Ki Hadjar Dewantoro
-
Upload
muhammad-zuhair-zahid -
Category
Documents
-
view
1.140 -
download
3
Transcript of Ki Hadjar Dewantoro
BAB I
KI HADJAR DEWANTORO, SEKILAS RIWAYAT HIDUP
Ki hadjar Dewantara lahir dari kalangan bangsawan elit Yogyakarta. Pada
masa kecil ia dianugrahi nama Raden Mas (R.M.) Soewardi Soerjaningrat. Garis
kebangsawanan ia peroleh dari ayahnya, Pangeran Soerjaningrat yang merupakan
putra Paku Alam III. Ia dilahirkan pada hari Kamis, 2 Mei 1889 sebagai putra
keempat Pangeran Soerjaningrat. Kelak, tanggal kelahirannya ini (2 Mei) akan
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Setamat dari Europesche Lagere School (Sekolah Dasar Belanda), Soewardi
meneruskan pendidikannya ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Yogyakarta. Pada
tahun 1905 Ki Hadjar Dewantara bersekolah di Sekolah Dokter Boemi Poetera
(STOVIA). Dua pendidikan lanjutannya ini –Kweekscool dan STOVIA—tidak
dapat diselesaikan olehnya.
Pasca gagal berkiprah dalam dunia akademik, beliau mulai meniti karir di
bidang jurnalistik. Ia pernah menjadi pembantu harian di surat kabar “Sedyo
Tomo” dan “Midden Java”, menjadi redaksi harian “Kaoem Moeda”, dan masih
banyak yang lain. Di dunia jurnalistik inilah, ketika menjadi staf redaksi harian
“De Express”, beliau banyak bersinggungan dan bertukarfikiran dengan E.F.E.
Douwes Dekker, dan mulai terjun dalam karir politik.
Sangat tidak mungkin melacak kiprah politik Ki Hadjar Dewantara tanpa
menyinggung Douwess Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Ketiga tokoh ini
sering diasosiakan sebagai tokoh “Tiga Serangkai” walaupun sebenarnya –
mengutip Takashi Shiraisi- Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Soerjaningrat
adalah dua pribadi yang berbeda dalam cara menghadapi kolonialisme.
Douwess Dekker mendirikan Indische Partij (IP) sebagai partai politik
pertama untuk warga Hindia Belanda. Beliaulah yang memperkenalkan strategi
politik modern kepada warga Hindia Belanda. Bersama IP, DD
mentransformasikan gagasan-gagasannya tentang pergerakan politik via partai.
DD pula yang memperkenalkan posisi jurnalisme anti-Pemerintah ketika
memimpin harian De Express.
Komite Pusat IP dipimpin oleh Douwess Dekker sebagai ketua dan Tjipto
Mangoenkoesoemo sebagai wakil. TM sendiri dikenal sebagai seorang dokter
yang sangat radikal dalam hal kemanusaiaan. Berulangkali ia berbuat hal
kontroversial demi menunjukkan bagaimana seharusnya warga Hindia Belanda
melawan kolonialisme. Suatu waktu ia mendapat bintang jasa Ridderkuis of the
Oranje-Nassau Order oleh pemerintah Belanda karena jasanya memerangi wabah
pes tahun 1912 di Malang dan juga mengangkat seorang bayi yang menjadi yatim
piatu pada wabah itu, sebagai anaknya. Dan –yang cukup kontroversial- ia
mengendarai kereta kudanya di halaman istana sultan hanya karena peraturan
yang melarang rakyat melintasi daerah tersebut dan hanya sultan dan putri istana
yang diperbolehkan berjalan di sana.
Di samping berbagai kontroversi yang ia munculkan, TM tampil sebagai
seorang revolusioner sekaligus evolusioner. Sebagai seorang evolusioner, ia
mempercayai konsep evolusi kebangkitan yang merupakan konsep filosofis Jawa.
Konsep yang ia percayai, bahwa etika yang menjadi dasar hidup orang Jawa
semestinya mampu menjadi sumber moral yang memunculkan optimisme akan
datangnya suatu zaman keemasan –sebuah konsep yang setara dengan konsep
“Ratu Adil”. Sementara sebagai seorang revolusioner, TM mendambakan adanya
transformasi revolusioner peradaban orang Jawa yang feodal kepada peradaban
Hindia (Indonesia) yang modern.
Selama dipimpin DD dan TM, IP melaksanakan kegiatan politik terbuka,
diantaranya dengan mengadakan rapat raksasa dan menggunakan De Express
sebagai media propaganda. Dalam anggaran dasar IP yang antara lain berbunyi,
“tujuan Indiche Partij ialah untuk membangun patriotisme semua ‘indiers’
terhadap tanah air, yang telah member lapangan hidup kepada mereka, agar
mereka mendapat dorongan untuk bekerjasama atas dasar persamaan
ketatanegaraan untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan
kehidupan rakyat yang merdeka”, menunjukkan betapa organisasi ini memang
benar-benar radikal dalam hal pergerakan kemerdekaan nasional. Bahasanya yang
berani dalam mengritik pemerintah Belanda membuat Belanda menolak
permintaan DD agar IP mendapat pengakuan legal resmi sebagai organisasi resmi.
Gubernur Jendral Belanda dengan jelas menunjukkan sikap bahwa pemerintah
tidak akan mengakui partai subversif yang bermaksud memperjuangkan
kemerdekaan Hindia Belanda semacam IP.
Soewardi bergabung dengan De Express pada tahun 1912 sebagai seorang
editor. Kedekatannya dengan DD membuatnya menjadi seorang radikal yang
brilian. Ia muncul dan diperhitungkan dalam panggung jurnalistik saat ia bersama
TM menerbitkan artikelnya Als Ik Eens Nederlander Was (Andai Aku Seorang
Belanda) melalui Comite Boemiputra pada tahun 1913. Artikel ini adalah artikel
terradikal yang mengritik kontradiksi rencana perayaan besar-besaran peringatan
100 tahun kemerdekaan Belanda dari jajahan Prancis, dimana perayaan tersebut
akan diselenggarakan di Hindia Belanda. Sebuah kontradiksi, karena Pemerintah
Belanda menyelenggarakan perayaan kemerdekaan di sebuah negeri yang masih
ia jajah. Kritik ini tentu saja membuat pejabat pemerintah kolonial marah. Kalimat
dalam artikel tersebut yang mengritik keras Pemerintah kolonial antara lain:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu.”
“Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina
mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama
ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi
suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun."
Pada awal kemunculan artikel ini, pemerintah kolonial tidak lantas
mengambil kebijakan mengasingkan ketiga serangkai ini. Masalah makin
membesar ketika artikel Soewardi ini akhirnya diterjemahkan dalam bahasa
Melayu, yang berarti masyarakat yang tidak melek Bahasa Belanda pun dapat
membaca dan terpengaruh artikel ini.
Artikel “Andai Aku Seorang Belanda” dianggap Takashi Shiraisi sebagai
sebuah tulisan yang “melahirkan orang Indonesia”. Radikalisme yang dimulai dari
judul artikel tersebut terletak pada daya fantasi yang seolah tidak mampu
diungkapkan dengan kata-kata. Dengan memanfaatkan berbagai hal yang belum
dapat diungkapkan, Soewardi mempermasalahkan asumsi dasar kolonialisme
Belanda dan feodalisme Jawa yang merupakan dasar tata sosial-politik Hindia
Belanda. Soewardi dengan judul ini membuka horizon baru bagi warga pribumi
untuk tidak lagi membatasi diri dalam kungkungan tata sosial serta sistem yang
ada.
Pasca penerjemahan artikel tersebut dalam Bahasa Melayu, pemerintah
kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa
proses pengadilan pada Soewardi, berupa hukuman internering (hukum buang)
yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi
seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangannya
diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang membela
Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk
memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga
terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki
dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal
daripada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak
Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu
dipergunakan Soewardi untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga ia berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Di negeri Belanda, Suwardi juga bekerja sebagai jurnalis guru Taman
Kanak-Kanak (Frobel School) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
menabung untuk pulang ke Indonesia. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan
gagasan Friedrich Wilhelm August Frobel –seorang tokoh pendidikan asal Jerman
yang memiliki gagasan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah mencapai integritas
diri dengan alam atau kosmos ini, sesuai dengan kehendak Tuhan penciptanya-
yang pemikirannya sangat mempengaruhi Soewardi, dibuktikan dengan beberapa
tulisannya yang secara khusus membahas tentang pandangan pendidikan Frobel.
Di bawah ini adalah beberapa karya tulis Soewardi (Ki Hadjar):
1. Kemerdekaan Indonesia;
2. Andai Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Een Nederlander Was);
3. Satu Buat Semua, Tetapi Juga Semua Buat Satu (Een voor Allen, maar ook
Allen voor Een);
4. Peringatan dan Perampasan Kemerdekaan (Vrijheidsherdeking en
Vrijheisberooving); dan
5. Kembali ke Medan Front (Terug Naar Het Front).
Pada tahun 1919 Suwardi dapat kembali ke Indonesia dan setelah itu
berusaha mencurahkan perhatiannya di dunia pendidikan sebagai alat untuk
meraih kemerdekaan Indonesia. Pada 3 Juli 1922 ia mendirikan sebuah perguruan
bercorak nasional yang dapat dikatakan sebagai paduan pendidikan gaya Eropa
yang telah ia pelajari selama di Belanda dan seni-budaya Jawa tradisional yang
merupakan latar sosialnya sejak kecil. Perguruan tersebut diberi nama Nationaal
Onderwijjs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Taman Siswa).
Ketika genap berusia 40 (empat puluh) tahun menurut perhitungan tahun
Caka, Soewardi resmi melepas gelar Raden Mas Suwardi Suryaningrat dan
mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara tepat pada tanggal 23 Februari
1928. Pergantian nama ini bertujuan agar ia dapat lebih dekat dengan rakyat dan
menjadi bagian dari mereka.
Setelah Taman Siswa berkembang di berbagai daerah, Ki Hadjar kemudian
mewakafkan seluruh perguruan Taman Siswa kepada Persatuan Taman Siswa
pada 7 Agustus 1930. Perkembangan Taman Siswa yang begitu pesat dan
mendapat apresiasi dari rakyat banyak tentu membuat gelisah pemerintah Hindia
Belanda. Pemerintah Belanda mengantisipasi perkembangan taman siswa dengan
menerbitkan ordonansi sekolah liar (Wilde Schoolen Ordonantie) yang melarang
sekolah swasta beroperasi tanpa izin dari pemerintah yang berkuasa. Ditentukan
bahwa sekolah-sekolah swasta harus menggunakan kurikulum dari pemerintah
dan guru yang mengajar di dalamnya harus merupakan tamatan dari sekolah guru
pemerintah.
Taman Siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong (guru) dari
sekolah guru Taman Siswa sendiri sehingga menurut ordonansi tersebut Taman
Siswa harus ditutup. Namun Ki Hadjar dan Taman Siswa tidak tinggal diam,
perlawanan dilakukan dengan menjalankan Taman Siswa seperti biasa, tidak
terpengaruh oleh ordonansi tersebut. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh
mengajar harus diganti oleh pamong lain. Semboyan ”ditangkap satu tumbuh
seribu” pun muncul sebagai penyemangat perjuangan Taman Siswa.
Ki Hadjar akhirnya mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda di
Bogor yang berisi pernyataan bahwa ia akan melawan ordonansi tersebut sekuat-
kuatnya dan selama-lamanya dengan cara diam (Lijdelik Verset), mirip dengan
styagraha Mahatma Gandhi di India. Upaya-upaya Ki Hajar tersebut akhirnya
membuahkan hasil. Pada 1934 ordonansi tersebut dicabut karena Taman Siswa
mendapat dukungan dari gerakan politik nasional, termasuk Boedi Oetomo untuk
terus melawan ordonansi yang merugikan pendidikan pro-rakyat tersebut.
Di bawah pendudukan Jepang, pada 1943 ketika Jepang membentuk Pusat
Tenaga Rakyat (Putera), Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pemimpin
bersama Soekarno, Hatta, dan K. H. Mas Mansyur. Setelah proklamasi
kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan (PP dan K) Indonesia yang pertama.
Secara resmi dunia akademik pun memberikan penghormatan kepada Ki
Hadjar dengan memberikan gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gadjah
Mada (UGM) pada 1957. Pada pidato sambutan Bung Karno (waktu itu Presiden
R. I.) pada saat upacara pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas
Gaja Mada, antara lain menyatakan:
“Ki Hadjar Dewantara adalah putra Indonesia yang besar. Bahkan bagi
saya pribadi, saya selelu menganggap Ki Hadjar Dewantara sebagai
saudara tua saya, sebagai saudara Kangmas, bahkan seperti diucapkan
Sdr. Semaun pula sebagai guru saya”.
Dua tahun setelah itu, tepatnya pada 26 April 1959 Ki Hadjar Dewantara
meninggal dunia. Sebelum wafat ia pernah berkata pada anaknya, Bambang
Sukowati :
“Apapun yang dikatakan orang tentang diriku (kau) wajib menerimanya.
Namun, kalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki
Hadjar seorang nasionalis, radikalis, sosialis, humanis, tradisionalis
ataupun demokrat? Maka katakanlah, aku hanya orang Indonesia biasa
yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia.”
Kini kita mengenangnya sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Hari lahirnya
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Namanya juga diabadikan sebagai
salah satu nama kapal perang Indonesia, K.R.I. Ki Hajar Dewantara. Potret
dirinya pernah diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah. Semboyannya
yang terkenal ialah tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung
tuladha (di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang untuk
berprakarsa, di depan memberi teladan). Bagian depan dari semboyannya, tut wuri
handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional.
BAB II
IDEOLOGI PENDIDIKAN DUNIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PENDIDIKAN DI INDONESIA
Ki Hadjar Dewantara melahirkan ratusan karya yang dapat kita jadikan
sebagai sumber penelusuran pemikirannya. Karyanya yang tersebar sangat luas
saat ini adalah Menuju Manusia Merdeka yang merupakan kumpulan artikel
beliau yang dimuat dadlam berbagai surat kabr, baik sebelum maupun sesudah
kemerdekaan.
