Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media
-
Upload
aulia-nastiti -
Category
Documents
-
view
318 -
download
0
Transcript of Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 1/12
D E P A R T E M E N I L M U K O M U N I K A S I
F A K U L T A S I L M U S O S I A L D A N I L M U P O L I T I K
U N I V E R S I T A S I N D O N E S I A
J A N U A R I 2 0 1 2
A u l i a D w i N a s t i t i | 0 9 0 6 5 6 1 4 5 2 -- U A S M a t a K u l i a h E t i k a & K e b i j a k a n M e d i a
WARTAWAN JADI
PIALANG: ETISKAH?(Studi Konflik Kepentingan Jurnalis dalam Perspektif Etis)
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 2/12
1
LATAR BELAKANG
Dalam perspektif social responsibility, media massa memiliki fungsi pokok sebagai alat
pemenuhan kebutuhan sosial dan kepentingan publik akan berbagai informasi karena
informasi merupakan public goods atau barang publik (McQuail, 2005). Media sebagai agen
penyampai informasi haruslah menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama
dalam menjalankan kegiatan komunikasi massa. Sebagai entitas yang berfungsi memenuhi
kebutuhan publik, suatu media harus menjaga kepercayaan publik sekaligus dapat
mempertanggungjawabkan akibat yang ditimbulkan oleh informasi yang dipublikasikan
(Gordon, et.al, 1999). Oleh karena itulah, industri media massa dipandang sebagai industri
yang mengandalkan kepercayaan publik ( public trust ) dalam menjaga eksistensi suatu media.
Dalam rangka memperoleh kepercayaan publik, kredibilitas media merupakan sesuatu yang
mutlak dibutuhkan media. Bagi media, kepercayaan publik dan kredibilitas merupakan
prasyarat penting untuk dapat menjalankan fungsi media (Laswell, 1948), yaitu: pengawasan
(surveillance), membantu pengambilan kebijakan (correlation), transmisi nilai budaya (cultural
transmission), dan sosialisasi (socialization). Media memiliki kewajiban terhadap masyarakat
untuk menyajikan informasi yang benar, akurat, objektif dan relevan dengan kepentingan
publik. Konsekeuensinya, media harus menjamin bahwa sebagai ujung tombak penyampaian
informasi, jurnalis harus kredibel dalam memproduksi informasi (Gordon, 1999).
Idealnya, media menyajikan informasi dengan berorientasi pada kepentingan publik dan
terbebas dari kepentingan pribadi atau kepentingan politis tertentu, sehingga pemberitaan
yang ditampilkan kepada publik benar-benar independen dan tidak terdistorsi oleh
kepentingan privat yang bertujuan untuk memanipulasi informasi dan opini publik. Akan
tetapi, kondisi tersebut dinilai utopis, terlebih lagi di masa globalisasi seperti sekarang di
mana media menjadi sebuah organisasi bisnis transnasional (McQuail, 2005).
Realitas yang terjadi di lapangan tidak menunjukkan kondisi ideal media sebagai fungsi
pemenuhan kebutuhan publik karena masih banyaknya konten media yang mengandung
bias kepentingan-kepentingan tertentu. Berita-berita yang tersajikan di media massa
seringkali subjektif dan membawa kepentingan pihak tertentu. Berita-berita politik
merupakan salah satu kategori yang paling riskan diintervensi oleh kepentingan pihak-pihak
lain yang berupaya membentuk pandangan dan sikap politik tertentu pada masyarakat.
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 3/12
2
Bias kepentingan dalam isi media pada dasarnya disebabkan karena isi media dipengaruhi
oleh banyak faktor yang saling berinteraksi. Merujuk pada Shoemaker dan Reese (1996:139)
dalam model hierarki faktor pembentuk konten media, isi media dilatarbelakangi oleh lima
jenjang faktor determinan yang direpresentasikan dengan lingkaran konsentrik. Lingkaran
paling dalam menggambarkan pengaruh individu pekerja media, terkait dengan ideologi
dan kepentingan individu tersebut. Lingkaran kedua merepresentasikan jenjang rutinitas
media (media routines). Lingkaran ketiga, jenjang organisasi yang menekankan isi media
sebagai wujud pengaruh pemilik, tujuan, dan kebijakan organisasi. Pada jenjang keempat,
terdapat pengaruh ekstramedia, yang terdiri atas: sumber informasi, sumber pendapatan
yaitu pengiklan dan khalayak, institusi sosial seperti kalangan bisnis dan pemerintah,
lingkaran ekonomi dan teknologi, serta pasar. Sedangkan jenjang yang kelima adalah
ideologi secara umum.
