Komunikasi Risiko Sebagai Salah Satu Komponen Struktur Analisis Risiko

16
1 KOMUNIKASI RISIKO SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN STRUKTUR ANALISIS RISIKO Witono Adiyoga Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung – 40391 Apakah yang disebut risiko? Risiko bagi kebanyakan orang sering diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak atau kurang menyenangkan, misalnya cedera atau kehilangan. Oleh karena itu, risiko cenderung dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindarkan. Banyak ahli mendefinisikan risiko sebagai probabilitas dari suatu kejadian yang tidak direncanakan. Estimasi probabilitas dan konsekuensi dari kejadian-kejadian tersebut sejak lama telah dimanfaatkan oleh ilmu penaksiran risiko (risk assessment). Risiko sering pula dihubungkan dengan ketidak-pastian yang dalam banyak kasus melibatkan konflik persepsi dan sudut pandang. Persepsi publik tentang risiko terkadang memainkan peranan penting, sebagaimana pandangan para pakar dalam debat mengenai teknologi baru, misalnya isu tanaman transgenik. Risiko juga didefinisikan sebagai ketidak-pastian hasil (outcome), baik berupa oportunitas positif atau ancaman negatif, dari suatu tindakan dan kejadian. Risiko merupakan kombinasi dari kemungkinan dan pengaruh/impak, termasuk persepsi kepentingan. Sebagian besar kebijakan pemerintah pada dasarnya melibatkan penanganan atau pengalihan risiko kepada publik. Risiko tertentu dapat bersifat lebih signifikan pada konteks yang lain atau jika dipandang dari perspektif yang berbeda. Eliminasi semua risiko merupakan hal yang mustahil, sehingga keputusan yang sulit sebenarnya adalah menentukan risiko mana yang sebenarnya masih dapat diterima. Identifikasi dan pengenalan suatu ancaman poten- sial seharusnya juga mengandung arti bagaimana cara mengatasinya, atau bagaimana agar lebih siap menghadapi jika insiden tersebut terjadi. Jenis-jenis risiko seperti apakah yang dihadapi publik? Pemahaman mengenai bagaimana risiko mempengaruhi publik dapat membantu proses identifikasi risiko. Risiko dapat dibedakan dari cara-cara pandang berikut ini: Berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi sumber risiko, misalnya pada saat melakukan kegiatan olahraga atau bepergian dengan menggunakan mobil Berhubungan dengan ancaman/bencana, misalnya kabel terbuka bermuatan listrik atau adanya organisme penyebab penyakit Berhubungan dengan kejadian-kejadian yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas berisiko atau terekspos kepada ancaman/bencana, misalnya kecelakaan atau sakit Berhubungan dengan konsekuensi dari suatu kejadian, misalnya cedera, gangguan kesehatan atau kerugian finansial Beberapa contoh kejadian-kejadian berisiko: (a) kejadian alami, misalnya banjir, cuaca dingin; (b) kecelakaan, misalnya kecelakaan jalan raya, kebocoran atau pencemaran bahan kimia; (c) penyakit atau infeksi; (d) politis, misalnya perang, terorisme; (e) kriminal, misalnya kekerasan, pencurian, penipuan; (f) kejadian ekonomi, misalnya resesi; dan (g) polusi atau kemusnahan/destruksi habitat Sementara itu, beberapa contoh kemungkinan konsekuensi dari kejadian berisiko diantaranya adalah: (a) kematian, (b) cedera, (c) sakit, (d) kehilangan atau kerusakan properti, (e) kerugian finansial, (f)

Transcript of Komunikasi Risiko Sebagai Salah Satu Komponen Struktur Analisis Risiko

1

KOMUNIKASI RISIKO SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN STRUKTUR ANALISIS RISIKO

Witono Adiyoga

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung – 40391

Apakah yang disebut risiko? Risiko bagi kebanyakan orang sering diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak atau kurang menyenangkan, misalnya cedera atau kehilangan. Oleh karena itu, risiko cenderung dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindarkan. Banyak ahli mendefinisikan risiko sebagai probabilitas dari suatu kejadian yang tidak direncanakan. Estimasi probabilitas dan konsekuensi dari kejadian-kejadian tersebut sejak lama telah dimanfaatkan oleh ilmu penaksiran risiko (risk assessment). Risiko sering pula dihubungkan dengan ketidak-pastian yang dalam banyak kasus melibatkan konflik persepsi dan sudut pandang. Persepsi publik tentang risiko terkadang memainkan peranan penting, sebagaimana pandangan para pakar dalam debat mengenai teknologi baru, misalnya isu tanaman transgenik. Risiko juga didefinisikan sebagai ketidak-pastian hasil (outcome), baik berupa oportunitas positif atau ancaman negatif, dari suatu tindakan dan kejadian. Risiko merupakan kombinasi dari kemungkinan dan pengaruh/impak, termasuk persepsi kepentingan. Sebagian besar kebijakan pemerintah pada dasarnya melibatkan penanganan atau pengalihan risiko kepada publik. Risiko tertentu dapat bersifat lebih signifikan pada konteks yang lain atau jika dipandang dari perspektif yang berbeda. Eliminasi semua risiko merupakan hal yang mustahil, sehingga keputusan yang sulit sebenarnya adalah menentukan risiko mana yang sebenarnya masih dapat diterima. Identifikasi dan pengenalan suatu ancaman poten-sial seharusnya juga mengandung arti bagaimana cara mengatasinya, atau bagaimana agar lebih siap menghadapi jika insiden tersebut terjadi. Jenis-jenis risiko seperti apakah yang dihadapi publik? Pemahaman mengenai bagaimana risiko mempengaruhi publik dapat membantu proses identifikasi risiko. Risiko dapat dibedakan dari cara-cara pandang berikut ini:

• Berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi sumber risiko, misalnya pada saat melakukan kegiatan olahraga atau bepergian dengan menggunakan mobil

• Berhubungan dengan ancaman/bencana, misalnya kabel terbuka bermuatan listrik atau adanya organisme penyebab penyakit

• Berhubungan dengan kejadian-kejadian yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas berisiko atau terekspos kepada ancaman/bencana, misalnya kecelakaan atau sakit

• Berhubungan dengan konsekuensi dari suatu kejadian, misalnya cedera, gangguan kesehatan atau kerugian finansial

Beberapa contoh kejadian-kejadian berisiko: (a) kejadian alami, misalnya banjir, cuaca dingin; (b) kecelakaan, misalnya kecelakaan jalan raya, kebocoran atau pencemaran bahan kimia; (c) penyakit atau infeksi; (d) politis, misalnya perang, terorisme; (e) kriminal, misalnya kekerasan, pencurian, penipuan; (f) kejadian ekonomi, misalnya resesi; dan (g) polusi atau kemusnahan/destruksi habitat Sementara itu, beberapa contoh kemungkinan konsekuensi dari kejadian berisiko diantaranya adalah: (a) kematian, (b) cedera, (c) sakit, (d) kehilangan atau kerusakan properti, (e) kerugian finansial, (f)