Ada hal yang dapat kita jadikan panutan dari sosok Ki Hadjar Dewantara
ini, orisinalitas dan progresivitas pemikirannya. Orisinalitas yang lahir dari
wawasannya yang luas tentang bidang pendidikan, dan --tentu-- tentang
kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Secara kreatif berbagai wawasan
dan pengetahuan yang ia peroleh ketika belajar baik di Belanda maupun di dalam
negeri diolah oleh Ki Hadjar untuk menghasilkan pemikiran yang khas dan
orisinal. Ketekunannya menyerap berbagai informasi baru, isu-isu aktual yang
berkembang dalam dunia pendidikan membuat Ki Hadjar mampu bersikap luwes
dan terbuka dengan berbagai pendapat yang bertentangan dengan konsep
pendidikan beliau.
Keluwesan berfikir, fleksibilitas, toleransi serta keterbukaan pikiran yang
disertai dengan kerangka orientasi futuristik membuat pemikiran beliau sebagai
pemikiran yang progresif dan tetap relevan hingga sekarang. Dan yang lebih
menarik, seluruh teori yang ia pelajari tidak membuatnya terjebak dalam
fanatisme akan suatu teori. Ia menggunakan teori dan pengetahuan yang ia punya
untuk memandang permasalahan pendidikan di Indonesia dari berbagai sisi dan
lantas mencari pemecahan yang disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural
masyarakat di negeri ini.
Ini tentunya merupakan sebuah refleksi yang membuat kita tersadar, betapa
kita sudah dicekoki dengan berbagai teori pendidikan dan pengajaran yang lahir di
Barat. Kita kenal berbagai istilah Active Learning, Achievement Motivation and
Training, Constructivism Theory dan berbagai istilah lain yang akhir-akhir ini
“seolah” dipaksakan untuk diterapkan dalam pembelajaran di negeri ini. Tidak
hanya di dalam proses pembelajaran, dalam ranah kebijakan pun kita sering
melupakan identitas bangsa kita dan menggunakan filsafat dan produk-produk
pemikiran asing.
Ada baiknya sebelum menelaah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, kita
terlebih dahulu megetahui beberapa ideologi pendidikan yang dominan di dunia.
Penulis menggunakan pemetaan yang diperkenalkan oleh Henry Giroux dan
Aronowitz yang juga dikutip oleh Mansour Fakih dalam pengantar buku Ideologi
Pendidikan karya William F. O’neill. Henry Giroux dan Aronowitz membagi
ideologi pendidikan menjadi tiga aliran: (1) konservatif, (2) liberal, dan (3) kritis.
A. Paradigma Konservatif
Bagi penganut paradigma ini, ketidaksederajatan masyarakat merupakan
suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang tak mungkin dihindari, sebuah
ketentuan sejarah dan bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukan
suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membawa
kesengsaraan. Menurut ‘Oneill, paradigma ini mempunyai ciri umum berusaha
melestarikan berbagai perilaku, lembaga, pola, tradisi dan budaya sosial yang
sudah mapan.
Pada awalnya, konservatisme meyakini bahwa Tuhanlah yang tahu makna
situasi sosial yang ada pada masyarakat, sementara manusia tidak memiliki kuasa
untuk melakukan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Sementara
pada bentuknya yang baru, konservatisme cenderung menyalahkan subyek. Bagi
konservatisme kontemporer, orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan tahanan
yang dipenjara menjadi demikian akibat kesalahan mereka sendiri. Golongan ini
sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik
dan kontradiksi.
B. Paradigma Liberal
Pandangan ini berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di
masyarakat, namun bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Sungguhpun demikian sebenarnya kaum liberal
selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan politik dan
ekonomi dan politik di luar pendidikan. Umumnya langkah yang digunakan dalam
memecahkan masalah pendidikan adalah pembangunan kelas dan fasilitas baru,
memodernkan sekolah dengan penambahan komputer dan laboratorium, dan
penyehatan rasio murid-guru. Selain itu, juga digelontorkan berbagai investasi
untuk meningkatkan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien seperti studi
kelompok, metode eksperimental, bahkan CBSA yang kita kenal sebagai
kebijakan pendidikan orde baru. Berbagai usaha pemecahan masalah tersebut
tercerabut dan terisolasi dari sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender,
dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
Kaum liberal dan konservatif mempunyai persamaan, yaitu sama-sama
berpendirian bahwa pendidikan bersifat a-politik dan target utama pendidikan
adalah excellence. Bagi kaum liberal, pendidikan dan masalah masyarakat adalah
dua hal berbeda, tidak ada kaitan antara pendidikan dalam struktur kelas dan
diskriminasi gender, apalagi dominasi politik. Bahkan bagi sebuah aliran liberal
yang bernama ‘structural functionalism’, pendidikan dilihat sebagai upaya
menstabilkan norma dan nilai dalam masyarakat. Pendidikan dimaksudkan
sebagai media sosialisasi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar
masyarakat luas berfungsi secara baik.
Paradigma inilah yang kini dipakai di negara kita dan mendominasi segenap
pemikiran tentang pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan
nonformal seperti pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah filsafat liberalisme,
yaitu sebuah pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan,
perlindungan hak dan kebebasan, serta identifikasi problem dan upaya perubahan
sosial secara instrumental demi menjaga stabilitas jangka panjang.
Aliran ini jelas dipengaruhi oleh positivisme, sebuah paradigma sosial yang
meminjam metode dan teknik sains alam dalam memahami realitas, dengan
mengambil kepercayaan bahwa dalam dunia ini terdapat universalisme dan
generalisasi yang dapat didekati melalui metode determinasi, fixed law dan
kumpulan teori.
Pengaruh liberalisme ini terlihat dalam pendidikan yang mengutamakan
prestasi melalui persaingan antar murid, perangkingan adalah contohnya.
Pengaruh lain terlihat dalam aspek andragogi, seperti training management,
kewiraswastaan, AMT dan lain sebagainya.
C. Paradigma Kritis
Paradigma ini memandang pendidikan sebagai arena perjuangan politik.
Jika bagi konservativis pendidikan adalah untuk menjaga status quo, dan bagi
liberal digunakan sebagai ajang melakukan perubahan moderat, maka bagi aliran
kritis perubahan diharapkan terjadi pada struktur secara fundamental dalam politik
ekonomi masyarakat di mana pendidikan itu berada. Sebuah pandangan yang jelas
berbeda dengan paradigma liberal dan konservatif.
Urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap ‘the dominant
ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah
menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan
serta melakukan dekonstruksi dan advoksasi menuju sistem sosial yang lebih adil.
Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai
pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem
sosial baru yang lebih adil. Singkatnya, bagi paradigma ini pendidikan berfungsi
untuk memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena
sistem dan struktur yang tidak adil.
D. Berkenalan dengan Neoliberalisme Pendidikan di Indonesia
Era globalisasi menciptakan sebuah tatanan dunia yang tanpa bata
(bordeless). Konon pada mulanya, globalisasi dimunculkan sebagai upaya
perusahaan multinasional seperti Coca-Cola, Ford, dan McDonald’s untuk dapat
memasarkan produknya ke seluruh pelosok dunia, tidak sekadar memenuhi
kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika, tapi berusaha menciptakan
segmentasi baru dengan sasaran masyarakat di dunia lain sebagai konsumen-
konsumen baru.
Kalu kita mau berfikir kritis, globalisasi sebenarnya adalah sebuah bentuk
penjajahan gaya baru. Pandangan ini umumnya tidak disadari oleh mayoritas
masyarakat, karena globalisasi dipandang sebagai sebuah keniscayaan akibat
perkembangan teknologi dan akses informasi yang akhirnya menciptakan sebuah
dunia yang tanpa batas teritorial.
Di satu sisi globalisasi membawa dampak perubahan yang positif karena
ilmu pengetahuan melalui teknologi informasi dan komunikasi terkini dapat
diakses dengan cepat oleh siswa, dosen, peneliti di negara-negara berkembang
seperti Indonesia via televisi dan internet. Namun di sisi lain globalisasi dengan
pasar bebasnya telah membuat orang-orang di negara berkembang cenderung
hanya sebagai konsumen yang tidak berdaya, produsen yang ditindas para
pemodal yang lebih besar, karena peran negara telah dipreteli oleh pasar. Negara
sekadar menjadi alat bagi kaum kapitalis-borjuis untuk meneguhkan kekuatan
ekonomi mereka, membangun imperium kekuasaan baru, imperium kapitalisme
global.
Nalar neo-imperialisme inilah yang akhirnya melahirkan sebuah pandangan
yang disebut neoliberalisme. Pandangan yang muncul berupa pembaruan sistem
berfikir liberalis dengan berbagai modifikasi yang menjawab krtitik yang muncul
dari filsafat post-positivistik. Nalar neoliberalisme ini pun pada akhirnya mulai
mencengkeram dunia pendidikan. Pendidikan sendiri merupakan sebuah media
yang paling strategis untuk membentuk tatanan sosial baru, menciptakan berbagai
tata sosial baru melalui transformasi intelektual dan sosial. Praktek-praktek yang
muncul dan dapat diidentifikasi sebagai neoliberalisme pendidikan anatara lain:
1. Munculnya upaya untuk melepas tanggung jawab pemerintah dalam
mendanai pendidikan. Negara diupayakan lepas dari kewajibannya
menyediakan pendidikan untuk warga negaranya. Kewajiban pemerintah
yang sekaligus hak pribadi warganya perlahan-lahan mulai dimanipulasi
dengan berbagai cara. Contoh terakhir upaya tersebut adalah memasukkan
gaji guru dalam anggaran pendidikan, sehingga kuota 20 % minimal APBN
sektor pendidikan yang harus dicukupi pemerintah dapat terpenuhi. Jika ini
terus terjadi, maka sektor pendidikan akan menjadi santapan empuk bagi
kalangan pemodal untuk menjadikannya bagian dari bisnis mereka. Dalih
yang dipakai pemerintah dalam upaya pelepasan kewajiban ini adalah
“pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab masyarakat bersama”;
2. Menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri. Dalam hal ini, sekolah,
kampus dan semua institusi pendidikan dianggap bagaikan sebuah pabrik, di
mana ilmu pengetahuan dijual, siapa yang dapat membayar lebih banyak
maka ia yang akan mendapatkan ilmu pengetahuan lebih banyak. Sekolah dan
kampus dikelola dengan gaya perusahaan dengan banyak pertimbangan
ekonomis, seperti efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan lainnya. Nalar ini
juga menjadikan institusi pendidikan adalah sarana untuk mengeruk dan
memupuk untung materi, jadi tujuan utamanya bukanlah proses pemanusiaan,
pemerdekaan, pengembangan ilmu pengetahuan, namun sekadar dapat
berjalan sebagaimana rutinitas industri yang menerima input, kemudian
mengolahnya, dan mengeluarkan produk yang memiliki nilai tambah dan
produktivitas lebih.
3. Dunia pendidikan sekadar menjadi subsistem dari tatanan ekonomi neoliberal.
Pendidikan dijadikan sebagai sebuah alat injeksi doktrin-doktrin neoliberal.
Mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup
ala kaum neolib, diarahkan pembangunan sosial-budayanya meniru cara
kaum borjuis-kapitalis, dan ikut dalam pandangan dan gaya hidup kaum
borjuis-kapitalis. Pendidikan berupaya membekali seiswa dengan kompetensi
yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri. Pendidikan akhirnya tunduk
pada kemauan pasar, dan hanya ditujukan sebagai lembaga pensuplai tenaga
kerja untuk dunia industri. Pendidikan tidak lagi ideal. Konsep pendidikan
sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan
peradaban manusia dihapus dan diganti dengan konsep yang mengikuti jalan
peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-
puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka
kendalikan.
E. Paradigma Neoliberalisme dalam Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan
Sungguh memalukan, kecenderungan neoliberalisme pendidikan ternyata
justru dilegitimasi dan dikuatkan oleh beberapa kebijakan pemerintah, yang paling
baru adalah Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(BHP). Beberapa klausul dalam UU BHP yang relatif dapat dikatakan sebagai
legitimasi neoliberalisme pendidikan antara lain dan terutama adalah dalam
pendanaan. Ada beberapa poin yang menunjukkan indikasi tersebut:
Pasal 40 ayat (2):
“Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Pasal 41 ayat (1):
“Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD
dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional,
biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta
didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai
Standar Nasional Pendidikan”;
Pasal 41 ayat (3):
“Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya
pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan
pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal
untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”,
Pasal 41 ayat (4):
”Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada
BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah
berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar
Nasional Pendidikan”.
Pasal 41 ayat (5):
“Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh
biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP
yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar
pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”,
Pasal 41 ayat (6):
“Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling
sedikit 1/2 (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar
pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”.
Seluruh poin yang bercetak tebal menunjukkan betapa pemerintah ingin
melepaskan tanggung jawabnya untuk mencerdaskan rakyat. Karena standar yang
diambil pemerintah adalah standar minimal yang tentu saja bisa dimaknai
sebagai standar terendah pendidikan yang harus ditanggung pemerintah. Dalam
ayat (5) dan ayat (6) pasal 41, terdapat kata-kata “Pemerintah bersama-sama
dengan BHPP”, sehingga dengan mengambil kasus Universitas Indonesia (UI),
pada ayat (5) “pemerintah bersama-sama dengan UI menanggung seluruh biaya
investasi, beasiswa, ..”, dan ayat (6) menjadi, “pemerintah bersama-sama dengan
UI menanggung paling sedikit ½ biaya operasional…”. Lantas darimanakah UI
dan BHPP lain memiliki dana untuk mencukupi tanggungan tersebut kalau bukan
dengan menarik SPP dari mahasiswanya?
Pasal 41 ayat (10):
“Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan
dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”
Apakah hibah bersifat wajib? Bukankah hibah hanya bersifat sumbangan?.
