Kewajiban Beretika Di Tengah Banyaknya Hak Anak
-
Upload
dawam-suprayogi -
Category
Documents
-
view
18 -
download
0
Transcript of Kewajiban Beretika Di Tengah Banyaknya Hak Anak
1
KEWAJIBAN BERETIKA DI TENGAH BANYAKNYA HAK ANAK
oleh:
DAWAM SUPRAYOGI
Sejak dahulu Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan. Bangsa
Indonesia juga mempunyai daya juang yang tinggi dengan didasari oleh moral dan
etika yang tinggi. Moral tersebut didasari oleh agama yang kuat. Hal ini disebabkan
di dalam pendidikan agama ditanamkan nilai-nilai moral yang baik.
Seiring dengan perkembangan zaman, moral dan etika masyarakat di
Indonesia cenderung mengalami penurunan. Permasalahan moral menjadi
permasalahan yang sangat mendasar di negeri ini. Kualitas moral bangsa yang
semakin rendah, dari lingkup kecil sampai dengan lingkup besar, menyebabkan
proses kemajuan bangsa dan negara Indonesia terhambat dalam waktu yang cukup
lama.
Permasalahan moral yang rendah juga terjadi pada anak-anak. Masa kanak-
kanak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang seharusnya diisi
dengan hal-hal positif sehingga menjadi generasi penerus bangsa yang beradab.
Masalah moral ini pun sudah merambah ke dalam lingkup anak-anak, baik dalam
lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah sebagai siswa.
Dewasa ini, kenakalan siswa semakin marak. Tidak terhitung jumlah korban
akibat kenakalan tersebut. Berbagai seminar dan simposium telah banyak digelar
untuk mencari penyebab dan solusi. Para psikolog juga telah banyak berkomentar
2
tentang fenomena ini. Pihak-pihak sekolah pun telah menerapkan berbagai
peraturan. Namun, kenakalan dan perkelahian massal hanya berhenti sebentar.
Kenakalan siswa terjadi baik di dalam maupun di luar sekolah. Di sekolah
sikap siswa kepada teman, guru, dan warga sekolah lainnya terkadang sudah
melampaui batas. Hal tersebut terjadi berulang-ulang di berbagai sekolah. Namun
demikian, sering kali diberitakan terjadi kekerasan oleh guru kepada siswa. Sampai
kapankah hal ini akan terus terjadi di dunia pendidikan Indonesia?
Dalam berbagai pemberitaan, sering kali mengaitkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dengan kasus kekerasan guru.
Dalam undang-undang tersebut dipaparkan bermacam-macam hak anak. Salah satu
hak yang tercantum dalam Pasal 54 undang-undang tersebut adalah anak wajib
dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah,
atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga
pendidikan lainnya.
Berdasarkan Pasal 54 tersebut, pihak sekolah, termasuk guru, tidak
dibenarkan melakukan tindakan kekerasan kepada siswa. Namun, apakah
sebenarnya definisi kekerasan dalam pasal tersebut? Tidak ada penjelasan
mengenai bagaimana bentuk kekerasan yang dimaksud. Tidak ada rincian tentang
hukuman fisik dari guru atau orang tua, mana yang termasuk kategori kekerasan,
mana pula yang tidak. Dalam KBBI dijelaskan bahwa kekerasan adalah perbuatan
seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Hal ini masih
menimbulkan kerancuan, tindakan bagaimana yang dapat dikategorikan sebagai
3
kekerasan. Apakah mencubit, memberi hukuman ringan, dan menegur bila siswa
mulai tidak terkontrol juga merupakan tindakan kekerasan?
Sering ditemui di sekolah guru menghukum siswa, misalnya dengan hormat
bendera, membersihkan lingkungan sekolah, dan membuat tulisan dengan jumlah
tertentu yang berisi kalimat-kalimat penyesalan telah melakukan kesalahan. Tujuan
pemberian hukuman ini sejatinya untuk memberi efek jera bagi siswa yang telah
melakukan kesalahan. Hukuman tersebut bukan bertujuan untuk menyakiti siswa.
