kolitis

download kolitis

of 32

description

kolitis

Transcript of kolitis

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon.

    Berdasarkan penyebab, kolitis dapat dibagi menjadi kolitis infeksi dan noninfeksi.

    Kolitis infeksi disebabkan oleh berbagai macam kuman. Oleh karena itulah kolitis

    infeksi terbagi menjadi kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis

    pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain. Kolitis noninfeksi terdiri dari

    kolitis ulseratif, penyakit Crohn, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik,

    maupun kolitis nonspesifik.1

    Jenis kolitis yang paling sering ditemukan pada daerah tropis seperti Indonesia

    adalah kolitis infeksi. Adapun prevalensi kolitis amebik di daerah tropis adalah

    50-80%. Namun prevalensi shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis pseudomembran

    dan kolitis karena Eschericia coli di daerah tropis khususnya Indonesia tidak

    diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi karena studi tentang epidemiologi kolitis di

    Indonesia masih jarang dilakukan. Begitu juga dengan prevalensi kolitis noninfeksi di

    Indonesia.1

    Diagnosis kolitis ditegakkan melalui anamnesis yang cermat, pemeriksaan

    fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun, Gejala klinis kolitis infeksi dapat mirip

    dengan penyakit Crohn ataupun kolitis ulseratif. Oleh karena itu diperlukan

    pemeriksaan penunjang berupa endoskopi yaitu kolonoskopi, rektosigmoidoskopi atau

    sigmoidoskopi untuk menegakkan diagnosis.2,3

    1

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi

    Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon.1 Kolitis

    berhubungan dengan enteritis (peradangan pada intestinal) dan proktitis (peradangan

    pada rektum).2

    2.2 Klasifikasi

    Berdasarkan penyebab, kolitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1

    1. Kolitis infeksi

    - Kolitis amebik

    - Shigelosis

    - kolitis tuberkulosa

    - kolitis pseudomembran

    - kolitis karena virus/bakteri/parasit lain seperti Eschericia coli

    2. Kolitis non-infeksi

    - Inflamatory bowel disease (IBD)

    Kolitis ulseratif

    penyakit Crohns

    Indeterminate colitis

    - kolitis radiasi

    - kolitis iskemik

    Selain itu, kolitis mikroskopik dan kolitis non-spesifik (simple colitis)

    termasuk kolitis infeksi.1

    2.2.1 Kolitis amebik

    2.2.1.1 Definisi

    Nama lainnya adalah amebiasis kolon. Kolitis amebik merupakan infeksi pada

    kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba hystolytica (E. hystolytica). Secara

    epidemiologi, prevalensi amebiasis kolon sangat bervariasi, namun diperkirakan

    sekitar 10% populasi dunia terinfeksi. Prevalensi tertinggi adalah di daerah tropis,

    yaitu sekitar 50-80%.1,3,4

    2

  • 2.2.1.2 PatofisologiPenularan E. hystolytica adalah ingesti kista dalam makanan dan minuman

    yang terkontaminasi, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual anal-oral. Pasien dengan amebiasis kolon yang asimtomatik tanpa invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya. Namun pasien yang mengalami infeksi akut atau kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit. Bentuk kista dapat bertahan lama di luar tubuh manusia, sedangkan bentuk trofozoit tidak dapat bertahan lama.1,4

    Berdasarkan pola isoenzimnya maka kuman E. hystolytica terbagi menjadi dua, yaitu zymodeme patogenik dan zymodeme nonpatogenik. Walaupun mekanismenya belum jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan enzim proteolitik. Penglepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses berlanjut maka akan timbul ulkus seperti botol labu. Ulkus dapat terjadi pada semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis. Akibat invasi ameba ke dinding usus ini kemudian menimbulkan reaksi imunitas humoral dan imunitas seluler amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta limfosit sitotoksik CD4. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma yang sering terjadi di daerah sekum atau kolon asenden.1,3

    Gambar 1. Kolitis amebik5

    2.2.1.3 Gejala klinisGejala klinis amebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai berat,

    dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Kira-kira 90% infeksi amebiasis

    3

  • adalah asimtomatik.4,5 Secara klinis, gejala amebiasis dikelompokkan menjadi 5 gejala, yaitu:1

    Karier, disebut juga cyst passer, yaitu ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulen, obstipasi dan kadang-kadang diare. Sekitar 90% pasien sembuh sendiri dalam waktu 1 tahun, sisanya sekitar 10% berkembang menjadi kolitis amebik.

    Disentri amebik ringan berupa kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir. Keadaan umum pasien biasanya baik.

    Disentri amebik sedang, gejala-gejala yang muncul mulai dari kram perut, demam, lemah, hepatomegali dengan nyeri spontan.

    Disentri amebik berat, terdapat gejala diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, dan anemia.

    Disentri amebik kronik mempunyai gejala seperti gejala pada disentri amebik ringan dengan diselingi periode normal bebas gejala. Keadaan ini berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Serangan timbul pada keadaan-keadaan kelelahan, demam, ataupun makanan yang sulit dicerna.

    2.2.1.4 DiagnosisBerikut algoritme dalam mendiagnosis kolitis amebik:1

    Tes tinja untuk darah tersamar Negatif

    Positif Pemeriksaan bisa dihentikan

    Pemeriksaan tinja segar (minimal 3 spesimen)Pewarnaan trichome untuk kistaPemeriksaan serologi anti amuba

    Positif Negatif

    kolonoskopi & biopsi(utamakan tepi ulkus)

    Positif

    Lakukan pengobatan dengan amebisidal

    4

  • Gambar 2. Algoritme diagnosis kolitis amebik1

    Gambar 3. Kolonoskopi kolitis amebik5

    2.2.1.5 Komplikasi

    Komplikasi kolitis amebik dapat berupa kelainan intestinal maupun

    ekstraintestinal. Kelainan intestinal yang muncul sebagai komplikasi adalah perdarahan

    kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur. Sedangkan kelainan

    ekstraintestinal yang terjadi adalah abses hati, amebiasis kulit, amebiasis pleuro-

    pulmonal, abses otak, limpa atau organ lain.1

    2.2.1.6 Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan kolitis amebik ini didasarkan pada berat-ringanya penyakit.

