KETIDAKSTABILAN REFLEKSI GELOMBANG NONLINIEAR … · dengan struktur vertikal pada pantai miring...

13
Keairan Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 87 KETIDAKSTABILAN REFLEKSI GELOMBANG NONLINIEAR PADA SLOPING BEACH (124A) NN Pujianiki 1 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran Bali Email: [email protected] ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki ketidakstabilan refleksi gelombang nonlinear dengan struktur vertikal pada pantai miring (sloping beach). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa ketidakstabilan gelombang meningkat, seiring dengan meningkatnya kecuraman gelombang (wave steepness), dimana pada setiap tiga puncak gelombang, salah satunya lebih curam dibandingkan tetangganya sehingga gelombang menjadi tidak periodik. Run up dari refleksi gelombang meningkat secara linear dengan meningkatnya kecuraman gelombang untuk gelombang reguler. Sedangkan untuk kasus kelompok gelombang (wave group) menunjukkan bahwa kecuraman gelombang mempengaruhi tinggi gelombang maksimum berdiri (standing wave) meningkat lebih dari dua kali lipat dari gelombang datang (incedent wave) yang telah lama diasumsikan dalam teori linear maksimal 2. Kata kunci: ketidakstabilan, koefisien refleksi, tidak periodik, nonlinear, kelompok gelombang. 1. PENDAHULUAN Sebagai insinyur pesisir, penting untuk memahami karakteristik gelombang ketika merancang struktur bangunan pantai. Untuk merancang struktur vertikal seperti caisson breakwater, adalah penting untuk mengetahui karakteristik run up gelombang, limpasan dan stabilitas yang disebabkan karena interaksi gelombang dengan dinding vertikal. Longuet-Higgins dan Drazen (2002) melakukan penyelidikan secara eksperimental dari refleksi gelombang di perairan dalam (deep water) dan menemukan bahwa ketika kecuraman gelombang progresif meningkat, profil gelombang dekat dinding vertikal mencerminkan sifat non periodic sedangkan gelombang datang (incident wave) tetap periodik. Gelombang menjadi tidak stabil, di mana salah satu gelombang dalam tiga gelombang adalah lebih tinggi. Dilanjutkan dengan penelitian Molin, dkk (2005), yang menyelidiki interaksi gelombang dengan pelat kaku yang ditempatkan di dalam air pada uji eksperimental dan perhitungan numerik menghasilkan bahwa run up meningkat dengan kecuraman gelombang dan fenomena ini adalah hasil dari interaksi antara gelombang tersier yang terpantul dari dinding tegak. Karakteristik refleksi gelombang di laut transisi (intermediate water depth), dengan kedalaman konstan juga telah diteliti secara eksperimen dan teoritis oleh Kioka dkk, (2008). Hasil percobaan gelombang reguler menunjukkan bahwa perubahan dalam kecepatan fase di depan dinding adalah signifikan dan puncak tertinggi gelombang menjadi runcing tajam yang muncul dalam setiap gelombang ketiga. Mereka juga melaporkan bahwa kecepatan fase diukur dari panjang gelombang di depan dinding vertikal tidak sesuai dengan teori gelombang yang ada seperti banyak digunakan teori amplitudo kecil (liniear). Hal ini menunjukkan bahwa efek interaksi nonlinier harus diperhitungkan dalam aplikasi teknik dimana gelombang desain yang curam masuk ke struktur vertikal. Vertical breakwater di lapangan juga dapat dibangun pada lereng alami pantai. Namun jumlah penelitian yang menyelidiki ketidakstabilan refleksi gelombang di pantai landai masih terbatas. Dengan demikian, penting untuk menyelidiki model interaksi nonlinier untuk aplikasi teknik, dalam menentukan ketinggian gelombang maksimum, run-up, limpasan dan gaya gelombang yang bekerja pada struktur vertikal di pantai yang landai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki interaksi gelombang dengan struktur vertikal di pantai dengan kemiringan landai.

Transcript of KETIDAKSTABILAN REFLEKSI GELOMBANG NONLINIEAR … · dengan struktur vertikal pada pantai miring...

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 87

KETIDAKSTABILAN REFLEKSI GELOMBANG NONLINIEAR PADA SLOPINGBEACH(124A)

NN Pujianiki1

1Jurusan Teknik Sipil, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran BaliEmail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki ketidakstabilan refleksi gelombang nonlineardengan struktur vertikal pada pantai miring (sloping beach). Hasil eksperimen menunjukkan bahwaketidakstabilan gelombang meningkat, seiring dengan meningkatnya kecuraman gelombang (wavesteepness), dimana pada setiap tiga puncak gelombang, salah satunya lebih curam dibandingkantetangganya sehingga gelombang menjadi tidak periodik. Run up dari refleksi gelombang meningkatsecara linear dengan meningkatnya kecuraman gelombang untuk gelombang reguler. Sedangkanuntuk kasus kelompok gelombang (wave group) menunjukkan bahwa kecuraman gelombangmempengaruhi tinggi gelombang maksimum berdiri (standing wave) meningkat lebih dari dua kalilipat dari gelombang datang (incedent wave) yang telah lama diasumsikan dalam teori linearmaksimal 2.

