komunikasi politik

20
KOMUNIKASI POLITIK Disusun oleh: KELOMPOK 3-M.K. PRILAKU POLITIK Bambang Arianto (372063) Azwar Wijaya Syam (371879) Hendra Yasin (371862) Pengantar Tulisan ini bermaksud mengkerangkai kita dalam memaknai akan pengertian komunikasi politik dan hal apa saja yang menjadi penting dalam memahami komunikasi politik. Guna membahas lebih mendalam tulisan ingin akan lebih berpijak pada tulisan Holli A. Semetko yang berjudul Political Communication. Namun terlebih dahulu kami akan mengkerangkai pemaknaan kita akan komunikasi politik. Secara etimologi komunikasi politik terdiri dari dua kata yakni komunikasi dan politik. Jika merujuk pada KBBI komunikasi memiliki arti (1) pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan dimaksud dapat dipahami; hubungan ; kontak atau (2) perhubungan (a) dua arah yakni komunikasi yang komunikan dan komunikatornya dalam satu saat bergantian memberikan informasi (b) formal yakni komunikasi yang memperhitungkan tingkat ketepatan, keringkasan, dan kecepatan komunikasi (c) masa kom yakni penyebaran informasi yang dilakukan oleh kelompok sosial tertentu kepada pendengar atau

description

politik

Transcript of komunikasi politik

KOMUNIKASI POLITIK

Disusun oleh:KELOMPOK 3-M.K. PRILAKU POLITIKBambang Arianto (372063)Azwar Wijaya Syam (371879)Hendra Yasin (371862)

PengantarTulisan ini bermaksud mengkerangkai kita dalam memaknai akan pengertian komunikasi politik dan hal apa saja yang menjadi penting dalam memahami komunikasi politik. Guna membahas lebih mendalam tulisan ingin akan lebih berpijak pada tulisan Holli A. Semetko yang berjudul Political Communication. Namun terlebih dahulu kami akan mengkerangkai pemaknaan kita akan komunikasi politik. Secara etimologi komunikasi politik terdiri dari dua kata yakni komunikasi dan politik. Jika merujuk pada KBBI komunikasi memiliki arti (1) pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan dimaksud dapat dipahami; hubungan ; kontak atau (2) perhubungan (a) dua arah yakni komunikasi yang komunikan dan komunikatornya dalam satu saat bergantian memberikan informasi (b) formal yakni komunikasi yang memperhitungkan tingkat ketepatan, keringkasan, dan kecepatan komunikasi (c) masa kom yakni penyebaran informasi yang dilakukan oleh kelompok sosial tertentu kepada pendengar atau khalayak yang heterogen serta tersebar di mana-mana (d) Sosial yakni komunikasi antara kelompok sosial dalam masyarakat. Adapun politik (KBBI) adalah pengetahuan mengenai ketatangeraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Menurut Andrew Heywood politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak lepas dari gejala konflik dan kerjasama (Budiardjo, 2008). Namun perlu dipahami 5 konsep pokok dalam memahami politik yakni negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan , dan pembagian atau alokasi (Budiardjo, 2008). Sedangkan dalam pemaknaan yang lain dan yang sering digunakan dalam dunia kampus politik dimaknai sebagai suatu cara mendapatkan, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi secara terminologi komunikasi politik dapat dipahami sebagai sebuah interaksi antara dua orang atau lebih baik secara langsung atau melalui perantara media yang berhubungan dengan segala kegiatan politik.

