Komentar Mengenai Irregularitas Torsi

2
21-06-2015 ryanrakhmats.wordpress.com Komentar Mengenai Irregularitas Torsi Ryan Rakhmat Setiadi, ST  Konsepnya sudah lama diperkenalkan di US, tapi di Indonesia masih terdengar belum familiar, yaitu tentang irregularitas torsi. Ini pengalaman penulis sendiri, beberapa rekan senior di kantor masih memegang konsep lama yaitu periode getar 1 dan 2 harus dominan translasi, sementara periode getar ketiga boleh translasi. Padahal kontribusi dominan massa rotasi pada periode tidak bisa digunakan sebagai indikasi “final” bahwa bangunan memiliki kriteria sebagai irregularitas torsi. Tetap respon struktur berupa deformasi yang harusnya dijadikan acuan, bukan parameter modalnya. Namun memang munculnya periode dominan rotasi pada mode 2 bisa jadi “early warning” bahwa mungkin bangunan yang didesain masuk kategori irregularitas torsi. Jadi di SNI gempa 2012 yang mengadopsi ASCE 7-10 ada kriteria untuk menentukan apakah bangunan dikategorikan sebagai memiliki irregularitas torsi, dimana ada dua tipe irregularitas torsi yaitu tipe 1a dan tipe 1b. Tipe 1a yaitu jika simpangan maksimum lebih dari 1.2 kali simpangan rata   rata, atau bisa dikatakan simpangan pada satu titik ujung lebih besar 1.5 kali dari simpangan ujung yang lain, sementara Tipe 1b (extreme torsional irregularity) yaitu jika simpangan maksimum lebih dari 1.4 kali simpangan rata   rata, atau bisa dikatakan simpangan pada satu titik ujung lebih besar 2.33 kali dari simpangan ujung yang lain. Gambar 1. Kedua Tipe Irregularitas Torsi Pengalaman penulis menggunakan software ETABS 2015, respon struktur seperti gambar diatas hanya bisa terjadi jika digunakan rigid diaphragm pada pelat dan dilakukan analisa static. Jika digunakan

Transcript of Komentar Mengenai Irregularitas Torsi

Page 1: Komentar Mengenai Irregularitas Torsi

7/23/2019 Komentar Mengenai Irregularitas Torsi

http://slidepdf.com/reader/full/komentar-mengenai-irregularitas-torsi 1/2

21-06-2015 ryanrakhmats.wordpress.com

Komentar Mengenai Irregularitas Torsi

Ryan Rakhmat Setiadi, ST  

Konsepnya sudah lama diperkenalkan di US, tapi di Indonesia masih terdengar belum familiar, yaitu

tentang irregularitas torsi. Ini pengalaman penulis sendiri, beberapa rekan senior di kantor masih

memegang konsep lama yaitu periode getar 1 dan 2 harus dominan translasi, sementara periode getar

ketiga boleh translasi. Padahal kontribusi dominan massa rotasi pada periode tidak bisa digunakan

sebagai indikasi “final” bahwa bangunan memiliki kriteria sebagai irregularitas torsi. Tetap respon

struktur berupa deformasi yang harusnya dijadikan acuan, bukan parameter modalnya. Namun memang

munculnya periode dominan rotasi pada mode 2 bisa jadi “early warning” bahwa mungkin bangunan

yang didesain masuk kategori irregularitas torsi.

Jadi di SNI gempa 2012 yang mengadopsi ASCE 7-10 ada kriteria untuk menentukan apakah bangunan

dikategorikan sebagai memiliki irregularitas torsi, dimana ada dua tipe irregularitas torsi yaitu tipe 1a

dan tipe 1b. Tipe 1a yaitu jika simpangan maksimum lebih dari 1.2 kali simpangan rata – rata, atau bisa

dikatakan simpangan pada satu titik ujung lebih besar 1.5 kali dari simpangan ujung yang lain,

sementara Tipe 1b (extreme torsional irregularity) yaitu jika simpangan maksimum lebih dari 1.4 kali

simpangan rata  –  rata, atau bisa dikatakan simpangan pada satu titik ujung lebih besar 2.33 kali dari

simpangan ujung yang lain.