Kata kunci: ketidakstabilan, koefisien refleksi, tidak periodik, nonlinear, kelompok gelombang.

1. PENDAHULUAN

Sebagai insinyur pesisir, penting untuk memahami karakteristik gelombang ketika merancang struktur bangunanpantai. Untuk merancang struktur vertikal seperti caisson breakwater, adalah penting untuk mengetahui karakteristikrun up gelombang, limpasan dan stabilitas yang disebabkan karena interaksi gelombang dengan dinding vertikal.

Longuet-Higgins dan Drazen (2002) melakukan penyelidikan secara eksperimental dari refleksi gelombang diperairan dalam (deep water) dan menemukan bahwa ketika kecuraman gelombang progresif meningkat, profilgelombang dekat dinding vertikal mencerminkan sifat non periodic sedangkan gelombang datang (incident wave)tetap periodik. Gelombang menjadi tidak stabil, di mana salah satu gelombang dalam tiga gelombang adalah lebihtinggi. Dilanjutkan dengan penelitian Molin, dkk (2005), yang menyelidiki interaksi gelombang dengan pelat kakuyang ditempatkan di dalam air pada uji eksperimental dan perhitungan numerik menghasilkan bahwa run upmeningkat dengan kecuraman gelombang dan fenomena ini adalah hasil dari interaksi antara gelombang tersier yangterpantul dari dinding tegak.

Karakteristik refleksi gelombang di laut transisi (intermediate water depth), dengan kedalaman konstan juga telahditeliti secara eksperimen dan teoritis oleh Kioka dkk, (2008). Hasil percobaan gelombang reguler menunjukkanbahwa perubahan dalam kecepatan fase di depan dinding adalah signifikan dan puncak tertinggi gelombang menjadiruncing tajam yang muncul dalam setiap gelombang ketiga. Mereka juga melaporkan bahwa kecepatan fase diukurdari panjang gelombang di depan dinding vertikal tidak sesuai dengan teori gelombang yang ada seperti banyakdigunakan teori amplitudo kecil (liniear). Hal ini menunjukkan bahwa efek interaksi nonlinier harus diperhitungkandalam aplikasi teknik dimana gelombang desain yang curam masuk ke struktur vertikal.

Vertical breakwater di lapangan juga dapat dibangun pada lereng alami pantai. Namun jumlah penelitian yangmenyelidiki ketidakstabilan refleksi gelombang di pantai landai masih terbatas. Dengan demikian, penting untukmenyelidiki model interaksi nonlinier untuk aplikasi teknik, dalam menentukan ketinggian gelombang maksimum,run-up, limpasan dan gaya gelombang yang bekerja pada struktur vertikal di pantai yang landai. Tujuan daripenelitian ini adalah untuk menyelidiki interaksi gelombang dengan struktur vertikal di pantai dengan kemiringanlandai.

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

A - 88 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013

2. PROSEDUR EKSPERIMENTAL

Untuk menyelidiki interaksi gelombang nonlinear dengan struktur vertikal di pantai yang landai, percobaan telahdilakukan dalam tangki (flume) laboratorium dengan panjang 28 m dan lebar 0,6 m. Panjang tangki pada kedalamankonstan adalah 7,6 m dan terhubung dengan papan dengan kemiringan 1:30. Tinggi air pada kedalaman konstanadalah 0,55 m. Percobaan diset-up untuk mengamati gelombang refleksi dan progresif pada pantai landai yangdipisahkan oleh dinding seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Profil gelombang refleksi dan progresif diukurpada papan miring dengan kedalaman 0,20 m dengan menggunakan alat pengukur gelombang di titik C dan Bmasing-masing. Gelombang datang (incedent wave) diukur pada titik A. Pembangkit gelombang dihentikan sebelumgelombang refleksi mencapai pengukur gelombang di titik A. Dalam rangka untuk menyelidiki ketidakstabilan,profil gelombang refleksi direkam oleh Panasonic Camera tipe BB-HCM531 yang diletakkan luar tangkigelombang.

Piston type wavemaker digunakan untuk membangkitkan gelombang reguler dan kelompok gelombang (wavegroup) dengan ketinggian dan periode yang bervariasi. Gelombang reguler dibangkitkan dengan membuatgelombang yang memiliki periode T = 0.75s dan 1.05s pada amplitudo ai = 2,0 cm ~ 5.0 cm, sedangkan kelompokgelombang diciptakan oleh gelombang komposit yang terdiri dari dua komponen dengan periode, dengan rata-rataperiode 0.75s, 0.77s dan 1.1s. Amplitudo maksimum dalam kelompok adalah ai = 3,0 cm ~ 5.0 cm dan ω / Ω = 20,

40, dengan ω / Ω adalah rasio frekuensi pembawa (carrier frequency) dengan frekuensi amplop.

28m

Gambar 1. Model eksperimen.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Interaksi gelombang nonlinier dengan dinding vertikal pada miring pantai diselidiki secara eksperimental.Ketidakstabilan diamati dengan meningkatnya kecuraman gelombang untuk gelombang reguler dan kelompokgelombang. Selain itu ketinggian gelombang maksimum dari gelombang datang, gelombang refleksi dan gelombangprogresif dibandingkan juga.

