KODEKI
-
Upload
hafidz-firmanda -
Category
Documents
-
view
381 -
download
17
Transcript of KODEKI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kode etik kedokteran sudah ada sepanjang sejarah profesi
kedokteran, mulai dengan daftar honor dan hukuman untuk
"malpractice" dalam kode hammurabi, lalu ke sumpah hippocrates pada
zaman yunani, sampai ke kode etik kedokteran Indoneia. Perilaku
dokter hares sesuai dengan etik masyarakat di mana ia berada karena
dokter, sebagaimana anggota masyarakat lainnya selain makluk
individual juga makluk sosial budaya, dan religius.
Kata etik atau etika berasal dari dua kata bahasa latin, yaitu
kata mores dan ethos. Umumnya sebagai rangkaian mores of community
(kesopanan masyarakat) dan ethos of the people (akhlak manusia). Kode
etik suatu profesi terbentuk bila ahli-ahli kelompok profesi itu
mengumpulkan dan menyepakati suatu daftar perilaku etik yang berlaku
untuk anggota-anggota profesi itu. Hukum kedokteran di batasi pada
hukum yang mengatur produk profesi dokter, yang disebabkan karena
adannya hubungan dengan pihak lain, baik pasien maupun tenaga
kesehatan lain. Hukum kedokteran mempunyai obyek yang sama, yaitu
pasien yang merupakan obyek inti satu-satunya dalam hukum
kedokteran.
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966
tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, selanjutnya disingkat PP
No. 10 Tahun 1966, yang dimaksud dengan RAHASIA KEDOKTERAN
adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam
pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaan dalam
lapangan kedokteran.Pasal 3 PP NO 10 Tahun 1966 menyatakan :
Yang di wajibkan menyimpan rahasia yang di maksud dalam
pasal 1 ialah:
1
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-Undang Tentang
Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1963 No.78),
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan
pemeriksaan, pengobatan dan atau Perawat yang di tetapkan oleh
Menteri Kesehatan. Dokter dalam menjalankan tugas jabatannya di
wajibkan atau di haruskan melindungi rahasia penyakit pasien
terhadap doktemya,agar tetap terpelihara.
Kewajiban para pejabat untuk merahasiakan hal-hal yang
diketahui karena jabatannya atau pekerjaannya berpijak pada norma-
norma susila, dan pada hakikatnya hal tersebut merupakan kewajiban
moral.
Sumpah dokter berdasarkan Peraturan Pemerintah NO 26 Tahun
1960 Tentang Lafal Sumpah Dokter selanjutnya di sebut PPNO 26 Tahun
1960 sebagai berikut: "Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang
saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter"
Adapun sumpah dokter berdasarkan pasal 13 Kode Etik
Kedokteran Indonesia selanjutnya di singkat KODEKI sebagai berikut:
“Setiap dokter wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal.
Melanggar etik kedokteran berarti juga melanggar prinsip-
prinsip moral, nilai dan kewajiban-kewajiban yang dituntut untuk diambil
tindakantindakan berupa skorsing atau dikeluarkan dari keanggotaan
Ikatan Dokter Indonesia yang selanjutnya di singkat IDI.
Pelaksanaan rahasia jabatan tidak cukup hanya diatur pada etik,
tetapi memerlukan pengaturan dalam undang-undang. Pelanggaran
terhadap norma susila hanya diancam oleh sanksi sosial dari
masyarakat,sedangkan pelanggaran undang-undang mendapat ancaman
hukuman. Dokter yang melakukan pelanggaran itu juga mendapat
ancaman hukuman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2
1.2 Tujuan Penulisan
Dalam penyusunan makalah yang berjudul "Kode Etik Kedokteran
Indonesia”, penyusun mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut.
1.2.1 Meningkatkan kepedulian dan mengubah sikap masyarakat untuk
menghasilkan suatu sebuah perubahan perilaku yang spesifik
1.2.2 Menciptakan lingkungan yang mendukung dan penguatan aksi-
aksi serta berperan penting dalam penanganan kesehatan.
