KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar...

71
1 Kode 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN MUDA KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERADILAN PIDANA TIM PENGUSUL 1. A.A NGURAH WIRASILA, SH., MH / 0014055804 2. SAGUNG PUTRI M.E PURWANI, SH, MH./ 0013037106 3. A.A NGURAH YUSA DARMADI, SH.,MH / 0021035807 4. I.B PUTRA ATMADJA, SH.,MH / 0031125433 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA OKTOBER 2015

Transcript of KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar...

Page 1: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

1

Kode 596 / Ilmu Hukum

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DOSEN MUDA

KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN

PERADILAN PIDANA

TIM PENGUSUL

1. A.A NGURAH WIRASILA, SH., MH / 0014055804

2. SAGUNG PUTRI M.E PURWANI, SH, MH./ 0013037106

3. A.A NGURAH YUSA DARMADI, SH.,MH / 0021035807

4. I.B PUTRA ATMADJA, SH.,MH / 0031125433

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

OKTOBER 2015

Page 2: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

2

HALAMAN PENGESAHAN

Page 3: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

3

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN …….….. 2

DAFTAR ISI …….….. 3

RINGKASAN …….….. 4

PRAKATA ............... 5

BAB I PENDAHULUAN …….…… 7

1. Pendahuluan …….…… 7

2. Perumusan Masalah ….……... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………… 14

BAB III TUJUAN, MANFAAT dan URGENSI .............. ...27

BAB IV METODELOGI PENELITIAN ………… 28

BAB V HASIL dan PEMBAHASAN ………... 31

BAB VI PENUTUP ................ 66

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 4: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

4

RINGKASAN

Penelitian ini disusun dalam garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut : Adapun permasalahan yang diangkat adalah mengenai Keterangan Ahli Dalam

Proses Pembuktian Peradilan Pidana terutama mengenai peran dan fungsi dari keterangan ahli dalam melakukan proses pembuktian dan penggunaan keterangan ahli kedepannya. Tujuan dari penelitian ini melakukan analisis terhadap pengaturan mengenai keterangan ahli dalam proses persidangan guna membuktikan benar atau tidak seseorang tersebut melakukan tindak pidana seperti yang di tuduhkan kepadanya.

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif karena ketentuan mengenai keterangan ahli secara jelas dan tegas masih terlihat kabur, serta, dalam menganalisis nantinya mempergunakan tehnis interpretative, karena adanya norma yang kabur dalam pengaturannya. Metode interpretatif yang digunakan diantaranya adalah grammatical interpretatie yaitu penafsiran menurut arti kata dan sistematische interpretatie yaitu penafsiran dengan mencari penjelasan pasal-pasal dalam undang-undang.

Penelitian ini nantinya menguraikan mengenai keterangan ahli dalam hubungannya dengan pembuktian. Uraian yang di paparkan dalam hal ini merupakan analisis terhadap peran dan fungsi keterangan ahli dalam proses pembuktian; syarat-syarat keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah; serta nilai pembuktian dan sifat dualisme keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah.

Adapun luaran hasil penelitian ini akan dijadikan jurnal sehingga diharapkan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai peran dan fungsi dari keterangan ahli dalam proses pembuktian peradilan, serta dapat dipakai sebagai bahan buku ajar dalam pemberian kuliah sehingga mahasiswa pun mengetahui akan pentingnya peranan dan fungsi dari keterangan ahli.

Page 5: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

5

PRAKATA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah

laporan kemajuan penelitian desentralisasi dengan skim Penelitian Hibah Bersaing yang

berjudul ” KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERADILAN

PIDANA ” dapat kami selesaikan. Kami menyadari sepanjang pelaksanaan penelitian ini

banyak pihak yang membantu pelaksanaannya. Untuk itu dalam kesempatan ini kami

menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta staff

2. Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi terkait

dengan materi penelitian ini

3. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.

Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh

karena itu saran dan kritik bagi penyempurnaan penelitian ini sangat kami harapkan.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum

terutama terkait dengan bidang hukum.

Denpasar, 12 Oktober 2015

Tim Peneliti

Page 6: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

6

BAB : I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana

yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan seperangkat

perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum khususnya

pidana yang sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing aparatur penegak

hukum kearah tegaknya hukum, keadilan, ketertiban, kepastian hukum serta

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.

Berlakunya UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP telah menimbulkan

perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap

cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia.1

Perubahan sikap dan cara bertindak aparat penegak hukum secara keseluruhan.

Diantaranya adalah perubahan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dari sistem inkuisitor

(inquisitoir) yang dianut oleh HIR ke sistem akusatur (accusatoir) yang dianut oleh

KUHAP. Dari sistem akusatur tersangka ditempatkan sebagai subyek dalam

pemeriksaan, yang menurut M. Yahya Harahap bahwa:

Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat

dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan sebagai obyek.2

Ansori Sabuan Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad mengatakan bahwa :

sejak dikeluarkannya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia tampaknya ada gejala pertumbuhan ide kearah keterpaduan tersebut. Hal ini tampak misalnya dari adanya kerjasama atau koordinasi masing-masing lembaga (Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan) dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana.3

1 Romli Atmasasmita, 1966, Sistem Peradilan Pidana, (Criminal Justice System), Perspektif

Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Jakarta, h. 47 2 M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan

dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 134 3 Ansori Sabuan Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, 1990, Hukum Acara Pidana,

Angkasa Bandung, Bandung, h. 15

Page 7: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

7

Jadi dalam Sistem Peradilan Pidana beberapa institusi penegak hukum

mengambil peran masing-masing dalam menegakkan hukum dan sub sistem tersebut

telah mempunyai kewenangan fungsi dan peran masing-masing yang telah diatur dalam

undang-undang tersendiri. Sub sistem yang satu dengan yang lainnya mempunyai

hubungan yang sangat erat, bahkan dapat dikatakan saling menentukan dan bergantung

untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam penegakan hukum maupun bertujuan

menanggulangi kejahatan baik dalam bentuk pencegahan maupun penanganan kejahatan

Salah satu bagian terpenting dari hukum acara pidana adalah pemeriksaan

pendahuluan, yang dalam prakteknya berkaitan dengan tersangka atau terdakwa yang

dilakukan oleh penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara

pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti dan dengan bukti-bukti itu akan

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Serta pada gilirannya pengadilan benar-benar mampu menetapkan pidana atau

menghukum orang yang bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah.

Menurut La Patra, masyarakat mempunyai pengaruh terhadap sistem peradilan

pidana. La Patra menyebutkan bahwa :

Applaying systems analysis faces the same problem in Criminal Justice System (CJS) as it does in other social systems. The systems approach frequently bites the hand that feeds it. Whenever a social process is being investigated, that resulting recommendations usually threaten the status quo, including the source of the financial support, which initiated the investigation. It is ridiculous for researcher to believe that results are acceptable if the will substantially change on going organizational procedure.4 Dalam terjemahan bebasnya:

Menerapkan analisis sistem menghadapi masalah yang sama dalam Sistem

Peradilan Pidana (SPP) seperti dalam sistem sosial lainnya. Pendekatan sistem sering

mengena kepada penggunanya. Setiap kali sebuah proses sosial sedang diselidiki,

bahwa rekomendasi yang dihasilkan biasanya mengancam status quo, termasuk sumber

dukungan keuangan, yang dimulai penyelidikan. Hal ini konyol bagi peneliti untuk

percaya bahwa hasil yang dapat diterima jika secara substansial akan mengubah

prosedur organisasi berjalan.

4 J.W. LaPatra, Analyzing the Criminal Justice System, Lexington Books, D.C. Heath and

Company Lexington, Massachusetts Toronto, USA, h. 98

Page 8: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

8

Kekurang telitian dalam pemeriksaan pendahuluan dapat memperoleh ganti rugi,

serta rehabilitasi nama baiknya. Konsekuensinya adalah perlunya kesadaran para

penegak hukum untuk memandang tersangka atau terdakwa sebagai subyek dan bukan

sebagai obyek penyidikan dengan berlandaskan asas atau pandangan “praduga tidak

bersalah” pada tiap tingkat pemeriksaan termasuk pada pemeriksaan pendahuluan.

Kenyataan menunjukkan seringnya terjadi kekeliruan dalam proses penyidikan

seperti salah tangkap ataupun sering terjadi yang melakukan tindak pidana dapat lolos

sedangkan, yang tidak terlibat ditangkap dan kemudian menjadi terdakwa dan terpidana.

Peran dan fungsi pembuktian dalam suatu proses hukum menjadi sangat penting,

baik bagi si tersangka maupun Jaksa dalam proses peradilan pidana dan untuk

menentukan apakah si tersangka dapat di hukum atau tidak. Disamping itu hukum

pembuktian akan terkait pula secara langsung dengan masalah keadilan yang memang

merupakan tujuan utama dari setiap kaidah hukum di bidang apapun.

Mewujudkan tujuan seperti yang telah dikemukakan di atas maka segala hal

yang berkaitan dengan pembuktian pun mengalami perubahan antara lain pengakuan

tersangka pada masa ini tidak lagi menjadi hal yang terpenting sebagai alat bukti, tetapi

masih diperlukan alat bukti lainnya seperti keterangan ahli, dimunculkan sebagai alat

bukti seperti yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita :

Undang-undang No.8 Tahun 1981 dapat juga dikatakan merupakan landasan

bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik

dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan

martabat tersangka, tertuduh atau terdakwa sebagai seorang manusia.5

Seperti telah diuraikan di atas bahwa telah berlakunya UU No.8 Tahun 1981

Tentang KUHAP maka ada beberapa perubahan yang terjadi dalam KUHAP yang baru

antara lain tentang : SPP, Pembuktian terutama tentang jenis-jenis alat bukti dan lain

sebagainya. Khusus mengenai alat-alat bukti Pasal 184 KUHAP telah menentukan

bahwa yang dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP yaitu :

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

5 Romli Atmasasmita, Op-cit, h. 35

Page 9: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

9

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Mempergunakan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam KUHAP, menurut

Wiryono Prodjodikoro, mengatakan bahwa : Keterangan tentang penghargaan dan

kesimpulan dari para ahli seringkali mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan

terdakwa, maka dapat membuktikan pula adanya suatu peristiwa pidana.6

Pasal 184 KUHAP terdapat lima (5) alat bukti sah yang dipakai di persidangan,

dimana salah satunya menyebutkan ”keterangan ahli”. Mengenai makna dari pasal

tersebut, ada kekaburan dalam pasal ini, dimana tidak diaturnya mengenai ”siapa yang

disebut ahli”, ”kriteria seorang ahli” ataupun ”persyaratan” untuk menjadi seorang ahli

di dalam pasal tersebut.

Pasal 1 butir 28 KUHAP menyebutkan bahwa :

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada sekarang ini

sangat membantu dalam memecahkan sebuah kasus. Keberadaan ataupun eksistensi

keterangan ahli sangatlah diperlukan, karena dengan adanya keterangan ahli maka

diharapkan sebuah kasus akan menjadi terang.

Begitu pentingnya manfaat dan peranan keterangan ahli yang dilandasi oleh

keahlian khusus yang di milikinya, tetapi apabila dihubungkan dengan Pasal 120 ayat

(1) KUHAP, bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, dapat meminta pendapat

seorang ahli.

Hal ini menunujukkan bahwa keterangan ahli itu diperlukan atau tidak adalah

tergantung dari keinginan hakim, dan sebelumnya harus mengangkat sumpah atau janji

di hadapan hakim, sebelum memberikan keterangan.

6 Wiryono Prodjodikoro, 1977, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,

h. 107

Page 10: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

10

Merujuk pada Pasal 186 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang

pengadilan”.

Makna dari keterangan ahli sebagai keterangan ahli adalah apabila seorang ahli

tersebut hadir dan memberikan pernyataan di depan sidang pengadilan. Namun apabila

seorang ahli yang dimintai keterangan oleh Hakim tidak hadir dalam persidangan maka

keterangan ahli tersebut disebut dengan keterangan surat.

Manfaat dan peranan keterangan ahli dalam mengungkap suatu peristiwa pidana,

berikut ini dikemukakan beberapa kasus agar tidak terjadi salah tangkap, salah

penahanan, menghindari kerugian matriil maupun immatrril serta penyimpangan dan

juga agar bisa mendapatkan bayangan betapa hal-hal yang kadang-kadang mustahil bisa

terjadi sehingga perlu kehati-hatian dalam pelaksanaan penyidikan perkara pidana.

