Konsep Comprehensif Security

50
PEMANFAATAN KERJASAMA KEAMANAN (COOPERATIVE SECURITY ) UNTUK MENGHADAPI BAHAYA KEAMANAN KOMPREHENSIF (COMPHREHENSIVE SECURITY THREAT) DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL DAN MEMPERKOKOH NKRI -------------------------------------------------------- Prof. Dr. Muladi, SH (Bahan Ceramah PPRA DAN PPSA Lemhannas 2012) ABSTR AK : 1) Konsep “cooperative security secara umum didefinisikan sebagai : a process whereby countries with common interest work jointly through agreed mechanism to reduce tensions and suspicion, resolve or mitigate disputes , build confidence , enhance economic development prospects , and maintain stability in their regions ” ( Michael Moodle, Chemical and Biological Arms Control Institute, January, 2000); 2) Konsep “cooperative security” berkembang atas dasar beberapa hal : Masalah saat ini berada di luar kemampuan dari negara per Negara untuk memecahkannya, karena bersifat transnasional dan jauh dari kenyataan terjadinya fragmentasi dan desentralisasi tertib keamanan 1

description

keamanan kawasa

Transcript of Konsep Comprehensif Security

Page 1: Konsep Comprehensif Security

PEMANFAATAN KERJASAMA KEAMANAN (COOPERATIVE SECURITY )

UNTUK MENGHADAPI BAHAYA KEAMANAN KOMPREHENSIF (COMPHREHENSIVE SECURITY THREAT)

DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL DAN MEMPERKOKOH NKRI

--------------------------------------------------------Prof. Dr. Muladi, SH

(Bahan Ceramah PPRA DAN PPSA Lemhannas 2012)

ABSTRAK :

1) Konsep “cooperative security” secara umum didefinisikan sebagai :

“a process whereby countries with common interest work jointly through

agreed mechanism to reduce tensions and suspicion, resolve or mitigate

disputes, build confidence, enhance economic development prospects, and

maintain stability in their regions” ( Michael Moodle, Chemical and Biological

Arms Control Institute, January, 2000);

2) Konsep “cooperative security” berkembang atas dasar beberapa hal :

Masalah saat ini berada di luar kemampuan dari negara per Negara

untuk memecahkannya, karena bersifat transnasional dan jauh dari

kenyataan terjadinya fragmentasi dan desentralisasi tertib keamanan

pasca perang dingin di satu pihak dan fenomena globalisasi ekonomi

internasional, teknologi informasi dan ketertiban sosial di lain pihak

yang di samping bersifat positif, juga memunculkan bahaya-bahaya

keamanan baru ; Di samping bahaya keamanan tradisional atau yang

bersifat simetrik dan “state centric” memungkinkan berkembangnya

bahaya keamanan baru yang bersifat asimetrik atau non-tradisional

yang didominasi peranan aktor-aktor non-negara (non-state actors)

terhadap “human security” seperti radikalisme, terorisme, proliferasi

wmd, pelanggaran HAM berat, konflik horizontal, degradasi

lingkungan, migrasi illegal, kejahatan transnasional terorganisasi

1

Page 2: Konsep Comprehensif Security

(TOC), globalisasi ekonomi yang tidak adil (global injustice),

perompakan di laut, pemerintahan yang otoriter (state crime) dll. Di

samping itu masih terjadinya bahaya keamanan tradisional yang berifat

“state centric” dan bersifat lebih kompleks ( Afrika Tengah

menggambarkan terjadinya apa yang dinamakan konflik yang

merupakan perpaduan antara “interstate rivalries, internal conflicts and

transnational ethnic problems”) ; dua spektrum ancaman bahaya ini

digambarkan oleh James Rosenau (1990) sebagai “the two world of

world politics” atau “bifurcated conflict environment” (lingkungan

conflict dua cabang);

Terjadinya fenomena penyebarluasan wmd dan senjata-senjata

berteknologi maju yang senyatanya diprodukasi oleh sector swasta

yang memerlukan pengawasan akibat praktek “dual use” (privatisasi

teknologi);

Kemajuan atau modernisasi alat komunikasi, transportasi dan

informatika di era globalisasi, yhamh dimanfaatkan untuk kepentingan

negatif (globalization of crime);

“The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous, rigid,

hierarchical, and resistant to change. The enemies of today are

dynamic, unpredictable, diverse, fluid, networked, and constantly

evolving” (Jenkins, 2007);

Konsep “competitive security” yang bersifat tradisional melalui

pembangunan arsenal militer atau berusaha mendominasi keamanan

regional, ternyata tidak menghasilkan hal-hal positif dan bahkan

menciptakan masalah-masalah internal. Contoh kasus Iraq yang

melakukan agresi terhadap Kuwait. Persaingan Pakistan dan India

dalam test nuklir diragukan menciptakan keamanan nasional. Begitu

juga yang dilakukan Iran yang justru menimbulkan rasa khawatir

negara-negara tetangganya; Tidak berbeda apa yang terjadi di

ASEAN dan Amerika Latin serta Timur Tengah;

Konsep “cooperative security” diharapkan dapat meningkatkan

kesadaran betapa pentingnya suatu struktur lingkungan yang

terintegrasi antar Negara, sehingga mampu memelihara

kesejahteraan dan kemanan rakyatnya. Munculnya Negara gagal

2

Page 3: Konsep Comprehensif Security

(failed states) seperti Somalia dll. yang potensial mengancam Negara-

negara lain, yang tak dapat diselesaikan oleh negara yang

bersangkutan, kecuali melalui “international and regional cooperation”;

3) Paska perang dingin, di samping alasan-alasan yang masih berkaitan

dengan peranan kompetisi kekuatan militer, telah mengemuka alasan

ekonomis dan lingkungan dalam pengembangan “cooperative

security”;

Contoh “cooperative security” : Asean Security Community dalam kerangka ASEAN Charter, Lombok Treaty antara Indonesia-Australia, kesepakatan Korea Utara dan Selatan untuk menjamin proses perdamaian dalam rangka ”interKorean economic cooperation”; kerjasama keamanan Negara-negara Amerika Latin yang dipelopori Argentina dan Brasilia untuk mencegah penyebarluasan senjata nuklir, kimia, dan biologi, Munculnya Organizational of American States (OAS) tahun 1992 yang memiliki “Special Commitee on Hemispheric Security” , melalui intelligence sharing, joint exercises dll. untuk menjamin stabilitas kawasan; China yang mengembangkan kerjasama dengan Negara-negara tetangga (Korsel, Pakistan, India, Negara Asia Pasific, Rusia, Jepang, Asean, Amerika, , Burma, Laos, Mongolia), dalam rangka menciptakan stabilitas untuk perkembangan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan jangka panjang. China merupakan anggota Chemical Weapon Convention (CWC), the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), pengiriman observer di pelbagai area di dunia, anggota APEC, ARF. Selanjutnya The Proliferation Security Initiative yang dipelopori AS + 90 negara sejak 2003 untuk memegat kapal-kapal Niaga negara ketiga yang berlayar di laut bebas yang dicurigai membawa WMD dari negara-negara yang dianggap berbahaya seperti Korea Utara dll.; Yang menarik adalah latihan bersama pesawat-pesawat Nato dengan Rusia untuk menghadapi terorisme (Vigilant Skies 2011);

4) Di masa pasca perang dingin system internasional, di samping

memperhatikan peranan dari kekuatan dan kompetisi militer,

memperkenalkan “cooperative security” yang juga mencakup

keamanan ekonomi dan lingkungan. Kinerja ekonomi tidak kalah

pentingnya daripada kapabilitas militer dilihat sebagai kekuatan

negara di dalam komunitas internasional. Bahaya didefinisikan

sebagai bahaya ekonomi, lingkungan dan demografi. Namun demikian

kepedulian terhadap tantangan bahaya non-tradisional tidak

mengeliminasi kekhawatiran terhadap bahaya tradisional.

5) Kerjasama antar Negara dibutuhkan, karena negara-negara merasa

tidak mungkin mengatasi banyak permasalahan secara sendirian.

Untuk itu perlu dibangun kapabilitas melalui kesepakatan

internasional, usaha bersama mengatasi bahaya transnasional,

3

Page 4: Konsep Comprehensif Security

mencegah atau menyelesaikan konflik, dan membangun masyarakat

madani;

6) Makna kedaulatan mengalami pergeseran dari konsep Westphalian

1648 yang menegaskan prinsip “privilege and control” berkembang

juga je arag tanggungjawab (responsibility) baik internal maupun

ekaternal;

7) Indonesia memiliki beban moral yang besar untuk mengembangkan

kerjasama keamanan karena:

sifat mayarakatnya yang ekstrapluralistik;

proses demokratisasi yang belum tuntas;

postur sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar dengan

kelemahan berupa multi akses yang sulit dikontrol secara efektif;

PENDAHULUAN

Istilah kerjasama keamanan secara bergantian digunakan sebagai

terjemahan dari “security cooperation ” atau “cooperative security”. Hal ini

menjadi sangat populer di kalangan negara-negara ASEAN dengan

tekadnya pada tahun 2003 dalam summit meeting di Bali menerima

ASEAN Concord II, menggantikan Deklarasi ASEAN Concord I (1976) al.

untuk membangun pilar “ASEAN Security Community”, di mana

terkandung tekad agar supaya segala konflik dikelola secara kolektif

(managed collectively ) . Dalam hal ini tercakup apa yang dinamakan

“ conflict prevention”, “conflict resolution” dan “post-conflict peace building ”.

