KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH (M. Yunis)

6
KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH Oleh M.YUNIS Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang, begitulah pepatah Minang. Setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda, walaupun tujuan mereka sama akan tetapi cara mereka dalam mengekspresikan budaya tersebut penuh dengan kreasi, yang mereka pandang mulia dan baik, walaupun tidak sesuai dengan kelogisan. Di ranah Minang ditemukan tradisi-tradisi yang tergolong unik dan penuh kreasi. Tradisi-tradisi ini berupa upacara-upacara perkawinan, upacara kematian, pengangkatan penghulu dan lain sebagainya, yang tentunya menempati posisi yang sangat penting bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Namun tulisan kali ini akan membahas tadisi upacara perkawinan yang harus dipandang dengan pemikiran terbalik, dan bukan melihat untung ruginya melaksanakan upacara tersebut. Dari dahulu Minangkabau, terkenal dengan kebudayaannya yang unik tetapi bersahaja. Salah satu keunikan dapat kita perhatikan dalam memperingati upacara kematian yang masing-masing Nagari yang berbeda, mempunyai cara dan corak yang berbeda pula untuk merealisasikannya. Di Nagari Toboh Gadang (kesatuan wilayah terkecil dalam kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Nagari) Pariaman misalnya, dalam memperingati upacara kematian, terkenal

description

Oleh M.YUNIS Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang, begitulah pepatah Minang. Setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda, walaupun tujuan mereka sama akan tetapi cara mereka dalam mengekspresikan budaya tersebut penuh dengan kreasi, yang mereka pandang mulia dan baik, walaupun tidak sesuai dengan kelogisan. Di ranah Minang ditemukan tradisi-tradisi yang tergolong unik dan penuh kreasi. Tradisi-tradisi ini berupa upacara-upacara perkawinan, upacara kematian, pengangkatan penghulu dan lain sebagainya, yang tentunya menempati posisi yang sangat penting bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Namun tulisan kali ini akan membahas tadisi upacara perkawinan yang harus dipandang dengan pemikiran terbalik, dan bukan melihat untung ruginya melaksanakan upacara tersebut. Dari dahulu Minangkabau, terkenal dengan kebudayaannya yang unik tetapi bersahaja. Salah satu keunikan dapat kita perhatikan dalam memperingati upacara kematian yang masing-masing Nagari yang berbeda, mempunyai cara dan corak yang berbeda pula untuk merealisasikannya. Di Nagari Toboh Gadang (kesatuan wilayah terkecil dalam kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Nagari) Pariaman misalnya, dalam memperingati upacara kematian, terkenal dengan ’’sahari manamaik (hari pertama), manduo hari (hari kedua), manigo hari (hari ketiga), manujuah hari (hari ketujuh), duo kali tujuah (hari keempat belas), 40 hari dan 100 hari’’. Upacara ini, merupakan rentetan-rentetan pelaksanaan upacara kematian di Nagari tersebut, yang mana dilaksanakan setelah mayat disemayankan. Pada pelaksanaan upacara pertama hingga upacara selanjutnya, dilantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dengan memuja dan memuji kebesaran Allah ta’ala. Uapacara ini, dilakukan dengan mengundang ‘’urang siak’’ yaitu perangkat-perangkat surau (mesjid) di antaranya Tuanku, Imam, Labai, Khatib dan Bilal, serta diikuti oleh pegawai-pegawai surau lainnya. Mereka inilah nantinya yang akan membacakan ayat-ayat suci tersebut, mereka diundang selama tiga malam pelaksanan upacara ini yaitu malam pertama, kedua dan ketiga. Lantunan-lantunan ayat Al-Qur,an terus dibacakan hingga mencapai zikir kemudian ditutup dengan makan bersama. Sebelum mereka pulang ketempat masing-masing, terlebih dahulu mereka diberi sedekah berupa uang yang berkisar Rp 10.000,00 per orang. Setelah hari kematian anggota keluarga tersebut mencapai 7 hari, para urang siak diundang kembali untuk melaksanakan upacara manujuah hari. Setelah 14 hari kematian mereka diundang untuk melaksanakan upacara duo kali tujuah (14 hari ), begitu juga dalam pelaksanan upacara 40 hari dan 100 hari kematian. Meskipun rentetan-rentetan upacara tersebut bertujuan sama, yaitu meminta do,a keselamatan kepada Allah SWT terhadap kerabat yang sudah meninggal, namun pelaksanaanya berbeda satu sama lainnya. Pada saat sahari manamaik (pada hari pertama kematian), pemfokusannya lebih banyak kepada pembacaan ayat Al-Qur,an hingga zikir duduk dan selesailah upacara pertama. Orang yang mengahadiri upacara ini adalah kerabat-kerabat dekat saja, yang diakhiri dengan makan bersama, kemudian para urang siak diberi sedekah berupa uang. Pada malam kedua upacara kembali dilanjutkan. Pada saat ini, upacara sudah mulai dihadiri banyak orang, termasuk masyarakat sekitar yang ikut berkabung. Pelaksanaan upacara ini, sama halnya dengan yang di atas, akan tetapi ada sedikit tambahan, ‘’urang siak’’ melaksanakan zikir dari duduk hingga zikir dengan berdiri. Upacara ini, juga ditutup dengan makan bersama, akan tetapi pada malam ini urang siak tidak diberi sedekah. Pada malam ketiga, persiapan upacara ini dipermatang lagi. Pada siang harinya dilakukan pembuatan lemang (beras yang dimasak di dalam bambu) oleh tuan rumah dan dibantu oleh masyarakat sekitar. Tujuannya ialah untuk dihidangkan pada malam hari pelaksanaan. Pelaksanannya lebih kurang sama dengan upacara sebelumnya. Pada pelaksanan

