan bahwa ilmu adalah suatu lafadz

yang mempunyai pengertian ganda, pertama, berarti apa yang diketahui

(Al-ma’rifah), yaitu dipercayai dengan pasti dan sesuai dengan kenyataan

yang muncul dari satu alasan argumentasi yang disebut dalil. Kedua,

yang berarti gambaran yang ada pada akal tentang sesuatu, Seperti kuda,

kambing, kucing. Dengan menyebut atau mendengar lafadz tertentu,

dengan sendirinya muncul gambaran pada akal. Lafadz yang ada

gambaran dalam akal ini disebut tasawur.18

Pengetahuan, kata dasarnya adalah tahu, mendapatkan awalan dan

akhiran pe dan an. Imbuhan pe-an berarti menunjukkan adanya proses.

Jadi menurut susunan perkataannya, pengetahuan berarti proses

mengetahui dan menghasilkan sesuatu yang disebut pengetahuan.

Sebagai salah satu bidang falsafah, masalah ini dipersoalkan secara

khusus dalam epistemologi yang berasal dari bahasa Yunani, episteme

berarti pengetahuan dan bagaimana cara mengetahuinya.19

Mohammad Adib memberikan definisi ilmu pengetahuan yaitu

suatu pengetahuan tentang obyek tertentu yang disusun secara sistematis

sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode tertentu.20

2. Logika

Logika adalah cabang falsafah yang mempelajari kegiatan

berpikir manusia.21

Selanjutnya Mundiri dalam bukunya yang berjudul

17

Baihaqi A. K, Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir Logik, (Jakarta: Darul Ulum Press,

2012), h. 9. 18

Basiq Djalil, Logika: Ilmu Mantiq, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 1. 19

Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu

Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008), 48-49. 20

Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, h. 17.

Page 37: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

26

logika, menerangkan bahwa logika berasal dari bahasa latin yaitu logos

yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain yang digunakan sebagai

gantinya adalah mantiq, kata Arab yang diambil dari kata kerja națaqa

yang berarti berkata atau berucap. Dalam bahasa sehari-hari seseorang

sering mendengar ungkapan seperti, alasannya tidak logis,

argumentasinya logis, kabar itu tidak logis. Di sini yang dimaksud

dengan logis adalah masuk akal dan tidak logis berarti tidak masuk

akal.22

Logika di sini adalah studi tentang metode dan prinsip yang

digunakan untuk menguji dan membedakan penalaran yang tepat dari

penalaran yang tidak tepat.23

Kesimpulannya adalah bahwa logika ialah

alat untuk berpikir bagi manusia.

3. Metode

Secara etimologis, kata metodologi diderivasi dari kata method

yang berarti cara, dan logy atau logos berarti teori atau ilmu. Jadi kata

metodologi mempunyai arti suatu ilmu atau teori yang membicarakan

cara. Anthony Flew yang dikutip oleh Wardi Bachtiar, mengatakan

bahwa metodologi adalah suatu kajian tentang cara, yang dalam kajian

kajian itu dibicarakan prosedur-prosedur, tujuan dari ilmu itu sendiri dan

jalan yang harus dilakukan yang dengan jalan itu, ilmu itu dapat disusun.

Jadi metodologi adalah suatu proses dalam mencapai tujuan.24

21

B. Arief Sidharta, Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan

Telaah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), h. 3. 22

Mundiri, Logika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 1-2. 23

Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis, (Jakarta: PT Indeks, 2012), h.

1-2. 24

Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 60.

Page 38: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

27

Selain itu, Wardi Bachtiar dalam bukunya yang berjudul

Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah berpandangan bahwa, metodologi

penelitian atau metodologi riset dalam bahasa inggrisnya disebut science

research method. Metodologi berasal dari kata methodology, maknanya

ilmu yang menerangkan metode-metode atau cara. Penelitian adalah

terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research yang terdiri dari kara re

(mengulang) dan search (pencarian, pengejaran, penelusuran,

penyelidikan atau penelitian), maka research berarti berulang melakukan

pencarian. Metodologi penelitian bermakna seperangkat pengetahuan

tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang

berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil

kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya.25

Sebagai suatu ilmu, metodologi merupakan bagian dari perangkat

disiplin keilmuan yang menjadi induknya. Hampir semua ilmu

pengetahuan mempunyai metodologi tersendiri.26

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa metodolgi adalah teori

tentang cara atau metode untuk mendapatkan pengetahuan.

C. Sejarah Perkembangan Epistemologi

Pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup, segala sesuatu terkait

permasalahan kehidupan manusia, relatif mudah dipecahkan dengan cara

langsung minta pendapat dari Nabi, atau langsung merujuk pada al-Qur‟an.

Seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa khalifah

25

Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), h. 1. 26

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 61.

Page 39: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

28

Utsman bin Affan, semakin banyak kaum mawali (orang non-Arab masuk

Islam). Perluasan wilayah kekuasaan Islam disamping membawa citra positif

bagi perkembangan dakwah, namun juga menimbulkan rasa kuatir akan

timbulnya kesalahan bacaan dan kesalahan pemaknaan terhadap sumber

pokok syariat Islam (al-Qur‟an). Dalam upaya menjaga kemurnian al-Qur‟an,

maka dipandang perlu melakukan pembakuan aturan-aturan bayân (penjelas).

Oleh banyak kalangan, Imam Syâfi‟î (150-204 H/767-812M) dianggap

sebagai peletak dasar aturan-aturan bayân Warisan ilmu dari Imam Syâfi‟î

yang bercorak bayâni itu ialah al-ushûl al-fiqh (azas-azas jurisprudensi).

Salah satu bentuk azas al-ushûl al-fiqh itu ialah al-qiyâs (analog).

Al-qiyâs pada hakekatnya dimaksudkan sebagai cara pembenaran

terhadap dalil naqli selaras dengan penjelasan akal atau setidak-tidaknya

dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Ini berarti, metode bayâni tidak

lagi sebatas bagaimana menjelaskan kata-kata sulit yang ada dalam al-Quran,

tetapi telah bergerak merambah bagaimana memahami nash bersesuaian

dengan kebenaran akliah. Dalam konteks inilah kemudian metode bayâni

dimaknai sebagai metode ilmu yang ditopang oleh dua pendekatan, yaitu:

berpegang pada lafadz (redaksi ayat) dengan menggunakan kaidah bahasa

Arab (nahw/Sharf) sebagai alat analisis, dan menggunakan al-qiyâs (Al-Jabirî

1991; h.530).

Al-Qiyâs yang semula diterapkan untuk memahami fiqh (hukum

Islam), oleh para mutakalimin dijadikan pendekatan memaknai ayat-ayat al-

Qur‟an yang berkenaan dengan persoalan-persoalan ‘ilm kalâm (teologi).

Dengan kata lain, qiyâs diterapkan untuk istidlal bi al-syahid ‘ala ghaib

Page 40: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

29

(penalaran yang berangkat dari hal nyata, untuk mengukuhkan hal ghaib).

Karena corak qiyâs yang demikian itu, metode ilmu yang terdapat dalam ‘ilm

kalâm dinamakan al-qiyâs al-jadaly (dialektis). Dan pengetahuan yang

dihasilkannya dari metode pendekatan al-qiyâs al-jadaly (dialektis) tak

terlepas dari hubungan erat antara ilmu, iman dan kebebasan manusia. Hal

demikian tercermin misalnya dari pemikiran Abd Al-Jabbâr (salah satu tokoh

terkemuka di Mu‟tazilah). Seperti yang dinyatakannya:

فاد, فمتى تعلق بالشيء علىى مىا ىه بىه, عىى علىى جىه ونىت ى ه ا ا لعلم : ا نه من جنس اال عت

لنفس, كا علما.

“Ilmu adalah bahwa ia merupakan jenis keyakinan, dan ketika keyakinan

tersebut berkaitan dengan suatu obyek tepat seperti realitas apa adanya, dan

berproses dengan suatu cara yang meniscayakan timbulnya ketengan jiwa,

itulah yang disebut pengetahan”.

(Mug XII, 25)

Penggunaan metode rasional di kalangan cendikiawan muslim

semakin mendapatkan bentuknya yang lebih sistematis pada saat kontak

dengan falsafah Yunani berjalan intensif, yakni pada abad ke-3 H/9 M.

Munculnya falsafah Yunani di kalangan cendikiawan Muslim, mendorong

lahirnya falsafah masysyâ’iyyah (peripatetik). Dan falsafah masysyâ’iyyah

dilandaskan pada metode burhâni (rasional). Metode burhâni menempuh

pendekatan secara bahtsi (diskursif), yaitu penjelasan yang dilandaskan pada

tiga hal: al-ta’rif (definisi), al-qadhiyah (proposisi), dan al-qiyâs al-‘aqly

(silogisme). Ketiga bentuk pendekatan tersebut di atas, ditengerai sebagai

metode deduktif atau manthiq al-shury (logika formal).

Page 41: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

30

Di sisi lain, terdapat pandangan bahwa pengenalan akal tidak akan

mampu menyentuh realitas yang sejati. “Cinta”, misalnya, menurut para sufi

tidak bisa dipahami oleh akal diskursif, berapapun buku teori cinta yang kita

baca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan mengalaminya secara

langsung (Mulyadhi 2006, 58-59)”.27

Sejarah epistemologi dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu

Yunani, Kebangkitan Islam, Abad Pertengahan, Abad Modern dan

Kontemporer. Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah

berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif,

karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus

melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode

menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Perkembangan pemikiran secara teoretis senantiasa mengacu kepada

peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu di sini dimulai dari

peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer.28

Berikut adalah

proses perjalanan sejarah epistemologi dari masa kemasa:

1. Falsafah Ilmu di Era Yunani (600 SM – 500 SM)

Dalam dunia falsafah, zaman Yunani kuno terbagi menjadi dua

periode yaitu, zaman Pra-Sokrates dan zaman Pasca-Socrates. Pertama,

Falsafah pra-Socrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala

sesuatu (arche). Mereka yakin bahwa di balik keanekaragaman realitas

alam semesta ini hanya ada satu azas.29

Zaman kuno meliputi zaman

27

Dikutip dari Thesis Kusen, Ph. D 28

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 80. 29

Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

2011), h. 107.

Page 42: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

31

falsafah pra-Socrates di Yunani. Tokoh-tokohnya dikenal dengan nama

failasuf pertama atau failasuf alam. Mereka mencari unsur induk (arche)

yang dianggap asal dari segala sesuatu. Misal, menurut Thales arche itu

air, sedangkan Anaximandros berpendapat arche itu „yang tak terbatas‟

(to apeiron), selanjutnya Anaximenes berkata bahwa arche itu udara,

Pythagoras arche itu bilangan, Heraklitos arche itu api, ia juga

berpendapat bahwa segala sesuatu itu tetap tidak bergerak.30

Periode falsafah Yunani merupakan periode yang sangat penting

dalam sejarah peradaban manusia karena ketika itu terjadi perubahan

pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir

mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan

mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi.31

Masyarakat pada masa pra-Socrates dalam kehidupannya

meyakini tentang takhayul. Orang Yunani awalnya sangat percaya pada

dongeng dan takhayul, tetapi lama kelamaan, mereka mampu keluar dari

kungkungan mitologi dan menggunakan rasio sebagai dasar pengetahuan

ilmiah.32

Pada abad ke-6 SM mulai berkembang di Yunani suatu sikap

baru, di mana orang mulai mencari jawaban-jawaban tentang rahasia-

rahasia alam semesta. Rasio mulai menggantikan mitos, logika

menggantikan legenda. Dengan demikian, lahirlah falsafah Yunani, di

mana mereka tidak mencari-mencari lagi keterangan-keterangan tentang

alam semesta ini dalam cerita-cerita mitos, tetapi mereka mulai berpikir

sendiri, untuk memperoleh keterangan-keterangan yang memungkinkan

30

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 83. 31

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 21. 32

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 23.