Komunikasi politik dan Riset Komunikasi PolitikTulisan Holli A. Semetko diawali dengan sebuah pengatar yang menarik untuk disimak. Dalam pengantar itu dia menjelaskan bahwa pemandangan politik global dan kesempatan untuk riset komunikasi politik terus dibentuk dalam membangun teknologi baru. Hadirnya Revolusi dibidang telekomunikasi tahun 1070-an dan 1980-an mengatarkan pada kesempatan warga negara dalam menemukan jalan komunikasi politik terutama televise (entman 1983). Hal ini dapat diamati dari pemberitaan dari perang di Vietnam yang berlangsung tahun 1960-an dan awal 1970-an jauh lebih lambat dibandingkan dengan liputan berita secara langsung yang menjadi rutinitas di awal 1990-an ketika CNN didirikan saat melaporkan Perang Teluk pertama (Bennett dan I'aletz 1994 ). Dengan kedatangan internet pada 1990-an, peluang baru untuk komunikasi politik dan Penelitian akan komunikasi politik melalui ketersediaan sumber media lama dan baru terus berkembang dengan cara yang mengejutkan. Namun tak dapat dipungkiri akhir 1990-an adanya memonopoli politik dan sekarang menjadi industri utama dalam dunia online (Crampton 200.1). Blog tertentu telah menjadi tempat berita utama bagi banyak kecanggihan politik, dan menciptakan peluang bagi komunikator politik dalam politik dan media untuk menantang media tradisional dalam berbagai cara yang tak terbayangkan sebelumnya (Gates, Owen, dan Gibson 2006). Gerakan sosial yang berinteraksi dengan media massa dan (Ganison dan Wolfsfeld 1993) dibantu oleh internet untuk memobilisasi dukungan luar saluran rutin (Bennett dan Entman 2001; Norris 2002). Namun dilain sisi internet juga digunakan oleh teroris untuk pergi tinggal dalam membuat jejak mereka pada agenda media global (Norris, Hanya, dan Kern 2003). Dengan kemampuan untuk mengirimkan informasi secara instan di seluruh dunia dan membawa perhatian baik terhada bencana atau isu lain. Internet dan media masa menjadi sarana baru untuk membawa pemerintah dan warga menjadi lebih dekat terutama menanggapi persoalan yang menjadi isu bersama. Namun di sisi yang lain kehadiran media menjadi hal yang menakutkan karena dapat membuat situasi yang tidak akur antara pemerintah dan warganya (Davis dan Owen 1998: shah. Kwak dan Holbert 2001). Disatu sisi kehadiran media baik cetak, visual maupun audio visual membuat masyarakat menjadi antipasti atau "tidak percaya politisi, skeptis tentang lembaga-lembaga demokratis dan kecewa tentang bagaimana fungsi proses demokrasi (Dalton 2004). Di satu sisi warga di beberapa berpenghasilan rendah "masyarakat dalam transisi" atau dalam konteks masyarakat dunia ketiga telah menemukan cara menggunakan internet untuk mempromosikan berbagai hal terutama menyangkut politik dan di satu sisi kondisi ini menghadirkan pembangun di dunia media dengan begitu cepat. Perubahan dramatis itu dialami oleh Rusia selama beberapa dekade terakhir menunjukkan betapa cepat bau kebebasan pers bisa lewat (Mickiewicz 1988, 1999). Harus patut diakui pula bahwa hadirnya berbagai media telah membawa keuntungan besar dan kebebasan berekspresi. Akan tetapi disatu sisi realitas global terjadi kesenjangan media digital yang begitu mencolok. Walaupun demikian bagi semetko kesenjangan digital itu tidak menjadi hal yang berpengaruh dalam mengkaji komunikasi politik Oleh karena itu dari dilatarbelakangi uraian di atas tulisan Semetko akan komunikasi politik dibagi dalam beberapa pembahasan penelitian yakni opini publik, sikap politik dan komunikasi politik sebelum beralih ke metode penelitian komunikasi politik dalam konteks konvergensi media baru. Konsep-konsep kunci dari agenda-setting, priming dan framing kemudian dibahas secara singkat serta keadaan penelitian komunikasi politik komparatif. Efek mikro-tingkat penggunaan media yang dibahas bersama dengan konsekuensi tingkat makro perubahan pada lingkungan media, menggunakan contoh-contoh pada pemilihan parlemen baru-baru ini di Eropa. Sebagai kesimpulan Semetko membahas peluang untuk penelitian komunikasi politik di masa depan.Opini Publik, Sikap Politik dan Konteks Komunikasi PolitikPhilip Converse (1962), dalam penelitian tentang stabilitas sikap berpendapat bahwasanya sikap berpendapat atau keyakinan kebanyakan orang Amerika tidak menunjukkan pola yang konsisten (lihat juga Bab Oleh Kuklinski dan Peyton, Converse). ANES menunjukkan dalam data panel tahun 1956, 1958, dan 1960 bahwa begitu banyak orang berubah pikiran tentang isu isu kebijkan, banyak diantara mereka yang memilih untuk tidak bersikap (apatis). Pergeseran opininpublik sebagian besar disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, minat dan ideologi yang menyebabkan keacakan opini tentang pertanyaan yang berkaitan dengan kebijakan publik. Pandangan lain yang tentang apa yang menggerakkan opini publik didasarkan pada masyarakat rasional yang dimana pendapatnya digerakkan oleh informasi dengan cara menampilkan konsistensi rasional anatara preferensi kebijakan dan nilai nilai (Page dan Shapiro 1992). Ada dua contoh yang dapat membantu kita untuk berfikir tentang salah satu masalah utama dalam riset opini publik dari perfektif komunikasi politik: ada ketegangan antara tingkat individu dan agregat, dan banyak studi fokus pada satu hal atau yang lainnya dan hanya menggunakan pendekatan metodologis tunggal yang seringkali mengabaikan variabel informasi terkait. Dalam menagatasi para apatis merupakan tantangan bagi para peneliti. ( Neijens 2004) menulis pada awal 1960-an, Converse (1964) meramalkan bahwa orang orang dengan tingkat paparan informasi dan berita yang rendah tidak akan mengubah minat dalam politik, pengetahuan politik serta sudut pandang mereka dalam hal politik secara drastis. Sementara orang orang yang mendapatkan pengaruh informasi yang tinggi akan menampilkan perubahan yang sistematis dan orang orang sepert mereka akan menjadi sangat terbuka terhadap pengaruh dari lingkungan informasi. Tiga dekade kemudian, Zaller (1992) berpendapat bahwa hubungan antara perubahan sikap dan kesadaran politik tidak linear, dan menunjukkan bahwa mereka yang berada pada tingkat pengetahuan yang moderat yang paling dimungkinkan untuk dipengaruhi oleh informasi. Ia juga mengklaim terhadap tingkat konsensus elit. Apakah informasi di media mengurangi atau meningkatkan pengaruh pribadi dalam membentuk sikap politik seseorang? Mutz (1994) berpendapat bahwa media, dengan melaporkan pengalaman orang dan menghubungkan ia dengan orang lain membantu seseorang untuk memahami pribadi orang lain. pengalaman sebagai bagian dari tren sosial yang besar demikian berpotensi mempengaruhi pendapat politik, preferensi politik, dan keputusan tentang apakah seseorang mengambil sikap politik atau tidak (berpartisipasi atau apatis). Mutz (1998) menunjukkan pentingnya peran yang dimainkan media dalam membentuk persepsi tingkat tren sosial serta perkembangan. Dan bagaimana media memainkan peran penting dalam mempengaruhi sikap politik.

