KI HAJAR DEWANTARA.docx
Click here to load reader
-
Upload
wahyu-marliyani -
Category
Documents
-
view
22 -
download
0
Transcript of KI HAJAR DEWANTARA.docx
KI HAJAR DEWANTARA ; PELETAK DASAR PENDIDIKAN NASIONAL
R.M. Soewardi Soerjaningrat dilahirkan di Yogyakarta pada hari kamis legi tanggal 2
Mei 1889 sebagai putera ke-4 dari pangeran suryaningrat, putra tertua dari Sri Paku Alam III.
Masa kanak-kanak dan remajanya dipengaruhi oleh sastera jawa, agama islam dan ajaran-ajaran
hindu purba. Pahlawan yang dikagumi dari epik mahabarata adalah yudistira (lambing
perdamaian dan cinta) dan sri kresna (inkarnasi wisnu yang penuh dengan kebijaksanaan).
R.M. soewardi Soerjaningrat sejak kecil wataknya independen, non-konformis dan
merakyat. Beliau senang bermain dengan anak-anak orang awam, dan sering tidur bersama
mereka dimasjid. Beliaupun tidak menyenangi adat taristrokratis “dhodhok sembah” ( jalan
berjongkok dan menyembah), dan dengan sengaja melanggar monopoli kraton sultan, bahwa
kain batik “parang-rusak” itu dilarang dipakai oleh orang awam.
Jiwa soewardi soerjaningrat sangat peka terhadap keadaan sekitar lingkungannya,
terutama mengenai kehidupan kerabat istana. Keadaan ekonomi yang sangat menyolok,
keterbatasan hak yang ada pada rakyat dan berbagai ketimpangan sosial lainnya, menimbulkan
sikap protes dalam hati Soewardi, dan kemudian terpupuk menjadi dasar sifatnya yang
kerakyatan dan revolusioner. Dalam perkembangan kepribadiannya selanjutnya, dikarenakan
pengaruh lingkungan dan pendidikannya, soewardi menjadi seseorang yang berjiwa nasional,
yang selalu tergelitik hatinya untuk mengadakan perubahan dalam peri kehidupan bangsanya.
Soewardi soerjaningrat yang berjiwa progresif dan agresif bersama-sama dengan Dr.
Mangoenkoesoemo dan Dr. Douwes Dekker, yang terkenal dengan “tiga serangkai”, pada tahun
1912 mendirikan indische partij (IP) dengan semboyan “ rawe-rawe rantas, malang-malang
putung,” beraksi untuk Indonesia merdeka dan berdaulat. Pertumbuhan jiwa soewardi menjadi
semakin jelas ketangkasannya di dalam menyerang fihak Belanda Kolonial.
Aktivitas politiknya dalam Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij memuncak
dalam kritik yang berwujud buku siaran “Als ik eens Nederlander was” (seandainya aku seorang
Belanda), yang merupakan reaksi terhadap rencana Gubernemen Belanda yang akan
mengadakan peringatan besar-besaran 100 tahun kemerdekaan negeri belanda di tanah jajahan
Indonesia pada tanggal 15 nopember 1913, sesudah dijajah Perancis di bawah Napoleon.
Di dalam tulisannya Soewardi Soejaningrat member tamparan yang hebat kepada
singkara murka penjajah. Tetapi caranya tidak kasar; tidak dengan maki-maki, senantiasa tetap
sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat ,jitu,indah susunannya, ada humornya, ada
sinisnya, tercampur ejekan yang pedas, yang dilemparkan kepada si penjajah, tetapi selanjutnya
juga memberi pandangan-pandangan, dapat direnungkan untuk fihak belanda, dan juga fihak
kita. Kesemuannya itu menuju kepengasingannya melalui Dekrit Gubernur Jenderal Belanda
tertanggal 18 Agustus 1913. Soewardi diasingkan ke Bangka, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo ke
Banda Neira, dan Dr. Dauwes Dekker alias Dr. Dani Dirdjo Setiabudhi ke Timur Kupang, namun
akhirnya ketiganya diperkenankan untuk pergi ke negeri Belanda (1913-1919).
