Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

32
1 KEYAKINAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA MENURUT HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ISLAM Oleh : Nofiardi Latar Belakang Masalah Dalam menyelesaikan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Untuk itu, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua pihak dan menetapkan putusan berdasarkan hasil pembuktian, serta untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil atau perististiwa yang diajukan. Keyakinan hakim dalam pembuktian perkara perdata sangat terkait dengan konsep kebenaran formil yang dianut dalam hukum acara perdata. Kebenaran formil tidak mensyaratkan hakim memutus perkara dengan keyakinannya, tetapi cukup berdasarkan alat bukti yang ada dan sah menurut undang-undang. Penyelesaian perkara perdata yang lebih menekankan pada pencarian kebenaran formil, mendapat perhatian dari para ahli hukum, karena terkadang menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang berperkara atas putusan hakim. Apabila hakim semata-mata hanya mencari kebenaran formil, sangat mungkin terjadi pihak yang sesungguhnya benar dapat dikalahkan perkaranya, karena tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang diminta di muka persidangan. Sehingga

description

KEYAKINAN-HAKIM-DALAM-PEMBUKTIAN-PERKARA

Transcript of Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

Page 1: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

1

KEYAKINAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA

MENURUT HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ISLAM

Oleh : Nofiardi

Latar Belakang Masalah

Dalam menyelesaikan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah

menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar

ada atau tidak. Untuk itu, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang

bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian

bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk

menetapkan hubungan hukum antara kedua pihak dan menetapkan putusan

berdasarkan hasil pembuktian, serta untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil

atau perististiwa yang diajukan.

Keyakinan hakim dalam pembuktian perkara perdata sangat terkait dengan

konsep kebenaran formil yang dianut dalam hukum acara perdata. Kebenaran

formil tidak mensyaratkan hakim memutus perkara dengan keyakinannya, tetapi

cukup berdasarkan alat bukti yang ada dan sah menurut undang-undang.

Penyelesaian perkara perdata yang lebih menekankan pada pencarian

kebenaran formil, mendapat perhatian dari para ahli hukum, karena terkadang

menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang berperkara atas putusan hakim.

Apabila hakim semata-mata hanya mencari kebenaran formil, sangat mungkin

terjadi pihak yang sesungguhnya benar dapat dikalahkan perkaranya, karena tidak

dapat menunjukkan bukti-bukti yang diminta di muka persidangan. Sehingga

Page 2: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

2

putusan hakim dalam praktek tidak selalu mencerminkan keadaan yang

senyatanya. Sebagai akibatnya, para pencari keadilan merasa dirugikan hak-hak

dan kepentingannya.

Oleh karena itu, upaya penyelesaian perkara perdata yang berpijak pada

kebenaran formil belum dapat sepenuhnya memberikan perlindungan dan jaminan

terciptanya keadilan bagi para pencari keadilan. Kalau hal itu terus dipertahankan,

maka nampaknya semboyan bahwa lembaga peradilan sebagai benteng terakhir

bagi pencari keadilan dalam mencari kebenaran dan keadilan tentunya menjadi

tidak signifikan lagi. Pada gilirannya akan berakibat mengurangi kepercayaan

masyarakat terhadap kinerja dan integritas institusi peradilan. Sehingga dalam

praktek peradilan perdata, ada kecendrungan mulai menuju kepada kebenaran

materil, karena pencarian kebenaran formil semata dirasakan belum cukup.

Dalam hal ini Abdul Manan, mengatakan bahwa kontras antara pencarian

kebenaran formil dan materil tidak relevan dalam hukum acara perdata,

mengingat bahwa dalam praktek, ada tuntutan untuk mencari keduanya secara

bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepada seorang hakim

di pengadilan.1

Hal lain bisa dilihat dengan masih adanya putusan-putusan yang bersifat

tidak menyelesaikan perkara dan berpotensi menimbulkan sengketa dikemudian

hari serta putusan-putusan yang walaupun bersifat condemnatoir namun tidak

dapat dieksekusi.

1 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Jakarta,

2006, hlm.228

Page 3: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

3

Dalam Islam prinsip kebenaran dan keadilan itu banyak ditemui dalam Al-

Qur‟an diantaranya firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat : 60

زشي انحق ي سثك فال رك ي ان

“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau

(Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.”

Kemudian firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat : 8 yang berbunyi :

كى شب قو عه االيأيبانز ي ايا كا قايي هلل شذاء ثهقسط ال يجشي

هللا ا هللا خجيش ثب رعه ا اعذ نا اقشة نهزق انزقرعذ ن

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang

selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,

mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu

lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Selanjutnya firman Allah dalam Surat al-Ma‟idah ayat 42 :

يى ثهقسط ا هللا يحت انقسطي..ا حكذ فحكى ث.

“Dan jika kamu memutus perkara mereka, maka hendaknya perkara itu

diputuskan secara adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

adil”.

Ayat-ayat diatas menggambarkan secara umum tentang kebenaran dan

keadilan, sedangkan bagaimana mengimplementasikannya dalam bentuk

beracara di pengadilan ditentukan oleh para hakim berdasarkan petunjuk Nabi dan

hasil ijtihadnya.

Tulisan ini akan menyorot bagaimana keyakinan hakim dalam pembuktian

perkara terkait dengan kebenaran formil, menurut hukum acara perdata dan

hukum Islam dalam bentuk komparasi dari kedua system hukum itu.

Page 4: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

4

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan dan kekuatan alat bukti dapat menumbuhkan

keyakinan hakim dalam memutus perkara.

2. Bagaimana menurut hukum acara perdata dan hukum Islam tentang perlu

tidaknya keyakinan hakim dalam memutus perkara perdata yang telah cukup

bukti yang didasarkan atas kebenaran formil.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan alat bukti yang memberikan keyakinan kepada

hakim dalam memutus perkara perdata di sidang pengadilan.

2. Untuk mengetahui perlu tidaknya keyakinan hakim dalam memutus perkara

perdata yang telah cukup bukti yang didasarkan atas kebenaran formil.

Metoda Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum

normatif atau doktrinal. Dalam konsep normatif ini hukum adalah norma, baik

yang diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum),

ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang terdapat dalam produk

hukum nasional. Setiap penelitian hukum yang mendasarkan hukum sebagai

Page 5: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

5

norma ini dapatlah disebut sebagai penelitian normatif atau doktrinal dan

metodenya disebut sebagai metode doktrinal.2

2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini bercorak penelitian hukum kepustakaan murni (library

research) dalam arti semua datanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang

berkaitan dengan topik yang dibahas. Oleh karena itu penulis mengumpulkan

data-data yang bersumber dari:

a. Bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Bahan hukum sekunder, yakni berupa karya ilmiah, dalam bentuk buku-buku,

majalah, artikel, hasil penelitian, makalah.

c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedia.

d. Kemudian untuk Hukum Islam data-data diambil dari sumber hukum Islam

yaitu : Al-Qur‟an, Hadits, Ijtihad, serta pendapat para ulama yang relevan

dengan topik penelitian ini.

Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik

suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hal tersebut

sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji yang mengatakan

bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder belaka dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian

hukum kepustakaan.3

1. Tekhnik Analisis Data.

2 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum , PT.Rineka Cipra, Jakarta, 1996, hlm.33

3 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

ed.Kesembilan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 13.

Page 6: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

6

Data yang ditemukan akan dianalisa dengan tiga metoda analisa, yaitu

induktif, deduktif, dan komparatif. Analisa data yang berkaitan dengan hukum

acara perdata dengan menggunakan metode berfikir induktif akan dimulai dengan

menganalisa pendapat para pakar dan praktisi hukum Indonesia yang berkaitan

dengan topik ini. Sedangkan yang berkaitan dengan hukum Islam akan beranjak

dari pendapat fuqaha’ atau pakar hukum Islam. Data-data dan pendapat-pendapat

tersebut akan dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan.

Sedangkan analisa data dengan menggunakan metode deduktif akan

beranjak dari ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip umum berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Al-Qur‟an dan Sunnah.

Selanjutnya akan dinilai fakta-fakta dan pendapat-pendapat yang bersifat khusus.

Terakhir penelitian dilakukan dengan metode komparatif. Pendapat-pendapat

yang berbeda akan diperbandingkan dengan menganalisis argumen-argumennya.

Dengan menggunakan metode tersebut, ketentuan-ketentuan yang berbeda antara

hukum acara perdata dan hukum Islam, juga akan diperbandingkan dengan cara

mencari persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di antara keduanya.

Kemudian hasil analisa ini akan disajikan dalam bentuk deskriptif analitik.

Pembahasan

Pengertian Pembuktian

Dalam persengketaan di pengadilan, pembuktian adalah merupakan sesuatu hal

yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan atau menentukan jalannya

suatu perkara dalam sidang.

Page 7: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

7

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan.4 H.Riduan Syahrani mengatakan bahwa pembuktian

adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang

memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang

dikemukakan.5 Sedangkan Hasbie As Shiddieqie mengatakan, pembuktian itu

adalah segala yang dapat menampakkan kebenaran, baik ia merupakan saksi atau

sesuatu yang lain.6

Pembuktian dalam hukum Islam dikenal dengan istiah al-bayyinah. Secara

etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menjelaskan yang hak (benar).7 Secara teknis berarti alat-alat bukti dalam sidang

pengadilan. Dengan demikian dapat juga dipahami bahwa alat bukti adalah cara

atau alat yang digunakan dalam pembuktian. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah,

tokoh fikih mazhab Hanbali, al-bayyinah mengandung pengertian yang lebih luas

dari definisi mayoritas ulama yang dapat digunakan untuk mendukung dakwaan

seseorang.8 Al-bayyinah didifinisikan oleh Ibn Qayyim sebagai segala sesuatu

yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar) di depan majlis hakim,

baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi yang dapat dijadikan

pedoman oleh majlis hakim untuk mengembalikan hak pada pemiliknya.9

4 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Cet. Ketujuhbelas, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 1

5 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,

hlm. 83. 6 Hasbie As Shiddieqie, Filsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 139

7 Abdurrahman Ibrahim Al-Humaidi, al-Qadha’ Wa Nizamuhu Fi al-Kitab Wa al-Sunnah, Cet, I, al-

Makkah al-Arabiyah al-Saudi, Jani‟ah Umm al-Qura, 1989, hlm. 382. 8 Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil Alamin, Jilid I, Mathba‟ah Sa‟adah,

Mesir, tt, hlm. 97 9 ibid

Page 8: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

8

Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa

pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim

akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang

bersangkutan melalui alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang

(syariat).

Sistem Pembuktian

Sistem hukum acara perdata di Indonesia yang merujuk kepada HIR/RBg

mendasarkan sistem pembuktiannya kepada “ kebenaran formil”, artinya hakim

dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat pada cara-cara tertentu

menurut yang telah diatur di dalam undang-undang saja.

Dalam praktek peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari

kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan

pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian

kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam

mengkonstatir, mengualifisir dan mengkonstituir, serta mengambil keputusan

berdasarkan kepada pembuktian tersebut. Oleh karena itu sistem ini sudah banyak

ditinggalkan orang, karena perkembangan hukum dan keperluan praktek

penyelenggaraan peradilan. Akhirnya dipakai hukum acara perdata yang bukan

hanya ditunjuk dalam HIR/RBg, tetapi juga didapat dalam Rsv (Reglement op de

Rechtvordering), dari kebiasaan-kebiasaan praktek peradilan, termasuk dari surat-

surat edaran/petunjuk Mahkamah Agung, diantaranya mengatakan bahwa

walaupun dalam perkara perdata kebenaran yang hendak dicari adalah kebenaran

formil, akan tetapi pada dasarnya bagi perkara perdata tidak dilarang untuk

Page 9: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

9

mencari dan menemukan kebenaran materil. (Putusan MA-RI No.3136

K/Pdt/1983).

Dengan demikian sistem pembuktian, tidak lagi berdasarkan kepada

kebenaran formil saja tetapi juga pada kebenaran materil, artinya walaupun alat

bukti telah mencukupi menurut formal dengan alat bukti yang ditentukan dalam

undang-undang, namun hakim tidak boleh memutus perkara kalau ia tidak yakin

bahwa hal itu telah terbukti secara materil.

Dalam terminologi Islam para ulama fiqh tidak membedakan hukum-

hukum bayyinat (pembuktian) dalam perkara mu’amalat (kasus-kasus perdata)

dengan hukum-hukum bayyinat dalam perkara ‘uqubat (kasus-kasus pidana).

Lebih dari itu, pada kasus-kasus tertentu, Allah SWT dan RasulNya telah lansung

menetapkan hukum acara tertentu pada kasus tertentu dalam hal pembuktian.

seperti pembuktian pada kasus zina serta tata cara li’an, dan sebagainya.

Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan

pembuktian, namun pembuktian itu harus dinilai atau dalam istilah hukum Islam

dikenal juga dengan tarjihul bayyinah.10 Dalam hal ini undang-undang dapat

mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya,

sebaliknya undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim

dalam menilai pembuktian. Misalnya, dalam hukum acara perdata umum,

terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis hakim terikat dalam

10

Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Op cit, hlm. 134

Page 10: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

10

penilaiannya, sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang

berarti bahwa hakim bebas menilai kesaksian.11

Pada umumnya sepanjang undang-undang tidak mengatur, hakim bebas

untuk menilai pembuktian. Apabila alat bukti cukup memberi kepastian tentang

peristiwa yang disengketakan untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut

oleh penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap

atau sempurna. Jadi bukti itu dinilai lengkap atau sempurna, apabila hakim

berpendapat, bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus

dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar.

Akan tetapi selengkap apapun suatu pembuktian bisa saja dilumpuhkan

oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan

untuk menyangkal akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk

membuktikan ketidakbenarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan.

Karena bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan

atau memutuskan. Bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau

sempurna yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dengan adanya bukti lawan

menimbulkan implikasi terhadap masing-masing alat bukti tersebut, dimana

hakim harus memeriksanya secara cermat, mana alat bukti yang benar dan kuat di

antara alat bukti dimaksud.

Selanjutnya berkenaan dengan mempertahankan sistem kebenaran materil

adalah dimaksudkan untuk mengantisipasi kekecewaan hukum, dalam hukum

11 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yokyakarta,2006, hlm. 109

Page 11: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

11

Islam misalnya terdapat beberapa contoh kasus di antaranya adalah tentang

sumpah li’an, seperti yang terdapat dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 6-9 yang

ilustrasinya sebagai berikut :

Suami adalah orang yang saleh dan taat beragama, ia yakin bahwa istrinya

telah berbuat zina dan anak yang lahir dari kandungan isterinya itu adalah bukan

anaknya, tetapi suami tidak mampu membuktikannya dengan empat orang saksi.

Suami mengucapkan sumpah li’an dalam tuduhannya dan pengingkaran anak

tersebut, sehingga suami terlepas dari had qazaf, anak tersebut nasabnya hanya

kepada ibunya, perkawinan keduanya terputus dan isteri terkena had zina, akan

tetapi isteri berani pula mengucapkan sumpah, membantah sumpah li’an

suaminya, sehingga dengan sumpah bantahan ini, isteri terhindar dari hukuman

rajam. Hanya saja karena isteri dalam hal ini bukan wanita yang taat, sehingga dia

tidak peduli dosa besar apalagi dosa kecil dan tidak peduli sumpah apapun ia

berani saja mengucapkannya.

Dari beberapa keterangan ini, bertambah jelas bahwa sistem pembuktian

formil semata-mata akan membawa kepada kekecewaan hukum. Akan tetapi di

antara ulama ada yang berpendapat bahwa di dalam hal tarjih al-bayyinah

sebenarnya, cukup berpegang pada kaedah umum hadits yakni al-bayyinah al-

mudda’i, diserahkan pada pertimbangan hakim, tidak perlu hakim mengikuti

teori-teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli fiqh belakangan.12

Hukum pembuktian berorientasi pada perkembangan, ajaran hukum yang

menyatakan bahwa hal yang dapat dibuktikan itu hanyalah kejadian-kejadian atau

12

Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’ Fi al-Islam, Mathba‟ah Sa‟adah, Mesir, tt. hlm. 299

Page 12: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

12

peristiwa-peristiwa saja, dan dengan terbuktinya kejadian-kejadian atau peristiwa-

peristiwa tersebut, hakim menyimpulkan adanya hak milik, adanya piutang,

adanya hak waris dan sebagainya, ajaran hukum yang demikian sekarang sudah

banyak ditinggalkan, sebab pandangan ajaran tersebut terlalu sempit, yang

dibuktikan itu hanya yang dilihat dengan panca indera saja, padahal banyak lagi

yang lain seperti hak milik, perikatan dan sebagainya yang harus dibuktikan

secara lansung.

Macam-macam alat bukti

Untuk membuktikan peristiwa-peristiwa di muka persidangan dilakukan

dengan menggunakan alat-alat bukti. Dengan alat-alat bukti yang dimajukan itu

memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang didalilkan.

Dalam Hukum Acara Perdata telah diatur alat-alat bukti yang

dipergunakan dipersidangan. Dengan demikian hakim sangat terikat oleh alat-alat

bukti, sehingga dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib memberikan

pertimbangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dalam hukum positif, perihal pembuktian mempunyai muatan unsur

materil dan formil. Hukum pembuktian materil mengatur tentang dapat tidaknya

diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu dipersidangan serta kekuatan

pembuktiannya. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara

mengadakan pembuktian.

Page 13: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

13

Alat-alat bukti yang diakui dalam hukum acara Peradilan Umum termasuk

Peradilan Agama yang ada di Indonesia, diatur dalam pasal 164 HIR, pasal 284

RBg dan pasal 1866 KUHPer, yaitu :13

a. Alat bukti dengan surat/tulisan

b. Alat bukti saksi

c. Alat bukti persangkaan (dugaan)

d. Alat bukti pengakuan

e. Alat bukti sumpah

f. Alat bukti pemeriksaan setempat (discente)

g. Alat bukti keterangan ahli (expertise).

Bukti dengan surat dianggap paling utama dalam perkara perdata, karena

peranan surat atau tulisan amat penting, surat-surat sengaja dibuat berhubung

dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu dikemudian hari. Misalnya

orang yang membayar utangnya minta diberikan tanda pembayaran, orang yang

membuat suatu perjanjian piutang dengan orang lain, minta dibuatnya perjanjian

itu hitam di atas putih, dan lain sebagainya. Berbeda dengan alat bukti dalam

perkara pidana dimana alat bukti yang paling utama adalah keterangan saksi.

Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang

diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang yang telah melihat

atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang itu di muka hakim

diajukan sebagai saksi. Apa yang dilihat dan didengar saksi itu diterangkan di

persidangan. Adalah mungkin bahwa orang tadi pada waktu terjadinya peristiwa

13

Lihat K.Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/HIR, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm.71.

lihat juga R.Subekti dan R.Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,

Jakarta, 1992, hlm. 397

Page 14: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

14

itu dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlansung itu

(jual beli, sewa menyewa dll). Ada pula orang yang secara kebetulan melihat atau

mengalami peristiwa yang dipersengketakan itu.

Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau

mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk

membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungannya dengan peristiwa

yang harus dibuktikan tadi. Misalnya, jika tidak mungkin membuktikan secara

lansung bahwa suatu barang sudah diterima oleh pembeli, maka diusahakan

membuktikan pengiriman barang-barang tadi dari gudang si penjual dan

diusahakan pula membuktikan bahwa si pembeli tidak lama kemudian telah

menawarkan atau menjual barang-barang seperti itu kepada orang lain. Jika

peristiwa pengiriman barang dari gudang dan peristiwa penawaran yang

dilakukan oleh pembeli kepada orang lain tadi dianggap terbukti oleh hakim,

maka hakim dapat pula menyimpulkan terbuktinya penerimaan barang oleh si

pembeli. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa-

peristiwa lain inilah yang dinamakan persangkaan. Apa yang dinamakan

persangkaan-persangkaan hakim dalam perkara perdata itu adalah sama dengan

apa yang dinamakan pembuktian dengan petunjuk-petunjuk dalam perkara

pidana. Kalau pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan

pembuktian secara lansung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan

pembuktian secara tidak lansung.

Berikutnya “pengakuan” sebagai alat bukti sebenarnya tidak tepat,

karena dalil yang diakui pihak lawan, maka pihak yang mengajukan dalil tersebut

Page 15: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

15

dibebaskan dari pembuktian. Mengenai “sumpah” dimasukkan sebagai alat bukti,

karena sumpah yang dilakukan oleh seseorang itu bermaksud membuktikan

kebenaran suatu peristiwa. Sumpah dapat dimintakan pihak berperkara kepada

pihak lainnya. Meskipun tidak ada para pihak yang meminta lawannya untuk

bersumpah, hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk membebani

sumpah kepada salah satu pihak yang berperkara. Sumpah mana baru dapat

dibebani kepada salah satu pihak setelah hakim memperoleh bukti-bukti yang

ternyata masih kurang untuk membuktikan peristiwanya.

Prihal pemeriksaan setempat memang tidak dimuat di dalam Pasal 164

HIR sebagai alat bukti, tetapi oleh karena tujuan pemeriksaan setempat ialah agar

hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa,maka

pemeriksaan setempat ini, sekarang nyatanya oleh hakim sudah dipakai sebagai

alat bukti. Begitu juga dengan “keterangan ahli” sebagai alat bukti dan

“pengetahuan hakim” yang sering dipergunakan dalam praktek peradilan.

Ada juga alat bukti lainnya yang tidak disebutkan dalam undang-undang yaitu

foto, film, rekaman vidio/tape/CD serta mikrofilm dan mikrofische.14 Menurut

surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor

37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988, mikrofilm atau mikrofische dapat

dijadikan alat bukti surat dengan catatan bila bisa dijamin keotentikannya yang

dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku terhadap

perkara-perkara pidana maupun perdata.

14

Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalamPerkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi,

CV.Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm. 41.

Page 16: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

16

Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Menurut Hukum Acara

Perdata dan Hukum Islam

1. Keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara menurut hukum acara

perdata

Dalam membicarakan kebenaran formil, kajian selanjutnya adalah

masalah apakah dalam pembuktian perkara perdata, selain adanya bukti-bukti

yang ada, masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim atau tidak, atau dengan

perkataan lain dalam memutuskan perkara perdata, apakah hakim diwajibkan

untuk mencapai kebenaran materil atau kebenaran formil. Dalam pembuktian

perkara perdata, yang hendak dicari hakim adalah kebenaran formil, yang

berarti hakim terikat kepada keterangan atau alat bukti yang disampaikan oleh

para pihak. Hakim terikat pada peristiwa yang diakui atau yang

disengketakan. Di sini hakim cukup dengan pembuktian yang tidak

meyakinkan.15Sedangkan pencarian kebenaran materil terutama dilakukan

hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara pidana dan administratif.

Menurut Mertokusumo,16 yang hendak dicari hakim dalam pembuktian

perkara perdata adalah kebenaran formil yang berarti hakim terikat kepada

keterangan atau alat-alat bukti yang disampaikan oleh para pihak. Hakim

terikat pada peristiwa yang diakui atau yang disengketakan. Disini hakim

cukup dengan pembuktian yang tidak meyakinkan.

15

Sudikno Mertokusumo, Op cit, hlm.87 16

Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yokyakarta, 1984, hlm.87

Page 17: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

17

Wahyuni17 mengemukakan bahwa keyakinan hakim dalam perkara

perdata dapat saja ditarik atau dimasukkan dalam alat bukti persangkaan

hakim. Persangkaan hakim ini dapat muncul dengan adanya bukti-bukti lain

yang sudah terbukti lebih dulu, seperti keterangan dari para saksi dan bukti-

bukti lain yang terungkap dalam persidangan. Persangkaan seperti itu dapat

saja diperoleh hakim dari keyakinannya dengan melihat bukti-bukti atau

dengan menghubungkan fakta satu dengan fakta lain dalam persidangan.

Sementara itu, Gusti Made Lingga18 berpendapat bahwa keyakinan hakim

dalam perkara perdata cukup dalam hati nuraninya saja, tidak perlu disebutkan

secara lahir dalam putusan. Oleh karena itu sebelum memutuskan suatu

perkara, hakim harus meyakini kebenaran putusan yang akan diambilnya.

Bagaimana mungkin seorang hakim memutus suatu perkara tetapi tidak

didasarkan pada keyakinan.

Dalam hal ini Wiryono Projodikoro19 mengatakan bahwa tidak ada

salah paham, sebaiknya dibuang saja jauh-jauh pengertian kebenaran resmi

ini. Sebaiknya tidak hanya dalam acara perkara pidana, melainkan juga dalam

acara perdata ditetapkan sebagai dasar, bahwa hakim harus berpedoman pada

satu macam kebenaran, yaitu kebenaran seberapa boleh sekedar dapat dikejar

sebagai kebenaran sejati.

Untuk mencapai kebenaran ini, hakim tidak boleh bersikap lijdelijke

(menunggu dan menyerah), melainkan leluasa penuh untuk meminta

17

Wahyuni dalam Bambang Sutiyoso, Relevansi Kebenaran Formil dalam Pembuktian Perkara

Perdata di Pengadilan, Fenomena,: Vol I No.2, September 2003, ISSN:1693-4296, hlm 157 18

ibid 19

Wiryono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur, Bandung, 1984, hlm. 62

Page 18: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

18

keterangan-keterangan pada pihak yang berperkara tentang apa saja yang

dianggap perlu untuk menjatuhkan putusan yang tepat.