    Pada penderita asimptomatik ataupun karier diberikan Iodoquinol (diiodohydroxyquin)

    650 mg tiga kali per hari selama 20 hari. Untuk amebiasis kolon derajat ringan dan

    sedang diberikan tetrasiklin 500 mg empat kali sehari selama 5 hari. Pada amebiasis

    kolon berat diberikan 3 macam obat, yaitu metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama

    5-10 hari, ditambah tetrasiklin 500 mg empat kali sehari selama 5 hari dan emetin 1

    mg/kgBB/ hari secara injeksi intramuskular (dosis maksimal 60 mg) selama 10 hari.

    Sedangkan pada amebiasis ekstraintestinal, diperlukan Metronidazol 750 mg tiga

    kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan klorokuin fosfat 1 gram sehari selama 2

    hari, dilanjutkan dengan dosis 500 mg/hari selama 4 minggu dan Emetin 1

    mg/kgBB/hari secara intramuskular selama 10 hari (maksimal 60 mg per hari).1

    5

  • 2.2.2 Shigelosis

    2.2.2.1 Definisi

    Merupakan infeksi akut pada ileum terminalis dan kolon yang disebabkan

    oleh bakteri genus Shigella. Secara umum, infeksi Shigella mudah terjadi di tempat

    pemukiman padat dengan sanitasi yang buruk, kekurangan air bersih dan tingkat

    kebersihan perorangan yang rendah. Pada daerah tropis, angka kejadian disentri

    biasanya meningkat pada musim kemarau dengan S. flexneri merupakan penyebab

    infeksi terbanyak.5

    Kuman Shigella sp. termasuk kelompok enterobactericeae yang bersifat

    gram negatif, anaerob fakultatif, tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam

    media glukosa dan umumnya laktosa negatif. Terdapat 4 spesies Shigella dengan

    berbagai serotipenya, yaitu S. dysentriae, S. boydii, S. flexneri, dan S. sonnei. Gejala

    klinis terberat terjadi pada infeksi oleh S. dysentriae dan gejala klinis teringan adalah

    S. sonnei.6

    2.2.2.2 Patofisiologi

    Kolon adalah tempat utama yang diserang oleh Shigella, namun ileum

    terminalis dapat juga terserang. Mekanisme patogenesis yang mendasari adalah pada

    kemampuan bakteri untuk melakukan penetrasi pada mukosa intestin. Kuman ini

    menginvasi sel-sel epitel kolon dengan cara makropinositotik langsung. Kuman

    Shigella kemudian bermultiplikasi dalam sel epitel tanpa merusaknya, kemudian

    kuman masuk ke dalam lamina propria.3

    Perluasan invasi kuman ke sel di sekitarnya melalui mekanisme cell-to-cell

    transfer. Walaupun lesi awal terjadi pada epitel, respons inflamasi yang menyertai cukup

    berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema,

    mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan, dan ulserasi mukosa.

    Bila penyakitnya berlanjut, terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propria,

    dengan abses pada kripta merupakan gambaran yang utama.1

    2.2.2.3 Gejala klinis

    6

  • Gejala klinis shigellosis bervariasi. Mulai dari infeksi asimtomatik,

    gastroenteritis ringan hingga disentri basiler.2 Perlu dicurigai adanya shigellosis pada

    pasien yang datang dengan keluhan nyeri pada abdomen bawah, rasa panas pada rektal,

    dan diare yang sering disertai lendir serta darah pada feses. Gejala klinis penyakit ini

    diawali dengan masa tunas antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya, gejala klinis

    shigellosis bervariasi antara 7 hari sampai 4 minggu. Disentri basiller yang tidak diobati

    dengan baik gejalanya dapat menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal disentri basiler,

    pasien akan mengeluh nyeri perut bawah disertai demam yang bisa mencapai 40C.1 Tak

    lama kemudian diikuti diare yang berlangsung sering sampai 10-12 kali dalam sehari

    dan mengandung lendir serta darah. Tenesmus ani sering menyertai keadaan ini.

    Selanjutnya diare berkurang, tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir. Infeksi

    Shigella sering menyebabkan iritasi pada susunan saraf pusat yang bermanifestasi

    sebagai kejang. Pada anak-anak sering didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa ke-

    jang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan letargi. Penderita fase pascainfeksi pada

    umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu.1,2

    2.2.2.4 Diagnosis

    Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN

    (polimorfonuklear). Untuk memastikan diagnosis, dilakukan kultur dari bahah tinja

    segar atau hapus rektal. Sigmoideskopi pada umumnya tidak diperlukan, karena

    menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Pemeriksaan serologi Shigella pada fase

    akut tidak bermanfaat.1,3

    2.2.2.5 Komplikasi

    Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi intestinal dan

    ekstraintestinal. Komplikasi intestinal biasanya berupa megakolon toksik,

    perforasi intestinal, dehidrasi renjatan hipovolemik dan malnutrisi. Sedangkan

    komplikasi ekstraintestinal yang telah dilaporkan cukup banyak, di antaranya

    adalah batuk, pilek, pneumonia, meningismus, kejang, neuropati perifer, sindrom

    hemolitik uremik, trombositopenia, reaksi leukemoid, dan artritis (sindrom

    Reiter).1

    7

  • 2.2.2.6 Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan pada penyakit ini adalah mengatasi gangguan keseimbangan

    cairan dan elektrolit. Pada sebagian besar penderita dapat diberi rehidrasi oral, namun

    pada keadaan di mana rehidrasi oral tidak dapat dilakukan dapat memerlukan rehidrasi

    intravena. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya

    penyakit. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah ampicillin 4x500 mg

    perhari atau kotrimoksazol 2x2 tablet perhari atau tetrasiklin 4x500 mg perhari selama 5

    hari. Penggunaan anti-spasmodik perlu dihindari karena dapat menghambat motilitas

    usus dan mengurangi eliminasi bakteri serta memprovokasi terjadinya megakolon

    toksik. Obat-obat simptomatik lainnya dapat diberikan sesuai dengan keadaan

    pasien.1

    2.2.3 Kolitis tuberkulosa

    2.2.3.1 Definisi

    Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan utama di negara-negara

    berkembang dimana kondisi sanitasi tidak terjamin, kepadatan penduduk, dan malnutrisi

    masih menjadi masalah kesehatan penduduk yang belum terselesaikan. Kolitis

    tuberkulosa adalah infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Infeksi

    kuman ini pada saluran cerna tidak jarang terjadi, terutama di negara berkembang.

