KNF

22
Karsinoma Nasofaring KARSINOMA NASOFARING 1. Pendahuluan Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas (kanker) yang berasal dari sel epitel nasofaring, bagian atas tenggorokan belakang hidung dan dekat dengan dasar tengkorak. Kejadian KNF masih jarang di temukan di dunia, sekitar 1% dari seluruh keganasan pada anak. Namun di Indonesia, karsinoma nasofaring (KNF) merupakan kanker daerah kepala leher dengan prevalensi terbanyak. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher di Indonesia merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil dan hipofaring dalam persentase yang sedikit. Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan juga pada UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA 1

description

KNF

Transcript of KNF

Page 1: KNF

Karsinoma Nasofaring

KARSINOMA NASOFARING

1. Pendahuluan

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas (kanker) yang berasal dari sel

epitel nasofaring, bagian atas tenggorokan belakang hidung dan dekat dengan dasar

tengkorak. Kejadian KNF masih jarang di temukan di dunia, sekitar 1% dari seluruh

keganasan pada anak. Namun di Indonesia, karsinoma nasofaring (KNF) merupakan

kanker daerah kepala leher dengan prevalensi terbanyak. Hampir 60% tumor ganas kepala

dan leher di Indonesia merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor

ganas hidung dan paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil dan hipofaring

dalam persentase yang sedikit.

Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk

kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial

yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai

darah. Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker

tersebut.

Universitas kristen indonesia 1

Page 2: KNF

Karsinoma Nasofaring

2. Epidemiologi

Di Indonesia, 60% tumor ganas kepala leher adalah KNF dan menduduki urutan kelima

dari seluruh keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, kelenjar getah bening,

dan kulit. Di Amerika dan Eropa, prevalensi KNF sangat sedikit yaitu 0,5 per 100.000

penduduk per tahun dan hanya 1–2% dari seluruh tumor ganas kepala dan leher.

Sebaliknya China Selatan dan Hongkong memiliki prevalensi KNF yang tinggi yaitu 50

per 100.000 penduduk per tahun.

3. Etiologi

Penyebab karsinoma nasoaring (KNF) secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu genetik,

lingkungan dan virus Ebstein Barr.

1. Genetik

Universitas kristen indonesia 2

Gambar 1. anatomi sistem resprasi bagian atas

Page 3: KNF

Karsinoma Nasofaring

Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol.

Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan

kehilangan sel-sel somatik. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa HLA (Human

Leucocyteantigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori tersebut didukung dengan

adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker

nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa. Tumor ini lebih sering

ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat

diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan

hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada

daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF

meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF

meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun

setelahnya.

2. Virus

Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker

nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi

sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab

beberapa penyakit. Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF

telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang

peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi

IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan

tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit

keganasan lainnya yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan

kanker nasofaring, bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa

menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak

Universitas kristen indonesia 3

Page 4: KNF

Karsinoma Nasofaring

cukup untuk menimbulkan proses keganasan. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap

tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk

mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu

lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.

3. Lingkungan

Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya kanker

nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan

tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton (ikan asin yang dimasak dengan

gaya Kanton/Cantonese-style salted fish) dalam jumlah yang besar serta waktu yang lama dan

kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. Di dalam ikan yang diawetkan

dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan

percobaan. Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu,

asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu hinese, dan obat-obatan

tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring

belum dapat dijelaskan.

Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (hinese herbal

medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya

kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB Bebebrapa

tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada

TPA ( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika

dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupakan produk dari bakteri anaerob yang

ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya

transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF.

Universitas kristen indonesia 4

Page 5: KNF

Karsinoma Nasofaring

Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi

menderita kanker nasofaring.

Universitas kristen indonesia 5

Page 6: KNF

Karsinoma Nasofaring

4. Patogenesis

Secara umum patogenesis KNF pada awalnya ditandai oleh lesi displastik

akibat dari karsinogen lingkungan dan pada ras Cina lebih mudah terkena karena ada

faktor genetik tertentu. Kemudian karena adanya infeksi laten EBV, lesi tersebut

berkembang ke arah keganasan. Keganasan ini akhirnya menyebabkan KNF yang

bersifat invasif dan ditandai dengan adanya metastasis atau penyebaran sel kanker ke

organ yang jauh.