Melihat adanya banyak pengaruh dalam isi media tersebut, maka bias kepentingan privat
dapat berujung pada konflik kepentingan, bahkan berpotensi mempengaruhi konten yang
dimuat media tersebut. Konflik kepentingan dalam media massa ini merupakan salah satu
fokus wacana dalam etika media, terutama jika terkait dengan sikap individual pekerja
media yang juga dipengaruhi oleh tekanan-tekanan tertentu seperti pemilik, pemodal, atau
bahkan kepentingan personal. Salah satu contoh konflik kepentingan di Indonesia yang
paling krusial ialah kasus wartawan Bursa Efek Indonesia yang melakukan kegiatan jual-beli
saham Krakatau Steel. Dalam kasus yang hangat di akhir tahun 2010 ini, terdapat kontroversi
mengenai etika jurnalis jika dihadapkan pada konflik kepentingan pribadi jurnalis tersebut.
Kredibilitas jurnalis yang terlibat dalam jual beli saham Karakatu Steel itu pun diragukan
ketika bersanding dengan hakikat jurnalis yang juga seorang manusia yang tak lepas dariberbagai kepentingan personal. Dalam hal ini, muncullah perdebatan dalam hal etika dan
kredibilitas jurnalis: Apakah etis seorang jurnalis menyiratkan dipengaruhi oleh kepentingan
tertentu dalam memproduksi berita? Apakah media tetap dinilai kredibel apabila jurnalisnya
memiliki bias kepentingan tertentu? Oleh karena itulah, pertanyaan tersebut penting untuk
dikaji lebih jauh dalam kerangka etika dan regulasi media, khususnya individu pekerja media.
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 4/12
3
DEBAT ETIKA TENTANG KONFLIK KEPENTINGAN
Konflik kepentingan pada dasarnya merupakan suatu terminologi untuk menjelaskan
mengenai bias-bias kepentingan privat yang muncul dalam konten media massa yang
seharusnya mengutamakan kepentingan publik (Gordon, et.al, 1999). Perdebatan etik
mengenai konflik kepentingan muncul karena didasari oleh adanya praktik-praktik yang
dilakukan para pekerja media, khususnya jurnalis, yang diintervensi oleh berbagai
kepentingan dalam memproduksi berita sehingga informasi atau berita yang disajikan
dianggap tidak sesuai dengan kepentingan publik.
Dalam perdebatan mengenai masalah konflik kepentingan di dalam media, terdapat
perbedaan cara pandang yang cukup besar antara David Gordon yang idealis dan John
Michael Kittross yang cenderung lebih pragmatis. Lingkup perdebatan yang berlangsung
ialah mengenai konflik kepentingan dalam tataran persepsi, yaitu apakah etis seorang
jurnalis memasukkan kepentingan privat dalam media massa (Gordon, 1999). Keduanya
sepakat menolak konflik kepentingan yang berlangsung secara nyata yang sampai
melibatkan praktik kriminal seperti pemerasan atau prostitusi, dengan imbalan uang atau
hadiah karena itu berarti membohongi publik. Kedua pandangan juga sepandangan dalam
hal pembatasan terhadap praktisi jurnalisme harus diberlakukan tidak hanya pada jurnalis,
tetapi juga pada penerbit, manajer, dan pemilik media tersebut (Gordon, et.al, 1999).
Dalam pembahasan mengenai konflik kepentingan pekerja media, Kitross mengambil sikap
kompromistis dengan menyatakan pendapat sebagai berikut:
“Kredibilitas media massa tidak akan hilang apabila praktisi media yang jujur
mendapatkan kebebasan untuk melakukan kegiatannya sebagai manusia dan
warga negara biasa” (Gordon, et.al, 1999:257)
Kitross menekankan pendapatnya ini dengan mengajak meninjau kembali apa yang disebut
“konflik kepentingan”. Menurut Kitross, kepentingan primer seorang jurnalis adalah
menginformasikan berita kepada publik sehingga kepentingan publik musti diletakkan pada
prioritas. Segala insentif lain, seperti uang, jabatan, relasi, keterkenalan, akan berpotensi
membawa jurnalis pada sebuah konflik kepentingan. Sebagai contoh, reporter bisnis yang
bertugas di bursa saham memiliki tuga utama untuk menginformasikan kondisi fluktuasi
harga di pasar saham. Akan tetapi, apabila jurnalis tersebut ikut bermain saham, membeli
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 5/12
4
atau menjual saham dalam pasar saham tersebut atas nama pribadinya maka hal itu dapat
disebut sebagai konflik kepentingan karena perbuatan tersebut tidak etis, bahkan illegal.
