KODEKI

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kode etik kedokteran sudah ada sepanjang sejarah profesi kedokteran, mulai dengan daftar honor dan hukuman untuk "malpractice" dalam kode hammurabi, lalu ke sumpah hippocrates pada zaman yunani, sampai ke kode etik kedokteran Indoneia. Perilaku dokter hares sesuai dengan etik masyarakat di mana ia berada karena dokter, sebagaimana anggota masyarakat lainnya selain makluk individual juga makluk sosial budaya, dan religius. Kata etik atau etika berasal dari dua kata bahasa latin, yaitu kata mores dan ethos. Umumnya sebagai rangkaian mores of community (kesopanan masyarakat) dan ethos of the people (akhlak manusia). Kode etik suatu profesi terbentuk bila ahli-ahli kelompok profesi itu mengumpulkan dan menyepakati suatu daftar perilaku etik yang berlaku untuk anggota-anggota profesi itu. Hukum kedokteran di batasi pada hukum yang mengatur produk profesi dokter, yang disebabkan karena adannya hubungan dengan pihak lain, baik pasien maupun tenaga kesehatan lain. Hukum kedokteran 1

Transcript of KODEKI

Page 1: KODEKI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kode etik kedokteran sudah ada sepanjang sejarah profesi

kedokteran, mulai dengan daftar honor dan hukuman untuk

"malpractice" dalam kode hammurabi, lalu ke sumpah hippocrates pada

zaman yunani, sampai ke kode etik kedokteran Indoneia. Perilaku

dokter hares sesuai dengan etik masyarakat di mana ia berada karena

dokter, sebagaimana anggota masyarakat lainnya selain makluk

individual juga makluk sosial budaya, dan religius.

Kata etik atau etika berasal dari dua kata bahasa latin, yaitu

kata mores dan ethos. Umumnya sebagai rangkaian mores of community

(kesopanan masyarakat) dan ethos of the people (akhlak manusia). Kode

etik suatu profesi terbentuk bila ahli-ahli kelompok profesi itu

mengumpulkan dan menyepakati suatu daftar perilaku etik yang berlaku

untuk anggota-anggota profesi itu. Hukum kedokteran di batasi pada

hukum yang mengatur produk profesi dokter, yang disebabkan karena

adannya hubungan dengan pihak lain, baik pasien maupun tenaga

kesehatan lain. Hukum kedokteran mempunyai obyek yang sama, yaitu

pasien yang merupakan obyek inti satu-satunya dalam hukum

kedokteran.

Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966

tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, selanjutnya disingkat PP

No. 10 Tahun 1966, yang dimaksud dengan RAHASIA KEDOKTERAN

adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam

pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaan dalam

lapangan kedokteran.Pasal 3 PP NO 10 Tahun 1966 menyatakan :

Yang di wajibkan menyimpan rahasia yang di maksud dalam

pasal 1 ialah:

1

Page 2: KODEKI

a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-Undang Tentang

Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1963 No.78),

b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan

pemeriksaan, pengobatan dan atau Perawat yang di tetapkan oleh

Menteri Kesehatan. Dokter dalam menjalankan tugas jabatannya di

wajibkan atau di haruskan melindungi rahasia penyakit pasien

terhadap doktemya,agar tetap terpelihara.

Kewajiban para pejabat untuk merahasiakan hal-hal yang

diketahui karena jabatannya atau pekerjaannya berpijak pada norma-

norma susila, dan pada hakikatnya hal tersebut merupakan kewajiban

moral.

Sumpah dokter berdasarkan Peraturan Pemerintah NO 26 Tahun

1960 Tentang Lafal Sumpah Dokter selanjutnya di sebut PPNO 26 Tahun

1960 sebagai berikut: "Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang

saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter"

Adapun sumpah dokter berdasarkan pasal 13 Kode Etik

Kedokteran Indonesia selanjutnya di singkat KODEKI sebagai berikut: 

“Setiap dokter wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang

seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal.

Melanggar etik kedokteran berarti juga melanggar prinsip-

prinsip moral, nilai dan kewajiban-kewajiban yang dituntut untuk diambil

tindakantindakan berupa skorsing atau dikeluarkan dari keanggotaan

Ikatan Dokter Indonesia yang selanjutnya di singkat IDI.

