Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

9

Click here to load reader

Transcript of Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

Page 1: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

1

Jurnal Hortikultura, Tahun 1997, Volume 7, Nomor (1): 614-621

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN INSENTIF EKONOMI USAHATANI BAWANG MERAH

Witono Adiyoga dan Thomas Agoes Soetiarso

Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung 40391

ABSTRAK. Adiyoga, W. dan Soetiarso, T. A. 1996. Keunggulan komparatif dan insentif ekonomi usahatani bawang merah. Kegiatan penelitian ini merupakan survai lapangan usahatani bawang merah monokultur yang dilaksanakan pada September-November 1995 di Jawa Tengah (Brebes) dan Jawa Timur (Nganjuk). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki keunggulan komparatif. Nilai sumberdaya domestik yang digunakan dalam proses produksi lebih kecil dibandingkan dengan nilai "foreign exchange" yang diterima atau dihemat. Berdasarkan analisis titik impas, jika harga "border" bawang merah jatuh di bawah US$ 0.45 = Rp. 1 055.25 (Jawa Timur) atau US$ 0.48 = Rp. 1 125.60 (Jawa Tengah), maka usahatani bawang merah di kedua lokasi ini tidak lagi memiliki keunggulan komparatif. Hasil analisis selanjutnya memberikan indikasi tidak adanya insentif ekonomi terhadap usahatani bawang merah yang berupa proteksi untuk harga input dan output. Walaupun hal ini sejalan dengan kondisi yang dikehendaki pada saat perdagangan bebas diberlakukan (kebijaksanaan proteksi harus dihapuskan), intervensi yang berupa usaha perbaikan infrastruktur fisik dan kelembagaan pasar, tampaknya masih perlu dilakukankan untuk mengurangi fluktuasi harga bawang merah. Dengan demikian, sistem produksi bawang merah masih didukung oleh lingkungan produksi eksternal yang dapat memberikan insentif untuk tetap mempertahankan keunggulan komparatifnya. Kata kunci: Keunggulan komparatif; Insentif ekonomis; Biaya sumberdaya domestik; Tingkat nilai tukar. ABSTRACT. Adiyoga, W. and Soetiarso, T.A. 1996. The study of comparative advantage and economic incentive in shallot production. Data required for this study were collected through a field survey on shallot mono-cropping farms, conducted in September-November 1995 in Central Java (Brebes) and East Java (Nganjuk). Results suggest that shallot farming in Central Java and East Java still has its comparative advantage. The value of domestic resources used in shallot production is less than the value of foreign exchange earned or saved. Meanwhile, break-even analysis reveals that shallot farming would be losing its comparative advantage, when the border price is less than US$ 0.45 = Rp. 1 055. 25 (East Java) and US$ 0.48 = Rp. 1 125.60 (Central Java). Further analysis shows that shallot farms do not receive economic incentive, in terms of protection for both input and output. Nevertheless, intervention in the form of improvements of physical and institutional marketing infrastructure are still necessary to reduce shallot price fluctuation. More important, this intervention is required for farmers as incentive to sustain shallot farms' comparative advantage, when free trade agreement is applied in the future. Key words: Comparative advantage; Economic insentives; Domestic resource cost; Exchange rate.

