KLONING GEN RHOPTRY 1 - Universitas Udayana · 2017-06-06 · Terapi toksoplasmosis dengan obat...

26
1 KLONING GEN PENYANDI PROTEIN RHOPTRY 1 (ROP1) TAKIZOIT Toxoplasma gondii ISOLAT LOKAL I Wayan Surudarma ABSRAK INTISARI Protein Rhopry 1 (ROP1) takizoit Toxoplasma gondii merupakan salah satu protein yang berperan penting pada proses invasi parasit ini ke dalam sel hospes. Protein tersebut diperkirakan sebagai molekul penetration-enhanching factor (PEF). Kloning gen penyandi ROP1 takizoit Toxoplasma gondii isolat RH untuk vaksinasi DNA pada mencit telah diteliti. Imunisasi DNA tersebut dapat meningkatkan respon imun seluler dan humoral. Kloning gen penyandi ROP1 takizoit Toxoplasma gondii isolat lokal belum pernah dilakukan. Tujuan penelitian ini ialah untuk memperoleh klon yang membawa gen penyandi ROP1 takizoit isolat lokal melalui teknik DNA rekombinan. Takizoit Toxoplasma gondii dikultivasi secara in vivo pada mencit strain Balb/C. Isolasi DNA dilakukan setelah beberapa kali pasase untuk diperoleh jumlah takizoit yang cukup (minimal 1x10 8 takizoit/ml) dan selanjutnya DNA diamplifikasi menggunakan PuRe Taq RTG-PCR Beads (Amersham Bioscience) dengan primer spesifik (Cybergene AB) dan produknya diligasi pada pGEM-T ® Easy (Promega). Plasmid rekombinan ditransformasi ke dalam Escherichia coli XL-1 Blue dengan teknik heat shock dan transforman ditanam pada plate agar LB yang mengandung ampisilin, X-gal, dan IPTG. Koloni putih yang menunjukkan koloni rekombinan ditumbuhkan dalam media LB yang telah ditambahkan ampisilin pada suhu 37 o C selama semalam. Plasmid DNA rekombinan diisolasi dengan metode lisis alkali dan dielektroforesis pada gel agarose 1% (SeaKem). Analisis plasmid rekombinan dilakukan dengan cara digesti menggunakan endonuklease restriksi EcoRI dan selanjutnya disekuensing untuk mengetahui urutan basanya (ABI 3130 Genetic Analyzer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kloning gen penyandi ROP1 Toxoplasma gondii isolat lokal menghasilkan klon yang membawa DNA insert dengan ukuran 1441 bp. DNA insert tersebut mempunyai homologi sebesar 99% dengan gen penyandi ROP1 Toxoplasma gondii isolat RH. Kata kunci: ROP1, Toxoplasma gondii, takizoit, DNA rekombinan

Transcript of KLONING GEN RHOPTRY 1 - Universitas Udayana · 2017-06-06 · Terapi toksoplasmosis dengan obat...

1

KLONING GEN PENYANDI PROTEIN RHOPTRY 1 (ROP1) TAKIZOIT Toxoplasma gondii ISOLAT LOKAL

I Wayan Surudarma

ABSRAK INTISARI

Protein Rhopry 1 (ROP1) takizoit Toxoplasma gondii merupakan salah satu protein yang berperan penting pada proses invasi parasit ini ke dalam sel hospes. Protein tersebut diperkirakan sebagai molekul penetration-enhanching factor (PEF). Kloning gen penyandi ROP1 takizoit Toxoplasma gondii isolat RH untuk vaksinasi DNA pada mencit telah diteliti. Imunisasi DNA tersebut dapat meningkatkan respon imun seluler dan humoral. Kloning gen penyandi ROP1 takizoit Toxoplasma gondii isolat lokal belum pernah dilakukan. Tujuan penelitian ini ialah untuk memperoleh klon yang membawa gen penyandi ROP1 takizoit isolat lokal melalui teknik DNA rekombinan.

Takizoit Toxoplasma gondii dikultivasi secara in vivo pada mencit strain Balb/C. Isolasi DNA dilakukan setelah beberapa kali pasase untuk diperoleh jumlah takizoit yang cukup (minimal 1x108 takizoit/ml) dan selanjutnya DNA diamplifikasi menggunakan PuRe Taq RTG-PCR Beads (Amersham Bioscience) dengan primer spesifik (Cybergene AB) dan produknya diligasi pada pGEM-T® Easy (Promega). Plasmid rekombinan ditransformasi ke dalam Escherichia coli XL-1 Blue dengan teknik heat shock dan transforman ditanam pada plate agar LB yang mengandung ampisilin, X-gal, dan IPTG. Koloni putih yang menunjukkan koloni rekombinan ditumbuhkan dalam media LB yang telah ditambahkan ampisilin pada suhu 37oC selama semalam. Plasmid DNA rekombinan diisolasi dengan metode lisis alkali dan dielektroforesis pada gel agarose 1% (SeaKem). Analisis plasmid rekombinan dilakukan dengan cara digesti menggunakan endonuklease restriksi EcoRI dan selanjutnya disekuensing untuk mengetahui urutan basanya (ABI 3130 Genetic Analyzer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kloning gen penyandi ROP1 Toxoplasma gondii isolat lokal menghasilkan klon yang membawa DNA insert dengan ukuran 1441 bp. DNA insert tersebut mempunyai homologi sebesar 99% dengan gen penyandi ROP1 Toxoplasma gondii isolat RH. Kata kunci: ROP1, Toxoplasma gondii, takizoit, DNA rekombinan

2

PENDAHULUAN

Toxoplasma gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang mampu

menginfeksi sel berinti semua vertabrata berdarah panas termasuk manusia

(Khan et al., 2006). Infeksi parasit ini disebut toksoplasmosis dan telah

menjangkiti hampir sepertiga populasi dunia (Mital et all, 2005). Prevalensi

toksoplasmosis berkisar antara 5 – 95% tergantung dari lokasi geografisnya

(Yanesa et al., 1994). Di Indonesia, prevalensi zat anti Toxoplasma gondii pada

manusia berkisar antara 2% sampai 63% (Gandahusada, 1998). Toksoplasmosis

pada hewan juga mempunyai arti penting dalam bidang kesehatan dan

perekonomian karena dapat menyebabkan abortus dan kematian neonatus pada

ternak. Kista jaringan dalam daging hewan terinfeksi dapat merupakan sumber

infeksi yang penting pada manusia (Ismael et all, 2003).

Toxoplasma gondii yang menginfeksi sel hospes akan bereplikasi dalam

vakuola parasitoporus dan menyebabkan lisis sel yang terinfeksi. Proses invasi

dan lisis sel yang berulang-ulang menyebabkan munculnya gejala toksoplasmosis

(Remington et all., 1995). Antigen yang berkaitan langsung dengan

imunopatogenesis dan invasi ke dalam sel hospes adalah antigen yang berasal dari

protein permukaan (SAG/surface antigen) dan antigen beredar (ESA/excretory-

secretory antigen). Antigen permukaan sangat berkaitan dengan proses perlekatan

(attachment) awal pada permukaan sel target, sedangkan ESA lebih berperan pada

proses penetrasi dan modifikasi vakuola parasitoporus dalam sel target

(Grimwood et al., 1996; Ajioka et al., 2001; Binder et al., 2004).