Pelaksanaan rahasia jabatan tidak cukup hanya diatur pada etik,

tetapi memerlukan pengaturan dalam undang-undang. Pelanggaran

terhadap norma susila hanya diancam oleh sanksi sosial dari

masyarakat,sedangkan pelanggaran undang-undang mendapat ancaman

hukuman. Dokter yang melakukan pelanggaran itu juga mendapat

ancaman hukuman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

2

Page 3: KODEKI

1.2 Tujuan Penulisan

Dalam penyusunan makalah yang berjudul "Kode Etik Kedokteran

Indonesia”, penyusun mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut.

1.2.1 Meningkatkan kepedulian dan mengubah sikap masyarakat untuk

menghasilkan suatu sebuah perubahan perilaku yang spesifik

1.2.2 Menciptakan lingkungan yang mendukung dan penguatan aksi-

aksi serta berperan penting dalam penanganan kesehatan.

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Untuk menginformasikan kepada pembaca bahwa kode etik

kedokteran itu sangat dibutuhkan dalam dunia kesehatan agar

semuanya sesuai prosedur.

1.3.2 Untuk menjelaskan dan menjabarkan tentang kode etik

kedokteran dan penerapannya.

3

Page 4: KODEKI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi KODEKI

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis

yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak

benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan

apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa

yang harus dihindari.

Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat

perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah

tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang

euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam

kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan.

Kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan

pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk

dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga

profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka

profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis :

“Setiap dokter senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insani.” Namun dalam sumpah dokter, terdapat pernyataan:

“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.”

Dalam pernyataan ini, yang dimaksud makhluk insani masih belum dapat

ditentukan dengan jelas dan pasti, mulai kapan awal kehidupan ditentukan,

sehingga menimbulkan pertentangan. Karena itu Pengurus Besar Ikatan

Dokter Indonesia (PB IDI) masih mengadakan perundingan tentang lafal

sumpah dokter Indonesia melalui hasil referendum dari anggota IDI untuk

memilih apakah kata “mulai dari saat pembuahan” hendak dihilangkan

atau diubah. (MKEK, 2002).

4

Page 5: KODEKI

Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan

advokasi, menjamin keselamatan pasien, menghormati terhadap hak-hak

pasien. Kriteria perilaku profesional antara lain mencakup bertindak sesuai

keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral tinggi, memegang

teguh etika profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi

gerak. (Wahyuningsih, et. al., 2005).

Seluruh peraturan tentang kegiatan yang terkait dengan perihal

kesehatan termasuk dalam hukum kesehatan. Dalam KUHP, pasal 346

hingga pasal 350 mengatur batasan-batasan aborsi. Namun dalam KUHP,

kesengajaan aborsi sangat tidak dibenarkan. (KUHP, 2008)

Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 15,

dinyatakan bahwa dalam upaya menyelamatkan Ibu dan atau janinnya

dapat dilakukan tindakan tertentu. Namun, tindakan tertentu ini belum

dijelaskan lebih detil, seperti apa dan kriteria tertentu dalam pelaksanaan

tindakan medis yang dimaksud. (UU Kesehatan, 1992)

2.2 Pasal-Pasal KODEKI

Dalam Pasal Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1966

Tentang Tenaga Kesehatan selanjutnya di sebut PP NO 32 Tahun

1966 sebagai berikut:

1. Tenaga kesehatan terdiri dari :

a. tenaga medis;

b. tenaga keperawatan;

c. tenaga kefarmasian;

d. tenaga kesehatan masyarakat;

e. tenaga gizi;

f. tenaga keterapian fisik;

g. tenaga keteknisan medis;

2. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.

3. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.

5

Page 6: KODEKI

4. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analisis farmasi dan asisten

apoteker.

5. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan,

entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan,

administrator kesehatan dan sanitarian.

6. Tenaga gizimeliputi nutrionis dan dietisien.

7. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan

terapis wicara.

8. Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi

gigi, teknisi elektromedis, analisis kesehatan, refraksionis optisien,

otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.

Rahasia pekerjaan dan rahasia jabatan dokter merupakan dua hal

yang hampir sama pada intinya yaitu: memegang suatu rahasia.