Page 2: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

2

Terbentuknya kelompok-kelompok ekonomi regional menandai era globalisasi yang meng-akibatkan semakin terkaitnya program pembangunan nasional, termasuk sektor pertanian, dengan perkembangan dunia internasional. Skema perdagangan bebas merupakan sasaran akhir yang diyakini sebagai pendorong tercapainya peningkatan efisiensi (Blandford, 1989). Sistim perdagangan bebas ini akan mengarah kepada terwujudnya pasar internasional dengan gangguan (distorsi) minimal dan akan mengurangi terjadinya sengketa perdagangan. Dalam kerangka pembangunan jangka panjang, pasar yang semakin terbuka dan lebih bebas cenderung semakin meningkatkan pertumbuhan pendapatan dan memperluas kesempatan-kesempatan usaha di sektor pertanian (Rosegrant, 1989). Walaupun demikian, keyakinan ini seringkali kurang didukung oleh realita infrastruktur (baik fisik maupun nonfisik) yang kondusif bagi sebuah kompetisi global. Khususnya bagi Indonesia, pertanyaan yang timbul adalah sampai sejauh mana kesiapan yang dimiliki untuk bersaing dengan negara-negara maju. Berkenaan dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas, pasar Indonesia akan terbuka bagi produk-produk pertanian yang berasal dari luar negeri. Sebaliknya, kesempatan yang sama juga lebih terbuka bagi produk pertanian Indonesia di pasar internasional. Secara teoritis, keadaan ini cenderung menyebabkan meningkatnya harga-harga di pasaran dunia yang akan memberikan insentif bagi produsen produk pertanian di negara-negara berkembang untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil (Krissoff, Sullivan & Wainio, 1989). Walaupun demikian, bagi negara yang sedang menjalani proses transisi ekonomi seperti Indonesia, sistim perdagangan bebas dapat pula menimbulkan tambahan beban resiko dan tingginya biaya-biaya pergeseran untuk penyesuaian awal. Ketidak-pastian mengenai perkembangan harga internasional, kemampuan produsen skala kecil untuk memanfaatkan sumberdaya dalam situasi/kondisi perekonomian yang lebih kompetitif dan kemampuan pasar untuk mengkomunikasikan informasi perdagangan secara efisien merupakan faktor-faktor yang menambah kerumitan isu perdagangan bebas (Baharsjah, Hadiwigeno, Dillon, Hedley & Tabor, 1989). Faktor-faktor tersebut secara eksplisit perlu dipertimbangkan dalam penyusunan program pengem-bangan yang realistis. Penanganan pengembangan sektor pertanian, khususnya sub sektor hortikul-tura, harus dilaksanakan secara terarah dan terpadu agar produk-produknya dapat bersaing baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran ekspor (Winarno, 1994). Argumentasi yang melatar-belakangi gagasan perdagangan bebas pada dasarnya mengacu pada konsep keunggulan komparatif dan keuntungan yang dapat dicapai melalui spesialisasi sesuai dengan keunggulan komparatif (Sorenson, 1975). Untuk meningkatkan kebersaingan domestik sub-sektor hortikultura, pengamatan terhadap perkembangan pasar internasional harus mendapat perha-tian yang lebih besar. Kontribusi nyata dari sub sektor ini hanya dapat terwujud jika komoditas-komoditas yang dikembangkan memiliki keunggulan komparatif (Vollrath & De Huu Vo, 1989). Berda-sarkan pertimbangan perbedaan potensi sumberdaya antar wilayah di Indonesia yang sangat beragam, pendekatan keunggulan komparatif akan lebih relevan jika dilakukan dengan basis regional (bukan dengan basis agregat/nasional). Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang memiliki peranan ekonomis penting di Indonesia. Negara pesaing produksi bawang merah Indonesia di Asia Tenggara adalah Thailand dan Filipina. Data statistik tahun 1987 menunjukkan bahwa produktivitas bawang merah di Indonesia (5.5 ton/ha) masih lebih rendah dibandingkan dengan Thailand (12.8 ton/ha) dan Filipina (8.7 ton/ha) (Siemonsma & Piluek, 1994). Data produktivitas bawang merah di Indonesia (nasional) tahun 1990-1994 berkisar antara 6.9 - 7.7 ton/ha (Pusat Informasi Pemasaran, 1996), ternyata juga masih menunjukkan ketertinggalan produktivitas yang cukup tinggi. Hal ini mengindikasikan masih perlunya dilakukan usaha-usaha perbaikan, agar komoditas bawang merah memiliki keunggulan komparatif pada saat kesepakatan perdagangan bebas mulai diberlakukan. Pengalaman tahun 1995/1996 menunjukkan bahwa masuknya bawang merah impor dari Filipina (konsumsi dan bibit) ternyata cukup meresahkan produsen di sentra bawang merah Brebes. Dalam sistim perdagangan bebas, keberadaan usahatani bawang merah sangat bergantung kepada kemampuan produsen untuk selalu meningkatkan efisiensi pengelolaan dan daya saing

Page 3: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

3

usahanya. Dengan kata lain, usahatani bawang merah harus memiliki keunggulan komparatif dan kebersaingan yang tinggi agar dapat memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang ada. Dikaitkan dengan kendala-kendala yang dihadapi oleh produsen skala kecil untuk mengalokasikan sumber-dayanya secara lebih efisien, dukungan infrastruktur yang kondusif (investasi yang lebih tinggi untuk penelitian dan pengembangan, pemberdayaan kelembagaan kelompok tani dan koperasi, serta modernisasi pasar) untuk bersaing dalam suasana kompetisi global sangat diperlukan (Jolly, 1983). Dalam hal ini, ketersediaan teknologi unggul merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur keunggulan komparatif usahatani bawang merah dan mengkaji insentif-insentif ekonomis yang berlaku.

BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian dipilih secara sengaja berdasarkan potensinya sebagai sentra-sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia. Mengacu kepada data sekunder areal tanam (LEHRI/ATA-385, 1992; Pusat Informasi Pemasaran, 1996) serta regionalisasi sentra, dua lokasi penelitian yang terpilih adalah Brebes (Jawa Tengah) dan Nganjuk (Jawa Timur). Penelitian ini merupakan penelitian survai yang dilaksanakan melalui tahapan survai pendahuluan (pengurusan perijinan, pengumpulan data sekunder, pemilihan responden dan uji coba kuesioner) dan survai utama (data primer). Informasi yang dielaborasi dari petani terutama difokuskan untuk memperoleh data primer biaya produksi dan pendapatan usahatani bawang merah monokultur secara mendetil. Berdasarkan pertimbangan tidak digunakannya analisis statistik sebagai alat bantu penarikan kesimpulan dalam penelitian ini, petani responden dipilih secara sengaja. Untuk masing-masing lokasi (Brebes dan Nganjuk) dipilih 15 orang petani responden yang luas pengusahaannya berkisar antara 0.1 sampai 1 hektar (berdasarkan asumsi bahwa petani berlahan sempit memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk tersisih pada saat perdagangan bebas diberlakukan). Landasan analisis keunggulan komparatif adalah suatu teori yang menyatakan bahwa pola produksi dan perdagangan yang optimal dari suatu negara harus ditentukan dengan membandingkan biaya oportunitas dalam memproduksi komoditas tertentu, berdasarkan tingkat harga impor atau ekspor komoditas bersangkutan (Silwal, 1983). Pada keadaan ekuilibrium, komoditas tertentu tidak akan diproduksi seandainya komoditas tersebut dapat diimpor dengan biaya yang lebih rendah. Sementara itu, ekspor komoditas tertentu akan terus meningkat sampai penerimaan marjinal dari komoditas bersangkutan sama dengan biaya marjinalnya. Tahapan analisis mengacu pada metodologi yang disarankan Morris (1990), yaitu : (i) Penghitungan biaya dan pendapatan usahatani. Akurasi perhitungan biaya dan pendapatan (B&P)

ini sangat tergantung pada kelengkapan data primer input-output yang tersedia. Hal penting yang perlu diperhatikan pada tahapan ini adalah penilaian faktor-faktor produksi primer (misalnya, lahan, tenaga kerja dan modal) berdasarkan biaya oportunitasnya. Pada penelitian ini, besaran biaya produksi dan pendapatan usahatani bawang merah merupakan nilai rata-rata dari B&P seluruh responden yang dikonversikan untuk luasan satu hektar.

(ii) Klasifikasi input dan output. Setelah B&P usahatani bawang merah secara finansial dihitung, semua input dan output harus diklasifikasikan sebagai faktor primer atau "tradables". Perbedaan klasifikasi ini diperlukan selanjutnya untuk menghitung Rasio Biaya Sumberdaya (RBS) yang merupakan rasio antara total biaya oportunitas untuk faktor primer dengan nilai tambah "tradables". Faktor primer didefinisikan sebagai semua jenis barang yang umumnya tidak diperdagangkan secara internasional, diantaranya adalah lahan, tenaga kerja dan modal. Sementara itu, "tradables" adalah semua jenis barang yang diperdagangkan atau memiliki potensial untuk diperdagangkan secara internasional. Suatu barang yang memiliki potensial untuk diperdagangkan, tetapi karena alasan ekonomis atau politis secara aktual tidak diimpor atau diekspor, disebut sebagai "non-traded

Page 4: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

4

tradables" dan tetap diklasifikasikan sebagai "tradables". "Non-traded tradables" mungkin saja merupakan komposit yang terdiri dari komponen faktor primer dan "tradables", misalnya pupuk dan pestisida.

