KOMPETENSI PRIBADI KONSELOR Peran Konselor dalam...
-
Upload
duongkhuong -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of KOMPETENSI PRIBADI KONSELOR Peran Konselor dalam...
16
BAB II
KOMPETENSI PRIBADI KONSELOR
A. Peran Konselor dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Profesi bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan yang langsung
berhubungan dengan individu yang beragam secara pribadi, sosial dan latar
belakang kehidupannya. Konselor akan berhadapan dengan individu yang sedang
menjalani tahap perkembangan tertentu dengan tugas-tugas perkembangan yang
harus diselesaikannya, sehingga dalam hal ini peran konselor dalam kegiatan
bimbingan dan konseling merupakan aspek yang sangat penting untuk
diperhatikan.
Sebagai suatu profesi, wujud kebermaknaan bimbingan dan konseling
banyak ditentukan oleh kualitas layanan bimbingan dan konseling yang
dilaksanakan oleh konselor untuk mengembangkan krativitasnya dalam layanan
bimbingan dan konseling tersebut. Brammer (1979:4) dalam temuan penelitiannya
menunjukkan bahwa ada tiga komponen yang perlu diperhatikan untuk
menjalankan tugas bimbingan dan konseling dengan baik. Ketiga komponen itu
adalah : (1) kepribadian petugas bimbingan (konselor); (2) ketrampilan teknis; dan
(3) kemampuan untuk menciptakan suasana kemudahan untuk berkembang pada
diri konseli.
Berangkat dari hasil temuan Brammer, komponen mengenai kepribadian
konselor menjadi satu hal yang terpenting karena konselor sebagai pribadi harus
mampu menampilkan jati dirinya secara utuh, tepat, dan berarti serta membangun
17
hubungan antarpribadi (interpersonal) yang unik dan harmonis, dinamis,
persuasive dan kreatif sehinnga menjadi motor penggerak keberhasilan layanan
bimbingan dan konseling. Corey (1984:358-361), menyatakan “alat” yang paling
penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri
sebagai pribadi (our self as a person). Pada bagian dari tulisannya itu, ia tidak
ragu-ragu mengatakan bahwa “….para konselor hendaknya mengalami sebagai
konseli pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri bias dinaikkan
tingkat kesadaran (self awarness)”.
Apabila konselor hanya menjadi reflector perasaan, pengamat netral yang
membuat penafsiran atau sebagai pribadi yang bersembunyi dibalik keamanan
dari peran yang dimainkannya, konselor tidak mungkin mengharapkan konseli
untuk berkembang ke arah lebih baik. Konselor harus bertindak dan harus
sekaligus menjadi model konselinya. Konselor hendaknya menampilkan diri apa
adanya, terbuka, dan terlihat dalam penyingkapan diri yang layak dan fasilitatif
sehingga dapat mendorong konseli menyatukan sifat-sifat yang saam ke dalam
dirinya.
Lebih jauh Corey (1991:367) menyatakan jika konselor hanya bertumpu
pada ketrampilan professional dan meninggalkan diri pribadinya, maka kegiatan-
kegiatan bimbingan dan konseling akan menjadi mandul. George & Christiani
(Yusuf, 1995:108), mengemukakan cirri-ciri konselor yang efektif, yakni : (1)
membuka diri dan menerima pengalaman sendiri; (2) menyadari akan nilai dan
pendapatnya sendiri; (3) dapat membina hubungan yang hangat dan mendalam
dengan oranglain; (4) mampu membiarkan diri sendiri dilihat orang lain
18
sebagaimana adanya; (5) menerima tanggung jawab pribadi dan perilakunya
sendiri; (6) mengembangkan tingkat aspirasi yang realistik.
Berbagai uraian di atas dapat diketahui bahwa seorang konselor dalam
interrelasinya dengan konseli haruslah “menghadirkan” dirinya sebagai pribadi
dan menyayangi pekerjaannya. Myrick & Witmer (Aisyah, 2006 : 17)
mengemukakan lima macam peranan konselor, yaitu sebagai konselor dalam arti
khusus sebagai konsultan, sebagai anggota tim kerja, sebagai pengelola, serta
sebagai sumber informasi dan layanan bagi masyarakat.
Sementara itu secara terperinci Dunlop (Aisyah, 2006 : 18) menyatakan
bahwa konselor sekolah adalah staf spesialis sekolah yang memiliki kualifikasi
untuk membantu siswa mengatasi masalah pilihan jabatan, membantu siswa
merencanakan dan menjalani program-program pendidikan yang tepat, dan siswa
menemukan pemecahan yang lebih memuaskan dalam masalah-masalah pribadi-
sosial.
A. Syarat-syarat Kompetensi Konselor
Secara Implementatif, peran konselor dalam melaksanakan layanan
bimbingan dan konseling di sekolah, sesungguhnya tidak terlepas dari masalah
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang konselor sebagai pelaku utama
dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Masalah-
masalah kompetensi konselor jelas akan merujuk pada kemampuan-kemampuan
pribadi-sosial-profesional seorang konselor.
19
Makmun (2000) mengutip definisi kompetensi dalam bahasa Inggris
sebagai berikut.
1. Competence (n) is being competent, ability (to the work) (Horney,et al. 1962:192);
2. Competence (adj) refers to (person) having ability, power, authority, skill, knoeledge, etc (to do what is needed) (Horney,et al. 1962:192);
3. Competency is a rational performance which satisfactorily meets the objectives a desired condition (Jhonson, et al. 1974).
Definisi kompetensi pertama pada dasarnya menunjuk kecakapan atau
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan. Definisi kompensi kedua pada
dasarnya merupakan satu sifat (karakteristik) oramg-orang kompeten, yaitu
memiliki kecakapan, daya (kemampuan), otoritas (wewenang), kemahiran
(ketrampilan), pengetahuan dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang
diperlukan. Sedangkan definisi kompetensi ketiga menunjukkan pada tindakan
(kinerja) rasional (prasyarat) yang diharapkan.