Gambar 1. Kedua Tipe Irregularitas Torsi

Pengalaman penulis menggunakan software ETABS 2015, respon struktur seperti gambar diatas hanya

bisa terjadi jika digunakan rigid diaphragm pada pelat dan dilakukan analisa static. Jika digunakan

Page 2: Komentar Mengenai Irregularitas Torsi

7/23/2019 Komentar Mengenai Irregularitas Torsi

http://slidepdf.com/reader/full/komentar-mengenai-irregularitas-torsi 2/2

21-06-2015 ryanrakhmats.wordpress.com

analisis respon spectrum walaupun pelat sudah dimodelkan diapragma, tetap saja ketika dilihat

deformasinya tidak terlihat seperti rigid. Ini menurut penulis karena respon deformasi tiap - tiap titik

pada analisa respon spectrum diambil dari hasil CQC deformasi tiap mode, dimana walaupun respon tiap

mode menggunakan asumsi rigid diaphragm tetap saja respon CQC final untuk deformasi tiap joint

hasilnya tidak rigid. Hal ini membuat pengecekan irregularitas lebih mudah jika digunakan analisa static

equivalent.

Untuk masing  –  masing finalti jika struktur masuk ke kategori irregularitas, memang tidak terlalu

ekstrem finaltinya. Kecuali jika masuk ke kategori tipe 1b dan jika bangunan termasuk Seismic Design

Category E atau F, dilarang dan struktur layout harus diubah sedemikian rupa sehingga tidak masuk ke

category 1B lagi. Umumnya Seismic Design Category E dan F ini digunakan di daerah yang percepatan

gempanya tinggi, missal pengalaman penulis di daerah Timika Papua. Sementara itu jika masih di Seismic

Design Category D missal di Jakarta atau Surabaya, atau hanya masuk iregularitas torsi tipe 1a, finaltinya

hanya tambahan gaya waktu pengecekan collector element (jarang di cek untuk struktur beton karena

biasanya sudah aman), harus dilakukan analis dinamik 3D dengan gaya 100% + 30% (sudah biasa

digunakan di design office), dan terakhir accidental torsion 5 % harus diamplifikasi dengan faktor Ax(tapi di ASCE ada provision yang memperbolehkan diabaikan hal ini jika digunakan analisis dinamik),

Okay, Done !!!, masalah selesai. Jadi apa intinya :

 Jika bangunan memiliki respon torsi di mode 2, bukan berarti langit jatuh ke bumi, di cek apakah

bangunan memiliki torsional irregularity tipe 1B dan masuk Seismic Design Category E atau F, jika tidak,

maka lanjut saja.

Selain hal di atas, sebenarnya ada hal lain yang ingin penulis komentari. Ini menurut pengalaman penulis

dimana umumnya bangunan yang penulis tinjau memiliki rasio deformasi maksimum terhadap

deformasi rata – rata yang besar di lantai bagian bawah dan semakinmenurun untuk lantai yang semakin

tinggi. Namun umumnya seperti diketahui bahwa drift bangunan di lantai bawah kecil, sementara

ketentuan irregularitas tidak bergantung kepada besarnya drift, ini yang menurut penulis perlu dikritisi.

Ambil contoh : jika bangunan dengan floor to floor 3.5 meter dan deformasi di lantai 1 terhadap ground

1.4 cm maksimum dan rata  – rata 1 cm, maka struktur saya masuk kategori irregularitas torsi tipe 1B,

padahal drift yang terjadi baru 0.014/3.5 =0.004 dan merupakan drift yang sangat kecil. Jika pada lantai

tengah katakanlah di lantai 20, deformasi relative terhadap lantai bawahnya adalah 7 cm maksimum dan

rata  –  rata 5.7 cm, maka struktur saya masuk kategori irregularitas torsi tipe 1A, dimana drift yang

terjadi 0.07/3.5 =0.02 dan merupakan batas drift maksimum yng diijinkan. Untuk kasus pertama,

walaupun struktur memiliki rasio deformasi sampai 1.4, drift yang terjadi sangat kecil, sehingga

amplifikasi rasanya tidak perlu dibutuh karena tidak membahayakan pada lantai tersebut. Sementara

kasus di lantai atas, ini yang perlu diperhatikan karena driftnya besar, namun karena masih dibawah 1.4

 jadi kembali seperti penjelasan sebelumnya. Oleh karenanya menurut penulis, penentuan irregularitas

torsi tanpa memperhitungkan besaran drift agak kurang dapat diterima.

Terakhir catatan : Untuk struktur yang mode torsi muncul di periode pertama, penulis tetap

merekomendasikan merubah struktur sampai minimal torsi muncul di mode 2.