kibs_adjat_sudrajat
-
Upload
dilla-angraina -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
description
Transcript of kibs_adjat_sudrajat
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 1
Gunung Api Di Tatar Sunda:Antisipasi Hidup di Daerah Bencana
Adjat Sudradjat
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2
Abstrak Tatar Sunda memiliki gunung api terbanyak di Indonesia. Dari sejumlah 129 gunung apiaktif di Indonesia, sebanyak 18 buah atau 14% terdapat di Tatar Sunda. Bila dibandingkandengan seluruh gunung api yang ada di di Pulau Jawa, maka Tatar Sunda memiliki lebih dari50% gunung api di pulau ini yang jumlahnya 35 buah. Maka tidak mengherankan bahwaancaman bahayanya pun cukup besar. Selain itu, karena lereng gunung api merupakandaerah yang subur, maka penduduknya sangat padat. Diperkirakan lebih dari 50% pendudukTatar Sunda berada di daerah bahaya gunung api atau dipengaruhi dampaknya. Kebanyakan dari gunung api itu berkelompok di Tanah Priangan yaitu Gunung Patuha,Wayang Windu, Papandayan, Kawah Manuk dan Kawah Kamojang yang semuanya terletakdi sebelah selatan. Di sebelah utara terdapat Gunung Tangkuban Parahu dan GunungCiremai, sedangkan di sebelah timur terdapat Gunung Guntur, Galunggung, Talaga Bodasdan Kawah Karaha. Di sebelah barat, sebagai pembatas Tatar Priangan terdapat GunungSalak, Kiaraberes-Gagak, Perbakti dan Gunung Gede. Di sebelah barat yang secara historistermasuk dalam Tatar Sunda, terdapat gunung api Pulosari dan Karang, serta di Selat SundaGunung Krakatau yang pernah meledak dahsyat pada tahun 1883. Mengingat jumlahnya, maka tidak mengherankan bahwa penduduk Tatar Sunda sangatadaptif terhadap lingkungan gunung api. Air yang selalu mengalir dari puncak gunung apitelah dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan bagi budi daya tanaman basah dan budidayaikan. Selain itu udara yang sejuk memungkinkan tanaman yang mempunyai nilaikeekonomian tinggi seperti teh, kopi dan kina tumbuh dengan suburnya. Di luar itu semua,potensi listrik tenaga panas bumi sebanyak 14 sampai 17% dari seluruh potensi Indonesiatersimpan di Tatar Sunda. Demikian pula adaptasi penduduk terhadap dampak negatif dari gunung api tersebut.Daerah puncak gunung api sejak dahulu kala sudah dikenal sebagai daerah tutupan.Penduduk dilarang untuk bercocok tanam di daerah itu, apalagi bermukim. Dalam petadaerah bahaya zaman modern, wilayah itu merupakan Daerah Bahaya I. Bahkan,berdasarkan beberapa peneliti nama Sunda berasal dari kata Sansekerta uda yang berartiputih atau bersih. Syahdan, gunung terbesar dan tertinggi di Nusantara yaitu GunungSunda pada 125 ribu tahun yang lalu meledak dan menutupi seluruh Tatar Sunda dengan abugunung api. Itulah sebabnya seluruh Tatar Sunda berwarna putih. Dalam bahasa Sunda dikenal kata-kata yang berkaitan dengan gunung atau gunung apiseperti kawah, hujan lebu, keusik, mumunggang, pasir, hunyur, tonggoh, tutugan, landeuh,batu dan lain sebagainya. Kata yang dimaksud batu adalah batu pejal yang dikenal dalamilmu vulkanologi sebagai lava, sedangkan pasir adalah lahar yaitu banjir lumpur. Bahayaitulah yang ditimbulkan letusan gunung api yaitu bahaya langsung yang mencakup daerahtutupan, dan bahaya hujan abu, lava dan lahar. Dengan mengetahui karakter setiapgunung api itu, maka akan diketahui baerah bahayanya dan karena itu perencanaan dandaerah pemukiman dapat menghindari daerah tersebut. Khusus bahaya tsunami hanyaterjadi karena letusan Gunung Karakatau.
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 3
PENDAHULUAN
Gunung api berkaitan dengan pelepasan energi dari kerak bumi yang dinamis. Karena proses
pergerakan itu, maka timbul panas yang bermanifestasi sebagai batuan pijar. Bersama batuan
pijar itu ikut pula gas dan uap air yang mempunyai karakter meledak. Demikianlah suatu
letusan gunung api selalu disertai dengan ledakan. Bila tekanan gas dan uap sudah berkurang,
maka batuan pijar keluar sebagai lelehan lava.