Dalam perkembangan hukum sekarang ini, meskipun kebenaran formil

masih dijadikan pedoman dalam penyelesaian perkara perdata, akan tetapi

secara teoritis sudah ada pandangan bahwa dalam menerapkan kebenaran

formil tidak perlu bersifat terlalu kaku. Bahkan ada pendapat yang

menghendaki dalam hukum acara perdata tidak saja untuk mencari kebenaran

formil tetapi juga mencari kebenaran materil, sebagaimana yang dijelaskan

oleh H.R.Purwata20bahwa mengutamakan kebenaran formil tidaklah berarti

Hukum Acara Perdata sekarang ini mengenyampingkan kebenaran materil,

sebab menurut pendapat para ahli hukum dan yurisprudensi Mahkamah

Agung dalam perkara 3136 K/Pdt/1983 tertanggal 6 Maret 1985, kini sudah

tidak pada tempatnya lagi untuk berpendapat demikian. Hukum Acara Perdata

kini sudah harus mencari kebenaran materil seperti prinsip Hukum Acara

Pidana.

Pendapat di atas diperkuat lagi oleh M.Yahya Harahap yang

mengatakan bahwa pada dasarnya peradilan perdata tidak dilarang mencari

dan menemukan kebenaran materil. Akan tetapi bila kebenaran materil tidak

ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan

kebenaran formil.21

20

Penjelasan Wakil Ketua Mahkamah Agung (H.R.Purwata S.Ganda Subrata,SH) di muka Rapat

Kerja Mahkamah Agung, Departemen Agama di Jakarta tanggal 29 Mei 1981, dalam Roihan

A.Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, hlm. 9 21

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.498. Lihat juga

putusam MA-RI No.3136 K/Pdt/1983

Page 19: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

19

Menurut Maryana sebagaimana yang dikutip oleh Bambang

Sutiyoso22menyatakan bahwa meskipun yang dicari hakim dalam perkara

perdata adalah kebenaran formil, tetapi dalam implementasinya dimungkinkan

ada penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan. Dalam praktek

peradilan hakim perlu melihat kasusnya terlebih dahulu apakah kedudukan

para pihak-pihak yang berperkara seimbang (sebanding) atau tidak. Pengertian

seimbang dilihat dari beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan, ekonomi

dan status sosialnya. Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

kedudukan para pihaknya seimbang, memang kebenaran formil yang dicari

hakim dan sistem pembuktian positiflah yang diterapkan. Tetapi dalam kasus-

kasus tertentu di mana kedudukan pihak-pihak yang berperkara tidak

seimbang atau ada kesenjangan yang cukup signifikan, maka hakim akan

berupaya mengorek lebih dalam dan mengkaji peristiwanya secara lebih

seksama. Dengan demikian diharapkan putusan yang dijatuhkan nantinya

dapat memenuhi rasa keadilan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Elfi Marzuni,23 apabila bukti-bukti

formil sudah cukup membuktikan kebenaran suatu peristiwa, maka hakim

cukup mendasarkan putusan pada kebenaran formil tersebut. Tetapi apabila

kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat mengajukan bukti-bukti

formil yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sama-sama kuatnya, maka

dalam hal ini hakim tidak saja mencari kebenaran formil, tetapi juga harus

menemukan kebenaran materilnya. Misalnya dalam perkara perdata

22

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembanannya di Indonesia , Gama Media,

Yokyakarta, 1997, hlm.154 23

Ibid

Page 20: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

20

kepemilikan tanah, apabila penggugat mengajukan alat bukti akta otentik yang

berupa Sertifikat Hak Milik atas sebidang tanah, sedangkan tergugat

mempunyai dua orang saksi yang mengemukakan keterangan yang berbeda

dengan isi akta otentik milik penggugat. Dalam hal ini hakim perlu

menelusuri lebih jauh dengan memanggil Kepala Desa yang bersangkutan

untuk menjelaskan hal ihwal mengenai kepemilikan tanah tersebut. Kalau

ternyata dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa akta otentik tersebut

dibuat tidak melalui prosedur yang benar, maka berarti akta otentik tersebut

bukanlah alas hak yang sah secara hukum. Oleh karena itu hakim akan

menyatakan akta otentik milik penggugat tidak mempunyai kekuatan hukum

dan tidak mempunyai nilai pembuktian. Peran aktif hakim dalam masalah ini

sangat penting untuk menemukan kebenaran, tidak hanya sekedar menyeleksi

bukti-bukti yang diajukan para pihak tanpa mempunyai inisiatif sedikitpun.

Hal ini sejalan dengan tugas hakim sebagaimana disebutkan dalam UU No.48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) dan (2)

mengatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, serta harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di

bidang hukum.

Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis maupun dalam praktek

peradilan perdata memang tidak dapat disangkal bahwa sistem pembuktian

positiflah yang berlaku. Adanya sistem pembuktian positif ini menentukan

kebenaran yang hendak dicari hakim dalam perkara perdata, yaitu kebenaran

Page 21: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

21

formil. Dengan demikian eksistensi kebenaran formil dalam perkara perdata

dapat diketahui lebih jelas dalam putusan-putusan Pengadilan yang

memeriksa dan mengadili perkara perdata. Putusan-putusan perkara perdata

tersebut kemudian dianalisis untuk melihat beberapa hal, yaitu : Satu, Alat-

alat bukti apa yang digunakan oleh para pihak; Dua, Isi konsideran atau

pertimbangan hukum yang dibuat oleh hakim dalam putusan tersebut; dan

Tiga, putusan mengarah pada kebenaran formil atau kebenaran materil. Titik

tekan analisis terhadap putusan-putusan tersebut adalah pada ketiga hal diatas,

karena dari alat-alat bukti yang diajukan dan pertimbangan hukum yang

dibuat oleh hakim akan diketahui kenapa hakim sampai pada pengambilan

keputusan tersebut. Dari tahap-tahap yang dilakukan hakim tersebut, maka

dapat diketahui putusan cendrung mengarah kepada kebenaran formil ataukah

kebenaran materil.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum yang dikemukakan diatas

ternyata mereka belum mempunyai persepsi yang sama dalam menyikapi

masalah ini. Di satu sisi ada yang membenarkan terhadap adanya keyakinan

hakim dalam perkara perdata, tetapi di sisi lain ada pula yang menolaknya.

Namun perbedaan pendapat tersebut lebih kepada bagaimana tehnis

merealisasikannya di muka pengadilan.

2. Keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara perdata menurut hukum

Islam

Dalam hukum Islam, keyakinan hakim memiliki beberapa tingkatan,

yaitu:

1. Yaqin : meyakinkan, yaitu si hakim benar-benar yakin (terbukti 100%).

Page 22: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

22

2. Zhaan : sangkaan yang kuat, yaitu lebih condong untuk membenarkan

adanya pembuktian (terbukti 75-99 %)

3. Syubhaat : ragu-ragu ( terbukti 50%)

4. Waham : sangsi (terbukti -50%)

Seorang hakim harus menghindarkan memberikan putusan apabila

terdapat kondisi syubhaat atau lebih rendah, tapi hakim boleh berpegang pada

tingkat zhaan.24

Sabda Rasulullah S.A.W :“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang

haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhaat (perkara yang samar)

yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barang siapa yang

jatuh melakukan perkara yang samar itu, maka ia telah jatuh ke perkara yang

haram ” ( H.R. Bukhari dan Muslim ).

