Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

33
Keselamatan Radiasi Lingkungan dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia Erwansyah Lubis ABSTRAK KESELAMATAN RADIASI LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA. Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia diatur oleh Undang-undang Ketenaganukliran, Undang-undang Lingkungan Hidup dan Undang-undang lainnya yang terkait serta berbagai produk hukum di bawahnya. Teknologi pengolahan limbah radioaktif yang diadopsi adalah teknologi yang telah mapan (proven) dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Dalam pengelolaan limbah radioaktif sesuai ketentuan yang berlaku diterapkan program pemantauan lingkungan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga keselamatan masyarakat dan lingkungan dari potensi dampak radiologik yang ditimbulkan selalu berada dalam batas keselamatan yang direkomendasikan secara nasional maupun internasional. ABSTRACT THE ENVIRONMENTAL RADIATION SAFETY OF RADIOACTIVE WASTE MANAGEMENT IN INDONESIA. The radioactive waste management in Indonesia is regulated by the Nuclear Energy Act, Environment Protection Act, and other acts pertaining to the safety and all regulations derived from the above-mentioned acts. The radioactive waste processing technology is already proven and widely used in nuclear industrial countries. In performing radioactive waste management, the regulations dictate the necessity of performing a continous environmental monitoring program, so that the safety of the public and the environement from the radiological impact is under control and assured in compliance with the national and international recommendations.

description

nuklir

Transcript of Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Page 1: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Keselamatan Radiasi Lingkungan dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia

Erwansyah Lubis 

ABSTRAKKESELAMATAN RADIASI LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA. Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia diatur oleh Undang-undang Ketenaganukliran, Undang-undang Lingkungan Hidup dan Undang-undang lainnya yang terkait serta berbagai produk hukum di bawahnya. Teknologi pengolahan limbah radioaktif yang diadopsi adalah teknologi yang telah mapan (proven) dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Dalam pengelolaan limbah radioaktif sesuai ketentuan yang berlaku diterapkan program pemantauan lingkungan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga keselamatan masyarakat dan lingkungan dari potensi dampak radiologik yang ditimbulkan selalu berada dalam batas keselamatan yang direkomendasikan secara nasional maupun internasional. 

ABSTRACTTHE ENVIRONMENTAL RADIATION SAFETY OF RADIOACTIVE WASTE MANAGEMENT IN INDONESIA. The radioactive waste management in Indonesia is regulated by the Nuclear Energy Act, Environment Protection Act, and other acts pertaining to the safety and all regulations derived from the above-mentioned acts. The radioactive waste processing technology is already proven and widely used in nuclear industrial countries. In performing radioactive waste management, the regulations dictate the necessity of performing a continous environmental monitoring program, so that the safety of the public and the environement from the radiological impact is under control and assured in compliance with the national and international recommendations. 

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terus dikembangkan dan dimanfaatkan dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia, memperpanjang harapan hidup dan menstimulasi peningkatan kualitas hidup. Dalam pemanfatan iptek untuk berbagai tujuan selalu ditimbulkan sisa proses/limbah, karena efisiensi tidak pernah mencapai 100%. Demikian juga dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir selalu akan ditimbulkan limbah radioaktif sebagai sisa proses. Limbah radioaktif yang ditimbulkan harus dikelola dengan baik dan tepat agar tidak mencemari lingkungan, karena pada gilirannya berpotensi mengganggu kesehatan

Page 2: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

masyarakat. Berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat, ditunjukkan bahwa pembersihan lingkungan (clean up) akibat terjadinya pencemaran oleh limbah radioaktif membutuhkan biaya 10 sampai 100 kali lebih besar dibandingkan bila biaya pengelolaan limbah tersebut secara baik [1].Dalam makalah ini disampaikan upaya-upaya keselamatan radiasi lingkungan dalam pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia. Uraian ini diharapkan dapat memberikan informasi seimbang kepada anggota masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pemanfaatan iptek nuklir. 

RADIASI ALAM

Sebelum menguraikan lebih jauh tentang keselamatan radiasi lingkungan dalam pemanfaatan iptek nuklir, lebih dulu akan diinformasikan mengenai paparan radiasi yang diterima oleh manusia dari alam. Manusia di bumi tidak dapat menghindarkan diri dari penerimaan paparan radiasi alami yang berasal dari radionuklida primordial dan kosmogenik. Radionuklida alami ini terdapat dalam berbagai komponen lingkungan hidup dan mempunyai potensi memberikan paparan radiasi secara eksternal dan internal. Penerimaan dosis efektif dari radiasi alami di suatu daerah bisa berbeda dengan daerah lainnya sesuai dengan komposisi kandungan radionuklida alam yang terdapat dalam berbagai komponen lingkungan hidup. Penerimaan dosis efektif dari radiasi alami oleh penduduk bumi telah diestimasikan oleh United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR), yaitu antara 1,0 - 5,0 mSv per tahun, dengan rerata sebesar 2,4 mSv per tahun, 1 Sievert (Sv) = 1 Joule/ kg [2].Informasi penerimaan dosis efektif dari radiasi alami pada suatu daerah di mana akan diintroduksikan suatu kegiatan nuklir merupakan dasar untuk menetapkan besarnya nilai dosis pembatas (dose constraint) yang dapat diterima oleh penduduk setempat. Nilai dosis pembatas ini selain akan menentukan desain fasilitas nuklir yang akan dibangun, juga menentukan Baku Mutu Emisi (BME) untuk tiap jenis radionuklida yang boleh terdapat dalam efluen yang akan dibuang ke atmosfer dan ke badan-air. 

