Konsep Birokrasi Dari Max Weber

30
Konsep Birokrasi Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan. Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi- Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.

Transcript of Konsep Birokrasi Dari Max Weber

Page 1: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

Konsep Birokrasi

Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada

baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata

“bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi

oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor.

Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan lewat

meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang

mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah

maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan

orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam

konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.

Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah

secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu

saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat

pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya

birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup

Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di

Prussia.

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional.

Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan

Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak

mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber

kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat

di sebuah birokrasi.

Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus)

bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:

Page 2: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang

berkesinambungan; 

2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda

sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi

dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi; 

3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan

rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint); 

4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara

teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia

yang terlatih menjadi diperlukan; 

5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota

sebagai individu pribadi; 

6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya; 

7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini

cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi

modern; dan 

8. sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi

dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam

suatu staf administrasi birokratik. 

Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi,

maka birokrasi tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi

yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi

legal-rasional adalah sebagai berikut:

1. para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya

menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan

mereka; 

Page 3: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

2. terdapat hirarki jabatan yang jelas; 

3. fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; 

4. para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak; 

5. para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya

didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui

ujian; 

6. para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak

pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki.

Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-

keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan; 

7. pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat; 

8. suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas

dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan

(superior); 

9. pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya

maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan; 

10.pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam. 

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana

pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan

(subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab

itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional.

Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak

oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas

penjelasan sebab-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat

atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat

pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya,

organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan

Page 4: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap

kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:

1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain

dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa

dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri.

Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah

korupsi kekuasaan. 

2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian

tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau

lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu

keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan

kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi

akumulasi kekuasaan. 

3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala

pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk

mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang

dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU

(birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara

bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung

dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi

selama pelaksanaan tugas tersebut. 

4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam

membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis.

Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif

Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and

proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat

merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan. 

5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat

yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi,

Page 5: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja

pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa

anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka. 

Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat

dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan

modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis

birokrasi mereka lakukan.

PRAKTIK BIROKRASI

Tipe ideal suatu birokrasi yang dicetuskan oleh Max Weber,

dalam penerapan organisasi birokratik di Indonesia tidak berjalan

seperti yang diuraikan dalam teori. Birokrasi dalam pembangunan

memegang peranan yang sangat penting, namun pada kenyataannya

menimbulkan berbagai keprihatinan dan ketidakpuasan terhadap

keberadaan dan kualitas yang diembannya sebagai aparatur publik

yang dipercaya untuk melaksanakan visi, misi, tujuan serta sasarajn

yang dirumuskan untuk membangun bangsa ini. Dalam praktik

birokrasi di Indonesia, terdapat beberapa aspek yang kontradiktif

dengan teori birokrasi yang dicetuskan oleh Weber, antara lain adalah

sebagai berikut:

1. Sistem Merit Aparatur

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, menurut Weber,

dalam suatu birokrasi, perlu diterapkan merit system pada pegawai.

Kenyataan di dalam praktiknya, mulai dari masalah proses dan pola

rekruitmen pegawai, jenjang karir sampai kepada pemilihan pejabat di

lingkungan birokrat masih terkesan tertutup dan menerapkan

senioritas atau masih belum sepenuhnya berdasarkan pada sistem

merit (merit system). Hal ini mengakibatkan dampak yang cukup

Page 6: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

signifikan terhadap kinerja (performance) sektor publik. Di samping

itu, karakter budaya kerja yang tidak professional, lamban dan tidak

transparan mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap

pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah. Padahal, di era

globalisasi dan persaingan, tuntutan kinerja yang baik, sangat mutlak

dibutuhkan.

Birokrasi di Indonesia umumnya masih belum memperlihatkan

sikap yang belum profesional saat melaksanakan pelayanan dan

mengemban tugas pemerintahan. Hal ini dapat disebabkan oleh

belum terbangunnya sistem kompensasi berdasarkan kinerja; serta

kode etik (code of ethics) kepegawaian yang mengarah pada

kesanggupan untuk terus meningkatkan prestasi, menjunjung

integritas, mematuhi pada peraturan dan kejujuran, menjaga sikap sopan

dan santun sebagai aparatur.

2. Citra Inefisiensi Praktik Birokrasi

Praktik birokrasi pemerintahan di Indonesia tidak simultan

menampilkan citra efisiensi seperti yang disampaikan oleh Weber.

