Konsep Birokrasi Dari Max Weber
-
Upload
budi-armansyah -
Category
Documents
-
view
550 -
download
18
Transcript of Konsep Birokrasi Dari Max Weber
Konsep Birokrasi
Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada
baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata
“bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi
oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor.
Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan lewat
meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah
maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan
orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam
konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.
Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah
secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu
saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat
pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya
birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup
Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di
Prussia.
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional.
Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan
Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak
mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber
kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat
di sebuah birokrasi.
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus)
bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:
1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang
berkesinambungan;
2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda
sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi
dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan
rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara
teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia
yang terlatih menjadi diperlukan;
5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota
sebagai individu pribadi;
6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini
cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi
modern; dan
8. sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi
dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam
suatu staf administrasi birokratik.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi,
maka birokrasi tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi
yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi
legal-rasional adalah sebagai berikut:
1. para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya
menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan
mereka;
2. terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3. fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4. para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5. para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya
didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui
ujian;
6. para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak
pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki.
Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-
keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
7. pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8. suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas
dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan
(superior);
9. pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya
maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10.pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana
pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan
(subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab
itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional.
Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak
oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas
penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat
atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat
pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya,
organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan
pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap
kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:
1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain
dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa
dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri.
Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah
korupsi kekuasaan.
2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian
tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau
lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu
keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan
kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi
akumulasi kekuasaan.
3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala
pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk
mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang
dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU
(birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara
bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung
dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi
selama pelaksanaan tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam
membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis.
Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif
Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and
proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat
merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat
yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi,
partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja
pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa
anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan
modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis
birokrasi mereka lakukan.
PRAKTIK BIROKRASI
Tipe ideal suatu birokrasi yang dicetuskan oleh Max Weber,
dalam penerapan organisasi birokratik di Indonesia tidak berjalan
seperti yang diuraikan dalam teori. Birokrasi dalam pembangunan
memegang peranan yang sangat penting, namun pada kenyataannya
menimbulkan berbagai keprihatinan dan ketidakpuasan terhadap
keberadaan dan kualitas yang diembannya sebagai aparatur publik
yang dipercaya untuk melaksanakan visi, misi, tujuan serta sasarajn
yang dirumuskan untuk membangun bangsa ini. Dalam praktik
birokrasi di Indonesia, terdapat beberapa aspek yang kontradiktif
dengan teori birokrasi yang dicetuskan oleh Weber, antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Sistem Merit Aparatur
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, menurut Weber,
dalam suatu birokrasi, perlu diterapkan merit system pada pegawai.
Kenyataan di dalam praktiknya, mulai dari masalah proses dan pola
rekruitmen pegawai, jenjang karir sampai kepada pemilihan pejabat di
lingkungan birokrat masih terkesan tertutup dan menerapkan
senioritas atau masih belum sepenuhnya berdasarkan pada sistem
merit (merit system). Hal ini mengakibatkan dampak yang cukup
signifikan terhadap kinerja (performance) sektor publik. Di samping
itu, karakter budaya kerja yang tidak professional, lamban dan tidak
transparan mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap
pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah. Padahal, di era
globalisasi dan persaingan, tuntutan kinerja yang baik, sangat mutlak
dibutuhkan.
Birokrasi di Indonesia umumnya masih belum memperlihatkan
sikap yang belum profesional saat melaksanakan pelayanan dan
mengemban tugas pemerintahan. Hal ini dapat disebabkan oleh
belum terbangunnya sistem kompensasi berdasarkan kinerja; serta
kode etik (code of ethics) kepegawaian yang mengarah pada
kesanggupan untuk terus meningkatkan prestasi, menjunjung
integritas, mematuhi pada peraturan dan kejujuran, menjaga sikap sopan
dan santun sebagai aparatur.
2. Citra Inefisiensi Praktik Birokrasi
Praktik birokrasi pemerintahan di Indonesia tidak simultan
menampilkan citra efisiensi seperti yang disampaikan oleh Weber.