Mc. Asham (Mulyasa, 2002:38) mengemukakan bahwa kompetensi dapat
diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuanyang dikuasi
seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga dapat melakukan
perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor dengan sebaik-baiknya.
Crunkilton (Mulyasa,2002:38) menyatakan bahwa kompetensi merupakan
penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap, dan apresiasi yang
diperlukan untuk menunjang keberhasilan.
Beberapa pengertian tentang kompetensi di atas mengarah pada suatu
kemampuan tertentu yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjalankan fungsi
dan tugasnya secara maksimal. Kompetensi tersebut dapat berupa karakteristik,
20
pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang tampak melalui prilaku kognitif,
afektif, maupun psikomotorik yang mendukung bagi pelaksanaan fungsi dan
tugasnya.
Kompetensi merupakan keseluruhan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan
yang diperlukan oleh sesorang dalam kaitan dengan suatu tugas tertentu (Surya,
2003:137). Penjelasan diatas dapat dimaknai bahwa dibalik kinerja yang
ditunjukkan dan teruji dalam melakukan sesuatu pekerjaan tertentu terdapat
sejumlah unsur kemampuan yang mendukung, menunjang, dan secara
keseluruhan terstuktur merupakan suatu kesatuan terpadu yang
dikonseptualisasikan pada enam komponen, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Johnson (Makmun, 2000:71), sebagai berikut: “(1) performance competence, (2)
Subject competence, (3) professional component, (4) process component, (5)
adjustment component, dan (6) attitudes component”. Dari keenam unsur
membangun secara utuh suatu model perangkat kompetensi dalam suatu bidang
keahlian atau keprofesionalan itu pada dasarnya dapat diidentifikasikan ke dalam
dua gugus kompetensi, yakni: (1) generic competencies (performance
competencies), dan enabling competencies.
Generic competencies, maksudnya bahwa perangkat kompetensi yang
mesti ada pada suatu bidang pekerjaan professional tertentu, karena justru dengan
adanya perangkat kompetensi ini dapat dibedakan dari jenis dan atau bidang
pekerjaan professional tertentu, karna justru dengan adanya perangkat kompetensi
inilah dapat dibedakan dari dua jenis dan atau bidang pekerjaan professional
lainnya. Jadi generic competencies bagi guru bimbingan dan konseling (konselor)
21
akan berbeda dengan generic competencies guru mata pelajaran. Rincian dan
jumlah perangkat generic competencies itu juga akan bervariasi secara
konstekstual (misalnya konselor di SMP berbeda dengan konselor di SMA).
Namun demikian, dipastikan terdapat kesamaan dan persamaanya (common
competencies). Enabling competencies, meupakan persyaratan untuk memungkin
dapat dilakukannya “generic competencies”. Tanpa menunjukkan penguasaan
secara memadai atas perangkat “enabling competencies”. Perangkat kompetensi
pertama pada dasarnya akan diperoleh dan terbina serta tumbuh kembang melalui
praktek pengalaman lapangan seperti itu, hanya dimungkinkan setelah “enabling
competencies” terselesaikan terlebih dahulu yang lazimnya dilakukan melalui
program perkuliahan biasa.
Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang ditetapkan oleh
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN, 2008), kompetensi
diartikan sebagai sebuah kontinum perkembangan mulai dari proses kesadaran,
akomodasi dan tindakan nyata sebagai wujud kinerja. Keberhasilan pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling akan sangat terkait erat dengan kompetensi
pelaksanaannya. Efektifitas layanan bimbingan dan konseling terletak pada
kompetensi konselor sebagai orang yang memberikan bantuan, meliputi
kombinasi antara pengetahuan akademik, kualitas pribadi, dan ketrampilan dalam
membantu (Cavanagh, 1982 : 75). Sementara itu prayitno (2005) mengatakan
bahwa dalam spectrum kompetensi konselor, yaitu kompetensi keilmuwan,
kompetensi keahlian (ketrampilan) dan kompetensi perilaku profesi.
22
Brammer (1979:4) mendeskripsikan kualifikasi konselor sekolah sebagai
pribadi memiliki sifat-sifat dan sumber kepribadian seperti memiliki perhatian
kepada oranglain, bertanggung jawab, empati dan sensivitas. Menurut Furqon
(2001) ditemukan bahwa konselor sekurang-kurangnya perlu memiliki tiga
kompetensi, disamping perlu dukungan konsisi yang kontekstual dan lingkungan,
yaitu kompetensi pribadi (personal competencies), kompetensi inti (core
competencies), dan kompetensi pendukung (supporting competencies).
Kompetensi pribadi (personal competencies) merujuk kepada kualitas
pribadi konselor yang berkenaan dengan kemampuan untuk membina hubungan
baik antarpribadi (rapport) secara sehat, etos kerja dan komitmen professional,
landasan etik dan oral dalam berperilaku, dorongan dan semangat untuk
mengembangkan diri, serta berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
pemecahan masalah.
Kompetensi inti (core competencies) sebagai kemampuan langsung untuk
mengelola dan menyelenggarakan pelayanan bimbingan mulai dengan
penguasaan landasan-landasan konsep dan teori bimbingan, kemampuan untuk
menyelenggarakan bermacam-macam layanan bimbingan, sampai dengan
kemampuan yang berkaitan dengan menajerial bimbingan.
Kompetensi pendukung (supporting competencies) dipandang sebagai
kemampuan-kemampuan tambahan yang dianggap akan memperkuat atau
memperkokoh daya adaptibilitas konselor, yakni kemampuan kewirausahaan
(kemampuan untuk menggegas ide dan karya baru serta kemampuaan untuk
menjualnya”), dasar-dasar komputer, dan bahasa inggris. Berdasarkan tiga
23
kompetensi dasar yang ditemukan, kemudian dikembangkan menjadi Sembilan
aspek kinerja professional, yaitu : (1) hubungan antar pribadi; (2) etos kerja dan
komitmen professional; (3) etika dan moral dalam berperilaku; (4) dorongan dan
upaya pengembangan diri; (5) kemampuan pemecahan masalah; (6) upaya
pemberian bantuan kepada siswa; (7) manajemen bimbingan dan konseling di
sekolah; (8) instrument bimbingan; dan (9) penyelenggaraan layanan bimbingan.