Dengan istilah “cooperative security” dapat digambarkan adanya

usaha penekanan perbedaan melalui pendekatan konvensional , seperti

“ collective defence and collective security” . “Collective defence”

menekankan pada pembentukan “ military alliances ” ( defence pact)

diarahkan untuk melawan musuh yang bersifat spesifik. Dalam hal ini

pendekatan bersifat konfrontatif, yang ditujukan untuk mencegah atau

menghalangi serangan musuh dengan cara memelihara kemampuan

militer untuk melancarkan serangan balik. Contoh : NATO (Kasus

ketegangan militer akibat penembakan pesawat tempur Turki oleh Suriah),

4

Page 5: Konsep Comprehensif Security

Pakta Warsawa di masa lalu (1955-1991), Pakta militer antara AS-Korsel,

AS-Jepang, Five Power Defence Arrangement (FPDA) antara Inggris,

Singapura, Malaysia, dan Australia dan New Zealand dll.

Sebaliknya pengertian “cooperative security” mendorong negara-

negara untuk melakukan suatu pendekatan kerjasama dan bertujuan

membangun usaha-usaha multilateral tanpa beranggapan adanya

hubungan antara teman-musuh. Hal ini merupakan usaha untuk mencapai

“security with others”, sedangkan “collective defence” merupakan suatu

usaha untuk memelihara prinsip “ security against enemy ” . Selanjutnya

tujuan “collective security ” adalah mematahkan agresi melalui

pemeliharaan kekuatan militer untuk menghukum agresor. Di dalam

kerangka “collective security “ ini, asas “ one for all, all for one ” diterapkan .

Agresi terhadap salah satu anggota dianggap sebagai suatu serangan

terhadap seluruhnya, sehingga semua anggota dapat menghukum

agresor.

Sebaliknya “cooperative security” pada hakikatnya bersifat “ non-

militeristic”. Dalam kerangka kerjasama ini semua peserta bekerjasama

untuk meningkatkan stabilitas suatu kawasan, yang sangat didambakan

oleh semua anggota. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah “all for all ”.

Hal ini sangat menjiwai makna security community yang

memungkinkan para anggotanya untuk mengembangkan rasa “W e-ness ”

atau “W e -feeling ” dan ada suatu jaminan bahwa mereka tidak akan

berkelahi secara fisik satu sama lain dan akan menyelesaikan segala

perselisihannya dengan cara lain , yaitu cara damai.

Bagi Indonesia konsep “ cooperative security ” sangat tepat

sehubungan politik bebas aktif yang dianut dan berkaitan pula dengan

salah satu tujuan nasional dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yakni

“ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan social”.

Kadang-kadang hal ini bersifat ironis, mengingat di sekitar kita

terdapat semacam “collective defence” yaitu FPDA (The Five Power

Defence Arrangements) antara Australia, New Zealand, The United

Kingdom, Malaysia dan Singapura (sejak 1971), pasca konfrontasi

Indonesia vs. Malaysia ( 1963-1966), sekalipun bentuknya sebagai forum

5

Page 6: Konsep Comprehensif Security

konsultasi. Seorang penulis menyebutkannya sebagai “unobtrusive

alliance” (aliansi rendah hati).

Indonesia tidak begitu mengkhawatirkan hal ini (eksistensi FPDA) ,

karena perdamaian dan keamanan internasional dilindungi oleh norma,

nilai dan standard badan-badan internasional seperti PBB dengan UN

Charternya serta berfungsinya Dewan Keamanan PBB, di samping

kesepakatan-kesepakatan baik multilateral, bilateral maupun regional

yang dibangun. Di samping itu atas dasar Statuta Roma tahun 1998 yang

dipertegas oleh Deklarasi Kampala (2010), “the crime of agression”

dinyatakan sebagai kejahatan internasional.

Dalam hal ini Sekjen PBB Ban Ki-Moon menyebutnya sebagai : “the

historic agreement in the a new age of accountability, replacing the old era

of impunity” yang datang dari Kampala, Uganda (14 Juni 2010), di mana

International Criminal Court Review Conference (The Assembly of State

Parties of Rome Statute of ICC), setelah 2 minggu melakukan perdebatan

telah mendefinisikan dengan baik salah satu yurisdiksi materi yang tertera

di dalam Statuta Roma 1998 tentang apa yang dinamakan “the crime of

aggression” (di samping yang sudah baku seperti genosida, kejahatan

terhadap kemanusian dan kejahatan perang) yang dapat diadili oleh

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Karena

alasan prosedural, perjuangan bertahun-tahun tersebut baru akan mulai

berlaku tahun 2017. Definisi agresi yang disepakati adalah :

“the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a position

effectively to exercise control over or to direct the political or military action

of a State, of an act of aggression which, by its character, gravity and

scale, constitutes a manifest violation of the Charter of the United

Nations”.

Dalam kerangka ini blokade pelabuhan dan pantai dari suatu Negara

oleh angkatan bersenjata Negara lain, termasuk suatu invasi atau

serangan oleh tentara suatu Negara ke dalam wilayah Negara lain,

merupakan perbuatan agresi di bawah Statuta tersebut. Namun demikian

pilihan untuk memperkuat sistem pertahanan nasional yang didukung

oleh substasi, struktur dan kultur yang solid serta keberadaan alutsista

yang memadai dan didukung oleh industri strategis yang unggul

6

Page 7: Konsep Comprehensif Security

merupakan pilihan yang tidak dapat dihindarkan untuk memperkuat posisi

tawar Indonesia serta menimbulkan effek deterrent ( Penulis Romawi

Publius Flavius Vegetius Renatus menyatakan : “Civis Pacem Para

Bellum” – IF YOU WANT PEACE PREPARE FOR WAR ( barang siapa

menginginkan perdamaian harus siap untuk berperang ).” Iqitur qui

desiderat pacem praeparet bellum”.

Ada yang berpendapat bahwa lingkungan ASEAN yang penuh konflik

memang sulit untuk menerapkan spirit “security community” tersebut.

Tetapi yang jelas hampir tidak ada konflik bersenjata/perang terbuka

antar negara ASEAN. Dalam hal ini proses konsultasi dan dialog melalui

diplomasi selalu didorong oleh perasaan kepentingan dan nilai bersama

dengan bantuan Negara ASEAN lain (contoh konflik antara Thailand dan

Kamboja, Indonesia dan Malaysia).

Di kalangan ASEAN dikenal istilah “ the ASEAN Way” yang norma-

normanya menekankan betapa pentingnya kedaulatan dan otonomi atas

dasar prinsip “ non-interference” di dalam masalah dalam negerinya

masing-masing dan segala keputusan diperoleh melalui konsensus.

Secara luas hal ini dirumuskan dalam Chapter I (Purposes and Principles)

Asean Charter. Di lain pihak prinsip tersebut sering mempersulit

pemecahan masalah.

Asean Security Community menjadi semakin mantab dengan adanya

ASEAN Charter (2007) yang diharapkan dapat memberikan andil

keamanan bersama baik di kawasan ASEAN maupun Asia Timur. Dalam

perkembangannya baik ASEAN maupun ASEAN + 3 (ASEAN + China,

Jepang dan Korsel) yang semula lebih menekankan pada kerjasama

ekonomi dan keuangan, beberapa tahun terakhir sangat aktif berbicara

tentang keamanan komprehensif, termasuk apa yang dinamakan

kerjasama di bidang issue-issue keamanan non- tradisional seperti

terorisme global dan keamanan maritim, termasuk juga issue-issue sosial

seperti kemiskinan dan kesetaraan gender.

Yang menarik adalah diselenggarakannya East Asian Summit (EAS) pada tgl. 14 Desember 2005 di Kuala Lumpur yang dihadiri 16 negara yang kemudian akan mencapai 18 negara, termasuk negara-negara ASEAN, Amerika Serikat , China, India, Jepang, Korea Selatan, , Australia dan New Zealand, serta Russia. Hal ini bersaing dengan East Asian Community (EAC) yang hanya terdiri atas ASEAN 10 +

7

Page 8: Konsep Comprehensif Security

3 yang banyak didominasi China, yang bersifat tertutup dan eksklusif, sedangkan EAS bersifat inklusif dan telah merobah arsitektur keamanan Asia. Hal ini melengkapi ARF (Asean Regional Forum) yang mempromosikan perdamaian dan keamanan di Asia Pasifik melalui dialog dan kerjasama. Di samping itu APEC (Asia Pacific Economi Cooperation) juga membahas tentang issue-issue keamanan non-tradisional seperti counter terrorisme dan penyakit menular serta keamanan maritim, energi dan lingkungan dan hal-hal yang lebih luas, di mana AS juga berperanan di dalamnya. AS mempertimbangkan keduanya sebagai instrumen diplomatik terhadap sistem aliansi militer bilateral, khususnya dengan Jepang. Belum lagi kdrjasama untuk memerangi terorisme di ASEAN ; ASEAN-Australia; ASEAN-Canada; ; ASEAN-India; ASEAN-Japan; ASEAN-Republic of Korea; ASEAN -New Zealand; ASEAN-Pakistan; ASEAN-Russian Federation; dan ASEAN-US;

KEAMANAN KOMPREHENSIF

Istilah “comphrehensive security ” yang muncul di dalam Bali Concord

II (2003) , semakin popul e r seiring pula dengan berakhirnya Perang Dingin

sekitar tahun 1988, yang berseberangan dengan harapan masyarakat

dunia yang mengharapkan dengan penuh optimisme munculnya

perdamaian abadi, baik internal maupun antar negara, berkurangnya

kekerasan dan tegaknya ketertiban dunia di bawah kendali PBB.