Page 43: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

32

mereka mengerti kejadian-kejadian dalam alam ini. Perubahan sikap baru

yang rasional tersebut, mungkin sekali dipengaruhi oleh perkembangan

ilmu-ilmu pengetahuan di Timur Kuno, karena banyak orang-orang

Yunani yang mempelajari ilmu-ilmu, seperti ilmu ukur, ilmu hitung dan

astronomi dari bangsa Mesir dan Babilonia.33

Kedua, periode Pasca-Socrates ditandai dengan lahirnya tokoh

Plato dan Aristoteles. Plato menyumbangkan ajaran tentang “idea”.

Baginya hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya

bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato,

pada awal mula ada idea-singa, nun di sana di dunia idea. Dunia idea

mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis dan keberadaannya

terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-singa itu muncul semua singa yang

kasat mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon dan burung bisa berubah

dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon dan burung kekal adanya.

Sementara menurut Plato realitas tertinggi adalah yang

dipikirkan dengan akal, sedangkan menurut Aristoteles realitas tertinggi

adalah yang dilihat dengan indera mata. Aristoteles adalah murid dari

Plato. Di sini dapat dilihat walaupun Aristoteles murid dari Plato, akan

tetapi pemikirannya berbeda. Aristoteles mengandalkan pengamatan

inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan sempurna.34

Di

samping itu, Aristoteles menegaskan bahwa untuk mendapatkan

kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru ada dua

cara, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Logika

33

Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 72. 34

Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, h. 111-113.

Page 44: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

33

Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif yang sampai saat ini,

bahkan masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika

formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya, ia juga

menyadari pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif.35

2. Kebangkitan Islam (657 – 1000 SM)

Islam dengan kebudayaannya telah berjalan selama 15 abad.

Dalam perjalanan yang demikian panjang terdapat 5 abad perjalanan yang

menakjubkan dalam kegiatan pemikiran falsafah, yaitu antara abad ke-7

hingga abad ke-12. Dalam kurun waktu 5 abad itu para ahli pikir Islam

merenungkan kedudukan manusia di dalam hubungannya dengan sesama,

dengan alam dan dengan Tuhan, dengan menggunakan akal pikirnya.

Mereka berpikir secara sistematis dan analitis serta kritis sehingga lahirlah

para failasuf Islam yang mempunyai kemampuan tinggi karena

kebijaksanaannya.36

Sejak kedatangan Islam, akal dan agama berjalan bersama-sama

dan serasi, terutama sejak tahun 80-an sampai tahun 1200-an. Ini adalah

tahun-tahun hidupnya failasuf-failasuf besar Islam jalur rasional, seperti

Al-Kindȋ (769-873), Al-Râzȋ (683-925), Al-Fârâbȋ (870-950), Ibn Sȋnâ

(980-1037), Al-Ghâzâlȋ (1059-1111) dan Ibn Rȗsyd (1126-1198). Di

35

Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah, (Jogjakarta: IRCiSoD,

2014), h. 57-58.

36

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 97.

Page 45: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

34

samping itu masih banyak lagi failasuf yang terkenal, diantaranya adalah

Ibn Bajjah dan Ibn Thufail.37

Al-Kindȋ dalam hidupnya memberikan kontribusi besar terhadap

terbukanya pintu-pintu falsafah bagi para ilmuwan Muslim. Umat Muslim

pada zaman dahulu amat menentang untuk mempelajari ilmu falsafah,

karena dikhawatirkan akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat

kepada Tuhan. Namun, al-Kindȋ mencoba membangun nilai falsafah dan

mendesak mereka agar menoleransi gagasan-gagasan dari luar Islam.38

Selanjutnya al-Fârâbȋ sangat berjasa dalam mengenalkan dan

mengembangkan cara berpikir logis (logika) pada dunia Islam. Berbagai

karangan Aristoteles, seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second

Analysis telah diterjemahkan al-Fârâbȋ ke dalam bahasa Arab. Al-Fârâbȋ

juga telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif

dan induktif. Di samping itu, ia dianggap sebagai peletak dasar pertama

ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan

sebelumnya oleh Phytagoras. Al-Fârâbȋ juga berkontribusi dalam

mengklasifikasikan ilmu pengetahuan, yaitu ke dalam tujuh cabang, di

antaranya, logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan

ilmu fiqh (hukum).39

Kejayaan peradaban sains dan teknologi Islam disebabkan oleh

beberapa hal pokok, yaitu kesungguhan seluruh umat Muslim khususnya

para ilmuwan Muslim dalam mengimani dan mempraktikkan ajaran Islam

37

Elmahsyar Bidin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format Islamisasi

Ilmu Pengetahuan, h. 42. 38

Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah, h. 240. 39

Hamdani, Filsafat Sains, (Bandung, Pustaka Setia, 2011), h. 67.

Page 46: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

35

sehingga lahirlah individu-individu unggul. Dalam hal ini, umat Muslim

menapaki peradaban sains dan teknologi atas dasar motivasi agama.

Sedangkan di sisi yang lain, kejayaan peradaban sains dan teknologi Islam

juga disebabkan oleh faktor sosial politik, stabilitas ekonomi, serta

dukungan dan perlindungan dari pemimpin pemerintahan.40

3. Abad Pertengahan (1200 – 1500 SM)

Zaman ini dikatakan merupakan zaman keemasan kekristenan.

Pada abad-abad ini Plato dan Aristoteles masih berpengaruh dan berperan

penting terutama melalui Augustinus dan Thomas Aquinas. Falsafah

Augustinus merupakan suatu bentuk Platonisme yang sangat khas. Melalui

pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran abadi sejak kelahiran dalam

ingatan, manusia ikut mengambil bagian dalam ide-ide Tuhan namun

manusia merupakan ciptaan yang unik (bukan pasif), melainkan

diwujudkan secara aktif dalam suatu pengetahuan yang penuh kasih. Ia

yang melampaui ciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang

penuh kasih akan Tuhan. Berpikir dan mengasihi sungguh sangat dekat

dan tak dapat dipisahkan. Tuhan adalah ada sebagai pengada, bersifat

pribadi dan yang menciptakan seluruh jagad raya secara bebas dan bukan

dengan jalan emanasi yang niscaya.41

Pada zaman ini falsafah berfungsi sebagai alat untuk pembenaran

atau justifikasi ajaran agama (the philosophy as a handmaiden of

theology). Sejauh falsafah bisa melayani teologi, ia bisa diterima. Namun,

40

Abdul Waid, Menguak Fakta Sejarah Penemuan Sains dan Teknologi Islam yang

diKlaim Barat, (Jogjakarta: Laksana, 2014), h. 50.

41

Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011),

h. 120-121.

Page 47: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

36

falsafah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan gereja,

maka akan ditolak.42

Masa abad pertengahan ini juga dikatakan sebagai

suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia ke dalam

kehidupan atau sistem kepercayaan yang fanatik, dengan menerima ajaran

gereja secara membabi buta, karena itu perkembangan ilmu pengetahuan

terhambat.43

Falsafah abad pertengahan diawali oleh Boethius dan diakhiri oleh

Nicolaus Cusanus. Nicolaus membedakan tiga macam pengenalan, yaitu

panca indra, rasio dan intuisi. Dikatakan pengenalan inderawi kurang

sempurna. Rasio membentuk konsep berdasarkan pengenalan inderawi.

Dan dengan intuisi manusia dapat mencapai segala sesuatu yang tidak

terhingga yaitu Tuhan.44

4. Abad Modern (1600 – 1900 SM)

Abad 17 merupakan kelahiran falsafah modern di dunia Barat.

Bapak falsafah modern adalah Rene Descartes (Perancis) dan Francis

Bacon (Inggris). Kelahiran falsafah modern ini hasil pengaruh-pengaruh

antara falsafah dan natural science dengan ahlinya Copernicus (Abad 15),

Kepler (Abad 17) yang waktu itu sudah mulai berkembang.45

Rene Descartes dalam berfalsafah dikenal dengan istilah cogito

ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Yang ditemukan dengan metode

kesangsian adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito”

42

Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 106. 43

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 67-68. 44

Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: dari Metologi sampai

Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 77. 45

Soetriono dan SRDM Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,

(Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2007), h. 107.

Page 48: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

37

atau kesadaran diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak

tergoyahkan karena dapat mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah.

Cogito ditemukan lewat pikiran, sesuatu yang dikenali melalui dirinya

sendiri, tidak melalui kitab suci, dongeng, pendapat orang, juga tidak pada

prasangka.46

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Descartes dalam

mengukur kebenaran yaitu melalui rasio.

Tokoh pada abad modern selanjutnya yaitu John Locke. Berbeda

dengan Rene Descartes yang memprioritaskan rasio dalam mencari

kebenaran, John Locke lebih mengutamakan empirisme. Dia berpendapat

bahwa idea-idea yang difikirkan adalah terjadi melalui proses

penginderaan yang sangat rumit. Sebelum berfikir abstrak, seseorang lebih

dulu harus mengamati warna, ukuran, bentuk, mencium bau atau

mendengarkan sesuatu. Apa saja yang ditangkap dari dunia luar itu

menjadi proses-proses internal seperti, berpikir, merasa dan berkehendak.

Proses internal langsung berdasarkan pengalaman lahiriah itu

menghasilkan idea-idea, seperti idea sakit, idea nikmat, idea kesatuan.47

Selanjutnya ada Immanuel Kant, Kant dalam berfalsafah dikenal

dengan “kritisisme”. Kritisisme dipahami sebagai sebuah falsafah yang

lebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum

memulai penyelidikannya. Kant mengatakan bahwa kritisme adalah

falsafah yang lebih dahulu menyelidiki syarat-syarat kemungkinan

46

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 38-39. 47

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, h. 76.

Page 49: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

38

pengetahuan. Immanuel Kant memahami “kritik” sebagai “pengadilan

tentang kesahihan pengetahuan” atau “pengujian kesahihan”.48

Terakhir, tokoh yang termasuk ke dalam abad modern adalah

August Comte. Ia dijuluki sebagai Bapak Positivisme. Positivisme

menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.

Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme yakni metafisika,

atau dengan kata lain positivisme hanya percaya pada yang faktual. Fakta

dimengerti sebagai “fenomena yang dapat diobservasi”, maka sebenarnya

positivism terkait erat dengan empirisme. Yang membedakannya,

empirisme masih menerima adanya pengalaman subyektif yang bersifat

rohani, sedangkan positivism menolaknya sama sekali. Yang dianggapmya

sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman obyektif yang bersifat

lahiriah, yang bisa diuji secara inderawi.49

Para failasuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak

berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,

tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan

terdapat perbedaan pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa

sumber dan kebenaran pengetahuan adalah rasio (akal). Selanjutnya aliran

empirisme meyakini pengalaman adalah sumber pengetahuan itu, baik yang

batin maupun yang inderawi. Sedangkan aliran kritisisme mencoba

memadukan kedua pendapat berbeda itu.50

48

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, h. 133. 49

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, h. 204-205. 50

Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Falsafah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 125.