Rahasia pekerjaan adalah sesuatu yang dan harus dirahasiakan

berdasarkan lafal janji yang di ucapkan setelah menyelesaikan

pendidikan. contoh: dalam lafal sumpah dokter: “Demi Allah saya

bersumpah bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya

ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter”

Rahasia jabatan adalah rahasia dokter sebagai pejabat structural,

misal sebagai Pegawai Negeri Sipil yang disingkat (PNS). Contoh : dalam

lafal sumpah pegawai negeri."Saya akan memegang rahasia sesuatu

yang menurut sifat atau perintah harus saya rahasiakan".

Rahasia jabatan dokter di maksud untuk melindungi rahasia

dan untuk menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dan

dokter. Bahwa tidak ada batasan yang jelas dan pasti kapan seorang

dokter harus menyimpan rahasia penyakit dan kapan ia dapat

memberikan keterangan pada pihak yang membutuhkan. Pedoman

penentuan sikap dalam mengatasi problem seperti ini yang harus tetap di

sadari dan di tanamkan adalah pengertian bahwa rahasia jabatan dokter

terutama adalah kewajiban moral dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan bidang profesinya dokter selain di ikat oleh lafal sumpahnya

sebagai dokter, juga oleh KODEKI. Selain sebagai manusia secara

6

Page 7: KODEKI

individual dan sebagai anggota masyarakat dalam satu sistem sosia

(dokter juga di ikat oleh norma-norma dalam perilaku masyarakat,

diantaranya norma perilaku berdasarkan norma kebiasaan.

Seorang dokter erat kaitannya dengan tanggung jawab dalam

upaya pelayanan kesehatan yang selanjutnya disingkat YANKES.

Tanggung jawab tersebut meliputi 3 (tiga) hal,yaitu:

1. Tanggung jawab etis berlandaskan KODEKI

2. Tanggung jawab profesi berlandaskan pada kualifikasi pendidikan

3. Tanggung jawab hukum berlandaskan :

a. Hukum pidana

b. Hukum perdata

c. Hukum administrasi.

Hukum kedokteran pada asasnya bertumpu pada dua hak manusia

yang sifatnya asasi.

Hak atas perawatan kesehatan (the right health care) hak yang

menentukan nasib sendiri.

Hak atas informasi (the right to information) yang merupakan hak

dasar individual. Dalam kaitannya dengan hukum kedokteran, hak atas

perawatan kesehatan yang merupakan hak asasi sosial dasarnya

dapat ditemukan dalam articel 25 United Universial Declaration of

human Rights 1948 khususnya ayat 1. Dengan adanya perkembangan

bidang sosial dan budaya yang menyertai perkembangan masyarakat

telah membawa perubahan terhadap status manusia sebagai obyek

ilmu kedokteran menjadi subyek yang berkedudukan sederajat.

Peningkatan status pasien sebagai subyek yang sederajat ini yang oleh

Hipocrates dituangkan dalam suatu hubungan yang disebabkan sebagai

transaksi terapeutik.Dalam kaitannya dalam transaksi, maksudnya ialah

transaksi untuk mencari dan menemukan terapi yang paling tepat oleh

dokter untuk kesembuhan pasien.

Pada dasarnya perubahan pola hubungan antara pemberi jasa

Yankes dengan penerima jasa Yankes dalam hal ini pasien terjadi dan

7

Page 8: KODEKI

dapat diidentifikasi dari peristiwa-peristiwa yang berasal semakin

meningkatnya jumlah permintaan akan Yankes yang hakikatnya

disebabkan karena adanya tiga faktor dominan yaitu:

1. Meningkatnya jumlah permintaan atas pelayanan kesehatan.

2. Berubahnya pola penyakit.

3. Teknologi medik.

Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu pelindungan

hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, balk fisik

maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian yang telah dilakukan

oleh tenaga kesehatan sesuai dengan Undang-Undang NOMOR.23

tahun 1992 tentang kesehatan yang selanjutnya disingkat UU No.23

tahun 1992.

Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau

kesalahan yang mungkin dapat mengakibatkan kematian atau cacat

permanen. UU No. 23 tahun 1992 dilahirkan dengan tujuan untuk

meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan

dibidang kesehatan. Hak menerima jasa Yankes dalam hubungannya

dengan pemberi jasa Yankes dalam pola hubungan paternalistik meliputi:

1. Hak atas informasi

2. Hak untuk memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan

medis tertentu

3. Hak untuk memilih pemberi jasa

4. Hak untuk memilih sarana kesehatan

5. Hak atas rahasia medik

6. Hak untuk menolak perawatan

7. Hak untuk menghentikan pengobatan

Etik profesi seharusnya mencerminkan ikatan moral antar profesi,

ikatan moral antar individu yang dilayani, serta ikatan moral dengan

masyarakat di mana profesi menyediakan jasanya dan pengakuan

eksistensinya.Dalam transaksi terapeutik yang diperjanjikan adalah

upaya mencari atau menemukan terapi yang paling tepat. Untuk

upaya penyembuhan yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati.

8

Page 9: KODEKI

Disinilah letak keterkaitan antara etik dengan hukum yaitu dokter yang

terlibat dalam hubungan transaksi terapeutik dengan pasien dalam

melaksanakan tugasnya dilandasi oleh dasar-dasar etik sebagai seorang

dokter yang dibekali dengan sumpah jabatan dan kode etik profesi

kedokteran.

2.3 Macam-Macam KODEKI

2.3.1 Kewajiban Umum

Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan

mengamalkan Sumpah Dokter.

Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut

ukuran yang tertinggi.

Pasal 3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak

boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.

Pasal 4. Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik :

a. Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri

b. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuannya

dan keterampilan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa

kebebasan profesi.

c. Menerima imbalan selain dari pada yang layak sesuai dengan

jasanya, kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau

kehendak penderita.

Pasal 5. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya

tahan makhluk insani, baik jasmani maupun rohani, hanya diberikan untuk

kepentingan penderita.

9

Page 10: KODEKI

Pasal 6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan

dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum

diuji kebenarannya.

Pasal 7. Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang

dapat dibuktikan kebenarannya.

Pasal 8. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus

mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat dan

memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh

(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), serta berusaha menjadi

pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.

Pasal 9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang

kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus memelihara saling

pengertian sebaik-baiknya.

2.3.2 Kewajiban Dokter terhadap Penderita

Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya

melindungi hidup mahluk insani.

Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan

segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal

ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia

wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian

dalam penyakit tersebut.

Pasal 12. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita

10

Page 11: KODEKI

agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya

dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal 13. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang

diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu

meninggal dunia.

Pasal 14. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu

tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan

mampu memberikannya.

2.3.3 Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawatnya

Pasal 15. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia

sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 16. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman

sejawatnya tanpa persetujuannya.

2.3.4 Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri

Pasal 17. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat

bekerja dengan balk.

Pasal 18. Setiap dokter hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan

ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-citanya yang luhur.

2.4 Program Implementasi KODEKI

Perubahan sosio-ekonomi masyarakat yang diikuti dengan

meningkatnya pendidikan masyarakat telah merubah sistem nilai dan

perilaku di masyarakat. Perubahan sistem nilai dan perilaku para dokter

yang pada gilirannya telah mengurangi pengamalan profesi kedokteran.

11

Page 12: KODEKI

Hal tersebut terlihat bahwa pada saat ini banyak kritik masyarakat

terhadap implementasi KODEKI. Kritik masyarakat terhadap

implementasi KODEKI tersebut tentunya tidak terlepas dari adanya enam

sifat dasar yang harus membuktikan keluhunan dan kemurnian profesi

dokter yaitu ketuhanan, keluhuran budi, kemurnian niat, kesungguhan

kerja, kerendahan hati dan integritas ilmiah dan sosial. Oleh karena itu

program implementasi KODEKI sangatlah penting. Dengan adanya

program implementasi diharapkan adanya kejelasan arah dan tujuan

implementasi KODEKI yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan

citra dokter Indonesia yang pada saat ni sedang menurun.

Proses implementasi KODEKI terdiri dari :

1. FASE PERSIAPAN.

Pada fase persiapan ini yang diperlukan adalah standarisasi dan pedoman.