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Untuk menginformasikan kepada pembaca bahwa kode etik
kedokteran itu sangat dibutuhkan dalam dunia kesehatan agar
semuanya sesuai prosedur.
1.3.2 Untuk menjelaskan dan menjabarkan tentang kode etik
kedokteran dan penerapannya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi KODEKI
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis
yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak
benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan
apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa
yang harus dihindari.
Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat
perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah
tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang
euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam
kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan.
Kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan
pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk
dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga
profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka
profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis :
“Setiap dokter senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.” Namun dalam sumpah dokter, terdapat pernyataan:
“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.”
Dalam pernyataan ini, yang dimaksud makhluk insani masih belum dapat
ditentukan dengan jelas dan pasti, mulai kapan awal kehidupan ditentukan,
sehingga menimbulkan pertentangan. Karena itu Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia (PB IDI) masih mengadakan perundingan tentang lafal
sumpah dokter Indonesia melalui hasil referendum dari anggota IDI untuk
memilih apakah kata “mulai dari saat pembuahan” hendak dihilangkan
atau diubah. (MKEK, 2002).
4
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan
advokasi, menjamin keselamatan pasien, menghormati terhadap hak-hak
pasien. Kriteria perilaku profesional antara lain mencakup bertindak sesuai
keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral tinggi, memegang
teguh etika profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi
gerak. (Wahyuningsih, et. al., 2005).
Seluruh peraturan tentang kegiatan yang terkait dengan perihal
kesehatan termasuk dalam hukum kesehatan. Dalam KUHP, pasal 346
hingga pasal 350 mengatur batasan-batasan aborsi. Namun dalam KUHP,
kesengajaan aborsi sangat tidak dibenarkan. (KUHP, 2008)
Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 15,
dinyatakan bahwa dalam upaya menyelamatkan Ibu dan atau janinnya
dapat dilakukan tindakan tertentu. Namun, tindakan tertentu ini belum
dijelaskan lebih detil, seperti apa dan kriteria tertentu dalam pelaksanaan
tindakan medis yang dimaksud. (UU Kesehatan, 1992)
2.2 Pasal-Pasal KODEKI
Dalam Pasal Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1966
Tentang Tenaga Kesehatan selanjutnya di sebut PP NO 32 Tahun
1966 sebagai berikut:
1. Tenaga kesehatan terdiri dari :
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
d. tenaga kesehatan masyarakat;
e. tenaga gizi;
f. tenaga keterapian fisik;
g. tenaga keteknisan medis;
2. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
3. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
5
4. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analisis farmasi dan asisten
apoteker.
5. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan,
entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan,
administrator kesehatan dan sanitarian.
6. Tenaga gizimeliputi nutrionis dan dietisien.
7. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan
terapis wicara.
8. Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi
gigi, teknisi elektromedis, analisis kesehatan, refraksionis optisien,
otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
Rahasia pekerjaan dan rahasia jabatan dokter merupakan dua hal
yang hampir sama pada intinya yaitu: memegang suatu rahasia.
Rahasia pekerjaan adalah sesuatu yang dan harus dirahasiakan
berdasarkan lafal janji yang di ucapkan setelah menyelesaikan
pendidikan. contoh: dalam lafal sumpah dokter: “Demi Allah saya
bersumpah bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya
ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter”
Rahasia jabatan adalah rahasia dokter sebagai pejabat structural,
misal sebagai Pegawai Negeri Sipil yang disingkat (PNS). Contoh : dalam
lafal sumpah pegawai negeri."Saya akan memegang rahasia sesuatu
yang menurut sifat atau perintah harus saya rahasiakan".