Bahkan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang serta kekuasaan

oleh oknum aparatur pemerintah telah sangat merugikan keuangan

negara. Fakta-fakta yang terungkap dan temuan-temuan kecurangan dan

penyelewengan keuangan negara telah dipublikasikan di berbagai

surat kabar nasional maupun daerah pada Era Reformasi yang lebih

transparan ini. Termasuk didalamnya adalah berita hasil pemeriksaan

laporan keuangan pemerintah oleh BPK, sampai kepada berita

temuan korupsi oleh KPK. Berita dan diskusi tentang pemberantasan

korupsi kolusi, korupsi, nepotismo serta pencegahan kebocoran serta

pemborosan kekayaan dan keuangan negara memberikan nuansa

transparansi yang berbeda di era reformasi ini dengan era sebelumnya.

Hasil temuan tersebut juga memberikan bukti nyata betapa

'semrawutnya' tata birokrasi pemerintahan dan keuangan di negara kita

Page 7: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

ini. Hal ini tidak saja menjadi pelanggaran secara hukum saja, lebih jauh

lagi, hal ini dapat mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat

kepada pemerintah.

Birokrasi yang profesional dan bersih sangat besar

pengaruhnya terhadap peningkatan kepercayaan masyarakat kepada

pemerintah (Cooper, 2008). Pemerintahan yang kuat di Indonesia

harus didukung oleh birokrasi yang profesional serta memiliki tingkat

akuntabilitas yang tinggi terhadap masyarakat sebagai client utama

pemerintah. Praktek-praktek kesewenangan atau otoriter, korupsi dan

kolusi tidak bisa ditolerir lagi untuk mewujudkan strong government

dan clean government. Sejak era reformasi, temuan-temuan yang

berindikasi korupsi dan ketidakefisienan di sektor publik dilaporkan

oleh satu lembaga pemeriksa keuangan negara (berdasarkan

perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23E ayat 1), yaitu Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada DPR/DPRD. Berdasarkan

mandat dari Undang Undang Paket Keuangan Negara, laporan hasil

pemeriksaan (LHP) dari BPK ini juga harus dipulikasikan kepada

masyarakat, sehingga publik dapat dilibatkan untuk berperan sebagai

control (pengendali dan pengawas) bagi sektor publik. Ini adalah suatu

perubahan yang cukup signifikan untuk meningkatkan transparansi dan

akuntabilitas sektor publik di negara kita. Sejak diberlakukannya

perubahan ketiga UUD 1945 (2001) dan Undang-Undang Paket

Keuangan Negara (2003-2004), temuan hasil pemeriksaan BPK sering

terpampang sebagai berita utama (head- line) di berbagai surat kabar dan

media lainnya.

Meskipun masalah birokrasi ini sudah lama dibicarakan oleh

masyarakat luas, masih belum optimal dan efektifnya langkah-langkah

yang dilakukan untuk menindaklanjuti malpraktik yang dilakukan oleh

para pelaku korupsi di lingkungan administrasi pemerintahan dan

pencucian uang (money laundering) uang negara. Pembenahan

Page 8: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

birokrasi terus dilakukan terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum

atau investigators, mulai dari kejaksaan, kepolisian dan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu upaya yang sudah dilakukan,

agar hasil temuan pemeriksaan keuangan negara yang berindikasi

penyelewengan dan korupsi ditindaklanjuti secara serius oleh pihak-

pihak yang berkaitan adalah penandatanganan kerjasama

(Memorandum of Understanding atau MOU) antara BPK, Kantor

Kejaksaan Republik Indonsia, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI),

Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK. Hal

ini adalah langkah konkrit pembenahan dan reformasi yang dilakukan

pemerintah untuk mengatasi masalah praktik birokrasi di lingkup

administrasi keuangan di Indonesia agar dapat menciptakan

pemerintahan yang bersih dari KKN (clean government) dan

kepemerintahan yang baik (good governance).