Page 50: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

39

Sejak para pemikir (scientis) dapat berbicara dengan penuh

kepastian tentang keilmuwannya, sejak itu ilmu pengetahuan mulai

berkembang lebih baik. Pada saat tersebut, susunan atom, virus dan bakteri,

karena penggunaan mikroskop elektron dan metode-metode optik yang

dapat membesarkan obyek-obyek yang diteliti mulai berkembang.

Belakangan, manusia dapat meluncurkan roket-roket bertingkat ke suatu

planet dengan kecepatan melebihi 17.000 km/jam. Dan akan memperoleh

kecepatan yang spektakuler bila menggunakan bahan bakar nuklir.51

5. Kontemporer (1900 – Dewasa Ini)

Pengkajian pemikiran falsafah kontemporer bisa dimulai dengan

memahami tokoh-tokohnya, diantaranya, William James, Martin Heidegger,

Karl Popper, Betrand Russell, Jean-Paul Sartre, Jurgen Habermas, Richard

Rirty, J. Derrida dan Mazhab Frankfurt.52

Karl Popper dalam bukunya Logika penelitian dari tahun 1934

memaparkan beberapa masalah filosofis yang menyangkut ilmu

pengetahuan alam. Menurutnya suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah

karena sudah dibuktikan, melainkan karena dapat diuji (testable). Seperti

ucapan “semua logam akan memuai kalau dipanaskan” dapat dianggap

ilmiah, kalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk

menyangkalnya. Seandainya terdapat satu jenis logam yang tidak memuai

51Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: dari Metologi sampai

Teofailasufi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 79-80. 52

Ali Maksum, Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 196.

Page 51: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

40

setelah dipanaskan, maka ucapan itu ternyata tidak benar dan harus diganti

dengan ucapan lain yang lebih tepat.53

Selanjutnya, Jean Paul Sartre merumuskan seluruh usaha

falsafahnya dalam satu kalimat pendek, yaitu: “merekonsiliasikan

(mendamaikan) subyek dan obyek. Hal ini didorong oleh pengalaman

fundamental Sartre tentang kebebasan diri sebagai subyek dan tentang

benda sebagai obyek. Kedua pengalaman ini dalam pandangannya

merupakan simbol kondisi manusia yang di satu pihak mengalami dirinya

sebagai makhluk bebas, tetapi di lain pihak selalu dihadapkan pada kuasa

atau daya tarik benda.54

Masa kontemporer juga ditandai dengan hadirnya Mazhab

Frankfurt. Falsafah yang dipraktekkan dalam Mazhab Frankfurt dikenal

sebagai “teori kritis”. Jika seseorang ingin menentukan kedudukan teori

kritis dalam rangka sejarah falsafah, maka terutama tiga faktor harus

dikemukakan: teori kritis secara khusus dipengaruhi oleh Hegel, Marx dan

Freud.55

Perubahan yang terjadi di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi

pada abad ke -19 sangatlah mengagumkan. Dekade-dekade awal abad itu

dipenuhi perkembangan pesat di dalam penggunaan tenaga uap, seperti di

dalam kereta api, pabrik-pabrik, serta kapal laut bertenaga uap.56

Pada

Zaman ini juga ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih.

53K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), h. 72.

54Zainal Abdidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2009), h. 186-187. 55

K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, h. 179. 56

Reza A. A. Wattimena, Falsafah dan Sains: Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Grasindo,

2008), h. 141.

Page 52: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

41

Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami

kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit

komunikasi, internet dan sebagainya.57

Dalam abad 20 muncul banyak aliran falsafah dan banyak

merupakan penerusan filsafah-falsafah abad modern seperti neo-tomisme,

neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme. Ada yang baru dengan

corak yang amat berbeda seperti, Fenomenologi dengan tokoh utamanya

Edmund Husserl, Eksistensialisme, Pragmatisme, Strukturalisme dan Post-

modernisme.58

Demikianlah mata rantai sejarah epistemologi yang saling

berhubungan satu sama lain dari para pemikir atau ilmuwan-ilmuwan dari

berbagai belahan dunia dan perkembangannya yang dapat dirasakan oleh

masyarakat dunia sampai saat ini.

D. Aliran-aliran Epistemologi Islam

Manusia memperoleh pengetahuan melalui berbagai cara dan

menggunakan berbagai alat.59

Dalam sejarah falsafah ada sumber-sumber atau

asal-usul pengetahuan melalui studi-studi metodologis dari beberapa aliran

berpikir dengan pendekatannya masing-masing, melihat bagaimana

pengetahuan manusia diperoleh, diantaranya:

57

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 89. 58

Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011),

h. 131. 59

A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan

Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 140.

Page 53: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

42

1) Burhânȋ

Burhânȋ (demonstratif) secara sederhana dapat diartikan

sebagai suatu aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi

(qadhiyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintâj) dengan

mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah

terbukti kebenarannya secara aksiomaik (badhihi).60

Mulyadhi

Kartanegara dalam bukunya Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam

berpendapat bahwa metode Burhânȋ adalah metode logika yang

digunakan untuk menarik kesimpulan dari premis-premis yang telah

diketahui, sehingga menghasilkan kesimpulan, pengetahuan atau

informasi baru, yang sebelumnya tidak atau belum diketahui. Prosedur

yang harus diikuti dalam penarikan kesimpulan tersebut adalah apa

yang disebut sebagai silogisme, yang harus memiliki beberapa bagian

pokok, yaitu premis (mayor dan minor) middle term dan kesimpulan.

Contoh:

Semua makhluk yang bernyawa akan mati

Kucing makhluk yang bernyawa

Maka kucing akan mati.61

Rasionalisme merupakan paham falsafah yang mengatakan

bahwa akal adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan

dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa

pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir

60

A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2016), h. 217. 61

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006),

h. 190.

Page 54: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

43

ialah kaidah-kaidah logis atau logika.62

Selain itu Muhammed

„Abid al-Jabiri dalam bukunya kritik pemikiran Islam,

menambahkan bahwa hanya ada dua cara untuk sampai pada

pengetahuan yang sejati, yaitu pertama, data primer dari nalar dan

indera. Kedua, premis-premis yang dihasilkannya dari nalar dan

indera.63

2) ‘Irfânȋ

Metode ‘Irfânȋ biasa digunakan oleh para sufi, istilah ini

bisa juga disebut metode intuitif. Jenis intuisi dapat berupa wahyu,

ilham atau orang Jawa menyebutnya wangsit. Intuisi adalah

pengetahuan yang diperoleh tanpa penalaran, yang disebut sebagai

pengalaman personal. Sebagaimana juga wahyu, diyakini sebagai

kalamullah yang diberikan kepada manusia pilihan-Nya yaitu Nabi

dan Rasul, sebagaimana al-Qur‟an kepada Nabi Muhammad saw.

Hanya saja, intuisi dalam kategori ilham atau jenis lain yang

berbeda dengan wahyu tidak dapat diasosiasikan kepada publik

karena tidak semua orang memiliki keyakinan yang sama tentang

adanya kebenaran dalam ilham yang dimaksudkan, sebab yang

menerima tidak dikategorikan sebagai Nabi atau Rasul. Akan

tetapi, manakala ilham itu diceritakan oleh wahyu, seperti ibu Nabi

Musa menerima ilham dari Tuhan, keyakinan atas kebenaran

62

Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk Sumber

dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 84. 63

Muhammed „Abid al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam,

(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), h. 122.

Page 55: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

44

tersebut bukan pada ilhamnya, melainkan karena tertuang dalam al-

Qur‟an yang diyakini sebagai wahyu.64

Pengetahuan ‘Irfânȋ didasarkan pada kasyf, yaitu

tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Oleh karena itu

pengetahuan ‘Irfânȋ diperoleh berdasarkan atas terlimpahnya

pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika hati sebagai sarana

pencapaian pengetahuan „irfan siap untuk menerimanya.65

Selanjutnya, yang terpenting dalam metode intuitif adalah

melakukan persiapan (isti’dad) untuk menyongsong pencerahan

(iluminasi) atau ada juga yang menyebutnya mukasyafah. Yaitu

dengan cara membersihkan diri dari segala kotoran jiwa (tazkiyat

al-anfus) yaitu pensucian diri. Karena pengenalan intuitif dapat

diibaratkan turunnya sinar kebenaran ke dalam hati seorang hamba

yang bersih, sehingga kebenaran itu hadir di dalam dirinya.66

3) Bayânȋ

Selain dunia indera dan akal sebagai sumber ilmu, ilmuwan

Muslim juga meyakini al-Qur‟an atau firman Tuhan sebagai

sumber ilmu, mereka menyebutnya dengan metode Bayânȋ atau

penjelasan.

Melalui metode ini ayat-ayat al-Qur‟an diklasifikasi ke

dalam beberapa kategori, seperti ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat

mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat (jelas, gamblang), kemudian

dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang bersifat mujmal (berbelit-belit),

64

Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, h. 105-106. 65

A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer, h. 206. 66

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 193-194.

Page 56: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

45

zhahir (makna lahiriah) dan mubayan (jelas). Ayat-ayat zhahir juga

dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang musykil (membingungkan) dan

khafi (tersembunyi), sedangkan mubayan dibagi lagi ke dalam

mufassar (terang) dan nashsh (jelas sekali).

Metode Bayânȋ juga membedakan ayat al-Qur‟an dari sudut

langsung atau tidak langsungnya makna sebuah ayat (manthuq dan

mafhum atau lafazh dan ma’na). makna yang langsung biasanya

dipahami sebagai yang pemahamannya diperoleh dari presentasi

kata. Beberapa kata hanya menerima satu penafsiran saja, mereka

mengemban sebuah nama yang diasosiasikan dengan mereka dan

umumnya diketahui oleh semua orang. Sedangkan makna tak

langsung didefiniskan sebagai makna yang pemahamannya didapat

dari sebuah faktor yang lain dari presentasi kata tersebut.

Pemahamannya mengandaikan adanya inteleksi yang berbeda dari

penginderaan dengan telinga atau mata.

Selain itu, ayat-ayat juga dibagi ke dalam yang bersifat

umum („am) dan khusus (khashsh). Yang umum adalah ayat yang

mengisyaratkan pluralitas dan dapat dibedakan dalam dua arti,

general dalam kata itu sendiri dan general dalam makna yang

dirujuknya. Sedangkan ayat-ayat khusus adalah ayat yang meliputi

hanya satu obyek dan dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu

khusus sebagai jenis, khusus sebagai spesies atau khusus sebagai

Page 57: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

46

benda tunggal. Dan terakhir ayat-ayat al-Qur‟an dikategorisasikan

ke dalam perintah („amr) dan larangan (nahy).67

Dari ketiga aliran di atas, maka untuk mencapai kebenaran

yang hakiki ketiga metode tersebut saling melengkapi satu sama

lain dan dianggap satu rangkain yang sempurna dan tidak dapat

dipisahkan. Karena jika hanya mengandalkan satu metode akan

didapati kelemahan-kelemahannya.