Elevasi permukaan bebas setelah masa transisi awal diabaikan kemudian delapan gelombang atau gelombangkelompok yang digunakan untuk mendapatkan periode rata rata dan amplitudo dari gelombang berdiri dangelombang progresif.

0.6m

7.6m

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 89

Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, hasil percobaan gelombang reguler menunjukkan bahwa ketidakstabilanmeningkat ketika kecuraman gelombang aik = 0.24. Modulasi amplitudo gelombang berdiri menjadi signifikanuntuk gelombang dengan wave steepness aik > 0.2. Saat kecuraman gelombang aik mendekati 0.3, salah satu puncakgelombang dari tiga gelombang menjadi runcing sedangkan dua puncak tetangganya berbentuk bulat jambul atauflat-topped seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, sementara gelombang datang dan progresif tetap periodik.Fenomena gelombang ini sangat mirip dengan ketidakstabilan yang diamati oleh Longuet-Higgins dan Drazen,(2002). Ketidakstabilan terjadi disebabkan karena interaksi antara gelombang tersier dan refleksi gelombang didinding seperti yang dinyatakan oleh Molin et al. (2005).

aik = 0.16 aik = 0.24 aik = 0.33

Gambar 2. Modulasi gelombang datang, progresif dan refleksi.

Gambar 3. .Puncak gelombang refleksi.

Koefisien refleksi (Kr) didefinisikan sebagai rasio tinggi gelombang berdiri dengan tinggi gelombang datang. Kruntuk gelombang reguler menunjukkan tidak lebih dari 2.0 (lihat Gambar 4) yang merupakan gelombang berdirisebagai teori gelombang linier, sedangkan rasio ketinggian maksimum gelombang berdiri dengan ketinggian

Keairan

A - 90

gelombang progresif tersebar antara 1.5 dan 3tersebar, rasio tinggi gelombang cenderung meningkat lebih dari dua kali lipat untuk a

Gambar 4

Gambar 5. Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang progresif

Koefisien repleksi untuk kelompok gelombang p6. Sedangkan puncak gelombang maksimumdatang. Kasus-kasus ini akan mempengaruhi nilaidisampaikan oleh Goda (2009), hasil pengukuran gelombang menunjukkan bahwa gelombang berkelompok, tidakberdiri sendiri atau individu. Oleh karenanya tinggigelombang.

Rasio dari tinggi gelombang maksimum dalam kelompok gelombang berdiri dengan yang di kelompok gelombangprogresif ditunjukkan pada Gambar 7. Untuk kelompok gelombangkelompok gelombang berdiri menjadi begitu curammaksimum seperti yang ditunjukkan dalam Gambar

Perbedaan kecepatan terjadi antara gelombang relfeksi dengan gelombang progregambar 9. Gelombang yang sama di investigasi kecepatnnya ternyata gelombang refleksi mempunya kecepatan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta

gelombang progresif tersebar antara 1.5 dan 3.5 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Meskipun rasiotersebar, rasio tinggi gelombang cenderung meningkat lebih dari dua kali lipat untuk aik> 0.2.

Gambar 4. Koefisien refleksi untuk gelombang reguler.

Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang progresif dari gelombang reguler.

Koefisien repleksi untuk kelompok gelombang pada aik = 0.24 mencapai 3.1 seperti yang ditunjukkan pada Gambar. Sedangkan puncak gelombang maksimum repleksi menjadi lebih dari dua kali lipat dari kelompok gelombang

kasus ini akan mempengaruhi nilai run-up dan limpasan pada desain struktur vertikal.disampaikan oleh Goda (2009), hasil pengukuran gelombang menunjukkan bahwa gelombang berkelompok, tidakberdiri sendiri atau individu. Oleh karenanya tinggi gelombang rencana sebaiknya menggunakan analisa kelompok

Rasio dari tinggi gelombang maksimum dalam kelompok gelombang berdiri dengan yang di kelompok gelombang. Untuk kelompok gelombang dengan aik > 0.3 gelombang maksimum dalam

kelompok gelombang berdiri menjadi begitu curam sehingga pecah, mengakibatkan penurunan tinggi gelombangunjukkan dalam Gambar 8.

Perbedaan kecepatan terjadi antara gelombang relfeksi dengan gelombang progresif seperti yang ditunjukkan padagambar 9. Gelombang yang sama di investigasi kecepatnnya ternyata gelombang refleksi mempunya kecepatan

erensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013

. Meskipun rasio letaknya.2.

dari gelombang reguler.

1 seperti yang ditunjukkan pada Gambarmenjadi lebih dari dua kali lipat dari kelompok gelombangup dan limpasan pada desain struktur vertikal. Seperti yang

disampaikan oleh Goda (2009), hasil pengukuran gelombang menunjukkan bahwa gelombang berkelompok, tidakgelombang rencana sebaiknya menggunakan analisa kelompok

Rasio dari tinggi gelombang maksimum dalam kelompok gelombang berdiri dengan yang di kelompok gelombanglombang maksimum dalam

, mengakibatkan penurunan tinggi gelombang

sif seperti yang ditunjukkan padagambar 9. Gelombang yang sama di investigasi kecepatnnya ternyata gelombang refleksi mempunya kecepatan yang

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24

lebih lambat dari pada gelombang progresimenyebabkan tinggi gelombang refleksi menjadi lebih besar

Gambar

Gambar 7. Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang progresif dari kelompok gelombang.