Dalam perubahan UUD 1945, reformasi birokrasi didefinisikan

sebagai penataan ulang terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan

yang dijalankan aparatur pemerintah baik di tingkat lokal maupun

nasional. Pendekatan yang digunakan pada konstitusi lebih

merupakan pendekatan sistemik yang secara konseptual lebih

mengutamakan komprehensi dibandingkan ekstensi. Guna

menciptakan pembaruan, penyegaran sikap dan perilaku serta budaya

kerja birokrasi yang lebih tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan

rakyat, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara RI telah

merekomendasikan kebijakan reformasi birokrasi berdasarkan

amandemen landasan konstitusional negara kita. Kebijakan ini dapat

dikelompokkan menjadi empat dimensi yang perlu ditata ulang, yaitu:

(1) masalah restrukturisasi atau pembenahan kelembagaan/organisasi,

(2) masalah rasionalisasi dan relokasi sumber daya aparatur, (3)

masalah ketatalaksanan dan sistem prosedur yang dapat diupayakan

lebih sederhana dan didukung oleh sarana prasarana teknologi yang

Page 9: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

memadai, (4) dekulturisasi budaya lama dengan menginkulturisasi

budaya baru untuk mengatasi permasalahan budaya birokrasi.

Berbagai kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan merupakan

upaya reformasi yang diarahkan cukup tepat untuk mencapai sasaran

yang ditentukan. Namun, pada kenyataannya, permasalahan birokrasi

masih belum bisa diselesaikan secara tuntas di republik ini. Bila kita

telaah dengan seksama, sejak diberlakukannya amandemen UUD 1945,

pembentukan pemerintahan dilakukan melalui instrumen demokrasi yang

bernuansa politis, seperti dilakukannya pemilihan presiden dan pemilihan

kepala daerah secara langsung. Hal ini juga mempengaruhi terhadap

aspek-aspek lainnya disamping aspek politis. Dimana, calon presiden

terpilih akan menyediakan sejumlah kursi mentri bagi orang-orang

yang dianggap olehnya berjasa atas kemenangannya. Bahkan

pengusaha-pengusaha yang menjadi penyandang dana (sponsorship)

pada saat kompetisi mendapatkan kursi yang diduduki presiden

terpilih juga akan mendapatkan kemudahan akses berbagai pelayanan

dari pemerintah. Meskipun hal ini dianggap lumrah dalam kehidupan

berpolitik, namun hal ini dapat menimbulkan ketidakyakinan di

kalangan birokrat terhadap kapasitas kepala pemerintahan terpilih.

Reformasi birokrasi dalam paradigma teoritikal kajian birokrasi lebih

condong pada struktural efisiensi. Beberapa hal yang perlu dipahami

dalam hal ini adalah:

1. Birokrasi sifatnya relatif permanen dan perlu dipahami

sebagai kerangka berpikir kita dalam melakukan reformasi

birokrasi di Indonesia. Jadi, meskipun pemimpin dalam

pemerintahan berganti menduduki kekuasaan, tetap

dibutuhkan agenda reformasi birokrasi yang

berkesinambungan.

2. Perlu dilakukan strategi dan program untuk mewujudkan

professionalitas birokrasi. Hal ini sangat dibutuhkan agar

Page 10: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik dan tanpa

dipengaruhi oleh siapa yang menjadi tampuk pemerintahan

atau tanpa dipengaruhi oleh partai politik apa yang

menjadi pemenangnya.

Fred W. Riggs menjelaskan perbandingan praktik birokrasi di

berbagai negara berkembang dan negara maju dengan melalui model

'prismatic societies' (kondisi masyarakat yang berbeda). Riggs dilahirkan

di Cina dan anak seorang insinyur pertanian, yang bertugas mulai dari

memberikan penyuluhan bagi para petani sampai kepada para

akademisi dan praktisi di lingkungan departemen pertanian di Cina.

Hasil pengamatannya yang pertama dalam pengembangan

administrasi adalah metode yang dikembangkan oleh Amerika dalam

teknik pertaniannya tidak dapat diterapkan di Cina. Menurut Riggs,

produk dasar dalam administrasi publik dapat dibedakan dalam 2 kurun

waktu yang berbeda. Pertama, yang berkembang pada jaman kerajaan

atau sebelum industrialisasi. Yang kedua, adalah produk pada jaman

modern setelah adanya revolusi industrialisasi (Frederickson, 2008:

977-978). Banyak nilai dan norma budaya tradisional suatu negara

yang perlu tetap dipertahankan walaupun secara berkesinambungan

dapat meng-import berbagai pola dan metode yang berkembang.

Jadi, dapat disimpulkan, bahwa meng-import suatu metode atau

strategi yang dilakukan negara lain juga dapat mengakibatkan counter

productive atau kepada hal yang tidak diharapkan terjadi, karena kultur

dan perubahan dinamis masyarakat juga akan mempengaruhinya.

