Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan ... · yang penting dalam hidup anak, seperti...

14
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja merupakan masa transisi dari periode anak ke periode dewasa. Secara psikologi, kedewasaan adalah keadaan berupa sudah terdapatnya ciri-ciri psikologis pada diri seseorang. Ciri-ciri psikologis tersebut menurut G.W.Allport (1961) diacu dalam Sarwono (2006) adalah pemekaran diri sendiri (extension of the self), kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif, dan memiliki falsafah hidup tertentu. Piaget menyatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia ketika anak tidak lagi berada di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, tetapi berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Secara umum, remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Menurut Bronfenbrenner (1979) diacu dalam Gunarsa (2001), kondisi lingkungan hidup, baik itu kondisi sosial atau kondisi budaya suatu masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Menurut Richmond dan Sklansky (1984) diacu dalam Sarwono (2006), inti dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja adalah memperjuangkan kebebasan. Sementara itu, menemukan bentuk kepribadian yang khas dalam periode ini belum menjadi sasaran utama. Pada usia ini juga individu mulai meningkatkan daya kreativitasnya melalui berbagai kegiatan atau penjurusan tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan, yaitu sikap teman sebaya, sikap orang tua, nilai-nilai praktis dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru-guru, keberhasilan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, dan derajat dukungan sosial di antara teman- teman sekelas. Karakteristik Remaja Jenis Kelamin Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2008), remaja perempuan lebih banyak dilanda stres dan depresi karena pengaruh lingkungan sosial dan juga teman sebaya. Remaja perempuan juga lebih mudah meluapkan emosinya

Transcript of Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan ... · yang penting dalam hidup anak, seperti...

9

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Remaja merupakan masa transisi dari periode anak ke periode dewasa.

Secara psikologi, kedewasaan adalah keadaan berupa sudah terdapatnya ciri-ciri

psikologis pada diri seseorang. Ciri-ciri psikologis tersebut menurut G.W.Allport

(1961) diacu dalam Sarwono (2006) adalah pemekaran diri sendiri (extension of

the self), kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif, dan memiliki

falsafah hidup tertentu.

Piaget menyatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu

berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia ketika anak tidak lagi berada di

bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, tetapi berada dalam tingkatan yang

sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Secara umum, remaja dibagi ke

dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18

tahun). Menurut Bronfenbrenner (1979) diacu dalam Gunarsa (2001), kondisi

lingkungan hidup, baik itu kondisi sosial atau kondisi budaya suatu masyarakat

akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.

Menurut Richmond dan Sklansky (1984) diacu dalam Sarwono (2006), inti

dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja adalah

memperjuangkan kebebasan. Sementara itu, menemukan bentuk kepribadian yang

khas dalam periode ini belum menjadi sasaran utama. Pada usia ini juga individu

mulai meningkatkan daya kreativitasnya melalui berbagai kegiatan atau

penjurusan tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap remaja

terhadap pendidikan, yaitu sikap teman sebaya, sikap orang tua, nilai-nilai praktis

dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru-guru, keberhasilan dalam

berbagai kegiatan ekstrakurikuler, dan derajat dukungan sosial di antara teman-

teman sekelas.

Karakteristik Remaja

Jenis Kelamin

Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2008), remaja perempuan lebih

banyak dilanda stres dan depresi karena pengaruh lingkungan sosial dan juga

teman sebaya. Remaja perempuan juga lebih mudah meluapkan emosinya

10

daripada laki-laki. Perempuan juga ternyata lebih peka dan memiliki empati yang

tinggi, sedangkan laki-laki lebih mudah beradaptasi dan mengatasi stres.

Usia

Santrock (2003) membagi usia remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu

remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Bertambahnya usia

anak membuat anak memiliki ruang lingkup yang semakin luas terjangkau. Pada

masa remaja juga lah pengaruh teman sebaya dan lingkungan di luar diri anak

semakin kuat, sedangkan pengaruh lingkungan keluarga semakin berkurang.