2

kehilangan kesempatan meraih sumber pendapatan potensial, (g) kehilangan waktu, (h) kerusakan lingkungan, dan (i) derita/tekanan emosional. Timbulnya jenis jenis risiko tertentu dapat menyebabkan kekhawatiran publik yang serius, terutama jika mengandung ketidak-pastian berkenaan dengan outcomenya. Kekhawatiran publik tersebut jika tidak ditangani secara cepat dan efektif dapat berekskalasi menjadi krisis. Mengapa komunikasi yang baik menjadi penting dalam menghadapi risiko? Berdasarkan asumsi proses komunikasi dua arah, komunikasi dengan publik dapat membantu pena-nganan risiko secara lebih efektif, yaitu:

• Membantu untuk mencegah berkembangnya krisis

• Membantu pengambilan keputusan yang lebih baik dalam menangani risiko

• Membantu untuk menjamin kelancaran implementasi kebijakan penanganan risiko

• Membantu untuk memberdayakan dan meyakinkan publik

• Membantu untuk membangun kepercayaan publik

Mengapa mengkomunikasikan tentang risiko menjadi semakin penting? Mengkomunikasikan risiko kepada publik menjadi isu yang semakin penting, terutama bagi pihak pemerintah. Beberapa alasan yang melatar-belakangi kepentingan ini diantaranya adalah:

• Sifat risiko cenderung menjadi semakin kompleks dan semakin tidak pasti. Kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengarah pada kekhawatiran baru mengenai manufactured risiko yang seringkali sukar dibuktikan. Sejalan dengan keadaan dunia yang semakin interconnected dan interdependent, maka probabilitas seseorang terekspos pada risiko yang dahulunya tidak mungkin, menjadi semakin tinggi.

• Perilaku publik terhadap risiko maupun pemerintah telah berubah. Rasa skeptis yang semakin tinggi terhadap institusi, kekhawatiran terhadap risiko yang semakin meningkat, serta akses terhadap informasi yang semakin luas, telah menempatkan pemerintah pada posisi yang semakin menjadi sorotan publik. Hal ini mengimplikasikan bahwa pemerintah harus bekerja lebih keras dan beroperasi secara lebih transparan untuk menjaga keperca-yaan publik berkaitan dengan informasi yang disebarkan.

• Berbagai kasus mutakhir, misalnya mengenai tanaman transgenik, memberikan gambaran bahwa pengkomunikasian risiko kepada publik harus lebih didasarkan pada bukti, lebih terbuka dan dilakukan secara partisipatif.

Prinsip-prinsip panduan komunikasi risiko Sandman (1993) mengemukakan bahwa perkataan “awas!” dan “jangan khawatir” merupakan dua frasa yang sering digunakan untuk: (a) mengingatkan orang lain akan adanya potensi bahaya, dan (b) memberitahu orang lain bahwa tidak perlu terlalu khawatir terhadap potensi bahaya tersebut. Komunikasi risiko seperti di atas pada dasarnya merupakan proses komunikasi satu arah yang mengasumsikan: (a) orang yang mengingatkan/memberitahu memiliki pengetahuan lebih mengenai risiko dimaksud dibandingkan dengan orang yang diingatkan/diberitahu, (b) orang yang mengingatkan/ memberitahu sangat memperhatikan/khawatir terhadap kepentingan orang yang diingatkan/diberitahu, dan (c) peringatan/pemberitahuan lebih didasarkan kepada informasi aktual, tidak hanya sekedar nilai atau preferensi.

3

Penggunaan frasa awas!” dan “jangan khawatir” tidak lagi efektif dalam rangka mendiseminasikan informasi tentang suatu teknologi yang kompleks dan kontroversial. Ketidak-efektifan terjadi karena semakin disadari bahwa (a) sumber pemberi peringatan/pemberitahuan terkadang bersandar pada pengkajian teknis yang kurang akurat, dan (b) konteks politis, ekonomis serta budaya dari difusi teknologi baru akan mempengaruhi sumber untuk memberikan pertimbangan nilai (value-judgment) terhadap peringatan/pemberitahuan tersebut. Oleh karena itu, Sandman (1993) merekomendasikan agar komunikasi risiko untuk teknologi yang kompleks dan kontroversial harus: (a) bersifat multi-directional, dan (b) menstimulasi debat, tidak hanya sekedar transfer pengetahuan. Kriteria untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi risiko harus terdiri dari keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan sampai sejauh mana klaim nilai dapat dibedakan dari klaim ilmiah yang kurang akurat/ cacat. Rogers (1962) juga memberikan argumentasi yang serupa bahwa difusi informasi mengenai teknologi yang kompleks dan kontroversial harus menghindarkan kelemahan-kelemahan model jarum-hipodermik. Paradigma komunikasi risiko yang salah, yaitu menginjeksikan pengetahuan mengenai risiko aktual kepada publik yang masih belum cukup mendapatkan informasi, harus dihindarkan. Proses difusi harus merupakan komunikasi dua arah antara publik dengan pihak pengembang teknologi baru. Komunikasi risiko merupakan suatu disiplin ilmu terapan yang mulai berkembang sejak awal tahun 1970an. Disiplin ini mengkombinasikan kerangka teoritis psikologi, sosiologi, teori utilitas, ilmu pengambilan keputusan, pendidikan dan komunikasi. Komunikasi risiko pada awalnya banyak digunakan berkenaan dengan risiko/bahaya lingkungan, namun kemudian berkembang ke bidang-bidang kesehatan, ekonomi serta isu-isu risiko sosial lainnya. Pada waktu yang lalu, kegagalan komunikasi risiko terkadang mengakibatkan terjadinya akselerasi kekhawatiran publik menjadi sengketa berlarut-larut antara konsumen, regulator dan industri. Outrage merupakan terminologi yang digunakan oleh komunikator risiko untuk menjelaskan reaksi publik terhadap bahaya/risiko yang tidak dapat diterima (Sandman, 1987). Sementara itu, stigma merupakan terminologi yang digunakan untuk mengindikasikan suatu risiko atau kontroversi yang mengakibatkan terjadinya ketakutan dan mempengaruhi industri secara keseluruhan (Slovic, 2000; Flynn, 2002). Pada saat orang mencapai tahapan outrage atau stigma, pemecahan masalah dan kompromi-kompromi menjadi semakin problematik, dan pengambilan keputusan menjadi semakin terpolarisasi serta mudah diperdebatkan. Hasil-hasil penelitian dalam tiga dekade terakhir menunjukkan bahwa besaran ketakutan atau kekhawatiran yang dirasakan publik bergantung pada persepsi karakteristik risiko dari setiap bahaya tertentu. Beberapa jenis bahaya tertentu memang kurang dapat ditoleransi seperti yang lainnya dan seringkali tidak ada hubungannya dengan probabilitas statistik. Secara umum, karakteristik risiko sebagai determinan penting bagi publik untuk menetapkan risiko dari suatu bahaya seringkali berkaitan erat, antara lain dengan kemauan, pengendalian/pengawasan, fairness, familiaritas dan dampak terhadap generasi yang akan datang (Fischhoff et al., 2002). Paling tidak ada tiga faktor yang secara konsisten muncul sebagai determinan penting untuk menghindarkan kontroversi, yaitu mengenal persepsi publik, membuka kesempatan partisipasi publik secara dini dan berarti, serta meraih kepercayaan publik. Strategi baru komunikasi risiko mengandung suatu gerakan yang mendorong keterlibatan stakeholders serta partisipasi publik dalam isu-isu pemerintah dan kebijakan, termasuk validasi persepsi publik mengenai risiko (Chartier and Gabler, 2001). Menurut laporan FAO/WHO (1998), sasaran dari komunikasi risiko diantaranya adalah:

