KIPRAH POLITIK HARMOKO PADA MASA ORDE BARU …jurnal.upi.edu/file/GINA_SITI_RAHMAH,_S_MEK.pdf ·...
Transcript of KIPRAH POLITIK HARMOKO PADA MASA ORDE BARU …jurnal.upi.edu/file/GINA_SITI_RAHMAH,_S_MEK.pdf ·...
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
201
KIPRAH POLITIK HARMOKO PADA MASA ORDE BARU
MELALUI ANALISIS BIOGRAFI (1983-1999)
Oleh :
Gina Siti Rahmah, Suwirta, dan Moch Eryk Kamsori1¹
ABSTRAK
Artikel ini berjudul “Kiprah Politik Harmoko pada Masa Orde Baru Melalui Analisis Biografi
(1983-1999)”. Masalah utama yang dikaji adalah “Bagaimana Kiprah Politik Harmoko pada
Masa Orde Baru melalui Analisis Biografi (1983-1999) ?”. Masalah utama tersebut terbagi ke
dalam beberapa pertanyaan penelitian yaitu: (1). Bagaimana Latar Belakang Kehidupan
Harmoko ? (2). Bagaimana kebijakan Harmoko terhadap Pers di Indonesia (1983-1999) ? (3).
Bagaimana peran Harmoko dalam politik di Indonesia (1983-1999) ? Metode penelitian yang
digunakan adalah metode historis. Berdasarkan hasil penelitian penulis menemukan bahwa
karier Harmoko dalam pers dan politik tidak terlepas dari latar belakang kehidupannya.
Harmoko bisa menjadi sukses dalam politik akibat pengaruh dari keluarga dan
lingkungannya. Harmoko menyetujui gagasan Pancasila dan iaterapkan dalam kebijakan
SIUPP. Kebijakan SIUPP ini menuai Pro dan Kontra karena dianggap tidak mencermikan
demokrasi dan membelenggu pers di Indonesia, Harmoko melakukan komunikasi politik
yang dilakukan untuk program pembangunan. seperti Safari Ramadhan, Kelompencapir,
Impres Desa Tertinggal, dan Koran Masuk Desa. Di Gokar, Harmoko membuat komunikasi
sambung rasa, melalui komunikasi ini Harmoko menarik simpati rakyat dan memenangkan
pemilu 1997, dan mencalonkan Soeharto sebagai calon Presiden dari Golkar. Harmoko
melakukan komunikasi Sambung Rasa, melalui komunikasi tersebut Harmoko mendapat
simpati dari rakyat dan berhasil menjadikan Golkar sebagai pemenang dalam pemilu 1997.
Di MPR/DPR, Harmoko menetapkah Soeharto sebagai Presiden yang ketujuh kalinya dalam
Sidang Umum MPR/DPR, dan memberhentikan Soeharto akibat tuntutan reformasi dan
puncaknya terjadi pada peristiwa Trisakti.
Kata Kunci : Harmoko, Pers Pancasila, SIUPP, Orde Baru, Golkar, komunikasi sambung
rasa, dan MPR/DPR.
ABSTRACT
This article entitled "The Political Participation of Harmoko in the New Order Era through
His Biography Analysis (1983-1999)". The main focus would be "How Political Participation
of Harmoko in the New Order Era through His Biography Analysis (1983-1999)?". The main
problem is divided into several research questions: (1). How was the life background of
Harmoko (2). How was Harmoko’s policy for Press in Indonesia (1983-1999)? (3). How was
Harmoko roles in politic in Indonesia (1983-1999)? The research method used is the historic
method. Based on the research results author finds, Harmoko carrier of the Press and the
politicians is not far away from his life background. Harmoko had been success in politic
because of the influence of his family and environment. Harmoko had been a Minister of
1 Penulis mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UPI.
Suwirta (Pembimbing I) dan M. Eryk Kamsory (Pembimbing II). Penulis dapat dihubungi di 08225957410,
email: [email protected]
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
202
Information, and he approved idea of the Pancasila Press, SIUPP policy that applied by
Harmoko. The policy of this SIUPP reaps Pros and Cons because it is not considered to
reflect democracy and shackle press in Indonesia. Harmoko did political communication for
development programs like the Safari Ramadan, Kelompencapir, Impress Village left behind,
and the newspaper entered the village. In Golkar, Harmoko made Sambung Rasa
communication, by that communication Harmoko got sympathy of people and make Golkar
as the winner in 1997 Election. In DPR/MPR Harmoko set Soeharto as President of the
seventh time in the DPR/MPR General session, and dismiss Soeharto due to reforms and its
peak occurred at the Trisakti incident.
Keywords: Harmoko, Pancasila Press, SIUPP, Orde Baru, , Golkar, sambung rasa
communication and the MPR/DPR.
PENDAHULUAN
Pada masa Orde Baru pemerintahan
dipegang oleh Soeharto. Untuk membuat
Orde Baru terus berdiri Soeharto
mengendalikan politik Indonesia melalui
ABRI, Birokraksi, Golkar juga pers. Dalam
mengendalikan Orde Baru Soeharto terus
mencari orang yang dapat diandalkan dan
bekerja sama untuk terus mempertahankan
Orde Baru dengan berbagai cara. Salah satu
orang yang dipercayai Soeharto pada masa
Orde Baru adalah Harmoko.
Harmoko merupakan orang yang
sangat loyal kepada Soeharto, sehingga
sering kali menurut pada perintah Soeharto
dengan membuat kebijakan yang
kontroversi dan tidak menunjukkan
demokrasi. Untuk mengetahui peran
Harmoko pada masa Orde Baru penulis
akan mengkaji melalui analisis biografi.
Melalui analisis biografi dapat terlihat
bagaimana latar belakang kehidupan
Harmoko dan bagaimana kepribadian
Harmoko terbentuk. Harmoko (2009, hal. 5)
menulis pengalaman hidupnya tentang
bagaimana keadaan keluarganya yang
mempengaruhi minat dan bakat yang
muncul dalam diri Harmoko. Minat
Harmoko terhadap dunia jurnalis
dipengaruhi oleh ayah Harmoko yaitu
Asmoprawiro yang sering membelikan
buku bacaan untuk Harmoko. Harmoko
sewaktu kecil sering mencuri bacaan dari
koran dan media massa yang dibaca
ayahnya, sehingga minat Harmoko terhadap
jurnalistik mulai muncul yaitu saat ia kelas
3 SR bercita-cita menjadi seorang
wartawan. Cita-cita Harmoko sepertinya
terwujud bahkan lebih dari yang ia
inginkan, Harmoko berhasil menjadi
seorang wartawan bahkan pada
perkembangannya Harmoko ditunjuk oleh
Soeharto untuk menjadi Menteri
Penerangan. Menurut Taufik Abdulah
(2003, hal. 411) Harmoko mengeluarkan
peraturan No.1/PER/MENPEN/1984
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
203
tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP). Peraturan Menteri Penerangan ini
banyak menimbulkan masalah di bidang
penerbitan pers. Selain menjadi Menteri
Penerangan Harmoko ditunjuk oleh
Soeharto menjadi Ketua DPP Golkar.