Adapun kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut :

Pengadilan Negeri Jakarta pernah menyidangkan kasus pembunuhan yang dalam

proses persidangan sebetulnya telah ditunjukkan keterangan ahli yang disebut dengan

“visum et repertum” sebagai pengganti barang bukti serta keterangan terdakwa, tetapi

Hakim masih ada keragu-raguan maka memerlukan lagi kehadiran saksi ahli di sidang

pengadilan. Hakim belum mendapatkan keyakinannya sehingga belum menganggap

cukup terang kasus tersebut.7

Kasus di atas dapat di lihat bahwa walaupun visum et repertum yang berfungsi

sebagai pengganti barang bukti sudah di ajukan di persidangan karena mayat sebagai

obyek pemeriksaan tidak mungkin sewaktu-waktu di hadirkan di sidang pengadilan,

Hakim belum dapat menambah keyakinannya terhadap visum et repertum tersebut untuk

membuat putusan sehingga memerlukan lagi kehadiran seorang ahli yang lain di sidang

pengadilan untuk menjelaskan kembali secara lisan hasil pemeriksaan ahli tersebut.

Pada kasus berikutnya pun terbukti bahwa Hakim tidak terikat akan adanya

visum et repertum atau keterangan ahli sebagai dasar putusan untuk menentukan ada

tidaknya tindak pidana, tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan bagi Hakim apakah

7 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT.

Bina Aksara, Jakarta, h. 127

Page 11: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

11

akan menambah atau tidak keyakinannya, semua itu adalah tergantung dari penilaiaan

Hakim itu sendiri. Hal itu terjadi antara lain karena disebabkan oleh wewenang Hakim

yang bebas, Hakim adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang dilindungi oleh

undang-undang baik menurut Pasal 24, 25 UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-

undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970, Bagian

ketentuan Umum Pasal 1.

Untuk kasus yang terjadi di Amerika Serikat yang dikutip dari Soedjono D, yang

diceritakan oleh seorang Guru Besar dalam ilmu kedokteran kehakiman yaitu Prof. DR.

Hausmann, menangani kasus kebakaran besar yang terjadi di tahun 1959 di sebuah

rumah dekat San Antonio. Diantara reruntuhan diketemukan 3 mayat yang hampir tidak

dapat dikenali sebagai badan manusia, karena sapi-sapi yang ada di pekarangan rumah

telah ditembak mati. Para penegak hukum setempat menyangka peristiwa itu adalah

kejahatan.8

Pada kasus diatas awalnya diduga bahwa itu adalah hasil dari kejahatan. Namun

setelah dilakukan autopsi ulang di rumah sakit ditemukan bahwa di dalam kepala 3

mayat tersebut, ditemukan masing-masing 1 butir peluru, maka diketahaui bahwa itu

adalah penyebab kematian dari mayat tersebut. Oleh Prof. DR. Hausmann disimpulkan

bahwa peristiwa itu terjadi karena pembunuhan yang dilakukan oleh ayah dengan cara

menembak kepala masing-masing korban sebelum membakar rumah, kemudian

menembak sapi-sapinya, lalu membakar rumahnya dan baru ayah tersebut menembak

dirinya sendiri.

Keterangan ahli dapat memperlancar jalannya sidang dan dengan keterangan

ahli diharapkan dapat menambah keyakinan Hakim tentang benar atau tidaknya tuduhan

dari pihak kejaksaan. Dari keterangan ahli dapat diketahui sebab dari kematian

seseorang dan dapat membuktikan adanya suatu tindak pidana pembunuhan, apakah

pembunuhan itu masuk kedalam lingkungan tindakan terdakwa atau tidak.

Walaupun pendapat dari seorang ahli tersebut disetujui atau tidak oleh Hakim,

maka apabila disetujui Hakim menganggap terbukti pembunuhan antara lain dengan

mempergunakan pendapat seorang ahli tentang sebab itu. Di lihat dari penjelasan ini

dapatlah kiranya diketahui bahwa keterangan ahli di masukkan juga sebagai alat bukti

8 Ibid, h. 76-77

Page 12: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

12

karena seorang ahli akan menerangkan sesuatu hal sesuai dengan keahliannya

berdasarkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya.

Berdasarkan atas pemaparan dari latar belakang tersebut, bahwa keterangan ahli

sangatlah diperlukan dalam sidang peradilan, namun pengaturan mengenai hal tersebut

belumlah ada mengingat pentingnya keterangan ahli dalam membantu mengungkap

suatu tindak pidana dari yang samar-samar sebagai tindak pidana menjadi terang,

apakah itu tindak pidana atau bukan. Untuk mengetahui hal tersebutlah perlu diadakan

penelitian.

2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka

terdapat dua permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu :

a. Bagaimanakah peran dan fungsi keterangan ahli dalam proses pembuktian

peradilan pidana.

b. Syarat-syarat Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti yang sah.

c. Bagaimanakah prospek keterangan ahli dimasa yang akan datang?.

Page 13: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

13

BAB : II

TINJAUAN PUSTAKA

Proses peradilan pidana di Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas-asas yang

terdapat dalam KUHAP. Hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit karena

hanya mulai pada mencari kebenaran penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada

pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh Jaksa, sedangkan pembinaan narapidana tidak

termasuk dalam hukum acara pidana, apalagi yang menyangkut perencanaan undang-

undang pidana.

Penegakan hukum pidana dalam kerangka peradilan pidana tidak dapat

diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan kejahatan yang efektif

mengingat kemungkinan besar adanya pelaku-pelaku tindak pidana yang berada di luar

kerangka proses peradilan.

Masalah pembuktian adalah masalah yang sangat sulit, bersifat prosedural dan

tidak ada aturan hukum tertulis yang dengan tegas dan jelas mengaturnya. Apalagi

pelaksanaan dalam proses peradilan pidana yang baru harus menghormati dan

menjunjung tinggi HAM yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Berdasarkan pada asas Equal before the law maupun asas praduga tak bersalah,

maka sistem hukum acara pidana yang diterapkan dalam proses peradilan pidana saat ini

adalah sistem akusitor yaitu sistem yang memandang si tersangka/ terdakwa sejak pada

pemeriksaan ditingkat penyidikan sudah dianggap subyek yang mempunyai hak penuh

untuk membela diri.9

Disimak dari ruang lingkup hukum acara pidana, sangat erat kaitannya dengan

proses peradilan pidana yang dibagi menjadi empat (4) tahapan yaitu, penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan disidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan (eksekusi) yang

diuraikan selanjutnya adalah tahapan yang berkaitan dengan penyidikan. Penyidikan

dalam perkara pidana adalah :

Merupakan tahapan pertama dalam pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan

oleh penyidik, dalam hal ini adalah polisi, yang sejak adanya sangkaan bahwa

seseorang telah melakukan suatu perbuatan pidana. Penyidikan yang dilakukan

9 I Wayan Tangun Susila, I Dewa Made Suartha, 1989, Sari Kuliah Hukum Acara Pidana,

Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, h. 5-6

Page 14: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

14

oleh penyidik sudah tentu berdasarkan atas cara-cara yang diatur dalam

KUHAP.10

Sedangkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP juga menentukan arti penyidikan

adalah

Serangkaian tindakan penyidik dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam

undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan

bukti-bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menentukan tersangkanya.

Menurut R. Soesilo yang dikutip dari I Wayan Tangun Susila dan I Dewa Made

Suartha, bahwa untuk melakukan penyidikan tersebut agar tujuan penyidikan tercapai

seperti menentukan tindak pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya, maka penyidik

memerlukan bantuan dari ilmu kriminalistik (penyidikan kejahatan) yaitu berupa

petunjuk atau sistem yang telah umum dipakai adalah sistem 7-kah yaitu berusaha

mencari jawaban atas 7 (tujuh) macam pertanyaan seperti :

1. Apakah yang terjadi (persoalan, macam peristiwanya)? 2. Dimanakah perbuatan itu dilakukan (tempatnya)? 3. Bilamanakah perbuatan itu dilakukan (waktunya)? 4. Dengan apakah perbuatan itu dilakukan (alatnya)? 5. Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan (caranya)? 6. Mengapakah perbuatan itu dilakukan (alasannya)? 7. Siapakah yang melakukannya?11 Ketujuh pertanyaan seperti di atas tidak dapat semuanya terjawab, tetapi

kenyataan tetap dapat diungkap asal pertanyaan yang paling penting harus mendapatkan

jawaban adalah mengenai peristiwa apakah yang terjadi dan siapakah pelakunya?. Jadi

ketujuh pertanyaan tersebut di atas adalah bertujuan untuk mendapatkan bukti karena

dengan bukti yang diperoleh dalam penyidikan akan dapat membuat terang suatu tindak

pidana dan akhirnya akan menentukan pula siapa pelakunya dan bila diperhatikan atas

dasar wewenangannya dapat mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam

pemeriksaan.

Bukti dalam Hukum Acara Pidana dalam proses peradilan pidana dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

10 Ibid, h. 17 11 Ibid, h. 37

Page 15: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

15

1. Bukti dalam arti barang bukti. a. Bukti dalam arti barang bukti yaitu benda-benda yang dapat

disita, baik berupa benda atau tagihan tersangka (terdakwa) yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagaimana hasil dari tindak pidana.

b. Bukti dalam arti alat bukti yaitu berupa benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tindak pidana.

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana.

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana (Pasal 35 KUHAP).

2. Bukti dalam arti alat bukti.

Sedangkan mengenai bukti dalam arti alat bukti, jenis-jenisnya dapat diketahui dari Pasal 184 KUHAP yaitu : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa12

Jenis-jenis alat bukti yang dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut

KUHAP yang baru dan selanjutnya alat-alat bukti itulah yang berlaku. Bagaimanapun

dirubah-rubah mengenai alat-alat bukti dan kekuatan pembuktiannya seperti yang pada

awalnya tercantum pada HIR dan kemudian diubah dan ditentukan seperti dalam

KUHAP maka mengenai bagian-bagian dari pembuktian teori maupun sistem

pembuktiannya masih tetap sama pada Hukum Acara Pidana yang baru yaitu mengenai :

1. Menyebutkan alat-alat bukti yang dipakai oleh hakim untuk mendapatkan

gambaran dari peristiwa pidana yang sudah lampau.

2. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan.

3. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti itu.13

Bagian yang lebih banyak mendapatkan perhatian adalah bagian ke 1 (satu)

yaitu tentang alat-alat bukti dan bagian ke 3 (tiga) tentang kekuatan pembuktian dari

masing-masing alat bukti tersebut, sedangkan tentang cara mempergunakannya kurang

mendapat perhatian sehingga sulit menemukan alasannya dan tidak pernah diketahui

12 Ibid, h. 37-38 13 Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 89-90

Page 16: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

16

cara menguraikannya. Dimasukannya keterangan ahli sebagai alat bukti dalam KUHAP,

menurut Wiryono Prodjodikoro menyatakan bahwa :

Keterangan tentang penghargaan dan kesimpulan dari para ahli sering kali

mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa, maka dapat pula

membuktikan adanya suatu peristiwa pidana.14

Melalui keterangan ahli tersebut dapat diketahui sebab dari kematian seseorang

dan dapat membuktikan adanya suatu tindak pidana pembunuhan, apakah pembunuhan

itu masuk kedalam lingkungan tindak terdakwa atau tidak. Andi Hamzah menyatakan

bahwa tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan

kepadanya adalah merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, karena

mencari kebenaran matriil itu tidaklah mudah dan alat-alat bukti yang tersedia menurut

undang-undang sangat relatif, sehingga untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat-

alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu :

1. Pembuktian yang melulu didasarkan pada alat-alat pembuktian yang disebut

undang-undang, yang disebut dengan sistem atau teori pembuktian berdasar

undang-undang secara positif. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai

dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang maka keyakinan Hakim

tidak diperlukan lagi. Positif artinya hanya didasarkan pada undang-undang saja

atau disebut juga dengan teori pembuktian formal.

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim melulu. Sistem atau

teori pembuktian ini adalah bertolak belakang atau berlawanan dengan sistem

atau teori pembuktian menurut undang-undang secara positif karena teori

pembuktian ini hanya berdasarkan pada keyakinan Hakim saja sehingga teori ini

disebut juga istilah confiction intime. Sistem ini memberi kebebasan terlalu

besar kepada Hakim sehingga sulit diawasi, disamping itu baik terdakwa

maupun penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini

Hakim dapat memidana terdakwa hanya berdasarkan atas keyakinannya saja

bahwa terdakwa telah melakukan apa yang telah didakwakan kepadanya.