Fase persiapan mi diharapkan dilaksanakan di Pengurus Besar IDI (IDI

Pusat) dan IDI Wilayah. Langkah-langkah yang dilakukan pada fase

persiapan sebagai berikut :

1. Pengurus Besar IDI melalui MKEK Pusat diharapkan dapat

menyusun standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang

berkaitan dengan KODEKI. Dengan adanya standarisasi

diharapkan semua mahasiswa Kedokteran di Indonesia

mendapat bekal KODEKI yang sama sehingga dalam

melakukan implementasi juga sama. Standarisasi pendidikan

tersebut meliputi:

Sillabi etik profesi

Buku ajar KODEKI dan Keprofesian

Sillabi kursus

Buku pedoman untuk kursus

Kualifikasi tenaga pengajar

Modul etik

2. Mengingat budaya masing-masing wilayah tidak sama maka

standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang berkaitan

12

Page 13: KODEKI

dengan KODEKI perlu ditindakianjuti oleh IDI Wilayah untuk

membuat pedoman-pedoman yang disusun oleh IDI Wilayah

diharapkan dapat membantu dan memperjelas implementasi

KODEKI di wilayah.

2. FASE PELAKSANAAN

Agar dapat melaksanakan implementasi KODEKI dengan

baik maka harus dimulai sejak menjadi mahasiswa kedokteran

sampai menjadi dokter dan melaksanakan kegiatan sebagai profesi

dokter. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan implementasi

KODEKI sebagai berikut :

1. Pendidikan undergraduate di Fakultas Kedokteran (S1)

Pengenalan, penghayatan dan pemahaman KODEKI perlu

dilakukan sediri mungkin, yaitu melalui pendidikan under

graduate di Fakultas Kedokteran. Dengan dimulainya

pengenalan diri diharapkan para dokter dapat mengetahui,

memahami, menghayati dan mengamalkan 6 sifat dasar yang

membuktikan keluruhan dan kemuliaan profesi dokter.

2. Kursus terstruktur, tatap muka dan jarak jauh oleh Lembaga

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) IDI. Agar

KODEKI dapat terus diingat oleh para dokter maka perlu ada

pelatihan/kursus yang terstruktur mengenai KODEKI. Kursus

dapat menggunakan sistem tatap muka tetapi juga dapat

dengan sistem jarak jauh. Dengan sistem jarak jauh

diharapkan cakupan pesertanya dapat lebih banyak dan dengan

hasil yang tidak berbeda dengan sistem tatap muka. Misalnya

melalui Tele Conference, Tele Seminar.

3. Kuliah etik pada tiap PKB/Pertemuan ilmiah tak dipungkiri

PB IDI maupun IDI Wilayah sering mengadakan pertemuan

ilmiah atau menyelenggarakan PKB. Pertemuan ilmiah dan

PKB tersebut dapat merupakan wahana yang baik untuk

melakukan sosialisasi KODEKI secara berkesinambungan dan

13

Page 14: KODEKI

berkelanjutan. Disarankan atau agar dibuat kebijakan oleh PB

IDI bahwa sebelum PKB/pertemuan llmiah dilaksanakan perlu

diawali dengan Kultum (Kuliah Tujuh Menit) mengenai

KODEKI.

4. Kursus Etik bagi anggota MKEK di dalam struktur organisasi

IDI, MKEK mempunyai pengenalan, penghayatan dan

pemahaman yang sama mengenai KODEKI maka anggota

MKEK wajib mengikuti Kursus Etik. Disarankan MKEK

Pusat membuat Kursus Etik bagi MKEK Wilayah, sedangkan

MKEK Wilayah membuat Kursus Etik bagi MKEK Cabang.

5. Melaksanakan dan mengembangkan fungsi-fungsi dalam

struktur organisasi MKEK.

6. Pemberdayaan panitia etik/Komite Etik di rumah sakit dalam

membuat kebijakan. Untuk menangani masalah etik di rumah

sakit, maka setiap rumah sakit wajib mempunyai panitia

etik/komite etik. Kewajiban ini telah tertuang dalam standar

akreditasi rumah sakit. Harus diakui panitia etik/komite etik di

Rumah Sakit (RS) pada saat ini belum berfungsi optimal dan

kurang diberdayakan. Agar implementasi KODEKI di RS

dapat berjalan dengan baik maka pengawasan secara

berkesinambungan perlu dilakukan. Panitia etik/komite di RS

diharapkan dapat melaksanakan kegiatan tersebut.