Namun yang terjadi pada tahun 1990-an justru menimbulkan

pertanyaan, karena yang muncul adalah kekerasan yang dilakukan oleh

“ non-state actors ” seperti perang saudara, pelanggaran HAM berat

seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, konflik berdasar

identitas, pemanasan bumi (global warming) yang menyebabkan

perubahan iklim (climate change) yang membahayakan umat manusia

akibat ulah manusia (man made), terorisme yang dipicu oleh frustasi

akibat perasaan-perasaan kasenjangan sosial ekonomi, ketidakadilan,

“xenophobia”, ketidakamanan akibat globalisasi yang dirasakan sebagai

“corporate globalism” yang menimbulkan “global injustice” (kaji pula

peristiwa krisis ekonomi global sebagai dampak krisis dengan center of

gravity Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu), separasi politik,

tuntutan solidaritas agama yang sempit, yang dimanipulasi oleh kaum

ekstremis, fanatik, fundamentalis dan kelompok radikalis. (Muladi, 2006).

Dalam perkembangannya istilah “ comphrehensive security ” pada

dasarnya merupakan “ re-organized security concept ” yang “goes beyond

(but does not exclude) the military to embrace the political, economic and

8

Page 9: Konsep Comprehensif Security

sociocultural dimensions”. (Alagappa, 1998). Oleh Council for Security

Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP)(20 negara), “comphrehensive

security” didefinisikan sebagai “the pursuit of sustainable security in all fields

(personal, political. economic, social, cultural, military, environmental) in both

the domestic and external spheres, essentially through cooperative means”.

(CSCAP, 1995).

Secara tradisional, keamanan telah didefinisikan dalam kerangka geo-

politik, yang mencakup pelbagai aspek seperti “ deterrence, power balancing

and military strategy” yang cenderung melekat pada “nation’s security”,

hubungan antar negara dan kekuatan militer. Hal ini selama beberapa waktu

merefleksikan “intellectual myopia” atau “intellectal straitjacket” ( Tan and

Boutin, 2001).

Konsep keamanan komprehensif tersebut mempromosikan apa yang

dinamakan “human security ” untuk menggantikan kerangka pemikiran yang

berorientasi pada “state-centrism ”, yang sama sekali meninggalkan ruang

lingkup pengertian keamanan simetrik, untuk merefleksikan ketidakamanan

yang biasa dihadapi oleh manusia baik individual, kelompok atau masyarakat

yang bersifat kronis dan kompleks dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan

sehari-hari seperti persoalan makanan, tempat berteduh, lapangan kerja,

kesehatan, keamanan umum, dan HAM, jauh dari kaitannya dengan

hubungan dengan negara lain sebagai aktor dan kekuatan militer .

Doktrin Jepang tentang “human security ” dilandasi oleh premis bahwa

keamanan nasional tidak hanya berkaitan dengan keamanan yang bersifat

militer ( military security) untuk mempertahankan suatu bangsa dari ancaman

dari luar, tetapi juga “human security ” untuk mempertahankan bangsa dari

ancaman dari dalam, karena stabilitas nasional tergantung pada kondisi

dimana manusia individual mempunyai dan merasakan “ food security;

employment security; social security (education, health and old age pension);

energy security; information security (acces to transport and communication) .

(Rana, 2008 , p.3).

Canada mensikapi pemikiran tentang keamanan komprehensif lebih luas

lagi dan mencakup “ individual human rights as an integral part of

international law and diplomacy ”. Dengan demikian terkait di sini “rights and

duties” dari negara-negara untuk mengikuti Preamble Piagam PBB (UN

9

Page 10: Konsep Comprehensif Security

Charter) yang menyatakan bahwa “ We the peoples of the UN ------------------“.

Jadi bukan “ states atau governments ” yang ditekankan untuk menjaga

perdamaian dan harmoni internasional. Gangguan terhadap kualitas

kehidupan akan menyebabkan “human insecurity” dan ujung-ujungnya akan

mengancam perdamaian dunia, sebab dalam kerangka globalisasi yang

menumbuhkan “international society ”, aktor-aktor non-negara ( non-state

actors ) memainkan peranan penting di dalam perdamaian dan kemajuan

dunia.

UN Development Programme ( Report 1994) menggambarkan bahwa

“ human security ” mencakup “ safety from chronic threats such as hunger,

disease, and repression, as well as protection from sudden and harmful

disruptions in the pattern of daily life”. Semua dalam kerangka “freedom from

want, freedom from fear and freedom to live in dignity” bagi semua orang

yang mencakup tujuh area yaitu : keamanan ekonomi, makanan, kesehatan,

lingkungan hidup, personal, masyarakat dan keamanan politik.

Selanjutnya muncul istilah “Roque States” (Noam Chomsky, 2000) yang

menggambarkan suatu Negara yang memerintah atas dasar kekerasan (the

Rule of Force), tidak taat dan tidak merasa terikat kepada norma-norma

hukum internasional (UN Charter, pelbagai konvensi internasional, putusan

International Court of Justice), dan sering pula disebut sebagai “outlaw nation”

atau “ criminal state ” yang membahayakan negara tetangga dan dunia

internasional. Untuk itu muncullah pelbagai pemikiran untuk

mengembangkan kerjasama keamanan regional atau internasional seperti

“ ASEAN Security Community” di bawah ASEAN Charter (ART.1.8. “ To

respond effectively, in accordance with the principle of comphrehensive

security, to all forms of threat, transnational crimes, and transboundary

challenges”), kemudian Lombok Treaty (2007) antara Indonesia dan Australia

(2007). Hal ini merupakan ‘legal basis’ pengakuan atas integritas teritorial

masing-masing, yang mengatur kerjasama sbb. :

a. Defence cooperation;

Konsep keamanan komprehensif sangat valid di Era pasca perang dingin

1990-an , karena di era globalisasi saat ini tidak ada sesuatu negara yang

secara sendirian mampu mengendalikan, mengkoordinasikan kepentingan

nasionalnya melalui diplomasi tradisional, yang mengandalkan penggunaan

10

Page 11: Konsep Comprehensif Security

kekuatan untuk ditaati, karena dalam hal ini yang terlibat politik internasional

tidak hanya negara tetapi juga aktor-aktor non-negara . Ditambah lagi bahaya

yang ditimbulkan oleh “ the failed states ” (Failed states can no longer perform

basic functions such as education, security, or governance, usually due to

fractious violence or extreme poverty. –Global Policy Forum, 2008), yang

sangat rentan, lemah, dan berada dalam konflik atau krisis yang

pemerintahan pusatnya sangat lemah atau tidak effektif, tidak dapat

mengawasi dan mengendalikan wilayahnya serta sangat membahayakan

keamanan regional dan global. (Indonesia tahun 2011, masuk kategori

“warning” (no. 63 dari 177 negara dengan kategori “alert, warning, moderate,

sustainable” melalui 13 indikator).

b. Law enforcement cooperation (in preventing and combating

transnational crimes, in particular related to : people smuggling and

trafficking in persons; money laundering; financing terrorism;

corruption; illegal fishing; cyber crimes, illicit trafficking in narcotics

drugs and psychotropic substances and its precursors; illicit trafficking

in arms, ammunition, explosives and other dangerous materials and

the illegal production thereof; and other types of crime if deemed

necessary by both parties);).

c. Counter-terrorism cooperation;

d. Intelligence cooperation;

e. Maritime security;

f. Aviation safety and security;

g. Proliferation of weapon of mass destruction;

h. Emergency cooperation;

i. Community understanding and people- to -people cooperation.

SAARC (1985) (South Asian Association for Regional Cooperation) terdiri

atas : India, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, Bhutan, Pakistan, Bangladesh,

Nepal, Afganistan. Akan menusul Korea Selatan, Iran, Myanmar, Russia.

Hal-hal yang ditekankan dalam kerjasama keamanan adalah :

1) Penghormatan terhadap kedaulatan, kemerdekaan dan integritas

teritorial;

2) Tanggungjawab kolektif untuk memperkokoh perdamaian, keamanan

dan kesejahteraan;

11

Page 12: Konsep Comprehensif Security

3) Penolakan agresi;

4) prinsip non-interference dalam masalah internal;

5) mengembangkan konsultasi;

6) penolakan kekerasan;

7) pengembangan terhadap kebenaran dan rekonsiliasi;

8) penolakan blokade ekonomi dan boikot serta ancaman penggunaan

kekuatan;

9) batas nasional yang tak boleh diganggu gugat;

10) penghormatan terhadap HAM , perbedaan kultur, bahasa dan agama

serta warisan peradaban;

11) ketentuan tentang “human security” untuk semua;

12) penyelesaian perselisihan secara damai;

13) saling membantu dalam mengatasi bencana alam;

14) perhatian atas keluhan atas rasa takut atau khawatir;

15) terbuka, komprehensif dan berorientsi ke depan;

16) menghargai Piagam PBB, hukum internasional; prinsip good

governance, demokrasi dan konstitusi;

17) menghargai pluralisme budaya, sosial dan agama dan

keanekaragaman;

18) perlakuan khusus terhadap negara-negara yang belum berkembang;

19) pengembangan “people to people contact”;

Di samping itu kerjasama pertahanan dan atau keamanan juga dilakukan

dengan pelbagai negara seperti dengan India, Korea Selatan, China,

Amerika Serikat dll. al. untuk memajukan industry strategis dan latihan

bersama serta pendidikan.

Dengan Korea Selatan kerjasama sangat maju dalam bentuk “ Joint

Defence Logistics and Industrial Committee” yang telah membangun kapal

“landing plattform dock” bersama PT PAL, overhaul kapal selam, pembuatan

panser kanon dan rencana membangun Korean Fighter (KF-X).

Istilah keamanan komprehensif ini dalam perkembangannya dikaitkan

dengan “non-traditional security” (NTS) atau “ non-military security threat ”

atau “ non-conventional security threat ” atau “ asymetric security threat ”.