NILAI BATAS DOSIS

Paparan radiasi dapat mengenai manusia melalui 2 jalur, yaitu dari sumber radiasi/radionuklida yang berada di luar tubuh (eksterna) dan dari sumber radiasi/radionuklida yang berada di dalam tubuh (interna). Interaksi sinar radiasi dengan sel-sel tubuh manusia akan menyebabkan terjadinya berbagai reaksi kimia (chemical sympton). Hasil reaksi ini dalam proteksi radiasi dikenal sebagai efek somatik/non-stokastik dan efek genetik/ stokastik.Efek somatik/non-stokastik disebut juga sebagai efek deterministik, karena efek ini pasti terjadi bila dosis yang diterima di atas dosis ambang (treshold). Dalam efek

Page 3: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

deterministik, tingkat kerusakan biologis mempunyai korelasi yang kuat dengan besarnya dosis yang diterima. Contoh efek deterministik di antaranya adalah rasa mual, kulit tubuh kemerah-merahan dan terjadinya katarak lensa mata. Efek deterministik dapat dicegah dengan membatasi penerimaan dosis di bawah dosis ambang.Efek genetik disebut juga sebagai efek stokastik. Efek stokastik munculnya lambat, terobservasi setelah beberapa dekade. Efek ini dapat terjadi bila sel-sel mengalami perubahan setelah melalui proses yang berlangsung lama, yang pada gilirannya berpotensi menjadi kanker. Contoh efek ini di antaranya adalah leukimia, cacat bawaan lahir, keterbelakangan mental dan kanker. Efek stokastik yang terjadi terhadap perorangan bervariasi dan berlangsung secara acak. Tubuh manusia pada dasarnya mempunyai mekanisme pertahanan dan kemampuan memperbaiki sel-sel yang mengalami kerusakan yang terjadi pada dosis rendah, sehingga probabilitas terjadinya efek ini dapat diperkecil dengan membatasi dosis serendah-rendah yang dapat diupayakan [3].Dengan pemahaman potensi terjadinya efek deterministik dan efek stokastik, dalam upaya perlindungan terhadap pekerja dan anggota masyarakat dari bahaya radiasi diterapkan sistem pembatasan dosis. Rekomendasi Internasional dalam publikasi Safety Series No. 115 tahun 1996, pekerja radiasi diberi toleransi menerima dosis 20 mSv per tahun untuk kurun waktu selama 5 tahun, dalam 1 tahun dosis yang diterima tidak boleh melampaui 50 mSv. Nilai batas dosis (NBD) maksimal sebesar 20 mSv per tahun untuk pekerja radiasi menjamin tidak terjadinya efek deterministik, sementara probabilitas terjadinya efek stokastik Cuma sebesar 2 x 10-4. NBD untuk anggota masyarakat adalah 1 mSv per tahun untuk kurun waktu 5 tahun. Jadi dalam 1 tahun dosis yang diterima tidak boleh melampaui 5 mSv (sama dengan besarnya dosis maksimal yang diterima dari alam). NBD sebesar 1,0 mSv per tahun untuk anggota masyarakat menjamin tidak terjadinya efek deterministik dan kemungkinan terjadinga efek stokastik sebesar 1.10-5. Berarti bila 100,000 penduduk yang ada di sekitar fasilitas nuklir masing-masing menerima dosis 1,0 mSv per tahun, kemungkinan hanya 1 orang penduduk yang mempunyai potensi menerima efek stokastik. Umumnya instalasi nuklir dibangun jauh dari pemukiman penduduk dan di mana kepadatan penduduknya rendah, sehingga probabilitas terjadinya efek stokastik ini akan lebih rendah lagi.

PENGAWASAN PEMANFAATAN IPTEK NUKLIR

Kegiatan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh Bapeten juga memperhatikan Undang-Undang No. 23

Page 4: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya [5,6,7].Upaya meminimalkan dampak terhadap lingkungan dalam pemanfaatan, penguasaan dan pengembangan iptek nuklir berbagai izin mutlak diperlukan, diantaranya adalah izin tapak/lokasi, izin pembangunan, izin operasi dan izin dekomisioning [8,9,10,11,12,13,14].Izin tapak diperoleh melalui penilaian dokumen tapak yang disampaikan oleh pemrakarsa. Dalam dokumen ini dilakukan evaluasi pengaruh berbagai faktor alam dan lingkungan hidup serta interaksinya terhadap kegiatan nuklir yang akan dintroduksi, baik terhadap faktor-faktor yang telah nyata ada ataupun yang diprakirakan akan timbul dikemudian hari. Dalam dokumen tapak dilakukan evaluasi kesesuaian beberapa calon lokasi terhadap kriteria yang diterapkan, sehingga diperoleh lokasi yang paling sesuai, yaitu lokasi yang diprakirakan akan menimbulkan dampak negatif minimum terhadap kegiatan yang akan diintroduksi.Izin pembangunan diberikan bila dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang disampaikan oleh pemrakarsa disetujui oleh komisi Amdal. Hal ini dilakukan untuk memenuhi Undang Undang No. 23/1997 Pasal 15. Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Andal) dilakukan studi yang menyeluruh antara komponen-komponen lingkungan hidup terhadap berbagai jenis kegiatan pembangunan yang dimulai dari tahap pembebasan dan penyiapan lahan sampai tahap dekomisioning. Hasil studi Andal adalah informasi mengenai berbagai kegiatan yang menimbulkan dampak positif dan negatif serta komponen lingkungan hidup yang terkena dampak. Berdasarkan hasil studi Andal selanjutnya disusun rencana pengelolaan (RKL) dan pemantauan (RPL), sehingga upaya meningkatkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif dapat dilakukan. Dalam pemanfaatan iptek nuklir yang tidak wajib Amdal diwajibkan menyusun dokumen Upaya Pengelolaan (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).Izin operasi diberikan melalui evaluasi dokumen Laporan Analisis Keselamatan (LAK). Dalam dokumen LAK dilakukan evaluasi keamanan dan keselamatan pengoperasian instalasi nuklir terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan, program perawatan preventif dan kuratif, serta kesiapsiagaan nuklir bila terjadi kegagalan operasi. Dalam kesiapsiagaan nuklir diinformasikan potensi dan probabilitas berbagai jenis kecelakaan yang dapat terjadi serta konsekuensinya, elemen-elemen struktural dan fungsional yang diterapkan dalam tindakan penanggulangan, serta pemulihan lingkungan (remediasi) setelah pasca kegagalan operasi.Fasilitas nuklir, industri, kedokteran nuklir atau fasilitas lainnya yang menggunakan sumber dan atau bahan radioaktif diharuskan melakukan dekomisioning pada penutupannya. Dekomisioning harus mendapat izin dari Badan Pengawas. Permohonan izin diajukan berdasarkan dokumen program dekomisioning yang

Page 5: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

diturunkan berdasarkan hasil pengkajian keselamatan. Rencana dekomisioning memuat karakteristik fasilitas, pemindahan, pembongkaran, dekontaminasi, pengelolaan limbah, pemantauan radiasi dan rencana penanggulangan kedaruratan, proteksi fisik, jaminan kualitas, survei radiasi akhir dan dokumentasi. Setelah pelaksanaan dekomisioning selesai, survei akhir radioaktivitas di lokasi fasilitas harus dilakukan dan dilaporkan sebagai penegasan bahwa dekomisioning telah diselesaikan sesuai dengan rencana yang disetujui Badan Pengawas. Setelah dekomsioning diselesaikan dengan sukses, fasilitas dan tapak dapat dibebaskan dari pengawasan ketenaganukliran dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain.Berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan keselamatan radiasi terhadap pekerja dan lingkungan termuat dalam PP. No.63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion dan PP. No. 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir dan SK. Ka. Bapeten No. 03/Ka. Bapeten/V-99 tentang ketentuan Keselamatan Pengelolaan Limbah Radioaktif. 

PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset, pemanfaatan sumber radiasi dan bahan radioaktif dalam bidang industri, pertanian, kedokteran dan penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang menggunakan bahan yang mengandung radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive Material, NORM). Sedangkan di negara-negara maju, limbah radioaktif juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/ fasilitas nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal) [5].Dalam U.U. No. 10/1997 pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa "Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan Pelaksana dalam hal ini adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Sesuai Keputusan Kepala Batan No.166/KA/IV/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Batan, pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR). Dalam pasal 23 ayat (2), Batan dalam melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif dapat bekerjasama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Koperasi dan/ atau Badan Usaha lainnya. Berdasarkan pasal ini, pemerintah membuka pintu-pintu lebar-lebar bagi pihak swasta atau Badan Usaha lainnya untuk berperan serta dalam pengelolaan limbah radioaktif yang aman untuk generasi saat ini maupun untuk

Page 6: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

generasi yang akan datang.Skema pengelolaan limbah radioaktif yang ditimbulkan dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nukkir secara umum ditampilkan dalam Gambar 1.

Minimisasi Limbah

Dalam pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu "tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Setelah penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas, seperti telah diuraikan sebelumnya.

Gambar 1. Skema pengelolaan limbah radioaktif dalam pemanfaatan Iptek Nuklir.

Pengelompokan Limbah Radioaktif

Page 7: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di masing-masing negara. Pengelompokan limbah dapat dilakukan selain berdasarkan tingkat aktivitasnya, juga dapat berdasarkan waktu-paro (T1/2), panas gamma yang ditimbulkan dan kandungan radionuklida alpha yang terdapat dalam limbah.Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Di P2PLR, berdasarkan bentuknya limbah radioaktif dikelompokkan ke dalam limbah cair (organik, anorganik), limbah padat (terkompaksi/tidak terkompaksi, terbakar/tidak terbakar) dan limbah semi cair (resin). Berdasarkan aktivitasnya dikelompokkan menjadi limbah aktivitas rendah (10-

6Ci/m3 < LTR < 10-3Ci/m3), limbah aktivitas sedang (10-3Ci/m3 < LTS < 104Ci/m3) dan limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3). Penimbul limbah radioaktif baik dari kegiatan Batan dan diluar Batan (Industri, Rumah Sakit, industri, dll.) wajib melakukan pemilahan dan pengumpulan limbah sesuai dengan jenis dan tingkat aktivitasnya. Limbah radioaktif ini selanjutnya dapat diolah di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Serpong untuk pengolahan lebih lanjut. 

Teknologi Pengolahan Limbah

Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.), teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.), teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi) dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah, imobilisasi, adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok, dan matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paro (T1/2) panjang yang sampai ke

Page 8: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD yang ditolerir untuk anggota masyarakat.

Limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang

Teknologi pengolahan dan disposal limbah tingkat rendah (LTR) dan tingkat sedang (LTS) telah mapan dan diimplementasikan secara komersial di negara-negara industri nuklir. Penelitian dan pengembangan (litbang) yang berkaitan dengan pengolahan dan disposal limbah ini sudah sangat terbatas. Negara-negara berkembang dapat mempelajari dan mengadopsi teknologi pengolahan dan disposal dari negara-negara industri nuklir. Teknologi pengolahan dan disposal yang dipilih haruslah disesuaikan dengan strategi pengelolaan yang ditetapkan. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat, beberapa negara-negara industri nuklir saat ini cenderung langsung mendisposal LTR dan LTS dari pada menyimpannya di tempat penyimpanan sementara (strategi wait and see). Penerapan disposal secara langsung selain akan memeperkecil dampak radiologi terhadap pekerja, juga diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir [15].P2PLR semenjak tahun 1989 hingga saat ini (±13 tahun) telah mengolah LTR dan LTS baik yang berasal dari kegiatan BATAN maupun dari kegiatan industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya. Limbah cair diolah dengan unit Evaporator yang mempunyai faktor pemekatan 50 kali dan kapasitas pengolahan 750 liter/jam. Limbah padat terbakar diolah dengan unit insinerator yang mempunyai kapasitas pembakaran 50 kg/jam. Limbah padat terkompaksi/tidak terbakar diolah dengan unit kompaktor yang mempunyai kuat tekan 60 kN. Limbah hasil-olahan disimpan di tempat penyimpanan sementara (Interim Storage, IS-1) yang mempunyai kapasitas penampungan 1500 sel drum 200 liter. Jumlah limbah hasil-olahan yang disimpan di IS-1 saat ini masing-masing 507 buah dalam drum 200 liter, 45 buah dalam cel beton 950 liter dan 34 buah dalam cel beton 350 liter. Data ini menunjukkan laju pengolahan limbah per tahun relatif rendah. Namun demikian untuk mengantisipasi jumlah limbah hasil-olahan untuk masa yang akan datang, P2PLR saat ini telah membangun IS-2 dengan kapasitas yang sama.P2PLR dalam pengelolaan LTR dan LTS telah mengadopsi teknologi yang telah mapan dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Limbah hasil olahan disimpan di fasilitas IS-1, sehingga limbah tersebut aman dan terkendali serta kemungkinan limbah tersebut tercecer atau tidak bertuan dapat dihindarkan.