• Memperbaiki efektivitas dan efisiensi proses analisis risiko

• Mempromosikan konsistensi dan transparansi dalam mengimplementasikan keputusan-keputusan manajemen risiko

• Mempromosikan kepedulian dan pemahaman isu-isu spesifik dari proses analisis risiko

4

• Memperkuat hubungan kerja serta saling menghormati antara asesor risiko dengan pihak manajemen

• Saling tukar menukar informasi antara pihak-pihak yang tertarik dengan analisis risiko dan manajemen

• Meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik terhadap analisis risiko dan manajemen

Laporan tersebut juga mempertimbangkan komunikasi risiko sebagai bagian integral dari pengembang-an teknologi, bukan hanya sekedar transfer pengetahuan satu arah dari ilmuwan kepada pengguna. Komunikasi risiko juga merupakan salah satu dari tiga komponen dalam proses analisis risiko. Penaksiran risiko (risk assessment) adalah proses yang digunakan untuk mengestimasi dan mengkarakterisasi risiko secara kuantitatif atau kualitatif. Manajemen risiko (risk management) diarahkan sebagai alat untuk menimbang dan menseleksi berbagai opsi serta melaksanakan pengendalian/pengawasan agar dapat menjamin suatu tingkat proteksi yang tepat. Komunikasi risiko sebagai bagian integral dari analisis risiko merupakan suatu alat yang diperlukan dan kritikal untuk mendefinisikan isu-isu, serta mengembangkan, memahami dan memutuskan keputusan pengelolaan risiko terbaik. Sebelum penaksiran risiko formal dimulai, berbagai informasi dari pihak-pihak yang berkepentingan harus dikumpulkan untuk menyiapkan suatu profil risiko. Profil ini menguraikan masalah, misalnya keamanan pangan, beserta kontekstualnya dan mengidentifikasi elemen-elemen bahaya atau risiko yang relevan dengan berbagai keputusan manajemen risiko. Hal ini seringkali melibatkan kegiatan evaluasi risiko awal yang sangat bergantung pada komunikasi risiko yang efektif. Karakterisasi risiko merupakan cara utama untuk mengkomunikasikan temuan-temuan penaksiran risiko, misalnya keamanan pangan, kepada manajer risiko dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Estimasi numerikal dalam karakterisasi harus ditunjang informasi kualitatif mengenai sifat risiko serta bobot bukti yang mendefinisikan dan mendukung risiko tersebut. Hadden (2001) memberikan argumentasi bahwa publik (a) berhak mengetahui risiko yang dihadapi serta kebijakan apa yang ada untuk mengatur risiko tersebut, dan (b) berhak berpartisipasi dalam pengkajian risiko serta pengambilan keputusan manajemen. Elemen esensial dari komunikasi risiko adalah fasilitasi proses identifikasi risiko serta pembebanan alternatif keputusan oleh manajer risiko dan publik. Dengan demikian, komunikasi risiko yang tepat adalah komunikasi risiko interaktif. Elemen-elemen dari komunikasi risiko efektif Uraian sebelumnya memberikan gambaran bahwa transmisi pengetahuan ilmiah saja tidak cukup untuk mengimplementasikan komunikasi risiko secara efektif. Pengetahuan ilmiah jangan dianggap tidak memiliki cacat, bebas nilai dan tidak bias. Pengetahuan ilmiah juga jangan dipertimbangkan sebagai kriteria tunggal untuk adopsi teknologi. Namun demikian, kebijakan teknologi harus berdasarkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, walaupun bukan satu-satunya komponen, transmisi pengetahuan ilmiah merupakan komponen penting dalam komunikasi risiko. Bergantung pada apa yang akan dikomunikasikan dan kepada siapa, pesan-pesan komunikasi risiko dapat berisi informasi mengenai:

• Sifat dari risiko (The nature of the risk)

o Karakteristik dan tingkat kepentingan dari suatu bahaya (hazard)

o Besaran dan keparahan (severity) dari suatu risiko

o Urgensi dari situasi tertentu

5

o Risiko tersebut cenderung semakin besar atau semakin kecil (trends)

o Probabilitas dari eksposur terhadap bahaya

o Distribusi eksposur

o Jumlah eksposur yang mengandung risiko signifikan

o Sifat dan ukuran populasi yang berisiko

o Pihak mana yang menghadapi risiko tertinggi?

• Sifat dari manfaat (The nature of the benefits)

o Manfaat aktual dan yang diharapkan dari setiap risiko

o Siapa yang mendapatkan manfaat dan dengan cara bagaimana

o Dimanakah titik keseimbangan antara risiko dan manfaat

o Besaran dan tingkat kepentingan manfaat

o Manfaat total yang mempengaruhi seluruh populasi

• Ketidak-pastian dalam penaksiran risiko (Uncertainties in risk assessment)

o Metode yang digunakan untuk menaksir/mengkaji risiko

o Tingkat kepentingan dari setiap ketidak-pastian

o Kelemahan atau ketidak-akurasian dari data yang tersedia

o Asumsi-asumsi yang digunakan dalam proses estimasi

o Sensitivitas estimasi terhadap perubahan-perubahan asumsi

o Pengaruh perubahan estimasi terhadap keputusan manajemen risiko

• Opsi-opsi manajemen risiko (Risk management options)

o Tindakan-tindakan yang diambil untuk mengendalikan atau mengelola risiko

o Tindakan individual yang mungkin diambil untuk mengurangi risiko personal

o Justifikasi dalam memilih suatu opsi manajemen risiko yang spesifik

o Efektivitas dari suatu opsi yang spesifik

o Manfaat dari suatu opsi yang spesifik

o Biaya dalam mengelola risiko dan siapa yang membayarnya

o Risiko-risiko yang masih tertinggal setelah suatu opsi manajemen risiko dilaksanakan

Aspek-aspek esensial atau prinsip-prinsip dari komunikasi risiko yang tepat seperti diuraikan dalam laporan FAO/WHO diantaranya adalah:

• Mengetahui audiens target. Audiens harus dianalisis sehubungan dengan upaya untuk memahami pengetahuan dan pendapat/opini audiens berkenaan dengan teknologi baru. Mendengarkan berbagai pihak yang terkait merupakan salah satu elemen kritikal dari aspek ini.

• Melibatkan pakar atau ilmuwan. Keputusan-keputusan kebijakan teknologi harus berlan-daskan pertimbangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ahli-ahli ilmu pengetahuan harus dilibatkan untuk menguraikan pengetahuan saat ini (aktual) mengenai teknologi baru secara jelas dan ringkas.

• Melibatkan keahlian tertentu di bidang komunikasi. Keberhasilan komunikasi risiko memer-lukan keahlian dalam meneruskan informasi dengan jelas agar mudah dipahami publik. Dalam kaitan ini, publik juga harus menunjukkan upaya yang seimbang untuk lebih memahami ilmu pengetahuan.

6

• Memanfaatkan sumber informasi yang kredibel. Faktor-faktor yang mempengaruhi kredibili-tas sumber diantaranya adalah persepsi menyangkut kompetensi dan rasa kepercayaan. Pesan-pesan yang konsisten dapat membantu terbangunnya kredibilitas.