Besarnya pengaruh politik dan kekuasaan mengakibatkan  birokrasi

di Indonesia tidak pernah tenang dan profesional dalam bekerja. Birokrasi

dengan kultur yang dibangunnya, cenderung lebih sibuk melayani

penguasa dari pada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan

masyarakat.  Oleh karena itu, wajah birokrasi pemerintah di Indonesia dari

dulu hingga kini boleh dikatakan belum menunjukkan perubahan yang

Page 11: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

cukup berarti. Birokrasi tetap diliputi berbagai praktik penyimpangan dan

ketidakefisienan. Birokrasi kita sekarang ini dalam banyak hal masih

menunjukkan ”watak buruknya” seperti enggan terhadap perubahan

(status quo), eksklusif, rigit dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh

urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi, yang

secara umum kemudian dipersepsikan memiliki konsekuensi inefektifitas

dan inefisiensi.  Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi

adalah tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu

baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama,

banyaknya pintu layanan yang harus dilewati atau service style yang tidak

berperspektif pelanggan. Turut menyempurnakan buruknya kinerja

birokrasi adalah rendahnya penguasaan kompetensi birokrat yang

disinyalir disebabkan oleh renggangnya kualitas filter rekrutmen dan

rendahnya kualitas pembinaan kepegawaian serta dominannya

kepentingan politis dalam kinerja birokrasi.

Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan

dengan menetapkan standar pelayanan publik, dengan harapan 

pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan dapat terwujud.

Namun  upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut

terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan  yang kurang

efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan

lain-lain adalah sederetan atribut negatif yang ditimpakan kepada

birokrasi. Indikasi tersebut merupakan cerminan bahwa  kondisi birokrasi

dewasa ini dalam  memberikan pelayanan kepada masyarakat masih

belum  sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.

Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari

keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau

dengan kata lain adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari

birokrasi pemerintah. Fenomena “high cost”, kurang responsif, kurang

informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, kurang mau mendengar

Page 12: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

keluhan/saran/aspirasi masyarakat, inefisiensi dan birokratis, merupakan

kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat selama ini.

Fenomena pelayanan publik tersebut disebabkan antara lain oleh masih

banyaknya fungsi dan peran  kelembagaan yang tumpang tindih,

pemerintahan yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur

e-Government, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani,

transparansi biaya dan  prosedur pelayanan  yang belum jelas; serta

sistem insentif, penghargaan dan sanksi  belum memadai.

Banyak sudah contoh yang ditemukan di kehidupan masyarakat itu

sendiri tentang fakta bahwa birokrasi masih belum bisa menjadi “pelayan

public” yang ideal. Misalnya saja dalam hal pembuatan KTP (kartu tanda

penduduk) yang di beberapa daerah di indoenesia masih saja sulit untuk

mendapatkan pelayanan seputar pembuatannya mulai dari “pungutan

liar”, waktu yang lama untuk bisa mendapatkan KTP serta cara yang

berbelit-belit yaitu harus banyak pintu yang harus dilewati, selain KTP juga

ada lagi yaitu seperti mendapatkan surat keterangan tidak mampu untuk

warga miskin serta banyak lagi. Ada kesan di pihak birokrasi kalau mereka

itu bukanlah yang harusnya melayani kepentingan rakyat akan tetapi

mereka adalah seorang pejabat tinggi Negara yang seharusnya rakyat itu

tidak punya hak apa-apa atas mereka. Banyak juga fenomena yang bisa

ditemukan di kehidupan sehari-hari seputar penyelewangan jabatan para

birokrat misalnya saja kendaraan dinas yang berplat merah yaitu

seharusnya kendaran itu hanya bisa digunakan pada saat keperluan

kantor dan bukan pribadi seperti belanja di mall atau digunakan untuk

tamasya keluarga bahkan mudik sekalipun. Padahal itu bukan hak mereka

untuk menggunakan kendaraan dinas atas nama kepentingan pribadi.

Selain itu juga, birokrasi di Indonesia ini sepertinya memang memiliki

budaya yang sulit diberantas seperti misalnya, banyak pegawai yang jika

hari kerja tetapi diselingi oleh libur panjang maka ia malas untuk masuk

kerja atau bahkan jika atasannya tidak masuk kerja, mereka jadi malas-

Page 13: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

malasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Karena mindset

mereka adalah mereka tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa kepada

rakyat akan tetapi tanggung jawab terhadap atasan yang sangat besar

karena mereka diangkat oleh atasan. Padahal benar-benar pemikiran

seperti itu salah.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi

sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai

program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan

pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan

untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan

tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di

dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan

(termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan

adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat

menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur

pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang

tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya

dalam hal pelayanan publik).