Pasal 44 ayat (1) tentang pengaturan lembaga pendidikan swasta:
“Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP Penyelenggara, dalam
menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar, untuk biaya
operasional dan beasiswa, serta bantuan biaya investasi dan bantuan biaya
pendidikan bagi peserta didik sesuai dengan standar pelayanan minimal
untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”.
Tidak ada ketentuan dalam pasal ini, berapa persen pemerintah wajib
menanggung dana. Nampak sekali apologi yang ditampilkan pemerintah dalam
pasal ini menunjukkan ketidakseriusan menggarap pendidikan.
Pasal 40 ayat (5):
“Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan
dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan”
Pasal 65 ayat (3):
“Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
memperoleh alokasi dana pendidikan dengan mekanisme pendanaan
yang tetap paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan, dan selanjutnya memperoleh alokasi dana
pendidikan sesuai dengan Pasal 40 ayat (5)”
Sangat mudah dimengerti bahwa kewajiban pemerintah untuk mensubsidi
badan-badan hukum pendidikan hanya 4 tahun (untuk yayasan 6 tahun).
Selebihnya hanyalah hibah yang sifatnya tidak wajib.
Pun pada pasal 46 ayat (1) dinyatakan,
“Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga
Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang
mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari
jumlah keseluruhan peserta didik yang baru”.
Kata “dan” membuat 20 % kuota tersebut tidak jelas berapa pembagian
untuk anak yang memiliki potensi akademik dan anak yang kurang mampu.
Disamping itu, kriteria yang dimaksud di atas multi-intrepretasi sehingga mudah
dimanipulasi.
Ada lagi hal yang menggelikan dalam Undang-Undang ini, bahwa
pengelolaan pendidikan bagaikan pengelolaan pabrik dengan prinsip manajemen
perusahaan yang akhirnya memunculkan budaya perusahaan.
Pada pasal 4 ayat (1):
“Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan
didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan
utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari
kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke
dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas
dan/atau mutu layanan pendidikan”.
Ketentuan ini tentu aneh, bagaimana ditentukan prinsipnya nirlaba tapi
ternyata terdapat sisa hasil usaha? Hal ini diteguhkan dalam :
Pasal 42 ayat (1):
”Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi
dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio”
Dalam pasal 57 dinyatakan bahwa BHP dibubarkan oleh putusan pengadilan
apabila –dalam point (b) dan (c)- dinyatakan pailit dan/atau asetnya tidak cukup
untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut.
Pada pasal 58 ayat (1) diteruskan dengan,
“Pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib diikuti
dengan likuidasi”
Menjadi aneh juga bahwa institusi pendidikan harus kena pajak, padahal
mestinya institusi pendidikan dan kesehatan adalah ranah yang mendapatkan
keringanan untuk tidak dikenakan pajak seperti pasal 38 ayat (1), (2), (4), pasal 43
ayat (4), dan pasal 45 ayat (3), karena memang merupakan tugas mulai dalam
memajukan peradaban bangsa dan memanusiakan manusia.
Kita tentu tertawa melihat UU ini. Bagaimana mungkin sebuah lembaga
pendidikan dinyatakan pailit dan bahkan terkena likuidasi?
Konstitusi UUD ’45 sudah mengamanatkan bahwa negara mempunyai
tanggung jawab dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa”, Pasal 31 ayat (1) UUD
1945 dengan jelas menyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”, dan ayat (2) berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sebuah kontradiksi
muncul ketika pasal 31 tersebut dihubungkan UU No. 9/2009 tentang BHP,
bahwa pasal 41 hanya menanggung pendidikan dasar dari BHPP dan BHPD,
dengan memandang sebelah mata pihak penyelenggara pendidikan dari kalangan
swasta. Dan jika kita perhatikan berbagai istilah yang muncul dalam UU tersebut,
terlihat dengan jelas betapa istilah-istilah ekonomi digunakan dalam perundang-
undangan yang mengatur tentang pendidikan, seperti pailit, deviden, portofolio,
investasi, sisa hasil usaha, pajak, dan lainnya.
Sedikitnya ada tiga buah akibat yang disebabkan oleh UU ini khususnya dan
neoliberalisasi pendidikan umumnya:
1. Dengan mencabut subsidi bagi kampus negri, akan berakibat semakin
mahalnya biaya pendidikan yang mesti ditanggung masyarakat luas, terutama
dari kalangan menengah ke bawah. Pendidikan hanya akan mampu dijangkau
kaum menengah ke atas. Yang terjadi –sebagaimana istilah Marx- adalah
pelanggengan kelas. Kelas menengah ke bawah tidak akan mampu
melakukan transformasi diri dan mobilitas vertikal untuk dapat masuk ke
kelas menengah dengan menggunakan pendidikan. Dan silahkan saksikan
bahwa bagi kaum menengah ke bawah, disediakan sekolah SMK, sebuah
lembaga pendidikan yang menyiapkan SDM siap kerja. Sangat naif ketika
anak-anak kaum miskin dididik bukan untuk merubah nasib kelas sosial
mereka, namun –sekali lagi- hanya diproyeksikan sebagai pekerja siap pakai,
yang tentu saja akan menghamba pada kaum kapital;
2. Jika kita tilik dari sisi sosio-kultural bangsa ini, korporatisasi institusi
pendidikan akan membangun kultur korporasi dalam institusi pendidikan,
dengan berbagai kebijakan pendidikan yang mengutamakan kapital. Sangat
mungkin iklim akademik dalam lembaga pendidikan akan luntur dan
digantikan iklim kapital, korporasi dan berbagai hal yang berhubungan
dengan iklim perusahaan. Efisiensi, efektivitas, produktivitas akan menjadi
tema utama dalam perumusan kebijakan-kebijakan baru dunia pendidikan.
Ketika kampus negeri mulai tidak lagi disubsidi, maka kampus dipaksa untuk
membuka badan usaha komersil, tentu di antaranya termasuk lembaga
penelitian dan pusat studi, semuanya mesti dapat memberikan sumbangan
dana bagi pemenuhan biaya operasional kampus. Penelitian akan lebih
banyak penelitian proyek, atau penelitian kebijakan publik ketimbang riset
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan yang muncul adalah riset-riset
yang membela dan melegitimasi sang pemberi modal. Lebih jauh dalam salah
satu analisis marxisme-struktural misalnya, ketika negara berselingkuh
dengan para pemilik modal (kapitalis-borjuis) yang terjadi adalah
pelanggengan status quo para kapitalis yang didukung oleh legitimasi negara
dalam beberapa regulasi dan keputusan-keputusan politik. Kepentingan
negara sendiri (atau tepatnya pemegang kekuasaan pemerintahan) adalah
stabilitas, keamanan, ketertiban, yang intinya juga peneguhan status quo
mereka. Perkuliahan dan kampus secara umum didesain agar mahasiswa tidak
lagi memperhatikan perpolitikan nasional, disibukkan dengan tugas-tugas
kuliah, ancaman drop out, dan keberpihakan pihak kampus pada ajang yang
tidak mengasah nalar kritis mahasiswa, tapi pada aktivitas yang
menumpulkan nalar kritis dan meneguhkan budaya pop di kampus, seperti
festival kecantikan, band-band-an, olah raga, dan lainnya. Termasuk
kebijakan dari Dikti yang diamini sepenuhnya oleh banyak kampus (karena
para birokrat kampus untuk kepentingan karier juga relatif membutuhkan
suasana kampsu yang tenang) maka banyak dana dikeluarkan untuk
mengarahkan aktivitas mahasiswa pada kompetisi akademik;
3. Dilihat dari sisi filosofi manusia. Personalitas, karakter, dan kepribadian
siswa dalam nalar neoliberalisme tersebut pada akhirnya menjadikan anak
bermental kerdil, yakni sekadar bercita-cita menjadi orang sukses
sebagaimana digambarkan oleh neoliberalisme, sebagai para eksekutif muda,
yang berdasi, orang kantoran, yang sebenarnya tiada lebih dari alat dan mesin
dari mekanisme pelanggengan status quo kelas kapitalis-borjuis. Siswa-siswa
kehilangan otentisitas dirinya, dan seakan disiapkan menjadi tenaga dalam
mekanisme industrialis. Indoktrinasi peran penting modal ditanamkan dalam
diri mereka, sehingga semua yang akan dilakukan produk pendidikan kita
nantinya adalah karena motivasi modal.
BAB III
MELACAK PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA DALAM
PENDIDIKAN
Ketika berada dalam pembuangan, Ki Hadjar banyak terpengaruh oleh para
pemikir seperti Rabindranath Tagore, Maria Montessori, dan Rudolf Steiner.
Tagore mempunyai lembaga pendidikan bernama “Shanti Niketan”, di sebelah
utara Kota Kalkutta. Tagore mempunyai konsep pendidikan “bebas” dan
“merdeka”, yaitu bahwa pendidikan adalah semata-mata dijadikan alat dan syarat
untuk memperkokoh hidup kemanusiaan sedalam-dalamnya. “Bebas” maksudnya
adalah terlepas dari ikatan apapun, dan “merdeka” maksudnya adalah bebas
mewujudkan ciptaan berupa apapun dan hanya boleh terikat oleh kodrat alam dan
zaman.
Sedangkan Motessori adalah ahli pendidikan dari Italia yang mempunyai
sekolah “Casa dei Bambini”. Montessori menjalankan konsep pendidikan dengan
mementingkan hidup jasmani anak-anak didik dan mengarahkan kepada
kecerdasan budi. Dasar utama pendidikan, bagi Montessori, adalah kebebasan dan
spontanitas untuk mendapatkan kemerdekaan yang seluas-luasnya. Dan Rudolf
Steiner, tokoh ketiga yang menjadi rujukan Ki Hadjar, adalah seorang pendiri
Antrophosophy Society, sebuah gerakan yang dimotori oleh para aktivis Kristen.
Untuk melacak pemikiran Ki Hadjar Dewantara, kita perlu berkenalan
dengan majalah Waita, sebuah media Ki Hadjar dalam merumuskan berbagai
kegundahannya tentang pendidikan di Indonesia. Dalam majalah ini pula dapat
kita temukan berbagai pemikiran Ki Hadjar dalam bidang pendidikan.
Majalah pendidikan Wasita pertama kali terbit pada tahun 1928 di bulan
yang sama dengan deklarasi para pemuda pribumi tentang bangsa, bahasa, dan
tanah air yang satu, yaitu bulan Oktober. Wasita diterbitkan oleh Sekolah Taman
Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922. Artinya, Wasita
terbit enam tahun setelah didirikan Taman Siswa. Wasita terbit pertama kali di
Yogyakarta dan terbit sedikitnya sekali dalam sebulan. Dengan mengusung citra
sebagai majalah untuk kaum pendidik dan ibu-bapak, Wasita memang bertujuan
memberikan informasi kepada orang-orang yang bergelut di bidang pendidikan
dan orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah. Dalam Wasita edisi pertama,
redaksi majalah ini jelas sekali menuliskan tujuan diterbitkannya majalah ini.
“Adapoen Wasita itoe berkehendak mendjadi balai soeara dan
panggoeng tamasja (balairoeng=siti inggil) oentoek segala kaoem
pendidik dan pengadjar, kaoem iboe-bapa dan sekalian orang, jang
ingin mengetahoei atau toeroet memperhatikan roepa-roepa daja
oepaja goena kesehatan roh dan toeboeh anak, ialah anak-anak kita,
jang kelak akan mengganti kita djadi ra’iat Indonesia.”
Dengan demikian, jelaslah tujuan diterbitkannya Wasita adalah sebagai
referensi atau sumber informasi pendidikan dan pengajaran bagi pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap kemajuan pendidikan dan pengajaran anak-anak pribumi.
Seperti pers sezaman pada umumnya, Wasita mengundang khalayak umum
untuk ikut menyumbangkan gagasan. Sebab, Wasita sendiri juga menginginkan
tersebarnya pengetahuan pada khalayak umum. Hal ini jelas sejalan dengan tujuan
Wasita seperti yang disebutkan di atas. Akan tetapi, Wasita juga membuat definisi
ilmu dan pengetahuan apa yang layak dikonsumsi pembacanya. Menurut redaksi
Wasita, pada dasarnya segala ilmu dan pengetahuan itu berguna dan wajib
diketahui oleh para pembacanya. Hal ini berkaitan dengan rasa ingin tahu anak-
anak pribumi. Jika ada anak-anak pribumi yang menanyakan sesuatu kepada
orang tuanya, namun jika orang tua si anak tersebut tidak dapat menjawabnya
maka akan berkuranglah rasa hormat si anak terhadap orang tuanya. Oleh karena
itulah, redaksi Wasita berpendapat semua ilmu dan pengetahuan itu berguna dan
pembaca diharapkan memiliki banyak ilmu dan pengetahuan dari membaca
Wasita.
Dari pemahaman itulah kemudian redaksi Wasita membagi majalahnya
kedalam beberapa rubrik, yaitu ;
1. Pendidikan dan Pengadjaran,
2. Babad dan Tjeritera,
3. Pengetahoean Oemoem,
4. Archief Nasional,
5. Kesehatan dan Sport,
6. Sastra Lan Gending, dan
7. Feuilleton
Rubrik pertama akan membicarakan hal yang menyangkut pendidikan dan
pengajaran, termasuk agama dan gambaran pendidikan dan pengajaran di luar
negeri seperti di Eropa, Amerika, dan Asia. Rubrik ini juga menyertakan tulisan-
tulisan dari tokoh-tokoh yang ahli di bidang pendidikan dan pengajaran. Rubrik
kedua jelas merupakan rubrik yang membicarakan sejarah dan cerita, terutama
sejarah dan cerita yang berkembang di masyarakat Jawa. Rubrik ketiga
merupakan rubrik yang membicarakan rupa-rupa pengetahuan umum seperti
staatrecht (pengetahuan negara), falak, hukum, dan pengetahuan lainnya yang
berguna bagi perkembangan anak-anak.