Transcript of KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH (M. Yunis)

Page 1: KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH (M. Yunis)

KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH

Oleh  M.YUNIS

 

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang, begitulah pepatah Minang. Setiap

daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda, walaupun tujuan mereka sama akan tetapi

cara mereka dalam mengekspresikan budaya tersebut penuh dengan kreasi, yang mereka

pandang mulia dan baik, walaupun tidak sesuai dengan kelogisan.

Di ranah Minang ditemukan tradisi-tradisi yang tergolong unik dan penuh kreasi.

Tradisi-tradisi ini berupa upacara-upacara perkawinan, upacara kematian, pengangkatan

penghulu dan lain sebagainya, yang tentunya menempati posisi yang sangat penting bagi

masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Namun tulisan kali ini akan membahas

tadisi upacara perkawinan yang harus dipandang dengan pemikiran terbalik, dan  bukan

melihat untung ruginya melaksanakan upacara tersebut.

            Dari dahulu Minangkabau, terkenal dengan kebudayaannya yang unik tetapi

bersahaja. Salah satu keunikan dapat kita perhatikan dalam memperingati upacara

kematian yang masing-masing Nagari yang berbeda, mempunyai cara dan corak yang

berbeda pula untuk merealisasikannya. Di Nagari Toboh Gadang (kesatuan wilayah

terkecil dalam kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Nagari) Pariaman misalnya, dalam

memperingati upacara kematian, terkenal dengan ’’sahari manamaik (hari pertama),

manduo hari (hari kedua), manigo hari (hari ketiga), manujuah hari (hari ketujuh), duo

kali tujuah (hari keempat belas), 40 hari dan 100 hari’’. Upacara ini, merupakan

rentetan-rentetan pelaksanaan upacara kematian di Nagari tersebut, yang mana

dilaksanakan setelah mayat disemayankan.

            Pada pelaksanaan upacara pertama hingga upacara selanjutnya, dilantunkan ayat-

ayat suci Al-Qur’an, dengan memuja dan memuji kebesaran Allah ta’ala. Uapacara ini,

dilakukan dengan mengundang ‘’urang siak’’ yaitu perangkat-perangkat surau (mesjid)

di antaranya Tuanku, Imam, Labai, Khatib dan Bilal, serta diikuti oleh pegawai-pegawai

surau lainnya. Mereka inilah nantinya yang akan membacakan ayat-ayat suci tersebut,

mereka diundang selama tiga malam pelaksanan upacara ini yaitu malam pertama, kedua

dan ketiga. Lantunan-lantunan ayat Al-Qur,an terus dibacakan hingga mencapai zikir

kemudian ditutup dengan makan bersama. Sebelum mereka pulang ketempat masing-

Page 2: KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH (M. Yunis)

masing, terlebih dahulu mereka diberi sedekah berupa uang yang berkisar Rp 10.000,00 

per orang.

            Setelah hari kematian anggota keluarga tersebut mencapai 7 hari, para urang siak

diundang kembali untuk melaksanakan upacara manujuah hari. Setelah 14 hari kematian

mereka diundang untuk melaksanakan upacara duo kali tujuah (14 hari ), begitu juga

dalam pelaksanan upacara 40 hari dan 100 hari kematian.

            Meskipun rentetan-rentetan upacara tersebut bertujuan sama, yaitu meminta do,a

keselamatan kepada Allah SWT terhadap kerabat yang sudah meninggal, namun

pelaksanaanya berbeda satu sama lainnya. Pada saat sahari manamaik (pada hari pertama

kematian), pemfokusannya lebih banyak kepada pembacaan ayat Al-Qur,an hingga zikir

duduk dan selesailah upacara pertama. Orang yang mengahadiri upacara ini adalah

kerabat-kerabat dekat saja, yang diakhiri dengan makan bersama, kemudian para urang

siak diberi sedekah berupa uang.