Limbah tingkat tinggi 

Kebijakan pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) dan bahan bakar nuklir (BBN) bekas di tiap negara industri nuklir selain berbeda juga masih berubah-ubah. Beberapa negara melakukan pilihan olah-ulang (daur-tertutup) untuk pemanfaatan

Page 9: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

material fisil dan fertil yang masih terkandung dan sekaligus mereduksi volumenya. Sebagian negara lain melihat LTT sebagai limbah (daur-terbuka), dan berencana untuk mendisposalnya dalam formasi geologi tanah dalam (deep repository).Dalam diposal LTT, di negara-negara industri nuklir saat ini masih terjadi perdebatan, sebagian pakar memilih opsi penyimpanan lestari/disposal dalam formasi geologi dan sebagian lainnya mempertimbangkan opsi "non-disposal" (indefinite surface storage). Opsi non-disposal adalah merupakan kecenderungan untuk menerima ide retrievebility dan reversibility. Konsekuensi dari penerimaan opsi ini berdampak kepada disain fasilitas, namun tidak mempengaruhi secara teknis [15].Saat ini, beberapa negara-negara industri nuklir juga sedang mengeksplorasi jalur lain, yaitu jalur partisi dan transmutasi dalam upaya mengurangi T1/2. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang mendasar dalam menetapkan strategi pengelolaan LTT. Walaupun jalur partisi dan transmutasi dapat mengurangi T1/2 limbah, namun secara keseluruhan tetap tidak menutup kebutuhan disposal. Dengan meningkatnya radionuklida T1/2 pendek hasil partisi/transmutasi akan meningkatkan paparan radiasi. Hal ini berdampak pada keselamatan radiasi terhadap pekerja, sehingga memerlukan kajian tersendiri [15].BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas dan LTT dari hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent Fuel Element (ISSFE) yang ada di PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian reaktor Triga Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan reaktor Kartini, BBN bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir tersebut, seluruhnya tersimpan dengan aman di kawasan nuklir tersebut. 

Pembuangan Limbah Radioaktif

Strategi pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi kedalam 2 konsep pendekatan, yaitu konsep "Encerkan dan Sebarkan" (EDS) atau "Pekatkan dan Tahan" (PDT). Kedua strategi ini umumnya diterapkan dalam pemanfaatan iptek nuklir di negara industri nuklir, sehingga tidak dapat dihindarkan menggugurkan strategi zero release [15]. 

Pembuangan efluen 

Dalam pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya pembuangan efluen ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang dibuang langsung ke atmosfer berasal dari sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi di tiap instalasi nuklir sebelum dibuang ke atmosfer melalui cerobong, dibersihkan kandungan gas/

Page 10: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya dengan sistem pembersih udara yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang dapat dibuang langsung ke badan-air hanya berasal sistem ventilasi dan dari unit pengolahan limbah cair radioaktif. Tiap jenis radionuklida yang terdapat dalam efluen yang di buang ke lingkungan harus mempunyai konsentrasi di bawah BME.Pembuangan efluen radioaktif secara langsung, setelah proses pengolahan/dibersihkan dan setelah peluruhan ke lingkungan merupakan penerapan strategi EDS. Dalam pembuangan secara langsung, setelah dibersihkan dan setelah peluruhan aktivitas/konsentrasi radionuklida yang terdapat dalam efluen harus berada di bawah BME. Radionuklida yang terdapat dalam efluen akan terdispersi dan selanjutnya melaui berbagai jalur perantara (pathway) yang terdapat di lingkungan akan sampai pada manusia sehingga mempunyai potensi meningkatkan penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat. Penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat ini harus dibatasi serendah-rendahnya (penerapan azas optimasi). Dosis maksimal yang diperkenankan dapat diterima anggota masyarakat dari pembuangan efluen ke lingkungan dari seluruh jalur perantara yang mungkin adalah 0,3 mSv per tahun [16]. Dosis pembatas (dose constrain) sebesar 0,3 mSv memberikan kemungkinan terjadinya efek somatik hanya sebesar 3,3x10-6. Berdasarkan dosis pembatas ini BME tiap jenis radionuklida yang diizinkan terdapat dalam efluen dapat dihitung dengan teknik menghitung balik pada metode prakiraan dosis. BME tiap jenis radioaktif ini harus mendapat izin dan tiap jenis radionuklida yang terlepaskan ke lingkungan harus dimonitor secara berkala dan dilaporkan ke Badan Pengawas.BME tiap jenis radioanuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif yang dibuang ke lingkungan untuk tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah dihitung dengan metode faktor konsentrasi (concentration factor method) dan telah diterapkan semenjak reaktor G.A. Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987 [17]. Pembuangan efluent gas/partikulat dan efluen cair ke lingkungan di PPTN Serpong telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan baik secara nasional maupun internasional.

Disposal limbah

Penyimpanan lestari/disposal limbah radioaktif hasil-olahan merupakan penerapan strategi PDT. Strategi ini mempunyai potensi meningkatkan peneriman dosis terhadap anggota masyarakat, dosis maksimal yang diakibatkannya tidak boleh melebihi dosis pembatas yang diperkenankan. Pengoperasian fasilitas disposal ini harus mendapat izin lokasi, konstruksi dan operasi dari Badan Pengawas. 

Lokasi disposal

Pemilihan lokasi untuk pembangunan fasilitas disposal mengacu pada proses seleksi

Page 11: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

yang direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Faktor-faktor teknis yang dipertimbangkan diantaranya faktor geologi, hidrogeologi, geokimia, tektonik dan kegempaan, berbagai kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi, meteorologi, transportasi limbah, tata-guna lahan, distribusi penduduk dan perlindungan lingkungan hidup. Faktor lainnya yang sangat penting adalah penerimaan oleh masyarakat. Di negara-negara industri nuklir moto "Not In My Backyard" (NYMBY) telah merintangi dalam pemilihan lokasi, tidak hanya untuk disposal limbah radioaktif juga terhadap limbah industri lainnya. Oleh karena itu perhatian terhadap faktor-faktor sosial (societal issues) selama pase awal proses pemilihan lokasi memerlukan perhatian ekstra hati-hati dan seksama. Isu ini menyebabkan negara-negara industri nuklir cenderung memilih lokasi (site) nuklir yang telah ada untuk pembangunan fasilitas disposal. Sebagai contoh diantaranya fasilitas disposal Drig (United Kingdom), Centre de la Manche (Perancis), Rokkasho (Jepang) dan Oilkiluoto (Finlandia) [15].P2PLR telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian kemungkinan kawasan nuklir PPTN Serpong dan calon lokasi PLTN di S. Lemahabang dapat digunakan sebagai lokasi untuk disposal LTR, LTS dan LTT. Hasil pengkajian dan penelitian ini sementara menyimpulkan bahwa kawasan PPTN Serpong dikarenakan kondisi lingkungan setempat (pola aliran air tanah, demographi, dll) hanya memungkinkan untuk pembangunan sistem disposal eksperimental, sedangkan di calon lokasi PLTN telah dapat diidentifikasi daerah yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk pembangungan sistem disposal near-surface dan deep disposal. [18, 19]. 