Rubrik keempat merupakan rubrik yang berisi informasi tentang sekolah-
sekolah di Hindia Belanda. Rubrik kelima jelas membicarakan olahraga dan
kesehatan. Rubrik keenam merupakan rubrik yang berisi tulisan-tulisan tentang
bahasa, lagu, seni, dan kehalusan budi pekerti. Rubrik terakhir yang namanya
diambil dari bahasa Perancis, merupakan rubrik yang berisi tulisan yang
berkonsentrasi kepada kajian buku-buku atau kitab nasional yang dianggap cukup
berpengaruh bagi perkembangan masyarakat di Hindia Belanda.
Dalam menyampaikan informasi kepada pembacanya, Wasita menggunakan
dua bahasa, yaitu bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Bahasa Melayu digunakan
untuk menyampaikan gagasan yang dianggap berguna dan disukai segenap bangsa
di seluruh Indonesia. Sementara bahasa Jawa, digunakan untuk menyampaikan
gagasan yang dianggap hanya untuk kepentingan dan keperluan bangsa Jawa.
Meskipun begitu, jika dianggap perlu, Wasita juga menerjemahkan tulisan dalam
bahasa Jawa ke dalam bahasa Melayu ataupun sebaliknya, dalam bahasa Melayu
ke dalam bahasa Jawa.
Secara keseluruhan, Wasita jelas merupakan majalah yang mengkhususkan
liputannya di bidang pendidikan dan pengajaran. Dan seperti halnya pers pribumi
sezaman, Wasita juga menjadi corong pergerakan kaum nasionalis. Hal ini tampak
dalam pilihan kata yang digunakan redaksi Wasita. Misalnya, dalam pemilihan
kata Indonesia daripada Hindia Belanda. Apalagi dengan misi yang diusung
Wasita, yaitu penyebaran pengetahuan untuk masyarakat pribumi. Dengan
tersebarnya pengetahuan diharapkan masyarakat pribumi akan semakin
tercerahkan dan mampu lepas dari belenggu ketertinggalan dan ketertindasan. Hal
ini jelas menunjukan adanya cita-cita kemerdekaan atau pemerintahan sendiri dari
redaksinya yang salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh
pergerakan nasional melalui bidang pendidikan.
A. Pokok-Pokok Gagasan Ki Hajar Dewantara dalam Majalah Wasita
1928-1929
Dalam majalah Wasita terdapat rubrik pendidikan dan pengajaran. Rubrik
ini merupakan rubrik utama majalah Wasita karena di rubrik ini kita dapat
menemukan tujuan dan misi yang diusung Wasita. Dalam rubrik ini terdapat
beberapa tulisan dari tokoh yang ahli di bidang pendidikan dan pengajaran seperti
Ki Hajar Dewantara. Rubrik inilah yang saya ambil sebagai bahan kajian dalam
makalah ini. Sementara tulisan yang saya ambil dalam rubrik ini adalah tulisan Ki
Hajar Dewantara. Adapun rentang waktu yang saya ambil berkaitan dengan masa-
masa pergerakan nasional memasuki masa baru, yaitu masa terobosan baru
dengan adanya Sumpah Pemuda dan Kongres Perempuan Indonesia di tahun
1928. Bahkan Ki Hajar Dewantara pun menyempatkan menulis tulisan berkenaan
dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia pada Desember 1928.
Masa ini juga menjadi masa awal tersebarnya gagasan Ki Hajar Dewantara
tentang pendidikan dan pengajaran ke-Timur-an yang lebih dulu diwujudkan
dalam bentuk Sekolah Taman Siswa.
Ki Hajar Dewantara memiliki konsep pendidikan yang benar-benar bersifat
pribumi (yakni yang nonpemerintah dan non-Islam). Konsep pendidikan seperti
itu berarti pendidikan yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern
dengan seni-seni Jawa tradisional.[1] Ia dengan tegas menolak pendidikan yang
terlalu mengutamakan intelektualisme dan mengorbankan aspek kerohanian atau
jiwa para siswa. Menurutnya, pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah
kolonial hanya akan membuat pribumi lupa akan kebudayaannya dan membuat
pribumi menjadi tenaga terampil bagi kepentingan pemerintah kolonial. Berkaitan
dengan itulah, ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah yang
menawarkan pendidikan berorientasi kepada kebudayaan timur dan
mengedepankan nilai-nilai kerohanian yang dibarengi dengan kekuatan
intelektual. Sekolah yang ia dirikan bernama Taman Siswa. Sekolah itu berdiri
pada Juli 1922. Enam tahun setelah sekolah itu berdiri, terbit majalah bernama
Wasita. Majalah ini merupakan majalah yang diterbitkan Taman Siswa. Ki Hajar
Dewantara berperan sebagai pengarang dan salah satu dewan redaksinya. Di
majalah inilah kita dapat menemukan gagasan Ki Hajar Dewantara tentang
pendidikan dan pengajaran yang ia coba terapkan di Taman Siswa dan coba
disebarkan kepada khalayak umum, khususnya masyarakat pribumi sebagai sarana
pencerahan pikiran.
B. Tentang Perempuan dan Pendidikan
Dalam Wasita jilid satu nomor tiga edisi Desember 1928, Ki Hajar
Dewantara menulis artikel yang semuanya mengulas perempuan. Dari enam
artikelnya pada edisi Desember 1928 ini, Ki Hajar membahas persoalan
perempuan terutama peran perempuan dalam pendidikan dan pengajaran.
Mengapa Ki Hajar Dewantara sampai perlu membuat enam artikel yang semuanya
membahas perempuan? Rupanya pada Desember 1928 diselenggarakan Kongres
Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Berkaitan dengan itulah Ki Hajar Dewantara
memberi perhatian khusus pada masalah perempuan di edisi Wasita bulan
Desember 1928. Dalam artikelnya yang berjudul “Chodrat Perempuan”, Ki Hajar
Dewantara mengutarakan ketidaksetujuannya pada jenis persamaan hak
perempuan yang berkembang di Eropa. Menurutnya, persamaan hak hendaknya
tidak melupakan kodrat perempuan yang berbeda dengan laki-laki baik dari fisik
maupun psikologis. Sekilas pandangannya ini terkesan diskriminatif, akan tetapi
kita akan kaget jika membaca artikel selanjutnya yang berjudul “Pematah Isteri”
dan “Perempoean dan Sport”. Rupanya perbedaan perlakuan ditujukan untuk
melindungi perempuan dari penjajahan dan penindasan laki-laki.
Ki Hajar sendiri sangat mendukung partisipasi perempuan dalam pendidikan
dan pengajaran. Ia juga mendukung perempuan yang melakukan olahraga.
Asalkan dalam berolahraga perempuan tidak melupakan kodratnya berdasarkan
fisik dan psikologisnya. Dalam artikel selanjutnya, “Perempoean dalam doenia
Pendidikan”, Ki Hajar Dewantara mengajak kaum perempuan untuk turut serta
dalam usaha mencerdaskan anak-anak bangsa. Ia menganggap guru perempuan
adalah guru yang tepat untuk dijadikan pendidik bagi anak-anak karena ikatan
emosional anak dengan ibu lebih kuat daripada anak dengan bapak. Oleh karena
itu, lebih mudah mendidik anak pada usia dini melalui guru perempuan daripada
guru laki-laki. Ia juga tidak lupa menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-
anak perempuan. Akan tetapi, dalam mendidik dan mengajar anak perempuan ada
beberapa petunjuk khusus. Hal ini terungkap dalam artikelnya yang berjudul “Co-
educatie dan Co-instructie atau mendidik dan mengadjar anak-anak perempoean
dan laki-laki bersama-sama”. Dalam artikel ini, ia melihat laki-laki dan
perempuan adalah dua makhluk yang tarik menarik. Keduanya sama-sama
mempunyai ketertarikan pada lawan jenisnya. Oleh karena itu, laki-laki dan
perempuan harus dipisah dalam kelas ketika mereka memasuki masa birahi atau
masa pubertas. Namun, itu tidak berarti bentuk diskriminasi perlakuan terhadap
perempuan. Sebab, perempuan tetap dapat bergaul dengan teman laki-laki
sekolahnya dan begitu pula sebaliknya.
Ki Hajar Dewantara melihat perempuan memiliki pengaruh yang sangat
besar dalam pendidikan. Ia mencontohkan suatu kelas yang sedikit atau bahkan
tidak ada murid perempuannya dan didominasi oleh murid laki-laki akan
berakibat kelas itu memiliki murid yang berperilaku kasar dan tidak sopan. Tetapi
sebaliknya, jika dalam sebuah kelas murid perempuannya memadai, maka besar
kemungkinan murid-murid kelas itu dapat berperilaku halus, sopan, dan baik.
Menurutnya, hal ini karena kehadiran perempuan yang membawa suasana berbeda
di dalam kelas. Oleh karena itu, ia tidak setuju pemisahan kelas dan sekolah
khusus perempuan. Selain mengakibatkan sempitnya pandangan dan pengetahuan
murid perempuan, sistem itu juga mengecilkan peran perempuan dalam
pendidikan. Akan tetapi, jika sudah sampai pendidikan tingkat menengah dan
lanjut, pemisahan kelas dapat saja dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi
murid dalam belajar. Gagasan ini dapat kita temukan dalam artikelnya yang
berjudul “Pengaroeh Perempoean pada barang dan tempat koelilingnja”. Di akhir
artikel itu, Ki Hajar Dewantara menyerukan kaum perempuan untuk memahami
hak dan kewajibannya sebagai perempuan. Hal ini ia utarakan untuk memompa
semangat kaum perempuan dalam perjuangan demi kemuliaan rakyat dan
keselamatan dunia.
C. Tentang HIS
Kekecewaan Ki Hajar Dewantara terhadap sistem pendidikan dan cara
pengajaran yang ada di Hindia Belanda dapat kita temukan dalam artikelnya yang
berjudul “Koerangnja dan Ketjewanja Onderwijs bagi Ra’jat kita” pada Wasita
jilid satu nomor lima edisi Februari 1929. Dalam artikel itu, terlihat jelas
kekecewaan Ki Hajar Dewantara terhadap sistem pendidikan dan cara pengajaran
yang dijalankan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, ia mengkritiknya. Ia
mengkritik pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pemerintah yang ternyata
tidak dapat mengangkat derajat masyarakat pribumi. Bahkan ternyata, apa yang
telah dilakukan pemerintah justru makin menenggelamkan masyarakat pribumi
menjadi budak bangsa lain. Ia melihat masyarakat pribumi hanya memberikan
manfaat dari pendidikan dan pengajaran untuk bangsa lain, bukan untuk
bangsanya sendiri. Kebijakan pemerintah kolonial yang hanya memberikan
pendidikan rendah juga tak luput dari kritik Ki Hajar Dewantara. Baginya,
masyarakat pribumi hanya mendapat pendidikan yang sangat rendah dan karena
itu ia menilai pendidikan yang diberikan amatlah kurang.
Meskipun akhirnya pemerintah kolonial mencoba meningkatkan tingkat
pendidikan masyarakat pribumi dengan membuka HIS pada 1914, hal itu tidak
serta merta membuat Ki Hajar Dewantara puas. Ia justru mengkritik HIS karena
terlalu kebarat-baratan. Ki Hajar merumuskan hasil yang keluar dari HIS sebagai
berikut; kurang rasa sosial, egois, dan individualis. Oleh karena itu, ia
merumuskan tiga formula untuk memperbaiki sistem pendidikan dan cara
pengajaran bagi masyarakat pribumi, yaitu dengan memperbanyak sekolah,
memperbaiki pelajarannya, dan mendidik anak supaya puas menjadi rakyat
Indonesia. Lebih dari itu, ia juga menawarkan konsep pendidikan dengan sistem
nasional dan menolak sistem Eropa.
Akan tetapi di sisi lain, ia sebenarnya mendukung usaha perluasan sekolah
bagi masyarakat pribumi yang salah satunya dilakukan dengan membuka HIS.
Walaupun memang ia tidak setuju dengan sistem pendidikan dan cara pengajaran
yang diterapkan HIS, ia tetap menganggap HIS juga mempunyai manfaat yang
cukup besar untuk masa itu. Sebab, masyarakat pribumi sendiri masih
memerlukan banyak sekolah. Oleh karena itu, ketika ada rencana dari pemerintah
kolonial untuk menghentikan pertambahan HIS, Ki Hajar Dewantara secara tegas
menolaknya. Hal ini terlihat pada artikelnya yang berjudul “H.I.S.” pada Wasita di
edisi yang sama. Satu hal yang cukup menarik dari artikel ini adalah kalimat
penutupnya. Kalimat penutupnya berbunyi “Hidoeplah Ra’jat Indonesia!”.
Menjadi menarik karena kalimat ini berarti semakin menandakan watak dari
majalah Wasita yang memiliki cita-cita kemerdekaan Indonesia.
D. Tentang Pendidikan dan Pengajaran Nasional
Gagasan Ki Hajar Dewantara tentang sistem pendidikan dan cara pengajaran
semakin terlihat jelas dalam artikel-artikelnya yang terbit di majalah Wasita
setelah Februari 1929. Dalam artikelnya di Wasita jilid satu nomor enam edisi
Maret 1929, Ki Hajar Dewantara mengajukan konsep pendidikan dan pengajaran
yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan kebangsaan. Dalam artikelnya
tersebut, Ki Hajar membagi pendidikan kedalam dua hubungan, yaitu pendidikan
dan penghidupan rakyat dan pendidikan dan kebangsaan. Dalam hubungan yang
pertama, antara pendidikan dan penghidupan rakyat, terdapat sembilan poin
penting yang ia ajukan. Kesembilan poin penting itu antara lain, kekuatan rakyat,
mendidik anak adalah mendidik rakyat, sistem pengajaran kerakyatan, penerimaan
perbedaan, kemerdekaan manusia, bersandar pada kekuatan sendiri, tugas sebagai
rakyat, tidak diperintah, dan persatuan pengajaran.