    Insidens infeksi tuberkulosis pada saluran cerna akhir-akhir ini semakin meningkat

    bersamaan dengan semakin meningkataya angka perpindahan penduduk dan infeksi HIV

    (human immunodeficiency virus) serta pengobatan imunosupresi.7

    2.2.3.2 Patofisiologi

    Terjadinya infeksi kuman ini ke dalam saluran cerna dapat terjadi secara primer

    dan sekunder. Infeksi primer terjadi melalui tertelannya mikroorganisme secara

    langsung ataupun penyebaran dari tuberkulosis milier. Sedangkan infeksi sekunder

    terjadi melalui tertelannya material yang telah terinfeksi kuman ini seperti sputum yang

    kemudian menginvasi mukosa intestin secara langsung, penyebaran hematogenik

    melalui darah menuju hepar yang kemudian diekskresi melalui cairan empedu ke

    dalam saluran cerna ataupun melalui pembentukan tuberkuloma. Terjadi peningkatan

    8

  • insidens tuberkulosis paru yang luas dengan tuberkulosis intestinal sekunder sebanyak

    25-80%. Terdapat hubungan yang tinggi antara berat-ringannya infeksi tuberkulosis

    paru dengan frekuensi tuberkulosis pada saluran cerna. Semua bagian saluran cerna

    dapat terkena infeksi, namun yang paling sering adalah pada daerah ileosekal dan

    ileum terminal.1,7

    Gambar 4. Kolitis tuberkulosa 5

    2.2.3.3 Gejala klinis

    Gejala klinis penyakit ini tidak khas. Yang tersering adalah keluhan pada perut

    kronis yang tidak khas. Dapat terjadi diare ringan tercampur darah, konstipasi,

    anoreksia, demam ringan, penurunan berat badan dan terdapat massa abdomen kanan

    bawah.1 40 % pasien yang menderita kolitis tuberkulosa dengan diare kronik sebagai

    gejala tunggal dan 60% dengan gejala diare kronik disertai nyeri perut, penurunan berat

    badan, BAB berdarah dan demam.7

    2.2.3.4 Diagnosis

    Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman M. tuberculosis

    melalui pemeriksaan mikroskopik langsung ataupun kultur biopsi jaringan. Pada

    pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekukan

    mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip keganasan di sekum.1

    9

  • 2.2.2.5 Komplikasi

    komplikasi yang dapat terjadi berupa perdarahan, obstruksi intestinal, fistula

    dan sindroma malabsorpsi. Komplikasi yang sering terjadi yaitu obstruksi intestinal (

    30%).1

    2.2.3.6 Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan kolitis tuberkulosa tidak jauh berbeda dengan tuberkulosis

    paru karena sama-sama memerlukan kombinasi pengobatan dengan waktu

    pengobatan yang lama dengan dosis tertentu. Pengobatan TB ekstra paru berat seperti

    TB usus digunakan kategori I yaitu 2RHZE/4H3R3. INH 4-6 mg/kgBB/hari atau 300-

    450 mg. Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari atau 1-1,5 g. Rifampisin 8-12 mg/kgBB/hari

    atau 450-600 mg dan pirazinamid 20-30 mg/kgBB/hari atau 1-1,5 g.8

    2.2.4 Kolitis pseudomembran

    2.2.4.1 Definisi

    Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai

    dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang lekat di permukaan

    mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah

    menggunakan antibiotik. Insidensnya semakin meningkat bersamaan dengan

    meningkatnya penggunaan antibiotik. Sebagian besar kasus terjadi setelah penggunaan

    antibiotik oral. Semua jenis antibiotik potensial menimbulkan kolitis pseudomembran,

    namun yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin dan sefalosporin.1,2,9 Kolitis

    pseudomembran dapat saja terjadi tanpa didahului penggunaan antibiotik sebelumnya.

    Pada dasarnya, 75-90% kuman penyebab kolitis pseudomembran adalah Clostridium

    difficile.3,9

    2.2.4.2 Patofisiologi

    Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap infeksi C.

    difficile belum jelas. Hal tersebut dimungkinkan karena penekanan flora usus normal

    oleh antibiotik memberi kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi disertai

    pengeluaran toksin. C. difficile adalah suatu bakteri gram positif, bentuk spora,

    10

  • anaerob dan dapat diisolasi. Penularan kuman ini terjadi melalui fekal-oral. Kuman ini

    menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman yang tidak

    menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis ataupun diare.1,2,9

    Toksin yang berperan adalah toksin A (enterotoksin) dengan aktivitas

    sitotoksik lemah dan toksin B (sitotoksin) mengakibatkan perubahan kultur

    jaringan. enterotoksin terutama bertanggung jawab pada gejala klinik yang

    berhubungan dengan infeksi C. difficile tetapi memiliki efek sitotoksik lebih

    lemah dibandingkan sitotoksin. Enterotoksin mengakibatkan sekresi cairan dan

    kerusakan mukosa dengan akibat diare dan inflamasi. Toksin melekat dan

    menyerang mukosa serta mikrofilamen dari sel mukosa dan kemudian

    menghasilkan kontraksi sitoplasma, perdarahan, inflamasi, nekrosis sel dan

    kehilangan protein. Toksin juga mengganggu sintesa protein, stimulasi

    kemotaksis granulosit dan meningkatkan permeabilitas kapiler dan respon

    mioelektrik usus serta mengganggu peristaltik. Kerusakan awal oleh toksin A

    memungkinkan toksin B masuk ke dalam sel dan memungkinkan kedua toksin

    menyebabkan trauma pada sel. Replikasi patogen, produksi toksin dan

    pengerahan neutrofil mengakibatkan kerusakan dan apoptosis, nekrosis lokal dan

    terbentuk pseudomembran.9

    2.2.4.3 Gejala klinis

    Pada umumnya gejala tampak setelah 3 sampai 9 hari pemakaian

    antibiotika. Namun kolitis dapat terjadi sejak hari pertama antibiotik digunakan dan

    mungkin pula baru muncul setelah 6 minggu antibiotik dihentikan. Gejala dapat

    asimptomatik sampai berat. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah diare cair

    atau mukoid disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan tapi biasanya

    profus, berbau busuk dan dapat disertai sedikit darah, dengan frekuensi sering

    (10-20 kali/hari), dan dapat terjadi ileus tetapi sangat jarang. Mual dan muntah

    jarang ditemukan. Sebagian besar pasien mengalami demam dengan temperatur

    tidak lebih dari 38C. Walaupun jarang dapat mengakibatkan manifestasi

    ekstraintestinal yaitu oligoartritis dan iridosiklitis.3,9

    11

  • 2.2.4.4 Diagnosis

    Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik, perlu

    dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. C. difficile ditemukan di tinja 3-5%

    orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di kolonnya. Menegakkan diagnosis kolitis

    pseudomembran memerlukan kultur anaerob feses, pemeriksaan toksin kuman dan

    kolonoskopi. Sebagai gold standard adalah ditemukannya toksin B (sitotoksin) pada

    tinja, mengingat spesifisitasnya 94-100% dan sensitivitasnya 99%. Namun karena

    memakan waktu lama dan mahal maka cukup dengan memeriksa terdapatnya toksin A

    (enterotoksin) dengan metode ELISA.1,3

    Pemeriksaan laboratorium non spesifik adalah ditemukan lekositosis

    15.000/mm3 sampai 50.000/mm3, hipoalbumin dan lekosit pada feses. Pada

    sebagian besar penderita kolitis pseudomembran yang dilakukan pemeriksaan

    sigmoidoskopi fleksibel memberikan hasil positif diatas 90%, pada sebagian kecil

    penderita jika penyakit terbatas pada proksimal kolon memerlukan pemeriksaan

    kolonoskopi. Inspeksi langsung dengan endoskopi pada sebagian besar penderita

    ditemukan mukosa kolon dan rektum tampak normal atau menunjukan inflamasi

    ringan berupa berupa eritema, friability dan edema sampai menunjukkan kelainan

    kolitis pseudomembran berupa plak pseudomembran dengan ukuran antara 2-5

    mm dan seringkali bergabung menjadi bentuk besar berwarna putih kekuningan.

    Pemeriksaan radiologi meliputi foto polos abdomen, barium enema dan CT scan

    abdomen dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis kolitis pseudomembran.9

    12

  • Gambar 5. Kolonoskopi kolitis pseudomembran 5

    2.2.2.5 Komplikasi

    Meningkatnya kesadaran penggunaan antibiotika penyebab kolitis

    pesudomembran dan pemberian terapi awal kasus yang dicurigai kolitis

    pseudomembran mengakibatkan penurunan komplikasi dan mortalitas. Akibat

    diare berkepanjangan mengakibatkan dehidrasi, gangguan keseimbangan

    elektrolit, hipotensi dan protein loss dengan akibat hipoalbuminemia. Komplikasi

    serius tapi jarang terjadi dari kolitis pseudomembran adalah kolitis fulminan

    dengan toksik megakolon. Perforasi merupakan komplikasi yang mengakibatkan

    kematian tertinggi. Mortality rate penderita kolitis pseudomembran 1,1-3,5%.3,9

    2.2.4.5 Penatalaksanaan

    Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga

    menjadi penyebab, juga obat-obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik dan

    antidiare), mencegah penyebaran nosokomial serta mempertahankan keseimbangan

    cairan dan elektrolit. Pada kasus kolitis pseudomembran yang ringan, keadaan sudah

    dapat diatasi dengan penghentian antibiotik penyebab dan rehidrasi cairan serta

    elektrolit. Pada kasus-kasus dengan gejala yang lebih berat sebaiknya dilakukan

    13

  • pemeriksaan toksin C. difficile dan mulai terapi spesifik dengan metronidazol atau

    vankomisin.1,9

    Terapi awal digunakan metronidazol dengan dosis peroral 250-500 mg empat

    kali sehari selama 7-10 hari. Vankomisin digunakan sebagai second line therapy

    dengan dosis per oral 125-500 mg empat kali sehari selama 7-14 hari. Alternatif

    pengobatan lainnya adalah dengan kolestiramin untuk mengikat toksin yang

    dihasilkan C. difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin sehingga diberikan

    2 sampai 3 jam sebelum atau sesudah pemberian vancomycin. Kolestiramin

    diberikan peroral dengan dosis 4 gram tiga kali sehari selama 5-10 hari. Dianjurkan

    setelah pengobatan spesifik maka diberikan kuman Lactobacillus atau ragi

    (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu untuk menumbuhkan kembali

    flora usus yang normal.1,9

    Tindakan pembedahan diindikasikan pada penderiita yang tidak respon

    dengan terapi medik atau kecurigaan perforasi kolon atau toksik megakolon.

    Pembedahan diperlukan kurang lebih 0.4% kasus. Dua pertiga penderita dengan

    toksik megakolon memerlukan tindakan pembedahan.9

    2.2.5 Kolitis akibat Escherichia coli

    2.2.5.1 Definisi

    Kolitis akibat Escherichia coli adalah salah satu bentuk dari gastroenteritis

    yang disebabkan oleh strain bakteri Escherichia coli (E.coli), yang menginfeksi

    usus besar dan menghasilkan racun (toksin) yang secara tiba-tiba menyebabkan

    diare berdarah atau tidak dan kadang-kadang dengan komplikasi lainnya yang

    serius. Angka kejadiannya tidak diketahui pasti, namun bisa menyerang segala

    usia.1,10

    2.2.5.2 Patofisiologi

    Mekanisme terjadinya diare dan sindroma hemolitik uremik (SHU) akibat

    infeksi E. coli belum jelas. Diduga E. coli patogen melekat pada mukosa dan

    memproduksi toksin (Shiga like toxins) yang bekerja lokal dan sistemik.

    Kerusakan pembuluh darah kolon akibat toksin tersebut menyebabkan

    lipopolisakarida dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh dan memicu

    terjadinya SHU.1

    14

  • Gambar 6. Shiga like 5

    2.2.5.3 Gejala klinis

    Manifestasi klinis dari infeksi E. coli bervariasi dapat berupa infeksi

    asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (kolitis hemoragika), SHU,

    purpura trombositopenia sampai kematian. Adapun gejala klasik adalah kram

    abdomen yang hebat, diare diikuti diare berdarah, nausea dan vomitus. Pada

    umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal sehingga dikelirukan

    sebagai kolitis non infeksi. Diare biasanya berlangsung selama 1-8 hari.1,10

    Kira-kira 5% dari orang yang terinfeksi E.coli berkembang menjadi SHU

    yang gejalanya terdiri dari: 1,2,10

    - anemia karena penghancuran sel darah merah (anemia hemolitik)

    - trombosit yang menurun (trombositopenia)

    - gagal ginjal akut.