Dalam memimpin Golkar Harmoko
melakukan komunikasi sambung rasa
melalui temu kader yang dilakukannya
langsung ke daerah-daerah di Indonesia.
Azwar (2009, hal. 86) memaparkan menurut
Harmoko temu Kader adalah wahana untuk
mengembangkan komunikasi dan
pendidikan politik serta menyampaikan
gagasan dan program-programnya yang
mengacu pada amanat Munas V Golkar.
Temu kader ini menuai pro kontra karena
dianggap kampanye terselubung. Melalui
temu kader ini Harmoko memenangkan
Golkar di pemilu 1997.
Harmoko dalam memimpin Golkar
juga memilih Presiden Soeharto untuk
menempati posisi Presiden yang ke tujuh
kalinya. Menurut Firdaus Syam (2008, hal
33-34) sebelum Soeharto di calonkan
kembali menjadi Presiden ia sempat
mengatakan akan lengser keprabon karena
sudah tua dan meminta Harmoko meneliti
kembali apa ia masih pantas menjadi
Presiden dan mendapat dukungan rakyat.
Istilah yang digunakan Soeharto sulit
ditebak karena mengandung makna lain dari
budaya Jawa. Oleh karena itu Harmoko
seusai Rapim tetap memberikan dukungan
agar Soeharto dipilih kembali.
Dalam perkembangannya karir politik
Harmoko terus berkembang ia diangkat
menjadi Ketua MPR/DPR oleh Soeharto.
Harmoko menetapkan Soeharto sebagai
Presiden Republik Indonesia yang ketujuh
kalinya. Akibat tuntutan reformasi Harmoko
pula yang memberhentikan Soeharto
sebagai Presiden. Menurut Makka (2008,
hal. 26) Harmoko memaparkan pimpinan
Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil
ketua, mengharapkan demi persatuan dan
kesatuan bangsa agar Presiden secara arif
dan bijaksana sebaiknya mengundurkan
diri.
Dari berbagai keputusan Harmoko
dalam menentukan politik Indonesia banyak
menuai pro-kontra karena dianggap tidak
demokratis dan loyal terhadap pemerintahan
Orde Baru. Namun diakhir pemerintahan
Orde Baru Harmoko termasuk orang yang
sangat menentukan berakhirnya Orde Baru
dengan keputusannya di DPR/MPR.
Ketertarikan penulis mengambil
kajian inikarena Harmoko merupakan tokoh
yang banyak menentukan arah politik
Indonesia pada masa Orde Baru melalui
kebijakan-kebijakannya yang banyak
menuai pro dan kontra. Serta kiprah dan
perannya di perpolitikkan Indonesia yang
terbilang bertahan lama yaitu dari tahun
1983-1999.
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
204
Kurangnya tulisan ilmiah mengenai
Harmoko membuat penulis tertarik untuk
mengetahui kiprah politik Harmoko melalui
analisis biografi. Melalui analisis biografi
penulis membandingkan biografi yang telah
ada dan mencantumkan fakta dan data yang
dapat dipercaya, karena seperti yang
dipaparkan diatas Harmoko merupakan
orang yang menuai pro-kontra sehingga
buku atau biografi yang membahas
Harmoko benar-benar harus dianalisis
karena banyak mengandung subjektifitas.
Adapun masalah yang ingin
dipecahkan penulis adalah “Bagaimana
kiprah politik Harmoko pada masa Orde
Baru melalui analisis biografi (1983-
1999)?”. Melalui penelitian ini penulis
bertujuan menganalisis kiprah politik
Harmoko pada masa Orde Baru melalui
analisis biografi (1983-1999).
Dalam kajian ini penulis
menggunakan ilmu bantu lain yaitu ilmu
politik, komunikasi, dan psikologis. Penulis
memilih konsep-konsep yang berhubungan
dengan Definisi Biografi, Demokrasi,
Perwakilan Politik, Partai Politik dan
Departemen Penerangan. Dan juga memilih
teori yang sesuai dengan kajian penulis
yaitu teori Kepribadian, Komunikasi
Politik, Media Massa sebagai Sumber
Pengaruh Politik, dan Elit Politik dan
Komunikasi Politik serta konsep lainnya
yang penulis anggap relevan dan dapat
dijadikan landasan dalam mengkaji hal
mengenai “Kiprah Politik Harmoko Pada
Masa Orde Baru Melalui Analisis Biografi
(1983-1999)”.
METODE PENELITIAN
Penulis menggunakan metode
penelitian sesuai dengan ketentuan metode
penelitian sejarah. Pada penelitian ini,
penulis menggunakan metode penelitian
yang diungkapkan oleh Ismaun (2005, hal.
34) diantaranya:
1. Heuristik, adalah usaha memilih
suatu subjek dan mengumpulkan
informasi tentang subjek tersebut
(Gottschalk, 2008, hal. 42).
Pengumpulan sumber yang dilakukan
penulis adalah dengan
mengumpulkan sumber tertulis yang
relevan dengan kajian penulis yang
diperoleh dari buku, dokumen,
maupun internet. Penulis
mengunjungi Perpustakaan Nasional,
Perpustakaan Batoe Api,
Perpustakaan UPI, Perpustakaan Ali
Alatas, Perpustakaan CSIS,
Perpustakaan Departemen Pendidikan
Sejarah, Arsip Nasiona, Toko buku
Palasari, Gramedia, toko online
Bukalapak.com, dan perpustakaan
milik pribadi maupun teman.
a. Kritik, adalah kegiatan menguji
secara kritis kebenaran yang terdapat
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
205
dalam data-data ataupun sumber-
sumber yang telah ditemukan
sebelumnya. Kritik sumber dilakukan
penulis untuk mengetahui sumber
yang digunakan sesuai dan bisa
dipertanggungjawabkan.
2. Interpretasi, yaitu tahapan penelitian
sejarah yang dilakukan setelah
melakukan pengumpulan sumber dan
melakukan kritik terhadap sumber
yang didapatkan. Interpretasi
dilakukan dengan mengungkapkan
fakta-fakta yang didapatkan oleh
penulis dari berbagai sumber pada
tahap sebelumnya. Kemudian penulis
menginterpretasikan dalam suatu
pemahaman baru yang dihubungkan
dengan berbagai fakta dan pendapat
yang ada. Dengan menggunakan
pendekatan interdisipliner yaitu
pendekatan politik,ilmu komunikasi
dan psikologi.