Bahkan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang serta kekuasaan
oleh oknum aparatur pemerintah telah sangat merugikan keuangan
negara. Fakta-fakta yang terungkap dan temuan-temuan kecurangan dan
penyelewengan keuangan negara telah dipublikasikan di berbagai
surat kabar nasional maupun daerah pada Era Reformasi yang lebih
transparan ini. Termasuk didalamnya adalah berita hasil pemeriksaan
laporan keuangan pemerintah oleh BPK, sampai kepada berita
temuan korupsi oleh KPK. Berita dan diskusi tentang pemberantasan
korupsi kolusi, korupsi, nepotismo serta pencegahan kebocoran serta
pemborosan kekayaan dan keuangan negara memberikan nuansa
transparansi yang berbeda di era reformasi ini dengan era sebelumnya.
Hasil temuan tersebut juga memberikan bukti nyata betapa
'semrawutnya' tata birokrasi pemerintahan dan keuangan di negara kita
ini. Hal ini tidak saja menjadi pelanggaran secara hukum saja, lebih jauh
lagi, hal ini dapat mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah.
Birokrasi yang profesional dan bersih sangat besar
pengaruhnya terhadap peningkatan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah (Cooper, 2008). Pemerintahan yang kuat di Indonesia
harus didukung oleh birokrasi yang profesional serta memiliki tingkat
akuntabilitas yang tinggi terhadap masyarakat sebagai client utama
pemerintah. Praktek-praktek kesewenangan atau otoriter, korupsi dan
kolusi tidak bisa ditolerir lagi untuk mewujudkan strong government
dan clean government. Sejak era reformasi, temuan-temuan yang
berindikasi korupsi dan ketidakefisienan di sektor publik dilaporkan
oleh satu lembaga pemeriksa keuangan negara (berdasarkan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23E ayat 1), yaitu Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada DPR/DPRD. Berdasarkan
mandat dari Undang Undang Paket Keuangan Negara, laporan hasil
pemeriksaan (LHP) dari BPK ini juga harus dipulikasikan kepada
masyarakat, sehingga publik dapat dilibatkan untuk berperan sebagai
control (pengendali dan pengawas) bagi sektor publik. Ini adalah suatu
perubahan yang cukup signifikan untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas sektor publik di negara kita. Sejak diberlakukannya
perubahan ketiga UUD 1945 (2001) dan Undang-Undang Paket
Keuangan Negara (2003-2004), temuan hasil pemeriksaan BPK sering
terpampang sebagai berita utama (head- line) di berbagai surat kabar dan
media lainnya.
Meskipun masalah birokrasi ini sudah lama dibicarakan oleh
masyarakat luas, masih belum optimal dan efektifnya langkah-langkah
yang dilakukan untuk menindaklanjuti malpraktik yang dilakukan oleh
para pelaku korupsi di lingkungan administrasi pemerintahan dan
pencucian uang (money laundering) uang negara. Pembenahan
birokrasi terus dilakukan terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum
atau investigators, mulai dari kejaksaan, kepolisian dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu upaya yang sudah dilakukan,
agar hasil temuan pemeriksaan keuangan negara yang berindikasi
penyelewengan dan korupsi ditindaklanjuti secara serius oleh pihak-
pihak yang berkaitan adalah penandatanganan kerjasama
(Memorandum of Understanding atau MOU) antara BPK, Kantor
Kejaksaan Republik Indonsia, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI),
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK. Hal
ini adalah langkah konkrit pembenahan dan reformasi yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi masalah praktik birokrasi di lingkup
administrasi keuangan di Indonesia agar dapat menciptakan
pemerintahan yang bersih dari KKN (clean government) dan
kepemerintahan yang baik (good governance).
Dalam perubahan UUD 1945, reformasi birokrasi didefinisikan
sebagai penataan ulang terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang dijalankan aparatur pemerintah baik di tingkat lokal maupun
nasional. Pendekatan yang digunakan pada konstitusi lebih
merupakan pendekatan sistemik yang secara konseptual lebih
mengutamakan komprehensi dibandingkan ekstensi. Guna
menciptakan pembaruan, penyegaran sikap dan perilaku serta budaya
kerja birokrasi yang lebih tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan
rakyat, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara RI telah
merekomendasikan kebijakan reformasi birokrasi berdasarkan
amandemen landasan konstitusional negara kita. Kebijakan ini dapat
dikelompokkan menjadi empat dimensi yang perlu ditata ulang, yaitu:
(1) masalah restrukturisasi atau pembenahan kelembagaan/organisasi,
(2) masalah rasionalisasi dan relokasi sumber daya aparatur, (3)
masalah ketatalaksanan dan sistem prosedur yang dapat diupayakan
lebih sederhana dan didukung oleh sarana prasarana teknologi yang
memadai, (4) dekulturisasi budaya lama dengan menginkulturisasi
budaya baru untuk mengatasi permasalahan budaya birokrasi.