Metode Melihat kembali karya seorang perintis sosiologi dan peneliti Paul Lazarsfeld (1901-1976), seorang pendiri di bidang penelitian komunikasi dan pelopor dalam mempelajari peran dan dampak media dalam pemilu (Lazasfeld, Berelson, dan Gaudet 1994) dalam mengenali dasar dasar dan pentingnya penelitian komunikasi politik. AS misalnya, antara tahun 1960 dan awal 1990-an, kampanya presiden US menjadi lebih negatif dan menghakimi, kurang deskriktif dan kurang berorientasi pada kebijakan, dan lebih sibuk dengan jajak pendapat dan kepribadian calon. Dan karakteristik berita kampanye seperti ini juga terlihat dalam tahun pertama pemerintahan Presiden Clinton (Petterson 1994). Dibandingkan dengan di televisi berita pemilu Amerika, liputan televisi pemilu di Inggris lebih padat, lebih terfokus kepada isu kebijakan, dan lebih bersifat positif (Semetko 1991), dan perbedaan lintas-nasional ini sebagian besar dijelaskan oleh media dan karakteristik sistem politik. terlepas dari kenyataan bahwa Jerman memiliki tingkat pembaca koran lebih tinggi daripada banyak negara di Uni Eropa lainnya dan relatif tinggi pada tingkat penggunaan internetnya, kebanyakan orang Jerman seperti warga negara negar Uni Eropa lainnya menggunakan media televisi sebagai sumber informasi yang utama pada waktu pemilihan umum. Berbeda dengan US dan Inggris, televisi Jerman menawarkan lebih banyak masalah politik. wartawan Jerman dan editor untuk program ini, rutin melaporkan berita politik selama akhir minggu kampanye pemilihan umum tanpa menyebutkan person person politik secara eksplisit. Sebaliknya, Inggris dan Wartawan AS jauh lebih mungkin untuk secara eksplisit menghubungkan dan menyebutkan setiap politikus di berita berita untuk kampanye pemilihan umum (Semetko 1996). Penelitian menunjukkan bahwa berita televisi di Jerman kurangsibuk dengan isu isu dan hal hal kebijakan, dan lebih memperhatikan kepribadian dan kualitas pribadi para pemimpin politik. Banyak penelitian berfokus pada penggunaan dan efek komunikasi politik dalam konteks kampanye ( lihat, misalnya, Petterson dan McClure 1976; Patterson 1980, 1994, 2002 studi pada kasus US) dan mengungkapkan pentingnya lingkungan informasi kampanye dalam memilih pilihan. Beberapa studi komunikasi politik difokuskan langsung pada efek berita opini publik, terutama pada metode penelitian tradisional seperti analisis data cross-sectional survey, desain panel survey, fokus kelompok, dan lab berbasis eksperimen (lihat Gamson 1992: Neuman, Kinder 1987, Lyengar 1991). Lainnya lokus pada bagaimana agenda berita dibentuk dan peran sumber berita dalam membentuk konten itu, dan bagaimana membandingkan masalah lintas nasional dari waktu ke waktu. (lihat misalnya, Blumler dan Gurevitch 1995 Cook 1998:2004 Lentnian) Survei, Eksperimen dan Teknologi internetSurvei atau jajak pendapat adalah salah satu cara bagi warga negara untuk menyampaikan pendapatnya yang dilakukan berdasarkan pada sampel yang representatif sehingga dapat mendapatkan temuan secara umum yang dapat disampaikan kepada publik secara komprehensif. Survei atau jajak pendapat merupakan salah satu sumber utama dalam penelitian komunikasi politik (Althaus, 2003). Hasil survei memang merupakan potret pandangan pemilih pada saat survei dilakukan. Tapi, apakah pandangan itu begitu dinamis dengan volatilitas yang sangat tinggi, sehingga bisa berubah dalam sekejap waktu? Biasanya, banyak survei yang menggunakan metode pencuplikan sampel berpeluang (probability sampling method), sehingga kesahihannya bisa dipertanggungjawabkan menurut kaidah statistik. Secara