Gambar

Dalam kelompok gelombang modulasi amplitudo gelombang berdiri menjadi signifikan untuk gelombangkecuraman aik> 0.2, di mana tidak lagi memiliki bentuk

(KoNTekS 7)

Surakarta, 24-26 Oktober 2013

lebih lambat dari pada gelombang progresif, dengan demikian akibat tertahannya energi di depan dindingn tinggi gelombang refleksi menjadi lebih besar dari pada gelombang progresif

Gambar 6. Koefisien refleksi untuk kelompok gelombang.

Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang progresif dari kelompok gelombang.

Gambar 8. Puncak gelombang refleksi yang telah pecah.

Dalam kelompok gelombang modulasi amplitudo gelombang berdiri menjadi signifikan untuk gelombang2, di mana tidak lagi memiliki bentuk yang simetris seperti yang ditulis dalam Kioka dkk (2011).

Keairan

A - 91

, dengan demikian akibat tertahannya energi di depan dindingdari pada gelombang progresif.

Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang progresif dari kelompok gelombang.

Dalam kelompok gelombang modulasi amplitudo gelombang berdiri menjadi signifikan untuk gelombangseperti yang ditulis dalam Kioka dkk (2011).

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

A - 92 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013

Gambar 9. Perbedaan kecepatan gelombang progresif dan refleksi.

4. KESIMPULAN

Hasil percobaan refleksi gelombang reguler dan kelompok gelombang menunjukkan bahwa ketidakstabilan tumbuhdengan meningkatnya amplitudo gelombang datang. Dengan meningkatkan parameter nonlinier aik, setiap sepertigadari puncak menjadi curam dibandingkan dengan gelombang sebelahnya. Pada pantai yang landai, hasil percobaangelombang menunjukkan bahwa modulasi amplitudo yang dipantulkan sangat signifikan bagi kecuraman gelombangtinggi sementara tidak ada modulasi amplitudo terjadi pada gelombang progresif.

Rasio ketinggian kelompok gelombang berdiri dengan tinggi kelompok gelombang progresif menunjukkanpeningkatan lebih dari dua untuk aik > 0.2, apalagi puncak maksimum gelombang berdiri menunjukkan lebih daridua kali lipat dari puncak maksimum gelombang datang, yang akan mempengaruhi run up dan limpasan padastruktur vertikal.

DAFTAR PUSTAKA

Goda Yoshimi (2009). Random Seas and Design of Maritime Structure. World Scientific.Kioka Wataru, Yudai Iwatsuka, Katsunori Higo and Toshikazu Kitano (2008). “Reflection of Strongly Nonlinear

Waves from a Vertical Wall”. Proceeding of Coastal Engineering, Vol. 55, pp. 11-15.Kioka, W., Okajima, M., Pujianiki, N. and Kitano, T. (2011). “Reflection of Strongly Nonlinear Waves from a

Vertical Wall on Sloping Beach ( )”. JSCE-B2, Vol. 67, No.2 pp.I_1-I_5,2011.

Longuet-Higgins, M.S. and D A Drazen (2002). “On Steep gravity wave meeting a vertical wall: a triple instability”.Journal Fluid Mech., Vol. 466, pp.305-318.

Molin, B., F Remy, O Kimmoun and E Jamois (2005). “The Role of Tertiary Wave Interaction in Wave-bodyproblem”. Journal Fluid Mech., Vol. 528, pp.323-353.

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 93

SISTEM ZONASI AIR TERPADU UNTUK MENDUKUNG HTI LESTARI DI LAHANGAMBUT

(127A)

Budi I. Setiawan

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680,Email: [email protected]; Http://budindra.staff.ipb.ac.id

ABSTRAK

Indonesia sudah termasuk dalam 10 besar produsen pulp dan kertas dunia. Produksi ini akan terustumbuh seiring dengan pembukaan lahan-lahan baru untuk memproduksi bahan baku pulp, yaitukayu. Dengan semakin terbatasnya lahan kering, pembukaan lahan baru mengarah ke lahan-lahanbasah, di antaranya adalah lahan gambut yang masih luas keberadaannya. Namun, pembukaan lahangambut dalam skala besar semakin mendapat tekanan baik dari dalam maupun luar negeri. Hal inidapat dipahami mengingat lahan gambut merupakan timbunan karbon yang sangat besar bilamenjadi terbuka akan menimbulkan emisi karbon. Disamping itu, lahan gambut sangat rentanterdegradasi dan terbakar bila tidak dikelola sebagaimana mestinya. Kendala dan permasalahan inibila tidak bisa dikendalikan tentu akan menghambat bahkan menggagalkan perkembangan produksipulp dan kertas nasional. Karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan dalammengelola lahan gambut sehingga produktvitasnya meningkat secara berkelanjutan. Dalam kaitanini, telah dikembangkan Sistem Zonasi Air Terpadu (SZAT) untuk pengelolaan air di lahan gambut.Sistem ini bertujuan mempertahankan kelembaban gambut agar tanaman dapat tumbuh maksimalserta terhindar dari degradasi lahan, kebakaran dan emisi gas rumah kaca yang tidak terkendali.Makalah ini menyajikan konsep dan implementasi SZAT di beberapa lokasi hutan tanaman industri.