Beberapa upaya untuk mendukung keahlian dan kompetensi yang
tercermin dalam sikap dan perilaku konselor itu menuntut hal-hal sebagai berikut.
1. Persyaratan calon konselor professional, tidak hanya berdasarkan batas
minimal jenjang pendidikan tetapi menekankan juga pada syarat-syarat pribadi
seperti kecerdasan, bakat, minat dan aspek-aspek pribadi lainnya yang
diyakini menunjang profesinya.
2. Penentuan akreditasi pendidikan calon konselor dan pemberian lisensi atau
kewenangan seorang konselor sebagai surat kepercayaan yang dilakukan
organisasi profesi dengan standar nasional perlu dilakukan secara kontiyu.s
3. Penataan perkuliahan tidak hanya menekankan pada aspek-aspek mata kuliah
tetapi memiliki kesinambungan antar mata kuliah dan pelaksanaan praktikum
baik di laboraturium maupun di lapangan.
4. Pemberian kesempatan untuk praktik dan evaluasi diri serta
pengembangannya bagi konselor yang telah memenuhi standarisasi profesi
hendaknya terus dilakukan baik oleh ABKIN maupun lembaga dimana
konselor bekerja.
24
B. Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor dalam Layanan Konseling di
Sekolah
Pendidikan adalah proses pembinaan dan pemberdayaan manusia yang
sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun
dirinya sendiri dan masyarakat. Konsekuensinya adalah proses pendidikan
harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek perkembangan
manusia. Melalui proses pendidikan yang diharapkan mampu berkembang
menjadi individu yang sadar untuk dapat mengembangkan diri secara optimal.
Jika pendidikan dipandang sebagai upaya untuk membantu individu dalam
membangun dirinya, maka pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang
hakekat manusia.
Pendidik dalam hal ini konselor melalui kegiatan konseling perlu
memahami manusia dalam hal aktualisasinya, kemungkinannya (possibilities),
dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan
terjadi dalam diri konseli.
Mengingat perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat, disertai
dengan pergeseran nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat serta kondisi siswa
SMA yang berada dalam masa transisi, maka konselor pada sistem sekolah
dewasa ini dituntun lebih inovatif, kreatif, dan dinamis. Layanan-layanan yang
disediakan lebih kompleks dan bervariasi sesuai dengan sistem yang ada,
tenaga, fasilitas, dan siswa dengan segala latarbelakang dan keadaannya serta
tuntunan dan perubahan dunia sekitarnya.
25
Mengingat siswa yang dihadapi di sekolah adalah individu normal,
sedangkan tujuan bimbingan dan konseling adalah membantu siswa agar
berkembang penuh dan optimal, maka bimbingan dan konseling di sekolah
dewasa ini bukan lagi ditujukan bagi siswa tertentu saja, tetapi diarahkan
kepada semua siswa, menyeluruh, dan merata.
Bidang garapan bimbingan dan konseling yang dapat ditelusuri
sekurang-kurangnya ada empat aspek, yaitu : (1) pribadi; (2) sosial; (3)
belajar; dan (4) karir. Sejalan dengan fungsi dan bidang garapan diatas, maka
jenis-jenis layanan bimbingan konseling dapat disediakan adalah : (a) layanan
orientas; (b) layanan pemberian informasi; (c) layanana penempatan dan
penyaluran; (d) layanan bimbingan dan kelompok; (e) layanan pembelajaran;
(f) layanan konseling individual; dan (g) layanan konseling kelompok
(Yusuf,1995 : 98). Disamping itu konselor sekolah juga bertanggung jawab
dalam penyusunan, penilaian, dan pengembangan program bimbingan,
pengumpulan dan pelaksanaan himpunan data, kunjungan rumah, konferensi
kasus, alih tangan kasus, penelitian dan evaluasi, melakukan koordinasi
tentang program bimbingan dan konseling, melaksanakan konsultasi, dan
pengembangan profesi.
Konseling yang dilakukan oleh konselor sebagai bentuk upaya
pendidikan, karena kegiatan konseling selalu terkait dengan pendidikan dan
keberadaan bimbingan dan konseling di dalam pendidikan merupakan
konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri. Konseling dalam
kinerjanya juga beerkaitan dengan upaya mewujudkan pengembangan potensi
26
siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dalam kehidupan
bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, seperti yang diamanatkan pada
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang system Pendidikan Nasional (UUSPN). Secara
fungsional, bimbingan dan konseling sangat signifikan sebagai salah satu
upaya pendidikan untuk membentuk individu memperkembangkan diri secara
optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan
(Wibowo, 2003 : 76).
Upaya memahami kedudukan bimbingan dan konseling dalam konteks
pendidikan di sekolah, dapat dilacak dari kerangka Pendidikan Nasional.
Layanan bimbingan dan konseling sebagai subsistem pendidikan memiliki
peranan yang sangat besar dalam memfasilitasi setiap peserta didik untuk
mengembangkan potensi dirinya secara optimal sesuai dengan yang tertulis
dalam UUSPN No. 20 tahun 2003.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. (UUSPN No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 ayat 1) Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong pelajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhusussannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggraan pendidikan. (UUSPN No.20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 ayat 4) Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
27
demokratis serta bertanggung jawab. (UUSPN No.20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 3)
Berdasarkan ketiga pasal dalam UUSPN RI Nomor 20 tahun 2003
tersebut, dapat dikatakan bahwa konselor mempunyai kedudukan dan peranan
yang sama dengan profesi lainnya yang bergerak dalam bidang pendidikan
sebagai pendidik (Bab I Pasal 1 ayat 4) yang melaksanakan proses pendidikan
(Pasal 1 ayat 1) dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional dan tuntunan
kemajuan zaman, memerlukan kerjasama harmonis antara pengelola dan
pelaksanaan manajemen pendidikan, pengajaran, dan bimbingan.