Indonesia terletak pada potongan kerak bumi yang dinamis. Karena itu Indonesia memiliki
gunung api terbanyak di dunia. Dari sejumlah lebih kurang 1000 gunung api yang terdapat di
planet bumi ini, sebanyak 129 buah atau 13% terdapat di Indonesia. Dari gunung api
terbanyak itu, sejumlah 35 buah atau 14% terdapat di Pulau Jawa yang merupakan jumlah
terbanyak dalam ukuran pulau di Indonesia. Dari jumlah itu, 17 buah atau 50% dari gunung
api di Pulau Jawa, berada di Jawa Barat, sehingga provinsi ini memiliki jumlah gunung api
terbanyak. Selanjutnya dari jumlah itu lebih dari 80% yaitu 14 buah berada di Tatar Sunda
dan dari jumlah itu 11 buah berkelompok di Tatar Priangan.
Gunung api di Indonesia dibagi atas tiga kelas yang masing-masing menggambarkan
derajat kemungkinan meletus. Gunung api Kelas A adalah gunung api yang pernah meletus
dalam catatan sejarah yang mencakup kurun waktu 400 tahun, yakni dimulai dari tahun 1600.
Tahun ini dianggap sebagai tonggak, karena catatan yang rinci dan dapat dipercaya mengenai
gejala alam letusan gunung api ini dimulai sejak kedatangan orang-orang Barat di Indonesia.
Gunung api kelas ini sangat mungkin untuk meletus kembali pada waktu yang akan datang,
sehingga perlu diwaspadai. Pengamatan terhadap gunung api kelas ini berada pada prioritas
yang paling tinggi.
Gunung api Kelas B adalah gunung api yang tidak pernah meletus dalam 400 tahun terakhir,
namun masih memperlihatkan gejala-gejala kegiatan gunung api aktif. Gunung api kelas ini
perlu diwaspadai, namun tidak setinggi mewaspadai Kelas A. Gunung api di luar kedua kelas
itu dimasukkan ke dalam satu kelas yang disebut Kelas C . Gunung api kelas ini adalah
gunung api yang sudah sangat lemah, tidak pernah meletus dalam 400 tahun terakhir, bahkan
tidak memperlihatkan lagi bentuk kerucut gunung api. Namun demikian gunung api kelas ini
masih memperlihatkan gejala aktivitas, antara lain berupa bualan lumpur panas atau lubang
yang mengeluarkan asap (fumarola) dan gas, khususnya gas belerang (solfatara) dan gas
asam arang (mofet). Kenampakan seperti ini secara umum dikenal sebagai kawah.
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 4
GUNUNG API DI TATAR SUNDA
Gunung api yang terdapat di Tatar Sunda mencakup ketiga Kelas A, B dan C. Dari
sejumlah 17 gunung api di Tatar Jawa Barat dan Selat Sunda, lebih dari sepertiganya
berkelompok di Tatar Priangan. Gunung api di Tatar Sunda dan di Tatar Priangan
diperlihatkan pada daftar berikut (Daftar 1):
Daftar 1. Gunung api di Tatar Sunda dan Tatar Priangan
Tatar Jawa Barat Tatar Sunda Tatar PrianganNo Nama Gunung Api Lokasi Kelas No Nama Gunung Api No Nama Gunung1234567891011121314151617
PatuhaWayang WinduPapandayanKawah ManukKawah KamojangTangkuban ParahuCiremaiGunturGalunggungTalaga BodasKawah KarahaSalakKiaraberes-GagakGedePulosariKarangKrakatau
SelatanSelatanSelatanSelatanSelatanUtaraUtaraTimurTimurTimurTimurBaratBaratBaratBantenBantenSlt Sunda
BBACCAAAABCACABBA
1234567891011121314
PatuhaWayang WinduPapandayanKawah ManukKawah KamojangTangkuban ParahuCiremaiGunturGalunggungKawah Talaga BodasKawah KarahaSalakKiara Beres-GagakGede
1234567891011
PatuhaWayang WinduPapandayanKawah ManukKawah KamojangTangkuban ParahuCiremaiGunturGalunggungKawah Talaga BodasKawah Karaha
Keterangan : Kelas A, Gunung api yang meletus dalam sejarah, Kelas B tidak meletus dalam sejarah tetapimemperlihatkan gajala aktivitas, Kelas C bentuk kerucut gunung api sudah tidak terlihat (tererosi/tua), tetapimasih memperlihatkan gejala aktivitas dalam bentuk hembusan uap dan gas berupa kawah solfatara (gasbelerang), mofet (gas asam arang) dan fumarola (uap).