7. Koordinasi dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain

terkait. Implementasi KODEKI sangatlah dipengaruhi oleh

profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait oleh karena itu

dalam melaksanakan implementasi KODEKI perlu melakukan

koordinasi dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain

terkait. Sebagai contoh kerja sama dokter dengan penusahaan

farmasi dapat diantisipasi dengan melakukan koordinasi

dengan profesi farmasi, dengan dilaksanakan kode etik

kedokteran dan kode etik farmasi diharapkan dapat

meminimalkan pelanggaran etik profesi tersebut. Di lain pihak

14

Page 15: KODEKI

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganggap

kerja sama dokter dan perusahaan farmasi bukanlah

merupakan pelanggaran etika tetapi merupakan pelanggaran

hukum, 101 dan SF1 harus melakukan koordinasi dengan

institusi terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

PENGAWASAN/EVALUASI

Sudah menjadi sifat manusia, apabila tidak diawasi maka berani

melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, implementasi KODEKI

perlu diikuti dengan sistem pengawasan/evaluasi yang

berkesinambungan dan berkelanjutan. Hal-hal yang perlu

dilakukan pada pengawasan/evaluasi adalah sebagai benikut:

1. MKEK melaksanakan pengawasan secara aktit dan pasif

Agar ada kejelasan siapa, kapan dan bagaimana melakukan

pengawasan/ evaluasi maka PB IDI melalui MKEK Pusat

diharapkan dapat membuat pedoman pengawasan/evaluasi

yang merupakan acuan umum, sedangkan 101 Wilayah

melalui MKEK Wilayah membuat petunjuk teknis

pengawasan/evaluasi yang merupakan penjabaran pedoman

yang disusun PB 101 melalui MKEK Pusat sesuai dengan

budaya, situasi dan kondisi wilayah.

2. Panitia Etik AS sebagai pemantau di RS

Seperti disebutkan diatas bahwa AS wajib mempunyai

panitia etik maka panitia etik di RS ini diharapkan dapat

secara optimal melakukan pengawasan secara aktif maupun

pasif implementasi KODEKI. Oleh karena itu panitia etik

AS diharapkan mempunyai prosedur tetap

pengawasan/evaluasi KODEKI serta pencatatan dan

pelaporan masalah etik.

3. Perlu adanya pelaporan kasus etik secara berkala dan

berjenjang. Perlu dikembangkan format laporan kasus etik

dan tata cara pelaporan secara berkala dan berjenjang

15

Page 16: KODEKI

BAB III

PENUTUP

4.1 Simpulan

Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dalam 3 (tiga) kelompok,

yaitu: kewajiban dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban kepada pasien,

kewajiban kepada diri sendiri dan teman sejawatnya. Keharusan

mengamalkan kode etik disebutkan dalam lafal sumpah dokter yang

didasarkan pada PP No. 26 tahun 1960. Ini berarti terbuka kemungkinan

memberikan sanksi kepada mereka yang melanggan kode etik.

4.2 Saran

- Pemerintah diharapkan lebih memperhatikan pentingnya Kode Etik

Kedokteran Indonesia untuk seluruh kalangan dokter.

- Masyarakat diharapkan lebih mengerti dan menyadari serta turut aktif

dalam pelayanan kesehatan dan sesuai dengan prosedur KODEKI.

16

Page 17: KODEKI

DAFTAR PUSTAKA

Dorland. 2002. Kamus Kedokteran Edisi 29. Jakarta : EGC.

Fauzi, Ahmad. Lucianawaty, Mercy. Hanifah, Laily. Bernadette, Nur. 2002.

Aborsi di Indonesia. http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jun/2002/utama03.htm,

akses tanggal 15 oktober 2008, 17:34.

Field, Tiffany. Diego, Miguel. Dieter, John. Hernandez-Reif, Maria. Schanberg,

Saul. Kuhn, Cynthia. Yando, Regina. Bendell, Debra. 2004. Prenatal Depression

Effects on The Fetus and The Newborn. http://cat.inist.fr/?

aModele=afficheN&cpsidt=15748144, akses tanggal 15 Oktober 2008, 17:08.

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Jakarta : Majelis Kehormatan Etika Kedokteran.

Majelis Ulama Indonesia. 2005. Fatwa MUI no.4 tahun 2005 Tentang Aborsi.

Jakarta : www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=101

Presiden RI. 1992. UU no. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Wahyuningsih, H.P. Hera, A.Y. 2005. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta :

Fitrayama.

Wikipedia. 2008.  Aborsi. www.id.wikipedia.org

Wujoso, Hari. 2008. KUHP.

17