Akan tetapi, Kitross percaya bahwa seorang professional sejati akan selalu mengedepankan
profesionalismenya dibandingkan sikapatau kepentingan pribadi dirinya meski sang jurnalis
sendiri kesamaan perasaan atau sikap tertentu terhadap hal yang ia beritakan. Ia percaya
bahwa seorang jurnalis yang professional akan selalu bisa menyingkirkan perasaan
pribadinya dalam menuliskan berita tentang satu hal tertentu. Tidak hanya jurnalis,
pekerjaan seorang editor pun riskan dengan munculnya konflik kepentingan. Tak dapat
dipungkiri bahwa seorang editor bisa jadi tidak sepaham dengan apa yang dituliskan
jurnalis, akan tetapi Kitross juga percaya bahwa seorang editor yang professional tidak akan
berusaha mengubah perspektif tulisan jurnalisnya, tetapi justru bertugas untuk menguatkan
dan menajamkan argumen wartawan agar berita yang disampaikan lebih berkualitas.
Berbeda dengan Kitross, Gordon berdiri di posisi yang lebih idealis dalam perdebatan
mengenai pemuatan kepentingan pribadi praktisi media dalam konten media massa yang
mereka produksi. Gordon berpendapat sebagai berikut:
“ Jurnalis dan pekerja media harus bebas dari segala kepentingan dan aktivitas pribadi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pekerjaan
profesional mereka” (Gordon, et.al, 1999:261)
Gordon memandang bahwa seorang jurnalis harus benar-benar bersih dari kepentingan
apapun sehingga apa yang ia tulis atau tampilkan di media tak akan dipengaruhi oleh
kepentingannya dan ia bisa benar-benar berdiri objektif dan netral di media. Bahkan,
Gordon mengungkapkan bahwa seorang jurnalis seharusnya benar-benar melapaskan diri
dari segala aktivitas pribadi yang bisa menciptakan konflik kepentingan dalam kehidupan
profesionalnya.
Gordon mencontohkan, seorang jurnalis seharusnya tidak boleh terlalu berteman baik
dengan pemain-pemain dalam cerita yang ia tulis, misalkan seorang jurnalis tidak boleh
berteman terlalu akrab dengan politisi karena setelah tercipta sebuah hubungan yang baik,
jurnalis tersebut akan sulit untuk menulis secara objektif tentang sang politisi terebut.
Berteman akrab dengan sang politisi memang bisa memberikan seorang jurnalis untuk
mengorek informasi pribadi darinya, tetapi apakah ada jaminan bahwa jurnalis itu akan
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 6/12
5
menuliskan secara objektif tentang sang politisi? Gordon percaya bahwa hal tersebut tidak
mungkin karena akan ada sikap subjektif pada sang politisi tersebut.
Inilah yang coba dihindari oleh Gordon. Hal seperti itu merupakan sebuah konflik
kepentingan, dan ia percaya bahwa seorang jurnalis tidak boleh melakukan hal tersebut.
Menurut dia, konflik kepentingan bisa menyebabkan hancurnya kredibilitas sang jurnalis dan
kredibilitas media itu sendiri. Nah, dalam proses melindungi kredibilitas media, sebuah
media, menurut Gordon, seharusnya melindungi karyawannya dari pengaruh-pengaruh luar
yang bisa mempengaruhi imparsialitas berita si jurnalis. Gordon juga meragukan argument
Kittross yang menyebutkan bahwa meski memiliki perasaan atau kepentingan terhadap hal
yang ia beritakan, seorang jurnalis atau media akan selalu imparsial dalam memberitakan.