Digunakannya istilah “security” dalam hal ini dimaksudkan agar masalahnya

12

Page 13: Konsep Comprehensif Security

memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari negara-negara di dunia, karena

potensi viktimisasi yang ditimbulkannya terhadap umat manusia sangat besar.

Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada 50 tahun terakhir dalam

kerangka proses globalisasi, pertumbuhan dinamis masyarakat dunia luar

biasa, yang diwarnai oleh pelbagai inovasi di segala bidang. Namun demikian

kita juga tidak buta terhadap kenyataan, bahwa terutama sejak krisis ekonomi

di Asia orang juga disadarkan oleh keterbukaan dan interdependensi serta

sifat transnasional dari hal-hal yang bersifat mencederai tidak hanya negara,

tetapi juga “human security”. Contoh terakhir adalah krisis ekonomi global

yang melanda dunia, akibat perilaku korporasi multi nasional di Amerika

Serikat yang berperilaku jauh dari etika bisnis.

Kejadian terakhir di Indonesia yang menjurus terrorisme yang diarahkan

untuk mencederai simbol-simbol Negara oleh kelompok radikalis dapat

dikatakan merupakan sinergi ( hybrid ) antra ancaman yang simetrik dan

asimetrik.

Kita sadar bahwa masalah keamanan selalu didominasi oleh

ke prihatinan tradisional seperti kedaulatan, kemerdekaan politik dan militer

serta pertahanan sampai dengan keamanan regional.

Meskipun demikian kenyataan yang terjadi adalah munculnya tantangan-

tantangan baru seperti ancaman terhadap kesehatan (penyakit infeksi

menular seperti SARS, flu burung dll), pengangguran, kemiskinan, krisis

ekonomi, bencana alam (tsunami) , degradasi lingkungan hidup, migrasi

manusia yang tidak tertib, kompetisi untuk memperoleh sumberdaya alam,

kejahatan transnasional terorganisasi, perdagangan illegal narkoba,

terorisme dan saling ketergantungan ekonomi, yang sangat berbahaya baik

bagi negara maupun umat manusia.

Hal ini sama sekali telah merobah pandangan manusia, bahwa ancaman

bahaya keamanan tidak hanya bersumber pada hal-hal yang bersentuhan

dengan terminologi geopolitik, yang meliputi “ deterrence, power balancing

and military strategy” sehubungan dengan pertahanan dari serangan militer

dari luar saja, yang sebelumnya merupakan fokus eksklusif dari kebijakan

keamanan. Dengan demikian pengertian keamanan dalam arti sempit (narrow

definition of security) mulai dipertanyakan dan seharusnya juga mencakup

ancaman keamanan yang non- militer.

13

Page 14: Konsep Comprehensif Security

Human security konsep menyadarkan kita bahwa apa yang dinamakan

“people centered view of security ” sangat penting untuk diperhatikan dalam

rangka terciptanya stabilitas baik secara nasional, regional maupun global.

Suatu konsorsium yaitu Consortium on Non-Traditional Security Studies in

Asia mendefinisikan NTS sebagai “challenges to the survival and well-being

of peoples and states that arise primarily out of non military sources, such as

climate change, resource scarcity, infectous deseases (SARS, pandemi avian

flu), natural disasters, irregular migration, famine, people smuggling, drug

trafficking and transnational crime”. Krisis finansial 1997-1998, bencana asap,

terorisme, TOC, bancana alam (tsunami) termasuk di dalam ruang lingkup

NTS.

Bahaya keamanan non-tradisional pada dasarnya cenderung bersifat

transnasional, yang penanggulangannya harus didasarkan atas kerjasama

antar negara dan bahaya ini mencakup 3 (tiga) kategori :

Bahaya alam (nature threat ) seperti bahaya penyakit infeksi menular

misalnya virus HIV/AIDS, SARS, H5NI, bencana alam, “climate change/global

warming” karena ulah umat manusia yang meningkatkan emisi gas rumah

kaca secara tidak terkendali, dalam proses industrialisasi (karbondioksida)

dan deforestisasi;

Bahaya terhadap ekonomi dan pembangunan (economic and

development threat) seperti dampak negatif globalisasi (the worldwide

phenomenon of technological, economic, political, and cultural exchanges,

brought about by modern communication, transportation and legal

infrastructure as well as the political choise to consciously open cross border

links in international trade and finance) yang cenderung menguntungkan

negara-negara maju dengan mengesampingkan solidaritas sosial, demokrasi,

egalitarianisme, HAM ; urbanisasi; peledakan penduduk; kemiskinan;

penganggguran; krisis ekonomi; krisis energi; dan

Bahaya sosial dan politik (social and political threat) yang mencakup

konflik etnik, agama dan budaya, terorisme, kultur militerisme, kejahatan

terorganisasi, bahaya narkoba, ketidaksetaraan gender, perompakan di laut,

“illegal fishing, illegal logging dan illgal mining”, penyelundupan; ekstrimisme,

migran gelap, perdagangan manusia (termasuk perdagangan organ tubuh),

gerakan separatis, radikalisme dan sebagainya. (Feng, 2007).

14

Page 15: Konsep Comprehensif Security

Khusus tentang “global warming and climate change”, masalahnya

sangat aktual, sebab pelbagai bencana alam yang ditimbulkannya seperti

meningkatnya gelombang panas, peningkatan curah hujan yang

menimbulkan banjir, peningkatan badai tropis, cuaca buruk, pengurangan

salju dan gletzer, munculnya penyakit-penyakit endemi, kenaikan air laut,

peningkatan suhu di permukaan bumi dan sebagainya, di samping faktor

alam juga karena ulah manusia yang tidak terkendali di bidang industri,

kendaraan bermotor, deforestasi, , pertanian, manufaktur, dll, yang

mengakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir

(CO, CH4, N2 dll). Dengan demikian sangat dibutuhkan kerjasama antar

negara baik antar negara maju (emission trading, joint implementation)

maupun antara nergara maju dengan negara berkembang (clean

development mechanism) untuk melakukan langkah-langkah mitigasi

(memperlambat) maupun adaptasi (menyesuaikan diri) terhadap perobahan

iklim (climate change) tersebut (Muladi, 2008).

Dalam beberapa hal bahaya terhadap keamanan non-tradisional

menimbulkan kondisai “overlap” di mana “soft security” berinteraksi dan

bersinergi dengan “hard security” yang menimbulkan dilemma terhadap

keterlibatan militer dalam suasana demokrasi, mengingat hal ini cenderung

bisa mencederai kedaulatan negara dan bahaya terhadap masyarakat

sekaligus. Contohnya adalah terorisme, perompakan di laut dan

ekastremisme serta keberadaan kelompok bersenjata transnasional. Terkait

di sini apa yang dinamakan dalam kehidupan militer sebagai “ military

operation other than war”.(vide UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 2 butir b).

(mengatasi separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata;

mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan

obyek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian

dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; pengamanan Presiden dan

Wapres beserta keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan

kekuatan pendukungnya secara dini dengan sitem pertahanan semesta;

membantu tugas pemerintahan di daerah; membantu kepolisian negara RI

dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU;

membantu pengamanan tamu negara setingkat kepala negara dan

perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu

15

Page 16: Konsep Comprehensif Security

menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan

kemanusian; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (S

and R) dan membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan

penerbangan terhadap pembajakan, perampokan dan penyelundupan).

Pelaksanaan OMSP tergantung pada kebijakan dan keputusan politik Negara

(Pasal 7 yat 3);

Atas dasar Pasal 15 UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,

diisyaratkan pembentukan semacam Dewan Keamanan (istilahnya “

Pertahanan”) Nasional atau di AS The National Security Council yang

berfungsi memberi nasehat kepada Presiden dengan memperhatikann

integrasi berbagai kebijakan dalam negeri, luar negeri, militer dan

departemen/badan lainnya, untuk bekerjasama secara efektif dalam berbagai

masalah menyangkut keamanan nasional.

Hal ini diharapkan dapat menjembatani dikotomi antara tugas TNI dan

POLRI menurut Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945, yang memisahkan tugas TNI

( sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan

memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara) dan tugas POLRI (sebagai

alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas

melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum).

Hal ini dapat dikatakan sebagi kerjasama keamanan di tingkat nasional.

Kofi A. Annan pada laporannya semasa menjabat Sekretaris Jenderal

PBB mengidentifikasi adanya 6 kelompok ancaman atau bahaya bersama

( six clusters of threats ) yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia yaitu

ancaman sosial ekonomi berupa kemiskinan, penyakit menular dan degradasi

lingkungan; konflik antar negara, konflik internal negara termasuk perang

saudara, genosida dan kekejaman berskala besar lainnya; senjata nuklir,

radiologi, kimia dan biologi; terorisme dan kejahatan lintas negara

terorganisasi (TOC). (Annan, 2005).

Dari sini nampak bahwa bahaya bersama terhadap keamanan manusia di

masa depan akan bersifat dua dimensi, yaitu bahaya keamanan yang

tradisional (konflik antar negara) yang masih ada seperti konflik China-

Taiwan, Korea Utara-Korea Selatan, India-Pakistan dll. dan bahaya

keamanan non -tradisional di atas.

16

Page 17: Konsep Comprehensif Security

Sehubungan dengan ini “South African White Paper on Defence”

mendefinisikan keamanan ( security ) sebagai :

“an all-encompassing condition in which individual citizens live in freedom,

peace and safety; participate fully in the process of governance; enjoy the

protection of fundamental rights; have access to resources and the basic

neccecities of life; and inhabit an environmental which is not detrimental to

their health and well-being”

(Len le Roux, 1999).