Namun, sangat disayangkan ada guru yang menghukum siswa seakan-akan sedang
meluapkan emosinya sehingga tujuan pemberian hukuman menjadi tidak tepat.
Hukuman kepada siswa dapat menjadi keharusan untuk dilakukan walaupun
dalam batas-batas tertentu hukuman tidak diperbolehkan. Tujuan memberikan
hukuman agar siswa bisa menjadi lebih baik, lebih maju, lebih santun, serta lebih
berguna bagi teman dan lingkungannya. Bukan hukuman yang akan menjadikan
siswa semakin terpuruk, sedih, atau malah depresi. Hukuman yang diberikan harus
dapat memberikan efek jera kepada siswa, hukuman harus bersifat mendidik atau
edukatif, hukuman tidak digunakan untuk mempermalukan siswa.
Di satu sisi, guru terkadang memberikan hukuman yang cenderung
membuat siswa takut bahkan trauma. Rasa takut siswa dapat terjadi kepada guru
secara personal, bahkan takut untuk datang ke sekolah. Hal ini dapat berdampak
terhadap menurunnya kualitas pendidikan. Siswa mulai kehilangan semangatnya
untuk sekolah, dan guru pun dapat kehilangan nilainya sebagai pendidik. Pendidik
adalah orang yang memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dengan berkembangnya dunia
pendidikan, nilai-nilai pendidik yang dimiliki oleh setiap guru seharusnya semakin
4
ditingkatkan. Kompleksitas lingkungan siswa membuat kearifan dan kesabaran
guru semakin dibutuhkan.
Di sisi lain, sikap siswa semakin jauh dari nilai-nilai kesopanan. Sikap siswa
kepada teman sebaya, guru, dan orang tua memperlihatkan rendahnya rasa
menghargai dan menghormati yang dimiliki siswa. Hal tersebut kerap terjadi di
sekolah. Pada proses pembelajaran, tidak sedikit siswa yang acuh tak acuh terhadap
pelajaran. Alasan klasik tentang suka atau tidak sukanya siswa kepada guru yang
mengajar sering menjadi penyebabnya. Tidak jarang siswa beralasan tidak suka
kepada gurunya. Terkadang, sikap siswa yang acuh tersebut bukan hanya
menimbulkan rasa enggan untuk belajar pada dirinya sendiri, melainkan juga
menimbulkan dampak kepada teman-temannya. Siswa tersebut cenderung
mengajak teman-temannya untuk bermain saat pembelajaran berlangsung. Ada pula
siswa yang sering meninggalkan kelas bahkan sekolah saat pembelajaran masih
berlangsung. Hal tersebut membuat guru seakan-akan tidak memiliki pilihan lain
selain memberikan sedikit hukuman bagi siswa.
Seakan masih segar dalam ingatan, pada masa sekolah ada hukuman
membersihkan lingkungan sekolah, berdiri di depan kelas, dicubit, dan rambut
digunting. Hal ini bisa didapatkan siswa karena tidak mengerjakan pekerjaan
rumah, membolos, berambut panjang, atau bagi siswa yang berkelahi. Hukuman
tersebut bertujuan untuk membangun kedisiplinan dalam diri siswa. Namun, akhir-
akhir ini sering terdengar guru yang dilaporkan ke polisi akibat memberikan
hukuman seperti itu kepada siswa. Bahkan ironisnya, yang melaporkan adalah
orang tua siswa tersebut. Orang tua tidak menanyakan terlebih dahulu mengenai
kesalahan anaknya, tetapi langsung melaporkan masalah tersebut ke polisi. Apa
5
yang tebersit dalam pikiran siswa pada kasus tersebut? Bisa jadi siswa merasa
kenakalannya dilindungi. Apalagi sampai dikatakan guru tersebut melanggar
Undang-Undang Perlindungan Anak.
Wah, apa yang akan terjadi bila siswa semakin merasa kenakalannya
dilindungi? Pemberitaan yang semakin gencar mengenai perlindungannya,
berpotensi membuat siswa menjadi nakal. Orang tua pun memberikan peran
signifikan. Anaknya yang melakukan kesalahan bukan diperingatkan untuk tidak
mengulanginya, melainkan malah difasilitasi untuk melaporkan gurunya ke polisi.