Kata kunci: Lahan Gambut, Hutan Tanaman Industri, Pengelolaan Air, Sistem Zonasi Air Terpadu.

1. PENDAHULUAN

Hutan tanaman industri (HTI) dikembangkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industribubur kertas (pulp) dan kertas yang merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia (APKI, 2011). Mengingat luasanhutan alam semakin menipis dan berbagai bentuk tekanan untuk melestarikan hutan alam yang tersisa semakin kuat,HTI hanya mungkin dikembangkan di lahan-lahan yang marginal dan terdegradasi.Misalnya, lahan-lahan tinggalanhak pengusahaan hutan (HPH), hutan sekunder atau areal lainnya yang diperuntukan secara legal untuk hutanproduksi.Dimana, di antaranya banyak yang berupa lahan gambut dengan berbagai ketebalan dan kondisi lahanlandai yang lebih sering tergenang air dan dipengaruhi pasang-surut. Kondisi ini menuntut pengelolaan air secaraseksama dengan memperhatikan antara lain kelestarian ekosistem kawasan gambut dengan berbagai jeniskeanekaragaman hayatinya.

2. POTENSI HTI

Hutan tanaman industri tidak seluruhnya ditanami tanaman kayu1 sebagai bahan baku kertas tetapi juga diwajibkanmengalokasikan lahannya untuk tanaman kehidupan (≥5%) yang pengelolaannya dikerjasamakan dengan

masyarakat di sekitarnya, tanaman unggulan (≥10%) berupa pohon-pohon endemik yang bernilai tinggi, konservasiflora dan fauna yang bernilai tinggi (≥5%) dan infrastuktur (≤ 5). Dengan demikian, luasan tanaman pokoknya tidak

lebih dari 70%.Mengingat luasnya HTI yang pada umumnya lebih dari puluhan ribu hektar, keberhasilanpengusahaan hutan tanaman ini sangat menentukan keberhasilan industri kertas di hilirnya.

Disamping untuk tanaman kayu (Gambar 1), lahan HTI sangat berpotensi pula untuk pengembangan produksibiomass lainnya, misalnya untuk memproduksi pangan, menghasilkan energi terbarukan, karet dan lainsebagainya.Dengan adanya siklus penanaman dan penebangan sangat diharapkan pula, terjadi penyerapan karbondari atmosfir yang mampu meningkatkan pendaman karbon (carbon sequestration) secara substansial.

1Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor : 70/KPTS-II/95, Tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri.

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

A - 94 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013

Gambar 1. Potensi HTI dalam memproduksi biomass

3. KENDALA DAN TANTANGAN HTI

Disamping potensinya sebagai produsen biomass, HTI menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang tidakpernah berkesudahan ().

Gambar 2. Kendala dan tantangan HTI

Untuk menjadi kawasan yang mempunyai neraca karbon positif pendaman karbon di atas dan di bawah permukaangambut harus lebih besar dari emisi karbon ke udara. Emisi karbon ini berasal dari proses respirasi dan dekomposisigambut.Mengingat emisi karbon sulit dikendalikan tetapi ada batas maksimalnya maka HTI harus lebih produktifdalam menghasilkan biomass atau produktivitasnya harus semakin ditingkatkan.

Sebagaimana tanaman lainnya, pertumbuhan Akasia (Acacia crassicarpa) yang ditanam di HTI tergantung pada 5faktor, yaitu faktor penentu (determining factors) dalam hal ini iklim dan benih yang sesuai, faktor pembatas(limiting factors) dalam hal ini air dan nutrisi yang tersedia, faktor penghambat (restricting factors) berupa hamadan penyakit tanaman, faktor penghancur (destroying factor) terutama banjir dan kekeringan, dan faktor pengancam(threatening factors) misalnya kebijakan pemerintah yang tidak mendukung dan kampanye miring dari berbagaipihak baik dari dalam maupun luar negeri.

Penggunaan lahan gambut yang memang tidak stabil dan sangat rentan terhadap subsidensi dan kebakaranmerupakan kendala tersendiri yang perlu perhatian khusus.Kebakaran atau pembakaran gambut yang selalu terjadisetiap musim kemarau menyebabkan dekomposisi gambut yang menghasilkan emisi karbon. Dimana, dalam skalabesar dan waktu lama akan berkontribusi pada pengkayaan konsentrasi karbon di atmosfir yang disinyalirmerupakan penyebab pemanasan global (global warming). Pengaruh pemanasan global ini antara lain akanmenyebabkan terjadi perubahan iklim global termasuk pula iklim mikro yang ditandai dengan musim hujan yanglebih pendek tetapi lebih intensif dan musim kemarau yang lebih panjang. Secara beruntun kemudian, perubahaniklim mikro ini dapat mempengaruhi faktor-faktor lainnya. Misalnya, bisa jadi benih tidak lagi resistan terhadapcekaman air, serangan hama dan penyakit pada saat kemarau panjang, atau tidak tahan lagi terhadap genangan airyang melebihi dari biasanya.