Berbagai kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan merupakan
upaya reformasi yang diarahkan cukup tepat untuk mencapai sasaran
yang ditentukan. Namun, pada kenyataannya, permasalahan birokrasi
masih belum bisa diselesaikan secara tuntas di republik ini. Bila kita
telaah dengan seksama, sejak diberlakukannya amandemen UUD 1945,
pembentukan pemerintahan dilakukan melalui instrumen demokrasi yang
bernuansa politis, seperti dilakukannya pemilihan presiden dan pemilihan
kepala daerah secara langsung. Hal ini juga mempengaruhi terhadap
aspek-aspek lainnya disamping aspek politis. Dimana, calon presiden
terpilih akan menyediakan sejumlah kursi mentri bagi orang-orang
yang dianggap olehnya berjasa atas kemenangannya. Bahkan
pengusaha-pengusaha yang menjadi penyandang dana (sponsorship)
pada saat kompetisi mendapatkan kursi yang diduduki presiden
terpilih juga akan mendapatkan kemudahan akses berbagai pelayanan
dari pemerintah. Meskipun hal ini dianggap lumrah dalam kehidupan
berpolitik, namun hal ini dapat menimbulkan ketidakyakinan di
kalangan birokrat terhadap kapasitas kepala pemerintahan terpilih.
Reformasi birokrasi dalam paradigma teoritikal kajian birokrasi lebih
condong pada struktural efisiensi. Beberapa hal yang perlu dipahami
dalam hal ini adalah:
1. Birokrasi sifatnya relatif permanen dan perlu dipahami
sebagai kerangka berpikir kita dalam melakukan reformasi
birokrasi di Indonesia. Jadi, meskipun pemimpin dalam
pemerintahan berganti menduduki kekuasaan, tetap
dibutuhkan agenda reformasi birokrasi yang
berkesinambungan.
2. Perlu dilakukan strategi dan program untuk mewujudkan
professionalitas birokrasi. Hal ini sangat dibutuhkan agar
kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik dan tanpa
dipengaruhi oleh siapa yang menjadi tampuk pemerintahan
atau tanpa dipengaruhi oleh partai politik apa yang
menjadi pemenangnya.
Fred W. Riggs menjelaskan perbandingan praktik birokrasi di
berbagai negara berkembang dan negara maju dengan melalui model
'prismatic societies' (kondisi masyarakat yang berbeda). Riggs dilahirkan
di Cina dan anak seorang insinyur pertanian, yang bertugas mulai dari
memberikan penyuluhan bagi para petani sampai kepada para
akademisi dan praktisi di lingkungan departemen pertanian di Cina.
Hasil pengamatannya yang pertama dalam pengembangan
administrasi adalah metode yang dikembangkan oleh Amerika dalam
teknik pertaniannya tidak dapat diterapkan di Cina. Menurut Riggs,
produk dasar dalam administrasi publik dapat dibedakan dalam 2 kurun
waktu yang berbeda. Pertama, yang berkembang pada jaman kerajaan
atau sebelum industrialisasi. Yang kedua, adalah produk pada jaman
modern setelah adanya revolusi industrialisasi (Frederickson, 2008:
977-978). Banyak nilai dan norma budaya tradisional suatu negara
yang perlu tetap dipertahankan walaupun secara berkesinambungan
dapat meng-import berbagai pola dan metode yang berkembang.
Jadi, dapat disimpulkan, bahwa meng-import suatu metode atau
strategi yang dilakukan negara lain juga dapat mengakibatkan counter
productive atau kepada hal yang tidak diharapkan terjadi, karena kultur
dan perubahan dinamis masyarakat juga akan mempengaruhinya.