Dalam hukum pembuktian hanya diarahkan pada kaedah-kaedah fiqh.

Kaedah-kaedah fiqh yang dimaksud adalah dalil-dalil yang digunakan dalam

pemeriksaan perkara untuk pembebanan pembuktian.

Sebagaimana halnya dalam hukum acara perdata positif, dalam hukum

Islam juga terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli hukum Islam

sebagai berikut :

Pendapat pertama

Dalam hukum Islam, hakim tidak diwajibkan untuk mencapai suatu

kebenaran materil, melainkan hanya diwajibkan untuk mencapai kebenaran

formil saja. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah diputuskan oleh Qadli

24

http://myblogsamudra.blogspot.com/2010/05/pembuktian-dalam -hukum-islam.html Diakses

tanggal 23 Agustus 2011.

Page 23: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

23

Syuraih tatkala memutuskan perkara perdata antara Ali bin Abi Thalib R.A

dengan seorang Yahudi sebagai berikut :

Ali bin Abi Thalib R.A kehilangan baju besi kepunyaannya sendiri, kemudian

didapatinya ada di tangan orang Yahudi. Lalu Ali berkata; itu adalah baju besi

saya yang hilang, jatuh dari untaku yang bernama Auraq. Lalu berkata

Yahudi; baju besi ini kepunyaan saya, sebab ada ditangan saya, kemudian

berkata lagi si Yahudi tadi; antaraku dan kamu ada hakim Islam, lalu mereka

datang kepada Syuraih, … Lalu berkata Syuraih; apa yang kamu kehendaki

ya… Amirul Mukminin ? Ali menjawab, baju besi saya jatuh dari unta saya

yang bernama Auraq, lalu ditemukan oleh si Yahudi, Syuraih berkata; apa

yang hendak kamu katakan hai Yahudi ? Si Yahudi berkata; ini baju besiku

sebab ada ditanganku, Syuraih berkata; Demi Allah! Engkau benar hai Amirul

Mukminin, karena sesungguhnya itu adalah baju besimu, tapi engkau tak

mempunyai bukti dua orang saksi. Lalu Ali memanggil Qambaran dan Hasan

bin Ali lalu keduanya bersaksi bahwa sesungguhnya baju besi itu adalah

kepunyaan Ali, lalu Syuraih berkata : adapun kesaksian dari maula kamu

(Qambaran) maka kami menerima kesaksiannya, tetapi kesaksian dari anakmu

maka kami tidak bisa menerima kesaksiannya. Lalu Ali R.A berkata; celaka

engkau ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Umar bin Khatab

berkata; Telah bersabda Rasulullah SAW; Hasan dan Husein adalah ketua

para pemuda ahli syurga. Kemudian Syuraih berkata kepada Yahudi; ambillah

baju besi itu Lalu orang Yahudi tadi berkata; Amirul Mukminin telah datang

ayahnya bersama-samaku kepada qadli muslimin, lalu ia menjatuhkan vonnis

dan aku telah ridlo, sebenarnya demi Allah ! engkau benar hai Amirul

Mukminin, karena sesungguhnya itu adalah baju besimu yang jatuh dari

untamu, kemudian aku mengambilnya, dengan ini saya bersaksi; Tidak ada

Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah.

Kemudian karena si Yahudi tadi mengucapkan dua kalimah syahadat,

Ali menghibahkan baju besi yang menjadi sengketa tadi kepada si Yahudi dan

ditambah dengan Sembilan ratus uang …Ia (Qadli Syuraih) tidak memutuskan

hukum berdasar atas pengetahuannya (keyakinannya) sebagaimana ia tidak

menerima kesaksian anak terhadap ayahnya.25

Dalam riwayat ini diterangkan bahwa, Qadli Syuraih tidak

memenangkan Ali bin Abi Thalib yang walaupun menurut hal yang

sebenarnya dan menurut keyakinan qadli Syuraih sendiri, Alilah yang benar

25

Muhammad bin Ismail al-Kahlani Al-San‟any, Subul as Salam, Dahlan, Bandun, tt., hlm.125

Page 24: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

24

dan harus dimenangkan, tapi karena Ali tidak membawa cukup bukti, maka

terpaksa Ali harus dikalahkan.

Jadi yang dipentingkan di sini adalah bukti-bukti, apakah telah cukup

bukti atau tidak. Bila bukti telah cukup maka seseorang dapat dimenangkan

berdasarkan bukti-bukti itu, akan tetapi bila tidak cukup bukti-bukti, maka

seseorang tidak dapat dimenangkan walaupun umpamanya menurut keyakinan

hakim dialah yang benar dan harus dimenangkan.

Keputusan qadli Syuraih ini berdasarkan kepada hadits Ummu

Salamah r.a. yang mengabarkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :

اب اب ثشش اكى رخزص ان,نعم ثععكى ا يك انح ثحجز ي ثعط,

فبقط ثح يب اسع, ف قعيذ ن ي حق اخي شيئب فال يأ خز فب ب اقطع ن

قطعخ ي انب س } سا انجب عخ {

“Aku hanyalah seorang manusia dan kamu sekalian mengadukan

pertengkaranmu kepadaku. Barangkali sebagian dari kamu lebih fasih

berdebat daripada sebagian yang lain. Kemudian saya hanya

memutuskan menurut apa yang saya dengar. Oleh karena itu barang

siapa yang telah kuberi putusan untuk memperoleh sesuatu hak dari

hak saudaranya, jangan mengambilnya. Sebab apa yang aku

putuskankan kepadanya (menurut lahirnya, bila bertentangan dengan

sebenarnya) adalah sepotong api neraka” (Rw.Jama‟ah ahli hadits)26

Di dalam hadits tersebut Nabi mengatakan “saya memutuskan menurut

apa yang saya dengar” Jadi apabila seorang hakim memutus dengan hanya

berdasar atas apa yang lahir saja, yakni hanya berdasarkan kepada bukti-bukti

26

Fatchur Rahman, Hadits-Hadits Tentang Peradilan Agama, Cet.pertama, Bulan Bintang, Jakarta,

1977, hlm.165

Page 25: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

25

yang ada saja (formeel waarheid), maka keputusan itu adalah tetap sah dan

berkekuatan tetap yang berdasarkan atas hukum.