Sementara itu, dalam hubungan yang kedua, yaitu antara pendidikan dan
kebangsaan, ia mengajukan tujuh poin penting yang antara lain, pendidikan
nasional yang selaras dengan kehidupan dan penghidupan bangsa, pendidikan
nasional adalah hak dan kewajiban bangsa, tidak menerima subsidi pemerintah,
tidak terikat lahir dan batin, sistem mengongkosi diri sendiri, adanya badan
pembantu umum, dan adanya Steunfonds umum. Dengan demikian, Ki Hajar
Dewantara telah merumuskan konsep dan arah pendidikan nasional. Dalam
artikel-artikel selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mengajukan usul-usul yang lebih
praktis. Hal itu dapat terlihat di beberapa artikel selanjutnya. Dalam artikel yang
berjudul “Orde, Regering dan Tucht, Faham Toea dan Baharoe”. Ki Hajar
Dewantara menulis tentang bagaimana cara menjatuhkan hukuman bagi anak-
anak. Dalam menjatuhkan hukuman itu hendaknya tidaklah dilupakan makna
hukuman sebagai salah satu alat untuk mendidik. Di sini Ki Hajar menghendaki
tidak hilangnya makna mendidik dengan hukuman yang diberikan kepada anak-
anak.
Selain di artikel tersebut, Ki Hajar Dewantara juga mengajukan beberapa
panduan praktis dalam mendidik anak. Seperti yang terlihat pada dua artikelnya
pada Wasita jilid satu nomor delapan edisi Mei 1929 dan Wasita jilid satu nomor
sembilan dan sepulu edisi Juni—Juli 1929. Dalam artikelnya yang pertama yang
berjudul “Excursie”, Ki Hajar Dewantara menulis tentang panduan melaksanakan
perjalanan wisata dan studi para murid yang ditemani dengan gurunya. Ia
menamakan hal tersebut sebagai excursie. Menurutnya, pendidikan dan
pengajaran itu tidak melulu harus di kelas. Para murid juga harus dikenalkan
terhadap lingkungan nyata dan pada akhirnya dapat bergaul dengan masyarakat.
Dalam artikel yang kedua yang berjudul “Nationale Frobelschool. Cursus oentoek
mempeladjari permainan dan njanjian anak”, Ki Hajar Dewantara melihat
pentingnya pelajaran permainan dan nyanyian bagi para murid. Menurutnya, perlu
beberapa langkah dalam mengajarkan permainan dan nyanyian bagi para murid.
Oleh karena itulah, Ki Hajar Dewantara menulis hal ini. Dengan langkah yang
tepat, ia mengharapkan kegunaan pelajaran permainan dan nyanyian seperti
mendidik kebatinan murid, dapat terwujud.
Ki Hajar Dewantara tampil kembali sebagai teoritikus pendidikan dalam
artikel berikutnya yang berjudul “Pergoroean Ra’jat di Betawi dan tentang
mendirikan Mulo-Kweekschool”. Dalam artikelnya ini, ia mengajukan saran
kepada pemerintah kolonial untuk memperbanyak sekolah guru menengah
pertama di Betawi (Batavia). Menurutnya, sekolah seperti itu sangatlah kurang
jika dibandingkan dengan luas kota dan minat penduduknya dalam pendidikan.
Sebelumnya, di awal tulisan ia dengan tegas menyatakan azas pengajaran yang
bersifat nasional Indonesia. Di sini pengajaran dimaksudkan untuk menanamkan
bibit kecintaan dalam hati murid kepada bangsa dan tanah airnya. Dapatlah kita
simpulkan, Ki Hajar Dewantara mencoba membangkitkan rasa nasionalisme
Indonesia di kalangan rakyat banyak melalui pendidikan dan pengajaran.
Melihat perkembangan para murid-murid pribumi yang sepertinya
kehilangan kepribadian pribuminya membuat Ki Hajar Dewantara menulis artikel
mengenai asosiasi antara Timur dan Barat. Pada Wasita jilid satu nomor sebelas
dan dua belas edisi Agustus dan September, ia menulis artikel yang berjudul
“Associatie antara Timoer dan Barat. Kita haroes bersiap dengan adab Nasional”.
Dalam artikel ini, ia tampak jelas khawatir terhadap perkembangan para murid
yang diajar dan dididik dalam cara yang lebih berat ke Barat. Akibatnya, para
murid merasa minder dengan kebudayaan pribumi dan menganggap kebudayaan
Barat-lah yang lebih tinggi dan baik. Ia menolak cara mengajar dan mendidik
yang tidak mengindahkan dasar-dasar kehidupan bangsa. Menurutnya, pendidikan
dan pengajaran itu haruslah menghasilkan orang-orang yang cinta akan
kebudayaan sendiri sehingga dengan demikian akan tumbuh rasa bangga akan jati
dirinya sebagai sebuah bangsa yang unik, otonom, dan satu. Tampaknya, apa yang
diajukan Ki Hajar Dewantara di majalah ini merupakan gagasannya tentang
pembangunan nasionalisme di kalangan rakyat kebanyakan. Ia sadar bahwa
nasionalisme dapat terbentuk hanya dengan kesadaran akan adanya sebuah bangsa
yang merdeka. Dan kesadaran itu hanya dapat dibentuk melalui pendidikan dan
pengajaran, dua kata yang selalu ia sertakan dalam artikel-artikelnya.
E. Fatwa-Fatwa Ki Hadjar Dewantara
Pertama, “Lawan Sastra Ngesti Mulya” yang berarti dengan ilmu kita
menuju kemuliaan. Inilah yang dicita-citakan KHD dengan Tamansiswanya,
untuk kemuliaan nusa, bangsa dan rakyatnya. Sastra Herdjendrajuningrat
Pangruwating Dyu (ilmu yang luhur akan mulia menyelamatkan dunia serta
melenyapkan kebiadaban), fatwa inilah yang menjadi Tjandrasengkala lahirnya
Tamansiswa (1852-1922) sebagai masyarakat tanpa kelas.
Kedua, “Suci Tata Ngesti Tunggal” dalam arti dengan suci batinnya, tertib
lahirnya menuju kesempurnaan, sebagai janji yang harus diamalkan oleh tiap-tiap
peserta perjuangan Tamansiswa dan bangsa Indonesia. Fatwa ini sebagai
Tjandrasengkala mencatat lahirnya persatuan Tamansiswa (Tahun 1853-1923).
Ketiga, “Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia” berdasarkan asas
Tamansiswa yang menjadi syarat hidup merdeka berdasarkan pada ajaran agama
bahwa untuk Tuhan semua manusia itu pada dasarnya sama; sama haknya maupun
kewajibannya. Sama haknya mengatur hidupnya serta sama haknya menjalankan
kewajiban kemanusiaan, untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan batinnya.
Janganlah kita mengejar keselamatan lahir dan jangan pula hanya mengejar
kebahagiaan batin hidup.
Keempat, “Salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya masyarakat”
sebagai sebuah peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh kepentingan
keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita ialah hak-hak orang lain
yang juga seperti kita masing-masing yang sama mengejar kebahagiaan hidup.
Segala kepentingan bersama harus diletakan diatas kepentingan diri masing-
masing sebagai jalan keselamatan bersama.
Kelima, “Kodrat alam penunjuk untuk hidup sempurna” sebagai pengakuan
bahwa kodrat alam yaitu segala kekuatan dan kekuasaan yang mengelilingi dan
melingkungi hidup kita itu adalah sifat lahirnya kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang berjalan tertib dan sempurna diatas kekuasaan manusia. Janganlah
hidup kita bertentangan dengan kodrat alam. Petunjuk dalam kodrat alam kita
jadikan pedoman hidup, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa dan
anggota dari alam kemanusiaan.
Keenam, “Alam hidup manusia adalah alam berbulatan” artinya bahwa
hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus,
yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus yang terdiri dari alam
diri, alam kebangsaan, alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa dan rasa
kemanusiaan ketiga-tiganya hidup dalam tiap-tiap sanubari kita masing-masing
manusia. Adanya perasan ini tidak dapat dipungkiri.
Ketujuh, “Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah
kepada sang anak” mengandung arti penghambaan kepada sang anak tidak lain
dari pada penghambaan kita sendiri. Sungguhpun pengorbanan itu kita tujukan
kepada sang anak, tetapi yang memerintah kita dan memberi titah untuk berhamba
dan berkorban itu bukan si anak, tetapi kita sendiri. Disamping itu kita
menghambakan diri kepada bangsa, negara dan pada rakyat dan agama atau
lainnya. Semua itu tidak lain penghambaan pada diri sendiri, untuk mencari rasa
bahagia dan damai dalam jiwa kita sendiri.
Kedelapan, “Tetep-Mantep-Antep” artinya dalam melaksanakan tugas
perjuangan kita, kita harus berketetapan hati. Tekun bekerja tidak menoleh
kekanan dan kekiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita harus selalu
“mantep” setia dan taat pada asas kita, teguh iman hingga tak ada kekuatan yang
akan dapat menahan gerak kita dan membelokan aliran kita. Sesudah kita tetap
dalam gerak lahir dan mantep dan tabah batin kita, segala perbutan kita akan
“antep”, berat berisi (bernas) dan berharga. Tidak mudah dihambat, ditahan-tahan
dan dilawan oleh orang lian.
Kesembilan, “Ngandel-Kendel-Bandel-Kandel” dalam arti kita harus
‘ngandel’ percaya dan yakin kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri
sendiri. ‘kendel’ berani, tiada ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya
keada Tuhan dan kepada diri sendiri. ‘bandel’ yang berarti tahan dan tawakal.
Dengan demikian maka kita jadi ‘kandel’ tebal, kuat lahir bati kit, berjuang untuk
cita-cita kita.
Kesepuluh, “Neng-Ning-Nung-Nang” artinya dengan ‘meneng’ tentram
lahir batin, tidak ragu dan malu-malu, tahap selanjutnya kita ‘ning’ wening,
bening jernih, pikiran kita, mudah membedakan yang hak dan yang batil (benar-
salah) maka kita jadi ‘nung’ hanung, kuat sentosa, kokoh lahir dan batin untuk
mencapai cita-cita. Akhirnya ‘nang’ menang, dan dapat wewenang, berhak dan
kuasa atas usaha kita.
BAB IV
TAMAN SISWA
A. Sejarah Singkat
Pada 3 Juli 1922 Ki Hadjar mendirikan sebuah perguruan bercorak nasional,
yakni Nationaal Onderwijjs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Taman
Siswa). Corak pendidikannyadapat dikatakan sebagai paduan pendidikan gaya
Eropa yang telah ia pelajari selama di Belanda dan seni-budaya Jawatradisional
yang merupakan latar sosialnya sejak mula. Ketika genap berusia 40 (empat
puluh) tahun menurutperhitungan tahun Caka, Suwardi mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara, tepatnya pada tanggal 23 Februari1928 ia resmi
melepas gelar Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Sebagaimana sedikit dijelaskan
di depan, agar ia dapatlebih dekat dengan rakyat dan menjadi bagian dari mereka.
Setelah Taman Siswa berkembang di berbagai daerah, KiHadjar kemudian
mewakafkan seluruh perguruan Taman Siswa kepada Persatuan Taman Siswa
pada 7 Agustus 1930.
Perkembangan Taman Siswa yang begitu pesat dan mendapat apresiasi dari
rakyat banyak tentu membuat gelisahpemerintah Hindia Belanda waktu itu.
Kemudian diterbitkanlah ordonansi sekolah liar (Wilde Schoolen Ordonantie)
yangmelarang sekolah swasta (partikelir) beroperasi tanpa izin dari pemerintah
berkuasa. Ditentukan bahwa sekolah-sekolahswasta harus menggunakan
kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari sekolah guru
pemerintah. KalauTaman Siswa menaati ordonansi tersebut, maka Taman Siswa
akan tutup karena Taman Siswa menggunakan kurikulumsendiri dan pamong
(guru) dari sekolah guru Taman Siswa sendiri.
Ki Hadjar dan Taman Siswa tidak tinggal diam, perlawanan dilakukan
dengan menjalankan Taman Siswa seperti biasa, tidak terpengaruh oleh ordonansi
tersebut. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar harus diganti oleh
pamong lain. Semboyan ”ditangkap satu tumbuh seribu” muncul sebagai
penyemangat. Selain itu Ki Hadjar juga mengirim surat kepada Gubernur Jenderal
Belanda di Bogor yang isinya ia akan melawan ordonansi tersebut sekuat-kuatnya
dan selama-lamanyadengan cara diam (Lijdelik Verset) (bandingkan dengan
gerakan Ahimsa dan Satyagraha dari Mahatma Gandhi di India).
Akhirnya pada 1934 ordonansi tersebut dicabut karena Taman Siswa
mendapat dukungan dari gerakan politik nasional, termasuk Budi Utomo untuk
terus melawan ordonansi yang merugikan pendidikan pro-rakyat tersebut.
Setelah Ki Hadjar wafat, kepemimpinan Taman Siswa diampu oleh istrinya,
Nyi Hadjar Dewantara. Pada masa kepemimpinannyaitulah terdapat upaya dari
gerakan komunis untuk menyusup dalam tubuh Taman Siswa, salah satunya
ditunjukkan olehhasil kongres Taman Siswa tahun 1963 yang didominasi oleh
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkansampai menjadikan Semaun
(salah seorang tokoh komunis Indonesia waktu itu) sebagai Badan Pembina
Persatuan Taman Siswa.
Melihat hal tersebut Nyi Hadjar menggunakan hak prerogatifnya dengan
membubarkan kepengurusan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dan
menggantinya dengan orang-orang yang non-komunis. Namun sayang, pasca Nyi
Hadjar sampai sekarang Perguruan Taman Siswa justru tidak secemerlang dulu.
Sekolah-sekolah Taman Siswa bahkan menjadi pilihan terakhir bagi anak-anak
yang tidak diterima di sekolah negeri dan swasta lainnya. Dilihat dari sisi
ketokohan agaknya juga tidak ada lagi tokoh dari Taman Siswa yang mampu
mencapai level seperti Ki Hadjar Dewantara. Beberapa tokoh intelektual memang
muncul seperti Ki Supriyoko, Ki Darmaningtyas dan lainnya, namunjuga agaknya
belum dapat membawa Taman Siswa sesuai dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara
pada mulanya.