Gambar 1. Pathogenesis karsinoma nasofaring (KNF)

Selain itu perjalanan patogenesis karsinoma nasofaring tergantung banyak faktor yang

diduga yaitu adanya infeksi EBV, faktor lingkungan, dan genetik.

1) Virus Epstein-Barr

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid

icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Virus Epstein-Barr bereplikasi

dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi

pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai

Universitas kristen indonesia 6

Page 7: KNF

Karsinoma Nasofaring

infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen

komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV

berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan

rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan

selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini

mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan

dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya

EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin

Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa

kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus

mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan

kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel

yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat

sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,

EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan

virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal

tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen

tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur

protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada

ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada

ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF

(tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel

B dan menghambat respon imun lokal.

Universitas kristen indonesia 7

Page 8: KNF

Karsinoma Nasofaring

2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan

terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol

dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human

leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan

adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung

jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai

daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan

lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-

nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor

karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena

paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui

faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

5. Diagnosis

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita kanker nasofaring.

Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering

yang menyebabkan penderita kanker nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga,

gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita kanker nasofaring. Untuk

menegakkan diagnosis, selain keluhan tersebut, juga perlu dilakukan pemeriksaan klinis

dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT scan, atau

Universitas kristen indonesia 8

Page 9: KNF

Karsinoma Nasofaring

MRI nasofaring dan sekitarnya. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi

nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.

Pemeriksaan lain seperti foto paru, USG hati, pemindaian tulang dengan radioisotop

dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis di organ-organ tersebut.

A. Stadium

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium kanker nasofaring. Di Amerika

dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan

AJCC / UICC (American Joint Committe on Cancer / International Union Against

Cancer). Cara penentuan stadium kanker nasofaring yang terbaru adalah menurut

AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu:

Tumor di nasofaring (T)

Tx

To

Tis

T1

T2

T2a

T2b

T3

T4

Tumor primer tidak dapat ditentukan

Tidak ditemukan adanya tumor primer

Carcinoma in situ

Tumor terbatas di nasofaring

Tumor meluas ke jaringan lunak

Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa perluasan

ke depan parafaring

Dengan perluasan ke parafaring

Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator

Kelenjar limfe regional (N)

Universitas kristen indonesia 9

Page 10: KNF

Karsinoma Nasofaring

Nx

No

N1

N2

N3

Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan

Tidak ada pembesaran KGB regional

Metastasis ke KGB unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa

supraklavikula

Metastasis ke KGB bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa

supraklavikula

Metastasis ke KGB:

N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N3b : Terletak pada fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M)

Mx

Mo

M1

Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan

Tidak ada metastasis jauh

Ada metastasis jauh

Stadium kanker nasofaring menurun sistem TNM:

0 : Tis No Mo

I : T1 No Mo

IIa : T2a No Mo

IIb : T1-2a N1 Mo, T2b No-1 Mo

III : T1-2b N2 Mo, T3 No-2 Mo

Iva T4 No-2 Mo

IVb : Semua T N3 Mo

IVc : Semua T No-3 M1

Universitas kristen indonesia 10

Page 11: KNF

Karsinoma Nasofaring

B. Gejala

Pada awalnya pasien mengeluh pilek biasa, kadang-kadang disertai dengan

rasa tidak nyaman di telinga, pendengaran sedikit menurun serta mendesing. Gejala

karsinoma nasofaring ini dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring

sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.

Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan pada hidung. Pada

keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran tumor

ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah pada daerah ini

dan tentunya akan terjadi pendarahan pada hidung (mimisan).

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal

tumor dekat muara tuba eustachius (fossa Rosenmuller). Keluhan ini dapat berupa

tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Nasofaring

berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka

gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma nasofaring

ini. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf penggerak bola mata, sehingga tidak

jarang pasien mengeluhkan adanya gejala diplopia (penglihatan ganda).

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher biasanya yang

mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.

Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi semakin besar, maka dapat

dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Pembesaran kelenjar leher

merupakan pertanda penyebaran kanker nasofaring ke daerah ini yang tidak jarang

didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar.

Universitas kristen indonesia 11

Page 12: KNF

Karsinoma Nasofaring

6. TERAPI

Radioterapi merupakan terapi standar dari kanker nasofaring. Radioterapi juga dapat

dilakukan bersamaan dengan kemoterapi dan atau pembedahan, ataupun dilakukan

ketiga-tiganya. Radioterapi mencegah pertumbuhan dan pembelahan sel dengan sangat

cepat. Radioterapi berbeda dengan radiologi, dimana radiologi hanya sebagai alat bantu

untuk menegakkan diagnosa sedangkan radioterapi sebagai metode pengobatan.