3. Sistem/ teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis.

Sistem ini disebut juga dengan sistem atau teori pembuktian yang berdasar atas

14 Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 107

Page 17: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

17

keyakinan Hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini Hakim dapat

memutuskan seseorang bersalah atau tidak berdasar keyakinannya dan

keyakinan itu didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu

kesimpulan (Conclusione) yang berdasarkan kepada peraturan-peraturan

pembuktian tertentu. Jadi putusan Hakim dijatuhkan dengan suatu inovasi sistem

atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena Hakim bebas

untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.

4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem atau teori

pembuktian ini adalah merupakan perpecahan dari teori pembuktian berdasarkan

keyakinan Hakim sampai batas tertentu atau teori pembuktian jalan tengah yaitu:

a) Teori pembuktian berdasar keyakinan Hakim atas alasan yang logis

(Convection Raesonee).

b) Teori pembuktian berdasar Undang-undang secara negatif (Negatief

Wettelijk Bewijs Theory)15

Persamaan antara kedua sistem atau teori tersebut adalah sama-sama berdasar

atas keyakinan Hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya

keyakinan Hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya bahwa yang disebut

pertama adalah berpangkal tolak pada keyakinan Hakim, tetapi keyakinan itu harus

didasarkan kepada suatu kesimpulan (Conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan

kepada undang-undang tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan Hakim

sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian mana yang

dipergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian

yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan

keyakinan Hakim16

Teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif dapat dilihat dalam Pasal

183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinannya

15 Jur Andi Hamzah I, Op-cit, h. 254 16 Jur Andi Hamzah I, Op-cit, h. 256

Page 18: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

18

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.

Walaupun sistem pembuktian atau ajaran pembuktian yang dianut oleh KUHAP

adalah sistem pembuktian yang bersifat ”Negatief Wettelijk”, yaitu walaupun telah

diajukan dua atau lebih alat bukti dalam persidangan tetapi kalau Hakim tidak yakin

bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa akan dibebaskan. Jadi jelaslah bahwa

kedudukan hukum terdakwa atau tersangka sama dengan kedudukan hukum pejabat

yang berwenang memeriksanya.17

Jadi dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa pembuktian selain harus

didasarkan pada UU Pasal 184 KUHAP yang disebut sebagai alat bukti yang sah juga

harus disertai dengan keyakinan Hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.

Menurut M.Yahya Harahap ada beberapa ajaran sistem pembuktian yang

berguna sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam

KUHAP yaitu :

a. Conviction in time

b. Conviction raisonee

c. Menurut Undang-undang secara positif

d. Menurut Undang-undang secara negatif

Ad. a. Conviction in time

Adalah sistem pembuktian yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa

semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan Hakim. Hakim dapat saja

menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka

tanpa didukung alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya Hakim dapat leluasa

membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan

terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama Hakim tidak

yakin atas kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib

terdakwa kepada keyakinan Hakim semata-mata sehingga Hakimlah yang menentukan

wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian

17 Martinus Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Gratia Indonesia,

Jakarta, h.11

Page 19: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

19

Ad. b. Conviction raisonee

Adalah sitem pembuktian yang ”berdasarkan keyakinan Hakim yang dibatasi”

yaitu keyakinan Hakim yang harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan yang logis

dan dapat diterima akal.

Ad. c. Sitem pembuktian menurut undang-undang secara positif

Adalah sitem pembuktian yang berpedoman pada prinsip pembuktian dengan

alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Sistem pembuktian ini benar-benar

menuntut Hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidak terdakwa

sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh

undang-undang.

Ad. d. Sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

Adalah sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara kedua sistem

pembuktian yaitu sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem

pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.18

Berbeda halnya dengan pendapat dari Djoko Prakoso, bahwa sistem pembuktian

yang dianut KUHAP adalah merupakan perpaduan antara sistem conviction in time

dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk

stelsel). Dan prinsip pembuktian yang dianut oleh KUHAP ini dapat dikaji dari Pasal

183 KUHAP bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seseorang terdakwa dan

untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus :

1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah

2. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.19

Seperti telah dikemukakan dalam Pasal 184 KUHP bahwa alat-alat bukti terdiri

dari :

18 M.Yahya Harahap, Op-cit, h. 255. 19 Djoko Prakoso, 1988, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, Liberty,

Jogyakarta, h. 41

Page 20: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

20

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka pertama-tama kewajiban yang

harus dilakukan dalam pengusutan perkara pidana atau perkara kriminil adalah

mengumpulkan dan mencatat sebanyak mungkin keterangan-keterangan, hal ikwal data-

data atau fakta-fakta dan kemudian dicoba dibuat kembali gambaran apa yang telah

terjadi. Fakta-fakta yang masih kurang, dicari untuk melengkapinya, sehingga gambaran

peristiwa yang terjadi itu menjadi lengkap dan ketentuan atas persoalan-persoalan inilah

yang merupakan dasar yang amat penting bagi pengusutan selanjutnya.20

Dikaji dari Pasal 184 KUHAP yang telah menyebutkan secara terperinci jenis-

jenis alat bukti yang telah dianggap cukup sebagai sarana untuk menangkap seseorang

sebagai tersangka atau terdakwa. Termasuk masih dipertahankannya petunjuk sebagai

alat pembuktian dan sekarang di introdusir pula keterangan ahli yang juga dipandang

sebagai alat pembuktian yang sah.21 Tetapi apabila disimak lebih lanjut ternyata

KUHAP tidak menentukan secara lebih jelas apa persyaratan ataupun kriteria dari

seorang yang diajukan kepersidangan sebagai seorang ahli yang akan membuat terang

suatu perkara pidana, ataupun juga demi kepentingan pemeriksaan.

Curt R. Bartol dan Anne M. Bartol mengatakan bahwa :

In order for an individual to qualify as an expert, courts require that he or she

possess specialized knowledge which is” beyond the ken” of the average lay

person amd which will assist the trier of fact (judge or jury) in understanding

technical evidence.22

Terjemahan bebasnya menyebutkan:

Agar seorang individu untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli, pengadilan

mensyaratkan bahwa ia memiliki pengetahuan khusus yang "diatas rata-rata"

20 Ibid. h. 39 21 Oemar Seno Adji, 1985, KUHAP Sekarang, Erlangga, Surabaya, h. 69 22 Curt R. Bartol, Anne M. Bartol, 2004, Psycology and Law, Thomson Wodsworth Australia,

Canada, Mexico, Singapore, Spain, UK, USA, 3rd Edition, h.95

Page 21: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

21

dari rata-rata orang awam yang akan membantu Trier fakta (hakim atau juri)

dalam memahami bukti teknis.

Diangkatnya keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah/lengkap di KUHAP

merupakan suatu realisasi dari dari keinginan yang sudah diajukan tahun 1978, yang

menyebutkankan bahwa :

1. Perundang-undangan yang berlaku sekarang yaitu HIR mengandung kekurangan-kekurangan tentang kerangan ahli ini sehingga karenanya perlu disesuiakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern yang dapat mengangkat keterangan ahli ini menjadi alat bukti yang sah (kecuali visum et repertum) yang oleh undang-undang memang sudah diterima sebagai alat bukti yang sah.

2. Didalam perundang-undangan yang baru nanti, supaya ketentuan-ketentuan tentang keterangan ahli itu dirumuskan secara lengkap meliputi pemeriksaan pendahuluan maupun persidangan.23

Menurut Wirjono Prodjodikaro yang dikutip dari Joko Prakoso dan I Ketut

Murtika, bahwa keterangan ahli dapat dinamakan alat bukti karena keterangan tentang

penghargaan dan kesimpulan dari para ahli seringkali mengenai dan akibat dalam suatu

perbuatan terdakwa, maka dapat menimbulkan bukti atau dapat membuktikan pula

adanya peristiwa pidana.24

Pemeriksaan ahli tidak semutlak pemeriksaan saksi. Mereka dipanggil dan

diperiksa apabila penyidik”menganggap perlu” untuk memeriksanya. Sedangkan Pasal

120 ayat (1) KUHAP) jika penyidik menganggap perlu, maka penyidik dapat meminta

pendapat orang lain yang memiliki keahlian khusus. Maksud dan tujuan pemeriksaan

ahli agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang.25

Lirieka Meintjes-Van Der Waalt menyebutkan bahwa :

”in essence the function of an expert is to assist the court to read a conclusion on matters on which the court itself does not have the necessary to decide. It is not the mere opinion of the witness which is decisive but his ability to satisfy the court that, because of his special skill, training or experience, the reasons for the opinion which he expresses are acceptable”26

23 Oemar Seno Adji, Op-cit, h. 69-70 24 Joko Prakoso dan I Ketut Mustika, 1987, Op-cit, h. 38 25 M.Yahya Harahap, Op-cit. h.146 26 Lirieka Meintjes-Van Der Waalt,2001, Expert Evidence in the Criminal Justice Process,

Grahamstown, Zuid Afrika, h. 4

Page 22: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

22

Terjemahan bebasnya, bahwa :

"Pada dasarnya fungsi seorang ahli untuk membantu pengadilan untuk membaca kesimpulan mengenai hal-hal di mana pengadilan itu sendiri tidak memiliki diperlukan untuk memutuskan. Ini bukan semata-mata pendapat saksi yang menentukan, tetapi kemampuannya untuk memenuhi pengadilan itu, karena pelatihan keterampilan, khusus atau pengalaman, alasan pendapat yang menyatakan diterima".

Walaupun keterangan ahli dimasa yang akan datang diperkirakan akan berperan

semakin menonjol dan semakin diperlukan dalam pemeriksaan tindak pidana sesuai

denga perkembangan ilmu dan teknologi sekaligus telah melibatkan hasil ilmu dan

teknologi dalam kejahatan tetapi pada saat sekarang ini sudah mendapat tempat sebagai

alat bukti sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) butir b KUHAP, lebih

lanjut dalam Pasal 186 KUHAP ditentukan bahwa keterangan ahli ialah apa yang

seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.27

Pada prinsipnya keterangan ahli yang dipakai sebagai alat bukti tidak

mempunyai nilai kekuatan yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai

kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan kekuatan pembuktian yang

melekat pada keterangan saksi. Oleh karena itu nilai kekuatan pembuktian yang melekat

pada alat bukti keterangan ahli harus lah :

a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (Vry bewyskracht).

b. Haruslah sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam

Pasal 183 KUHAP.28

Upaya atau kebijakan untuk melakukan Pencegahan dan Penanggulangan

Kejahatan termasuk bidang “kebijakan criminal” (“criminal policy”). Kebijakan

kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial”

(“social policy”) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan social”

(“social walfare policy”) dan kebijakan/upaya-upaya untuk melindungi masyarakat”

(“social-defence policy”). Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan

27 Alfred C. Satryo, 2002, Kumpulan Peraturan PerUndang-undangan dan Profesi Dokter, USU

Press, Jakarta, h. 153 28 Henny Zaida Flora, Fakultas Hukum Unika Santo Thomas, Medan Sumatra Utara, 2008,

Peranan Dokter Forensik dlam Pembuktian Perkara Pidana, Jurnal Hukum, Kertha Patrika, vol.33 No. 2, Juli 2008, 1.SSN. 0215-899x

Page 23: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

23

kejahatan (politik kriminal ) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum

pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan

yudikatif/aplikatif (penegakan hukum inconcreto) harus memperhatikan dan mengarah

pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social

defence”29

Kebijakan sosial dengan tujuan hendak mencapai kesejahteraan masyarakat

(social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence) adalah sejalan dengan

konsep yang dianut oleh Marc Ancel (penganut aliran defense sosial yang lebih

moderat). Menurut Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dan

Muladi menyatakan bahwa : “Tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu

seperangkat peraturanperaturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk

kehidupan bersama tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada

umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar dari hukum pidana merupakan

kebutuhan yang tak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.30

Menurut Soedarto, kebijakan kriminal mempunyai tiga arti

1. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggar hukum yang berupa pidana ;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

3. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 31

Semakin kompeksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan aparat

penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan, maka perlu diimbangi dengan

pembenahan dan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh, yang meliputi

pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana. Jelaslah bahwa kebijakan

hukum pidana (Penal Policy) menduduki posisi yang sangat strategis dalam

pengembangan hukum pidana modern.32

29 Ibid 30 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,

h.149 31 Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 113-114 32 Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The

Habibie Center, Jakarta, h. 256 (selanjutnya disebut Muladi II)

Page 24: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

24

Kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan

dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan

tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak

cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam

menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan,

diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana

Selanjutnya menurut Sudarto "politik hukum" adalah

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan33

Dengan demikian kebijakan pidana (penal policy/criminal law

policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai "usaha mewujudkan peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu

dan untuk masa yang akan datang. Kata "sesuai" dalam pengertian tersebut mengandung

makna "baik" dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.34

Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana.