3. Historiografi, yaitu tahap penelitian
sejarah. Setelah hasil interpretasi
didapatkan, tahap akhir penelitian
yang dilakukan adalah menuliskan
hasil interpretasi tersebut dalam suatu
karya ilmiah. Seluruh hasil penelitian
berupa data dan fakta yang telah
mengalami proses sebelumnya akan
dituangkan dalam suatu bentuk
tulisan. ). Laporan penelitian yang
dalam metode penelitian sejarah
dikatakan sebagai historiografi,
mengacu pada buku Pedoman
Penelitian Karya Ilmiah yang
diterbitkan oleh Universitas
Pendidikan Indonesia 2014.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Harmoko merupakan seorang tokoh
yang berkecimpung dalam bidang pers dan
politik. Peran Harmoko dalam bidang pers
maupun perpolitikan Indonesia pada masa
Orde Baru sangat besar karena ia harus
memutuskan kebijakan pers maupun politik
yang dalam kepemimpinannya saling
berkaitan. Karier Harmoko dalam dunia
pers maupun politik tidak lepas dari latar
belakang kehidupan Harmoko. Menurut
Lopez (1997, hal. 20) Harmoko
mempunyai hobby dan bakat mendalang
yang diwarisi ayahnya, Pawiro Sarimun
(almarhum), seorang petani yang konon
pernah memimpin perkumpulan wayang
orang, ketoprak, dan ludruk di desanya.
Harmoko pernah sekolah dalang di
Surakarta. Sampai ia dewasa bahkan jadi
Menteri Penerangan serta Ketua Umum
Golkar, Harmoko masih sering
menyalurkan hobby dan bakatnya
mendalang. Beberapa kali Harmoko
menghibur rakyat dengan kepiawaiannya
bercerita dan memainkan wayang sebagai
dalang. Melalui hobby Harmoko pada
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
206
kesenian membuat Harmoko menjadi
pribadi yang terbuka dan mudah
bersosialisasi bahkan Harmoko sering
disebut pribadi yang humoris.
Selain memiliki minat dan bakat pada
kesenian Harmoko juga memiliki minat
pada dunia jurnalisme. Menurut Harmoko
(2009, hal 3-5) menjelaskan pengalaman
hidup Harmoko. Ia mempunyai ayah
bernama Asmoprawiro dan ibunya bernama
Soeriptinah. Harmoko dilahirkan di desa
Pathinrowo, Kertosono, tanggal 7 Februari
1939. Harmoko merupakan anak ketiga dari
sepuluh orang bersaudara. Harmoko masuk
ke Sekolah Rakyat (SR), saat Harmoko
bersekolah di SR rupanya ketertarikannya
pada kesenian mulai muncul karena
disekolahnya terdapat ekstrakurikuler
seperti karawitan, bernyanyi dan menari
yang membuat apresiasi seni muncul dalam
diri Harmoko. Dan pada awal kariernya
ketertarikan pada kesenian itu ditunjukan
saat ia bergaul dengan Seniman Senen.
Harmoko bercita-cita menjadi seorang
wartawan sejak kelas 3 SR, cita-cita itu
tumbuh karena ayahnya selalu
memfasilitasi Harmoko agar gemar
membaca dengan membelikan buku-buku.
Dari pemaparan diatas terlihat bahwa minat
dan bakat Harmoko di pengaruhi
keluarganya dan juga lingkungannya yang
secara juga membentuk kepribadiannya.
Cita-cita Harmoko untuk menjadi
wartawan ternyata terwujud. Menurut
Motinggo Busye & Rudjito (1989, hal. 61-
64) memaparkan Harmoko merupakan
tokoh jurnalistik yang merambah ke dunia
politik. Ia memulai karirnya dari menjadi
kolektor koran hingga masuk ke panggung
politik dan diberi status wartawan politik di
surat kabar Merdeka. Harmoko ditetapkan
menjadi kolektor terbaik dan berkat
ketekunannya ia mampu menulis cerpen,
cerita bersambung, artikel dan masalah
yang memuat reportase, barulah ia naik
pangkat menjadi wartawan kota. Harmoko
harus meliput berita di kota. Dalam
memulai karirnya sebagai wartawan
Harmoko bekerja di Surat Kabar Merdeka.
Dalam perkembangannya Harmoko
membangun sebuah harian umum yang
mengkhususkan untuk lapisan bawah yang
bernama Poskota.
Menurut Fachri Ali & Kholid
Novianto (1997, hal. 139) memaparkan 13
Maret 1983, Harmoko dipanggil Presiden
Soeharto ke rumahnya, jalan Cendana. Di
dalam pertemuan ini, Presiden meminta
kesediaan dan kesangguannya memimpin
Departemen Penerangan. Dan di dalam
pertemuan ini Presiden memberikan
pengarahan kepadanya tentang fungsi dan
peranan Departemen Penerangan yang akan
menjadi tugasnya itu. Dalam memimpin
Departemen Penerangan Harmoko
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
207
merupakan orang yang mendukung pes
Pancasila yaitu pers yang bebas dan
bertanggung jawab. Menurut Bachtiar
Djamily (1985 hal 114-115). Landasan
kebebasan pers dalam pers Pancasila
sebagaimana ditetapkan oleh Dewan Pers
sebagai berikut : Pancasila sebagai
landasan idiilnya, UUD 1945 sebagai
landasan konstitusionalnya, GBHN sebagai
landasan strateginya, Undang-undang
tentang ketentuan-ketentuan pokok pers
serta segenap peraturan-peraturan
pelaksanaannya sebagai landasan
yuridisnya, tata nilai masyarakat yang
berlaku sebagai landasan
kemasyarakatannya, kode Etik profesi
sebagai landasan etisnya, dan interaksi
positif pers, pemerintah dan masyarakat
sebagai landasan mekanismenya.
Dukungan Harmoko terhadap pers
Pancasila ini menentukan arah kebijakan
Harmoko sebagai Menteri Penerangan.
Harmoko memiliki pandangan bahwa
walaupun pers bebas namun tetap harus
bertanggung jawab dan pers dikontrol
untuk mengatur stabilitas Negara. Dalam
memimpin Departemen Penerangan,
Harmoko memberlakukan SIUPP untuk
mendukung pers Pancasila. Taufik
Abdullah (2003, hal. 411 ) pada tanggal 31
Oktober 1984 Menteri Penerangan
Harmoko mengeluarkan peraturan
No.1/PER/MENPEN/1984 tentang Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Peraturan Menteri Penerangan ini banyak
menimbulkan masalah di bidang penerbitan
pers.
Salah satu yang memperdebatkan
kebijakan SIUPP adalah Hutagalung (2013,
hal. 56-57) menurutnya dalam journal
Dinamika Sistem Pers di Indonesia,
ditetapkannya kebijakan tentang adanya
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
mencermikan usaha nyata pelaksanaan
kebebasan pers yang dikendalikan oleh
pemerintah, suatu bentuk pengadopsian
terhadap teori pers otoriter. Pers tidak boleh
memuat berita yang bertentangan dengan
program pemerintah. Intervensi
kepentingan pemerintah ini membuat pers
tidak mampu independen dan juga kritis
karena pemerintah terus mengontrol pers
secara represif. Pemerintah mengontrol
pers dengan cara pembredelan,
pemberhentian pasokan kertas hingga
menghilangkan nyawa wartawan. Pers
dijadikan sebagai saluran propaganda untuk
mempertahankan kekuasaan dan
kepentingan status quo.