Seperti itulah realita yang ada dalam tubuh birokrasi kita. Masih

jauh dari kata “ideal”. Untuk itu, maka diperlukannya regulasi dari

pemerintah agar birokrasi ini bisa dijadikan lebih baik lagi. Yaitu dengan

segera melaksanakan Reformasi Birokrasi dalam pelayanan public saat

ini. Melalui pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahan, birokrasi memiliki

arti dan peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Pentingnya birokrasi terletak pada pengaruhnya terhadap

efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan dalam perjuangan

mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara sebagaimana

diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hal tersebut dilakukannya

melalui pelaksanaan pengelolaan kebijakan dan pelayanan masyarakat

secara professional dan senantiasa terarah pada meningkanya

Page 14: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

kesejahteraan, kemandirian, daya saing, kemajuan perekonomian seluruh

rakyat, serta terpeliharanya kedaulatan  dan keutuhan wilayah negara

bangsa.

Dalam hubungan itu, konsep dan prakarsa reformasi birokrasi tidak

terlepas dari pertimbangan mengenai  faktor-faktor yang mempengaruhi

kondisi, dinamika, dan kinerja birokrasi, meliputi baik faktor-faktor internal

birokrasi maupun faktor-faktor lingkungan strategis, termasuk pemahaman

mengenai posisi dan peran birokrasi dalam sistem administrasi negara

kita. Keseluruhan faktor tersebut perlu dipertimbangkan dalam

menentukan “format birokrasi” yang dikehendaki dan berkemampuan

merespon tantangan lingkungan strategis yang semakin kompleks dan

meningkat.

Dengan menggunakan pendekatan manajemen strategis, rencana

reformasi birokrasi bertolak dari berbagai fenomena yang dinilai menjadi

kelemahan birokrasi yang telah diuraikan sebelumnya untuk selanjutnya

dicarikan solusinya. Solusi tersebut terarah pada pengurangan kelemahan

sehingga terwujud birokrasi yang mampu menangkap peluang-peluang

dan merespon tantangan yang merupakan tuntutan masyarakat dan

dinamika global.

Kelemahan-kelemahan yang melekat pada pelayanan publik

meliputi aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM. Rencana tindak

ke depan berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi

atau menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut. Pertama, untuk

mengatasi tumpang tindihnya fungsi dan peran  kelembagaan perlu

dilakukan reformulasi kelembagaan yang ada dengan pembenahan

struktur penjabaran stugas dan fungsi yang jelas dan tidak tumpang tindih,

peninjauan kembali peraturan perundang-undangan mengenai

memberikan pelayanan publik yang tumpang tindih, menata kembali

sistem dan prosedur pelayanan publik,  dan menempatkan  orang yang

Page 15: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

tepat pada jabatan/pekerjaan yang tepat, meningkatkann komitmen dan

kompetensi pelayanan. Keempat, masih menguatnya sikap dan perilaku

dilayani bukan melayani merupakan penyakit birokrasi yang akut. Hal ini

dapat dirubah dengan melakukan dan membangun pola pikir aparatur

yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara

pemerintah dan masyarakat dalam penyelenmggaraan pelayanan publik,

mengurangi peran lembaga pemerintah untuk hal-hal yang sudah dapat

dilakukan masyarakat, membangun organisasi pemerintah berdasarkan

pada kepercayaan, dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada

kepuasan pelanggan. Kelima, standar pelayanan yang meliputi tingkat

biaya, prosedur pelayanan, dan jangka waktu pelayanan  yang belum

jelas. Hal ini perlu ditangani dengan jalan  mendorong terciptanya

lembaga pelayanan publik yang  standar dan terukur, dengan membangun

sistem standarisasi pelayanan  publik mulai dari input, proses dan output

dalam pelayanan, kemudian dituangkan dalam SOP yang transparan

sebagai pedoman bagi setiap lembaga pelayanan, dalam upaya

mendorong  dan prosedur  yang lebih baik dalam pelayanan, dan

meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Keenam, sistem insentif yang lemah perlu diperbaiki dengan 

lebih menekankan keseimbangan “kualifikasi, kinerja, dan penghargaan”,

merubah  peraturan perun-dang-undangan tentang sistem remunerasi 

yang menjamin terpemenuhinya standar hidup layak dan  kesejahtraan

PNS, serta berorientasi pada “kelayakan kualifikasi dan kinerja pegawai

dengan penghasilan yang diterima”. Ketujuh, penghargaan dan sanksi 

belum memadai. Hal ini perlu diperbaiki dengan membangun sistem

penilaian kinerja dan pengawasan yang  berorientasi pada pemberian

penghargaan dan sanksi pada individu pada setiap institusi pemerintah,

dan didukung dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan

tentang pemberian penghargaan dan sanksi yang tepat.