Rahasia jabatan dokter di maksud untuk melindungi rahasia
dan untuk menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dan
dokter. Bahwa tidak ada batasan yang jelas dan pasti kapan seorang
dokter harus menyimpan rahasia penyakit dan kapan ia dapat
memberikan keterangan pada pihak yang membutuhkan. Pedoman
penentuan sikap dalam mengatasi problem seperti ini yang harus tetap di
sadari dan di tanamkan adalah pengertian bahwa rahasia jabatan dokter
terutama adalah kewajiban moral dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan bidang profesinya dokter selain di ikat oleh lafal sumpahnya
sebagai dokter, juga oleh KODEKI. Selain sebagai manusia secara
6
individual dan sebagai anggota masyarakat dalam satu sistem sosia
(dokter juga di ikat oleh norma-norma dalam perilaku masyarakat,
diantaranya norma perilaku berdasarkan norma kebiasaan.
Seorang dokter erat kaitannya dengan tanggung jawab dalam
upaya pelayanan kesehatan yang selanjutnya disingkat YANKES.
Tanggung jawab tersebut meliputi 3 (tiga) hal,yaitu:
1. Tanggung jawab etis berlandaskan KODEKI
2. Tanggung jawab profesi berlandaskan pada kualifikasi pendidikan
3. Tanggung jawab hukum berlandaskan :
a. Hukum pidana
b. Hukum perdata
c. Hukum administrasi.
Hukum kedokteran pada asasnya bertumpu pada dua hak manusia
yang sifatnya asasi.
Hak atas perawatan kesehatan (the right health care) hak yang
menentukan nasib sendiri.
Hak atas informasi (the right to information) yang merupakan hak
dasar individual. Dalam kaitannya dengan hukum kedokteran, hak atas
perawatan kesehatan yang merupakan hak asasi sosial dasarnya
dapat ditemukan dalam articel 25 United Universial Declaration of
human Rights 1948 khususnya ayat 1. Dengan adanya perkembangan
bidang sosial dan budaya yang menyertai perkembangan masyarakat
telah membawa perubahan terhadap status manusia sebagai obyek
ilmu kedokteran menjadi subyek yang berkedudukan sederajat.
Peningkatan status pasien sebagai subyek yang sederajat ini yang oleh
Hipocrates dituangkan dalam suatu hubungan yang disebabkan sebagai
transaksi terapeutik.Dalam kaitannya dalam transaksi, maksudnya ialah
transaksi untuk mencari dan menemukan terapi yang paling tepat oleh
dokter untuk kesembuhan pasien.
Pada dasarnya perubahan pola hubungan antara pemberi jasa
Yankes dengan penerima jasa Yankes dalam hal ini pasien terjadi dan
7
dapat diidentifikasi dari peristiwa-peristiwa yang berasal semakin
meningkatnya jumlah permintaan akan Yankes yang hakikatnya
disebabkan karena adanya tiga faktor dominan yaitu:
1. Meningkatnya jumlah permintaan atas pelayanan kesehatan.
2. Berubahnya pola penyakit.
3. Teknologi medik.
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu pelindungan
hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, balk fisik
maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian yang telah dilakukan
oleh tenaga kesehatan sesuai dengan Undang-Undang NOMOR.23
tahun 1992 tentang kesehatan yang selanjutnya disingkat UU No.23
tahun 1992.
Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau
kesalahan yang mungkin dapat mengakibatkan kematian atau cacat
permanen. UU No. 23 tahun 1992 dilahirkan dengan tujuan untuk
meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan
dibidang kesehatan. Hak menerima jasa Yankes dalam hubungannya
dengan pemberi jasa Yankes dalam pola hubungan paternalistik meliputi:
1. Hak atas informasi
2. Hak untuk memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan
medis tertentu
3. Hak untuk memilih pemberi jasa
4. Hak untuk memilih sarana kesehatan
5. Hak atas rahasia medik
6. Hak untuk menolak perawatan
7. Hak untuk menghentikan pengobatan
Etik profesi seharusnya mencerminkan ikatan moral antar profesi,
ikatan moral antar individu yang dilayani, serta ikatan moral dengan
masyarakat di mana profesi menyediakan jasanya dan pengakuan
eksistensinya.Dalam transaksi terapeutik yang diperjanjikan adalah
upaya mencari atau menemukan terapi yang paling tepat. Untuk
upaya penyembuhan yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati.