A. LAHIRNYA TAMAN SISWA
Dalam seluruh perjuangan dan kehidupannya, tokoh Ki Hadjar Dewantara sebagai
pendiri Perguruan Tamansiswa tidak mungkin dipisahkan dari Tamansiswanya. Seolah-
olah jiwa dan perjuangan Ki Hadjar sudah menyatu dengan Tamansiswa ( Ki Suratman,
1985). Tamansiswa lahir ditandai dengan candrasengkala “ lawang sastra ngesti mulyo “
yang mengandung makna “ dengan ilmu pengetahuan (kebudayaan) mengusahakan
keilmuan”, yang mencatat tahun saka 1852 yang bertepatan dengan tahun Masehi 1922
( tanggal 3 juli 1922) dengan nama slinya “national pnderwijs instituut Taman Siawo”.
Pendirinya adalah Suwardi suryaningrat dan kawan-kawan, sebagai hasil musyawarah
sebuah kelompok saresehan “soso-kliwonan”, yang memperhatikan situasi dan nasib
bangsa Indonesia yang terjajah.
Secara khusus, Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan Tamansiswa sebagai” Badan
perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat, yang menggunakan pendidikan
dalam arti luas sebagai sarannya. Dengan demikian wajarlah kiranya bahwa perjuangan
Tamansiswa, juga tidak mungkin lepas dari permasalahan kebudayaan tersebut”.
B. PEMBERIAN GELAR DOCTOR HONORIS CAUSA
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. M. Sardjito, selaku promoter dalam
pemberian gelar Doctor honoris Causa dalam “ilmu kebudayaan” kepada Ki Hadjar
Dewantara, pada tanggal 19 Desember 1956 di Sitihinggil Yogyakarta, menyatakan Ki
Hadjar Dewantara dipandang sebagai perintis kemerdekaan nasional. Dan dalam diri Ki
Hadjar Dewantara, Senat Universitas Gadjah Mada menganggap menemukan perintis
hidup kebudayaan dalam arti luas isinya dan luas lingkungannya, terutama hidup
kebudayaan indonesia dan juga hidup kebudayaan umumnya.
C. PELETAK DASAR PENDIDIKAN NASIONAL
Presiden Soekarno dalam sambutannya (Jakarta 20 januari 1926), dalam buku
Karya Ki Hadjar Dewantara: bagian pertama Pendidikan, menegaskan Kita Kenal Ki
Hadjar Dewantara sebagai Tokoh Nasional, Tokoh Kemerdekaan dan Tokoh Pendidikan
Nasional, yang dengan keuletan dan ketabahan hati berjoang terus,”sepi ing pamrih rame
ing gawe….”karangan-karangan beliau adalah sangat luas dan mendalam, yang tidak saja
membangkitkan semangat perjoangan nasional sewaktu jaman penjajahan, tetapi juga
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan
genierasi yang akan datang.
Menteri pendidikan, pengetahuan dan kebudayaan, menteri pendidikan dasar dan
kebudayaan, prijono, dalam kata sambutannya (Jakarta, 1 juli 1961) dalam buku karya Ki
Hadjar Dewantara : bagian pertama pendidikan, menegaskan Ki Hadjar Dewantara
adalah seorang patriot paripurna yang perkataan-perkataannya, sikap hidupnya, tindak-
tanduknya, kesetiaan terhadap nusa dan bangsanya tidak pernah bertentangan satu sama
lain.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya-
upaya untuk memajukan perkembangan budipekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect), dan jasmani anak –anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan
alamnya dan masyarakatnya. Karena itulah pasal-pasal di bawah ini harus kita pentingkan
:
1. Segala syarat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan
(natuurlijkheid, realiteit)
2. Kodratnya keadaan tadi ada tersimpan dalam adat-istiadat masing-masing rakyat,
yang karenanya bergolong-golong merupakan kesatuan dengan sifat perikehidupan
sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari campurannya semua daya-upaya untuk
mendapat hidup tertib-damai.
3. Adat-istiadat, sebagai sifat daya-upaya akan tertib-damai itu, tiada terluput dari
pengaruh ‘jaman”dan “alam” ; karena itu tidak tetap , tetapi senantiasa berubah,
bentuk isi dan iramanya.