Inti upaya Pendidikan Nasional adalah membawa manusia Indonesia
dalam konteks sekolah dalam hal ini siswa untuk mencapai tingkat perkembangan
lebih tinggi dalam semua aspek kepribadian yang harus dicapainya. Mengingat
bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing, maka proses
perkembangan yang dialami peserta didik akan bersifat unik dan bersifat
individual. Hal ini berarti bahwa proses pendidikan harus mampu dan sampai
pada upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan manusia Indonesia, sehingga
pada masanya siswa mampu memperhalus, menginternalisasikan, dan
mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang dipelajari melalui program
pendidikan.
Kerangka pemikiran di atas mengandung implikasi bahwa pendidikan di
sekolah tidak hanya dituntut untuk menyelenggarakan bidang pengajaran yang
lebih memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kognitif, melainkan
harus pula menyelenggarakan layanan yang memusatkan kepedulian utama pada
kehidupan individual, yaitu bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling
28
di sekolah menitikberatkan perhatian dan kegiatannya kepada proses membantu
individu sehingga dapat menjalani tahap-tahap perkembangan secara optimal.
Dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan berfungsi
sebagai seorang pendidik psikologis (psychological educator/psychoeducator),
dengan perangkat pengetahuan dan ketrampilan psikologis yang dimilikinya untuk
membantu individu mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Peran ini
merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-tujuan
keilmuan dan praktik professional konselor sebagai layanan yang menunjukkan
keunikan dan kebermaknaan tersendiri di dalam masyarakat.
Dengan demikian sekolah dituntut untuk memberikan bantuan dalam
bentuk layanan bimbingan dan konseling, karena pendidikan di sekolah bertujuan
agar siswa dapat mencapai perkembangan optimal sebagai individu serta sebagai
makhluk sosial sesuai dengan kemampuan, minat dan nilai-nilai yang dianutnya.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dikemukakan bahwa posisi dan kedudukan
layanan bimbingan dan konseling dalam keseluruhan program pendidikan di
sekolah yaitu sebagai komponen integral dari pendidikan yang menekankan pada
upaya pembinaan siswa.
29
C. Kompetensi Pribadi Konselor
Pribadi konselor merupakan ‘instrumen’ yang menentukan bagi adanya
hasil yang positif dalam proses konseling. Kondisi ini akan didukung oleh
ketrampilan konselor mewujudkan sikap dasar dalam berkomunikasi dengan
konselinya. Pemanduan secara harmonis dua instrument ini (pribadi dan
ketrampilan) akan memperbesar peluang keberhasilan konselor. Melaksanakan
peranan profesional yang unik sebagaimana adanya tuntutan profesi, konselor
harus memiliki pribadi yang berbeda dengan pribadi-pribadi yang bertugas dan
bersifat membantu lainnya. Konselor dituntut untuk memiliki pribadi yang
mampu menunjang keefektifan konseling.
Brammer juga mengakui adanya kesepakatan helper, tentang pentingnya
pribadi konselor sebagai alat yang mengefektifkan proses konseling, ia
mengatakan : “A general dictum among people helpers says that if I want to
become more affective I must begun with my self; own personalities thus the
principal tools of the helping process…”(Brammer, 1979:25). Pribadi berdasarkan
sifat hubungan helping menurut Brammer di antaranya: (1) awareness of self and
values, (2) awareness of cultural experience, (3) ability to analyze the helper’s
own feeling, (4) ability so serve as model and influencer, (5) altruism, (6) strong
sense of ethics, (7) responsibility.
Pendapat Brammer tentang karakteristik konselor di atas dapat
dideskripsikan sebagai berikut.
1. Awareness of self and values (kesadaran akan diri dan nilai) Konselor
memerlukan kesadaran tentang posisi nilai mereka sendiri. Konselor harus
30
mampu menjawab dengan jelas pertanyaan-pertanyaan, siapakah saya?
Apakah yang penting bagi saya? Apakah signifikan social dari apa yang
dilakukan? Mengapa saya mau menjadi konselor?. Kesadaran ini membantu
konselor membentuk kejujuran terhadap dirinya sendiri dan terhadap konseli
mereka dan juga membentuk konselor menghindari memperalat secara
bertanggung jawab atau tidak etis terhadap konseli bagi kepentingan
pemuasan kebutuhan diri pribadi konselor.
2. Awareness of cultural experience (kesadaran akan pengalaman budaya) Suatu
program latihan kesadaran diri yang terarah bagi konselor mencakup
pengetahuan tentang populasi khusus konseli. Missal, jika seseorang telah
menjalin hubungan dengan konseli dalam masyarakat suku lain dengan latar
belakang yang sangat berbeda, konselor dituntut mengetahui lebih banyak lagi
tentang perbedaan konselor dan konseli karena hal tersebut merupakan hal
yang sangat penting bagi hubungan helping yang efektif. Konselor
professional hendaknya mempelajari cirri-ciri khas budaya dan kebiasaan tiap
kelompok konseli mereka.
3. Ability to analyze the helper’s own feeling (kemampuan untuk menganalisis
kemampuan konselor sendiri) Observasi terhadap konselor spsialis
menunjukkan bahwa mereka perlu “berkepala dingin”, terlepas dari perasaan-
perasaan pribadi mereka sendiri. Selain adanya persyaratan bagi konselor
efektif, konselor jua harus mempunyai kesadaran dan mengontrol perasaannya
sendiri guna menghindari proyeksi kebutuhan, harus pula diakui bahwa
konselor mempunyai perasaan dari waktu ke waktu.