(iii) Penentuan harga sosial untuk input dan output. Dalam kajian keunggulan komparatif, harga input dan output yang digunakan adalah harga sosial, yaitu tingkat harga yang mencerminkan nilai ekonomis sesungguhnya dari suatu barang atau jasa (tanpa dibebani pajak, subsidi, tarif impor, kuota dan kebijaksanaan harga lainnya). Harga sosial untuk faktor primer adalah nilai biaya oportunitasnya (pengembalian dari berbagai alternatif penggunaan yang secara sosial paling menguntungkan). Sementara itu, harga sosial untuk "tradables" adalah harga yang dibayarkan pada saat impor atau yang diterima pada saat ekspor. Harga tersebut dikenal juga sebagai harga "border" yang merupakan harga ekivalen output/input di pasaran dunia. Harga "border" bawang merah yang digunakan adalah US$ 0.70 (US$ 1 = Rp. 2345), terdiri dari harga c.i.f = US$ 0.59, dan biaya pengapalan + asuransi + biaya pe-masaran internal = US$ 0.11 (Biro Pusat Statistik, 1995). Pupuk sebagai salah satu "non traded tradables" yang bersifat komposit, terdiri dari komponen luar negeri = 35.15% dan komponen domestik = 64.85%. Sedangkan untuk pestisida, komponen luar negeri = 35.06% dan komponen domestik = 64.94% (Simatupang, Rusastra & Irawan, 1990; Gonzales, Kasryno, Perez & Rosegrant, 1993). Untuk faktor primer, yaitu bibit, tenaga kerja dan lahan, dinilai berdasarkan biaya oportunitasnya.

(iv) Keunggulan komparatif usahatani bawang merah. Keunggulan komparatif diindikasi berdasarkan besaran Rasio Biaya Sumberdaya (RBS=rasio antara biaya bersih faktor primer/domestik dengan nilai tambah "tradables"). Kriteria yang digunakan adalah:

a. 0 < RBS < 1: nilai sumberdaya domestik yang digunakan dalam proses produksi lebih kecil dibandingkan dengan nilai "foreign ex-change" yang diterima atau dihemat = aktivitas bersangkutan memiliki keunggulan komparatif.

b. RBS > 1: nilai sumberdaya domestik yang digunakan dalam proses produksi lebih besar dibandingkan dengan nilai "foreign ex-change" yang diterima atau dihemat = aktivitas bersangkutan tidak memiliki keunggulan komparatif.

c. RBS < 0: nilai "foreign exchange" yang digunakan dalam proses produksi jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai komoditas yang dihasilkan = aktivitas bersangkutan tidak memiliki keunggulan komparatif.

Sensitivitas keunggulan komparatif usahatani bawang merah diukur melalui analisis titik impas harga “border”, yaitu tingkat harga “border” dimana rasio antara biaya bersih faktor primer dengan nilai tambah “tradables” sama dengan satu.

(v) Kebijakan harga, subsidi, ekspor-impor, dan kebijakan makro ekonomi lainnya. Misalnya tingkat nilai tukar dan tingkat bunga, dapat mempengaruhi insentif relatif usahatani bawang merah. Dalam penelitian ini, pengaruh tersebut diukur dengan Tingkat Proteksi Nominal (TPN) dan Tingkat Proteksi Efektif (TPE).

a. TPN = (harga output domestik - harga output border)/harga output border i. TPN > 0 mengindikasikan adanya proteksi harga dan insentif positif bagi

produksi komoditas bawang merah. ii. TPN < 0 mengindikasikan tidak adanya proteksi harga dan insentif negatif bagi

produksi komoditas bawang merah b. TPE = (nilai tambah finansial - nilai tambah ekonomis)/nilai tambah ekonomis

i. TPE > 0 mengindikasikan adanya insentif positif melalui proteksi pada tingkat nilai tukar serta kebijakan perdagangan yang berlaku, bagi produksi komodi-tas bawang merah

ii. TPE < 0 mengindikasikan tidak adanya insentif melalui proteksi pada tingkat nilai tukar serta kebijakan perdagangan yang berlaku, bagi produksi komo-ditas bawang merah