statistik, perbedaan hasil dua buah survei yang memotret variabel yang sama (elektabilitas) dari populasi yang sama (pemilih) memang sebuah keniscayaan. Namanya juga survei sampel, pastilah terdapat perbedaan yang muncul karena setiap survei memotret populasi dari sampel responden yang berbeda. Namun, lain soal bila perbedaan yang terjadi begitu tajam, bahkan dengan pola yang saling bertolak belakang. Dengan perbedaan setajam ini, pertanyaan yang menyeruak bisa jadi bukan soal hasil survei mana yang paling presisi, tapi mana yang bisa menjadi pegangan (baca: benar) untuk menggambarkan preferensi pemilih. Karena itu, cukup beralasan bila kita sedikit khawatir: lembaga survei telah menjadi alat politik untuk mendongkrak atau mengambrukkan figur dalam semalam. Dan, bisa jadi survei-survei politik yang dilakukan selama ini atas pesanan pihak-pihak yang ingin dilambungkan popularitasnya.Ada beberapa hal pokok yang harus diketahui untuk bisa mengambil sikap yang objektif. Pertama, pihak yang mendanai atau mensponsori kegiatan survei. Sebagaimana lembaga penerbitan atau publikasi media massa lainnya, penyandang dana atau sponsor seringkali bisa mempengaruhi atau bahkan menentukan hasil survei. Semua lembaga survei tentu akan mengklaim bahwa mereka independen. Tetapi masyarakat tetap harus arif bahwa sebuah publikasi pasti ada unsur subjektifnya. Selanjutnya, masyarakat harus bisa menilai metode pengambilan sampel yang dilakukan. Representativitas atau keterwakilan dari semua area sampel merupakan pedoman yang objektif untuk menilai akurasi survei. Ada lembaga survei yang melakukan teknik sampling yang baik, tetapi ada yang bahkan tidak berani mempublikasikannya karena memang metodenya tidak jelas dan tidak menjamin representativitas. Selain menyangkut sampel, aspek metodologi lain yang harus diperhatikan adalah instrumen yang dipakai dalam jajak-pendapat. Untuk hal ini pun banyak lembaga survei yang ceroboh dalam membuat instrumen atausengaja memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menggiring ke arah opini tertentu. Untuk publikasi angka dari analisisstatistik, keterbukaan dan kejujuran sebuah lembaga survei tentang margin of error (batas galat/kesalahan) juga menentukan itikad baik dari lembaga tersebut. Angka margin of error menunjukkan kemungkinan kesalahan yang terjadi dalam pengambilan sampel dan sekaligus kekuatan prediksi dari sebuah hasil jajak-pendapat. Akhirnya, perang angka dan perang hasil survei pasti akan terus mewarnai kegiatan kampanye Pilpres (Kumorotomo, 2014).Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para peneliti komunikasi politik yakni mengenai kualitas dan jumlah pertanyaan survei yang tersedia untuk mengukur sebuah paparan (Harga dan Neijens 1997). Penelitian tentang efek media juga meliputi bertentangan dan keterlibatan dan kontribusi untuk demobilisasi dan sinisme politik, memberikan kontribusi untuk belajar dan keterlibatan politik, kepercayaan, efektivitas, dan mobilisasi. Aarts dan Semetko (2003) menunjukkan bahwa kesimpulan tentang hubungan baik antara media yang digunakan dan opini publik yang salah tempat (Norris 2000). Sebaliknya, mereka menemukan bukti bahwa peran media yang memberikan efek ganda antara pemilih nasional dalam efek lama demokrasi Eropa, baik positif (atau negatif) pada pengetahuan, efisiensi, dan jumlah pemilih terkait dengan struktur penonton untuk berita televisi. Ada juga bukti bahwa pemilih Eropa dapat menjadi sinis dan terlibat dalam proses pemilu, terutama mengacu pada kampanye dekade terakhir (de Vreese dan Semetko 2004a).

