Keseimbangan as Basa

19
PENDAHULUAN Tubuh manusia merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai proses fisikokimia yang menunjang kehidupan sehari – hari. Tubuh selalu berusaha agar segala sesuatu yang ada didalamnya berada dalam rentang konstan agar tercapai keadaan homeostasis. Seluruh sistem metabolisme bekerja sama dengan harmonis satu sama lain dalam menjalankan fungsinya masing – masing. 1,2 Elektrolit dan cairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menjaga keseimbangan ini. Secara kimiawi, elektrolit adalah unsur – unsur yang berperan sebagai ion dalam larutan dan memiliki kapasitas untuk konduksi listrik. Dan keseimbangan elektrolit merupakan suatu hal yang penting agar sel dan organ dapat berfungsi secara normal. Elektrolit terdiri atas kation dan anion. Di dalam tubuh ada beberapa kation yang penting yaitu, natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Sedangkan anion yang penting adalah klorida, bikarbonat, dan fosfat.1,2,3 Gangguan keseimbangan elektrolit diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar elektrolit di dalam darah berada dalam rentang nilai yang tidak normal. Bisa melebihi nilai normal atau dibawah nilai normal. Implikasi dari keadaan ini berpengaruh dalam hal keseimbangan cairan dan fungsi – fungsi organ tubuh lainnya. Berbagai macam hal dapat menyebabkan ketidakseimbangan ini. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan asupan serta ekskresi adalah penyebab utamanya. Adanya gangguan dari sistem regulasi yang berperan, juga memberikan dampak dalam keseimbangan elektrolit.1,3 Dalam praktek klinik sehari – hari gangguan elektrolit merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai. Keadaan ini biasanya merupakan bagian manifestasi klinis dari penyakit dasar yang diderita pasien. Hampir 20 % pasien rawat inap mengalami gangguan elektrolit, yang disebabkan oleh bermacam hal, sehingga dalam pembiayaanpun menjadi hal yang diperhitungkan.4,5 Gangguan elektrolit seringkali terdiagnosis saat pasien dirawat di rumah sakit, terutama pada pasien – pasien dengan penyakit kritis. Keadaan ini berhubungan dengan meningkatnya risiko mortalitas di rumah sakit. Insidensi gangguan elektrolit terbanyak adalah gangguan kalium dan natrium. Sebanyak lebih dari 21 % pasien di rumah sakit mengalami hipokalemia dan 15 – 20 % mengalami hiponatremia. Pasien – pasien dengan hiperkalemia mencapai 1 – 10 %, sedangkan hipernatremia 0,3 – 5,5 % dari seluruh pasien yang dirawat. Hiperkalsemia terjadi pada lebih dari 70 % kasus keganasan. Hipomagnesemia muncul pada lebih dari 12% pasien, yang terkadang sering diabaikan oleh para klinisi.

description

asam basa

Transcript of Keseimbangan as Basa

Page 1: Keseimbangan as Basa

PENDAHULUAN

Tubuh manusia merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai proses

fisikokimia yang menunjang kehidupan sehari – hari. Tubuh selalu berusaha

agar segala sesuatu yang ada didalamnya berada dalam rentang konstan

agar tercapai keadaan homeostasis. Seluruh sistem metabolisme bekerja

sama dengan harmonis satu sama lain dalam menjalankan fungsinya masing

– masing. 1,2

Elektrolit dan cairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam

menjaga keseimbangan ini. Secara kimiawi, elektrolit adalah unsur – unsur

yang berperan sebagai ion dalam larutan dan memiliki kapasitas untuk

konduksi listrik. Dan keseimbangan elektrolit merupakan suatu hal yang

penting agar sel dan organ dapat berfungsi secara normal. Elektrolit terdiri

atas kation dan anion. Di dalam tubuh ada beberapa kation yang penting

yaitu, natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Sedangkan anion yang

penting adalah klorida, bikarbonat, dan fosfat.1,2,3

Gangguan keseimbangan elektrolit diartikan sebagai suatu keadaan dimana

kadar elektrolit di dalam darah berada dalam rentang nilai yang tidak normal.

Bisa melebihi nilai normal atau dibawah nilai normal. Implikasi dari keadaan

ini berpengaruh dalam hal keseimbangan cairan dan fungsi – fungsi organ

tubuh lainnya. Berbagai macam hal dapat menyebabkan ketidakseimbangan

ini. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan asupan serta ekskresi

adalah penyebab utamanya. Adanya gangguan dari sistem regulasi yang

berperan, juga memberikan dampak dalam keseimbangan elektrolit.1,3

Dalam praktek klinik sehari – hari gangguan elektrolit merupakan kelainan

yang sangat sering dijumpai. Keadaan ini biasanya merupakan bagian

manifestasi klinis dari penyakit dasar yang diderita pasien. Hampir 20 %

pasien rawat inap mengalami gangguan elektrolit, yang disebabkan oleh

bermacam hal, sehingga dalam pembiayaanpun menjadi hal yang

diperhitungkan.4,5

Gangguan elektrolit seringkali terdiagnosis saat pasien dirawat di rumah sakit,

terutama pada pasien – pasien dengan penyakit kritis. Keadaan ini

berhubungan dengan meningkatnya risiko mortalitas di rumah sakit. Insidensi

gangguan elektrolit terbanyak adalah gangguan kalium dan natrium.

Sebanyak lebih dari 21 % pasien di rumah sakit mengalami hipokalemia dan

15 – 20 % mengalami hiponatremia. Pasien – pasien dengan hiperkalemia

mencapai 1 – 10 %, sedangkan hipernatremia 0,3 – 5,5 % dari seluruh pasien

yang dirawat. Hiperkalsemia terjadi pada lebih dari 70 % kasus keganasan.

Hipomagnesemia muncul pada lebih dari 12% pasien, yang terkadang sering

diabaikan oleh para klinisi. 6,7,8,9,10,11

Mengingat tingginya angka kejadian gangguan keseimbangan elektrolit dalam

praktek klinik sehari–hari, terutama gangguan keseimbangan natrium, kalium,

kalsium dan magnesium, maka perlu adanya suatu pemahaman yang lebih

baik. Dengan pemahaman ini, akan memudahkan dalam hal penentuan

Page 2: Keseimbangan as Basa

diagnosis yang cepat dan akurat, sehingga terapi dan penatalaksanaan dapat

diberikan dengan cepat dan akurat pula. Atas dasar inilah refrat ini ditulis.

BAB II

FISIOLOGI ELEKTROLIT

2.1. Keseimbangan Natrium dan Cairan

Natrium adalah kation utama cairan ekstraseluler (CES). Dalam kondisi

fisiologis, Natrium (Na) serum memiliki rentang nilai antara 138 – 142 mmol/L.