Page 16: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

Atau lepas dari itu, melihat apa yang menjadi kenyataan tentang

bagaimana kurangnya pelayanan public yang dilakukan oleh birokrasi,

maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi persoalan kemunduran

tersebut, sebagai solusi strateginya perlu memperhatikan beberapa hal,

yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma birokrasi mengenai konsep

pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan

kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan

penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat

harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan daerah

yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan publik

dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya; (5) adanya

mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik

antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan

yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan

publik; (7) adanya upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi

publik (administrative reform); (8) adanya upaya untuk memberdayakan

masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan demokratis, dst.

Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya perubahan

yang dilakukan secara sadar, untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali,

dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang

dinamis. Upaya tersebut, dikakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi

secara tepat dan konsisten, guna  menghasilkan manfaat sebagaimana

diamanatkan konstitusi. Kesadaran diri untuk melakukan upaya

perubahan ke arah yang lebih baik, merupakan cerminan dari sebuah

kebutuhan. Kebutuhan tersebut, bertitik tolak dari fakta adanya peran

birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini,

sesungguhnya juga menunjukkan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan

antara apa sebenarnya diharapkan dengan fakta aktual mengenai peran

birokrasi dewasa ini. Reformasi birokrasi memerlukan proses, tahapan

waktu, kesinambungan dan ketertiban sebagai kesatuan komponen yang

Page 17: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

saling terkait dan berinteraksi dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan

reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bertujuan  untuk mewujudkan

aparatur negara yang amanah dan mampu mendukung pembangunan

nasional serta menjawab kebutuhan dinamika bangsa berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945.

  Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar

bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan

barang-barang kebutuhan publik. Dalam menyusun arah reformasi

birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya perubahan

lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarkat

universal, seperti yang dikemukakan berikut : Gejala Lama

Sekarang/Akan Datang Unskilled Work (pekerjaan tanpa keahlian)

Knowledge work (pekerjaan dengan keahlian) Meaningless repetitive task

(pekerjaan berulang tak bermakna Innovation and caring (menemukan

cara baru dan punya kepedulian) Individual work (pekerjaan perorangan)

Team work (pekerjaan kelompok) Functional-based work (pekerjaan

berbasis fungsional) Team work (pekerjaan kelompok) Single skilled (satu

bidang keahlian) Multiskilled (beragam keahlian) Power of bosses (atasan

berkuasa) Power of costumers/public/stakeholder (konsumen/public

berkuasa) Coordination from above (koordinasi dari atasan) Coordination

among pears (koordinasi antar rekan kerja) Sumber : Gifford and Pinchot,

1993 Berikut ini perbandingan dari system birokrasi dan kemungkinan

perubahan menjadi arah reformasi sebagai berikut : Sistem Birokrasi

Sistem Pemerintahan Enterpreuner Rowing (mendayung/bekerja sendiri)

Steering (menyetir/mengarahkan) Service (melayani) Empowering

(memberdayakan) Monopoly (menguasai sendirian) Competition (ada

persaingan) Rule-driven (digerakan oleh aturan) Mission driven (digerakan

oleh misi) Budgeting inputs (menunggu anggaran) Funding outcomes

(menghasilkan dana) Bureaucracy-driven (dikendalikan birokrat) Customer

driven (dikendalikan pelanggan/pembayaran pajak Spending

Page 18: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

(pengeluaran) Earning (penghasilan/tabungan) Curing (penyembuhan)