EksperimenEksprimen akan dapat memberikan kontrol atas sumber pengaruh, meskipunsecara konvensional sampel yang relatif kecil memberikan batu sandungan bagi peneliti untuk menyimpulkan sebuah kesimpulan kepafa publik. Model Harold Laswell didasarkan pada pertanyaan: siapa yang mengatakan apa kepada siapa dan dengan apa efek? Perubahan arena teknologi dan pertumbuhan internet menghasilkan banyak kesempatan penelitian untuk mendalami komunikasi politik. Percobaan melalui survei dapat dilakukan secara online, untuk mengurangi biaya per peserta dan memberikan kesempatan untuk lebih cepat lapangan dalam menanggapi acara publik dan krisis, dan dengan sampel percobaan jauh lebih besar. Iyenger (2005) percaya bahwa metode ini akan banyak digunakan oleh beberapa kedepan.Penelitian tentang iklan politik pernah dilakukan untuk meneliti isi dan framing pesan dan tes eksperimen efek (Kaid dan Holz Bacha 2006), terutama karakter negatif iklan (APSR 1999), adn kampanye negatif dan konsekuensi untuk mobilisasi politik (Khan dan Kenney, 1999) . Teknologi baru yakni internet di Amerika Serikat telah dapat menambahkan dimensi baru dalam pengaruh iklan televisi dalam kampanye pemilihan umum (Freedman dan Goldstein 1999, Goldstein adn Freedman 2002). Berbekal pengetahuan mengenai media dan penggunaan selama kampanye pemilu, para peneliti survei opini publik dapat menghubungkan isi media dan sumber-sumber informasi terpercaya dalam membaca perilaku politik, preferensi yang belum pernah terjadi sebelumnya (Banducci & Semetko 2003).