67

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 194-196.

Page 58: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

47

BAB IV

TINJAUAN TERHADAP KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT

MULYADHI KARTANEGARA

A. Konsep Status Ontologis Obyek Ilmu

Unsur ilmu terdiri dari subyek, obyek dan hubungan antara keduanya.

tidaklah dapat dikatakan sebuah ilmu jika salah satu diantara dua hal tersebut

tidak dihadirkan. Melainkan sesuatu dapat disebut ilmu apabila adanya hubungan

antara subyek (sebagai pengamat) dan obyek (yang diamati). Obyek dapat dibagi

menjadi dua, yaitu obyek yang fisik dan obyek metafisik. Obyek yang fisik

adalah obyek yang dapat terindera, yakni dapat dilihat, diraba, dicium, terukur,

sedangkan obyek yang metafisik adalah sebaliknya.

Epistemologi Islam, sesuai dengan kepercayaan ilmuwan-ilmuwannya

kepada dunia metafisik, telah menciptakan teori ilmu yang membahas bukan saja

obyek-obyek inderawi, sebagaimana ilmu-ilmu modern, tetapi juga obyek-obyek

metafisik. Di sini terdapat perbedaan mengenai pemahaman teori ontologi yang

dianut oleh failasuf Barat dengan teori ontologinya para failasuf Muslim. Kalau

di Barat mereka cenderung menolak status ontologis obyek-obyek metafisika dan

lebih memusatkan perhatiannya pada obyek-obyek fisik, sedangkan epistemologi

Islam masih mempertahankan status ontologis tidak hanya obyek-obyek fisik,

tetapi juga obyek-obyek matematika dan metafiska.1

1Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:

Mizan, 2003), h. 31.

Page 59: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

48

Maka dari itu dalam pembahasan ontologi obyek ilmu tidak terlepas dari

pengetahuan tentang Tuhan dan Malaikat yang metafisik, alam meliputi benda-

benda langit serta benda-benda bumi termasuk tumbuhan dan hewan non-

rasional, dan manusia atau yang biasa disebut hewan rasional.

Telah jelas pemaparan di atas bahwasanya failasuf Muslim meyakini

keberadaan status ontologis obyek fisik dan juga obyek metafisik. Dengan

demikian epistemologi Islam telah berhasil menyusun “klasifikasi ilmu” yang

komprehensif dan disusun secara hierarkis, yaitu metafisika menempati posisi

tertinggi, disusul oleh matematika dan terakhir ilmu-ilmu fisik.2Oleh karena itu

mereka telah menyusun hierarki wujud (martabah al-maujȗdât) yang dimulai

dari entitas-entitas metafisika, dengan Tuhan sebagai puncaknya, kemudian

menurun melalui alam tempat manusia hidup dan berkembang.

Mulyadhi Kartanegara sependapat dengan al-Kindȋ mengenai hierarki

wujud Tuhan yang memandang Tuhan sebagai sebab pertama (al-‘illah al-ȗlâ).

Sebagai sebab pertama, Dia menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang lain,

termasuk alam materiil ini (bumi) adalah sebagai akibat-akibatnya. Jika dilihat

dari sudut status ontologis, Tuhan sebagai Sebab Pertama tentu lebih utama

dibandingkan status ontologis alam fisik, karena Posisi Tuhan adalah sebagai

sebab atau sumber, sedangkan alam materiil hanyalah sebagai akibat atau derivat

dari Tuhan. Tentu status sebab akan lebih tinggi dibandingkan akibatnya karena

sebab bisa dibayangkan adanya walaupun tidak ada akibatnya, sedangkan akibat

2Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2002), h. 59.

Page 60: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

49

tidak bisa dibayangkan adanya tanpa sebab. Oleh karena itu, sekalipun Tuhan

bersifat imateriil dalam pandangan failasuf Muslim, akan tetapi pada hakikatnya

Dia (Tuhan) lebih riil dari pada dunia yang kasat mata, dan sebaliknya bagi para

pemikir Barat sekuler, yang materiillah yang lebih riil, sedangkan yang gaib

(imateriil) sering dipandang sebagai ilusi atau delusi.

Selain itu Mulyadhi Kartanegara juga sepemikiran dengan Ibn Sȋnâ

mengenai keutamaan Tuhan dipandang dari sudut status ontologisnya, yaitu

Tuhan sebagai Wâjib al-Wujȗd (Wujud Niscaya) yang dipersandingkan dengan

status ontologis alam sebagai mumkin al-wujȗd (wujud yang mungkin atau

potensial). Sebagai wujud yang mungkin dalam arti potensial, alam sangat

bergantung keberadaannya pada Wujud Niscaya, dalam arti Wujud Yang

Senantiasa Aktual. Tanpa adanya Wujud Yang Senantiasa Aktual, alam sebagai

wujud yang mungkin (potensial) akan tetap berada dalam keadaan potensial. Ia

memang tidak mustahil untuk mengada, tetapi ia bisa mengada hanya apabila ada

wujud lain yang telah aktual yang dapat mengubah potensi alam itu menjadi

aktualitas. Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa Tuhan sebagai Wâjib al-

Wujȗd lebih tinggi derajatnya dan status ontologisnya lebih fundamental, karena

alam materiil saja dipandang begitu tinggi status ontologisnya oleh pemikir

Barat, padahal posisinya ia hanya sebatas akibat, apalagi status ontologis Tuhan

yaitu satu-satunya Sebab Awal keberadaan alam semesta.3

Bukti pertama berdasarkan pendapat bahwa alam semesta diciptakan

dalam waktu. Telah ditunjukkan bahwa alam semesta itu terbatas dalam badan,

3Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 32-33.

Page 61: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

50

waktu dan gerak, yang berarti bahwa alam semesta pasti telah diciptakan.4

Berdasarkan prinsip hukum sebab akibat, semesta ini adalah terbatas dan tercipta

dari ketiadaan. Menurut prinsip sebab akibat, setiap yang tercipta berarti ada

yang mencipta dan Sang Pencipta semesta yang dimaksud adalah Tuhan.5

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, Tuhan adalah sebagai

sumber dari yang ada di alam ini tempat makhluk hidup berpijak, Dialah pencipta

langit, bumi beserta isinya. Dengan demikian status ontologis Tuhan lebih

unggul dibandingkan dengan yang lainnya.

Selanjutnya, tentang hierarki wujud Malaikat, Mulyadhi Kartanegara

sepakat dengan apa yang dilontarkan oleh al-Fârâbȋ yaitu Malaikat digambarkan

sebagai “wujud yang imateriil”, al-Fârâbȋ dan Ibn Sȋnâ menamakan Malaikat

sebagai akal, seperti dalam istilah akal aktif (al-‘aql al-fa’âl) yaitu sebutan untuk

Malaikat Jibril, ialah yang mengadakan kontak dengan para Nabi ataupun

failasuf. Dalam hal ini Mulyadhi Kartanegara juga sepakat dengan Suhrawardi

yang mengatakan bahwa Malaikat itu adalah cahaya (al-nȗr al-aqrab) sebutan

untuk Malaikat pertama yang muncul dengan intensitas cahaya yang karena

dekatnya hampir sama dengan Tuhan yaitu sebagai “Cahaya dari segala cahaya”

(nȗr al-anwâr).

Kemudian tentang status ontologis para Malaikat, Mulyadhi Kartanegara

sependapat dengan failasuf Muslim yang mengatakan bahwa Malaikat memiliki

4George N. Atiyeh, Al-Kindi: Tokoh Failasuf Muslim, diterjemahkan sah dari Al-Kindi: The

Philosopher of the Arabs, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 55. 5A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2016), h. 82.

Page 62: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

51

status ontologis yang lebih tinggi dan riil dibandingkan alam materi. Mengapa

demikian ? yaitu karena pengaruhnya yang besar terhadap pembentukan benda-

benda fisik, seperti planet-planet termasuk bumi.

Selanjutnya, pernyataan keunggulan status para Malaikat dibanding alam

materi di atas, Mulyadhi Kartanegara setuju dengan sistem falsafah Suhrawardȋ

yang berargumen mengenai salah satu jenis Malaikat adalah ide-ide Platonik.

Ide-ide Platonik ini dipandang sebagai “prototipe” atau dalam istilahnya arbâb

al-ashnâm dari benda-benda yang ada di dunia ini, yang ia sebut ashnâm. Kata

arbâb bentuk jamak dari Rabb, biasanya diterjemahkan sebagai Tuhan atau tuan

(Lord). Sedangkan kata ashnâm yang arti harfiahnya adalah berhala-berhala

merujuk pada benda-benda derivatif sebagai obyek penderita atau “hamba”.

Karena “Tuan” pasti mempunyai posisi yang lebih kuat daripada hambanya,

demikian juga status ontologis ide-ide Plato (Suhrawardȋ menyebutnya

Malaikat), tentu lebih fundamental dan lebih riil dari pada benda-benda fisik.

Dapat dikatakan bahwa ide-ide ini mengambil bentuk sebab, sedangkan benda-

benda fisik merupakan akibat. Kesimpulannya adalah status ontologis sebab,

dalam bentuk apapun akan lebih unggul, riil dan fundamental, dari pada status

ontologis akibat-akibatnya.6

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, status ontologis Malaikat

berada di bawah status ontologis Tuhan, akan tetapi lebih tinggi status

ontologisnya dibanding dengan status ontologis alam materil.

6Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 33-35.

Page 63: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

52

Berikutnya mengenai hierarki wujud benda-benda langit atau benda-

benda angkasa. Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan pendapat Suhrawadȋ yang

mengatakan bahwa benda-benda angakasa berada pada posisi Middle Occident

(Barat Tengah) yang dibedakan dengan posisi entitas-entitas imateriil (yaitu para

Malaikat) yang menduduki posisi Oriental (Dunia Timur) di atas mereka, dan

dengan posisi benda-benda fisik seperti mineral, tumbuhan dan hewan di bawah

mereka yang masuk ke dalam dunia Occident (Barat Murni).

Kemudian Mulyadhi Kartanegara juga sepemikiran dengan Ibn Sȋnâ yang

berargumen benda-benda angkasa memiliki pengaruh besar terhadap benda-

benda fisik di bawah bulan. Daya-daya yang berperan dalam mengatur interaksi

atau reaksi-reaksi kimiawi dan fisik pada unsur-unsur (dalam istilah modernnya

disebut atom-atom dan molekul-molekul) tak lain adalah daya-daya yang

diberikan oleh benda-benda angkasa tersebut. Selain itu, karena tidak mungkin

ada dinamika dalam alam tanpa gerak-gerak yang dipengaruhi oleh daya-daya

benda angkasa, bisa dilihat pentingnya peranan yang dimainkan oleh benda-

benda angkasa ini terhadap gerak, dinamika dan perkembangan dinamis alam

semesta selanjutnya.7

Dapat ditarik kesimpulan bahwa, status ontologis benda-benda angakasa

tidak lebih tinggi dibanding status ontologis Tuhan dan Malaikat, akan tetapi ia

lebih unggul status ontologisnya dari pada status ontologis benda-benda materiil.

Terakhir adalah hierarki wujud benda-benda bumi. Dalam hal ini

Mulyadhi Kartanegara sepemahaman dengan al-Fârâbȋ yang mengemukakan

7Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 35-36.

Page 64: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

53

macam-macam benda dilihat dari sudut yang terendah sampai yang tertinggi.

yaitu unsur-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan non rasional dan hewan

rasional (manusia).

Falsafah Islam dalam pemikirannya dipengaruhi oleh falsafah Yunani,

seperti Aristoteles, yang membagi unsur-unsur sebagai bagian yang terendah dari

hierarki wujud yang berjumlah empat, diantaranya, tanah, air, api dan udara.

Keempat unsur ini berpadanan dengan empat sifat utama yang menjadi ciri benda

alami, yaitu tunduk pada kejadian dan kehancuran seperti panas dan dingin,

basah dan kering. Unsur inilah yang menjadi dasar bagi pembentukan benda-

benda alami lainnya dengan komposisi yang berbeda-beda, yaitu mineral,

tumbuhan dan hewan.8

Penelitian di bidang minerologi atau ilmu tentang benda-benda mineral

seperti batu-batuan atau logam-logaman diarahkan pada distribusi, identifikasi

dan sifat-sifat dari benda-benda mineral tersebut. Itulah sebabnya, maka di

samping berat dan ukuran, penelitian minerologis juga diarahkan pada warna,

kecemerlangan, tekstur dan bentuk dari sebuah batu. Juga diteliti peranan batu-

batu tertentu dalam menenangkan jiwa atau menimbulka rasa senang atau

keadaan psikologis lainnya. Al-Kindȋ menulis dua buku tentang berbagai jenis

batu-batuan berharga dan sebuah risalah tentang berbagai jenis batu-batuan dan

permata.9

8Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 36-37.

9Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h.

138.

Page 65: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

54

Obyek batu yang semula hanya menempati bentuk batu yang kasar

kemudian karena melalui proses ia dapat berubah menjadi batu yang berharga

dan mulia seperti perak, emas bahkan berlian. Dari sini dapat dipahami bahwa

semakin halus dan mulia sebuah benda mineral, maka status ontologisnya juga

akan semakin tinggi.

Selanjutnya benda-benda alami tumbuh-tumbuhan. Mulyadhi Kartanegara

mengatakan bahwa tumbuh-tumbuhan bisa jadi merupakan evolusi dari dunia

mineral. Perubahan evolutif ini dapat dilihat dalam dunia mineral karena

perubahan benda-benda mineral yaitu berupa batu-batuan dan logam, dari yang

rendah ke arah yang lebih mulia barangkali merupakan proses alamiah yang

sangat gradual. Jadi ketika dunia mineral telah sampai pada puncak

perkembangannya, perkembangan vertikal alam kemudian berhasil melakukan

penerobosan fundamental dengan munculnya jenis makhluk lain yang disebut

tumbuhan.10

Tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu pertama, kemampuan untuk

tumbuh (growth). Kedua, menyerap makanan (nutritive faculty). Ketiga,

berkembang biak (reproductive faculty).11

Tumbuh-tumbuhan memiliki daya

tumbuh, yakni ia dapat tumbuh dari benih yang kecil hingga berkembang

menjadi pohon yang besar dan tinggi, yang mana tumbuhan yang sudah tumbuh

besar itu dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, seperti kayunya

dapat dijadikan bahan bakar untuk masak, bangunan rumah, perabotan rumah

10

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 38 11

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 139.

Page 66: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

55

tangga dan sebagainya. Selanjutnya, daya menyerap makanan, tumbuh-tumbuhan

memasok makanan melalui bagian-bagian tertentu seperti akar menyerap air dan

pupuk yang akhirnya tumbuhan tersebut dapat menghasilkan buah yang segar.

Terakhir daya reproduktif, yaitu bertujuan untuk memperbanyak sekaligus

memelihara spesiesnya.

Di samping itu, tumbuh-tumbuhan juga memiliki manfaat medis yang

dikenal dengan cabang ilmu kedokteran yaitu farmakologi. Ilmu ini menyelidiki

manfaat dan bahaya (racun) dari tumbuh-tumbuhan tertentu bagi kesehatan dan

pengobatan tubuh manusia dan bagaimana dari berbagai tumbuhan yang telah

diekstrak esensinya diracik sejenis obat tertentu, tentunya melalui berbagai

percobaan (tajribat).12

Dapat ditarik kesimpulan bahwa status ontologis tumbuh-tumbuhan lebih

fundamental dibandingkan status benda-benda mineral yaitu karena kelebihan-

kelebihan yang dimilikinya.

Selanjutnya, benda-benda bumi (alami) hewan. Dunia hewan dibagi

menjadi dua macam, yaitu hewan nonrasional yang biasanya disebut hewan pada

umumnya, seperti kucing, kambing, sapi. Dan hewan rasional yang disebut

manusia. Sebagai wujud yang mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pada

tumbuh-tumbuhan, hewan memiliki daya-daya yang istimewa dibandingkan

daya-daya yang dimiliki oleh dunia mineral ataupun dunia tumbuh-tumbuhan.

Hewan memiliki daya penginderaan (sensasi) dan gerak (lokomosi / ḫarakah).13

12

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 140. 13

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 39.

Page 67: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

56

Mulyadhi Kartanegara menyatakan bahwa al-Jahizh telah meneliti dan

mempelajari 350 hewan, melakukan penelitian bukan hanya terhadap

pendeskripsian dan pengklasifikasian hewan ke dalam empat kategori menurut

cara mereka bergerak. Selain itu al-Jahizh juga telah menjadikan zoologi sebagai

sebuah cabang kajian agama, karena menurutnya tujuan mempelajari zoologi

tidak lain dari pada menunjukkan keberadaan Tuhan dan kebijaksanaan yang ada

pada ciptaannya.14

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa status ontologis hewan

lebih kuat dan lebih tinggi dibandingkan tumbuh-tumbuhan dan juga mineral.

Terakhir adalah hewan rasional atau yang dimaksud adalah manusia.

Perbedaan yang fundamental antara hewan-hewan biasa dan manusia terletak

pada akalnya (rasio). Dimana dengan akal manusia mampu menangkap informasi

yang tidak pernah bisa dilakukan oleh indera manapun, yaitu dengan

menanyakan raung, waktu, sebab-akibat dan seterusnya. Yang lebih menonjol

lagi adalah kemampuan manusia untuk menangkap makna abstrak, baik dari

benda-benda fisik maupun dari ucapan orang lain dan kemampuannya untuk

mengomunikasikan pikiran-pikirannya kepada orang lain lewat symbol-simbol

verbal ataupun tertulis seperti bahasa. Aspek lain yang menyebabkan status

ontologis manusia lebih fundamental dan riil dari pada makhluk-makhluk lainnya

adalah kenyataan bahwa akal bersifat imateiil dan bisa survive setelah

kematian.15

14

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 141. 15

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 40.

Page 68: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

57

Selain itu, manusia juga adalah mikrokosmos (dunia kecil) karena

terkandung di dalamnya segala unsur yang ada dalam kosmos, seperti, mineral,

tumbuh-tumbuhan, hewan dan bahkan unsur Malaikat dan Illahi. Ide bahwa

manusia adalah mikrokosmos yakni terkait erat dengan fakta bahwa manusia

merupakan puncak dari evolusi alam.16

Kesimpulannya adalah status ontologis manusia lebih unggul

dibandingkan dengan hewan, hewan lebih kuat dibanding tumbuhan dan

tumbuhan lebih tinggi dibanding mineral. Dan menurut falsafah Islam, status

ontologis tidak diberikan hanya pada obyek-obyek alami (materiil), tetapi juga

pada obyek-obyek imateriil.

B. Konsep Klasifikasi Ilmu

Mulyadhi Kartanegara berpendapat bahwa banyak pemikir Barat dan

failasuf ilmu yang meragukan status ontologis obyek-obyek nonfisik atau

metafisika. Oleh karenanya klasifikasi sains di Barat hanya memasukan bidang-

bidang ilmu empiris ditambah secara misterius dengan bidang-bidang ilmu

matematika, tetapi dengan tegas menolak bidang metafisika yang obyek-

obyeknya sering dipandang tidak riil atau ilusif. Sedangkan klasifikasi ilmu

Islam, meliputi tidak hanya bidang-bidang fisik dan matematika, tetapi juga

bidang-bidang ilmu metafisika.

Teori mengenai klasifikasi ilmu Islam Mulyadhi Kartanegara sepakat

dengan apa yang disampaikan oleh Ibn Sȋnâ, yakni ia menyebutkan wujud-wujud

16

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 46.

Page 69: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

58

disusun secara hierarkis sesuai dengan sifat-sifat dasar mereka. Di sini Ibn Sȋnâ

mengelompokkan wujud-wujud tersebut dalam tiga kategori, yaitu pertama,

wujud-wujud yang secara nisaya tidak berhubungan dengan materi dan gerak.

Kedua, wujud-wujud yang meskipun pada dirinya bersifat imateriil, terkadang

mengadakan kontak dengan materi dan gerak. Ketiga, wujud-wujud yang secara

niscaya terkait dengan materi dan gerak.

Ibn Sȋnâ memberikan contoh pada setiap kategori, seperti wujud-wujud

yang termasuk ke dalam kategori pertama adalah yang disebut wujud-wujud

metafisika, contohnya adalah Tuhan dan jiwa. Selanjutnya wujud-wujud dalam

kategori kedua yang disebut sebagai wujud-wujud matematika dan yang terakhir

wujud-wujud dalam kategori ketiga ialah jatuh pada wilayah fisik.

Dari sini maka dapat dipahami bahwa teori pengetahuan Islam, ilmu

dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu, ilmu-ilmu metafisika, ilmu-ilmu matematika

dan ilmu-ilmu alam atau fisik.17

Dalam tradisi intelektual Islam obyek metafisik adalah obyek penelitian

yang tertinggi dan termulia, yang bukan hanya akan menyebabkan ilmu tentang-

Nya (al-‘ilm al-Ilâhi) sebuah disiplin ilmu yang tertinggi, tetapi juga yang

dipercaya akan mendatangkan kebahagiaan tertinggi bagi siapa saja yang

mempelajari-Nya. Dengan demikian ia dapat dijadikan sebagai basis moral bagi

penelitian ilmiah.18

17

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 42-43. 18

Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:

Lentera Hati, 2006), h. 78-79.

Page 70: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

59

Tuhan adalah prinsip fundamental dari segala yang ada (maujȗdât). Dia

wajib adanya (wâjib al-wujȗd), sedangkan alam hanyalah mungkin adanya

(mumkin al-wujȗd). Sebagai yang wajib ada, maka Tuhan tidak boleh tidak ada,

baik masa lalu maupun masa mendatang. Sedangkan alam yang bersifat

mungkin, boleh saja ada atau tidak karena kedua hal tersebut sah-sah saja dan

tidak menimbulkan kontradiksi logis.19

Selain itu, Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan Ibn Khaldȗn yang

membagi ilmu-ilmu metafisik ke dalam lima bagian, diantaranya:

1) Bagian yang mempelajari wujud sebagai wujud, yang biasa

disebut ontologi atau ilmu tentang wujud

2) Bagian bidang yang mempelajari materi umum yang

mempengaruhi benda-benda jasmani dan spiritual, seperti

kuiditas, kesatuan, pluralitas dan kemungkinan

3) Bagian yang mempelajari asal-usul benda-benda yang ada dan

menentukan apakah mereka itu adalah entitas-entitas spiritual atau

bukan

4) Bagian yang mempelajari bagaimana cara benda-benda yang ada

muncul dari entitas-entitas spiritual dan mempelajari susunan

mereka

19

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 125-126.

Page 71: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

60

5) Bagian yang mempelajari keadaan jiwa setelah perpisahannya

dengan badan dan kembalinya ia ke asal atau permulaannya.20

Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa metafisika meliputi

bidang ontologi yang terletak pada poin satu dan dua, juga bidang kosmologi

yaitu pada poin tiga dan empat dan terakhir bidang eskatologi dapat dilihat pada

poin kelima.

Mengenai basis ontologis ilmu-ilmu matematika, Mulyadhi Kartanegara

mengomentari pendapat Ibn Sȋnâ tentang jenis ke dua wujud sebagai wujud-

wujud, walaupun pada dirinya bersifat imateriil, akan tetapi ia mampu

mengadakan kontak dengan materi dan gerak, hal ini cocok untuk

menggambarkan sifat dasar obyek-obyek matematika. Obyek-obyek matematika

seperti angka dan bentuk-bentuk geometris, tentu bersifat imateriil (yaitu karena

berbentuk simbol) yang tidak pernah ditemukan hakikatnya di dunia fisik.

Contoh, angka 3 harus dipahami sebagai simbol hakikat “tiga” yang abstrak,

demikian juga segitiga adalah simbol esensi segitiga yang didefinisikan sebagai

bidang yang memiliki tiga sudut dengan jumlah 180 derajat. Hanya saja angka 3

atau segitiga ini tentu saja masih harus diasosiasikan dengan benda-benda fisik

untuk bisa memberinya makna, seperti 3 apel + 4 apel. Oleh karenya obyek-

obyek matematika pada dirinya bersifat abstrak, akan tetapi karena

diabstraksikan dari benda-benda fisik, maka ia masih terkait dengan benda-benda

fisik. Bukti bahwa obyek-obyek matematika bersifat imateriil dapat dilihat dari

20

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, (UIN Jakarta Press,

2003), h. 51.

Page 72: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

61

kenyataan bahwa dalam matematika seseorang dapat mengatakan “sesuatu dapat

dibagi atau dikalikan secara tak terhingga”. Berbicara yang tak terhingga dalam

matematika adalah sesuatu yang logis dan sah. Oleh karenanya, obyek-obyek

matematika tidak bersifat materiil karena seluas apa pun alam fisik, ia tidak bisa

tanpa batas sehingga tidak bisa tak terhingga.21

Dalam hal ini, Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan Ibn Khaldȗn yang

membagi matematika ke dalam empat kelompok, yakni:

1) Geometri, yaitu cabang matematika yang mengkaji tentang

kuantitas (pengukuran-pengukuran), secara umum, yang bisa saja

bersifat terputus, karena terdiri dari angka-angka atau

berkesinambungan seperti figur-figur geometris

2) Aritmatika, yaitu cabang matematika yang mempelajari sifat-sifat

yang esensial dan aksidental dari jumlah yang terputus, yang

disebut bilangan (number)

3) Musik, yakni cabang matematika yang mempelajari proporsi suara

dan bentuk-bentuk (modusnya) dan pengukuran-pengukuran

numerik mereka, yang menghasilkan pengetahuan tentang melodi-

melodi musik

4) Astronomi, yaitu cabang matematik yang menetapkan bentuk-

bentuk bola-bola langit, menetukan posisi dan jumlah dari tiap

planet dan bintang tetap.22

21

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 47-48. 22

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 64-65.

Page 73: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

62

Terakhir, basis ontologis ilmu-ilmu alam (fisika). Fisika adalah ilmu yang

menyelidiki benda-benda fisik (bodies) dari sudut gerak atau diam. Ia

mempelajari benda-benda langit dan substansi atau zat-zat elementer, seperti

manusia, hewan, tumbuhan dan mineral yang tercipta dari unsur-unsur dasar

tersebut.para sarjana dan failasuf Muslim telah mempelajari benda-benda fisik ini

dalam karya mereka baik secara rasional maupun dengan melakukan eksperimen-

eksperimen langsung.23

Obyek-obyek ilmu alam adalah obyek-obyek ilmu yang

paling jelas status ontologisnya. Status ontologis obyek-obyek ilmu alam telah

diakui secara universal dan dianggap penting bagi para failasuf dan ilmuwan

Muslim dan dianggap sebagai basis ontologis yang sah bagi kelompok ilmu-ilmu

alam (fisika).

Mulyadhi Kartanegara setuju dengan al-Fârâbȋ mengenai pembagian

ilmu-ilmu alam yang sesuai dengan jenis obyek-obyek alamiahnya. Dimana

benda-benda alami digambarkan sebagai wujud-wujud yang secara niscaya

berkaitan dengan materi dan gerak dibagi menjadi lima, yaitu unsur-unsur,

mineral, tumbuhan, hewan dan manusia. Mulyadhi Kartanegara berargumen,

tiap-tiap bagian benda-benda alami ini tentu bisa dijadikan sebagai basis

ontologis yang sah bagi cabang-cabang ilmu alam. Unsur-unsur elementer

memerlukan cabang ilmu khusus yang mempelajarinya, seperti kimia atau fisika

materiil. Benda-benda mineral memerlukan sebuah ilmu yang khusus contohnya

mineralogi, metalurgi, yang berbicara tentang pembuatan benda-benda metal,

23

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 67.

Page 74: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

63

seperti pembuatan pedang. Selain itu ada juga tumbuh-tumbuhan yang telah

menjadi basis ontologis cabang ilmu yang disebut botani, ada juga hewan-hewan

nonrasional menjadi basis ontologi untuk cabang ilmu hayat (biologi atau

zoologi). Manusia sebagai hewan rasional termasuk ke dalam benda-benda alami

juga memiliki unsur nonmaterial yaitu akal (jiwa atau ruh). Dari sini muncul ilmu

anatomi yang mengkaji manusia dari sudut struktur dan muatan fisiknya. Juga

ada ilmu kedokteran yang memandang manusia dari sisi kesehatan. Terakhir

Psikologi mengkaji manusia dari sudut kejiwaan.24

C. Metode-metode Ilmiah

Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis

dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.25

Sedangkan menurut

Mulyadhi Kartanegara yang dimaksud metode ilmiah adalah cara-cara untuk

mengetahui sebuah obyek ilmu sebagaimana adanya. Menurutnya metode ilmiah

harus disesuaikan dengan sifat dasar (nature) obyek-obyeknya. Mengapa

demikian ? karena obyek-obyek ilmu memiliki sifat dasar, karakter dan status

ontologis yang berbeda, maka metode ilmiah dalam epistemologi juga beragam

sesuai dengan obyek-obyeknya.

Epistemologi Islam membagi metode ilmiah menjad tiga, akan tetapi

Mulyadhi Kartanegara membaginya menjadi empat. Pertama, metode observasi

atau eksperimen (tajrȋbȋ) yaitu untuk obyek-obyek fisik. Kedua, metode logis

24

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 49-50. 25

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta:

Andi, 2007), h. 157.

Page 75: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

64

(burhânȋ) adalah untuk obyek-obyek nonfisik. Ketiga, metode intuitif („irfânȋ)

juga untuk objek-objek nonfisik dengan cara yang lebih langsung.26

Terakhir,

metode bayânȋ yakni metode untuk memahami al-Qur‟an.27

1. Metode Observasi atau Eksperimen

Metode observasi atau eksperimen (tajrȋbȋ) adalah melakukan

pengamatan inderawi terhadap obyek-obyek fisik dan percobaan-percobaan

ilmiah terhadap fenomena alam baik di arena terbuka maupun di

laboratorium-laboratorium yang tertutup. Pengamatan atau observasi inderawi

bisa dilakukan secara langsung tanpa alat bantu, tetapi kadang perlu alat bantu

seperti teleskop untuk benda-benda langit yang jauh, juga mikroskop untuk

benda-benda yang teramat kecil, seperti kuman atau atom.28

Hal ini bertujuan

untuk memperoleh pengetahuan yang obyektif tentang obyek-obyek fisik,

maka diperlukan cara-cara dan alat-alat bantu bagi indera, dengan begitu

pengamatan indera akan menjadi tepat.

Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan Ibn Haitsam, yang menyatakan

bahwa ia sangat memerlukan metode observasi yang khusus yaitu metode

eksperimen dan alat-alat bantu bagi indera karena ia sangat menyadari

kelemahan pengamatan inderawi, khususnya pengamatan mata. Dalam

karangan bukunya yang berjudul Al-Manâzhir (The Optics), di sana ia

menunjukkan kelemahan pandangan mata yang ditimbulkan beberapa faktor,

seperti jarak, posisi, transparansi, keburaman, lamanya memandang dan juga

26

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 52. 27

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 195. 28

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 31.

Page 76: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

65

kondisi mata. Oleh karenanya, menurut Ibn Haitsam observasi sebagai

metode, perlu dibantu oleh metode matematika, Laplace menyebutnya dengan

kalkulasi yaitu bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih

akurat.29

Kitab yang ditulis oleh Ibn Haitsam dalam tujuh jilid, merupakan

karya optik monumental yang pengaruhnya dapat dilihat dari karya-karya

fisikawan dan astronom Barat, seperti Roger Bacon, Vitello dan Kepler. Di

mana karya ini membahas tentang teori penglihatan dan yang berkaitan

dengan itu, seperti pelangi, refraksi dan refleksi.30

Selain itu untuk melakukan pengamatan yang lebih akurat dan obyektif

terhadap sebuah benda yang fisik dan untuk menghindarkan kesan subyektif

dari seorang pengamat, maka para ilmuwan Muslim dan kemudian dilanjutkan

serta dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sampai taraf yang begitu

canggih, mereka melakukan berbagai pengukuran baik terhadap jarak, seperti

kilometer, hektometer, dekameter, meter, desimeter, sentimeter, millimeter.

Selain itu ada juga alat untuk mengukur beban, seperti, kilogram, gram, pons

dan ons. Tentu saja alat-alat ukur harus diciptakan untuk tujuan pengukuran,

sehingga munculah satuan-satuan ukuran dengan alat-alat yang dibutuhkannya

seperti timbangan dan meteran. Pada masa modern pengukuran menjadi

sangat canggih sehingga dapat mengukur bukan hanya jarak dan beban, tetapi

29

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 53.

30

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 62.

Page 77: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

66

juga tekanan, misalnya tekanan darah, yang menghasilkan tensometer,

tekanan udara dan barometer.31

Metode ini tentunya diakui kebenarannya oleh semua kalangan baik

ilmuwan Muslim maupun Barat. Tidak dapat dipungkiri, pada prakteknya di

lapangan panca indera menjadi salah satu faktor mencari pengetahuan yaitu

dengan mengamati obyek-obyek fisik. Tetapi bagi failasuf Muslim tidak

cukup hanya dengan metode tajrȋbȋ, karena metode ini tidak dapat menangkap

obyek yang metafisik melainkan terbatas hanya pada obyek-obyek yang fisik

saja.