Besarnya pengaruh politik dan kekuasaan mengakibatkan birokrasi
di Indonesia tidak pernah tenang dan profesional dalam bekerja. Birokrasi
dengan kultur yang dibangunnya, cenderung lebih sibuk melayani
penguasa dari pada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan
masyarakat. Oleh karena itu, wajah birokrasi pemerintah di Indonesia dari
dulu hingga kini boleh dikatakan belum menunjukkan perubahan yang
cukup berarti. Birokrasi tetap diliputi berbagai praktik penyimpangan dan
ketidakefisienan. Birokrasi kita sekarang ini dalam banyak hal masih
menunjukkan ”watak buruknya” seperti enggan terhadap perubahan
(status quo), eksklusif, rigit dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh
urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi, yang
secara umum kemudian dipersepsikan memiliki konsekuensi inefektifitas
dan inefisiensi. Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi
adalah tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu
baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama,
banyaknya pintu layanan yang harus dilewati atau service style yang tidak
berperspektif pelanggan. Turut menyempurnakan buruknya kinerja
birokrasi adalah rendahnya penguasaan kompetensi birokrat yang
disinyalir disebabkan oleh renggangnya kualitas filter rekrutmen dan
rendahnya kualitas pembinaan kepegawaian serta dominannya
kepentingan politis dalam kinerja birokrasi.
Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan
dengan menetapkan standar pelayanan publik, dengan harapan
pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan dapat terwujud.
Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut
terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan yang kurang
efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan
lain-lain adalah sederetan atribut negatif yang ditimpakan kepada
birokrasi. Indikasi tersebut merupakan cerminan bahwa kondisi birokrasi
dewasa ini dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat masih
belum sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari
keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau
dengan kata lain adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari
birokrasi pemerintah. Fenomena “high cost”, kurang responsif, kurang
informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, kurang mau mendengar
keluhan/saran/aspirasi masyarakat, inefisiensi dan birokratis, merupakan
kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat selama ini.
Fenomena pelayanan publik tersebut disebabkan antara lain oleh masih
banyaknya fungsi dan peran kelembagaan yang tumpang tindih,
pemerintahan yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur
e-Government, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani,
transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas; serta
sistem insentif, penghargaan dan sanksi belum memadai.
Banyak sudah contoh yang ditemukan di kehidupan masyarakat itu
sendiri tentang fakta bahwa birokrasi masih belum bisa menjadi “pelayan
public” yang ideal. Misalnya saja dalam hal pembuatan KTP (kartu tanda
penduduk) yang di beberapa daerah di indoenesia masih saja sulit untuk
mendapatkan pelayanan seputar pembuatannya mulai dari “pungutan
liar”, waktu yang lama untuk bisa mendapatkan KTP serta cara yang
berbelit-belit yaitu harus banyak pintu yang harus dilewati, selain KTP juga
ada lagi yaitu seperti mendapatkan surat keterangan tidak mampu untuk
warga miskin serta banyak lagi. Ada kesan di pihak birokrasi kalau mereka
itu bukanlah yang harusnya melayani kepentingan rakyat akan tetapi
mereka adalah seorang pejabat tinggi Negara yang seharusnya rakyat itu
tidak punya hak apa-apa atas mereka. Banyak juga fenomena yang bisa
ditemukan di kehidupan sehari-hari seputar penyelewangan jabatan para
birokrat misalnya saja kendaraan dinas yang berplat merah yaitu
seharusnya kendaran itu hanya bisa digunakan pada saat keperluan
kantor dan bukan pribadi seperti belanja di mall atau digunakan untuk
tamasya keluarga bahkan mudik sekalipun. Padahal itu bukan hak mereka
untuk menggunakan kendaraan dinas atas nama kepentingan pribadi.
Selain itu juga, birokrasi di Indonesia ini sepertinya memang memiliki
budaya yang sulit diberantas seperti misalnya, banyak pegawai yang jika
hari kerja tetapi diselingi oleh libur panjang maka ia malas untuk masuk
kerja atau bahkan jika atasannya tidak masuk kerja, mereka jadi malas-
malasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Karena mindset
mereka adalah mereka tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa kepada
rakyat akan tetapi tanggung jawab terhadap atasan yang sangat besar
karena mereka diangkat oleh atasan. Padahal benar-benar pemikiran
seperti itu salah.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi
sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai
program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan
untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan
tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di
dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan
(termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan
adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat
menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang
tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya
dalam hal pelayanan publik).