Untuk menilai jumlah total partikel dalam darah, maka perlu diukur

osmolalitas serum. Osmolalitas serum memiliki nilai berkisar antara 280 – 290

mOsm/kgH2O. Osmolalitas diukur dengan rumus3 :

P_osm=2(Na)+(Nitrogen urea darah (mg/dl))/2,8+(glukosa(mg/dl))/18

Peningkatan osmolalitas akibat absorpsi Na atau kehilangan cairan yang

berlebihan, menyebabkan cairan intraseluler keluar untuk menyeimbangkan

tekanan osmotik. Untuk itu, perlu adanya suatu osmoregulator. Dalam hal ini,

ada suatu sensor atau osmoreseptor yang ada di hipotalamus, dan Anti

Diuretic Hormone (ADH), yang dikenal juga dengan antidiuretin atau

vasopressin. Ginjal berperan sebagai organ target ADH. 12,13

Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan

reabsorpsi oleh tubulus ginjal. Kondisi hipervolemi dan peningkatan asupan

Na akan meningkatkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), begitupula sebaliknya.

Perubahan pada LFG akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di tubulus.

Hampir 99 % Na yang sudah difiltrasi direabsorpsi kembali. Paling banyak

direabsorpsi di tubulus proksimal 65 %, ansa henle 25 – 30 %, dan 5 % saja di

tubulus distal dan 4 % di duktus koligentes.12,13

Setiap hari, sekitar 8 – 15 mg Natrium diabsorpsi setiap harinya. Ginjal harus

mengekskresikan dalam jumlah yang sama setiap waktu, untuk

mempertahankan homeostasis CES. Adapun faktor – faktor yang

mempengaruhi regulasi ini adalah 12:

Sistem Renin Angiotensin / Renin Angiotensin System ( RAS )

Aktivasi sistem ini meningkatkan retensi natrium melalui angiotensin II,

aldosteron dan ADH

Atriopeptin / Atrial Natriuretic Peptide (ANP)

Adalah hormon peptida yang disekresikan oleh sel spesifik dari atrium jantung

sebagai respon terhadap peningkatan volume CES. Hormon ini meningkatkan

ekskresi Na pada ginjal dengan meningkatkan fraksi filtrasi dan menginhibisi

reasorpsi natrium dari duktus koligentes.

ADH

Sekresi hormon ini distimulasi oleh :

Peningkatan osmolalitas plasma dan cairan serebrospinal

Reflek Gauer-Henry, yang muncul ketika terjadi peregangan reseptor di

atrium yang memberikan sinyal ke hipotalamus bahwa telah terjadi

penurunan jumlah CES > 10 %.

Page 3: Keseimbangan as Basa

Angiotensin II

Aldosteron

Efek hormon ini adalah menstimulasi reabsorpsi natrium. Sekresi hormon ini

distimulasi oleh angiotensin II

Gbr. 1. Regulasi Keseimbangan Air dan Garam12

2.2. Keseimbangan Kalium

Kalium (K) adalah kation utama kompartemen cairan intraseluler ( CIS ).

Sekitar 90 % asupan kalium diekskresikan di urin dan 10 % di feses.

Konsentrasi normal kalium di plasma adalah 3,5 – 4,8 mmol/L, sedangkan

konsentrasi intraseluler dapat 30 kali lebih tinggi, dan jumlahnya mencapai 98

% dari jumlah K keseluruhan. Walaupun kadar kalium di dalam CES hanya

berkisar 2 % saja, akan tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam

menjaga homeostasis. Perubahan sedikit saja pada kalium intraseluler, akan

berdampak besar pada konsentrasi kalium plasma.2,14

Keseimbangan Kalium diatur dengan menyeimbangkan antara pemasukan

dan ekskresi, serta distribusi antara intrasel dan ekstrasel. Regulasi akut

kalium ekstraseluler dicapai dengan perpindahan kalium internal antara CES

dan CIS. Ketika kadar kalium ekstrasel meningkat akibat asupan yang banyak,

atau disebabkan oleh pembebasan kalium internal, maka regulasi akut ini

akan terjadi. Regulasi ini merupakan kontrol hormonal, yaitu1,2,14 :

Insulin disekresikan segera setelah makan, dan ini akan menstimulasi Na, K,

ATPase dan mendistribusikan Kalium yang didapat dari sel–sel makhluk hidup

yang dimakan ke intrasel.

Epinefrin meningkatkan ambilan kalium sel, yang mana penting untuk kerja

otot dan trauma. Kedua kondisi ini memicu terjadinya peningkatan kalium

plasma.

Aldosteron juga berperan dalam meningkatkan konsentrasi kalium

intraseluler.

Perubahan pH mempengaruhi distribusi kalium ekstra dan intraseluler. Pada

asidosis, konsentrasi K ekstraseluler meningkat, sedangkan alkalosis

cenderung membuat hipokalemia.

Regulasi kronik untuk homeostasis K adalah oleh ginjal. 65 % dari K yang

difiltrasi, direabsorpsi sebelum mencapai akhir dari tubulus proksimal ginjal,

20% di tubulus distal, dan 15 % lainnya di ansa henle. Jumlah ekskersi kalium

ditentukan pada tubulus penghubung dan duktus koligentes Besarnya jumlah

K yang direabsorpsi atau disekresi tergantung kepada kebutuhan. Pada

keadaan dimana pemasukan berlebihan, maka ekskresi akan meningkat,

begitupula sebaliknya.13,14

2.3. Keseimbangan Kalsium

Ion kalsium (Ca) merupakan elektrolit yang banyak terdapat di ekstraseluler,

dimana 99 % disimpan di tulang. Kadar normal kalsium plasma adalah 8,1 –

10,5 mmol/L. Ca berfungsi pada sistem neuromuskular, konduksi saraf,

kontraksi otot, relaksasi otot, dan juga penting untuk mineralisasi tulang dan

merupakan kofaktor penting untuk sekresi hormon pada organ endokrin. Pada

Page 4: Keseimbangan as Basa

tingkat sel, Ca merupakan regulator penting untuk transpor ion dan integritas

membran. Tulang berperan ganda, dimana berperan sebagai yang mengambil

kalsium untuk stabilitas dan sebagai depot untuk keadaan suplai kalsium

yang rendah.2,9

Paratiroid Hormon (PTH), adalah suatu faktor yang penting dalam regulasi

keseimbangan kalsium dengan menurunkan ekskresi dan meningkatkan

absorpsi kalsium di ginjal dengan bantuan 1,25 COH2 Vitamin D3 (calcitrol),

dan merangsang osteoklas melepaskan kalsium dari tulang. Efek PTH di

tubulus adalah merangsang aktifitas 1 alfa hidroksilase yang akan memicu

produksi calcitrol. PTH meningkatkan reabsorpsi Ca di TAL, dan begitu juga

pada tubulus distal. Selain itu, calcitrol juga akan meningkatkan absorpsi

kalsium di intestinal. PTH bergantung kepada Calsium Sensing Reseptor (CSR)

untuk mendeteksi adanya kelebihan kalium serum, dan menghambat sekresi

PTH. PTH disekresikan oleh chief cells pada kelenjar paratiroid yang akan

meningkatkan kadar kalsium darah.2,9

Reasorbsi kalsium terjadi pada semua tubulus ginjal. 60 – 70 % terjadi di

tubulus proksimal, 30 % di Thick Ascending Limb (TAL) dari ansa henle.

Karena reasorpsi Ca pada TAL bergantung kepada reabsorpsi NaCl, maka

pada loop diuretic, kalsium diinhibisi untuk direabsorpsi. Asidosis

menghambat reabsorpsi kalsium dengan mekanisme yang belum dapat

dipahami.9,15,16

2.4. Keseimbangan Magnesium

Magnesium (Mg) adalah kation keempat terbanyak di dalam tubuh dan kation

ektraseluler kedua terbanyak. Konsentrasi magnesium plasma berkisar 0,7 –

1,2 mmol/L atau 1,5 – 1,9 mEq/L. Dan hampir 50 % terikat dengan protein.

Magnesium berperan penting dalam ratusan reaksi enzim yang merupakan

hal esensial bagi tubuh. Juga berperan dalam fungsi sel, termasuk transfer

energi, penyimpanan dan penggunaan protein dan karbohidrat dan

metabolisme lemak. Berperan juga dalam mempertahankan fungsi membran

sel, dan regulasi sekresi hormon paratiroid. Sekitar 60 – 65 % dari magnesium

tubuh disimpan di tulang dan selebihnya di dalam sel. Hanya 1 % saja yang

terdapat di ekstraseluler. Tulang merupakan reservoir bagi Mg. Selebihnya

dalam bentuk ion bebas di plasma. Keseimbangan Mg melibatkan ginjal, usus

halus, dan tulang. 2,8

Hampir 80 % magnesium difiltrasi diglomerulus, dan direasorpsi disepanjang

nefron. Mg direabsorpsi 15 % pada tubulus proximal. Sekitar 70 % terjadi

reabsorpsi paraseluler di Thick Ascending Limb (TAL) dari ansa henle.

Sebanyak 10 – 15 % lainnya dengan reabsorpsi transeluler di tubulus distal.

Regulasi ekskresi Mg2+ distimulasi oleh hipermagnesemia, hiperkalsemia,

hipervolemia dan loop diuretik. Dan mekanisme penghambat dipengaruhi

oleh defisit magnesium, kalsium dan volume cairan. Dan juga dipengaruhi

hormon paratiroid yang bekerja pada TAL. Seperti pada kalsium, Mg juga

berperan dalam regulasi sekresi PTH. Keadaan dimana kadar Mg plasma

Page 5: Keseimbangan as Basa

meningkat, akan menekan pelepasan PTH, begitu juga sebaliknya.2,8

BAB III

ETIOPATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

3.1. Gangguan Keseimbangan Natrium

3.1.1. Hiponatremia

Hiponatremia dapat terjadi pada keadaan tonisitas atau osmolalitas yang

rendah, normal ataupun tinggi. Sebagian besar kejadian hiponatremia

berkaitan dengan hipotonisitas, yang berarti bila jumlah asupan cairan

melebihi kemampuan eskresi.1,17,18

Etiologi dari hiponatremia dapat dibagi atas1,17 :

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal

pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke cairan

ekstra sel dapat menimbulkan hiponatremia dengan osmolalitas plasma

normal. Termasuk dalam hal ini, keadaan hiperproteinemia dan hiperlipidemia

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma tinggi

Pada keadaan osmolalitas plasma yang tinggi, seperti pada keadaan

hiperglikemia berat atau pemberian manitol intravena. Cairan intrasel akan

keluar ke ekstrasel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel, dan menyebabkan

hiponatremia.

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah

Terjadi pada keadaan seperti gagal jantung, sirosis, insufisiensi renal,

sindroma nefrotik. Keadaan-keadaan ini terjadi dengan volume CES yang

meningkat. Pada SIADH, volume CES normal dan pada keadaan muntah atau

pada pemakaian diuretik, volume CES menurun.

Hiponatremia akut diartikan sebagai kejadian hiponatremia dalam jangka

waktu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini tertjadi perpindahan cairan dari

ekstrasel ke intrasel, termasuk ke sel otak. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya edema otak yang mana keadaan ini merupakan keadaan berat

yang dapat menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran. Edema otak

yang terjadi, dibatasi oleh kranium disekitarnya, yang mengakibatkan

terjadinya hipertensi intrakranial dengan resiko brain injury17,18

Hiponatremia kronik diartikan sebagai keadaan hiponatremia dalam jangka

Page 6: Keseimbangan as Basa

waktu yang lebih dari 48 jam. Gejala yang timbul tidak berat karena ada

proses adaptasi. Pada keadaan ini, cairan akan keluar dari jaringan otak

dalam beberapa jam. Gejala yang timbul hanya berupa lemas dan

mengantuk, bahkan dapat tanpa gejala. Keadaan ini dikenal juga dengan

hiponatremia asimtomatik. Namun perlu diperhatikan pada proses adaptasi

ini dapat menjadi proses yang berlebihan yang berisiko terjadinya

demyelinisasi osmotik.1,18

3.1.2 Hipernatremia

Hipernatremia adalah suatu keadaan dengan defisit cairan relatif, dalam

artian merupakan keadaan hipertonisitas, atau hiperosmolalitas. Etiologi dari

hipernatremia adalah10,19 :

Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air yang melebihi ekskresi

natrium. Seperti pada pengeluaran keringat, insesible water loss, diare

osmotik akibat pemberian laktulosa atau sorbitol

Asupan air yang kurang, pada pasien dengan gangguan pusat rasa haus di

hipotalamus akibat tumor dan gangguan vaskuler

Penambahan natrium yang berlebihan, seperti pada koreksi asidosis dengan

bikarbonat, atau pemberian natrium yang berlebihan

Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel, misalnya setelah latihan fisik

berat.

Keadaan hipernatremia akan membuat cairan intraseluler keluar ke

ekstraseluler untuk menyeimbangkan osmolalitas cairan ekstrasel. Hal ini

akan membuat terjadinya pengkerutan sel, dan bila terjadi pada sel saraf

sistem saraf pusat, maka akan menimbulkan disfungsi kognitif, seperti lemah,

bingung, sampai kejang.10,19

3.2. Gangguan Keseimbangan Kalium

3.2.1. Hipokalemia

Penyebab hipokalemia antara lain1,7,13 :

Asupan kalium yang kurang. Secara fisiologis, ekskresi kalium di ginjal

sebanding dengan jumlah asupan. Hipokalemia jarang yang hanya

disebabkan asupan kalium yang rendah saja.

Pengeluaran Kalium yang berlebihan. Ekskresi kalium dapat melalui sistem

pencernaan, keringat atau ginjal. Beberapa etiologi ekskresi kalium

meningkat adalah muntah, pemakaian NGT, diare, pemakaian diuretik loop

dan tiazid serta hiperaldosteronisme.

Kalium berpindah dari ekstrasel ke intrasel (Redistribusi). Terjadi pada

keadaan alkalosis, pemberian insulin, pemakaian beta 2 agonis, paralysis

periodic hypokalemic, dan hipotermia. Konsentrasi ion kalium pada pada

ekstrasel sangat keci dan keadaan ini tidak tercermin pada jumlah kalium

serum. Pada hipokalemia kronik, penurunan kalium serum 1 mmol/L

sebanding dengan defisit 200 mmol/L kalium total tubuh, maka perlu

dipertahankan kalium serum > 4 mEq/L.

Defisiensi kalium dapat mempengaruhi berbagai sistem organ, seperti sistem

kardiovaskuler, otot dan ginjal. Hipokalemia dapat menyebabkan hipertensi

Page 7: Keseimbangan as Basa

dan aritmia ventrikel. Mekanisme terjadinya hipertensi masih belum dapat

dijelaskan dengan baik. Akan tetapi, keadaan ini dihubungkan dengan retensi

garam di ginjal, selain akibat berbagai proses hormonal. Aritmia terjadi akibat

membran potensial otot jantung yang terdepolarisasi sebagian, sehingga

terjadi automatisasi, atau akan muncul gelombang ‘u’, dan pemanjangan QT.

Gangguan jantung diperburuk oleh pengobatan digoksin dan pasien dengan

iskemia. Keadaan hipokalemia dapat memeperburuk hiperglikemia pada

pasien diabetes, akibat pengaruh terhadap pelepasan insulin dan sensitivitas

organ terhadap insulin. Rabdomiolisis dapat terjadi sebagai akibat dari

hiperpolarisasi sel otot rangka, selain adanya gejala kram, mialgia, dan

mudah lelah. Hipokalemia dapat mempengaruhi keseimbangan asam basa

sistemik, melalui efek terhadap berbagai komponen dari regulasi asam basa

di ginjal. 20

3.2.2. Hiperkalemia

Ada 2 mekanisme terjadinya hiperkalemia, yaitu1,20 :

Kelebihan asupan kalium melalui makanan. Buah–buahan dan sayur–sayuran

banyak mengandung kalium. Campuran garam dapat mengandung kalium,

dan kelebihan asupan dapat terjadi pada pemberian makanan enteral.

Keluarnya kalium dari intra sel ke ekstrasel. Keadaan asidosis metabolik,

selain yang disebabkan oleh KAD atau asidosis laktat, defisisensi insulin,

pemakaian beta blocker, dan pseudohiperkalemia akibat pengambilan sampel

darah yang lisis. Kelainan klinik bergantung kepada kadar kalsium, dan

keseimbangan asam-basa.

Berkurangnya ekskresi melalui ginjal. Terjadi pada keadaan

hiperaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif pada CHF

dan pemakaian siklosporin. Dewasa ini diketahui pemakaian ACE inhibitor

juga faktor resiko untuk hiperkalemia.

Pada hiperkalemia, terjadi peningkatan kepekaan membran sel, sehingga

dengan sedikit perubahan depolarisasi, potensial aksi dapat dengan mudah

terjadi. Hal ini menimbulkan kelemahan otot sampai paralisis dan gagal nafas.

Gejala yang paling buruk adalah penurunan kecepatan sistem konduksi

miokard dan meningkatkan repolarisasi miokard. Gangguan konduksi akan

menimbulkan pemanjangan PR interval, gelombang P yang mendatar atau

QRS kompleks melebar pada EKG. Peningkatan repolarisasi akan

menimbulkan gelombang T yang meninggi ( peaked T waves ), yang

merupakan keadaan yang berisiko terjadinya aritmia.21

3.3. Gangguan Keseimbangan Kalsium

3.3.1 Hipokalsemia

Keseimbangan kalsium diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan Vitamin D.

Hormon paratiroid bergantung kepada Calsium-sensing reseptor (CSR), untuk

mendeteksi adanya kelebihan kalium serum, dan merangsang PTH yang akan

meningkatkan kadar kalsium darah. Apabila CSR ini tidak ada maka akan

terjadi hipokalsemia. Pada gagal ginjal, PTH menstimulasi reabsorpsi

osteoklas tulang. Pada hipokalsemia serum, belum tentu terjadi hipokalsemia

Page 8: Keseimbangan as Basa

total. Total serum dapat tergambar dari penurunan albumin pada penyakit

sirosis, sindroma nefrotik dan malnutrisi. Hipokalsemi dapat menyebabkan

iritabilitas dan tetani. Pada keadaan alkalosis, dapat menimbulkan tetani

akibat penurunan kadarkalsium.21

Penyebab hipokalsemia antara lain:

Hipoparatiroidisme. Keadaan ini dapat herediter maupun didapat. Untuk yang

didapat, bisa terjadi karena iradiasi leher atau pasca paratiroidektomi, yang

dikenal dengan Hungry Bone Syndrome. Keadaan ini memberikan efek tulang

yang akan meabsorpsi Ca dalam jumlah besar

Penyebab yang berhubungan dengan Vitamin D yaitu, asupan yang kurang,

dan gangguan absorpsi. Pada keadaan penyakit kritis dan sepsis berat dapat

menjadipenyebab.21,22

Pada keadaan hipokalsemia, terjadi peningkatan eksitabilitas saraf di tangan

dan lengan, yang disebabkan oleh hipokalsemia, dan bila iskemia dibuat,

yaitu dengan menggunakan sfigmomanometer, akan muncul twitching.

Keadaan in dikenal dengan Trousseau’s Sign. Chovtek’s Sign dapat muncul

dengan cara mengetok pada titik tertentu pada wajah, yang ditandai dengan

adanya respon berupa twitching. Mekanisme terjadinya adalah adanya

stimulasi mekanik langsung serabut motorik wajah. Pada sistem

kardiovaskuler, efek berat hipokalsemia adalah ‘QT’ memanjang pada dan ST

interval yang memanjang pada EKG.22

3.3.2. Hiperkalsemia

Pada 90% kasus hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan dan

hiperparatiroidisme. Pada keganasan, disekresikan suatu PTH-related peptide

yang akan meningkatkan kadar Ca plasma. Keadaan ini muncul pada 80%

kasus hiperkalsemia pada keganasan. Pada 20 % kasus lainnya, terjadi akibat

hiperkalsemia osteolitik, dimana terjadi aktifitas osteoklastik yang mana

terjadi resorpsi tulang di sekitar jaringan tumor. Hal ini terjadi pada tumor

dengan metastase ke tulang.23

Hiperkalsemia mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Akan tetapi yang

paling utama adalah sistem saraf pusat dan ginjal. Pada sistem saraf pusat,

kalsium memberikan efek sebagai depresan langsung. Sehingga pada

keadaan kalsium yang tinggi, akan terjadi gangguan psikis berupa ansietas,

depresi dan perubahan kepribadian, Pada keadaan lanjut, dapat

menyebabkan penurunan kesadaran, bahkan kematian. Efek pada ginjal

adalah nefrolitiasis akibat dari hiperkalsiuria. Selain itu dapat terjadi poliuria

dan polidipsia. Fungsi ginjal menurun akibat vasokonstriksi renal akibat

hiperkalsemia. Efek pada saluran pencernaan adalah berupa mual, muntah,

konstipasi atau diare. Pada kardiovaskler, efek hiperkalsemia adalah berupa

pemendekan QT, pelebaran gelombang t, dan pelebaran QRS kompleks.2,9

3.4. Gangguan Keseimbangan Magnesium

3.4.1. Hipomagnesemia

Secara umum, hipomagnesemia terjadi akibat kehilangan pada sistem

pencernaan atau pada ginjal. Asupan yang kurang dapat pula menjadi

Page 9: Keseimbangan as Basa

penyebab. Hal ini biasa terjadi pada alkoholik, pemberian nutrisi enteral

dalam jangka waktu yang lama atau kelainan hipomagnesemia genetik.

Redistribusi dari intrasel ke ekstra sel terjadi pada keadaan hungry bone

syndrome, hiperadrenergik, pankreatitis akut dan Refeeding syndrome.

Gangguan Sistem Pencernaan seperti pada semua penyakit diare dapat

menyebabkan hipomagnesemia. Gangguan malabsorpsi juga merupakan

penyebab, dimana sering merupakan kelainan genetik.2,8

Ekskresi pada ginjal yang banyak terjadi pada penggunaan diuretik, alkoholik

akibat gangguan reasorbsi, hiperkalsemia, ekspansi volume cairan ekstrasel,

dan obat – obatan nefrotoksin seperti aminoglikosida, sisplatin, siklosforin A,

dan amfoterisin dan pentamidin. Barrter Syndrome dan Gitelman Syndrome

juga merupakan bagian dari kelompok penyebab ini, dimana Bartter

Syndrome merupakan kelainan pada transporter NaCl pada ansa henle ginjal,

sedangkan Gitelman Syndrome merupakan defek genetik yang berhubungan

dengan transporter NaCl pada tubulus distal ginjal.8,15

3.4.2. Hipermagnesemia

Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan ginjal terminal,

dimana ginjal tidak dapat lagi mengekskresikan Mg sebagai mana mestinya.

Selain itu, dapat juga disebabkan oleh asupan yang berlebihan, walaupun

sangat jarang terjadi. Penyebab paling banyak adalah akibat penggunaan

obat–obatan yang mengandung magnesium seperti pada antasida dan

beberapa laksansia. Penyebab lainnya adalah penggunaan litium untuk terapi

maupun diagnostik, hipotiroidisme, penyakit adison, penyakit hipokalsiurik

hiperkalsemia, milk alkali syndrome dan ketoasidosis diabetik. Selain itu, pada

keadaan kerusakan jaringan eksesif, seperti syok, sepsis atau luka bakar, juga

dapat menjadi penyebab. Hemolisis juga dapat menjadi faktor pencetus

hipermagnesemia, mengingat kadar Mg eritrosit tiga kali lebih banyak dari Mg

serum.2,21

BAB IV

DIAGNOSIS

4.1. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Natrium

4.1.1 Diagnosis Hiponatremia

Diagnosis ditegakkan bila natrium dibawah 135 mmol/L. Berdasarkan klinis,

hal yang penting kita tentukan adalah hiponatremia akut yang ditandai

dengan gejala kesadaran yang menurun dan kejang. Sedangkan

hiponateremia kronik ditandai dengan mengantuk dan lemas saja, bahkan

tanpa gejala. Dan untuk menentukan penyebab hiponatremia, perlu dilakukan

pemeriksaan osmolalitas serum, penilaian status Extracelluler Volume (ECV)

dan natrium urin. ECV diukur menggunakan perangkat laboratorium. Secara

langsung, ECV diukur dengan menggunakan zat kontras, dan diberi label

dengan inulin, manitol dan sorbitol.2,17,18

Page 10: Keseimbangan as Basa

Gbr. 2. Algoritma Penelusuran Etiologi Hiponatremia17

4.1.2 Diagnosis Hipernatremia

Diagnosis ditegakkan bila natrium palsma meningkat secara akut dengan nilai

di atas 155 mEq/L. Dan berakibat fatal bila diatas 185 mEq/L Berdasarkan

klinis dapat kita temui letargi, lemas, twitching, kejang dan akhirnya koma.

Untuk menentukan etiologi, selain pengukuran natrium serum, perlu

dilakukan pengukuran natrium urin dan dilakukan penilaian untuk osmolalitas

urin.2,17,19

Gbr. 3. Algoritma Penelusuran Etiologi Hipernatremia17

4.2. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Kalium

4.2.1. Diagnosis Hipokalemia

Diagnosis hipokalemia didasarkan kepada hasil pengukuran kalium serum

kecil dari 3,5 mmol/L. Untuk mengetahui penyebab, dilanjutkan dengan

pengukuran kalium urin, status asam basa dan Transtubular Kalium

Consentration Gradient (TTKG). Indeks ini menggambarkan konservasi kalium

pada duktus koligentes di korteks ginjal. Diukur dengan perhitungan :1,2,17

TTKG=(K urin)/(K plasma) ∶ (Osmolalitas Urin)/(Osmolalitas Plasma)

Etiologi hipokalemia dapat berupa1,2,17 :

Hipokalemia dengan ekskresi kalium pada urin meningkat menunjukkan

adanya pembuangan yang berlebihan

Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan asidosis metabolik

menunjukkan adanya pembuangan kalium yang berlebihan pada saluran

cerna seperti pada diare.

Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan alkalosis metabolik

menunjukkan adanya muntah kronik atau pemberian diuretik jangka lama.

Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan alkalosis metabolik dan

disertai hipotensi, merupakan pertanda Sindroma Bartter

Hipokalemia dengan ekskresi kalium tinggi dengan alkalosis metabolik dan

disertai tekanan darah tinggi merupakan pertanda hiperaldosteronisme

primer

Gejala hipokalemia dapat berupa kembung, otot kram, mialgia dan mudah

lelah. Bisa didapatkan hipertensi, dan perubahan pada EKG, yaitu gelombang

‘u’, QT memanjang, bahkan aritmia.2,17

Gbr. 4. Algoritma pernelusuran etiologi hipokalemia berdasarkan ekskresi

kalium urin17

Gbr. 5. Contoh EKG pada pasien dengan Hipokalemia7

4.2.2. Diagnosis Hiperkalemia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan nilai kalium serum diatas 5,1 mmol/L

dengan manifestasi klinis kelemahan otot sampai paralisis, sehingga pasien

merasa sesak nafas. Pemeriksaan EKG mutlak dilakukan untuk melihat

Page 11: Keseimbangan as Basa

adanya gelombang T yang tinggi dan runcing (T tall), AV Blok, QRS melebar

atau aritmia ventrikel. Untuk mencari penyebab hiperkalemia, perlu diukur

TTKG.2,20

Gbr. 6. Algoritma penelusuran etiologi hiperkalemia17

Gbr. 6. Gambaran T tall pada EKG17

4.3. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Kalsium

4.3.1. Diagnosis Hipokalsemia

Diagnosis dibuat berdasarkan kepada hasil pemeriksaan laboratorium,

dimana kalsium serum < 8,8 mmol/L, setelah nilai dikoreksi sesuai albumin

serum. Nilai koreksi :

Ca serum+ (0,8 × [albumin serum normal-albumin aktual] )

Gejala klinis dapat berupa19,22:

Terutama gejala neurologik, yaitu bingung, ensefalopati, depresi, psikosis

Tanda Chovstek, yaitu Kontraksi otot wajah yang dirangsang dengan

mengetuk ringan nervus fasialis pada lokasi – lokasi tertentu

Gbr. 7. Tanda Chovstek22

Tanda Trousseau, yaitu spasme karpopedal. Dapat dicetuskan dengan

pemasangan torniket selama 3 menit.

Gbr. 8. Tanda Trousseau22

4.3.2. Diagnosis Hiperkalsemia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kalsium serum diatas 10,5

mmol/L setelah nilai dikoreksi sesuai albumin serum. Nilai koreksi 21:

Ca serum+ (0,8 × [albumin serum normal-albumin aktual] )^

Gejala klinis dapat asimtomatik dan dapat berupa 15,23 :

Konstipasi, anoreksia, nausea, muntah, nyeri abdomen dan ileus

Pada peninggian yang lebih hebat, dapat muncul gejala emosi labil, delirium,

psikosis, lemas, dan kejang. Dapat terjadi nefrolotiasis atau uretrolitiasis

4.4. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Magnesium

4.4.1. Diagnosis Hipomagnesemia

Diagnosis hipomagnesemia ditegakkan berdasarkan nilai Mg serum dibawah

1,7 mmol/L. Pemeriksaan magnesium bukan merupakan bagian dari

pemeriksaan darah rutin untuk elektrolit. Kemungkinan adanya

hipomagnesemia harus dicurigai pada keadaan diare kronik, hipokalemia

berulang, hipokalsemia dan aritmia ventrikuler, khususnya pada keadaan

iskemik.8,24

Dalam menegakkan diagnosis, perlu dibedakan apakah kelainan disebabkan

oleh gangguan ginjal atau kehilangan dari gastrointestinal dan hal ini penting

untuk terapi. Dapat dibedakan dengan memeriksa Mg urin 24 jam atau

ekskresi fraksional. Excretion Fraction (EF) dihitung dengan rumus24 :

Page 12: Keseimbangan as Basa

〖EF〗_mg=(U_mg×P_Cr)/((0,7×P_mg ) )×U_Cr

PCr = Cr plasma, PMg = Mg plasma, UMg = Mg urin, UCr = Cr urin

Bila hasil EF24 :

Mg urin 24 jam 10 – 30 mg atau EF urin > 2 % pada pasien dengan fungsi

ginjal normal, maka maka penyebanya adalah renal wasting ini disebabkan

pemakaian diuretik, aminoglikosida atau cisplatin

Bila EF bernilai antara 0,5 % – 2,7 %, maka disebabkan oleh non-renal

(gastrointestinal).

Bila EF bernilai antara 4 – 48 %, disebabkan oleh kehilangan Mg di ginjal.

Klinis dapat berupa gangguan neuromuskuler, seperti kram sampai kejang.

Gangguan elektrolit lain, seperti hipokalemia, hipokalsemia. Gangguan

neurologi, seperti depresi, vertigo, delirium sampai koreoatetosis.

4.4.2. Diagnosis Hipermagnesemia

Hipermagnesemia diartikan sebagai kadar Mg serum diatas 2,3 mmol/L.

Berdasarkan klinis, dapat ditegakkan diagnosis. Adapun klinis

hipermagnesemia berupa : Nausea, flushing, sakit kepala, letargi, penurunan

refleks tendon. Dapat menjadi kelumpuhan otot, blok jantung dan kematian.

hipermagnesemia merupakan kasus yang jarang terjadi.2

BAB V

PENATALAKSANAAN

5.1. Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Natrium

5.1.1. Penatalaksanaan Hiponatremia

Prinsip penatalaksanan hiponatremia adalah dengan mengatasi penyakit

dasar dan menghentikan setiap obat yang ikut menyebabkan hiponatremia.

Sebelum memberikan terapi sebaiknya ditentukan apakah hiponatremia

merupakan hiponatremia hipoosmolalitas. Untuk hiponatremia

hiperosmolalitas, koreksi yang diberikan hanya berupa air saja. 18,21

Larutan pengganti yang diberikan adalah natrium hipertonik, bisa berupa

NaCl 3% atau 5% NaCl. Pada sediaan NaCl 3% yang biasa dipakai, terdapat

513 mmol dalam 1 liter larutan. Koreksi pada hiponatremia kronik yang tanpa

gejala, dapat diberikan sediaan oral, yaitu berupa tablet garam.18,21

Tabel. 1. Estimasi efek pemberian cairan infus untuk menaikkan kadar

natrium plasma18

Koreksi natrium secara intravena harus diberikan secara lambat, untuk

mencegah central pontin myelinolysis (CPM). Kadar Na plasma tidak boleh

dinaikkan lebih dari 10-12 mmol/L dalam 24 jam pertama. Terapi inisial

diberikan untuk mencegah udem serebri. Untuk hiponatremia akut dengan

gejala serius, koreksi dilakukan agak cepat. Kadar natrium plasma harus

dinaikkan sebanyak 1,5-2 mmol/L dalam waktu 3-4 jam pertama, sampai

gejala menghilang. Kecepatan cairan infus diberikan 2-3 ml/kg/jam, setelah

itu dilanjutkan dengan 1 ml/kg/jam, sampai kadar Na 130 mmol/L. Untuk

koreksi hiponatremia kronik, diberikan dengan target kenaikan sebesar 0,5

Page 13: Keseimbangan as Basa

mmol/L setiap 1 jam, maksimal 10 mmol/L dalam 24 jam. Kecepatan infus

dapat diberikan 0,5 – 1 ml/kg/jam. Pemantauan kadar Na serum harus

dilakukan setiap 2-4 jam. Untuk menetukan estimasi efek pemberian cairan

infus dalam menaikkan kadar natrium plasma, digunakan rumus:18,25

Perubahan Na serum= (Na dalam cairan infus-Na serum)/(TBW+1)

Saat ini sedang mulai dipakai sediaan vasopressin receptor antagonis untuk

meningkatkan kadar natrium. Sediaan ini akan menghambat reseptor V2 di

tubulus yang akan meningkatkan ekskresi air, kemudian akan memperbaiki

keadaan hiponatremia. Demeclocycline dan litium juga dapat dipakai dimana

sedian ini akan mengahambat respon ginjal terhadap vasopressin. Selain itu,

sediaan ini dapat juga diberikan sebagai pencegahan overkoreksi. Dosis

democlocycline dapat diberikan 300-600 mg perhari. 24,25

5.1.2 Penatalaksanaan Hipernatremia

Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremia.

Sebagian besar penyebab hipernatremia adalah defisit cairan tanpa elektrolit.

Penatalaksanaan hipernatremia dengan deplesi volume harus diatasi dengan

pemberian cairan isotonik sampai hemodinamik stabil. Selanjutnya defisit air

bisa dikoreksi dengan Dekstrosa 5% atau NaCl hipotonik. Hipernatremi

dengan kelebihan volume diatasi dengan diuresis. Kemudian diberikan

Dekstrosa 5% untuk mengganti defisit air.

Tabel 2. Estimasi efek pemberian cairan infus untuk menurunkan kadar

natrium plasma19

Untuk menghitung perubahan kadar Na serum, dapat ditentukan dengan

mengetahui kadar Na infus yang digunakan, dengan menggunakan rumus

yang sama pada koreksi hiponatremia. Perbedaannya hanya terletak pada

cairan infus yang digunakan. Dengan begitu, kita dapat melakukan estimasi

jumlah cairan yang akan digunakan dalam menurunkan kadar Na plasma.19

5.2 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Kalium

5.2.1. Penatalaksanaan Hipokalemi

Dalam melakukan koreksi kalium, perlu diperhatikan indikasinya, yaitu 2,14 :

Indikasi mutlak, yaitu pada pasien dalam keadaan pengobatan digitalis, KAD,

pasien dengan kelemahan otot nafas dan hipokalemia berat.

Indikasi kuat, yaitu diberikan dalam waktu yang tidak terlalu lama yaitu pada

keadaan insufisiensi koroner, ensefalopati hepatik dan penggunaan obat-obat

tertentu.

Indikasi sedang, dimana pemberian Kalium tidak perlu segera seperti pada

hipokalemia ringan dengan nilai K antara 3-3,5 mmol/L.

Pemberian Kalium dapat melalui oral. Pemberian 40-60 mmol/L dapat

meningkatkan kadar Kalium sebesar 1-1,5 mmol/L. Pemberian Kalium

intravena diberikan dalam larutan KCl dengan kecepatan 10-20 mmol/jam.

Pada keadaan dengan EKG yang abnormal, KCl diberikan dengan kecepatan

Page 14: Keseimbangan as Basa

40-100 mmol/jam. KCl dilarutkan dalam NaCl isotonik dengan perbandingan

20 mmol KCl dalam 100 ml NaCl isotonik melalui vena besar. Jika melalui vena

perifer, KCl maksimal 60 mmol dilarutkan dalam NaCl isotonik 1000 ml. Bila

melebihi kadar ini, dapat menimbulkan rasa nyeri dan sklerosis vena.

Kebutuhan Kalium dapat dihitung dengan rumus :7,21

(K yang diinginkan-K serum )/3 x BB

5.2.2. Penatalaksanaan Hiperkalemia

Penatalaksaan meliputi pemantauan EKG yang kontinu jika ada kelainan EKG

atau jika kalium serum lebih dari 7 mEq/L. Untuk mengatasi hiperkalemia

dalam membran sel, diberikan kalsium intravena, yang diberikan dalam

bentuk kalsium glukonat melalui intravena dengan sediaan 10 ml larutan 10%

selama 10 menit. Hal ini berguna untuk menstabilkan miokard dan sistem

konduksi jantung. Ini bisa diulang dengan interval 5 menit jika tidak ada

respon. 1,2

Memacu kalium kembali dari ekstrasel ke intrasel dengan cara pemberian 10

unit insulin dalam 50 ml glukosa 40% secara bolus intravena. Pemberian

natrium bikarbonat yang dapat meningkatkan pH sistemik yang akan

merangsang ion H keluar dari dalam sel dan menyebabkan ion K masuk ke

dalam sel. Bikarbonat diberikan sebanyak 50 mEq intravena selama 10 menit.

Hal ini dalam keadaan tanpa asidosis. Kemudian pemberian Beta 2 agonis

baik secara inhalasi maupun drip intravena. Obat ini akan merangsang pompa

NaK-ATPas dan Kalium masuk ke dalam sel. Mengeluarkan kelebihan Kalium

dari dalam tubuh dengan cara pemberian diuretik, resin penukar,

atau dialisis.14,22

Tabel 2. Opsi Penatalaksanaan hiperkalemia9

5.3 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Kalsium

5.3.1. Penatalaksanaan Hipokalsemia

Untuk menatalaksana hipokalsemia, sangat penting diperhatikan gejala klinis

yang muncul. Jika muncul tetani, berikan 10 ml Ca glukonat 10% selama 15-

30 menit. Kemudian dapat dilanjutkan dengan infus 60 ml Ca Glukonat dalam

500 ml Dekstrosa 5% dengan kecepatan 0,5-2 mg/Kg/jam dengan

pemantauan Kalsium setiap beberapa jam. Perlu diperiksa kadar Magnesium

serum dan koreksi jika ada kelainan. Pemantauan aritmia dengan EKG harus

dilakukan pada pasien yang mendapat digitalis. Koreksi dapat dilanjutkan

dengan pemberian Kalsium oral 1-7 gram/hari. Jika penyebabnya adalah

sekunder terhadap defisiensi vitamin D, maka perlu diberikan terapi

pengganti vitamin D.2,17

5.3.2. Penatalaksanaan Hiperkalsemia

Jika gejala berat atau Ca lebih dari 15 mg/dl, maka Ca serum harus diturunkan

secepat mungkin dengan cara diuresis paksa dan penggantian volume

intravaskular dengan normal saline. Dengan dosis 80-100 mg intravena per

12 jam dan normal saline diberikan 1-2 liter selama 24 jam pertama.

Kemudian awasi adanya hipokalemia, atau dengan memperbanyak minum air

sampai 3 liter perhari. 1,17,21

Page 15: Keseimbangan as Basa

Pemberian Kalsitonin 4-8 unit SC setiap 6-12 jam akan dapat menurunkan

Kalsium serum 1-3 mg/dl. Bifosfonat membantu untuk menghambat aktifitas

osteoklast, membantu pada hiperparatiroid dan keganasan. Penatalaksanaan

kronik diberikan dengan pengikat Kalsium oral, yaitu Etidronat oral 1200-1600

mg/hari.2,21,22

5.4 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Magnesium

5.4.1 Penatalaksanaan Hipomagnesemia

Dalam mengatasi hipomagnesemia, penyakit dasar harus segera diatasi. Pada

keadaan hipomagnesemia berat ( < 1 mmol/L dalam serum ), atau

hipomagnesemia simtomatik dengan kelainan neuromuskular, atau

manifestasi neurologis, atau aritmia jantung, maka penatalaksanaan

diberikan dengan pemberian 2 gram Magnesium sulfat (MgSO4) dalam 100 ml

Dekstrosa 5% dalam waktu 5-10 menit. Bisa diulangi sampai total 10 gram

dalam 6 jam berikutnya. Teruskan penggantian dengan infus lanjutan

sebanyak 4 g/hari selama 3 sampai 5 hari. Untuk mencegah rekurensi, maka

dapat diberikan pemberian Mg oksida secara oral dengan dosis 2 x 400 mg

perhari, atau dengan Mg glukonat 2 – 3 x 500 mg perhari. Jika tidak terlalu

berat, dosis Magnesium sulfat diberikan 0,03-0,06 gram/Kg/hari dalam 4-6

dosis hingga Magnesium serum normal. Teruskan terapi dengan sediaan oral

selama ada faktor pencetus. 8,21,24

5.4.2 Penatalaksanaan Hipermagnesemia

Penatalaksanaan dilakukan dengan cara pemberian Kalsium glukonat 10%

sebanyak 10-20 ml selama 10 menit atau CaCl2 10%s ebanyak 5-10 mg/Kg

secara IV. Kemudian pemberian diuretik diberikan untuk memacu ekskresi.

Pada pasien tanpa gangguan ginjal berat, dapat diberikan Ca glukonas 10 %

sebanyak 20 ml dalam 1 liter NaCl 0,9 %, dengan kecepatan 100 – 200 ml

perjam.2

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Diagnosis gangguan keseimbangan elektrolit ditegakkan berdasarkan temuan

klinis dan hasil laboratorium dengan nilai diatas atau dibawah normal

Penatalaksanaan gangguan keseimbangan elektrolit mencakup koreksi

elektrolit dan mengatasi penyakit yang mendasarinya

Pemahaman terhadap patofisiologi gangguan keseimbangan elektrolit akan

menuntun para klinisi untuk menetukan diagnosis dan penyebab gangguan

tersebut, sehingga penatalaksanaan dapat diberikan secara tepat.

6.2. Saran

Diperlukan pemahaman yang baik terhadap gangguan keseimbangan

elektrolit, sehingga dapat menegakkan diagnosis dengan cepat dan tepat,

Page 16: Keseimbangan as Basa

dan pada akhirnya dapat memberikan penanganan yang tepat dan cepat

pula.

DAFTAR PUSTAKA

Darwis D, Munajat Y, Nur MB, Madjid SA, Siregar P, Aniwidyaningsih, W, dkk.

Gangguan Keseimbangan Air, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI; 2010

Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam FKUI; 2006 : 529-37

Brenner R, Rector H, Livine AS. The Kidney. 7th ed. Pennsylvania: Elsevier;

2004: 775-1064

Shea MA, Hammil GB, Curtis HL, Szczech AL, Schulman AK et al. Medical Cost

of Abnormal Serum Sodium Levels. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-70,

Stelfox TH, Ahmed BS, Khandwala F, Zygun D, Shahpory R, Laupland K. The

Epidemiology of Intensive Care Unit-acquired hyponatremia and Hyperatremia

in Medical-surgical Intensive Care Units. Critical Care. 2008; 12 (6): 1-8

Thompson JC. Hyponatremia : New Association and New Treatment. European

Journal of Endocrinology. 2010; 162 : 161-3

Weiner DI, Wingo SC. Hypoklaemia – Consequences, Causes, and Correction. J

Am Soc Nephrol. 2000; 13 : 1180-87

Martin, JK. Clinical Consequences and Management of Hypomagnesemia. J Am

Soc Nephrol. 2009; 20: 2291-95

Ziegler R. Hypercalcemic Crisis. J Am Soc Nephrol. 2001; (12) S3-S9

Semenovskaya Z, Hypernatremia. [Internet] 2008 [Updated August 18, 2008;

Cited November 15, 2010]. Available from: http://www.emedicine.com

Lederer E. Hyperkalemia. [Internet] 2010 [Updated March 19, 2010; Cited

November 15, 2010]. Available from : http://www.emedicine.com

Dispopulous. Color Atlas of Physiology. 5th Ed. Stuttgart. AppleDruck; 2003

Guyton CA, Hall EJ. Text Book of Medical Physiology 11th ed. Pensylvania:

McGrawHills; 2006: 348-81

Mardiana N. Dissoreder of Potassium Metabolism. In Book of Annual Meeting

Pernefri 2009. Pernefri; Jakarta: 2009

Bindels JMR. 2009 Homer Smith Award : Minerals in Motion: From New Ion

Transporters to New Conceots. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-770

Orson W, Bony O. Genetic Hypercalciuria. J Am Soc Nephrol. 2005; 16: 729-45

Fauci SA, Braunwald E, Kasper LD, Hauser LS, Longo LD, Jameson LJ, et al.

Electrolites and Fluid Balances. In Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed.

New York: McGraw-Hill; 2009: 3-21

Adrogue JH, Madias EN. Hyponatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1581-89

Adrogue JH, Madias EN. Hypernatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1493-99

Weiner DI, Wingo SC. Hyperkalemia : A Potential Silent Killer. J Am Soc

Nephrol. 1998; 9: 1535-43

Page 17: Keseimbangan as Basa

Grabber AM. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Edisi ke 2. Jakarta:

Framedia; 2003

Urbano LF. Sign of Hypocalcemia : Chvostek’s and Trousseau’s Sign. Hospital

Physician. 2000 : 43-45

Agraharkar M. Hypercalcemia. [Internet] 2010. [Update: March 2010; Cited:

November 2010] available from: http://www.emedicine.com

Agus SZ. Hypomagnesemia. J Am Soc Nephrol. 1999; 10: 1616-22

Vaidya C, Ho W, Freda JB. Management of Hyponatremia : Providing

Treatment and Avoiding Harm. Cleve Clin J Med. October 2010; 77 (10): 715-

25About these ads