Konsekuensi Yuridis Terhadap Tindakan Tidak Sah Aparat Pemerintah
-
Upload
alitamarta -
Category
Documents
-
view
184 -
download
3
Transcript of Konsekuensi Yuridis Terhadap Tindakan Tidak Sah Aparat Pemerintah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara merupakan suatu bentuk organisasi masyarakat yang hidup
dalam suatu wilayah dan mempunyai tujuan yang sama. Terdapat banyak
rumusan dari para pakar mengenai tujuan negara. Menurut pendapat
Aristoteles, tujuan negara adalah supaya warga negaranya dapat hidup
baik dan bahagia1. Menurut pendapat Epicuros, tujuan negara adalah
menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta ketentraman jiwa warga
negara2. Menurut John Locke, tujuan negara adalah untuk memelihara dan
menjamin hak- hak asasi manusia3. Menurut pendapat Immanuel Kant,
tujuan negara adalah menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam
keadaan hukum4. Menurut Franz Magnis Suseno, tujuan negara adalah
memajukan kepentingan- kepentingan masyarakat seoptimal mungkin
berdasarkan solidaritas seluruh masyarakat dengan menjamin adanya
kebebasan dari seluruh anggota masyarakat dan tidak mendapatkan
kesewenang- wenangan dari penguasa5. Tujuan negara Kesatuan Republik
1 Soehino, 1999, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 24.2 Ibid, hlm. 31.3 Ibid, hlm. 110.4 Hassan Suryono, 2008, Ilmu Negara Suatu Pengantar ke Dalam Politik Hukum Kenegaraan, UNS Press, Surakarta, hlm. 31.5 Ibid, hlm. 25.
1
Indonesia adalah membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial6. Menurut pendapat
Miriam Budiardjo, tujuan negara (terlepas dari apapun ideologinya)
meliputi mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya dan
menegakkan keadilan melalui badan- badan pengadilan7.
Dalam rangka mencapai tujuannya, negara dijalankan oleh suatu
pemerintah, dengan kata lain pemerintah adalah pelaksana kekuasaan
negara. Pemerintah merupakan suatu organisasi yang berwenang untuk
merumuskan dan melaksanakan keputusan- keputusan yang mengikat bagi
seluruh penduduk di dalam wilayahnya8. Kekuasaan pemerintah tersebut
rawan disalahgunakan oleh orang- orang yang menjadi pejabat/ aparat
pemerintah. Sebagai respon atas kesewenang- wenangan penguasa/
pemerintah timbul konsep negara hukum (rechstaat). Menurut pendapat
Frederich Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep negara hukum
adalah adanya peradilan administrasi negara yang berwenang menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah9.
6 Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia amandemen IV.7 Miriam Budiardjo, 2005, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm. 46.8 Ibid, hlm. 44.9 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hlm.159.
2
Dalam menjalankan tugasnya, aparat pemerintah tidak lepas dari
potensi untuk melakukan perbuatan yang melanggar atau tidak sah jika
ditinjau dari segi hukum. James Madison, dalam tulisannya yang berjudul
Federalist Papers menyatakan bahwa10:
“if men were angels, no government would be necessary .If angels were to govern men neither external nor internal controls on government would be necessary”.
Terjemahan bebas:
“Jika manusia adalah malaikat maka tidak perlu ada pemerintah. Jika
malaikat yang memerintah manusia maka pengawasan/ pengendalian/
kontrol dari luar (eksternal) atau dari dalam (internal) pada pemerintah
tidak diperlukan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada paragraf- paragraf diatas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimanakah konsekuensi yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah
yang tidak absah menurut hukum?”.
BAB II
PEMBAHASAN
10 Winahyu Erwiningsih, makalah “Peranan Hukum dalam Pertanggung jawaban Perbuatan Pemerintahan (Bestuurshandeling) Suatu kajian dalam Kebijakan Pembangunan Hukum”.