3

Protein ESA dilepaskan oleh tiga organela sekretoris apikal, yaitu

micronemes, rhoptries dan dense granules (Carruthers and Sibley, 1997).

Protein micronemes (MIC) dan rhoptries (ROP) dilepaskan pada saat parasit

menarik dirinya ke permukaan sel hospes dengan menggunakan myosin-based

motor complex (Sahoo et al., 2006; Meissner et all., 2002). Mikronema

mengandung berbagai adesin yang membantu pengikatan ligan ke permukaan sel

hospes (Sahoo et al., 2006; Tomley and Soldati, 2001). Protein rhoptry berperan

dalam penetrasi dan pembentukan membran vakuola parasitoporus (Sinai and

Joiner, 2001). Protein rhoptry 1 merupakan ROP dengan berat molekul 66 kDa

dan berfungsi sebagai penetration-enhanching factor (PEF) (Ossorrio et al., 1992;

Guanjin et al., 2001). Protein dense granules (GRA) dilepaskan bila parasit telah

berada dalam sel hospes, dan berperan dalam modifikasi kompartemen

intraseluler, tempat parasit bertahan hidup (Carruthers and Sibley, 1997).

Diagnosis laboratorium untuk infeksi akut Toxoplasma gondii didasarkan

pada tiga metode, yaitu: Isolasi takizoit dari darah atau cairan tubuh melalui kultur

sel, deteksi antigen atau antibodi spesifik secara serologis, dan pemeriksaan

histologis sampel jaringan untuk menemukan takizoit atau kista. Masing-masing

metode tersebut masih memiliki kelemahan (Potasman et al., 1988). Isolasi kultur

mempunyai kesulitan dalam menentukan waktu yang tepat dalam pengumpulan

sampel dan mempertahankan viabilitas parasit dalam spesimen (Israelski, 1988).

Metode serologis mempunyai keterbatasan karena antibodi dan antigen spesifik

Toxoplasma gondii mungkin tidak muncul pada awal infeksi, dan Ig M tidak

meningkat saat reaktivasi bentuk kista parasit (Holliman, 1990). Biopsi jaringan

4

merupakan prosedur invasif sehingga kurang aman dan nyaman untuk diterapkan.

Deteksi Toxoplasma gondii menggunakan PCR dapat mengurangi masalah ketiga

metode tersebut, namun metode PCR tidak dapat digunakan untuk membedakan

antara infeksi akut atau laten (Dupon et al., 1995).

Terapi toksoplasmosis dengan obat biasanya hanya dapat membunuh parasit

dalam stadium takizoit. Terapi ini cukup efektif untuk infeksi akut, namun tidak

efektif untuk infeksi laten karena kista dalam jaringan dapat menjadi aktif kembali

bila kondisi lingkungan memungkinkan (Gandahusada, 1998). Vaksin sangat

penting untuk mencegah reaktivasi pada individu yang immunocompromised,

mencegah infeksi janin pada kehamilan, dan mengontrol multiplikasi takizoit pada

infeksi primer akut (Denkers et al., 1998; Sibley et al., 1996). Vaksin takizoit

Toxoplasma gondii yang dilemahkan (live attenuated) dilaporkan berhasil baik

untuk mencegah aborsi pada hewan, dan telah digunakan secara komersial untuk

ternak domba, namun vaksin ini tidak cukup aman digunakan pada manusia

(Prigione et al., 2000; Alexander et al., 1996). Pendekatan vaksin toksoplasmosis

untuk manusia idealnya didasarkan pada penggunaan antigen rekombinan atau

peptida sintetik yang dapat memberikan perlindungan terhadap seluruh siklus

hidup Toxoplasma gondii (Prigione et al., 2000). Berdasarkan hal-hal tersebut

maka penting sekali dilakukan pengembangan perangkat diagnosis dan vaksin

secara biologi molekuler.

Penelitian untuk mencari antigen Toxoplasma gondii yang bersifat

imunogenik protektif banyak difokuskan pada antigen permukaan yang

diekspresikan pada stadium takizoit (Prigione et al., 2000). Penelitian mengenai

5

vaksin DNA untuk melawan infeksi Toxoplasma gondii secara eksperimental

pada tikus juga telah banyak dilakukan. Antigen yang diuji meliputi antigen

permukaan SAG (SAG1), GRA (GRA1, GRA4, GRA7) dan ROP

(ROP1 dan ROP2) (Scorza et al., 2003; Prigione et al., 2000). Protein MIC3 juga

dilaporkan sebagai kandidat vaksin yang menjanjikan karena merupakan adesin

yang poten dan diekspresikan pada semua stadium infeksius (Ismael et al., 2003).

Plasmid rekombinan pcDNA3-ROP1 (pcROP1) yang diimunisasi secara

intramuskular pada mencit dapat meningkatkan aktivitas sel NK, proliferasi

limfosit T dan sel T CD8+, serta titer Ig G (Guanjin et al., 2001). Penelitian

lainnya adalah peningkatan efikasi pcROP1 dengan menggunakan suatu plasmid

rekombinan pcIFN-α, hasilnya menunjukkan pcIFN-α dapat bekerja terkoordinasi

dengan pcROP1 untuk meningkatkan respon imun seluler (Hong et al., 1999).

Penyediaan asam nukleat dan protein dalam jumlah yang memadai sangat

diperlukan untuk pengembangan vaksin, perangkat diagnostik dan terapi imun.

Teknologi DNA rekombinan memungkinkan pemecahan masalah penyediaan

asam nukleat dan protein tersebut. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah

melalui kloning gen penyandi ROP1 hasil amplifikasi DNA takizoit

Toxoplasma gondii. Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan primer spesifik

untuk gen penyandi ROP1. Hasil amplifikasi selanjutnya diligasikan ke vektor

pGEM-T® Easy dan ditransformasikan ke dalam hospes E. coli.

6

MATERI DAN METODE

Bahan

Bahan untuk kultivasi secara in vivo pada penelitian ini adalah takizoit

T. gondii isolat lokal dan mencit strain Balb/C. Isolasi DNA takizoit

menggunakan bahan-bahan seperti proteinase-K, larutan NTE (5M NaCl, 1M

Tris-Cl, 0,5M EDTA), SDS 0,5%, fenol, kloroform, isoamil alkohol, Na-asetat,

dan etanol. Amplifikasi DNA menggunakan primer R1F1 dan R1R2 (Cybergene

AB), dan PuRe Taq Ready to Go PCR Beads (Amersham Biosciences).

Vektor kloning yang digunakan adalah pGEM-T® Easy (Promega). Bakteri yang

digunakan adalah E. coli XL-1 Blue. Bahan yang digunakan untuk plating bakteri

adalah 5-bromo-4-chloro-3-indolyl-β-D-galactopyranoside (X-gal) (Sigma),

isopropyl β-D-thio-galacto-pyranoside (IPTG) (Sigma) dan ampisilin (Sigma).

