Konflik Dalam Pilkada Bandar Lampung Tahun 2010

11
TUGAS TERSTRUKTUR HUKUM ACARA PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI CONTOH KASUS DENGAN ANALISIS DISUSUN OLEH : NAMA : MANGARAJA SINAGA NIM : 125010100111074 KELAS E FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA

description

konflik pilkada sebagai real impact dari pemilihan langsung

Transcript of Konflik Dalam Pilkada Bandar Lampung Tahun 2010

TUGAS TERSTRUKTURHUKUM ACARA PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI

CONTOH KASUS DENGAN ANALISISDISUSUN OLEH :NAMA: MANGARAJA SINAGANIM: 125010100111074KELAS E

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS BRAWIJAYA-2015-

Konflik dalam Pilkada Bandar Lampung Tahun 2010(Berdasarkan harian Radar Lampung Sabtu, 17 Juli 2010.) Kepolisian Daerah Lampung mulai membidik dugaan skandal gratifikasi dan korupsi pada Pilkada Kota Bandar Lampung. Kami melakukan pendalaman terhadap dua dugaan skandal pilkada, pertama mengenai dugaan gratifikasi bagi anggota KPU Kota Bandar Lampung dari salah satu kandidat wali kota, dan kedua tentang skandal kelebihan pencetakan surat suara sebesar 17 persen dari DPT yang ditetapkan, kata Kasat III tindak pidana korupsi Ditreskrim Polda Lampung, AKBP Shobarmen, di Bandar Lampung.Khusus untuk skandal kelebihan pencetakan surat suara, penyelidikan dilakukan khusus mendalami tentang ada tidaknya unsur kerugian negara dalam pencetakan tersebut, bukan pada pelanggaran kode etik oleh komisioner KPU yang dianggap lalai dalam pencetakan tersebut. Polda Lampung tidak mendalami bagian tentang pelanggaran kode etiknya, karena itu sepenuhnya kewenangan panwas, namun fokus kepada ada tidaknya akibat dari kelebihan pencetakan tersebut yang merugikan negara.Terkait pendalaman hal itu, Polda Lampung memanggil kedua pihak yang terlibat dalam pencetakan tersebut, masing-masing Sekretaris KPU Kota Bandar Lampung, Abdul Kohar, dan Direktur CV Tawakkal, rekanan KPU dalam pencetakan surat suara, Ruslan Effendi. Pencetakan surat suara pada Pilkada Kota Bandar Lampung 2010, 17 persen lebih banyak dari jumlah DPT di kota tersebut. Jumlah surat suara yang dicetak sebanyak 760.236, atau mengalami kelebihan surat suara sebanyak 116.583 buah, dari jumlah DPT sebanyak 643.653 suara.Selain itu, Polda Lampung juga memanggil Sekda Kota Bandar Lampung, Sudarno Edi, untuk dimintai keterangan terkait dugaan gratifikasi berupa pemberian mobil minibus bagi lima komisioner KPU, dari salah satu kandidat wali kota. Pemeriksaan yang telah berlangsung kedua kalinya itu untuk memastikan ada tidaknya aktivitas gratifikasi yang diduga diberikan oleh salah satu calon wali kota.Dugaan gratifikasi itu bergulir saat LSM Monitoring pilkada melaporkan kasus itu kepada Polda Lampung, disertai sejumlah barang bukti. Beberapa barang bukti yang disertakan dalam pelaporan tersebut adalah foto hasil bidikan 22 Mei 2010, yang menggambarkan kendaraan pemberian salah satu calon wali kota itu, terparkir di depan rumah dua komisioner KPU Bandarlampung, yaitu Fauzi Heri dan Herlina.Kedua kendaraan itu bernomor polisi masing-masing BE 2845 CJ dan BE 2851 CJ.Selain itu, LSM Monitoring pemilukada juga menyertakan barang bukti lain, yaitu bukti pembayaran dan surat angsuran untuk kendaraan dengan plat nomor yang sama, atas nama Wali Kota Bandar Lampung yang juga menjadi calon incumbent, Eddy Sutrisno. Surat angsuran itu dikeluarkan oleh Astra Credit Companies, dengan angsuran awal Rp 5.105.000 per bulan untuk pembayaran 36 bulan.Angsuran tersebut baru dibayar enam kali, dengan pembayaran perdana pada 2 november 2009. Sudarno Edi diperiksa di ruang Kanit III Satuan III Polda Lampung selama empat jam, dari pukul 10.00 WIB hingga 14.00 WIB.