Berbeda halnya menurut Fachry Ali
& Kholid Noviyanto (1997, hal. 166-167)
memaparkan Harmoko dalam menetapkan
SIUPP ternyata merasa prihatin karena
menurutnya darah dagingnya adalah
wartawan namun jabatannya tidak bisa
dilepaskan dalam melaksanakan peraturan
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
208
dan perundang-undangan yang berlaku.
Harmoko mungkin dan memang telah
dituduh sebagai aktor utama untuk seluruh
“tragedi” dari drama pencabutan SIUPP.
Tapi dalam konteks politik secara nasional,
tindakan semacam itu tidaklah hanya
terbatas pada seorang pejabat, melainkan
telah pula berkaitan dengan elemen-elemen
pemerintah secara keseluruhan. Setidak-
tidaknya, kenyataan ini tercerminkan dalam
lembaga Dewan Pers. Lembaga yang paling
berwenang memberi salam dan
rekomondasi terhadap pencabutan hak
hidup sebagai lembaga pers yang
melibatkan bukan saja berbagai instansi
pemerintah, melainkan kalangan pers itu
sendiri.
Mengkaji masalah penetapan SIUPP
ini banyak pihak pro dan kontra. Pihak pro
memaparkan bahwa penetapan SIUPP
hanya sebagai kewajiban menjalankan
tugas sebagai Menteri Penerangan untuk
mampu mengontrol pers agar tidak
mengganggu stabilitas Negara. Dan pihak
kontra menganggap SIUPP sebagai cara
pemerintah untuk membelenggu demokrasi
dan mempertahankan kekuasaan Orde
Baru. Menurut David Hill (2011,hal. 40-43)
pada kurun waktu 1980-an banyak pers
yang mengalami pembredelan seperti pada
bulan Mei 1984, majalah Fokus,Sinar
Harapan, Prioritas, dan Monitor. Pada
tahun 1990-an pers mengalami
kebebasannya kembali dengan
memberitakan berbagai berita yang
awalnya tabu dimata masyarakat. Pada
masa ini industri pers berkembang pesat
sementara kekuatan Negara tengah terbaur
dan terburai. Namun masa itu nampaknya
tidak bertahan lama karena tanggal 21 Juni
1994 Menteri Penerangan mencabut izin
terbit tiga mingguan berita ternama yaitu
Tempo, DeTIK, dan Editor. Ketiga media
ini memanfaatkan keterbukaan politik dan
kebebasan pers saat itu dengan
memberitakan bisnis keluarga Presiden,
pelanggaran hak asasi manusia,
penyalahgunaan kekuasaan, cacat
administrasi pada anggaran pemerintahan
dan pecahnya kelompok-kelompok
sempalan dalam tubuh pemerintah maupun
tentara.
Harmoko sebagai Menteri
Penerangan juga melakukan komunikasi
sambung rasa, penyampaian informasi
dilakukan secara ringan agar mudah
dimengerti atau diselingi humor. Selain itu
komunikasi dilakukan dengan
menyesuaikan kegiatan masyarakat, dan
topik yang disampaikan harus sesuai
dengan isu terkini dan kebutuhan
masyarakat yang memang penting untuk
disampaikan. Menurut Fachri Ali & Kholid
Novianto (1997, hal. 146-150) Harmoko
berusaha membangun institusi baru
ditengah masyarakat desa yaitu
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
209
Kelompencapir (kelompok pendengar,
pembaca dan pemirsa). Kelompencapir
merupakan lembaga baru yang hidup di
desa yang memanfaatkan instrumen
tradisional yaitu filosofi Jawa mangan ora
mangan asal kumpul (mau makan atau
tidak makan, yang penting kumpul).
Melalui kolempecapir informasi
masyarakat desa lebih berkembang melalui
radio, televisi dan koran.Selain itu
Harmoko juga melakukan komunikasi
politik melalui Safari Ramadhan, menurut
Azwar (2009, hal. 88) Safari Ramadhan
yang merupakan pemanfaatan kegiatan-
kegiatan selama Ramadhan untuk
komunikasi sambung rasa mendengarkan
suara hati rakyat yang kemudian dibawa
pada rapat kabinet sehingga persoalan bisa
didengar langsung.
Selain memimpin Departemen
Penerangan Harmoko juga diangkat oleh
Soeharto sebagai Ketua Umum DPP
Golkar. Golkar merupakan kendaraan
politik Orde Baru yang selalu di dipimpin
oleh ABRI. Rakyat menuntut adanya
demokratisasi dalam tubuh Golkar yang
selalu didominasi oleh ABRI dalam
menanggapi aspirasi rakyat ini Golkar terus
melakukan pembaruan dengan cara banyak
sipil yang mulai memerintah dalam
pemerintahan maupun dalam Golkar. Salah
satu pembaharuan dalam Golkar yaitu
mengangkat Harmoko sebagai tokoh sipil
pertama yang memimpin Golkar. Menurut
Firdaus Syam (2008, hal. 26) dalam
perkembangannya Golkar mengalami
pergeseran dan dinamika dengan
menguatnya sipil di tubuh Golkar. Pada era
1990-an peran sipil semakin kokoh dalam
perpolitikan ditubuh Golkar. Hal tersebut
terbukti dengan terpilihnya Harmoko
sebagai Ketua Umum Golkar periode 1993-
1999.
Sebenarnya pemilihan Harmoko
sebagai ketua Umum DPP Golkar telah
pasti ditetapkan bahkan sebelum
diadakannya Munas V. Harmoko telah
dipercaya oleh Soeharto sebagai ketua
Umum DPP Golkar. Munas yang diadakan
Golkar nampaknya hanya formalitas belaka
karena pemenang atau yang akan menjadi
ketua Golkar sudah disiapkan oleh Dewan
Pembina/ Soeharto jauh-jauh hari.
Sehingga dalam kenyataannya Dewan
Pembina terang-terangan memilih
Harmoko sebagai Ketua Umum DPP
Golkar.
Golkar yang sudah berkuasa selama
27 tahun dan berperan sebagai partai
pemerintah dan selalu memenangkan
pemilu. Dalam perkembangannya
mendapat terus kritikan dan masukan agar
lebih menanggapi aspirasi rakyat. Rakyat
menuntut adanya demokratisasi dalam
tubuh Golkar yang selalu didominasi oleh
ABRI, dalam menanggapi aspirasi rakyat
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
210
ini Golkar terus melakukan pembaruan
dengan cara banyak sipil yang mulai
memerintah dalam pemerintahan maupun
dalam Golkar.
Riswandha Imawan (1997, hal. 167)
memaparkan Munas ke V Golkar tanggal
20-25 Oktober 1993 membahas kewajiban
regenerasi politik, PJP II dengan tekad
merebut teknologi canggih, tahap tinggal
landas untuk memberantas kemiskinan,
perubahan paradigma pembangunan dari
pertumbuhan ekonomi beralih kepenekaan
pada hal asasi manusia, pembangunan
berwawasan lingkungan hidup, tuntutan
prefesionalitas ABRI yang memunculkan
kebijakan “ABRI back to basic” dan
tuntutan elit sipil dipercaya memegang
jabatan di birokrasi.