• Melakukan “sharing” tanggung jawab. Ilmuwan, lembaga regulator dan industri harus share tanggungjawab dalam mengembangkan serta mengelola teknologi yang efektif dan aman. Pihak-pihak ini juga semakin menuntut agar konsumen turut bertanggung jawab secara lebih aktif berupaya mencari informasi mengenai pengembangan teknologi dan pembuatan kebijakan.

• Membedakan antara “science” dan “value-judgment”. Komunikasi risiko harus fokus berdasarkan kenyataan-kenyataan, bukan nilai-nilai. Namun demikian, pendekatan terhadap komunikasi risiko ini hampir tidak mungkin, karena mustahil suatu ilmu pengetahuan bebas dari bias dan value-judgment. Oleh karena itu, ilmuwan harus berupaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan value-judgmentnya dari komunikasi risiko.

• Menjamin transparansi. Dalam batas-batas tertentu menyangkut kerahasiaan suatu teknologi, ilmuwan tetap harus membantu publik untuk memahami proses pengembangan teknologi dan pengkajian risiko.

• Menempatkan atau memposisikan risiko dalam perspektif. Risiko dan manfaat serta proba-bilitasnya masing-masing harus diperbandingkan satu sama lain. Namun demikian, memperbandingkan risiko ini harus dilakukan secara hati-hati, karena pilihan risiko-risiko yang hendak diperbandingkan tersebut mungkin saja merefleksikan bias.

Hambatan-hambatan terhadap komunikasi risiko efektif

• Hambatan-hambatan dalam proses analisis risiko: Komunikasi memainkan peran vital selama proses analisis risiko untuk menjamin agar strategi manajemen risiko secara efektif dapat meminimalkan risiko yang dihadapi publik. Banyak langkah-langkah komunikasi selama proses merupakan hal yang bersifat internal serta pertukaran interaktif antara manajer risiko dan asesor risiko. Dua langkah kunci, yaitu identifikasi bahaya/hazard dan seleksi opsi manajemen risiko, memerlukan komunikasi risiko dengan semua pihak terkait untuk membantu perbaikan transparansi pengambilan keputusan dan meningkatkan potensi tingkat penerimaan outcome.

o Kurangnya informasi yang tersedia

Secara praktis, informasi mengenai keragaan dan keberhasilan teknologi baru biasanya relatif terbatas. Temuan baru dan kegunaan baru dari suatu teknologi dapat memperbaiki kekurangan yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak diantisipasi.

o Akses terhadap informasi

Informasi vital yang dibutuhkan untuk melaksanakan proses analisis risiko belum tentu disediakan secara sukarela oleh yang memilikinya. Pihak industri atau swasta terkadang memiliki informasi mengenai suatu risiko, namun tidak bersedia berbagi dengan lembaga pemerintah untuk melindungi posisi kompetitifnya, atau karena alasan bisnis lainnya. Di sisi lain, karena berbagai alasan, lembaga pemerintahan mungkin juga tidak bersedia secara terbuka mendiskusikan kenyataan atau bukti-bukti mengenai risiko tertentu. Akses penuh terhadap data relevan berkenaan dengan suatu risiko, belum tentu tersedia disetiap situasi. Kurangnya akses terhadap data yang

7

bersifat kritikal mengenai risiko tertentu menyebabkan langkah-langkah identifikasi bahaya dan manajemen risiko menjadi semakin sukar.

o Partisipasi di dalam proses

Kurangnya partisipasi pihak-pihak terkait dalam proses analisis risiko dapat menjadi hambatan penting untuk mengkomunikasikan risiko secara efektif. Partisipasi luas di dalam proses akan memperbaiki komunikasi risiko dengan memanfaatkan kesempatan untuk mengidentifikasi dan menjawab kekhawatiran dari pihak-pihak berkepentingan, pada saat keputusan dibuat. Partisipasi ini dapat meningkatkan pemahaman proses secara keselu-ruhan, sehingga akan mempermudah untuk mengkomunikasikan keputusan-keputusan tersebut kepada publik.

• Hambatan-hambatan berhubungan dengan human agency:

o Perbedaan dalam persepsi. Manusia dari segmen masyarakat berbeda atau dari masyarakat yang memiliki orientasi nilai yang berbeda akan memandang fakta ilmiah yang sama secara berbeda. Kekhawatiran tentang biaya dan sudut pandang mengenai cara pengelolaan risiko yang terbaik akan bervariasi antar individu maupun sub-populasi. Ekspos terhadap bahaya serta komitmen untuk menganalisis risiko akan berbeda dari orang ke orang. Efektivitas dari komunikasi risiko akan meningkat pada saat orang menjadi peduli tentang adanya perbedaan persepsi serta alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut.

o Perbedaan dalam reseptivitas/penerimaan. Berdasarkan persepsi risiko yang serupa, kekhawatiran orang tentang risiko tersebut juga akan berbeda. Sebagian orang akan menimbang 1% peluang kegagalan suatu teknologi sebagai sesuatu yang dapat diterima, sedangkan sebagian lain menganggap bahwa peluang kegagalan tersebut terlalu berisiko.

o Kurangnya pemahaman mengenai proses ilmiah. Kebanyakan orang yang tidak memiliki pemahaman lengkap mengenai proses ilmiah, bukan semata-mata karena yang bersangkutan pendidikan formalnya rendah atau kesadarannya terhadap isu-isu sosial kurang, tetapi karena ketidak-peduliannya terhadap ilmu pengetahuan. Orang yang berpendidikan tinggipun banyak yang kurang peduli terhadap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, komunikasi risiko harus menggunakan terminologi-terminologi non-teknis untuk mengatasi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan ketidak-pedulian (ignorance). Dalam hal ini, komunikasi risiko juga harus dapat memberikan edukasi kepada publik mengenai proses ilmiah atau ilmu pengetahuan.

o Kredibilitas sumber informasi. Kepercayaan terhadap sumber informasi teknologi baru merupakan faktor paling penting yang mempengaruhi opini publik. Kepercayaan ini berhubungan erat dengan persepsi menyangkut keakhlian (expertise), akurasi dan kekhawatiran berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat/publik. Ketidak-percayaan akan semakin meningkat sejalan dengan kecurigaan terhadap adanya penyimpangan/ bias atau konflik kepentingan. Sekali hilang, kepercayaan ini akan sangat sukar untuk dipulihkan.

o Efek/pengaruh media. Kebanyakan orang menerima informasi teknologi baru dari media. Oleh karena hanya sebagian kecil reporter yang memiliki latar belakang kuat

8

mengenai iptek, maka ketergatungan tinggi kepada ilmuwan untuk mempresentasikan informasi iptek secara jelas dan singkat dengan menggunakan bahasa non-teknis akan terjadi. Reporter disatu sisi secara etis terikat untuk mempresentasikan informasi tersebut berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan apa yang dianggap oleh seorang ilmuwan sebagai kebenaran (truth). Ilmuwan seringkali menuduh media sebagai penyebab terjadinya kontroversi publik yang seharusnya dapat dihindarkan seandainya media tidak mempresentasikan pandangan-pandangan dari kelompok oposisi. Hal ini mengimplikasikan perlunya pelatihan ketrampilan media bagi komunikator risiko serta perlunya pelatihan iptek bagi reporter.

o Karakteristik-karakteristik sosial. Hambatan bahasa, perbedaan budaya, buta huruf, hambatan geografis, diskriminasi, eksploitasi kekuasaan dan berbagai karakteristik masyarakat lainnya akan sangat berpengaruh terhadap persepsi risiko, penerimaan pesan-pesan risiko, kredibilitas sumber informasi, serta opini mengenai risiko. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan sosial yang mungkin dapat mempengaruhi persepsi dan efektivitas komunikasi risiko perlu diidentifikasi secara teliti.