ANALISIS KASUSA. Faktor Konflik dalam PilkadaSetiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu dijumpai yang namanya konflik. Faktor-faktor penyebab konflik dalam pilkada antara lain: Kepentingan setiap elite lokal, elite nasional, pengusaha dan kepentingan kekuatan-kekuatan politik lain di daerah yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan. Kesalahan penafsiran terhadap implementasi undang-undang yang mengatur persoalan pilkada Belum bakunya infrastruktur pemilihan pejabat publik yang sering kali kontroversial Lemahnya institusionalisasi demokrasi di tingkat lokal (KPUD) yang menjadi faktor dominan timbulnya konflik antar kekuatan politik. Akibatnya, aturan main berdemokrasi sering berubah, berbeda-beda, dan tidak ditaati karena bergantung pada persepsi pusat yang menentukan hasil akhir proses politik di tingkat lokal. Diversifikasi sumber konflik Dendam kelompok dan dendam sejarah, yang umumnya sangat peka untuk diprovokasi. Pola kompetisi yang bergerak tidak sehat melalui intervensi kekuasaan, politik uang, anarkis dan arogansi. Sistem manajemen termasuk payung hukum yang tidak berwibawa, tidak berfungsi dan tidak dihormati. Rapuhnya simbol perekat dan pemersatu yang mencakup nasionalisme, etnisisme, etika dan budaya politik yang luhur. Sikap dan perilaku aktor politik yang tidak terkendali, menerabas dan terjerumus ke deviant politik.Dilihat dari Jenisnya potensi konflik bisa melibatkan : Internal partai yang mendukung calon. Konflik yang melibatkan antara kandidat satu dengan lainnya atau antara pendukung-pendukung kandidat. Konflik antar kandidat dapat berupa black campaign berupa usaha-usaha untuk mendeskriditkan kandidat lain dengan cara-cara yang tidak gentle, bukan melalui adu visi-misi tetapi dengan penyebaran berita bohong dan fitnah. Konflik antar elemen masyarakat. Konflik ini berskala sangat besar, karena melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik antar pendukung masing-masing kandidat melibatkan pula aparat keamanan.

B. Penyelesaian Konflik dalam PilkadaPermasalahan yang terjadi di Bandar Lampung pada pilkada tahun 2010 dapat diselesaikan dengan hal-hal berikut :1. Proses pencalonan yang bermasalahPermasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada. Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon.Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.2. Pemasalahan pada Masa kampanyePengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.3. Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.4. Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.5. Putusan MK RISesuai ketentuan yang ada, di luar putusan Tidak dapat Diterima, MK juga dapat memutuskan permohonan Ditolak atau permohonan Diterima. Apabila dalam persidangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, mar putusan menyatakan permohonan ditolak. Demikian pula sebaliknya, dalam hal Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan terbukti beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan dan selanjutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Pada beberapa putusannya, MK berpandangan telah terjadi pelanggaranpelanggaran sistematis, terstruktur dan masif. Pada putusannya juga disinggung adanya pelanggaran yang signifikan dan terstruktur sehingga mencederai konstitusi, demokrasi, dan hak-hak warga negara [Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945], serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak dibenarkan terjadi di negara hukum Republik Indonesia.

C. KESIMPULANPengawasan dan penegakkan hukum dalam pemilu merupakan hal yang sangat penting bagi perwujudan nilai-nilai demokrasi yang dilandasi oleh prinsip Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL). Dengan demikian jangan sampai semua tahapan pelaksanaan pemilu terlaksana, tetapi banyak terjadi pelanggaran yang ditolerir atau tidak dilakukan penegakkan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemilu ataupun pemilukada.Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pemilu, khususnya pada Bab XIV, kita dapat mengklasifikasi penyimpangan atau pelanggaran dan sengketa pemilu menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) pelanggaran administratif 2) pelanggaran aturan pemilu yang mengandung unsur pidana pemilu 3) sengketa pemilu.Konflik yang terjadi pada pemilukada tahun 2010 dilihat dari perspektif Marxis merupakan hal yang bermula dari keserakahan, dimana materi, harga diri (prestige), kekuasaan (power) adalah sesuatu yang mutlak dimiliki.Dalam manajemen konflik, penyelesaian konflik pilkada ini sebenarnya ada opsi lain yaitu konsensus. Dalam opsi ini adanya pemahaman bersama, di mana semua pihak harus duduk bersama dan menyelesaikan masalah secara terbuka, dengan kepala dingin, transparan, serta menjunjung tinggi asas kejujuran dan keadilan.