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 95

4. PRINSIP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN HTI

Pengembangan HTI khususnya di lahan gambut dengan luasan puluhan ribu hektar harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan produksi dan kelestarian alam mengingat betapa rentannya gambut terhadap perubahanlingkungan di sekitarnya.Di sini diperkenalkan prinsip selaras untuk pengelolaan HTI secara lestari (Setiawan,2011). Dimana (Gambar 3), HTI harus diupayakan terusuntuk memaksimalkan pendaman karbon (carbonsequestration) atau produktivitas lahan (land productivity) dengan tidak melupakan upaya-upaya untukmeminimalkan subsidensi lahan (land subsidence), resiko bahaya kebakaran (fire danger risk), pembalakan kayu(illegal logging) dan emisi karbon (carbon emission), serta upaya-upaya untuk memelihara atau menjagakeanenaragaman hayati (biodiversity), keindahan alam (natural amenity) dan kearifan lokal (local wisdom).

Gambar 3. Potensi HTI dalam memproduksi biomass

Semua indikator luaran (output indicators) tersebut di atas harus terukur dan dipantau secara periodik untukkemudian dievaluasi apakah setiap indikator tersebut sudah sesuai dengan yang sasaran direncanakan (targets). Bilabelum atau ada yang belum tercapai, perlu upaya-upaya perbaikan terhadap satu, dua atau kombinasi dari inputproduksi yang menyangkut material (materials), metode (methods), manajemen (management), sumber dayamanusia (human resources), infrastruktur (infrastructures) maupun regulasi (regulations).

Evaluasi juga harus dilakukan untuk melihat sejauh mana keberhasilan dalam mencapai sasaran produksiberkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja (job opportunity) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal(localpeopleprosperity), dan terhadap pengentasan kemiskinan (proverty alleviation) dan pengurangan potensipemanasan bumi (global warming potential).Indikator ini (outcome indicators) sangat penting untuk menilaisejauhmana manfaat keberadaan HTI bagi masyarakat luas tidak hanya yang berada di sekitar kawasan tetapi jugamasyarakat dunia yang semakin peduli terhadap kelestarian lingkungan.Demikian pula bila ada yang belummemuaskan atau tidak sesuai sasaran, perlu upaya-upaya perbaikan yang terus menerus seiring juga untukmengantisipai terjadinya perubahan sasaran menjadi lebih tinggi.

5. TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR DI HTI

Teknologi pengelolaan air (water management) di HTI yang efektif sangat dibutuhkan terutama untukmengkondisikan kelembaban gambut yang optimum agar (Setiawan dkk, 2009):

1) Kondusif bagi pertumbuhan tanaman;2) Terhindar dari subsidensi lahan yang tak terkendali;3) Tahan dari ancaman kebakaran atau pembakaran lahan di sekitarnya;4) Emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emission) yang terjadi dapat ditoleransi (tolerable emission).

Disamping itu, teknologi pengelolaan air ini harus mampu menjaga ekosistem gambut dengan kandungan airsegarnya yang berlimpah ruah terutama bila di kawasan tersebut terdapat kubah gambut (peat dome) denganberbagai keanekaragaman hayatinya yang sangat tergantung pada kondisi muka air gambut (water table).Demikianpula, teknologi pengelolaan air ini harus mampu mencegah gerakan pembalakan kayu ke zona-zona yang dilindungi.Di lain pihak juga teknologi pengelolaan air ini harus mampu mendukung kelancaran transportasi barang danpersonil. Sistem transportasi ganda (dual transportation system), yaitu kombinasi transportasi darat dan airmerupakan pilihan yang tidak bisa diabaikan.

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

A - 96 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013

Dalam merancang teknologi pengelolaan air ini perlu memperhatikan kondisi bentang alam, antara lain adalahtopografi, hidrotopografi, jenis dan kedalaman serta sebaran gambut, kawasan yang mempunyai keanekaragamanflora dan fauna yang benilai konservasi tinggi, aspek sosial, budaya dan ekonomi masyarakat di sekitarnya, dankemungkinan pengembangan kawasan HTI ini di masa yang akan datang.Data dan informasi yang akurat dariparameter biofisik lingkungan ini harus diperoleh sebagai acuan penyusunan rencana induk (master plan)pengembangan HTI. Data dan informasi ini mesti dikemas dalam sistem informasi geografis yang kompatibeldengan perangkat lunak (computer-aided design, misalnya AutoCAD) yang akan digunakan untuk merancang bloktanaman, jaringan saluran air dan jalan darat serta berbagai prasarana lainnya.

Blok tanaman ditempatkan mengikuti garis kontur dengan luasan (panjang dan lebar) yang optimum sehinggakondisi muka air (water table) dapat dikondisikan pada kisaran yang sesuai pada berbagai kondisi cuaca terutamapada kondisi ekstrim musim hujan tinggi dan kemarau panjang. Disini diperlukan penggunaan model matematikakeseimbangan air dinamis yang meliputi komponen hujan, evapotranspirasi, perkolasi, rembesan, pergerakan airkapiler dan sifat hidrolika yang menggambarkan kemampuan gambut itu sendiri dalam menyimpan (waterretention) dan meluluskan air (hydraulic conductivity) serta sifat deformasi volumetrik (volumetric deformation)berkenaan dengan jumlah air yang dikandungnya. Proses optimisasi selanjutnya diperlukan untuk menentukandimensi saluran masuk (inlet) dan saluran keluar (outlet) yang minimal untuk memudahkan pembuatannya sertamenghemat biaya kontruksi, operasi dan pemeliharaan.