Urutan Kelahiran

Urutan anak ketika dilahirkan terdiri atas anak sulung, anak tengah, dan

anak bungsu. Menurut Santrock (2003), urutan kelahiran anak ini akan

mempengaruhi sikap dan perilaku orang tua terhadap anak tersebut. Menurut

Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak sulung memiliki tanggung jawab yang lebih

besar dan dituntut untuk lebih dewasa serta dapat memberikan contoh bagi adik-

adiknya. Orang tua juga menjadi lebih mengekang atau menetapkan batas-batas

tingkah laku anak. Hal tersebut tidak jarang membuat anak sulung cenderung

mengalami stres bila tidak dapat memenuhi tuntutan yang diberikan.

Menurut Harlock (1980) diacu dalam Yulianti (2010), kedudukan

seseorang dalam keluarga akan sangat mempengaruhinya menghadapi masyarakat

dan dunia. Semua anggota keluarga memaksakan pola-pola perilaku tertentu

kepada anggota keluarga yang lain pada saat mereka berinteraksi untuk memenuhi

kebutuhan mereka. Dengan cara inilah posisi dalam keluarga memberikan cap

yang tidak dapat dihapuskan dari gaya hidup seseorang.

Karakteristik Keluarga

Usia Orangtua

Berdasarkan Papalia dan Olds (2009), usia ibu dibagi menjadi tiga

kategori, yakni dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan

dewasa akhir (>60 tahun). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), usia dapat

mempengaruhi cara memperlakukan dan mendidik anak. Perlakuan yang

diberikan oleh orang tua terhadap anaknya haruslah disesuaikan dengan

kematangan anak agar anak lebih siap menerima hal apa saja yang ingin

11

ditanamkan oleh orang tua. Dengan begitu, hal tersebut akan tetap tersimpan dan

menjadi bagian kepribadian anak untuk kemudian membentuk konsep dirinya.

Tingkat Pendidikan Orangtua

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001), pola komunikasi antar keluarga

secara langsung maupun tidak langsung ditentukan oleh tingkat pendidikan orang

tua. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang

dianut, cara berpikir, cara pandang, dan juga persepsi terhadap suatu masalah

(Sumarwan 2002).

Pekerjaan Orangtua

Bekerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan

berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk

mendapatkan sesuatu dalam bentuk uang, benda, jasa, maupun ide. Menurut

Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan

seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang diterimanya.

Pendapatan Orangtua

Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang sebagai

hasil dari pekerjaan yang dilakukan (Sumarwan 2002). Keluarga yang memiliki

pendapatan rendah akan memiliki kegiatan keluarga yang kurang terorganisasi

dibandingkan keluarga dengan pendapatan tinggi (Hurlock 1980).

Besar Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas

kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat

dalam keadaan saling ketergantungan.

Model Pembelajaran

Berbagai upaya telah dilakukan dalam dunia pendidikan sebagai proses

untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Munculnya inovasi

dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran dapat memberikan

pengaruh positif maupun negatif bagi pelaksana pendidikan itu sendiri. Salah satu

bentuk inovasi dalam dunia pendidikan adalah munculnya model-model

pembelajaran dengan berbagai program unggulan. Model-model ini dirancang dan

12

disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa yang memasuki kelas tersebut.

Beberapa program yang telah diselenggarakan oleh sekolah, yaitu dengan adanya

program kelas unggulan, seperti kelas Akselerasi dan membentuk Rintisan

Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

Kelas Akselerasi

Program akselerasi merupakan proses percepatan belajar yang telah

dilaksanakan sejak tahun 1998. Tokoh yang pertama kali merumuskan akselerasi

adalah Pressy. Pada tahun 1949, Pressy mengemukakan bahwa akselerasi adalah

suatu kemajuan dalam bidang pendidikan dengan laju yang lebih cepat daripada

yang berlaku pada umumnya.

Semiawan (2000) diacu dalam Gunarsa (2006) mengatakan bahwa

terdapat dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model

pembelajaran dan yang kedua akselerasi sebagai suatu kurikulum atau disebut

sebagai program akselerasi. Dengan kata lain, akselerasi juga dikatakan sebagai

suatu proses memulai tingkat pendidikan pada usia yang lebih muda dari yang

biasanya. Program ini diperuntukkan untuk anak yang memiliki kemampuan dan

kecerdasan luar biasa di setiap jenjang sekolah. Program ini dilakukan dengan

mempercepat waktu sekolah melalui pengurangan waktu selama satu tahun dari

biasanya.