Seperti itulah realita yang ada dalam tubuh birokrasi kita. Masih
jauh dari kata “ideal”. Untuk itu, maka diperlukannya regulasi dari
pemerintah agar birokrasi ini bisa dijadikan lebih baik lagi. Yaitu dengan
segera melaksanakan Reformasi Birokrasi dalam pelayanan public saat
ini. Melalui pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahan, birokrasi memiliki
arti dan peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pentingnya birokrasi terletak pada pengaruhnya terhadap
efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan dalam perjuangan
mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hal tersebut dilakukannya
melalui pelaksanaan pengelolaan kebijakan dan pelayanan masyarakat
secara professional dan senantiasa terarah pada meningkanya
kesejahteraan, kemandirian, daya saing, kemajuan perekonomian seluruh
rakyat, serta terpeliharanya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara
bangsa.
Dalam hubungan itu, konsep dan prakarsa reformasi birokrasi tidak
terlepas dari pertimbangan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kondisi, dinamika, dan kinerja birokrasi, meliputi baik faktor-faktor internal
birokrasi maupun faktor-faktor lingkungan strategis, termasuk pemahaman
mengenai posisi dan peran birokrasi dalam sistem administrasi negara
kita. Keseluruhan faktor tersebut perlu dipertimbangkan dalam
menentukan “format birokrasi” yang dikehendaki dan berkemampuan
merespon tantangan lingkungan strategis yang semakin kompleks dan
meningkat.
Dengan menggunakan pendekatan manajemen strategis, rencana
reformasi birokrasi bertolak dari berbagai fenomena yang dinilai menjadi
kelemahan birokrasi yang telah diuraikan sebelumnya untuk selanjutnya
dicarikan solusinya. Solusi tersebut terarah pada pengurangan kelemahan
sehingga terwujud birokrasi yang mampu menangkap peluang-peluang
dan merespon tantangan yang merupakan tuntutan masyarakat dan
dinamika global.
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada pelayanan publik
meliputi aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM. Rencana tindak
ke depan berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut. Pertama, untuk
mengatasi tumpang tindihnya fungsi dan peran kelembagaan perlu
dilakukan reformulasi kelembagaan yang ada dengan pembenahan
struktur penjabaran stugas dan fungsi yang jelas dan tidak tumpang tindih,
peninjauan kembali peraturan perundang-undangan mengenai
memberikan pelayanan publik yang tumpang tindih, menata kembali
sistem dan prosedur pelayanan publik, dan menempatkan orang yang
tepat pada jabatan/pekerjaan yang tepat, meningkatkann komitmen dan
kompetensi pelayanan. Keempat, masih menguatnya sikap dan perilaku
dilayani bukan melayani merupakan penyakit birokrasi yang akut. Hal ini
dapat dirubah dengan melakukan dan membangun pola pikir aparatur
yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara
pemerintah dan masyarakat dalam penyelenmggaraan pelayanan publik,
mengurangi peran lembaga pemerintah untuk hal-hal yang sudah dapat
dilakukan masyarakat, membangun organisasi pemerintah berdasarkan
pada kepercayaan, dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada
kepuasan pelanggan. Kelima, standar pelayanan yang meliputi tingkat
biaya, prosedur pelayanan, dan jangka waktu pelayanan yang belum
jelas. Hal ini perlu ditangani dengan jalan mendorong terciptanya
lembaga pelayanan publik yang standar dan terukur, dengan membangun
sistem standarisasi pelayanan publik mulai dari input, proses dan output
dalam pelayanan, kemudian dituangkan dalam SOP yang transparan
sebagai pedoman bagi setiap lembaga pelayanan, dalam upaya
mendorong dan prosedur yang lebih baik dalam pelayanan, dan
meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Keenam, sistem insentif yang lemah perlu diperbaiki dengan
lebih menekankan keseimbangan “kualifikasi, kinerja, dan penghargaan”,
merubah peraturan perun-dang-undangan tentang sistem remunerasi
yang menjamin terpemenuhinya standar hidup layak dan kesejahtraan
PNS, serta berorientasi pada “kelayakan kualifikasi dan kinerja pegawai
dengan penghasilan yang diterima”. Ketujuh, penghargaan dan sanksi
belum memadai. Hal ini perlu diperbaiki dengan membangun sistem
penilaian kinerja dan pengawasan yang berorientasi pada pemberian
penghargaan dan sanksi pada individu pada setiap institusi pemerintah,
dan didukung dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan
tentang pemberian penghargaan dan sanksi yang tepat.