4. Akan mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa, perlulah kita mengetahui
jaman yang telah lalu, mengetahui menjelmanya jaman itu ke dalam jaman sekarang,
mengetahui jaman yang berlaku ini, lalu dapat insyaflah kita akan jaman yang akan
datang.
5. Pengaruh yang baru adalah terjadi dari bergaulnya bangsa yang satu dengan yang
lain, pergaulan mana pada sekarang mudah sekali, terbawa dari adanya perhubungan
modern. Haruslah kita awas, akan dapat memilih mana yang baik untuk menambah
kemuliaan hidup kita, mana yang akan merugikan pada kita, dengan selalu mengingat
bahwa semua kemajuan ilmu dan pengetahuan dan segala perikehidupan itu adalah
kemurahan Tuhan untuk segenap umat manusia di seluruh dunia, meskipun hidupnya
masing-masing menurut garis sendiri yang tetap.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan pula, bahwa pendidikan nasional ialah
pendidikan yang berdasarkan garis-hidup bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditunjukan
untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negeri
dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain
bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
1. Pendidikan budipekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa
kebangsaan menuju kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin, tidak saja syarat-
syarat yang sudah ada dan ternyata baik, melainkan juga syarat-syarat jaman baru yang
berfaedah dan sesuai dengan maksud dan tujuan kita.
2. Teristimewa haruslah kita memperhatikan pangkal kehidupan kita yang terus hidup
dalam kesenian, peradaban, syarat-syarat agama atau terdapat dalam dalam kitab-kitab
cerita (dongeng, mythen, legenden, babad dan lain-lain). Semua itu adalah “arsip
nasional”, dalam mana tersimpan beberapa kekayaan batin dari bangsa kita (geestelijke
warden). Dengan mengetahui segala hal itu niscayalah langkah kita untuk menuju pada
jaman baru akan berhasil tetap dan kekal, karena jaman baru kita jodohkan sebagai
‘mempelai’ dengan jaman yang lalu.
3. Berhubungan dengan apa yang tersebut di atas perlulah anak-anak kita dekatkan
hidupnya dengan perikehidupan rakyat, agar mereka tidak hanya memiliki ”pengetahuan”
saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi juga dapat “ mengalaminya “ sendiri, dan
kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya.
4. Karena itu seyogyalah kita mengutamakan cara “pondok system”, berdasarkan hidup
kekeluargaan, untuk mempersatukan pengajaran-pengetahuan dengan pengajaran
budipekerti, system mana dalam sejarah kebudayaan bangsa kita bukan barang asing.
Dahulu bernama “asrama”, kemudian dijaman islam menjelma jadi “pondok-pesantren”.
5. Pengajaran (onderwijs) ialah suatu bagian dari pendidikan. Pengajaran itu tidak lain ialah
pendidikan dengan memberi ilmu atau pengetahuan, serta juga memberi kecakapan
kepada anak-anak, yang kedua-duanya dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir
maupun batin. Pengajaran pengetahuan adalah sebagian dari pendidikan, yang pertama
dipergunakan untuk mendidikan pikiran; dan ini perlu sekali, tidak saja untuk memajukan
kecerdasan batin, namun pula untuk melancarkan hidup pada umumnya. Seyogyanya
pendidikan pikiran ini dibangun setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya dan seluas-
luasnya, agar anak-anak kelak dapat membangun perikehidupan lahir dan batin dengan
sebaik-baiknya.
6. Pendidikan (opvoeding) pada umumnya, yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-
anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu : menuntun segala kekuatan kodrat yang pada
anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
7. Pertama kali haruslah kita ingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan” di dalam
hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum
pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sbagai manusia, sebagai benda hidup,
teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.
8. Perlu menguasai diri dalam pendidikan budipekerti. Yang dinamakan “budipekerti” atau
“watak” atau “karakter” yaitu bulatnya jiwa manusia. Budipekerti, watak atau karakter,
itulah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu
menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi” itu berarti “fikiran-perasaan-kemauan”
dan “pekerti”itu artinya “tenaga”. Jadi “budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai
angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya “budi-pekerti” itu tiap-tiap
manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau
menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan
itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.
9. Dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan itu sifatnya tiga macam :
berdiri sendiri, tidak tergantung kepada orang lain dan dapat mengatur dirinya sendiri.
Beratlah kemerdeka-an itu! Bukan hanya tidak terperintah saja, akan tetapi harus juga
dapat menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupannya dengan tertib. Dalam hal ini
termasuklah juga mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdekan orang lain.
10. Pendidikan adalah usaha pembangunan, kata orang. Ini benar, tetapi menurut pikiran saya
kurang lengkap. Pendidikan yang dilakukan dengan keinsyafan, ditunjukan kearah
keselamatan dan kebahagiaan manusia, tidak hanya bersifat laku “pembangunan”, tetapi
sering merupakan “perjuangan” pula. Pendidikan berarti memelihara hidup-tumbuh kea
rah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin.
Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar
mempertinggi derajat kemanusiaan.
11. Di dalam hidupnya anak-anak adalah tiga tempat-pergaulan yang menjadi pusat
pendidikan (tri pusat pendidikan) yang amat penting baginya, yaitu : alam-keluarga,
alam-perguruan dan alam pergerakan pemuda (masyarakat).
12. Tri nga (ngerti, ngrasa, nglakoni atau mengerti, merasa, melakukan).
13. Tri pantangan (jangan menyalahkan wewenang atau kekuasaan, jangan melakukan
manipulasi di bidang keuangan, jangan melanggar kesusilaan).
14. “amongsysteem” (system among) yaitu : menyokong kodrat alamnya anak-anak yang kita
didik, agar dapat mengembangkanhidup lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-
sendiri. Kata among berasal dari bahasa jawa mempunyai arti seseorang yang tugasnya
“ngemong” atau ”momong” yang jiwanya penuh pengabdian. System among ini
merupakan sebuah system yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua dasar :
a. Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir
dan batin anak, sehingga dapat hidup mereka (berdiri sendiri).
b. Kodrat alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan
sebaik-baiknya.
Ki Hadjar Dewantara menjadikan “Tutwuri Handayani” sebagai semboyannya Sistem
among. Tutwuri handayani, tidak lain berarti pengakuan terhadap otonomi individu untuk
berkembang, namun tidak terlepas dari dialog atau interaksi dari manusia lain termasuk
pendidikan.
Semboyan “Tutwuri Handayani” yang dikumandangakan oleh Ki Hadjar
Dewantara mendapat tanggapan yang positif dari RMP. Sosrokartono (kakak RA.
Kartini), seorang filsuf dan ahli bahasa, dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu
“ing madya mangun karsa” (di tengah membangkitkan kehendak, memberikan motivasi)
dan “ing ngarsa sung tuladha” (di depan memberi contoh).
15. “Azas Tri-kon” yang dikemukakan Ki Hadjar, yaitu :
a. “Kontinuitet”, yang berarti bahwa garis-hidup kita di janman sekarang harus harus
merupakan “lanjutan, terusan” dari hidup kita di jaman yang silam, jangan “ulangan”,
ataupun “tiruan” hidup bangsa lain;
b. “konvergensi”, dalam arti keharusan untuk menghindari “hidup menyendiri” (isolasi)
dan untuk menuju kearah pertemuan dengan hidupnya bangsa-bangsa lain sedunia:
c. “konsentrisitet” , yang berarti bahwa sesudah kita “bersatu” dengan bangsa-bangsa
lain sedunia, janganlah kita kehilangan “kepribadian” kita sendiri; sungguhpun sudah
bertitik pusat. Namun di dalam lingkaran- lingkaran yang “konsentrasi” itu, kita tetap
masih mempunyai sirkel sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, Ki Hadjar. 1956. Masalah Kebudayaan. Kenang-kenangan. Promosi Doctor Honoris
Causa
Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta : Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM.
-------------------------. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara : Bagian Pertama Pendidikan.
Yogyakarta : MLPTS.
Suratman, Ki. 1992.”Dasar-Dasar Konsepsi Ajaran Ki Hadjar Dewantara”. 70 Tahun
Tamansiswa.
Yogyakarta : MLPTS.