31
4. Ability so serve as model and influencer (kemampuan melayanai sebagai
teladan dan pemimpin atau “orang yang berpengaruh”) Kemampuan ini
penting terutama dengan kredibilitas konselor dimata konselinya. Konselor
sebagai teladan atau model dalam kehidupan sehari-hari adalah sangat perlu.
Konselor harus tampak beradab, matang dan efektif dalam kehidupan sehari-
hari. Kemampuan konselor sebagai “pemimpin” atau sebagai teladan sangat
diperlukan dalam proses konseling.
5. Altruism (altuisme) Pribadi altuis ditandai kesediaan untuk berkorban
(waktu,tenaga, dan mungkin materi) untuk kepentingan, kebahagiaan, atau
kesenangan oranglain (konseli). Konselor merasakan kepuasaan tersendiri
manakala dapat berperan membantu oranglain dari pada diri sendiri.
6. Strong sense of ethics (pengahayatan etik yang kuat). Rasa etik konselor
menunjukkan rasa aman konseli dengan ekspektasi masyarakat. Konselor
professional memiliki kode etik untuk dihayati dan dipakai dalam
menumbuhkankepercayaan pengguna jasa layanan konseling.
7. Responsibility (tanggung jawab) Tanggung jawab konselor dlam hal ini
khusus berkenaan dengan konteks bantuan khusus yang diberikan kepada
konselinya. Salah satu tempat penerapan tanggung jawab konselor adalah
dalam menangani kasus diluar bidang kemampuan atau kompetensi mereka.
Konselor menyadari keterbatasan mereka, sehingga tidak merencanakan hasil
atau tujuan yang tidak ralistik. Konselor mengupayakan referral kepada
spesialis ketika mereka menyadari keterbatasan diri. Begitu juga dalam
32
menagani suatu kasus, mereka tidak membiarkan kasus-kasus “terlunta-lunta”
tanpa penyelesaian.
Kemudian Hobbs menyatakan bahwa : “idealnya sebagai seorang konselor
adalah memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilaku dalam mewujudkan
kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari
dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat
berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan profesionalinya”,
(Cavanagh,1982:102).
Cavanagh (1982 : 73-94) mengemukakan bahwa kualitas pribadi guru
bimbingan dan konseling ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
(1) self knowledge; (2) Competence; (3) Good Psychological Health; (4)
Trustworthiness; (5) Honesty; (6) Strength; (7)Warmth; (8) Actives responsiveness
; (9) Patience; (10) Sensitivity; dan (11) Holistic awareness.
Pendapat Cavanagh tentang karakteristik konselor di atas dapat
dideskripsikan sebagai berikut
1. Self-knowledge (Pemahaman diri) ini berarti bahwa konselor memahami
dirinya dengan baik, dia memahami secara pasti apa yang dia lakukan,
mengapa dia melakukan hal itu, dan masalah apa yang harus dia
selesaikan. Pemahaman diri sangat penting bagi konselor, karena beberapa
alasan berikut.
• Konselor yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya cenderung
akan memiliki persepsi yang akurat pula tentang orang lain atau klien
(konselor akan lebih mampu mengenal diri orang lain secara tepat pula).
33
• Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil
juga memahami orang lain.
• Konselor yang memahami dirinya, maka dia akan mampu mengajar cara
memahami diri itu kepada orang lain.
Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan
berkomunikasi secara jujur dengan klien pada saat proses konseling
berlangsung.
2. Competence (Kompeten) yang dimaksud kompeten disini adalah bahwa
konselor itu memiliki kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral
sebagai pribadi yang berguna. Kompetensi sangatlah penting bagi konselor,
sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-
kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan
bahagia. Dalam hal ini, konselor berperan untuk mengajar kompetensi-
kompetensi tersebut kepada klien. Satu hal penting yang membedakan
hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah kompetensi yang
dimiliki konselor. Konselor yang efektif adalah yang memiliki (a)
pengetahuan akademik, (b) kualitas pribadi, dan (c) keterampilan konseling.
3. Good Psychological Health (Kesehatan Psikologis yang Baik) konselor
dituntut untuk memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dari kliennya.
Hal ini penting karena mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan
keterampilan. Ketika konselor memahami bahwa kesehatan psikologis yang
dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun proses konseling
tersebut secara lebih positif. Apabila konselor tidak mendasarkan konseling
34
tersebut kepada pengembangan kesehatan psikologis, maka dia akan
mengalami kebingungan dalam menetapkan arah konseling yang
ditempuhnya. Kesehatan psikologis konselor yang baik sangat berguna bagi
hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang sehat psikisnya, maka
dia akan teracuni atau terkontaminasi oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri,
persepsi yang subjektif, nilai-nilai yang keliru, dan kebingungan.
4. Trustworthiness (Dapat Dipercaya) kualitas Ini berarti bahwa konselor itu
tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas
konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena
beberapa alasan, yaitu sebagai berikut.
• Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan
masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa
bahwa konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya
(curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa
percaya ini, maka rasa frustrasi lah yang menjadi hasil konseling.
• Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi
konselor. Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi
untuk membantunya.
• Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka
akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
5. Honesty (Jujur) yang dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu bersikap
transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini penting
dalam konseling, karena alasan-alasan berikut.
35
• Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin
hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalam proses
konseling. Konselor yang menutup atau menyembunyikan bagian-bagian
dirinya terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang lebih
dekat. Kedekatan hubungan psikologis sangat penting dalam konseling,
sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka antara
konselor dengan klien. Apabila terjadi ketertutupan dalam konseling
dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien.
• Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik
secara objektif kepada klien.
6. Strength (Kekuatan) kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam
konseling, sebab dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang
konselor sebagai orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah, (b) dapat
mendorong klien untuk mengatasi masalahnya, dan (c) dapat menanggulangi
kebutuhan dan masalah pribadi.