    Pada beberapa penderita juga timbul kejang, stroke atau komplikasi lain

    dari kerusakan saraf atau otak. Komplikasi ini terjadi pada minggu kedua dan

    didahului oleh kenaikan suhu tubuh. SHU ini sering terjadi pada anak-anak di

    bawah 5 tahun dan pada orang tua.10

    Purpura trombositopenia mempunyai gejala mirip SHU namun gejala

    gagal ginjal dan kelainan neurologik lebih ringan. Biasa ditemukan pada dewasa.1

    2.2.5.4 Diagnosis

    Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejalanya. Untuk memperkuat

    diagnosis dilakukan pemeriksaan contoh tinja terhadap E.coli. Contoh ini diambil

    15

  • dalam waktu seminggu setelah gejala timbul. Pada pemeriksaan barium enema

    dapat dilihat gambaran thumbprinting pattern pada kolon ascenden dan atau

    transversum akibat edema dan perdarahan mukosa. Pada pemeriksaan

    kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa edematous dan hiperemia, kadang-

    kadang ditemukan ulserasi superfisial.1

    2.2.5.5 Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan berupa terapi suportif dan simtomatik. Yang terpenting

    dalam pengobatan adalah minum cukup cairan untuk menggantikan cairan yang

    telah hilang dan tetap memberikan makanan lunak. Antibiotik tidak

    menghilangkan gejala, membunuh bakteri ataupun mencegah komplikasi.

    Penderita dengan komplikasi sebaiknya dirawat secara intensif di rumah sakit.1,10

    2.2.6 Inflamatory bowel disease (IBD)Inflamatory bowel disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang mengenai

    intestinal dan kolon dengan penyebab yang belum diketahui pasti sampai saat ini. IBD terdiri dari kolitis ulseratif, penyakit Crohn dan indeterminate colitis. Kejadian kolitis ulseratif di USA (United Stated of America) 8-15/100.000 penduduk dan penyakit Crohn 1-5/100.000 penduduk. Di singapura prevalensi kolitis ulseratif 6/100.000 penduduk dan penyakit Crohn 3-4/100.000 penduduk.11

    Indonesia belum dapat melakukan studi epidemiologi ini. Namun dari data unit endoskopi beberapa Rumah sakit (RS) di Jakarta (RS Cipto Mangunkusumo, RS Tebet, RS Siloam Glesnegles, RS Jakarta) didapatkan bahwa kasus IBD terdapat pada 12,2% dari kasus yang dikirim karena diare kronik, 3,9% dari kasus dengan diare kronik, berdarah dan nyeri perut serta 2,8% pada kasus dengan nyeri perut.12

    2.2.6.1 Kolitis ulseratif2.2.6.1.1 Definisi

    Kolitis ulseratif merupakan suatu penyakit inflamasi menahun yang mengenai kolon dan rektum dengan karakteristik eksaserbasi intermiten dan remisi.10,12,13 Ulkus terbentuk dari inflamasi yang menyebabkan kematian jaringan,

    16

  • kemudian menghasilkan darah dan pus. Jika inflamasi mengenai rektum dan kolon bagian bawah disebut proktitis ulseratif.13

    Kolitis ulseratif bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya dimulai antara umur 15-30 tahun. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus besar. Keadaan ini disebut pankolitis.13,14

    Gambar 7. Anatomi kolon13

    2.2.6.1.2 Patofisiologi

    Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon

    sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam

    terjadinya kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif merupakan proses peradangan pada

    lapisan mukosa dan submukosa kolon. Atropi mukosa dan abses pada kripta

    sering ditemukan. Kolitis ulseratif dapat mengenai rektum, kolon sigmoid, dan

    seluruh bagian kolon, namun tidak mengenai intestinal. Pada stadium ringan

    ditemukan mukosa eritem, edem dan mengalami granulasi. Pada stadium sedang

    dan berat kolon tampak mengalami ulserasi, erosi, friability dan perdarahan

    spontan.11,15

    17

  • Gambar 8. Kolitis ulseratif16

    2.2.6.1.3 Gejala Klinis

    Gejala klinis tergantung derajat inflamasi mukosa dan perluasan kolitis.

    Gejala yang sering ditemukan berupa diare berdarah dan kram perut. Proktitis

    biasa menyebabkan tenesmus. Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon

    sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau diantara

    waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung banyak sel

    darah merah dan sel darah putih. Namun, suatu serangan bisa mendadak dan

    berat, menyebabkan diare hebat, demam tinggi, takikardi, sakit perut, peritonitis

    dengan lekositosis. Selama serangan, penderita tampak sangat sakit. Jika

    ditemukan keadaan ini dipertimbangkan kolitis fulminan dan toksik

    megakolon.11,15

    2.2.6.1.4 Diagnosis

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan

    tinja. Pada stadium ringan biasanya hasil laboratorium yang ditemukan normal.

    Pada stadium sedang dan berat, pemeriksaan darah menunjukan adanya: 15

    - anemia

    - peningkatan jumlah sel darah putih

    - peningkatan laju endap darah

    - hipoalbuminemia.

    Pemeriksaan tinja untuk melihat apakah terdapat sel darah putih pada tinja.

    Selain itu, juga dapat mendeteksi perdarahan atau infeksi kolon karena bakteri,

    virus dan parasit.13

    Sigmoidoskopi (pemeriksaan sigmoid) atau kolonoskopi merupakan

    metode paling akurat untuk menegakkan diagnosis kolitis ulseratif. Namun untuk

    keadaaan akut digunakan sigmoidoskopi untuk mencegah resiko perforasi kolon.

    Hal ini memungkinkan dokter untuk secara langsung mengamati beratnya

    peradangan. Bahkan selama masa bebas gejalapun, usus jarang terlihat normal.

    Sampel jaringan yang diambil untuk pemeriksaan mikroskopik menunjukan suatu

    peradangan menahun.14,15

    18

  • Barium enema dan kolonoskopi bertujuan untuk mengetahui penyebaran

    penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker. Peradangan usus besar

    memiliki banyak penyebab selain kolitis ulseratif. Karena itu, dokter menentukan

    apakah peradangan disebabkan oleh infeksi bakteri atau parasit. Sampel tinja yang

    diperoleh selama pemeriksaan sigmoidoskopi diperiksa dibawah mikroskop dan

    dibiakkan. Sampel darah dianalisa untuk menentukan apakah terdapat infeksi

    parasit. Sampel jaringan diambil dari lapisan rektum dan diperiksa dibawah

    mikroskop. Diperiksa apakah terdapat penyakit menular seksual pada rektum

    (seperti gonore, virus herpes atau infeksi klamidia), terutama pada pria

    homoseksual. Pada orang tua dengan aterosklerosis, peradangan bisa disebabkan

    oleh aliran darah yang buruk ke usus besar. Kanker usus besar jarang

    menyebabkan demam atau keluarnya nanah dari rektum, namun harus difikirkan

    kanker sebagai kemungkinan penyebab diare berdarah.14,15

    2.2.6.1.5 Komplikasi

    Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan kolitis ulseratif, yaitu:

    1. Intestinal15

    Toksik megakolon

    Perforasi

    Striktur

    Perdarahan masif

    kanker kolon

    2. Ekstraintestinal14

    Bila kolitis ulseratif menyebabkan kambuhnya

    gejala usus, penderita juga mengalami:

    - peradangan pada sendi (artritis)

    - peradangan pada bagian putih mata (episkleritis)

    - nodul kulit yang meradang (eritema nodosum)

    - luka kulit biru-merah yang bernanah (pioderma gangrenosum).