Dari daftar di atas terlihat bahwa Tatar Priangan memiliki jumlah gunung api terbanyak di
Tatar Sunda. Sejumlah lima buah atau hampir separuhnya berada di Pegunungan sebelah
Selatan Kota Bandung. Karena itu tidak mengherankan bahwa daerah ini memiliki potensi
panas bumi terbesar di Indonesia. Lebih dari 14 sampai 17 % kandungan tenaga panas bumi
yang ada di Indonesia terdapat di Pegunungan Bandung bagian Selatan.
Dipandang dari kelas gunung api, maka lebih dari separuh gunung api yang berada di Tatar
Sunda merupakan gunung api Kelas A. Dengan demikian tingkat ancaman terhadap penduduk
sekitar juga sangat tinggi. Gunung api Kelas B seperti Patuha dan Wayang-Windu, tidak
tertutup kemungkinan untuk berubah menjadi Kelas A bilamana gunung api tersebut
memperlihatkan kegiatan yang meningkat. Namun sejauh ini perubahan kelas gunung api
tersebut sangat jarang terjadi.
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 5
PENGARUH GUNUNG API TERHADAP PENDUDUK
Berdasarkan cakupan wilayah yang ditempati gunung api di Tatar Sunda, dapat diketahui
bahwa hampir seluruh tatar ini ditutupi gunung api. Hanya sebahagian kecil wilayah, yaitu di
Pedataran Utara yang bebas dari gunung api, kecuali daerah sekitar Gunung Ciremai.
Diperkirakan 75% dari wilayah Tatar Sunda ditutupi oleh gunung api. Berdasarkan sensus
tahun 2006 jumlah penduduk di Jawa Barat adalah 43 juta lebih atau merupakan provinsi
terpadat penduduknya di Indonesia. Setelah mengalami pemekaran, maka jumlah itu
dikurangi dengan penduduk provinsi Banten yang mencapai 10,6 juta orang. Kepadatan
penduduk Jawa Barat rata-rata mencapai 1.235 orang per kilometer persegi.
Melihat angka-angka itu, maka diperkirakan sejumlah lebih dari 30 juta penduduk Tatar
Sunda berada dalam jangkauan letusan gunung api, baik yang berada di perkotaan maupun di
pedesaan yang berlokasi di lereng gunung api tersebut. Dari jumlah ini lebih kurang 15 juta
penduduk berada di dalam jangkauan letusan gunung api Kelas A. Jangkauan letusan bisa
sangat berbahaya, bisa juga hanya berupa hujan abu yang tidak terlampau membahayakan,
akan tetapi dapat mengganggu kesehatan. Secara umum daerah bahaya gunung api
mencapkup wilayah dengan radius lebih kurang 10 kilometer. Penduduk di lereng gunung api
tersebut secara langsung terancam oleh bahaya letusan.
Oleh karena gunung api memberikan kesuburan kepada wilayah sekitarnya, maka
penduduk banyak mengolah kekayaan alam itu. Melihat pada luas cakupannya, maka hampir
seluruh penduduk Tatar Sunda memanfaatkan kesuburan tanah dari gunung api tersebut.
Pembudidayaannya meliputi pengolahan tanah untuk pertanian kering seperti hortikultura dan
pertanian basah berupa sawah serta peternakan. Oleh karena kesuburan dan udara yang segar
dengan kelembaban yang cukup, maka tanaman yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi
seperti teh, kopi dan kina tumbuh dengan suburnya. Pada masa yang lalu Pegunungan
Bandung Selatan, dikenal sebagai gudang hasil bumi yang utama.
Terhadap dampak negatif dari gunung api tersebut, penduduk Tatar Sunda sejak semula
sudah sudah bersikap adaptif. Wilayah-wilayah yang mengeluarkan gas racun telah dikenal
penduduk sebagai daerah yang sanget. Dalam terminologi modern wilayah seperti itu
dikenal sebagai lembah maut atau death valley. Demikian pula puncak gunung yang
merupakan daerah bahaya, dikenal penduduk sebagai daerah tutupan. Bertani, apalagi
bermukim di daerah itu dilarang. Bahkan mereka yang melanggar norma itu bisa mengalami
gangguan kejiwaan atau dikenal sebagai kasurupan. Membuka atau membabat hutan, bisa
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 6
menimbulkan hal yang fatal. Dalam peta daerah bahaya, daerah tutupan pada umumnya
terletak pada radius 10 kilometer dari puncak atau dikenal sebagai Daerah Bahaya I.