Atau lepas dari itu, melihat apa yang menjadi kenyataan tentang
bagaimana kurangnya pelayanan public yang dilakukan oleh birokrasi,
maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi persoalan kemunduran
tersebut, sebagai solusi strateginya perlu memperhatikan beberapa hal,
yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma birokrasi mengenai konsep
pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan
kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan
penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat
harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan daerah
yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan publik
dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya; (5) adanya
mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik
antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan
yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan
publik; (7) adanya upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi
publik (administrative reform); (8) adanya upaya untuk memberdayakan
masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan demokratis, dst.
Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya perubahan
yang dilakukan secara sadar, untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali,
dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang
dinamis. Upaya tersebut, dikakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi
secara tepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sebagaimana
diamanatkan konstitusi. Kesadaran diri untuk melakukan upaya
perubahan ke arah yang lebih baik, merupakan cerminan dari sebuah
kebutuhan. Kebutuhan tersebut, bertitik tolak dari fakta adanya peran
birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini,
sesungguhnya juga menunjukkan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan
antara apa sebenarnya diharapkan dengan fakta aktual mengenai peran
birokrasi dewasa ini. Reformasi birokrasi memerlukan proses, tahapan
waktu, kesinambungan dan ketertiban sebagai kesatuan komponen yang
saling terkait dan berinteraksi dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan
reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan
aparatur negara yang amanah dan mampu mendukung pembangunan
nasional serta menjawab kebutuhan dinamika bangsa berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar
bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan
barang-barang kebutuhan publik. Dalam menyusun arah reformasi
birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya perubahan
lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarkat
universal, seperti yang dikemukakan berikut : Gejala Lama
Sekarang/Akan Datang Unskilled Work (pekerjaan tanpa keahlian)
Knowledge work (pekerjaan dengan keahlian) Meaningless repetitive task
(pekerjaan berulang tak bermakna Innovation and caring (menemukan
cara baru dan punya kepedulian) Individual work (pekerjaan perorangan)
Team work (pekerjaan kelompok) Functional-based work (pekerjaan
berbasis fungsional) Team work (pekerjaan kelompok) Single skilled (satu
bidang keahlian) Multiskilled (beragam keahlian) Power of bosses (atasan
berkuasa) Power of costumers/public/stakeholder (konsumen/public
berkuasa) Coordination from above (koordinasi dari atasan) Coordination
among pears (koordinasi antar rekan kerja) Sumber : Gifford and Pinchot,
1993 Berikut ini perbandingan dari system birokrasi dan kemungkinan
perubahan menjadi arah reformasi sebagai berikut : Sistem Birokrasi
Sistem Pemerintahan Enterpreuner Rowing (mendayung/bekerja sendiri)
Steering (menyetir/mengarahkan) Service (melayani) Empowering
(memberdayakan) Monopoly (menguasai sendirian) Competition (ada
persaingan) Rule-driven (digerakan oleh aturan) Mission driven (digerakan
oleh misi) Budgeting inputs (menunggu anggaran) Funding outcomes
(menghasilkan dana) Bureaucracy-driven (dikendalikan birokrat) Customer
driven (dikendalikan pelanggan/pembayaran pajak Spending
(pengeluaran) Earning (penghasilan/tabungan) Curing (penyembuhan)
Preventing (pencegahan) Hierarchy (berjenjang) Teamwork/participation
(pelibatan/kerja kelompok) Organization (organisasi, lembaga) Market
(pasar, keseimbangan orang banyak) Dalam praktiknya di Negara dunia
ketiga yang memiliki sifat patron-client yang kental, ciri hirarkis birokrasi
weber, dianggap berdampak telah mematikan inisiatif masyarakat dan
kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien. Contoh birokrasi
yang terlalu hirarkis, terlihat ketika ada kebiasaan kerja bahwa setiap hal
atau pekerjaan harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari
atasan. Akibatnya kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi
menjadi berkurang. Kualitas pelayanan birokrasi dinilai buruk, lama,