Strategi komunikasi risiko yang efektif Komunikasi risiko terjadi dalam berbagai konteks yang berbeda. Penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa strategi komunikasi yang berbeda perlu dirancang untuk konteks yang berbeda-beda tersebut. Pendekatan sistematis yang harus dipertimbangkan pada saat mengembangkan strategi komunikasi risiko adalah sebagai berikut:

• Latar belakang/informasi

o Pahami dasar ilmu pengetahuan dari teknologi, risiko dan ketidak-pastian

o Pahami persepsi publik mengenai risiko tersebut, melalui survai risiko, wawancara dan fokus grup

o Temukan dan simpulkan informasi mengenai risiko seperti apa yang dikehendaki publik

o Pelihara kepekaan terhadap isu-isu terkait yang mungkin bahkan lebih penting dibandingkan dengan risiko itu sendiri

o Pelihara kepekaan terhadap perbedaan-perbedaan dalam persepsi, akses informasi, penerimaan informasi dan konteks sosial.

• Persiapan

o Hindarkan penyederhanaan perbandingan antara risiko yang telah dikenal dengan risiko baru, karena mungkin saja keduanya tidak akurat

o Kenali dan tanggapi aspek-aspek emosional dari persepsi risiko. Sandman menyata-kan bahwa risk = hazard + outrage. Hazard adalah kajian teknis dari risiko, sedangkan outrage adalah respon emosional terhadap hazard analysis. Hazard dan outrage merupakan determinan kajian (assessment) risiko publik yang sama pentingnya.

o Ekspresikan risiko ke dalam berbagai cara berbeda, tanpa menghindarkan isu-isu sentral tentang teknologi baru.

o Jelaskan faktor-faktor ketidak-pastian yang digunakan dalam pengkajian risiko (risk assessment) dan penentuan standar

o Jaga keterbukaan, fleksibilitas dan rekognisi tanggung jawab publik dalam semua kegiatan komunikasi

o Bangun kepedulian/kesadaran publik mengenai manfaat dan risiko teknologi baru

9

• Diseminasi/distribusi

o Terima dan libatkan publik sebagai mitra resmi dalam perumusan kebijakan teknologi. Uraikan informasi mengenai risiko/manfaat dan cara-cara pengendaliannya secara jelas.

o Rasakan atau terima kekhawatiran publik (public’s concern), jangan sampai ditolak/ dihindarkan karena dianggap tidak penting.

o Diskusikan semua isu secara jujur, baik-baik dan terbuka

o Jika menjelaskan data statistik yang dihasilkan dari pengkajian risiko, jelaskan proses dari pengkajian risiko tersebut terlebih dahulu

o Koordinasi dan kolaborasi dengan sumber-sumber informasi kredibel lainnya

o Penuhi kebutuhan-kebutuhan dari media

• Kaji ulang dan evaluasi

o Evaluasi efektivitas pesan-pesan risiko dan saluran-saluran komunikasi

o Berikan penekanan pada tindakan-tindakan untuk memantau, mengelola dan mengurangi risiko

o Buat perencanaan secara hati-hati dan lakukan evaluasi terhadap setiap tindakan

Komunikasi risiko berkaitan dengan keamanan pangan Struktur analisis risiko sebagai model untuk menetapkan standar keamanan pangan terdiri dari tiga komponen, yaitu pengkajian risiko (risk assessment), pengelolaan risiko (risk management) dan komunikasi risiko (risk communication) (FAO, 1997). Setiap komponen merupakan bagian terpisah dengan fungsi dan tanggung jawab unik, namun seperti diperlihatkan pada gambar di bawah ini, ketiga komponen tersebut saling tumpang tindih dan berbagi area yang sama (overlap and share common areas). FAO (1997) menekankan pentingnya memisahkan pengkajian risiko dengan pengelolaan risiko untuk menjamin agar proses pengkajian bersifat independen dan terbebas dari tekanan-tekanan, serta pengambilan keputusan didasarkan pada ilmu pengetahuan, bukan mitos atau faktor-faktor politis. Penekanan juga diberikan agar proses tersebut berlangsung secara terbuka dan transparan untuk mengindikasikan peranan dari komunikasi risiko yang efektif. Paradigma baru komunikasi risiko menekankan partisipasi dini stakeholders dan publik sebagai sesuatu yang relevan dengan konteks pergerakan menuju demokratisasi (Slovic, 2000). Keterlibatan partisipatif ini merupakan kunci untuk membangun penerimaan dan pemahaman keputusan-keputusan kebijakan pemerintah. Model partisipatif komunikasi risiko secara potensial dapat memfasilitasi proses demokrasi dan meningkatkan keyakinan serta persetujuan terhadap keputusan-keputusan yang dibuat (Smith and Halliwell, 1999). Kemampuan untuk mengkomunikasikan secara efektif risiko keamanan pangan atau risiko-risiko yang dipersepsi maupun yang diinduksi oleh teknologi baru, merupakan komponen integral dari strategi pengelolaan risiko terpadu (Powell, 2000). Sektor pangan/makanan internasional pada saat ini sedang menghadapi krisis kepercayaan sejalan dengan semakin meningkatnya kepedulian terhadap risiko-risiko yang berkaitan dengan pangan/makanan (misalnya E. coli , bovine spongiform encephalopathy – BSE, dan pangan/makanan yang direkayasa secara genetis). Penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian dan teknologi pangan lainnya, teknik manajemen serta kekhawatiran etis (ethical concerns) semakin mendapat sorotan dan semakin dipertanyakan manfaatnya. Namun demikian, kemampuan untuk mengaplikasikan solusi berbasis ilmu pengetahuan akan sangat bergantung pada isu-isu persep-si publik, regulatory environment, kejujuran, keadilan, akuntabilitas dan kepercayaan. Pengkajian risiko ilmiah teknologi pertanian pangan harus didukung oleh pengelolaan risiko berbasis penelitian dan kegiatan-kegiatan komunikasi. Dengan demikian, konsumen, media dan lainnya secara seimbang dapat memperoleh pengkajian berbasis ilmu pengetahuan mengenai manfaat dan risiko suatu

10

teknologi, serta dapat berdampak positif terhadap pengembangan kebijakan publik. Dalam hal ini, tantangannya adalah menggabungkan/memasukkan persepsi publik ke dalam perumusan/pengem-bangan kebijakan tanpa meninggalkan peranan kepemimpinan ilmu pengetahuan. Penilaian publik terhadap risiko sangat peka terhadap banyak faktor. Penelitian di bidang psikologi telah mengidentifikasi 47 faktor yang berpengaruh terhadap persepsi publik mengenai risiko, termasuk apakah risiko-risiko tersebut mematikan, tidak terkontrol, menjurus ke bencana dan tidak dapat dikompensasi oleh manfaat (Covello, 1992). Persepsi dari agen-agen pengendali/pengawas juga mempengaruhi persepsi risiko. Diskoneksi antara cara publik dan ilmuwan dalam mengukur risiko dapat menjelaskan mengapa kekhawatiran publik tidak selalu merefleksikan tingkat risiko yang ditetapkan secara ilmiah, bahkan pada beberapa kasus menjurus pada kesalahan persepsi tentang risiko yang dimaksud.