MERILL: Komentar terhadap Perdebatan
Menurut Merrill, baik Kitross maupun Gordon sebenarnya justru sedikit terjebak dalam
beberapa masalah di bidang jurnalisme dan menganggap permsalahan tersebut sebagai
bagian dari “conflict of interest”. Merrill berpendapat bahwa isu yang sebenarnya didebatkan
oleh Gordon dan Kitross adalah krdibilitas jurnalisme, bukan konflik kepentingan di media,
dan perdebatan tentang kredibilitas jurnalis sebenarnya jauh melebihi konflik kepentingan.
Kredibilitas jurnalis memiliki lebih banyak dimensi pro-kontra dan baik Gordon maupun
Kitross membawa berbagai dimensi isu kredibilitas dalam perdebatan konflik kepentingan.
Merrill sendiri juga kurang setuju dnegan sikap Gordon mengenai pembatasan aktivitas
publik bagi seorang jurnalis atau pekerja media lainnya. Sikap Gordon yang cenderung tidak
mendukung aktivitas politik seorang jurnalis, bahkan untuk memberikan suara dalam Pemilu,
justru menentang semangat kebebasan masyarakat libertarian. Gordon berasumsi bahwadengan menghindari potensi konflik kepentingan, maka seorang jurnalis dan media akan
mendapatkan kredibilitasnya. Akan tetapi konflik kepentingan hanyalah salah satu dari
sekian banyak faktor yang berkontribusi membangun kredibilitas media dan jurnalis. Pada
akhirnya, Merrill berkesimpulan bahwa perdebatan konflik kepentingan mesti dilihat lebih
legalistik dari kerangka etika dengan apriori pada sebuah pernyataan: “Jangan pernah
menerima hadiah dari siapapun yang mungkin akan Anda tulis dalam jurnalisme Anda”.
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 7/12
6
KASUS KONFLIK KEPENTINGAN WARTAWAN PIALANG
Kasus konflik kepentingan wartawan pialang ini merupakan kasus jamak yang terjadi dalam
dunia jurnalistik. Di Indonesia, kasus wartawan yang bermain saham ini pernah terjadi pada
tahun 1999 ketika seorang wartawan yang mengklaim mewakili juru berita meminta hak
khusus membeli saham yang akan diluncurkan. Pada akhir tahun 2010, kasus konflik
kepentingan wartawan saham ini kembali mencuat ke publik dan memunculkan wacana
debat etika mengenai etika jurnalistik yang berlaku di Indonesia.
Kasus kali ini merupakan kasus tuduhan terhadap sekelompok wartawan media nasional
yang bertugas di Bursa Efek Indonesia melakukan aktivitas jual-beli saham PT Krakatau Steel
secara tidak wajar. Kasus ini melibatkan wartawan dari Kompas, Detik.com, Metro TV, dan
Seputar Indonesia melawan PT. Kitacomm, perusahaan yang disewa PT. Krakatau Steel untuk
menangani kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat menjelang penawaran saham
perdana atau IPO (initial public offering). Tugas Kitacomm antara lain memonitor tulisan-
tulisan media menjelang IPO apakah dapat menstimulus reaksi positif dari pasar.
Kasus ini dimulai ketika Henny Lestari, direktur utama Kitacomm, sekaligus Public Relation
(PR) mengadu kepada Dewan Pers tentang sejumlah wartawan di bursa efek meminta jatah
saham menjelang penawaran perdana saham Krakatau Steel sebanyak 1.500 slot (7.500
lembar) dengan nilai 600 juta lebih tanpa melalui prosedur pembelian normal di pasar
modal. Kelompok wartawan itu juga dilaporkan memaksa seorang petinggi perusahaan
menyediakan uang Rp 400 juta untuk menutupi pemberitaan miring seputar penawaran
saham perdana PT Krakatau Steel itu yang dinilai terlalu murah
Menanggapi laporan tersebut, Dewan Pers pun memanggil Reinhard Nainggolan, wartawan
Kompas yang dianggap paling bertanggung jawab dalam permintaan jatah saham tersebut.
Selain Reinhard, wartawan yang diduga terlibat adalah Indro Bagus Satrio (Detik.com),
Leonard Samosir (Metro TV), dan Wisnu Bagus (Koran Seputar Indonesia). Detik.com sudah
melakukan klarifikasi internal kepada Indro yang menyatakan bahwa dirinya bersama
sejumlah wartawan lain memang melakukan oembelian saham, tetapi melalui prosedur legal
dan dengan harga normal serta taka da indikasi pemerasan dan penekanan kepada Krakatau
Steel. Adapun Wisnu Bagus, saat kasus mencuat, sudah mengundurkan diri. Sedangkanuntuk Leonard, Metro TV meminta waktu untuk mengklarifikasi lebih dulu dan membuka diri
untuk menjatuhkan sanksi apabila terbukti bersalah (Tempo, 29 November 2011).