berbelit-belit. Hal itu berbeda sekali dengan swasta yang memberikan
pelayanan interaktif, kompetitif dan cepat. Jika tidak begitu, swasta
khawatir akan ditinggalkan oleh pelanggannya. Dalam model
enterpreuner, pemerintah dan birokrasi hanya mengarahkan, bukan
mengurus semua bidang, melakukan pemberdayaan masyarkat, saling
bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik, digerakan oleh misi
yang ditetapkan oleh Negara bukan aturan yang dibuat sendiri,
menghasilkan pendanaan bukan menunggu anggaran, dikendalikan oleh
warga Negara pembayar pajak, memperhitungkan tabungan, mencegah
daripada mengobati, melakukan kerja kelompok bukan kerja individu dan
memperhatikan kemauan pasar atau publik. Sebelum adanya kebijakan
zero growth, kecenderungan jumlah personilnya dibuat membesar untuk
menampung pencari kerja dan para kader politiknya. Keadaan itu
menunjukan gejala over-bureaucratic, jumlah personal tidak sebanding
dengan beban kerja birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi ini jika tidak
dibatasi peran dan fungsinya maka dengan sendirinya akan “mengurusi”
dan memaksa masuk semua bidang kemasyarakat menjadi urusannya,
yang semestinya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri. Padahal urusan
masyarakat dan pasar tersebut akan lebih cepat, efisien dan bisa berjalan
dengan sendirinya tanpa memerlukan campur tangan berlebihan dari
birokrasi. Berikut ini paradigma baru atau model yang ditawarkan untuk
birokrasi Indonesia masa depan. Sasarannya agar Indonesia mampu
keluar dari terulangnya gejala pembusukan politik dan melanjutkan
penerapan agenda demokratisasi yang sedang dibangun, sebagai
berikut : Model Reformasi Birokrasi Untuk Indonesia Model Model lama
Birokrasi Model baru Birokrasi Kultur dan structural kerja Irasional-hirarkis
Rasional-egaliter Hubungan kerja Komando-intervensionis Partisipan-
outonomus Tujuan kerja Penguasaan, pengendalian public
Pemberdayaan public, demokratisasi Sikap terhadap public Rent-seeking
(ekonomi biaya tinggi) Professional pelayanan public, transparansi biaya
(public accountability) Pola rekruitmen, pengawasan & penghargaan Spoil
System (nepotisme, diskriminasi, reward berdasarkan ikatan primordial-
suku, ras, agama) Merit system (pengangkatan karena keahlian,
[engawasan kolektif, objektif) Model pelayanan Tidak ada kompetisi dalam
pelayanan Kompetitif dalam memberikan pelayanan Keterkaitan dengan
politik Birokrasi berpolitik Netralitas politik birokrasi Perlu dibangun
birokrasi kultur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis, caranya dengan
pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan menggunakan
hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioneer, bukan
memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari
cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, memandang semua
orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan
kemanusiaan, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama
pentingnya. Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-
hirarkis. Birokrasi Indonesia kedepan perlu mendukung dan melakukan
peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarkat untuk berkarya hak
ekspresi masyarakat. Perlu ditingkatkan cara-cara penguasaan
masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap dominasi.
Birokrasi bertindak professional terhadap publik. Berperan menjadi
pelayan masyarkat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada
transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan
informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa diminati
pertanggungjawabannnya (public accountability) lewat dengar pendapat
(hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang.
Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses
demokratisasi. Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara
kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarkat dengan
pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan
rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test,
bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan
nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merist system
(memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi)
bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang
mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). Birokrasi yang
bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas
Negara untuk kepentingan partai politik tertentu.
Iskandar, Dadi J. 2006. Birokrasi Indoensia Kontemporer, Alqaprint:
Sumedang.
Wicaksono, Kristian Widya. 2006. Administrasi dan Birokrasi
Pemerintahan. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Martin Albrow. Birokrasi. Cet.3, 2004 Yogyakarta: Tiara Wacana