Dalam hal ini Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir

memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta

sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.35

Kebijakan hukum pidana identik dengan "pembaharuan perundang-undangan

hukum pidana", namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti

sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Hukum pidana sebagai suatu sistem

hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur dan substansi hukum, sedangkan

undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum.

33 Soedarto, Loc-cit 34Al Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Komputer, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h. 11

35 Barda Nawawi, Arief, Op-cit, h.32

Page 25: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

25

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa keterangan ahli akan

lebih menjelaskan tentang sebab-sebab dari kematian atau luka seseorang sebagai akibat

dari suatu tindak pidana. Keterangan ahli ini baru akan menjadi alat bukti apabila

diperlukan dan telah mendapatkan persetujuan Hakim. Serta pada umumnya keterangan

ahli sebagai alat bukti ini tidak menyangkut pokok perkara pidana yang sedang

diperiksa, tetapi sifatnya hanya lebih menjelaskan dan lebih menjadi terang sesuatu hal

yang terjadi sebagai akibat adanya suatu tindak pidana.

Page 26: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

26

BAB : III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 TUJUAN PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami akan peran serta fungsi

dari keterangan ahli dalam memutuskan suatu perkara di persidangan.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

a. Memahami mengenai peran serta fungsi dari keterangan ahli dalam proses

pembuktian peradilan pidana.

b. Menganalisis prospek keterangan ahli dimasa yang akan datang.

3.2 MANFAAT PENELITIAN

Ada beberapa manfaat yang didapat dalam penelitian ini oleh kalangan dari : a. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini nantinya akan dapat dijadikan suatu

rujukan akademik di bidang hukum, mengingat saat ini penelitian di bidang ini

masih sedikit dilakukan di Indonesia.

b. Bagi praktisi hukum, penelitian ini dapat memberikan deskripsi dan analisis

ilmiah mengenai konsep ideal bagi penerapan keterangan ahli dalam proses

peradilan di Indonesia.

c. Bagi para pengambil kebijakan, penelitian ini akan bermanfaat bagi perumusan

kebijakan nasional berkaitan dengan peran dan fungsi keterangan ahli dalam

proses pembuktian peradilan pidana.

3.2 URGENSI PENELITIAN

Penelitian ini sangat penting dilakukan, mengingat banyak kasus-kasus yang

dalam proses pembuktiannya memerlukan keterangan ahli, namun dalam hal ini sering

kali keterangan ahli tersebut diabaikan, sehingga putusan yang diambil sering tidak

sesuai dengan aturan yang ada.

Page 27: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

27

BAB : IV

METODE PENELITIAN

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif, yang berarti bahwa semua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini

selalu mengacu pada tinjauan secara hukum, baik secara normatif maupun

berdasarkan pandangan-pandangan dari pakar hukum dan juga termasuk dalam

lingkup dogmatik hukum yang mengkaji atau meneliti aturan-aturan hukum tentang

ketidak jelasan pengaturan mengenai alat-alat bukti dan pembuktian menurut KUHAP

Pasal 184 ayat (1) khususnya tentang keterangan ahli dalam proses peradilan pidana.

2. Metode pendekatan

Terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan melalui

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan mengadakan inventarisasi

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penahanan dan penangguhan

penahanan serta perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana.

Selain itu juga dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy

oriented approach). Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling tali

menali antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional,

pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.36

Sebagai pelengkap, digunakan juga pendekatan perbandingan hukum atau pendekatan

komparatif (comparative approach) Berdasarkan cara tersebut diharapkan akan dapat

saling melengkapi sehingga akan dapat memperoleh bahan-bahan hukum yang dapat

dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini.

3. Sumber bahan hukum

Sesuai dengan jenisnya yang normatif maka penelitian ini menggunakan

bahan-bahan hukum primer maupun hukum sekunder. Bahan hukum primer, yaitu

36Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 61

Page 28: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

28

bahan-bahan hukum yang mengikat37 dalam bentuk peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan hukum primer merupakan bahan

hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.38 Perundang-undangan

yang dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)., Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009, (Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman). Dan putusan-putusan Hakim

tentang penggunaan keterangan ahli dalam proses peradilan pidana.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil

karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.39 Bahan-bahan hukum sekunder berupa

semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokmen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.40 Bahan hukum sekunder

dalam penelitian ini diambil atau diperoleh dari buku-buku (text book), artikel, hasil-

hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Tehnis pengumpulan bahan hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah metode

sistematis dimana menggunakan kartu sebagai alat pencatat secara rinci dan sistematis

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.

Dengan pengklasifikasian tersebut diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis

terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian.

37 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal. 118. 38 Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 141. 39 Soekamto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 13. 40 Marzuki, Peter Mahmud, Loc.cit.

Page 29: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

29

5. Tehnis Analisis

Bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisis

dengan tehnis-tehnis sebagai berikut :

a. Deskriptif, yaitu uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu

kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum.

b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam

ilmu hukum terhadap norma yang ada baik sekarang maupun diberlakukan

dimasa mendatang. Tehnis interpretatif digunakan karena adanya norma yang

kabur dalam pengaturan penangguhan penahanan baik yang menyangkut

penggunaan jaminan, jumlah jaminan, dan tanggung jawab penjamin, serta

adanya konflik norma secara horizontal dalam syarat jaminan. Metode

interpretatif yang digunakan diantaranya adalah grammatical interpretatie

yaitu penafsiran menurut arti kata dan sistematische interpretatie yaitu

penafsiran dengan mencari penjelasan pasal-pasal dalam undang-undang.

c. Evaluatif, yaitu melakukan penilaian terhadap suatu pandangan, pernyataan

rumusan norma dalam bahan hukum primer maupun sekunder.

d. Argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat

penalaran hukum, hal ini tidak dapat dilepaskan dari tehnis evaluatif. Dalam

permasalahan-permasalahan hukum makin dalam argumennya berarti makin

dalam penataran hukumnya

Page 30: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

30

BAB : V

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Pengertian Keterangan Ahli, Pembuktian dan Peradilan Pidana

Pengertian keterangan ahli

Wiryono Prodjodikoro menyebutkan bahwa keterangan seorang ahli ialah

mengenai suatu penghargaan dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan

kesimpulan dari hal-hal itu.41

Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia tanggal 6 Mei 1950 yang mulai

berlaku tanggal 9 Mei 1950 yang dikutip dari Wiryono Prodjodikoro, pernah

memberikan pengertian tentang keterangan ahli dalam Pasal 82, bahwa : “keterangan

orang ahli berarti pendapat orang itu diberitahukan dalam sidang tentang yang diketahui

menurut ilmu pengetahuannya terhadap soal yang dimintakan pendapatnya”.42

Kamus Hukum menyatakan bahwa saksi ahli / keterangan ahli adalah :

”keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan.”43

Disimak dari Pasal 1 ayat (28) KUHAP menyebutkan bahwa :

“keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

41

Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 107

42

Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 110

43

NN, 2008, Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung, h. 428

Page 31: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

31

Berbeda dengan Pasal 133 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa :

”keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan

ahli, sedangkan yang diberikan oleh bukan ahli kedokteran kehakiman disebut

keterangan”.

Sedangkan Pasal 179 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : setiap orang yang

diminta pendapatnya sebagai kedokteran kehakiman atau ahli lainnya wajib

memberikan keterangan demi keadilan.

Pasal 186 KUHAP menentukan bahwa :

”keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.

Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP tersebut juga menjelaskan bahwa :

keterangan ahli ini dapat pula sudah diberikan pada tahap pemeriksaan oleh penyidik

atau penuntut umum yang dituangkan dalam surat berbentuk keterangan dan dibuat

dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Senada dengan pengertian surat keterangan ahli seperti tersebut diatas, Pasal 187

ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa :

“surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara

resmi dari padanya“.

Poerwadarminta dalam bukunya, Kamus Umum Bahasa Indonesia, menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan keterangan antara lain :

“uraian dan sebagainya untuk menerangkan sesuatu, penjelasan atau sesuatu

yang menjadi petunjuk seperti bukti-bukti, tanda-tanda atau segala sesuatu yang

sudah diketahui atau yang menyebabkan tahu.44

Page 32: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

32

Berdasarkan atas beberapa pendapat seperti tersebut diatas dapat dikatakan

bahwa, dalam pengertian keterangan ahli itu meliputi keterangan dari seseorang yang

mengandung unsur-unsur :

1. Seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang sesuatu hal atau sesuatu

keadaan.

2. Keterangan yang dinyatakan oleh seorang ahli baik pada tahap penyidikan atau di

sidang pengadilan.

3. Bentuknya bisa dalam bentuk laporan atau keterangan tertulis dalam bentuk surat.

4. Diminta secara resmi oleh pihak yang berwenang.

5. Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara pidana demi keadilan.

6. Keterangan yang diberikan diatas sumpah baik sumpah pada waktu menerima

jabatan atau pekerjaan.

Pengertian Pembuktian

Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan.Oleh karena itu peran

dan fungsi dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting.

Banyak cerita, banyak peristiwa ataupun sejarah hukum yang menunjukkan bahwa

apabila salah dalam menilai pembuktian seperti saksi berbohong atau saksi memberikan

kesaksian yang palsu akan mengakibatkan orang yang sebenarnya tidak bersalah

dipenjara oleh hakim atau sebaliknya orang yang sebenarnya bersalah bebas berkeliaran

diluar.

44

Poerwadarminta, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, h. 1058

Page 33: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

33

Pengertian membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau

dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.45 Pembuktian dalam arti

yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara

yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang

diajukan.46

Selain itu, pembuktian juga dapat diartikan sebagai suatu cara untuk meyakinkan

Hakim akan kebenaran dari dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan, atau dalil-dalil yang

dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan

oleh pihak lawan.47

Pembuktian sebagai mana dinyatakan oleh Teguh Samudera berarti menjelaskan

(menyatakan) kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim

kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa.48

Berkaitan dengan ini, yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses untuk

membuktikan suatu kasus yang disertai dengan fakta-fakta yang dapat dianalisis dari

segi hukum untuk memberikan keyakinan Hakim dalam mengambil keputusan.49 Selain

itu, pembuktian sebagaimana dikatakan oleh Pitlo juga dapat diartikan sebagai suatu

cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan

kepentingannya.50

45

R Subekti, 1983, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h.1

46

Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta, h.109

47

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, 2005, Hukum Acara Perdata Dalam

Toeri dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, h.59

48

Teguh Samudera, 2004, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, h. 12

49

Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, 2005, Bisnis E-Commerce Studi Sistem

Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 111

Page 34: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

34

Pengertian pembuktian, secara etimologi, berarti sesuatu yang menyatakan

kebenaran suatu peristiwa, dengan proses perbuatan dan cara membuktikan.51

Pembuktian adalah suatu cara untuk menentukan kebenaran dari suatu hal.52 R

Subekti juga mengemukakan bahwa pembuktian ialah upaya untuk meyakinkan hakim

tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di pengadilan.53

Pembuktian adalah merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana, yang

akan membuktikan tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya.54

Munir Fuady dalam bukunya Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata)

menjelaskan bahwa :

“pembuktian dalam ilmu hukum adalah cara atau suatu proses baik dalam acara

pidana, acara perdata atau acara-acara lainnya untuk mencari kebenaran melalui

pengadilan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan dengan

prosedur khusus karena masalah hukum adalah masalah pembuktian di

pengadilan”.55

Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah ketentuan yang

membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran

baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum.56

50

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatirs Gultom, 2005, Cyber Law- Aspek Hukum Teknologi

Informasi, Refika Aditama, Bandung, h. 97

51

Dep.Dik.Bud, 1995, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta, h. 151

52

Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 89

53

R Subekti, Op-cit, h. 7

54

Andi Hamzah, Op-cit, h. 249

55

Munir Fuady, Op-cit,h. 1

Page 35: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

35

Secara umum dapat diketahui, bahwa pembuktian yang berarti bukti yang cukup

untuk memperlihatkan kebenaran suatu peristiwa, sehingga pembuktian bermakna suatu

perbuatan untuk membuktikan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan,

menyaksikan serta meyakinkan.57

Sedangkan hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur

tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah

dilakukan tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta di persidangan.58

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwa pembuktian dilihat

dari perspektif hukum acara pidana yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan

dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran baik oleh hakim, penuntut umum,

terdakwa dan penasehat hukum, yang kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara

serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak dibenarkan

menilai alat bukti secara leluasa berdasarkan kehendak sendiri.