Tuntutan demokrasi terus
dilontarkan dalam tubuh Golkar, karena
Golkar sudah dianggap tidak bisa menjadi
jembatan rakyat karena Golkar kurang
responsif terhadap aspirasi rakyat hal ini
berkenaan dengan Golkar yang memiliki
kekuatan mayoritas tunggal tanpa kontrol
dari kekuatan politik lain. Golkar
mendominasi dalam setiap pemerintahan,
hal ini tentu menjadikan Golkar bisa
dengan mudah mengambil kebijakan sesuai
kepentingan Golkar bukan kepentingan
rakyat. Orsospol lainnya tidak dapat
berbuat apa apa karena suara
minoritasnnya, hal ini membuat Golkar
lepas kontrol. Pembaharuan tersebut
diterapkan pada era Harmoko.
Riswandha Imawan (1997, hal. 171-
172 ) memaparkan sebelum diadakan
Munas V untuk memilih siapa yang akan
dipilih sebagai Ketua Umum Golkar terjadi
caucus yaitu pertemuan tidak resmi antar
elit partai untuk mencapai persetujuan
tentang arah gerak partai, termasuk tokoh-
tokoh yang ditampilkan. Tujuan dari
pertemuan ini untuk memberi arahan atau
patokan sehingga jalannya sidang tidak
berlarut-larut. Caucus menyebabkan tokoh
pembuat keputusan bermain dibelakang
layar tetapi mereka sangat mempengaruhi
cerita ataupun keputusan-keputusan yang
diambil.
Dengan diadakannya caucus ini
tentu menunjukan bahwa Munas yang
diadakan oleh Golkar sebagai formalitas
Golkar dalam menunjukan dirinya sebagai
partai yang demokratis dan menjungjung
tinggi gotong-royong, kekeluargaan,
musyawarah serta mufakat.Sebab melalui
caucus tersebut sebenarnya sudah diambil
keputusan siapa yang selanjutnya
memimpin Golkar, sehingga dalam Munas
bisa langsung terlihat siapa yang dijadikan
pemimpin Golkar tanpa proses dan
perbedatan yang panjang. Hal ini membuat
tuntutan rakyat untuk Golkar yang berakar
dari bawah tidak dapat terwujud karena
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
211
yang terjadi yang memimpin Golkar itu
adalah elit yang dipilih oleh elit.
Setidaknya ada tiga elit yang
berperan dalam Munas V ini. Pertama
Dewan Pembina Golkar yang merupakan
pusat kekuasaan yaitu Soeharto. Keputusan
harus berdasarkan restu dan petunjuk
Dewan Pembina. Kedua Kelompok
Cedikiawan seperti Prof Habibie pendapat
mereka sangat menentukan karena
berhubungan langsung dengan image
pembaharuan selain itu posisi Habibie saat
itu sebagai Ketua ICMI yang selalu
didukung pemilih muslim, dan yang ketiga
ABRI peran penting ABRI dalam Golkar
memang tak bisa terhindarkan disini ABRI
berperan untuk menyetujui elit yang
muncul.
Harmoko melakukan temu kader ke
berbagai daerah untuk menggalang
kekuatan atau menciptakan kader yang
sesuai dengan Munas Golkar. Temu kader
ini dilakukan sebagai sarana pendidikan
politik. Azwar (2009, hal. 86) memaparkan
menurut Harmoko temu Kader adalah
wahana untuk mengembangkan komunikasi
dan pendidikan politik serta menyampaikan
gagasan dan program-programnya yang
mengacu pada amanat Munas V Golkar.
Harmoko memiliki prinsip yang selalu
disampaikan dalam temu kader. Menurut
Mortinggo Busye (1997, hal. 158) setiap
kader Golkar menurut Harmoko harus
memenuhi PDLT (prestasi, dedikasi,
loyalitas dan tidak tercela). Tidak tercela
berarti tidak menyakiti hati rakyat, tidak
korupsi, dan tidak menyalahgunakan
wewenang.
Temu kader ternyata banyak menuai
pro-kontra dengan adanya tudingan bahwa
temu kader merupakan kampanye
terselebung karena secara tidak langsung
dalam temu kader Harmoko
memperkenalkan visi-misi atau keinginan
politiknya. Namun Harmoko menjawab
bahwa temu kader bukan kampanye
terselubung karena bersifat terbuka dan
untuk melaksanakan amanat Munas V.
Menurut Lopez Ansel da (1997, hal. 58)
Harmoko dengan mudah menjawab
tudingan yang menyebutkan temu kader
merupakan kampanye. Menurut Harmoko
temu kader yang dilakukan bukan
kampanye, karena kampanye baru akan
dilakukan sesuai dengan jadwal yang akan
ditetapkan Panitia Pemilihan Indonesia.
Melalui temu kader yang dilakukan
Harmoko membuat Golkar memenangkan
pemilu 1997. Temu kader tersebut
menciptakan image yang membuat
Harmoko dekat dengan rakyat dan mampu
menanggapi aspirasi rakyat. Selain
melakukan temu kader Harmoko juga
melakukan studi pemilihan dalam survey
dan kajian masalah aktual saat itu. Hal itu
dilakukan untuk membuat Golkar lebih
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
212
responsif dan mengetahui bagaimana
sebenarnya respon masyaraat kepada
Golkar apakah masih mendukung atau
tidak. Golkar juga menelaah kekurangan
dan kelebihan lawannya serta prediksi
perolehan suara Golkar. Menurut
Syamsuddin Haris (1998, hal 172) hasil
sementara perhitungan suara Pemilu 1997
memperlihatkan kembali “keunggulan”
Golkar dibandingkan dengan OPP yang
lain, yaitu dengan meraih 74,3 persen
suara. PPP yang sempat menghijaukan
pulau Jawa memperoleh 22,7 persen,
sementara PDI versi Soerjadi hanya
kebagian 3,0 persen suara. Bagi Golkar
peningkatan suara sekitar 6,2 persen
dibanding dengan hasil Pemilu 1992 itu
adalah “kemenangan besar” yang
melampaui target 70,02 persen.
Pada perkembangan selanjutnya
mendekati pemilihan Presiden 1998-2003.
Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar
tentu mempunyai wewenang untuk
menentukan siapa calon Presiden dari
partai Golkar selanjutnya. Harmoko
kemudian mencalonkan kembali Soeharto
sebagai Presiden RI yang ketujuh. Menurut
Firdaus Syam (2008, hal. 33) sebelum
Presiden Soeharto menjabat sebagai
Presiden yang ketujuh kalinya ia meminta
Bung Harmoko selaku Ketua Umum
Golkar untuk meneliti kembali mengenai
apakah diri Soeharto didukung dan diminta
oleh rakyat secara keseluruhan. Perlu
diketahui bahwa dalam pemilihan umum
sebeumnya, Presiden Soeharto juga telah
mengataan dihadapan KNIP agar tidak
dipilih kembali sebagai ia sudah TOP (Tua,
Ompong dan Peot). Namun Harmoko
menerjemahkan perkataan itu bahwa
Soeharto masih ingin menjadi Presiden dan
untuk tidak mengecewakan Soeharto
akhirnya Harmoko memilih mencalonkan
Soeharto sebagai Presiden dari Golkar.