STRUKTUR ANALISIS RISIKO

Kemajuan teknik produksi bahan-bahan kimia berakibat langsung pada penggunaan insektisida, fungisida maupun fumigan dalam kegiatan produksi pertanian/pangan. Keinginan untuk meningkatkan produktivitas dalam rangka menjawab semakin meningkatnya permintaan pangan merupakan salah satu kekuatan penghela penggunaan material kimiawi di sektor pertanian. Saat ini, disamping menyemprotkan pestisida secara eksternal, bahan kimia alami bahkan direkayasa secara genetis ke dalam tanaman. Diskusi publik mengenai bioteknologi pertanian berkembang hampir serupa dengan diskusi publik sebelumnya mengenai pestisida. Namun demikian, diskusi tersebut terutama lebih menyoroti masalah risiko vs manfaat, bukan topik diskusi yang lebih menarik, misalnya mengenai memaksimalkan manfaat sambil meminimalkan risiko. Selama dekade terakhir, informasi/pengetahuan telah banyak dihimpun untuk membantu pemahaman mengenai persepsi publik tentang bioteknologi pertanian, bagaimana media menterjemahkan informasi ini, dan bagaimana pemerintah, industri serta organisasi-organisasi lain dapat menghubungkan informasi risiko tersebut dengan berbagai disiplin ilmu. Komunikasi risiko – ilmu untuk pemahaman

Pengkajian risiko • Identifikasi bahaya

• Karakterisasi bahaya

• Pengkajian eksposur

• Karakterisasi risiko

Pengelolaan risiko • Evaluasi risiko

• Pengkajian opsi

• Implementasi opsi

• Pemantauan & review

Komunikasi risiko

11

risiko ilmiah dan teknologi serta bagaimana risiko tersebut dikomunikasikan dalam suatu struktur sosiopolitis – merupakan disiplin ilmu yang relatif baru. Beberapa koleksi, panduan dan kaji ulang komunikasi risiko telah dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir ini (Covello, Sandman, & Slovic, 1988; Covello, von Winterfeldt, & Slovic, 1986; Hance, Chess, & Sandman, 1988; Leiss, 1989; Lundgren, 1994; Morgan, 1993; Morgan, et al., 1992; Powell, 2000; Powell & Leiss, 1997; US National Research Council, 1989). Soby, Simpson dan Ives (1993) dalam suatu kaji ulang penelitian komunikasi risiko dan kegunaannya untuk mengelola risiko-risiko yang berkaitan dengan pangan/makanan, telah mengembangkan suatu konsep siklus pengelolaan risiko. Dalam model ini, kekhawatiran (concern) publik dan stakeholder lainnya secara aktif disoroti di setiap tahapan pengkajian proses manajemen. Pendekatan integratif analisis risiko ini dirancang mengikuti tahapan:

• Mendefinisikan masalah dan meletakkannya dalam konteks tertentu

• Menganalisis risiko yang berkaitan dengan masalah dalam konteks

• Memeriksa opsi-opsi yang dapat digunakan untuk menangani risiko

• Mengambil keputusan menyangkut opsi yang akan dilaksanakan

• Melakukan tindakan sebagai implementasi dari keputusan yang telah diambil

• Melakukan evaluasi terhadap hasil dari tindakan

Sesuatu hal yang bersifat fundamental dari pendekatan ini adalah penggunaan komunikasi risiko untuk mengikut-sertakan stakeholders di seluruh proses. US National Research Council mendefinisikan komunikasi risiko sebagai suatu proses interaktif dari pertukaran informasi dan opini antara individu, kelompok serta institusi. Penelitian terakhir mengenai pengelolaan risiko dan komunikasi mengindikasikan bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan risiko keamanan pangan harus sungguh-sungguh memperlihatkan upayanya untuk mengurangi, meringankan atau meminimalkan risiko tertentu. Pihak-pihak bertanggung jawab ini harus dapat mengkomunikasikan upayanya secara efektif dan membuktikan bahwa upaya-upaya tersebut secara aktual dapat mengurangi tingkat risiko. Kondisi pada saat ini yang menyangkut ketidak-percayaan terhadap regulatory agencies dan industri, terutama di Eropa, membuat komunikasi risiko tidak saja semakin menantang, tetapi juga menjadi semakin penting. Peliputan media mengenai pangan/makanan yang direkayasa secara genetik (dan bioteknologi secara umum) seringkali dipolarisasi menjadi: keamanan vs risiko; ilmu pengetahuan yang semakin berkembang vs ilmu pengetahuan yang tidak terkontrol; kebersaingan vs keamanan (Powell and Leiss, 1997). Film dan novel telah sejak lama menjejali publik dengan citra ilmu pengetahuan yang lepas kendali/tidak terkontrol. Pada saat hal ini juga dibarengi dengan tendensi masyarakat Barat yang menetapkan ekspektasi tidak realistis terhadap suatu teknologi, maka terciptalah lingkungan ideal untuk berkembangnya ketakutan/keprihatinan publik. Sampai tahun 1994, pada saat rBST dan produk bioteknologi lainnya muncul di USA, banyak laporan yang menuliskan tentang ilmu pengetahuan yang tidak terkontrol (out of control). Kondisi ini diperhebat dengan munculnya fim Jurassic Park pada tahun 1993 yang menceritakan teknologi rekombinan DNA sebagai salah satu kegagalan ilmu pengetahuan yang membahayakan masyarakat. Cerita-cerita lain seperti: Research Skewed: Bioengineered Food Serves Corporate, Not Public, Needs (Dubey, 1993); Science Is Playing With Our Food (Murray, 1993); Invasion Of The Mutant Tomatoes (Powell, 1992); dan Genetics Expert Fears Mutant Monsters (1993); telah memberikan banyak bahan/material untuk editorial kartun yang sebagian besar diturunkan atau diadaptasi dari metaphor Frankenstein. Analisis media merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memahami formasi opini publik – melihat apa yang dikatakan orang dan apa yang telah diceritakan kepada mereka. Penelitian