Salah satu karakter dari hukum pembuktian, bahwa hukum pembuktian

merupakan cabang ilmu hukum yang sangat “technology oriented”, artinya bahwa

perkembangan teknologi memberikan dampak langsung pada perkembangan

pembuktian di pengadilan. Seperti contoh, saat ini perkembangan teknologi yang

hasilnya sangat meyakinkan yaitu kejahatan dengan mudah dapat diungkapkan hanya

dengan memakai tes “DNA”, yang sebelumnya belum dikenal. Hanya saja yang perlu

dicermati adalah penggunaannya di pengadilan, seberapa jauhkah ilmu dan teknologi

modern tersebut dapat digunakan, sampai dimana reliabelitasnya dapat diakui, agar

56

H Syaiful Bakhri, 2009,Op-cit,h. 2

57

Soedirjo, 1985, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, CV Akademika Pressindo, Jakarta, h.

47

58

Munir Fuady, Op-cit, h. 1-2

Page 36: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

36

tidak disalah gunakan penggunaannya sehingga tidak menimbulkan praduga yang tidak

perlu terjadi.

Jadi pembuktian atau hukum pembuktian adalah suatu cara atau suatu proses

untuk mencari kebenaran terutama kebenaran yang matriil dalam hukum acara pidana

berdasarkan alat-alat bukti yang sah demi keadilan di pengadilan.

Pengertian peradilan pidana

Peradilan pidana adalah proses atau tata cara pemeriksaan perkara pidana pada

peradilan pidana yang menuntut diterapkannya secara lengkap ketentuan-ketentuan

dalam hukum acara pidana di persidangan.59

Erat kaitannya dengan proses pemeriksaan perkara pidana, dalam KUHAP

sekarang ini dibagi menjadi 4 (empat) tahapan yaitu : penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan (eksekusi).

Sehubungan dengan pemeriksaan perkara pidana di persidangan ini dikenal

macam-macam pengajuan perkara pidana yaitu :

1. Perkara pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu pemeriksaan perkara pidana tentang kejahatan berat dengan proses pembuktian maupun penerapan hukumnya yang sulit.

2. Perkarta pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan sumir yaitu perkara pidana tentang kejahatan yang tidak begitu berat yan proses pembuktiannya serta penerapan hukumnya tidak begitu sulit.

3. Perkara pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan roll yaitu perkara ringan atau lebih mengkhusus lagi mengenai perkara pelanggaran yang ancaman hukumannya tidak lebih dari 3(tiga) bulan kurungan atau denda Rp.500,- (lima ratus rupiah), termasuk juga penghinaan ringan seperti diatur dalam Pasal 315 KUHP.60

59

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op-cit, h. 48

60

Djoko Prakoso, Ibid, h. 49-50

Page 37: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

37

R Soesilo maupun Moelyatno yang dikutip dari W Tangun Susila dan Dewa

Suartha, menyatakan bahwa : ”proses peradilan pidana adalah prosedur penyelesaian

perkara pidana menurut KUHAP bagi penegak hukum yang memberi dasar-dasar dan

aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur apa, ancaman pidana apa,

yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan

bahwa orang telah melakukan delik tersebut”.61

Sejarah Hukum Pembuktian dan Teori Pembuktian di Indonesia

Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari bidang hukum yang sudah

cukup tua, boleh dikatakan seumur dengan adanya manusia dan masyarakat, baik

masyarakat itu masyarakat sederhana, masyarakat modern ataupun yang sudah maju

pada hakekatnya akan memiliki rasa keadilan. Rasa keadilan ini akan muncul apabila

ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan

orang yang nyata-nyata bersalah. Agar tidak terjadi hal seperti itu maka dalam suatu

proses peradilan diperlukan pembuktian-pembuktian setidak-tidaknya sesuai dengan

perundang-undangan yang berlaku saat itu.

Dengan demikian dalam sejarah hukum pembuktian berkembanglah satu set

hukum dan kaidah di bidang pembuktian dari sistem pembuktian yang irasional dan

sederhana ke arah sistem pembuktian yang lebih rasional dan rumit. Oleh karena

sepanjang sejarah umat manusia, para penegak hukum dan pencari keadilan sangat sadar

akan adanya manipulasi alat bukti di pengadilan, baik itu kesaksian yang palsu, saksi

yang berbohong atau tidak benar sehingga dari sejak dahulu pula penyumpahan saksi

mempunyai peranan penting agar saksi tidak berbohong.

61

I Wayan Tangun Susila, I Dewa Made Suartha, Op-cit, h. 3-4

Page 38: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

38

Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu,

peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting.

Banyak riwayat, cerita, ataupun sejarah hukum yang menunjukkan kepada kita betapa

karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena saksi berbohong, maka pihak

yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan

bersalah oleh hakim.

Begitu sentralnya peranan hukum pembuktian dalam mencari keadilan di dunia

ini, maka dalam cerita–cerita kuno baik itu cerita sejarah, mitos maupun cerita agama

terdapat cara-cara pembuktian unik yang hanya untuk membuktikan bahwa manusia

tidak perlu pesimis karena masih ada jalan untuk mendapatkan suatu kebenaran. Seperti

salah satu contoh kasus yang ditangani oleh Raja Sulaiman yang terkenal arif dan

bijaksana, telah menyelesaikan masalah perebutan seorang bayi antara dua orang ibu

yang masing-masing mengaku bahwa itu adalah bayinya.

Dengan cara menghunus pedangnya, beliau berkata bahwa beliau akan

membelah bayi tersebut menjadi dua sehingga masing-masing akan mendapat setengah

dari badan bayi tersebut. Dengan cara itulah Raja Sulaiman dapat mengetahui dari sikap

dan prilaku ibu-ibu tersebut yang manakah ibu asli dari bayi tersebut.62

Sebelum dunia ilmu hukum mengenal sistem atau teori pembuktian modern,

dalam sejarah hukum dikenal sistem atau teori pembuktian sebagai berikut :

1. Sistem atau teori pembuktian bebas. Cara pembuktian seperti ini tidak diadakan pembatasan baik terhadap metoda pembuktian maupun jenis alat buktinya,tetapi dibebaskan kepada para pihak untuk membuktikannya dan selanjutnya diserahkan kepada hakim untuk menilainya. Cara pembuktian seperti ini dahulu dikenal diberbagai suku bangsa di Eropa, Afrika dan India.

62

Munir Fuady, Op-cit, h. 10

Page 39: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

39

2. Sistem atau teori pembuktian dengan memakai Tangan Tuhan. Dan model pembuktian seperti ini muncul dalam bentuk siksaan, seperti memakai api, besi panas, air panas yang mendidih,air dingin, termasuk juga sumpah. Dengan model pembuktian seperti ini apabila mereka berbohong maka Tuhan atau Nenek Moyangnyalah yang akan menghukumnya.63

Perkembangan hukum pembuktian sebagaimana telah diuraikan diatas sangat

bersifat evaluatif apalagi setelah adanya kesadaran bahwa sistem atau teori pembuktian

tertentu sudah tidak sesuai lagi dengan jamannya, tidak efektif dan efisien lagi untuk

dipakai mencari kebenaran, baik karena terlalu banyak dimanipulasi atau karena adanya

pembuktian modern seperti pembuktian dengan penggunaan alat elektronik, ilmu

pengetahuan modern,teknologi canggih antara lain tes DNA, sidik jari, rontgen,

fotokopi dan lain sebagainya. Berdasarkan atas perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi inilah yang menyebabkan pula adanya perubahan sistem atau teori

pembuktian yang sekarang dianut dalam KUHAP, sebagai pengganti dari HIR.

Sejarah perkembangan hukum pembuktian dan teori pembuktian di Indonesia

adalah mengikuti sejarah perkembangan hukum acara pidana, karena ada beberapa

sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan.

Akibat keterbatasan manusia, seringlah terjadi proses pembuktian yang tidak

benar seperti adanya manipulasi alat bukti di pengadilan yang berupa saksi memberikan

keterangan yang tidak benar, palsu atau berbohong. Dan cara- cara yang dari dahulu

sudah ditempuh agar saksi tidak berbohong, maka kesaksiannya dikuatkan dengan

sumpah, karena jika saksi berbohong, disamping akan mendapat kutukan dari Tuhan

atau Dewa, juga akan dihukum oleh negara sebagai akibat telah memberikan sumpah

palsu. Demikian pula cara-cara pembuktian yang unik lainnya dapat ditemukan dalam

63

Munir Fuady, Op-cit, h. 13-14

Page 40: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

40

cerita-cerita kuno baik itu cerita sejarah, cerita agama maupun mitos-mitos lainnya

seperti telah dijelaskan diatas.

Model pembuktian dengan menggunakan Tangan Tuhan ini juga muncul dalam

wujud penggunaan alat bukti “sumpah” dengan dan atas nama Tuhan dan bercampur

aduk dengan kepercayaan atau mistik. Model seperti ini sampai sekarang masih berlaku

di banyak sistem hukum, termasuk di Indonesia yang disebut dengan “sumpah

pocong”.64

Walaupun keterangan atau kesaksian nya itu tidak benar dan bahkan hal seperti

itu digunakan pada zaman orang sudah mengenal hukum yang rasional. Ini berarti

merupakan suatu bukti bahwa teori dan praktek hukum tidak selamanya berjalan seiring

dengan perkembangan rasio manusia.

Sehubungan dengan sistem atau teori pembuktian ini, Indonesia sama dengan

Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya yang menganut sistem atau teori

pembuktian yang negatif. Seperti telah diuraikan di depan dalam tinjauan teoritis, yang

mengenal 3 (tiga) macam bentuk sistem atau teori pembuktian dan salah satunya adalah

sistem atau teori pembuktian negatif, yaitu bahwa : “Hakimlah yang menilai alat bukti

yang diajukan dengan keyakinannya sendiri” dan bukan “Juri” seperti di

AmerikaSerikat dan negara-negara Anglo Saxon.

Mengenai sistem atau teori pembuktian negatif ini dianut baik oleh HIR

(Herzienne Inlandsch Reglement ) maupun KUHAP yang merupakan pengganti dari

HIR, yang merupakan dasar acara pidana sipil di Indonesia. HIR diganti dengan

KUHAP karena HIR adalah hasil produk kolonial dan belum menjamin atau belum

mewujudkan hak-hak asasi manusia. Tetapi mengenai sistem atau teori pembuktian

64

Munir Fuady, Op-cit, h. 13-14

Page 41: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

41

negatif yang dianut oleh HIR dan KUHAP adalah sama. Hal ini dapat diketahui dari

Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut :

“tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika Hakim mendapat

keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang

dapat dipidana dan bahwa orang–orang yang didakwa itulah yang bersalah

melakukan perbuatan itu”.

Sedangkan Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”.

Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas terlihatlah ketentuannya yang sama,

hanya ada sedikit perbedaan yaitu : dalam Pasal 294 HIR disebutkan dengan “kata alat

bukti“ sedangkan dalam Pasal183 KUHAP disebutkan dengan dengan kata “dua alat

bukti“.

Walaupun demikian dari pernyataan seperti tersebut di atas dapat dikatakan

bahwa : “telah ada pengakuan kepada kekuatan pembuktian yang sah (yang disebut oleh

undang-undang), disamping keyakinan Hakim untuk memidana seseorang yang benar-

benar bersalah sehingga ketentuan tersebut adalah untuik menjamin tegaknya

kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.

Seperti telah dikemukakan oleh Wiryono Prodjodikoro, bahwa : sistem

pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan dengan

alasan :

1. Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana,

Page 42: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

42

janganlah Hakim terpaksa memidana orang sedangkan Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.