7. Warmth (Bersikap Hangat) yang dimaksud bersikap hangat itu adalah : ramah,
penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta
bantuan konselor, pada umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam
hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah,
memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin
mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan konselor.
Apabila hal itu diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan yang
nyaman.
36
8. Actives responsiveness (pendengar yang aktif) keterlibatan konselor dalam
proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif,
konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan
klien. Disini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan
balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan
gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan klien tentang cara mengambil
keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam
proses konseling.
9. Patience (Sabar) melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat
membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar
konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya.
Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku
sebagai berikut.
10. Sensitivity (kepekaan) kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang
adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah
tersinggung, baik pada diri klien maupun dirinya sendiri. Klien yang datang
untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah
yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa
dirinya bermasalah. Pada diri mereka hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo
masalah), sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan
dirinya. Konselor yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis
apa masalah sebenarnya yang dihadapi klien
37
11. Holistic awareness (Kesadaran Holistik) pendekatan holistik dalam konseling
berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak mendekatinya
secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor sebagai seorang
ahli dalam segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu memahami
adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami
bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang
lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi : fisik, intelektual, emosi, sosial,
seksual, dan moral-spiritual.
Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan
profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan
ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling.
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) telah menerbitkan
Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang diperkuatnya dengan
terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Standar Profesional Konselor dalam aspek
kompetensi kepribadian mencakup (1) menampilkan perilaku membantu
berdasarkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuham Yang Maha Esa; (2)
mengkomunikasikan secara verbal dan atau nonverbal minat yang tulus dalam
membantu orang lain; (3) menunjukkan sifat hangat dan penuh perhatian terhadap
konseli; (4) secara verbal dan nonverbal mampu mengkomunikasikan rasa hormat
konselor terhadap konseli sebagai pribadi yang berguna dan bertanggung jawab;
(5) mengkomunikasikan harapan, mengekspresikan keyakinan bahwa konseli
memiliki kapasitas untuk memecahkan problem, menata dan mengatur hidupnya,
38
dan berkembang; (6) menunjukkan sikap empati dan antribusi secara tepat; (7)
menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian serta kontrol diri yang baik; (8)
memiliki toleransi yang tinggi terhadap stress dan frustasi; (9) menunjukkan
berpikir positif.
Konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secara
utuh, tepat, dan berarti serta mampu membangun hubungan antarpribadi
(interpersonal) unik dan harmonis, dinamis,persuasive, dan kreatif, sehingga
menjadi motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Corey
(1984:358-361), menyatakan “alat” yang paling penting untuk dipakai dalam
pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (our self as a
person). Pada bagian dari tulisannya itu, ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa
“….para konselor hendaknya mengalami sebagai konseli pada suatu saat, karena
pengenalan terhadap diri sendiri bias dinaikkan tingkat kesadaran (self
awarness)”.
Konselor hanya menjadi reflektor perasaan, pengamat netral yang
membuat penafsiran atau sebagai pribadi yang bersembunyi dibalik keamanan
dari peran yang dimainkannya, ia tidak mungkin mengharapkan konseli untuk
berkembang kea rah yang lebih baik. Konselor harus membuka “topengnya” dan
menampilkan jati dirinya dengan segala keontetikannya. Ia bertindak dan
sekaligus sebagai model bagi konselinya. Ia menampilkan dirinya apa adanya,
terbuka dan terlibat di penyingkapan diri yang layak dan fasilitatif sehingga dapat
mendorong konseli menyatukan sifat-sifat yang sama ke dalam dirinya.
39
Menurut Willis (2004), yang dimaksud dengan kualitas konselor adalah
semua kriteria keunggulan termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, ketrampilan
dan nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya dalam proses
konseling sehingga mencapai tujuan yang efektif. Salah satu kualitas konselor
yang dimaksud di atas adalah kualitas pribadi konselor. Adapun yang dimaksud
dengan kualitas pribadi konselor adalah kriteria yang menyangkut segala aspek
kepribadian yang amat penting dan menentukan keefektifan konselor jika
dibandingkan dengan pendidikan dan latihan yang diperolehnya (Willis,2004:79).
Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Truax & Carkhuff, Waren,
Virginia Satir (Willis 2004:9) membuktikan bahwa keefektifan konselor banyak
ditentukan oleh kualitas pribadinya. Bahkan Rogers mengatakan bahwa
kepribadiaan konselor lebih dari pada teknik konseling itu sendiri. Lebih lanjut
diungkapkan bahwa hasil penelitian masing-masing sebagai berikut.
Virginia Satir (Wiliis,2004:79) mengemukakan beberapa karakteristik
konselor sehubungan dengan pribadinya yang membuat konseling berjalan efektif.
Karakteris-karakteristik tersebut adalah : (1) resource person, artinya konselor
adalah orang yang banyak mempunyai informasi dan senang memberikan dan
menjelaskan informasinya. Konselor bukanlah pribadi yang maha kuasa yang
tidak mau berbagi dengan orang lain; (2) model of communication, yaitu bagus
dalam berkomunikasi, mampu menjadi pendengar yang baik dan komunikator
yang terampil. Konselor bukan orang “sok pintar” dan mengejar pamor sendiri.
Konselor mampu menghargai orang lain dan dapat bertindak sesuai dengan
realitas yang ada baik pada diri maupun lingkungannya.
40
Jay Haley (Wiliis,2004: 80) mengemukakan dua kualitas pribadi konselor
sesuai dengan penelitiannya yaitu : (1) fleksibilitas, yaitu mampu mengubah
pandangan secara realistic dan bukan mengubah kenyataan; (2) tidak memaksakan
pendapat, mau mendengarkan dengan sabar terhadap oranglain.