    Bila kolitis ulseratif tidak menyebabkan gejala usus,

    penderita masih bisa mengalami:

    - peradangan tulang belakang (spondilitis ankilosa)

    19

  • - peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)

    - peradangan di dalam mata (uveitis).

    Meskipun penderita kolitis ulseratif sering memiliki kelainan fungsi hati,

    hanya sekitar 1-3% yang memiliki gejala penyakit hati ringan sampai berat.

    Penyakit hati yang berat bisa berupa hepatitis menahun yang aktif, kolangitis

    sklerosa primer dan sirosis.14

    2.2.6.1.6 Penatalaksanaan

    Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi

    gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Obat-obatan yang

    digunakan untuk kolitis ulseratif, yaitu:13,15

    5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazin, olsalazin, mesalamin

    dan balsalazid digunakan untuk mengontrol inflamasi.

    Kortikosteroid, seperti prednison, metilprednison dan hidrokortison

    digunakan untuk mengurangi inflamasi.

    Obat Imunosupresif, seperti azatioprin dan 6-merkapto purin (6-MP)

    bermanfaat mengurangi inflamasi yang disebabkan reaksi imun. Digunakan

    pada pasien yang tidak berspon terhadap 5-ASA atau kortikosteroid atau yang

    tergantung pada kortikosteroid.

    Obat-obat untuk mengurangi rasa sakit, diare atau infeksi dapat juga

    diberikan.

    Adapun indikasi pembedahan pada kolitis ulseratif jika terjadi keadaan

    dibawah ini:11,13,15

    Emergensi : perforasi kolon, perdarahan masif dan kolitis fulminan yang

    gagal bersepon dengan terapi medis

    Elektif : kanker kolon, penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh

    sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.

    2.2.6.3 Penyakit Crohn

    2.2.6.1.1 Definisi

    Penyakit Crohn seperti halnya kolitis ulseratif merupakan suatu penyakit

    inflamasi menahun dengan karakteristik eksaserbasi intermiten dan remisi.10,11

    Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada

    20

  • bagian terendah dari intestinal dan kolon, namun dapat terjadi pada bagian

    manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit

    sekitar anus. Ini disebut penyakit Crohn perianal.11,15,18

    Prevalensi penyakit Crohn 40-50% mengenai ileum terminal dan caecum,

    30-40% mengenai intestinal saja dan 20% mengenai kolon saja.14,17 Pada beberapa

    dekade yang lalu, penyakit Crohn lebih sering ditemukan di negara barat dan

    negara berkembang. Terjadi pada pria dan wanita, lebih sering pada bangsa

    Yahudi, dan cenderung terjadi pada keluarga yang juga memiliki riwayat kolitis

    ulseratif. Kebanyakan kasus muncul sebelum umur 30 tahun, paling sering

    dimulai antara usia 14-24 tahun.18

    2.2.6.1.2 Patofisiologi

    Penyebab penyakit Crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan

    perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu kelainan fungsi sistim

    pertahanan tubuh, infeksi dan makanan.17

    Pada penyakit Crohn terjadi penebalan dan edem pada dinding usus yang

    terkena. Terdapat lesi pada mukosa berupa ulkus yang besar, dalam, kadang-

    kadang bergabung membentuk ulkus linear longitudinal dan transversal. Dasar

    dari ulkus ini bisa penestrasi lebih dalam membentuk fisura pada lapisan

    muskularis. Karakteristik dari penyakit Crohn adalah inflamasi transmural dan

    granuloma non nekrosis. Oleh karena itu, penyakit Crohn dapat mengenai banyak

    bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus.11,15

    Gambar 9. Penyakit Crohn16

    21

  • 2.2.6.1.3 Gejala Klinis

    Gejala-gejala penyakit Crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi ada

    3 pola yang umum terjadi, yaitu :15,17

    1. Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut kanan bawah, malabsorpsi,

    penurunan berat badan

    2. Fibrostenotik (striktur) gejala awal penyumbatan parsial, berupa nyeri

    hebat di dinding usus, nausea, muntah, kembung dan distensi perut.

    3. Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah

    (abses), yang sering menyebabkan diare profus, demam, adanya massa

    dalam perut yang terasa nyeri.

    Gejala klasik dari penyakit Crohn adalah nyeri kolik perut kanan bawah

    dan diare. Gejala lain yang dapat ditimbulkan berupa demam, nafsu makan

    berkurang dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri

    tekan dan benjolan pada perut kanan bawah.15

    2.2.6.1.4 Diagnosis

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan

    tinja. Biasanya ditemukan leukositosis dan trombositosis ringan, anemia dan

    peningkatan laju endap darah. Hipoalbuminemia menunjukkan keadaan yang

    berat dan kronik.15

    Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit

    Crohn. Penemuan khas pada pemeriksaan ini meliputi skip lesions, cobblestone

    appearance dan penyempitan lumen usus (string sign) karena penebalan dan

    edem pada dinding usus. Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan

    kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis.

    CT scan bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan menemukan adanya

    abses, namun tidak digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan diagnostik

    awal.15,17

    2.2.6.1.5 Komplikasi

    Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan penyaki Crohn, yaitu:

    22

  • 1. Intestinal15

    Perforasi

    Striktur

    Penyakit perirektal

    kanker kolon

    Defisiensi nutrisi

    2. Ekstraintestinal17

    Bila penyakit Crohn menyebabkan kambuhnya

    gejala usus, penderita juga mengalami:

    - peradangan pada sendi (artritis)

    - peradangan pada bagian putih mata (episkleritis)

    - nodul kulit yang meradang (eritema nodosum)

    - luka kulit biru-merah yang bernanah (pioderma gangrenosum).