2. Adalah berfaedah jika aturan yang mengikat Hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh Hakim dalam melakukan peradilan.65

Jenis-Jenis Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya

Oleh karena tujuan yang hendak dicapai acara pidana adalah untuk menentukan

suatu kebenaran maka berdasarkan atas kebenaran itulah akan ditetapkan putusan

hakim. Tetapi hal yang amat penting dan juga amat sulit dalam menetapkan kebenaran

tersebut adalah mengenai pembuktian dari sesuatu hal yang menyangkut kebenaran

itu.Terwujudnya kebenaran agar mencapai kepastian, sesuai dengan kebenaran hukum

acara pidana adalah berdasar atas usaha mendekati sebanyak mungkin persesuaian

antara keyakinan Hakim dan kebenaran yang sejati.

Untuk mendapatkan keyakinan itu Hakim membutuhkan alat-alat bukti guna

menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu, karena kebenaran

biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu yang sudah lampau dan roda

pengalaman di dunia tidak mungkin diputar balikkan kembali.

Oleh karena itu tanda-tanda yang ditinggalkan oleh keadaan-keadaan itu baik

berupa barang-barang atau benda yang masih dapat dilihat oleh Hakim atau berupa

ingatan dari orang-orang yang mengalami keadaan itu yang akan membantu Hakim

dalam membentuk keyakinannya agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim sesuai

dengan sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu harus

memenuhi dua (2) syarat mutlak yaitu :

1. Alat bukti yang cukup dan

65

Wiryono Prodjodikoro, Op- Cit, h. 77

Page 43: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

43

2. Keyakinan Hakim.66

Berkaitan dengan alat–alat bukti dan kekuatan pembuktiannya, bagaimanapun di

ubah-ubah, dalam KUHAP masih tetap sama dengan dalam HIR yang pada dasarnya

sama dengan ketentuan dalam Nederlansch strafvordering yang mirip pula dengan alat-

alat bukti di negara–negara Eropa Kontinental, seperti Belanda. Sedangkan dalam

penyusunan alat-alat bukti negara-negara common law seperti Amerika Serikat ada

perbedaan , bahwa yang disebut dengan “forms of evidence” terdiri dari :

1. Real evidence (bukti sungguhan).

2. Documentary evidence (bukti dokumenter).

3. Testimonial evidence (bukti kesaksian).

4. Judicial evidence (pengamatan hakim).67

Tetapi Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika menyebutkan alat-alat bukti dalam

Pasal 295 HIR yaitu :

1. Keterangan saksi.

2. Surat-surat.

3. Pengakuan.

4. Tanda-tanda (petunjuk-petunjuk).68

Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai

sebagai alat bukti di pengadilan, diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :

1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti. 2. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya

(misalnya, tidak palsu).

66

Munir Fuady, Op-cit , h. 2

67

Jur.Andi Hamzah, Op-cit, h. 258

68

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op- Cit, h. 65

Page 44: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

44

3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.

4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.69

Diubahnya hukum acara pidana dari HIR ,menjadi KUHAP yang merupakan

hasil produk nasional yang lebih sesuai dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang berlandaskan Pancasila dan Undang–undang Dasar 1945, yang lebih mengarah

kepada unifikasi hukum acara pidana dan lebih menjamin hak asasi manusia, maka

penyebutan alat-alat bukti dan hukum pembuktian pun berubah seperti dapat diketahui

dari Pasal 184 ayat (1) KUHAP bahwa alat-alat bukti dalam hukum acara pidana yang

bartu adalah :

1. Keterangan saksi.

2. Keterangan ahli.

3. Surat.

4. Petunjuk.

5. Keterangan terdakwa.

Penilaian sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan

pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti yang sah. Seperti telah tercantum

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Sedangkan pembuktian di luar jenis alat bukti

sebagaimana Pasal 184 aya(1) KUHAP, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai

kekuatan pembuktian yang mengikat.70

Dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan alat bukti

baru seperti “keterangan ahli” dan ada perubahan nama alat bukti yang dengan

sendirinya mempunyai makna menjadi lain yaitu dari “pengakuan terdakwa” menjadi

69

Munir Fuady, Op-cit, h. 4

70

H Syaiful Bakhri, Op-cit, h. 46-47

Page 45: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

45

“keterangan terdakwa” dan tentang “pengamatan sendiri” oleh Hakim (pengetahuan

Hakim)” seperti yang terdapat dalam Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 1950 L.N. 1950 Nomor 30, tidak diambil oleh KUHAP.

Tujuan dan fungsi hukum acara pidana seperti yang telah disebutkan diatas

dapat diketahui bahwa yang paling penting adalah mencari kebenaran yang matriil dan

untuk menemukan kebenaran yang matriil itu hanya dapat diperoleh melalui bukti-bukti

baik berupa alat bukti, sistem pembuktian maupun barang bukti. Karena dengan bantuan

bukti-bukti tersebut Hakim akan memberikan putusan yang seharusnya adil dan tepat,

yang kemudian dilaksanakan oleh Jaksa.

Andi Hamzah berpendapat bahwa, tujuan hukum acara pidana untuk mencari

kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah untuk

mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam

masyarakat.71

Sehubungan dengan pentingnya bukti-bukti dalam mencari kebenaran matriil

menurut hukum acara pidana, maka perlu pula dijelaskan lebih jauh tentang bukti–bukti

tersebut. I Wayan Tangun Susila dan I Dewa Made Suartha menyatakan bahwa : bukti

dalam hukum acara pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Bukti dalam arti barang bukti, yaitu benda-benda yang dapat disita seperti : a. Benda atau tagihan tersangka/ terdakwa yang seluruh atau

sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tindak pidana.

71

Andi Hamzah, Op-cit, h. 9

Page 46: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

46

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

2. Bukti dalam arti alat bukti yang dapat dilihat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain : a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli. c. Surat. d. Petunjuk. e. Keterangan terdakwa.72

Alat bukti dan barang bukti seperti tersebut diatas akan dipakai oleh penyidik

untuk dapat membuat terangnya suatu tindak pidana dan untuk menemukan pelaku

(tersangka atau terdakwanya). Alat bukti dan barang bukti ini juga dipergunakan oleh

penyidik untuk menjawab pertanyaan yang dalam sistem atau petunjuk yang telah

umum dipakai dalam penyidikan perkara pidana adalah sistem 7-kah (7 pertanyaan)

seperti berikut ini :

1. Apakah yang terjadi (persoalan, macam peristiwanya).

2. Dimanakah perbuatan itu dilakukan (tempatnya).

3. Bilamanakah perbuatan itu dilakukan (waktunya).

4. Dengan apakah perbuatan itu dilakukan (alatnya).

5. Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan (caranya).

6. Mengapakah perbuatan itu dilakukan (alasannya).

7. Siapakah yang melakukan (pelakunya).

Menurut Munir Fuady, apabila dilihat dari kedekatan antara alat bukti dan fakta

yang akan dibuktikan, terdapat dua (2) macam alat bukti, yaiyu sebagai berikut :

1. Alat bukti langsung, dan

2. Alat bukti tidak langsung.73

72

I Wayan Tangun Susila, I Dewa Made Suartha, Op-cit, h. 37-38

Page 47: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

47

Adapun yang dimaksud dengan alat bukti langsung (direct evidence) adalah alat

bukti di mana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut

terbukti langsung (dalam satu tahap saja) dengan adanya alat bukti tersebut.74

Mengenai bukti tidak langsung (indirect evidence) atau sering disebut juga

dengan alat bukti sirkumstansial, maka pengertiannya adalah suatu alat bukti di mana

antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah

ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu.75

Selanjutnya, jika dilihat dari segi fisik dari alat bukti, alat bukti tersebut dapat

dibagi ke dalam tiga (3) kategori, yaitu :

1. Alat bukti testimonial,

2. Alat bukti yang berwujud, dan

3. Alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial.76

Pengertian dari alat bukti testimonial adalah pembuktian yang diucapkan (oral

testimony) yang diberikan oleh saksi di depan pengadilan. Sedangkan pengertian dari

alat bukti yang berwujud (tangible evidence) adalah model-model alat bukti yang dapat

dilihat wujudnya/bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua (2) macam, yaitu :

1. Alat bukti riil.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah sejenis alat bukti

yang merupakan benda yang nyata ada di tempat kejadian, misalnya pistol atau

73

Munir Fuady, Op-cit, h. 5

74

Munir Fuady, Op-cit, h. 5

75

Munir Fuady, Loc.Cit

76

Munir Fuady, Op.Cit,h. 10

Page 48: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

48

pisau yang telah digunakan untuk membunuh, atau mesin yang tidak berfungsi

sehingga menyebabkan kecelakaan.

2. Alat bukti demonstratif.

Alat bukti demonstratif dalam hal ini yang dimaksud adalah alat bukti yang

merupakan benda yang nyata tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian,

misalnya, alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model

anatomi tubuh, dan sebagainya.

Alat bukti berwujud tetapi bersifat testimonial memiliki pengertian yaitu, adalah

bentuk campuran antara alat bukti testimonial dan alat bukti berwujud. Dalam hal ini,

sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki sifat yang testimonial,

misalnya transkrip dari keterangan saksi (deposisi) atau transkrip dari kesaksian dalam

sidang sebelumnya di kasus yang lain.77

Sedangkan Pasal 296 HIR menentukan bahwa : ”alat-alat bukti tersebut baik

masing-masing maupun bersama-sama dapat dipergunakan oleh Hakim menambah

keyakinannya untuk mengambil putusan”. Menurut Pasal 298 HIR, menyebutkan pula

bahwa : “tidak satupun dari alat–alat bukti itu bersifat mengikat Hakim dalam

mengambil suatu putusan apabila Hakim tidak berkeyakinan betul pada alat-alat bukti

tersebut untuk menyatakan tersangka atau terdakwa bersalah”.

Disamping itu dalam HIR alat bukti “keterangan ahli” digabungkan dengan

bukti kesaksian, sedangkan dalam KUHAP “keterangan ahli” merupakan jenis alat bukti

tersendiri.

77

Munir Fuady, Loc.Cit

Page 49: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

49

Sangat diperlukan mengenal jenis-jenis alat bukti yang dipergunakan dalam

hukum acara pidana untuk menemukan pelakunya, disamping itu perlu pula diketahui

kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

Tentang alat bukti dan kekuatan pembuktiannya dapat diketahui melalui

ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat-alat

buktu yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan

dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas

hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja, dan tidak leluasa

mempergunakan alat-alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan

Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Penilaian sebagai alat bukti, dan dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian

hanya terbatas kepada alat-alat bukti yang sah.

Alat-alat bukti seperti yang tersebut diatas telah diatur di dalam Pasal 184 ayat

(1) KUHAP baik mengenai isi, maupun nilainya, dan juga kekuatan pembuktiannya,

antara lain :

1. Mengenai keterangan saksi.

Pasal 185 KUHAP ayat (5) KUHAP sudah menentukan bahwa baik pendapat

maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan

keterangan saksi. Dan dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dinyatakan

bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang

lain.

Jadi keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti

sah. Keterangan saksi haruslah mengenai hal-hal atau keadaan-keadaan yang

Page 50: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

50

dialami, dilihat atau didengar langsung oleh saksi sendiri.Hal ini adalah sesuai

dengan tujuan dari hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran matriil dan

untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, karena keterangan saksi

sebagai hasil dari mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya.

Tetapi sebenarnya kesaksian yang didengar dari orang lain perlu pula

didengar oleh Hakim dengan tujuan untuk memperkuat keyakinannya, tetapi

tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian sehingga kekuatan hukum dari

pembuktian seperti itu juga tidak terjamin. Hal yang demikian juga berkaitan

dengan tidak dicantumkannya “pengamatan Hakim“ sebagai alat bukti tetapi

dapat dimasukkan melalui alat bukti petunjuk, yang kemudian penilaian dan

pertimbangannya diserahkan kepada Hakim.

Kesaksian saksi haruslah di sampaikan di hadapan Hakim dan dibawah

sumpah dengan maksud agar Hakim dapat menilai dan melihat langsung pribadi,

sikap prilaku ataupun gerak-geriknya pada waktu memberikan kesaksian,

sehingga Hakim dapat meyakininya apakah kesaksiannya itu palsu, bohong,

ngarang atau yang lain-lain.