12

sebelumnya telah mendemonstrasikan bahwa konsumen di Amerika Utara banyak menerima informasi ilmu pengetahuan dari media (Powell & Griffiths, 1994; Consumers Association of Canada, 1990; Nelkin, 1987). Kebergantungan terhadap media ini dapat membantu pendefinisian rasa publik mengenai realitas (public’s sense of reality) dan persepsi publik mengenai risiko maupun manfaat. Media tidak hanya merefleksikan persepsi publik mengenai suatu isu tertentu, tetapi juga membentuk persepsi publik dengan menceritakan kepada masyarakat mengenai apa yang harus dipikirkan. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan media untuk menggambarkan isu-isu sekitar bioteknologi pertanian dan keamanan pangan dapat mempengaruhi persepsi konsumen. Bagaimana hal ini dapat diterjemahkan ke perilaku konsumen masih belum ada informasi yang jelas, bahkan cenderung lebih kontroversial. Walaupun demikian, secara umum disepakati bahwa pengaruh pesan-pesan media akan sangat bergantung pada konteks sosial dan budaya masyarakat yang menerima pesan tersebut. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya diskusi publik mengenai bioteknologi pertanian yang cenderung mengikuti jejak adopsi secara luas input produksi kimiawi setelah Perang Dunia II, dimana pendukungnya menganjurkan edukasi yang lebih baik, sedangkan kritikusnya mencemoohkan nilai kegiatan pertanian produktivitas tinggi. Diskusi lebih terfokus pada pembicaraan risiko vs manfaat, bukan pada topik diskusi yang lebih mengarah pada memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko. Dalam merespon kontroversi risiko publik (seperti bioteknologi pertanian), politikus, eksekutif perusahaan dan akademisi mendorong masyarakat agar memperoleh edukasi/pendidikan yang lebih baik berkenaan dengan hal-hal yang bersifat ilmiah. Hal ini diarahkan untuk mengatasi ketakutan/ kekhawatiran publik yang merupakan salah satu hambatan kemajuan. Strategi retorikal seperti ini telah sering disarankan oleh promotor teknologi di dalam diskusi-diskusi mengenai risiko teknologi sejak 200 tahun yang lalu. Promotor bahan-bahan kimia pertanian pada tahun 1960an serta promotor enerji nuklir pada tahun 1970an juga telah memanfaatkan model pendidikan publik (public education model) dan gagal. Hasil survai berulang-ulang menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih peduli tentang bioteknologi dan berpendapat bahwa bioteknologi akan lebih menawarkan manfaat, juga berpendapat bahwa bioteknologi tersebut lebih menimbulkan risiko bahaya (Angus Reid Group Inc., 1999; Environics, 2000; Frewer, Howard, & Shepherd, 1995; Hoban, 1997). Dugaan bahwa peningkatan/penguatan pendidikan secara otomatis dapat meningkatkan penerimaan terhadap bioteknologi ternyata tidak tergambarkan dari hasil survai. Pendapat alternatif lainnya menyatakan bahwa mereka yang memiliki latar belakang pendidikan lebih baik akan dapat secara lebih kritis mengkaji risiko dan manfaat suatu teknologi baru, seperti bioteknologi. Dalam alam demokrasi, pemilih (voters) secara rutin akan membuat keputusan mengenai kebijakan-kebijakan yang sebenarnya tidak mereka miliki detil pemahaman akademisnya. Konsumen akan terus membuat keputusan mengenai bioteknologi, terlepas apakah mereka memiliki latar belakang pendidikan yang baik atau tidak. Beberapa survai di Amerika Utara dan Inggris menemukan bahwa kepercayaan terhadap regulasi pemerintah (dan industri) berkenaan dengan pestisida (Dittus and Hillers, 1993), maupun produk bioteknologi (Frewer et al., 1995) merupakan prediktor paling kuat untuk dukungan konsumen. Orang dapat menaruh kepercayaan atau tidak mempercayai bahwa pestisida dan produk bioteknologi telah cukup diatur oleh pemerintah. Mereka yang memiliki kepercayaan rendah akan sangat khawatir mengenai kemungkinan risiko bahaya, sedangkan mereka yang menaruh kepercayaan tinggi akan mempersepsi adanya manfaat tinggi dari kedua jenis produk tersebut. Secara singkat, kepercayaan kepada pemerintah dan industri mungkin berpengaruh lebih penting terhadap persepsi risiko dibandingkan dengan keamanan atau bahaya yang sebenarnya melekat (inherent) pada produk pestisida atau bioteknologi tertentu.

13

Konsumen memerlukan informasi berasal dari sumber terpercaya yang dapat menjelaskan mengenai risiko serta langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menangani risiko tersebut, disamping aspek keamanan dan manfaat dari teknologi bersangkutan. Sebagai contoh, untuk orang Kanada, sumber informasi yang paling dapat dipercaya untuk makanan, kesehatan dan isu-isu pertanian adalah kelompok konsumen, kelompok tani dan organisasi nirlaba (Ipsos-Reid, 2001). Penelitian lainnya mengindikasikan kredibilitas yang tinggi bagi ilmuwan independen (berafiliasi dengan universitas atau lembaga penelitian publik) dan profesional kesehatan (Earnscliffe Research and Communication, 2001). Produsen harus tetap konsisten dalam menerapkan praktek pengelolaan yang baik (good management practices) dan mengkomunikasikannya. Konsumen menginginkan informasi yang jujur mengenai sifat risiko tertentu. Program-program pengelolaan risiko yang bersifat producer-led merupakan strategi pengelolaan risiko yang tepat untuk mendemonstrasikan bahwa produsen peduli terhadap kekhawatiran konsumen mengenai keamanan pangan dan bioteknologi pertanian. Bekerjasama dengan media dan mengkomunikasikan program tersebut secara dini dapat menguatkan persepsi kepercayaan. Dalam suatu penelitian mengenai penerimaan konsumen terhadap tanaman pangan yang dimodifikasi secara genetik di Ontario, Kanada, jagung manis Bt dan kentang Bt (Bacillus thuringiensis) yang direkayasa secara genetik, ditanam berdampingan dengan varietas konvensional. Jagung manis Bt maupun kentang Bt tidak membutuhkan insektisida. Panen jagung dan kentang dipisahkan dan diberi label, kemudian uji konsumen langsung dilakukan untuk mempelajari preferensi pembelian. Secara keseluruhan, penjualan jagung manis Bt (680 lusin) ternyata mengalahkan penjualan jagung manis reguler (452,5 lusin). Survai konsumen mengindikasikan bahwa pengurangan penggunaan pestisida dan perbaikan rasa serta kualitas mempengaruhi keputusan pembelian jagung manis Bt (Powell et al., 2002). Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa konsumen dapat menangani pesan-pesan mengenai risiko. Jagung manis secara jelas diberi label hasil rekayasa genetik, dan latar belakang informasi mengenai arti rekayasa genetik juga diberikan. Mayoritas konsumen setelah membaca informasi tersebut ternyata memilih untuk membeli jagung manis yang direkayasa secara genetik. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan risiko yang satu dengan risiko lainnya (pestisida vs bioteknologi), tetapi untuk mengenali kekhawatiran-kekhawatiran yang terjadi di masyarakat dan memberikan informasi secara terbuka mengenai apa yang dikehendaki konsumen. Penutup Beberapa pertimbangan penting untuk komunikasi risiko (misalnya untuk keamanan pangan) di masa depan adalah sebagai berikut:

• Publik atau konsumen dibagi ke dalam banyak segmen-segmen yang berbeda dan menunjukkan tingkat upaya pencarian informasi yang berbeda-beda pula. Komunikasi risiko efektif untuk populasi besar yang heterogen sangat sukar dilaksanakan, bahkan cenderung tidak mungkin

• Strategi komunikasi risiko dengan target yang jelas sangat diperlukan untuk segmen-segmen yang berbeda. Kegiatan identifikasi harus ditempuh untuk menentukan kelompok spesifik yang berisiko (at risk)

• Kelengkapan/ketersediaan informasi tidak selalu menjamin terjadinya perubahan perilaku. Upaya untuk mempromosikan perubahan perilaku keamanan pangan mungkin lebih sulit dibandingkan dengan mempromosikan perubahan diet.