Lebih kongkritnya dapat dikatakan bahwa, hakim dalam perkara

perdata boleh memutus dengan kebenaran formil saja. Dan apabila terjadi

kesalahan/kekeliruan dalam memutus karena hanya berdasar atas kebenaran

formil, maka akibat hukumnya adalah :

1. Hakim tetap mendapat satu pahala, sesuai dengan hadits Nabi :

ع عشث انعب ص س ظ هللا ع ع انج صه هللا عهي سهى قب ل

ارا حكى انحب كى فب جزذ فأ صب ة فه اجشا, ارا حكى فجزذ فأ خطأ فه اجش

} يزفق عهي {

“Dari „Amr bin Ash r.a. yang diterima dari Nabi Muhammad SAW

mengabarkan bahwa Nabi bersabda : Apabila hakim hendak mengambil

keputusan, yang disaat pengambilan keputusan ia berijtihad, kemudian

ternyata tepat, maka ia berhak memperoleh dua pahala. Jika ia hendak

mengambil keputusan, yang disaat pengambilan keputusan ia berijtihad,

kemudian ternyata salah, maka ia berhak satu pahala.” (Muttafaq „Alaih)27

2. Pihak yang pandai memutar-balikkan kebenaran diancam dengan ancaman

api neraka (lihat hadits Ummu Salamah di atas)

Rangkaian kata Rasulullah SAW yang menjelaskan apabila

seorang qadli mujtahid memutuskan perkara ternyata putusan yang

berdasarkan ijtihad itu salah ia akan memperoleh satu pahala

menimbulkan pertanyaan, yaitu apakah putusan qadli yang demikian itu

dapat dibatalkan oleh qadli mujtahid yang lain atau tidak.

27

Ibid, hlm.38

Page 26: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

26

Menurut kebanyakan ulama bahwa putusan qadli mujtahid yang

salah itu dapat dibatalkan. Mereka beralasan dengan hadits Abu Hurairah

r.a. yang mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda

ايشارب يعب اثب ب, جبءانزئت ثبث احذب, فقب نذ صبحجزب, اب رجكبذ

ثبثك, قب نذ االخش, اب رت ثب ثك, فزحب كزب ان داد, فقع ث نهكجش, اب

ائز ثهسكي أ شق ثيب, فقب نذفخشجزب عه سهيب ث داد فب خجشرب, فقب ل :

انصغش آل رفعم, يشحك هللا, فقع ث نهصغش } يزفق عهي {

“Konon ada dua orang perempuan bersama dengan kedua anak mereka. Tiba-

tiba datang srigala menggondol salah seorang anak mereka. (terjadilah

perselisihan). Kata salah seorang pemiliknya : “Anakmulah yang digondol

srigala” Bentak yang lain : “Anakmulah yang digondolnya” Akhirnya kedua

orang perempuan tersebut meminta pengadilan kepada Nabi Dawud a.s. Nabi

Dawud a.s. memutuskan anak yang tinggal itu bagi perempuan yang tertua

(yang sedang memegangnya). Lalu mereka pergi menemui Nabi Sulaiman bin

Dawud a.s. untuk menerangkan peristiwa dan putusan itu kepadanya. Kata

Sulaiman : “Ambilkan aku pisau, akan kubagi anak itu untuk kamu berdua”.

Jangan tuan lakukan hal itu, mudah-mudahan Allah melimpahkan kasih

sayang pada tuan, ia adalah anak perempuan (tertua) itu, sesal perempuan

yang muda. Kemudian Nabi Sulaiman a.s. memutuskan anak itu untuk

perempuan yang muda.” (Muttafaq „alaih) 28

Pendapat kedua

Islam adalah suatu agama yang datang dari Allah SWT yang Maha

Adil, Maha Besar, dan Maha Bijaksana dalam segala hal terutama dalam

masalah-masalah hukum. Sebagai pedoman dapat disimak dari firman

Allah, antara lain terdapat dalam :

a. Surat An-Nahl ayat : 90 ...ا هللا يأ يش ثب نعذ ل االحسب

“ Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat baik “

28

Ibid, hlm.45

Page 27: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

27

b. Surat Al-Hujurat ayat : 9 أقسطا ا هللا يحت انقسطي ...

“ Dan berlaku adillah kamu, sesungguhnya Allah mengasihi orang-

orang yang berlaku adil”

c. Surat At-Tien ayat : 8 أنيس هللا ثأ حكى انحب كي

“Bukankah Allah yang paling teguh (adil) dari semua hakim?”

d. Surat An-Nisa‟ ayat : 135

عه افسكى أانانذي االقشثييبيب انز ي ايا كا قايي ثب نقسط شذاء هلل ن

“Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu benar-benar

menjadi orang yang menegakkan keadilan dan menjadi saksi utuk

Allah, walaupun atas dirimu atau ibu bapakmu dan kaum kerabatmu”.

Ayat-ayat diatas jelas dan tegas memerintahkan agar benar-benar

berlaku adil dengan arti kata yang sebenar-benarnya, yakni kita

diwajibkan berlaku adil di dalam segala masalah termasuk di dalamnya

masalah perkara perdata.

Oleh karena itu seorang hakim dalam mengadili sesuatu perkara,

baik perkara perdata ataupun perkara pidana harus mengetahui dengan

yakin mana yang harus dimenangkan dan mana yang harus dikalahkan

sesuai dengan hal yang sebenarnya.

Rasulullah SAW telah mengkualifisir hakim-hakim yang masuk

surga dan yang bakal dimasukkan kedalam neraka. Hakim-hakim itu

tidak akan selamat dari neraka selain mereka yang mengetahui akan

kebenaran sesuatu perkara kemudian memberikan keputusan terhadap

Page 28: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

28

perkara itu berdasarkan keyakinan dan kebenarannya sesuai dengan

ketentuan Tuhan.

Sabda Rasulullah tersebut ialah :

قب ل سسل هللا ص و : انقعبح ثال ثخ احذ ف انجخ اثب ف انب س

سجم عشف انحق فجب س . فأ يب انز ف انجخ فشجم عشف انحق فقع ث

انب س ) سا اث داد( ف انحكى فف انبس سجم قع نهب س عه جم ف ف

“Rasulullah SAW bersabda : Hakim itu tebagi ke dalam tiga golongan.