Isolasi DNA plasmid rekombinan memerlukan bahan-bahan: lysing solution I (2M

glukosa, 0,5M EDTA, 1M Tris), lysing solution II (0,2 N NaOH, 1% SDS),

lysing solution III (5 M kalium asetat, asam asetat), etanol absolut, etanol 70%,

dan TE. Digesti plasmid menggunakan enzim restriksi endonuklease EcoRI

(Fermentas). Marker DNA yang dipergunakan adalah DirectLoadTM Wide Range

DNA Marker (Sigma). Sekuensing DNA menggunakan BigDye® Terminator v3.1

Cycle Sequensing Kit dan AutoSEQ G-50 Kit (Amersham).

Jalannya Penelitian

Kutivasi parasit in vivo

7

Tiga ekor mencit dewasa disuntik dengan takizoit T. gondii isolat lokal secara

intraperitoneal dengan dosis 1 x 107 takizoit. Mencit menunjukkan gejala sakit

dengan ditandai bulu berdiri, lemah, tidak ada nafsu makan dan minum, frekuensi

pernafasan menurun, dan denyut jantung cepat setelah 72-96 jam. Mencit

kemudian dibunuh dan dilakukan pencucian rongga perut dengan cairan NaCl

fisiologis untuk mendapatkan takizoit. Pencucian dilakukan tiga kali,

masing-masing sebanyak 5–10 ml. Takizoit selanjutnya diinfeksikan lagi pada

30–40 ekor mencit dewasa dengan dosis 1 x 107 untuk mendapatkan jumlah

takizoit yang lebih banyak dengan cara yang sama. Hasil cucian rongga perut

mencit, kemudian disentrifugasi 3.000 rpm (Beckman) pada suhu 4oC selama 10

menit. Pelet yang didapatkan dicuci tiga kali dengan penambahan PBS dan

disentrifugasi 3.000 rpm pada suhu 4oC selama 10 menit dan selanjutnya pelet

siap digunakan untuk isolasi DNA.

Isolasi DNA Sel takizoit yang telah dicuci dengan PBS diresuspensi dengan larutan NTE,

ditambahkan proteinase-K (10 mg/ml) dan SDS 0,5% sehingga konsentrasi akhir

menjadi 100 μg/ml, dan diinkubasi semalam dalam waterbath 37oC (Buchii).

Campuran reaksi tersebut ditambahkan fenol 1:1 dan di-shaking 60 rpm selama

20 menit, kemudian disentrifugasi 3000 rpm selama 15 menit pada suhu kamar

dengan J-6B centrifuge (Beckman). Fase atas yang terbentuk dipindahkan

ke tabung baru dan ditambahkan 1x volume kloroform:isoamil alkohol (24:1) dan

disentrifugasi 3000 rpm selama 10 menit. Langkah ini diulangi sampai bersih

(tidak ada interfase). Fase atas ditambahkan 1/10 volume 3 M Na-asetat dan

8

2x volume etanol absolut (95%) dingin dan dibiarkan 10-15 menit pada suhu

-20oC. Selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan maksimum selama 5 menit,

kemudian pelet dibilas dengan alkohol 70% dan dikering-anginkan. Pelet DNA

yang sudah kering kemudian dilarutkan dengan TE dan ditentukan

konsentrasinya.

Elektroforesis DNA

Elektroforesis DNA dilakukan dengan menggunakan gel agarose 1% yang

dibuat dengan cara menimbang agarose 0,3 gram (SeaKem) dan ditambahkan

30 ml TAE 1x, kemudian dilarutkan di dalam microwave (Hitachi) dan dalam

keadaan hangat-hangat kuku ditambahkan 1 µl ethidium bromide (C21H20N3Br;

2,7- diamino-10-ethyl-9-phenyl- henanthridinium bromide; homidium bromide).

Selanjutnya dipindahkan ke gel tray yang telah dipasang sisiran untuk membuat

sumuran. Gel yang terbentuk dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis (Biorad),

kemudian dituangkan TAE 1x sampai gel terendam. Selanjutnya sampel DNA

sebanyak 5 µl dicampurkan dengan 1 µl DNA loading buffer di atas parafilm,

kemudian dimasukkan ke dalam sumuran gel dengan hati-hati, kemudian

elektroforesis dilakukan sampai migrasi DNA hampir mencapai bagian ujung gel.

Hasil elektroforesis dapat dilihat dengan UV transilluminator.

Amplifikasi DNA

Primer spesifik yang digunakan untuk mengamplifikasi gen penyandi protein

ROP1 adalah primer foward R1F1 (5’ CGTGACATATACTGCACTGAC 3’)

9

dan primer reverse R1R2 (5’ CATCGTCAAACTCGATCAC 3’). Primer

diencerkan sehingga konsentrasi kedua primer tersebut menjadi 10 pmol/μl

sebelum digunakan. Campuran reaksi untuk proses amplifikasi dibuat dengan

penambahan 2 μl template, 2 μl primer R1F1, dan 2 μl primer R1R2 serta

19 μl dH2O filter ke dalam puRe Taq RTG-PCR sehingga volume total menjadi

25 μl. Tabung berisi campuran reaksi tersebut dimasukkan ke dalam thermocycler

(Gene Cycler, BioRad) dan dijalankan dengan program sebagai berikut:

(1) denaturasi awal dengan suhu 94oC selama 5 menit, (2) denaturasi dengan suhu

94oC selama 1 menit, (3) annealing primer dengan suhu 60oC selama 1 menit,

(4) polimerisasi dengan suhu 72oC selama 1 menit, (5) siklus diulang sehingga

total siklus 35 kali, dan (6) diakhiri dengan polimerisasi tambahan pada suhu 72oC

selama 5 menit. Proses amplifikasi dikontrol dengan menggunakan kontrol positif

dan kontrol negatif. Kontrol positif menggunakan campuran reaksi dengan

template DNA isolat RH, sedangkan kontrol negatif dengan tanpa menggunakan

template. Hasil amplifikasi dicek dengan dielektroforesis pada gel agarose 1%.

Purifikasi produk amplifikasi DNA

Produk PCR diencerkan menjadi 100 µl dengan akuades steril dan dicampur

sampai homogen, kemudian ditambahkan dengan fenol:CIAA (96:4) dengan

volume yang sama, divorteks beberapa detik dan disentrifugasi pada kecepatan

12.000 rpm selama 10 menit (microfugeTM11, Beckman). Supernatan pada lapisan

bagian atas diambil dan ditempatkan pada tabung baru. DNA produk PCR

diendapkan dengan 2x volume etanol absolut dan 1/10 volume natrium asetat 3M

(pH 4,8), kemudian diinkubasi pada suhu -700C selama 1 jam untuk mempercepat

10

pengendapan. Hasil pengendapan disentrifugasi 12.000 rpm selama 10 menit,

selanjutnya pelet dicuci dengan etanol 70% dan dikering-anginkan. Pelet hasil

purifikasi diresuspensi dengan bufer TE (pH 8) dan siap untuk diligasikan ke

vektor.