Howard Abadinsky mengatakan bahwa :

The basic role of trial judge is that of referee. He/she ensures that the

rules of law and proper judicial process are adhered to by defense and

prosecution. In cases where there is a jury is to determine “facts”. When

a defendant waives the right to ajury trial and requests a “bench trial”

instead, the judge will determine facts as well as guilt or innocence.78

78

Howard Abadinsky, 1984, Discretionary Justice, Charles C Thomas Publisher, Springfield

Illinois, USA, h. 63

Page 51: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

51

Dalam terjemahan bebasnya bahwa :

Peran dasar Hakim adalah bahwa dari wasit. Ia memastikan bahwa

aturan hukum dan proses peradilan yang benar yang dianut oleh

pertahanan dan penuntutan. Dalam kasus di mana ada juri adalah untuk

menentukan “fakta”. Ketika terdakwa menghapuskan hak untuk jury

pengadilan dan permintaan ”coba bangku” sebagai gantinya, Hakim akan

menentukan fakta serta bersalah atau tidak bersalah.

Selanjutnya dapat dikemukakan adanya batas nilai dari suatu kesaksian

seperti yang tercantum dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP bahwa : “keterangan

seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah

terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Jadi kesaksian yang hanya diberikan oleh seorang saksi tidaklah cukup

untuk mendakwa seseorang bersalah, apabila tidak ada alat bukti lain sebagai

pendukungnya (unus testis nullus testis/ satu saksi bukanlah saksi). D Simons

yang dikutip dari Andi Hamzah menyatakan bahwa :

“satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan

seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu

keadaan tersendiri, suatu petunjuk dasar pembuktian”.79

Apa yang dikemukakan oleh D Simons seperti tersebut diatas dianut juga

oleh KUHAP, dalam Pasal 185 ayat (2), demikian pula dalam Pasal 185 ayat (4).

Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa : Jika satu keterangan saksi

berdiri sendiri dipakai sebagai bukti untuk suatu keadaan atau suatu unsur delik.

Pasal 185 ayat (4) KUHAP menentukan bahwa :

79

Andi Hamzah, Op-cit, h. 269

Page 52: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

52

”keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang sesuatu

kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah

apabila keterangan saksi itu ada hubunganya satu dengan yang lain

sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian

atau keadaan tertentu”.

2. Mengenai keterangan ahli.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan dalam urutan yang kedua

bahwa “keterangan ahli” disebut sebagai alat bukti. Tetapi KUHAP tidak

menyebutkan secara jelas tentang siapa yang disebut sebagai ahli dan apakah

“keterangan ahli” itu alat bukti atau tidak ? Sedangkan Pasal 186 KUHAP hanya

menyebutkan bahwa :

“keterangan seorang ahli” ialah apa yang seorang ahli nyatakan di dalam

sidang pengadilan“.

KUHAP dalam Pasal 160 ayat (3) menentukan bahwa saksi wajib

mengucapkan sumpah. Pasal ini tidak menyebutkan ahli. Sedangkan Pasal 161

ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : dalam hal saksi atau ahli, tanpa

menyebutkan alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji.

Dari kedua Pasal tersebut dapat diketahui adanya ketidak jelasan

kedudukan dari seorang ahli, karena pada Pasal 160 ayat (3) , sumpah hanya

diwajibkan pada saksi tanpa menyebutkan “ahli” sedangkan dalam Pasal 161

ayat (1) disebutkan dengan jelas tentang “saksi” dan “ahli”, yang dapat menolak

untuk bersumpah atau berjanji apabila ada alasan yang sah .

Page 53: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

53

Artinya, baik saksi maupun ahli yang dimintai keterangannya harus

mengucapkan sumpah atau janji. Dilihat dari keterangannya pun antara

keterangan ahli dengan keterangan saksi berbeda, walaupun kadang-kadang sulit

memisahkan dengan tegas, karena seorang ahli dapat pula merangkap sebagai

saksi.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP menyatakan

bahwa : “keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan

janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah

merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim”.

Apabila dikaji dari Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa :

“setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran

kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan

ahli demi keadilan”.

Sedangkan Pasal 179 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa :

“semua keterangan tersebut diatas untuk saksi, berlaku juga bagi mereka

yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka

mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan sebaik-

baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang

keahliannya”.

Berdasarkan kedua pasal di atas dapat disebutkan bahwa baik keterangan

saksi maupun keterangan ahli agar disebut sebagai alat bukti yang sah maka

keterangan yang diberikannya tersebut haruslah diucapkan dengan sumpah atau

janji, apalagi keterangan itu disampaikan dalam sidang pengadilan.

Page 54: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

54

Jadi sesuai dengan Pasal 186 jo Pasal 1 butir 28, yaitu apa yang

dinyatakan seorang ahli di sidang pengadilan tentang keahlian khusus yang

dimilikinya untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan. Karena keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah maka

konsekwensinya hakim tidak dapat mengenyampingkan begitu saja keterangan

ahli, walaupun bertentangan dengan keyakinannya.

3. Mengenai Alat Bukti Surat.

Selain Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyebut alat-alat bukti, maka

dalam Pasal 187 KUHAP bahwa: Surat yang dibuat dengan sumpah, dapat

dianggap sebagi bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yakni, suatu berita

acara yang membuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,

dilihat, atau dialaminya, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang

keterangannya. Surat yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang

dibuat oleh pejabat yang berwenang. Surat keterangan ahli, dan atau surat

lainnya yang bersifat resmi.

Surat yang dibuat secara formal mempunyai nilai kekuatan pembuktian

yang sempurna sebagai alat bukti. Dari aspek matriil surat mempunyai kekuatan

yang mengikat dan Hakim bebas untuk menilai substansi surat tersebut

berdasarkan atas asas keyakinan Hakim dan asas batas minimum pembuktian.

Alat bukti surat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 187 KUHAP tersebut

bukanlah alat bukti yang mengikat tetapi bernilai sebagai pembuktian yang

bersifat bebas.80

Page 55: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

55

Sebagai bagian dari alat bukti, maka surat berkembang sesuai dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena telah diterimanya beberapa

alat bukti surat elektronik, email, short message system (sms) dan sebagainya.

Hal yang penting dalam tindak pidana korupsi adalah surat resmi dari instansi

atau lembaga tinggi Negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maupun

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), dan lain sebagainya.

4. Mengenai Alat Bukti Petunjuk.

Apabila diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang menyatakan

bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan

berdasarkan hati nuraninya.

Pada akhirnya disini tercermin persoalan diserahkan kepada Hakim

untuk menilai alat bukti petunjuk tersebut. Atas dasar hal tersebut Hakim

sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian

pembuktian kesalahan terdakwa, karena sangat dekat dengan sifat kesewenang-

wenangan yang didominasi oleh penilaian subyektif, kecuali dianggap sangat

penting dan mendesak alat bukti petunjuk dipergunakan. Karena dalam praktek

selalu terdapat kelemahan pembuktian di peradilan disebabkan aparat penyidik

80

H Syaiful Bakhri Op-cit, h. 63-64

Page 56: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

56

kurang sempurna mengumpulkan pembuktian, bahkan dalam berita acara

pemeriksaanpun sulit untuk dipahami.81

5. Mengenai Alat Bukti Keterangan terdakwa.

KUHAP dengan jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa”

sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir e, berbeda dengan peraturan lama yaitu

HIR yang menyebut dengan istilah “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti

menurut Pasal 295. Tetapi sangat disayangkan bahwa KUHAP tidak

menjelaskan apa perbedaan antara “keterangan terdakwa” dengan “pengakuan

terdakwa“ sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan

pengakuan terdakwa karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-

syarat sebagai berikut :

a. Mengaku ia yang melakukan delik yang di dakwakan.

b. Mengaku ia bersalah.

Sedangkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti baik itu berupa

penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau

keadaan haruslah didengar dan Hakim tidak perlu mempergunakan seluruh

keterangan seorang terdakwa ataupun saksi.82

Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan

tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui, dan dialami sendiri. Jadi

keterangan terdakwa maupun keterangan saksi tidak boleh dalam bentuk

pendapat, kesimpulan, rekaan atau yang diketahui dari orang lain.

81

H. Syaiful Bakhri, Op-cit, h. 64-65

82

Jur. Andi Hamzah, Op-cit, h. 278

Page 57: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

57

Keterangan terdakwa dipakai sebagai alat bukti di pengadilan juga

memiliki asas-asas sebagai landasan berpijak, antara alain :

1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.

2. Tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui sendiri atau dialami

sendiri.83

Dalam asas kedua, supaya keteranga terdakwa dapat dinilai sebagai alat

bukti, keterangan itu adalah merupakan pernyataan atau penjelasan dari :

a. Tentang perbuatan yang “dilakukan terdakwa”.

b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa.

c. Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.

d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya

sendiri.84

Kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa, sekalipun

diberikan dengan pernyataan pengakuan sebagai pelaku dan yang bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan ini tidak

boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan

mengikat.

Apabila pembuat undang-undang menetapkan pengakuan sebagai alat

bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat, maka ketentuan seperti itu

akan memaksa Hakim tidak boleh beranjak dari alat bukti pengakuan tersebut,

karena Hakim akan secara mutlak harus memutuskan perkara berdasarkan

pengakuan tersebut dan ketentuan seperti ini akan sangat berbahaya.

83

H. Syaiful Bakhri, Op-cit, h. 68

84

H. Syaiful Bakhri, Loc.Cit

Page 58: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

58

Oleh karena didalam perkara pidana tersangkut baik kepentingan

individu disatu pihak maupun kepentingan masyarakat dipihak lain dan

kebenaran yang harus ditegakkan adalah kebenaran “sejati”, maka undang-

undang tidak dapat menilai keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat

bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan

menentukan. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan

terdakwa adalah:

a. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas.

Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat dalam alat bukti

keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung

didalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti

dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. Jangan hendaknya penolakan

akan kebenaran keterangan terdakwa tanpa alasan yang didukung argumentasi

yang tidak proporsional dan akomodatif.

Demikian pula sebaliknya, seandainya hakim hendak menggantikan alat

bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan

terdakwa, harus dilengkapi dengan alasan yang argumentative dengan

menghubungkannya dengan alat bukti yang lain.

b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian.

Salah satu asas penilaian yang harus diperhatikan oleh hakim yakni

ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 189 ayat (4), yang menentukan :

”keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti lain”.

Page 59: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

59

Dari ketentuan ini jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti

keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain, baru

mempunyai nilai pembuktian yang cukup.

Penegasan Pasal 189 ayat (4), sejalan dan mempertegas asas batas

minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183. Seperti yang sudah

berulang-ulang dijelaskan, asas batas minimum pembuktian telah menegaskan,

tidak seorang terdakwa pun dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua

(2) alat bukti yang sah.

c. Harus memenuhi asas keyakinan Hakim.

Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas

minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan ”keyakinan hakim”,

bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya.

Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya

sesuai dengan sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah

”pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Artinya, disamping

dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, maka dalam

pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya.

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil,

Page 60: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

60

hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Sifatnya yang terlalu formal

apabila hanya dilandasi untuk kepentingan kepastian hukum saja, akan membawa

bencana ketidak adilan.

Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia menganut asas bahwa kasus pidana

adalah sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa tersebut akan

diselesaikan oleh pemerintah sebagai wakil dari publik.

SPP haru dilihat sebagai the work of courts and tribunals which deal with

criminal law and its enforcement.85 Pemahaman pengertian system dalam hal ini harus

diliat dalam konteks baik sebagai Physical system dalam arti seperangkat elemen yang

secara padu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system

dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu lain berada

dalam ketergantungan.

SPP dalam hal ini tidak dapat dilihat pula sebagai Deterministic System yang

bekerjanya dapat ditentukan secara pasti, namun harus dilihat sebagai probabilistic

system yang hasilnya secara pasti tidak dapat diduga. Hulsman sebagaiman dikutip oleh

Muladi mengatakan bahwa, tujuan system peradilan yang positif berupa rasinalisasi

terpidana sering justru berakibat pada condition of powerfare berupa penderitaan.86

Berdasarkan sifat hukum acara pidana yang berbasis pada pembuktian dengan

mengacu pada aspek kepentingan umum, maka hukum acara pidana dibuat antara lain :

1. Ketentuan-ketentuannya bersifat memaksa karena melindungi kepentingan bersama guna menjaga keamanan, ketentraman hidup masyarakat.

