keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

14
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 /DPD RI/ I /2013-2014 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI JAKARTA 2013

Transcript of keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

Page 1: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 /DPD RI/ I /2013-2014

TENTANGHASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIAATAS

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004

TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN

TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

JAKARTA2013

Page 2: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...
Page 3: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

789

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 /DPD RI/ I /2013-2014

TENTANGHASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIAATAS

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004

TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk bekerja dan memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan serta penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;

b. bahwa besarnya jumlah TKI di luar negeri ternyata tidak di imbangi dengan pelindungan yang optimal terhadap TKI tersebut, berbagai kasus terkait pelanggaran hak-hak normatif, tindakan diskriminasi, kekerasan yang berujung penghilangan nyawa, hingga ancaman hukuman mati menjadi kisah kelam TKI di luar negeri, terlebih khusus TKI di sektor informal;

c. bahwa peran pemerintah sampai dengan saat ini masih belum menemukan solusi yang baik dalam penyelesaian permasalahan tenaga kerja indonesia di luar negeri, karena masih terjadi kasus-kasus yang merugikan TKI serta kurang tanggapnya dalam menghadapi setiap permasalahan tenaga kerja di luar negeri.

d. Bahwa diperlukan kebijakan yang tegas dan melakukan upaya prefentif dalam mengirimkan TKI dengan lebih mengutamakan tenaga kerja yang profesional, handal serta mempunyai kelengkapan administrasi dokumen yang memadai;

e. bahwa salah satu penyebab munculnya permasalahan yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah lemahnya kewenangan pemerintah dalam seluruh rangkaian proses penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri;

f. bahwa Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia telah melaksanakan pengawasan terhadap Undang-Undang No .39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sebanyak tiga kali dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,huruf e, dan huruf f perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;

Mengingat: 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Page 4: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

790

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5243);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun 2007-2009;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-IIIDewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-20134tanggal 1 Oktober 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DPD RI ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI.

PERTAMA : Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

KEDUA : Isi dan rincian Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum Pertama, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR HEMAS

Wakil Ketua,

DR. LAODE IDA

Page 5: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

791

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRANKEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 13 /DPD RI/ I /2013-2014 TENTANG

PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIAATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004TENTANG

PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG KEGIATAN PENGAWASAN

Berdasarkan ketentuan konstitusional, setiap warga negara memiliki hak untuk bekerja dan memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan serta penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan. Berbagai jaminan di atas ditegaskan di dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara itu, ketentuan implementasinya diatur lebih lanjut, antara lain, di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN).

Realisasi ketentuan jaminan yang berkaitan dengan hak untuk mendapat pekerjaan tidaklah mudah. Pertama, negara pada kenyataannya tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan warganya secara memadai. Kedua, implikasi dari ketidakmampuan negara menyediakan lapangan pekerjaan, warga negara mencari pekerjaan di luar negeri untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan bahwa hingga tahun 2013, terdata jumlah TKI yang bekerja di luar negeri mencapai 6,5 juta orang (baik sektor formal maupun informal) dan bekerja pada 142 negara. Dari segi perolehan devisa pada tahun 2012 TKI menyumbang 7 (tujuh) miliar dolar AS dan selama semester I tahun 2013 telah mencapai 3,7 (tiga koma tujuh) milliar dolar AS sehingga hal ini sangat berarti dalam perbaikan ekonomi nasional. Namun, besarnya jumlah TKI dan peroleh devisa di atas tidak diimbangi dengan optimalisasi pelindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri. Berbagai pelanggaran terhadap hak asasi dan ketentuan hukum yang berlaku masih ditemukan seperti pelanggaran perjanjian kerja, pemalsuan dokumen, diskriminasi, kekerasan fisik, dan pelecehan seksual. Pelanggaran terhadap hak-hak normatif TKI yang bekerja di luar negeri pada umumnya dialami oleh TKI yang bekerja di sektor informal.

Di dalam kerangka memperbaiki dan memberikan pelindungan secara maksimal terhadap TKI yang bekerja di luar negeri, selain dilakukan secara rutin dan berkesinambungan,

Page 6: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

792

DPD RI juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU PPTKILN, bahkan DPD RI telah menerbitkan Keputusan DPD RI Nomor 17/DPD RI/II/2011--2012 tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri. Keputusan DPD RI di atas diharapkan dapat berkontribusi di dalam upaya memastikan peningkatan kualitas kesejahteraan dan perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, pada tahun 2013, melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKLN).

B. FOKUS DAN SIGNIFIKANSI KEGIATAN PENGAWASAN

Fokus kegiatan diarahkan pada pengawasan UU PPTKILN, khususnya menyangkut efektivitas dan permasalahannya di lapangan dengan melakukan kunjungan langsung ke negara yang menjadi tujuan penempatan TKI di luar negeri, sedangkan signifikansi kegiatan pengawasan adalah tampak sebagai berikut:(1) pengawasan pelaksanaan UU PPTKILN yang dilakukan DPD RI merupakan bagian

implementasi kewenangan DPD RI yang diatur pada dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 224 ayat (1) huruf e, sedangkan alat kelengkapan yang melakukan pengawasan adalah Komite III sesuai dengan Peraturan DPD RI Nomor 01/DPD RI/I/2009 tentang Tata Tertib; dan

(2) permasalahan TKI yang bekerja di luar negeri setiap tahun senantiasa terjadi sehingga memerlukan pengawasan yang berkesinambungan dari DPD RI, khususnya Komite III, sebagai representasi masyarakat dan daerah.

C. LANDASAN YURIDIS 1. Pasal 22D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 224 ayat (1) huruf e;

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;

4. Peraturan DPD RI Nomor 01/DPD RI/I/2009 tentang Tata Tertib; 5. Peraturan DPD RI Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengawasan DPD RI;6. Keputusan DPD RI Nomor 17/DPD RI/II/2011-2012 tentang Rancangan Undang-

Undang tentang Perubahan Aatas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri..

Page 7: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

793

BAB IIPELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004TENTANG

PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

A. SUBJEK DAN OBJEK PENGAWASANSubjek pengawasan pelaksanaan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) adalah kelembagaan dan perseorangan yang berperan dalam proses penyelenggaraan pengiriman, penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, sedangkan objek pengawasan adalah pelaksanaan atau implementasi dari UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN.

B. METODE DAN INSTRUMEN PENGAWASANMetode yang digunakan adalah:

1. pengamatan/observasi secara langsung ke lapangan (objek pengawasan);2. wawancara; dan3. telaah data dan dokumentasi.Sementara itu, instrumen pengawasannya menggunakan panduan atau pedoman yang digunakan sebagai acuan dalam pengawasan.

C. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN PENGAWASAN 1. WAKTU DAN TEMPAT KUNJUNGAN PENGAWASAN

Beberapa lokasi yang menjadi objek kunjungan kerja Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia di bidang ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan pengawasan atas pelaksanaan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yakni Malaysia (26-30 Juni 2013), Jeddah-Arab Saudi (28 Juli-1 Agustus 2013), Abu Dhabi (Uni Emirat Arab) (24-28 Juni 2013), dan Singapura (3-7 Juli 2013).

2. BENTUK KEGIATANKegiatan Komite III DPD RI dalam melakukan pengawasan atas penempatan

dan pelindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, selain melakukan kunjungan langsung ke negara-negara tujuan penempatan TKI, juga melakukan:1. rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Nasional Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (BNP2TKI) dan Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) 6 Maret 2013; dan

2. rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Dirjen Bina Penta Kemenakertrans, Pemprov Jawa Barat, Pemprov NTB, Pemkab Indramayu, Pemkab Cianjur, dan Pemkab Belu NTT, 27 Agustus 2013.

Page 8: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

794

BAB IIITEMUAN MENONJOL ATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004TENTANG

PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

I. DARI HASIL PENGAWASANPengawasan DPD RI terhadap UU PPTKILN dapat diamati dari berbagai aspek

sebagaimana tampak pada uraian berikut.

1. Masa Prapenempatan TKI a. Ketidaklengkapan Dokumen Persyaratan Administratif Calon TKI

Ketentuan Pasal 51 UU PPTKILN mempersyaratkan calon TKI memiliki sejumlah dokumen untuk dapat ditempatkan di luar negeri. Namun, masih ditemukan calon TKI yang melanggar ketentuan ini, antara lain, di Malaysia ditemukan TKI yang dalam dokumen paspor terdapat perbedaan alamat paspor dan alamat daerah asalnya. Demikian pula terdapat calon TKI yang bekerja tanpa dilengkapi dokumen sesuai dengan ketentuan di atas sehingga dikategorikan sebagai TKI ilegal.

Selain itu, masih terdapat TKI yang tidak dilengkapi perjanjian kerja, asuransi, dan kartu tenaga kerja luar negeri (KTLN), bahkan di Dubai-Abu Dhabi (Uni Emirat Arab), terdapat kasus pemalsuan KTKLN. Berbagai temuan kasus di atas umumnya dilakukan oleh TKI yang bekerja di sektor informal atau domestic workers.

b. Masalah Pemalsuan Dokumen dalam Penempatan TKI di Luar NegeriKeabsahan menyangkut dokumen yang harus dimiliki oleh TKI yang bekerja

di luar negeri merupakan hal esensial yang diatur di dalam UU PPTKILN, seperti dalam Pasal 51 dan Pasal 62 UU PPTKILN. Keabsahan dokumen menjadi tolok ukur di dalam penempatan TKI di luar negeri sebagai legalitas dan bukan sebagai bagian dari tindak pidana perdagangan manusia (human trafficking).

Implementasinya, pada semua negara yang menjadi tujuan pengawasan masih ditemukan TKI yang bekerja di luar negeri yang memanfaatkan dokumen yang tidak sah melalui praktik pemalsuan, baik KTP, paspor, maupun KTKLN. Pemalsuan dokumen tersebut melibatkan oknum PPTKIS dan oknum aparat pemerintahan, khususnya di daerah. Dampaknya, TKI yang bekerja di luar negeri dengan dokumen palsu, selain merupakan tindak pidana, berakibat pada tidak terjaminnya aspek keamanan TKI tersebut.

c. Perekrutan dan Seleksi Calon TKI Oleh PPTKISDi dalam melakukan rekrutmen calon TKI yang bekerja di luar negeri,

Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) wajib melakukan rekrutmen dengan memperhatikan syarat yang diatur dalam Pasal 35 UU PPTKILN, yakni (a) berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun, kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun; (b) sehat jasmani dan rohani; (c) tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan (d) berpendidikan sekurang-kurangnya lulus sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) atau yang sederajat.

Di dalam praktik masih ditemukan pemalsuan dokumen TKI agar lolos di dalam proses rekrutmen, termasuk pemalsuan keterangan persyaratan usia. Hal itu berarti melanggar ketentuan Pasal 51 dan Pasal 35 UU PPTKILN karena PPTKIS mengirimkan TKI di bawah umur dengan memanipulasi usia di dalam dokumen. Hal itu terjadi di seluruh tempat negara yang mendapat objek pengawasan (Malaysia, Singapura, Dubai, dan Jeddah).

d. Pendidikan dan Pelatihan KerjaDi dalam ketentuan paragraf 3 mulai dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 47

UU PPTKILN diatur kewajiban TKI memiliki sertifikat kompetensi kerja dan hak calon TKI untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan kerja yang dilaksanakan oleh PPTKIS atau lembaga pelatihan kerja yang memenuhi persyaratan serta terdapat uji kompetensi kerja. Implementasinya ternyata terdapat banyak pelanggaran terhadap ketentuan di atas. Di Malaysia, misalnya, terdapat keluhan bahwa bahan pelatihan yang diberikan kepada calon TKI sangat kurang sehingga tidak dapat mendukung pekerjaannya. Di Singapura pendidikan dan pelatihan

Page 9: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

795

yang selama ini diberikan oleh PPTKIS, baik modul maupun kontennya tidak sesuai dengan kebutuhan negara tujuan. Rendahnya kualitas pendidikan dan pelatihan berpengaruh pula pada ruang lingkup pekerjaan yang didominasi sektor informal (domestic worker) atau pekerjaan dengan keahlian rendah, seperti terjadi di semua negara yang menjadi objek pengawasan (Singapura, Malaysia, Dubai, dan Jeddah).

e. Perjanjian KerjaDi dalam ketentuan UU PPTKILN khususnya pada bagian ketiga mulai Pasal

55 sampai dengan Pasal 61 diatur perjanjian kerja. Ketentuan perjanjian kerja merupakan hal yang sangat esensial karena menyangkut kepastian waktu kerja, apa yang dikerjakan, ketentuan upah, jaminan sosial, dan sebagainya. Dengan demikian, perjanjian kerja diharapkan dapat menjadi proteksi bagi TKI yang bekerja di luar negeri.

Di dalam hasil pengawasan, ketentuan di atas yang berhubungan dengan perjanjian kerja masih banyak dilanggar. Pertama, masih ditemukan TKI yang tidak dilengkapi dengan perjanjian kerja. Kedua, adanya berbagai biaya tambahan yang dikenakan kepada TKI oleh PPTKIS yang tidak diatur di dalam perjanjian kerja. Ketiga, implementasi perjanjian kerja yang tidak sesuai, seperti jam kerja melebihi apa yang diatur dalam perjanjian, tidak melakukan perpanjangan kontrak/perjanjian, dan adanya modus melanggar perjanjian dari TKI agar dapat berganti-ganti majikan.

f. Kewajiban TKI Memiliki Dokumen Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)Ketentuan Pasal 51 UU PPTKILN dengan tegas mempersyaratkan salah

satu dokumen yang yang wajib dimiliki oleh calon TKI untuk dapat ditempatkan di luar negeri adalah pemilikan kartu tenaga kerja luar negeri atau disingkat KTKLN. Faktanya, tidak semua TKI memiliki KTKLN.

Pada umumnya terdapat keluhan terhadap KTKLN sebagai berikut. Pertama, prosedur mendapatkan KTKLN yang dinilai rumit sehingga salah satu tujuan peruntukan KTKLN sebagai sarana informasi dan pendataan jumlah TKI di luar negeri tidak tercapai. Kedua, di dalam memproses dan mendapatkan KTKLN seharusnya tidak dikenai biaya, tetapi praktiknya terdapat pengenaan biaya yang dinilai memberatkan TKI. Ketiga, KTKLN diterbitkan di dalam negeri (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI/BP3TKI atau Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI/P4TKI) sehingga bagi TKI yang bekerja di luar negeri mempersulit pengurusan perpanjangan KTKLN. Sementara itu, di sisi lain, KBRI atau KJRI tidak memiliki kewenangan dalam pengurusan KTKLN.

2. Masa Penempatan TKI di Luar Negeria. Penempatan TKI di Luar Negeri masih dilakukan pada negara yang tidak

memiliki MoU dengan Indonesia.Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UU PPTKILN secara

tegas menyebutkan bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan pada negara tujuan yang telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI. Faktanya, pemerintah hingga saat ini masih melakukan pengiriman TKI pada negara penempatan yang tidak memiliki perjanjian tertulis dengan Indonesia. Salah satu negara yang belum memiliki perjanjian tertulis dan menjadi tujuan kunjungan kerja Komite III DPD RI adalah Arab Saudi. Ketiadaan perjanjian tertulis maupun Memorandum of Understanding (MoU) dengan negara penempatan akan berdampak pada tidak terlindunginya TKI, khususnya tenaga kerja wanita, dalam hal ini menyangkut jaminan kesejahteraan dan keselamatannya.

a. Pelaporan Kedatangan Kkepada Perwakilan Republik Indonesia di Negara Tujuan

Ketentuan Pasal 71 UU PPTKILN menegaskan bahwa setiap TKI yang bekerja pada perseorangan wajib melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan dan pelaporan dilakukan oleh PPTKIS.

Implementasinya ternyata ketentuan Pasal 71 UU PPTKILN ini sering kali dilanggar. Misalnya, di Malaysia masih terdapat temuan TKI yang memasuki wilayah Malaysia secara ilegal sehingga dipastikan ketentuan di atas dilanggar. Di Singapura pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 71 UU PPTKILN ditemukan, khususnya PPTKIS yang tidak pro aktif melaporkan TKI pada kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Dampaknya, mempersulit petugas untuk melakukan klarifikasi,akurasi data, dan pelindungan terhadap TKI yang bekerja di negara penempatan.

Page 10: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

796

b. Negara Penempatan Tidak Memiliki Regulasi yang Memadai dalam Pemberian Pelindungan kepada TKI

Berdasarkan hasil pengawasan masih terdapat beberapa negara penempatan TKI yang secara internal belum memiliki regulasi yang memadai dalam memberikan pelindungan hukum terhadap TKI. Implikasinya, berbagai praktik yang merugikan TKI di negara penempatan sulit diberikan pelindungan secara optimal oleh negara akibat regulasi yang tidak kondusif. Meskipun demikian, terdapat negara penempatan yang memiliki perhatian pada regulasi yang melindungi tenaga kerja asing yang bekerja di negaranya. Singapura, misalnya, memiliki kebijakan regulasi yang memberikan hari libur satu hari seminggu pada seluruh pekerja, termasuk TKI yang bekerja di Singapura.

c. Perlakuan Merugikan TKI di Negara PenempatanSesuai dengan tujuan dan ketentuan yang diatur di dalam UU PPTKILN di

dalam penempatan TKI di luar negeri, aspek kesejahteraan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia seharusnya menjadi bagian yang harus diperjuangkan oleh negara untuk melindungi TKI di negara penempatan. Namun, pada praktiknya, kasus penipuan, gaji tidak dibayar, penganiayaan fisik, pelecehan seksual, dan hal-hal lain yang merendahkan derajat manusia masih dialami oleh TKI di negara penempatan. Beberapa kasus memang tengah diproses di peradilan setempat. Akan tetapi, realitas di atas memberikan indikasi perlunya pembenahan di dalam kebijakan penempatan TKI, khususnya bagi TKI yang bekerja di sektor informal (domestic workers).

d. Persoalan Tenaga Kerja Indonesia Ilegal di Negara Penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang legal dirumuskan secara implisit dalam Pasal

1 angka 1 UU PPTKILN, yaitu tenaga kerja Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Dengan demikian, TKI di luar negeri yang tidak sesuai dengan pengertian di atas dianggap sebagai TKI ilegal.

Berdasarkan hasil pengawasan, TKI dalam kategori ilegal masih ditemukan di negara penempatan. Pada umumnya penyebab TKI ilegal setidaknya dapat diidentifikasi menjadi tiga hal. Pertama, TKI memasuki wilayah negara penempatan tanpa melalui prosedur yang benar sesuai dengan ketentuan hukum ataupun TKI yang semuIa legal kemudian berubah menjadi ilegal karena melebihi batas waktu tinggal (overstay). Kedua, pengguna jasa TKI yang enggan melaporkan TKI yang telah pindah majikan atau berstatus TKI ilegal, dan Ketiga, pemerintah di negara penempatan memberikan kelonggaran bagi warga negara asing yang berkunjung di negara penempatan meskipun menggunakan visa kunjungan tidak memiliki izin (permit) kerja. Hal ini terjadi, misalnya, di Malaysia dan Jeddah Arab Saudi.

Berkenaan dengan TKI ilegal, di Malaysia. terdapat kasus yang sangat memperihatinkan, yakni ditemukan warga Timor Leste yang diberi paspor Indonesia dan dikirim ke Malaysia menjadi TKI. Kasus ini merupakan pelanggaran ketentuan UU PPTKILN, khususnya menyangkut pidana dan melibatkan tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Timor Leste.

e. Insiden TKI di Jeddah Arab SaudiPada tanggal 9 Juni 2013 waktu setempat, ribuan TKI di Jeddah Arab Saudi

melakukan berbagai aksi kekerasan yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap layanan dokumen perjalanan (Surat Perjalanan Laksana Paspor/SPLP) yang diberikan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah.

Insiden TKI di Jeddah merupakan dampak kebijakan Ppemerintah Arab Saudi yang melakukan legalisasi bagi warga negara asing yang melanggar hukum keimigrasian atau ketenagakerjaan untuk pulang atau bekerja kembali dan pemerintah Arab Saudi memberikan kesempatan bagi warga negara asing yang masuk ke Arab Saudi sebelum 3 Juli 2008 dengan visa umrah atau haji untuk dapat bekerja. Kebijakan ini diberlakukan dengan waktu cukup singkat yakni 11 Mei 2013 sampai dengan 3 Juli 2013 serta diperpanjang sampai 3 November 2013. Akibat kebijakan di atas, ribuan TKI dalam waktu berdekatan melakukan pengurusan dokumen SPLP di KJRI Jeddah sehingga menimbulkan kesukaran bagi petugas KJRI yang jumlah sumber daya manusianya terbatas. Dalam keadaan demikian, layanan administratif SPLP sangat memakan waktu dan menimbulkan ketidaksabaran serta keletihan di kalangan ribuan TKI yang berakhir pada insiden kekerasan.

Page 11: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

797

Insiden Jeddah di Arab Saudi menunjukkan fakta banyaknya TKI ilegal yang tidak melaporkan pada KJRI/KBRI. Selain itu, terdapat praktik penyalahgunaan paspor atau visa Uumrah yang dijadikan dasar untuk mencari pekerjaan.

3. Peranan Pemerintah DaerahKetentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKILN menegaskan bahwa

pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan pelindungan TKI di luar negeri. Dalam melaksanakan tugas di atas, pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, ketentuan di atas memberikan dasar legalitas bagi pemerintah daerah dalam melakukan hal-hal yang berhubungan dengan penempatan dan pelindungan TKI di luar negeri.

Implementasi dari ketentuan yang memberikan kewenangan pada daerah di atas diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota; Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan TKI di Luar Negeri; dan Permenakertrans Nomor Per.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

Ketentuan Pasal 29 PP Nomor 3 Tahun 2013 mengatur bahwa dinas kabupaten/kota berwenang: (a) melakukan penyuluhan dan perekrutan bersama-sama dengan BNP2TKI dan PPTKIS sesuai dengan surat izin pengerahan dan/atau surat pengantar rekrut; (b) melakukan verifikasi keabsahan dokumen (seperti KTP, ijazah terakhir, surat akta kelahiran, atau kenal lahir); (c) melakukan penelitian terhadap perjanjian penempatan yang akan ditandatangani oleh PPTKIS dan calon TKI; (d) melakukan pendataan; dan (f) menerbitkan rekomendasi paspor.

Ketentuan Pasal 30 PP Nomor 3 Tahun 2013 memberikan kewenangan Dinas Provinsi untuk melakukan (a) penelitian terhadap kebenaran laporan hasil seleksi yang disampaikan oleh PPTKIS; (b) penelitian terhadap perjanjian kerja antara pengguna dan TKI sebelum ditandatangani oleh TKI; (c) fasilitasi penyelenggaraan pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); dan (d) penelitian terhadap kebenaran KTKLN.

Berkenaan dengan kewenangan di atas, di dalam praktik ditemukan beberapa permasalahan. Pertama, ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU PPTKILN menjelaskan bahwa PPTKIS di dalam melakukan perekrutan wajib memiliki Surat Izin Pengerahan (SIP) dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sementara itu, di sisi lain, perekrutan dilakukan di daerah padahal pemerintah daerah tidak berwenang menerbitkan SIP. Implikasinya, pengawasan daerah menjadi sulit, khususnya di dalam konteks pemberian sanksi apabila terjadi pelanggaran dalam ketentuan mengenai perekrutan yang dilakukan oleh PPTKIS.

Kedua, permasalahan kelembagaan yang menangani penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Apabila merujuk pada berbagai peraturan perundang-undangan, terdapat kelembagaan di tingkat pusat yang tugas dan kewenangannya saling berhimpitan, bahkan cenderung tumpang tindih, seperti Direktorat Jenderal Pembinaan Tenaga Kerja (Binapenta) dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang berdasarkan ketentuan sama-sama memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan dalam penempatan dan perlindungan TKI. Hal ini berdampak pada kesulitan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya akibat adanya kelembagaan di pusat yang memiliki kewenangan sama di dalam konteks penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

Peraturan Menakertrans Nomor PER 12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pasal 225 menyebutkan, antara lain, bahwa Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja menyelenggarakan fungsi yang salah satunya adalah pelaksaanaan kebijakan di bidang pembinaan penempatan tenaga kerja dalam negeri, penempatan tenaga kerja luar negeri, pengembangan kesempatan kerja, dan pengendalian penggunaan tenaga kerja asing. Di sisi lain, ketentuan Pasal 95 ayat (1) UU PPTKILN memberikan kewenangan pada BNP2TKI untuk melaksanakan fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Di dalam konteks manajerial, seharusnya terdapat pemilahan antara institusi yang berwenang menerbitkan regulasi dan institusi yang hanya melaksanakan regulasi (operator).

Page 12: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

798

Keadaan di atas kemudian menjadi landasan terbitnya Permenakertrans Nomor Per.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang memilah fungsi regulator di dalam berbagai ketentuannya (dalam hal ini kementerian, termasuk di dalamnya Dirjen Binapenta) dan operator dalam hal ini adalah BNP2TKI. Namun, ketentuan Permenakertrans di atas tidak menyelesaikan permasalahan. Hal itu disebabkan oleh berbagai kebijakan dari BNP2TKI yang menerbitkan regulasi yang seharusnya menjadi kewenangan kemenakertrans. Pada penerbitan KTKLN, misalnya, ketentuan Pasal 63 ayat (2) UU PPTKILN dengan tegas dan jelas menegaskan bahwa ketentuan mengenai bentuk, persyaratan, dan tata cara memperoleh KTKLN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Namun, BNP2TKI menerbitkan Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor PER 41/KA/XI/ 2008 tentang Lampiran Petunjuk Teknis Mekanisme Pelayanan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Seharusnya ketentuan tersebut diatur dengan Peraturan Menteri. Sementara itu, kebijakan BNP2TKI membangun sistem informasi TKI di luar negeri di satu sisi berdampak positif dalam konteks membangun data base menyangkut TKI di luar negeri, tetapi di sisi lain tampak tidak ada koordinasi antar instansi sehingga pemerintah daerah sering kali mengeluhkan kesukaran untuk mengakses jaringan informasi yang dimiliki BNP2TKI.

Ketiga, temuan pengawasan menunjukkan bahwa praktik penyimpangan yang dilakukan oleh TKI di luar negeri salah satunya disebabkan pula oleh ketidakoptimalan pemerintah daerah melakukan fungsinya, seperti longgarnya rekomendasi paspor, lemahnya pengawasan PPTKIS, dan kurangnya penyiapan tenaga kerja terampil yang difasilitasi Balai Latihan Kerja (BLK). Di beberapa daerah, seperti Cianjur, dalam rangka meningkatkan layanan perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri, diterbitkan Peraturan Daerah (Perda Nomor 01 Tahun 2012 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Kabupaten Cianjur ke Luar Negeri) untuk memberikan landasan hukum di daerah dalam hal-hal terkait penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

Page 13: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

799

BAB IVSIMPULAN DAN REKOMENDASI

II. REKOMENDASIBerdasarkan temuan pengawasan berkenaan dengan UU PPTKILN maka dapat direkomendasikan hal hal berikut.

1. Dengan mempertimbangkan hasil pengawasan DPD RI mengenai pelaksanaan UU PPTKILN bahwa berbagai penyimpangan di dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang salah satunya disebabkan oleh kelemahan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, khususnya menyangkut ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan terlalu luasnya peranan PPTKIS, terbatasnya ketentuan mengenai perlindungan TKI di negara penempatan, dan terbatasnya kewenangan daerah, DPD RI mendesak DPR RI agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri menjadi Undang-Undang dengan mengakomodasi Keputusan DPD RI No.17/DPD RI/II/2011-2012 tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri yang telah disampaikan pada tanggal 6 Januari 2012 kepada DPR serta Laporan Hasil Pengawasan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang telah disusun oleh DPD RI.

2. Sebagaimana sikap DPD RI pada bagian rekomendasi pada butir 1 (satu) Laporan Hasil Pengawasan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri di Tahun 2012, DPD RI meminta pemerintah agar menghentikan pengiriman TKI pada sektor informal, terutama tenaga kerja wanita di bidang pelaksana rumah tangga pada negara penempatan yang tidak memiliki MoU dengan Indonesia dan mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan penandatanganan MoU dengan berbagai negara penempatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

3. DPD RI mendorong pemerintah untuk melakukan optimalisasi tindakan hukum terhadap PPTKIS yang telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan serta secara berkesinambungan melakukan verifikasi dan evaluasi PPTKIS dalam menjalankan kegiatan usahanya.

4. DPD RI mendesak Pemerintah agar menerbitkan Peraturan Presiden yang memberikan dasar legalitas bagi pembentukan perwakilan BNP2TKI atau pelimpahan kewenangan BNP2TKI kepada perwakilan Republik Indonesia di negara penempatan dalam hal menerbitkan KTKLN untuk mempermudah pelayanan yang berkualitas terhadap TKI.

5. DPD RI mendesak pemerintah agar melakukan pengkajian dan evaluasi sebagai bagian dari usulan perubahan UU PPTKILN berkenaan dengan fungsi, tugas, dan wewenang BNP2TKI, khususnya menyangkut aspek penguatan kewenangan BNP2TKI dalam memberikan perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri secara proporsional dan diharmonisasikan secara terkoordinasi terpadu dengan kewenangan Kemenakertrans serta Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) sebagaimana telah tertuang dalam Keputusan DPD RI No.17/DPD RI/II/2011-2012 tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri yang telah disampaikan pada tanggal 6 Januari 2012 kepada DPR.

6. Pemerintah bersama pemerintah daerah harus pro aktif di dalam mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan calon TKI yang akan bekerja di luar negeri sesuai dengan karakteristik pekerjaan, budaya, dan sistem hukum di negara penempatan, termasuk dengan memberdayakan Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Page 14: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 13 ...

800

III. PENUTUPDemikian hasil pengawasan ini disampaikan sebagai pemenuhan kewajiban konstitusional Dewan Perwakilan Daerah RI terhadap pengawasan pelaksanaan UU PPTKILN.

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR HEMAS

Wakil Ketua,

DR. LAODE IDA