Ligasi produk amplifikasi DNA dengan vektor kloning

Sebanyak 1µl pGEM-T® Easy (50 ng/µl) ditambah dengan 3 µl produk PCR

yang telah dipurifikasi, 5 µl 2 X buffer T4 DNA ligase dan 1 µl T4 DNA ligase

sehingga volume akhir menjadi 10 µl. Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 4oC

selama semalam. Hasil reaksi disimpan pada suhu –20oC dan siap untuk

ditransformasikan pada sel hospes.

Transformasi

Transformasi adalah proses memasukkan vektor ke dalam sel hospes.

Transformasi pada penelitian ini menggunakan teknik heat shock, dan preparasi

sel kompeten menggunakan metode TSS. Hasil transformasi ditanam plate agar

LB yang ditambahkan dengan X-gal, IPTG dan ampisilin.

Preparasi sel kompeten Koloni tunggal E. coli XL1-Blue dibiakkan dalam 5 ml media LB dan

diinkubasi selama semalam pada suhu 37oC dengan kecepatan agitasi 200 rpm.

Bakteri kemudian ditumbuhkan kembali dalam 25 ml LB dan diinkubasi selama

2 – 3 jam sampai didapatkan OD600 antara 0,5 – 0,6 dengan spectrophotometer

11

(Beckman DU-65). Sebanyak 20 ml LB medium yang mengandung bakteri

kemudian dipanen dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama

15 menit pada temperatur 40C (J-6B centrifuge, Beckman). Supernatan dibuang

dan pelet ditambahkan dengan 2 ml TSS 2X. Pelet kemudian diresuspensi dan

dibagi-bagi dalam volume 200 µl. Sel kompeten sudah siap digunakan atau

disimpan pada suhu -700 C.

Transformasi dengan teknik heat shock Sel kompeten bakteri E. coli XL1-Blue (volume 200 μl) ditambah dengan

3 μl plasmid pGEM-T® Easy yang sudah diligasikan dengan produk PCR,

kemudian dicampur dengan baik. Kontrol transforman terdiri atas kontol positif

(E. coli XL1-Blue dengan plasmid pGEM-T® Easy yang diligasikan dengan

control insert DNA), kontrol background (E. coli XL1-Blue dengan plasmid

pGEM-T® Easy saja) dan kontrol negatif (E. coli XL1-Blue tanpa plasmid).

Campuran bahan transformasi kemudian diinkubasi dalam es selama 30 menit dan

kemudian di heat shock dalam water bath 42oC selama 90 detik. Campuran bahan

transformasi yang telah di heat shock dimasukkan ke dalam es selama 1- 2 menit

dan kemudian ditambah 500 μl TSS 1X dan difliking. Bakteri E. coli XL1-Blue

hasil transformasi kemudian diinkubasi dalam water bath 37oC selama 1 jam

sambil digoyang-goyang tiap 5 menit. Selanjutnya sampel siap untuk ditanam

pada plate agar.

Penanaman pada plate agar

12

Sampel hasil transformasi ditumbuhkan pada plate agar LB yang sudah

ditambahkan dengan X-gal, IPTG dan ampisilin. Khusus untuk kontrol sterilitas

tidak ditambah dengan zat-zat tersebut di atas. Sampel ditanam dalam jumlah

yang bertingkat mulai dari 100 μl, 200 μl, dan 300 μl untuk menghasilkan koloni

yang terbaik. Penanaman dilakukan secara merata di seluruh permukaan plate

agar dan diinkubasi pada suhu 37oC selama semalam. Hasil pertumbuhan bakteri

berupa koloni biru dan putih. Koloni rekombinan yang berwarna putih kemudian

dianalisis.

Analisis plasmid rekombinan

Koloni rekombinan dibiakkan dalam 5 ml media LB yang mengandung

ampisilin. Plasmid rekombinan diisolasi dengan metode lisis alkali,

dan selanjutnya dianalisis dengan cara digesti menggunakan endonuklease

restriksi EcoRI.

Penumbuhan bakteri rekombinan

Koloni tunggal bakteri rekombinan dibiakkan dalam 5 ml media LB yang

mengandung ampisilin, dan diinkubasi pada suhu 37oC selama semalam dengan

agitasi 200 rpm.

Isolasi plasmid rekombinan dengan metode lisis alkali Bakteri rekombinan hasil biakan dalam medium LB dituangkan ke tabung

micro tube sampai hampir penuh (1,5 ml), kemudian disentrifugasi 12.000 rpm

selama 5 detik (microfugeTM11, Beckman) dan supernatan dibuang. Pelet yang

13

didapat diresuspensi dengan 100 μl Lising Solution I (LS I), kemudian divorteks

sampai homogen dan diinkubasi dalam es selama 5 menit. Selanjutnya

ditambahkan 200 μl Lising Solution II (LS II), kemudian dicampur dengan

membolak-balikkan tabung micro tube kira-kira sebanyak 5 kali. Kemudian

ditambahkan lagi dengan 150 μl Lising Solution III (LS III), divorteks dan ditaruh

dalam es selama 5 menit. Larutan sampel selanjutnya disentrifugasi 12.000 rpm

selama 5 menit dan diambil supernatannya, lalu dimasukkan ke dalam micro tube

baru dan ditambahkan 250 μl fenol dan 250 μl CIAA kemudian divorteks.

Campuran ini disentrifugasi 12.000 rpm selama 3 menit, dan akan terbentuk tiga

fase larutan. Fase atas larutan diambil dan dimasukkan ke dalam micro tube baru,

kemudian ditambah etanol absolut dingin 2x volume dan selanjutnya diikubasi

pada suhu -70oC selama 1 jam. Larutan yang telah diinkubasi kemudian

disentrifugasi 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet dibilas

dengan etanol dingin 70% (500μl) dan dikering-anginkan. Pelet yang sudah

kering diresuspensi dengan TE (volume disesuaikan dengan banyaknya pelet).

DNA plasmid selanjutnya dielektroforesis pada agarose gel 1% dan diamati

dibawah sinar ultraviolet.

Digesti plasmid rekombinan

Plasmid rekombinan didigesti dengan endonuklease restriksi EcoRI.

Lima mikroliter plasmid rekombinan (konsentrasi 1 µg/µl) ditambah dengan 2 µl

bufer EcoRI, 2 µl EcoRI dan nuclease free water sehingga volume total menjadi

20 µl dan dicampur dengan baik. Campuran reaksi kemudian diinkubasi pada

14

suhu 37oC selama 2 jam. Hasil digesti selanjutnya dielektroforesis pada gel

agarose 1% dan diamati dibawah sinar ultraviolet.

Sekuensing DNA plasmid rekombinan Sekuensing DNA dikerjakan dengan menggunakan ABI 3130 Genetic

Analyzer. Cycle sequensing terhadap plasmid rekombinan dilakukan dengan

menggunakan BigDye® Terminator v3.1 Cycle Sequensing Kit dengan primer

SP6, T7 dan R1R2. Reaksi cycle sequensing sebagai berikut: (1) denaturasi

pertama pada suhu 96oC selama 2 menit, (2) denaturasi 96oC selama 10 detik,

(3) annealing primer 50oC selama 5 detik, (4) polimerisasi 60oC selama 4 menit,

(5) siklus diulang sehingga total siklus 25 kali. Hasil cycle sequensing kemudian

dipurifikasi dengan AutoSEQ G-50 Kit (Amersham). Plasmid rekombinan yang

telah di-cycle sequensing ini akan menghasilkan fragmen DNA dengan panjang

yang berbeda-beda dan memiliki label fluoresensi pada ujungnya. Selanjutnya

fragmen-fragmen tersebut dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid dan

sekuenser DNA akan mendeteksi fluoresen untuk mengidentifikasi A, T, C dan G.