Page 5: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Finansial Usahatani Bawang Merah Analisis finansial usahatani bawang merah monokultur di Brebes dan Nganjuk secara konsisten menunjukkan bahwa bibit dan tenaga kerja merupakan dua komponen pengeluaran terbesar dalam struktur biaya produksi per hektar. Pengeluaran untuk bibit menyerap 40.2% - 41.4%, sedangkan tenaga kerja membutuhkan 29.4% - 30. 9% dari biaya produksi total. Perbandingan secara Tabel 1 Analisis Biaya dan Pendapatan Finansial Usahatani Bawang Merah di Brebes, 1995 (Financial Cost and Benefit Analysis of Shallot Farming in Brebes, 1995)

Uraian (Item) Volume (Volume) Harga satuan (Unit price)

Nilai (Value)

Penerimaan kotor (Gross revenue) 8 155.81 1 428.25 11 648 535.63

Biaya produksi (Production costs):

Bibit (Seed) 1 242.95 2 964.33 3 684 513.97

Pupuk (Fertilizers)

• Urea 308.10 320.00 98 742.86

• ZA 242.86 327.27 80 233.77

• TSP 338.10 426.00 144 171.43

• KCl 193.96 450.77 87 434.07

• NPK 220.00 878.46 194 747.25

Insektisida (Insecticides) 22.45 588 439.43

Fungisida (Fungicides) 17.00 232 210.67

Tenaga kerja (Labor) 2 841 085.71

Sewa tanah (Land rent) 1 214 285.71

Total biaya produksi (Total cost of production) 9 165 864.87

Nilai tambah finansial (Financial value added) 2 482 670.76

Tabel 2 Analisis Biaya dan Pendapatan Finansial Usahatani Bawang Merah di Nganjuk, 1995 (Financial Cost and Benefit Analysis of Shallot Farming in Nganjuk, 1995)

Uraian (Item) Volume (Volume) Harga satuan (Unit price)

Nilai (Value)

Penerimaan kotor (Gross revenue) 7142.86 1 489.56 10 639 718.54

Biaya produksi (Production costs):

Bibit (Seed) 1 142.86 2 700.00 3 085 714.29

Pupuk (Fertilizers)

• Urea 371.43 320.00 118 857.14

• ZA 171.43 340.00 58 285.71

• TSP 342.86 420.00 144 000.00

• KCl 114.29 450.00 51 428.57

• NPK 142.86 900.00 128 591.43

Insektisida (Insecticides) 14.28 362 857.14

Fungisida (Fungicides) 14.29 174 285.71

Tenaga kerja (Labor) 2 190 857.14

Sewa tanah (Land rent) 1 142 857.14

Total biaya produksi (Total cost of production) 7 457 734.27

Nilai tambah finansial (Financial value added) 3 181 984.27

Page 6: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

6

sederhana memberikan indikasi adanya hubungan yang masih bersifat "increasing" antara biaya produksi (jumlah input) dengan hasil per hektar. Semakin tinggi biaya produksi (semakin intensif gambaran peluang serta potensi pengembangan teknologi budidaya bawang merah biaya rendah. Semakin tinggi biaya produksi (semakin intensif penggunaan input), semakin tinggi pula tingkat produksi (hasil per hektar) yang dicapai. Namun demikian, tingkat produktivitas bawang merah yang lebih tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan meningkatnya keuntungan usahatani. Pada usahatani bawang merah di Nganjuk, biaya dan hasil per hektar yang lebih rendah ternyata memberikan keuntungan bersih yang lebih tinggi (harga per kg bawang merah di Brebes dan Nganjuk tidak jauh berbeda). Walaupun tidak sesederhana seperti diungkapkan di atas, proposisi ini memberikan gambaran peluang serta potensi pengembangan teknologi budidaya bawang merah biaya rendah