Menurut Southern dan Jones (1991) dalam Gunarsa (2006), terdapat dua

kriteria untuk melakukan kemajuan dalam bidang pendidikan, yaitu prestasi yang

telah ada dan kemampuan untuk maju dengan lebih cepat daripada norma yang

telah ada. Terdapat dugaan juga bahwa seorang siswa yang superior akan mampu

melaju dengan lebih cepat dibandingkan teman sebayanya dalam menjalani

program pengajaran yang standar. Para ahli juga menyatakan bahwa akselerasi

melaju dengan lebih cepat dari segi akademis yang mencakup penawaran

kurikulum standar kepada siswa yang berusia lebih muda dan berbakat sehingga

proses pembelajaran yang dilakukan akan sesuai dengan bakat dan potensi siswa.

Departemen Pendidikan (2002) merumuskan akselerasi sebagai pemberian

layanan pendidikan sesuai potensi siswa berbakat dengan memberikan

kesempatan kepada mereka untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka

waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

13

Kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)

Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus

mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf

Internasional. Tujuan diadakannya RSBI ini adalah untuk meningkatkan mutu

pendidikan Indonesia dengan kualitas global atau Internasional.

Kelebihan RSBI adalah memotivasi para siswa untuk mampu bersaing

dalam dunia global. Seorang siswa lebih berani mencoba hal-hal baru sehingga

akan menantang para guru untuk mengembangkan metode dan model

pembelajaran di dunia Internasional. Salah satu standar RSBI adalah pendidik atau

guru yang mengajar harus telah melalui jenjang pendidikan S2 atau S3 dengan

kemampuan berbahasa Inggris yang aktif, secara lisan maupun tulisan.

Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 yang terdiri atas tiga pasal, yaitu

menurut Pasal 152 Ayat 1 yang berisi satuan pendidikan dasar dan menengah

yang dikembangkan yang menjadi taraf Internasional melakukan penjaminan

mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan khusus sekolah/madrasah bertaraf

Internasional yang diatur oleh menteri. Selain itu juga diatur dalam Pasal 152

Ayat 2, yaitu Pemerintah provinsi/pemerintah kabupaten kota atau masyarakat

dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang bertaraf Internasional dengan

persyaratan harus memenuhi standar Nasional Pendidikan (SNP) sejak

sekolah/madrasah berdiri dan juga pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah

bertaraf Internasional yang ditetapkan oleh menteri sejak sekolah/madrasah

berdiri.

Konsep Diri

Menurut Hurlock 1993, konsep diri diartikan sebagai gambaran seorang

individu tentang dirinya secara fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui

interaksinya dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa konsep diri

mencakup citra fisik dan psikologis. Citra fisik ini terbentuk pertama kali dan

berkaitan dengan penampilan fisik anak, daya tarik, serta kesesuaian dengan jenis

kelaminnya juga pentingnya beberapa bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri

anak di mata orang lain. Citra psikologis terbentuk melalui pikiran, perasaan, dan

emosi. Citra ini terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi

14

penyesuaian terhadap kehidupan, misalnya keberanian, kejujuran, kemandirian,

kepercayaan diri, berbagai aspirasi, dan kemampuannya. Seiring dengan

bertambahnya usia seorang anak, konsep diri fisik dan psikologis ini cenderung

semakin menyatu dan pada akhirnya seorang anak akan menganggap diri mereka

sebagai individu tunggal.

Dimensi Konsep Diri

Konsep diri bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan

faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu yang

berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi, setiap anak akan

menerima sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut akan dijadikan cara untuk

menilai dan memandang diri seorang anak itu jika diberikan oleh orang-orang

yang penting dalam hidup anak, seperti orang tua, guru, dan juga teman sebaya.

Dengan kata lain, konsep diri seseorang terbentuk dari umpan balik individu

lainnya. Bila orang-orang di sekitar anak menyenangi mereka, maka akan

terbentuk pula konsep diri positif dalam diri anak. Konsep diri juga memiliki dua

dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal.

Menurut Calhoun (1990) konsep diri memiliki tiga dimensi internal, antara

lain:

1. Pengetahuan tentang diri sendiri (identitas diri), dimensi ini merupakan suatu

faktor dasar yang akan menentukan seseorang dalam kelompok sosial

tertentu. Setiap individu juga akan mengidentifikasikan dirinya dengan

kelompok sosial lain yang akan menambah julukan dirinya dan memberikan

sejumlah informasi lain yang akan masuk dalam potret mental orang tersebut.