Selanjutnya dikatakan bahwa di tingkat nasional tujuan kebijakan

keamanan (security policy) mencakup konsolidasi demokrasi,

pencapaian keadilan sosial, pembangunan ekonomi, dan suatu lingkungan

hidup yang aman; pengurangan signifikan tingkat kejahatan, kekerasan,

instabilitas politik. Stabilitas dan pembangunan saling memperkuat satu

sama lain (mutually reinforcing) dan berkaitan satu sama lain (inextricbly

linked). Di tingkat internasional tujuan kebijakan keamanan mencakup

usaha untuk mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial dan

kemerdekaan politik, dan promosi keamanan regional.

Presiden AS Harry S. Truman menegaskan bahwa “NATIONAL

SECURITY DOES NOT CONSIST ONLY OF AN ARMY, A NAVY, AND AIR FORCE ….IT

DEPENDS ON A SOUND ECONOMY ….ON CIVIL LIBERIES AND HUMAN FREEDOM .”

Dengan demikian keamanan selalu dipengaruhi oleh lima hal utama :

militer, politik, ekonomi , social dan lingkungan. Militer, ekonomi, teknologi

maju, politik stabil dan kehidupan social budaya kohesif.

Untuk itu dapat difahami bahwa di dalam kerjasama keamanan

(security cooperation) antara Indonesia dan Australia ( Lombok Treaty,

2008) yang disetujui oleh kedua negara, mencakup tidak hanya “ defence

cooperation” yang bersentuhan dengan angkatan bersenjata (armed

forces) kedua negara , tetapi juga mencakup “ law enforcement

cooperation ” dalam rangka penanggulangan kejahatan transnasional

(people smuggling and trafficking in persons, money laundering, financing

of terrorism, corruption, illegal fishing, cyber crimes, illicit trafficking in

narcotics drugs and psychotropic substances and its precusors, illicit

trafficking in arms, ammunition, explosives and other dangerous materials

and the illegal production thereof; and other types of crime if deemed

17

Page 18: Konsep Comprehensif Security

necessary by both Parties) dan “counter-terrorism cooperation” dan lain-

lain. Dalam hal ini keamanan harus ditafsirkan sebagai “ comphrehensive

security ” , yang mencakup pula “ non military security ” .

Sebagai referensi dapat dikemukakan pula kebijakan keamanan

komprehensif Canada yang mencakup elemen militer dan non-militer

(national soft power) yang dirumuskan sebagai “The Five D’s of

Security”yang mencakup :

Development – Measures to create the kind of economic, social, and

environmental conditions that are conducive to sustainable peace and

stability;

Democracy – Measures to promote good governance that emphasize

political inclusiveness and participatrion, as well as respect for human

rights;

Disarmament – Measures to prevent excessive and destabilizing

accumulations of arms and to prohibit weapons of mass destruction;

Diplomacy – Engagement in multilateral efforts toward the prevention

of armed conflict, the peaceful management of political conflict, the

development of a rules-based international order, and the promotion of

development, democracy and disarmament;

Defence – The capacity to resort to the use of force in extraordinary

circumstancew in support of the full range of peace and security efforts;

(Regehr, 2005)

PENDEKATAN DIKOTOMIS

a. Referent : Keamanan Tradisional (KT) melindungi batas-batas negara,

rakyat, lembaga dan nilai-nilai yang berkaitan dengan negara;

Keamanan Non-Tradisional (KNT) melindungi kesejahteraan umat

manusia ;

b. Ruang Lingkup ( Scope) : KT berusaha mempertahankan integritas

dan wilayah negara dari serangan agresi eksternal (deter or defeat);

KNT juga berusaha memperluas ruang lingkup untuk melindungi dari

ancaman yang lebih luas jangkauannya termasuk lingkungan, polusi,

penyakit menular dan deprevasi atau kerugian ekonomi;

18

Page 19: Konsep Comprehensif Security

c. Aktor : KT menampakkan adanya peran negara dan pemerintah

sebagai aktor tunggal dalam pengambilan keputusan untuk menjamin

daya survival; KNT melibatkan tidak hanya pemerintah dan negara,

tetapi tetapi juga partisipasi dari aktor lain yaitu organisasi regional,

internasional dan NGO termasuk komunitas lokal;

d. Sarana (means) : KT menyandarkan diri kepada pembangunan

kekuatan nasional atau militer yang berakibat perlombaan senjata dan

aliansi militer; KNT tidak hanya melindungi, tetapi juga

memberdayakan masyarakat sebagai sarana keamanan.

Snow, dalam bukunya “National Security for a New Era “ (2007),

menggambarkan dikotomi antara “symetrical and asymetrical warfare”

sebagai berikut :

1) Di dalam perang simetrik (komotasi Amerika dan Eropa modern) ,

perang dilakukan secara tradisional, mendayagunakan kekuatan

militer konvensional, kedua pihak terorganisasi dengan baik (pakaian

uniform dengan pangkat yang jelas, terdiri atas AD, AL dan AU),

memiliki kepentingan politik yang berseberangan, mewakili negara/

pemerintah yang berdaulat, dan menerima hukum atau konvensi

ingternasional tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan

dalam perang (mi. Konvensi Jenewa 1948) sebagai kehormatan.

Contoh dua Perag Dunia. Bentuk ini juga bisa dilakukan baik secara

unilateral maupun multilateral;

2) Perang asimetrik (konotasi model Asiatic dan Timur Tengah) yang

berlawanan dengan perang simetrik, pelaku mewakili kelompok

kepentingan yang menentang negara yang menjalankan perang

simetrik, pelaku tidak mewakili negara berdaulat , tidak tunduk pada

standar tradisional (mis. Pejuang gerilya) dan sama sekali menolak

berlakunya hukum atau konvensi perang yang dianut oleh mereka

yang melakukan perang secara konvensional; Mereka tidak berusaha

mengendalikan pemerintahan sebagai tujuan utama, juga tidak

mewakili pemerintahan dan tidak tunduk pada konvensi atau hukum

perang yang dianut lawan;

3) Perang asimetrik dilakukan karena mereka sadar tidak akan mampu

berkompetisi dengan lawan yang kuat dengan cara -cara simetrik

19

Page 20: Konsep Comprehensif Security

(Goulding : “ approach by which weaker oppnonents have sought to

neutralized their enemy’s technological or numerical superiority by

fighting in ways or on battlefields that nulify it“. Dengan demikian

apabila di satu kesempatn tidak akan menang, di kesempatan lain

dapat diharapkan kemungkinan menang;

4) Yang menarik adalah negara-negara yang semula taat melakukan

perang simetrik mulai tertarik juga menggunakan cara-cara asimetrik.

Contoh Amerika menerapkan : “pre-emptive strike”, membuka

“Guantanamo detention center” dan mendayagunakan “drone” dengan

alasan yang dibadapi adalah “illegal combatant”;

GLOBAL TRENDS

Suatu dialog tentang masa depan yang dilakukan oleh National

Intelligence Council (NIC) , suatu lembaga studi strategis di lingkungan US

Intelligence Community menggambarkan beberapa kecenderungan menonjol,

yang pada dasarnya mengandung “drivers” bagi munculnya bahaya non-

tradisional yang antara lain adalah sebagai berikut :

Peledakan penduduk terutama di negara-negara berkembang akibat

meningkatnya harapan hidup karena kemajuan teknologi kesehatan

dan menurunnya angka kematian bayi serta tidak effektifnya keluarga

berencana akan meningkatkan arus urbanisasi serta mengalirnya

imigran gelap lintas negara ke negara-negara maju, yang memicu

instabilitas dan ketegangan sosial dan politik;

Permintaan terhadap kebutuhan air dan energi semakin meningkat ,

khususnya di negara-negara industri, yang cenderung menimbulkan

ketegangan politik internasional;

Perkembangan IPTEK yang maju pesat di bidang-bidang IT,

bioteknologi, dan nanoteknologi, yang dapat memicu pula terjadinya

perkembangan pesat terhadap senjata-senjata pemusnah masal

(WMD), termasuk kemungkinan pemanfaatannya oleh para teroris dan

penjahat transnasional terorganisasi (weapon proliferators,

narcotictrafickers) serta negara-negara yang tidak stabil (fail state,

rogue states) yang dapat membahayakan keamanan dunia; Dalam hal

20

Page 21: Konsep Comprehensif Security

ini ada istilah “cyber-warfare” dalam bentuk perang informasi yang

bersifat ofensif dengan target sistem komputer yang potensial sangat

berbahaya, mulai terhadap system telekomunikasi, keamanan dan

perbankan atau sering disebut “digital Pearl Harbor”;

Issue pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan akan tetap

menjadi fokus negara-negara di dunia untuk mengatasinya melalui

mitigasi dan adaptasi, disertai usaha untuk mengembangkan

alternative –energy ;

Perkembangan ekonomi global terjadi dan dipicu oleh arus cepat dan

tidak terbatas atas informasi, ide, nilai-nilai kultural, modal, barang dan

jasa, serta manusia. Hal ini di samping menguntungkan negara-negara

maju, juga akan menimbulkan permasalahan besar di lingkungan

regional, negara-negara, kelompok yang merasa ketinggalan (tidak

mampu, tidak effektif) , dengan akibat stagnasi ekonomi, instabilitas

politik, dan keterasingan budaya. Hal ini akan menggerakkan

ekstrimisme politik, etnik, ideologi dan agama, yang tidak jarang

disertai dengan kekerasan yang menimbulkan konflik baik di dalam

negeri maupun di luar negeri;

Di dalam “national dan international governance ” peranan negara

akan tetap dominan, tetapi sulit mengawasi dan mengendalikan arus

informasi, teknologi, penyakit menular, migran, senjata, dan transaksi

finansial, baik yang sah maupun tidak sah serta lintas batas negara.