BigDye Terminator dilabel dengan dichlororhodamine (dRhodamine) acceptor

dyes; terminator A dilabel dengan dR6G, terminator C dilabel dengan dROX,

terminator G dilabel dengan dR110, dan terminator T dilabel dengan dTAMRA.

Fragmen DNA yang berlabel fluoresen bermigrasi melalui gel dan melepaskan

sinar laser pada dasar gel. Masing-masing dye akan memancarkan cahaya pada

panjang gelombang yang berbeda-beda dan cahaya ini difokuskan oleh lensa ke

spektrograf. Warna pada electropherogram adalah hijau untuk A, biru untuk C,

hitam untuk G, dan merah untuk T.

15

Sekuen DNA yang didapatkan kemudian dianalisis dengan menggunakan

program BLAST yang diakses melalui NCBI untuk melihat alignment hasil

sekuensing.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kultivasi Takizoit Toxoplasma gondii Isolat Lokal

Takizoit T. gondii dikultivasi secara in vivo pada 30 mencit Balb/C supaya

mendapatkan jumlah takizoit yang cukup untuk isolasi DNA. Jumlah takizoit

yang diperoleh adalah sebanyak 6,8x108 takizoit per ml.

Isolasi DNA Takizoit Toxoplasma gondii Isolat Lokal

Konsentrasi DNA yang diperoleh dalam penelitian adalah 827,5 ng/μl

dengan kemurnian 1,82. Hasil isolasi DNA dielektroforesis pada gel agarose 1%

dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4. DNA ini selanjutnya akan digunakan

sebagai template dalam proses amplifikasi.

Amplifikasi DNA dengan Menggunakan Primer Spesifik

Primer spesifik yang digunakan untuk mengamplifikasi gen penyandi

protein ROP1 pada penelitian ini adalah primer foward R1F1

(5’ CGTGACATATACTGCACTGAC 3’) dan primer reverse R1R2

(5’ CATCGTCAAACTCGATCAC 3’). Berdasarkan sekuen gen penyandi ROP1

(kode: M71274.1) genbank NCBI, primer forward akan menempel pada basa ke-

171 sampai 191 dan primer reverse akan menempel pada basa ke-1515 sampai

16

kb

10

4

2 1,5

1 0,75

0,5

M 1 2 3

1497. Primer akan mengamplifikasi seluruh coding strand (CDS) dari gen yang

terletak pada basa ke-201 sampai 1391. Gambar ilustrasi penempelan primer pada

sekuen gen penyandi ROP1 T. gondii isolat RH ditunjukkan pada Gambar 5.

Hasil amplifikasi DNA yang dielektroforesis pada agarose 1%,

menunjukkan pita tunggal dengan ukuran sekitar 1,45 kb pada kontrol positif

(isolat RH) dan pada sampel (isolat lokal), sedangkan pada kontrol negatif tidak

terlihat adanya pita.

17

Kloning DNA Produk Amplifikasi

Hasil transformasi kemudian ditanam pada plate agar yang mengandung

ampisilin, IPTG dan X-gal selama semalam pada suhu 37oC. Hasil

penanaman membentuk 1 koloni putih dan 6 koloni biru.

Hasil transformasi pGEM-T Easy pada E. coli XL1-Blue dengan metode

heat shock. Keterangan: B. koloni biru; P. koloni putih. Identifikasi rekombinan pada kloning dengan vektor pGEM-T® Easy meliputi

seleksi resistensi transforman terhadap antibiotika ampisilin, dan kemudian

diikuti dengan skrining aktivitas β-galaktosidase untuk membedakan

sel rekombinan. Sel yang mengandung plasmid normal akan menjadi resisten

terhadap ampisilin dan mampu mensintesis β-galaktosidase, sedangkan sel

rekombinan juga akan resisten terhadap ampisilin tetapi tidak mampu mensintesis

β-galaktosidase.

P

B

18

M 1 2 3 4 5

Skrining ada atau tidaknya β-galaktosidase dilakukan dengan pengujian

menggunakan X-gal yang merupakan analog dari laktose. X-gal akan dipecah oleh

β-galaktosidase menjadi produk yang berwarna biru. Jika X-gal ditambahkan pada

media agar bersama IPTG dan ampisilin, maka koloni transforman bukan

rekombinan akan berwarna biru karena sel-selnya mensintesis β-galaktosidase,

sedangkan koloni transforman rekombinan akan membentuk berwarna putih

akibat tidak mampu mensintesis β-galaktosidase karena rusaknya gen lacZ’.

Analisis Plasmid Rekombinan

Koloni tunggal bakteri rekombinan (koloni putih) dibiakkan dalam 5 ml LB

medium yang mengandung ampisilin. Hasil pembiakan kemudian diisolasi

plasmidnya dan didigesti dengan endonuklease restriksi EcoRI. Hasil digesti

kemudian dielektroforesis pada gel agarose 1 %.

kb

10

4 3 2 1,5

0,75 0,5

19

Hasil eletroforesis plasmid yang didigesti dengan menggunakan endonuklease restriksi EcoRI pada gel agarose 1 %. Keterangan: M. marker; 1. plasmid koloni biru; 2. plasmid koloni biru yang didigesti dengan EcoR I; 3. plasmid koloni putih (rekombinan); 4. plasmid rekombinan yang didigesti dengan EcoR I; 5. produk PCR gen penyandi ROP1.

Digesti plasmid koloni biru menghasilkan pita tunggal dengan ukuran sekitar

3 kb, sesuai dengan ukuran plasmid pGEM-T® Easy. Digesti plasmid rekombinan

menghasilkan dua pita yang masing-masing berukuran sekitar 3 kb dan 1,45 kb,

sesuai dengan ukuran plasmid pGEM-T® Easy dan produk PCR. Digesti dengan

endonuklease restriksi EcoR I akan memotong vektor pGEM-T® Easy pada dua

tempat yang mengapit multiple cloning region, sehingga DNA insert akan

terlepas dari vektor. Plasmid rekombinan tersebut selanjutnya disebut pWTA-R1.

Sekuensing DNA Plasmid pWTA-R1

Plasmid WTA-R1 disekuensing dengan menggunakan primer sekuensing SP6,

T7 dan primer R1R2. Sekuensing dengan menggunakan primer T7 mendapatkan

sekuen nukleotida DNA insert sepanjang 590 bp (basa ke-1 sampai 590), dan

sekuensing menggunakan primer SP6 diperoleh sekuen nukleotida sepanjang 638

bp (basa ke-803 sampai 1441). Sekuensing dengan menggunakan primer R1R2

digunakan untuk melengkapi hasil sekuensing agar seluruh sekuen nukleotida

DNA insert dapat diketahui. Sekuensing dengan menggunakan primer R1R2

mendapatkan sekuen nukleotida sepanjang 982 bp (basa ke-407 sampai 1399).