Perkembangan karir politiK Harmoko
terus berlanjut Soeharto mengangkat
Harmoko menjadi Ketua MPR/DPR
Republik Indonesia. Menurut Syamsuddin
Haris (1998, hal. 177) terjadi suatu hal
yang menarik dalam pergantian elite politik
di Indonesia. Seperti Menpen Harmoko
yang juga Ketua Umum DPP .Golkar
digeser pada saat pemerintahan yang belum
usai merayakan pesta atas kemenangan
Golkar dalam pemilu sebesar 74,3% dalam
pemilu 1997 malah diangkat menjadi Ketua
MPR/DPR pada saat itu.
Menurut Abdullah (2003, hal. 57)
rakyat menuntut dilakukan reformasi total,
selain dalam bidang ekonomi, juga
terutama dalam bidang politik, dan hukum.
Logikanya, krisis ekonomi Indonesia bukan
hanya disebabkan merosotnya nilai rupiah,
tetapi juga oleh tatanan politik yang tidak
demokratis, dan hukum yang terlampau
diabdikan kepada kekuasaan yang otoriter,
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
213
sehingga tidak mendatangkan keadilan
yang sebenarnya. Pada saat Harmoko
menjabat menjadi Ketua DPR/MPR
Harmoko dihadapkan pada masalah serius
dimana terjadi kerusuhan dimana-mana
untuk menuntut reformasi. Dalam
menanggapi hal ini Harmoko memaparkan
reformasi harus berjalan secara gradual.
Di Indonesia pada tahun 1997-1998
memang sedang terjadi krisis
multidimensional seperti kerusuhan politik,
krisis keuangan dan perbankan, krisis
sosial, dan krisis lainnya. Menurut Firdaus
Syam (2008, hal. 35-38) keuangan dan
ekonomi Indonesia begitu lemah, banyak
bank berdiri dengan modal yang lemah dan
kemudahan kredit melebihi platfrom
dengan fokus pengelolaan dana itu kepada
anggota grupnya, pinjaman swasta nasional
diluar Negara sangat banyak yang
diberikan pada usaha jangka pendek,
ekspor lebih kecil dibanding impor,
monopoli dan subsidi untuk usaha yang
dekat dengan pengusaha, nilai rupiah
semakin melemah, cadangan devisa Negara
semakin menipis, hutang semakin
membengkak dan daya beli masyarakat
rendah, dan perdagangan valuta asing
dengan cara spekulatif. Selain itu pada
tahun 1997 menurut Bank Dunia 20-30
persen dari dana pengembangan Indonesia
telah disalahgunakan selama bertahun-
tahun. Krisis finansial Asia ditahun yang
sama tidak membawa hal baik bagi
pemerintahan Presiden Soeharto. Ketika
Soeharto dipaksa meminjam pinjaman pada
IMF.
Dari keadaan Indonesia yang sangat
buruk mengenai ketidak stabilan ekonomi
Indonesia yang terus berdampak pada
sosial masyarakat. Kemiskinan semakin
terasa saat masyarakat tidak bisa membeli
bahan pokok untuk sehati-hari yang
melambung tinggi, selain itu kerusuhan
bernuasa SYARApun terjadi. Selain itu
terjadi kebakaran hutan di Kalimantan dan
Sulawesi yang menyebabkan gangguan
kesehatan. Krisis inipun berdampak pada
ketidak stabilah politik Indonesia,
kekacauan terjadi dimana-mana karena
penguasa dianggap tidak dapat
menyelesaikan masalah yang sedang
terjadi. Ditambah lagi masyarakat sudah
tidak menginginkan kepemimpinan
Soeharto.
Menurut Firdaus Syam (2008, hal 42-
43) dalam menanggapi hal tersebut
pemerintah melakukan hal-hal seperti
menggunakan metode CBS (Currency
Board System). Dalam pertemuannya di
kediaman Soeharto di Cendana, ketika itu
Presiden menyerahkan berkas metode CBS
kepada pimpinan Dewan yang hadir untuk
dipelajari. Para pemimpin Dewan
kemudian mempelajari dan melakukan
tukar pikiran tentang penggunaan metode
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
214
CBS tersebut. Dan metode tersebut dipilih
juga didukung oleh Harmoko selaku Ketua
Umum MPR/DPR untuk mengatasi krisis
moneter. Harmoko menjelaskan pada saat
itu devisa negara sangat terbatas hanya 13
milyar dolar. Dengan penerapan metode
CBS disertai dukungan nyata diharapkan
negara memiliki dana yang segera dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pokok rakyat. Konsekuensi dari
pemberlakuan CBS menurut Harmoko akan
membawa perubahan Undang-undang Bank
Sentral. Sehubungan dengan itu pemerintah
merencanakan mengeluarkan PERPU
mengenai UU Nomor 13 tahun 1986
mengenai Bank Sentral sebelum Sidang
Umum MPR, dan DPR pun menyetujui
model CBS ini.
Dalam menyelesaikan konflik terjadi
pada masa Orde Baru, tentu Harmoko
memiliki peran sebagai Ketua MPR/DPR
yang berhak mengambil keputusan yang
diambil untuk menyelesaikan konflik.
Harmoko menyetuji metode CBS yang
datang dari usulan Presiden ini sangat rapat
di Cendana. Penggunaan metode ini
diyakini Harmoko dapat memberikan
perubahan yang baik untuk krisis
multidimensional yang terjadi di Indonesia.
Walaupun ada konsekuensinya yaitu akan
terjadi perubahan Undang-undang Bank
Sentral.
Dalam memutuskan kebijakan yang
harus dipilih oleh pemerintah terlihat
bahwa Presiden Soeharto memang sudang
mulai kehilangan kekuatannya.Terbukti
dari awalnya ia mengusulkan metode CBS
untuk mengatasi krisis namun berubah
tanpa persetujuan DPR menjadi meminta
bantuan IMF. Hal ini juga memperlihatkan
Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat tidak dapat
mengambil keputusan berdasarkan
keputusan awal yang disetujui DPR dan
malah membiarkan keputusan Presiden
Soeharto untuk bekerjasama dengan IMF.
Walaupun dalam pernyataan diatas
Harmoko merasa kecewa, tapi sepertinya
tidak ada perlawanan khusus untuk
menghentikan keputusan Presiden tersebut.