Agenda SettingAgenda setting menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Publik biasanya memiliki agenda tertentu mengenai apa yang mereka pikirkan dan bicarakan, serta apa yang mereka anggap penting dan menarik perhatian. Agenda itu disebut agenda publik, agenda masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan agenda media (sebagai agenda setting) karena masyarakat sekaligus berperan sebagai khalayak dari media massa yang terkena terpaan media tertentu. Jumlah publik atau khalayak begitu besar. Hal itu mengindikasikan mereka memiliki karakteristik yang beragam. Akibatnya cara mereka merespons pesan-pesan kampanye lewat media massa juga akan berbeda-beda. Namun, agenda publik dapat dipahami dengan melihat bahwa sebagian besar orang akan menanggapi informasi yang menerpa mereka berdasarkan keyakinan, sikap, kebutuhan, dan nilai-nilai yang dimiliki. Satu agenda seting yakni ketika bagaimana melihat realitas secara langsung yang dihadapi oleh masyarakat. Sebab hal ini akan berbeda dengan pendapat (Mcleod, Becker dan Byrnes, 1974).

Priming (mengutamakan)Priming dan framing merupakan dua proses pengaruh media yang membantu menjelaskan bagaimana khalayak dipengaruhi media. Priming adalah proses di mana isu yang diangkat media akan mengingatkan publik akan informasi sebelumnya yang mereka miliki tentang isu itu, sehingga akan memicu perhatian yang lebih. Priming adalah dampak dari stimulus yang sudah ada sebelumnya yang akan mempengaruhi tindakan atau penilaian yang akan dilakukan kemudian. Dalam konteks media, priming adalah dampak dari isi media (misalnya liputan tokoh politik) terhadap perilaku atau penilaian khalayak yang muncul kemudianPsikolog sosial Fiske dan Taylor (1984) mendefinisikan priming sebagai efek dari konteks sebelumnya pada interpretasi dan pengambilan informasi. Iyengar dan Kinder (1987) dan Krosnick dan Kinder (1990) mendefinisikan priming lebih khusus sebagai perubahan standars yang digunakan oleh masyarakat untuk mengevaluasi para pemimpin politik dan menemukan dukungan untuk hipotesis dalam setiap penelitian yang dilakukan (lihat juga Krosnick dan Brannon 1993; Miller dan Kroznick 2000).

Framing (Membingkai)Dalam kajian media, ruang berita menduduki posisi sentral pada tiap organisasi atau perusahaan pers. Ruang berita adalah tempat penyaringan (gatekeeping) yang akan menunjukkan bagaimana para jurnalis membingkai (framing) dan mengutamakan (priming) kejadian tertentu untuk dihadirkan kepada publik. Ruang berita menjadi domain merealisasikan politik representasi, yakni bagaimana suatu peristiwa kembali dihadirkan sebagai realitas yang sesuai dengan kebijakan pemberitaan jurnalis.Framing dapat membentuk persepsi publik karena berfokus pada hubungan antara isu-isu dalam berita dan persepsi publik. Proses framing mengacu pada beberapa aspek realitas yang dirasakan untuk meningkatkan arti-penting mereka sedemikian rupa untuk mempromosikan definisi tertentu masalah, interpretasi kausalitas moral dan atau rekomendasi (Entman 1993). Pengaruh, framing dapat dijelaskan sebagai perubahan dalam penilaian yang disebabkan oleh perubahan penilaian atau pilihan (Iyenger 1987), di mana atribut penting terletak pada pesan, pemilihan aktivasi yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi.Dalam konteks framing, ada bagian-bagian yang sengaja ditampilkan mencolok dan ada pula yang sengaja disembunyikan dalam isu tertentu. Ruang berita merupakan cerminan kebijakan media dalam situasi sosiologis dan historis tertentu, termasuk reformasi. Dalam dunia jurnalistik tentulah tidak asing lagi istilah framing dalam pemberitaan, yakni berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Sebuah berita bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Proses membingkai dan menyajikan fakta itu sendiri sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dimiliki media tersebut.Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu. Ideologi juga memengaruhi bagaimana sesuatu itu dibahasakan sehingga menghasilkan makna atau pesan yang berbeda.Di situlah letak kekuatan bahasa yang mampu menguasai publik yang mengonsumsinya. Kekuasaan itu sendiri tidak terlepas dari bahasa. Maka, media pun bertarung dalam bahasa yang dibingkai, yang sangat dipengaruhi oleh ideologi atau kepentingan dari media tersebut.