8
Disinilah letak keterkaitan antara etik dengan hukum yaitu dokter yang
terlibat dalam hubungan transaksi terapeutik dengan pasien dalam
melaksanakan tugasnya dilandasi oleh dasar-dasar etik sebagai seorang
dokter yang dibekali dengan sumpah jabatan dan kode etik profesi
kedokteran.
2.3 Macam-Macam KODEKI
2.3.1 Kewajiban Umum
Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan Sumpah Dokter.
Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut
ukuran yang tertinggi.
Pasal 3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
Pasal 4. Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik :
a. Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri
b. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuannya
dan keterampilan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa
kebebasan profesi.
c. Menerima imbalan selain dari pada yang layak sesuai dengan
jasanya, kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau
kehendak penderita.
Pasal 5. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya
tahan makhluk insani, baik jasmani maupun rohani, hanya diberikan untuk
kepentingan penderita.
9
Pasal 6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan
dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya.
Pasal 7. Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang
dapat dibuktikan kebenarannya.
Pasal 8. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus
mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat dan
memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), serta berusaha menjadi
pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Pasal 9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus memelihara saling
pengertian sebaik-baiknya.
2.3.2 Kewajiban Dokter terhadap Penderita
Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya
melindungi hidup mahluk insani.
Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal
ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia
wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian
dalam penyakit tersebut.
Pasal 12. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita
10
agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 13. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu
meninggal dunia.
Pasal 14. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya.
2.3.3 Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawatnya
Pasal 15. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 16. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman
sejawatnya tanpa persetujuannya.
2.3.4 Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri
Pasal 17. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat
bekerja dengan balk.
Pasal 18. Setiap dokter hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-citanya yang luhur.
2.4 Program Implementasi KODEKI
Perubahan sosio-ekonomi masyarakat yang diikuti dengan
meningkatnya pendidikan masyarakat telah merubah sistem nilai dan
perilaku di masyarakat. Perubahan sistem nilai dan perilaku para dokter
yang pada gilirannya telah mengurangi pengamalan profesi kedokteran.
11
Hal tersebut terlihat bahwa pada saat ini banyak kritik masyarakat
terhadap implementasi KODEKI. Kritik masyarakat terhadap
implementasi KODEKI tersebut tentunya tidak terlepas dari adanya enam
sifat dasar yang harus membuktikan keluhunan dan kemurnian profesi
dokter yaitu ketuhanan, keluhuran budi, kemurnian niat, kesungguhan
kerja, kerendahan hati dan integritas ilmiah dan sosial. Oleh karena itu
program implementasi KODEKI sangatlah penting. Dengan adanya
program implementasi diharapkan adanya kejelasan arah dan tujuan
implementasi KODEKI yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan
citra dokter Indonesia yang pada saat ni sedang menurun.
Proses implementasi KODEKI terdiri dari :
1. FASE PERSIAPAN.
Pada fase persiapan ini yang diperlukan adalah standarisasi dan pedoman.
Fase persiapan mi diharapkan dilaksanakan di Pengurus Besar IDI (IDI
Pusat) dan IDI Wilayah. Langkah-langkah yang dilakukan pada fase
persiapan sebagai berikut :
1. Pengurus Besar IDI melalui MKEK Pusat diharapkan dapat
menyusun standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang
berkaitan dengan KODEKI. Dengan adanya standarisasi
diharapkan semua mahasiswa Kedokteran di Indonesia
mendapat bekal KODEKI yang sama sehingga dalam
melakukan implementasi juga sama. Standarisasi pendidikan
tersebut meliputi:
Sillabi etik profesi
Buku ajar KODEKI dan Keprofesian
Sillabi kursus
Buku pedoman untuk kursus
Kualifikasi tenaga pengajar
Modul etik
2. Mengingat budaya masing-masing wilayah tidak sama maka
standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang berkaitan
12
dengan KODEKI perlu ditindakianjuti oleh IDI Wilayah untuk
membuat pedoman-pedoman yang disusun oleh IDI Wilayah
diharapkan dapat membantu dan memperjelas implementasi
KODEKI di wilayah.