Pengobatan tambahan yang dapat diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian

tetrasiklin, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus.

Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitocmycin C dan 5-fluorourcil oral setiap hari

sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosenstizer” memperlihatkan hasil yang

memberi harapan akan kesembuhan total asien karsinoma nasofaring. Pengobatan

pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan leher yang tidak

menghilang dengan penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai,

tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan

radiologic dan serologi, serta tidak ditemukan adanya memtastasis jauh. Operasi tuor

induk sisa atau kambuh diindikasikan ,tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat

operasi.

Perawatan paliatif

Pada pasien dengan pengibatan radiasi sering ditemukan keluhan rasa kering di mulut.

Hal ini disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang

dapat dilakukan selain measihati pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa

minuman kemana pun pergi, dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa

asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah leher, karena fibrosis

Universitas kristen indonesia 12

Page 13: KNF

Karsinoma Nasofaring

jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan kadang-kadang

muntah atau rasa mual.

Kesulitan yang muncul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap di mana

tumor tetap ada (residu) atau kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh

pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut di atas

tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan paliatif diindikasikan langsung terhadap

pengurangan rasa nyeri, mengontrol gejala dan memperpanjang usia. Radiasi sangat

efektif untuk mengurangi nyeri akibat metastasis tulang. Pasien akhirnya meninggal

akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak

dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.

PENCEGAHAN

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah risiko tinggi ke tempat lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk

mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan

hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan social-ekonomi dan berbagai hal yang

berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.

Universitas kristen indonesia 13

Page 14: KNF

Karsinoma Nasofaring

PENUTUP

Penyakit karsinoma merupakan penyakit yang relatif jarang muncul, namun

merupakan penyakit kegaasan yang memiliki prognosis yang cukup buruk, sehingga perlu

dilakukan beberapa upaya pencegahan diantaranya dengan meakukan vaksinasi. Terapi

yag dilakukan pada pasien KNF juga harusdi follow up untuk mengevaluasi keberhasilan

terapi yang dilakukan.

Universitas kristen indonesia 14

Page 15: KNF

Karsinoma Nasofaring

DAFTAR PUSTAKA

1. National Comprehensive Cancer Network (NCCN). NCCN Clinical Practice

Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines) : Head and Neck Cancers Version

2.2013. NCCN; 2013. Diakses tanggal 08 Juni 2014

<http://oralcancerfoundation.org/treatment/pdf/head-and-neck.pdf>

2. American cancer society. Nasopharyngeal cancer. American Cancer Society; 2013.

Diakses tanggal 08 Juni 2014

<http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf>

3. Soepardi EA, Iskandar N, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung

Tenggorokan Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

4. Titcomb C P. High incidence of nasopharyngeal carcinoma in Asia. J Insur Med.

2001; 33: 235-8.

5. Cottrill CP, Nutting CM. Tumors at The Nasopharynx. In: Principles and Practice of

Head and Neck Oncology. London: Martin Dunitz; 2003. p. 193–214.

6. Susworo R. Kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Cermin Dunia

Kedokteran. 2004; 144: 16-9.

7. Satyanarayana, K [Editor]. Epidemiological and etiological factors associated with

nasopharyngeal carcinoma. ICMR bulletin, Vol.33 no.9; 2003.

8. Thompson M P, Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clinical Cancer

Research. 2004; 10: 803-21.

9. Roezin A dan Adham M. Karsinoma nasofaring, pada telinga hidung tenggorok pada

kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 182-7.

Universitas kristen indonesia 15

Page 16: KNF

Karsinoma Nasofaring

10. Chan A T C, Teo P M L, Johnson P J. Nasopharyngeal carcinoma. Annals of

oncology. 2002; 13: 1007-15

11. Lee A W M, Ko W M, dkk. Nasopharyngeal carcinoma-time lapse before diagnosis

and treatment. HKMJ. 1998; 4: 132-6.

12. Volpato L E R, Silva T C, Oliveira T M, Sakai V T, Machado M A. Radiation therapy

and chemotherapi-induced oral mucositis. Rev Bras Otorrinolaringol. 2007; 73(4):

562-68.

Universitas kristen indonesia 16