Keunggulan Komparatif Usahatani Bawang Merah Pada beberapa kasus, urutan besaran keuntungan bersih sering pula digunakan sebagai indikator tunggal keunggulan komparatif. Namun demikian, pendekatan ini mengandung kelemahan, yaitu secara eksplisit tidak memberikan informasi mengenai barang "tradables" (barang-barang yang diperdagangkan atau memiliki potensi untuk diperdagangkan secara internasional) yang digunakan dalam proses produksi. Disamping memperhitungkan faktor-faktor primer (barang-barang yang umumnya tidak diperdagangkan secara internasional, termasuk tenaga kerja dan lahan), kajian keunggulan komparatif harus pula mempertimbangkan "tradables". Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio biaya sumberdaya (domestik) untuk usahatani bawang merah di Jawa Tengah dan Jawa Timur bernilai positif dan lebih kecil dari satu (biaya oportunitasnya lebih kecil dibandingkan dengan harga “border”). Besaran rasio ini mengindikasikan bahwa usahatani bawang merah di kedua lokasi tersebut memiliki keunggulan komparatif. Hal ini juga menunjukkan bahwa nilai sumberdaya domestik yang digunakan dalam proses produksi bawang merah lebih rendah dibandingkan dengan nilai "foreign exchange" yang diterima atau dihemat. Indikator ini secara tidak langsung memberikan indikasi adanya peluang ekspor bawang merah, dengan asumsi bahwa berbagai kriteria pasar internasional yang menyangkut standarisasi mutu produk dapat dipenuhi oleh komoditas bersangkutan. Perlu diperhatikan bahwa dalam mengkaji keunggulan komparatif, koefisien teknis yang digu-nakan, misalnya harga, merupakan harga estimasi atau proyeksi. Dengan demikian, hasil kajian memiliki karakteristik cukup sensitif terhadap adanya perubahan parameter (produktivitas, harga input, harga output, dsb.) secara individual. Sehubungan dengan kompleksitas sistem produksi bawang merah, tampaknya tidak memungkinkan untuk mengisolasi faktor tunggal yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan besaran maupun arah rasio biaya sumberdaya domestik. Namun demikian, evaluasi kepekaan rasio biaya sumberdaya pada penelitian ini dilakukan melalui analisis titik impas harga "border", berdasarkan pertimbangan bahwa parameter harga "border" memiliki peranan sangat penting dalam analisis keunggulan komparatif. Tabel 3 menunjukkan bahwa titik impas harga "border" usahatani bawang merah dikedua lokasi maing-masing adalah US$ 0.45 (Jawa Timur) dan US$ 0.48 (Jawa Tengah). Interpretasi dari besaran titik impas ini adalah: jika harga "border" bawang merah jatuh di bawah US$ 0.45 dan US$ 0.48 (dengan asumsi koefisien teknis lainnya tidak berubah), maka usahatani komoditas bersangkutan tidak lagi memiliki keunggulan komparatif. Dengan kata lain, pada saat harga "border" berada di bawah titik impas, secara ekonomis akan lebih menguntungkan untuk mengimpor bawang merah dibandingkan dengan memproduksinya di dalam negeri.

Page 7: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

7

Tabel 3 Rasio Biaya Sumberdaya Domestik Usahatani Bawang Merah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 1995 (Domestic Resource Cost Ratio in Shallot Farming in Central Java and East Java, 1995)

Uraian (Item) Jawa Tengah (Central Java) Jawa Timur (East Java)

Faktor yang dapat diperdagangkan (Tradables)

• Output 13 359 216.78 11 700 004.68

• Input:

Pupuk (Fertilizers) 212 773.01 176 151.71

Pestisida (Pesticides) 287 719.93 188 322.28

Faktor-faktor primer (Primary factors)

Bibit (Seed) 3 684 513.97 3 085 714.29

Pupuk (Fertilizers) 392 555.60 324 991.14

Pestisida (Pesticides) 532 930.17 348 820.57

Tenaga kerja (Labor) 2 841 085.71 2 190 857.14

Sewa tanah (Land rent) 1 214 285.71 1 142 857.14

Biaya bersih faktor primer (Primary factor net cost) 8 665 371.16 7 093 240.28

Nilai tambah ekonomis/ tradables (Economic value added) 12 858 723.84 11 335 530.69

Rasio biaya sumberdaya (Resource cost ratio) 0.67 0.63

Titik impas harga border (Border price break-even) Rp 1 123.84 (US$ 0.48) Rp 1 044.08 (US$ 0.45)