Dalam hal ini peranan “non-state actors ” sangat besar, baik berupa

“for-profit sector” seperti MNC; “non-profit sector or organizations ” di

bidang-bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial serta

proyek kemanusiaan lainnya, melalui pelayanan informasi, dan

keahlian, advokasi kebijakan serta bergerak melalui organisasi

internasional; maupun dalam bentuk “traditional communal groups”,

baik bersifat keagamaan maupun ethnik yang bergerak di bidang

HAM, lingkungan hidup, sosial dan sebagainya.

Negara-negara adikuasa, khususnya AS akan menghadapi 3 (tiga)

jenis ancaman :

(1) “asymmetric threats” di mana negara-negara dan aktor-aktor non-

negara yang bermusuhan akan menghindari konflik langsung

21

Page 22: Konsep Comprehensif Security

secara militer, tetapi mengembangkan strategi, taktik, dan

persenjataan modern, untuk memperkecil kekuatan AS dan

mengeksploitasi kelemahannya;(the fourth generation of war);

(2) Penggunaan senjata-senjata pemusnah masal (WMD) termasuk

senjata nuklir (peluru kendali) oleh Russia, China, Korut, Iran, yang

dapat menyerang AS dan secara potensial terjadi penyebarluasan

secara inkonvensional WMD (nuklir, biologi, kimia) baik oleh

negara-negara atau aktor non-negara;

(3) Ancaman militer regional dimana beberapa negara memelihara

kekuatan militer besar dengan menggabungkan konsep-konsep

dan teknologi Perang Dingin dan Pasca Perang Dingin;

AS akan tetap merupakan pemegang hegemoni kekuatan utama

dalam masyarakat dunia baik di bidang ekonomi, teknologi, militer dan

diplomasi, sehingga akan mendapat manfaat besar dari proses

globalisasi yang sangat intensif. (NIC, 2000)

PERGESERAN HAKIKAT LINGKUNGAN KEAMANAN ABAD 21

Selama kurang lebih 15 tahun terakhir masyarakat di dunia menjadi

saksi terjadinya 3 hal yang berkaitan satu sama lain, yaitu : berakhirnya

Perang Dingin; keruntuhan Marxisme-Leninisme sebagai suatu ideologi

revolusioner di dunia; dan bangkitnya suatu lingkungan keamanan dunia

yang baru. Lingkungan strategis telah mengalami suatu transformasi dari

apa yang oleh John Lewis Gaddis dikatakan sebagai the “Long Peace’of

the 20 century Cold War” ke arah suatu situasi yang oleh US Pentagon

digambarkan sebagai a “Long War’ against the diffuse of an Islamist

insurgency”.(Evans, 2007)

Selama Perang Dingin (Long Peace) abad 20 terjadi banyak perang

regional mulai dari perang Korea terus ke Vienam dan selanjutnya

Afganistan, tetapi stabilitas struktural tidak pernah goyah sebab tidak

terjadi perang utama antara dua kekuatan besar. Digambarkan bahwa

persiapan perang memang terjadi antara Pakta Pertahanan NATO dan

Pakta Warsawa, yang digambarkan sebagai suatu “symphony orchestra ”

22

Page 23: Konsep Comprehensif Security

yang megah dengan tahapan (lembaran musik) yang bisa diperkirakan

dan dimengerti dengan baik oleh masing-masing musisi. Saat ini dalam

suasana “Long War ” A bad 21 persiapan konflik bersenjata menyerupai

musik jazz ( jazz playing) , dengan segala improvisasinya dan akan sulit

diramalkan bentuk musik yang akan terdengar.

Kejadian 11 September 2001 merupakan gejala mengerikan tentang

terjadinya perobahan mendalam di dunia . Teknologi telah menyebarkan

kekuatan jauh dari pemerintah dan memperkuat individu dan kelompok

untuk berperanan dalam politik dunia termasuk menimbulkan kerusakan

secara besar-besaran untuk melawan pemerintah. Privatisasi telah

meningkat dan terorisme merupakan privatisasi perang (terrorism is the

privatization of war). Kejadian 11 September berasal dari globalisasi dari

kekerasan informal sebagai kategori baru dari “asymmetric warfare” yang

diprakarsai oleh “non-state actors”.

Di dalam perkembangan “the Long War” terjadi apa yang oleh Blok

Barat disebut sebagai bentuk baru dari penyebaran senjata pemusnah

masal, dan penyebaran rasa takut terorisme (novel setting of diffusion

and diversification of weapons of mass destruction, percolating global

turbulence, and widespread fear of terrorism). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa karakter atau hakekat perang telah berobah.

Namun harus dicatat bahwa berkembangnya bahaya asimetrik yang

bersifat dan berdimensi “new multi-centric environment” tidak dengan

sendirinya akan menghapuskan bahaya tradisional yang bersifat simetrik

( state-centric world order) . Yang terjadi adalah “the two worlds of world

politics ”, dimana interaksi dunia yang berkarakter simetrik atau “state

centric ” dan dunia asimetrik berupa “multicentric world ” semakin

meningkat dan menciptakan bentuk konflik bersenjata yang berubah-

ubah dan sulit diprediksi sebelumnya.

Apa yang menjadikan lingkungan strategis abad 21 begitu bergolak

bukanlah faktor perobahan itu sendiri, tetapi karena kompresi atau

tekanan dan saling keterkaitan dari perobahan yang cepat antara dunia

“the state- centric” dan “multi-centric” akibat penggunaan jaringan

elektronik.

23

Page 24: Konsep Comprehensif Security

Dalam hal ini dua cabang sistem keamanan global yang telah

berkembang mengandung 3 (tiga) kecenderungan: (a) pergeseran

pemikiran yang berorientasi pada teritorialitas kearah keterhubungan

(connectedness) dan pengurangan frekuensi perang antar negara; (b)

kekaburan perbedaan antara negara dan masyarakat serta kebijakan

luar negeri dan domestik sehingga menciptakaan suatu kebutuhan

nasional tentang kebijakan keamanan; dan (c) penggabungan dari

bentuk –bentuk konflik bersenjata yang konvensional dan tidak

konvensional. Dalam hal ini dikatakan bahwa “the most powerful weapon

in the world, the ability to manage every aspect of a conflict from one

operation centre”.

Jenkins menggambarkan perbedaan antara musuh dunia Barat di Era

Perang Dingin dan yang berkembang di abad 21 sebagai berikut :

“The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous, rigid,

hierarchical, and resistant to change. The enemies of today are dynamic,

unpredictable, diverse, fluid, networked, and constantly evolving” (Evans,

2007).

Logika dari timbulnya perang asimetrik pada dasarnya berkaitan

dengan ketidakseimbangan kekuatan dan teknologi perang antara

kekuatan atau negara yang beselisih (mis. Palestina menghadapi Israel; Al

Qaeda melawan AS), sehingga menerapkan taktik yang tidak

konvensional. Yang lemah mengklaim punya hak untuk menggunakan

taktik tidak konvensional, yang terdiri atas serangan terhadap penduduk

sipil, karena merupakan jalan satu-satunya untuk mengimbangi kekuatan

musuh. ereka mengklaim dirinya sebagai pihak yang tidak beruntung

menghadapi perang yang tidak imbang.

Dengan demikian nampak adanya dua dimensi bahaya terhadap baik

negara maupun manusia di masa depan pasca Perang Dingin. Di samping

tetap adanya ketegangan antar negara seperti antara India dan Pakistan

yang sama-sama memiliki senjata nuklir, munculnya kekuatan baru seperti

China, kecurigaan AS dan Barat terhadap negara-negara yang dianggap

sebagai “roque States” (Korea Utara, Iran), intervensi antar negara dalam

masalah-masalah konflik antar nagara (di Afrika), muncul “ new threat

patterns ” seperti : kejahatan transnasional terorganisasi, perdagangan

24

Page 25: Konsep Comprehensif Security

senjata-senjata ringan (small arms) , perompakan di laut bebas, terrorisme

yang melengkapi dirinya dengan senjata-senjata pemusnah massal,

“information warfare ” , ancaman terhadap kedutaan-kedutaan besar, kapal,

pesawat udara dan asset-asset lepas pantai, migrasi illegal, dan degradasi

lingkungan.

GENERASI KE-4 DAN KE-5 PERANG

Terkait dengan apa yang telah dikemukakan di atas, perlu dikaji apa

yang dinamakan Generasi Keempat Perang (Fourth Generation of War -

4GW) sebagai berikut:

Generasi I : perang modern terjadi antara 1648-1860. Perang ini

merupakan perang dalam barisan dan lajur, di mana perang dilakukan

secara formal dan medan perang yang tertib dan rapi serta linier. Hal

ini dikaitkan dengan kultur militer yang penuh keteraturan. Hal-hal yang

membedakan antara orang sipil dan militer seperti pakaian seragam,

pemberian hormat, dan pangkat, pada dasarnya merupakan produk

Generasi I ini dan dimaksudkan untuk menegakkan budaya

ketertiban. Generasi I ini didominasi oleh “massed manpower” seperti

yang terjadi dalam perang Napoleon;

Generasi II : perang dikembangkan oleh Tentara Perancis, selama

Perang Dunia I, dengan mengedepankan daya tembak atau “mass

firepower” yang sebagian besar memanfaatkan tembakan meriam tidak

langsung. Doktrin yang dikembangkan adalah “ The artillery conquers, the

cavalry as the attacker and the infantry occupies”. Daya tembak yang

terkendali secara terpusat dan hati-hati disinkronisasikan dengan

menggunakan rencana yang khusus dan terperinci dan teratur bagi

infantri, tank dan artilery di mana komander sangat memegang peranan;

Generasi III : perang yang sebenarnya juga merupakan produk PD I

dikembangkan oleh Tentara Jerman dalam PD II yang dikenal secara

luas sebagai “Blitzkrieg” atau perang dengan maneuver, didasarkan

atas daya tembak dan menghabiskan tenaga lawan (attrition), tetapi

mengutamakan kecepatan, daya dadak, dan kekuatan mental serta

fisik. Sebagai pengganti doktrin “close with and destroy” motto yang

25

Page 26: Konsep Comprehensif Security

lain yang dikembangkan adalah “bypass and collapse”. Generasi

ketiga ini bersifat “non-linier”. Ketertiban menentukan hasil yang akan

dicapai, tetapi tidak menentukan cara. Inisiatif lebih penting daripada

ketaatan.