Suasana memprihatinkan yang terjadi
tidak direspon dengan baik oleh
pemerintah, dengan memutuskan meminta
bantuan kepada IMF. Dan hal ini membuat
kecewa rakyat karena uluran tangan IMF
sama sekali tidak membantu dan semakin
membuat Indonesia terpuruk. Upaya
pemerintah ini membuat rakyat bereaksi
dari mulai keprihatinan, himbauan, sampai
pada tuntutan reformasi. Seperti tuntutan
reformasi yang dilakukan mahasiswa
karena kekhawatiran dengan nasib rakyat
kecil tersebut. Dukungan terhadap rakyat
kecil dilakukan mahasiswa diberbagai
daerah seperti di Jakarta mahasiswa UI
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
215
menerobos Sidang Umum MPR untuk
mendengar pertanggungjawaban Presiden
Soeharto, merumuskan GBHN dan memilih
Presiden maupun Wakilnya. Di kampus
Universitas Gadjah Mada digelar aksi
keprihatinan yang melibatkan belasan ribu
mahasiswa dan dosen menuntut kesediaan
bahan pokok, mempersoalkan KKN dan
pertanggungjawaban di MPR.
Suasana terus memanas dan rakyat
menuntut pemerintah melakukan reformasi.
Pada saat itu Soeharto ditetapkan kembali
menjadi Presiden yang ketujuh kalinya
melalui SU MPR dan nampaknya rakyat
memang sudah tidak mengharapkan hal
tersebut. Nampaknya usia kepemimpinan
Soeharto memang harus berakhir pada
tahun 1998. Seolah mendapat firasat akan
lengsernya Soeharto dari jabatan
kepresidenan, saat Soeharto ditetapkan
sebagai Presiden lagi dalam Sidang
Paripurna Ke-V tanggal 11 Maret 1998
palu yang dipakai oleh Harmoko untuk
menutup dan mensah kan keputusan dalam
sidang patah tidak seperti biasanya.
Pimpinan Sidang yaitu Harmoko yang
didampingi para wakilnya dan seluruh
anggota MPR 1998-2003 menutup
persidangan dengan mengetukkan palu
sidang sebanyak 3 kali.
Dikutip dalam Firdaus Syam (2008,
hal. 16) Harmoko mengemukakan bahwa
begitu Palu Sidang itu ia ketukan, seperti
biasanya tidak terjadi apa-apa, namun kali
ini yang terjadi lain. Palu itu ketika
diketukkan melesat, bagian kepalanya
patah, kemudian terlempar kedepan,
dihadapan jajaran anggota-anggota MPR
yang terhormat. Pada waktu itu persis
dijajaran terdepan, duduk para anggota
MPR itu, diantaranya ada Mbak Tutut
(Putri Sulung Presiden Soeharto) dan
Ginanjar Kartasasmita yang behadapan
dengan kursi Pimpinan Dewan. Palu itu
kemudian diamankan oleh petugas
Pengawal Presiden.
Dengan keputusan terpilihnya
kembali Soeharto menjadi Presiden
Republik Indonesia membuat rakyat
kecewa dan berharap presiden bersedia
lengser karena rakyat sudah tidak percaya
lagi terhadap pemerintahan Soeharto.
Mahasiswa terus melakukan aksi unuk
menuntut reformasi sejak saat SU MPR
dimulai, bahkan mahasiswa menuntut agar
diberi kesempatan untuk ikut dalam SU
MPR dan menyalurkan aspirasi serta
berdialog langsung dengan MPR. Tuntutan
mahasiswa adalah menyelesaikan seluruh
krisis nasional dengan cepat, menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Pada akhir masa Orde Baru, tahun
1998 bangsa Indonesia dihadapkan pada
krisis multidimensional. Seperti kelaparan,
kemiskinan, inflasi tinggi, harga melonjak
dan terutama tuntutan reformasi karena
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
216
pemerintah tidak mampu menyalurkan
aspirasi masyarakat. Mahasiswa banyak
yang melakukan unjuk rasa dimana-mana.
Namun akibat demonstasi tersebut terjadi
penembakan penembakan mahasiswa
Universitas Trisakti pada tanggal 12
Mei1998, seluruh lapisan masyarakat
Indonesia berduka dan marah. Akibatnya,
tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis
di Ibukota dan di beberapa kota lainnya.
Semua peristiwa tersebut makin
meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan
tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi
kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian
dipilih oleh kebanyakan kelompok massa
mahasiswa untuk mendorong turunnya
Soeharto mengerucut pada aksi
pendudukan gedung DPR/MPR.
Hal itu tentu membuat kemarahan
dimasyarakat semakin melebar dan
membara. Dukungan keprihatinan muncul
dari berbagai pihak seperti Amin Rais, W.S
Rendra, Emil Salim, Ali Sadikin, Megawati
Sukarnoputri, termasuk kelompok yang
dahulu pernah menjabat di pemerintah
Orde Baru seperti para ekonom mafia
barkeley yang merupakan arsitek kebijakan
ekonomi orde yang juga menghendaki
Soeharto turun. Selain para ekonom militer
dan organisasi-organisasi seperti KNIP,
ICMI, organisasi pemuda dan Kosgoro juga
menghendaki Soeharto turun. Selain itu
Amien Rais dan Megawati juga
mendukung reformasi. Disini pihak militer
berusaha untuk tidak terlalu mendukung
presiden karena tidak ingin ada bentrokan
yang lebih besar antara mahasiswa dan
pihak berwajib. Tuntutan dan tekanan terus
dilakukan terutama oleh mahasiswa untuk
reformasi. Tekanan tersebut adalah tuntutan
reformasi total, pengunduran diri presiden,
dan pelaksanaan sidang istimewa MPR.
Dibawah tekanan yang semakin kuat
pimpinan MPR/DPR didampingi wakil
ketua dan seluruh fraksi diparlemen
meminta agar presiden Soeharto bersedia
mengundurkan diri.
Mahasiswa melakukan unjuk rasa
dengan melakukan pendudukan gedung
DPR/MPR RI. Peristiwa tersebut
merupakan momumental proses
pelengseran Soeharto dari tampuk
kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi.
Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari
berbagai kampus bergabung menduduki
gedung DPR/MPR untuk mendesak
Soeharto mundur.Dalam hal ini rakyat
meminta kepada DPR/MPR untuk
melakukan sidang khusus. Harmoko
sebagai ketua DPR RI memberi keterangan
dalam jumpa pers, pernyataan meminta
Soeharto mundur. Menurut Makka (2008,
hal. 26) Harmoko memaparkan dalam
menanggapi situasi seperti tersebut diatas,
pimpinan Dewan, baik ketua maupun
wakil-wakil ketua, mengharapkan demi
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
217
persatuan dan kesatuan bangsa agar
Presiden secara arif dan bijaksana
sebaiknya mengundurkan diri.