Penggabungan hasil sekuensing dengan ketiga primer mendapatkan seluruh

sekuen nukleotida DNA insert, yaitu sebesar 1,441 kb.

20

1 cgt gac ata tac tgc act gac ttc gac acc atg gag caa agg ctg cca att att cta ctt

61 gtt ctc tct gtg ttc ttc agt tca acc cca agc gcc gcc ctt tcg agc cac aat gga gtc

121 ccc gct tat cca tcg tat gca cag gta tcg ctc tct tcc aac ggc gag cca cgg cac agg

181 ggc ata cgc ggc agc ttc ctc atg tcc gta aag cca cac gca aac gct gat gac ttc gcc

241 tcc gac gac aac tac gaa ccg ctg ccg agt ttc gtg gaa gct cct gtc aga ggc ccg gac

301 caa gtc cct gcc aga gga gaa gct gct ctt gtc aca gag gag act cca gcg caa cag ccg

361 gcg gtg gct cta ggc agt gca gaa ggg gag ggg acc tcc act act gaa tcc gcc tcc gaa

421 aat tct gaa gat gat gac acg ttt cac gat gcc ctc caa gag ctt cca gag gat ggc ctc

481 gaa gtg cgc cca cca aat gca cag gag ctg ccc cca cca aat gta cag gag ctg ccc cca

541 cca aat gta cag gag ctg ccc cca cca act gaa cag gag ctg ccc cca cca act gaa cag

601 gag ctg ccc cca cca act gaa cag gag ctg ccc cca cca act gaa cag gag cta ccc cca

661 tca act gaa cag gag ctg ccc cca cca gtg ggc gaa ggt caa cgt ctg caa gtc cct ggg

721 gaa cat ggg cca cag ggg ccc cca tac gat gat cag cag ctg ctt tta gag cct acg gaa

781 gag caa cag gag ggc cct cag gag ccg ctg cca ccg ccg ccg ccc ccg act cgg ggc gaa

841 caa ccc gaa gga cag cag ccg cag gga cca gtt cgt caa aat ttt ttt cgt cgg gcg ttg

901 ggg gcc gca aga agc cga ttc gga ggt gca cga cgc cat gtc agt ggg gtg ttc cga aga

961 gtc aga ggt ggt ttg aac cgt ata gta ggt gga gtg agg agt ggt ttc agg cgt gca aga

1021 gaa ggt gtc gtt ggg gga gtc cgt cgt tta aca agt ggt gcc agt ctg ggt ctc cgt cgt

1081 gta gga gaa ggt tta cgt agg agt ttc tat cgt gta aga gga gct gtc agt agc ggt cgt

1141 agg cgt gca gca gat ggt gcc agc aat gta aga gaa aga ttc gtt gcc gca ggc ggg aga

1201 gtc aga gac gct ttc ggc gcg gga ttg acg cgc ctc cgc agg cgc ggc aga act aat ggc

1261 gag gag ggc agg ccc cta ctg ggc gaa gga aga gag cag gat gat gga tcg caa taa tac

1321 ggg cag cat gct gct gga ttc ggc gaa gac gac cgt ttc tcg taa acg agg cag cgg ggt

1381 cct ccg aag tta aga aac ccg gta aac gtg tgt gcc gta acg gtg atc gag ttt gca gat

1441 g

Sekuen DNA insert pWTA-R1.

Hasil sekuensing pWTA-R1 selanjutnya dianalisis dengan program BLAST

untuk mengidentifikasi gen yang diklon. Sekuen DNA insert menunjukkan

alignment yang signifikan dengan sekuen parsial gen penyandi ROP1 T. gondii

isolat RH (kode: AF350261). Alignment hasil sekuensing DNA insert pWTA-

R1 dengan seluruh sekuen parsial gen penyandi ROP1 T. gondii isolat RH tersebut

menunjukkan homologi sebesar 99%. Basa yang tidak sama hanya terdapat pada

urutan ke-1162, yaitu guanin (G) menjadi adenin (A). Perbedaan basa tersebut

menyebabkan perubahan kodon GGC (glisin) menjadi AGC (serin).

21

gi|13560798|gb|AF350261.1|AF350261 T. gondii ROP1 gene, partial sequence. Length=1249 Score = 2426 bits (1224), Expect = 0.0 Identities = 1248/1249 (99%), Gaps = 0/1249 (0%) Strand=Plus/Plus Query 99 CCTTTCGAGCCACAATGGAGTCCCCGCTTATCCATCGTATGCACAGGTATCGCTCTCTTC 158 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 1 CCTTTCGAGCCACAATGGAGTCCCCGCTTATCCATCGTATGCACAGGTATCGCTCTCTTC 60 Query 159 CAACGGCGAGCCACGGCACAGGGGCATACGCGGCAGCTTCCTCATGTCCGTAAAGCCACA 218 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 61 CAACGGCGAGCCACGGCACAGGGGCATACGCGGCAGCTTCCTCATGTCCGTAAAGCCACA 120 Query 219 CGCAAACGCTGATGACTTCGCCTCCGACGACAACTACGAACCGCTGCCGAGTTTCGTGGA 278 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 121 CGCAAACGCTGATGACTTCGCCTCCGACGACAACTACGAACCGCTGCCGAGTTTCGTGGA 180 Query 279 AGCTCCTGTCAGAGGCCCGGACCAAGTCCCTGCCAGAGGAGAAGCTGCTCTTGTCACAGA 338 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 181 AGCTCCTGTCAGAGGCCCGGACCAAGTCCCTGCCAGAGGAGAAGCTGCTCTTGTCACAGA 240 Query 339 GGAGACTCCAGCGCAACAGCCGGCGGTGGCTCTAGGCAGTGCAGAAGGGGAGGGGACCTC 398 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 241 GGAGACTCCAGCGCAACAGCCGGCGGTGGCTCTAGGCAGTGCAGAAGGGGAGGGGACCTC 300 Query 399 CACTACTGAATCCGCCTCCGAAAATTCTGAAGATGATGACACGTTTCACGATGCCCTCCA 458 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 301 CACTACTGAATCCGCCTCCGAAAATTCTGAAGATGATGACACGTTTCACGATGCCCTCCA 360 Query 459 AGAGCTTCCAGAGGATGGCCTCGAAGTGCGCCCACCAAATGCACAGGAGCTGCCCCCACC 518 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 361 AGAGCTTCCAGAGGATGGCCTCGAAGTGCGCCCACCAAATGCACAGGAGCTGCCCCCACC 420 Query 519 AAATGTACAGGAGCTGCCCCCACCAAATGTACAGGAGCTGCCCCCACCAACTGAACAGGA 578 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 421 AAATGTACAGGAGCTGCCCCCACCAAATGTACAGGAGCTGCCCCCACCAACTGAACAGGA 480 Query 579 GCTGCCCCCACCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACC 638 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 481 GCTGCCCCCACCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACC 540 Query 639 AACTGAACAGGAGCTACCCCCATCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACCAGTGGGCGAAGG 698 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 541 AACTGAACAGGAGCTACCCCCATCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACCAGTGGGCGAAGG 600 Query 699 TCAACGTCTGCAAGTCCCTGGGGAACATGGGCCACAGGGGCCCCCATACGATGATCAGCA 758 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 601 TCAACGTCTGCAAGTCCCTGGGGAACATGGGCCACAGGGGCCCCCATACGATGATCAGCA 660 Query 759 GCTGCTTTTAGAGCCTACGGAAGAGCAACAGGAGGGCCCTCAGGAGCCGCTGCCACCGCC 818 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 661 GCTGCTTTTAGAGCCTACGGAAGAGCAACAGGAGGGCCCTCAGGAGCCGCTGCCACCGCC 720 Query 819 GCCGCCCCCGACTCGGGGCGAACAACCCGAAGGACAGCAGCCGCAGGGACCAGTTCGTCA 878 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 721 GCCGCCCCCGACTCGGGGCGAACAACCCGAAGGACAGCAGCCGCAGGGACCAGTTCGTCA 780 Query 879 AAAtttttttCGTCGGGCGTTGGGGGCCGCAAGAAGCCGATTCGGAGGTGCACGACGCCA 938 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 781 AAATTTTTTTCGTCGGGCGTTGGGGGCCGCAAGAAGCCGATTCGGAGGTGCACGACGCCA 840 Query 939 TGTCAGTGGGGTGTTCCGAAGAGTCAGAGGTGGTTTGAACCGTATAGTAGGTGGAGTGAG 998