Golongan pertama akan dimasukkan ke dalam syurga, sedang dua

golongan lagi akan dimasukkan ke dalam neraka. Hakim yang

dimasukkan ke dalam syurga adalah hakim yang mengetahui akan

kebenaran dan menjatuhkan putusannya berdasarkan keadilan dan

kebenarannya itu. Bagi hakim yang mengerti kebenaran, tetapi

menyimpang dari kebenaran itu dan memutus secara dzalim, maka ia

akan dimasukkan ke dalam neraka. Begitu juga bagi hakim yang

menjatuhkan putusan berdasarkan kejahilannya (kebodohan), maka ia

akan dimasukkan kedalam neraka”. (HR.Abu Daud)29

Dalam hadits ini dikatakan bahwa hanya satu hakim yang selamat dan

masuk surga yaitu, hakim yang mengetahui kebenaran dan menghukum

dengannya. Yang dimaksud kebenaran di sini adalah kebenaran dengan arti

yang sebenar-benarnya (materil waarheid), dengan kata lain kebenaran

menurut lahir dan batin, bukan yang ada pada lahirnya saja, apalagi kebenaran

semu. Berkenaan dengan itu Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra ayat :

36

ال رقف يب نيس نك ث عهى ا انسع انجصشانفؤاد كه أنئك كب ع يسؤال

“Dan janganlah kamu mengikut apa yang tidak kamu ketahui, karena

sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati semuanya itu

akan ditanya.”

29

Ibid, hlm. 18

Page 29: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

29

Ayat ini memperingatkan kepada seluruh kaum muslimin, termasuk di

dalamnya hakim agar tidak sembarangan dalam memutus suatu perkara,

hendaklah hakim memperhatikan betul tindakannya karena semuanya akan

dimintai pertanggung jawabannya nanti, disamping ditangan hakim terletak

nasib orang-orang yang meminta dan mencari keadilan.

Memang untuk mencapai kebenaran yang hakiki atau kebenaran sejati

sungguh sangat sulit sekali, sekaitan dengan itu Nabi bersabda :

ع عب ئشخ سض قب نذ, سعذ سسل هللا صهعى يقل, يذع ثب نقب ض انعب د ل يو

انقيب يخ فيهق ي شذح انحسب ة يب يزس ا نى يقط ثي اثي ف عش

}سا اث حجب أخشج انجيق نفظ ف رشح{

“Dari „Aisyah RA berkata; aku telah mendengar Rasullah SAW

bersabda; seorang hakim yang adil diperiksa oleh Allah SWT pada

hari kiamat, lalu karena ia mendapatkan hisab yang sangat berat,

kemudian ia berangan-angan; alangkah baiknya seandainya aku tidak

pernah mengadili (memutuskan suatu perkara) di antara dua orang

seumur hidupku (sewaktu di dunia). Dalam riwayat Baihaqie ditambah

dengan lafadz walau sebesar biji sawi sedikitpun (Riwayat Ibnu

Hibban dan Baihaqie)30

Oleh karena itu Nabi SAW melarang hakim mengadili di waktu ia

marah, dan melarang anak menjadi saksi terhadap ayahnya. Hal ini

dimaksudkan agar hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat mencapai

kebenaran yang sebenarnya, sebab dikhawatirkan bila hakim mengadili

dibarengi dengan adanya rasa marah, benci atau rasa cinta yang sangat seperti

cinta ayah kepada anaknya dan sebaliknya, maka tidak akan tercapai putusan

30

Muhammad bin Ismail al-Kahlani Al-San‟any, Op cit, hlm.122

Page 30: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

30

yang objektif dan adil. Sedangkan Allah SWT menyuruh agar hakim

menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.

Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa‟ ayat : 58

ا هللا يأ يشكى ا رؤ د االيب ب د إن أهب ارا حكزى ثي انب س ا رحكا ثب نعذ ل ...

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan

amanat kepada yang berhak, dan apabila kamu menghukum antara

manusia maka hendknya kamu menghukum dengan adil”

Secara logis dapat dipahami bahwa tidak mungkin hakim dapat

menyampaikan amanat/memutus perkara kepada yang berhak, tanpa

kebenaran sejati, yakni kebenaran menurut lahir dan batin (kebenaran

materil)

Dalam hal ini Ibnu Rusyd berkata dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid :

ا انعهب ء أجعا عه ا انقب ظ يقع ثعه ف انزعذ يم ا نزجشيح أ إرا شذ

د ثعذ عه نى يقع ث انش

Bahwa para ulama sepkat berpendapat, seorang qadli menghukum

dengan ilmunya (keyakinannya) di dalam menerima dan menolak

bukti-bukti. Bila ada beberapa orang saksi memberikan keterangan

yang bertentangan dengan pengetahuan (keyakinan) hakim, maka

hakim tidak boleh menghukum dengan dasar bukti tersebut.31

Dari keterangan Ibnu Rusyd di atas jelaslah bahwa di dalam sistem

peradilan dalam hukum Islam, maka pedoman hakim dalam menjatuhkan

putusan adalah adanya bukti yang sah dan meyakinkan hakim akan

31

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Dar al-Fikr, Beirut, 1990, hlm.470

Page 31: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

31

kebenarannya. Senada dengan itu Abdoerraoef mengatakan bahwa hukum

Qur‟an menuntut adanya keyakinan hakim dalam perkara sipil.32

Dengan demikian nyatalah bahwa dalam hukum Islam, baik perkara

perdata ataupun pidana menuntut hakim memutuskan perkara berdasarkan

kebenaran materil. Hal ini sesuai dengan tujuan dari hukum Islam itu yaitu

untuk mencari keadilan yang sebenarnya.

Setelah mengikuti pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para

ahli hukum diatas, maka dalam menyikapi masalah ini menurut hemat penulis

adalah : Hakim diharapkan berusaha mencapai kebenaran materil,dalam

memutuskan perkara perdata. Akan tetapi bila hal demikian sangat sulit

dilakukan mengingat keterbatasan hakim dalam pemeriksaanya, maka hakim

dapat memutus perkara perdata berdasarkan kebenaran formil.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana yang telah

disebutkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kedudukan dan kekuatan alat bukti akan memberikan pengaruh kepada hakim

untuk sampai kepada keyakinannya dalam memutus perkara, karena alat bukti

berfungsi untuk meyakinkan hakim.

2. Keyakinan hakim sangat diperlukan dalam memutus perkara perdata,

sekalipun alat-alat bukti telah lengkap diajukan oleh para pihak yang

berperkara, dan walaupun kebenaran yang dicari adalah kebenaran formil,

32

Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.193

Page 32: Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara

32

tetapi kebenaran formil itu dimaknai sebagai kebenaran yang sebenar-

benarnya atau kebenaran sejati.

3. Peran keyakinan hakim sangat penting dalam hukum acara perdata dan hukum

Islam disamping adanya alat-alat bukti lain sebagai bahan pertimbangan

hakim dalam memutus perkara.