Sekarang kalau kita melihat praktik pendidikan di Taman Siswa tidak
banyak berbeda dengan sekolah swasta lainnya. Sistem pendidikan asrama
perlahan-lahan luntur, demikian juga dengan konsep Taman Siswa sebagai
pusatkebudayaan dan gerakan sosial. Titik awal kemunduran Taman Siswaterjadi
sejak 1965. Banyak pamong yang kritis ditangkap, termasuk mereka yang berada
di cabang-cabang Taman Siswa. Sementara itu pamong pengganti lebih banyak
diam dan tidak berani kritis untuk menjaga keselamatanperguruan. Tidak kritisnya
Taman Siswa tersebut yang jelas berbeda dari sikap kritis Ki Hadjar pada
akhirnya menjadikan Taman Siswa tidak lagi diperhitungkan dalam konteks
politik dan pendidikan nasional.
Selain itu kebijakan Orde Baru dalam mendirikan Sekolah Dasar (SD)
Inpres secara masal juga menjadikan sekolah-sekolah Taman Siswa sepi peminat,
karena SD Inpres dianggap lebih prestise, murah biayanya dan berkualitas.
B. Konsep Pendidikan
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan
masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-
citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk
mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka
lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi,
politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan
keadaan.
Tamansiswa memakai asas anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak
boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor
lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (i), yaitu antara
intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar
setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara
seimbang.
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka
lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani
dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung
jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.
Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan
Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Kalau di Barat ada “Teori Domain” yang diciptakan oleh Benjamin S.
Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik maka di Tamansiswa
ada “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengeta-hui), ngrasa (memahami)
dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah
meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah
rasa untuk meningkat-kan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta
meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu
sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan
kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu
sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik
sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.
Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri
Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang
dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan
pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan
pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh
pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau
pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk
meluruskannya.
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan
kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu
dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan
yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem
Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam
(memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon),
Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan
kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai
ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
C. Konsep Kebudayaan
Konsepsi dasar Tamansiswa untuk mencapai cita-citanya adalah Kebu-
dayaan, Kebangsaan, Pendidikan, Sistem Kemasyarakatan, dan Sistem Ekonomi
Kerakyatan. Intinya ialah, bangsa ini tidak boleh kehilangan jati diri, menjaga
keutuhan dalam berbangsa, menjalankan pendidikan yang baik untuk mencapai
kemajuan, terjadinya harmonisasi sosial di dalam bermasyarakat, serta
menghindari terjadinya kesenjangan eko-nomi yang terlalu tajam antarwarga
negara.
Kebudayaan nasional pada dasarnya merupakan puncak-puncak dan sari-
sari kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Kebudayaan nasional bukanlah
sesuatu yang statis akan tetapi bergerak dinamis sesuai dengan irama kemajuan
jaman. Dalam konsep ini seluruh kebudayaan daerah dihargai sebagai aset
kebudayaan nasional; di sisi yang lain adanya kemajuan kebudayaan sangat
dimungkinkan, baik kebudayaan nasional maupun daerah.
Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trikon” yang ter-diri
dari kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas. Maksudnya, hendaknya kita
ini mampu melestarikan budaya adhi luhung para pendahulu dengan tetap
memberikan ruang kepada budaya manca untuk saling berkolaborasi. Meski
demikian dalam kolaborasi antara budaya kita dengan budaya manca tersebut
hendaknya menghasilkan budaya baru yang lebih bermakna.
Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trisakti Jiwa” yang
terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Adapun maksudnya adalah, untuk melaksanakan
segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir,
hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Kalau untuk
melaksanakan segala sesuatu itu hanya mengandalkan salah satu diantaranya saja
maka kemungkinannya akan tidak berhasil.
Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trihayu” yang terdiri
dari memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayunin
bawana. Maksudnya adalah, apa pun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya
dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan bermanfaat
bagi manusia di dunia pada umumnya. Kalau perbuatan seseorang hanya
menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat
individualistik.
Untuk menjadi pemimpin di tingkat mana pun kebudayaan Tamansiswa
mengajarkan “Konsep Trilogi Kepemimpinan” yang terdiri dari ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, serta tut wuri handa-yani. Maksudnya adalah,
ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada
di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, serta ketika berada di
belakang harus mampu mendorong orang-orang dan/atau pihak-pihak yang
dipimpinnya.
Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Tripantangan” yang
terdiri dari pantang harta, praja, dan wanita. Adapun maksudnya adalah, kita
dilarang menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misal korupsi),
menyalahgunakan jabatan (misal kolusi), dan bermain wanita (misal
menyeleweng). Ketiga pantangan ini hendaknya tidak dilanggar.
D. Profil Taman Siswa
1. Visi
Visi persatuan Taman Siswa dan cabang-cabangnya adalah sebagian badan
Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan masyarakat serta penyelenggaraan
pendidikan dalam arti luas dalam bentuk perguruan.
2. Misi :
1. Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia .
2. Mewujudkan masyarakat tertib damai salam dan bahagia sesuai
masyarakat merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mempertajam daya cipta, rasa
dan karsa manusia.
Usaha untuk Mewujudkan Tujuan Taman Siswa antara lain:
1. Dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional
Indonesia, cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan
Propinsi dan Kabupaten / Kota membuka sanggar-sanggar budaya atau
seminar-seminar tentang kebudayaan.
2. Dalam rangka mewujudkan masyarakat tertib damai, salam dan bahagia
cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Sosial Propinsi /
Kabupaten / Kota dan lembaga sosial tingkat Propinsi / Kabupaten / Kota
dalam rangka memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan penyakit-
penyakit masyarakat.
3. Dalam rangka menyelenggarakan pendidikan dalam arti luas (pendidikan
jalur formal, informal, dan non formal) dalam bentuk perguruan, Cabang-
cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Propinsi Kabupaten
/ Kota dalam rangka mengentaskan kebodohan, memeratakan kualitas
pendidikan.
Pendidikan yang Dapat Diselenggarakan oleh Cabang-Cabang Taman Siswa
ialah:
1. Pendidikan jalur formal dari T. Indria sampai dengan Perguruan Tinggi
baik umum maupun kejuruan.
2. Pendidikan jalur informal berupa nasehat, petuah, dan keteladanan hidup
tertib damai salam dan bahagia terhadap siswa, orang tua siswa, dan
masyarakat umum.
3. Pendidikan jalur nonformal berupa : sarasehan, seminar, ceramah-
ceramah tentang pendidikan Anak Usia Dini (PAUD / Kelompok
Belajar), menyelenggarakan Paket A,B,C Pemberantasan aksara kursus,
kursus, dsb.
Dalam usianya yang lebih dari 85 tahun sekarang ini kendala utama yang
dihadapi oleh Tamansiswa adalah manusianya; artinya sangat sedikit insan
Tamansiswa yang memiliki kemampuan (bevoegdheid) dan sekaligus
kewenangan (bekwaamheid) untuk mengembangkan diri dan lembaganya.
Sebenarnya banyak insan Tamansiswa yang bagus, akan tetapi ketika masih
produktif memilih berkarya di luar dan setelah tidak produktif baru ingin
berkiprah di Tamansiswa.
Pendidikan taman siswa di laksanakan berdasarkan sistem among, dan cara
berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani.dan konsep kebudayaan
Tamansiswa mengembangkan konsep Trikon, Trisakti Jiwa, dan Tripantangan.
E. Azas Taman Siswa
Dalam Wasita jilid kesatu nomor dua edisi November 1928, Ki Hajar
Dewantara menyumbang sebuah artikel yang berjudul “Azas Taman Siswo”.
Artikel ini sebenarnya merupakan pidato Ki Hajar Dewantara dalam kongres
Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta pada 20 Oktober 1923. Dalam
artikelnya itu, Ki Hajar Dewantara menyebutkan tujuh azas Taman Siswa.
1. Mengatur diri sendiri (Zelfbeschikkingsrecht). Hak mengatur diri sendiri
berdiri bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh
menurut kodrat (natuurlijke groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat
pendidikan bagi anak-anak yang disebut among metode;
2. Kemerdekaan batin, pikiran, dan tenaga bagi anak-anak. Maka
pengajaran berarti mendidik anak untuk mencari sendiri ilmu pengetahuan
yang perlu dan baik untuk lahir, batin, dan umum. Oleh karena itu, guru tidak
dibenarkan untuk selalu memberi ilmu pengetahuan, tetapi juga harus
diusahakan bahwa guru mampu mendidik anak-anak untuk mandiri dan
merdeka;
3. Kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri dimaksudkan sebagai penunjuk
jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat bangsa dan
yang akan dapat memberi kedamaian dalam hidup bangsa. Pada azas ketiga
juga terkandung makna pendidikan yang tidak boleh memisahkan orang-
orang terpelajar dari rakyatnya.
4. Pendidikan yang merakyat. Pendidikan dan pengajaran harus mengena
rakyat secara luas. Sebab, hanya dengan cara itu ketertinggalan masyarakat
pribumi dapat dihilangkan.
5. Percaya pada kekuatan sendiri. Ini adalah azas yang penting bagi semua
orang yang ingin mengejar ketertinggalannya dan meraih kemerdekaan hidup.
Dan itu dapat terwujud melalui kerja yang berasal dari kekuatan sendiri.
6. Membelanjai diri sendiri (zelfbedruipingssysteem). Azas ini sangat dekat
dengan azas kelima. Pada azas ini segala usaha untuk perubahan harus
menggunakan biaya sendiri.
7. Keikhlasan dari para pendidik dan pengajar dalam mendidik anak-
anak. Hanya dengan kesucian hati dan keterikatan lahir dan batinlah usaha
pendidikan dan pengajaran dapat berhasil.
BAB V
SISTEM AMONG
Kita sudah terlalu sering berkenalan dengan berbagai istilah, filsafat dan
gaya pendidikan Barat. Mulai dari Teori Konstruksivisme, Psikologi Behaviorial,
Taksonomi Bloom, Cooperative Learning, Active Learning, Quantum Learning,
dan ribuan learning lain yang kita pelajari dalam berbagai diktat maupun buku.
Kesemua hal dalam pendidikan Barat itu –gaya, filsafat, psikologi, metode,
teknik- berupaya diupayakan agar dapat diterapkan dalam pendidikan di
Indonesia. Berbagai cara ditempuh, mulai mewajibkan mahasiswa meneliti sebuah
metode tertentu dalam skripsinya, sampai proyek CBSA Depdikbud di tahun
1980-an. Berbagai hal dilakukan agar berbagai teori dan gaya pendidikan Barat
tadi dapat dianggap sesuai dengan kehidupan sosial budaya masyarakat kita.
Mulai dari manipulasi data skripsi mahasiswa yang sedang meneliti fenomena
penerapan tadi agar sesuai keinginan, sampai pada penyusunan argumen
sistematis yang digunakan untuk meyakinkan khalayak banyak. Namun apakah
memang benar filsafat, gaya, pendekatan dan metode pendidikan barat memang
sesuai dengan budaya bangsa kita?
Dan sebuah pertanyaan yang dimunculkan selanjutnya adalah, “Apakah
bangsa Indonesia sendiri tahu dengan Sistem Among?, sebuah sistem pendidikan
yang dicetuskan oleh anak bangsa sendiri, Ki Hadjar Dewantara?”
Sistem Among adalah ide Ki Hadjar Dewantara yang selanjutnya
diimplementasikan dalam pendidikan Taman Siswa. Sistem ini merupakan
metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh
(care and dedication based on love). Pendidikan sistem Among bersendikan pada
dua hal yaitu: kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai
kemajuan dengan secepat-cepatnya dan kemerdekaan sebagai syarat untuk
menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat
hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan asas yang berbunyi: Tut
Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung tuladha. Asas ini
telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among sendiri, karena
banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya.
“Among” berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya
mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk
mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari
Sistem Among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman
dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan
berketrampilan, serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi anggota masyarakat
yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia
pada umumnya. Dalam pelaksanaan Sistem Among, setelah anak didik menguasai
ilmu, mereka didorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat,
didorong oleh cipta, rasa, dan karsa.
Sistem Among merupakan salah satu dari ajaran Ki Hajar Dewantara.
Ajaran Ki Hajar Dewantara sendiri meliputi bermacam ragam, ada yang sifatnya
konsepsional, petunjuk operasioanl praktis, fatwa, nasehat, dan sebagainya. Dari
banyak hal tersebut, yang sifatnya konsepsional bisa ditemukan pada bidang-
bidang sesuai predikatnya.
Di bidang pendidikan Ki Hajar Dewantara memmpunyai konsepsi tentang
“Tripusat Pendidikan”, suatu upaya pendidikan nasional yang meliputi pendidikan
di tiga lingkungan hidup, ialah lingkungan keluarga, perguruan dan masyarakat.
Pada segi metodologi Ki Hajar Dewantara mempunyai Metode Among, ialah
metode pendidikan yang berjiwa kekeluargaan, serta bersendikan dua dasar, yaitu:
kodrat alam dan kemerdekaan. Di bidang kebudayaan, sebagai upaya pembinaan
kebudayaan, Ki Hajar Dewantara memiliki konsepsi tentang teori Trikon, ialah:
kontinuitas, konvergensi, dan konstrisitas. Di bidang politik kemasyarakatan Ki
Hajar Dewantara mempunyai faham dan pengertian tentang demokrasi yang khas,
yang dikenal sebagai demokrasi dan kepemimpinan, suatu demokrasi yang
berjiwa kekeluargaan. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang merupakan pedoman atau
petunjuk operasional praktis, diantaranya disebut: Tringa, Tri pantangan, Wasita
Rini, Sepuluh Sendi Hidup Merdeka dan sebagainya.Yang berbentuk fatwa antara
lain: “Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia”, “salam bahagia diri tak boleh
menyalahi damainya masyarakat”, “Neng, Ning, Nung, Nang”, dan lain
sebagainya.