Rancang-bangun

Fasilitas disposal dibangun tergantung pada kondisi geologi, persyaratan-persyaratan khusus dan pemenuhan regulasi. Fasilitas disposal yang dibangun haruslah efektif menahan radionuklida untuk tidak migrasi ke lingkungan hidup selama periode potensi bahaya (hazard) maksimal, sehingga paparan radiasi terhadap pekerja dan anggota masyarakat selama operasi dan pasca-operasi minimal. Tujuan ini dapat dicapai melalui rancang-bangun komponen-komponen teknis seperti paket limbah, struktur teknis fasilitas, lokasi itu sendiri dan kombinasi dari berbagai faktor-faktor teknis tersebut.Rancang-bangun fasilitas disposal berkaitan erat dengan kemajuan teknologi dan perhatian masyarakat terhadap keselamatan radiasi dan lingkungan serta perlindungan generasi yang akan datang. Rancang-bangun yang banyak diminati adalah sistem disposal dengan penahan berlapis (multiple engineered barriers). Sistem ini terdiri dari bungker beton (concrete vault), bahan pengisi (backfill material), penahan berdasarkan proses kimia (chemical barrier), sistem ventilasi (mesure for gas venting) sistem drainase (drainage) dan daerah penyangga (buffer zone).Saat ini beberapa jenis fasilitas disposal telah dibangun dan beroperasi di negara-

Page 12: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

negara industri nuklir, 62 % dibangun dekat permukaan tanah (engineered near-surface), 18 % di permukaan tanah, 7 % dalam gua bekas tambang dan sisanya dalam formasi geologi (deep disposal) [15]. 

Pengkajian keselamatan

Pengkajian keselamatan pembuangan/disposal limbah radioaktif bertujuan mengevaluasi unjuk-kerja dari sistem disposal baik untuk kondisi saat ini maupun untuk kondisi yang akan datang, diantisipasi juga mengenai kejadian-kejadian yang sangat jarang terjadi. Berbagai faktor, seperti model dan parameter, periode waktu yang lama, perilaku manusia dan perubahan iklim harus dievaluasi secara konsisten, walaupun data kuantitatif yang diperlukan tidak/ belum tersedia. Hal ini dapat diperoleh melalui formulasi dan analisis dari berbagai skenario yang mungkin terjadi. Skenario adalah deskripsi berbagai alternatif yang mungkin terjadi secara konsisten mengenai evolusi dan kondisi dimasa yang akan datang. Proses pengkajian keselamatan umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan proses, seperti kontek perlunya pengkajian dilakukan (memilih lokasi, perizinan, kriteria yang digunakan, dan waktu pengoperasian), rincian rancang-bangun, pengembangan dan menenetapkan skenario, memformulasikan dan penerapkan model. Melakukan analisis dan menginterpretasikan hasil dengan membandingkan terhadap kriteria yang direkomendasikan [15].Kemampuan untuk melakukan pengkajian keselamatan ini perlu dukungan infrastruktur (organisasi, peralatan, dll.) dan sumberdaya manusia yang handal serta disiapkan secara berkesinambungan. Di P2PLR saat ini terdapat Bidang Kelompok Penyimpanan Lestari dan Bidang Keselamatan dan Lingkungan, telah membuat group-group untuk pengkajian skenario, mendapatkan besaran-besaran fisika-kima untuk pengkajian dan pengembangan perangkat lunak untuk pengkajian unjuk kerja fasilitas disposal (performance assessment), diharapkan dalam jangka panjang dapat dibangun capacity building dan confidence building dalam keselamatan disposal limbah radioaktif. 

Penerimaan Masyarakat

Penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek-nuklir sangat dipengruhi oleh keamanan dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif, dimana didalamnya termasuk masalah bersifat teknis dan sosial. Di negara-negara industri nuklir upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat, yaitu meningkatkan dialog/komunikasi dengan komunitas lokal di mana fasilitas/kegiatan nuklir akan diintroduksi dan dengan masyarakat luas yang secara nyata menunjukan komitmen terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul (excellent). Di beberapa negara menawarkan insentif finasial ke komunitas yang menerima di mana

Page 13: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

di daerahnya akan diintroduksi fasilitas/kegiatan nuklir. Kompensasi ditetapkan tidak sebagai hadiah, namun berdasarkan diskusi terhadap isu-isu masalah keselamatan. Sebagai contoh dari finansial insentif dapat berupa kesempatan kerja untuk komunitas lokal yang lebih besar atau pembebasan biaya listrik bila dilokasi tersebut dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).Isu-isu sosial (societal issues) yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat diantaranya adalah jaminan independensi dari Badan Pengawas dan keputusan yang diambil oleh Badan Pengawas terhadap perizinan dalam pemanfaatan iptek nuklir haruslah berdasarkan suatu pengkajian dan pertimbangan yang tepat. Dalam masalah disposal, diantaranya demonstrasikan bahwa masalah keselamatan telah memperhatikan generasi yang akan datang, pengambilan keputusan dilakukan secara bertahap dan transparan serta lakukan komunikasi yang efektif dengan penduduk lokal dalam membangun kepercayaan. 

PEMANTAUAN LINGKUNGAN

Pemantauan radioaktivitas lingkungan di sekitar instalasi dimana kegiatan/pemanfaatan iptek nuklir berlangsung, merupakan suatu ketentuan yang diberlakukan. Tujuan utama dari pemantauan lingkungan ini adalah untuk [20];

1. Verifikasi kelayakan pengawasan pembuangan efluen ke lingkungan2. Melakukan koreksi terhadap kesahihan perhitungan batas konsentrasi tiap jenis

radionuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen.3. Memberikan jaminan/pembuktian kepada Badan Pengawas dan masyarakat

bahwa dampak radiologi yang ditimbulkan dalam batasan yang diizinkan/diperkenankan.