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 8/12
7
Rikard Bagun, pemimpin redaksi Kompas yang mendampingi Reinhard ke Dewan Pers pada
24 November 2010 mengatakan bahwa Kompas sudah melakukan klarifikasi internal dan
Reinhard mengatakan bahwa dia tidak mendapatkan katah saham dan tidak ikut dalam
proses jual beli tersebut. Di hadapan Dewan Pers sendiri, Reinhard tidak memberikan
klarifikasi resmi, tetapi meminta Dewan Pers memberikan bukti bahwa dirinya memang
terlibat dalam transaksi saham perdana dan bahwa dirinya melakukan pemerasan.
Selanjutnya, pada 1 Desember 2010, Dewan Pers mengeluarkan kesimpulan resmi soal kasus
saham itu. Menurut Dewan Pers, Reinhard telah "dengan sengaja berusaha menggunakan
kedudukan dan posisinya sebagai jurnalis, jaringannya sebagai jurnalis, untuk meminta diberi
kesempatan membeli saham IPO PT. Krakatau Steel". Dewan Pers mengakui belum
mengetahui secara pasti apakah Reinhard pada akhirnya membeli saham IPO PT atau tidak.
Namun, yang dinilai sebagai pelanggaran adalah usaha-usaha Reinhard untuk mendapatkan
jatah membeli saham Krakatau Steel yang dikategorikan sebagai tindakan yang tidak
professional dan melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 yang menyatakan: " Jurnalis
Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap". Terkait dengan sanksi,
Dewan Pers menyerahkan sepenuhnya kepada manajemen Kompas dan akhirnya Kompas
memilih memberhentikan Reinhard.
Kasus wartawan bursa efek yang melakukan jual beli saham ini bukanlah berita baru bagi
dunia jurnalistik. Hal ini ditegaskan oleh Komar, mantan wartawan yang bertugas di bursa
efek kepada Tempo Interaktif (29 November 2011) berikut.
Komar membenarkan kerap terjadi penawaran saham kepada wartawan. "Tujuannya
agar wartawan membuat berita baik," ujarnya. Namun, menurut dia, naik-turunnya
harga saham di bursa bukan dipengaruhi pemberitaan media, melainkan rumor.
Keputusan Dewan Pers ini akhirnya sempat memunculkan wacana dan diskusi lebih
mendalam mengenai kode etik jurnalistik Indonesia yang dinilai masih bias terhadap potensi
timbulnya konflik kepentingan dalam diri wartawan, Muncul wacana bahwa apa yang
disebut sebagai konflik kepentingan, seperti wartawan yang menulis tentang saham yang ia
miliki, belum pernah dimuat dalam aturan baku dan semua masih berpulang pada peraturan
internal media masing-masing. Oleh karena itulah, kasus ini merupakan contoh bahwa
konflik kepentingan merupakan permasalahan krusial yang harus dikaji secara etis dalam
kerangka etika dan regulasi yang berlaku di Indonesia.
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 9/12
8
Dalam kasus Krakatau Steel ini, Dewan Pers memutuskan bahwa Reinhard Nainggolan
melakukan pelanggaran etis karena merujuk pada Kode Etik Wartawan Indonesia Pasal 6
yang menuliskan bahwa: "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak
menerima suap". Menurut keterangan Dewan Pers, yang termasuk penyalahgunaan profesi
adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh
saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
Berdasarkan rekaman aktivitas yang diperoleh Dewan Pers, Reinhard memang terbukti
melakukan lobi dan pencarian informasi mengenai jatah saham perdana Krakatau Steel
dengan mengatasnamakan profesinya sebagai wartawan jaringan yang dimilikinya. Dalam
kasus ini, Reinhard memang dapat dikatakan telah melanggar kode etik wartawan dengan
alasan konflik kepentingan karena potensinya untuk menutupi atau memanipulasi informasi
yang berkaitan dengan berita IPO Krakatau Steel yang ditulisnya di Kompas.