A. Pengertian Sistem Among
Sistem Among adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem
pendidikan Taman Siswa, dengan maksud mewajibkan pada guru supaya
mengingati dan mementingkan kodrat-iradatnya anak-anak, dengan tidak
melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Oleh karena itu alat ”perintah,
paksaan dengan hukuman” yang biasa dipakai dalam pendidikan zaman dahulu,
harus diganti dengan aturan: memberi tuntunan dan menyokong pada anak-anak
di dalam mereka bertumbuh dan berkembang karena kodrat-iradatnya sendiri,
melenyapkan segala yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan sendiri itu
serta mendekatkan anak-anak kepada alam dan masyarakatnya.
Perintah dan paksaan hanya boleh dilakukan jika anak-anak tidak dapat
dengan kekuatannya sendiri menghindarkan mara-bahaya yang akan menimpanya,
sedangkan hukuman tak boleh lain dari pada sifatnya kejadian yang sebetulnya
harus dialami, sebagai buah atau akibat kesalahannya; hukuman yang demikian itu
lalu semata-mata menjadi penebus kesalahan, bukan siksa dari orang lain. Ki
Hadjar Dewantara dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa (HC)
dari UGM tahun 1956 dalam 60 tahun Taman Siswa menjelaskan analog
hubungan guru-siswa serupa dengan hubungan petani dan tanamannya. Untuk itu
guru terhadap para murid harus berfikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru
Tani terhadap tanamannya. Orang bercocok-tanam harus takluk kepada kodratnya
tanaman, janganlah tanaman ditaklukkan pada kemauan si-petani. Haruslah si
petani menyerahkan dirinya, yakni menghilangkan kemurkaan dirinya, dengan
iklas dan ridla kepada kepentingan tanamannya dan mengejar kesuburan
tanamannya semata-mata. Kesuburan tanamannya inilah yang menjadi
kepentingan si juru-tani. Haruslah ia tahu akan perbedaan antara padi, jagung, dna
tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing untuk dapat bertumbuh dengan
subur dan dapat berhasil. Karena itu perlulah si petani tahu, insaf dan
mengerjakan segala ilmu atau pengetahuan pertanian, yang benar dan baik.
Dalam pada itu janganlah membeda-bedakan pula dari mana asalnya pupuk,
asalnya alat, atau asalnya ilmu pengetahuan pertanian, dan sebagainya; segala
yang dapat enyuburkan tanaman menurut kodrat dan irodatnya harus dipakai
olehnya (petani). Aplikasi sistem among dalam pendidikan kehidupan
masyarakat; Di dalam masyarakat ada beberapa macam usaha bersama sehingga
mewujudkan usaha masyarakat, seperti: pemerintahan, pertanian, perdagangan,
dan sebagainya. Dala masyarakat yang masih muda dan primitif, sering terdapat
satu orang yang mengerjakan berbagai macam pekerjaan tersebut. Akan tetapi
datanglah waktunya perbedaan dasar dan kecakapan terlihat, dan dipergunakan
untuk pembagian pekerjaan (diferensiasi); inilah sifat masyarakat yang dewasa.
Diferensiasi ini tidak boleh memecah-belahkan golongan-golongan tersebut,
akan tetapi haruslah memperhubungkan semuanya untuk berlangsungnya
keperluan umum, yaitu tertib-damainya masyarakat. Dalam hal ini, sistem among
mengandung arti memerdekakan tiap-tiap manusia untuk hidup menurut kodrat-
irodatnya sendiri-sendiri, akan tetapi mewajibkan mengajar “tertib-damainya”
Umum.
B. Makna Pendidikan bagi Sistem Among
Pendidikan tidak dimaknai dengan paksaan. Lebih tegas lagi dikatakan:
”...apabila kita mengetahui, bahwa sesungguhnya perkataan ”opvoeding” atau
”paedagogiek” itu tiadalah dapat diterjemahkan dengan bahasa kita.
Panggulawentah (bahasa Jawa) itu bukan memberi pengertian ”opvoeding” ,
sebab panggulawentah itu hanya pekerjaannya si dukun bayi. Yang hampir
semaksud yaitu perkataan kita Momong, Among, dan Ngemong” Pemaknaan
pendidikan yang demikian inilah yang mendasari pendidikan itu dilakukan.
Caranya tidaklah menggunakan pemaksaan. Pendidik memiliki kewajiban
mencampuri kehidupan anak didik jika sudah ternyata si anak berada di atas jalan
yang salah.
Ki Hadjar Dewantara menjelaskan tentang dasar pendidikan sebagai berikut.
Pendidikan tidak memakai dasar ”regering, tucht en orde” tetapi ”orde en vrede”
(tertib dan damai, tata-tentrem). Pendidik wajib menjaga atas kelangsungan
kehidupan bathin sang anak, dan haruslah anak dijauhkan dari tiap-tiap paksaan.
Namun demikian, pendidik juga tidak akan ”nguja” (membiarkan) anak-anak.
Pendidik mempunyai kewajiban mengamati, agar anak dapat bertumbuh menurut
kodrat. ”Tucht” (hukuman) itu dimaksudkan untuk mencegah kejahatan. Sebelum
terjadi kesalahannya, aturan hukumannya sudah harus tersedia. Misalnya, barang
siapa datang terlambat tentu akan dapat hukuman berdiri di muka kelas. Hukuman
semacam itu, pertama adalah tiada setimpal dengan kesalahannya.
Kedua, tiap-tiap aturan yang mendahului kenyataannya, itulah bertentangan
dengan sifatnya roch manusia, yang tiada dapat dimasukkan dalam peraturan.
Tanda buktinya adalah untuk mengatur ketertiban pergaulan hidup, sudah ada
macam-macam dan ribuan peraturan. Tetapi setiap hari orangpun masih selalu
membuat aturan baru. Itulah tandanya setiap peraturan tiada akan bisa sempurna.
”Orde” (ketertiban) yang dimaksudkan dalam pendidikan barat jelaslah hanya
paksaan dan hukuman. Dari sebab itu dasar pendidikan menjadi orde en vrede,
tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan syarat-syarat sendiri, yang
tiada akan bisa bersifat paksaan. Dan oleh karenanya, maka hukuman yang tiada
setimpal dengan kesalahannya pun tidak akan terdapat.
Kesemuanya itu merupakan syarat-syarat jika pendidikan hendak
mendatangkan manusia yang merdeka dalam arti kata yang sebenar-benarnya.
Yaitu lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan .... dapat
berdiri sendiri karena kekuatan sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan harus
senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan iu bersifat tiga macam: berdiri sendiri
(zelfstandig), tidak tergantung kepada orang lain (onafhankelijk), dan dapat
mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).
Maksud pendidikan Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak- anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan keahagiaan setingi-
tingginya. Oleh karen itu, haruslah diingat bahwa pendidikan hanya suatu
”tuntunan” di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti, bahwa hidup
tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan dan kehendak kaum pendidik.
Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup jelas hidup
dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrati yang ada pada anak-
anak tidak lain adalah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari
anak-anak itu, yang ada karena kekuasaan kodrat. Kaum pendidik hanya dapat
menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat
memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Peralatan pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara (1977: 29) menjelaskan
yang dimaksud dengan perkataan ”peralatan” itu sebenarnya alat-alat yang pokok,
cara-caranya mendidik. Dengan demikian sebenarnya cara-cara itu teramat
banyaklah jumlahnya. Akan tetapi dari sekian banyak itu dapatlah dibagi dalam
beberapa kategori, sebagai berikut: (a) memberi contoh (voorbeeld); (b)
pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming); (c) pengajaran (leering, wulang-
wuruk); (d) perintah, paksaan, dan hukuman (regeering en tucht); (e) laku
(zelfbeheersching, zelfdiscipline); (f) pengalaman lahir dan batin (nglakoni,
ngroso, beleving). Alat-alat itu tidak perlu dipilih atau dilakukan semuanya,
bahkan ada yang tidak mufakat dengan salah satu dari yang termaktup tersebut.
Seringkali seorang pendidik mementingkan sesuatu bagian dan pada umumnya
memilih cara-cara itu dihubungkan dengan jenis keadaan, khususnya kondisi usia
anak.
Perguruan, berasal dari bahasa Jawa Paguron, mempunyai arti tempat
dimana guru tinggal, dapat juga berarti ajarannya itu sendiri. Dengan demikian
suatu paguron selain sebagai sekolah juga sebagai tempat tinggal guru. Hal ini
dimaksudkan agar kegiatan para guru dan murid tidak terbatas pada jam-jam
resmi belajar, tapi kegiatan tersebut diadakan sesudah jam-jam resmi belajar.
Dengan demikian suasana perguruan menjadi hidup dengan berbagai kegiatan
oleh raga, kesenian, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut berada dibawah
bimbingan dan pengawasan para guru. Jam paguron Tamansiswa adalah jam
kehidupan keluarga sepanjang hari dan dikenal bahwa tugas tersebut selama 24
jam.
Perguruan sebagai tempat tinggal pamong bersama murid dan sekaligus
sebagai tempat berguru (sekolah) dikenal dengan istilah “School worningtype”
merupakan ciptaan Ki Hajar Dewantara. Dalam perguruan semacam itu, hubungan
kekeluargaan antara pamong dan siswa, antara siswa dan siswa sangat erat.
Hubungan kekeluargaan ini meresap pada sanubari baik pada siswa maupun
pamong. Hal ini sangat berbeda dengan sekolah sitem Barat, karena sesudah jam
pelajaran selesai, maka sepilah suasana sekolah tersebut.
C. Pelaksanaan Sistem Among pada Konteks Sekarang
Tamansiwa lahir pada tanggal 3 Juli 1922, dengan terminologi asing
“Nationale Onderwijs Tamansiswa” atau dikenal sebagai Perguruan Nasional
Tamansiswa. Berdirinya Tamansiswa sebenarnya merupakan kelahiran kembali
Sistem Paguron yang telah digunakan dikalangan masyarakat Indonesia.
Salah satu ciri penerapan sistem among adalah dengan sistem paguron.
Konsep Ki Hajar Dewantara mengenai sitem paguron banyak keuntungan didapat
melalui sistem tersebut. Terdapat sekolah yang masih melaksanakan sistem
paguron tersebut dengan lengkap, namun pada umumnya dalam beberapa hal
sudah tidak mungkin melaksanakan dengan lengkap. Sekolah yang masih
melaksanakan sistem paguron dengan lengkap adalah Perguruan Taruna
Nusantara di Magelang yang merupakan prototipe Paguron Tamansiswa dalam
skala nasional yang dikelola secara modern dengan perlengkapan alat pendidikan
yang canggih.
Di samping mengenai tempat tinggal yang menerpakan sistem asrama, pada
tahun enam puluhan para pamong sering berkunjung kerumah siswa (home visit)
untuk mengakrabkan hubungan pamong dengan keluarga siswa. Ketika hal itu
ditanyakan kepada salah satu pamong, kondisi sekarang sudah berbeda.
Kunjungan kerumah siswa dilaksanakan bila terdapat permasalahan siswa yang
perlu dipecahkan bersama dengan orang tua siswa. Hal itu antara lain disebabkan
padatnya kurikulum yang harus diselesaikan oleh guru. Dalam pelaksanaan PBM,
pamong membuka pelajaran dengan mengucapkan kata “ salam” yang disambut
siswa-siswa dengan jawaban “ salam” juga. Selanjutnya pamong meminta
siwanya untuk merapikan baju masing-masing, menyiapkan buku- buku yang
akan digunakan, dan selanjutnya memberikan materi pelajaran dan evaluasi.
Untuk menutup belajar mengajar, pamong mengucapkan kata “ salam” lagi
dan dijawab oleh siswa dengan “ salam”. Berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara kepada beberapa informan adalah ada beberapa hal dalam sistem
Among yang sudah tidak dilaksanakan lagi di Taman Dewasa Jetis, yaitu
mengenai rumah untuk pamong, dan kunjungan rumah yang lebih terfokus pada
siswa yang mengalami masalah yang harus diselesaikan bersama orang tua. Untuk
proses pembelajaran masih terlihat dengan jelas suasana penerapan Sistem
Among. Untuk kurikulum muatan lokal sangat terlihat ajaran-ajaran Ki Hajar
Dewantara, yaitu dengan dilaksanakannya muatan lokal Bahasa Jawa dan
karawitan yang merupakan bagian dari kebudayaan lokal.
Beberapa hal yang seharusnya dilaksanakan seperti sistem Paguron sudah
tidak dapat dilaksanakan karena beberapa keterbatasan. Hal tersebut tidak
menyalahi ajaran Ki Hajar Dewantara, karena beliau pernah mengatakan bahwa
pelaksanaan pendidikan disesuaikan dengan jaman, namun demikian harus
mengingat pedoman yang sudah digariskan yantu Sifat, Bentuk, Isi, dan Irama
(SBII). Sifat harus tetap, yang boleh berubah adalah Bentuk Isi dan Iramanya
sesuai dengan kemajuan alam dan jamannya.
Dengan mengikuti pedoman SBII tersebut, Sistem Among mengandung
dinamika yang tinggi, prospektif, menjangkau masa depan, tanpa harus
meninggalkan ciri-ciri khas Tamansiswa.
Lampiran
Als ik eens Nederlander was…
Dalam makalah-makalah harian sekarang banyak sekali dipropaganda
gagasan untuk mengadakan suatu pesta besar di Hindia; pesta satu abad
Kemerdekaan negeri Belanda. Bagi penduduk di daerah-daerah ini tidak boleh
dilewatkan begitu saja bahwa pada bulan November yang akan datang, tepat
seratus tahun yang lalu, negeri Belanda menjadi Kerajaan dan merupakan suatu
bangsa yang merdeka, walaupun dalam kedudukan tersebut negeri ini mendapat
tempat yang paling akhir dalam barisan negara-negara yang berkuasa.
Memang, dilihat dari sudut kewajaran, banyak hal yang patut dikecam
mengenai perayaan peristiwa nasional mendatang ini, oleh karena menunjukkan
betapa besar cinta mereka terhadap tanah airnya di mana nenek moyang mereka
pernah menunjukkan kepahlawanannya. Peringatan itu akan merupakan
pencetusan seluruh rasa kebangsaan mereka atas berhasilnya bangsa Belanda
melepaskan diri dari penindasan penjajah asing satu abad yang lalu dan
membentuk suatu bangsa sendiri.