2. Mempunyai dimensi perlindungan HAM, dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yakni kewajiban untuk didampingi oleh penasehat hukum,hak untuk diadili secara terbuka untuk umum,mengajukan saksi-

85

Muladi, Op-cit, h. 15

86

Ibid

Page 61: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

61

saksi dan melakukan upaya hukum sehingga terdapat keadilan ,menghindari error in persona dan menerapkan asas praduga tidak bersalah.87

Jur. Andi Hamzah juga menyebutkan bahwa : Anjuran hukum acara pidana

adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran matriil yakni kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tepat dengan tujuan mencari

siapakah pelaku yang dapat dijadikan terdakwa dalam suatu pelanggaran hukum.

Selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan terbukti

dan tidaknya dakwaan yang dapat dipersalahkan.88

Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan proses penegakan hukum yang saling

berkaitan dan ketergantungan antara sub sistem Polisi selaku penyidik, sub sistem Jaksa,

selaku penuntut umum, Hakim pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat

(penasehat hukum).

Dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran matriil untuk membuktikan

terjadinya tindak pidana kejahatan dan siapa tersangka atau terdakwanya. Dengan

demikian SPP di Indonesia dapat dilihat dari bekerjanya sub sistem-sub sistem diatas.

Sue Titus Reid menyebutkan bahwa a second importen characteristic of the

criminal justice sistem is that many authorities with the sistem have been given wide

discretion.89

Terjemahan bebasnya bahwa :

“karakterisik penting berikutnya dari sistem peradilan pidana adalah banyaknya

kewenangan dengan sistem yang memberikan diskresi yang luas”.

87

Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktis, Alumni,

Bandung, h. 91-93

88

Jur Andi Hamzah, Op-cit, h. 7-8

89

Sue Titus Reid, Loc-cit

Page 62: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

62

Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter

sistem yang bersifat umum, yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem

untuk mencapai tujuan yang sama.jadi bagi pemegang kekuasaan peradilan seluas-

luasnya.

Dalam kerangka itu secara internal sistem peradilan harus berorientasi pada

tujuan yang sama (purposive behavior), pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan

jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar,

operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value

transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya

mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu.

Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus

koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui

kebersamaan norma dan nilai (shared norms and values).

Sebagai contoh, adalah kenyataan bahwa sistem peradilan pidana selalu bekerja

atas dasar sistem informasi yang berjenjang. Karena itu apabila muncul informasi yang

menyesatkan akan dengan sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan,

misalnya berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan.

Untuk dapat mengevaluasi atau mengaudit sampai seberapa jauh sistem

peradilan pidana sudah bekerja dengan baik, perlu dirumuskan indeks sistem peradilan

pidana yang pada hakekatnya merupakan indikator kinerja sistem peradilan pidana, baik

dalam tataran idiil, tataran asas maupun tataran operasional dan tataran penunjang. Pada

tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu:

1. Keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi

bagi terpidana.

Page 63: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

63

2. Keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya kejahatan.

3. Keberhasilan sistem peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial.

Indeks pada tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman

yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM, berorientasi tidak hanya kepada model

rehabilitatif tetapi juga kepada model restoratif. Pada level operasional, pelbagai indeks

yang semakin konkrit mencakup antara lain, keberadaan “UU payung” (umbrella act)

yang dapat menciptakan sinergi positif antar subsistem (semacam Wet RO, 1928 di

masa lalu), berorientasi baik kepada tindak pidana, keterukunan dari clearance rate,

conviction rate, rate of recall to prison.

Selanjutnya juga tingkat terjadinya disparitas pidana, tersedianya pelbagai

sistem sanksi pidana alternatif dan tingkat kecepatan penanganan perkara baik di

lingkungan subsistem maupun sistem secara keseluruhan.

Pada tataran penunjang indeks terpenting nampak pada kualitas sumber daya

manusia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan terorganisasi dengan baik,

kepemimpinan yang bertanggungjawab, partisipasi masyarakat terhadap sistem

peradilan pidana, dan sistem pelatihan terhadap antar penegak hukum

Disimak dari tujuan dan manfaat SPP yang merupakan salah satu

penanggulangan kejahatan antara lain : mencegah masyarakat menjadi korban

kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi

puas bahwa keadilan telah ditegakkan, mendidik mereka yang pernah melakukan

kejahatan tidak lagi melakukannya.

Apabila SPP ini diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu dengan

sub-sub sistem penegak hukum maka SPP akan bermanfaat, menghasilkan data statistik

mengenai kejahatan, mengetahui berhasil dan tidaknya kinerja sub sistem-susb sistem

Page 64: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

64

penegak hukum yang akan dipakai sebagai bahan masukan untuk rencana pemerintah

dalam kebijakan sosialnya baik jangka pendek,jangka menengah ataupun jangkan

panjang dan memberi jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun

masyarakat.90

Sidik Sunaryo mengatakan bahwa, KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981) masih kurang dianggap mampu untuk mengawal penegakan hukum pidana matriil

karena masih nampak kelemahan-kelemahan mendasar.91

Kelemahan-kelemahan mendasar tersebut antara lain adalah :

1. Tentang masih terabaikannya hak-hak maupun perlindungan

tersangka/terdakwa, korban, saksi dan akibat-akibatnya yang harus ditanggung

oleh para pihak seperti kekerasan pisik maupun psikis dalam proses penyidikan,

2. Biaya yang harus ditanggung sendiri oleh saksi karena dipanggil sebagai saksi,

ganti rugi maupun rehabilitasi nama baik apabila tidak bersalah.

3. Masalah-masalah pembuktian maupun alat-alat bukti sebagai pengaruh ilmu

pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi.

Hal tersebut diatas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Muladi, bahwa Sistem

Peradilan Pidana (SPP), adalah suatu sistem yang berupaya menjaga keseimbangan

perlindungan kepentingan baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu,

termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Hal ini erat kaitannya

dengan semakin maraknya isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.92

90 Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,

Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, h. 84-85 91 Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, h. 1-2 92 H. Muladi, Op-cit, h. 9

Page 65: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

65

BAB : VI

PENUTUP

Simpulan

1. Keterangan ahli dalam proses pembuktian perkara pidana sudah diakui

keberadaannya, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 184 ayat (1) bagian kedua

KUHAP. Namun dalam pasal–pasal yang lain maupun penjelasannya tidak

terdapat aturan yang jelas dan tegas secara eksplisit, dengan kata lain bahwa

batasan-batasan apa yang dimaksudkan dengan keterangan ahli tidak diatur

dalam perundang-undangan.

2. Prospek pengaturan terhadap keterangan ahli dalam proses pembuktian perkara

pidana di masa yang akan datang sangatlah penting. Penegak hukum dimasa

yang akan datang tidak hanya melihat sistem pembuktian dari sudut pandang

hukum saja, namun lebih luas, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi,

dan politik. Sehingga dalam hal ini keterangan ahli menjadi sangat penting untuk

dijadikan dasar guna memperoleh keyakinan bagi Hakim dan penegak hukum

lainnya dalam proses pembuktian.

Saran

Hendaknya Hakim dan para penegak hukum lainnya melakukan suatu

pembaharuan hukum (law reform) khususnya mengenai keterangan ahli sebagai salah

satu alat bukti dalam proses pembuktian perkara pidana. Pembaharuan hukum ini

digunakan dengan maksud untuk memberikan suatu ketegasan dan kejelasan mengenai

keterangan ahli serta batasan-batasannya.

Page 66: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

66

Mengingat dalam Pasal 184 KUHAP khususnya mengenai alat bukti keterangan

ahli yang dalam pengaturannya belum jelas dan tegas tertuang dalam peraturan

perundang-undangan, sehingga perlu adanya penegasan terhadap alat bukti khususnya

keterangan ahli dan kedepannya perlu pedoman serta aturan yang jelas dan tegas

mengenai keterangan ahli tersebut.

Page 67: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

67

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Arief Barda Nawawi, , 2002, Masalah Penegakan Hukum dan

KebijakanPenanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Abadinsky Howard, 1984, Discretionary Justice, Charles C Thomas Publisher,

Springfield Illinois, USA. Adji Oemar Seno, 1985, KUHAP Sekarang, Erlangga, Surabaya. Afandi Wahyu, 1982, Ganti Rugi dan Rehabilitasi dalam KUHAP, Kolom Hakim dan

Keadilan, Sinar Harapan, Senin 4 Januari 1982. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta. Atmasasmita Romli, 1966, Sistem Peradilan Pidana, (Criminal Justice System),

Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Jakarta. Bakri Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana, Total Media

FH UMJ. Barkatullah Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, 2005, Bisnis E-Commerce Studi Sistem

Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Bartol Curt R., Anne M. Bartol, 2004, Psycology and Law, Thomson Wodsworth

Australia, Canada, Mexico, Singapore, Spain, UK, USA, 3rd Edition. Budianto Arif, Wibisono Widiatmika, Suwandi Sudiono, et.al, 1997, Ilmu Kedokteran

Forensik, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Dep.Dik.Bud, 1995, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Flora Henny Zaida, Fakultas Hukum Unika Santo Thomas, Medan Sumatra Utara,

2008, Peranan Dokter Forensik dlam Pembuktian Perkara Pidana, Jurnal Hukum, Kertha Patrika, vol.33 No. 2, Juli 2008, 1.SSN. 0215-899x

Hamdani Njowito, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta. Hamzah Jur Andi, 2009, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua, Sinar Grafika,

Jakarta. Hamzah Jur Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Page 68: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

68

Harahap M. Yahya, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.

Mansur Dikdik M. Arief dan Elisatirs Gultom, 2005, Cyber Law- Aspek Hukum

Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung. Marzuki Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Pranada Media Group,

Jakarta. Mertokusumo Sudikno, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, h.149 Mulyadi Lilik, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktis,

Alumni, Bandung. Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung. NN, 2008, Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung. Notodiprodjo KRMT.Roy Suryo, 2 Juli 2002, Analisis, Video Confrence, SKH.

Kedaulatan Rakyat. Packer Herbert L., The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press,

California. Patra J.W. La, Analyzing the Criminal Justice System, Lexington Books, D.C. Heath

and Company Lexington, Massachusetts Toronto, USA. Poerwadarminta, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta. Prakoso Djoko, 1988, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana,

Liberty, Jogyakarta. Prakoso Djoko dan I Ketut Murtika, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman,

PT. Bina Aksara, Jakarta. Prodjodikoro Wiryono, 1977, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung,

Bandung. Prodjohamidjojo Martinus, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Gratia

Indonesia, Jakarta. R Subekti, 1983, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.

Page 69: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

69

Reid Sue Titus, 1987, Criminal Justice Procedures and Issues, West Publishing

Company St. Paul New York, Los Angeles, San Fransisco. Reksodiputro Mardjono, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,

Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta. Sabuan Ansori, Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, 1990, Hukum Acara

Pidana, Angkasa Bandung, Bandung. Satryo Alfred C., 2002, Kumpulan Peraturan PerUndang-undangan dan Profesi

Dokter, USU Press, Jakarta. Soedirjo, 1985, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, CV Akademika Pressindo,

Jakarta. Soedjono D, 1982, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Alumni Bandung. Soedjono D, 1976, Kriminalitas dan Ilmu Forensik,Pengantar Sederhana Tentang

Tehnik Dalam Penyidikan Kejahatan, PT. Tribisono Karya, Bandung. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta. Sudarto, 1976, Perkembangan Masyarakat , Modernisasi Terhadap Hukum Pidana,

Prasaran Simposium, Pengaruh Agama Terhadap Hukum Pidana, Binacipta, Jakarta.

Sukardi, 2009, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu, (Beberapa Ketentuan Pidana

Diluar KUHP), Restu Agung, Jakarta. Sumardjono Maria S. W., 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sunaryo Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press. Susila I Wayan Tangun, I Dewa Made Suartha, 1989, Sari Kuliah Hukum Acara Pidana,

Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum UNUD, Denpasar. Wisnubroto Al., G. Widiartono, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung. Wisnubroto Al., 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penyalah gunaan Komputer,

Universitas Atma Jaya, Jogyakarta. Wisnubroto Al., G. Widiartono, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Page 70: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

70

MAKALAH Wisnubroto Al, 6 Juli 2000, Cyber Crime Permasdalahan dan Penanggulangan dari

Aspek Hukum Pidana, Makalah ceramah di FH Univ.Muhammadyah ,Yogyakarta

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan KUHAP Tahun 2013

Page 71: KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN … fileHukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan

71