Namun, perlu dicatat bahwa Dewan Pers belum dapat memastikan bahwa Reinhard memang
melakukan aktivitas jual-beli dan memiliki saham Krakatau Steel sehingga tetap etis jika dia
menulis berita mengenai IPO Saham Krakatau Steel di Kompas karena tidak ada konflik
kepentingan di situ. Jika yang dikhawatirkan adalah potensi timbulnya konflik kepentingan,
maka hal yang perlu dilakukan ialah menilai dari hasil konten berita IP Krakatau Steel yang
ditulis Reinhard dan disajikan kepada publik. Konflik kepentingan menjadi tidak etis karena
informasi akan merugikan publik. Apabila berita yang ditulis Reinhard kepada publik tetap
aktual, benar, dan objektif, maka tidaklah menjadi masalah karena public trust tetap terjaga.
Sayangnya, inilah yang luput dilakukan Dewan Pers. Dalam nota keberatan yang dilayangkan
Reinhard kepada Dewan Pers, diketahui bahwa Dewan Pers tidak pernah membaca dan
mengevaluasi dari berita yang ditulis Reinhard sementara di sisi lain, Dewan Pers tidak dapat
membuktikan bahwa Reinhard memiliki saham di Krakatau Steel. Vonis pelanggaran etik
dijatuhkan berdasarkan bukti-bukti aktivitas yang menunjukkan adanya upaya-upaya
Reinhard untuk memperoleh saham perdana Krakatau Steel.
Menurut Metta Dharmaputra, yang dikutip dari Tempo Interaktif, salah seorang wartawan
finansial, kasus wartawan bursa saham dan aktivitas jual beli saham ini, seharusnya perlu
dibedakan antara tiga hal mendasar dalam rangka menetukan apa yang termasuk konflik
kepentingan dan menentukan perbuatan mana yang etis atau tidak etis bagi seorang
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 10/12
9
wartawan bermain saham. Ketiga hal tersebut ialah: mendapat jatah saham, meminta jatah
saham, dan pemerasan untuk tujuan mempengaruhi harga. Karena masalah saham seringkali
tidak datang dari diri si wartawan, tetapi dari perusahaan sebagai gratifikasi untuk tujuan
pemberitaan tertentu.
Pada akhirnya, mencuatnya skandal jual beli saham PT Krakatau Steel oleh wartawan bursa
efek ini akhirnya turut membuka kembali debat soal definisi conflict of interest (konflik
kepentingan) dalam peliputan. Karena dari sudut pandang etika jurnlaistik yang berlaku di
Indonesia, ruang lingkup pengaturan etika yang berlaku hanya sebatas di tataran perilaku
individu pekerja media, berkaitan dengan kepribadian dan perilaku jurnalis dalam meliput
dan menyiarkan berita.
Baik Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan Dewa Pers atau Kode Etik
Jurnalis Televisi Indoensia dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) hanya mengatur poin
bahwa wartawan tidak boleh mencampuradukkan fakta dan opini, wartawan tidak boleh
menyalahgunakan profesi, serta tidak boleh menerima suap. Namun, belum ada ketentuan
detail yang menjelaskan apa itu yang disebut menyalahgunakan profesi serta sejauh mana
perilaku wartawan dapat disebut sebagai konflik kepentingan.
Dalam menentukan apakah etis seorang wartawan bursa efek turut memiliki saham, terdapat
perdebatan antara dua pandangan. Pertama, yang menganggap bahwa investasi dan
pembelian saham merupakan hak dan kebebasan setiap warga negara, termasuk pula
wartawan. Akan tetapi, terkait dengan profesionalitasnya sebagai penyampai informasi bagi
publik, aktivitas perdagangan saham yang dilakukan oleh wartawan ini perlu diatur dengan
jelas, sejauh mana batasannya, agar tidak mempengaruhi berita dan tulisan yang dihasilkan
wartawan tersebut sehingga merugikan publik.
Cara ini seperti yang diterapkan oleh kantor berita internasional Bloomberg, yang memang
secara khusus meliput berita ekonomi. Menurut Wahyudi, mantan wartawan Blooberg,
Bloomberg menilai bahwa tidaklah bijaksana melarang seseorang, termasuk wartawannya,
untuk memiliki saham , tetapi mereka ada aturan tegas bahwa setiap wartawan harus secara
terbuka mengakui kepemilikan sahamnya dan tidak boleh menulis berita tentang
kepemilikan sahamnya (Mediaindependen.com).