3
A. Pemerintah
1. Pengertian:
Dalam pengertian sempit, pemerintah identik dengan
pelaksana kekuasaan eksekutif. Menurut pandangan klasik,
pelaksana kekuasaan eksekutif adalah pihak- pihak yang
melaksanakan kebijakan- kebijakan publik (kenegaraan dan atau
pemerintahan) melalui peraturan perundang- undangan yang telah
dibuat oleh pelaksana kekuasaan legislatif. Secara teoritis
pemerintah mempunyai kedudukan sebagai bagian dari organisasi
negara dan sebagai administratur negara. Sebagai organ negara
pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan
sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik di
lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan
(bestuuren)11. ‘Administrasi’ (Negara) adalah badan atau jabatan
dalam lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan
mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan
pemerintahan baik di lapangan pengaturan, maupun
penyelenggaraan administrasi negara12.
11 Iskatrinah, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang DepHan 2004.12 Ibid.
4
Menurut S. Prajudi Atmosudirdjo, Birokrasi (Bureaucracy)
atau Administrasi Negara atau Tata Usaha Negara (TUN) meliputi
tiga hal, yaitu13:
a. aparatur negara, aparatur pemerintah, atau institusi politik
(kenegaraan);
b. fungsi atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan
pemerintah operasional; dan
c. proses teknis penyelenggaraan Undang-undang.
Ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan melalui
aktivitas pejabat birokrasi atau “aparatur negara yang menjalankan
tugas administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan
administratif (administratieve beschikking) yang bersifat
individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan
administratif, yang bersifat organisasional, manajerial,
informasional atau operasional.
Adapun yang dikategorikan sebagai pejabat birokrasi atau
pejabat tata usaha negara berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
adalah apa saja dan siapa saja berdasarkan peraturan perundang-
undangan melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan.
Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah kedudukan
13 Eman Suparman, makalah “Badan Peradilan Untuk Keputusan Birokrasi”,
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/2K%20Pengantar-UU-TUN-FoMed.pdf, diakses 5 Oktober 2010.
5
struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran
pemerintahan dan bukan pula nama resminya, melainkan fungsi
urusan pemerintahan. Apabila fungsi yang dijalankan adalah
urusan pemerintahan, maka oleh Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara dianggap sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara/Pejabat Birokrasi. Oleh karena itu, suatu Badan Hukum
Perdata, misalnya Perseroan Terbatas (PT) atau Yayasan dapat
dianggap sebagai Badan atau Pejabat Birokrasi, jika kepada Badan
Hukum tersebut diserahi tugas menjalankan urusan pemerintahan14.
B. Perbuatan Tidak Sah Aparat Pemerintah
1. Pengertian Perbuatan Aparat Pemerintah:
Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dapat melakukan dua
macam perbuatan yaitu; perbuatan biasa (feitelijkehandelingen) dan
perbuatan hukum (rechtshandelingen). Perbuatan yang menjadi
fokus dalam kajian hukum tata pemerintahan adalah perbuatan
dalam kategori yang kedua, yaitu perbuatan hukum. Dengan kata
lain, perbuatan hukum pemerintahan adalah perbuatan yang
dilakukan oleh Badan atau Aparat/ Pejabat Tata Usaha Negara
dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Dalam
perbuatan hukum aparat tersebut terdapat beberapa unsur, yaitu15:
14 Ibid.15 Iskatrinah, ibid.
6
a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam
kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat
perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan
prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan
fungsi pemerintahan;
c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk
menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka
pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
2. Kewenangan Perbuatan Aparat Pemerintah:
Menurut Prof. Dr. Muchsan, S.H, kewenangan dari aparat dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu kewenangan atributif dan
kewenangan non atributif. 16
a. Kewenangan yang bersifat atributif (orisinil) yaitu
kewenangan yang diberikan secara langsung oleh peraturan
perundang-undangan. Kewenangan atributif bersifat
permanent atau tetap ada selama undang-undang
mengaturnya. Misalnya Presiden berhak mengajukan
Rancangan Undang-Undang (RUU). Kewenangan ini secara
langsung diberikan oleh Peraturan perundang-undangan
yakni Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Negara Dasar
16 Guru besar Hukum Administrasi Negara UGM7
Republik Indonesia 1945 amandemen IV. Gubernur berhak
membuat Peraturan Gubernur sebagaimana diatur dalam UU
No. 32 Tahun 2004. Keabsahan dari kewenangan ini tidak
perlu dipertanyakan karena sumbernya dari peraturan
perundang-undangan.