2. FASE PELAKSANAAN
Agar dapat melaksanakan implementasi KODEKI dengan
baik maka harus dimulai sejak menjadi mahasiswa kedokteran
sampai menjadi dokter dan melaksanakan kegiatan sebagai profesi
dokter. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan implementasi
KODEKI sebagai berikut :
1. Pendidikan undergraduate di Fakultas Kedokteran (S1)
Pengenalan, penghayatan dan pemahaman KODEKI perlu
dilakukan sediri mungkin, yaitu melalui pendidikan under
graduate di Fakultas Kedokteran. Dengan dimulainya
pengenalan diri diharapkan para dokter dapat mengetahui,
memahami, menghayati dan mengamalkan 6 sifat dasar yang
membuktikan keluruhan dan kemuliaan profesi dokter.
2. Kursus terstruktur, tatap muka dan jarak jauh oleh Lembaga
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) IDI. Agar
KODEKI dapat terus diingat oleh para dokter maka perlu ada
pelatihan/kursus yang terstruktur mengenai KODEKI. Kursus
dapat menggunakan sistem tatap muka tetapi juga dapat
dengan sistem jarak jauh. Dengan sistem jarak jauh
diharapkan cakupan pesertanya dapat lebih banyak dan dengan
hasil yang tidak berbeda dengan sistem tatap muka. Misalnya
melalui Tele Conference, Tele Seminar.
3. Kuliah etik pada tiap PKB/Pertemuan ilmiah tak dipungkiri
PB IDI maupun IDI Wilayah sering mengadakan pertemuan
ilmiah atau menyelenggarakan PKB. Pertemuan ilmiah dan
PKB tersebut dapat merupakan wahana yang baik untuk
melakukan sosialisasi KODEKI secara berkesinambungan dan
13
berkelanjutan. Disarankan atau agar dibuat kebijakan oleh PB
IDI bahwa sebelum PKB/pertemuan llmiah dilaksanakan perlu
diawali dengan Kultum (Kuliah Tujuh Menit) mengenai
KODEKI.
4. Kursus Etik bagi anggota MKEK di dalam struktur organisasi
IDI, MKEK mempunyai pengenalan, penghayatan dan
pemahaman yang sama mengenai KODEKI maka anggota
MKEK wajib mengikuti Kursus Etik. Disarankan MKEK
Pusat membuat Kursus Etik bagi MKEK Wilayah, sedangkan
MKEK Wilayah membuat Kursus Etik bagi MKEK Cabang.
5. Melaksanakan dan mengembangkan fungsi-fungsi dalam
struktur organisasi MKEK.
6. Pemberdayaan panitia etik/Komite Etik di rumah sakit dalam
membuat kebijakan. Untuk menangani masalah etik di rumah
sakit, maka setiap rumah sakit wajib mempunyai panitia
etik/komite etik. Kewajiban ini telah tertuang dalam standar
akreditasi rumah sakit. Harus diakui panitia etik/komite etik di
Rumah Sakit (RS) pada saat ini belum berfungsi optimal dan
kurang diberdayakan. Agar implementasi KODEKI di RS
dapat berjalan dengan baik maka pengawasan secara
berkesinambungan perlu dilakukan. Panitia etik/komite di RS
diharapkan dapat melaksanakan kegiatan tersebut.