4. Sebagai sarana ilmiah dalam mempelajari pola penyebaran, faktor perpindahan/pemekatan dan migrasi radionuklida di berbagai komponen lingkungan hidup.

Program pemantauan yang diturunkan dari hasil studi Amdal, berdasarkan dokumen RPL, komponen-komponen lingkungan dan jenis dampak/radionuklida yang harus dipantau serta frekuensi pemantauan dapat ditetapkan. Selanjutnya dari hasil pemantauan dapat dilakukan prakiraan penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari berbagai jalur perantara (pathway) yang mungkin. Prakiraan dosis dilakukan dengan metode faktor pemekatan. Hasil prakiran dosis yang diperoleh dibandingkan dengan Nilai Batas Dosis (NBD) yang diperkenankan untuk anggota masyarakat dan dilaporkan ke Badan Pengawas.Program pemantauan lingkungan di PPTN Serpong telah dilaksanakan semenjak reaktor G.A.Siwabessy dioperasikan tahun 1987 hingga sekarang. Hasil pemantauan yang diperoleh berdasarkan evaluasi secara statistika, metode pembobotan dan

Page 14: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

pembandingan terhadap baku mutu radioaktivitas di lingkungan, menunjukkan bahwa [21, 22]:

1. Laju dosis dan dosis kumulatif di udara di PPTN Serpong, daerah Puspiptek dan Lepas Kawasan tidak menunjukan adanya perubahan ataupun kecenderungan peningkatan.

2. Tidak teramati adanya radionuklida hasil fisi ataupun aktivasi dalam komponen lingkungan di PPTN Serpong, daerah Puspiptek dan Lepas Kawasan, yang teramati umumnya adalah radionuklida alam dan radionuklida jatuhan dari percobaan bom nuklir di atmosfer (Global Fall-Out) yang konsentrasinya sangat rendah.

3. Berdasarkan butir 1 dan 2 menyatakan bahwa tidak terjadi peningkatan penerimaan dosis oleh anggota masyarakat yang berada di sekitar PPTN Serpong.

Berdasarkan pengalaman pemantauan radioaktivitas dan pengkajian keselamatan lingkungan di PPTN Serpong semenjak tahun 1987, saat ini Batan mempunyai sumberdaya manusia dalam kelompok keahlian Keselamatan Radiasi dan Keselamatan Lingkungan yang mampu selain untuk melakukan Amdal kegiatan nuklir, juga melakukan rancang-bangun sistem pemantauan keselamatan radiasi lingkungan untuk operasi normal ataupun untuk kondisi kedaruratan nuklir. 

KESIMPULAN

Keselamatan radiasi lingkungan dalam pengelolaan limbah radioaktif diupayakan melalui;

1. Pembatasan penerimaan dosis, Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditolerir dapat diterima oleh anggota masyarakat sebesar 1,0 mSv per tahun. NBD untuk anggota masyrakat ini relatif lebih kecil dari yang diterima rata-rata dari radiasi alam (2,4 mSv per tahun).

2. Penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari kegiatan pembuangan efluen radioaktif ke atmosfer dan ke badan-air, serta dari disposal limbah dibatasai maksimal sebesar 0,3 mSv per tahun. Besarnya dosis pembatas ini, mempunyai potensi kemungkinan terjadinya efek somatik sebesar 3,3 x 10-6, sesuai dengan standar de minimus, nilai risiko ini termasuk dapat diabaikan.

3. Pemantauan lingkungan merupakan ketentuan yang diberlakukan, sehingga bila terjadi kecenderungan peningkatan penerimaan dosis oleh penduduk di sekitar fasilitas nuklir dapat secara dini diketahui, sehingga kegiatan nuklir dapat dihentikan segera, dengan demikian kerugian terhadap masyarakat dan lingkungan dapat diminimalisis serendah-rendahnya.

Page 15: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

4. Pengelolaan limbah radioaktif tingkat rendah (LTR) dan sedang (LTS) telah mapan (proven) baik secara teknologi maupun keselamatan, dan telah diimplemetasikan secara komersial. Teknologi pengolahan limbah radioaktif ini telah diadopsi dan diimplementasikan di Indonesia (Batan) dalam mengelola LTR dan LTS baik yang dihasilkan dari kegiatan Batan maupun dari kegiatan Non-Batan (industri, rumah sakit, penelitaian dan lain-lainhya).

5. Pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) di negara-negara industri nuklir selain berbeda, juga masih berubah-ubah. Sebagian memilih daur tertutup (memilih opsi olah-ulang) dan sebagian lainnya memilih daur terbuka (memilih opsi disposal). Indonesia memilih daur terbuka, limbah BBN bekas yang awalnya dipasok dari luar Negeri, direeksport kembali ke negara asal. Sementara LTT yang ditimbulkan dari Litbang disimpan di ISSFE yang berada dalam kawasan nuklir, sehingga aman dan terkendali.

6. Kecenderungan pembangunan fasilitas disposal yang terjadi di negara-negara industri nuklir dalam mengantisipasi moto ” NYMBY” adalah di kawasan nuklir yang telah ada.

7. Penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir sangat dipengaruhi oleh keamanan dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif. Dalam permasalahan ini, umumnya negara-negara industri nuklir melakukan pendekatan secara teknis, namun pendekatan secara sosial masih kurang.

DAFTAR PUSTAKA

1. TSYPLENKOV V. S., Principles and Components of the Waste Management Infrastructure, IAEA, Regional Training Course, 21 Oct -1 Nov. 1991, Jakarta- Indonesia, (1991).

2. BENNET B. G., Exposures from Worldwide Release, Environmental Impact of Radioactive Releases, Proceedings of a Symposium, IAEA, Vienna 8 - 12 May, (1995).

3. ALAN MARTIN., SAMUEL H., An Introduction to Radiation Protection, Third Edition, Chapman and Hall, London, (1986).

4. International Basic Safet Standard for Protection against Ionizing radiation and for the Safety of Radiation Sources., Safety-Series no. 115, IAEA, Vienna, (1996).

5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran.

6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.7. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Kesehatan Kerja.8. Sk. Kepala BAPETEN No.06/Ka.BAPETEN/V-99., Pembangunan dan

Pengopersian Reaktor Nuklir.

Page 16: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

9. Sk. Kepala BAPETEN No.01/Ka. Ka.BAPETEN/VI-99., Pedoman Penentuan Tapak Reaktor Nuklir

10.Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2000 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.