b. Kewenangan yang bersifat non atributif (non orisinil) yaitu
kewenangan yang diperoleh karena pelimpahan wewenang
dari aparat yang lain. Kewenagan non atributif bersifat
insidental dan berakhir jika pejabat yang berwenagan telah
menariknya kembali. Misal penerbitan izin oleh Bupati atau
Kepala Daerah seharusnya dilakukan oleh Bupati itu sendiri,
namun pada saat Bupati tersebut tidak ditempat, maka dapat
diwakilkan pada Wakil Bupati sebagai penjabat sementara.
Dalam politik hukum pelimpahan wewenang dibedakan
menjadi dua macam yaitu mandat dan delegasi. 17
Dalam pelimpahan wewenang secara mandat, yang
beralih hanya sebagian wewenang. Oleh sebabnya
pertanggung jawaban ada pada pemberi dan penerima
kewenangan.
17 istilah dalam mandate (mandans = yang melimpahkan mandat, mandataris = yang mendapat mandat)istilah dalam delegasi (delegans = yang melimpahkan delegasi, delegataris = yang mendapat delegasi)
8
Dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, yang
beralih adalah seluruh wewenang dari delegans.
Sehingga apabila ada penuntutan, maka yang
bertanggung jawab sepenuhnya adalah penerima
kewenangan.
3. Penyebab- Penyebab Tidak Sahnya Kewenangan Aparat
Pemerintah untuk Melakukan Perbuatan Hukum:
Menurut pendapat Prof. Dr. Muchsan, S.H., kewenangan aparat
pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum menjadi tidak sah
karena:
a. Alasan materi/ substansi (ratione materiele):
Kewenangan tidak sah karena materi/ substansi tidak
termasuk dalam kewenangan aparat pemerintah tersebut.
Misalnya, berdasarkan Undang- Undang Dasar, Presiden
berhak mengajukan Rancangan Undang- Undang
sedangkan Wakil Presiden tidak berhak.
b. Alasan wilayah hukum/ yurisdiksi wilayah (ratione locus):
Kewenangan tidak sah karena tempat kejadian perkara tidak
termasuk dalam yurisdiksi aparat pemerintah tersebut.
Misalnya, Polres Surabaya tidak wenang menangani kasus
9
yang terjadi di wilayah hukum Polres Sidoarjo dan
sebaliknya, meskipun yang menangkap tersangka adalah
Polres Surabaya.
c. Alasan waktu (ratione temporis):
Kewenangan tidak sah karena telah lampau/ lewat waktu.
Misal suatu kasus telah terjadi pada waktu yang lampau dan
baru diungkit sekarang, padahal berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang mengatur hal tersebut kasus
tersebut telah daluarsa.
C. Konsekuensi Yuridis Perbuatan Tidak Sah Aparat Pemerintah
Dalam menjalankan tugasnya aparat pemerintah harus selalu
berpedoman pada sah atau tidaknya kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum. Apabila kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum tersebut sah maka hasil perbuatan hukum (dalam bentuk
pembuatan suatu keputusan atau produk hukum) tetap sah (legitimate)
untuk dilaksanakan. Sebaliknya, apabila kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum tersebut tidak sah (ilegitimate) maka timbul konsekuensi
bahwa perbuatan hukum tersebut menjadi batal. Kebatalan tersebut dapat
dijabarkan melalui teori kebatalan (nietig theorie) sebagai berikut:
1. batal mutlak (absolute nietig).
10
2. batal demi hukum (nietig van rechts wege).
3. dapat dibatalkan (vernietig baar).
Ketiga kemungkinan kebatalan diatas dapat ditinjau dari dua hal, yaitu
dari akibat hukum/ konsekuensi yuridis yang timbul dan dari pejabat/
aparat yang berwenang untuk menyatakan kebatalan.