Dalam bahasa Sunda dikenal juga kata-kata yang kerkaitan dengan letusan gunung api
seperti antara lain kawah, hujan lebu, keusik, koral, lahar dan batu. Keusik dan koral
menggambarkan batuan lepas yang terbentuk karena aliran lahar. Batu menggambarkan benda
pejal yang dikenal sebagai lava. Selain itu beberapa kata menunjukkan topografi gunung api
seperti mumunggang, pasir, hunyur, tonggoh, lebak, tutugan, landeuh dan lain sebagainya.
Kata-kata itu menggambarkan gejala kegiatan gunung api dan bentuk gunung api. Dalam
bahasa Indonesia, beberapa di antara kata itu tidak dikenal, sehingga sulit untuk
diterjemahkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penduduk Tatar Sunda sangat dipengaruhi oleh
gunung api. Bahkan berdasarkan penelitian beberapa akhli disimpulkan bahwa kata Sunda
berasal dari uda dalam bahasa Sanskerta yang berarti putih atau bersih. Kesimpulan ini
diperoleh dengan melihat bukti-bukti adanya Kaldera Sunda yang yang merupakan bekas
letusan dahsyat Gunung Sunda pada lebih kurang 125 ribu tahun yang lalu. Gunung Sunda
adalah merupakan gunung api tertinggi di Nusantara yang mencapai ketinggian lebih dari
3500 meter. Gunung itu meledak dengan dahsyat (jenis Katmaian) dan menyebarkan abu
putih yang menutupi hampir seluruh Tatar Sunda1.
Di bekas Gunung Sunda itu terbentuk kaldera yang di dalamnya kemudian tumbuh
Gunung Tangkuban Parahu. Gunung itu sekarang menutupi hampir seluruh Kaldera Sunda
tersebut. Sebahagian dinding kaldera masih tersisa dalam bentuk perbukitan di antara Gunung
Tangkuban Parahu dan Gunung Burangrang.
Perkembangan budaya penduduk tidak terlepas dari keberadaan gunung api Tatar Sunda.
Namun gunung api di wilayah ini tidak dijadikan sebagai bagian dari lambang kekuasaan,
seperti halnya di wilayah lain. Legenda atau mitos yang berkaitan dengan gunung api di Tatar
Sunda, lebih banyak bernafaskan keilmuan ketimbang sebagai lambang untuk memantapkan
kekuasaan penguasa. Bahkan gunung api, seperti Gunung Galunggung dikenal sebagai tempat
mengundurkan diri (retreat) penguasa sesudah melepaskan kekuasaannya2.
1Van Hinloopen Labberton, 1921, Buku Paririmbon Pararathon Kerajaan Hindu Mataram dan van Bemmelen,1949, The Geology of Indonesia2Prasasti Gegerhanjuang, Rumantak (1518)
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 7
ANTISIPASI HIDUP DI DAERAH BENCANA
Karena sebahagian besar penduduk Tatar Sunda berada di wilayah gunung api, maka
mereka sudah melakukan adaptasi terhadap tingkah laku gunung api tersebut. Dampak positif
berupa kesuburan tanah dan melimpahnya air telah dimanfaatkan menjadi budidaya pertanian,
perkebunan, peternakan dan perikanan. Dampak negatif telah diantisipasi dengan
mempercayai adanya daerah-daerah yang terlarang dan membahayakan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh akhli gunung api, bahaya letusan gunung api
dapat dibagi atas bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer ditimbulkan oleh
letusan itu sendiri secara langsung. Semburan batuan yang panas dalam berbagai ukuran dari
abu yang berukuran halus sampai bom yang berukuran beberapa sentimeter dapat
menyebabkan kematian, kerusakan bangunan dan hutan. Selain itu bahaya langsung dapat
ditimbulkan pula oleh gas dan awan pijar yang meluncur sepanjang lereng. Batuan yang
dilontarkan gunung api itu kemudian mengendap di puncak dan lereng atas gunung tersebut.
Bilamana hujan turun, maka material itu terbawa air hujan. Sungai dan lembah yang biasanya
mampu menampung curahan air hujan, karena ditambah dengan material itu maka tidak
mampu lagi menampungnya dan menyebabkan banjir lahar. Bahaya ini disebut bahaya
sekunder sebagai dampak ke dua akibat letusna gunung api tersebut. Bagi gunung api yang
terletak di laut seperti Krakatau, maka letusan gunung api dapat disertai dengan banjir air laut
atau tsunami.