Generasi IV : desentralisasi dan inisiatif yang berasal dari generasi

ketiga diambil alih oleh Generasi IV perang. Yang sangat menonjol

dalam Generasi IV ini adalah perobahan radikal terhadap norma yang

dihasilkan oleh perjanjian Westphalia 1648 bahwa negara adalah yang

memonopoli perang, karena di seluruh dunia militer negara dalam

generasi ini bertempur dengan “non-state opponents”, seperti al

Qaeda dan organisasi-organisasi teroris lain. Dalam generasi ini

sebenarnya yang terjadi adalah berulangnya budaya perang di masa

lalu di mana yang terlibat konflik bukanlah negara, tetapi keluarga,

suku, penganut agama, kota, dunia usaha yang menggunakan segala

cara. Generasi keempat ini mengembangkan apa yang dinamakan

“insurgency”, bersifat asimetrik yang mendayagunakan segala

jaringan yang tersedia -politik, ekonomi, sosial, militer- untuk

meyakinkan pengambil keputusan musuh bahwa tujuan strategis

mereka tidak dapat dicapai atau sangat mahal. (Lind, 2007).

Karakter lain adalah bersifat transnasional, tidak mengenal “ battlefield ”

yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa

perang dan damai, tidak mengenal “ front-line”, dan bergerak melalui

kelompok-kelompok kecil. Contohnya adalah terorisme.

“As the world moves further away from the 20th century concept of the

Cold War, it becomes increasingly clear that the very nature of warfare

itself has changed. The Old Style conflicts were about overpowering the

enemy and winning ground. The new wars are about ideas, belief systems

and ideologies. The battle is no longer about winning territory, it is about

winning minds”.

Generasi V : “Fifth Generation of Warfare” yang disebut sebagai

“Information Operations/Warfare” melalui mass media, internet (cyber

warrior) yang dapat menimbulkan kerusakan luar biasa di segala

bidang (ekonomi, pertahanan, transportasi, politik dll). (Patriot Post,

2007)

26

Page 27: Konsep Comprehensif Security

Dalam menghadapi Generasi IV dan Generasi V perang ini,

khususnya yang dikendalikan oleh “non-state actor” dan “rogue state” (states

considered threatening to the world’s peace, such as being ruled by

authoritarian regimes that severely restrict human rights, sponsor terrorism,

and seek to proliferate weapons of mass destruction) Amerika Serikat

menerapkan “anticipatory strike/self defence”. Bahkan saat ini bersama

sekutu-sekutunya AS menerapkan “Proliferation Security Initiatives”(PSI)

yang memungkinkan negara-negara pendukung PSI memegat kapal-kapal

asing dan kapal-kapal lainnya yang berlayar di laut bebas dan di perairan

nasional jika dicurigai membawa senjata pemusnah massal (WMD) dan atau

bahan-bahannya untuk mencegah penyebarannya, khususnya dari atau ke

negara-negara yang dicurigai mengembangkan senjata nuklir atau WMD

lainnya.

DOKTRIN KETAHANAN NASIONAL DAN KEKUATAN NASIONAL.

Doktrin Ketahanan Nasional (National Resilience) mulai disadari bangsa

Indonesia setelah secara relatif dapat melewati krisis keamanan tradisional

pasca kemerdekaan yang banyak menyentuh masalah-masalah pertahanan

(defence) sebagai faktor dominan, sehingga Bung Karno memunculkan

keberadaan Lembaga Pertahanan Nasional pada tahun 1965. Kemudian

Doktrin Ketahanan Nasional di Era Presiden Suharto bersifat khas (unique

and different), - yang melihat kehidupan nasional sebagai sistem sosial dan

sistem alamiah yang utuh - khususnya apabila disandingkan dengan Doktrin

Kekuatan Nasional (National Power) yang diadopsi oleh negara-negara adi

kuasa.

Doktrin Ketahanan Nasional erat sekali kaitannya dengan Tujuan

Nasional yang terpateri dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk

memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial “. Doktrin Ketahanan Nasional,

sekalipun tidak pernah menafikan elemen “outward looking” sebagai

lingkungan strategis yang harus diperhitungkan, namun cenderung bersifat

27

Page 28: Konsep Comprehensif Security

defensif dan mementingkan pendekatan “inward looking”. Tannas

mengandung kemampuan untuk segera bangkit dari krisis (engineering

resilience), kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan

positif (ecological resilience) dan kemampuan untuk memprediksi apa yang

akan terjadi di depan (anticipatory resilience).

Sebaliknya Doktrin Kekuatan Nasional (National Power ), cenderung

bersifat ofensif dan militeristik. Dalam hal ini fokus terhadap “power”

diarahkan sebagai sarana (means), kekuatan (strength) dan kemampuan

(capacity) yang menyediakan “the ability to influence the behavior of other

actors in accordance with ones own objectives”. Hal ini diadopsi dalam arena

internasional, baik sebagai tujuan sesaat, maupun sebagai sarana untuk

mencapai tujuan akhir. Doktrin ini cenderung offensive, milteristik,

berwawasan ke luar dan bersifat kontekstual, serta hanya dapat dievaluasi

dalam kerangka seluruh determinan dalam kaitannya dengan pelaku-pelaku

lain dan situasi dimana kekuatan harus diterapkan (Jablonsky, 2006).

Namun demikian tidak berarti bahwa antara keduanya tidak terdapat

persamaan ( similarities) . Dalam hal ini persamaan antara keduanya yang

bisa diidentifikasi adalah adanya kesadaran adanya hubungan

multidimensional antar elemen atau determinan, baik natural maupun sosial;

adanya kaitan determinan satu sama lain dan bersifat dinamis, karena sifat

determinan tersebut tidak bersifat kemampuan abstrak, tetapi hanya dapat

dinilai dalam hubungan dengan negara lain. Dalam hal ini Doktrin Kekuatan

Nasional memfokuskan diri pada keunggulan kompetitif, sedangkan Doktrin

Ketahanan Nasional memfokuskan diri pada evaluasi tentang keunggulan

komparatif dan keunggulan kompetitif.

Persamaan logis yang muncul adalah bahwa baik doktrin tannas

maupun kekuatan nasional sama-sama menghindari kesalahan akibat

terjebak hanya dalam fokus pada satu determinan semata-mata

(Morgenthau ; “ the fallacy of single factor” ) .

Persamaan yang lain adalah karakter “situasional”, karena beberapa

elemen atau determinan atau kombinasi antar elemen tidak dapat diterapkan

dalam situasi-situasi khusus sehubungan dengan kompleksitas dari

lingkungan strategis.

28

Page 29: Konsep Comprehensif Security

Dalam hal ini bagi Doktrin Ketahanan Nasional mungkin bahaya yang

datang bersifat baru, terlalu cepat atau terlalu besar untuk dihadapi, dan bagi

Doktrin Kekuatan Nasional penerapan kekuatan selalu didasarkan atas

analisis biaya dan hasil (cost and benefit analysis).

Jablonsky menyatakan bahwa “elements of national power” terdiri atas

determinants natural (geography, population, natural resources) dan

determinants sosial (economic, military, political, psychological, informational).

Oleh Fendrick , ditambahkan elemen diplomasi sebagai suatu “instrument of

national power”.

P e n u t u p

1. Doktrin Tannas sudah mencerminkan konsep untuk menghadapi

bahaya kemanan komprehensif. Tidak hanya berkaitan dengan

bahaya militer antar Negara semata-mata. Faktor pertahanan dan

keamanan hanya salah satu elemen dari Tannas. Tannas berisi

seperangkat parameter untuk mengukur ketahanan nasional

bangsa, yang harus dilihat secara sistemik, komprehensif, integral

dan tidak secara ad hoc’;

2. Pemahaman tentang kerjasama keamanan dan keamanan

komprehensif sangat diperlukan dengan menyadari adanya

bahaya ancaman k e amanan yang multidimensional di dunia

termasuk menghadapi NTS yang bersifat transnasional, tidak

mungkin dihadapi sendiri oleh suatu negara, di mana konflik dan

ancaman akan dikelola secara kolektif melalui kerjasama

internasional atau regional, baik multilateral maupun bilateral;

3. “Cooperative security ” bukan pakta militer (military alliances and

collective security) menghadapi musuh khusus, tetapi merupakan

merupakan “multilateral effort to achieve security among all the

participants through non-military means, without attributing either

friend or enemy status to the relation involved”. (Katsumata, 2007);

29

Page 30: Konsep Comprehensif Security

4. Dalam kerjasama keamanan tersebut masing-masing negara

harus menghormat i kebijakan keamanan dn pertahanan nasional

(the policy of national security and defence ) masing-masing

dengan sikap dan cara sebagai berikut :

Mentaati pelbagai perjanjian internasional;

Menghormati integritas dan kedaulatan negara lain;

Menghormati asas-asas perdamaian, stabilitas dan keamanan

internasional serta aktif berpartisipasi secara internasional untuk

pencapaiannya;

Mengusahakan penyelesaian secara damai segala perbedaan dan

mengutamakan pencegahan terhadap gangguan keamanan nasional

melalui saluran diplomatik, politik dan militer;

Menentang penyebarluasan penggunaan senjata-senjata pemusnah

massal (nuklir, kimia, biologi) .