Air drainase yang keluar dari setiap blok dapat dialirkan ke saluran kolektor atau langsung menuju saluran utama.Saluran utama dapat memotong kontur untuk mempercepat proses drainase tetapi panjangnya harus dibatasi agarperbedaan muka air (water level) di hulu dan di hilirnya berada pada kisaran yang aman. Juga, untuk menghindarikecepatan air yang terlalu tinggi yang dapat menggerus dinding saluran. Batas/tanggul/dam antara saluran di atasdan di bawahnya dapat berupa gambut asal yang dibiarkan tidak digali agar cukup kuat dalam menahan genanganair statis.Limpasan air dari saluran atas ke saluran bawah dilalukan melalui beberapa saluran drainase berjejermembentuk parit sisir (comb-like relocation canals). Dimensi dan jumlah parit sisir ini harus dihitung melalui prosesoptimisasi berdasarkan pada persamaan matematika aliran air dalam saluran dengan permukaan gambut. Dimensi(panjang, lebar dan dalam) saluran kolektor dan utama harus disesuaikan juga jenis kendaran air yang akandigunakan.

6. SISTEM ZONASI AIR TERPADU

Sistem zonasi air terpadu mempunyai tujuan untuk mengkondisikan muka air (water table) gambut di setiap zona airpada kisaran yang dikehendaki.Pada umumnya terdapat 4 zona utama (APRIL, 2009), yaitu zona lindung (protectedzone), zona penyangga (buffer zone), zona tanaman pokok (zone for the main plant) dan zona tanaman kehidupan(zone for society plant).Dari kaca mata pengelolaan air, zona disebut zona air (water zone) karena muka air (watertable) di setiap zona tersebut yang menjadi perhatian utama untuk dikondisikan pada kisaran yang dikehendaki.

Gambar 4. Sistem zonasi air terpadu berdasarkan pada elevasi lahan di Riau (APRIL, 2009).

Pada zona lindung, muka air dipertahankan berada di sekitar permukaan gambut menyerupai ekosistemalamiahnya.Di zona penyangga, muka air sedikit diturunkan menjadi di antara 30-60 cm di bawah permukaangambut.Di zona penyangga ini dapat ditanam tanaman yang lebih tahan genangan air, misalnya gelam.Di zonatanaman pokok, muka air dipertahankan pada kisaran 50-80 cm di bawah permukaan gambut.Penentuan muka airyang optimum bagai tanaman akasia pada umumnya berada dalam batasan tersebut.Lebih tepatnya dapat dicari darikurva retensi air (water retention curve) gambut berdasarkan pada pengujian di laboratorium fisika tanah.Di zonatanaman kehidupan, jenis tanamannya ditentukan bersama masyarakat yang diyakini dapat memberi atau menambah

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 97

penghidupannya.Misalnya karet atau tanaman pangan selama memungkinkan dikelola lebih intensif bersama denganmasyarakat. Di antara zona lindung dan zona penyangga dapat juga dipisahkan dengan pembatas air (water buffer)yang berfungsi juga untuk melindungi zona lindung dari pergerakan perambah hutan.

Zona tanaman pokok dapat terdiri dari beberapa blok atau kompartemen (Gambar 5) yang masing-masing dibatasisaluran air.

Gambar 5. Sistem zonasi air terpadu di Kalbar.

Satu zona air berada dalam satu elevasi yang sama. Beda elevasi antara satu zona sekitar 1 m. Karena itu intervalgaris kontur minimal harus di lebih kecil atau sebesar 50 cm. Baik zona maupun blok ditempatkan searah gariskontur yang masing-masing di kelilingi saluran air (on-farm canals). Adakalanya, garis-garis air (water lines) perludibuatkan juga untuk mempercepat drainase air terutama pada lahan bergambut dangkal (<1 m) yang di bawahnyaterdapat lapisan kedap. Lahan bergambut tipis (≤50 cm) yang di bawahnya terdapat lapisan kedap sebaiknya tidakditanami tanaman pokok karena akan membatasi perkembangan akarnya yang akan mengakibatkan tanaman mudahrebah. Lahan yang bergambut tipis ini lebih potensial untuk budidaya pangan karena lebih mudah dalampengelolaan tanah dan airnya. Tanaman pokok lebih baik ditanam pada lahan yang mempunyai tebal gambut di atas1 m. Kedalaman garis air maupun saluran airjangan sampai menembus lapisan kedap atau tanah mineral terutamabila lapisan tersebut mengandung firit. Lapisan firit ini harus selalu tergenang air khususnya untuk menghindariaerasi agar tidak terjadi oksidasi yang dapat meningkatkan keasaman gambut.

Lalu lintas transportasi air, misalnyamenggunakan sampan dapat dilakukan dalam satu zona yang sama seiringdengan arah aliran air (Gambar 6).

Gambar 6. Skema penempatan blok dalam zona air.

