Keserasian Antara Ilmu Dan Penampilan

23
A. Keserasian Antara Ilmu Dan Penampilan Ilmu dan penampilan merupakan suatu hal yang tidak dapat kita pisahkan, terutama kaitannya dalam berkomunikasi. Ilmu yang telah dimiliki juga harus didukung oleh penampilan yang sesuai. Ilmu disini diartikan sebagai pengetahuan yang telah tersistem dan tertata dengan baik serta telah dibuktikan kebenarannya. Sedangkan penampilan dapat dikategorikan dalam berbagai macam bentuk seperti cara berpakaian, berdandan, berbicara, bertingkah laku, dan lain sebagainya dimana ilmu dan penampilan berfungsi menyeimbangkan di antara keduanya agar harmonis dan selaras baik dalam pelaksanaan kehidupan dan keseharian yang dilakukan. Berikutnya integrasi mempunyai makna penyatuan, penggabungan, maupun pemaduan beberapa hal agar menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Kemudian pesan disini mempunyai kaitan yang begitu erat dengan suatu kegiatan yang dinamakan komunikasi. Pesan dalam cakupan komunikasi mempunyai makna yang beragam dan sangat luas karena pesan dapat berbentuk atau berwujud dalam segala hal yang ada dalam keseharian manusia. Para ahli teori komunikasi seperti Lasswell, Berlo, Schramm, dan lainnya juga telah mendefinisikan arti pesan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang mereka dapatkan masing-masing. Sebagai contoh, ada yang

description

surah al anfaal ayat 2-4

Transcript of Keserasian Antara Ilmu Dan Penampilan

A. Keserasian Antara Ilmu Dan PenampilanIlmu dan penampilan merupakan suatu hal yang tidak dapat kita pisahkan, terutama kaitannya dalam berkomunikasi. Ilmu yang telah dimiliki juga harus didukung oleh penampilan yang sesuai. Ilmu disini diartikan sebagai pengetahuan yang telah tersistem dan tertata dengan baik serta telah dibuktikan kebenarannya. Sedangkan penampilan dapat dikategorikan dalam berbagai macam bentuk seperti cara berpakaian, berdandan, berbicara, bertingkah laku, dan lain sebagainya dimana ilmu dan penampilan berfungsi menyeimbangkan di antara keduanya agar harmonis dan selaras baik dalam pelaksanaan kehidupan dan keseharian yang dilakukan.Berikutnya integrasi mempunyai makna penyatuan, penggabungan, maupun pemaduan beberapa hal agar menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Kemudian pesan disini mempunyai kaitan yang begitu erat dengan suatu kegiatan yang dinamakan komunikasi. Pesan dalam cakupan komunikasi mempunyai makna yang beragam dan sangat luas karena pesan dapat berbentuk atau berwujud dalam segala hal yang ada dalam keseharian manusia. Para ahli teori komunikasi seperti Lasswell, Berlo, Schramm, dan lainnya juga telah mendefinisikan arti pesan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang mereka dapatkan masing-masing. Sebagai contoh, ada yang mengartikan pesan ialah suatu perbuatan atau materi yang disampaikan berupa ide, perasaan, ataupun sikap. Ada pula yang mengatakan bahwa pesan adalah suatu kumpulan pola-pola, isyarat, atau simbol-simbol yang didalamnya mengandung makna.Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian Qalbiyah, Jasadiyah, dan Maliyah ini berkaitan dengan perilaku, sikap, perasaan, maupun perbuatan manusia. Ketiga kata di atas merupakan istilah kata serapan yang berasal dari bahasa arab yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Untuk yang pertama, Qalbiyah dalam bahasa arab berasal dari kata qalbun yang dibahasa indonesiakan menjadi kalbu yang berarti hati. Dimana Allah telah menganugerahi manusia hati atau yang dikenal dengan istilah perasaan agar manusia dapat merasa dan peka terhadap segala hal yang terjadi di dunia dan sekitar kita ini. Selanjutnya Jasadiyah juga berasal dari kata bahasa arab jasad yang sepadan dengan kata dalam bahasa indonesia yang berarti tubuh atau badan. Yang ketiga, Maliyah dari kata bahasa arab mal yang diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi harta atau kekayaan. Hal ini pun juga semata-mata pemberian dari Allah Sang Pencipta yang bertujuan agar manusia dapat mengelola dan memanfaatkan semua itu untuk kepentingan beribadah kepada-Nya dan berguna bagi kelangsungan hidup manusia di dunia ini.

Redaksi Ayat

Surat Al-Baqarah ayat 247

Terjemahan :

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab: Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak? Nabi (mereka) berkata: Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.

Surat Al-Anfal ayat 2-4

Terjemahan :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.

Penafsiran, Uraian, dan Penjelasan

Surat Al-Baqarah ayat 247

Penafsiran Al-Misbah

Dari ayat ini di pahami, bahwa wewenang memerintah bukanlah atas dasar keturunan , tetapi atas dasar pengetahuan dan kesehatan jasmani, bahkan disini di isyaratkan bahwa kekuasaan yang direstui Allah adalah adanya hubungan yang baik antara penguasa dan allah SWT. Disisi lain, ayat ini mengisyaratkan bahwa bila ingin memilih seorang pemimpin, janganlah terperdaya oleh keturunan, kedudukan sosial, atau popularitas, tetapi hendaknya atas dasar kepemilikan sifat-sifat dan kualifikasi yang dapat menunjang tugas yang akan dibebankan kepada yang dipilih itu.

Penafsiran Al-Azhar Hamka

Permohonan bani Israil meminta untuk mereka dilantikkan seorang raja itu rupanya dikabulkan Allah. Nabi diberi wahyu bahwa raja itu adalah Thalut, kemudian Nabi menyampaikannya kepada bani Israil, tetapi mereka membantah karena Thalut tidak berkuturunan raja dan tidak memiliki kekayaan.

Pemilihan Thalut menjadi raja bukanlah karena kehendak Nabi, melainkan kehendak Allah. Dia dipilih Tuhan karena ada kelebihan dalam hal yang lebih penting daripada keturunan dan kekayaan yakni keluasan daripada pengetahuan dan tubuh. Dan Allah lebih mengetahui tentang segala sesuatu.

Disini Al-Quran telah meninggalkan dua pokok dasar untuk memilih orang yang akan menjadi pemimpin atau memegang puncak kekuasaaan. Yang pertama ilmu dan kedua tubuh. Terutama ilmu berkenaan dengan tugas yang sedang dihadapinya, sehingga dia tidak ragu-ragu menjalankan pimpinan.

[1]Yang dimaksud dengan tubuh ialah kesehatan, bentuk tampan yang menimbulkan simpati. Oleh sebab itu maka ulama-ulama fiqih banyak berpendapat bahwa seseorang yang badannya cacat (invalid) jangan di jadikan raja, kecuali cacat yang didapatnya dalam peperangan, karena bertempur, atau dalam melakukan tugas

Penafsiran Ibnu Kasir

Ayat ini menunjukkan contoh tantangan bani Israil terhadap Nabi mereka, Allah yang memilih Thalut, dan Allah lebih mengetahui daripada kalian.seolah-olah Nabi mereka berkata, bukan aku yang memilihnya, tetapi Allah yang menyuruhku ketika kalian minta dipilihkan seorang raja, dan Allah telah melebihkannya dari kalian dengan ilmu dan ketangkasan dalam soal perang.

Dari ayat ini dapat diketahui, bahwa raja harus seorang yang cakap, pandai dan tampan. Kemudian Allah berfirman, bahwa Dia akan memberikan kekuasaan kerajaan kepada siapa yang di kehendaki-Nya karena kebijaksanaan dan belas kasih-Nya kepada makhluk-Nya, dan Allah Maha Luas Karunia-Nya lagi Maha Mengetahui siapa yang layak untuk menerima tugasnya

Surat Al-Anfal ayat 2-4

Penafsiran Al-Misbah

Disini Allah Swt menjelaskan sifat orang-orang yang menyandang predikat mukmin yaitu : membuktikan pengakuan iman mereka dengan perbuatan sehingga antara lain apabila disebut nama Allah dan sekedar mendengar nama itu, gentar hati mereka karena mereka sadar akan kekuasaan dan keindahan serta keagungan-Nya dan apabila dibacakan oleh siapapun kepada mereka ayat-ayat-Nya, kembali terbuka lebih luas wawasan mereka dan terpancar lebih banyak cahaya ke hati mereka dan kepercayaan itu menghasilkan rasa tenang dalam menghadapi segala sesuatu sehingga hasilnya adalah dan kepada Tuhan mereka saja mereka berserah diri.

Ayat di atas tidak bertentangan dengan firman-Nya : orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Rad (13:28). Hal ini tidak bertentangan, karena disini melukiskan tahap pertama dari gejolak hati oang-orang mukmin yang ketika itu merasa sangat takut akibat membayangkan ancaman dan siksa Allah, sedang ayat Ar-Rad tersebut menggambarkan gejolak mereka setelah itu yakni ketika mereka mengingat rahmat kasih sayang Allah. Kedua kondisi psikologis ini ditampung pula oleh firman-Nya : Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Kitab (Al-Quran) yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut pada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah (QS. Az-Zumar [39] : 23).

Ayat-ayat di atas menegaskan penambahan iman bagi siapa yang mendengar ayat-ayat Al-Quran. Thahir ibnu Asyur berpendapat bahwa penambahan iman itu lahir karena ayat-ayat Al-Quran mengandung mukjizat/bukti-bukti kebenaran sehingga setiap ayat yang turun atau berulang terdengar, maka ia menambah keyakinan pendengarnya tentang kebenaran informasinya dan bahwa informasi-informasi itu pasti bersumber dari Allah Swt.

[2]Dari kutipan uraian Kamil Abda Samad dalam bukunya Al-Ijaz al-Ilmy fi Al-Quran yang memaparkan laporan sejumlah peneliti setelah melakukan observasi dengan alat-alat elektronik canggih guna mengukur perubahan-perubahan fisiologis terhadap sejumlah sukarelawan sehat yang sedang mendengar dengan tekun ayat-ayat Al-Quran. Mereka terdiri dari orang-orang muslim dan non muslim, yang mengerti bahasa Arab dan yang tidak mengerti. Hasil pengamatan membuktikan adanya pengaruh yang menenangkan hingga mencapai 97%. Hasil pengamatan ini telah dilaporkan pada konferensi tahunan XVII Asosiasi Kedokteran Islam Amerika Utara (IMANA) yang diselenggarakan di Santa Lucia Agusutus 1984.

Setelah ayat yang lalu menggambarkan sisi dalam atau amal kalbu orang-orang mukmin, ayat ke-tiga ini menjelaskan amal-amal lahiriah mereka, yakni disamping keimanan mereka mantap, mereka juga melaksanakan shalat secara bersinambung dan sempurna, sesuai rukun dan syaratnya dan dengan khusyu, disamping itu dari sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, baik harta maupun selainnya, mereka nafkahkan secara bersinambung pula sebatas kemampuan mereka.

Kata menafkahkan berarti mengeluarkan apa yang dimiliki dengan tulus baik untuk kepentingan keluarga, orang lain, dan siapapun yang membutuhkan. Perlu diperhatikan bahwa ayat di atas hanya menyatakan sebagian dan bukan secara keseluruhan.

[3]Sayyid Qutuhb menggarisbawahi bahwa apa yang dinafkahkan sesorang sebenarnya itu hanyalah sebagian dari rezeki Allah yang diterimanya, karena rezeki-Nya sangat banyak dan tidak dapat terhitung. Pandangan Quthub ini benar adanya, karena kesehatan, adalah rezeki, bahkan udara dan keberadaan di bumi adalah rezeki Allah juga, sehingga kalaupun sesorang memberi harta yang diberikan, menyumbangkan tenaga dan pikiran serta dimanfaatkan, kemudian hingga saat ini pun dia masih memperolehnya, karena yang dimaksud dengan rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan.

Urutan penyebutan sifat-sifat orang mukmin dalam ayat ini yang terdiri dari lima sifat pilihan sungguh sangat serasi dan sangat sesuai. Ini karena cahaya iman menyusup masuk ke dalam hati secara perlahan dan bertahap, sedikit demi sedikit menguat dan bertambah sehingga mencapai kesempurnaan hakikatnya. Yang pertama terjadi adalah rasa takut yang menyentuh hati saat mengingat dan menyebut Allah, kemudian iman berakar umbuh dan bercabang melalui perhatian kepada ayat-ayat yang menguraikan kebesaran Allah Swt. Setiap mukmin yang memperhatikan ayat-ayat itu maka akan bertambah dan menguat imannya sehingga mencapai fase yakin yaitu keteguhan iman yang tidak disertai lagi sedikit keraguanpun. Selanjutnya jika ini telah tercapai sang mukmin menyadari kebesaran dan kekuasaan Tuhan-nya serta menyadari pula kelemahannya sesuai dengan kenyataan yang ada, yaitu bahwa segala persoalan kembali kepada Allah Swt dan dengan demikian dia berserah diri kepada-Nya. Setelah ini tercapai maka sang mukmin menempatkan dirinya pada posisi tuduk dan taat kepada-Nya dan inilah shalat yang sebenarnya yang merupakan hubungan hamba dengan Allah. Selanjutnya dia juga memperhatikan hubungannya dengan masyarakat dengan menafkahkan rezeki yang Allah Swt anugerahkan kepadanya baik harta, ilmu, atau selainnya.

Setelah ayat-ayat yang lalu melukiskan contoh kegiatan dan amal mereka yang berkaitan dengan hati, anggota tubuh dan harta, maka ayat ke-empat menunjuk kedudukan tinggi mereka di sisi Allah Swt yakni yang sempurna lagi mantap imannya. Bagi mereka derajat-derajat yang tinggi di sisi Tuhan Pemelihara mereka di surga sana, dan ampunan atas kesalahan-kesalahan mereka, serta rezeki yang mulia yakni banyak, halal, serta memuaskan di dunia dan di akhirat nanti.

[4]Pakar Tafsir Abu Hayyan menulis bahwa : sebelum ini telah disebutkan amal-amal baik orang mukmin yang terdiri dari tiga hal pokok, ayitu amal kalbu, berupa hati ayng gentar, pertambahan iman, dan penyerahan diri kepada Allah, selanjutnya amal badaniyah berupa shalat dan yang ketiga amal harta berupa zakat maka sebagai imbalannya disebut pula tiga hal. Untuk amal kalbu imbalannya adalah ketinggian derajat, untuk amal badan adalah maghfirah/pengampunan Ilahi, dan untuk amal harta adalah karim yakni pelimpahan kemurahan Ilahi.

Penafsiran Al-Azhar Hamka

Jika ada orang yang mengakui dirinya beriman, menurut ayat ini, belumlah diterima iman itu dan belumlah terhitung ikhlas jika hatinya belum bergetar mendengar nama Allah disebut orang. Apabila nama itu disebut, terbayanglah dalam ingatan orang yang beriman itu betapa Maha Besarnya kekuasaan Allah, mengadakan, menghidupkan, mematikan, dan melenyapkan segala sesuatu.

Sedangkan mendengar nama Allah disebut orang, hati dan jantung mereka sudah tergetar karena takut, apa lagi jika ayat-ayat Allah itu dibaca lagi orang, niscaya ayat-ayat itu menambah iman mereka kepada Allah.

Dan kepada Tuhan merekalah, mereka itu bertawakkal. (ujung ayat 2).

Bertawakkal artinya ialah berserah diri. [5]Imam As-Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Ubaid mengartikan bertawakkal kepada Allah itu ialah tidak berharap kepada yang lain, dan tidak berserah diri atau menyerahkan segala nasib dan pekerjaan kepada yang lain. Tawakkal disini tentu saja tidak berkali-kali mengabaikan ikhtiar. Karena sekali telah takut mendengar namaNya disebut, niscaya dibuktikan rasa takut itu dengan rasa kepatuhan melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Jika sudah bertawakkal kepada Allah, niscaya lebih lagi mempercayai bahwa segala perintah yang diturunkan Allah kepada kita, mustahil akan membawa celaka bagi kita pula.

Ibnu Katsir menafsirkan tentang tawakkal kepada Allah itu : Artinya tidak mengharap yang lain, tujuannya hanya Dia, berlindung hanya kepadaNya, tidak memohon sesuatu kecuali hanya kepadaNya, dan sadar bahwa yang dikehendakiNyalah yang terjadi.

Dan Said bin Jubair berkata : Tawakkal adalah pengikat iman.

Kemudian datanglah tanda iman yang ke-4 : (Yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang. (pangkal ayat 3). Sembahyang adalah tanda iman yang ke-empat dan lanjutan yang sudah semesti dan sepastinya dari iman. Jika pokok yang pertama tadi sudah jelas, yaitu merasa takut bila nama Allah disebut orang, diiringi dengan yang kedua yaitu bertambah iman apabila ayat Allah dibaca sesorang, dan telah tawakkal pula sebagai yang ketiga, tentu dia akan mengerjakan sembahyang. Sebab sembahyang itu adalah bukti ketaatan kepada Allah, bukti kesadaran bahwa Allah itulah yang patut disembah. Oleh sebab itu, kalau ada orang yang mengaku beriman kepada Allah, padahal dia tidak mengerjakan sembahyang, tandanya imannya belum ada. Sembahyang atau shalat adalah bukti yang terang sekali dari ketaatan. Baik taat kepada Allah ataupun taat kepada Rasul.

Setelah itu muncullah tanda yang ke-5, yaitu : Dan dari apa yang dikaruniakan kepada mereka, mereka belanjakan (ujung ayat 3).

Inilah tanda iman yang kelima. Apabila hati telah beriman kepada Allah, niscaya timbullah kepercayaan bahwa harta benda yang didapati ini adalah semata-mata rezeki yang dianugerahkan Allah. Sebab itu mereka akan bersyukur kepada Allah dengan cara dikeluarkannya zakat apabila telah mencapai satu nisab dan telah sampai satu tahunnya.

Mereka itu orang-orang beriman yang sebenarnya. (pangkal ayat 4).

Tegasnya, jika kurang salah satu dari kelima itu, belumlah mukmin yang sebenarnya, masih perlu latihan rohani lagi, untuk mencapai iman sebenarnya itu. Bagi mereka beberapa derajat di sisi Tuhan mereka, dan ampunan dosa kunia yang mulia. (ujung ayat 4).

Artinya, apabila kelima syarat itu telah dilengkapi, maka derajat mukmin itu akan dinaikkan oleh Allah, ditinggikan, dimuliakan disisi Allah Swt.

Dan dijanjikan pula akan diberi ampunan bila ada kekhilafan. Karena sebagai manusia akan ada juga kelemahannya. Walau telah berjuang, serta tujuannya tetap suci dan mulia, tetapi terkadang berbuat khilaf walaupun hal tersebut tak disengajanya. Dan Allah senantiasa membuka ampunannya. Dan manusia diberi kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Penafsiran Ibnu Kasir

Ibnu Abbas mengatakan bahwa orang-orang munafik itu tiada sesuatu pun dari sebutan nama Allah yang dapat mempengaruhi hati mereka untuk mendorong mereka mengerjakan hal-hal yang diwajibkan-Nya. Mereka sama sekali tidak beriman kepada sesuatu pun dari ayat-ayat Allah, tidak bertawakkal, tidak shalat apabila sendirian, dan tidak menunaikan zakat harta bendanya. Maka Allah menyebutkan bahwa mereka bukan orang-orang yang beriman. Kemudian Allah Swt menyebutkan sifat orang-orang mukmin melalui firman-Nya :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka.

Karena itu, mereka mengerjakan hal-hal yang diwajibkan-Nya.

dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).

Maksudnya, kepercayaan mereka bertambah tebal dan mendalam.

Dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

Yakni mereka tidak mengharapkan kepada seorang pun selain Allah

.

Firman Allah Swt :

dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).

[6]Imam Bukhari dan lain-lainnya dari klalangan para imam mengambil kesimpulan dari dalil ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang semakna, bahwa iman itu dapat bertambah (dan dapat berkurang), serta iman itu dalam hati mempunyai grafik naik turunnya. Demikianlah menurut mazhab jumhur ulama, bahkan ada yang mengatakan bahwa hal ini telah disepakati, seperti apa yang telah dikatakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, dan Abu Ubaid. Hal ini telah diterangkan dengan penjelasan yang terinci dalam permulaan kitab Syarah Bukhari.

dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

Said ibnu Jubair mengatakan bahwa tawakal kepada Allah merupakan induk keimanan.

Firman Allah Swt :

(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

Sehubungan dengan hal ini Qatadah mengatakan bahwa mendirikan shalat ialah memelihara waktu-waktu penunaiannya, wudhunya, rukuk dan sujudnya. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, mendirikan shalat artinya memelihara waktu-waktu penunaiannya, menyempurnakan bersucinya, melakukan rukuk dan sujudnya dengan sempurna, membaca Al-Quran didalamnya, serta membaca tasyahhud dan shalawat untuk Nabi Saw. Sifat orang yang beriman lainnya ialah menafkahkan sebagian dari apa yang direzekikan oleh Allah kepada mereka yang membutuhkan. Dan mereka yang menyandang sifat-sifat ini adalah orang-orang yang beriman dengan sesungguhnya.

Kemudian Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya. Yaitu tempat dan kedudukan serta derajat didalam surga dan Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan membalas mereka dengan kebaikan-kebaikan.

Hubungan dengan Komunikasi

Hubungan makna ayat pada Surat Al-Baqarah ayat 247 dengan prinsip komunikasi yakni apabila kita berperan sebagai komunikator hendaknya memperhatikan serta menerapkan ilmu maupun pengetahuan yang telah dimiliki, sebab sebagai komunikator haruslah pandai-pandai dalam menyampaikan pesan tersebut kepada komunikan agar terciptanya komunikasi sambung rasa. Begitu pula dengan penampilan seorang komunikator tehadap komunikan juga harus diperhatikan dengan mempersiapkan performansi terbaik kita sebagai komunikator agar pesan yang disampaikan kepada komunikan mendapat perhatian serta respon positif dan maksimal dari komunikan, sehingga komunikasi dapat terlaksana secara efektif.

Sedangkan untuk hubungan antara ayat 2-4 Surat Al-Anfal diatas dengan komunikasi pada umumnya yakni dilihat dari bentuk dan macam dari komunikasi itu sendiri. Semisal yang berkaitan dengan pesan Qalbiyah, hal ini terkait dengan bentuk komunikasi Intrapersonal, yakni komunikasi dimana komunikator dan komunikan adalah dirinya sendiri. Jadi komunikasi ini tidak melibatkan pihak kedua atau orang lain, attau lawan bicara. Biasanya komunikasi ini dalam bentuk memutuskan pendapat, proses berpikir, dan sebagainya. Seperti halnya jika kita berinteraksi dengan Allah, kita tidak mungkin secara langsung berbicara atau dapat berkomunikasi dengan dzat Allah, melainkan hanya dengan perasaan kita dalam bentuk tawakkal kepada Allah. Kemudian pesan Jasadiyah terkait dengan bentuk komunikasi verbal, nonverbal, interpersonal. Dan untuk pesan Maliyah dimana berhubungan dengan bentuk komunikasi yang menghasilkan kekayaan karena terkait dengan harta dan hubungan bersosial serta kemasyarakatan, seperti komunikasi media massa, komunikasi organisasi, komunikasi manajemen, dan lain sebagainya.

E. Kesimpulan

Surat Al-Baqarah ayat 247

Dari kisah raja Thalut tadi mengandung pesan bahwa dalam memilih seorang pemimpin janganlah memandang dari segi keturunan dan kekayaannya. Tetapi lebih baik pilihlah orang yang berilmu dan berpenampilan baik serta cocok untuk menjadi seorang pemimpin. Kemudian keserasian antara ilmu dan penampilan merupakan suatu hal yang sangat relevan dan sesuai terutama didalam masalah komunikasi.

Surat Al-Anfal ayat 2-4

Sifat-sifat mukmin sejati yang telah dijelaskan dalam Surat Al-Anfal ayat 2-4 berkaitan erat dengan makna pesan Qalbiyah, Jasadiyah, dan Maliyah dengan penjelasan sebagai berikut :

Qalbiyah (berhubungan dengan batin atau perasaan yang berlangsung dan sedang dirasakan oleh hati manusia) = seperti yang terdapat dalam sifat mukmin sejati yang pertama, kedua, dan ketiga.

Jasadiyah (berkaitan dengan tubuh / badan dan gerakan yang dilakukan manusia) = ada pada sifat mukmin sejati yang keempat.

Maliyah (berhubungan dengan bentuk kegiatan amal harta benda yang dimiliki manusia) = sebagai contoh dalam sifat mukmin sejati yang kelima.

Selanjutnya makna ketiga pesan di atas juga terdapat hubungannya dengan bentuk-bentuk ataupun model komunikasi

DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, 2000, Tafsir Al-Mishbah : Pesan dan Keserasian Al-Quran, Vol. 1, Jakarta:Lentera Hati.

M. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mishbah : Pesan dan Keserasian Al-Quran, Cet.I, Vol. 5, Jakarta:Lentera Hati.

Prof. Dr. Hamka, 1982, Tafsir Al-Azhar, Jakarta:Pustaka Panji Mas.

Prof. Dr. Hamka, 2000, Tafsir Al-Azhar, Juz 2, Jakarta:Pustaka Panji Mas.

Ibnu Katsir, 2006, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Pustaka Imam Syafii, Bandung.

Ibnu Katsir, 2000, Tafsir Ibnu Katsir, Cet. I, Juz 9, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

[1] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 2. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000. Hal. 352

[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan dan Keserasian Al-Quran, Cet.I, Vol. 5, Lentera Hati, 2002. Juz 8. Surah Al-Anfal. Kelompok I, ayat 2. Hlm.362

[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan dan Keserasian Al-Quran, Cet.I, Vol. 5, Lentera Hati, 2002. Juz 8. Surah Al-Anfal. Kelompok I, ayat 3. Hlm.365

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan dan Keserasian Al-Quran, Cet.I, Vol. 5, Lentera Hati, 2002. Juz 8. Surah Al-Anfal. Kelompok I, ayat 4. Hlm.367

[5] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1982. Surat Al-Anfal (ayat 2-3). Hlm. 253

[6] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Cet. I, Juz 9, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2000. Hlm. 321