Komunikasi Politik dalam konteks media dan sistem politikPenelitian komunikasi politik komparatif lintas-nasional telah fokus pada sejumlah hal terkemuka selama dua dekade terakhir. Beberapa penilitian fokus pada pengembangan teori (Bumler, McLeod, Rosengren 1992); dan ikhtisar yang lebih umum dari bidang komparatif /perbandingan (Bannet dan Entaman 1994: Esse dan Pfetsh 2004) : selain itu penelitian komunikasi politik diamati dibeberapa tempat seperti di pemilihan di Perancis atau Britain dan US (Kaid, Gerstle, dan Sanders:. 1991 semetko et al 1991 ), dan dalam demokrasi modern yang lebih umum (swanson dan Mancini 1996) serta komunikasi politik dalam konteks politik di Israel dan Palestina (wolfseld 1997, 2004) Amerika Latin (Walsbord 2000) dan Uni Eropa (de Vreese 2002; Peter 2003).Hallin dan Mancini (2004) dalam kerangka analitis memandu analisis komparatif tentang sistem media dan studi komunikasi politik dalam kerangka sistem. Mereka menggambarkan bahwa meditterranean merupakan model "polarlized pluralis", utara di pusat Eropa atau "korporatis demokrasi dan Atlantik Utara atau model "liberal". Lebih lanjut kita akan melihat komunikas politik dalam konteks media dan sistem dalam kerangka kampanye dan mobilisasi.

Kampanye dan mobilisasiPemilu merupakan hajatan yang besar karena memilih para wakil rakyat. Disatu merupakan agenda liputan yang lebih menonjol, dan menjadi hal yang lebih kompetitif dan segi memobilisasi massa. Kampanye yang banyak diharapkan menjadi ajang komunikasi yang baik dan warga yang terlibat pun semakin besar. Hal itu dapat dilihat dalam salah satu studi pertama yang meneliti dampak liputan media pada pemilihan parlemen Eropa lebih tinggi di negara-negara di mana tampaknya ada kampanye lebih aktif: visibilitas yang lebih besar dan jangkauan yang lebih partisan pemilu dikaitkan dengan pemilih lebih tinggi.Selain itu diadakan pula penelitan pada tahun 1999 tentang penggunaan dan pengaruh media berita dibandingkan dengan kegiatan kampanye lainnya pada kampanye pemilihan parlemen dilima belas negara anggota Uni Eropa. Dalam hal ini memeriksa dua aspek utama yakni liputan kampanye yang dapat mempengaruhi keterlibatan warga dalam kampanye dan pemilihan visibilitas kampanye dan cakupan. Kampanye terlihat dapat memobilisasi suara dengan meningkatkan manfaat yang dirasakan dari perolehan suara. Secara tradisional aktivis partai dipandang sebagai memobilisasi upaya yang mendorong pemilih, tapi kampanye visibilitas tinggi dalam berita juga kemungkinan akan membawa ke perhatian pemilih potensial dan belum tentu bergantung pada partai pada kegiatan lapangan. Bukti-bukti ini dikaitkan dengan dampak iklan negative. Hal yang ditemukan bahwa itu merupakan ketidakjelasan dalam mobilisasi (lau dkk 1999), disisi yang lain berita ngative dapat berperan sinisme. Informasi negatif pun cenderung lebih mudah diingat dan dengan demikian lebih efektif warga meningkatkan 'tingkat informasi secara keseluruhan. Kahn dan Kenney (1999) menunjukkan misalnya, bahwa berita negative merupakan salah satu mengkampanyekan demobilisasi.Sifat pemilihan parlemen Eropa telah banyak dibahas (van der Eijk dan Franklin 1996). Dalam benak pemilih, partai dan mungkin calon, pemilihan ini tidak membawa beban sama seperti pemilu nasional, dan tugas terlibat pemilih dalam pemilu dalam banyak hal lebih sulit daripada dalam pemilihan bangsa. Kampanye pemilihan parlemen Eropa mungkin akan lebih sulit berjuang ketika pihak dalam perselisihan atas masa depan Eropa dan penelitian menunjukkan bahwa partai-partai anti-Uni Eropa memiliki pengaruh terhadap jumlah cakupan penerimaan dalam kampanye dan memobilisasi keterlibatan dalam kampanye (banducci dan Semetko 2003). Di tahun 1999 kampanye pemilu parlementer Eropa, misalnya, cakupan sebenarnya lebih terlihat pada kedua saluran publik dan komersial di negara-negara di mana ada pihak anti-Eu aktif, satu atau lebih pihak bahwa dengan kampanye definisi terhadap memajukan integrasi Eropa. Partai-partai, meskipun terhadap Uni Eropa, berdiri kandidat untuk pemilihan parlemen Eropa pada platform anti-Uni Eropa. TV dijadikan sebagai media untuk berkampanye baik swasta maupun milik pemerintah.Untuk kampanye pemilu yang menerima relatif sedikit perhatian dalam berita tidak hanya sebagai perbandingan dengan kampanye pemilu nasional (Semetko de Vreese dan Peter 2000), tetapi juga dibandingkan dengan cakupan yang ditujukan untuk acara EU rutin lainnya seperti pertemuan puncak kepala negara Uni Eropa (Semetko, Van de Brug, 2003), atau peristiwa luar biasa seperti peluncuran euro (semetko, 2001) serta referendum Uni Eropa, berita kampanye, dan berita politik rutin (semetko, 2003), tidak mengherankan bahwa tingkat Eropa Pemerintah memiliki relatif kurang imporatance dalam pikiran publik. Pelaporan Uni Eropa tidak mudah, tidak hanya karena visual sering membosankan dan birokrasi, tetapi juga karena organisasi berita sendiri mengalami kendala nyata ketika melaporkan Uni Eropa.Pada tahun 1999 diadakan studi yang meneliti perbedaan dari keterlibatan dalam kampanye anti-Uni Eropa oleh partai di negara dikaitkan dengan liputan berita tentang kampanye pemilu di negeri ini,yang dihubungkan dengan minat kampanye, serta keterlibatan pasif dan aktif yang disajikan dengan aroma berita yang lebih netral atau positif. Hal yang terjadi adalah berkurangnya efek negatif dari Uni Eropa anti-partai pada keterlibatan warga dalam kampanye. Warga yang menghabiskan hari-hari menonton televisi publik lebih mungkin untuk secara aktif terlibat sementara orang-orang yang menghahabiskan menonton berita televisi di stasiun swasta tidak berpengaruh signifikan terhadap keterlibatan aktif (Banducci dan Semetko 2003). Pola ini cocok dengan yang ditemukan dalam pemilu negara di Belanda, di mana konsekuensi dari pemilih dibagi dengan pilihan informasi mereka tampak perbedaan nyata dalam tingkat keterlibatan dan pengetahuan.Dengan membesarnya Uni Eropa (UE) dari lima belas sampai dua puluh lima negara anggota pada bulan Mei tahun 2004, Eropa tumbuh dengan jumlah setara dengan media nasional dan sistem politik yang berbagi beberapa karakteristik. Membangun keterlibatan masyarakat dengan perkembangan tingkat Eropa pemerintahan dipandang oleh banyak staf Uni Eropa dan legislator di Brussels sebagai masalahkomunikasi politik.