5. Perobahan nama Lembaga Pertahanan Nasional menjadi

Lembaga Ketahanan Nasional pada tahun 1984 merupakan

langkah yang tepat bagi LEMHANNAS, karena sekaligus

menyadarkan kepada kita tentang realitas “two worlds of world

politics” di atas, dimana bahaya atau ancaman tradisional

terhadap negara yang bersifat militeristik saat ini bersinergi

negative dengan jaringan desentralisasi ancaman yang berasal

dari aktor-aktor non–negara yang mendayagunakan segenap

senjata (teknologi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya). Di

samping itu pendekatan komprehensif-integral terhadap

Ketahanan Nasional (National Resilience) yang mengandung

determinan Asta Gatra yang merupakan gabungan antara

determinan natural dan sosial, juga meningkatkan kewaspadaan

kita terhadap “Non-Traditional Security Threat” (NTS) baik yang

bersifat “soft threat” maupun “hard threat”; di tingkat ASEAN

berkembang iatilah “regional resilience”;

6. Dalam hal ini harus diyakini bahwa hubungan antar determinan

Asta Gatra tersebut bersifat “multidimensional interrelationship;

30

Page 31: Konsep Comprehensif Security

dinamic dan situational”. Morgenthau telah memperingatkan agar

dalam mengelola pelbagai determinan sebagai kekuatan nasional,

kita jangan terj e bak pada apa yang dinamakan “the Fallacy of the

Single Factor”. Fallacy yang lain adalah “the failure to distinguish

between potential and actual power”. Alumni Lemhannas dan

keluarga besar Lemhannas diharapkan dapat menjadi kelompok

yang memelopori terwujudnya “Comphrehensive Security

Community” sebagai tanggungjawab bersama;

7. Persoalan tentang kewenangan dan pembagian kewenangan antar

lembaga yang menangani masalah pertahanan atau keamanan

dalam arti sempit, dan kerjasama antar lembaga yang menangani

keamanan komprehensif, sangat tergantung pada Konstitusi dan

hukum positif yang berlaku di suatu negara dalam rangka Sistem

Keamanan Nasional, dengan menjauhi egoisme sektoral. Dalam

hal ini pembentukan semacam Dewan Keamanan Nasional sangat

diharapkan;

8. Selain itu harus tetap disadari bahwa atas dasar perjanjian

internasional pada dasarnya keamanan nasional merupakan sub-

sistem keamanan regional dan semuanya merupakan sub-sistem

perdamaian dan keamanan internasional ( international peace and

security system) . Sebagai contoh dalam hal ini dapat dikemukakan

bahwa dalam ASEAN Charter sudah digunakan istilah “regional

resilience”. Indonesia saat ini sangat dipercaya komitmennya

terhadap perdamaian dan keamanan regional dan internasional,

karena Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi ketiga

terbesar di dunia, disertai parlemen yang aktif dan masyarakat

madani yang berkembang secara positif dalam masyarakat yang

sangat pluralistik. Belum lagi dengan kondisi ekonomi yang relatif

stabil, sekalipun menghadapi krisis finansial global. Pertumbuhan

ekonomi masih terjadi dan strandar kehidupan meningkat;

9. Sering dikatakan bahwa untuk dapat melakukan kerjasama

keamanan diperlukan “level of playing field ” yang sama seperti

“promotion of democracy, human rights and obligations,

transparency and good governance and strengthening democratic

31

Page 32: Konsep Comprehensif Security

institutions”. Di samping itu harus dibangun apa yang dinamakan

“confidence-building measures” (CBMs) yang berintikan

transparansi melalui pertukaran data dan informasi, kapabilitas

dsb.nya;’

10. Bagi Indonesia Karakter Nasional berupa 4 (empat) konsensus

dasar nasional (Pancasila, UUD NRI tahun 1945, prinsip NKRI

dan Sesanti Bhinneka Tunggal Ika) dan Karakter Pemerintahan

yang demokratis merupakan determinan atau gatra khusus

ketahanan nasional yang harus diperhitungkan;

11. Secara empiris bentuk-bentuk kerjasama keamanan regional dan

internasional dilakukan dengan cara –cara :

a) exchange of information;

b) enhance cross-border cooperation;

c) promote capacity building (training, education, consultations,

seminars/conferences, joint project and technical cooperation;

d) enhance intelligence sharing and sharing of information;

e) enhance existing cooperation towards developing database;

f) joint research and development;

g) encourage the use of video conference or teleconference facilities;

h) extraterritorial jurisdiction;

i) ratification and harmonization of law and standard;

j) mutual legal assiastance in criminal matters;

k) extradition;

l) designation of central authorities or coordinating structures;

m) reviews and strengthen national mechanism;

n) deepen cooperation among the front-line law enforcement agencies;

o) provide assistance on transport security, border and immigration

control;

p) comply with all binding UN resolutions and declarations;

q) strengthen measures to prevent illegal manufacture, possesion or

trafficking in weapon, ammunition, explosives and potentially

destructive material;

r) joint exploration of additional areas of cooperation;

s) identifying and addressing the root causes of common security threat;

32

Page 33: Konsep Comprehensif Security

t) strengthen links with interpol, aseanopol, europol;

u) building state capacity building (JCLEC =Jakarta Center for Law

Enforcement Cooperation in Semarang; ILEA = International Law

Enforcement Academy in Bangkok; SEARCCT = Southeast Asia

Regional Center for Counter Terrorism in Kuala Lumpur;and Bilateral

Dialog and Regional Talks;;

v) cooperation to support development initiatves aimed at enhancinfg

quality of life, rule of law, god governance and communty awareness of

security threat;

w) Joint Task Force seperti usaha untuk mengatasi “sea piracy” di

Somalia (Combined Task Force 150 dan 151);

x) di tingkat nasional segera dibentuk Dewan Keamanan Nasional.

Jakarta, 12 Juli 2012.

Daftar Pustaka

Alagappa, Muthiah, Asian Security Practices {Material and Ideational

Influences), Stanford University Press, 1988.

Annan, Kofi A., In Larger Freedom :Towards Development, Security and

Human Rights for All, UN, 2005.

Agreement Between The Republic of Indonesia and Australia on the

Framework for Security Cooperation, Lombok, 13 Desember 2007.

CSCAP, Memorandum No. 3: The Concept of Comphrehensive and

Cooperative Security, Kuala Lumpur, ISIS, 1995.

Desker, Barry, New Security Dimensions in the Asia Pacific, tha Indonesian

Quarterly. Vol. 36. No. 3-4, 2008 p.355-368.

Emmers, Ralf, Anthony, Melly Caballero, Acharya, Amitav, Studying Non-

Traditional Security in Asia, Trend and Issues, Marshall Cavendish

Academic, Singapore, 2006.

33

Page 34: Konsep Comprehensif Security

Evans, From the Long Peace to the Long War : Armed Conflict and Military

Education and Training in the 21 st Century, Australian Defence College,

Occasional Series No. 1, 2007.

Feng,Han, NTS Challenges and Policy Responses in North East Asia, in

Inaugural Meeting of the Consortium of NTS Studies in Asia, Singapore,

2007.

Hernandez, Carolina, The Asean Charter and the Building of an ASEAN

Security Community, The Indonesia Quarterly Vol. 36 No. 3-4, 2008, p.296-

311.

Hsiung, James C., Comphrehensive Security,: Challenge for Pacific Asia,

New York University, 2008.

Jablonsky, David, National Power, US War College Guide to National Security

Policy and Strategy, 2 nd Edition, June 2006.

Katsumata, Hiro, Asean Security Community Background Paper for the

Informal Meeting of ASEAN Defence and Security Think Tanks, Singapore,

2007.

Len le Roux, Defining defence requirements : Force Design Considerations

for the South African National Defence Force, ,African Security Review Vol. 8

No. 5, 1999.

Lind, William S, Understanding Fourth Generation War,

http://www.lewrockwell.com/lind/lind3b.html, 2007.

Lutz, James M and Lutz Brend J, Global Terroirism, Routledge, London and

New York, 2008.

Muladi, International Terrorism, Paper Presented in IDSS Seminar,

Singapore, 2006.

Muladi, “Global Warming” dan a”Climate Change” Sebagai Masalah

Nasional dan Internasional, Jakarta, 10 Maret 2008.

Moodie, Michael, Cooperative Security : Implications for National Security and

International Relations, Chemical and Biological Arms Control Institute,

Jnuary, 2000.

NIC, Global Trends 2015, A Dialog About the Future With NGO Expert,

December 2000.

Patriot Post. Us, http://patriotpost.us/papers/05-10 paper asp., 2007

34

Page 35: Konsep Comprehensif Security

Rana, Madhukar, SJB, Comphrehensiver Security for South Asia,

Conceptualization Toward a Regional Strategy, Sge Publication, New Delhi,

2008.

Regehr, Ernie, Project Ploughshares, Canadian Defence Policy Within a

Comphrehensive Security Strategy, March 21, 2005.

Sukma, Rizal, The Future of Asean, Towards a Security Community, New

York, 3 June 2003.

Snow, Domnld M, National Securityfor a New Era, Longman, New York, 2007

Tan, Andrew T.H. and Boutin Kenneth J.D., Non Traditional Security Issues in

Southeast Asia, IDSS, Singapore, 2001.

35