Kembali melihat Undang-Undang Perlindungan Anak yang selalu
digunakan dalam kasus seperti ini, dalam undang-undang tersebut selain tercantum
hak anak juga tercantum kewajiban anak. Nah, apakah kewajiban tersebut sudah
dilakukan sebelum menuntut haknya? Bukankah kita selalu diajarkan untuk
melakukan kewajiban terlebih dahulu sebelum menuntut hak. Beberapa kewajiban
anak yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah sebagai berikut.
1. Menghormati orang tua, wali, dan guru.
2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
3. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Dari lima kewajiban yang seharusnya mampu dipenuhi, hak anak yang
tercantum dalam undang-undang sangat banyak. Tidakkah masyarakat sekarang
masih menanamkan memenuhi kewajiban itu penting? Masyarakat pun semakin
acuh dengan anggotanya. Masyarakat sudah kurang merespons terhadap kenakalan-
6
kenakalan siswa yang notabene merupakan bagian dari anak-anak di
lingkungannya.
Mengenai kewajiban anak yang juga berperan sebagai siswa di sekolah,
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 12 tercantum kewajiban siswa menjaga norma-norma pendidikan
untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan. Hal tersebut
seharusnya dapat dilakukan dengan meningkatkan sinergi antara pihak sekolah dan
keluarga siswa. Pihak sekolah mengawasi dan membangun sikap siswa di sekolah
sedangkan keluarga mengawasi dan membangun sikap siswa di rumah serta
lingkungannya.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional,
pembelajaran di sekolah hendaknya memiliki fungsi dan tujuan yang mengacu pada
pendidikan nasional. Dalam kaitan ini, sekolah hendaknya berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini bertujuan
untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, lingkungan keluarga merupakan
lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Pendidikan di lingkungan keluarga
berlangsung secara wajar dan informal, serta lebih dominan melalui media
permainan. Keluarga merupakan lingkungan pertama anak yang memberikan
pengaruh mental dan fisik terhadapnya. Dalam keluarga, anak lambat laun
7
membentuk konsepsi tentang pribadinya baik tepat maupun kurang tepat. Melalui
interaksi dalam keluarga, anak dapat mengidentifikasi dirinya dengan kehidupan
masyarakat dan alam sekitarnya.
Orang tua sebagai pendidik betul-betul merupakan pihak yang membentuk
dasar kepribadian anak. Dasar kepribadian tersebut akan bermanfaat dan berperan
terhadap pengaruh-pengaruh atau pengalaman-pengalaman dalam kehidupan anak
selanjutnya. Anak lahir dalam pemeliharaan keluarga dan dibesarkan dalam
keluarga. Anak akan menyerap norma-norma yang ada pada anggota keluarga, baik
dari ibu, ayah, maupun dari saudara-saudaranya yang lain. Oleh karena itu, orang
tua di dalam keluarga berkewajiban untuk memperhatikan dan mendidik anak-
anaknya sejak anak dilahirkan, bahkan sudah ditanamkan rasa kasih sayang sejak
anak masih dalam kandungan ibunya. Jadi, tugas orang tua dalam mendidik anak-
anaknya tidak terkait dengan kedudukan, keahlian, dan pengalaman dalam bidang
pendidikan formal.
Melalui pendidikan dalam keluarga, anak bukan saja diharapkan agar menjadi
pribadi yang mantap, yang secara mandiri dapat melaksanakan tugas hidupnya yang
baik, melainkan ia juga diharapkan kelak dapat menjadi anggota masyarakat yang
baik. Kedua segi pendidikan tersebut, kepribadian yang mantap dan anggota
masyarakat yang baik, bukan merupakan dua hal yang bertentangan, melainkan
keduanya harus terjalin dalam kehidupan yang serasi. Oleh karena itu, pendidikan
merupakan salah satu fungsi pokok dalam keluarga demi membentuk generasi
Indonesia yang lebih baik.