Preventing (pencegahan) Hierarchy (berjenjang) Teamwork/participation

(pelibatan/kerja kelompok) Organization (organisasi, lembaga) Market

(pasar, keseimbangan orang banyak) Dalam praktiknya di Negara dunia

ketiga yang memiliki sifat patron-client yang kental, ciri hirarkis birokrasi

weber, dianggap berdampak telah mematikan inisiatif masyarakat dan

kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien. Contoh birokrasi

yang terlalu hirarkis, terlihat ketika ada kebiasaan kerja bahwa setiap hal

atau pekerjaan harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari

atasan. Akibatnya kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi

menjadi berkurang. Kualitas pelayanan birokrasi dinilai buruk, lama,

berbelit-belit. Hal itu berbeda sekali dengan swasta yang memberikan

pelayanan interaktif, kompetitif dan cepat. Jika tidak begitu, swasta

khawatir akan ditinggalkan oleh pelanggannya. Dalam model

enterpreuner, pemerintah dan birokrasi hanya mengarahkan, bukan

mengurus semua bidang, melakukan pemberdayaan masyarkat, saling

bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik, digerakan oleh misi

yang ditetapkan oleh Negara bukan aturan yang dibuat sendiri,

menghasilkan pendanaan bukan menunggu anggaran, dikendalikan oleh

warga Negara pembayar pajak, memperhitungkan tabungan, mencegah

daripada mengobati, melakukan kerja kelompok bukan kerja individu dan

memperhatikan kemauan pasar atau publik. Sebelum adanya kebijakan

zero growth, kecenderungan jumlah personilnya dibuat membesar untuk

menampung pencari kerja dan para kader politiknya. Keadaan itu

menunjukan gejala over-bureaucratic, jumlah personal tidak sebanding

dengan beban kerja birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi ini jika tidak

dibatasi peran dan fungsinya maka dengan sendirinya akan “mengurusi”

dan memaksa masuk semua bidang kemasyarakat menjadi urusannya,

yang semestinya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri. Padahal urusan

masyarakat dan pasar tersebut akan lebih cepat, efisien dan bisa berjalan

dengan sendirinya tanpa memerlukan campur tangan berlebihan dari

Page 19: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

birokrasi. Berikut ini paradigma baru atau model yang ditawarkan untuk

birokrasi Indonesia masa depan. Sasarannya agar Indonesia mampu

keluar dari terulangnya gejala pembusukan politik dan melanjutkan

penerapan agenda demokratisasi yang sedang dibangun, sebagai

berikut : Model Reformasi Birokrasi Untuk Indonesia Model Model lama

Birokrasi Model baru Birokrasi Kultur dan structural kerja Irasional-hirarkis

Rasional-egaliter Hubungan kerja Komando-intervensionis Partisipan-

outonomus Tujuan kerja Penguasaan, pengendalian public

Pemberdayaan public, demokratisasi Sikap terhadap public Rent-seeking

(ekonomi biaya tinggi) Professional pelayanan public, transparansi biaya

(public accountability) Pola rekruitmen, pengawasan & penghargaan Spoil

System (nepotisme, diskriminasi, reward berdasarkan ikatan primordial-

suku, ras, agama) Merit system (pengangkatan karena keahlian,

[engawasan kolektif, objektif) Model pelayanan Tidak ada kompetisi dalam

pelayanan Kompetitif dalam memberikan pelayanan Keterkaitan dengan

politik Birokrasi berpolitik Netralitas politik birokrasi  Perlu dibangun

birokrasi kultur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis, caranya dengan

pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan menggunakan

hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioneer, bukan

memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari

cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, memandang semua

orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan

kemanusiaan, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama

pentingnya. Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-

hirarkis. Birokrasi Indonesia kedepan perlu mendukung dan melakukan

peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarkat untuk berkarya hak

ekspresi masyarakat. Perlu ditingkatkan cara-cara penguasaan

masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap dominasi.

Birokrasi bertindak professional terhadap publik. Berperan menjadi

pelayan masyarkat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada

transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan

Page 20: Konsep Birokrasi Dari Max Weber

informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa diminati

pertanggungjawabannnya (public accountability) lewat dengar pendapat

(hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang.

Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses

demokratisasi. Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam

meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara

kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarkat dengan

pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan

rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test,

bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan

nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merist system

(memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi)

bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang

mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). Birokrasi yang

bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas

Negara untuk kepentingan partai politik tertentu.

Iskandar, Dadi J. 2006. Birokrasi Indoensia Kontemporer, Alqaprint:

Sumedang.

Wicaksono, Kristian Widya. 2006. Administrasi dan Birokrasi

Pemerintahan. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Martin Albrow. Birokrasi. Cet.3, 2004 Yogyakarta: Tiara Wacana