Insentif Ekonomis Usahatani Bawang Merah Berbagai kebijaksanaan pemerintah, secara langsung maupun tidak langsung dapat mem-pengaruhi insentif ekonomis usaha-usaha dibidang pertanian. Kebijaksanaan harga, subsidi, impor, ekspor, maupun kebijaksanaan ekonomi makro yang bersifat lebih umum, misalnya nilai tukar dan tingkat bunga, akan berpengaruh terhadap insentif relatif di sektor pertanian. Usahatani komoditas tertentu dapat merupakan cabang usaha yang menguntungkan bagi petani (misalnya, karena ada subsidi terhadap harga input dan output), walaupun alokasi sumberdaya dalam proses produksinya tidak efisien. Sebaliknya, usahatani komoditas tersebut tidak menguntungkan bagi petani (misalnya, karena ada pembebanan pajak input dan output), walaupun alokasi sumberdaya dalam proses produksinya telah efisien. Informasi pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat koefisien proteksi nominal untuk usahatani bawang merah di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih kecil dari nol. Besaran TPN < 0 mengindikasikan tidak adanya proteksi terhadap harga domestik output. Hal ini tampaknya konsisten dengan kenyataan bahwa intervensi atau campur tangan pemerintah secara langsung dalam pemasaran bawang merah dapat dikatakan tidak ada (minimal). Sementara itu, tingkat proteksi efektif dikedua lokasi di atas juga lebih kecil dari nol. TPE merupakan ukuran neto dari insentif dan dis-insentif yang disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah dan distorsi pasar, baik pada pasar input maupun pasar output. Besaran TPE < 0 menunjukkan bahwa pada tingkat nilai tukar serta kebijakan perdagangan yang berlaku, usahatani bawang merah tidak menerima proteksi baik untuk output maupun input yang digunakan. Tabel 4 Insentif Ekonomis Usahatani Bawang Merah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 1995 (Economic Incentives of Shallot Farming in Central Java and East Java, 1995)

Uraian (Item) Jawa Tengah (Central Java) Jawa Timur (East Java)

Tingkat proteksi nominal (TPN) (Nominal Protection Rate) - 0.13 - 0.09

Tingkat proteksi efektif (TPE) (Effective Protection Rate) - 0.81 - 0.72

Page 8: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

8

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa usahatani bawang merah, baik di Brebes maupun Nganjuk memiliki keunggulan komparatif. Menarik untuk diperhatikan bahwa keunggulan tersebut ternyata bukan disebabkan oleh adanya insentif ekonomis yang berupa proteksi terhadap input dan output. Khususnya untuk output, indikasi di atas sesuai dengan kondisi yang berlaku pada sistem pemasaran bawang merah yang bebas dari campur tangan pemerintah (bandingkan dengan komoditas pangan, misalnya padi, kedelai dan jagung). Sementara itu, tidak adanya proteksi terhadap input dan output yang ditunjukkan oleh TPE < 0 mencerminkan dis-insentif untuk perluasan produksi bawang merah. Hal ini tampaknya agak kontroversial, karena disatu pihak bawang merah memiliki potensi sebagai komoditas ekspor, tetapi dilain pihak, kurang didukung oleh insentif yang berupa kebijakan untuk mendorong peningkatan produksi. Kenyataan ini memberikan indikasi adanya kecenderungan bahwa usahatani bawang merah lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Walaupun demikian, intervensi yang berupa usaha perbaikan infrastruktur fisik dan kelembagaan pasar, tam-paknya masih diperlukan untuk mengurangi fluktuasi harga bawang merah. Dengan demikian, pada saat kesepakatan perdagangan bebas mulai diberlakukan, usahatani bawang merah masih dapat mempertahankan keunggulan komparatifnya. Peluang untuk mempertahankan keunggulan komparatif juga dapat ditempuh melalui penekanan biaya produksi dan penggunaan sumberdaya yang lebih efisien. Oleh karena itu, usaha perancangan teknologi baru perlu lebih ditekankan pada perbaikan teknologi budidaya bawang merah biaya rendah (low-cost input technology). Teknologi semacam ini diharapkan juga memiliki efek ganda, yaitu mengurangi biaya produksi dan berorientasi kelestarian lingkungan.

KESIMPULAN • Usahatani bawang merah di Jawa Tengah (Brebes) dan Jawa Timur (Nganjuk) masih memiliki keunggulan komparatif. Rasio biaya sumberdaya bernilai positif dan lebih kecil satu. Nilai sumberdaya domestik yang digunakan dalam proses produksi lebih kecil dibandingkan dengan nilai 'foreign exchange" yang diterima atau dihemat. Walaupun demikian, keunggulan komparatif tersebut cukup rentan terhadap perkembangan harga "border". Jika harga "border" bawang merah jatuh di bawah US$ 0.45 = Rp. 1 055.25 (Jawa Timur) atau US$ 0.48 = Rp. 1 125.60 (Jawa Tengah), maka usahatani bawang merah di kedua lokasi ini tidak lagi memiliki keunggulan komparatif.