Berdasarkan karakteristik gunung api tersebut, maka disusun peta daerah bahaya gunung
api. Daetah Bahaya I melarang adanya kegiatan manusia di daerah itu dan adanya
pemukiman. Daerah Bahaya I melingkari puncak dengan radius lebih kurang 5 kilometer.
Daerah Bahaya II melingkari Daerah bahaya I dengan radius 10 kilometer dari puncak gunung
api. Pemukiman dan kegiatan sehari-hari dapat dilakukan di Daerah Bahaya II, akan tetapi
daerah ini harus ditinggalkan atau mengungsi, bilamana terjadi letusan. Daerah Waspada
adalah daerah yang bisa terancam banjir lahar. Daerah ini meliputi sungai dan lembah serta
daerah yang rendah di kaki gunung api.
Dengan menggunakan Peta Daerah Bahaya ini, maka ketika terjadi krisis letusan,
penduduk dapat meninggalkan daerah bahaya menuju daerah yang aman. Rute untuk
pengungsian harus ditetapkan sesuai kondisi lapangan. Latihan berkala perlu dilakukan agar
dalam keadaan krisis, pengungsian dapat dilakukan dengan lancar. Di daerah yang banyak
penduduknya, masalah transportasi memerlukan pula organisasi logistic yang harus dilatih.
Pengungsian harta kekayaan yang tidak bisa ditinggalkan seperti ternak dan ikan, memerlukan
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 8
penanganan tersendiri. Kondisi air dan tidak tersedianya rumput untuk makanan ternak sangat
menyulitkan kondisi di pengungsian.
Untuk mengurangi dampak negatif dari letusan gunung api itu, secara ringkas perlu adanya
kesiapsiagaan atau preparedness. Kesiapsiagaan mencakup p[enyususnan peta daerah bahaya,
penetapan daerah aman, penetapan rute pengungsian, pembangunan barak serbaguna siaga,
penyiapan logistik, penenang kejiwaan para pengungsi dalam bentuk siraman rohani dan
hiburan dan penjagaan keamanan. Sebelum terjadi letusan perlu adanya peringatan dini atau
early warning system dan komunikasi yang baik selama dalam keadaan krisis. Peringatan dini
dapat dilakukan bilamana tanda-tanda kegiatan diamati atau dimonitor secara terus menerus,
baik oleh penjaga gunung api maupun dilakukan oleh masyarakat. Kesemuanya ini
memerlukan sosialisasi dan pelatihan berkala.
KESIMPULAN DAN SARAN
Tatar Sunda memiliki gunung api terbanyak di Nusantara. Karena kepadatan penduduk
yang sangat rapat, maka lebih dari separuh penduduk Tatar Sunda yang berjumlah 30 juta
orang berada dalam jangkauan dampak bahaya gunung api. Penduduk sudah beradaptasi
terhadap lingkungan gunung api tyersebut, baik yang menyangkut dampak negatif maupun
yang positif, seperti terbukti dari kegiatan pembudidayaan kesuburan tanah gunungapi dan
adanya kata-kata yang berkaitan dengan bahaya gunung api.
Sosialisasi merupakan bagian terpenting dari seluruh sistem ini. Dengan sosialisasi yang
baik, masyarakat akan memahami bahaya gunung api dan cara untuk menghindarinya.
Pemahaman ini dapat membangkitkan pula kemampuan masyarakat untuk memberdayakan
diri sendiri melalui organisasi swasembada.
Karena masyarakat sudah mempunyai daya adaptasi terhadap bahaya gunung api seperti
terlihat dari bahasa dan budayanya, maka sebaiknya materi sosialisasi dan sistem
kesiapsiagaan memasukkan pula unsur budaya yang hidup di kalangan penduduk gunung api
tersebut. Penyampaian sosialisasi dalam bahasa daerah yang difahami oleh penduduk
pedesaan akan meningkatkan pemahaman terhadap materi sosialisasi.***
-
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 9
REFERENSI
Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, 2000,
Pustaka Jaya, halaman 227-229 dan halaman 618-622
Sudradjat, Adjat, 2010, Didodoho Lahar, Lalakon Galunggung Bitu, Kiblat, 246 halaman
------------, 2010, Prahara Gunung Galunggung, Penerbit Galeripadi, 263 halaman
Van Bemmelen, R. W., 1949, The Geology of Indonesia, MartinusNijhoff, The Hague,
Netherlands, p 644
Van Hinloopen Labberton, 1921, Buku Paririmbon Pararathon Kerajaan Hindu Mataram