Munson & Mills (Wiliis,2004:80) mengemukakan dua karakteristik
penting yang menentukan kualitas pribadi konselor yaitu : (1) seorang yang
memiliki kebutuhan untuk menjadi pemelihara (to be nurturant); (2) harus
memiliki intuisi dan penetrasi psikologis yang baik (intuitive and psychological
parenting), artinya dalam mengahdapi konseli konselor mampu dengan cepat
menangkap makna yang tersirat dari perilaku konseli yang tampak dan
terselubung, misalnya makna suatu gerakan kepala, getaran suara, getaran bahu,
cara duduk, dan sebagainya, dapat ditangkap makna maknanya dengan cepat oleh
konselor sehinnga mampu memberikan ketrampilan teknik yang antisipatif dan
bermakna dalam membantu perkembangan konseli. Dengan kata lain, konselor
memahami bahasa verbal maupun nonverbal.
Menne (Wiliis,2004:80) mengungkapkan karakteristik konselor yang di
dapatkan dari hasil penelitiannya yang menunjang kualitas pribadi konselor yaitu :
(1) Memahami dan melaksanakan etika professional; (2) mempunyai rasa
kesadaran mengenai kompetensi, nilai-nilai dan sikap; (3) memiliki karakteristik
diri yakni respect terhadap orang lain, kematangan pribadi, memiliki kemampuan
intuitif, fleksibel dalam pandangan dan emosional stabil; (4) kemampuan dan
kesabaran untuk mendengarkan orang lain, dan kemampuan berkomunikasi.
41
Shertzer & Stone (Murad: 2005) menyatakan : “A key element in any counseling
relationship is the person of the counselor”. Menurut Brammer (1979)
menguraikan karakteristik pribadi sebagai berikut: helper, konselor perlu
memiliki karakteristik pribadi berikut : (1) Kesadaran akan diri dan nilai; (2)
Kesadaran akan pengalaman budaya; (3) Kemampuan untuk menganalisis
kemampuan konselor sendiri; (4) Kemampuan melayani sebagai teladan dan
pemimpin atau “orang yang berpengaruh”; (5) altuisme; (6) penghayatan etik
yang kuat; (7) tanggung jawab. Sebagai seorang peneliti, konselor hendaknya
memiliki kualitas pribadi sebagai berikut: (1) empati; (2) hangat dan peduli; (3)
terbuka; (4) konkret dan spesifik dalam berbicara, (5) terampil komunikasi, dan
(6) memiliki daya intensionalitas yang tinggi (kemampuan memilih respun yang
tepat dalam berinteraksi dengan konseli).
Paparan mengenai karakteristik pribadi konselor yang sangat ideal di atas,
tidak dapat dipenuhi oleh seorang konselor secara utuh keseluruhan. Namun,
konselor tetap harus berupaya memenuhinya sebanyak mungkin dengan tetap
memiliki ciri pribadi sendiri yang khas (unik).
42
D. Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Kualitas Pribadi Guru Bimbingan
dan Konseling
Menjadi konselor yang baik, yaitu konselor yang efektif, perlu mengenal
diri sendiri, mengenal konseli, memahami maksud dan tujuan konseling, serta
menguasai proses konseling. Membangun hubungan konseling (counseling
relationship) sangat penting dan menentukan dalam melakukan konseling.
Seorang konselor tidak dapat membangun hubungan konseling jika tidak
mengenal diri maupun konseli, tidak memahami maksud dan tujuan konseling
serta tidak menguasai proses konseling.
Menurut Combs (Pudjiastuti,2003 : 8) ada perbedaan yang jelas antara
ciri-ciri konselor efektif yang diyakini konselor tentang empati, diri, naluri
manusia, dan tujuan konselor itu sendiri. Kajian-kajian yang menyiratkan adanya
keyakinan tersebut berkaitan erat dengan kesuksesan untuk menjadi konselor yang
efektif, terutama dalam kesediaan konselor dalam menggunakan kepribadiaanya
dalam melakukan konseling. Perlu disadari bahwa perkembangan diri konselor
sebagai pribadi berkaitan erat dengan keefektifan dalam membantu konseli yang
dapat dimaknai bahwa pribadi dan professional merupakan satu kesatuan yang
erat.
Kepercayaan (beliefe), nilai (value), dan karakteristik pribadi konselor
akan mempengaruhi terhadap pengembangan konseli di masa depan. Kepercayaan
ini adalah perasaan tentang sesuatu yang dianggap nyata dan benar. Sebagian
besar yang menjadi dasar dan pusat kepercayaan konselor adalah bahwa konselor
memiliki nilai-nilai tinggi serta mempunyai karakter.
43
Karakter sering dihubungkan dengan integritas, yang dalam pengertian
sehari-hari merupakan: “satunya kata dengan perbuatan” atau tidak munafik.
Karakter adalah kualitas manusia yang berkaitan dengan etika moral, kejujuran,
dan keberanian (untuk mengatakan “tidak” terhadap hal yang dapat merusak
integritas pribadi. Karakter ini merupakan kualitas manusia yang dapat
dikembangkan sepanjang hidupnya (Pudjiastuti, 2003:13). Konselor yang
memiliki kualitas kongruen, yaitu seorang konselor yang dalam perilaku hidupnya
menunjukkan sebagai dirinya sendiri yang asli, utuh, dan menyeluruh, baik, dalam
kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan profesionalnya. Konselor tidak
pura-pura atau memakai kedok untuk menyembunyikan keaslian dirinya.
Konselor memiliki kualitas empati, dapat merasakan pikiran dan perasaan
orang lain dan ada rasa kebersamaan dengan konseli. Konselor memahami jalur
jalan dan liku-liku yang dilalui konseli dan bersimpati padanya,berjalan bersama
dengannya sebagai teman sejalan. Dengan demikian, jika digambarkan, konselor
tidak selalu memimpin dan tidak pula selalu mengikuti keinginan konseli. Tiap
saat konselor dapat memimpin dan setiap saat ia dapat menjadi pengikut,
tergantung pada perkembangan konseling yang diharapkan. Dengan demikian,
dapat terbentuk kepercayaan konseli kepada konselor, sehingga tidak ragu-ragu
untuk mengungkapkan semua perasaan, harapan dan masalah yang dihadapinya.