11.Peraturan Pemerintah No.64 Tahun 2000 Tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir.

12.SK. Ka. BAPETEN No.07-P/Ka.-BAPETEN/I-02, Pedoman Dekomisioining Fasilitas Medis, Industri dan Penelitian Serta Instalasi Nuklir Non Reaktor.

13.Sk. Ka. BAPETEN No.03/Ka.BAPETEN/99, Ketentuan Keselamatan Untuk Pengelolaan Limbah Radioaktif.

14.Kep. Ka. BAPETEN No.064-P/Ka-BAPETEN/VI-99, Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Untuk Rencana Pembangunan dan Pengoperasian Instalasi Nuklir dan Instalasi Lainnya.

15.Safety of Radioactive Waste Management., Proceedings of an International Conference, Cordoba, Spain, 13 - 17 March, (2000).

16.Regulatory Control of Radioactive Discharge into the Environment, Safety-Series-77, IAEA, Vienna, (1999).

17.Batas Pelepasan Maksimal (BPM) Pembuangan Zat Radioaktif ke Atmosfer dan Badan-air untuk tiap Instalasi Nuklir di PPTA Serpong, Revisi-1, BKKL-PTPLR, (1991).

18.LUBIS, E., D. MALLANTS., G. VOLCKAERT., Safety Assessment for a Hyphotetical Near Surface Disposal at Serpong Site, Atom Indonesia Vol. 26, No.2, July 2000.

19.LUBIS, E., SUCIPTA., Features, Events and Processes (FEP's) dalam Pengkajian Keselamatan Penyimpanan Limbah Tanah Dangkal di S. Muria, Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah., 2(2), 1 - 18, ISSN 1410-9565, 1999.

20.Program Pemantauan Radioaktivitas Lingkungan Daerah PPTN Serpong Dalam Radius 5,0 km, P2PLR, Serpong.

21.Laporan Pemnatauan Radioaktivitas Lingkungan Daerah PPTN Serpong Dalam Radius 5,0 km, P2PLR, Serpong, (2002).

22.Kep. Ka. BAPETEN No.06/Ka-BAPETEN/V-99, Pembangunan dan Pengoperasian Reaktor Nuklir.

Penulis : Erwansyah Lubis (Ahli Peneliti Utama, Kepala Bidang Keselamatan Lingkungan P2PLR - BATAN)

Artikel ini telah dimuat pada 'Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah' Volume 6 No. 2 Desember 2003 (ISSN:1410-9565)

Page 17: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Pengelolaan Limbah Radioaktif

Pada dasarnya kegiatan pengelolaan limbah radioaktif meliputi tahapan :

1. Pengangkutan Limbah

2. Pra-olah

3. Penyimpanan sementara

4. Pengolahan

5. Penyimpanan sementara

6. Penyimpanan akhir (belum dilakukan)

Kategori Limbah

Berdasarkan rekomendasi IAEA dan kemampuan fasilitas pengelolaan limbah di PTLR maka limbah

radioaktif yang dikelola PTLR dapat dikategorikan sebagai berikut :

No.

Jenis Limbah Aktivitas (A Ci)

ILimbah Cair Aktivitas Rendah dan Sedang Pemancar Beta dan Gamma

1e-6<=A<=1e-1

IILimbah Semi Cair (Resin) Aktivitas Rendah dan Sedang Pemancar Beta dan Gamma

A<=1e-2

IIILimbah Padat Aktivitas Rendah dan Sedang Pemancar Beta dan Gamma :

3.1

Terbakar A<=1e-2

3.2

Terkompaksi A<=1e-2

3.3

Tak Terbakar & Tak Terkompaksi A<=1e-2

IV Limbah Aktivitas Rendah Pemancar Alpha --

V Limbah Aktivitas > 6 Ci A>6

Page 18: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

VI Sumber Bekas

6.1

Penangkal Petir --

6.2

Sumber Bekas Ra-226 --

6.3

Sumber Bekas 1Ci<=A<=6Ci selain Ra-226 (Co-60, Am-241, Cs-137, Kr-85, Pm-147, Sr-90, Mo-99, dll.)

1<=A<=6

6.4

Sumber Bekas 0,1Ci<=A<1Ci selain Ra-226 (Co-60, Am-241, Cs-137, Kr-85, Pm-147, Sr-90, Mo-99, dll.)

0,1<=A<1

6.

5

Sumber Bekas A<0,1Ci selain Ra-226 (Co-60, Am-241, Cs-137, Kr-85, Pm-147, Sr-90, Mo-99, dll.)

A<0,1

Pengangkutan Limbah

Pengangkutan meliputi kegiatan pemindahan limbah radioaktif dari lokasi pihak penghasil limbah

menuju ke lokasi pengelolaan limbah PTLR. Kegiatan pengangkutan harus memenuhi syarat-syarat

keamanan dan keselamatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Terutama bila lokasi

penghasil limbah diluar kawasan PTLR diperlukan ijin Pengangkutan Limbah dari Badan Pengawas

Tenaga Nuklir (Bapeten).

Sarana dan prasarana yang dipakai pada kegiatan pengangkutan Limbah antara lain :

Alat angkut: truck, fork lift, crane, hand crane dan sebagainya

Transfer Cask / Kanister

Pallet.

Alat monitoring

Tanda bahaya radiasi dan tanda bahaya lainnya

Sarana keselamatan kerja

Dan sarana lain yang diperlukan.

Praolah (pretreatment)

Praolah adalah kegiatan yang dilakukan sebelum pengolahan agar limbah memenuhi syarat untuk

dikelola pada kegiatan pengelolaan berikutnya.

Kegiatan ini antara lain meliputi :

Page 19: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Pengelompokan sesuai dengan jenis dan sifatnya.

Preparasi dan analisis terhadap sifat kimia, fisika dan kimia fisika serta kandungan radiokimia

Menyiapkan wadah drum, plastik, lembar identifikasi dan sarana lain yang diperlukan

Pewadahan dalam drum 60, 100, 200 liter atau tempat yang sesuai

Pengepakan untuk memudahkan pengangkutan dan pengolahan

Pengukuran dosis paparan radiasi

Pemberian label identifikasi dan pengisian lembar formulir isian

Pengeluaran dari hotcell

Penempatan dalam kanister sehingga memenuhi kriteria keselamatan pengangkutan

Sarana dan prasarana yang dipakai dalam kegiatan Praolah antara lain :

Drum 60 liter / 100 liter

Plastik pelapis bagian dalam drum

Lembar identifikasi dan lembar isian

Alat monitor radiasi

Alat pengepakan

Kanister

Sarana keselamatan kerja

Pengolahan (treatment)

Pengolahan limbah radioaktif di PTLR menggunakan fasilitas utama Kompaktor, Evaporator, Insinerator

dan Unit Immobilisasi (lhat gambar dbawah).

Page 20: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

  Keterangan :

    IS : Interim Storage

    PSLAT : Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi

    KH-IPSB3 : Kanal Hubung - Instalasi Penyimpanan Sementara Bahan Bakar Bekas

Page 21: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Limbah cair organik dan limbah padat terbakar direduksi volumenya dengan cara insinerasi. PTLR

mempunyai satu unit insinerator dengan kapasitas pembakaran limbah padat 50 kg/jam atau 20 liter

limbah organik cair / jam beserta peralatan sementasi abu dalam drum 100L.

Limbah cair diolah dengan cara evaporasi untuk mereduksi volume limbah. PTLR memiliki satu unit

evaporator dengan kapasitas olah 0,75 m3/jam dengan ratio pemekatan 50:1. Konsentrat hasil

evaporasi dikungkung dalam shell beton 950L dengan campuran semen. Bila limbah cair bersifat

korosif maka limbah diolah secara kimia (chemical treatment) sebelum disementasi.

Limbah padat termampatkan proses reduksi volumenya dilakukan dengan cara kompaksi. PTLR

mempunyai 1 unit kompaktor dengan kekuatan 600 kN, meja getar dan perangkat sementasi. Limbah

padat dalam drum 100L dimasukkan dalam drum 200L saat kompaksi. Dengan kuat tekan 600 kN

kompaktor PTLR mampu mereduksi 4-5 drum 100L dalam drum 200L. Setelah pengisian batu koral,

hasil kompaksi selanjutnya disementasi dalam drum 200L.

Limbah padat tak terbakar dan tak termampatkan pengolahannya dimasukkan secara langsung

dengan cara sementasi dalam shell beton 350L/950L. Proses imobilisasi atau proses kondisioning

dilakukan dengan menggunakan shell beton 350 liter, 950 liter, drum beton 200 liter dan drum 200

liter dengan bahan matriks campuran semen basah.

Limbah padat aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas sedang (LAS) dan limbah aktivitas rendah (LAR)

masing-masing diimobilisasi di dalam shell beton 350 liter, 950 liter, drum beton 200 liter dan drum

200 liter. Untuk menunjang kegiatan proses pengolahan ini diperlukan suatu koordinasi kerja yang

terpadu diantara tenaga yang terdiri dari proses, penunjang sarana, keselamatan, laboratorium dan

administrasi.

Penyimpanan Sementara

Penyimpanan dilakukan sebelum dan sesudah limbah diolah. PTLR memiliki 2 fasilitas penyimpanan,

yaitu Interim Storage (IS) dan Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT).

Page 22: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Shell beton 950L disimpan di IS

PSLAT memiliki 2 bentuk; kolam dan sumuran. Drum 60/100L disimpan dalam lokasi berbentuk

sumuran. Fasilitas ini memiliki 20 buah sumur, dan masing-masing sumur mampu menampung 6 buah

drum 60/100L. Total kapasitas bentuk sumuran adalah 120 drum.

PSLAT

Kapasitas penyimpanan limbah P2PLR :

Penyimpanan Kapasitas

Interim Storage (IS)1500 drum 200L

500 Shell 950L

PSLAT20 Sumur = 7,2 m3

3 Kolam = 129,6 m3

Sarana yang diperlukan antara lain :

Tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas tinggi

Transfer Cask Magnetik

Peralatan trasportasi: truck, fork lift, crane, hand crane

Crane / hand crane

Sistem informasi managemen limbah

Alat monitor radiasi

Peralatan keselamatan kerja

Page 23: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Dan sarana lain yang diperlukan

Untuk mengetahui kriteria limbah yang memenuhi kriteria keselamatan untuk dikelola lebih lanjut

maka dilakukan inspeksi dan pemantauan secara rutin selama penyimpanan.

Insiden Pembangkit nuklir yang memakan biaya lebih dari 300 juta dolar AS, sampai 2009[98][99][100]

Tanggal Lokasi Deskripsi

Biaya(2006,

dalam juta dolar)[101]

7 Desember 1975

Greifswald, Jerman Timur

Kesalahan di bagian kelistrikan menyebabkan kebakaran yang merusak jalur kontrol dan 5 pompa pendingin utama

AS $443

22 Februari 1977

Jaslovské Bohunice, Cekoslowakia

AS $1,700

28 Maret 1979

Middletown, Pennsylvania, AS

Kebocoran sebagian inti nuklir dan rusaknya sistem pendingin, lihat Musibah Pulau Three Mile dan Dampak kesehatan akibat musibah Pulau Three Mile

AS $2,400

9 Maret 1985

Athens, Alabama, AS

Sistem instumen mengalami malfungsi, sehingga pengoperasian ketiga reaktor diBrowns Ferry - reaktor akhirnya dioperasikan kembali tahun 1991 untuk unit 2, 1995 untuk unit 3, dan 2007 untuk unit 1

AS $1,830

11 April 1986

Plymouth, Massachusetts, AS

Adanya masalah pada peralatan menyebabkan kematian darurat di Pembangkit listrik nuklir Pilgrim

AS $1,001

26 April 1986

Chernobyl, dekat kota Pripyat, Ukraina

Ledakan yao dan kebocoran menyebabkan 4.057 kematian (lihat Bencana Chernobyl) dan menyebabkan 300.000 orang dievakuasi di Belarusia, Rusia, dan Ukraina. Material radioaktif menyebar di

AS $6,700

Page 24: Keselamatan Radiasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia

Insiden Pembangkit nuklir yang memakan biaya lebih dari 300 juta dolar AS, sampai 2009[98][99][100]

Tanggal Lokasi Deskripsi

Biaya(2006,

dalam juta dolar)[101]

seluruh Eropa.

31 Maret 1987

Delta, Pennsylvania, AS

Malfungsi pada sistem pendinginan menyebabkan matinya unit 2 dan 3 di Peach Bottom

US$400