2. Harapan terhadap diri sendiri (tingkah laku)

Diri ideal setiap individu tidaklah sama. Harapan dan tujuan seseorang akan

membangkitkan kekuatan yang mendorongnya menuju masa depan dan

memandu kegiatan seumur hidupnya.

3. Evaluasi diri (kepuasan diri)

Evaluasi terhadap diri sendiri ini disebut dengan self esteem, yang akan

menentukan seberapa jauh seseorang akan menyukainya. Semakin jauh

perbedaan antara gambaran tentang siapa dirinya dengan gambaran seseorang

15

tentang bagaimana seharusnya ia menjadi, maka akan menimbulkan harga

diri yang rendah dan sebaliknya.

Hal yang termasuk ke dalam dimensi eksternal konsep diri, antara lain diri

fisik, yaitu persepsi seseorang terhadap keadaan fisik, kesehatan, penampilan diri,

dan juga gerak motoriknya; diri etik moral, persepsi seseorang tentang dirinya

sendiri yang ditinjau dari standar pertimbangan etik moral; diri personal, perasaan

individu terhadap nilai-nilai pribadi terlepas dari fisik dan hubungannya dengan

orang lain, juga sejauh mana individu merasa sebagai seorang pribadi; diri

keluarga, perasaan dan harga diri seseorang sebagai bagian dari anggota keluarga,

teman-teman sebaya, juga sejauh mana dirinya merasa sebagai anggota kelompok

tersebut; serta diri sosial, penilaian seseorang tentang dirinya dalam berinteraksi

dengan orang lain dalam suatu lingkungan yang lebih luas.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi konsep diri seorang anak, antara

lain peran orang tua, peran faktor sosial, dan faktor belajar. Keluarga, dalam hal

ini orang tua dan saudara-saudara merupakan orang pertama yang menanggapi

perilaku anak sehingga akan terbentuk konsep diri anak. Semua bentuk sanjungan,

senyuman, pujian dan penghargaan akan menciptakan penilaian positif dalam diri

anak. Lain halnya dengan cemoohan dan juga hardikan akan menyebabkan

penilaian negatif dalam diri anak. Jika seseorang diterima, dihormati, dan

disenangi oleh orang lain karena keadaan dirinya, maka mereka akan

menghormati dan menyenangi diri mereka sendiri. Sebaliknya, saat seseorang

seringkali diremehkan, disalahkan, dan ditolak, maka ia tidak akan menyenangi

diri mereka sendiri.

Suatu kajian menyatakan bahwa kondisi keluarga akan lebih berpengaruh

pada pembentukan konsep diri anak dibandingkan kondisi sosialnya. Kondisi

keluarga yang kurang baik akan menciptakan konsep diri yang rendah pada anak.

Kondisi keluarga yang kurang baik ini misalnya tidak adanya pengertian antara

orang tua dan anak, tidak adanya keserasian antara ayah dan ibu, orang tua yang

menikah lagi, sikap ibu yang tidak puas dengan hubungan ayah dan anak, serta

kurangnya sikap menerima dari orang tua terhadap anak mereka. Selain itu,

tuntutan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi rendahnya konsep diri anak

tersebut.

16

Konsep diri tinggi akan terbentuk dalam diri anak jika terdapat kondisi

keluarga yang penuh dengan integritas dan tenggang rasa. Dengan begitu, anak

akan memandang orang tua sebagai seorang figur yang berhasil dan dapat

dipercaya. Anak juga akan merasa mendapatkan dukungan yang besar dari kedua

orang tuanya saat menghadapi suatu masalah sehingga ia tumbuh menjadi anak

yang tegas dan efektif dalam memecahkan masalah, rendahnya kecemasan dalam

diri mereka, lebih positif serta realistis dalam memandang diri dan lingkungannya.

Kecerdasan Emosional

Definisi Kecerdasan Emosi

Menurut Santrock (2007), emosi adalah perasaan yang timbul ketika

seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap

penting olehnya. Emosi dapat dipengaruhi oleh dasar biologis dan pengalaman

masa lalu. Menurut Salovey dan Mayer dalam Hariwijaya (2005), kecerdasan

emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan emosi sendiri dan

orang lain serta menggunakan emosi tersebut untuk memandu pikiran dan

tindakan. Kecerdasan emosional dimiliki seseorang sejak ia dilahirkan.

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti

keluarga, sekolah, lingkungan bermain, dan lain sebagainya, tidak bersifat

menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan

terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi pembentukan

kecerdasan emosional. Goleman (2007) menyatakan bahwa kecerdasan emosional

merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan

bertahan dalam keadaan frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-

lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak

melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Kecerdasan

emosional remaja juga akan mengarahkan remaja untuk membangun potensi

dirinya. Menurut Goleman (2007), kecerdasan emosional dibagi menjadi lima

dimensi utama, yaitu:

Mengenali emosi diri

Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya

untuk memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri, memiliki tolak ukur

17

realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran emosi

menurut Goleman (2007) juga dapat berupa kemampuan mengenali kekuatan serta

kelemahan dan melihat diri sendiri dalam sisi yang positif namun tetap realistis.

Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan

salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah

menguasai emosi.

Mengelola emosi

Menangani emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada

pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup untuk menunda kenikmatan

sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih kembali dari tekanan

emosi. Menurut Gottman dan DeClaire (2007), pengelolaan emosi diartikan

sebagai suatu kemampuan untuk menanggapi emosi dan pulih dari keadaan stres.

Mengelola emosi juga merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan,

amarah, dan kesedihan melalui kemampuan untuk menyadari sesuatu yang ada di

balik sebuah perasaan.

Memotivasi diri sendiri

Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan

dan menuntut seseorang menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan

bertindak sangat efektif, serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang

berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan

mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif,

yaitu antusiasme, gairah, optimis, dan keyakinan diri.

Kemampuan memotivasi diri memiliki ciri-ciri seperti memiliki banyak

akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang

tinggi ketika menghadapi masalah yang sulit, serta memiliki keberanian untuk

memecahkan tugas yang berat menjadi suatu hal yang mudah diselesaikan

(Goleman 2007). Shapiro (1998) menyatakan bahwa orang yang termotivasi

memiliki keinginan dan kemauan untuk menghadapi dan mengatasi segala

rintangan. Selain itu, motivasi diri juga dapat membuat seseorang bekerja keras

untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan sehingga tercapai keberhasilan dan

kepuasan diri.

18

Mengenali emosi orang lain (empati)

Menurut Goleman (2007), individu yang memiliki kemampuan empati

akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang

mengisyaratkan hal yang dibutuhkan orang lain sehingga ia mampu menerima

sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan dapat lebih

mendengarkan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang

mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal akan lebih mampu

menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan

lebih peka. Seorang ahli psikologi juga menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak

mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus

merasa frustasi.

Seni membina hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan

yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi

(Goleman 2007). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan

dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Seseorang dapat berhasil dalam

pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-

orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan

karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2007). Sejauhmana kepribadian

siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang

dilakukannya.

Keluarga adalah tempat pertama seseorang dalam mempelajari emosi,

menentukan kehidupan emosi, dan juga pembentukan kepribadian seseorang.

Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional lebih utama

dibandingkan kecerdasan kognitif. Apabila seseorang mengalami gangguan

emosi, hal tersebut akan menyebabkan kesulitan untuk berpikir jernih, mengingat,

terganggunya konsentrasi belajar, dan kapasitas intelektualnya. Hasil penelitian

juga menyebutkan bahwa anak yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi

akan mempunyai prestasi yang baik pula, lebih original, lebih ulet, juga lebih

termotivasi untuk berprestasi lebih baik lagi. Anak ini juga akan mempunyai

penyesuaian sosial yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya

dengan baik.

19

Stres

Stres merupakan gejala penyakit yang berkaitan dengan kemajuan yang

pesat dan perubahan yang menuntut seseorang untuk beradaptasi terhadap

perubahan dengan kecepatan yang sama pesatnya. Usaha, kesulitan, kesusahan,

dan kegagalan dalam mengikuti kemajuan dan perubahan dapat menimbulkan

berbagai keluhan. Menurut McElroy dan Townsend (1985), stres merupakan

proses yang terjadi saat seseorang harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang

jarang dialaminya. Stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang

dirasakan sebagai hal yang dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya.

Peristiwa tersebut disebut stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa yang

dialami disebut dengan respons stres.

Lazarus (1976) diacu dalam Sussman dan Steinmetz (1988) membagi

sumber stres ke dalam dua tipe berdasarkan sifatnya, yaitu sumber stres bersifat

fisik dan sumber stres yang bersifat psikososial. Sumber stres fisik merupakan

stres biologis yang dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan emosi. Berbeda dengan

stres psikososial, yaitu stres yang didasarkan pada kondisi lingkungan sosial

tertentu. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik orang yang mengalami stres.

Stres psikologis ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain, krisis, frustasi,

konflik, dan tekanan.

Menurut Higgins (1982) diacu dalam Astuti (2007) faktor-faktor yang

berperan dalam stres merupakan kombinasi antara faktor internal (individual) dan

faktor eksternal (lingkungan). Faktor-faktor tersebut, yaitu:

1. Faktor Internal (individual), seperti rasa percaya diri, motivasi, keyakinan

individu secara umum tentang kehidupan sekitarnya, dan kemampuan

beradaptasi.

2. Faktor Eksternal (lingkungan)

a. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti peran dan tanggung

jawab yang berlebihan, rutinitas, dan juga tuntutan pekerjaan.

b. Faktor non pekerjaan, seperti keluarga, teman, keuangan, hobi, kegiatan

sosial, kondisi fisik, lingkungan fisik, dan lain-lain.

c. Perubahan dalam kehidupan, seperti kematian, menikah, dan mengubah

kebiasaan.

20

Reaksi terhadap stres

Reaksi terhadap stres terbagi menjadi dua, yaitu reaksi fisik dan reaksi

psikologis. Reaksi fisik berupa bagian tubuh yang bereaksi terhadap stresor

dengan memulai seurutan kompleks respon bawaan terhadap ancaman yang

dihayati. Jika ancaman yang muncul dapat diatasi dengan segera, respon darurat

tersebut akan menghilang dan keadaan fisik individu akan kembali normal.

Namun, jika kondisi stres terus menerus terjadi, maka akan muncul respon

internal yang lain pada saat individu berusaha untuk beradaptasi dengan stresor

kronis. Respon individu secara fisik ini ditandai dengan respon melawan atau

melarikan diri karena kondisi ini memerlukan energi atau aksi segera. Akan tetapi,

ternyata respon ini sangat tidak adaptif dalam menghadapi banyak sumber stres

dalam kehidupan yang cukup modern. Menurut Dienstbier (1989) diacu dalam

Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), stres intermiten (pemaparan kadang-

kadang dengan periode pemulihan) dapat memberikan manfaat dalam bentuk

kekuatan fisiologis dan akan menyebabkan toleransi stres selanjutnya.

Kondisi stres dapat menghasilkan reaksi emosional mulai dari

kegembiraan sampai dengan emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan,

dan depresi. Jika kondisi stres terus menerus terjadi, emosi seorang individu akan

berpindah-pindah di antara emosi-emosi tersebut tergantung pada keberhasilan

individu dalam menyelesaikannya. Hal ini terkait dengan reaksi psikologis

terhadap stres. Emosi-emosi yang dihasilkan antara lain kecemasan, kemarahan,

apati, dan gangguan kognitif.

Strategi Koping

Emosi dan juga berbagai reaksi yang ditimbulkannya (fisik dan psikologis)

akan menimbulkan ketidaknyamanan dan hal ini akan memotivasi individu yang

mengalami stres untuk melakukan sesuatu yang dapat menghilangkannya. Koping

atau kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan suatu proses yang

digunakan oleh individu untuk menangani tuntutan yang dapat menimbulkan

stres. Upaya koping biasanya dilakukan dengan mengenali dan menyadari

sumber-sumber stres atau stresor. Tujuannya adalah agar sikap-sikap negatif

seperti memberontak terhadap keadaan, apatis, dan mudah marah dapat dihindari

karena sikap-sikap tersebut akan menimbulkan masalah baru (Handayani 2000).

21

Koping itu sendiri memiliki dua bentuk utama. Individu dapat lebih fokus

pada masalah atau situasi spesifik yang terjadi sambil mencoba menemukan cara

untuk mengubah atau menghindarinya di kemudian hari. Hal ini disebut dengan

strategi terfokus masalah. Individu juga dapat berfokus untuk menghilangkan

emosi yang berhubungan dengan situasi stres, walaupun situasi sendiri tidak dapat

diubah. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), proses yang kedua ini dinamakan

strategi terfokus emosi. Kedua jenis koping ini mencakup beberapa hal, seperti

perencanaan dan pengorganisasian waktu, pengembangan rasa humor, pencarian

lingkungan yang memberikan kenyamanan, dan juga pengembangan tingkah laku

positif.

Strategi Terfokus Masalah (Problem-focused Coping)

Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), strategi yang

dilakukan untuk memecahkan suatu masalah misalnya dengan menentukan

masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang alternatif yang berkaitan

dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu di antaranya, dan kemudian

mengimplementasikan alternatif yang telah dipilih. Strategi terfokus masalah juga

dapat diarahkan ke dalam orang yang dapat mengubah sesuatu pada dirinya

sendiri dan bukan mengubah lingkungan. Contoh dari strategi ini antara lain

mengubah tingkat aspirasi, menemukan sumber pemuasan alternatif, dan

mempelajari kecakapan baru. Kecakapan individu dalam menerapkan strategi ini

tergantung dari pengalaman dan kapasitasnya untuk mengendalikan diri.

Menurut Nezu, Nezu, dan Peri (1989) diacu dalam Atkinson, Atkinson,

Smith, dan Bem (2000), terapi yang mengajarkan orang depresi untuk

menggunakan strategi terfokus masalah akan lebih efektif dalam membantu

mengatasi depresinya dan dapat beradaptasi secara lebih adaptif terhadap stresor.

Menurut Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu (1998), strategi berfokus

masalah terdiri atas empat dimensi, yaitu perilaku aktif mengatasi stres,

perencanaan, penekanan kegiatan lain, dan pengendalian perilaku dalam

mengatasi stres.

Strategi Terfokus Emosi (Emotion-focused Coping)

Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), orang menggunakan

strategi terfokus emosi dengan tujuan untuk mencegah emosi negatif yang dapat

22

menguasai dirinya dan melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya.

Strategi ini juga digunakan pada saat terdapat masalah yang tidak dapat

dikendalikan. Menurut Moos (1988) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan

Bem (2000), sebagian peneliti membagi cara mengatasi emosi negatif menjadi

dua, yaitu strategi perilaku dan strategi kognitif. Strategi perilaku dilakukan

dengan melakukan latihan fisik untuk mengalihkan pikiran dari sumber masalah,

menggunakan alkohol atau obat, menyalurkan kemarahan, atau mencari dukungan

emosional dari teman. Strategi kognitif dilakukan dengan cara menyingkirkan

sementara pikiran tentang masalah yang dihadapi dan menurunkan ancaman

dengan mengubah makna situasi. Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu

(1998) mengklasifikasikan strategi terfokus emosi ke dalam lima dimensi, yaitu

mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, interpretasi kembali secara

positif dan pendewasaan diri, penyangkalan (denial), penerimaan, dan berpaling

pada agama.

Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian mengenai konsep diri yang dikemukakan Hadley (2008)

dalam Rahmaisya (2010) menyatakan bahwa konsep diri remaja bersifat dinamis,

kausal, dan rumit. Suatu masalah dan kesulitan dapat menurunkan konsep diri dan

konsep diri yang rendah pun dapat menimbulkan suatu masalah. Dalam hal

kecerdasan emosional, penelitian Saputri (2010) menyatakan bahwa gaya

pengasuhan orang tua berhubungan negatif dengan kecerdasan emosional. Hal ini

berarti orang tua yang cenderung menerapkan gaya pengasuhan mengabaikan

akan membuat anak memiliki motivasi dan kecerdasan emosional yang kurang

baik. Selain itu, kepribadian seseorang juga berpengaruh signifikan terhadap

tingkat stres yang dirasakan (Muharrifah 2009). Schneider (1964) dalam Helmi

(2002) menyatakan bahwa bentuk penyesuaian diri seorang individu terhadap hal

yang dialami akan berbeda pada setiap tahapan perkembangannya. Karakteristik

individu juga berhubungan dengan perkembangan kognitif, emosional, dan

psikososial yang dapat mendukung penyesuaian diri dan stabilitas mental

seseorang.