Kualitas ketiga, konselor yang baik atau efektif adalah memberikan perhatian
kepada konseli. Konselor memberikan perhatian positif tanpa syarat. Konselor
dapat menerima konseli sebagaimana adanya dengan segala kelemahan dan
kekuatannya, sikap dan keyakinannya, termasuk perilakunya yang mungkin
44
memuakkkan bagi orang lain. Hal ini tidak mudah untuk dicapai. Oleh karena itu
diperlukan pengalaman dan kesabaran, serta pengenalan diri sendiri terlebih
dahulu.
Surya (2003: 45-46) mengemukakan bahwa dimensi kompetensi-
kompetensi intrapribadi merupaka kekuatan yang diperlukan dalam menghadapi
tuntutan yang berasal dari dalam diri konselor sendiri. Makin besar daya dalam
menghadapi dirinya sendiri, makin efektif perilaku individu dalam interaksi
dengan lingkungannya, sehingga mencapai kebermaknaan dan kebahagiaan
hidupnya. Sebaliknya semakin kecil daya yang dimiliki dalam menghadapi
dirinya sendiri, maka semakin besar kemungkinan timbulnya konflik dan frustasi
sehingga dapat mengganggu proses kehidupannya.
Kekuatan psikologis sangat ditentukan oleh seberapa jauh orang mengenal
dan berhubungan dengan diri pribadi. Kompetensi intrapribadi adalah kecakapan
yang dipelajari yang dapat membantu orang berhubungan secara baik dengan
dirinya. Tujuan kompetensi intrapribadi adalah untuk neningkatkan kuantitas daya
kualitas pemenuhan kebutuhan pribadi. Apabila konselor mampu berhubungan
dengan dirinya secara efektif, maka akan pula dalam berhubungan dengan
oranglain.
45
F. Penelitian-Penelitian Terdahulu
1. Penelitian Furqon (2001:97) menunjukkan secara keseluruhan skor kinerja
profesional pembimbing (guru bimbingan dan konseling) pada kelompok
yang mendapat pelatihan penelitian tindakan masih tergolong rendah,
terutama pada aspek dorongan dan upaya pengembangan diri, manajemen
BK, disamping etikadan moral dalam berprilaku dan tentang unjuk kerja
lulusan bimbingan dan konseling dengan non bimbingan dan konseling
dalam menyelenggrakan konseling ternyata di dapat kesimpulan bahwa
pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda jauh dalam memberikan dan
menampilkan aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling secara
menyeluruh serta belum menampilkan kompetensi secara aktual.
2. Nurihsan, JA. (1993:5) yang menemukan adanya kekurang mampuan guru
bimbingan dan konseling dalam menangani dan menggali masalah yang
dihadapi siswa, kurangnya keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah
dan adanya kecendrungan guru bimbingan dan konseling untuk
memaksakan kehendak kepada siswa berupa nasehat yang harus dilakukan
siswa dalam menyelesaikan masalahnya.
3. Asrori, M. (1990:99-100) menunjukkan bahwa menurut pendapat siswa
kinerja guru bimbingan dan konseling (konselor) di lapangan baru 40,63%
yang termasuk katagori “tinggi” dan 59,37% termasuk katagori “sedang”,
dan pada ketrampilan konseling (individual) masih belum memiliki
kemampuan yang diharapkan.
46
4. Yusuf, AM (1995) terhadap guru BK di Padang menemukan bahwa
tingkat kemampuan mereka tentang dasar-dasar pengetahuan untuk
melakasanakan bimbingan di sekolah masih sangat terbatas, kurangnya
kemahiran dalam melakukan sesuatu aspek yang telah diketahui serta
terbatasnya alat yang tersedia, merupakan kendala utama terbatasnya
layanan yang diberikan sekolah.
5. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendi Suhendi (2008)
mengungkapkan bahwa persepsi konselor tentang penguasaan kompetensi
di milikinya di SMA kota Bandung yang termasuk kedalam kategori tinggi
sekali. Kecenderungan besarnya nilai persepsi terhadap penguasaan
kompetensi mengindikasikan bahwa konselor merasa yakin terhadap
kualitas pribadi yang dimilikinya. Hal tersebut dapat tercermin dalam
mengatur dan melaksanakan sejumlah aktivitas bimbingan dan konseling
yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas utamanya sebagai guru
bimbingan dan konseling.
6. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2009) mengungkapkan bahwa
kompetensi pribadi konselor yang diharapkan oleh siswa SMA Negeri
favorit di kota Bandung sangat mengharapkan konselor sekolahnya
memiliki kompetensi pribadi terutama berkaitan dengan : (1) keimanan
dan ketaqwaan kepada Ruhan Yang Maha Esa; (2) sikap positif; (3)
keteladanan; (4) penampilan diri; (5) kreativitas; (6) keterbukaan; (7)
kesabaran; (8) kemandirian; (9) objektivitas; (10) keakraban; (11) empati;
dan (12) betanggung jawab.
47
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah dipaparkan merupakan acuan
dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Hasil penelitian-penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa penguasaan kompetensi guru bimbingan dan konseling
akan sangat berkaitan dengan kualitas pribadi yang dimilikinya. Guru bimbingan
dan konseling langsung berhubungan dengan perkembangan individu dalam hal
ini peserta didik, memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Tuntutan akan
kinerja yang diharapkan apabila tidak diimbangi dengan dukungan seluruh
personel sekolah dan latar belakang pendidikan yang memadai akan memberikan
kendala dalam pencapaian kinerjanya. Terlebih lagi dengan situasi dan kondisi
penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah menengah atas
yang sebagian besar belum memadai. Hal tersebut di karenakan kurangnya
penguasaan kompetensi yang dimiliki oleh guru bimbingan dan konseling yang
berakibat menurunnya kualitas pribadi guru bimbingan dan konseling .