Saya dengan mudah dapat menyelami perasaan patriotisme Belanda yang
ada pada mereka sekarang, mereka yang dapat merayakan hari ulang tahunnya.
Karena saya pun seorang patriot, dan seperti orang Belanda yang beraliran
nasional murni yang mencintai Tanah Airnya, saya pun mencintai Tanah Air saya
lebih daripada yang dapat saya katakan.
Betapa menyenangkan, betapa nikmatnya bila dapat memperingati suatu
peristiwa nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin sekali menjadi orang
Belanda, walaupun hanya untuk sementara saja, bukan seorang Belanda Lembaran
Negara Hindia Belanda (Staatsblad-nederlander), tetapi seorang Belanda yang
sebenarnya, anak negeri Belanda Raya, bebas dari segala percampuran darah
asing. Betapa saya akan bersuka-cita, bila hari yang didamba-dambakan dalam
bulan Desember yang akan datang ini tiba, hari pesta-pora kemerdekaan. Betapa
saya akan bersorak-sorai melihat bendera Belanda dengan jumbai jingga di
atasnya melambai-lambai dengan bebasnya. Saya akan turut menyanyikan lagu
“Wilhelmus“ (Lagu Kebangsaan Belanda – penterj.) dan “Wien Neerlands bloed“
sampai suaraku parau, bila nanti musik dilagukan orang.
Saya mungkin akan merasa bangga atas segala luapan perasan itu; saya akan
bersyukur kepada Tuhan di gereja Kristen atas kebaikannya, saya akan
memanjatkan permohonan, memanjatkan do’a kepada Tuhan di sorga untuk
terpeliharanya kekuasaan negeri Belanda, juga di daerah-daerah jajahan ini,
sehingga kami masih tetap dapat mempertahankan kebesaran kami dengan
dukungan kekuasaan yang luar biasa besarnya. Saya akan minta kepada semua
orang Belanda di Kepulauan Hindia ini uang sumbangan, bukan hanya untuk
keperluan pesta saja, melainkan juga untuk rencana armada laut Colijn, yang
demikian gigih berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan Belanda, saya
akan……entah apa lagi, tak tahulah saya apa yang masih akan saya lakukan,
senadainya saya seorang Belanda; karena saya kira saya akan berani berbuat apa
saja.
Ah, tidak juga! Seandainya saya orang Belanda, belum tentu saya berani
berbuat segala-galanya. Memang, saya akan berharap agar pesta-pora hari
kemerdekaan itu diselenggarakan semeriah mungkin, akan tetapi saya tidak ingin
kaum pribumi di daerah-daerah ini turut serta dalam perayaan H.U.T. tersebut,
akan saya larang mereka turut dalam bersuka-cita dalam perayaan-perayaan itu,
bahkan tempat berpesta-pora ingin kupagari, agar orang-orang pribumi tidak dapat
melihat sedikit pun kegembiraan kami yang meluap-luap dalam memperingati hari
kemerdekaan kami itu.
Nampaknya seperti kurang sopan, menurut perasaan saya, seolah-olah kami
sudah tidak tahu malu, sungguh tidak pantas, bila kami – saya masih tetap orang
Belanda dalam angan-angan saya – menyuruh orang pribumi turut bersorak-sorai
pada peringatan kemerdekaan kami. Kami pertama-tama melukai rasa harga diri
(kehormatan) mereka yang peka itu, karena kami di tanah tumpah darah mereka
yang kita jajah ini memperingati hari kemerdekaan kami sendiri. Kita sekarang
bersuka-cita oleh karena seratus tahun yang lalu kami terlepas dari jajahan
kekuasaan asing, dan kesemuanya itu akan dilakukan di hadapan mata mereka
yang hingga sekarang masih tetap dijajah oleh kami. Tidakkah sebaiknya kita
memikirkan, bahwa mereka yang tertindas sangat mendambakan saat di mana
mereka seperti kami sekarang akan dapat pula merayakan pesta-pora seperti ini?!
Atau apakah mungkin kami mengira bahwa kami, setelah menjalankan politik
penindasan yang mematikan jiwa selama berabad-abad itu, telah membunuh
segala perasaan dalam jiwa mereka secara tuntas? Kalau begitu, kami benar-benar
akan terkecoh, sebab bahkan bangsa-bangsa yang paling tidak beradab sekali pun
mengutuk segala bentuk penjajahan. Maka, seandainya saya ini orang Belanda,
tidak akan saya adakan pesta peringatan kemerdekaan di suatu negeri, yang
rakyatnya telah kita rampas kemerdekaannya.
Bila kita mengikuti jalan pikiran ini seluruhnya maka bukan saja hal yang
demikian itu tidak adil, melainkan sungguh tidak pantas untuk meminta kaum
pribumi memberikan sumbangannya untuk dana penyelenggaraan pesta tersebut.
Sudah kita hina mereka dengan gagasan memperingati hari kemerdekaan Belanda
dengan berpesta-pora, sekarang ditambah lagi dengan menguras habis dompet
mereka. Betul-betul suatu penghinaan moral maupun material!
Apakah yang ingin mereka capai dengan mengadakan segala pesta-pora itu
di sini, di Hindia? Bila itu dimaksudkan sebagai luapan kegembiraan, maka
kiranya tidak bijaksana untuk melakukannya di sini, di suatu negara yang dijajah.
Mereka melukai hati rakyat negeri ini. Atau apakah mereka hendak menjadikan
suatu pertunjukan kemegahan secara politik! Bila benar demikian, maka tindakan
politik yang demikian itu benar-benar sangat tidak politis. Lebih-lebih di waktu-
waktu sekarang, di kala rakyat Hindia sedang sibuk membina diri dan berada
dalam keadaan hendak bangun walaupun masih agak mengantuk, merupakan
suatu kesalahan taktik untuk memberikan kepada rakyat suatu contoh tentang
bagaimana mereka pada suatu waktu harus merayakan kemerdekaan mereka.
Dengan demikian rakyat digugah nafsunya; secara tidak sadar hasrat kemerdekaan
mereka, harapan akan merdeka di hari mendatang dibina. Tanpa sengaja kepada
rakyat diserukan: “Lihatlah, orang-orang, bagaimana kami memperingati hari
kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena sungguh-sungguh merupakan
suatu kenikmatan untuk menjadi orang merdeka, bebas dari semua penjajahan!“
Bila bulan November tahun ini telah lampau, maka kaum penjajah Belanda
telah melakukan suatu tindakan politik yang sangat berani. Resikonya adalah
tanggungjawab mereka. Saya tidak mau memikulnya walaupun umpamanya saya
orang Belanda.
Seandainya saya orang Belanda, pada saat ini, maka saya akan memprotes
gagasan peringatan ini. Saya akan menulis di semua surat kabar bahwa tindakan
ini salah. Saya akan memperingatkan sesama kaum kolonialku, bahwa berbahaya
mengadakan pesta kemerdekaan di waktu-waktu ini, akan saya nasihatkan semua
orang Belanda untuk tidak menyakiti hati rakyat Hindia Belanda – yang sedang
bangkit dan telah menyakiti hati rakyat Hindia itu – dan tidak membuatnya
menjadi kurang ajar. Sungguh, saya akan mengajukan protes dengan segala
kekuatanku.
Akan tetapi……saya bukan orang Belanda, saya hanya seorang anak negeri
daerah panas ini, kulitku berwarna coklat, seorang pribumi di daerah jajahan
negeri Belanda, maka dari itu saya tidak akan mengajukan protes.
Sebab, seandainya saya mengajukan protes, maka orang tidak terima.
Bukankah dengan demikian saya akan menghina rakyat negeri Belanda yang
memerintah di negeriku ini dan saya akan menjauhkan mereka dari saya. Itu saya
tidak mau, saya tidak boleh berbuat demikian. Seandainya saya orang Belanda,
bukankah saya tidak mau menyakiti hati rakyat kaum pribumi?!
Lagi pula mungkin orang akan mengatakan saya ini kurang ajar terhadap
Seri Ratu yang kita muliakan, dan akan merupakan dosa yang tidak dapat
dimaafkan, karena saya adalah kawulanya (abdinya – penterj.) yang senantiasa
harus setia kepadanya.
Maka dari itu saya tidak mengajukan protes!
Bahkan sebaliknya, saya akan turut berpesta. Bila nanti dipungut
sumbangan, saya pun akan menyumbang walaupun dengan demikian anggaran
belanjaku akan terpaksa kuperkecil menjadi separuh dari biasanya. Kewajibanku
sebagai inlander (orang pribumi) di daerah jajahan negeri Belanda (Nederlandsche
Kolonie) untuk turut memperingati hari kemerdekaan negeri Belanda secara
meriah. Saya akan minta kepada kawan-kawan sebangsaku dan sesama kawula
negara Belanda untuk turut serta dalam pesta itu, sebab walaupun pesta itu
mempunyai arti khusus bagi orang-orang Belanda, namun kita pun mendapat
kesempatan yang paling baik untuk menunjukkan kesetiaan dan kesamarasaan kita
kepada Nederland (negeri Belanda). Selain daripada itu kita akan mengadakan
“demonstrasi setiahati”. Betapa nikmatnya perasaan hatiku nanti. Saya bersyukur
bahwa saya bukan orang Belanda.
Sekarang, marilah kita kesampingkan segala sindiran.
Seperti yang saya katakan pada permulaan karangan ini peringatan ke
seratus tahun kemerdekaan negeri Belanda yang telah kita sebut di atas
menunjukkan dengan baik kesetiaan kepada tanah air yang sudah banyak sekali
didengung-dengungkan itu, dalam hal ini dari pihak orang-orang Belanda. Maka
dari itu saya tidak akan cemburu sedikitpun terhadap kegembiraan meluap-luap
yang akan dirasakan oleh mereka pada hari peringatan kemerdekaan nasionalnya
nanti. Akan tetapi, yang paling menyakiti hati saya dan kebanyakan kawan-kawan
sesama bangsa saya adalah kenyataan, bahwa orang-orang pribumi lagi-lagi harus
turut mmbayar untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kepentingan mereka. Apa yang dapat kita harapkan dari pesta yang kita turut
menyelenggarakannya itu? Tidak ada, paling banyak suatu peringatan bagi kita,
bahwa kita bukan bangsa yang merdeka dan “bahwa Belanda takkan pernah
memberikan kedaulatan kepada kita”, sedikit-dikitnya selama tuan Idenburg tetap
memegang jabatan wali negara, lalu – aneh sekali – pelajaran yanag akan kita
peroleh dari pesta-pesta tersebut: bahwa merupakan suatu kewajiban bagi setiap
orang untuk memperingati hari pernyataan kemerdekaan bangsanya dengan baik.
Oleh Karena itu, saya lebih cenderung kepada gagasan yang akhir-akhir ini
untuk pertama kali diuraikan dalam koran pribumi “Kaoem Moeda” dan dalam
“De Express”, untuk mendirikan suatu panitia kaum pribumi terpelajar di
Bandung, tempat yang mencetuskan gagasan tersebut dan tempat berdirinya
kantor pusat panitia tersebut. Badan itu pada hari peringatan nasional Belanda
akan mengirimkan sebuah telegram ucapan selamat kepada Ratu disertai
pernohonan yang mendesak agar pasal 111 RR (Regeeringsreglement – Peraturan
Pemerintah) dihapus dan suatu Parlemen Hindia dibentuk.
Hasil dari pernohonan tersebut – apa lagi yang mengenai bagian terakhir –
lebih baik tidak usah kita pikirkan; arti dari tindakan itu sendiri sudah dapat
merupakan sesuatu yang berharga. Bukankah suatu permohonan seperti itu sudah
mengandung protes yang menyatakan pertama-tama, bahwa kita hingga kini sama
sekali tidak diberi hak untuk membicarakan masalah-masalah politik, behwa
dengan kata lain kita sama sekali tidak diberi kebebasan dalam bidang tersebut?
Suatu bangsa yang sangat mencintai kemerdekaan seperti rakyat negeri Belanda
yang sekarang akan mengadakan pesta kemerdekaannya tentu akan membenarkan
permohonan seperti itu.
Yang mengenai pembentukan parlemen, di situ nampak dengan jelas betapa
besarnya hasrat kita untuk cout que cout (bagaimanapun juga) mempunyai suara
dalam bagian ini. Ini memang sangat perlu. Di mana bangkitnya rakyat Hindia
telah cukup membuktikan bahwa emansipasi telah berlaku dengan laur biasa
cepatnya, tentu orang pun dapat juga memperhitungkan adanya kemungkinan
bahwa rakyat yang sekarang mereka jajah pada suatu ketika akan melebihi
majikannya. Apa nanti yang akan terjadi bila empat puluh juta orang yang telah
bangun benar datang memintakan pertanggunganjawab kepada seratus orang yang
harus membentuk de Tweede Kamer dan dinamakan perwakilan rakyat itu?
Apakah mereka lebih suka menyerah kelak kalau sudah terlambat, kalau krisis
sudah terjadi?
Kedengarannya agak aneh bahwa panitia yang disebut-sebut di atas justru
minta sebuah parlemen. Sedangkan pihak pemerintah, dengan lamban sekali, baru
mulai dengan pembentukan suatu perwakilan kolonial yang mungkin sekali
anggota-anggotanya hanya orang-orang yang dipilih dan diangkat oleh
Pemerintah sebagai (apa yang dinamakan) utusan dalam dewan daerah – bahkan
panitia dengan tergesa-gesa datang begitu saja membawa sebuah usul yang hebat
sekali, tak lebih dan tak kurang dari mohon sebuah parlemen.
Nampaknya yang dituju oleh Panitia jiwa dapat dihapuskan.
Nah, lihat, sekarang sudah ada pengaruh gagasan peringatan tersebut!
Sungguh, seandainya saya ini orang Belanda, maka saya tak akan pernah
mau merayakan pesta peringatan seperti itu di sini, di suatu negeri yang kita jajah.
Berikan dahulu rakyat yang tertindas itu kemerdekaan, baru sesudah itu kita
memperingati kemerdekaan kita sendiri.