Keseimbangan Asam
-
Upload
dita-azzahra-suprapto -
Category
Documents
-
view
68 -
download
0
description
Transcript of Keseimbangan Asam
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada
masa perioperatif.1 Volume plasma yang adekuat penting untuk
mempertahankan curah jantung dan perfusi jaringan. Pada awal tahun 1960-an
ditunjukkan bahwa trauma dan pembedahan mayor disertai dengan kebutuhan
cairan yang secara bermakna melampaui laju rumatan cairan yang biasa.
Sebagai konsekuensinya pemberian cairan menjadi kurang restriktif. Satu
dekade kemudian, pilihan cairan menjadi subyek debat yang intensif, dan
berlangsung hingga saat ini. 1,2
Selama ini, volume perdarahan yang terjadi diganti berdasarkan jumlah
yang keluar tanpa memperhatikan keseimbangan asam-basa. Padahal selama
penggantian cairan tersebut terjadi perubahan metabolik dalam tubuh, antara
lain keseimbangan antar elektrolit dan asam basa. Dengan memperhatikan
keseimbangan asam-basa, akan sangat membantu dalam mengelola pasien
paska operasi.3 Selain itu, obat-obatan yang digunakan selama tindakan
anestesi memungkinkan terjadinya gangguan keseimbangan asam basa akibat
efek sampingnya terhadap sistem pernafasan. Beberapa obat-obat anestesi
yang sering digunakan adalah profopol dan ketamin yang memiliki efek
samping terhadap sistem pernafasan.1,2
1.2 Tujuan Penulisan
Mengetahui tentang keseimbangan asam basa, berbagai gangguan
keseimbangan asam basan dan gangguan keseimbangan asam basa selama
anestesi.
1.3. Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan tentang sindrom gangguan keseimbangan asam
basa selama anestesi.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan ini adalah studi tinjauan pustaka yang bersumber dari
berbagai textbook dan jurnal.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keseimbangan Asam-Basa
Ion hidrogen adalah suatu proton tunggal bebas yang dilepaskan oleh
atom hidrogen.1,3 Molekul yang memiliki atom hidrogen tersebut dapat
melepaskan ion-ion hidrogen dalam larutan disebut asam. Molekul yang dapat
menerima ion hidrogen yang dilepaskan tadi disebut dengan basa. Nilai
konsentrasi ion hidrogen dilambangkan dengan pH. Nilai pH rendah disebut
asidosis (kadar asam tinggi), nilai pH tinggi disebut alkalosis (kadar basa
tinggi).4 Mekanisme yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu
asidosis ataupun alkalosis ada beberapa cara khusus, yaitu:1,2
a. Sistem penyangga (buffer) asam-basa yang segera bergabung dengan setiap
asam ataupun basa yang kemudian mencegah terjadinya perubahan
konsentrasi ion hidrogen yang berlebihan.
b. Apabila konsentrasi ion hidrogen berubah, maka pusat pernafasan akan
terangsang untuk mengubah kecepatan ventilasi paru-paru, yang berakibat
pada perubahan kecepatan pengeluaran karbondioksida dari cairan tubuh
yang akan menyebabkan konsentrasi ion hidrogen kembali normal.
c. Menyebabkan ginjal mengekskresikan urin yang bersifat asam atau basa,
sehingga membantu konsentrasi ion hidrogen cairan ekstraseluler tubuh
kembali normal.
Untuk menetukan adanya suatu gangguan asam-basa adalah dengan
mengetahui nilai pH darah yang diatur oleh paCO2 dan konsentrasi bikarbonat
sesuai dengan metode Henderson-Hasselbalch.5
Persamaan Henderson-Hasselbalch
Penilaian gangguan keseimbangan asam-basa tubuh telah dikenal
sebagai formula Henderson-haselbalch. Formula ini memiliki suatu
persamaan hidrasi: 1,5
CO2 + H2O H2CO3 HCO3 + H
CO2 disini merupakan gas CO2 yang terlarut. Nilai diambil dari
tekanan parsial yaitu pCO2 dan dikalikan dengan konstanta kelarutan (0,03).
Kecilnya konsentrasi dari {HCO3} oleh Henderson-Hesselbalch persamaan
ini disederhanakan menjadi. 1,3,5
zpCO2 + H2O {HCO3}.{H}
Persamaan hidrasi CO2 di konversi lagi sehingga dapat di aplikasikan
pH = pK+ log HCO3
pCO2
pH normal: 7,35 – 7,45
pH <7,35 disebut sebagai asidosis, sedangkan pH > 7,45 disebut sebagai
alkalosis.
Ketidakseimbangan pada metabolik dapat dikarenakan oleh adanya
gangguan primer pada nilai konsentrasi bikarbonat. Bikarbonat merupakan
pembilang, maka peningkatan bikarbonat akan menurunkan pH disebut
sebagai asidosis metabolik. Penurunan bikarbonat akan meningkatkan nilai
pH sehingga bisa disebut sebagai alkalosis metabolik. 1,4,5
2.1.1 Base Excess
Base Excess merupakan komponen kunci untuk mengetahui status dari
asam-basa tubuh dari darah, plasma, ataupun cairan tubuh yang lain. Nilai dari
base excess, digunakan untuk mengevaluasi keseimbangan nilai asam basa
tubuh pada pasien, untuk mengetahui nilai asam basa tubuh pada cairan
ekstraselular yang biasanya dapat diketahui melalui pemeriksaan analisa gas
darah. 3,5
Analisa gas darah dilakukan untuk mengukur nilai dari oksigen parsial
(Po2) dan karbon dioksida (CO2) serta komponen pH pada sampel darah yang
di teliti. Kesalahan dalam menginterpreasikan nilai dari base excess ini dapat
menjadi sebuah kesalahan yang cukup fatal karena dapat membuat pasien
meninggal dikarenakan tidak menerima pengobatan yang adekuat. 5,6,7 Nilai
base excess sangat penting untuk di perhatikan karena menginterpretasikan
hubungan antara biokimia tubuh, cairan seluler, dan status asam basa tubuh.
Base excess didefinisikan sebagai jumlah asam kuat yang harus
ditambahkan ke setiap liter darah beroksigen penuh untuk kembali pada pH
7,40 pada suhu 370C dan pCO2 dari 40 mmHg (5,3 kPa). Base excess juga
dapat di definisikan dalam hal jumlah basa kuat yang harus ditambahkan. 3,7
Dalam fisiologi manusia, base excess atau defisit basis merujuk pada
suatu kelebihan kadar nilai base excess dalam darah. Nilai base excess
biasanya dinilai dengan satuan mEq/L dengan angka positif menunjukkan
kelebihan basa dan negative merupakan deficit basa. Nilai nya berkisar -2
sampai +2 mEq/L. 3,5
Nilai asidosis ataupun alkalosis dapat mempengaruhi efektivitas terapi
obat yang akan kita berikan kepada pasien tersebut dan metode pengobatan
lainnya, termasuk penilaian untuk mengontrol ventilasi pernafasan pasien
tersebut. 4,5
2.2 Ketidakseimbangan asam-basa
Ada 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu: 5,6
1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi.
Pembentukan H2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan
konsentrasi ion H.
2. Alkalosis respiratori, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan
akibat hiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukan
ion H menurun.
3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan
ventilasi paru. Diare akut, diabetes mellitus, olahraga yang terlalu berat, dan
asidosis uremia akibat gagal ginjal akan menyebabkan penurunan kadar
bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat.
4. Alkalosis metabolik, terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena
defisiensi asam non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat.
Hal ini terjadi karena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum
obat-obat alkalis. Hilangnya ion H akan menyebabkan berkurangnya
kemampuan untuk menetralisir bikarbonat, sehingga kadar bikarbonat plasma
meningkat. Untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa
tersebut, fungsi pernapasan dan ginjal sangat penting.
2.3 Penyebab gangguan keseimbangan asam basa
2.3.1 Sebab-sebab Asidosis Metabolik3,5,7
Selisih anion normal (hiperkloremik)
1. Kehilangan bikarbonat
a. Kehilangan melalui saluran cerna :
(1) Diare
(2) Ilieotomi ; fistula pankreas, kantong empedu atau usus
halus.
(3) Ureterosigmoidostomi
b. Kehilangan melalui ginjal :
(1) Asidosis tubulus proksimal ginjal (RTA)
(2) Inhibitor Karbonik Anhidrase (Asetazolamid)
(3) Hipoaldosteronisme
2. Peningkatan beban asam
a. Amonium klorida NH4Cl NH3 + HCl
b. Cairan-cairan hiperalimentasi
3. Lain-lain
Pemberian IV larutan garan secara cepat .
Selisih anion meningkat
1. Peningkatan produksi asam :
Asidosis laktat : laktat (perfusi jaringan atau aksigenasi yang tidak
memadai seperti pada syok atau henti kardiopulmonar)
Ketoasidosis diabetik : Beta-hidroksibutirat.
Kelaparan: peningkatan asam - asam keto
Intoksikasi alkohol : peningkatan asam-asam keto
2. Menelan substansi toksik
a. Kelebihan dosis salisilat : Salisilat, laktat, keton
b. Metanol atau formaldehid : formad
c. Etilglikol (antibeku) : oksilat, glikolat
3. Kegagalan ekskresi asam : tidak adanya ekskresi NH4 ; retensi asam sulfat
dan asam fosfat
a. gagal ginjal akut dan kronik
2.3.2 Sebab-sebab alkalosis metabolik1,3,7
Kehilangan H dari ECF
1. Kehilangan melalui saluran cerna (berkurangnya volume ECF)
a. Muntah atau penyedotan nasogastrik
b. Diare dengan kehilangan klorida
2. Kehilangan melalui ginjal
a. Diuretik simpai atau tiazid (pembatasan NaCl + berkurangnya
ECF)
b. Kelebihan mineralokortikoid
(1). Hiperaldosteronisme
(2). Syndrom cushing ; terapi kortikosteroid eksogen )
(3). Makan licorice berlebihan
c. Karbenisillin atau penicillin dosis tinggi
Retensi HCO3
1. Pemberian Natrium Bikarbonat berlebihan
2. Sundrom susu alkali (antasid, susu, natrium bikarbonat)
3. Darah simpan (sitrat) yang banyak (>8unit)
4. Alkalosis metabolik hiperkapnia (setelah koreksi pada asidosis
respiratorik kronik)
Ventilasi mekanis: penurunan yang cepat dari PCO2 tapi HCO
tetap tinggi sampai jinjal mengeksekresi kelebihannya.
Asidosis metabilok yang responsif terhadap Klorida (Cl Kemih 10 mEq/l)
Biasanya disertai penurunan ECF
Muntah atau penyeditan Nasogastrik
Deuretik
Pasca-hiperkapnea
2.3.3 Sebab-sebab asidosis respiratorik (sebab dasar = Hipoventilasi) 3,4
Hambatan pada pusat pernafasan di medula oblongata
1. Obat-obatan : Kelebihan dosis opiat, sedatif, anestetik (akut)
2. Terapi oksigen pada hiperkapnea kronik
3. Henti jantung (akut)
4. Apnea saat tidur
Gangguan otot-otot pernafasan dan dinding dada
1. Penyakit neuromuskuler : miastenia gravis, sindrom guillain-Barre,
poliomielitis, sklerosis lateral amiotropik.
2. Deformitas rongga dada : kifoskoliosis
3. Obesitas yang berlebihan : sindrom pickwikian
4. Cedera dinding dada seperti patah tulang-tulang iga
Gangguan pertukaran gas
1. PPOM (emfisema dan bronkitis)
2. Tahap akhir penyakit paru intrinsik yang difus
3. Pneumona atau asama yang berat
4. Edema paru akut
5. Pneumotorak
Obstruksi saluran nafas atas yang akut
1. Aspirasi benda asing atau muntah
2. Laringospasme atau edema laring, bronkospasme berat
2.3.4 Sebab-sebab alkalosis Respiratorik (sebab dasar =hiperventilasi) 3,5,7
Perangsangan sentral terhadap pernafasan
1. Hiperventilasi psikogenik yang disebabkan oleh stres emosional
2. Keadaan hipermetabolik : demam, tirotoksikosis
3. Gangguan SSP
4. Cedera kepala atau gangguan pembuluh darah otak
5. Tumor otak
6. Intoksikasi salisilat (awal)
Hipoksia
1. Pneumonia, asma, edema paru
2. Gagal jantung kongestif
3. Tinggal ditempat yang tinggi
Ventilasi mekanik yang berlebihan
2.4 Gangguan keseimbangan asam basa selama tindakan anestesi
Keseimbangan asam-basa merupakan keseimbangan antar komponen
elektrolit cairan tubuh yang dinilai dengan menggunakan persamaan dari
Stewart. Dimana menurut Stewart pH darah merupakan variabel dependen
yang ditentukan oleh PaCO2, konsentrasi weak acid (asam lemah) dan strong
ions difference (SID). Strong ions yang terpenting adalah K+, Na+, dan Cl-.
Pemberian cairan pada pasien operatif memerlukan penggantian cairan yang
cepat, dengan harapan dapat mempertahankan kadar 02 dalam jaringan secara
adekuat. 1,5,8
Pada operasi dengan perdarahan lebih dari 15% EBV, dianjurkan
penggantian cairan dengan darah. Selama penggantian cairan tersebut terjadi
perubahan metabolik dalam tubuh, antara lain keseimbangan antar elektrolit.
Kasus-kasus dengan perdarahan kurang dari 15% EBV banyak menggunakan
cairan koloid. Pemberian cairan pengganti selama tindakan operasi memang
menjadi suatu hal yang kontroversial dalam menentukan keefektifan dan
efisiensi dalam penggantian cairan. Pengganti cairan selama tindakan operatif
berkisar pada cairan kristaloid atau koloid. Keduanya dianggap merupakan
cairan yang paling baik didasarkan kandungannya. 5,9
Pemberian infus sodium laktat hipertonik akan meningkatkan osmolaritas
plasma karena mempunyai kandungan sodium yang tinggi dan menyebabkan
cairan berpindah dan intrasel ke ekstrasel, meningkatkan isi intravaskuler dan
intersisial dengan demikian dapat meningkatkan hemodinamik. Dengan
pemberian cairan ini sebenarnya kita menambahkan natrium lebih banyak
dibandingkan klorida, sehingga akan menaikkan SID, pH dan mencegah
asidosis hiperkloremik, sedangkan laktat sebagai substrat energi alternatif bagi
sel yang siap pakai dan mudah dimetabolisme. Sodium laktat hipertonik tidak
membuat reaksi alergi dibandingkan dengan plasma ekspander yang lain dan
tidak mempunyai resiko penyebaran sumber infeksi seperti human plasma.4
Cairan sodium laktat hipertonik dengan konsentrasi 1,8%-7,5% telah
diteliti penggunaannya pada pasien perdarahan, sakit jantung,12 syok
hipovolemik, dan paska operasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa
pemberian sodium laktat hipertonik bermanfaat dalam meningkatkan fungsi
jantung paska luka bakar dan tidak hanya mempengaruhi lipid-peroxidation di
dalam organ jantung tetapi juga meningkatkan aktifitas organ jantung.3,10
Penelitian lainnya membandingkan antara pemberian infus sodium laktat
hipertonik dengan hydroxyethyl starch (Haes) dalam cairan NaCI, kedua
cairan tersebut menurunkan kadar asam lemah plasma,SID dan pH (7,28-
7,30). Penurunan bikarbonat juga sama dan proporsional untuk berbagai
tingkat dilusi. Hal tersebut menyebabkan asidosis metabolic terkoreksi untuk
kedua grup setelah pembedahan. 5,11
Berdasarkan penelitian pemberian 1,6 ml/kg 7,5% salin hipertonik lebih
efektif dibanding 13 ml/kg NaC1 0,9% dalam mencegah perubahan
hemodinamik pada pasien dengan American Society of Anesthesiologist
(ASA) I-II yang dilakukan tindakan arthroscopy lutut atau operasi orthopedic
anggota badan bawah. Efek merugikan seperti hipernatremia,
hiperosmolalitas, dan hipokalemia dapat dicegah. 10,11
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pada
pemberian cairan 6% hydroxyethyl starch pada pasien dengan Acute
Normovolemic Hemodilution (ANH), didapatkan volume darah yang cukup
akan tetapi terjadi penurunan konsentrasi albumin dan pH. Pada suatu
penelitian didapatkan bahwa pemberian Haes menyebabkan peningkatan
konsentrasi plasma klorida yang signifikan (P<0,01) penurunan SID (P<0,01),
anion gap turun signifikan (P<0,01), sedangkan Base Excess (BE) dan pH
tidak berubah secara signifikan. 3,4,5
Selain itu, selama tindakan anestesi penting untuk dilakukan pemantauan
terus menerus tentang keadaan pasien, terutama pada reaksi terhadap
pemberian obat anestetik, khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung.
Tujuan utama pemantauan anestesi adalah untuk diagnosis adanya
permasalahan, perkiraan kemungkinan terjadinya kegawatan dan evaluasi
hasil suatu tindakan, termasuk efektivitas serta adanya efek tambahan. 10,12
Hal ini penting untuk diperhatikan karena anestesi umum akan
menimbulkan reaksi yang berbeda pada organ dan sistem tubuh masing-
masing individu. Keadaan distres akan mempengaruhi sistem kardiorespirasi,
dengan adanya kelainan proses oksigenasi serta gangguan pengeluaran
karbondioksida, sehingga membutuhkan pemantauan yang teliti yaitu salah
satunya dengan analisis gas darah. 13
Hal-hal yang perlu diamati selama anestesi adalah tingkat kedalaman
anestesi, efektivitas kardiovaskuler, dan efisiensi perfusi jaringan, serta
perubahan respirasi. Salah satu pemeriksaan vital dalam mengukur kedalaman
anestesi adalah kadar gas darah. Pengukuran gas darah ini sangat penting
dilakukan untuk evaluasi pasien, karena pada kondisi-kondisi kritis selalu
berkaitan dengan gangguan sistem respirasi dan keseimbangan asam-basa.
Pengukuran gas darah dilakukan untuk menentukan pH, kadar oksigen dan
karbondioksida, juga kadar bikarbonat dalam darah. Parameter-parameter
tersebut sangat membantu mengevaluasi pasien dalam kondisi kritis. 5,13
Salah satu obat anestetik yang sering digunakan adalah ketamin. Dalam
penggunaannya ketamin mempunyai beberapa keuntungan, di antaranya yaitu
mempunyai mula kerja (onset of action ) yang cepat dan efek analgesik yang
kuat serta aplikasinya cukup mudah, yaitu dapat diinjeksikan secara
intramuskular. Namun, ketamin juga mempunyai kerugian yaitu tidak terjadi
relaksasi otot sehingga dapat menimbulkan kekejangan dan depresi ringan
pada saluran respirasi. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek samping
ketamin, penggunaannya sering dikombinasikan dengan obat premedikasi,
seperti diazepam, midazolam, medetomidine, atau xylazin. 5,8,12
Obat anestetik lain yang juga sering adalah propofol. Obat ini masuk
dalam golongan fenol. Dibandingkan dengan ketamin, waktu induksi dan
masa pulih (recovery) lebih lembut pada propofol, selain itu redistribusi
propofol ke jaringan juga lebih cepat dibanding ketamin. Namun, seperti
halnya ketamin propofol juga mempunyai kekurangan, yaitu dapat
menyebabkan depresi pernapasan. 6,9,11
Propofol menghasilkan depresi ventilasi tergantung pada dosis, dengan
apnea yang berlangsung pada 25% hingga 35% pasien setelah induksi cepat
dengan propofol. Pemberian opioid pada pengobatan preoperatif dapat
meningkatkan efek depresi ventilasi. Rangsangan bedah yang menyakitkan
dapat melawan efek depresi ventilasi dari propofol. Pemakaian infus
maintenance propofol akan mengurangi volume tidal dan frekwensi
pernafasan. Propofol mengurangi respon ventilasi pada karbon dioksida dan
juga hipoksemia.14
Konsentrasi sedasi dari propofol akan menekan respon ventilasi terhadap
hiperkapnia disebabkan efek dari kemoreseptor sentral. Berbeda dengan
anestesis volatile dosis rendah, respon kemorefleks perifer pada karbon
dioksida masih tetap ada ketika dirangsang oleh karbon dioksida dengan
adanya propofol. Demikian juga infus propofol untuk menghasilkan sedasi
yang secara signifikan mengurangi dan menyebabkan pergeseran dari kurva
respon ventilasi ke hipoksia. 1,14
Selain itu propofol juga dapat menyebabkan penurunan metabolik
serebral dan tekanan perfusi serebral yang secara bersamaan akan
menurunkan tekanan intracranial dan intraokuler. Dalam usaha untuk
mempertahankan fungsi cerebral ini, maka selama proses anestesi
menggunakan propofol berlangsung, terjadi perubahan pCO2 melaporkan
bahwa obat-obat anestetik akan menyebabkan baik langsung maupun tidak
langsung relaksasi otot bronkhial dan penurunan tingkat oksigen darah. 12,14
Respon tubuh dengan adanya penurunan pH dan pO2 adalah berusaha
mempertahankan homeostasis supaya pH darah tetap normal dengan cara
metabolisme anaerob sehingga status tubuh menjadi asidosis metabolik,
dengan kompensasi terjadi alkalosis respiratorik yang ditandai dengan
penurunan pCO2 darah. Sebuah penelitian melaporkan bahwa kompensasi
tubuh terhadap perubahan pH akan dilakukan melalui sistem pernapasan dan
ginjal bergantung pada bentuk gangguan asam basa yang terjadi. Pada kondisi
asidosis metabolik akan terjadi perangsangan untuk stimulasipernapasan
(hiperventilasi), dan sebagai akibatnya pCO2 darah akan menurun dan ini
berakibat pada kenaikan pH (pH, pCO2), jadi penurunan pH pada asidosis
metabolik akan dikompensasi oleh suatu reaksi alkalosis respiratorik
(persamaan Handerson). 9,10
BAB 3
KESIMPULAN
Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada
masa perioperatif dan pemberian cairan pada pasien operatif memerlukan
penggantian cairan yang cepat, Selama ini, volume cairan diganti berdasarkan
jumlah yang keluar tanpa memperhatikan keseimbangan asam-basa. Padahal
selama penggantian cairan tersebut terjadi perubahan metabolik dalam tubuh,
antara lain keseimbangan antar elektrolit.
Selain itu, tindakan anestesi umum akan menimbulkan reaksi yang
berbeda pada organ dan sistem tubuh masing-masing individu. Keadaan
distres akan mempengaruhi sistem kardiorespirasi, dengan adanya kelainan
proses oksigenasi serta gangguan pengeluaran karbondioksida. Obat-obatan
yang digunakan selama tindakan anestesi juga memungkinkan terjadinya
gangguan keseimbangan asam basa akibat efek sampingnya terhadap sistem
pernafasan, sehingga membutuhkan pemantauan yang teliti yaitu salah
satunya dengan analisis gas darah
. Pengukuran gas darah dilakukan untuk menentukan pH, kadar oksigen
dan karbondioksida, juga kadar bikarbonat dalam darah. Parameter-parameter
tersebut sangat membantu mengevaluasi pasien dalam kondisi kritis
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pemilihan cairan yang tepat
selama intraoperatif dan evaluasi gas darah selama dilakukan tindakan operasi
dalam waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Boulton TB, Blogg CE, Hewer CL. Anaesthethic for Medical Students. Churchill Livingstone. London. 1989.
2. Buku ajar Ilmu Bedah / Editor, R Sjamsuhidajat, wim de jong. Edisi 2, Jakarta: EGC. 2004.
3. Chestnut DH. Obstetric Anesthesia – Principles and Practice. 3rd edition. Mosby. Philadelphia. 2004.
4. Alexander Mentel, MD, Friedhelm Bach, MD, Joerg Schu¨ ler, MD,Walter Herrmann, MD, PhD†, Andreas Koster, MD, George J. Crystal, PhD,Georgios Gatzounis_, and Fritz Mertzlufft, MD, PhD. Assessing Errors in the Determination of Base Excess. Journal of Anesthesia and Analgesia.2002
5. Base E, Standl T, Mahl C, Jungheinrich C, Comparisson of 6% HES in balanced electrolyte solution versus 6% HES saline solution in cardiac surgery. Critical Care 2006 . www.ccforum.com/content/10/SI/p176
6. Finucane BT. Complications of Regional Anesthesia. Churchill Livingstone. New York. 2000.
7. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009
8. Morgan, G. Edward, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. 2007. Clinical Anesthesiology. 4th edition. The McGraw-Hill Companies: Philadelphia
9. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan MR. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Ingtensif FK UI. Jakarta. 1989.
10. Mulyono I, Harijanto E, Sunatrio S, Cairan Koloid. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Pre-operatif. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia.2009.
11. Mustafa I, George YWH. Keseimbangan Asam-Basa (Paradigma Baru). Anestesia & Critical Care. Vol 21. Jakarta. 2003
12. Pramono, Ardi, Sp.An, dr. 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta : FK UMY.
13. Prof. S. Manimala, Rao Dr. V. Nagendranath. Arterial Blood Gas Monitoring. Indian Journal of Anesthesia.2002
14. Sherwood, Lauralee. (2004). Human physiology: From cells to systems. 5th ed. California: Brooks/ Cole-Thomson Learning, Inc.