14

• Pendidikan mengenai keamanan pangan pada usia dini (melalui kurikulum sekolah) sangat dianjurkan

• Kepercayaan merupakan sesuatu yang sangat kompleks serta lebih bergantung pada faktor-faktor sosial dan kelembagaan, dibandingkan dengan persepsi risiko individual

• Tindakan-tindakan yang diambil untuk memperbaiki keamanan pangan secara positif telah mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen

• Pendekatan baru untuk komunikasi risiko, khususnya peningkatan transparansi dan keterlibatan publik, juga mengandung kelemahan. Hal ini mengimplikasikan perlunya upaya perbaikan secara terus menerus

• Konsumen di masa depan tidak hanya akan memberikan perhatian terhadap keamanan pangan, tetapi juga akan menyoroti masalah nutrisi, kualitas pangan dan isu-isu etikal.

Pustaka Angus Reid Group Inc. 1999. International awareness and perceptions of genetically modified foods.

The Economist/Angus Reid Poll, 1-5.

Chartier, J. & Gabler, S. 2001. Risk communication and government: theory and application for the Canadian Food Inspection Agency. Chapter 2: Theoretical aspects of risk communication. Available at http://www.inspection.gc.ca/englishcorpaffr/publications/ riscomm/ricomm/ ch2e.shtml. Accessed end of 2002.

Consumers. Association of Canada. 1990. Food safety in Canada. Ottawa: Consumers. Association of Canada.

Covello, V.T. 1992. Risk communication: An emerging area of health communication research. In S. Deetz, Communication Yearbook (15th ed., pp. 359-373). Newbury Park: Sage Publications.

Covello, V.T., Sandman, P., and Slovic P. 1988. Risk communication, risk statistics and risk comparisons: A Manual for plant managers. Washington, DC: Chemical Manufacturers Association.

Covello, V.T., von Winterfeldt, D., and Slovic, P. 1986. Risk communication: A review of the literature. Risk Abstracts, 3, 171-182.

Dittus, K.L. and Hillers, V.N. 1993. Consumer trust and behavior related to pesticides. Food Technology, 477, 87-89.

Dubey, A. 1993, May 29. Research skewed. Kitchener-Waterloo Record, p. A7.

Earnscliffe Research and Communications. 2001. Presentation to the CFIA consultation on plant molecular farming. Ottawa, Canada. November 1.

Environics. 2000, July. Risk/benefit perceptions of biotechnology products (Final Report Pn4593). Prepared for Health Canada.

FAO. 1997. Risk management and food safety. Report of a Joint FAO/WHO Consultation. FAO Food and Nutrition Paper No. 65. Rome. 27 pp. Available at http://www.fao.org/docrep/W4982E/W4982E00.htm.

FAO/WHO. 1998. The application of risk communication to food standards and safety matters. Report of a Joint FAO/WHO Expert Consultation. FAO Food and Nutrition Paper No. 70. Rome. 46 pp.

Fischhoff, B., Slovic, P., Lichtenstein, S. & Combs, B. 2002. How safe is safe enough? A psychometric study of attitudes toward technological risks and benefits. In P. Slovic, ed., The perception of risk. London, Earthscan Publications. 474 pp.

15

Flynn, J. 2002. Nuclear stigma: notes on the social history of radiation. Report to the U.S. Department of Energy Low Dose Radiation Research Program. Available at http://www.decisionresearch.org/Projects/Low_Dose/research_reports.html.

Frewer, L., Howard, C., and Shepherd, R. 1995. Genetic engineering and food: What determines consumer acceptance? British Food Journal, 97, 31-36.

Genetics expert fears mutant monsters. 1993, March 24. Kitchener-Waterloo Record, p. A3.

Greenpeace. 2001. Fishtomato.com. Available on the World Wide Web: http://www.fishtomato.com/.

Hadden, S.G. 2001. A citizen’s right to know: Risk communication and public policy. Battelle Press.

Hance, B.J., Chess, C., and Sandman, P.M. 1988. Improving dialogue with communities: A Risk communication manual for government. New Brunswick, NJ: Rutgers University Environmental Communication Research Program.

Hoban, T.J. 1997. Consumer acceptance of biotechnology: An International perspective. Nature Biotechnology, 15, 232-234.

Ipsos-Reid. 2001, March. New thoughts for food: Consumer perceptions and attitudes toward foods (Final Report). Wave 1, Winnipeg, Manitoba.

Leiss, W. 1989. Prospects and problems in risk communication. Waterloo, Ontario: University of Waterloo Press.

Lundgren, R. 1994. Risk comunication: A Handbook for communicating environmental, safety and health risks. Battelle Press: Columbus, Ohio.

Morgan, M.G. 1993, July. Risk analysis and management. Scientific American, 32-41.

Morgan, G.M., Fischhoff, B., Bostrom, A., Lave, L., and Atman, C.J. 1992. Communicating risk to the public. Environmental Science & Technology, 26, 2048-2056.

Murray, M. 1993, May 11. How to build a better potato chip. Toronto Star, p. A1.

Nelkin, D. 1987. Selling science: How the press covers science and technology. New York: W.H. Freeman and Company.

Powell, D.A. 2000. Food safety and the consumer.perils of poor risk communication. Canadian Journal of Animal Science, 80(3), 393-404.

Powell, D.A. 1992, September 12. Invasion of the mutant tomatoes. Globe and Mail, p. D8.

Powell, D.A., Blaine, K., Morris, S., and Wilson, J. 2002. A comparative analysis of the agronomic, economic and consumer considerations regarding genetically engineered Bt and conventional sweet corn and table potatoes on a commercial fruit and vegetable farm in Ontario, Canada. Manuscript submitted for publication.

Powell, D.A. and Griffiths, M.W. 1994, June. Public perceptions of agricultural biotechnology in Canada. Paper presented at annual meeting of the Institute of Food Technologists, Atlanta, GA.

Powell, D.A. and Leiss, W. 1997. Mad cows and mother.s milk: The Perils of poor risk communication. McGill-Queen's University Press.

Sandman, P. 1987. Risk communication: facing public outrage. EPA Journal. Nov., pp. 21-22. Available at http://www.psandman.com/articles/facing.htm.

Sandman, P. 1993. Responding to community outrage: Strategies for effective risk communication. American Industrial Hygiene Association.

Slovic, P. 2000. Trust, emotion, sex, politics and science: surveying the risk-assessment battlefield. In P. Slovic, ed., The perception of risk. London, Earthscan Publications. 474 pp.

Smith,W. & Halliwell, J. 1999. Principles and practices for using scientific advice in government decision making; international best practices. Ottawa, Canada, Report to the S & T Strategy Directorate, Industry Canada. Available at http://csta-cest.gc.ca/pdf/bestprac1_e.pdf.

16

Soby, B.A., Simpson, A.C.D., and Ives, D.P. 1993. Integrating public and scientific judgements into a tool kit for managing food-related risks, stage 1: Literature review and feasibility study (ERAU Research Report No. 16). Report to the UK Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. Norwich, UK: University of East Anglia.

United States National Research Council. 1989. Improving risk communication. Washington, DC: National Academy Press Committee on Risk Perception and Communication.