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 11/12
10
Kedua, ialah pandangan yang lebih strict dalam menanggapi aktivitas wartawan peliput
bursa saham yang menyatakan bahwa wartawan peliput bursa saham tak boleh melakukan
kegiatan transaksi jual-beli saham. Alasannya, potensi konflik kepentingan rentan terjadi
apabila wartawan peliput lantai bursa umumnya mendapatkan informasi tentang pergerakan
saham lebih cepat ketimbang investor pada umumnya. Bila wartawan peliput bursa turut
bermain saham, besar kemungkinan dia akan menyalahgunakan informasi yang dia miliki
untuk kepentingan pribadinya. Hal ini seperti yang diterapkan Wall Street yang secara tegas
tanpa kompromi melarang wartawan bursa efek memiliki saham.
Dalam menentukan sikap atas perdebatan konflik kepentingan ini, penulis berpendapat
bahwa sebaiknya perdebatan ini dikembalikan berdasarkan kepentingan publik. Melarang
seorang wartawan yang juga berperan sebagai warga negara untuk melakukan aktivitas
investasi tentu bukan pilihan yang bijak mengingat hal tersebut merupakan salah satu hak
asasi yang menjamin kebebasan berusaha seseorang. Terkait dengan profesionalitas sebagai
jurnalis yang menyampaikan informasi pada publik, sejak awal wartawan seharusnya
menghindari konflik kepentingan. Etika dan regulasi merupakan kontrol luar untuk
memastikan bahwa kepentingan apapun yang dimiliki jurnalis tidak mempengaruhi output
berita yang disajikan pada publik. Hal yang terpenting yang harus dilakukan bukan melarang
wartawan, tetapi mempertahankan agar kredibilitas tetap terjaga.
Mengacu pada paradigma yang diterangkan Kitross, untuk mempertahankan kredibilitas
seorang jurnalis atau sebuah media sebenarnya tak perlu langkah ekstrem dengan cara
menjauhkan diri dari hal-hal yang menyeret konflik kepentingan. Langkah untuk
menghindari konflik kepentingan ialah dengan mendidik jurnalis menjadi benar-benar
profesional meskipun mereka terlibat dalam aktivitas kesehariannya. Apabila seorangreporter atau editor menyadari adanya konflik kepentingan yang nyata seperti suap atau
kriminalitas, maka hal tersebut harus dihindari. Oleh karena itulah, yang lebih perlu
dimaksimalkan adalah fungsi gatekeeping atau roll place dalam internal media itu sendiri
untuk menjamin bahwa berita yang dihasilkan tak merugikan publik. Karena upaya ekstrem
dengan cara menutup segala aktivitas personal jurnalis dan menjauhkan jurnalis dari
sumber-sumber konflik bukanlah bentuk impartiality, melainkan sebuah ignorance.
Ketidaktahuan atau ignorance jurnalis akan subjek yang ditekuninya justru akan merugikan
publik karena berimbas pada keterbatasan informasi yang dihasilkan.
5/17/2018 Konflik Kepentingan Wartawan Saham dalam Kerangka Etika Media - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/konflik-kepentingan-wartawan-saham-dalam-kerangka-etika-media 12/12
11
DAFTAR PUSTAKA
Burton, Graeme. (2005). Media and Society: Critical Perspective. New Delhi: Rawat Publication
Gordon, A. David dan John Michael Kitross. (1999). Controversies in Media Ethics.
United States: Wesley Longman Educational Publishers Inc.
McQuail, Dennis. (2005). McQuail’s Mass Communication Theory (Fifth Edition). London: Sage
Publication.
Shoemaker, Pamela & Stephen D. Reese. (1996) Mediating the Message: Theories of influence
on Mass Media Content. New York: Longman Publishing Group.
Taufik, Ahmad dan Adek Media Roza. (2010, 29 November). Ketika Wartawan Berlagak
Pialang, diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/29/MD/
mbm.20101129.MD135219.id.html pada 10 Januari 2011, Pukul 13.45
Taufik, Ahmad. (2010, 26 Desember). Wartawan, Saham, dan Kontroversinya, diakses dari
http://www.ahmadtaufik.com/2011/12/wartawan-saham-dan-kontroversinya.html
pada 11 Januari 2011, Pukul 10.32