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

A - 98 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013

Tetapi antar dua zona yang berbeda karena mempunyai ketinggian air yang berbeda harus melintasi darat(overskipped). Hal ini sangat merepotkan.Karena itu, pemindahan barang/kayu dari sampan dapat dilakukan secaralangsung (hot loading) ke truk yang menunggu di badan jalan atau barang/kayu tersebut sebelumnya ditumpuk dibahu jalan yang tersedia.Pengendalian level air (water level) di saluran dalam kanal dilakukan dengan bantuan paritsisir.Dimana, dimensi dan jumlah parit sisir ditentukan berdasarkan hitungan keseimbangan air dengan sasaran levelair berkisar antara 50-80 cm di bawah permukaan lahan.Karena permukaan lahan digunakan sebagai referensi ataudatum dalam penentuan level air maka harus dihindari penumpukan sampah/kayu di setiap pinggir lahan.Sampahdapat diletakkan di bahu jalan untuk selanjutnya diangkut ke tempat penumpukan akhir.

Gambar 7 memperlihatkan contoh penerapan sistem zonasi air terpadu atau lebih dikenal dengan istilah teknologiekohidro di salah satu lokasi HTI di provinsi Riau (RAPP, 2012).Luasannya lebih dari 30 ribu hektar ditanamiAkasia sejak tahun 2009.Tanaman kehidupannya adalah karet.Teknologi ini berhasil mempertahankan muka airgambut pada kisaran yang dikehendaki dan oleh karenanya sebagai besar indikator seperti yang telah disebutkan dibutir 4 berhasil dicapai.Seperti terlihat padaGambar 8, Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11, muka air,kelembaban, indeks kekeringan dan emisi karbon dioksida berada dalam kisaran dikehendaki (Setiawan, 2011;Taufik dan Setiawan, 2012).

Gambar 7. Contoh teknologi ecohidro di Riau

Gambar 8. Muka air gambut Gambar 9. Kelembaban gambut

Gambar 10. Indeks kekeringan gambut Gambar 11. Emisi CO2gambut terbuka

Keairan

Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)

Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 99

7. PENUTUP

Hutan tanaman industri di lahan gambut disamping besar potensinya bagi pengembangan produksi biomassa jugamenghadapi berbagai kendala dan tantangan. Tidak saja yang menyangkut kondisi biofisik lingkungan tetapi jugayang sifatnya ancaman dari berbagai pihak yang kuatir akan mengakibatkan degradasi lahan dan lingkungan.Kekuatiran ini wajar mengingat gambut tidak stabil dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan disekitarnya.Di sini diperkenalkan sistem pengelolaan air yang disebut Sistem Zonasi Air Terpadu yang bertujuanmengkondisikan muka air yang optimum bagi pertumbuhan tanaman sekaligus mengurangi resiko terjadinyasubsidensi, kebakaran dan emisi gas rumah kaca.Sistem ini diterapkan di beberapa lokasi HTI dan telahmemperlihatkan kinerjanya yang cukup baik.Namun demikian, sistem ini harus terus dikembangkan dan dipantaukinerjanya secara lebih seksama.Sistem ini perlu diujicobakan atau diterapkan juga di perkebunan lainnya, misalnyasawit yang juga banyak ditanam di lahan gambut.Hal ini sangat mendesak mengingat kebakaran gambut lebih seringterjadi di areal atau di sekitar areal perkebunan kelapa sawit.

PUSTAKA

APRIL. 2009. Science Approach to Peat Landscapes: Eco-Hydrology Land Use Allocation. Tidak dipublikasikan.APKI. 2011. Peta Persaingan Industri Pulp dan Kertas Dunia: Potensi Indonesia naik Peringkat ke-5. Diskusi

terbatas FORWAHUT. Jakarta, 3 Nopember 2011.RAPP.2012. Kontribusi Teknologi Ecohydro terhadap Mitigasi Perubahan Iklim.Laporan Pelaksanaan

Measurement, Reporting, and Verification (MRV) Pengelolaan IUPHHK HTI PT. Riau Andalan Pulp andPaper (RAPP) Teknologi Ekohidro di Semenanjung Kampar, Riau.Oktober 2012.

Setiawan, B.I. 2011.Teknologi Pengelolaan Air di Lahan Gambut untuk Menekan Emisi GRK.Simposium NasionalPenelitian Perubahan Iklim Indonesia.KementerianLingkungan Hidup dan Institut Pertanian Bogor. Bogor, 3Oktober 2011.

Setiawan, B.I. 2011.Selaras Principle for Sustainable Biomass Productions in Indonesia. International Conferenceon Science and Technology for Sustainability 2011, - Building up Regional to Global Sustainability: Asiavision-”.

Setiawan, B.I., Ch.Arif, A.Harisman, S.Arfianto, E.Susandi, J.Ginting, Soewarso. 2009. Integrated Water ZoningFor Sustainable Forest Plantation In Tropical Peatlands. Bogor Symposium and Workshop on TropicalPeatland Management: Characterization and Wise use of Tropical Peatland. Bogor, July 15-16, 2009.

Taufik,M., B.I.Setiawan. 2012. Interpretasi Kandungan Air Tanah untuk Indeks Kekeringan: Implikasi untukPengelolaan Kebakaran Hutan. Interpretation of soil water content into dryness index: inplication for forestfire management. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. ISSN 2087-0469. Vol.XVIII (1):31-38, April 2012.