Kerangka Ekonomi Makro Dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011
-
Upload
fathi-dayat -
Category
Documents
-
view
5.897 -
download
4
Transcript of Kerangka Ekonomi Makro Dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, anugerah, dan
kesempatan yang diberikan sehingga penyusunan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok‐
pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Tahun Anggaran 2011 dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penyampaian KEM dan PPKF merupakan amanat konstitusi yang tertuang di dalam Undang‐
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 157. Ketentuan dalam
pasal tersebut mewajibkan pemerintah untuk menyampaikan KEM dan PPKF sebagai bahan
pembahasan untuk penyusunan Rancangan APBN kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada
tanggal 20 Mei tahun sebelumnya. Mengacu hal tersebut, pemerintah telah selesai menyusun
dan menyampaikan KEM dan PPKF Tahun Anggaran 2011 kepada DPR RI, untuk selanjutnya
dibahas bersama dengan dewan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam penyusunan dokumen KEM dan PPKF kali ini, terdapat nuansa yang agak berbeda
dibandingkan tahun‐tahun sebelumnya. Isi dalam dokumen ini menggambarkan desain lanjutan
dari arah kebijakan dan pembangunan ekonomi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) periode 2010 – 2014. Hal tersebut karena merupakan periode kedua
pelaksanaan pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Oleh karenanya, sangat disadari
bahwa tuntutan dan harapan atas keberhasilan pembangunan yang dapat dirasakan dan
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat juga menjadi semakin besar. Selain itu, penyampaian
KEM dan PPKF Tahun Anggaran 2011 di dalam Rapat Paripurna DPR RI merupakan peristiwa
pertama kali yang dilaksanakan.
Secara garis besar, Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok‐Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011 ini
berisikan mengenai tiga hal, yaitu: (i) Kinerja perekonomian tahun 2009 dan prognosa tahun
2010; (ii) Tantangan dan sasaran pembangunan tahun 2011; dan (iii) Pokok‐pokok kebijakan
fiskal tahun 2010 dan tahun 2011. Penyusunan KEM dan PPKF tahun 2011 dilakukan dalam
situasi ekonomi global yang memasuki masa pemulihan pasca krisis tahun 2008 dan 2009 yang
berpengaruh positif pada kinerja perekonomian domestik.
Perkembangan positif kinerja ekonomi global maupun domestik tersebut, harus kita jadikan
momentum untuk melangkah lebih optimis lagi. Pertumbuhan ekonomi harus mampu
berakselerasi pada titik yang lebih tinggi dari pencapaian selama ini. Selain itu, pertumbuhan
ekonomi juga harus lebih berkualitas dalam artian harus bisa memenuhi tiga syarat, yaitu:
(i) mampu membuka lapangan kerja serta bisa menurunkan angka pengangguran dan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
ii
kemiskinan, (ii) bersifat inklusif dan berdimensi pemerataan; serta (iii) strukturnya harus
ditopang secara proporsional oleh berbagai sektor pendukungnya baik dari pendekatan
permintaan agregat maupun penawaran agregat.
Dalam rangka mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkualitas
tersebut, APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal harus didesain sesuai dengan
fungsinya baik sebagai alat stabilisasi ekonomi, alat memobilisasi dana masyarakat, maupun
alat distribusi pendapatan. Selain itu, kebijakan alokasi anggaran dalam APBN akan diarahkan
kepada upaya mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan ekonomi,
memantapkan pengelolaan keuangan negara, serta mendukung pelaksanaan otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal. Kebijakan tersebut sesuai dengan tema Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) Tahun 2011 yaitu ”Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh
Pemantapan Tatakelola dan Sinergi Pusat Daerah”.
Dalam rangka mendukung pencapaian berbagai sasaran pembangunan 2011, postur APBN
Tahun 2011 disusun dengan prinsip dasar optimalisasi sumber‐sumber penerimaan negara
serta pelaksanaan efisiensi dan efektivitas di bidang belanja negara. Selain itu, penetapan
besaran defisit didasarkan pada tetap terjaganya konsolidasi dan kesinambungan fiskal serta
memperhatikan kemampuan keuangan negara untuk bisa menutup defisit tersebut dari
sumber‐sumber pembiayaan yang tidak memberatkan di masa kini dan mendatang.
Sebelum menutup kata pengantar ini, kami ucapkan terima kasih kepada pihak‐pihak yang
telah membantu dan berupaya untuk menyelesaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok‐
Pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2011, sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan. Berbagai kekurangan atau keterbatasan atas isi dari dokumen tersebut, kami akan
perbaiki seiring dengan bertambahnya informasi dan adanya berbagai masukan atau
pandangan yang berharga. Dokumen KEM dan PPKF Tahun Anggaran 2011 ini untuk kemudian
akan menjadi dasar dalam pembahasan Pemerintah bersama‐sama dengan DPR RI sebelum
dituangkan dalam Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2011.
Jakarta, Mei 2010
Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan RI
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................................................... iii
DAFTAR GRAFIK ......................................................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................................. 1
BAB II KINERJA PEREKONOMIAN 2009 DAN PROYEKSI 2010 ............................................... 4
A. Perkembangan Perekonomian Global ..................................................................................................... 4 1. Pertumbuhan Ekonomi Dunia ........................................................................................................................................... 4 2. Volume Perdagangan Dunia ............................................................................................................................................... 8
B. Perekonomian Domestik ................................................................................................................................. 9 1. Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................................................................................................ 9 2. Nilai Tukar ............................................................................................................................................................................... 14 3. Inflasi ......................................................................................................................................................................................... 16 4. Suku Bunga SBI 3 bulan .................................................................................................................................................... 17 5. Harga dan Lifting Minyak Indonesia ............................................................................................................................ 18 6. Neraca Pembayaran ............................................................................................................................................................ 22 7. Ketenagakerjaan dan Kemiskinan ................................................................................................................................ 25
BAB III TANTANGAN PEREKONOMIAN DAN SASARAN EKONOMI MAKRO 2011 ....... 28
A. Tantangan ................................................................................................................................................................................. 28 1. Tantangan Perekonomian Global 2011 ...................................................................................................................... 28 2. Tantangan Perekonomian Domestik ........................................................................................................................... 30
B. Sasaran ..................................................................................................................................................................... 31 1. Pertumbuhan Ekonomi ..................................................................................................................................................... 31 2. Nilai Tukar ............................................................................................................................................................................... 35 3. Inflasi ......................................................................................................................................................................................... 36 4. Suku Bunga SBI 3 bulan .................................................................................................................................................... 37 5. Harga dan Lifting Minyak ................................................................................................................................................. 37 6. Ketenagakerjaan dan Kemiskinan ................................................................................................................................ 38
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
iv
BAB IV POKOKPOKOK KEBIJAKAN FISKAL TAHUN 2011 ................................................... 40
A. Pelaksanaan Kebijakan Fiskal 2009 dan Proyeksi 2010 .................................................................... 40 1. Pendapatan Negara dan Hibah ....................................................................................................................................... 42 2. Belanja Negara ...................................................................................................................................................................... 46 3. Pembiayaan Anggaran ....................................................................................................................................................... 49
B. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 2011 ............................................................................................... 51
C. SASARAN DAN KEBIJAKAN FISKAL 2011 ............................................................................................... 51 1. Kebijakan Pendapatan Negara ....................................................................................................................................... 54 2. Kebijakan Belanja Negara ................................................................................................................................................ 57 3. Kebijakan Pembiayaan Anggaran ................................................................................................................................. 63 4. Risiko Fiskal............................................................................................................................................................................ 65
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
v
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK II.1 PERTUMBUHAN EKONOMI AS DAN NEGARA MAJU ASIA .................................................... 5
GRAFIK II.2 PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA MAJU EROPA ................................................................. 5
GRAFIK II.3 PERTUMBUHAN EKONOMI AS DAN NEGARA MAJU DI ASIA ............................................. 6
GRAFIK II.4 PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA MAJU EROPA ................................................................ 6
GRAFIK II.5 PERTUMBUHAN EKONOMI CHINA DAN ASEAN‐5 .................................................................... 6
GRAFIK II.6 PERTUMBUHAN DI KAWASAN ASIA ............................................................................................... 7
GRAFIK II.7 PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN‐5 ............................................................................................. 7
GRAFIK II.8 PERTUMBUHAN EKONOMI DUNIA .................................................................................................. 8
GRAFIK II.9 PERTUMBUHAN VOLUME PERDAGANGAN DUNIA .................................................................. 8
GRAFIK II.10 SUMBER PENGELUARAN PDB ........................................................................................................ 9
GRAFIK II.11 PERTUMBUHAN PDB TAHUNAN 2007 ‐ 2010 .................................................................... 12
GRAFIK II.12 PERTUMBUHAN PDB TRIWULANAN (YOY) ......................................................................... 12
GRAFIK II.13 SUMBER PERTUMBUHAN PDB PENGELUARAN .................................................................. 12
GRAFIK II.14 NILAI TUKAR RUPIAH ..................................................................................................................... 15
GRAFIK II.15 NILAI TUKAR RUPIAH DAN CADANGAN DEVISA ................................................................ 15
GRAFIK II.16 INFLASI IHK JAN 2008 ‐ APR 2010 ........................................................................................... 16
GRAFIK II.17 INFLASI MENURUT KELOMPOK PENGELUARAN (%, YOY) ............................................. 17
GRAFIK II.18 INFLASI MENURUT KOMPONEN (%,YOY) .............................................................................. 17
GRAFIK II.19 SUKU BUNGA BI RATE DAN SBI 3 BULAN, 2007‐2010 ...................................................... 17
GRAFIK II.20 PRODUKSI DAN KONSUMSI MINYAK DUNIA ......................................................................... 19
GRAFIK II.21 HARGA MINYAK WTI DAN ICP ..................................................................................................... 20
GRAFIK II.22 PROYEKSI ICP 2010 .......................................................................................................................... 20
GRAFIK II.23 LIFTING MINYAK ................................................................................................................................ 22
GRAFIK II.24 ANGKATAN KERJA DAN TINGKAT PENGANGGURAN 2004 ‐ 2010 .............................. 25
GRAFIK II.25 KOMPOSISI LAPANGAN KERJA TAHUN 2008 (PERSEN) ................................................ 25
GRAFIK II.26 KOMPOSISI LAPANGAN KERJA TAHUN 2009 (PERSEN) ............................................... 25
GRAFIK II.27 JUMLAH PENDUDUK MISKIN DAN TINGKAT KEMISKINAN 2004 ‐ 2009 ................. 26
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
vi
GRAFIK III.1 SUMBER‐SUMBER INVESTASI TAHUN 2011 (PERSEN) ................................................... 33
GRAFIK III.2 PERKEMBANGAN INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) ......................... 33
GRAFIK III.3 PERKEMBANGAN DAN PROYEKSI NILAI TUKAR 2006 – 2011 ...................................... 36
GRAFIK III.4 PERKEMBANGAN DAN PROYEKSI INFLASI 2010 – 2011 ................................................ 36
GRAFIK III.5 SUKU BUNGA SBI DAN PROYEKSI 2010 – 2011 ................................................................... 37
GRAFIK IV.1 PENERIMAAN PERPAJAKAN, 2005‐2010 ................................................................................ 43
GRAFIK IV.2 PERKEMBANGAN PNBP, 2005 – 2010 ...................................................................................... 45
GRAFIK IV.3 BELANJA NEGARA, 2005‐2010 .................................................................................................... 46
GRAFIK IV.4 BELANJA PEMERINTAH PUSAT, 2005‐2010 .......................................................................... 47
GRAFIK IV.5 TRANSFER KE DAERAH, 2005‐2010 .......................................................................................... 48
GRAFIK IV.6 SUMBER PEMBIAYAAN APBN, 2005‐2010 ............................................................................. 50
GRAFIK IV.7 POSISI UTANG PEMERINTAH, 2005‐2010 ............................................................................... 50
GRAFIK IV.8 REALISASI DAN ARAH DEFISIT APBN, 2005 – 2011 ........................................................... 53
GRAFIK IV.9 RISIKO PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA ................................................................... 66
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
vii
DAFTAR TABEL
TABEL II.1 LAJU PERTUMBUHAN PDB SEKTORAL 2007‐2009 (Persen, Tahunan, yoy) ............... 11
TABEL II.2 PERKIRAAN PERTUMBUHAN DAN PROPORSI PDB 2010 (Persen, YoY) ..................... 13
TABEL II.3 LAJU PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR PDB SEKTORAL 2010 (Persen, YOY) ............. 14
TABEL II.4 LIFTING MINYAK PER KKKS (ribu barel per hari) ................................................................... 21
TABEL II.5 NERACA PEMBAYARAN INDONESIA, 2007 – 2010 (Juta USD) ........................................... 24
TABEL III.1 INDIKATOR EKONOMI DUNIA (Persen) ..................................................................................... 28
TABEL III.2 PERKIRAAN PERTUMBUHAN EKONOMI 2011 ........................................................................ 31
TABEL III.3 PERKIRAAN PERTUMBUHAN EKONOMI SEKTORAL 2011 (Persen, yoy) .................... 35
TABEL IV.1 RINGKASAN APBN TAHUN 2008 ‐ 2010 (Triliun Rupiah) ................................................. 42
TABEL IV.2 ASUMSI EKONOMI MAKRO 2010‐2011 ...................................................................................... 51
TABEL IV.3 RINGKASAN APBN TAHUN 2010 – 2011 (Triliun Rupiah) ............................................... 65
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan tahun 2009, kinerja perekonomian global terus menunjukkan perbaikan dan
pemulihan dari krisis. Performa berbagai negara pilar perekonomian dunia seperti Amerika
Serikat (AS), Jepang, Cina, dan India terus menunjukkan kinerja yang semakin baik. Perbaikan
ekonomi AS antara lain ditandai dari meningkatnya kapasitas produksi, menguatnya konsumsi
dan daya beli rumah tangga, meningkatnya penyerapan tenaga kerja, dan meredanya laju
rasionalisasi pegawai (PHK). Hal senada juga terjadi di Jepang dan India dimana aktivitas
produksi dan konsumsi masyarakat cenderung terus mengalami penguatan. Untuk Cina,
perbaikan ekonomi bisa terlihat dari pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2010 mencapai
11,3 persen dan merupakan pertumbuhan tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Dengan
memperhatikan berbagai kondisi tersebut, World Economic Outlook (WEO) April 2010
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun 2010 mencapai 4,2 persen (yoy) atau
lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya dalam WEO Januari 2010 yang hanya sebesar
3,9 persen (yoy).
Meskipun demikian, kinerja ekonomi global masih dihadapkan pada risiko potensi krisis Eropa
berupa tingginya beban utang dan lonjakan defisit fiskal yang terjadi di beberapa negara seperti
Portugal, Italia, Spanyol, Irlandia, dan Yunani. Data menunjukkan bahwa utang pemerintah di
negara‐negara tersebut telah jauh melampaui standar aman untuk berutang (Maastricht
Benchmark) yaitu rasio utang per PDB sebesar 60 persen dan defisit anggaran tidak boleh
melampaui dari 3 persen PDB. Tercatat rasio utang berbanding PDB negara‐negara tersebut
adalah Yunani (115 persen), Irlandia (64 persen), Portugal (77 persen), dan Italia (116 persen).
Ancaman krisis Eropa tersebut terindikasi dari jatuhnya bursa saham dan pelarian modal
secara masif dari pasar finansial Eropa. Investor melakukan pelepasan aset‐aset di berbagai
negara Eropa yang dinilai berisiko dan mengalihkannya ke negara yang dinilai lebih aman (safe
haven) seperti AS. Hal ini pada gilirannya telah memicu apresiasi dolar AS secara tajam
beberapa waktu lalu.
Seiring upaya pemulihan melalui peningkatan disiplin fiskal dan pemberian dana talangan,
kinerja ekonomi kawasan Eropa berangsur‐angsur membaik. Hal ini bisa dilihat dari beberapa
indikator seperti menguatnya konsumsi rumah tangga, membaiknya indeks penjualan retail,
dan survei keyakinan konsumen yang mencerminkan optimisme akan terjadinya pemulihan di
kawasan tersebut. Dari sisi industri, perbaikan kinerja ekonomi Eropa tercermin dari
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
2
Purchasing Manager Index (PMI) baik sektor manufaktur maupun jasa yang sudah berada pada
fase ekspansi sejalan dengan kinerja ekspor yang telah memasuki pertumbuhan positif.
Perkembangan ekonomi global yang cenderung membaik telah berpengaruh positif pada
kinerja perekonomian domestik. Dalam empat triwulan terakhir, stabiltas ekonomi makro
relatif terjaga dengan kecenderungan yang terus membaik. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
mengalami penguatan sebesar 15 persen sepanjang 2009, dan penguatan ini terus berlanjut
hingga akhir April 2010. Penguatan nilai tukar rupiah memberikan sentimen positif terhadap
laju inflasi dimana inflasi kumulatif dan tahunan dalam empat bulan pertama tahun 2010 yang
relatif rendah masing‐masing sebesar 1,15 persen (ytd) dan 3,91 persen (yoy). Sejalan dengan
itu, suku bunga SBI 3 bulan mengalami penurunan dimana pada Januari 2009 berada pada level
10,39 persen dan terus menurun hingga level 6,58 persen pada Desember 2009. Tingkat SBI 3
bulan tersebut terus dipertahankan hingga akhir triwulan I tahun 2010.
Selain itu, kinerja ekspor dan impor dalam tiga bulan pertama 2010 juga mengalami
peningkatan cukup signifikan masing‐masing sebesar 53,7 persen dan 57,3 persen. Sejalan
dengan peningkatan kinerja ekspor impor tersebut, cadangan devisa juga terus mengalami
penguatan dan pada akhir April 2010 mencapai 78,58 miliar dolar AS. Laju pertumbuhan
ekonomi triwulan I tahun 2010 juga meningkat menjadi 5,7 persen (yoy) atau lebih tinggi
dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,5 persen (yoy).
Perkembangan positif kinerja ekonomi global dan domestik di atas akan menjadi momentum
sekaligus titik awal bagi Bangsa Indonesia untuk melangkah lebih optimis lagi di tahun 2011.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 diperkirakan akan bisa berakselerasi pada level tinggi
sebagaimana sebelum krisis. Selain itu, pertumbuhan ekonomi tahun 2011 diupayakan agar
lebih berkualitas dengan menitikberatkan pada sisi inklusif dan berdimensi pemerataan.
Dalam rangka mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkualitas
tersebut, APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal akan didesain sesuai dengan
fungsinya sebagai alat stabilisasi ekonomi, alat memobilisasi dana masyarakat, dan alat
distribusi pendapatan. Selain itu, kebijakan alokasi anggaran dalam APBN akan diarahkan
kepada upaya mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan ekonomi,
memantapkan pengelolaan keuangan negara, serta mendukung pelaksanaan otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal sesuai dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011
yaitu ”Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan
Tatakelola dan Sinergi Pusat Daerah”.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
3
Sejalan dengan tema RKP 2011, dan potensi tantangan yang dihadapi ke depan, Pemerintah
telah menetapkan tiga sasaran pembangunan dalam tahun 2011 yaitu: (1) Sasaran
pembangunan kesejahteraan, (2) Sasaran pembangunan demokrasi, dan (3) Sasaran penegakan
hukum. Untuk sasaran pembangunan kesejahteraan diantaranya ditujukan untuk menurunkan
tingkat pengangguran dan kemiskinan, meningkatkan angka partisipasi sekolah mulai tingkat
SD sampai perguruan tinggi, meningkatkan produksi pangan, meningkatkan produksi energi
dan listrik, serta meningkatkan pembangunan infrastruktur jalan serta jaringan prasarana dan
penyediaan sarana transportasi. Sedangkan, sasaran pembangunan demokrasi, diantaranya
ditujukan untuk terciptanya peningkatan kualitas demokrasi Indonesia dan sasaran penegakan
hukum dimaksudkan untuk tercapainya kepastian keadilan melalui penegakan hukum dan
terjaganya ketertiban umum.
Dalam rangka mendukung pencapaian berbagai sasaran pembangunan 2011 tersebut, postur
APBN Tahun 2011 disusun dengan prinsip dasar optimalisasi sumber‐sumber penerimaan
negara serta pelaksanaan efisiensi dan efektivitas di bidang belanja negara. Selain itu,
penetapan besaran defisit didasarkan pada tetap terjaganya konsolidasi dan kesinambungan
fiskal serta memperhatikan kemampuan keuangan negara untuk bisa menutup defisit tersebut
dari sumber‐sumber pembiayaan yang tidak memberatkan di masa kini dan mendatang.
Pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp1.086,7 triliun, yang berarti mengalami kenaikan 9,5
persen dari perkiraan pendapatan negara di tahun 2010. Sedangkan, belanja negara ditetapkan
menjadi Rp1.204,9 triliun, yang akan dialokasikan melalui belanja pemerintah pusat sebesar
Rp840,9 triliun (69,8 persen) dan anggaran transfer ke daerah sebesar Rp364,1 triliun (30,2
persen).
Dengan konfigurasi kebijakan fiskal seperti di atas, defisit anggaran pada tahun 2011
direncanakan sebesar Rp118,3 triliun atau mencapai 1,7 persen terhadap PDB. Untuk menutup
defisit tersebut, Pemerintah akan mengupayakan melalui pengadaan utang domestik dengan
menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebagai sumber pembiayaan terbesar melalui
beberapa strategi, seperti: penerapan kebijakan yang sesuai dengan dinamika pasar SBN dan
ekonomi makro; penerbitan SBN secara reguler dengan meminimalkan risiko keuangan yang
berasal dari nilai tukar dan suku bunga; dan diversifikasi instrumen SBN.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
4
BAB II
KINERJA PEREKONOMIAN 2009 DAN PROYEKSI 2010
A. Perkembangan Perekonomian Global
1. Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Pada tahun 2009, perekonomian global menghadapi tekanan yang cukup berat sebagai
kelanjutan krisis keuangan global yang terjadi di tahun tahun sebelumnya. Krisis subprime
mortgage yang terjadi di US pada pertengahan tahun 2007 telah menimbulkan gejolak pasar
finansial di berbagai belahan dunia. Pada tahun‐tahun selanjutnya gejolak pasar finansial yang
terjadi telah meluas ke berbagai sektor ekonomi lainnya dan kondisi tersebut menyebabkan
terjadinya perlambatan laju pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2008. Di tahun 2008 terlihat
bahwa tekanan krisis finansial telah menyebabkan jatuhnya berbagai perusahaan serta
peningkatan angka pengangguran khususnya di negara negara maju. Peningkatan
pengangguran dan kebangkrutan berbagai perusahaan telah mendorong penurunan tingkat
permintaan dan pada akhirnya turut menyebabkan penurunan output sektor riil serta tingkat
pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, khususnya di negara maju. Pertumbuhan ekonomi
dunia tahun 2007 yang mencapai 5,2 persen melambat di tahun 2008 menjadi 3,0 persen.
Krisis global tahun 2008, terus berlanjut hingga tahun 2009. Krisis yang terjadi bahkan telah
menyebabkan terjadinya kontraksi ekonomi pada laju pertumbuhan ekonomi dunia. Laju
pertumbuhan ekonomi global menurun dari sebesar 3,0 persen di tahun 2008 menjadi minus
0,6 persen di tahun 2009. Penurunan tersebut terutama bersumber pada resesi yang terjadi di
berbagai negara maju. Di tahun 2009, pertumbuhan ekonomi negara‐negara maju menurun 3,2
persen. Sebagian besar negara maju mengalami pertumbuhan tahunan terendah pada semester
pertama tahun 2009. Memasuki semester kedua, mulai terlihat pembalikan laju pertumbuhan,
namun sebagian besar negara‐negara tersebut masih menghadapi laju pertumbuhan negatif.
Amerika dan Jepang, yang merupakan negara maju mitra dagang utama Indonesia, mengalami
laju pertumbuhan negatif selama tiga triwulan pertama tahun 2009. Laju pertumbuhan tersebut
mengalami kecenderungan membaik di triwulan keempat, walau Jepang masih mengalami
pertumbuhan negatif. Di sisi lain, Amerika Serikat mulai menunjukkan laju pertumbuhan positif
di triwulan terakhir 2009. Sedikit berbeda dengan yang dialami kedua negara tersebut, setelah
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
5
mengalami pertumbuhan negatif di triwulan pertama dan kedua, Korea Selatan berhasil
mencapai laju pertumbuhan positif di triwulan ketiga dan keempat tahun 2009 (grafik II.1).
Dalam hal kinerja ekonomi selama tahun 2009, terlihat bahwa seluruh negara maju, kecuali
Korea Selatan, mengalami kontraksi ekonomi. Di kawasan Asia Pasifik, negara‐negara seperti
Amerika Serikat dan Jepang masing‐masing mengalami kontraksi ekonomi dengan
pertumbuhan sebesar ‐2,4 persen dan ‐5,2 persen, sedangkan Korea Selatan mencatat
pertumbuhan sebesar 0,2 persen.
Perkembangan serupa juga ditunjukkan oleh beberapa negara maju di kawasan Eropa, yaitu
Inggris, Perancis, dan Jerman. Pertumbuhan ekonomi di negara‐negara tersebut mengalami
kejatuhan di triwulan pertama tahun 2009 dan mulai menunjukkan perbaikan pertumbuhan
ekonomi di triwulan‐triwulan selanjutnya. Namun demikian, hingga akhir tahun 2009,
perekonomian ketiga negara tersebut masih mengalami pertumbuhan negatif, masing‐masing
Inggris sebesar ‐4,9 persen, Perancis sebesar ‐2,2 persen, dan Jerman sebesar ‐5,0 persen
(grafik II.2). Secara keseluruhan kawasan Eropa mengalami kontraksi dengan pertumbuhan ‐4,1
persen.
GRAFIK II.1 PERTUMBUHAN EKONOMI AS DAN
NEGARA MAJU ASIA
‐10,0%
‐5,0%
0,0%
5,0%
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2007 2008 2009
Amerika Serikat Jepang Korea Selatan
Sumber: CEIC, Maret 2010
GRAFIK II.2 PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA MAJU EROPA
‐8,0%
‐3,0%
2,0%
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2007 2008 2009
Inggris Perancis Jerman
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
6
GRAFIK II.5 PERTUMBUHAN EKONOMI CHINA DAN ASEAN5
‐10%
‐5%
0%
5%
10%
15%
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2007 2008 2009
China Malaysia SingapuraPhillipina Thailand Indonesia
Sumber: CEIC, 2010
Untuk negara‐negara berkembang, walau melambat secara signifikan, laju pertumbuhannya
pada tahun 2009 masih positif sebesar 2,4 persen. Perekonomian negara‐negara berkembang di
kawasan Asia Timur dan Tenggara, secara relatif menunjukkan perkembangan yang lebih baik,
dengan kecenderungan yang sama
dengan negara‐negara maju. Pada
umumnya negara‐negara di kawasan
ini mengalami perlambatan laju
pertumbuhan ekonomi pada
triwulan pertama 2009 dan mulai
membaik di triwulan selanjutnya.
Cina sebagai salah satu sumber
kekuatan ekonomi berkembang,
tetap menunjukkan laju
pertumbuhan positif di seluruh
triwulan tahun 2009.
Untuk kawasan ASEAN, Indonesia dan Filipina merupakan dua negara ASEAN‐5 yang terus
mencatat pertumbuhan positif di setiap triwulan tahun 2009. Singapura mengalami kontraksi di
triwulan pertama dan kedua, sementara Malaysia dan Thailand baru mengalami pertumbuhan
positif di triwulan terakhir tahun 2009. Secara keseluruhan di tahun 2009 negara‐negara
anggota ASEAN‐5 tumbuh positif sebesar 1,7 persen. Indonesia dan Filipina mencapai
pertumbuhan positif masing‐masing sebesar 4,5 persen dan 0,9 persen. Pertumbuhan ekonomi
tiga negara anggota lainnya, yaitu Malaysia, Singapura, dan Thailand mengalami kontraksi
masing‐masing sebesar 1,7 persen, 2,0 persen, dan 2,3 persen. Disini terlihat bahwa
GRAFIK II.3 PERTUMBUHAN EKONOMI AS DAN
NEGARA MAJU DI ASIA
‐6,0%
‐4,0%
‐2,0%
0,0%
2,0%
4,0%
6,0%
Amerika Serikat
Jepang Korea Selatan
2007 2008 2009 2010 Sumber: World Economic Outlook (WEO), April 2010
GRAFIK II.4 PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA MAJU EROPA
‐6,0%
‐4,0%
‐2,0%
0,0%
2,0%
4,0%
Eropa Inggris Jerman Perancis
2007 2008 2009 2010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
7
perekonomian Indonesia memiliki daya tahan yang relatif paling baik diantara negara‐negara
utama ASEAN (ASEAN‐5) dalam menghadapi krisis global 2008/2009.
Untuk kawasan Asia, kinerja ekonomi pada tahun 2009 relatif jauh lebih baik dibanding
kawasan lainnya. Cina dan India merupakan dua ekonomi penting yang menjadi determinan
dalam mengurangi dampak krisis global ke kawasan Asia. Kedua negara tersebut dan beberapa
negara lain seperti Indonesia dan Filipina merupakan negara‐negara yang masih mampu
mencapai pertumbuhan positif di tahun 2009. Pada tahun tersebut, Cina dan India masing
masing tumbuh sebesar 8,7 persen dan 5,7 persen.
Sejalan dengan pemulihan ekonomi yang terjadi, pada tahun 2010 diperkirakan negara‐negara
maju akan kembali tumbuh positif. Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan tumbuh 3,1
persen, 1,9 persen, dan 4,5 persen, Sedangkan di Eropa, Inggris akan tumbuh sebesar 1,0
persen, Jerman sebesar 1,2 persen, dan Perancis sebesar 1,5 persen. Mengingat besarnya peran
perekonomian negara‐negara maju, membaiknya pertumbuhan ekonomi negara tersebut
tentunya akan memberikan dorongan positif bagi pertumbuhan ekonomi global. Namun
demikian, kondisi tersebut masih dibayangi oleh risiko gejolak ekonomi dan tingginya beban
utang yang terjadi di beberapa negara Eropa.
Pada tahun 2010 Asia akan menjadi kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi
dibanding kawasan lain di dunia. Cina dan India akan kembali menjadi motor penggerak
ekonomi Asia, dengan perkiraan laju pertumbuhan ekonomi masing‐masing mencapai 10,0
persen dan 8,8 persen. Sementara negara‐negara ASEAN‐5 secara agregat akan tumbuh sebesar
5,4 persen.
GRAFIK II.6 PERTUMBUHAN DI KAWASAN ASIA
0
2
4
6
8
10
12
14
China India ASEAN‐5
2007 2008 2009 2010
Sumber: WEO April 2010
GRAFIK II.7 PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN5
‐4
‐2
0
2
4
6
8
10
Malaysia
Thailand
Singapura
Filipina
Indo
nesia
2007 2008 2009 2010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
8
GRAFIK II.8 PERTUMBUHAN EKONOMI DUNIA
5,2%
3,0%
‐0,6%
4,2%
2,7%0,5%
‐3,2%
2,3%
8,3%
6,1%
2,4%
6,3%
‐4,0%
‐2,0%
0,0%
2,0%
4,0%
6,0%
8,0%
10,0%
2007 2008 2009 2010
Dunia Negara Maju Negara Berkembang
Sumber: WEO April 2010
GRAFIK II.9 PERTUMBUHAN VOLUME PERDAGANGAN DUNIA
7,3%
2,8%
‐10,7%
7,0%
‐15%
‐10%
‐5%
0%
5%
10%
2007 2008 2009 2010
Sumber: WEO April 2010
Tren pemulihan yang mulai terlihat di
berbagai negara di akhir 2009 dan awal
2010 mengisyaratkan adanya perbaikan
laju pertumbuhan ekonomi global di
tahun 2010. Laju pertumbuhan ekonomi
global di akhir tahun 2010 diperkirakan
mencapai 4,2 persen. Perkiraan tersebut
lebih tinggi dibanding perkiraan
sebelumnya yang hanya mencapai 3,9
persen. Revisi perkiraan tersebut juga
dapat diartikan bahwa proses
pemulihan ekonomi global lebih cepat
dari yang diperkirakan sebelumnya.
2. Volume Perdagangan Dunia
Salah satu faktor penting meluasnya dampak krisis ke berbagai negara adalah dampak dari
kecenderungan globalisasi dan perdagangan antar negara. Hubungan perdagangan
internasional diyakini membawa dampak positif, mengingat perannya dalam perluasan akses
pasar dan kapasitas produksi hingga mampu memberi peluang peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Namun demikian, fenomena globalisasi dan hubungan perdagangan tersebut juga
telah meningkatkan risiko bagi stabilitas ekonomi di masing‐masing negara. Semakin eratnya
keterikatan dan ketergantungan di berbagai negara menyebabkan lebih mudahnya proses
penularan gejolak ekonomi dari satu negara ke negara lain.
Dalam kaitan dengan krisis ekonomi
global tahun 2008/2009, gejolak
ekonomi dan penurunan sisi permintaan
(demand) di kelompok negara maju,
telah menyebabkan penurunan kinerja
ekspor di kelompok negara berkembang.
Dampak tersebut semakin terasa di
negara yang memiliki peran kegiatan
ekspor impor yang cukup besar dalam
struktur perekonomiannya.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
9
GRAFIK II.10 SUMBER PENGELUARAN PDB
4,9%
15,7%
3,3%
‐9,7%
‐15,0%‐20%
‐15%
‐10%
‐5%
0%
5%
10%
15%
20%
2007 2008 2009
Konsumsi RTKonsumsi PemerintahPMTBEksporImpor
Sumber: Badan Pusat Statistik
Perlambatan kegiatan ekspor impor telah terlihat sejak tahun 2008. Pertumbuhan volume
perdagangan dunia pada tahun 2007 yang mencapai 7,3 persen melambat secara signifikan di
tahun 2008 menjadi 2,8 persen. Bahkan kegiatan ekspor dan impor global kembali mengalami
penurunan tajam di tahun 2009 hingga volume perdagangan dunia mencatat pertumbuhan
negatif sebesar ‐10,7 persen. Pertumbuhan volume perdagangan global di tahun 2010
diperkirakan kembali pulih sejalan dengan indikasi membaiknya pertumbuhan ekonomi di
tahun tersebut. Dalam WEO April 2010, pertumbuhan volume perdagangan dunia diperkirakan
mencapai 7,0 persen. Peningkatan laju pertumbuhan tersebut akan berdampak positif bagi
kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
B. Perekonomian Domestik
1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 tumbuh sebesar 4,5 persen (yoy) menurun
dibandingkan dua tahun sebelumnya yang sebesar 6,3 persen (yoy) dan 6,0 persen (yoy) di
tahun 2007 dan 2008. Penurunan ini ditandai dengan anjloknya kinerja investasi dan sektor
eksternal sebagai dampak dari menurunnya permintaan global yang mulai terjadi sejak
pertengahan tahun 2008. Sebelum krisis tahun 2008, kinerja investasi pada tahun 2007 mampu
tumbuh sebesar 9,3 persen (yoy) dan kemudian mengalami penurunan sehingga pada tahun
2009 menjadi sebesar 3,3 persen. Sementara itu, sektor eksternal dalam dua tahun terakhir
mengalami kontraksi, yaitu ekspor yang tumbuh dari 8,5 persen (yoy) tahun 2007 menjadi
minus 9,7 persen tahun 2009 dan impor dari 9,1 persen (yoy) tahun 2007 menjadi minus 15,0
persen (yoy) tahun 2009.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2009
didukung oleh masih kuatnya konsumsi
masyarakat yang mencapai 4,9 persen dan
tingginya pertumbuhan konsumsi
pemerintah sebesar 15,7 persen terkait
dengan program stimulus fiskal. Dalam
tahun tersebut investasi tumbuh sebesar
3,3 persen, sedangkan ekspor dan impor
mengalami kontraksi masing‐masing
sebesar 9,7 persen dan 15,0 persen.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
10
Walaupun tumbuh cukup tinggi (4,9%), konsumsi rumah tangga tahun 2009 masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan tahun 2008 karena melemahnya daya beli masyarakat sebagai akibat
terjadinya krisis global. Terdapat beberapa faktor yang mampu menahan laju penurunan
konsumsi masyarakat tersebut, antara lain pengeluaran untuk Pemilu, program stimulus fiskal
yang berupa insentif pajak, kenaikan gaji dan pemberian gaji ke‐13 bagi PNS/TNI/Polri,
penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), program beras miskin (raskin), program keluarga
harapan (PKH), program peningkatan infrastruktur pedesaan (PPIP), jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas), bantuan operasional sekolah (BOS), dan program nasional
pemberdayaan masyarakat (PNPM).
Konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 15,7 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan periode
yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 10,4 persen, karena pelaksanaan Pemilu Legislatif
dan Pemilu Presiden serta kenaikan gaji dan pemberian gaji ke‐13 bagi PNS/TNI/Polri.
Investasi melambat dari 11,9 persen menjadi 3,3 persen (yoy) akibat menurunnya kegiatan
produksi terkait dengan melemahnya aktivitas global dan menurunnya permintaan domestik.
Melambatnya pertumbuhan investasi tercermin dari berkurangnya impor barang modal,
penjualan semen, dan PMA‐PMDN.
Dari sisi perdagangan internasional, kegiatan ekspor dan impor tahun 2009 masih mengalami
kontraksi yang cukup dalam, karena masih lemahnya permintaan global dan menurunnya harga
minyak serta beberapa komoditas dunia. Ekspor dan impor masing‐masing tumbuh minus 9,7
persen dan minus 15,0 persen lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh
sebesar 9,5 persen dan 10,0 persen. Kontraksi tersebut diakibatkan terjadinya penurunan nilai
ekspor dan impor, baik migas maupun non migas.
Dari sisi penawaran, kinerja pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2009 ditandai dengan
melambatnya hampir seluruh sektor ekonomi sebagai imbas melemahnya perekonomian global
(Tabel II.1). Dari sembilan sektor yang ada, tercatat tiga sektor yang mengalami pertumbuhan
lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya, yakni Sektor
Pertambangan dan Penggalian, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, dan Sektor Jasa‐jasa.
Sektor yang masih mencatat pertumbuhan tertinggi pada tahun 2009 adalah Sektor
Pengangkutan dan Komunikasi yang tumbuh sebesar 15,5 persen (yoy). Pertumbuhannya
terutama berasal dari Subsektor Komunikasi yang tumbuh 23,8 persen karena meningkatnya
penggunaan telepon seluler dan internet.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
11
TABEL II.1 LAJU PERTUMBUHAN PDB SEKTORAL 20072009
(PERSEN, TAHUNAN, yoy)
2007 2008 2009
1. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN 3,5 4,8 4,12. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 1,9 0,7 4,43. INDUSTRI PENGOLAHAN 4,7 3,7 2,14. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 10,3 10,9 13,85. KONSTRUKSI 8,5 7,5 7,16. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 8,9 6,9 1,17. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 14,0 16,6 15,58. KEUANGAN, REAL ESTAT & JASA PERUSAHAAN 8,0 8,2 5,09. JASA ‐ JASA 6,4 6,2 6,4PRODUK DOMESTIK BRUTO 6,3 6,0 4,5
Sumber: Badan Pusat Statistik
Selama tahun 2009 Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan tumbuh 4,1 persen
(yoy) lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar 4,8 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Subsektor Perikanan
sebesar 5,2 persen. Sedangkan kontributor pertumbuhan terbesar berasal dari Subsektor
Tanaman Bahan Makanan yang tumbuh sebesar 4,7 persen.
Sektor Industri Pengolahan sepanjang tahun 2009 hanya tumbuh 2,1 persen (yoy) melambat
bila dibanding pertumbuhannya di tahun 2007 dan 2008 yang mencapai 4,7 dan 3,7 persen.
Subsektor Industri Migas mengalami kontraksi sebesar 2,2 persen. Sementara Subsektor
Industri Bukan Migas tumbuh 2,5 persen yang terutama ditopang oleh industri makanan,
minuman dan tembakau, serta industri kertas dan barang cetakan yang tumbuh masing‐masing
sebesar 11,3 persen dan 6,3 persen.
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran mencatat pertumbuhan positif sebesar 1,1 persen
(yoy) sepanjang 2009, jauh melambat dibandingkan tahun 2007 dan 2008 yang mencapai 8,9
dan 6,9 persen. Hal ini terkait dengan kinerja impor yang mengalami kontraksi cukup dalam
sejak triwulan IV tahun 2008. Perlambatan pertumbuhan sektor tersebut mampu dikompensasi
oleh kinerja subsektor restoran yang tumbuh sebesar 7,5 persen.
Memasuki tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai menunjukkan pemulihan
setelah melewati fase terendah pada pertengahan tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi tersebut
didorong oleh perbaikan kinerja ekspor, investasi, dan relatif stabilnya konsumsi masyarakat.
Akselerasi pemulihan pertumbuhan global dan volume perdagangan dunia telah menciptakan
ruang bagi tumbuhnya kinerja ekspor Indonesia.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
12
GRAFIK II.11 PERTUMBUHAN PDB TAHUNAN
2007 2010
5,8%6,3%
6,0%
4,5% 5,5%
0,0%
1,0%
2,0%
3,0%
4,0%
5,0%
6,0%
7,0%
2007 2008 2009 2010
Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan
GRAFIK II.13 SUMBER PERTUMBUHAN PDB PENGELUARAN
3,9%
‐8,8%
7,9%19,6%
22,6%
‐40%
‐20%
0%
20%
40%
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1
2009 2010
Kons. RT Kons. Pem. PMTBEkspor Impor
Sumber: BPS
Sementara itu, meningkatnya
pendapatan masyarakat yang antara lain
karena adanya perbaikan ekspor,
terkendalinya laju inflasi, dan terjaganya
tingkat keyakinan konsumen terhadap
kinerja perekonomian domestik akan
mendorong peningkatan konsumsi
masyarakat. Pada akhirnya, hal ini akan
meningkatkan kapasitas produksi dan
tumbuhnya investasi. Oleh karena itu,
Pemerintah bersama‐sama dengan DPR
bersepakat untuk mengubah asumsi
pertumbuhan ekonomi tahun 2010 dari
5,5 persen dalam APBN 2010 menjadi
5,8 persen pada APBN‐P 2010.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I‐
2010 tumbuh 5,7 persen (yoy), lebih
tinggi dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya yang tumbuh 4,5
persen (yoy). Hal ini menunjukkan
kuatnya perekonomian domestik dan
semakin pulihnya perekonomian global
(Grafik II.12).
Sumber‐sumber pertumbuhan
PDB triwulan I 2010 berasal
dari konsumsi masyarakat
sebesar 3,9 persen, konsumsi
pemerintah sebesar ‐8,8
persen, investasi 7,9 persen,
serta ekspor‐impor masing‐
masing sebesar 19,6 persen dan
22,6 persen (Grafik II.13).
GRAFIK II.12 PERTUMBUHAN PDB TRIWULANAN (YOY)
4,5%4,1% 4,2%
5,4%5,7%
3%
4%
5%
6%
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1
2009 2010
Sumber: BPS
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
13
TABEL II.2 PERKIRAAN PERTUMBUHAN DAN
PROPORSI PDB 2010 (PERSEN, YoY)
PertumbuhanProporsi
terhadap PDB
Konsumsi 5,7 68,3Konsumsi Masyarakat 5,2 58,7Konsumsi Pemerintah 8,8 9,6
PMTB 8,7 32,0Ekspor 14,2 25,2Impor 17,2 22,8
5,8
Pengeluaran
PDB Sumber: Kementerian Keuangan
Membaiknya pertumbuhan triwulan I 2010 diperkirakan terus berlanjut hingga akhir tahun.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, laju pertumbuhan PDB tahun 2010 diperkirakan
sebesar 5,8 persen yang
didukung oleh sumber‐sumber
yang lebih realistis. Konsumsi
masyarakat diperkirakan tumbuh
5,2 persen, konsumsi pemerintah
tumbuh 8,8 persen, PMTB
tumbuh 8,7 persen, serta ekspor
dan impor masing‐masing
tumbuh 14,2 persen dan 17,2
persen (Tabel II.2).
Dari sisi sektoral, semua sektor mengalami pertumbuhan dalam triwulan I tahun 2010 (Tabel
II.3). Pertumbuhan terbesar terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi serta Sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran masing masing tumbuh sebesar 11,9 persen dan 9,3 persen.
Sedangkan Sektor Konstruksi dan Sektor Listrik, Air dan Gas masing‐masing tumbuh sebesar
7,3 persen dan 7,2 persen. Sektor Industri Pengolahan tumbuh 3,6 persen (yoy), lebih tinggi dari
pertumbuhannya pada periode yang sama tahun lalu sebesar 1,5 persen. Sedangkan sektor
Pertanian tumbuh sedikit melambat menjadi 2,9 persen sebagai dampak melambatnya
pertumbuhan Subsektor tanaman Perkebunan, Subsektor Kehutanan, Subsektor Peternakan,
dan Subsektor Perikanan, meskipun pada periode tersebut Subsektor Tanaman Bahan Makanan
tumbuh tinggi terkait dengan mulainya panen padi.
Dalam tahun 2010, sektor yang diperkirakan menjadi penopang utama perekonomian
Indonesia adalah Sektor Industri Pengolahan, Sektor Pertanian, serta Sektor Perdagangan, Hotel
dan Restoran (Tabel II.3). Hal ini berhubungan dengan pulihnya perekonomian dunia yang
menyebabkan naiknya permintaan akan produk Indonesia. Sektor Industri Pengolahan
diharapkan kembali melaju seperti sebelum masa krisis dengan tumbuh 4,0 persen. Sektor
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan diperkirakan tumbuh 4,0 persen dalam tahun
2010. Sementara itu, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang berkaitan erat dengan
kegiatan konsumsi dan impor akan tumbuh sebesar 7,5 persen.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
14
TABEL II.3 LAJU PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR PDB SEKTORAL 2010
(PERSEN, YOY)
Proporsi terhadap PDB
Q1 2010 2010 20101. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN 2,9 4,0 15,42. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 3,5 3,1 10,43. INDUSTRI PENGOLAHAN 3,6 4,0 26,54. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 7,2 8,9 0,85. KONSTRUKSI 7,3 7,3 9,96. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 9,3 7,5 13,57. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 11,9 11,9 6,38. KEUANGAN, REAL ESTAT & JASA PERSH. 5,5 5,2 7,39. JASA ‐ JASA 4,6 6,5 10,2PRODUK DOMESTIK BRUTO 5,7 5,8 100,0Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan
SEKTORPertumbuhan
Sementara itu, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi diperkirakan akan tetap tumbuh tinggi
hingga mencapai 11,9 persen. Sedangkan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih diperkirakan
tumbuh sebesar 8,9 persen, sejalan dengan mulai beroperasinya pembangkit‐pembangkit listrik
baru dan penyelesaian proyek air bersih di beberapa daerah.
2. Nilai Tukar
Melemahnya nilai tukar rupiah pada akhir 2008 terus berlanjut hingga awal tahun 2009. Pada
tiga bulan pertama 2009 rupiah melemah menjadi sebesar Rp11.623 per dolar AS yang antara
lain dipengaruhi oleh semakin parahnya krisis global yang terjadi pada triwulan terakhir tahun
2008. Namun, sejak bulan April 2009 Rupiah kembali menguat hingga mencapai rata‐rata
Rp9.458 per dolar AS pada akhir tahun 2009. Penguatan ini didukung oleh meningkatnya arus
modal masuk yang terjadi baik di pasar modal maupun pasar obligasi. Selain itu meningkatnya
ekspor dan foreign direct investment (FDI) sejalan dengan pulihnya ekonomi global juga
mendorong penguatan nilai tukar rupiah. Lancar dan amannya pelaksanaan Pemilu 2009 turut
memberikan sentimen positif terhadap penguatan rupiah.
Dengan perkembangan tersebut, rata‐rata nilai tukar rupiah tahun 2009 tercatat sebesar
Rp10.408 per dolar AS, melemah 12,2 persen dibandingkan dengan rata‐rata tahun sebelumnya
sebesar Rp9.692 per dolar AS.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
15
Memasuki tahun 2010, penguatan rupiah terus berlanjut hingga mencapai Rp9.027 per dolar AS
pada akhir April 2010 atau menguat 4,6 persen dibandingkan dengan rata‐rata pada Desember
2009 sebesar Rp9.458 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah ini didukung oleh terjaganya
fundamental ekonomi yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekspor dan investasi.
Selain itu, terdapatnya perbedaan suku bunga dalam negeri dan luar negeri yang masih relatif
tinggi dan naiknya peringkat utang Pemerintah (sovereign credit rating) Indonesia telah
mendorong masuknya arus modal yang pada gilirannya mendorong penguatan nilai tukar
rupiah.
Meskipun rupiah terus menguat, namun meningkatnya suku bunga di beberapa negara perlu
terus diwaspadai dan diantisipasi. Untuk itu, kebijakan moneter yang hati‐hati, penguatan
sinergi kebijakan moneter dan fiskal, serta pengawasan lalu lintas devisa perlu terus
dilanjutkan. Melalui kebijakan‐kebijakan tersebut, diharapkan kestabilan nilai tukar rupiah
tetap terjaga.
Dengan memperhatikan realisasi rata‐rata nilai tukar rupiah sampai April 2010, semakin
membaiknya perekonomian domestik, perkiraan meningkatnya suku bunga beberapa negara,
serta kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia, maka rata‐rata nilai tukar
rupiah tahun 2010 diperkirakan sebesar Rp9.200 per dolar AS.
GRAFIK II.14 NILAI TUKAR RUPIAH
9,692
10,408
9,206
0
100
200
300
400
500
600
700
8,000
8,500
9,000
9,500
10,000
10,500
11,000
11,500
12,000
12,500
13,000 Apr‐08
Jun‐08
Aug
‐08
Oct‐08
Dec
‐08
Feb‐09
Apr‐09
Jun‐09
Aug
‐09
Oct‐09
Dec
‐09
Feb‐10
Apr‐10
St Deviasi
Kurs Tengah BI
Rata‐rata Bulanan
Rata‐rata Tahunan
Sumber: Bank Indonesia, diolah
GRAFIK II.15 NILAI TUKAR RUPIAH DAN CADANGAN DEVISA
8.000
8.800
9.600
10.400
11.200
12.000
30
40
50
60
70
80
Juli‐08 S N
2009‐J M M J S N
2010‐J M
Cadangan Devisa (Miliar US$)
Nilai Tukar Rp/US$ ‐( aksis kanan)
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
16
GRAFIK II.16 INFLASI IHK JAN 2008 APR 2010
‐0.5%
0.0%
0.5%
1.0%
1.5%
2.0%
2.5%
3.0%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
14%
Jan
Feb
Mar
Apr
May Jun Jul
Aug Sep
Oct
Nov Dec Jan
Feb
Mar
Apr
May Jun Jul
Aug Sep
Oct
Nov Dec Jan
Feb
Mar
Apr
2008 2009 2010
Inflasi yoy (aksis kiri)
Inflasi bulanan (aksis kanan)
Sumber: Badan Pusat Statistik
3. Inflasi
Laju inflasi pada tahun 2009 mengalami penurunan cukup tajam hingga mencapai 2,78 persen,
lebih rendah bila dibandingkan dengan inflasi pada tahun 2007 dan 2008 masing‐masing
sebesar 6,59 persen dan 11,06 persen, bahkan tercatat sebagai inflasi terendah dalam 10 tahun
terakhir. Rendahnya laju inflasi pada tahun 2009 tersebut disebabkan antara lain oleh
penurunan harga BBM dalam
negeri pada awal tahun serta relatif
stabilnya harga‐harga kebutuhan
pokok masyarakat, terkait dengan
tercukupinya pasokan dan
lancarnya arus distribusi. Selama
tahun 2009 terjadi deflasi pada
bulan Januari, April, dan November
2009 masing‐masing sebesar 0,07
persen, 0,31 persen, dan 0,03
persen (Grafik II.16). Sementara
itu, sembilan bulan lainnya terjadi
inflasi yang relatif rendah yaitu
pada kisaran 0,04 persen – 1,05
persen.
Penurunan laju terus berlanjut hingga awal tahun 2010. Sampai April 2010, inflasi kumulatif
dan tahunan masing‐masing sebesar 1,15 persen (ytd) dan 3,91 persen (yoy). Rendahnya inflasi
tersebut dipengaruhi oleh deflasi yang terjadi pada Maret 2010 sebesar 0,14 persen (mtm)
(Grafik II.16), seiring dengan musim panen di beberapa daerah. Sementara itu, faktor‐faktor
yang mempengaruhi inflasi selama empat bulan pertama tahun 2010 antar lain meningkatnya
harga‐harga beberapa komoditas kelompok bahan makanan dan makanan jadi, terutama harga
bumbu‐bumbuan dan sayuran, serta harga rokok dan tembakau.
Potensi kenaikan laju inflasi tahun 2010 diperkirakan akan terjadi pada awal semester II yang
dipengaruhi oleh rencana kenaikkan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10 persen pada Juli 2010.
Namun, kenaikan ini diharapkan tidak terlalu besar mengingat bobot tarif listrik terhadap
inflasi nasional relatif kecil. Dengan memperhatikan realisasi inflasi sampai dengan April 2010
dan faktor‐faktor yang mempengaruhinya, serta semakin terkoordinasinya kebijakan fiskal,
moneter dan sektor riil maka laju inflasi tahun 2010 diperkirakan sebesar 5,3 persen.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
17
GRAFIK II. 19 SUKU BUNGA BI RATE DAN SBI 3 BULAN, 20072010
Sumber: Bank Indonesia
4. Suku Bunga SBI 3 bulan
Dalam tahun 2009 suku bunga SBI 3 bulan mengalami penurunan cukup tajam. Pada bulan
Januari suku bunga SBI 3 bulan tercatat sebesar 10,39 persen, terus menurun hingga mencapai
6,58 persen pada Desember 2009.
Rata‐rata suku bunga SBI 3 bulan
tahun 2009 adalah sebesar 7,59
persen, lebih rendah dibandingkan
tahun 2007 dan 2008 masing‐masing
sebesar 8,04 persen dan 9,39 persen.
Penurunan SBI 3 bulan tersebut antara
lain dipengaruhi oleh rendahnya laju
inflasi yang terjadi sepanjang tahun
2009 yang disertai dengan penurunan
suku bunga Bank Indonesia (BI rate).
Memasuki tahun 2010, penurunan suku bunga SBI 3 bulan masih terus berlanjut. Sampai April
2010, rata‐rata suku bunga SBI 3 bulan sebesar 6,53 persen, turun sebesar 5 bps dari bulan
Desember 2009. Rata‐rata suku bunga SBI 3 bulan selama empat bulan pertama 2010 sebesar
6,57, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 9,16 persen.
GRAFIK II.17 INFLASI MENURUT KELOMPOK PENGELUARAN
(%, YOY)
‐4
‐2
0
2
4
6
8
10
12
Des‐09 Q1 10 Apr‐10
Bahan Makanan Makanan JadiPerumahan Sandang Kesehatan Pendidikan
Sumber: Badan Pusat Statistik
GRAFIK II.18 INFLASI MENURUT KOMPONEN (%,YOY)
‐10
‐5
0
5
10
15
20
25
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Apr‐10
2008 2009 2010
Core Administered Volatile
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
18
Pergerakan suku bunga SBI 3 bulan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan suku bunga acuan
Bank Indonesia (BI rate). Pada awal tahun 2009, BI rate tercatat sebesar 8,75 persen, terus
menurun hingga menjadi 6,50 persen pada Agustus 2009 dan tetap dipertahankan sampai Mei
2010. Kebijakan ini ditempuh sejalan dengan perkembangan laju inflasi yang relatif rendah dan
kondisi makro ekonomi lainnya yang semakin membaik.
Selain BI rate dan laju inflasi, faktor eksternal yang turut mempengaruhi suku bunga SBI 3 bulan
adalah the Fed Fund Rate. Sejak akhir tahun 2008 setelah didera krisis keuangan global, the Fed
memberlakukan kebijakan baru dengan menurunkan suku bunga acuannya sehingga mencapai
0,25 persen. Tingkat suku bunga ini masih belum berubah hingga pertengahan Mei 2010.
Dalam rangka penyempurnaan operasi moneter, mulai 10 Maret 2010 Bank Indonesia telah
mengubah pelaksanaan lelang SBI dari satu mingguan menjadi dua mingguan. Periode
perubahan ini merupakan masa transisi menuju pelaksanaan lelang SBI satu bulan sekali yang
akan diterapkan pada Juni 2010. Dengan perubahan lelang tersebut diharapkan kalangan
perbankan terdorong untuk mengelola likuiditasnya dalam jangka waktu yang lebih panjang. Di
samping itu, terkait dengan profil jatuh tempo, Bank Indonesia secara bertahap juga akan mulai
mengurangi lelang SBI bertenor satu bulan. Penyerapan likuiditas rupiah akan dilakukan
dengan lebih mengutamakan SBI bertenor tiga bulan dan enam bulan. Perpanjangan profil jatuh
tempo ini diharapkan akan meningkatkan pendalaman pasar keuangan (financial deepening)
dan efektivitas operasi moneter.
Dengan memperhatikan realisasi rata‐rata SBI 3 bulan sampai April 2010, dan faktor‐faktor
yang mempengaruhinya baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri serta
kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia, rata‐rata suku bunga SBI 3 bulan tahun 2010
diperkirakan sebesar 6,5 persen.
5. Harga dan Lifting Minyak Indonesia
Sepanjang tahun 2009, konsumsi minyak dunia mengalami penurunan 2,0 persen yaitu dari
rata‐rata 85,8 juta barel per hari pada tahun 2008 menjadi 84,1 juta barel per hari. Penurunan
konsumsi tersebut terutama terjadi di negara‐negara OECD yang diperkirakan sebesar 45,4 juta
barel per hari atau mengalami penurunan 4,5 persen. Amerika Serikat sebagai negara anggota
OECD dan sekaligus konsumen minyak terbesar di dunia mengurangi tingkat konsumsinya
hingga mencapai 4,2 persen. Sedangkan konsumsi minyak Cina dan India tetap mengalami
pertumbuhan positif sejalan dengan masih kuatnya aktivitas perekonomiannya.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
19
GRAFIK II.20 PRODUKSI DAN KONSUMSI MINYAK DUNIA
‐7.0‐6.0‐5.0‐4.0‐3.0‐2.0‐1.00.01.02.03.0
80
81
82
83
84
85
86
87
Jan
Feb
Mar
Apr
May Jun Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan
Feb
Mar
Apr
May Jun Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
2009 2010
%, m
‐o‐m
Juta barel per hari
Konsumsi ProduksiPert, Konsumsi (axis kanan) Pert, Produksi (axis kanan)
Sumber: Bloomberg dan EIA
Seiring dengan melemahnya konsumsi global tahun 2009, pasokan minyak dunia juga
mengalami penurunan. Sebagai gambaran, sampai dengan paruh pertama tahun 2009 produksi
minyak dunia mencapai rata‐rata 83,5 juta barel per hari, sedangkan pada paruh kedua
produksi minyak meningkat menjadi rata‐rata 84,7 juta barel per hari. Secara keseluruhan,
dalam tahun 2009 rata‐rata produksi minyak dunia mencapai 84,1 juta barel per hari lebih
rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 85,4 juta barel per hari . Hal tersebut
terutama bersumber dari
menurunnya produksi minyak
OPEC sebesar 5,1 persen menjadi
33,9 juta barel per hari,
sementara produksi non‐OPEC
masih meningkat sebesar 1,1
persen menjadi 50,2 juta barel
per hari. Menurunnya pasokan
tersebut untuk mengantisipasi
semakin melemahnya harga
minyak dunia di tengah‐tengah
permintaan dunia yang
melambat.
Penurunan harga minyak dunia pada tahun 2009 terus berlanjut hingga menyentuh titik
terendahnya US$39,2 pada bulan Februari tahun 2009. Harga rata‐rata ICP juga mengalami
penurunan hingga mencapai level US$41,9 per barel pada Januari tahun 2009. Pada bulan‐bulan
berikutnya harga minyak tersebut secara berangsur‐angsur mengalami kenaikan hingga
mencapai US$77,1 per barel pada bulan November 2009, sehingga selama tahun 2009 secara
rata‐rata mencapai US$61,6 per barel atau lebih rendah 36,5 persen dibandingkan dengan rata‐
rata tahun sebelumnya sebesar US$97,0 per barel.
Di awal tahun 2010, baik konsumsi maupun produksi minyak dunia mengalami peningkatan.
Peningkatan konsumsi di awal tahun ini lebih dikarenakan oleh faktor cuaca dingin yang masih
melanda Eropa, Cina, dan Amerika Serikat. Sementara peningkatan produksi, dikarenakan
menurunnya tingkat kepatuhan anggota OPEC yang menaikkan produksi minyak sebesar 1,8
juta barel per hari.
Di tahun 2010, Badan Energi Amerika Serikat (U.S. Energy Information Administration/EIA)
memperkirakan akan terjadi peningkatan produksi dan konsumsi minyak dunia yang didorong
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
20
GRAFIK II.21 HARGA MINYAK WTI DAN ICP
30
40
50
60
70
80
90
Jan-
09
Feb-
09M
ar-0
9
Apr
-09
May
-09
Jun-
09
Jul-0
9
Aug
-09
Sep
-09
Oct
-09
Nov
-09
Dec
-09
Jan-
10
Feb-
10M
ar-1
0
Apr
-10
WTI ICP
Sumber: Bloomberg
GRAFIK II.22 PROYEKSI ICP 2010
Sumber: Bloomberg, Kementerian ESDM dan Kemenkeu
oleh proses pemulihan ekonomi dunia, terutama peningkatan impor minyak oleh Cina dan
India.
Selanjutnya memasuki tahun 2010, harga
WTI mengalami kenaikan seiring dengan
mulai pulihnya perekonomian di negara‐
negara Non OECD terutama Cina dan
India. Hal ini mendorong meningkatnya
konsumsi minyak mentah. Selain itu
kenaikan harga minyak juga dipicu oleh
terjadinya penurunan stok minyak
mentah Amerika Serikat. Harga WTI
sampai dengan April 2010 sempat
menyentuh US$86,8 per barel, level
tertinggi sejak Oktober 2008. Harga rata‐
rata WTI sampai dengan April mencapai US$80,1 per barel, atau naik 79,4 persen dibanding
periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$44,7 per barel. Pada bulan‐bulan mendatang
harga minyak diperkirakan masih tetap tinggi. EIA memperkirakan pada tahun 2010 rata‐rata
harga minyak mentah WTI sebesar US$80,1 per barel (Grafik II.21).
Sejalan dengan meningkatnya harga
minyak dunia, rata‐rata harga ICP pada
periode yang sama juga meningkat
menjadi US$78,9 per barel atau naik 74,4
persen dibanding rata‐rata harga ICP di
periode yang sama pada tahun
sebelumnya (Grafik II.22). Dengan
mempertimbangkan faktor‐faktor di atas,
rata‐rata harga ICP pada tahun 2010
diperkirakan akan sesuai dengan target
APBN‐P yang sebesar US$80,0 per barel.
Sementara itu, realisasi lifting minyak pada tahun 2009 sebesar 952 ribu barel per hari, lebih
rendah dari target APBN‐P 2009 yang sebesar 960 ribu barel per hari. Namun pencapaian ini
masih lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya sebesar 936 ribu barel per hari. Beberapa
tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan produksi minyak diantaranya adalah faktor
penurunan produksi alamiah, tertundanya pembangunan fasilitas produksi, dan pengadaan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
21
fasilitas produksi apung. Pemerintah mendorong Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
terutama empat KKKS yang memiliki produksi besar yaitu PT Pertamina, Exxon Mobil di Blok
Cepu, Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan Total Indonesie untuk mengoptimalkan produksi
yang sudah ada serta melakukan eksplorasi baru, baik di ladang minyak baru maupun ladang
minyak marjinal (sudah mendekati umur ekonomisnya). Tahun 2009, lifting CPI yang mencapai
384 ribu barel per hari merupakan yang terbesar di antara KKKS lainnya, disusul Pertamina
dengan lifting 126 ribu barel per hari, dan Total Indonesie dengan lifting 93 ribu barel per hari
(Tabel II.4).
Tahun 2010, beberapa KKKS lainnya diperkirakan mampu meningkatkan lifting minyak, yakni
Pertamina, Conoco Philips, BP Indonesia, dan CICO + Chevron Makasar. Lifting minyak
Pertamina pada 2010 mencapai 128 ribu barel per hari, Conoco Philips (Corridor Block)
mencapai 13 ribu barel per hari, BP Indonesia mencapai 27 ribu barel per hari, dan CICO +
Chevron Makasar mencapai 29 ribu barel per hari (Tabel II.4).
TABEL II. 4 LIFTING MINYAK PER KKKS
(ribu barel per hari)
No KKKS 2007 2008 2009Estimasi 2010
1 PT Chevron Pacific Indonesia 369,2 358,4 384,2 370,02 PT Pertamina EP 124,2 128,4 125,5 128,03 Total Indonesie E&P 45,2 48,6 93,3 93,04 CNOOC 51,1 47,7 44,0 42,05 Conoco Phillips Blok B (Natuna) 39,5 75,2 50,0 54,06 Medco Sumatra 36,6 32,1 29,9 26,47 BP Indonesia (ONJW) 23,2 23,1 24,5 26,88 BOB‐ Pertamina‐ Bumi Siap Pusako 23,4 21,6 23,3 22,19 Exxon Mobil (Cepu) ‐ ‐ 4,5 20,010 Petrochina Jabung (Jambi) 18,9 19,6 19,0 19,411 CICO + Chevron Makasar 34,0 31,3 27,2 28,712 Vico 16,6 16,4 15,9 12,813 Conoco Phillips (Corridor Block) 9,5 11,1 12,6 13,214 Kondur Petrolium 8,9 9,1 9,7 9,315 Hess (Ujung Pangkah) ‐ 2,6 9,5 7,016 Lain‐lain 97,7 105,9 87,1 92,5
898 931 960 965Total Lifting/Produksi Indonesia
Sumber: Kementerian ESDM dan Kemenkeu
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
22
Namun demikian, terdapat beberapa
faktor yang dapat menghambat
pencapaian target lifting tersebut,
yaitu faktor penurunan produksi
alamiah sebesar + 12 persen per
tahun, dampak diberlakukannya UU
No. 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
masalah tata ruang dan tumpang
tindih lahan kawasan hutan, dan
masalah perpanjangan kontrak KKKS
dengan Pemerintah Indonesia yang
akan berakhir dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan.
Adapun langkah‐langkah untuk mencapai target lifting adalah dengan mengoptimalkan
perolehan minyak dari remaining reserves pada lapangan‐lapangan eksisting, percepatan
produksi di lapangan‐lapangan penemuan baru (wilayah kerja (WK) produksi) dan WK
eksplorasi, meningkatkan reliability fasilitas produksi untuk menurunkan frekuensi unplanned
shutdown melalui peningkatan program maintenance, mengoptimalisasikan dan sinkronisasi
jadwal planned shutdown, serta memfasilitasi percepatan poses pembebasan lahan yang akan
digunakan untuk kegiatan operasi dengan membentuk tim bersama KKKS terkait dan
berkoordinasi dengan Pemda dan Kanwil Pertanahan setempat. Berdasarkan perkembangan
tersebut di atas, lifting minyak pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai target asumsi
APBN‐P sebesar 965 ribu barel per hari.
6. Neraca Pembayaran
Seiring dengan membaiknya prospek ekonomi global dan domestik, kinerja neraca pembayaran
tahun 2009, baik dari sisi transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial mengalami
perbaikan dibanding tahun sebelumnya. Membaiknya kinerja neraca pembayaran tersebut
antara lain disebabkan oleh mulai meningkatnya permintaan ekspor dan masuknya arus modal
baik berupa investasi langsung maupun portofolio.
Neraca transaksi berjalan pada tahun 2009 mencatat surplus US$10,7 miliar, yang didorong
oleh kenaikan surplus pada neraca perdagangan. Neraca perdagangan dalam tahun 2009
mengalami surplus US$35,1 miliar lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada tahun 2008
sebesar US$22,9 miliar maupun tahun 2007 yang sebesar US$32,7 miliar. Sementara itu, defisit
GRAFIK II.23 LIFTING MINYAK
0.900
0.910
0.920
0.930
0.940
0.950
0.960
0.970
2008 2009 2010*
0.927
0.960
0.965
0.936
0.952 0.965
Juta bairel/har
Asumsi Realisasi
Sumber: Kementerian ESDM dan Kemenkeu
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
23
neraca jasa sebesar US$14,1 miliar, defisit neraca pendapatan sebesar US$15,1 miliar dan
transfer surplus sebesar US$4,9 miliar.
Neraca transaksi modal dan finansial pada tahun 2009 mencatat surplus sebesar US$3,5 miliar
yang lebih tinggi dari surplus 2007 sebesar US$3,6 miliar. Surplus tersebut terutama bersumber
dari tingginya surplus pada investasi langsung dan investasi portofolio, sejalan dengan
meningkatnya investasi langsung di sektor industri pengolahan dan perdagangan serta
membaiknya persepsi risiko terhadap pasar domestik. Surplus pada investasi portofolio
ditopang oleh adanya penerbitan obligasi global, sukuk valas, dan obligasi shibosai oleh
Pemerintah. Kinerja investasi lainnya terbantu oleh adanya tambahan alokasi Hak Penarikan
Khusus atau Special Drawing Rights (SDR) sebesar US$2,7 miliar. Tambahan alokasi SDR
tersebut ditujukan untuk memperkuat cadangan devisa Indonesia.
Berdasarkan perkembangan besaran‐besaran neraca pembayaran tersebut, dalam tahun 2009
keseimbangan umum mengalami surplus US$12,5 miliar sehingga cadangan devisa mencapai
US$66,1 miliar atau setara dengan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri
pemerintah selama 6,5 bulan. Ringkasan neraca pembayaran Indonesia tahun 2007–2009 dapat
dicermati pada Tabel II.5.
Kinerja neraca pembayaran dalam tahun 2010 diperkirakan masih cukup baik yang ditopang
oleh perbaikan kinerja ekspor dan aliran modal masuk, walaupun pada saat yang sama impor
juga diperkirakan meningkat. Perbaikan kinerja ekspor terkait dengan kembalinya ekonomi dan
volume perdagangan dunia ke jalur pertumbuhan positif. Sejalan dengan itu, ekspor
diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 17,1 persen menjadi US$140,0 miliar. Di sisi lain,
meningkatnya kegiatan ekonomi dan investasi yang cukup tinggi akan mendorong peningkatan
impor bahan baku dan barang modal. Dalam tahun 2010 impor diperkirakan meningkat cukup
signifikan sebesar 26,3 persen menjadi US$106,6 miliar. Dengan kondisi tersebut neraca
perdagangan mengalami surplus US$33,4 miliar. Sementara itu, defisit neraca jasa‐jasa
diperkirakan mencapai US$16,1 miliar, lebih tinggi sekitar 14,3 persen dibandingkan tahun
2009, terutama akibat meningkatnya angkutan impor (freight) dan pengeluaran jasa‐jasa
lainnya. Defisit neraca pendapatan diperkirakan mencapai US$17,2 miliar, lebih tinggi 13,8
persen dibandingkan tahun 2009. Sedangkan neraca transfer diperkirakan surplus US$5,0
miliar atau naik 3,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini terutama
disebabkan meningkatnya transfer dari tenaga kerja Indonesia (TKI). Dengan kondisi tersebut,
transaksi berjalan pada tahun 2010 diperkirakan mengalami surplus US$5,1 miliar.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
24
TABEL II.5 NERACA PEMBAYARAN INDONESIA, 2007 – 2010
(JUTA USD)
2007 2008 2009 2010**
A. TRANSAKSI BERJALAN 10.493 126 10.746 5.0911. Neraca Perdagangan 32.754 22.916 35.133 33.432a. Ekspor, fob 118.014 139.606 119.480 139.995b. Impor, fob -85.260 -116.690 -84.347 -106.5632. Jasa-jasa -11.841 -12.998 -14.108 -16.1283. Pendapatan -15.525 -15.155 -15.140 -17.2344. Transfer 5.104 5.364 4.861 5.021
B. NERACA MODAL DAN FINANSIAL 3.591 -1.876 3.548 8.0861. Sektor Publik 2.988 1.903 11.113 9.583- Neraca modal 81 21 11 72- Neraca finansial: 2.907 1.882 11.103 9.5112. Sektor Swasta 603 -3.778 -7.565 -1.496- Neraca modal 465 273 85 89- Neraca finansial: 138 -4.052 -7.650 -1.585
C. TOTAL (A + B) 14.083 -1.750 14.294 13.177D. SELISIH YANG BELUM DIPERHITUNGKAN -1.369 -195 -1.788 469E. KESEIMBANGAN UMUM (C + D) 12.715 -1.945 12.506 13.646
Cadangan devisa 56.920 51.639 66.105 80.502Transaksi berjalan/PDB (%) 2,39 0,02 1,97 0,76
**/ Proyeksi
Sumber: Bank Indonesia
ITEM
Neraca modal dan finansial tahun 2010 diperkirakan mengalami surplus sebesar US$8,1 miliar,
lebih tinggi dibandingkan dengan surplus tahun 2009 sebesar US$3,5 miliar. Kenaikan surplus
neraca modal dan finansial ini ditopang oleh masih surplusnya neraca sektor publik dan
penurunan defisit pada sektor swasta. Berkurangnya penarikan utang dalam bentuk investasi
portofolio mengakibatkan neraca sektor publik turun 13,8 persen dibandingkan 2009. Iklim
investasi yang semakin baik dan pulihnya likuiditas di pasar keuangan global diperkirakan
mendorong masuknya penanaman modal asing sehingga defisit neraca sektor swasta
mengalami penurunan dari US$7,6 miliar pada tahun 2009 menjadi US$1,5 miliar pada 2010.
Adapun kinerja investasi portofolio diperkirakan sedikit lebih rendah dibandingkan tahun
2009, seiring dengan perkiraan menurunnya spread suku bunga dibandingkan tahun
sebelumnya.
Membaiknya kondisi neraca pembayaran yang tercermin pada peningkatan cadangan devisa
diharapkan mampu mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi domestik. Cadangan
devisa dalam tahun 2010 diperkirakan mencapai US$80,5 miliar yang setara dengan kebutuhan
impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah selama 6,5 bulan. Peningkatan cadangan
devisa sebesar US$14,4 miliar dibandingkan posisi pada tahun sebelumnya ini bersumber dari
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
25
surplus transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial. Perkiraan neraca pembayaran
tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel II.5.
7. Ketenagakerjaan dan Kemiskinan
Tahun 2009 merupakan tahun terakhir dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN 2004 – 2009) Kabinet Indonesia Bersatu I. Selama periode tersebut, meskipun
menghadapi hambatan yang cukup besar seperti bencana alam di beberapa wilayah di
Indonesia, krisis energi dan pangan,
serta krisis ekonomi global,
pemerintah masih mampu
menciptakan lapangan kerja baru dan
menurunkan angka pengangguran
secara signifikan. Tingginya
kesempatan kerja yang tercipta
dibandingkan dengan penambahan
angkatan kerja menjadikan jumlah
penganggur pada tahun 2009
menjadi 8,96 juta orang (7,87 persen)
atau menurun dibandingkan tahun
2008 sebesar 9,39 juta orang (8,39
persen) dan tahun 2007 sebesar 10,0
juta orang (9,1 persen) (Grafik II.24)
GRAFIK II.25 KOMPOSISI LAPANGAN KERJA
TAHUN 2008 (PERSEN)
40,3
12,2
5,3
20,7
6,0
1,4 12,8 1,2Pertanian
Industri
Konstruksi
Perdagangan
Trans. Kom.
Keuangan
Jasa
Lainnya*
Sumber: Badan Pusat Statistik
GRAFIK II.26 KOMPOSISI LAPANGAN KERJA
TAHUN 2009 (PERSEN)
39,7
12,25,2
20,9
5,81,4
13,3 1,3 Pertanian
Industri
Konstruksi
Perdagangan
Trans. Kom.
Keuangan
Jasa
Lainnya*
GRAFIK II.24 ANGKATAN KERJA DAN TINGKAT PENGANGGURAN
2004 2010
104
116
9,86
11,2
7,41
6
7
8
9
10
11
12
95
100
105
110
115
120
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Angkt. Kerja Tingkat Pengangguran (RHS)
Juta orang %
Sumber: Badan Pusat Statistik
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
26
Dilihat dari komposisi pekerja menurut lapangan kerja utama, jumlah pekerja di sektor‐sektor
formal mengalami kenaikan sedangkan sektor informal mengalami penurunan. Sektor
pertanian yang sebagian besar adalah sektor informal mengalami penurunan dari 40,3 persen
pada tahun 2008 menjadi 39,7 persen pada tahun 2009, sementara jumlah pekerja di sektor
formal seperti sektor jasa mengalami peningkatan dari 12,8 persen pada tahun 2008 menjadi
13,3 persen pada 2009. Perubahan komposisi ini menunjukkan adanya perpindahan dari sektor
informal ke sektor formal yang lebih produktif dan memberikan upah yang lebih tinggi. Hal ini
tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah termasuk
kebijakan stimulus fiskal yang ditujukan untuk mencegah timbulnya PHK secara meluas dan
meningkatkan daya tahan usaha dalam menghadapi krisis.
Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta
revitalisasi pertanian dan industri maka lapangan kerja yang tercipta diharapkan akan
meningkat melebihi jumlah angkatan kerja. Kebijakan pemerintah untuk terus mendorong dan
menggerakkan sektor riil telah mampu menekan tingkat pengangguran mencapai 7,41 persen
pada Februari 2010 menurun dibandingkan tingkat pengangguran 2009 sebesar 7,87 persen
(Grafik II.24).
Dari sisi kemiskinan, strategi pembangunan pro poor telah memberikan hasil yang cukup
memuaskan, sehingga mampu menurunkan tingkat kemiskinan. Berdasarkan garis kemiskinan,
tingkat kemiskinan pada Maret 2009 adalah 14,1 persen (atau 32,5 juta orang) lebih rendah
dibandingkan dengan Maret 2008 yakni sebesar 15,4 persen (34,9 juta orang) (Grafik II.27).
Laju pertumbuhan ekonomi juga memberikan kontribusi pada peningkatan pendapatan per
kapita masyarakat Indonesia. Pada akhir 2009, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia
telah mencapai US$2.339 atau meningkat 4,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan
kenaikan ini, Indonesia telah masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah
bawah (lower middle income countries).
Keberhasilan penanggulangan kemiskinan, selain merupakan hasil dari tercapainya laju
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi juga didukung oleh berbagai program pemberdayaan
masyarakat yang merupakan bagian dari pemenuhan hak dasar rakyat. Program tersebut terus
dilakukan untuk memberikan akses yang lebih luas kepada kelompok masyarakat yang
berpenghasilan rendah agar dapat menikmati lajunya percepatan pertumbuhan ekonomi.
Langkah ini ditempuh antara lain melalui pemberian subsidi, bantuan sosial dan PKH, PNPM
Mandiri, dan dana penjaminan kredit/pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM)
dan koperasi melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program ini dilaksanakan untuk
membantu pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak atau belum mampu dipenuhi oleh
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
27
kemampuan sendiri. Berbagai program dan upaya yang telah dilaksanakan oleh pemerintah
tersebut diharapkan akan menurunkan tingkat kemiskinan di tahun 2010 pada kisaran 12,0
persen – 13,5 persen.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
28
BAB III
TANTANGAN PEREKONOMIAN DAN SASARAN EKONOMI MAKRO 2011
A. Tantangan
1. Tantangan Perekonomian Global 2011
Pemulihan ekonomi global di tahun 2010 merupakan landasan penting bagi perbaikan kinerja
ekonomi global di tahun‐tahun selanjutnya. Perekonomian global tahun 2011 diperkirakan
tumbuh sebesar 4,3 persen, lebih tinggi dibanding perkiraan pertumbuhan ekonomi global
tahun 2010 sebesar 4,2 persen. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh pertumbuhan di negara
maju sebesar 2,4 persen dan negara berkembang sebesar 6,5 persen (Tabel III.1).
TABEL III. 1 INDIKATOR EKONOMI DUNIA (PERSEN)
2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011 2010 2011
DUNIA 4,2 4,3 7,0 6,1
Negara Maju 2,3 2,4 1,5 1,4 ‐ ‐ 5,4 4,6 6,6 5,0
Negara Berkembang 6,3 6,5 6,2 4,7 ‐ ‐ 9,7 8,2 8,3 8,4
Sumber: WEO IMF April 2010
EksporPertumbuhan
EkonomiInflasi (IHK)
Volume Perdagangan
Impor
Pertumbuhan volume perdagangan 2011 diperkirakan mencapai 6,1 persen lebih rendah
dibandingkan perkiraan tahun sebelumnya sebesar 7,0 persen. Tingginya perkiraan
pertumbuhan volume perdagangan dunia 2010 tersebut disebabkan oleh pulihnya perdagangan
setelah mengalami keterpurukan pada tahun 2009. Meskipun pertumbuhan volume
perdagangan sedikit melambat, namun pertumbuhan ekspor negara berkembang pada tahun
2011 diperkirakan tetap meningkat dari 8,3 persen menjadi 8,4 persen.
Walaupun pertumbuhan ekonomi global tahun 2010 cenderung membaik, namun masih
terdapat beberapa tantangan dalam mempertahankan stabilitas ekonomi global. Tantangan‐
tantangan tersebut antara lain bersumber dari gejolak sektor keuangan yang mulai muncul di
beberapa negara Eropa dan tingginya harga komoditas utama internasional.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
29
Gejolak dan tekanan sektor keuangan pada Februari 2010 muncul di beberapa negara Eropa
seperti Yunani, Turki, Portugal, dan Spanyol. Selain itu, tingginya defisit anggaran dan besarnya
beban utang di beberapa negara Eropa lainnya dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas dan
pemulihan ekonomi di masing‐masing negara tersebut. Walaupun negara‐negara tersebut
bukan negara utama di kawasan Eropa, namun dampak gejolak ekonomi tersebut dapat meluas
ke berbagai negara di kawasan Eropa dan juga ekonomi global. Hingga saat ini upaya bersama
telah dilakukan negara‐negara Eropa serta lembaga keuangan internasional untuk merumuskan
strategi yang tepat dalam menangani isu dimaksud. Kebijakan restrukturisasi utang, bantuan
pinjaman baru, restrukturisasi anggaran pemerintah dan beberapa kebijakan lainnya telah
diupayakan untuk mengantisipasi tekanan‐tekanan yang mungkin terjadi.
Guna mencegah krisis utang yang melanda Yunani meluas ke negara‐negara Eropa lainnya,
European Central Bank (ECB) dan IMF sepakat untuk memberikan paket penyelamatan ekonomi
kepada Yunani senilai €110 miliar (US$146 miliar) selama 3 tahun, serta paket pencegahan
krisis senilai krisis €750 miliar (US$1 triliun). Selain ECB dan IMF, Bank of Japan (BOJ) dan G‐20
juga menyepakati untuk memberikan bantuan masing‐masing sebesar ¥2 triliun (US$21,8
miliar) dan €60 miliar guna menenangkan pasar dan mencegah penyebaran dampak krisis
utang tersebut. Krisis utang yang melanda Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya kurang
berdampak secara signifikan terhadap perekonomian negara‐negara berkembang termasuk
Indonesia yang tercermin pada masih tingginya arus modal masuk di negara‐negara tersebut.
Tantangan lain yang juga muncul adalah belum pulihnya arus kredit perbankan. Walaupun
kondisi perbankan global sudah lebih baik, namun langkah‐langkah rekapitalisasi dan
restrukturisasi menyebabkan perbankan global mengurangi ekspansi kreditnya ke sektor riil.
Hal tersebut tentu akan menghambat proses akselerasi sektor riil dalam perekonomian.
Di sisi lain, pemulihan ekonomi global memperbaiki sisi permintaan dunia, yang ditunjukkan
oleh meningkatnya permintaan atas berbagai komoditas dan juga sumber energi. Kondisi
tersebut pada gilirannya akan mendorong peningkatan harga‐harga dan inflasi global. Bila tidak
diantisipasi dan dikendalikan dengan baik, maka lonjakan inflasi akan mengganggu proses
pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
30
2. Tantangan Perekonomian Domestik
a. Sektor Riil
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 dan 2011 diperkirakan akan semakin membaik seiring
dengan semakin meningkatnya aktifitas perekonomian global. Terkendalinya laju inflasi,
meningkatnya kepercayaan investor, relatif stabilnya nilai tukar rupiah, dan jumlah cadangan
devisa yang memadai, akan menjadi faktor‐faktor positif dalam mendukung pertumbuhan
tersebut. Membaiknya indikator ekonomi makro perlu disertai dengan pertumbuhan di sektor
riil dan dunia usaha pada kenyataannya. Peran konsumsi dalam negeri masih cukup dominan
dalam pembentukan produk domestik bruto dibandingkan industri pengolahan, ekspor,
perdagangan atau investasi. Oleh karena itu peran investasi serta kegiatan ekspor dan impor
yang menciptakan banyak lapangan kerja perlu lebih ditingkatkan untuk menciptakan
pertumbuhan yang berkelanjutan dalam jangka panjang (sustainable growth).
Dalam upaya menggerakkan sektor riil diperlukan penyediaan modal, peningkatan pelayanan
perijinan, serta dukungan infrastruktur. Terkait dengan upaya tersebut, Pemerintah telah
memperluas akses penyediaan dana, termasuk menjaga iklim investasi yang kondusif untuk
menarik minat investor asing. Selain itu, dalam rangka mendorong sektor riil, pemerintah akan
memberikan dukungan, antara lain melalui subsidi bunga dan akses pembiayaan (KUR),
penyediaan infrastruktur fisik dan non fisik (perdagangan, industri, dan fiskal), dana revitalisasi
perkebunan dan industri gula, serta dukungan infrastruktur, pembiayaan dan kebijakan
persaingan usaha.
Keberhasilan dalam mengatasi tantangan‐tantangan tersebut diharapkan dapat memacu
pertumbuhan ekonomi dan menciptakan industri dalam negeri yang lebih kompetitif dalam
bersaing dengan industri negara‐negara lain. Di samping itu, kebijakan yang mendorong
pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah akan terus diupayakan, terutama melalui
pemberian fasilitas pendanaan yang melibatkan bank, lembaga keuangan, dan lembaga
penjaminan.
b. Infrastruktur
Untuk meningkatkan daya saing ekonomi, Pemerintah telah mempercepat pembangunan
infrastruktur seperti jalan, jembatan, bandara dan pelabuhan terutama untuk menghubungkan
pulau‐pulau besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Selain itu,
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
31
TABEL III.2 PERKIRAAN PERTUMBUHAN EKONOMI 2011
Pengeluaran 2011
Konsumsi Masyarakat 5,3 ‐ 5,5
Konsumsi Pemerintah 6,3 ‐ 6,5
PMTB 11,0 ‐ 11,2
Ekspor 11,3 ‐ 11,5
Impor 12,5 ‐ 12,7
PDB 6,2 ‐ 6,4
Sumber: Kementerian Keuangan
pembangunan infrastruktur di bidang telekomunikasi dan sumber energi juga harus
diprioritaskan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur dasar seperti irigasi, bendungan dan perumahan dapat menjamin
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, mendukung swasembada pangan, menjamin
ketersediaan air baku, mengendalikan banjir, serta memenuhi kebutuhan perumahan. Di sisi
lain, pembangunan infrastruktur juga dapat mendorong terciptanya lapangan kerja baru yang
berguna untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan wilayah, serta meningkatkan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah.
Kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur terus
ditingkatkan melalui alokasi anggaran infrastruktur dalam APBN dan APBD, kebijakan
pertanahan, tata ruang, tarif, dana Badan Layanan Umum (BLU) tanah dan pembebasan tanah
(landcapping), operasionalisasi pendanaan dan risiko penjaminan infrastruktur, penjaminan
PDAM dan subsidi air bersih, pembiayaan perumahan rakyat, serta peningkatan pendanaan
perbankan yang memadai.
B. Sasaran
1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2011 diperkirakan akan kembali pulih dan diharapkan
mampu menyamai rata‐rata beberapa tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 6,0 persen.
Dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian global yang pulih relatif
lebih cepat yang ditandai oleh
meningkatnya volume perdagangan
dunia, pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada tahun 2011
diperkirakan berkisar antara 6,2
persen hingga 6,4 persen. Dari sisi
permintaan agregat, laju pertumbuhan
tersebut akan didukung oleh mulai
pulihnya kinerja investasi dan
perdagangan internasional, serta
stabilnya konsumsi masyarakat.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
32
Di tahun 2011, konsumsi masyarakat diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 5,3 hingga 5,5
persen, dan konsumsi pemerintah pada kisaran 6,3 hingga 6,5 persen. Laju pertumbuhan
investasi akan menembus level 2 digit yang diperkirakan berkisar pada angka 11,0 sampai
dengan 11,2 persen, sedangkan ekspor dan impor masing‐masing tumbuh pada kisaran 11,3 –
11,5 persen dan 12,5 – 12,7 persen (Tabel III.2).
Peningkatan pertumbuhan konsumsi masyarakat pada tahun 2011 dipengaruhi oleh beberapa
faktor global dan domestik. Perbaikan kondisi ekonomi global secara umum juga akan berimbas
pada aktivitas dunia usaha dan pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi masyarakat.
Terjaganya laju inflasi turut berpengaruh pada peningkatan daya beli riil masyarakat sehingga
mampu mendorong laju konsumsi yang merupakan porsi terbesar dalam struktur Produk
Domestik Bruto Indonesia. Berbagai program pemberdayaan masyarakat dan bantuan sosial
masih terus diluncurkan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat miskin.
Pada tahun 2011, laju investasi diperkirakan akan tumbuh lebih baik dibanding tahun 2010.
Membaiknya likuiditas keuangan global mendorong masuknya aliran modal dari luar negeri
sehingga menggerakkan kinerja investasi domestik dan daya saing perekonomian nasional.
Pemerintah telah memperbaiki beberapa kendala yang mengganggu iklim investasi selama ini
seperti Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Dalam RPJMN 2010–2014, strategi pembangunan
investasi dalam lima tahun ke depan adalah (1) mendorong berkembangnya investasi di
berbagai sektor terutama pangan, energi, dan infrastruktur dalam rangka meningkatkan
penyebaran investasi, (2) mendorong berkembangnya investasi berbasis keunggulan daerah,
(3) meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan investasi melalui harmonisasi dan
simplifikasi berbagai perangkat peraturan, baik di pusat maupun di daerah, (4) mendorong
percepatan ketersediaan infrastruktur dalam arti luas melalui peningkatan efektivitas
pelaksanaan kemitraan pemerintah dan dunia usaha dalam rangka meningkatkan daya tarik
investasi, dan (5) mendorong pengembangan kawasan ekonomi khusus untuk produk yang
bernilai tambah. Sementara itu fokus prioritas investasi adalah peningkatan harmonisasi
kebijakan dan penyederhanaan perijinan investasi, dan peningkatan fasilitasi investasi.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 – 6,4 persen dibutuhkan investasi nominal
sebesar Rp2.243,8 triliun. Kebutuhan investasi tersebut akan bersumber dari PMA dan PMDN
sebesar 26,8 persen, kredit perbankan sebesar 17,4 persen, pasar modal 16,7 persen, belanja
modal pemerintah 12,4 persen dan sumber‐sumber investasi lainnya (lihat Grafik III.1).
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
33
GRAFIK III.1 SUMBERSUMBER INVESTASI TAHUN 2011 (PERSEN)
26,8
9,812,4
17,4
8,8
16,7
8,2
0
5
10
15
20
25
30
PMA/PMDN Capex BUMN
Belanja Modal
Pemerintah
Kredit Perbankan
Laba Ditahan
Pasar Modal Lainnya
Kebutuhan Investasi Rp2.243,8 T
Sumber: Kementerian Keuangan
Investasi yang cukup besar
tersebut dibutuhkan untuk
meningkatkan output nasional
dengan cara yang lebih efisien.
Incremental capital output ratio
(ICOR) merupakan ukuran
yang digunakan dalam
menentukan tingkat efisiensi
produksi suatu negara. Nilai
ICOR yang rendah menunjukkan bahwa investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan output
menjadi semakin efisien. Dalam tahun 2010 dan 2011 nilai ICOR diperkirakan sebesar 4,39 dan
4,25 yang berarti lebih efisien dibandingkan nilai ICOR tahun 2009 sebesar 5,39 (Grafik III.2).
Di bidang perdagangan internasional, peningkatan pendapatan dan permintaan pasar global
memberikan peluang bagi kinerja ekspor Indonesia. Impor juga akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kebutuhan industri domestik dalam memenuhi kegiatan ekspor dan konsumsi
dalam negeri. Upaya untuk meningkatkan ekspor ditempuh melalui kebijakan perdagangan luar
negeri yang diarahkan pada peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas dan diversifikasi
pasar. Strategi yang dilakukan antara lain: (1) meningkatkan ekspor nonmigas untuk produk‐
produk yang bernilai tambah lebih besar, berbasis pada sumber daya alam, serta permintaan
pasarnya yang besar, (2) mendorong ekspor produk kreatif dan jasa terutama yang dihasilkan
GRAFIK III.2 PERKEMBANGAN INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT
RATIO (ICOR)
3,814,14
5,39
4,39 4,25
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
2007 2008 2009 2010* 2011*
Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
34
oleh UKM, (3) mendorong upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor, (4) menitikberatkan upaya
perluasan akses pasar, promosi, dan fasilitasi ekspor nonmigas di kawasan Afrika dan Asia, dan
(5) mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan dan kerjasama perdagangan
internasional yang lebih menguntungkan kepentingan nasional.
Dari sisi produksi, sektor yang diharapkan menjadi pendorong utama peningkatan
pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri manufaktur. Hal ini dikarenakan sektor industri
manufaktur dapat memberikan nilai tambah yang besar. Di luar sektor industri manufaktur,
sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih menjadi andalan
dalam mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, sektor‐sektor lain juga
diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Melalui Peraturan Presiden nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional,
Pemerintah telah menetapkan Kebijakan Industri Nasional dengan pengelompokan/klaster
industri prioritas yang meliputi: (i) Industri Agro; (ii) Industri Alat Angkut, (iii) Industri
Elektronika dan Telematik, (iv) Industri Berbasis Manufaktur, (v) Industri Penunjang Industri
Kreatif dan Kreatif Tertentu, dan (vi) Industri Kecil dan Menengah Tertentu.
Strategi pembangunan sektor industri manufaktur diupayakan melalui langkah‐langkah
peningkatan daya saing dan kebijakan peningkatan iklim usaha, restrukturisasi permesinan,
pengembangan kawasan industri khusus, penggunaan produk dalam negeri, pengembangan
industri bahan bakar nabati, dan pengembangan standardisasi industri. Dengan strategi dan
kebijakan tersebut, laju pertumbuhan sektor industri manufaktur (pengolahan) tahun 2011
diharapkan akan meningkat dan diperkirakan mencapai 4,4 – 4,6 persen (Tabel III.3).
Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2011, pembangunan sektor tersebut juga menjadi bagian dari strategi penting
pembangunan ekonomi. Dengan kondisi iklim dan musim tanam yang baik serta didukung oleh
program peningkatan produksi pangan, produktivitas dan diversifikasi pertanian secara luas,
sektor pertanian (termasuk peternakan, perikanan, kehutanan) diproyeksikan mampu tumbuh
sebesar 4,4 – 4,6 persen.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
35
TABEL III.3 PERKIRAAN PERTUMBUHAN EKONOMI SEKTORAL 2011 (PERSEN, yoy)
1. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN 4,4 ‐ 4,6 15,22. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 3,5 ‐ 3,7 10,33. INDUSTRI PENGOLAHAN 4,4 ‐ 4,6 26,64. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 9,3 ‐ 9,5 0,85. KONSTRUKSI 8,6 ‐ 8,8 10,06. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 7,4 ‐ 7,6 13,47. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 12,2 ‐ 12,4 6,38. KEUANGAN, REAL ESTAT & JASA PERUSAHAAN 5,5 ‐ 5,7 7,39. JASA ‐ JASA 6,7 ‐ 6,9 10,2PRODUK DOMESTIK BRUTO 6,2 ‐ 6,4 100,0Sumber: Kementerian Keuangan (prognosa)
SEKTOR PERTUMBUHANStruktur PDB Nominal
Strategi pembangunan sektor pertanian juga diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional melalui peningkatan produktivitas dan kualitas lahan pertanian, bantuan/subsidi
bibit/benih dan pupuk, penanganan pasca panen, pendanaan bagi pertanian, pengembangan
desa mandiri pangan dan penanganan rawan pangan, serta pembangunan irigasi. Strategi
peningkatan produksi pangan tersebut didukung dengan penyempurnaan langkah‐langkah
koordinasi, monitoring, dan evaluasi cadangan pangan dan penanganan pangan strategis. Selain
itu, peningkatan pertumbuhan subsektor perkebunan, perikanan, dan kehutanan dilakukan
melalui peremajaan dan pengembangan perkebunan rakyat (termasuk sumber bahan baku
energi alternatif), perikanan, kehutanan; pengembangan hutan tanaman dan Hutan Tanaman
Rakyat; serta pengembangan SDM.
Sektor lain yang menjadi prioritas pengembangan adalah sektor pengangkutan dan komunikasi
yang diperkirakan tumbuh sebesar 12,2 – 12,4 persen pada tahun 2011. Pertumbuhan sektor ini
terutama didukung oleh pengembangan industri otomotif, perkapalan, kedirgantaraan, dan
perkeretaapian serta berbagai prasarana terkait.
2. Nilai Tukar
Nilai tukar rupiah tahun 2011 dipengaruhi beberapa faktor yang berasal dari luar dan dalam
negeri. Faktor yang mempengaruhi rupiah dari luar negeri antara lain berupa peningkatan arus
modal masuk ke pasar domestik yang semakin membaik sebagai dampak dari semakin pulihnya
perekonomian global. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia akan mendorong
peningkatan ekspor dan investasi Indonesia yang pada akhirnya akan menambah cadangan
devisa. Kondisi ini akan didukung dengan semakin meningkatnya peringkat utang pemerintah
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
36
dan investasi Indonesia. Namun, upaya menarik arus modal masuk diperkirakan akan semakin
berat di tengah situasi meningkatnya suku bunga internasional. Penguatan dolar AS
diperkirakan juga memicu pelemahan rupiah.
Faktor dalam negeri yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada
tahun 2011 antara lain berasal dari membaiknya kondisi fundamental ekonomi. Sejalan dengan
meningkatnya perekonomian
domestik dan ekspor, kebutuhan
akan impor khususnya impor
bahan baku dan barang modal
diperkirakan akan meningkat
sehingga mendorong depresiasi
rupiah. Berdasarkan
perkembangan dari dalam negeri
dan luar negeri tersebut,
pergerakan rata‐rata nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS tahun
2011 diperkirakan pada kisaran
Rp9.100 – Rp9.400 per dolar AS.
3. Inflasi
Tekanan inflasi pada tahun 2011 diperkirakan menuju ke pola normal dengan kecenderungan
menurunnya sumber tekanan inflasi, baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi
eksternal, inflasi negara mitra
dagang utama Indonesia cenderung
menurun dan perekonomian global
terfokus pada upaya pemulihan
ekonomi pasca krisis di Uni Eropa.
Menguatnya arus modal masuk
(capital inflow) ke emerging market
seperti Indonesia mendorong
apresiasi nilai tukar rupiah.
Sementara itu, dari sisi internal,
tekanan inflasi tahun 2011
cenderung menurun seiring
GRAFIK III.3 PERKEMBANGAN DAN PROYEKSI NILAI TUKAR 2006 – 2011
9.200 9.100
9.164 9.139
9.692
10.408
9.400
8.800
9.100
9.400
9.700
10.000
10.300
10.600
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Sumber: Bank Indonesia dan Kemenkeu
GRAFIK III.4 PERKEMBANGAN DAN PROYEKSI INFLASI
2010 – 2011 (Persen)
6,60 6,59
11,06
2,78
5,30
5,30 4,90
2
4
6
8
10
12
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Sumber: BPS dan Kemenkeu
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
37
semakin membaiknya pasokan dan distribusi bahan pangan diharapkan dapat meredam
kenaikan inflasi dari sisi volatile foods. Disamping itu, koordinasi kebijakan fiskal, moneter dan
sektor riil yang semakin baik yang didukung oleh semakin meningkatnya kesadaran pemerintah
daerah dalam upaya pengendalian inflasi diharapkan dapat menciptakan kestabilan harga di
dalam negeri.
Dengan memperhatikan faktor‐faktor yang mempengaruhi inflasi tersebut dan kebijakan fiskal,
sektor riil dan moneter dalam pengendalian inflasi, maka tahun 2011 inflasi diperkirakan akan
berkisar 4,9 – 5,3 persen (Grafik III.4).
4. Suku Bunga SBI 3 bulan
Semakin membaiknya perekonomian
global tahun 2011 akan memberikan
dampak yang positif bagi
perkembangan pasar keuangan global.
Kondisi tersebut memungkinkan
sejumlah negara maju untuk
mempertahankan kebijakan moneter
yang akomodatif sebagai upaya untuk
mempercepat proses pemulihan
ekonomi. Dari dalam negeri proses
pemulihan ekonomi yang sedang
berlangsung diperkirakan memberikan sedikit dorongan pada inflasi tahun 2011 sehingga akan
memberikan tekanan pada suku bunga acuan (BI rate) dan suku bunga SBI 3 bulan. Namun,
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan Pemerintah dan Bank Indonesia
diharapkan dapat menjaga real interest rate Indonesia tetap menarik. Dengan
mempertimbangkan faktor‐faktor tersebut, rata‐rata suku bunga SBI 3 bulan pada tahun 2011
diproyeksikan berkisar antara 6,3 – 6,7 persen.
5. Harga dan Lifting Minyak
Semakin pulihnya perekonomian global tahun 2011 akan memicu tingginya permintaan minyak
dunia. Di sisi lain persediaan dan distribusi minyak dunia diperkirakan akan cenderung stabil.
Namun, permasalahan geopolitik di kawasan Timur Tengah, Nigeria, dan Amerika Latin
diperkirakan dapat mempengaruhi produksi dan harga minyak dunia. Menurut Badan Energi
Amerika (Energy Information Administration/EIA) rata‐rata harga minyak WTI pada tahun 2011
GRAFIK III.5 SUKU BUNGA SBI DAN PROYEKSI 2010 – 2011 (Persen)
11,75
8,00
9,30
7,50
6,50 6,70
6,50 6,30
2
4
6
8
10
12
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Sumber: Bank Indonesia dan Kemenkeu
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
38
diperkirakan sekitar US$83,5 per barel, sedikit lebih tinggi dari perkiraan tahun 2010 sebesar
US$80 per barel. Berdasarkan faktor‐faktor tersebut, maka perkiraan harga minyak Indonesia
(ICP) tahun 2011 sekitar US$80 – 85 per barel.
Sementara itu, pada tahun 2011 Pemerintah optimis adanya peningkatan pencapaian lifting
minyak sebagai hasil meningkatnya investasi di sektor pertambangan minyak. Dengan hasil
investasi baru tersebut dan optimalisasi terhadap sumber minyak yang telah ada maka lifting
minyak tahun 2011 diperkirakan akan mencapai kisaran 0,960 – 0,980 juta barel per hari.
6. Ketenagakerjaan dan Kemiskinan
Pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan penting yang dihadapi oleh negara‐
negara berkembang, termasuk Indonesia. Setiap tahun, Pemerintah selalu memfokuskan
program pembangunannya pada penanganan kedua masalah tersebut. Indikator‐indikator
sosial yang ada telah mencerminkan perbaikan dalam pengurangan tingkat pengangguran dan
kemiskinan.
Kondisi perekonomian dunia yang terus membaik diharapkan akan berimbas pada semakin
membaiknya kinerja perekonomian domestik sehingga laju pertumbuhan ekonomi terus
meningkat. Tingginya laju pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh kebijakan pemerintah
yang ekspansif akan mampu memperluas terciptanya lapangan kerja baru. Sejak tahun 2006,
secara rata‐rata setiap satu persen pertumbuhan ekonomi, dapat menyerap tenaga kerja baru
sekitar 400.000 orang. Penyerapan tenaga kerja ini diperkirakan akan semakin meningkat
sejalan dengan program dan kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan investasi melalui
perbaikan infrastruktur dan kebijakan lainnya. Dengan target pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi pada tahun 2010 dan 2011, pertumbuhan lapangan kerja baru diperkirakan
mencapai lebih dari 2 persen setiap tahunnya. Sementara itu, jumlah penduduk yang masuk
angkatan kerja setiap tahun diperkirakan meningkat rata‐rata sebesar 1,76 persen. Laju
pertumbuhan lapangan kerja baru yang lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan angkatan
kerja akan berdampak pada semakin menurunnya tingkat pengangguran. Penurunan tingkat
pengangguran ini juga ditopang oleh semakin tingginya angkatan kerja Indonesia yang bekerja
di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), sehingga pada akhir tahun 2011 tingkat
pengangguran terbuka diperkirakan berada pada kisaran 7,0 persen.
Seperti halnya pengangguran, jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan juga
menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Imbas dari krisis global memang menjadi
hambatan bagi efektivitas implementasi kebijakan dalam menanggulangi kemiskinan, namun
pada tahun 2011 Pemerintah terus menyempurnakan strategi untuk mengatasi masalah
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
39
kemiskinan dengan mencanangkan program untuk membantu masyarakat miskin baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang melalui program pemberdayaan masyarakat. Sejalan
dengan semakin luasnya lapangan pekerjaan, pendapatan masyarakat diharapkan juga akan
semakin meningkat dan jumlah penduduk miskin akan semakin menurun. Dengan berbagai
program dan kebijakan tersebut, tingkat kemiskinan tahun 2011 diperkirakan mencapai
kisaran 11,5 – 12,5 persen.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
40
BAB IV
POKOKPOKOK KEBIJAKAN FISKAL TAHUN 2011
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) disusun untuk memenuhi
amanat pasal 23 Undang‐undang Dasar 1945 sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara
yang ditetapkan setiap tahun dengan undang‐undang yang dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka pengajuan
RAPBN kepada DPR‐RI, Pemerintah menyusun Pokok‐pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) sebagai
penjabaran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di bidang keuangan negara. PPKF disusun setiap
tahun berdasarkan skala prioritas pembangunan, baik prioritas program
Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga, maupun kewilayahan. PPKF disusun
dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif sesuai
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh. Selain itu, PPKF juga merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Nasional tahun 2010‐2014 yang terintegrasi dengan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005‐2025, guna mewujudkan Indonesia yang sejahtera,
demokratis, dan berkeadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana
diamanatkan dalam UUD tahun 1945.
Secara garis besar, penyampaian pokok‐pokok kebijakan fiskal tahun 2011 dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu pelaksanaan kebijakan fiskal 2009 dan proyeksi 2010, perkiraan asumsi makro
ekonomi tahun 2011, serta pokok‐pokok kebijakan fiskal 2011.
A. Pelaksanaan Kebijakan Fiskal 2009 dan Proyeksi 2010
Sebagai salah satu instrumen ekonomi, kebijakan fiskal melalui APBN mempunyai peran yang
penting dalam mendukung pelaksanaaan program‐program pembangunan yang tertuang dalam
Rencana Kerja Pemerintah setiap tahun.
Dalam keadaan dimana pendapatan negara tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan
belanja, maka dilakukanlah kebijakan defisit anggaran negara. Dalam tahun 2009, realisasi
defisit APBN mencapai 1,6 persen PDB, yang berarti jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
realisasi defisit APBN 2008 yang hanya mencapai 0,1 persen PDB. Peningkatan realisasi defisit
APBN tahun 2009 tersebut disebabkan oleh kebijakan ekspansi fiskal melalui program stimulus
fiskal, guna meredam dampak negatif krisis keuangan global terhadap perekonomian nasional.
Kebijakan fiskal tersebut dinilai cukup efektif, sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
41
Indonesia tetap positif pada tingkat 4,5 persen dalam tahun 2009. Dalam tahun 2010, defisit
APBN diperkirakan kembali meningkat, yaitu dari 1,6 persen PDB dalam APBN 2010 menjadi
sebesar 2,1 persen PDB dalam APBN‐P 2010. Kenaikan defisit APBN dalam tahun 2010
disebabkan antara lain oleh: (1) penyesuaian asumsi ekonomi makro, (2) pelaksanaan program
stabilisasi harga melalui pengendalian subsidi, dan (3) percepatan pelaksanaan program‐
program prioritas pembangunan.
Perkembangan defisit APBN tersebut sangat ditentukan oleh realisasi/rencana pendapatan
negara dan belanja negara setiap tahun. Dalam tahun 2009, realisasi pendapatan negara dan
hibah mencapai Rp869,6 triliun, yang berarti mengalami penurunan 11,5 persen dari
realisasinya dalam tahun 2008. Penurunan realisasi pendapatan negara dalam tahun 2009
tersebut berasal, baik dari penerimaan perpajakan maupun dari penerimaan negara bukan
pajak (PNBP). Penurunan penerimaan perpajakan utamanya dari pajak penghasilan migas
terkait dengan lebih rendahnya realisasi harga minyak di tahun 2009 dibandingkan realisasinya
di tahun 2008. Selain itu, penurunan penerimaan perpajakan di tahun 2009 juga dipengaruhi
oleh lebih rendahnya kenaikan penerimaan perpajakan non‐migas sebagai dampak
perlambatan pertumbuhan ekonomi di tahun 2009 yang hanya sebesar 4,5 persen
dibandingkan pertumbuhan ekonomi di tahun 2008 yang mencapai 6,0 persen.
Dalam tahun 2010, diperkirakan pendapatan negara dan hibah akan kembali mengalami
peningkatan menjadi Rp992,4 triliun, atau meningkat 14,1 persen dari realisasinya di tahun
2009. Proyeksi kenaikan pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2010 tersebut,
direncanakan berasal dari kenaikan penerimaan perpajakan sebesar 15,9 persen dan kenaikan
PNBP sebesar 8,8 persen.
Di sisi belanja negara, realisasinya dalam tahun 2009 sebesar Rp957,5 triliun, yang berarti
mengalami penurunan 2,9 persen dari realisasi belanja negara dalam tahun 2008. Penurunan
realisasi belanja negara dalam tahun 2009, lebih disebabkan oleh penurunan subsidi energi
akibat harga minyak mentah yang lebih rendah di tahun 2009. Di sisi lain, belanja
Kementerian/Lembaga dan transfer ke daerah dalam tahun 2009 masih tetap menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan realisasinya di tahun 2008. Hal ini memperlihatkan ekspansi
fiskal dalam pembangunan di tahun 2009 tetap mengalami peningkatan, yang terutama terlihat
dari pelaksanaan kebijakan program stimulus fiskal.
Untuk pembiayaan anggaran, realisasinya sangat ditentukan oleh perencanaan yang telah
ditetapkan guna membiayai sasaran defisit anggaran dalam APBN‐P. Dalam tahun 2009,
realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp111,3 triliun, yang menunjukkan peningkatan dari
realisasinya di tahun 2008 sebesar Rp84,1 triliun. Realisasi pembiayaan anggaran dalam dua
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
42
tahun terakhir tersebut ternyata masih lebih besar dari realisasi defisit anggaran dalam masing‐
masing tahun yang sama, sehingga di akhir tahun anggaran 2008 dan 2009 terdapat sisa lebih
pembiayaan anggaran (SILPA) sekitar Rp80,0 triliun dan Rp23,5 triliun. Dalam tahun 2010,
sejalan dengan kebijakan memperlebar defisit dalam APBN‐P 2010 menjadi Rp133,7 triliun (2,1
persen PDB), maka pembiayaan anggaran juga mengalami peningkatan menjadi Rp133,7 triliun.
Kenaikan pembiayaan anggaran dalam APBN‐P 2010 tersebut dari yang direncanakan
sebelumnya sebesar Rp98,0 triliun dalam APBN 2010, utamanya berasal dari penggunaan dana
sisa anggaran lebih (SAL) tahun‐tahun sebelumnya. Selanjutnya, dalam Tabel IV.1 dapat dilihat
perkembangan APBN dalam beberapa tahun terakhir.
TABEL IV.1 RINGKASAN APBN TAHUN 2008 2010 (TRILIUN RUPIAH)
APBN APBN‐P b)
A Pendapatan Negara dan Hibah 981,6 869,6 949,7 992,4I Penerimaan Dalam Negeri 979,3 868,5 948,1 990,5
1. Penerimaan Perpajakan 658,7 641,4 742,7 743,32. Penerimaan Negara Bukan Pajak 320,6 227,1 205,4 247,2
II. Hibah 2,3 1,1 1,5 1,9
B. Belanja Negara 985,8 957,5 1.047,7 1.126,1 I. Belanja Pemerintah Pusat 693,4 648,9 725,2 781,5II. Transfer ke Daerah 292,4 308,6 322,4 344,6
C. Surplus/defisit Anggaran (4,1) (87,8) (98,0) (133,7)% terhadap PDB (0,1) (1,6) (1,6) (2,1)
D. Pembiayaan 84,1 111,3 98,0 133,7I. Dalam Negeri 102,5 128,1 107,9 133,9
II. Luar Negeri (18,4) (16,8) (9,9) (0,2)
Sumber: Kementerian Keuangan
Catatan: a) Unaudited
b) Persetujuan DPR pada sidang paripurna DPR tanggal 3 Mei 2010
Keterangan2010
2008 2009a)
1. Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan negara mempunyai peran yang sangat penting sebagai sumber pendanaan belanja
negara untuk pembangunan nasional. Realisasi pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2009
mencapai Rp869,6 triliun. Dari pencapaian tersebut, 73,8 persen diantaranya bersumber dari
penerimaan perpajakan. Kontribusi tersebut lebih besar apabila dibandingkan dengan perannya
di tahun 2008 sebesar 67,1 persen. Namun demikian, secara nominal penerimaan perpajakan
tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 2,6 persen dibandingkan dengan realisasi tahun
2008. Penurunan penerimaan perpajakan tersebut terutama disebabkan oleh terjadinya
pelambatan kegiatan perekonomian sebagai dampak dari krisis ekonomi dunia.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
43
Penurunan penerimaan perpajakan dalam tahun 2009 terutama berasal dari penurunan
penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar 48,6 persen. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya penurunan kegiatan ekspor dan impor sebesar 9,7 persen dan 15 persen akibat krisis
keuangan global. Di samping itu, krisis keuangan global juga sejalan dengan penurunan harga
minyak di pasar internasional, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan penerimaan PPh
migas sebesar 35,0 persen. Sebaliknya, penerimaan perpajakan non‐migas tahun 2009
mengalami kenaikan sebesar 4,4 persen. Peningkatan tersebut didukung oleh kebijakan
reformasi administrasi perpajakan, langkah‐langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan
yang berkelanjutan. Perkembangan penerimaan perpajakan 2005‐2010 dapat dilihat dalam
Grafik IV.1.
347,0 409,2 491,0 658,7 641,4743,0
13,0%
12,0%12,0%
13,0%
11,4%11,9%
10%
11%
12%
13%
14%
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2005 2006 2007 2008 2009 a) APBN‐P2010 b)
(triliun rupiah)
Penerimaan Perpajakan Tax ratioKeterangan:a) Unauditedb) Ketetapan DPR pada 3 Mei 2010
Sumber: Kementerian Keuangan
Sejalan dengan perkiraan mulai meningkatnya aktivitas perdagangan dunia di tahun 2010 ini,
Pemerintah memutuskan untuk terus melanjutkan kebijakan pemberian insentif perpajakan
bagi industri di dalam negeri. Insentif perpajakan tersebut diberikan dalam bentuk penurunan
tarif PPh Badan dari 28 persen menjadi 25 persen; pemberian fasilitas penurunan tarif PPh
Badan sebesar 5 persen dari tarif normal untuk perusahaan masuk bursa yang minimal 40
persen sahamnya dimiliki oleh publik; pemberian pajak ditanggung pemerintah dalam bentuk
subsidi pajak PPN dan bea masuk sektor tertentu; serta terus melanjutkan reformasi
administrasi perpajakan. Sedangkan insentif di bidang kepabeanan diberikan dalam bentuk
perbaikan fasilitas kepabeanan, insentif untuk perdagangan dan industri, serta fasilitas
keringanan bea masuk. Selain itu juga dilakukan kebijakan kenaikan tarif cukai yang dikuti
penyederhanaan tarif cukai, serta peningkatan pengawasan peredaran barang kena cukai.
GRAFIK IV.1 PENERIMAAN PERPAJAKAN, 20052010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
44
Dengan berbagai kebijakan tersebut di atas, Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan
dalam APBN‐P tahun 2010 menjadi sebesar Rp743,3 triliun, atau mengalami peningkatan 0,1
persen dari rencananya dalam APBN 2010 sebesar Rp742,7 triliun. Sumber utama peningkatan
penerimaan tersebut diharapkan dari pajak penghasilan (PPh) dan cukai, yaitu masing‐masing
sebesar 3,2 persen dan 3,4 persen. Sejalan dengan kenaikan penerimaan perpajakan tersebut,
tax ratio dalam tahun 2010 diperkirakan menjadi 11,9 persen, yang berarti mengalami
peningkatan dari realisasinya dalam tahun 2009 sebesar 11,4 persen.
Sampai dengan 30 April 2010, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp224,1 triliun atau
30,1 persen dari targetnya dalam APBN‐P 2010. Realisasi tersebut terutama didukung dari
pajak penghasilan, khususnya migas yang telah mencapai 33,1 persen, cukai sebesar 35,8
persen, dan bea masuk sebesar 36,1 persen. Penerimaan Perpajakan dalam tahun 2010 tersebut
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan perpajakan dalam periode yang sama
tahun sebelumnya yang mencapai 30,3 persen.
Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, realisasi PNBP dalam tahun 2009 sebesar
Rp227,1 triliun menunjukkan penurunan 29,2 persen dibandingkan dengan realisasinya dalam
tahun 2008. Penurunan penerimaan tersebut lebih disebabkan oleh lebih rendahnya
penerimaan SDA minyak bumi sebesar 46,7 persen, sebagai dampak dari turunnya harga
minyak mentah Indonesia (ICP) di tahun 2009, meskipun dari sisi lifting minyak mentah terjadi
peningkatan. Dalam tahun 2008, rata‐rata harga ICP (Desember 2007 – November 2008)
mencapai US$101,4 per barel, sedangkan dalam tahun 2009 rata‐rata harga ICP hanya
mencapai US$58,5 per barel.
Komponen terbesar PNBP berasal dari penerimaan sumber daya alam, yang terdiri dari minyak
bumi, gas alam, pertambangan umum, panas bumi, kehutanan, perikanan dan lainnya. Seiring
dinamika permintaan dan penawaran komoditas hasil sumber daya alam di pasar dunia, maka
penerimaan SDA, terutama minyak bumi dan gas alam mengalami perubahan akibat
perkembangan harga pasar. Pada tahun 2009, realisasi PNBP SDA mencapai Rp138,4 triliun
atau turun 38,3 persen dari realisasi tahun 2008. Pengaruh krisis keuangan global 2008
terhadap permintaan komoditas SDA dunia masih dirasakan oleh sektor pertambangan,
terutama minyak bumi, akibat koreksi terhadap kecendrungan peningkatan alami harga pasar
yang kini masih berada pada kisaran US$75‐US$80 per barel, jauh di bawah harga sebelum
krisis yang sempat mencapai US$130 per barel. Hal ini menyebabkan perubahan penerimaan
minyak bumi dan gas bumi tahun 2009 menjadi Rp125,7 triliun atau lebih rendah 40,6 persen
dibandingkan realisasi penerimaan tahun sebelumnya.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
45
Penerimaan dari laba BUMN dalam tahun 2009 sebesar Rp26,0 triliun mengalami penurunan
sebesar 10,4 persen dibandingkan realisasinya dalam tahun 2008. Realisasi penerimaan laba
BUMN ini sebagian besar masih terkait dengan fluktuasi harga minyak internasional yang
berpengaruh pada penurunan laba PT Pertamina. PT Pertamina merupakan penyumbang
deviden BUMN terbesar dalam bagian pemerintah atas laba BUMN. Di samping itu, krisis
keuangan global juga turut mempengaruhi kinerja keuangan BUMN, khususnya yang bergerak
pada sektor perbankan dan jasa keuangan.
Dalam APBN‐P 2010, PNBP ditargetkan mencapai Rp247,2 triliun, atau naik 20,3 persen
dibandingkan dengan rencananya dalam APBN 2010. Peningkatan penerimaan tersebut
diharapkan berasal dari kenaikan penerimaan SDA minyak dan gas bumi sebesar 25,9 persen,
yaitu dari Rp120,5 triliun menjadi Rp151,7 triliun sebagai akibat kenaikan asumsi harga minyak
ICP dari US$65 menjadi US$80 per barel. Sementara itu, penerimaan laba BUMN ditargetkan
menjadi Rp29,5 triliun, atau meningkat 22,9 persen dibandingkan dengan rencananya dalam
APBN 2010. Adapun PNBP Lainnya direncanakan menjadi Rp43,5 triliun, atau naik 8,9 persen
dari rencananya dalam APBN 2010.
Sampai dengan tanggal 30 April 2010, realisasi PNBP dalam tahun 2010 telah mencapai Rp52,2
triliun, atau 21,1 persen dari rencananya dalam APBN‐P 2010. Realisasi tersebut terutama
bersumber dari penerimaan SDA migas dan non‐migas sebesar 18,3 persen, dan PNBP lainnya
sebesar 43,8 persen. Pencapaian realisasi PNBP tahun 2010 tersebut lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan realisasi PNBP dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang masih
sebesar 17,1 persen. Dalam Grafik IV.2, dapat dilihat perkembangan PNBP dalam beberapa
tahun terakhir.
146,9
227,0 215,1
320,6
227,1247,2
0
50
100
150
200
250
300
350
2005 2006 2007 2008 2009 a) 2010 APBN‐P b)
(triliu
n ru
piah
)
BLULainnyaBUMNSDA
Keterangan:a) Unauditedb) Ketetapan DPR tanggal 3 Mei 2010
Sumber: Kementerian Keuangan
GRAFIK IV.2 PERKEMBANGAN PNBP, 2005 – 2010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
46
2. Belanja Negara
Kebijakan belanja negara berlandaskan pada penganggaran berbasis kinerja (PBK) dan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM) merupakan perubahan mendasar dalam sistem penganggaran. Kebijakan belanja negara menekankan pada outcome basis untuk kemudian diturunkan ke dalam output, program, dan alokasi anggaran, baik di pusat maupun di daerah untuk melaksanakan program‐program pembangunan nasional. Dalam tahun 2009, realisasi belanja negara mencapai Rp957,5 triliun atau turun 2,9 persen dari realisasinya pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut, realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp648,9 triliun, yang berarti lebih rendah 6,4 persen dari realisasinya pada tahun 2008. Penurunan belanja pemerintah pusat tersebut bersumber dari penurunan subsidi energi. Sedangkan untuk belanja K/L, realisasinya mengalami peningkatan hingga sebesar 18,1 persen pada periode yang sama tahun 2008. Dalam tahun 2010 alokasi belanja negara meningkat menjadi Rp1.126,1 triliun dalam APBN‐P 2010, atau bertambah sebesar Rp78,5 triliun dari yang telah ditetapkan dalam APBN 2010. Penambahan belanja negara yang sangat signifikan tersebut terutama ditujukan untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa, serta mempercepat pelaksanaan program prioritas pembangunan nasional. Kebijakan tersebut merupakan bentuk komitmen Pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mengurangi pengangguran, serta menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional yang lebih baik. Perkembangan belanja negara sejak tahun 2005 dapat dilihat pada Grafik IV.3.
Pada tahun 2009, realisasi belanja pemerintah pusat mengalami penurunan hingga 6,4 persen dari realisasinya dalam tahun sebelumnya. Namun penurunan belanja tersebut lebih disebabkan oleh penurunan subsidi energi (BBM dan listrik) yang sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak. Adapun belanja Kementerian/Lembaga tetap menunjukkan peningkatan untuk mendukung pelaksanaan program‐program pembangunan yang bersifat pro rakyat, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan anggaran pendidikan.
359,2 440,9 504,4693,3 648,9
781,5150,5226,2
253,3
292,4 308,6
344,6
509,7
667,1757,7
985,7 957,5
1126,1
0
200
400
600
800
1000
1200
2005 2006 2007 2008 2009a) APBN‐P2010b)
(triliun
rupiah)
Belanja Daerah
Belanja Pusat
Keterangan:a) Unauditedb) Sesuai kesepakatan dengan DPR RI 3 Mei 2010
Sumber: Kementerian Keuangan
GRAFIK IV.3 BELANJA NEGARA, 20052010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
47
Di tahun 2010, sejalan dengan dilakukannya percepatan perubahan APBN 2010, terjadi
tambahan belanja pemerintah pusat yang cukup besar, yakni dari Rp725,2 triliun dalam APBN
2010 menjadi Rp781,5 triliun dalam APBN‐P 2010. Kenaikan anggaran belanja pemerintah
pusat sebesar Rp56,3 triliun tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan
asumsi ekonomi makro, khususnya proyeksi harga minyak yang lebih tinggi ke US$80/barel
mengakibatkan bertambahnya anggaran subsidi energi. Kedua, kebijakan pemerintah untuk
menjaga stabilitas harga barang dan jasa, yaitu dengan mempertahankan harga BBM agar tidak
mengalami perubahan, penyesuaian yang lebih rendah terhadap rencana kenaikan HET pupuk
dan tarif daya listrik, mengakibatkan kenaikan beban subsidi energi dan pupuk. Ketiga,
kenaikan subsidi harga beras akibat penyesuaian HPP beras serta penambahan volume alokasi
beras bersubsidi kepada rumah tangga sasaran. Keempat, menampung tambahan anggaran
belanja untuk program‐program prioritas dan mendesak. Kelima, penambahan anggaran
pendidikan sejalan dengan rencana kenaikan belanja negara, guna menjaga rasio anggaran
pendidikan tetap 20 persen. Keenam, dampak dari proyeksi nilai tukar rupiah yang lebih
menguat dalam tahun 2010 diperoleh penghematan pembayaran bunga utang luar negeri.
238,4 251,5 279,6
433,6342,2
415,3
120,8189,4
225,0
259,7306,7
366,2
359,2440,9
504,6
693,3648,9
781,5
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
2005 2006 2007 2008 2009 a) APBN‐P2010 b)
(triliun
rupiaj)
K/L
Non K/L
Keterangan:a) Unauditedb) sesuai kesepakatan dengan DPR RI 3 Mei 2010
Sumber: Kementerian Keuangan
Dalam perkembangannya, hingga tanggal 30 April 2010, realisasi belanja pusat mencapai
Rp130,1 triliun, atau 16,7 persen dari rencananya dalam APBN‐P 2010. Realisasi tersebut
terutama ditunjang dari realisasi belanja pegawai sebesar Rp44,6 triliun (34,3 persen) dan
pembayaran bunga utang sebesar Rp29,1 triliun (22,4 persen).
GRAFIK IV.4 BELANJA PEMERINTAH PUSAT, 20052010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
48
Berbeda halnya dengan perkembangan transfer ke daerah, hingga tahun 2009 realisasinya terus
meningkat hingga menjadi Rp308,6 triliun, atau naik sebesar 5,5 persen dari realisasinya di
tahun 2008. Tingginya realisasi transfer ke daerah didukung oleh perbaikan sistem penyaluran
dan tingginya realisasi pelaksanaan proyek yang didanai dana alokasi khusus (DAK). Kenaikan
tertinggi dicapai oleh dana otonomi khusus dan penyesuaian, yang meningkat 55,5 persen.
Kenaikan tertinggi kedua dicapai oleh dana alokasi khusus, yang meningkat 18,9 persen.
Sedangkan dana bagi hasil mengalami penurunan sebesar 2,9 persen akibat realisasi
penerimaan migas yang lebih rendah.
Dalam tahun 2010, anggaran transfer ke daerah bertambah Rp22,2 triliun, yaitu dari Rp322,4
triliun dalam APBN 2010 menjadi Rp344,6 triliun dalam APBN‐P 2010. Peningkatan anggaran
tersebut dialokasikan untuk menambah dana penyesuaian ke daerah, dalam bentuk dana
penguatan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah, dana penguatan
infrastruktur dan prasarana daerah, serta dana percepatan pembangunan infrastruktur
pendidikan. Langkah strategis tersebut ditempuh guna mendukung percepatan pemerataan
pembangunan dan perluasan kesempatan kerja di daerah, serta mengoptimalkan pelaksanaan
kebijakan desentralisasi fiskal.
Sampai dengan tanggal 30 April 2010, realisasi transfer ke daerah telah mencapai Rp100,4
triliun, atau 29,1 persen dari rencananya dalam APBN‐P 2010. Realisasi ini terdiri dari DBH
sebesar Rp14,0 triliun (15,6 persen), DAU sebesar Rp79,0 triliun (38,8 persen), DAK sebesar
Rp5,2 triliun (24,5 persen), dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian sebesar Rp2,2 triliun
(7,2 persen).
150,5
226,2253,3
292,4308,6
344,6
,0
50,0
100,0
150,0
200,0
250,0
300,0
350,0
400,0
2005 2006 2007 2008 2009a) APBN‐P 2010b)
(triliun
rupiah)
OtsusPenyesuaianDAKDAUDBH
Keterangan:a) Unauditedb) Sesuai kesepakatan dengan DPR RI 3 Mei 2010
Sumber: Kementerian Keuangan
GRAFIK IV.5 TRANSFER KE DAERAH, 20052010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
49
3. Pembiayaan Anggaran
Hingga tahun 2009, realisasi defisit APBN terus mengalami fluktuasi. Bila dalam tahun 2008
realisasinya hanya sebesar Rp4,1 triliun (0,1 persen PDB), maka dalam tahun 2009 mengalami
peningkatan menjadi Rp87,8 triliun (1,6 persen PDB). Rendahnya defisit dalam tahun 2008
terutama disebabkan lebih tingginya realisasi pendapatan negara dari yang direncanakan,
sedangkan realisasi belanja negara hampir tidak jauh dari yang direncanakan. Di tahun 2009
sejalan dengan peningkatan ekspansi fiskal melalui program stimulus fiskal untuk
mengantisipasi dampak krisis global menimbulkan konsekuensi lebih tingginya defisit APBN
pada tahun tersebut. Di tahun 2010, Pemerintah melakukan perubahan APBN 2010 yang
mengakibatkan melebarnya sasaran defisit anggaran hingga menjadi 2,1 persen PDB dalam
APBN‐P 2010, dibandingkan rencana semula sebesar 1,6 persen PDB di APBN 2010.
Guna menutup defisit APBN setiap tahun, Pemerintah mengupayakan dari pembiayaan dalam
negeri dan pembiayaan luar negeri. Pada tahun 2009, realisasi pembiayaan mencapai Rp111,3
triliun, dalam bentuk pembiayaan dalam negeri sebesar Rp128,1 triliun dan pembiayaan luar
negeri neto sebesar minus Rp16,8 triliun. Realisasi pembiayaan anggaran tahun 2009 tersebut
jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan realisasinya di tahun 2008, yaitu sebesar Rp84,1
triliun. Namun, karena realisasi defisit APBN di tahun 2008 jauh lebih rendah dibandingkan di
tahun 2009, maka jumlah SILPA di tahun 2008 sebesar Rp80 triliun masih jauh lebih besar dari
SILPA di tahun 2009 sebesar Rp23,5 triliun.
Sementara itu, di tahun 2010, seiring dengan kenaikan defisit APBN‐P 2010 menjadi Rp133,7
triliun (lihat grafik IV.6), maka sepenuhnya akan dibiayai dari sumber pembiayaan dalam negeri
sebesar Rp133,9 triliun, sedangkan pembiayaan luar negeri neto tercatat minus Rp0,2 triliun.
Walaupun dalam tahun 2010 terjadi kenaikan defisit anggaran yang cukup besar, namun
Pemerintah berkomitmen untuk lebih mengupayakan sumber pembiayaan dari dalam negeri
dengan memanfaatkan dana SAL sebesar Rp39,3 triliun. Melalui semangat kemandirian
pembiayaan defisit yang terus dipertahankan setiap tahun, diharapkan pembiayaan melalui
utang dapat ditekan serendah mungkin apabila sumber pembiayaan non‐utang tidak
mencukupi, dan penggunaannya diupayakan untuk membiayai kegiatan yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, maka diharapkan rasio utang pemerintah terhadap
PDB dapat terus diupayakan menurun hingga menjadi sekitar 27,8 persen di akhir tahun 2010.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
50
-14,4-29,1 -49,8 -4,1 -87,4 -133,7
22,636,0
57,2
85,999,4 107,5
-10,3 -26,6 -23,9
-18,4 -16,8
0,8
-1,2
20,09,1 16,6
43,225,4
-0,5-0,9
-1,3
-0,1
-1,6
-2,1
(3)
(2)
(1)
-
1
2
3
(140)(120)(100)
(80)(60)(40)(20)
-20 40 60 80
100 120 140
2005 2006 2007 2008 2009 a) 2010 b)
[ % thd. PDB ][ Triliun Rupiah ]
Defisit (Surplus) APBN SBN - netoPinjaman DN & LN - neto Non-Utang - netoDefisit APBN, % thd. PDB (RHS)
Keterangan :a) Unauditedb) Ketetapan DPR pada 3 mei 2010
Sumber: Kementerian Keuangan
Berdasarkan realisasi APBN sampai dengan 30 April 2010, pembiayaan anggaran telah
mencapai Rp37,1 triliun, atau 27,7 persen dari rencananya dalam APBN‐P 2010. Realisasi
tersebut terutama didominasi oleh realisasi pembiayaan utang yang mencapai sebesar Rp36,7
triliun melalui penerbitan Surat Berharga Negara neto sebesar Rp42,6 triliun, sementara
pembiayaan dari penarikan pinjaman luar negeri neto sebesar minus Rp5,9 triliun. Penerbitan
SBN neto berasal dari penerbitan SBN domestik sebesar Rp65,3 triliun, penerbitan SBN valas
sebesar Rp18,6 triliun dan pembayaran pokok jatuh tempo sebesar Rp41,2 triliun. Penarikan
pinjaman luar negeri neto berasal dari penarikan pinjaman proyek sebesar Rp2,0 triliun,
penarikan pinjaman program sebesar Rp5,4 triliun (US$600 juta) dari JICA dan ADB, dan
pelunasan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp13,3 triliun. Sedangkan realisasi
pembiayaan non‐utang sampai dengan 30 April 2010 berasal dari hasil pengelolaan aset
sebesar Rp300 miliar.
GRAFIK IV.7 POSISI UTANG PEMERINTAH, 20052010
1.313,3 1.302,2
1.389,4
1.636,7 1.590,7 1.735,7
47,3%
39,0%
35,2%
33,0%28,3% 27,8%
0
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
2.000
25%
30%
35%
40%
45%
50%
2005 2006 2007 2008 2009a) 2010b)
(triliu
n rup
iah)
(% thd P
DB)
Outstanding UtangDebt to GDP Ratio
Keterangan:a) Unauditedb) Angka sangat sementara (s.d. Mar 2010 mencapai Rp1.594,2 triliun)
Sumber: Kementerian Keuangan
GRAFIK IV.6 SUMBER PEMBIAYAAN APBN, 20052010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
51
B. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 2011
Proyeksi perekonomian nasional pada tahun 2011 akan sangat dipengaruhi oleh perbaikan
ekonomi global. Indikator perekonomian Indonesia dalam tahun 2011 diperkirakan sebagai
berikut : (i) pertumbuhan ekonomi akan kembali meningkat diatas 6 persen; (ii) tingkat inflasi
dapat dikendalikan pada tingkat yang cukup rendah berkisar 4,9 hingga 5,3 persen; (iii) tingkat
suku bunga SBI 3 bulan stabil pada kisaran 6,3 hingga 6,7 persen; (iv) nilai tukar rupiah sedikit
mengalami fluktuasi pada kisaran Rp9.100 hingga Rp9.400 per dolar AS; (v) harga minyak
dunia diperkirakan sedikit meningkat pada kisaran US$80 hingga US$85 per barel; serta (vi)
lifting minyak mentah Indonesia naik menjadi 0,960 hingga 0,980 juta barel per hari. Rincian
asumsi ekonomi makro tahun 2011 sebagai dasar penyusunan pagu indikatif dapat dilihat pada
Tabel IV.2.
TABEL IV.2 ASUMSI EKONOMI MAKRO 20102011
2011
APBN APBN-P Pagu Indikatif
1. Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,5 5,8 6,2 - 6,4
2. Inflasi (%) 5,0 5,3 4,9 - 5,3
3. Nilai Tukar (Rp/US$) 10.000 9.200 9.100 - 9.400
4. Suku bunga SBI 3 bulan (%) 6,5 6,5 6,3 - 6,7
5. Harga Minyak ICP (US$/barel) 65 80 80 - 85
6. Lifting Minyak (juta barel/hari) 0,965 0,965 0,960 - 0,980
Sumber: Kementerian Keuangan
2010Indikator Ekonomi
C. SASARAN DAN KEBIJAKAN FISKAL 2011
Sesuai dengan amanat perundang‐undangan, penyusunan kebijakan fiskal (APBN) dalam tahun
2011 mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2011 yang membawa tema
“Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tatakelola
dan Sinergi Pusat Daerah”. Penyusunan RKP tahun 2011 tersebut selayaknya sejalan dengan
rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2010‐2014 yang telah
menggariskan bahwa visi pembangunan 2010‐2014 adalah terwujudnya Indonesia yang
sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Untuk mewujudkan visi tersebut telah ditetapkan 3
misi yang akan dilakukan, yakni: (i) melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang
sejahtera, (ii) memperkuat pilar‐pilar demokrasi, dan (iii) memperkuat dimensi keadilan di
semua bidang.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
52
Hingga saat ini dan dalam waktu ke depan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa
Indonesia guna mewujudkan Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan hingga 5
tahun ke depan. Pada saat ini, tantangan pokok pembangunan tahun 2011 adalah menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan
mengurangi kemiskinan secara optimal. Tantangan lainnya yang juga dinilai pokok adalah
membangun tatakelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pengelolaan keuangan negara. Selain itu, untuk menjaga konsistensi kebijakan otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan sinergi antara pusat
dan daerah. Hal ini sangat penting, dalam rangka mengelola pembangunan daerah dan
menyediakan pelayanan umum yang terbaik bagi masyarakat di daerah.
Sejalan dengan RPJMN 2010‐2014 serta tantangan yang harus dihadapi, maka sasaran
pembangunan tahun 2011 dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni: (1) sasaran pembangunan
kesejahteraan, (2) sasaran perkuatan pembangunan demokrasi, dan (3) sasaran penegakan
hukum.
Pada sasaran pertama dalam pembangunan kesejahteraan, di bidang ekonomi akan ditujukan
untuk mencapai tingkat pertumbuhan di atas 6 persen, pengendalian tingkat inflasi, serta
penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Di bidang pendidikan akan ditujukan untuk
menurunkan angka buta aksara, meningkatkan angka partisipasi sekolah mulai tingkat SD
sampai perguruan tinggi, serta mengurangi disparitas partisipasi dan kualitas pelayanan
pendidikan. Di bidang lainnya akan ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan,
meningkatkan produksi energi dan listrik, serta pembangunan infrastruktur jalan serta jaringan
prasarana dan penyediaan sarana transportasi. Sedangkan untuk sasaran pembangunan yang
kedua, penguatan pembangunan demokrasi, akan ditujukan pada peningkatan kualitas
demokrasi Indonesia. Untuk sasaran ketiga, penegakan hukum, ditujukan pada tercapainya
suasana dan kepastian keadilan melalui penegakan hukum dan terjaganya ketertiban umum.
Untuk mencapai sasaran pembangunan dalam tahun 2011 tersebut, peranan kebijakan fiskal
sangat dibutuhkan dengan memanfaatkan secara optimal sumber‐sumber pendapatan negara,
pengalokasian belanja negara yang efisien dan efektif untuk melaksanakan program‐program
pembangunan, serta memanfaatkan sumber‐sumber pembiayaan yang layak dan berisiko
rendah. Peranan fiskal tersebut diwujudkan dengan menetapkan sementara arah defisit tahun
2011 pada tingkat 1,7 persen PDB.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
53
‐14,4 ‐29,1‐49,8 ‐4,1
‐87,8
‐133,7 ‐119,6‐0,5
‐0,9‐1,3
‐0,1
‐1,6
‐2,1‐1,7
‐2,5
‐2,0
‐1,5
‐1,0
‐0,5
0,0
‐160,0‐140,0‐120,0‐100,0‐80,0‐60,0‐40,0‐20,00,0
2005 2006 2007 2008 2009 a)APBN‐P2010 b) 2011 c)
(% th
d PD
B)
(trili
un ru
piah
)
Nominal% thd PDB
Keterangan:a)Unauditedb) Penetapan DPR pada 3 Mei 2010c) Pagu Indikatif
Sumber: Kementerian Keuangan
Penetapan pagu indikatif tahun 2011 tersebut didasarkan pada langkah optimalisasi sumber‐
sumber pendapatan negara, antara lain melalui ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan
perpajakan dengan tetap mempertimbangkan pemberian insentif pada kegiatan dunia usaha,
serta ditopang dengan langkah‐langkah reformasi birokrasi perpajakan, kepabeanan dan cukai.
Selain itu juga dilakukan langkah‐langkah untuk terus meningkakan produksi sumber daya
alam, baik migas maupun non migas guna meningkatkan penerimaan negara bukan pajak. Di
sisi belanja negara, kebijakan alokasi anggaran akan diarahkan untuk melaksanakan program‐
program pembangunan, guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam RKP 2011, yaitu
pembangunan kesejahteraan, perkuatan pembangunan demokrasi, dan penegakan hukum.
Untuk menutup sasaran defisit dalam tahun 2011, maka akan diupayakan sumber pembiayaan
dari dalam negeri yang didukung sumber pembiayaan luar negeri dengan tetap
mempertahankan penurunan rasio utang terhadap PDB secara berkesinambungan (debt
sustainability).
Kebijakan Fiskal Pemerintah dalam mendukung pembangunan pada tahun 2011 akan
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat melalui tiga sasaran utama (Triple Track
Strategy), antara lain dengan (1) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi (ProGrowth);
(2) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (ProJob), diantaranya melalui pemberian
insentif pajak guna meningkatkan investasi dan ekspor, serta peningkatan belanja modal untuk
pembangunan Infrastruktur; (3) memperbaiki kesejahteraan rakyat melalui program‐program
jaring pengaman sosial yang berpihak pada rakyat miskin (Propoor) dengan menjaga
kesinambungan program kesejahteraan rakyat serta pemberian subsidi yang lebih tepat
sasaran.
GRAFIK IV.8 REALISASI DAN DEFISIT APBN, 2005 – 2011
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
54
1. Kebijakan Pendapatan Negara
Prospek kembali pulihnya perekonomian dunia dan semakin meningkatnya perekonomian nasional di tahun 2011 merupakan suatu modal dasar untuk terus mengoptimalkan sumber‐sumber pendapatan negara, khususnya dari perpajakan yang semakin dominan menopang pendapatan negara. Berdasarkan asumsi ekonomi makro seperti yang disampaikan sebelumnya, dalam tahun 2011 diperkirakan pendapatan negara dan hibah akan mencapai Rp1.086,7 triliun, yang berarti mengalami kenaikan 9,5 persen dari perkiraan pendapatan negara di tahun 2010. Dari perkiraan pendapatan negara dalam tahun 2011 tersebut, diharapkan sekitar 77,3 persen akan disumbang dari penerimaan perpajakan, dan sebagian besar lainnya (22,4 persen) berasal dari PNBP.
Penerimaan perpajakan tahun 2011 diharapkan akan mencapai Rp839,9 triliun, yang berarti meningkat 13,0 persen dari perkiraannya di tahun 2010. Proyeksi penerimaan perpajakan sebesar Rp839,9 trilun tersebut dihitung dengan menggunakan basis perkiraan realisasi tahun 2010, faktor pengganda dari asumsi ekonomi makro tahun 2011, dan langkah‐langkah tambahan (extra effort) untuk mengoptimalkan pemungutan sumber‐sumber penerimaan perpajakan. Langkah‐langkah tambahan tersebut antara lain dalam bentuk perbaikan administrasi perpajakan, penggalian potensi perpajakan, peningkatan pemeriksaan pajak, serta perbaikan mekanisme keberatan dan banding.
Langkah perbaikan administrasi perpajakan dilakukan antara lain dalam bentuk pengalihan BPHTB serta PBB sektor perdesaan dan perkotaan yang semula merupakan pajak pusat dialihkan menjadi pajak daerah berdasarkan ketentuan Undang‐undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Perbaikan administrasi perpajakan juga akan dilakukan dengan melanjutkan penghapusan fiskal luar negeri bagi WP orang pribadi yang mempunyai NPWP. Langkah penggalian potensi perpajakan dalam tahun 2011 dilakukan dalam bentuk pelaksanaan program ekstensifikasi terhadap WP baru dan program intensifikasi penggalian potensi perpajakan berbasis profile WP dan penggalian sektor tertentu, serta aplikasi optimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP). Selanjutnya, penggalian potensi juga dilakukan melalui pemberian pendidikan perpajakan (tax education) dalam rangka meningkatkan kepatuhan WP (tax payer compliance). Kemudian Pemerintah juga akan melanjutkan program reformasi perpajakan, antara lain melalui program Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang penyelesaiannya membutuh waktu cukup lama (2009 – 2013)
Optimalisasi penerimaan perpajakan tahun 2011 juga didukung dengan upaya peningkatan
kualitas pemeriksaan pajak. Beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah untuk
mengoptimalkan pemeriksaan pajak diantaranya dengan (1) membuat kebijakan teknis
pemeriksaan atas hasil pemeriksaan WP yang tergabung dalam satu grup, (2) melakukan kajian
atas perlakuan PPN untuk barang hasil tambang, (3) meningkatkan koordinasi dengan berbagai
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
55
instansi terkait sehubungan dengan pencairan piutang pajak dan prioritas pencairan kepada
penunggak pajak terbesar, dan (4) harmonisasi undang‐undang Ketentuan Umum Perpajakan,
undang‐undang Kepailitan, serta undang‐undang terkait tentang hak mendahulukan negara atas
piutang pajak terhadap WP yang dinyatakan pailit.
Dalam rangka mendukung optimalisasi penerimaan pajak, Pemerintah akan menyempurnakan
mekanisme atas keberatan dan banding, antara lain melalui kegiatan optimalisasi pemanfaatan
informasi dari putusan pengadilan pajak serta keputusan keberatan dan non keberatan sebagai
bahan untuk penggalian potensi perpajakan. Selain itu, Pemerintah akan menyusun kembali
grand strategy untuk meningkatkan pengawasan, guna menghindari dan mengurangi
penyalahgunaan wewenang, serta meningkatkan fungsi ligitasi agar Pemerintah dapat
memenangkan sengketa dalam sidang banding dan gugatan di Pengadilan Pajak.
Di bidang kepabeanan, optimalisasi penerimaan dalam tahun 2011 dilakukan antara lain
melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang impor, peningkatan
efektivitas pemeriksaan fisik barang, peningkatan kolektibilitas piutang kepabeanan dan cukai,
dan peningkatan pengawasan di daerah perbatasan, terutama jalur rawan penyelundupan, serta
optimalisasi fungsi unit pengawasan melalui peningkatan patroli darat dan laut.
Sejalan dengan langkah optimalisasi di bidang kepabeanan, juga akan dilakukan peningkatan
pelayanan, antara lain dengan (1) melanjutkan reformasi birokrasi, melalui pembentukan
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai madya dan penyempurnaan birokrasi di
lingkungan internal, (2) penyempurnaan implementasi INSW di 5 kantor pabean (Tanjung
Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas, Bandara Soekarno Hatta, dan Belawan), (3) otomatisasi
pelayanan, (4) implemetasi kawasan pelayanan pabean terpadu, serta (5) konsistensi pelayanan
kepabeanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu di empat pelabuhan utama (Tanjung Priok,
Tanjung Perak, Makasar dan Belawan).
Terkait dengan upaya peningkatan pengawasan di bidang kepabeanan, beberapa kebijakan
yang diambil adalah dengan melakukan penataan hubungan kerja antar unit pengawasan,
penerapan pola profiling secara sistematis dalam rangka risk management, melakukan
pendeteksian dini terhadap pelanggaran, otomatisasi proses pengawasan secara vertikal dan
horisontal, serta perbaikan bisnis proses audit dan revitalisasi fungsi audit.
Di bidang cukai, kebijakan pada tahun 2011 tetap diarahkan pada konsistensi pelaksanaan road
map cukai hasil tembakau. Selain itu, optimalisasi penerimaan cukai juga dilakukan melalui
ekstensifikasi barang kena cukai, pelekatan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya untuk
minuman mengandung etil alkohol (MMEA) golongan A, pemanfaatan informasi teknologi di
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
56
bidang pelayanan cukai dan peningkatan pengawasan di bidang cukai, serta optimalisasi
sosialisasi di bidang cukai.
Sementara itu, dalam rangka mendukung sasaran pertumbuhan investasi sesuai dengan RKP
2011, di sisi kebijakan kepabeanan dan cukai, akan terus diupayakan perbaikan sistem
informasi. Upaya tersebut dilaksanakan melalui (1) pengoperasian secara penuh Indonesia
National Single Window (INSW) untuk impor (sebelum 2010) dan untuk ekspor, (2) percepatan
realisasi proses penyelesaian bea cukai di luar pelabuhan dengan implementasi tahap pertama
Custom Advance Trade System (CATS) di dry port Cikarang, dan (3) pengembangan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) dilakukan melalui pengembangan KEK di 5 lokasi melalui skema Public
Private Partnership sebelum 2014.
Menimbang bahwa penurunan harga komoditas sumber daya alam membuka peluang investasi
pada tingkat imbal hasil yang lebih efisien sehubungan dengan korelasi penurunan harga
minyak bumi terhadap turunnya harga faktor dan peralatan pertambangan, maka Pemerintah
melakukan standarisasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dan gas alam melalui
penyusunan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Cost Recovery Migas di tahun 2010
guna mendorong peningkatan kapasitas lifting sumur‐sumur yang ada, di samping mendorong
investasi sumur‐sumur baru di tahun 2011.
Di sisi PNBP, kebijakan tahun 2011 akan terus diupayakan untuk mengoptimalkan penerimaan
dari sumber PNBP, terutama dari penerimaan SDA dan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN.
Dari sumber penerimaan SDA, pemerintah akan mengoptimalkan penerimaan terutama dari
penerimaan SDA Migas antara lain melalui upaya (i) peningkatan produksi minyak mentah
dengan didukung insentif fiskal, (ii) efisiensi Cost Recovery dengan berpedoman pada peraturan
pemerintah yang ada, dan (iii) melakukan secara insentif penagihan penjualan hasil migas
bagian negara.
Adapun penerimaan dari bagian pemerintah atas laba BUMN akan dipengaruhi dinamika
sektoral yang lebih heterogen dengan siklus bisnis yang lebih beragam. Menimbang arti penting
pengembangan BUMN, khususnya sektor perbankan dan keuangan, maka dalam tahun 2011
kebijakan penerimaan dari laba BUMN mengutamakan strategi realokasi kegunaan dana terbaik
antara penarikan deviden untuk APBN dibandingkan dengan laba ditahan untuk investasi
perseroan yang didasarkan pada: (1) tingkat dividen 20‐55 persen, kecuali perseroan dengan
akumulasi rugi dan/atau perseroan jasa asuransi, (2) penyehatan BUMN krisis melalui
penyertaan modal negara (PMN) atau restrukturisasi neraca, (3) penetapan margin atas BUMN
yang melakukan public service obligation (PSO) dan/atau domestic market obligation (DMO),
(4) konsolidasi dan ekspansi BUMN dengan prospek pertumbuhan, (5) peningkatan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
57
pengendalian internal dan mutu penyajian laporan keuangan melalui adaptasi international
financial reporting standards (IFRS) di tahun 2012.
Untuk PNBP lainnya dan pendapatan BLU, optimalisasi penerimaannya diupayakan antara lain
melalui: (i) peningkatan pelayanan dan perbaikan administrsai PNBP kementerian/lembaga;
(ii) melakukan penyempurnaan beberapa peraturan terkait dengan jenis dan tarif PNBP
kementerian/lembaga; dan (iii) melakukan monitoring, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan
pengelolaan PNBP kementerian/lembaga.
2. Kebijakan Belanja Negara
Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011, sasaran pembangunan yang hendak
dicapai dalam tahun 2011 adalah pembangunan kesejahteraan, perkuatan pembangunan
demokrasi, dan penegakan hukum. Dalam pembangunan kesejahteraan tahun 2011, sasaran
utama yang hendak dicapai di bidang ekonomi adalah tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 6,2
– 6,4 persen, pengendalian laju inflasi, penurunan tingkat pengangguran (terbuka) ke 7,0
persen, dan pengurangan tingkat kemiskinan ke 11,5 – 12,5 persen.
Pembangunan kesejahteraan di bidang pendidikan akan ditujukan untuk meningkatkan rata‐
rata lama sekolah, menurunkan angka buta aksara, meningkatnya angka partisipasi minimum di
tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, meningkatnya angka partisipasi kasar di
tingkat sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, serta menurunkan disparitas partisipasi
dan kualitas pelayanan pendidikan. Di bidang pangan, pembangunan kesejahteraan ditujukan
untuk meningkatkan produksi komoditi pangan (padi, jagung, kedelai), serta gula, daging sapi,
dan ikan.
Untuk bidang energi, pembangunan kesejahteraan diarahkan pada peningkatan kapasitas
pembangkit listrik, peningkatan rasio elektrifikasi, peningkatan produksi minyak bumi, serta
peningkatan pemanfaatan energi panas bumi. Selanjutnya, sasaran pembangunan kesejahteraan
di bidang infrastruktur diarahkan utamanya untuk : (i) pembangunan jalan lintas Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua,
(ii) pembangunan jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antar‐moda dan
antar‐pulau yang terintegrasi sesuai dengan sistem transportasi nasional dan cetak biru
transportasi multimoda, dan (iii) perbaikan sistem dan jaringan transportasi di beberapa kota
besar di Indonesia.
Selain itu, sasaran pembangunan dalam perkuatan pembangunan demokrasi ditujukan untuk
meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Demikian pula untuk sasaran pembangunan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
58
penegakan hukum akan ditujukan pada tercapainya suasana dan kepastian keadilan melalui
penegakan hukum (rule of law), serta terjaganya ketertiban umum.
Guna mencapai sasaran utama pembangunan dalam tahun 2011 tersebut di atas, dari sisi fiskal
direncanakan akan didukung dengan alokasi anggaran belanja negara sebesar Rp1.204,9 triliun,
yang akan dialokasikan melalui belanja pemerintah pusat sebesar Rp840,9 triliun (69,8 persen)
dan anggaran transfer ke daerah sebesar Rp364,1 triliun (30,2 persen). Dengan perkiraan
alokasi anggaran belanja negara dalam tahun 2011 tersebut, maka berarti menunjukkan
kenaikan 7,0 persen dari anggaran belanja negara pada tahun 2010.
Dengan anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2011 yang direncanakan akan
mencapai Rp840,9 triliun, menunjukkan kenaikan sekitar 7,6 persen dari anggarannya dalam
tahun 2010. Anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2011 tersebut akan dimanfaatkan
untuk mendukung 11 prioritas pembangunan, yaitu : (i) reformasi birokrasi dan tata kelola,
(ii) pendidikan, (iii) kesehatan, (iv) penanggulangan kemiskinan, (v) ketahanan pangan,
(vi) infrastuktur, (vii) iklim investasi dan iklim usaha, (viii) energi, (ix) lingkungan hidup dan
pengelolaan bencana, (x) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca konflik, serta
(xi) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.
Prioritas pembangunan yang pertama, reformasi birokrasi dan tata kelola, arah kebijakannya
akan ditujukan sebagai berikut. Pertama, penataan kelembagaan pemerintahan melalui proses
konsolidasi struktural dan peningkatan kapasitas kementerian/lembaga yang menangani
aparatur negara, serta restrukturisasi lembaga pemerintah. Kedua, pemantapan pelaksanaan
desentralisasi dalam rangka memantapkan pembagian urusan pemerintahan serta peningkatan
kapasitas kelembagaan, keuangan dan aparatur pemerintah daerah. Ketiga, penyempurnaan
manajemen kepegawaian berbasis sistem merit dalam rangka peningkatan kinerja dan
profesionalisme pegawai. Keempat, pembenahan peraturan perundang‐undangan nasional, baik
di tingkat pusat maupun daerah melalui upaya harmonisasi dan sinkronisasi. Kelima, penetapan
dan penerapan sistem indikator kinerja utama pelayanan publik yang selaras antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga terwujud pelayanan publik yang
berkualitas. Keenam, peningkatan integrasi serta integritas penerapan dan penegakan hukum.
Ketujuh, penyempurnaan kualitas data dan informasi kependudukan sebagai dasar dalam
menerbitkan dokumen kependudukan.
Prioritas pembangunan yang kedua, pendidikan, akan diarahkan kebijakannya pada:
(a) peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata,
(b) peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah, (c) peningkatan kualitas,
relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi, (d) peningkatan profesionalisme dan pemerataan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
59
distribusi guru dan tenaga kependidikan, (e) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan
non‐formal, (f) peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini, (g) pemantapan
pelaksanaan sistem pendidikan nasional, (h) peningkatan kualitas pendidikan agama dan
keagamaan, serta (i) peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan.
Prioritas pembangunan yang ketiga, kesehatan, diarahkan kebijakannya sebagai berikut.
Pertama, pelaksanaan program kesehatan preventif terpadu yang meliputi pemberian imunisasi
dasar, penyediaan akses sumber air bersih dan akses terhadap sanitasi dasar berkualitas,
penurunan tingkat kematian ibu, serta tingkat kematian bayi. Kedua, revitalisasi program KB
melalui peningkatan kualitas dan jangkauan layanan KB. Ketiga, peningkatan sarana kesehatan
melalui penyediaan dan peningkatan kualitas layanan rumah sakit berakreditasi internasional.
Keempat, peningkatan ketersediaan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial generik.
Kelima, penerapan asuransi kesehatan nasional untuk masyarakat miskin dan diperluas secara
bertahap untuk seluruh penduduk (universal coverage).
Prioritas pembangunan yang keempat, penanggulangan kemiskinan, lebih diarahkan
kebijakannya pada: (i) mendorong pertumbuhan yang pro‐rakyat miskin dengan memberi
perhatian khusus pada usaha‐usaha yang melibatkan orang‐orang miskin dan orang‐orang
dengan kondisi khusus, (ii) meningkatkan kualitas kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan melalui kebijakan afirmatif/keberpihakan, dan (iii) meningkatkan efektivitas
pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah.
Prioritas pembangunan yang kelima, ketahanan pangan, diarahkan kebijakannya sebagai
berikut. Pertama, pelaksanaan perluasan lahan pertanian dan perikanan sesuai dengan kaidah
pembangunan berkelanjutan dan tata ruang. Kedua, perbaikan dan pembangunan infrastruktur
pertanian dan perikanan, khususnya jaringan irigasi, serta jalan usaha tani dan produksi di
daerah sentra produksi. Ketiga, penyediaan benih/bibit unggul dan dukungan terhadap
pengembangan industri hilir pertanian dan perikanan hasil inovasi penelitian dan
pengembangan dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas hasil pertanian.
Keempat, pemantapan cadangan pangan pemerintah dan percepatan penganekaragaman
konsumsi pangan masyarakat. Kelima, stabilisasi harga bahan pangan dalam negeri. Keenam,
jaminan ketersediaan pupuk dan pengembangan pupuk organik melalui perbaikan mekanisme
subsidi pupuk.
Prioritas pembangunan yang keenam, infrastuktur, akan diarahkan kebijakannya dalam bentuk
berikut. Pertama, meningkatkan keselamatan, keamanan dan kualitas pelayanan transportasi
yang memadai dan merata, guna mewujudkan sistem logistik nasional yang menjamin distribusi
bahan pokok, bahan strategis dan non‐strategis untuk seluruh masyarakat. Kedua,
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
60
pembangunan infrastruktur transportasi yang mampu menciptakan keterhubungan
antarwilayah (domestic connectivity) dan menjamin kelancaran distribusi barang di seluruh
wilayah Indonesia. Ketiga, meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana sesuai dengan
standar pelayanan minimal (SPM) melalui penyediaan rumah susun sederhana sewa, fasilitasi
pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas kawasan perumahan dan permukiman, fasilitasi
dan stimulasi pembangunan baru perumahan swadaya, serta fasilitasi dan stimulasi
peningkatan kualitas perumahan swadaya. Keempat, percepatan penyelesaian pembangunan
sarana dan prasarana pengendali banjir, terutama pada daerah perkotaan dan pusat‐pusat
perekonomian. Kelima, terkait dengan komunikasi dan informatika yaitu melanjutkan upaya
pengurangan blank spot, memfasilitasi pembangunan infrastruktur komunikasi dan informatika
yang modern, meningkatkan kualitas penyediaan dan pemanfaatan informasi, serta penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK ) secara efektif.
Prioritas pembangunan yang ketujuh, iklim investasi dan iklim usaha, arah kebijakannya adalah sebagai berikut. Untuk ketenagakerjaan diarahkan kebijakannya melalui: (1) sosialisasi rancangan amandemen Undang‐undang No. 13 Tahun 2003 kepada serikat pekerja, asosiasi pengusaha, perusahaan, lembaga legislatif tingkat propinsi, dan kabupaten/kota, (2) peningkatan kualitas hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja dalam rangka mendorong pencapaian proses negosiasi bipartite, dengan meningkatkan teknik‐teknik bernegosiasi, (3) perkuatan kapasitas organisasi serikat pekerja dan asosiasi pengusaha, serta (4) pemberian pemahaman dan menyamakan persepsi tentang peraturan/kebijakan ketenagakerjaan. Di samping itu, dukungan pertanahan untuk membangun iklim investasi diarahkan kebijakannya pada penataan dan penegakan hukum pertanahan, sehingga dapat mengurangi potensi sengketa, meningkatkan penerapan sistem informasi dan manajemen pertanahan, serta peningkatan akses layanan pertanahan melalui Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA) di kabupaten/kota.
Prioritas pembangunan yang kedelapan, energi, arah kebijakannya diutamakan untuk infrastruktur energi dan ketenagalistrikan serta ketahanan dan kemandirian energi adalah sebagai berikut. Pertama, diversifikasi energi serta peningkatan efisiensi dan konservasi energi yang diarahkan guna penganekaragaman pemanfaatan energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Kedua, kebijakan harga energi yang menitikberatkan pada nilai keekonomian agar tercipta efisiensi ekonomi dengan tetap memperhatikan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Ketiga, peningkatan kapasitas sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan, serta prioritasi pembangunan dan pemanfaatan energi terbarukan terutama untuk kelistrikan desa, termasuk daerah terpencil dan pengembangan jaringan gas kota. Keempat, pengembangan dan peningkatan kerjasama pemerintah dan swasta dalam pembangunan dan pemanfaatan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan guna mendorong peran serta pemerintah daerah, swasta, koperasi dan badan usaha lainnya. Kelima, restrukturisasi kelembagaan, termasuk penyempurnaan regulasi untuk mengakomodasikan perkembangan sektor energi dan ketenagalistrikan. Keenam, peningkatan keselamatan dan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
61
lindungan lingkungan dalam pembangunan energi dan ketenagalistrikan nasional. Ketujuh, menjamin keamanan pasokan energi dengan meningkatkan eksplorasi dan optimalisasi produksi minyak dan gas bumi. Kedelapan, mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap minyak bumi melalui penganekaragaman energi primer. Kesembilan, meningkatkan produktivitas pemanfaatan energi melalui gerakan efisiensi dan konservasi.
Prioritas pembangunan yang kesembilan, lingkungan hidup dan pengelolaan bencana, adalah sebagai berikut. Dalam penanggulangan perubahan iklim antara lain diarahkan dengan mengurangi lahan kritis melalui rehabilitasi dan reklamasi hutan, peningkatan pengelolaan kualitas ekosistem lahan gambut, peningkatan kualitas kebijakan konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan yang terpadu, evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang bersifat lintas kementerian/lembaga, serta dukungan terhadap penelitian dan pengembangan untuk penurunan gas rumah kaca dan adaptasi perubahan iklim. Dalam pengendalian kerusakan lingkungan, arah kebijakannya adalah penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat. Untuk sistem peringatan dini, arah kebijakannya antara lain adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan, peningkatan akurasi jangkauan dan kecepatan penyampaian informasi, dan pendirian Pusat Basis Data dan Informasi yang terintegrasi. Adapun arah kebijakan untuk penanggulangan bencana adalah terlaksananya penyelamatan dan evakuasi korban bencana yang cepat, efektif dan terpadu, terlaksananya peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha pengurangan risiko, mitigasi dan penanganan bencana, serta bahaya kebakaran hutan, penyusunan dan sosialisasi panduan kesiapsiagaan masyarakat pendayagunaan teknologi mitigasi bencana, dan tersedianya peta rawan bencana.
Prioritas pembangunan yang kesepuluh, daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca konflik, diarahkan kebijakannya pada: (1) penyelesaian penetapan dan penegasan batas wilayah negara, (2) peningkatan upaya pertahanan, keamanan, serta penegakan hukum, (3) peningkatan pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan, (4) peningkatan pelayanan sosial dasar, dan (5) penguatan kapasitas kelembagaan dalam pengembangan kawasan perbatasan secara terintegrasi.
Prioritas pembangunan yang kesebelas, kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi, arah kebijakannya adalah pertama, meningkatkan upaya pengembangan dan perlindungan warisan budaya dan karya seni, serta mendorong berkembangnya apresiasi masyarakat terhadap kemajemukan budaya untuk memperkaya khazanah artistik dan intelektual bagi tumbuh‐mapannya jati diri bangsa. Kedua, penguatan sistem inovasi nasional melalui penguatan kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan iptek nasional serta upaya inovasi di bidang‐bidang teknologi yang strategis.
Selanjutnya, sejalan dengan semakin bertambahnya volume belanja negara dalam tahun 2011, anggaran transfer ke daerah yang direncanakan sebesar Rp364,1 triliun telah menunjukkan kenaikan sekitar 5,6 persen dari anggarannya di tahun 2010. Kenaikan anggaran transfer ke daerah tersebut, selain untuk meningkatkan kemampuan fiskal daerah, juga untuk mendukung pembangunan di daerah sejalan dengan prioritas pembangunan nasional.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
62
Kebijakan desentralisasi pada dasarnya ditujukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar‐daerah guna memperbaiki kualitas pelayanan publik di daerah. Untuk itu, kebijakan desentralisasi fiskal tahun 2011 diarahkan pada upaya penyempurnaan dan reformulasi transfer ke daerah, penguatan taxing power daerah, dan sinkronisasi dana desentralisasi dengan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan.
Dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal tersebut, maka pemerintah mengalokasikan dana transfer ke daerah yang berfungsi sebagai instrumen fiskal dalam rangka membantu pendanaan pembangunan di daerah. Pada tahun 2011, alokasi transfer ke daerah ditujukan untuk: (i) melaksanakan desentralisasi fiskal guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah secara konsisten, (ii) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dengan daerah dan antar‐daerah, (iii) mengurangi kesenjangan dan memperbaiki kualitas pelayanan publik.
Pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah didasarkan pada Undang‐undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Alokasi dana bagi hasil (DBH) didasarkan pada proporsi tertentu untuk masing‐masing jenis DBH, baik DBH pajak maupun DBH SDA. Untuk membantu pendanaan pelaksanaan pendidikan dasar di daerah maka dialokasikan tambahan dana 0,5 persen dari DBH SDA migas. Tambahan alokasi DBH SDA migas ini dialokasikan kepada seluruh daerah, kecuali daerah yang sudah mendapatkan dana otonomi khusus. Selain itu untuk memperkuat kapasitas fiskal di daerah, Pemerintah Pusat juga akan mengalihkan salah satu sumber penerimaan pajaknya berupa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi pajak daerah mulai tahun 2011. Pelaksanaan kebijakan alokasi DBH dilakukan dengan: (1) meningkatkan koordinasi untuk mendapatkan data yang lebih berkualitas untuk perencanaan alokasi dan perhitungan penyaluran, (2) melaksanakan rekonsiliasi PNBP/DBH secara transparan dan akuntabel, (3) menyalurkan DBH dengan tepat jumlah dan waktu, dan (4) penyelesaian kurang bayar DBH SDA dan DBH Pajak.
Pada tahun 2011 DAU dialokasikan sebesar 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto. DAU dialokasikan berdasarkan formula sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Alokasi DAU juga memperhitungkan daerah‐daerah pemekaran yang baru sebagai penerima DAU secara mandiri. Untuk menyempurnakan kebijakan alokasi DAU beberapa hal yang dilakukan: (1) mengupayakan tingkat pemerataan kapasitas fiskal antar daerah yang lebih baik dari tahun ke tahun; dan (2) meningkatkan koordinasi dengan institusi penyedia data.
Adapun alokasi DAK tahun 2011 akan dilaksanakan sesuai dengan program‐program prioritas yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada tahun yang sama dengan mempertimbangkan kemampuan APBN. Bidang‐bidang yang akan dibiayai dengan DAK akan disesuaikan besaran alokasinya sesuai dengan urutan prioritas nasional, serta jumlah kebutuhan dana yang telah diusulkan oleh kementerian/lembaga terkait. Alokasi DAK akan diproritaskan untuk membantu daerah‐daerah yang mempunyai kemampuan keuangan yag relatif rendah. Alokasi DAK tahun 2011 ditujukan untuk: (1) mendanai kegiatan penyediaan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
63
sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar yang sudah merupakan urusan daerah, (2) menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah tertentu, (3) mendorong peningkatan produktivitas, perluasan lapangan kerja, dan diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, (4) meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar, (5) menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah kerusakan lingkungan hidup, dan mengurangi risiko bencana, dan (6) mendukung penyediaan prasarana pemerintahan di daerah yang terkena dampak pemekaran daerah.
Dana Penyesuaian tahun 2011 akan ditujukan untuk membiayai tambahan DAU untuk tunjangan guru PNS daerah serta dana insentif kepada daerah. Dana insentif tersebut antara lain diberikan kepada daerah yang mendapatkan opini laporan keuangan Wajar Tanpa Pengecualian, sehingga dapat memacu perbaikan kualitas pengelolaan keuangan daerah.
Implementasi kebijakan transfer ke daerah tahun 2011 akan dilakukan antara lain melalui penyempurnaan pola pembagian DBH yang lebih transparan dan akuntabel, penyempurnaan formulasi DAU yang dilakukan secara konsisten dan mengarah kepada fungsi pemerataan kemampuan keuangan daerah, serta penyempurnaan terhadap penerapan kriteria penentuan DAK. Dengan demikian, diharapkan keseluruhan siklus pengelolaan anggaran transfer ke daerah, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi dan pelaporan keuangan transfer ke daerah berjalan dengan lebih baik.
Dukungan pendanaan di daerah juga akan dilakukan oleh Pemerintah melalui kebijakan pengalihan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ke DAK. Selain itu untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah, khususnya untuk meningkatkan PAD, telah ditetapkan Undang‐Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang‐Undang tersebut bertujuan memberikan fleksibilitas kepada daerah dalam menentukan kebijakan perpajakannya untuk meningkatkan penerimaan daerah dengan tetap mempertahankan iklim usaha yang kondusif bagi perekonomian daerah. Terkait dengan pandangan anggota Dewan untuk memperhatikan kepentingan daerah pemilih, maka Pemerintah mengajak seluruh komponen bangsa untuk menyikapinya dengan tetap memperhatikan prinsip equality, dan mempertimbangkan pembangunan kewilayahan antardaerah dalam kerangka NKRI, serta kepentingan nasional.
3. Kebijakan Pembiayaan Anggaran
Dengan arah kebijakan defisit anggaran pada tahun 2011 sekitar 1,7 persen PDB, yang lebih
rendah dari rencana defisit anggaran di tahun 2010 sebesar 2,1 persen PDB, maka beban
pembiayaan anggaran di tahun 2011 berkurang dari Rp133,7 triliun menjadi Rp118,3 triliun.
Kebijakan pengendalian defisit anggaran tersebut sangat penting guna menjaga kesinambungan
fiskal dalam jangka menengah, serta sejalan dengan kerangka fiskal periode 2010 – 2014.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
64
Seiring dengan semakin terbatasnya sumber pembiayaan dari non‐utang, maka dalam waktu ke
depan, sumber pembiayaan dari utang menjadi andalan. Untuk itu kebijakan pengurangan
defisit anggaran dalam jangka menengah, secara bertahap akan diikuti dengan pengendalian
kenaikan pembiayaan utang. Sasaran yang diharapkan adalah penurunan rasio utang terhadap
PDB secara konsisten, walaupun nominal stok utang tetap meningkat sebagai konsekuensi
kebijakan defisit.
Sebagai sumber utama pembiayan defisit anggaran, pembiayaan melalui utang harus dilakukan
secara prudent, transparan, dan akuntabel. Kebijakan yang akan ditempuh dalam pengelolaan
utang di tahun 2011, secara garis besar merupakan kelanjutan dari kebijakan tahun 2010
diantaranya adalah (i) mengutamakan penerbitan SBN rupiah di pasar dalam negeri guna
mendukung pengembangan pasar uang dan pasar modal domestik dalam memperkuat sistem
keuangan, mendorong terciptanya investment oriented society, serta mendukung pengelolaan
moneter yang efisien, (ii) mengurangi stok penjaman luar negeri secara konsisten dengan
mempertahankan tambahan pinjaman luar negeri neto tetap negatif, mengarahkan pinjaman
program untuk mendukung kebijakan pencapaian MDGs, climate change, dan infrastruktur, dan
menggunakan pinjaman proyek untuk membiayai kegiatan prioritas kementerian/lembaga,
atau penerusan pinjaman, (iii) penerbitan SBN valas (global bond, global sukuk, samurai bond)
bersifat sebagai komplementer terhadap penerbitan SBN di pasar domestik, diversifikasi
instrumen pembiayaan guna memperluas pasar surat berharga, benchmarking bagi obligasi
global swasta di pasar internasional, menambah cadangan devisa, dan menghindari crowding
out di pasar obligasi domestik, serta (iv) penarikan pinjaman luar negeri diupayakan berasal
dari kreditor multilateral dan bilateral yang tidak mempunyai keterikatan politik dan
menawarkan term & conditions yang mempunyai jangka pengembalian panjang dan biaya relatif
murah (favourable).
Sedangkan, strategi pengelolaan utang dalam tahun 2011 akan diarahkan melalui (i) penerapan
strategi kebijakan utang secara terukur dalam penerbitan surat berharga negara (SBN) untuk
memanfaatkan momentum pasar di awal tahun, dengan memperhatikan kondisi dan proyeksi
kas pemerintah, (ii) penerbitan SBN secara reguler untuk meningkatkan likuiditas pasar
sekunder, memberikan certainty dan predictibility di pasar keuangan, serta pengembangan
pasar, (iii) diversifikasi instrumen SBN untuk meningkatkan basis investor dan daya serap
pasar, (iv) penerapan manajemen yang tepat dalam rangka menjaga stabilitas pasar surat
berharga, serta (v) pengelolaan risiko fiskal utang untuk menurunkan tekanan (exposure)
terhadap risiko suku bunga, nilai tukar, dan risiko pembiayaan kembali.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
65
Walaupun nilai sumber pembiayaan dari dalam negeri semakin terbatas, namun pemenuhannya
akan tetap diupayakan, terutama dari rekening dana investasi (RDI), serta hasil pengelolaan
aset. Di sisi lain, Pemerintah juga dalam tahun 2011 akan terus melakukan pembiayaan untuk
infrastruktur, dalam bentuk investasi pemerintah dan fasilitas likuiditas perumahan, serta
penjaminan infrastruktur. Kemudian juga akan dilanjutkan pembiayaan untuk revitalisasi
program kredit usaha rakyat (KUR) guna meningkatkan kapasitas penjaminan. Selanjutnya
dapat dilihat dalam Tabel IV.2, proyeksi APBN tahun 2010 yang menjadi dasar penyusunan
pokok‐pokok kebijakan fiskal tahun 2011.
TABEL IV.3 RINGKASAN APBN TAHUN 2010 – 2011
(Triliun Rupiah)
2011
APBN APBN-P Proyeksi
PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 949,7 992,4 1.086,7a. PENERIMAAAN PERPAJAKAN 742,7 743,3 839,9
b. PENERIMAN NEGARA BUKAN PAJAK 205,4 247,2 243,5
c. HIBAH 1,5 1,9 3,2
BELANJA NEGARA 1.047,7 1.126,1 1.204,9a. BELANJA PEMERINTAH PUSAT (K/L & NON K/L) 725,2 781,5 840,9
b. TRANSFER KE DAERAH 322,4 344,6 364,1
SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (98,0) (133,7) (118,3)% defisit thd PDB (1,6) (2,1) (1,7)
PEMBIAYAAN 98,0 133,7 118,3
Uraian2010
Sumber: Kementerian Keuangan
4. Risiko Fiskal
Dalam rangka mendukung kesinambungan fiskal dan meningkatkan asas keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan negara, maka sejak tahun 2008 dalam dokumen Nota Keuangan dan
RAPBN disampaikan analisis mengenai risiko fiskal. Pengungkapan risiko fiskal diperlukan
terutama dalam rangka keterbukaan (transparency) dan kesinambungan fiskal (fiscal
sustainability), dalam rangka menciptakan keterbukaan tentang posisi fiskal Pemerintah dan
untuk lebih menjamin terjaganya kesinambungan pendapatan negara, belanja negara, dan
pembiayaan anggaran.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
66
Risiko fiskal tahun 2011 dikelompokan pada empat jenis risiko, yaitu risiko yang berasal dari
dinamika ekonomi makro, baik global maupun domestik; kewajiban kontinjensi pemerintah
pusat; risiko utang pemerintah pusat; dan risiko yang berasal dari desentralisasi fiskal.
Dinamika Ekonomi Makro. Risiko yang bersumber dari dinamika ekonomi makro terutama
berasal dari pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan harga minyak.
Pertumbuhan Ekonomi. Sebagaimana ditunjukan pada grafik di atas, tingginya ketidakpastian
pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2011 dapat dilihat dari besarnya standar deviasi
angka estimasi pertumbuhan ekonomi berdasarkan market consensus. Pada tahun 2007
(dimana perekonomian relatif stabil)
angka standar deviasi dari market
consensus hanya sebesar 0,2 persen,
sementara di tahun 2011 angka
tersebut membesar menjadi 0,35
persen, dimana angka estimasi
pertumbuhan ekonomi Indonesia di
2011 tertinggi adalah 6,6 persen dan
terendah 5,5 persen dengan nilai
tengah sebesar 6,1 persen. Sementara
itu, Pemerintah menargetkan
pertumbuhan ekonomi tahun 2011
adalah sebesar 6,2 – 6,4 persen.
Nilai Tukar. Prospek perekonomian domestik yang cukup solid serta spread imbal hasil
investasi rupiah yang masih tinggi di antara negara kawasan Asia mampu menopang stabilitas
pergerakan rupiah. Relatif tingginya spread imbal hasil investasi rupiah ini disebabkan terutama
oleh kondisi ekses likuiditas dan kebijakan the Fed serta bank sentral utama lainnya untuk
menjaga suku bunga di tingkat rendah telah mendorong arus masuk aliran dana termasuk ke
negara emerging markets termasuk Indonesia sehingga terjadi trend penguatan nilai tukar
rupiah terhadap dolar. Namun demikian, terdapat faktor risiko yang dapat membalikkan trend
penguatan ini, yaitu dengan mulai munculnya sinyal pengetatan kebijakan moneter di beberapa
negara. Dengan semakin pesatnya pemulihan ekonomi dan meningkatnya tekanan inflasi di
negara Asia memicu respon beberapa bank sentral di Asia untuk menahan penurunan suku
bunga lebih lanjut. Bahkan di beberapa negara, seperti Cina dan India, sinyal pengetatan sudah
terlihat dengan adanya kebijakan untuk menaikkan reserves ratio masing‐masing sebesar 50
bps dan 75 bps. Sinyal pengetatan kebijakan moneter ini juga diperlihatkan oleh beberapa bank
GRAFIK IV.9 RISIKO PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
6,0 6,2
3,4
5,7 6,1
0,2 0,30,9
0,3 0,35-
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
2007 2008 2009 2010 2011
%
Market Consensus (mean) Max Min Std. Deviasi (Risiko)
Sumber: Asia Pacific Consensus Forecast per Maret 2010
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
67
sentral utama seperti AS dan Inggris. Hal ini terlihat dari semakin berkurangnya intensitas dan
skala injeksi likuiditas dan pembelian aset‐aset bermasalah (toxic assets).
Risiko fiskal yang berasal dari potensi pelemahan nilai tukar ini ditransmisikan melalui sisi
penerimaan, pengeluaran dan sisi pembiayaan pada APBN. Pelemahan nilai tukar rupiah dapat
meningkatkan penerimaan negara yang diterima dalam bentuk valuta asing, baik penerimaan
perpajakan maupun penerimaan bukan pajak. Dari sisi pengeluaran, pelemahan nilai tukar
rupiah di antaranya dapat meningkatkan pembayaran bunga utang luar negeri serta
peningkatan subsidi energi. Sementara itu, dari sisi pembiayaan pelemahan nilai tukar akan
meningkatkan beban pembayaran pokok utang luar negeri.
Harga Minyak Mentah. Perekonomian global masih berkembang dalam trend yang positif
ditopang oleh kokohnya pertumbuhan negara berkembang, khususnya di kawasan Asia.
Sementara itu, proses pemulihan ekonomi negara maju terus berlangsung meski dengan laju
yang lebih moderat. Tertahannya pemulihan di negara maju ditengarai akibat masih tingginya
angka pengangguran dan tersendatnya penyaluran kredit perbankan. Meskipun demikian, paket
stimulus fiskal di AS dan Jepang telah mampu mendorong penguatan permintaan domestik yang
tercermin dari meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah tangga. Trend positif perekonomian
dunia ini tercermin dari angka World Economic Outlook yang dikeluarkan oleh IMF per April
2010, dimana pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2011 diproyeksikan sebesar 4,3 persen,
sementara di tahun 2010 diprediksi mencapai 4,2 persen (lebih tinggi 0,3 persen dibandingkan
proyeksi bulan Januari 2010). Perkembangan ini di satu sisi memberikan dampak positif bagi
pertumbuhan ekonomi domestik melalui peningkatan kinerja ekspor, namun di sisi lain juga
memberikan tambahan risiko, berupa potensi peningkatan harga komoditi utama terutama
minyak. Di dalam shortterm energy outlook yang di rilis awal Mei 2010, Departemen Energi
Amerika Serikat memprediksi harga minyak dunia (WTI/West Texas Intermediate) pada akhir
tahun 2011 diperkirakan mencapai US$87 per barel dibandingkan prediksi akhir tahun 2010
yang hanya mencapai US$84 per barel. Lebih lanjut dikatakan peningkatan harga ini disebabkan
terutama oleh potensi kenaikan permintaan minyak dunia karena peningkatan
pertumbuhan/aktifitas perekonomian dunia, terutama yang berasal dari kawasan Asia‐Pacifik
dan Timur Tengah. Di samping faktor permintaan, kenaikan harga minyak juga berpotensi
terjadi karena penurunan produksi alamiah yang terjadi di beberapa negara seperti Meksiko,
Inggris, dan Norwegia, serta menurunnya surplus kapasitas produksi minyak mentah dari
negara‐negara OPEC. Risiko fiskal yang berasal dari kenaikan harga minyak ini ditransmisikan
secara langsung melalui dua sisi pada APBN. Sisi penerimaan melalui kenaikan penerimaan PPh
Migas, PNBP migas maupun penerimaan yang berasal dari Domestic Market Obligation (DMO)
minyak, serta sisi pengeluaran melalui peningkatan subsidi BBM, Subsidi Listrik dan transfer
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
68
Dana Bagi Hasil ke daerah. Secara tidak langsung, risiko fiskal yang berasal dari kenaikan harga
minyak ditransmisikan melalui potensi kenaikan ekspektasi inflasi yang menahan upaya
penurunan suku bunga, sehingga dapat mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi
domestik.
Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap Risiko Fiskal BUMN. Di samping secara
langsung memengaruhi APBN, pergerakan variabel makro seperti pertumbuhan ekonomi, nilai
tukar, dan harga minyak juga mempengaruhi risiko fiskal melalui BUMN. Pergerakan
pertumbuhan ekonomi, harga minyak dan nilai tukar akan menimbulkan dampak pada kinerja
keuangan BUMN yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kontribusi BUMN terhadap APBN.
Penurunan kontribusi ini merupakan bagian dari risiko fiskal yang bersumber dari BUMN.
Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan tersebut Pemerintah telah melakukan
pengujian sensitivitas atau macro stress test dengan menggunakan beberapa indikator risiko
fiskal yang meliputi: (i) kontribusi bersih BUMN terhadap APBN; (ii) utang bersih BUMN; dan
(iii) kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Simulasi ini dilakukan sebagai upaya untuk dapat
mengidentifikasikan secara dini risiko fiskal yang bersumber dari BUMN, sehingga
kesinambungan APBN dapat lebih terjaga. Sejak tahun 2010 simulasi macro stress test dilakukan
dengan menggunakan sampel 22 BUMN dari berbagai sektor. Dengan demikian hasilnya
diharapkan dapat lebih mewakili exposure risiko fiskal yang berasal dari BUMN.
Risiko Utang Pemerintah Pusat. Sebagai salah satu sumber risiko fiskal yang memiliki
pengaruh cukup signifikan, pengelolaan risiko utang harus dilakukan dengan baik dan terukur.
Pengelolaan risiko utang diperlukan agar target pembiayaan utang dapat diperoleh dengan
biaya yang wajar dan tidak menimbulkan penumpukan beban utang yang tidak terkendali pada
masa mendatang. Risiko yang dihadapi dalam pengelolaan utang bersumber dari lingkungan
eksternal dan internal organisasi pengelola utang.
Secara garis besar, risiko utama yang dihadapi dalam pengelolaan utang antara lain adalah:
a. Risiko keuangan berupa risiko pasar dan risiko pembiayaan kembali (refinancing risk).
- Risiko pasar terdiri dari risiko nilai tukar, risiko tingkat bunga dan risiko likuiditas
yang timbul sebagai akibat dari ketidakpastian kondisi pasar Keuangan yang
dinamis. Risiko pasar akibat perubahan nilai tukar dan tingkat bunga berpotensi
menambah beban pembayaran kewajiban utang, baik pada saat ini maupun pada
masa mendatang. Risiko nilai tukar terutama berasal dari utang melalui pinjaman
luar negeri, sedangkan risiko tingkat bunga terutama bersumber dari pinjaman luar
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
69
negeri berbasis LIBOR dan SBN berbasis SBI 3 bulan. Risiko nilai tukar dan tingkat
bunga dapat diminimalkan antara lain melalui transaksi lindung nilai dan melalui
pengadaan utang baru yang mengutamakan mata uang rupiah atau mata uang yang
kurang volatile dan tingkat bunga tetap. Risiko pasar akibat likuiditas berpotensi
mengurangi daya serap pasar SBN yang dapat menyebabkan peningkatan biaya
penerbitan SBN baru. Risiko likuiditas dapat diminimalkan dengan meningkatkan
daya serap pasar SBN melalui pengembangan pasar, pengembangan instrumen dan
perluasan basis investor SBN.
- Risiko pembiayaan kembali disebabkan oleh besarnya pembayaran kewajiban utang
pada tahun/periode tertentu. Mitigasi risiko ini antara lain melalui restrukturisasi
pinjaman luar negeri dan debt switch/buyback SBN sehingga beban kewajiban utang
pada tahun/periode tertentu dapat diturunkan dan struktur pembayaran kewajiban
utang tidak terkonsentrasi pada tahun/periode tertentu.
Sampai saat ini, upaya‐upaya mitigasi risiko keuangan tersebut telah dilakukan oleh
Pemerintah kecuali mitigasi risiko melalui transaksi lindung nilai karena belum
tersedianya aturan hukum dan aturan pelaksanaannya.
b. Risiko operasional merupakan risiko yang antara lain disebabkan oleh kegagalan pada
orang, proses bisnis dan sistem di unit terkait serta risiko yang ditimbulkan oleh aspek
legal. Risiko ini antara lain dapat berupa gagal bayar akibat kelalaian manusia atau
kegagalan sistem yang berdampak pada penurunan sovereign credit rating. Selain itu,
risiko ini juga dapat berupa ketidakmampuan sumber daya sehingga menyebabkan
kualitas pengelolaan utang menjadi rendah. Mitigasi risiko operasional antara lain
dilakukan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia serta pembenahan
proses bisnis dan sistem yang diperlukan.
c. Risiko reputasi kebijakan merupakan risiko penurunan kredibilitas pengelolaan utang
dari sudut pandang investor dan lender yang disebabkan oleh rendahnya tingkat
kepastian dan konsistensi penerapan strategi pengelolaan utang. Penerapan strategi
pengelolaan utang yang tidak konsisten tersebut terutama sebagai konsekuensi
perubahan kebijakan yang lebih besar. Risiko reputasi dapat diminimalkan melalui
peningkatan komunikasi dengan investor, lender, dan unit terkait serta melalui
penetapan kebijakan yang telah mempertimbangkan kemampuan berutang yang wajar.
Kewajiban Kontinjensi. Sumber risiko fiskal pada tahun 2011 juga dipengaruhi oleh beberapa
kewajiban kontinjensi diantaranya, yaitu: dukungan pemerintah pada proyek pembangunan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
70
infrastruktur; sektor keuangan, yang terdiri atas Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan,
dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT)
Pegawai Negeri Sipil (PNS); tuntutan hukum kepada Pemerintah, keanggotaan pada organisasi
dan lembaga keuangan internasional; serta bencana alam.
a. Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur berasal dari dukungan
atau jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa proyek, yaitu proyek
percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW, proyek pembangunan
jalan tol Trans Jawa, proyek pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road II (JORR II),
percepatan penyediaan air minum, dan pendirian guarantee fund untuk infrastruktur.
Kewajiban kontinjensi Pemerintah terkait dengan pemberian dukungan pada proyek
pembangunan monorail Jakarta diperkirakan sudah tidak ada pada tahun 2011 mengingat
proyek monorail belum beroperasi hingga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
30/PMK.02/2007 habis masa berlakunya pada tanggal 15 Maret 2010, sehingga pemberian
dukungan pemerintah batal dan tidak berlaku.
b. Sektor Keuangan
Kewajiban kontinjensi Pemerintah pada sektor keuangan terutama berasal dari kewajiban
Pemerintah untuk menambah modal lembaga keuangan (Bank Indonesia, Lembaga
Penjamin Simpanan, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) jika modal lembaga
keuangan tersebut di bawah modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang‐
undangan.
1) Bank Indonesia
Sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang‐undang tentang BI, untuk
melaksanakan tugas tersebut modal Bank Indonesia ditetapkan berjumlah sekurang‐
kurangnya Rp2 triliun. Dalam hal terjadi risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang
Bank Indonesia yang mengakibatkan modal tersebut menjadi kurang dari Rp2 triliun
(pasal 62), maka Pemerintah wajib menutup kekurangan dimaksud yang dilaksanakan
setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain dari ketentuan perundang‐undangan di atas, mengenai permodalan Bank
Indonesia juga diatur dalam pasal 3 ayat 2 butir (f) kesepakatan bersama antara
Pemerintah dan Bank Indonesia mengenai penyelesaian bantuan likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) serta hubungan keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia yang
ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 2003, menyatakan bahwa dalam hal rasio modal
terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia kurang dari 3 persen, disepakati bahwa
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
71
Pemerintah membayar charge kepada Bank Indonesia sebesar kekurangan yang
diperlukan. Namun sebaliknya, apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank
Indonesia mencapai di atas 10 persen, maka Bank Indonesia akan memberikan bagian
kepada pemerintah atas surplus BI sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan
tentang BI.
2) Lembaga Penjamin Simpanan
Berdasarkan Undang‐Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), sebagaimana telah diubah dengan Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 2009, fungsi
LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas
sistem perbankan sesuai kewenangannya.
Jumlah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS sejak tanggal 13 Oktober 2008 paling
banyak Rp2 miliar per nasabah per bank (sebelumnya Rp100 juta), sedangkan bank
yang berada dalam penyehatan oleh LPS sejak tanggal 24 November 2008 adalah Bank
Mutiara (sebelumnya Bank Century).
Untuk menjalankan fungsinya, LPS pada awal berdirinya tahun 2005 telah diberikan
modal awal oleh Pemerintah sebesar modal minimal LPS yaitu Rp4 triliun. Sampai
dengan akhir tahun 2009, modal (ekuitas) LPS telah berkembang menjadi sebesar
Rp10,54 triliun.
Dalam Undang‐Undang No. 24 Tahun 2004 tentang LPS diatur bahwa dalam hal modal
LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup
kekurangan tersebut. Demikian pula dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS
dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah.
3) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
Sesuai dengan Undang‐undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia, modal awal LPEI ditetapkan paling sedikit Rp4 triliun. Dalam hal modal LPEI
menjadi berkurang dari Rp4 triliun, Pemerintah menutup kekurangan tersebut dari
dana APBN berdasarkan mekanisme yang berlaku. Pada tahun 2011 jumlah modal LPEI
diperkirakan mencapai Rp6,9 triliun.
c. Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Risiko fiskal yang berasal dari program pensiun PNS terutama berasal dari peningkatan
jumlah pembayaran manfaat pensiun dari tahun ke tahun, karena sejak tahun anggaran
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
72
2009 pendanaan pensiun PNS seluruhnya (100 persen) menjadi beban APBN. Beberapa
faktor yang mempengaruhi besaran kenaikan pembayaran manfaat pensiun diantaranya:
jumlah PNS yang mencapai batas usia pensiun, meningkatnya gaji pokok PNS, meningkatnya
pensiun pokok PNS, serta adanya pembayaran Dana Kehormatan sesuai dengan PP No. 24
Tahun 2008. Berdasarkan asumsi kenaikan pensiun pokok sebesar 5 persen setiap tahun,
jumlah dana APBN yang diperlukan untuk membayar manfaat pensiun diperkirakan akan
terus mengalami peningkatan yakni sebesar Rp44,6 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp48,5
triliun pada tahun 2011. Sementara risiko fiskal yang berasal dari progam Tunjangan Hari
Tua PNS terutama berasal dari unfunded liability. PT Taspen mencatat adanya akumulasi
unfunded liability yang timbul akibat kebijakan Pemerintah menaikkan gaji pokok PNS sejak
tahun 2007 sampai dengan 2009.
d. Tuntutan Hukum kepada Pemerintah
Pemerintah seringkali mendapatkan tuntutan hukum dari pihak ketiga. Tuntutan hukum
tersebut dapat berpotensi menimbulkan pengeluaran negara yaitu, dimana Pemerintah
kalah dalam suatu perkara. Berdasarkan data yang diperoleh dari 20 institusi pemerintah,
potensi pengeluaran negara yang ditimbulkan akibat tuntutan hukum kepada Pemerintah,
baik yang masih dalam proses hukum (banding hingga kasasi) maupun yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap, mencapai sekitar Rp11,7 triliun dan US$2,3 juta, yang
berupa tuntutan ganti rugi materiil, serta sekitar Rp5,3 triliun tuntutan ganti rugi
immateriil. Jumlah tersebut belum tentu menjadi pengeluaran Pemerintah mengingat
sebagian perkara masih dalam proses hukum dan Pemerintah berpeluang untuk menang
dalam perkara gugatan sehingga tebebas dari tuntutan.
e. Keanggotaan pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional
Keanggotaan Indonesia pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dapat
menimbulkan risiko fiskal terkait dengan adanya komitmen pemerintah untuk memberikan
kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi‐organisasi atau lembaga keuangan
internasional tersebut. Jumlah penyertaan modal dan trust fund pada organisasi dan
lembaga keuangan internasional pada tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp1.036,8 miliar
dengan perincian Rp300 miliar disalurkan melalui Kementerian Luar Negeri dan Rp736,8
miliar dibayar melalui Kementerian Keuangan.
f. Bencana Alam
Indonesia terletak pada salah satu titik rawan bencana paling aktif di muka bumi, dengan
sering terjadinya gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor,
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokokpokok Kebijakan Fiskal 2011
73
kekeringan, dan kebakaran hutan. Data bencana Indonesia yang ada di Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa antara tahun 2001 dan 2007 terjadi
lebih dari 4.000 bencana alam di Indonesia, antara lain banjir (37 persen), kekeringan (24
persen), tanah longsor (11 persen), dan badai (9 persen). Biaya rehabilitasi atau pemulihan
infrastruktur publik dan rumah tangga, yang sebagian besar tidak memiliki perlindungan
keuangan, memberikan beban besar pada pengeluaran publik. Sebagai contoh, bencana
tsunami Aceh/Nias tahun 2004 menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih dari Rp40
triliun, sedangkan kerugian untuk gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 lebih dari Rp29
triliun. Pemerintah menghabiskan anggaran rekonstruksi senilai lebih dari Rp37 triliun
untuk Aceh dan Nias serta sekitar Rp1,6 triliun untuk Yogyakarta.
Risiko Fiskal yang berasal dari Desentralisasi Fiskal. Sementara itu, risiko fiskal yang
berasal dari desentralisasi fiskal terutama berasal dari kebijakan pemekaran daerah. Dari sudut
pandang fiskal, penambahan daerah otonom baru memiliki dampak terhadap APBN (maupun
APBD) yaitu pada (1) Dana Alokasi Umum (DAU), (2) Dana Alokasi Khusus (DAK), dan
(3) kebutuhan pada instansi vertikal.