22

|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 841 TGTCAGTGGGGTGTTCCGAAGAGTCAGAGGTGGTTTGAACCGTATAGTAGGTGGAGTGAG 900 Query 999 GAGTGGTTTCAGGCGTGCAAGAGAAGGTGTCGTTGGGGGAGTCCGTCGTTTAACAAGTGG 1058 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 901 GAGTGGTTTCAGGCGTGCAAGAGAAGGTGTCGTTGGGGGAGTCCGTCGTTTAACAAGTGG 960 Query 1059 TGCCAGTCTGGGTCTCCGTCGTGTAGGAGAAGGTTTACGTAGGAGTTTCTATCGTGTAAG 1118 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 961 TGCCAGTCTGGGTCTCCGTCGTGTAGGAGAAGGTTTACGTAGGAGTTTCTATCGTGTAAG 1020 Query 1119 AGGAGCTGTCAGTAGCGGTCGTAGGCGTGCAGCAGATGGTGCCAGCAATGTAAGAGAAAG 1178 ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||||||||| Sbjct 1021 AGGAGCTGTCAGTAGCGGTCGTAGGCGTGCAGCAGATGGTGCCGGCAATGTAAGAGAAAG 1080 Query 1179 ATTCGTTGCCGCAGGCGGGAGAGTCAGAGACGCTTTCGGCGCGGGATTGACGCGCCTCCG 1238 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 1081 ATTCGTTGCCGCAGGCGGGAGAGTCAGAGACGCTTTCGGCGCGGGATTGACGCGCCTCCG 1140 Query 1239 CAGGCGCGGCAGAACTAATGGCGAGGAGGGCAGGCCCCTACTGGGCGAAGGAAGAGAGCA 1298 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 1141 CAGGCGCGGCAGAACTAATGGCGAGGAGGGCAGGCCCCTACTGGGCGAAGGAAGAGAGCA 1200 Query 1299 GGATGATGGATCGCAATAATACGGGCAGCATGCTGCTGGATTCGGCGAA 1347 ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 1201 GGATGATGGATCGCAATAATACGGGCAGCATGCTGCTGGATTCGGCGAA 1249

Alignment DNA insert pWTA-R1 dengan sekuen parsial gen penyandi

ROP1 isolat RH (kode: AF350261). KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini berhasil mendapatkan klon yang membawa gen penyandi

ROP1 T. gondii isolat lokal dengan ukuran 1441 bp. Gen penyandi ROP1 T.

gondii isolat lokal tersebut mempunyai homologi 99% dengan gen penyandi

ROP1 T. gondii isolat RH.

Gen penyandi ROP1 takizoit T. gondii isolat lokal yang sudah dikloning

diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein rekombinan. Protein

tersebut selanjutnya dipelajari imunogenitasnya agar dapat digunakan untuk

pengembangan vaksin, perangkat diagnostik dan antibodi monoklonal.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Ajioka, J.W., Fitzpatrick, J.M. and Reitter, C.P. 2001. Toxoplasma gondii Genomics: Shedding Light on Pathogenesis and Chemotherapy. http://www-ermm.cbcu.cam.ac.uk.

2. Alexander, J., Jebbari, H., Bluethmann, H., Satoskar, A. and Roberts, C.W. 1996. Immunological Control of Toxoplasma gondii and Appropriate Vaccine Design. In: Current Topics in Microbiology and Immunology. Gross, U. (ed.). Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg. 183-195.

3. Ausubel and Frederick, M. 1995. Short Protocols in Molecular Biology. A Compendium of Methodes from Current Protocols in Molecular Biology. 3rd edition. John Wiley & Sons, Inc. Canada.

4. Baxter, A. 2001. What is Toxoplasma gondii. Copyright by Page Wise. Inc. http://www.Toxoplasma gondii.htm.

5. Beaman, M.H. 1995. Toxoplasma gondii. In Principles and Practice of Infectious Diseases (Mandell, G.L., Bennett, J.E. and Dolin, R., eds), pp. 2455-2475, Churchill Livingston, New York, NY, USA.

6. Becker and Jeffrey, M. 1996. Biotechnology : a Laboratory Course. 2nd edition. Academic Press, Inc. California.

7. Binder, E.M. and Kim, K. 2004. Location, Location, Location: Trafficking and Function of Secreted Proteases of Toxoplasma and Plasmodium. Traffic 5:914-924.

8. Birge, E.A. 1994, Bacterial and Bacteriophage Genetic. Third Edition. Springer-Verlag , NewYork.

9. Black, M.W. and Boothroyd, J.C. 2000. Lytic Cycle of Toxoplasma gondii. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 64(3):607-623.

10. Brown, T.A. 1999. Genomes. Oxford. BIOS Scientific Publisher Ltd. 20-21. 11. Carruthers, V. B., and L. D. Sibley. 1997. Sequential protein secretion from

three distinct organelles of Toxoplasma gondii accompanies invasion of human fibroblasts. Eur. J. Cell Biol. 73:114–123.

12. Cerede, O., Dubremetz, J.F., Soete, M., Deslee, D., Vial, H., Bout, D. and Lebrun, M. 2005. Synergistic Role of Micronemal Proteins in Toxoplasma gondii Virulence. J. Exp. Med. 201(3):453-463.

13. Che, A. 2002. Controlling Fluorescence in E. coli. J. Mol. Microbiol. Biotec. 2 (4): 513 – 519.

14. Coppens, I. and Joiner, K. A. 2001. Parasite–host cell interactions in toxoplasmosis: new avenues for intervention? http://www-ermm.cbcu.cam.ac.uk.

15. Denkers, E.Y. and Gazzinelli, R.T., 1998. Regulation and Function of T-Cell-Mediated Immunity during Toxoplasma gondii Infection. Clin. Microbiol. Rev. 11(4):569-588.