    Bila penyakit Crohn tidak menyebabkan gejala

    usus, penderita masih bisa mengalami:

    - peradangan tulang belakang (spondilitis ankilosa)

    - peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)

    - peradangan di dalam mata (uveitis).

    2.2.6.1.6 Penatalaksanaan

    Pada prinsipnya penatalaksanaan penyakit Crohn sama dengan kolitis

    ulseratif. Obat-obatan yang digunakan untuk penyakit Crohn, yaitu:13,15

    5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazin, olsalazin, mesalamin

    dan balsalazid digunakan untuk sadium penyakit ringan sampai sedang.

    Kortikosteroid, seperti prednison, metilprednison dan hidrokortison

    digunakan untuk sadium penyakit sedang sampai berat.

    Obat Imunosupresif, seperti azatioprin and 6-merkapto purin (6-MP)

    bermanfaat mengurangi inflamasi yang disebabkan reaksi imun.

    Digunakan pada pasien yang tidak berspon terhadap 5-ASA atau

    kortikosteroid atau yang tergantung pada kortikosteroid.

    Antibiotik, seperti metronidazol dan siprofloksazin.

    23

  • Agen biologik, seperti Infliximab (anti TNF )

    Nutrisi

    Adapun indikasi pembedahan pada penyakit Crohn jika terjadi keadaan

    dibawah ini:11,15,17

    perforasi

    striktur

    penyakit perirektal berupa fistula dan abses.

    2.2.6.3 Indeterminate colitis

    Kira-kira 15% pasien dengan IBD mempunyai manifestasi klinis dan

    karekteristik patologis kedua penyakit kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.

    Pemeriksaan endoskopi, barium enema dan biopsi pada pasien ini tidak bisa

    membedakan kedua penyakit ini. Keadaan ini disebut Indeterminate colitis.11,12

    2.2.6.4 Perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn

    Berikut perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn:12,15

    Tabel 1. Perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn

    Perbedaan Kolitis ulseratif Penyakit CrohnGambaran klinis

    penyakit perianal Fistula Abses Striktur Toksik megakolon

    jarangjarangjarangjarangsering

    sering (1/3 pasien)sering (>40% pasien)20% pasienseringjarang

    Kolonoskopi Keterlibatan rektum Pola

    selalukontiniu, perluasan ke arah proksimal dari rektum

    jarangdiskontiniu (skip lesion)

    Radiologis Keterlibatan ileum

    jarang 75% pasien

    Histopatologi Kedalaman inflamasi

    Granuloma

    biasa terbatas pada mukosa dan submukosa, kecuali kolitis fulminanhanya pada kripta pada stadium berat

    Transmural

    20% dari biopsi endoskopi

    24

  • 2.2.7 Kolitis radiasi

    2.2.7.1 Definisi

    Kolitis radiasi adalah penyakit peradangan kolon sebagai komplikasi

    abdominal dan pelvis akibat terapi radiasi terhadap kanker ginekologi (karsinoma

    serviks), urologi (karsinoma prostat, kandung kemih dan testis) serta rektum.18

    2.2.7.2 Patofisiologi

    Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan menjadi kerusakan

    akibat:18

    Whole body irradiation

    Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad terjadi gejala awal berupa nausea,

    vomitus dan penurunan sekresi asam lambung. Ini akan diikuti dengan

    destruksi difus dari mukosa saluran cerna serta gangguan pada sumsum tulang

    belakang, tergangunya fungsi mukosa saluran cerna, perubahan flora usus

    serta diikuti oleh kehilangan cairan dan elektrolit bahkan sepsis.

    Localized irradiation

    Kedaan akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dal sel-sel endotel

    pembuluh darah saluran cerna yang diikuti edema submukosa akibat

    peningkatan permeabelitas kapiler. Dengan meningkatnya dosis radiasi dalam

    fase lanjut akan terjadi telengiektasis, atrofi, fibrosis, striktur dan trombosis

    yang menyebabkan iskemia jaringan.

    2.2.7.3 Gejala klinis

    Secara umum, terbagi menjadi 2 gejala:18

    Gejala akut berupa mual, muntah-muntah, diare dan tenesmus. Terjadi

    dalam 6 minggu setelah radiasi.

    Gejala kronik berupa hematoskezia, diare, kolik dan tenesmus. Terjadi

    dalam 2 tahun pasca radiasi, umumnya 6-9 bulan setelah terapi radiasi

    selesai.

    25

  • 2.2.7.4 Diagnosis

    Diagnosis kolitis iskemik ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

    dan endoskopi saluran cerna dan pemeriksaan histopatologi. Jika endoskopi sulit

    dilakukan, dilakukan pemeriksaan dengan barium enema. Pada pemeriksaan

    kolonoskopi ditemukan gambaran telengiektasis, edema, striktur, fistula, mukosa

    yang kaku serta mudah berdarah.18

    Kolitis radiasi dibagi menjadi 4 derajat menurut Kottmeimer (1964):18

    Derajat I : Keluhan ringan disertai kelainan mukosa ringan

    Derajat II : Diare disertai mukus dan darah. Pada kolonoskopi

    didapatkan jaringan nekrosis, ulkus atau stenosis sedang.

    Derajat III : Stenosis rektum berat sehingga memerlukan kolostomi

    Derajat IV : Terdapat fistula

    2.2.7.5 Penatalaksanaan

    Pada umumnya terapi dimulai pemberian steroid enema,

    sulfasalazin/mesalazin dan sukralfat enema. Pada pasien dengan kerusakan berat

    umumnya memerlukan pembedahan karena perdarahan yang tidak dapat

    dikendalikan, striktur dan fistula.18

    2.2.8 Kolitis iskemik

    2.2.8.1 Definisi

    Kolitis iskemik adalah inflamasi kolon yang disebabkan oleh inadekuat

    suplai darah ke kolon. Meskipun tidak umum, kolitis iskemik banyak terjadi pada

    usia muda. Insiden pasti kolitis iskemik sulit ditentukan karena pasien dengan

    iskemia ringan jarang mencari pengobatan medis.19

    2.2.8.2 Patofisiologi

    Kolitis iskemik dapat disebabkan karena aliran sistemik yang kurang atau

    faktor lokal berupa vasokonstriksi pembuluh darah usus dan trombus. Sehingga

    penyebab kolitis iskemik dibedakan atas oklusif dan non oklusif. Pada banyak

    kasus, penyebab non spesifik banyak ditemukan. 19,20

    Kolon didarahi oleh A. Mesenterika superior dan A. Mesenterika inferior.