• Keunggulan komparatif tersebut ternyata bukan disebabkan oleh adanya insentif ekonomi yang berupa proteksi terhadap harga input dan output. Walaupun hal ini sejalan dengan kondisi yang dikehendaki pada saat perdagangan bebas diberlakukan (kebijaksanaan proteksi harus dihapuskan), intervensi yang berupa usaha perbaikan infrastruktur fisik dan kelembagaan pasar, tampaknya masih diperlukan untuk mengurangi fluktuasi harga bawang merah. Dengan demikian, sistem produksi bawang merah masih didukung oleh lingkungan produksi eksternal yang dapat memberikan insentif untuk tetap mempertahankan keunggulan komparatifnya.

PUSTAKA Baharsjah, S., Hadiwigeno, S., Dillon, H. S., Hedley, D. D. & Tabor, S. R. 1989. Trade policy, self

sufficiency, and liberalization in the Indonesian Food Economy. In B. Greenshields & M. Bellamy (Eds.). Government intervention in agriculture: Cause and effect. International Association of Agric. Economist Occasional Paper, No. 5, p. 288-294.

Biro Pusat Statistik. 1995. Impor Indonesia 1995. BPS, Jakarta.

Blandford, D. 1989. Bringing agriculture into the GATT. Canadian Journal of Agricultural Economics. Volume 37, Number 4, p. 813-823.

Page 9: Keunggulan Komparatif Dan Insentif Ekonomi Usahatani Bawang Merah

9

Gonzales, L. A., Kasryno, F., Perez, N. D. & Rosegrant, M. W. 1993. Economic incentives and comparative advantage in Indonesian food crop production. Research Report No. 93, Internat. Food Policy Research Inst., Washington, D.C.

Jolly, R. 1983. Risk management in agricultural production. American Journal of Agricultural Economics. 65 (December): 1107-1113.

Krissoff, B., Sullivan, J. & Wainio, J. 1989. Opening agricultural markets: Implications for developing countries. Canadian Journal of Agricultural Economics. Volume 37, Number 4, p. 1265-1275.

LEHRI/ATA-395. 1992. Planted areas of vegetables per sub-district in Java, Bali, Lombok, and Sumbawa. Internal Communication No. 43.

Morris, M. L. 1990. Determining comparative advantage through DRC analysis: Guidelines emerging frm CIMMYT’s experience. CIMMYT Economics Paper, No. 1. Mexico.

Pusat Informasi Pemasaran Tanaman Pangan dan Hortikutura. 1996. Vademekum pemasaran 1985 - 1995. Jakarta.

Rosegrant, M. W. 1989. Impact of trade liberalization on Indonesian food crops. In B. Greenshields & M. Bellamy (Eds.). Government intervention in agriculture: Cause and effect. International Association of Agricultural Economist Occasional Paper No. 5, p. 295-301.

Siemonsma, J. S. & Piluek, K. (Eds.). 1994. Vegetables. Plant Resources of South-East Asia No. 8. Bogor, Indonesia.

Silwal, B. P. 1983. Domestic resource cost of tea production in Nepal. Research Paper Series A/D/C Project, no. 19: 1-14.

Simatupang, P., Rusastra, I. W. & Irawan, B. 1990. Economic insentives and comparative advantage in livestocks and feedstuffs productions: A methodological issues. In Kasryno, F. & Simatupang, P. (Eds.). Comparative advantage and protection structures of the livestock and feedstuff subsectors in Indonesia. Center for Agro Economic Research.

Sorenson, V. 1975. International trade policy: Agriculture and development. Michigan State University, USA.

Vollrath, T. & De Huu Vo. 1989. Agricultural competitiveness in an interdependent world. In B. Greenshields & M. Bellamy (Eds.). Government intervention in agriculture: Cause and effect. International Association of Agricultural Economist Occasional Paper No. 5, p. 141-150.

Winarno, M. 1994. Program pengembangan hortikultura dalam Pelita VI. Makalah disajikan pada Rapat Kerja Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura: Penyusunan Prioritas dan Desain Penelitian Hortikultura. Solok, 17-19 Nopember, 1994.