Harmoko pada saat itu menyatakan
persetujuan terhadap adanya reformasi dan
lengsernya Presiden. Hal ini sungguh
sangat menarik karena Harmoko
merupakan orang yang dekat dan selama ini
mendukung Presiden. Namun Harmoko
seolah tidak mendukung lagi Presiden
Soeharto dengan menyetujui tuntutan
reformasi dan meminta Presiden untuk
lengser dengan alasan untuk mencapai
persatuan dan kesatuan bangsa. Harmoko
sebagai ketua MPR/DPR berusaha
menyalurkan aspirasi masyarakat dengan
meminta presiden mengundurkan
diri.Akibat keputusan ini Harmoko menuai
pro dan kontra disatu sisi Harmoko
merupakan orang kepercayaan Presiden dan
orang yang diangkat dalam segala posisi
oleh Presiden disatu sisi Harmoko
memegang kekuasaan sebagai ketua
MPR/DPR yang harus menyalurkan
aspirasi rakyat. Dalam hal ini Harmoko
mengambil jalan untuk menuruti rakyat dan
meminta Soeharto turun. Tindakan ini
menimbulkan banyak cibiran dengan
menyebut Harmoko sebagai Brutus sesosok
penghianat dalam sebuah cerita
terbunuhnya penguasa Romawi. Mati
karena pengkhianatan orang yang sangat
dipercayainya. Diluar hal itu Harmoko
memberi pengaruh besar pada saat
keputusannya meminta Soeharto mundur
dari jabatannya sehingga pemerintahan
Orde Baru bisa runtuh dan reformasi bisa
dikumandankan.
SIMPULAN
Harmoko merupakan orang yang
terlahir dari keluarga sederhana, namun
memiliki perhatian pada seni dan
pengetahuan. Keluarga Harmoko sangat
berperan dalam mencetak kepribadian
Harmoko. Harmoko tumbuh menjadi
pribadi yang populer karena ia mempunyai
ciri khas dalam berkomunikasi. Harmoko
merupakan orang yang rajin membaca dan
hal itu terjadi karena ayah Harmoko
memfasilitasinya dengan membelikan
buku-buku. Harmoko tumbuh menjadi anak
yang tertarik dengan keadaan sosial dengan
filosofi yang dimilikinya yaitu cheto welo-
welo. Ketertarikannya tersebut membuat
Harmoko ingin terjun langsung melihat
fluralitas yang ada pada masyarakat dengan
menjadi wartawan. Dari profesi inilah karir
Harmoko terus berkembang.
Karir Harmoko terus naik saat ia
menjadi wartawan sampai ia menjadi
pemilik sebuah media yang memiliki oplah
terbesar pada masa Orde Baru yaitu Pos
Kota. Keberhasilan Harmoko dalam
mengelola Pos Kota menarik perhatian
Soeharto sehingga ia diangkat menjadi
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
218
Menteri Penerangan pada saat itu. Saat
menjadi Menteri Penerangan, Harmoko
menciptakan SIUPP yang menjadi
belenggu bagi pers Indonesia yang
menyebabkan pembredelan dimana-mana.
Dengan kebijakannya itu Harmoko
dianggap mengkhianati jiwa
kewartawannya. Hal lain yang diakukan
oleh Harmoko saat menjadi Menteri adalah
melakukan komunikasi sambung rasa yaitu
menciptakan Kelompencapir, IDT dan
KMD. Nampaknya Harmoko benar-benar
dapat menarik hati dari Soeharto sehingga
dapat menjabat sebagai Menteri
Penerangan selama tiga periode.
Harmoko kemudian diangkat oleh
Soeharto sendiri sebagai Ketua Umum
Golkar. Soeharto. Harmoko dipilih
menjadi Ketua Umum Golkar secara tidak
demokratis karena Harmoko dipilih
dibelakang layar melalui caucus. Bahkan
Soeharto terang-terangan menunjuk
Harmoko dalam Munas untuk menegaskan
keinginannya menjadikan Harmoko sebagai
Ketua Umum Golkar. Dengan
kepiawaiannya dalam melakukan
komunikasi politik, Harmoko berhasil
memenangkan pemilu 1997 sebesar 74,3%.
Hal ini membuat Golkar berhak
mengajukan Soeharto presiden selanjutnya.
Untuk memuluskan permainan politik
Soeharto memberhentikan Harmoko dari
jabatan sebagai Ketua Umum Golkar dan
mengangkatnya menjadi Ketua MPR/DPR
yang akan melantiknya menjadi Presiden
RI. Ketika reformasi menginginkan rezim
Orde Baru dijatuhkan, Harmoko memberi
keputusan untuk menghianati Soeharto
dengan menyuruhnya turun dari
jabatannya. Jika diperhatikan terlihat sekali
bahwa Harmoko memiliki kepribadian
loyalist yang memiliki kepatuhan tinggi,
bertanggung jawab, pengabdian dan jujur
kepada Soeharto sebagai petingginya.
Walaupun demikian perlu diingat bahwa
pribadi loyalist memiliki orientasi pada
keamanan diri. Pribadi loyalist bisa berubah
menjadi pemberontak karena yang mereka
utamakan adalah keamanan diri. Oleh
karena itu Harmoko dalam
perkembangannya memberontak atau
mengkhianati Soeharto dengan
melengserkannya karena tuntutan rakyat
yang dianggap mengancamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. (2003). Krisis Masa Kini dan
Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Ali F & Novianto, K. (1997). Politik
Komunikasi Harmoko : dari rakyat
ke panggung politik. Jakarta:
Intermassa.
Azwar. (2009). Politik Komunikasi Golkar
di Tiga Era. Jakarta: Grasindo.
FACTUM
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2016
219
Busye, M. (1997). Golkar dan Harmoko
Man Of The Year . Jakarta: Pustaka
Kartini.
Busye M & Rujito. (1989). 50 Tahun
Harmoko : menatap dengan mata
dan hati rakyat : sebuah biografi
sepintas kilas. Jakarta: Pustaka
Kartini.
Djamily, B. (1985). Harmoko Menteri
Penerangan Republik Indonesia Anak
Rakyat Insan yang Arif. Kuala Lumpur :
Pustaka Budiman
Gottschalk.L. (2008). Mengerti Sejarah
Terjemahan Nugroho Notosusanto.
Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-PRESS).
Haris, S. (1998). Menggugat Politi Orde
Baru. Jakarta : Grafiti.
Harmoko. (2009). Nasihat Harmoko untuk
Anak-anak dan Cucu-cucu. Jakarta:
Yayasan Karya Pena Indonesia.
Hill, D. (2011). Pers di Masa Orde Baru.
Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Hutagalung. (2013). Dinamika Sistem Pers
di Indonesia.Tersedia [online] :
Ejounal.undip.ac.id/indexpjp/intera
ksi/download/6588/5421, 56-57.
Diakses Mei 2016.
Imawan,R. (1997). Membedah politik Orde
Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ismaun. (2005). Pengantar belajar sejarah
sebagai ilmu dan wahana
pendidikan. Bandung: Historia
Utama Press.
Lopez, A. (1997). Bung Harmoko
membawa Misi Wong Cilik. Jakarta:
Yayasan Karya Pena Indonesia.
Makka, A. (2008). Sidang Kabinet Terakhir
Orde Baru. Jakarta: Republika.
Syam, F. (2008). Berhentinya Soeharto
Fakta dan Kesaksian Harmoko.
Jakarta: Gria Media Prima.