            Pada malam kedua upacara kembali dilanjutkan. Pada saat ini, upacara sudah

mulai dihadiri banyak orang, termasuk masyarakat sekitar yang ikut berkabung.

Pelaksanaan upacara ini, sama halnya dengan yang di atas, akan tetapi ada sedikit

tambahan, ‘’urang siak’’  melaksanakan zikir dari duduk hingga zikir dengan berdiri.

Upacara ini, juga ditutup dengan makan bersama, akan tetapi pada malam ini urang siak

tidak diberi sedekah.

            Pada malam ketiga, persiapan upacara ini dipermatang lagi. Pada siang harinya

dilakukan pembuatan lemang (beras yang dimasak di dalam bambu) oleh tuan rumah dan

dibantu oleh masyarakat sekitar. Tujuannya ialah untuk dihidangkan pada  malam hari

pelaksanaan. Pelaksanannya lebih kurang sama dengan upacara sebelumnya.

            Pada pelaksanan menujuh hari juga dilakukan pembuatan lemang. Di dalam

pelaksanaannya semakin jauh berbeda dengan di atas. Sebelum upacara dibuka

dilakukanlah pidato Ada yang dinamakan dengan Pasambahan antara tuan rumah dengan

urang siak , tapi diwakili oleh satu orang saja baik dari pihak uarang siak mau pun tuan

rumah. Dalam pidato ini, tuan rumah mengemukakan tujuannya mengundang urang siak.

Setelah pidato selesai, maka dimulailah upacara mengaji (melantunkan ayat-ayat

Alquran) tersebut hingga zikir, baik zikir duduk maupun zikir berdiri. Setelah selesai

makan bersama, upacara juga ditutup dengan pidato Pasambahan kembali, kali ini pidato

Page 3: KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH (M. Yunis)

berasal dari urang siak, mereka mengemukakan tujuannya kepada tuan rumah untuk

pulang ke rumah masing-masing.

 Begitu juga dengan upacara 14 hari, 40 hari, dan 100 hari. Perbedaannya hanya

terletak pada undangan yang datang, karena undangan tersebut  sudah berasal dari

daerah-daerah yang jauh, tetapi masih berkerabat dengan anggota keluarga yang

meninggal. Bagi tuan rumah yang mempunyai banyak dana, upacara ini dilanjutkan

dengan ‘’badikia’’ yaitu sautau cara memuji kebesaran tuhan yang disampaikan dengan

bahasa Arab, dengan irama khas islami (penelitian tanggal 10 juli 2005 di Pariaman).

            Pelaksanaan upacara di atas intinya adalah sama, yaitu meminta do’a  kepada

Allah SWT, agar sang mayat diberi ampunan dan keringanan azab kubur. Namun di balik

uapacara ini, tersimpan makan-makna sosial yaitu mempertebal solidaristas di antara

masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar. Karena tamu di sini tidak hanya sekedar

datang, makan lalu pulang, akan tetapi mereka membawa buah tangan berupa uang, beras

yang tujuanya meringankan beban tuan rumah.

            Sejalan dengan itu, upacara ini juga dapat mempererat tali silaturrahmi di antara

kerabat yang tingal berjauhan, apalagi mereka yang tingal di daerah perantauan, sebab

sesulit apa pun keadaan kerabat di rantau maisih sempat meluangkan waktu pulang

kampung guna untuk menghadiri upacara ini. Bagi kerabat yang belum saling mengenal,

maka pada saat inilah mereka memperkenalkan diri kepada sanak-saudara mereka yang

ada di kampung halaman.

            Di pandang dari segi sejarahnya, tradisi ini sudah berkembang sebelum agama

islam masuk ke Minangkabau. Tradisi ini, pada awalnya ialah acara berbalas pantun

dengan bahasa Minang, tetapi setelah islam berkembang di Minangkabau tradisi ini terus

dilaksanakan, tetapi pantun-pantun tersebut di tukar dengan pembacaan ayat Al-Qur’an

yang juga berpantun oleh Syeh Burhanuddin Ulakan, dengan tujuan pengembangan

ajaran islam itu sendiri (Suryadi dalam Syair Sunur 2004). Jadi Syeh Burhanuddin

Ulakan memanfaatkan pendekatan kebudayaan dalam mengembangkan ajaran islam di

Pariaman. Trik-trik tersebut selalu dipergunakannya untuk memasuki suatu kebudayaan

masyarakat di Minangkabau, sehingga Islam cepat berkembang di Minangkabau pada

waktu itu.

 

Page 4: KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH (M. Yunis)