2. Metode Demonstratif (burhânȋ)

Metode demonstratif merupakan salah satu metode rasional atau logis

yang digunakan oleh para ilmuwan dan failasuf Muslim untuk menguji

kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan

filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan

sebuah kesimpulan ilmiah. Diantaranya dilakukan dengan memperhatikan

validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor atau

minornya, serta ada atau tidaknya middle term yang sah yang mengantarai

kedua premis tersebut. Dalam ilmu logika metode tersebut disebut silogisme

(al-qiyâs). Mengenai tujuan metode demonstratif, Mulyadhi Kartanegara

setuju dengan apa yang digambarkan oleh al-Fârâbȋ, yaitu pertama, untuk

mengatur dan menuntun akal ke arah pemikiran yang benar dalam

hubungannya dengan setiap pengetahuan yang mungkin salah. Kedua, untuk

31

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 185-186.

Page 78: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

67

melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah. Ketiga, untuk

memberi sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang

mungkin tidak bebas dari kesalahan. Alat bantu yang dimaksud al-Fârâbȋ

adalah kaidah-kaidah yang hubungannya dengan akal dan pengetahuan yang

sama dengan hubungan kaidah-kaidah tata bahasa dengan bahasa dan lafal.32

Pada metode ini akan diperkenalkan dengan metode silogisme, yaitu

penarikan kesimpulan dari premis mayor, premis minor, middle term dan

kesimpulan. Mekanismenya adalah sebagai berikut: premis mayor + premis

minor + middle term + kesimpulan. Seperti contoh berikut ini:

Semua makhluk yang bernyawa akan mati

Kucing makhluk yang bernyawa

Maka kucing akan mati

Baris yang pertama disebut premis mayor, baris kedua disebut premis

minor dan baris ketiga disebut kesimpulan. Middle termnya adalah “makhluk

yang bernyawa”. Menurut keyakinan para failasuf kesimpulan tersebut

niscaya benar dan karena itu berkorespondensi dengan kenyataan, dengan

syarat bahwa premis mayor dan minornya merupakan proposisi yang

kebenarannya tidak diragukan.33

Menurut Mulyadhi Kartanegara, metode

demonstratif dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan

dapat menagkap realitas obyek-obyek yang ditelitinya dengan tepat, karena

telah terhindar dari kekeliruan-kekeliruan logis.34

Akal memang mampu menangkap obyek-obyek yang metafisik, akan

tetapi perlu diketahui bahwa ia bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan

32

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 56. 33

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 190-191. 34

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 63.

Page 79: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

68

untuk menangkap realiats metafisik, karena selain akal manusia juga

dikaruniai oleh Tuhan dengan hati.

3. Metode Intuitif (‘irfânȋ)

Metode intuitif berkaitan dengan intuisi atau hati. Intuisi dapat

menangkap obyeknya secara langsung. Obyek-obyek intuisi bersifat abstrak,

seperti rasa cinta, benci, kecewa dan bahagia. Metode intuitif ini juga bersifat

langsung.35

Misalnya, seseorang tahu tentang cinta, tetapi sebelum ia

mengalami sendiri maka pengetahuannya tentang cinta sangatlah artificial

atau superfisial, tidak sesunguhnya. Karena tidak ada jalan lain untuk

memahami cinta kecuali dengan memahami atau merasakan cinta itu. Contoh

lainnya adalah seperti pengetahuan seseorang tentang manis yang dicapai

dengan cara mencicipinya, tentu sangat berbeda kualitasnya dengan

pengetahuan tentangnya yang diperoleh lewat pelajaran biologi meskipun

dengan membaca buku sampai berhalaman-halaman.36

Pendekatan intuitif (dzauqi) disebut pendekatan presensial

(presential) yaitu karena obyek-obyeknya hadir (present) dalam jiwa

seseorang, karena itulah modus ilmu seperti ini disebut ilmu ḫudhuri

(knowledge by presence). Oleh karena obyek-obyek yang ditelitinya hadir

dalam jiwa, maka dapat dialami dan dirasakan sendiri obyeknya dan dari

sinilah muncul istilah dzauqi (rasa). Selain itu, obyek-obyek itu juga bisa

diketahui secara langsung karena tidak ada lagi jurang pemisah antara subyek

sebagai peneliti dengan obyek-obyek yang diteliti karena di sini telah terjadi

35

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 60. 36

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 192-193.

Page 80: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

69

kesatuan antara subyek dan obyek, yakni antara yang mengetahui dan yang

diketahui.37

Perlu diketahui bahwa ilmu ḫudhuri tidak serta merta datang begitu

saja, melainkan harus melalui tahapan terlebih dahulu. Seperti dengan cara

isti’dâd, yaitu dengan mempersiapkan diri untuk menyongsong iluminasi

(pencahayaan) langsung dari Tuhan, yakni dengan membersihkan diri (hati)

dari segala kotoran atau dosa dan noda. Untuk bisa menangkap obyek-obyek

pengenalan intuitif dengan lebih sempurna, maka kebersihan dan kehalusan

lensa hati harus tetap dijaga. Itulah sebabnya berdzikir yang intinya adalah

menghapus setiap debu syirik dari dalam hati serta tazkiyat al-nufȗs

(pembersihan diri terutama dari egosentrisme) menjadi sangat penting dalam

upaya mengenal dengan lebih baik obyek-obyek yang hadir dalam diri.

Dengan demikian yang terpenting adalah olah batin atau spiritual, seperti yang

dilakukan oleh orang-orang salih, termasuk Nabi dan para wali juga seperti

dalam latihan-latihan spiritual (riyadhat al-nafs) yang diselenggarakan dalam

tarekat-tarekat.38

4. Metode Bayânȋ

Metode bayânȋ diperlukan untuk menyibak realitas yang lebih dalam

dari al-Qur‟an. Al-Qur‟an adalah ayat atau tanda-tanda Allah, di sini metode

bayânȋ mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur‟an ke dalam beberapa kategori,

seperti ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat

37

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 65. 38

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 116.

Page 81: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

70

dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang bersifat mujmal, zahir dan mubayan.

Ayat-ayat zahir dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang musykil dan khafi,

sedangkan mubayan dibagi lagi ke dalam mufassar dan nashsh. Kategorisasi

ini menunjukkan tingkat kejelasan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda-beda,

oleh karena itu perlu penanganan yang hati-hati di dalam menafsirkan dan

memahami ayat-ayat tersebut dan tidak boleh semena-mena.39

Oleh karena itu, metode ini tidak diperuntukkan bagi orang awam,

melainkan hanya akan ditempuh oleh para ahli tafsir dan ulama lainnya dalam

rangka memahami kitab suci sebagai bahasa simbolis. Beberapa metode

ilmiah tersebut adalah, 1. Tafsȋr, yaitu mengubah redaksi bahasanya dengan

redaksi bahasa lain, baik yang sama kedudukannya dalam bahasa Arab atau

sepadan pengertiannya dalam bahasa asing. 2. Ta’wȋl, yaitu menjelaskan

makna sebuah ayat al-Qur‟an setelah menghilangkan makna eksoterisnya. 3.

Tashrȋf, yakni melakukan pengubahan kata yang berimplikasi pada

penambahan dan pengurangan. 4. Tafri’, yakni mengembangkan sebuah

obyek dengan partisi-partisi atau sub-sub bahasa. 5. Jam’, yaitu

menggabungkan yang terpisah dan terakhir. 6. Tafrȋq, yakni memisah-

misahkan hal yang telah terhimpun.40

39

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 195.

40

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2003), h. 117-118.

Page 82: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

71

Demikianlah, apabila keempat metode ilmiah di atas digunakan maka

obyek-obyek fisik sampai obyek-obyek metafisik dapat diketahui dan

ditelusuri.

D. Kriteria Obyektivitas Ilmu

Mulyadhi Kartanegara berargumen tentang apa yang dimaksud obyektif

adalah sesuai dengan kenyataan.41

Di sini yang dimaksud nyata dan riil tidak

hanya pada bidang yang fisik tetapi juga mencangkup pada bidang yang nonfisik.

Maka dari itu, ukuran obyektivitas sebuah obyek ilmu tidak bisa hanya diukur

dengan kriteria fisik, tetapi harus diukur berdasarkan atau disesuaikan dengan

sifat dasar dari obyeknya baik fisik, maupun nonfisik.

Untuk membuktikan penjelasan di atas, Mulyadhi Kartanegara

memberikan ilustrasi sebagai berikut:

Seperti ketika berbicara tentang obyek-obyek fisik, untuk mencapai

obyektivitas tidaklah mudah, ketika berbicara tentang obyektivitas pengamatan

inderawi. Contoh: berbicara tentang obyektivitas pulpen yang digunakan untuk

menulis. Sepintas pulpen yang digunakan itu berwarna abu-abu, namun apakah

warna abu-abu itu obyektif dalam pengertian ada di sana secara terpisah dari

substratumnya ? Ternyata, jika bagian pulpen itu dibesarkan sampai ratusan atau

ribuan kali besarnya melalui mikroskop, tiba-tiba warna abu-abu yang tadi hilang

entah ke mana. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar apakah warna abu-abu

41

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 64.

Page 83: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

72

pada pulpen tadi obyektif atau subyektif.42

Contoh lain, anak-anak Indonesia tentu

tidak asing dengan lagu “bintang kecil”, di sana terdapat lirik yang berbunyi

“bintang kecil di langit yang biru”, jika berbicara tentang obyektivitas

pengamatan inderawi, bintang yang jauh nun di sana jika dilihat dengan mata

telanjang benar adanya bahwa bintang tersebut terlihat kecil, tapi apakah itu

benar adanya ? dan ternyata tidak, seorang astronom mengatakan bahwa bintang

itu sesungguhnya ukurannya besar. Oleh karena itu pengamatan saja tidak cukup

untuk dijadikan sebagai instrumen mengukur obyektivitas sebuah benda fisik.

Dalam kasus ini Mulyadhi Kartanegara juga ingin menjelaskan bahwa

untuk mencapai pengetahuan tidak bisa obyek berdiri sendiri melainkan di sana

ada juga unsur subyektivitas. Seperti penemuan yang diperoleh dari Ibn Haitsam,

dijelaskan bahwa pada masanya telah berkembang dua teori yang sangat

membingungkan tentang penglihatan ini. Aristoteles beserta para pengikutnya

termasuk al-Kindȋ, menyatakan bahwa seseorang bisa melihat sebuah obyek

karena matanya memancarkan cahaya pada obyek tersebut, sedangkan ahli-ahli

matematika mengatakan sebaliknya bahwa seseorang bisa melihat suatu obyek

karena obyek tersebut memantulkan cahaya pada matanya. Menurut pengakuan

Ibn Haitsam kedua teori ini bertahan sama kuatnya. Setelah itu Ibn Haitsam

memecahkan masalah ini dengan melakukan eksperimen terhadap cahaya dan

pengaruhnya terhadap mata, dan menghasilkan kesimpulan yang akurat bahwa

42

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 65.