7. Koordinasi dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain
terkait. Implementasi KODEKI sangatlah dipengaruhi oleh
profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait oleh karena itu
dalam melaksanakan implementasi KODEKI perlu melakukan
koordinasi dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain
terkait. Sebagai contoh kerja sama dokter dengan penusahaan
farmasi dapat diantisipasi dengan melakukan koordinasi
dengan profesi farmasi, dengan dilaksanakan kode etik
kedokteran dan kode etik farmasi diharapkan dapat
meminimalkan pelanggaran etik profesi tersebut. Di lain pihak
14
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganggap
kerja sama dokter dan perusahaan farmasi bukanlah
merupakan pelanggaran etika tetapi merupakan pelanggaran
hukum, 101 dan SF1 harus melakukan koordinasi dengan
institusi terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
PENGAWASAN/EVALUASI
Sudah menjadi sifat manusia, apabila tidak diawasi maka berani
melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, implementasi KODEKI
perlu diikuti dengan sistem pengawasan/evaluasi yang
berkesinambungan dan berkelanjutan. Hal-hal yang perlu
dilakukan pada pengawasan/evaluasi adalah sebagai benikut:
1. MKEK melaksanakan pengawasan secara aktit dan pasif
Agar ada kejelasan siapa, kapan dan bagaimana melakukan
pengawasan/ evaluasi maka PB IDI melalui MKEK Pusat
diharapkan dapat membuat pedoman pengawasan/evaluasi
yang merupakan acuan umum, sedangkan 101 Wilayah
melalui MKEK Wilayah membuat petunjuk teknis
pengawasan/evaluasi yang merupakan penjabaran pedoman
yang disusun PB 101 melalui MKEK Pusat sesuai dengan
budaya, situasi dan kondisi wilayah.
2. Panitia Etik AS sebagai pemantau di RS
Seperti disebutkan diatas bahwa AS wajib mempunyai
panitia etik maka panitia etik di RS ini diharapkan dapat
secara optimal melakukan pengawasan secara aktif maupun
pasif implementasi KODEKI. Oleh karena itu panitia etik
AS diharapkan mempunyai prosedur tetap
pengawasan/evaluasi KODEKI serta pencatatan dan
pelaporan masalah etik.
3. Perlu adanya pelaporan kasus etik secara berkala dan
berjenjang. Perlu dikembangkan format laporan kasus etik
dan tata cara pelaporan secara berkala dan berjenjang
15
BAB III
PENUTUP
4.1 Simpulan
Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dalam 3 (tiga) kelompok,
yaitu: kewajiban dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban kepada pasien,
kewajiban kepada diri sendiri dan teman sejawatnya. Keharusan
mengamalkan kode etik disebutkan dalam lafal sumpah dokter yang
didasarkan pada PP No. 26 tahun 1960. Ini berarti terbuka kemungkinan
memberikan sanksi kepada mereka yang melanggan kode etik.
4.2 Saran
- Pemerintah diharapkan lebih memperhatikan pentingnya Kode Etik
Kedokteran Indonesia untuk seluruh kalangan dokter.
- Masyarakat diharapkan lebih mengerti dan menyadari serta turut aktif
dalam pelayanan kesehatan dan sesuai dengan prosedur KODEKI.
16
DAFTAR PUSTAKA
Dorland. 2002. Kamus Kedokteran Edisi 29. Jakarta : EGC.
Fauzi, Ahmad. Lucianawaty, Mercy. Hanifah, Laily. Bernadette, Nur. 2002.
Aborsi di Indonesia. http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jun/2002/utama03.htm,
akses tanggal 15 oktober 2008, 17:34.
Field, Tiffany. Diego, Miguel. Dieter, John. Hernandez-Reif, Maria. Schanberg,
Saul. Kuhn, Cynthia. Yando, Regina. Bendell, Debra. 2004. Prenatal Depression
Effects on The Fetus and The Newborn. http://cat.inist.fr/?
aModele=afficheN&cpsidt=15748144, akses tanggal 15 Oktober 2008, 17:08.
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Jakarta : Majelis Kehormatan Etika Kedokteran.
Majelis Ulama Indonesia. 2005. Fatwa MUI no.4 tahun 2005 Tentang Aborsi.
Jakarta : www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=101
Presiden RI. 1992. UU no. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Wahyuningsih, H.P. Hera, A.Y. 2005. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta :
Fitrayama.
Wikipedia. 2008. Aborsi. www.id.wikipedia.org
Wujoso, Hari. 2008. KUHP.
17