16. Dobrowolski, J. M. and Sibley, D. L. (1996). Toxoplasma invasion mammalian cells is powered by the actin cytoskeleton of the parasite. Cell 84, 933-939.

24

17. Dupon, M., Cazenave, J., Pellegrin, J.L. Detection of Toxoplasma gondii by PCR and tissue culture in cerebrospinal fluid and blood of human immunodeficiency virus-seropositive patients. J Clin. Microbiol. 1995; 33(9):2421-2426.

18. Gandahusada, S., 1998. Toxoplasma gondii. Dalam: Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga., Gandahusada, S., Ilahude, H.H.D., Pribadi, W., (eds). Balai Penerbit FK, UI, Jakarta. Hal.153-161.

19. Grimwood, J., Mineo, J.R. and Kasper, L.H. 1996. Attachment of Toxoplasma gondii to Host Cells is Host Cell Cycle Dependent. Infect. Immun. 64(10):4099-4104.

20. Guanjin, C., Hong, G., Fangli, L.U. and Huaqin, Z. 2001. Contruction of A Recombinant Plasmid Harbouring The Rhoptry Protein Gene of Toxoplasma gondii and Preliminary Observations on DNA Immunity. J. Chin. Med. 114 (8) : 837 – 840, China.

21. Holliman, R.E. The diagnosis of toxoplasmosis. Serodiag. Immunother. Infect Dis. 1990; 4:83-93.

22. Hong, G., Guanjin, C., Huanqin, AZ., Yongan, Z. And Fangli, L.U. 1999. Immune Responses in Mice Vaccinated With Recombinat plasmid pcDNA3 Containing ROP1 Gene From Tooplasma gondii. Chin. J. Parasitol. Parasit. Dis., Chinese.

23. Hoyen, D.O., and Joss, A.W.L. 1992. Human Toxoplasmosis. Oxford University Press. New York.

24. Israelski, D. M. In Sande MA, Volberding PA. eds. The Medical Management of AIDS. Philadelphia, Pa: W.B. Saunders; 1988:193.

25. Jones, T.C., Yeh, S. and Hirsch, J.G. 1972 The interaction between Toxoplasma gondii and mammalian cells. I. Mechanism of entry and intracellular fate of the parasite. J. Exp. Med. 136,1157-1172, PubMed ID: 73030933.

26. Khan, A., Jordan, C., Muccioli, C., Vallochi, A. L., Rizzo L. V., Jr, R. B., Vitor, R. W.A., Silveira, C., and Sibley, L. D. 2006. Genetic Divergence of Toxoplasma gondii Strains Associated with Ocular Toxoplasmosis, Brazil. Emerging Infectious Diseases. www.cdc.gov/eid. 12, No. 6.

27. Martin, V., Cespedes, G., Santilar, G., Pszenny, V., Guarnesa, E., Garberi, J.C. and Angel, S.O. 2000. Antigenicity of Recombinant ROP2 Protein of T. gondii Expressed in Escherichia coli. Departentode Parasitologia, Argentina.

28. Meissner, M., Schluter, D. and Soldati, D. 2002. Role of Toxoplasma gondii myosin A in powering parasite gliding and host cell invasion. Science 298: 837–840.

29. Mital J., Meissner, M., Soldati, D. and Ward, G. E. 2005. Conditional Expression of Toxoplasma gondii Apical Membrane Antigen-1 (TgAMA1) Demonstrates That TgAMA1 Plays a Critical Role in Host Cell Invasion. Mol. Biol. Cell 16, 4341–4349.

30. Ossorrio, P.N., Schwartzman, J.D., and Boothroyd A. Toxoplasma gondii rhoptry protein associated with host cell penetration has unusual charge asymmetry. Mol Biochem. Parasitol.1992; 50:1-16.

25

31. Potasman, I., Resnick, L., Luft B.J., and Remington, J.S. Intrathecal production of antibodies against Toxoplasma gondii in patients with toxoplasmic encephalitis and the acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Ann Intern Med. 1988; 108:49-51.

32. Prigione, I., Facchetti, P., Lecordier, L., Deslee, D., Chiesa, S., Cesbron-Delauw, M.F. and Pistoia, V. 2000. T Cell Clones raised from Chronically Infected Healthy Humans by Stimulation with Toxoplasma gondii Excretory-Secretory Antigens Cross-React with Live Takizoits: Characterization of the Fine Antigenic Specificity of the Clones and Implications for Vaccine Development. J. Immunol. 164:3741-3748.

33. Remington, J. S., McLeod, R. and Desmonts, G. 1995. Toxoplasmosis, p. 140–267. In J. S. Remington and J. O. Klein (ed.), Infectious diseases of the fetus and the newborn infant, 4th ed. W. B. Saunders Company, Philadelphia.

34. Sahoo, N., Beatty, W., Heuser, J., Sept, D. and Sibley, L. D. 2006. Unusual Kinetic and Structural Properties Control Rapid Assembly and Turnover of Actin in the Parasite Toxoplasma gondii. Mol. Biol. Cell 7, Issue 2, 895-906.

35. Sambrook, J., Frich, E. F., and Maniatis, T. 1989. Molecular Cloning, A Laboratory Manual. 2nd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.

36. Scorza, T., Souza, D., Laloup, M., Dewit, J., Braekeleer, J.D., Verschueren, H., Vercammen, M., Huygen, K. and Jongert, E. 2003. A GRA1 DNA Vaccine Primes Cytolytic CD8+ T Cells to Control Acute Toxoplasma gondii Infection. Infect. Immun. 71(1):309-316.

37. Sinai, A. P., and K. A. Joiner. 2001. The Toxoplasma gondii protein ROP2 mediates host organelle association with the parasitophorous vacuole membrane. J. Cell. Biol. 154:95–108.

38. Strachan, T. and Read, A.P. 1999. Human Molecular Genetic 2. Second Edition. BIOS Scientific Publisher Ltd, USA.

39. Tomley, F., and Soldati, D. 2001. Mix and match modules: structure and function of microneme proteins in apicomplexan parasites. Trends Parasitol. 17:81–88.

40. Vercammen, M., Scorza, T., Huygen, K., Braekeleer, J.D., Diet, R., Jacobs, D. Saman, E. and Verschueren, H. 2000. DNA Vaccination with Gene Encoding Toxoplasma gondii Antigens GRA1, GRA7, and ROP2 Induces Partially Protective Immunity Against Lethal Challenge in Mice. Infect. Immun. 68(1):38-45.

41. Weaver, R. F. 1999. Molecular Biology. WCB. McGraw-Hill, USA. 42. Weiss, L.M. and Kim, K. 2000. The Development and Biology of

Bradyzoites of Toxoplasma gondii. Albert Einstein College of Medicine, New York.

43. Wong, S. Y. and Remington, J. S. 1993. Biology of Toxoplasma gondii. AIDS 7:299-316.

26

44. Yanesa, A., Path, F.R.C. and Kumari. 1994. Prevalence of Toxoplasma Antibodies in Blood Donors in Al-Hassa. Departement of Microbiology Al-Hassa, Saudi Arabia.