Page 84: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

73

pendapat yang kedualah yang benar, yaitu bahwa seseorang dapat melihat karena

sebuah obyek karena ia memantulkan cahaya pada kornea mata.43

Mulyadhi Kartanegara mengutip perkataan Rolston yang mengakui

bahwa dalam pengetahuan alam, subyektivitas dapat terus ditekan. Namun

dengan berkembangnya kecanggihan ilmiah ia jatuh dalam paradoks. Semakin

jauh ia mencoba memasuki komponen akhir dari materi, semakin tidak bisa

melepaskan diri dari subyektivitas. Akhirnya Rolston menyimpulkan bahwa

fisika, kimia dan astronomi, yakni tiga bidang ilmu yang dipandang paling

obyektif, nyatanya tidak bisa lari dari subyektivitas. Sebaliknya mereka bahkan

semakin subyektif saja.44

Contoh selanjutnya, anggapan bahwa mata dapat melihat semua benda

selama benda tersebut bersifat fisik atau anggapan bahwa seseorang bisa

mendengar semua suara selama bukan suara gaib. Namun, penyelidikan ilmiah

ternyata membuktikan bahwa seseorang hanya bisa melihat gelombang cahaya

dengan frekuensi tertentu. Di luar itu, mata tidak bisa lagi melihat atau

mencerapnya. Itulah sebabnya mengapa mata tidak bisa melihat sinar X (X ray),

sinar gamma, ultraviolet, inframerah dan sinar kosmik. Demikian juga telinga

hanya bisa mencerap gelombang suara yang berfrekuensi dari 15-20.000 hertz

per detik sehingga gelombang suara yang berfrekuensi kurang dari rentangan

tersebut atau melebihinya tidak bisa ditangkap oleh alat pendengaran. Walaupun

demikian, tidak berarti bahwa gelombang cahaya atau suara yang ada di luar

43

Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 95. 44

Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas,

(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 3-4.

Page 85: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

74

frekuensi normal itu tidak ada. Akan tetapi semuanya ada dan bahkan bersifat

fisik. Hanya saja alat indera seperti mata dan telinga tidak sanggup

mendeteksinya sehingga sepertinya mereka tidak ada atau gaib. Bahkan

pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa mata tidak bisa melihat udara,

bahkan ketika udara tersebut telah dipadatkan dalam sebuah tabung transparan.45

Ilmu pengetahuan tidak bisa sama sekali terlepas dari subyektivitas sang

ilmuwan dan karena itu ilmu tidak bisa dikatakan obyektif, bebas nilai dan

universal.46

Pembahasan masalah obyektivias juga berkaitan dengan pengalaman

mistik yang menjadi basis sebuah mistisisme atau dalam kasus Islam disebut

sufisme atau tasawuf. Banyak yang berkata bahwa pengalaman mistik tidak bisa

dijadikan basis bagi sebuah ilmu, seperti tasawuf karena sifat subyektivitasnya.

Tentu saja pengalaman mistik adalah subyektif. Adakah pengalaman manusia

yang tidak subyektif ? Bahkan, pengalaman inderawi juga subyektif. Seperti,

pengalaman setiap pengunjung sebuah pameran elektronik pasti berbeda satu

sama lainnya. Kenyataannya bahwa pengalaman setiap pengunjung pameran

tersebut berbeda-beda, tentu merupakan hal yang sangat wajar dan alamiah.

Bahkan memang seharusnya begitu. Akan tetapi variasi atau perbedaan

pengalaman setiap pengunjung pameran tersebut tidak bisa menghilangkan

obyektivitas pameran itu sendiri, serta tempat dan waktu penyelengaraannya. Ini

penting dikemukakan karena pernyataan bahwa pengalaman mistik bersifat

subyektif sering mengisyaratkan bahwa pengalaman mistik tersebut tidak riil,

45

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h.66. 46

Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas, h. 2-3.

Page 86: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

75

atau dalam artian lain tidak didasarkan atau dialami di dunia yang sungguh-

sungguh ada. Padahal, seperti dalam kasus pengunjung pameran, pengalaman

subyektif mereka yang bervariasi tidak mengisyaratkan ketidakriilan ruang dan

waktu (atau dengan kata lain keberadaan) pameran tersebut.47

Dapat disimpulkan bahwa, obyektivitas hendaknya tidak dijadikan

kriteria bagi keabsahan sebuah ilmu karena sulit bagi seseorang untuk bisa benar-

benar secara mutlak memperoleh obyektivitas yang sama sekali terlepas dari

subyektivitasnya. Dapat disadari bahwa obyektivitas memang absolut, betapapun

para ilmuwan mengusahakannya adalah tetap sebuah ilusi. Dalam ilmu apapun

bidangnya, seyogianyalah diakui adanya unsur subyektif pada bidang-bidang

nonempiris, tidaklah berarti bisa begitu saja mengabaikan ukuran-ukuran

obyektif yang bisa ditemukan dalam metode-metode ilmiah yang digunakan

ataupun basis ontologisnya, yang di dalamnya mereka membangun ilmu dengan

bahan-bahan yang ditemukan dan diolah dengan cara yang mungkin terasa pelik

tetapi juga unik.48

47

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 71-72. 48

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 74.

Page 87: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

76

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara terkait obyektif ilmu

adalah yang sesuai dengan obyeknya yakni obyek fisik dan metafisik.

Ukuran obyek ilmu fisik adalah dengan yang fisik dan ukuran obyek

metafisik adalah dengan yang metafisik. Tentu status ontologis obyek ilmu

nonfisik (metafisik) adalah riil, karena itu bahwa Tuhan sebagai obyek ilmu

adalah sah.

Epistemologi Islam dalam mencari pengetahuan tentang sesuatu

sebagaimana adanya meliputi obyek-obyek fisik sekaligus juga obyek-

obyek nonfisik. Status ontologis sebuah obyek ilmu berpaduan dengan

kedudukannya dalam hierarki wujud. Tuhan adalah sebagai sebab dari

segala yang ada menduduki posisi tertinggi pada hierarki wujud. Maka

dapat dikatakan bahwa wujud Tuhan itu adalah riil atau nyata, karena jika

tidak ada sebab yaitu Tuhan, maka tidak akan ada alam semesta sebagai

bentuk dari akibat keberadaan Tuhan.

Konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara ingin menunjukkan

bahwa epistemologi Islam dengan epistemologi Barat sangatlah berbeda, ia

ingin membangunkan masyarakat dari tidur lelapnya dikarenakan

pemahaman yang selama ini dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan

Islam.

Pengetahuan tentang Tuhan tentu menjadi wajib hukumnya bagi umat

Muslim, inilah yang disajikan konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara,

Page 88: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

77

yaitu dalam mencari kebenaran pengetahuan meyakini dengan tiga cara,

yakni tajrȋbȋ, burhânȋ, ‘irfânȋ dan bayânȋ. Jika umat Muslim berkiblat

dengan epistemologi Barat maka bisa dipastikan mereka akan gagal dalam

mengenal pengetahuan tentang Tuhan.

B. Saran-saran

Kontribusi Mulyadhi Kartanegara dalam mengembangkan materi

kuliah dari lisan menuju tulisan dengan tema-tema epistemologi telah

mampu menghilangkan dahaga ilmu. Dikarenakan kajian epistemologi

belum mendapatkan perhatian yang mendalam juga minimnya kajian

epistemologi Islam di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa masih banyak yang harus dieksplorasi dari

pemikiran Mulyadhi Kartanegara ini, untuk itu kiranya diperlukan

penelitian-penelitian lebih lanjut dengan metode dan pendekatan yang lebih

tepat terhadap sumber data atau subyek penelitian agar hasil yang diperoleh

bisa lebih baik.

Page 89: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

78

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2009.

------------------. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu

Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Alfan, Muhammad. Filsafat Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Al-Jabiri, Muhammed ‘Abid. Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam.

Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.

Amien, Miska Muhammad. Epistemolgi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan

Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.

Anwar, Rosihon. dkk. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan

Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

--------------------. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Bernadien, Win Usuluddin. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011.

Bertens, K. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: PT. Gramedia, 1981.

-------------. Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2013.

Page 90: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

79

Bidin, Elmahsyar, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format

Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003.

Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Daito, Apollo. Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi, Epistemologi,

Aksiologi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011.

Djalil, Basiq. Logika: Ilmu Mantiq. Jakarta: Kencana, 2010.

Gahral Adian, Donny. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume

sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju, 2002.

--------------------------. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar

Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.

--------------------------. dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,

Diterjemahkan dari History of Islamic Philosophy. Bandung: Mizan, 2003.

Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Umum: dari Metologi

sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2007.

http://fikrialmabrur.blogspot.co.id/2015/10/daftar-buku-2prof-mulyadhi-

kartanegara.html, diakses pada tgl: 24 November 2017, Pukul: 14.31

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf#page=1&zoom=auto,-

12,848, diakses pada tgl: 18 November 2017

Husaini, Adian. Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani,

2013.

Jalaluddin. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban.

Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

K, Baihaqi A. Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir Logik. Jakarta: Darul Ulum Press,

2012.

Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf. Jakarta: Ushul Press,

2009.

Page 91: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

80

-----------------------------. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam.

Jakarta: Lentera Hati, 2006.

------------------------------. Integrasi Ilmu: Dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta:

UIN Jakarta Press, 2003.

------------------------------. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam.

Bandung: Mizan Pustaka, 2002.

-----------------------------. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.

-----------------------------. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.

Bandung: Mizan, 2003.

---------------------------. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan,

2006.

---------------------------. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas.

Jakarta: Erlangga, 2007.

Kebung, Konrad. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011.

Latif, Mukhtar. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia

Group, 2014.

Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Molan, Benyamin. Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis. Jakarta: PT Indeks, 2012.

Mundiri. Logika. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Murtiningsih, Wahyu. Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah. Jogjakarta:

IRCiSoD, 2014.

Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius,

1996.

Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana, 2003.

Page 92: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

81

Qadir, C. A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj: Hasan Basari. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1989.

Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk

Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Sidharta, B. Arief . Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan

Telaah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012.

Soetriono dan SRDM Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,

(Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2007.

Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2016.

Sudarminta, J. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:

Kanisius, 2002.

Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat

Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008.

Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara,

2013.

Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan

Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama, 2014.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya.

Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994.

Waid, Abdul. Menguak Fakta Sejarah Penemuan Sains dan Teknologi Islam yang

diKlaim Barat. Jogjakarta: Laksana, 2014.

Wattimena, Reza A. A. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Grasindo,

2008.

Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali

Pers, 2014.

Page 93: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

82

Zaprulkhan. Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers,

2016.

Page 94: KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39375/1... · PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM

83

Riwayat Hidup Peneliti

Rusmiyanah lahir di kota Tangerang, 31 Oktober 1993. Mengenyam

pendidikan sekolah dasar di SDN Jombang Tengah satu, kemudian melanjutkan

Tarbiyah al-mu’allimin wa al-mu’allimat (TMI) di Pondok Pesantren

Madinatunnajah, Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan. Selanjutnya pada tahun 2013

masuk ke perguruan tinggi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, Fakultas Ushuluddin Prodi Aqidah dan Filsafat Islam.

Sejak tahun 2010 mengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di Pondok

Pesantren Bait al-Qur’an Mulia, Jombang dan di TPA Al-Hikmah Ciater BSD.

Kemudian pada tahun 2017 diberi tanggungjawab lebih untuk mengajar di Taman

Kanak-kanak (TK) Pondok Pesantren Bait al-Qur’an Mulia. Disamping itu juga

mengajar privat untuk mata pelajaran umum dan agama. Di lingkungan masyarakat

mengikuti kegiatan Majelis Ta’lim Ikatan Remaja Mushalah (IRMUS) dan sudah

menduduki berbagai jabatan, seperti bendahara, sekretaris juga ditunjuk sebagai ketua

baik di organisasi tersebut maupun diacara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI)

seperti Maulid Nabi dan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw.