Kesadaran Individu Dalam Pengelolaan Makanan Sehat Dan Halal

download Kesadaran Individu Dalam Pengelolaan Makanan Sehat Dan Halal

of 32

Transcript of Kesadaran Individu Dalam Pengelolaan Makanan Sehat Dan Halal

Kesadaran Individu Dalam Pengelolaan Makanan Sehat Dan HalalA. PendahuluanSetiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Sebagai makhluk hidup manusia pun membutuhkan makanan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, setiap orang akan senantiasa berusaha mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelompok tertentu berpendirian bahwa hakikat hidup adalah bekerja untuk mencari makanan. Sehingga wajar jika kelompok Darwinian mengatakan bahwa perjuangan hidup adalah perjuangan untuk mendapatkan makanan. Hanya mereka yang mampu mendapatkan akses makanan sajalah yang dapat mempertahankan hak hidupnya. Sementara orang yang tidak mendapatkan akses pada makanan, dia akan mengalami ketersisihan dari kehidupan ini. Dalam hokum rimba, siapa yang dapat menguasai sumber-sumber produksi, maka dia yang memiliki untuk mempertahankan hidup lebih baik. Dengan menggunakan perspektif ini, fungsi makanan (lebih luasnya yaitu komoditas ekonomi) adalah alat selektor bagi kelangsungan hidup manusia. Makanan atau pola makanan menjadi alat alamiah yang menyeleksi manusia atau pengelompokan manusia. Perbedaan kepemilikan sumber dan bahan makanan mengelompokkan manusia menjadi orang kaya dan orang miskin, variasi jenis makanan mengelompokkan manusia menjadi orang kaya dan orang miskin, variasi jenis makanan mengelompokkan manusia menjadi orang modern dan orang tradisional, serta perbedaan gaya hidup mengenai makanan mengelompokkan manusia menjadi manusia gaul atau tidak. Berdasarkan pertimbangan ini, keberadaan makanan ternyata memberikan warna-warna kehidupan yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Makanan bukan lagi sekedar benda ekonomi yang hampa makna. Makanan justru merupakan entitas budaya yang tumbuh dan berkembang dalam tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan konteks sosial budaya, maka makanan itu ternyata mengansung makna yang lebih luas dibandingkan sekedar bahan konsumsi manusia.

B. Rumusan Masalah1. Bagaimanakah makanan yang sehat dan halal itu ?2. Apa saja nilai norma yang ada pada makanan ?3. Bagaimana relasi dari budaya dan sosial dengan makanan sehat dan halal ?4. Bagaimana menganalisa makanan yang sehat dan halal ?C. Tujuan Masalah1. Untuk mengetahui makanan yang sehat dan halal.2. Untuk mengetahui apa saja nilai norma yang ada pada makanan.3. Untuk mengetahui bagaimana relasi budaya dan sosial dan juga menganalisa makanan sehat dan halal.

A. PembahasanKonsumsi makanan yang halal dan menepis yang haram menjadi bagian inhern dari ajaran Islam, karena menyangkut dengan keimanan dan eksistensi seorang Muslim, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Quran dan hadits. Seiring dengan era globalisasi dengan cirinya yang saling keterkaitan (interdependensi) dan saling hubungan (korelasi) antar bangsa dan agama, beredarnya makanan multi Negara dan multi agama dalam suatu tempat menjadi hal yang tidak terelakan, terlepas sesuai tidaknya makanan tersebut dengan selera, nilai dan budaya suatu tempat. Akibatnya, banyak makanan beredar yang tidak jelas kehalalannya. Jika sertifikat halal yang dijadikan sebagai standart, maka hanya di bawah 10% yang jelas kehalalan makanan/minuman tersebut. untuk itu perlu digelorakan gerakan sadar halal di kalangan umat Islam sebagai pertahanan akhir umat Islam. Umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau mengkonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan tanda halal/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah. Fenomena yang demikian pada satu segi menunjukkan adanya tingkat kesadaran terhadap pelaksanaan keyakinan menurut hukum Islam, dan pada segi yang lain mendorong timbulnya sensitivitas mereka ketika pangan dan produk lainnya bersentuhan dengan unsur keharaman atau kehalalannya. Masalah halal dan haram bukan hanya merupakan isu yang sensitif di Indonesia, tetapi juga selalu mengusik keyakinan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam di seluruh dunia amat berkepentingan atas jaminan halal tidak saja terhadap produk makanan, minuman, dan produk lainnya namun juga terhadap proses produksi serta rekayasa genetik. Terhadap produk dan rekayasa genetik dimaksud dibutuhkan respons normatif dari negara guna memenuhi kebutuhan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dan norma filosofis negara, Pancasila.

Sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil produsen di Indonesia. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk yang telah meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dilempar untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal. Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.Pangan (makanan dan minuman) yang halal, dan baik merupakan syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya supaya dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Saat ini Islam merupakan agama yang paling cepat pertumbuhannya di dunia (Hariyadi, 2006).Di dalam Islam Allah melebihkan standart rezeki salah satu individu dari individu yang lain. Namun bukan berarti orang yang diberi rezeki lebih memperlakukan orang yang rendah dengan sewenang-wenangnya saja. Melainkan dibantu dengan cara memberikan sebagian lebih rezekinya kepada mereka yang membutuhkan. Seperti yang diterangkan dalam QS. An-Nahl ayat 71:

(71)Artinya: Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezeki itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu, maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah. (QS. An-Nahl [16]: 71) (Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki). Perbedaan dalam hal rezeki merupakan suatu yang jelas dan diketahui orang, dan nash Al-Quran menepiskan perbedaan ini serta mengalihkannya dengan menggunakan ungkapan kelebihan yang diberikan Allah SWT antara satu dengan yang lain dalam hal rezeki. Dalam masalah kelebihan karunia ini, ada sebab-sebabnya yang tunduk di bawah Sunnatullah, tidak ada maksud permainan atau tanpa tujuan.Kadang seseorang itu adalah seorang pemikir, akademis, dan orang yang berilmu, tetapi kemampuan atau berkatnya untuk mendapat rezeki dan mengembangkan itu sangat terbatas. Apa juga orang yang kelihatan bodoh, picik. Dan dungu, tetapi memiliki bakat dalam memeperoleh harta, mengolah, dan mengembangkannya.Manusia masing-masing memiliki bakat dan kemampuan yang beragam, maka ada sebagian pandangan yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara rezeki dengan kemampuan seseorang, akan tetapi itu tidak lebih dari sebuah kemampuan khusus di antara aspek kehidupan. Bisa jadi melimpahnya rezeki seseorang sebagai ujian dari Allah SWT, dan bisa jadi juga kesempitan harta untuk tujuan suatu hikmah yang datang dalam bentuk cobaan. Intinya, bagaimanapun keadaanya, perbedaan dalam hal rezeki adalah fenomena wajar dan terlihat, sebagai akibat dari perbedaan dan kecenderungan.[footnoteRef:2] [2: Al Miliji Athif, Dr. 2008. Keindahan Makna Al-Quran. Jakarta: Cendekia.]

Dalam bersosial dan berbudaya dengan sesama tentunya kita akan banyak mengenal dan banyak berinteraksi dengan berbagai ras, suku, dan agama dan akhirnya mempunyai banyak teman dan saudara. Kebanyakan banyak orang muslim yang merasa ragu mengenai makanan yang diperolehnya dari salah satu saudara atau kerabat yang non muslim. Allah berfirman dalam surat Al-Maidah: 5. (5)Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah [5]: 5).Pada ayat ini Allah SWT. menambahkan makanan yang baik-baik dan halal, sebagai pertanda kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, yaitu dengan dihalalkannya makanan (sembelihan) ahli kitab yang kesemuanya ini adalah merupakan nikmat duniawi.[footnoteRef:3] Secara umum, ayat ini menerangkan tentang makanan dan minuman yang baik-baik. Di antara makanan yang dibolehkan untuk dimakan adalah sembelihan ahli kitab yang terdiri dari Yahudi dan Nasrani. [3: Ali al-Sayis: 1953: 2: 168]

Firman Allah SWT: Artinya: Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu. (QS. Al-Maidah [5]: 5)Jumhur musafirin menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan thaam dalam ayat tersebut di atas adalah sembelihan Ahli Kitab, bukan roti, bukan buah-buahan atau makanan lainnya, sebagaimana yang diduga oleh sementara orang. Karena sembelihan itulah yang menyebabkan binatang menjadi halal. Adapun roti, buah-buahan dan lain sebagainya telah dihalalkan kepada orang-orang mukmin baik sebelum dimiliki oleh ahli kitab maupun sesudah berada di tangan mereka. Oleh sebab itu, tidak pada tempatnya untuk mengecualikan makanan-makanan tersebut bagi ahli kitab, karena makanan itu telah halal sebelumnya.Sejalan dengan itu, Al-Maraghi (1974: 6: 58) menyatakan: Artinya: Bahwa yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan, sebab selain dari itu sejak awal telah dihalalkan kepada kita.Maksdunya dari ungkapan ayat tersebut adalah kita dibolehkan memakan makanan hasil sembelihan ahli kitab, meskipun waktu menyembelihnya mereka menyebut/dengan nama AL-Masih atau Uzair, ataupun mereka beranggapan bahwa Tuhan itu tiga, namun sembelihan tersebut tetap halal bagi kita. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Atha berikut ini: .Artinya: Makanlah olehmu sembelihan orang-orang Nasrani, meskipun sewaktu menyembelihnya mereka menyebut Al-Masih, karena Allah telah membolehkan sembelihan mereka.(Al-Qurtubi: 6: 76)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abi Darda bahwa dia pernah ditanya tentang hukum seekor kambing yang disembelih lalu dihadiahkan untuk gereja yang bernama Jirjis, apakah boleh dimakan atau tidak, kemudian Abi Darda menjawab: Artinya: mudah-mudahan Allah mengampuni. Sesungguhnya mereka adalah Ahli Kitab. Makanan mereka halal untuk kita dan makanan kita boleh untuk mereka. kemudian ia memerintahkan untuk memakannya. (Al-Maraghi: 1974: 6: 59)Adapun sembelihan selain Ahli Kitab, seperti penyembahan berhala, Majusi, Buda, dan sebagainya tidak dihalalkan kepada kita untuk memakannya. Begitu pula mengawini perempuan mereka berdasarkan kepada firman Allah: Artinya: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah (Al-Anam [6]: 121)5. Makanan Sebagai Nilai SakralDi luar makna budaya, dalam kehidupan masyarakat Indonesia makanan pun ada yang mengandung nilai sakral dan ada yang mengandung nilai profan. Khususnya untuk makanan uang memiliki milai sakral, di antaranya dapat ditemukan dalam beberapa agamam atau budaya daerah Indonesia. Daging kambing kurban dan beras zakat merupakan makanan sakral dalam kehidupan bagi kalangan muslim. Kue sakramen merupakan makanan sakral bagi kalangan nasrani. Sapi adalah hewan sakral bagi maysarakat hindu. Rokok cerutu merupakan komoditas sakral bagi masyarakat Jawa karena biasa digunakan sebagai bagian dari sesaji bagi nenek moyang. Bagi masyarakat Islam, mengonsumsi makanan ini, tidak cukup hanya dengan memenuhi syarat halal, artinya cara mendapatkan dan cara syarat bersih (thayyib), tetapi juga harus memenuhi syarat halal, artinya cara mendapatkan dan cara mengolahnya sesuai dengan aturan dan norma yang ditentukan oleh ajaran agama. Dengan demikian, bagi masyarakat Islam mengonsumsi makanan merupakan bagian dari praktik agama itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan makanan mengandung nilai sakral.Dalam tradisi Jawa ada ritual memakan makanan tertentu yang terbiasa muncul dalam ritual keyakinannya. Mutih adalah ritual makan orang orang jawa untuk mengonsumsi yang tidak berasa (tawar) dalam rangka melakukan tirakat atau penyucian batin untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kasus lain, kelompok pencari kedigjayaan (istilah jawanya ngilmu), ada yang mensyaratkan makan bangkai-misalnya bangkai manusia-sebagai lelaku untuk mendapatkan ilmu ngilmu tersebut.6. Nilai Norma MakananSebelum menjelaskan beberapa kasus perilaku kesehatan yang terkait dengan masalah ekonomi, ada baiknya dikemukakan lebih dahulu megenai norma sosial yang berkembang di masyarakat. Norma sosial ini kita kembangkan dalam lima kategori norma.a. Makanan yang memiliki nilai pokok (wajib). Yang dimaksud wajib ini, yaitu makanan pokok dari sebuah kemunitas. Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, nasi merupakan makanan pokok dari masyarakat Sunda-Jawa, jagung menjadi makanan pokok masyarakat Madura. b. Makanan yang memiliki nilai anjuran (sunnah), yaitu komoditas makanan yang merupakan tambahan (suplemen). Di era modern ini, banyak produksi makanan yang berfungsi sebagai makanan/minuman suplemen. c. Makanan yang memiliki nilai mubah. Kelompok makanan ini, sesungguhnya belum diketahui efek positif atau negatifnya bagi kesehatan. Informasi yang baru diketahui itu, yang kandungan gizi makanan dari komoditas tersebut sangat rendah, sehingga tidak dianjurkan dan juga tidak menjadi sebuah pantangan.d. Makanan yang memiliki nilai pantangan. Sebuah masyarakat atau individu kadang memiliki pantangan. Karakter pantangan ini, lebih bersifat sementara. Bagi mereka yang akan dioperasi pantang makan, orang yang sedang sakit tipus dilarang makan makanan yang keras.e. Dalam kategori yang terakhir, yaitu pantangan mengonsumsi sebuah makanan yang bersifat permanen. Dalam ajaran agama, terdapat beberapa beberapa jenis makanan-minuman yang dilarang dikonsumsi secara permanen. 7. Makanan Sebagai Identitas KelompokNasi adalah satu komuditas makanan utama bagi masyarakat Sunda-Jawa. Semetara jagung menjadi komoditas makanan utama bagi masyarakat Madura. Bagi orang Barat, mereka tidak membutuhkan nasi setelah mengonsumsi roti karena roti merupakan makanan utama dalam budaya Barat. Persepsi dan penilaian seperti ini merupakan makna makanan sebagai budaya utama sebuah msyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila orang Sunda, kendati sudah makan roti kadangkala masih berkata belum makan karena dirinya belum menyantap nasi.Karena adanya kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan instan, banyak di antara masyarakat kota yang sudah mulai berpindah ke tradisi vegetarian. Bagi kelompok gang, menghirup ganja, narkoba, dan merokok merupakan ciri kelompoknya. Kacang diidentikkan sebagai makanan yang bisa menemani orang untuk nonton sepakbola. Merokok menjadi teman untuk menghadirkan inspirasi atau kreativitas. Pemahaman dan persepsi seperti ini lebih merupakan sebuah persepsi budaya tandingan (counter-culture) terhadap budaya dominan.Selain mengandung budaya dominan dan budaya tandingan, makanan pun menjadi bagian dari budaya populer. Bakso merupakan makanan populer bagi kelompok perempuan. Terakhir, makanan sebagai makanan khusus untuk kelompok tertentu. Makanan subkultur ini misalnya daging babai bagi kalangan nasrani, ketupat bagi kalangan muslim di hari lebaran, dodol bagi masyarakat Cina di hari Imlek, coklat menjadi ikon budaya dalam menunjukkan rasa cinta dan kasih.Berdasarkan telaahan ini, makanan mengandung makna sebagai (a) identitas arus budaya utama (dominan culture), artinya harus ada dan menjadi kebutuhan utama masyarakat, (b) budaya tandingan (counterculture), yaitu menghindari arus utama akibat adanya kesangsian atau ketidaksepakatan dengan budaya arus utama, dan (c) makanan sebagai identitas budaya lagi sekelompok tertentu (subculture).Alangkah lebih baiknya bahkan wajib untuk direalisasikan bila sebuah lembaga sosial (pabrik, kampus, pesantren) memiliki tim medis khusus yang siap jaga (stand by) dan bertugas untuk mengawasi kesehatan makanan atau minimal ada tim perawat kesehatan yang khusus menjaga keamanan dan kenyamanan pegawai/karyawan dalam mengonsumsi makanan.Di antara fungsi perawat kesehatan kerja (Harrington dan Gill, 2005:7) adalah memberikan supervise kesehatan, promosi kesehatan, serta mengembangkan dan melaksanakan imunisasi dan vaksinasi. Dalam konteks ini, petugas perawat kesehatan kerja (baik di pabrik, perusahaan, instansi, kampus atau pesantren) juga memiliki tanggung jawab terhadap pengawasan kesehatan konsumsi yang disediakan oleh lembaga atau organisasi.Pada sisi yang lain, sisi kefrustasian ekonomi masyarakat tersebut, berdampak luas pula terhadap perilaku masyarakat dalam pola makan. Masyarakat menjadi apatis dan tidak peduli terhadap angka kandungan gizi (AKG) makanan yang dikonsumsinya. Akibat tekanan ekonomi yang tinggi, banyak kejadian di masyarakat yang tidak mengabaikan kandungan gizi dari sebuah makanan. Oleh karena itu, tidak mengherankan, bila pada tahun 2006-2007, Indonesia diguncang oleh tingginya kasus polio dan gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi menyebabkan pola konsumsi masyarakat menjadi tanpa pertimbangan yang rasional. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, kadang sebuah keluarga mengonsumsi gaplek (ketela pohon) tanpa tambahan makanan yang lainnya.Bagian terakhir yang ingin dikemukakan di sini adalah perlunya pemerintahan melalui pelayanan kesehatan untuk melakukan promosi kesehatan tentang makanan. Masalah promosi kesehatan (helath promotion) ini menjadi salah satu strategi untuk meminimalisasi adanya keracunan makanan secara masal seperti yang sering terjadi saat ini. Pada sebuah perusahaan yang mengeluarkan kebijakan penyediaan makan bagi karyawan di perusahaan perlu menunjukkan kepeduliaannya dalam menjaga kesehatan karyawan. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporates social responsibility) atau lembaga dalam masalah kesehatan ini, perlu ditunjukkan dengan mengeluarkan kebijakan adanya tim khusus yang bertanggung jawab terhadap kesehatan makanan.Gerakan promosi kesehatan ini perlu dilakukan secara sinergis, kolektif, dan berkelanjutan. Hanya dengan gerakan sosial inilah, maka promosi kesehatan kepada masyarakat supaya peduli pada gizi makanan menjadi efektif. Kita semua patut prihatin. Sebab dengan adanya krisis ekonomi yang berkepajangan, pola konsumsi masyarakat kita jarang memerhartikan masalah kandungan gizi makanan. Namun, kondisi krisi ekonomi ini tidak perlu dijadikan alasan untuk menghentikan promosi kesehatan dalam bidang perubahan pola makan masyarakat kita. Kesehatan dan upaya memiliki makanan yang bergizi baik menjadi kewajiban hidup manusia selama hayatnya. Oleh karena itu, makak promosi kesehatan mengenai kesehatan makanan dan kandungan gizi makanan menjadi sangat penting untuk terus digalakkan. 8. Gaya Hidup dan Gaya MakanBerbeda dengan makanan sebagai keunggulan etnik, dalam gaya hidup modern ini ada makanan yang dianggapnya sebagai budaya universal. Makanan cepat saji di restoran-restoran cepat saji (fast food) merupakan satu di antara sekian banyak jenis makanan yang muncul ke permulaan sebagai makanan global. Ketika mengonsumsi dua jenis makanan ini, identitas etniknya musnah dan yang muncul adalah identitas gaya hidup modern yang sarat dengan prinsip hidup (1) mengutamakan efisiensi, artinya cepat saji, (2) prinsip kuantitatif, artinya jelas porsinya, (3) mudah prediksi, yaitu gampang menebak kapan berakhirnya, dan (4) adanya kontrol, pada masyarakat modern makan bukanlah sesuatu hal yang bebas nilai. Berawal dari budaya kelompok tertentu, pada saat ini sudah mulai muncul etika makan yang dijadikan alat kontrol untuk mengukur budaya seseorang dalam makan. Untuk sekedar contoh ketika makan tidak boleh memegang sendok dan garpu, jangan berbicara atau mengambil hidangan tanpa meletakkan peralatan makan terlebih dahulu dan selama jamuan makan berlangsung, jangan duduk membungkuk atau bersandar malas. Duduklah dengan tegak dengan jarak badan dengan tepi meja selebar lima jari. Hindari mengembangkan kedua belah siku dan meletakkannya di atas meja makan. Budaya dan gaya hidup itulah yang dkemudian disebut sebagai orang yang mengalami demam makanan cepat saji.A. PenutupDominasi kebudayaan manusia menjadi sangat berperan terutama dalam pola makannya. Makanan terkategorisasi menjadi makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. Makanan yang dianggap nutriment belum tentu menjadi makanan yang boleh dimakan. Begitu sebaliknya, makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan belum tentu memiliki nilai gizi yang memadai. Dengan demikian kategori makanan menjadi pemicu akan munculnya berbagai hal, seperti perilaku makan, perubahan gaya hidup, persepsi masyarakat, nilai keagamaan, ekspresi simbolik.Dimensi etis muncul ketika makanan berada di tangan konsumen, produsen, dan lingkungan manusia. Interaksi antara konsumen dengan produsen memunculkan aspek etis, yaitu hak dan kewajiban serta tanggung jawab moral. Berada pada posisi yang lemah, maka konsumen sebagai penyantap makanan berhak mendapat perlindungan dari instansi yang berwewenang, produsen (petani, peternak pemilik pabrik), ilmuwan tentang makanan yang disantapnya. Selain itu konsumen juga berhak untuk hidup sehat, mendapat kesetaraan kualitas makanan.Makanan yang baik dan sehat menjadi milik, dan hak bagi semua orang. Pola hubungan antara perilaku masyarakat dengan perilaku budayanya merupakan pola yang terstruktur oleh kesadaran masing-masing individu. Melalui pengaruh lingkungan serta pandangan hidupnya, maka kesadaran (cara berpikir) individu tersebut terbentuk sehingga menimbulkan berbagai persepsi ataupun pola berpikir yang sifatnya ideologis. Dampak persepsi tersebut memunculkan suatu bentuk masyarakat konsumtif (consumer society). Masyarakat konsumtif tersebut terbentuk karena munculnya teks label yang bersifat persuasif serta bersifat utopis, dan ideologis. Rekomendasi pada penelitian ini berupa perlunya kajian etika makanan yang berada pada dua tataran, teoritis dan praktis.Melalui persebaran informasi tentang pentingnya dimensi etis pada makanan, masyarakat, pemilik modal atau kelompok kapital diharapkan menjadi lebih paham tentang hak dan kewajiban masing-masing. Dengan demikian keberpihakan tidak hanya dilihat pada satu sisi ekonomis (konsumen atau produsen atau ilmuwan) tetapi keberpihakan moral yang dilandasi oleh kesadaran dan hati nurani yang baik.I. Analisis Makanan Sehat dan HalalDalam catatan antropologi, peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian masyarakat. Tahap pertama (gelombang hidup pertama) ditandai dengan adanya peradaban manusia yang didominasi oleh tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu dengan makan makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan atau memakan hasil hutan (hewan atau tumbuhan) yang diburu dan kemudian dibakar. Setelah terjadi revolusi atau gelombang peradaban yang pertama, manusia beranjak pada tahapan agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi memburu dan meramu, melainkan sudah pada tahap bercocok tanam. Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan. Namun, setelah adanya revolusi industri atau gelombang ketiga, olahan manusia ini berkembang dengan pesat. Dengan bantuan teknologi dan industrialisasi, berbagai jenis makanan, baik yang merupakan olahan dari bahan dasar tumbuhan dan hewan, maupun dengan bahan kimiawi bermunculan ke permukaan. Pada saat ini, manusia sudah bukan lagi hanya memakan hasil tanaman melainkan hasil olahan industri. Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda megenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini, sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakatnya. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang budaya berbeda akan menunjukkan persepsi nilai terhadap makanan yang berbeda. Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat saji (fast food). Hal ini mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya kompetisi hidup yang membutuhkan kerja keras. Padahal dibalik pola makanan tersebut, misalnya hasil olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi.Di Negara-negara industri maju, konsumsi garam relatif tinggi (kira-kira 10-12 g sehari atau setara dengan 2-2,5 sendok the sehari). Padahal kebutuhan tubuh seseorang hanya sekitar 5-7,5 g sehari bergantung pada usia. Nasional Academy of Science (NAS) memperkirakan bahwa jumlah garam dapur yang aman dan layak konsumsi setiap hari ialah 2,75-3,25 g per orang. Pola makan seperti ini diduga ada kaitannya dengan tingginya penderita stroke. Hal ini terkait dengan adanya tren penurunan penderita stroke di AS dan Eropa dalam 50 tahun terakhir, seirign dengan kebiasaan masyarakat Negara maju memasukkan makanan ke dalam lemari es untuk sarapan esok dari pada makanan kalengan atau awetan yang memiliki kadar garam tinggi.[footnoteRef:4] Pada konteks inilah, pola dan bahan makanan merupakan sebagian dari ciri pedukung dari perkembangan dan peradaban manusia. [4: Masitoh Dumas Busanta dan Stephanus Kurniadi, Sehat dengan Sedikit Garam dalam Rahasia Sehat Dibalik Makan, (Jakarta: Intisari, 2005), hlm. 103-104.]

Di suku Urala, India. Bagi suku bangsa ini, makanan tikus merupakan santapan harian yang tidak ada bedanya dengan binatang hutan yang lainnya. Bahkan suku Urala ini, sering diminta pertolongannya oleh suku lain untuk membasmi tikus-tikus yang menjadi wabah bagi pertanian.[footnoteRef:5] [5: Informasi didapat dari Lativi, 13 juni 2004.]

Uniknya suku Urala, mereka akan memburu tikus sampai kelubangnya dan jika mereka menemukan sisa biji-bijian atau padi yang dikonsumsi tikus, maka mereka pun akan membawanya pulang. dengan kata lain, selain mengonsumsi daging panggang tikus mereka pun terbiasa mengonsumsi sisa makanan yang dikonsumsi tikus itu sendiri. Daging tikusnya mereka panggang dan biji-bijiannya mereka tanak. Hal menarik terjadi pula dalam konsumsi daun ganja. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, daun ganja masih dipersiapkan sebagai salah satu daun psikotropika yang dapat memabukkan dan mengonsumsi sesuatu hal yang memabukkan adalah tindakan yang dilarang.

Namun, berbeda dengan masyarakat Aceh. Sebagai provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam, telah sejak lama menjadiakan daun ganja sebagai bagian dari penyedap sayuran. Bagi mereka daun ganja adalah sayuran dan tidak pernah memersepsikannya sebagai makanan yang dilarang. Kedua persepsi ini, kemudian dapat dijelaskan bahwa kedua masyarakat yang berbeda pandangan itu sesungguhnya menggunakan patokan nilai norma yang berlaku untuk memersepsikan makanan.Khususnya untuk kasus daun ganja ini, ada perbedaan sudut pandang. Kelompok pertama memandang daun ganja sebagai sesuatu yang haram karena termasuk psikotropika, yaitu pada saat memandang daun ganja unutk diisap. Daun ganja yang dibakar dan kemudian asapnya diisap inid apat menyebabkan orang mabuk. Pada konteks inilah, maka daun ganja menjadi makanan yang terlarang. Sementara kelompok kedua atau masyarakat Aceh memandangnya bahwa mengonsumsi daun ganja dengan cara disayur (bukan dibakar untuk diisap), maka persepsi terhadap daun ganja ini menjadi sesuatu hal yang dibolehkan.Bagi masyarakat Tuban-Mataram, minum tuak merupakan bagian dari konsumsi harian. Demikian pula bagi masyarakat Tiongkok. Mereka menggunakan tuak sebagai bagian dari konsumsi harian. Namun, bagi kelompok di luar masyarakat itu, ada yang memersepsikan tuak sebagai sesuatu yang dilarang agama. Alasan sederhananya, yaitu minuman tuak menyebabkan orang mabuk. Terkait dengan masalah ini, dapat disimpulkan bahwa makanan atau sesuatu yang yang dikonsumsi berprotein mengandung makna budaya yang berbeda antara budaya mayoritas (dominant culture) pada satu masyarakat dengan budaya mayoritas masyarakat lainnya.

A. STRENGTH (KEKUATAN)Pada tahun pertama kelahirannya sesuai dengan amanah MUI, lembaga ini mencoba membenahi berbagai masalah dalam makanan sehubungan dengan kehalalannya sehingga dapat menentramkan konsumen muslim khususnya dan konsumen Indonesia pada umumnya serta para produsen secara keseluruhan. Karena itu pada tahun-tahun pertama, LPPOM MUI berulang kali mengadakan seminar, diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu syariah, dan kunjungan-kunjungan yang bersifat studi perbandingan serta muzakarah. Semua dikerjakan dengan tujuan mempersiapkan diri untuk dapat menentukan suatu makanan halal atau tidak, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama. Pada awal tahun 1994, barulah LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal yang pertama kali. Sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI setelah melalui proses audit oleh para ahli di berbagai disiplin ilmu dan dikaji oleh Komisi Fatwa yang menguasai bidang syariah, ulumul Quran dan ulumul hadist.Masalah kehalalan produk yang akan dikonsumsi masyarakat merupakan persoalan besar dan urgen, sehingga apa yang akan dikonsumsi itu benar-benar halal, dan tidak tercampur sedikit pun barang haram. Di sisi lain, tidak semua orang dapat mengetahui kehalalan suatu produk secara pasti. Dalam sejarah perkembangan kehalalan di Indonesia, ada beberapa kasus yang berkaitan dengan masalah tersebut. Misalnya kasus lemak babi pada tahun 1988. Kasus tersebut tidak hanya menghebohkan umat Islam, tapi juga berpotensi meruntuhkan perekonomian nasional karena tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk pangan olahan yang menurun drastis.

Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka MUI mendirikan LPPOM MUI sebagai bagian dari upaya untuk memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan, obat-obatan dan kosmetika. LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 dan telah memberikan peranannya dalam menjaga kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan industri, tidak hanya memberikan pengaruh terhadap dunia ekonomi. Efek langsung dan tidak langsung dari kemajuan peradaban manusia ini, terasa pula dalam bentuk perubahan gaya hidup. Bila 10 tahun yang lalu, masih banyak terlihat para pengusaha atau karyawan makan di rumahnya sendiri serta seorang mahasiswa atau seorang anak kecil sarapan di rumah bersama keluarga. Dalam situasi zaman seperti ini, maka bersama dengan keluarga itu menjadi sesuatu hal yang istimewa dan didapatnya pada hari-hari istimewa misalnya saja pada hari libur bersama. Pada suatu saat, mungkin sempat melihat ada seorang istri dalam mobilnya duduk di samping kiri suaminya yang sedang memegang setir mobil menyuapi suami untuk makan pagi. Dalam satu waktu tertentu, mungkin sempat melihat anak kecil yang mau berangkat sekolah disuapi makan dalam kendaraan sepanjang jalan menuju lokasi sekolah. Inilah sebagai dari realitas gaya hidup di zaman modern, yang terkait dengan makanan. B. WEAKNESS (KELEMAHAN)Tingginya jam kerja atau padatnya aktivitas menyebabkan orang harus mengubah jam makan. Efek negatifnya, bagi mereka yang sibuk tetapi kurang mampu mengelola waktu kerap menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk menunda atau menangguh-nangguhkan makan. Aktivitas diorganiasi maupun di tempat kerja dapat menyita perhatian seseorang untuk memenuhi kebutuhan fisiologinya. Tidak mengherankan bila kemudian muncul penyakit tipus atau maag. Hal demikian, karena tidak adanya sikap disiplin dalam makan. Kejadian serupa dapat terjadi pada orang yang gila kerja (workacholic) hingga sampai melupakan jam makan atau tidak teraturnya pola makan. Hal yang menarik pula, dalam budaya kota ini muncul diverifikasi makanan sesuai dengan waktunya. Di kalangan mereka muncul ada pemahaman yang biasa dikonsumsi pada pagi, siang, dan malam hari. Ketika makan pun, ditemukan ada makanan pembuka, pokok, dan penutup. Lebih luasnya lagi, ada makanan uyang dikonsumsi pada hari-hari tertentu (ketupat di hari lebaran, cokelat di valentines day). Contoh mengenai persepsi budaya dan makanan ini dapat ditemukan pula dalam tanggapannya terhadap daging tikus. Bulan januari 2006, masyarakat Indonesia digemparkan oleh adanya isu bakso yang dicampur dengan daging tikus. Isu ini merebak di saat masyarakat kecil sedang mengalami kesulitan ekonomi yang akut dan berbagai sektor riil pun terganggu. Bukan hanya para pengusaha besar yang bebrbasiskan bahan baku impor, tetapi kalagan pedagang bakso pun turut merasakan adanya krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan.Para pedagang bakso ini, secara terbuka mengaku bahwa bahan baku daging sapi sangat mahal. Sementara harga bakso, tidak naik secara nyata. Sehingga hitung punya hitung, keuntungan dari harga bakso dengan materi daging sapi kurang menguntungkan. Maka salah satu alternatifnya adalah mengganti bahan daging sapi dengan daging tikus. Tikus yang dijadikan pengganti daging sapi ini, pada umumnya adalah tikus sawah, walaupun terkadang menggunakan tikus got bila memang terpaksa karena tidak mendapati tikus sawah.[footnoteRef:6] [6: Pandangan ini dikemukakan oleh Edi (nama samara), sebagaimana ditanyakan dalam Reportase Investigasi, Trans TV, Edisi 7 Januari 2006.]

Untuk mengelabui pembeli supaya tidak jijik makan bakso daging tikus, meka dimasak menggunakan bumbu yang lebih banyak, sehingga tercium harum. Dengan olahan seperti ini, maka tampilan fisik bakso daging sapi dan bakso daging tikus, sangat sulit utnuk dibedakan. Bahkan si pedagangnya pun, masih merasa kesulitan untuk membedakan antara bakso daging tikus dan bakso daging sapi.

Dengan adanya isu seperti ini serta merta popularitas pedagang bakso menurun. Mengapa ? jawaban sederhananya, karena masyarakat pada umumnya, menilai bahwa tikus merupakan binatang yang menjijikkan dan tidak layak uktuk dikonsumsi.Tekanan hidup dan tantangan hidup menyebabkan seseorang dapat melakukan perilaku yang menyimpang dari norma masyarakat arus utama. Salah satu perilaku menyimpang ini, yaitu munculnya parilaku masyarakat dalam memperdangankan makanan yang sudah tidak layak jual dal layak konsumsi secara medis. Gejala keracunan karena makanan hampir menjadi bagian dari berita bagi bangsa kita. Keracunan makanan di pesantren, di rumah penduduk yang sedang mengadakan syukuran, di pabrik, di kampus, dan lain sebagainya. Bila kejadian keracunan makanan tersebut terjadi hanya satu kali mungkin itdak menarik untuk deperhatikan. Namun, bila kejadian ini berulang dan terjadi di berbagai tempat, maka peristiwa keracunan makanan secara kolektif tersebut menjadi fenomena sosial yang perlu mendapat penafsiran yang saksama dari kita semua.Mungkin benar, bahwa proses keracunan dan peristiwa keracunan itu sendiri merupakan sebuah peristiwa medis. Khususnya bila dikaitkan dengan adanya bakteri atau kuman yang masuk ke dalam tubuh seseorang dengan makanan sebagai medianya. Persoalan ini sudah sangat jelas. Kalangan ilmuan medis hanya berusaha untuk mencari makanan mana yang mengandung kuman atau bakteri yang menjadi penyebab seseorang mengalami keracunan. Bila ditemukan sumbernya, maka selesailah sudah upaya pemecahan masalah misteri keracunan tersebut.Bagi orang awam, tampaknya jawaban tersebut belum selesai. Dengan ditemukannya jenis makanan yang mengandung sumber keracunan, tampaknya belum dapat mengungkapnya realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Dan oleh karena itu, perlu ada sebuah analisis lanjutan mengenai munculnya peristiwa keracunan makanan tersebut. berdasarkan pemikiran tersebut.

Di lain pihak, dalam kehidupan masyarakat muncul ada masalah-masalah yang terkait dengan perilaku manusia terhadap makanan. a. Pada kasus anak-anak, ada fenomena kesulitan untuk mengajari anak makan atau dalam kasus lain, yaitu adanya keengganan anak untuk mengonsumsi makanan tertentu.Dalam menelaah masalah ini, ada dua jawaban yang dapat dikemukakan dalam kesempatan ini. Pertama, yaitu kesalahan orang tua dalam memperkenalkan makanan di waktu bayi. Ketidakberimbangan atau keterlambatan orang tua memperkenalkan variasi rasa dan makanan menyebabkan peluang adanya penolakan anak terhadap rasa atau makanan tertentu. Dalam konteks ini, pendidikan makan bagi anak kecil menjadi sangat penting.Kedua, kejadian tersebut bisa terjadi karena adanya trauma atau alergi terhadap makanan tertentu. Misalnya saja ada anak yang menolak makan tempe, daging, dan nasi. Ketika diselidiki, ternyata sikap antipasti anak tersebut dipicu oleh adanya peristiwa yang menakutkan bagi dirinya, sehingga dia benar-benar trauma atau alergi terhadap makanan tersebut. b. Kesalahan persepsi tentang makanan. Seiring dengan perkembangan zaman, orang sudah mulai menggemari makanan kota. Pada sisi lain, ada persepsi-persepsi yang kurang tepat mengenai makanan desa misalnya tempe. Bagi sebagian orang makanan ini dianggap makanan orang kelas bawah atau makanan desa sehingga kadang orang bodoh disebut dengan istilah otak tempe. Padahal bila ditelaah dengan saksama, makanan tempe ini lebih baik daripada makanan instan yang banyak dikonsumsi orang kota. Karena makanan instan tersebut potensial menyebabkan kolesterol. Kesalahan persepsi ini muncul pula dalam bentuk mitos bahwa alkohol menawarkan pelarian dari masalah dan kebimbangan. Manusia lari dari hiruk-pikuk persoalan hidup untuk mencari kedamaian lewat minuman. Dia berusaha untuk meneggelamkan penderitaannya dengan harapan dapat menikmati surga imajinasinya. Beban yang dipikulnya akan terlupakan sejenak dalam masa singkat ketika ia sedang mabuk.Contoh lain, budaya ngemil menjadi bagian dari gaya hidup modern, yang dipersepsi sebagai bagian dari upaya menenagkan rasa dan pikiran. Oleh karena itu, orang stress katanya bisa melepaskan kekesalannya melalui makanan.c. Makanan dan kelas sosial. Persepsi mengenai makanan diidentifikasikan dengan kelas sosial mungkin terlalu mengada-ngada. Berdasarkan pemikiran seperti itu, maka wacana kali ini tidak berkepentingan dengan upaya pencarian sumber bakteri atau kuman yang menjadi penyebab keracunan kolektif. Wacana ini, memiliki kepedulian untuk konteks sosial yang lebih luas, yaitu menggali makna sosial mengapa masalah keracunan makanan ini kerap terjadi di lingkungan masyarakat kita. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua hal yang perlu diungkap dengan cermat, yaitu pola konsumsi dan tradisi pemasaran makanan. Pola konsusmsi, kita arahkan untuk membelah sebuah perilaku konsumsi masyarakat. Sedangkan tradisi pemasaran diarahkan untuk mendeskripsikan perilaku distributor atau produsen makanan dalam memasarkan makanannya. Dalam menganalisis kedua hal tersebut, pada dasarnya dapat dipisahkan dengan jelas, namun tetap perlu dipahami dalam konteks yang bersamaan karena kedua hal tersebut memiliki ruang transaksi kepentingan yang sangat erat. Untuk persoalan yang terkait dengan tradisi pemasaran, maka persoalan itu berkembang menjadi sebuah pertanyaan mengapa sebuah makanan yang berpotensi sebuah racun masih berkeliaran di masyarakat. Adakah sebuah indikasi bahwa masyarakat kita sudah kehilangan kepekaan dan moralitasnya terhadap tanggung jawab kolektif mengenai kesehatan publik? Mungkin Ya atau mugnkin tidak benar seluruhnya.Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) biasanya rajin mengawasi peredaran makanan menjelang hari raya-baik raya agama maupun hari raya nasional-sebagai salah satu sasaran operasinya. Dalam beberapa kasus, kerap muncul ada indikasi parsel yang mengandung makanan atau meniman yang sudah kadaluwarsa, tetapi masih dijajakan di pasaran. Padahal, semua orang tahu, makanan yang kadaluwarsa adalah makanan yang sudah tiadk layak di konsumsi. Mau tidak mau, gejala seperti ini, menuntun kita untuk pada kesimpulan bahwa tengah terjadi melemahnya kepekaan dan kepedulian kalangan distributor (dan juga produsen) terhadap kesehatan masyarakat. Atau dalam sisi lain, mereka lebih mengedepankan kepentingan ekonomi pribadinya daripada keselamatan dan kesehatan masyarakat.Gejala sosial yang menunjukkan lemahnya kepedulian pemilik modal terhadap kesehatan masyarakat di masyarakat ini dapat disebabkan oleh salah satu di antara penyebab ini, yaitu (a) kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan makanan, (b) adanya kefarustasian masyarakat terhadap tekanan ekonomi, serta (c) rendahnya tanggung jawab peternak/penjual terhadap kesehatan masyarakat. Fenomena ini merupakan salah satu bentuk kefrustasian ekonomi masyarakat dalam mengahadapi kebutuhan pangan. Bila fenomena tersebut dilihat dari sisi sosial, sudah barang tentu mengandung makna sosial yang tidak sederhana. Fenomena ini dapat ditafsirkan bahwa masyarakat kita sedang mengalami sakit. Secara sederhananya, gejala ini menunjukkan (a) lemahnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan makanan dan atau size makanan, (b) adanya kefrustasian masyarakat terhadap tekanan ekonomi, (c) rendahnya tanggung jawab peternak/penjual/produsen terhadap kesehatan masyarakat, dan (d) rendahnya Pengetahuan masyarakat terhadap kualitas makanan. Dalam suasana frustasi ekonomi, seorang produsen akan mengarahkan seluruh strateginya guna menjual produk makanannya. Mereka tidak peduli tanggal kadaluwarsa. Sementara anggota masyarakat yang sedang mengalami frustasi secara ekonomi, tidak akan memperdulikan masalah kesehatan makanan atau kandungan gizi makanan. Dalam benak mereka, yang penting bisa makan, atau yang penting terjangkau (murah meriah). Tidak peduli tentang kandungan gizinya.

Urgensinya promosi kesehatan ini dilandasi oleh adanya indikasi bahwa (a) masyarakat kita kurang Pengetahuan tentang status kesehatan makanan, (b) masyarakat tidak memiliki kepedulian terhadap tanggal kadaluwarsa makanan, dan (c) lemahnya pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi bagi tubuh. Kondisi ini merupakan sebuah tantangan yang nyata bahwa promosi kesehatan menjadi sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan. Rendahnya pemahaman atau Pengetahuan seseorang terhadap kesehatan gizi makanan merupakan faktor internal individu dalam mengonsumsi makanan. Hal demikian, bisa menyebabkan seseorang hanya bertindak asal makan tanpa memperhatikan kandunagn gizi makanan. Selain pemerintah, tanggung jawab kalangan industri dan distributor makanan dan obat pun, perlu dikembangkan. Tanpa adanya kesadaran dan tanggung jawab dari kelompok ini, maka peredaran makanan yang tidak sehat akan sulit dikendalikan. Dengan kata lain, para pengusaha atau distributor (pedagang eceran dan grosir) diharapkan tidak hanya mengedepankan keuntungan material, melainkan perlu pula menunjukkan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.Terjangkitnya busung lapar, pada satu sisi memang terjadi karena daya beli masyarakat yang lemah. Gara-gara krisis ekonomi, anggota masyarakat kita tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuhnya. Dengan kata lain, jangankan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang dan sempurna, untuk sekedar dapat makanan pun mereka sudah merasa beruntung. Sementara pada sisi lainnya, ini adalah potret buram wajah masyarakat mengenai kurangnya Pengetahuan masyarakat tentang gizi makanan. Masyarakat kita, sudah tidak memiliki kepedulian lagi terhadap pentingnya gizi makanan. Di tahun 2005, tersiar berita keracunan kolektif santri-santri Aceh pesantren Daarut Tauhid Bandung. Sementara kasus-kasus sebelumnya, ada keracunan yang terjadi pada sebuah pabrik, kampus perguruan tinggi, dan lingkungan masyarakat yang sedang mengadakan syukuran. Terkait dengan peristiwa-peristiwa tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, perlu ada kesadaran penuh dari si penggiat kegiatan untuk memahami kualitas makanan. Setiap anggota masyarakat yang akan menyelengarakan kegiatan massal perlu waspada terhadap status makanan yang akan disajikannya. Minimal tanggal kadaluwarsa (kalau memang ada tanggal kadaluwarsa).Kedua, makanan siap saji atau jajanan, memang jarang yang memiliki tanggal kadaluwarsa. Dalam posisi ini, maka seorang distributor perlu menunjukkan kesadaran dan kepeduliannya terhadap keselamatan masyarakat. Seorang distributor yang bertanggung jawab, harus mengategorikan dan menjaga kualitas kesehatan makanan. Makanan yang sudah basi atau kadaluwarsa, jangan dipasarkan. Pada titik ini, maka keluhuran dan keagungan moral seorang pedagang menjadi sangat teruji. Ketiga, khusus pada institusi sosial (pesantren atau pabrik) yang mengeluarkan kebajikan memberi makan kepada karyawan di dalam ruang pabrik, perlu menyesdiakan tim khusus yang bertanggung jawab tentang kesehatan makanan karyawan. Dengan adanya kasus keracunan mekanan pada sebuah pabrik atau supermarket mengindikasikan bahwa pembagian jatah ransum kepada karyawan oleh pemilik perusahaan memperlihatkan belum efektifnya pengawasan tim khusus kesehatan makanan pada lembaga tersebut. C. OPPORTUNITY (PELUANG)Makanan adalah ikon keunggulan budaya masyarakat. Semakin variatif makanan itu dikenal publik semakin apresiasi masyarakat terhadap daerah itu. Semakin luas distribusi wilayah pasar dari makanan tersebut, menunjukkan kualitas makanan tersebut diakui oleh masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu kesehatan, sekarang sudah banyak buku dan temuan penelitian yang mengulas mengenai manfaat makanan bagi peningkatan kesehatan. Kebutuhan vitamin atau gizi dapat dipenuhi jika seseorang mengonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna. Hembing telah mengembangkan pengobatan alternatif yang bersumber dari makanan atau ramuan. Hal ini menunjukkan bahwa memakan suatu makanan memiliki medis. Bahkan-sekali lagi, kendatipun belum didukung penelitian yang mencukupi-mengunyah permen karet, sekarang diakui sebagai salah satu pilihan untuk olahraga wajah. Sehingga pada akhirnya kepenatan hidup dapat dikurangi. Merujuk pada paparan tersebut, tidak salah lagi dapat dikatakan bahwa makanan bisa menjadi sumber penyebab hadirnya sebuah penyakit. Tetapi tidak dapat diingkari pula, bahwa makanan memiliki peran dan fungsi nyata sebagai sumber terapi kesehatan.Namun demikian, mengonsumsi makanan yang mengandung kandungan gizi seimbang (misalnya 4 sehat 5 sempurna), belumlah cukup untuk membangun individu yang sehat. Dalam penelitian terakhir, dikatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas kesehatan individu perlu menambahkan makanan yang 4 sehat dan 5 sempurna dengan gerak.David Morely adalah orang pertama yang memeperkenalkan penggunaan grafik tumbuh kembang fisik anak sebagai alat untuk memantau secara longitudinal kecukupan gizi anak dan mulai diadopsi di Indonesia sejak tahun 1974 dengan sebutan Kartu Menuju Sehat (KMS).[footnoteRef:7] [7: Sjahmien Moehji, lmu Gizi: Penanggulangan Gizi Buruk, jilid 2, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2003), hlm.9.]

Setiap tahap tumbuh kembang anak membutuhkan asupan gizi yang berbeda. Oleh karena itu, setiap orang tua tenaga medis perlu memerhatikan aspek asupan gizi bagi setiap tahap tumbuh kembang anak. Untuk sekedar contoh. Kebutuhan akan garam dapur mengandung unsur sodium dan chlor (NaCl). Unsur sodium penting untuk mengatur keseimbangan cairan di dalam tubuh, selain bertugas dalam transmisi saraf dan kerja otot. Kita boleh tidak makan garam, asal ada sodium dalam menu harian. Banyak menu harian yang menyimpan sodium dan itu sudah mencukupi kebutuhan tubuh. Namun, karena sodium yang secara alami terkandung dalam bahan makanan tidak berkaitan dengan chlor, tak memeberi cita rasa asin, tidak bermakna tubuh tak memeperoleh kecukupan sodium. Walaupun tidak terasa asin, daging sapi, sarden, keju, roti jagung, dan keripik kentang kaya unsur sodium. Demikian pula kebanyakan menu harian orang Eskimo, Dayak, dan Indian yang tidak asin namun tubuh tidak kekurangan sodium. Tubuh membutuhkan kurang dari 7 g gram dapur sehari atau setara dengan 3.000 mg sodium. Kebanyakan menu harian kita memberi berlipat-lipat kali lebih banyak dari itu.[footnoteRef:8] [8: Handrawan Nadesul, http.//www.suaramerdeka_com semata-mata fakta!.htm.]

Kesimpulan pemikiran ini menekankan bahwa mengonsumsi makanan bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan fisiologis seseorang. Oleh karena itu, usaha menjaga keseimbangan gizi dan atau konsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna merupakan usaha untuk mendukung para tujuan makanan dari sisi fisiologis. D. THREATS (TANTANGAN)Mengolah makanan menjadi asupan yang berguna untuk kesehatan tubuh, diperlukan pengetahuan mendasar tentang baik buruknya ragam metode pengolahan pada makanan. Bahan terbaik untuksayuran dan buahadalah yang ditanam secara organik (tanpa pestisida). Buah dan sayuran semacam ini sudah bisa didapatkan secara mudah di beberapa pasar swalayan. Pilihlah daging yang paling segar. Hindari daging yang sudah berwarna kebiru-biruan, apalagi yang sudah mengeluarkan aroma sedikit busuk. Untuk pemilihan ikan, pilihlah ikan yang paling segar, begitu juga dengan daging ayam. Walau tidak menjadi jaminan, daging yang lebih segar bebas dari bakteri dan kuman, dengan pengolahan yang tepat, volume bakteri dan kuman pada daging bisa dikurangi.Setidak-tidaknya belum ada proses pembusukkan yang mengandung kuman sertabakteri yang jauh lebih berbahaya bagi kesehatan. Disamping pemilihan bahan makanan, satu hal yang perlu diwaspadai ialah pemilihan alat masak. Jangan asal memilih dan menggunakan peralatan masak. Pastikan peralatan masak yang digunakan tidak terlapisi bahan kimia. Setelah pemilihan bahan makanan yang tepat, masih ada beberapa kiat untuk menghindari makanan yang ada untuk dikunjungi bakteri dan kuman selama pengolahan makanan berlangsung. Dari semua hal, yang terpenting adalah persiapan awal untuk mengolah makanan.

Pastikan seluruh alat-alat masak yang akan digunakan haruslah bersih dan steril.1. Hindarilah mengolah makanan atau makan dengan tangan kotor.2. Jangan memasak sambil bermain dengan hewan peliharaan.3. Hindari menggunakan lap yang sudah kotor untuk membersihkan meja dan perabotan makan.4. Lindungi dengan baik makanan jika hendak disimpan dalam waktu yang lama.5. Makanan yang tersaji besar sekali terkontaminasi kotoran kuman dan bakteri akibat hewan yang berkeliaran di sekitarnya.Kesterilan alat-alat masak memang sangat penting dalam hal mengolah makanan yang sehat dan bergizi lagi halal. Namun, makanan yang diolah juga harus teruji klinis dari segi penelitian dan pengkajian ilmiah, diantaranya:a. Melakukan penelitian dan pengkajian serta pengujian kehalalan suatu produk melalui laboratorium.b. Menjawab secara rutin permasalahan yang diajukan oleh perusahaan / industri dalam pengembangan suatu produk.c. Menetapkan standarisasi metoda pengujian laboratorium terhadap suatu produk berkerjasama dengan laboratorium lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi.Bagi umat muslim selain makanan dilihat dari segi kebersihan,juga dapat dilihat dari segi penetapan kehalalan produk makanan tersebut.a. Melakukan kegiatan audit (pemeriksaan) meliputi pengkajian dokumen asal usul bahan, audit di lapangan, mengkaji hasil audit dalam forum rapat tim ahli.b. Mengembangkan mekanisme kontrol dalam menjamin konsistensi dan kesinambungan produk halal dengan cara mewajibkan perusahaan yang disertifikasi halal untuk menerapkan Sistem Jaminan Halal.c. Melakukan pengkajian syariy terhadap temuan hasil audit.d. Menetapkan fatwa kehalalan suatu produk yang dikeluarkan dalam bentuk sertifikat halal (fatwa tertulis).e. Mengembangkan standar tata cara produksi produk halal, sistem jaminan halal, standar persetujuan lembaga sertifikasi halal dan standar kompetensi auditor.f. Melakukan pelatihan calon auditor halal bekerjasama dengan Pemerintah.g. Melakukan pelatihan auditor halal internal perusahaan baik dalam maupun luar negeri secara berkala dalam menyusun strategi dan teknik implementasi Sistem Jaminan Halal.

II. Interpretasi Data Makanan Sehat dan HalalKategori makan yang muncul adalah makanan yang boleh dimakan dan makanan yang tidak boleh dimakan. Kategori tersebut berasal dari latar belakang budaya masyarakat yang mengijinkan orang untuk memakan makanan tertentu. Makanan yang tidak boleh dimakan berarti makanan tersebut dianggap sebagai makanan yang tidak sepatutnya dimakan (haram) karena tidak dijinkan oleh norma budaya yang ada dan agama.Mengkonsumsi produk halal menurut keyakinan agama dan/atau demi kualitas hidup dan kehidupan, merupakan hak warga negara yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945, sesuai falsafah Pancasila, dan merupakan ibadah. Dengan demikian, mengkonsumsi produk halal menjadi persoalan sosial di masyarakat sekaligus menjadi tanggung jawab negara dengan segi pemikiran yang sama, yakni terjaminnya produk halal. Kejujuran produsen, kewaspadaan konsumen, serta regulasi negara, merupakan kesatuan integral penegakan hukum mengenai produk halal. Salah satu masalah produk halal adalah mengenai sertifikasi halal yang bertujuan melindungi masyarakat dari produk haram dan membahayakan kesehatan. Akan tetapi kerapkali terjadi silang kepentingan dalam prakteknya, terutama antara produsen dan konsumen. Konsumen muslim ditekankan meneliti tentang kehalalan sebuah produk. Di antara tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan cara memperhatikan tanda dan registrasi halal pada kemasan produk tersebut. Mencermati kehalalan sebuah produk memang dianjurkan meskipun di sisi lain disadari, konsumen muslim akhir-akhir ini mulai menyadari pentingnya aspek kehalalan baik yang terkait dengan produk makanan, minuman, obat, dan kosmetika, dan juga terhadap produk hasil proses kimia biologis dan rekayasa genetik. Perkembangan jaman dengan segala piranti pendukungnya tampaknya menjadikan masyarakat bersikap demikian.Kehati-hatian konsumen dalam memilih produk ini tetap penting. Betapa tidak, berdasarkan fakta mengenai peredaran makanan dan minuman di Indonesia, sertifikasi serta penandaan kehalalan suatu produk, baru menjangkau sebagian kecil produk di Indonesia.Selain persoalan-persoalan tersebut, muncul beberapa fenomena sosial yang unik di masyarakat. Fenomena ini, masih terakit dengan perilaku manusia dalam memperlakukan makanan. Pada satu sisi, setiap orang tua atau medis harus memerhatikan kebutuhan asupan makanan sesuai dengan siklus hidup individu tersebut.

DAFTAR PUSTAKAAbi Al-Fida Ismail bin Katsir. 1970. Tafsir Al-Quran Al-Azhim. Bairut: Dar Al-Fikri.Abu Hayyan, t.t. Tafsir al-Bahr al-Muhith. Kairo: Maktbah al-Nashr al-Jaridah.Ahmad, Abdullah t.t. Tafsir Al-Quran al-Jalil, Haqaiq at-Tawil. Beirut: Maktabah al-Amawiyah.Al Miliji Athif, Dr. 2008. Keindahan Makna Al-Quran. Jakarta: Cendekia.Anton Apriyanto. Pemenuhan Kehalalan, Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan. Institut Pertanian Bogor., Tahun ....Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka UtamaE.Harrison Lawrence dan P. Huntington Samuel. 2006. Kebangkkitan Peran budaya. Cetakan Pertama. Jakarta: LP3ES.Gadjahnata, K.H.O. 1997. Biologi Medis dalam Ayat-ayat Al-Quran. Dalam Mukjizat Al-Quran dan As-Sunnah tentang IPTEK. Jakarta: GIP.Herimanto, Drs., M.Pd., M.Si dan Winarno, S.Pd., M.Si. 2013. Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Cetakan ketujuh. Jakarta: Bumi Aksara.Hj. Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, Pustaka Jurnal Halal, 2008.Kalangi, Nico. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Jakarta: MegapoinMAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 65-70Meliono-Budianto, Irmayanti. 2002. Realitas dan Objektivitas, Jakarta: Wedatama Widya SastraMuthahhari, Murtadho. 1992. Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan.Rigth, Norman W. 2000. Konseling Krisis dan Stress. Jakarta: Gandum Mas.Sajogyo, Savitri. 2005. Rahasia Sehat dibalik Makanan. Jakarta: Intisari.Sudarmon Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.Sumardi Mulyanto & Evers Hans-Dieter, ed. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali.Suratman, SH., M.Hum, Munir MBM Drs., MH., Salamah Umi, M.Pd., 2013. Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Cetakan ketiga. Malang: Intermedia.Syarjaya H.E. Syibli. 2008. Tafsir Ayat-ayat Ahkam. Jakarta: Rajawali.1