    Terbentuk kolateral dari hubungan kedua arteri ini. Namun fleksura splenikus dan

    kolon ascenden memiliki sedikit kolateral dari kedua arteri ini sehingga iskemia

    26

  • lebih mudah terjadi pada daerah ini. Sedangkan rektum mendapat suplai darah

    dari A. Mesenterika inferior & A. Iliaka interna sehingga pada rektum jarang

    terjadi iskemia.19

    Gambar 10. Suplai darah kolon19

    Kolon menerima 10-35% dari total cardiac output. Jika aliran darah ke

    kolon menurun lebih dari 50% maka akan terjadi iskemia. Arteri pada kolon

    sensitif terhadap vasokonstriktor seperti kondisi stres dan obat-obat

    vasikonstriktor seperti ergotamin, kokain atau vasopresin. 19,20

    Kondisi patologis yang bisa ditemukan pada kolitis iskemik berupa

    perdarahan dan edem mukosa dan submukosa, nekrosis dan ulserasi. Pada kondisi

    yang berat dapat ditemukan gambaran ulserasi kronik, abses kripta dan

    pseudopolip serta infark transmural.19,20

    2.2.8.3 Gejala klinis

    27

    Gambar 11. Kolitis iskemik21

    suplai darah dari A. Mesenterika inferiorsuplai darah dari

    A. Mesenterika superior

    suplai darah dari A. Mesenterika inferior & A. Iliaka interna

  • Gejala klinis kolitis iskemik tergantung pada beratnya iskemia. Gejala-

    gejala yang dapat ditemukan meliputi:19

    Nyeri perut (78%), paling umum ditemukan sebagai gejala awal

    Perdarahan saluran cerna bawah (62%)

    Diare (38%)

    Demam lebih tinggi dari 38oC (34%)

    Secara umum fase kolitis iskemik progresif dibagi 3, yaitu:19

    1. Fase hiperaktif, ditandainyeri perut dan BAB berdarah

    2. Fase paralitik, terjadi jika iskemia berlanjut. Pada fase ini neri

    perut meluas dan lebih nyeri jika disentuh, motilitas usus berkurang,

    kembung, bunyi bising usus berkurang sampai tidak ada.

    3. Fase syok, akibat perforasi kolon.

    2.2.8.4 Diagnosis

    Diagnosis kolitis iskemik ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

    dan pemeriksaan penunjang. Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis

    (>15.000/mm3) dan penurunan kadar bikarbonat

  • Antibiotik

    Analgesik

    Pembedahan dilakukan jika leukositosis berat, demam serta nyeri perut

    dan perdarahan yang bertambah.

    BAB III

    SIMPULAN DAN SARAN

    3.1 Simpulan

    1. Kolitis dapat diklasifikasikan menjadi kolitis infeksi dan non infeksi.

    2. Kolitis infektif terdiri dari kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa,

    kolitis pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain seperti E.

    coli.

    3. Kolitis noninfektif antara lain berupa kolitis ulseratif, penyakit Crohn,

    kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, maupun kolitis

    nonspesifik.

    4. Pemeriksaan endoskopi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis

    masing-masing kolitis.

    3.2 Saran

    1. Perlu dilakukan evaluasi pada pasien kolitis agar tidak terjadi

    komplikasi-komplikasi yang serius.

    2. Perlu dilaksanakan penelitian epidemiologi mengenai insidensi dari

    berbagai macam kolitis di Indonesia.

    29

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Oesman N. Kolitis Infeksi. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I

    dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:

    Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 368-72

    2. Sing J. Colitis 2006; http://emedicine.medscape.com [Diakses tanggal 7

    April 2009]

    3. Mangesti U, Simanibrata M. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana

    Kolitis Infektif dengan Komplikasi Hematokezia;

    klinikmedis.com/archive/artikel/art_diag_kolitis_infektif [Diakses tanggal

    7 April 2009]

    4. Reed SL. Amebiasis and Infection with Free-Living Amebas. In:

    Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA: McGraw-

    Hill, 2005.1214-8

    5. Farrar WE. The Gastrointestinal Tract. In: Infectious Disease. USA:

    Mosby, 1995.

    6. Keusch GT. Shigellosis. In: Harrisons Principles of Internal Medicine.

    16th Edition. USA: McGraw-Hill, 2005.

    7. Naval GR, Chua ML. Diagnosis of Intestinal Tuberculosis Among Patients

    30

  • with Chronic Diarrhea : Role of Intubation Biopsy;

    http://www.psmid.oiy.ph/vol27/ vol27numltopics.pdf [Diakses tanggal 7

    April 2009]

    8. Aditama TY, dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis

    di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.

    9. Theresia E. Kolitis Pseudomembran; http://health.dir.groups.yahoo.com

    [Diakses tanggal 7 April 2009]

    10. Kolitis Hemoragika; http://medicastore.com [Diakses tanggal 7 April

    2009]

    11. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollack

    RE. Schwartzs Principles of Surgery. 8th Edition. 1076-81

    12. Djojoningrat D. Inflamatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan

    Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I

    dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:

    Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 384-8

    13. The National Digestive Diseases Information Clearinghouse (NDDIC).

    Ulcerative Colitis 2006; http://digestive.niddk.nih.gov [Diakses tanggal 7

    April 2009]

    14. Kolitis Ulseratif; http://medicastore.com [Diakses tanggal 7 April 2009]

    15. Judge TA, Lichentenstein. Inflamatory Bowel Disease. In: Friedman SL,

    McQuaid KR, Grendell JH (ed). Current Diagnosis & Treatment in

    Gastroenterology. 2nd Edition. Singapore: McGraw Hill, 2003. 108-30

    16. Geboes K, Jouret A. Macroscopy and Microscopy the Inflamatory Bowel

    Disease (IBD); http://documents.irevues.inist.fr/bitstream [Diakses tanggal

    7 April 2009]

    17. Penyakit Crohn (Enteritis Regionalis, Ileitis Granulomatosa, Ileokolitis);

    http://medicastore.com [Diakses tanggal 7 April 2009]

    18. Makmun D. Kolitis radiasi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I

    dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:

    Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 379

    19. Ischemic Colitis; http//www.wikipedia.org [Diakses tanggal 7 April 2009]

    31

  • 20. Rasyad SB. Penyakit Vaskular Mesenterika. Dalam: Sudoyo AW,

    Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.

    Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

    FKUI,2007.400-1

    21. Salaru, G, Shen E. Ischemic Colitis; http//pleiad.umdnj.edu [Diakses

    tanggal 7 April 2009]

    32