1. Batal Mutlak (absolute nietig):
a. Konsekuensi yuridis: semua perbuatan hukum yang pernah
dilakukan dianggap belum pernah ada sehingga keadaan harus
dikembalikan seperti semula.
Misalnya, seseorang menyewa rumah pada orang yang berada
dibawah pengampuan karena pemboros. Setelah perjanjian
berjalan beberapa waktu ternyata pengampu dari si pemboros
mengetahui hal tersebut dan meminta pembatalan pada
pengadilan. Permintaan pembatalan tersebut dikabulkan oleh
pengadilan. Karena hal tersebut maka perbuatan sewa-
menyewa tersebut dianggap tidak sah dan harus batal.
b. Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: hanya pejabat
yudikatif saja.
2. Batal Demi Hukum (nietig van rechts wege):
11
a. Konsekuensi yuridis ada dua alternatif:
Semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan
dianggap belum pernah ada.
Sebagian perbuatan dinyatakan sah, sedangkan
sebagian yang lain dinyatakan batal.
Misalnya, dalam kasus jaksa Agung Hendarman Supandji yang
tetap bertugas walaupun telah lewat masa jabatannya.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Hendarman
Supandji diberhentikan. Saat pembacaan putusan, MK
menyatakan bahwa sejak palu putusan diketok maka
Hendarman Supandji tidak lagi berwenang sebagai Jaksa
Agung. Segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai
Jaksa Agung dalam kurun waktu akhir masa jabatan sampai
dengan saat putusan dinyatakan tetap sah.
b. Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat
yudikatif dan eksekutif.
3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar):
a. Konsekuensi yuridis: seluruh perbuatan hukum yang telah
dilakukan dianggap sah. Perbuatan hukum yang belum
dilakukan dinyatakan tidak sah.
12
b. Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat
yudikatif, eksekutif dan legislatif.
Berdasarkan hal tersebut timbul pertanyaan: “suatu perbuatan hukum
termasuk dalam kebatalan yang mana?” atau “bagaimanakah
menggolongkan/ mengklasifikasikan suatu perbuatan hukum dalam
kemungkinan kebatalan?”. Untuk menggolongkan, dipakai kriteria-
kriteria sebagai berikut:
a. Syarat mutlak (syarat yang harus ada):
Misalnya, syarat mutlak dalam perkawinan adalah “antara laki- laki
dan perempuan”.
b. Syarat relatif (pelengkap):
Misalnya, syarat untuk menjadi hakim untuk laki- laki bertinggi
badan minimal 165 cm.
Jika tidak memenuhi syarat mutlak maka suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh aparat pemerintah harus dinyatakan “batal seluruhnya”
(absolute nietig) atau “batal demi hukum” (nietig van rechts wege).
Jika tidak memenuhi syarat relatif maka suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh aparat pemerintah harus dinyatakan “dapat dibatalkan”
(vernietig baar).
13
Seorang filosof Jerman bernama Immanuel Kant mengatakan bahwa
hukum seperti dua sisi suatu mata uang logam, pada salah satu sisi terdapat
nilai “kebenaran menurut hukum” (recht matig) sedangkan disisi yang lain
terdapat nilai kemanfaatan bagi rakyat (doel matig). Jika kedua aspek
tersebut bertentangan maka hakim harus mengutamakan aspek
kemanfaatan bagi rakyat (doel matig).
BAB III
PENUTUP
14
A. Kesimpulan
Bahwa konsekuensi yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang
tidak absah menurut hukum ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. batal mutlak (absolute nietig).
2. batal demi hukum (nietig van rechts wege).
3. dapat dibatalkan (vernietig baar).
B. Saran
Dalam melakukan perbuatan hukum, aparat pemerintah harus selalu
berpedoman pada:
1. Materi/ substansi kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang- undangan atau dokumen pelimpahan
kewenangan.
2. Yurisdiksi wilayah/ teritorial kewenangan kerjanya.
3. Batas waktu supaya tidak lewat dari yang ditentukan oleh
peraturan perundang- undangan.
15
16