KesimpulanSebagai teknologi, komunikasi dan internet telah memungkinkan berita secara cepat dikirim dan diterima di seluruh dunia. Penelitian komunikasi politik juga telah bergeser dari konteks lokal dan nasional untuk semakin termasuk konteks internasional dan komparatif. Meskipun peningkatan prevalensi khalayak transnasional dan masyarakat semakin tertarik dengan persoalan global, seperti partai politik dan sistem dibeberapa negara ini masih dibatasi. Pemahaman tentang media dan sistem politik, dan evolusi mereka dan bentuk saat ini, adalah prekursor yang diperlukan untuk mengajar dan melakukan penelitian komunikasi politik. Sarjana komunikasi politik yang datang togheter di berbagai pertemuan profesional sering ahli dalam konteks nasional dan regional mereka sendiri, membuat penelitian komunikasi politik komparatif menantang dan keluar.Arah baru dalam penelitian komunikasi politik melibatkan bentuk-bentuk teknologi untuk menyelidiki proses kognitif informasi. Teknologi baru dalam bentuk pencitraan resonansi magnetik fungsional sedang digunakan untuk mempelajari mengapa demokrat dan republik dapat mendengar informasi yang sama tetapi mencapai kesimpulan yang berlawanan (barat et al. Dalam press). Penelitian fisiologis semacam ini dan aturan main oleh emosi dalam pengolahan informasi politik, dapat menjadi sangat relevan untuk pemahaman masa depan kita akan efek framing.Hal lain yang patut dipahami adalah dengan memilih media kita dapat melihatcerminan kecenderungan politik seseorang. Walaupun demikian media masih dijadikan sebagai keutungan untuk pribadi, dalam hal kemampuannya untuk mengekspos satu pandangan yang berbeda dari satu sendiri (Mutz dan martin 2001,97). Selain itu perlu untuk dipahami bahwa penelitian komunikasi politik pada "Media miskin" masyarakat akan menjadikan komunikasi dan informasi dalam mengatasi masalah-masalah sosial

Daftar PustakaBudiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama