keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

16
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/DPD RI/IV/2012-2013 TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN JAKARTA 2013

Transcript of keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

Page 1: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 70/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAPRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANGPERTANAHAN

JAKARTA2013

Page 2: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...
Page 3: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

481

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 70/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAPRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANGPERTANAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pertanahan sebagai bagian dari bumi, air, dan ruang angkasa adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki fungsi teramat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur yang pengelolaannya harus mengacu kepada keadilan sosial-ekonomi, kepastian hukum, akuntabilitas publik, perlindungan masyarakat adat, keterpaduan antar sektor, dan keberkelanjutan;

b. bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam mengamanatkan prinsip-prinsip dan arah pembaharuan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam salah satunya pengaturan mengenai pertanahan;

c. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam perkembangan pelaksanaannya telah memungkinkan terjadinya penafsiran yang menyimpang dari tujuan dan prinsip dasar serta belum mengatur secara lengkap permasalahan pertanahan sehingga perlu diatur dalam sebuah undang-undang tersendiri;

d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah rancangan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya salah satunya adalah pertanahan;

e. bahwa kewenangan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas dilakukan dengan terlebih dahulu mempersiapkan Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap rancangan undang-undang;

f. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e di atas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan

Page 4: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

482

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan;

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-15Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 Tanggal 8 Juli 2013

MEMUTUSKAN:Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN.

PERTAMA : Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah.

KEDUA : Isi dan rincian Pandangan sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 8 Juli 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN,

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

Page 5: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

483

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRANKEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

NOMOR 70/DPD RI/IV/2012-2013TENTANG

PANDANGANDEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN

I. Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara agraris dimana sumber kehidupan dan penghidupan rakyat atau warga negara pada umumnya dari sektor pertanian. Kualitas kesuburan tanah dan luasnya wilayah sebagai negara kepulauan membuktikan potensi sumber daya alam termasuk di dalamnya sumber daya tanah dan hasil tanaman yang amat besar. Itulah sebabnya banyak negara sangat berhasrat untuk menguasai sumber daya alam termasuk hasilnya dengan melakukan penjajahan (kolonialisme) seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Jepang.

Dalam perkembangannya ternyata penguasaan dan pemilikan orang perorangan maupun badan hukum terhadap sumber daya agraria terjadi ketimpangan (disparitas). Sebagian besar orang hanya menguasai sedikit sumber daya agraria, sementara sedikit orang/badan hukum mampu menguasai sumber daya agraria dalam jumlah yang amat luas atau melampaui keperluan yang seharusnya. Ketimpangan inilah sebagai salah satu faktor utama terjadinya sengketa sumber daya agraria, meskipun secara regulatif Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan nama UUPA telah mengaturnya. Lahirnya UUPA dimaksudkan untuk membawa rakyat Indonesia ke arah keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan melalui penataan ulang sumber daya agraria yang terkait dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam.

Dalam penjelasan umum (angka 1) UUPA disebutkan bahwa ada tiga tujuan dari pembentukan UUPA, yakni : 1) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; 2) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; dan 3) meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Terlihat jelas bahwa UUPA menempatkan tanah sebagai hal yang paling asasi dalam kehidupan setiap orang, sehingga pertama-tama yang ditekankan bahwa pengaturan mengenai agaria/pertanahan harus menjadi alat untuk membawa kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian pengaturan hukum pertanahan juga harus mencerminkan kesatuan hukum nasional, karena pada masa kolonial masalah hukum pertanahan dibedakan antara pribumi dengan kaum penjajah serta memberikan kepastian hak setiap warga negara atas tanah.

UUPA menandai era baru dari kebijakan politik hukum agraria yang berbeda sama sekali dengan era pemerintahan kolonial. Dengan UUPA, secara bertahap pemerintah melakukan penataan struktur agraria melalui program land reform. Hanya saja, pelaksanaannya baru menyentuh sektor pertanian, belum menyentuh sektor agraria lainnya. Selanjutnya terjadi perubahan politik yang ditandai dengan pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden

Page 6: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

484

Soekarno ke Presiden Soeharto yang berimplikasi pada penghentian program land reform melalui UU No. 1 Tahun 1970 tentang Penangguhan Pelaksanaan Program Land reform.

Sejak pemerintahan di Indonesia memasuki babak baru yang lebih populer disebut dengan Era Reformasi maka telah ditetapkan perlunya perubahan di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya termasuk di bidang pertanahan (reforma agraria). Semua itu diarahkan untuk terjadinya suatu perubahan, pembaruan dari keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik, dari yang tidak tertata/teratur menjadi teratur, dari keadaan belum sejahtera menjadi sejahtera. Artinya di era reformasi, kehidupan rakyat diharapkan semakin sejahtera, cukup sandang, pangan, papan/ lahan, pendidikan, kesehatan, aman, tenteram serta damai.

Era reformasi juga ditandai dengan perubahan kebijakan politik agraria nasional, ditandai dengan lahirnya TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan ini memandatkan kepada Presiden dan DPR RI untuk : 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap pelbagai aturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasari para prinsip-prinsip pembaruan agraria;

2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat;

3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan land reform;

4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini, sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum;

5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi;

6. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik agraria yang terjadi.

Reformasi di bidang keagrariaan ditandai dengan pencanangan program Reforma Agraria (Agrarian Reform) pada tahun 2007 yang menyangkut penataan ulang atau rekonstruksi secara mendasar struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria terutama tanah untuk kepentingan rakyat pada umumnya yang acapkali disingkat dengan P4T.

Dalam rumusan BPN RI, reforma agraria dimaknai sebagai asset reform ditambah dengan access reform. Asset reform dalam pengertian land reform berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada: dengan demikian, maka penataan ulang secara mendasar mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan program land reform. Sedangkan access reform adalah pembukaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, keuangan, manajemen, teknologi, pasar dan sumber-sumber politik.1

Dari paparan BPN (manifestasi otoritas negara) dengan PPAN-nya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang memaknai konsep reforma agraria dalam arti sempit dan luas2, kemudian “pakar” (Sajogya Institute, dan sebagainya) telah mengajukan “wawasan” kebijakan yang disebut dengan “Panca Program Pertanahan” yang perlu ditetapkan oleh pemerintah agar reforma agraria untuk kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Secara konseptual ide tersebut merupakan sebuah pemikiran brilian dan memberikan harapan besar bagi rakyat Indonesia khususnya rakyat tani lebih khusus lagi rakyat tani tak bertanah.

Namun seiring dengan berjalannya waktu kurang lebih 13 tahun “era” reformasi berjalan belum tampak jelas arah kebijakan pertanahan yang ditetapkan/dipilih oleh negara3.

1 BPN,. 2010.,Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Pidato Ilmiah, Senat UGM, Yogyakarta,hlm.1-10.

2 Periksa KPA.,2002., Komite Nasional Untuk Pembaruan Agraria (KNPA), Usulan KPA Kepada Presiden RI, hlm. i – iii

3 KOMPAS, 10 Desember 2007: Kita Berketetapan Menjalankan Reforma Agraria, Pidato SBY, hlm.1, selanjutnya pidato Presiden itu oleh Pidato Kepala BPN dielaborasi pada Forum Rapat Dewan Guru Besar Univ.Indonesia 16 April 2010 di Depok dalam Arie S Hutagalung, Perspektif Hukum Persoalan Agraria: Solusi Terhadap Disharmoni dan Disintegrasi Pengaturan, dimuat pada buku Simposium Nasional “Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat” Dewan Guru Besar Univ.Indonesia, Depok, 12 Mei 2010 hlm.6

Page 7: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

485

Sedangkan persoalan, konflik, sengketa semakin hari semakin banyak dan kompleks4.Suatu kebijakan di bidang pertanahan yang telah dibungkus dengan label reforma

agraria, haruslah merupakan suatu kerangka kerja secara nasional yang dikemas dalam tahapan program-program yang berkesinambungan agar tujuan pembangunan nasional mencapai kemakmuran rakyat yang berkeadilan (Agrarian Justice).

Agar penetapan “program” mencapai hasil guna tentu terlebih dahulu perlu para penentu kebijakan/pengambil keputusan mempunyai visi yang sama (mensejahterakan rakyat). Jadi jika itu visi yang ditetapkan, maka berarti negara/pemerintah harus berpihak kepada rakyat (kecil) jangan berbelok arah pada kepentingan kelompok masyarakat yang lain atau kepentingan pemodal.

Kehadiran Ketetapan MPR RI sejatinya menjadi semangat baru untuk mengimplementasikan kebijakan agraria sebagaimana telah diamanatkan dalam UUPA. Hanya saja, sampai saat ini amanat UUPA dan Ketetapan MPR RI tersebut belum dilaksanakan dalam tataran pembentukan regulasi yang bersifat operasional maupun implementasinya. Namun yang terjadi adalah lahirnya sejumlah kebijakan sektoral yang tidak merujuk pada prinsip UUPA dan TAP MPR RI.

RUU Pertanahan sebagaimana yang dinyatakan dalam naskah akademik, dimaksudkan untuk menindaklanjuti amanat UUPA dan TAP MPR. Namun pengaturan dalam RUU tersebut belum mencerminkan prinsip UUPA dan TAP MPR yang dimaksud. Hal ini tercermin dari gagalnya RUU Pertanahan menerjemahkan prinsip-prinsip UUPA dan arah kebijakan agraria dalam TAP MPR RI.

Dalam pandangan DPD RI, dalam rangka perubahan undang-undang, minimal harus memiliki sasaran tertentu:

Pertama, melanjutkan pembaruan peraturan perundang-undangan dari masa kolonial. Kedua, memperbarui undang-undang yang dibentuk setelah merdeka tetapi telah

ketinggalan atau tidak mencerminkan dasar dan arah politik hukum menuju kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, berdasarkan atas hukum, berkeadilan sosial, dan satu pemerintahan yang bersih.

Ketiga, menciptakan undang-undang baru yang diperlukan baik dalam rangka memperkuat dasar dan arah politik baru maupun dalam rangka mengisi kekosongan hukum akibat perkembangan baru.

Keempat, mengadakan atau memasuki berbagai persetujuan internasional baik dalam rangka ikut memperkokoh tatanan internasional maupun untuk kepentingan nasional.

Maksud DPD RI merumuskan suatu Pandangan DPD RI atas RUU Pertanahan yang merupakan inisiatif dari DPR RI adalah:

1. Sebagai pelaksanaan dari kewenangan konstitusional DPD RI yang diatur dalam Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945;

2. Ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam RUU ini menyangkut hajat hidup orang banyak dan terkait langsung dengan kepentingan daerah;

Adapun tujuan disusunnya pandangan DPD RI ini adalah: 1. Untuk meluruskan kesalahan yang tertuang dalam RUU Pertanahan ini agar sesuai

dengan nilai-nilai yang terkandung pada falsafah Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan jiwa serta semangat UUPA.

2. RUU Pertanahan yang akan dibahas, diharapkan mampu menjawab persoalan untuk menjalankan secara konsekuen dan konsisten Reforma Agraria (Agrarian Reform).

3. Membenahi bias penafsiran terhadap paradigma5, politik hukum, dan pemaknaan serta pelaksanaan UUPA selama 53 tahun.

Dalam rangka penajaman pemikiran-pemikiran di atas, hal-hal yang menjadi perhatian terhadap hadirnya RUU Pertanahan adalah :

a. Apakah RUU ini dapat menjalankan pembaruan agraria dan mampu menjadi solusi yang diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan di bidang ke-agraria-an?

b. Bagaimana kedudukan RUU Pertanahan ini terhadap UUPA, khususnya yang mengatur tentang hak-hak atas tanah?

c. Apakah RUU ini telah mampu mengatur kelembagaan pertanahan untuk menghentikan sektoralisme dan liberalisme agraria ?

d. Apakah RUU ini sudah memberikan pengakuan dan perlindungan hak atas tanah terhadap petani kecil dan masyarakat adat?

4 Tim Peneliti.,2012., Konfigurasi Politik Hukum Pertanahan Nasional Menuju Reforma Agraria, dalam Jurnal Keadilan Vol.6 No.1 Tahun 2012, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan, Jakarta, hlm.7-8 dan 10-11. Data KPA 1970-2000 jumlah kasus tanah 1753, mencakup luas lahan 10.892.203 hektar, meliputi 1.189.482 keluarga. Sementara menurut BPN jumlah kasus 2810 yang belum terselesaikan.

5 Menurut pandangan kami DPD meluruskan paradigma yang selama ini difahami banyak kalangan dari state based agrarian resources management ke community based resource management dengan mendasarkan Pasal 1 dan 2 UUPA

Page 8: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

486

e. Bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi RUU ini dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?Eksistensi DPD RI yang kuat menurut Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dasar DPD RI menjadi pijakan dalam memberikan pandangan terhadap RUU Pertanahan.

II. Landasan PemikiranSecara historis, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri

bahkan sebelum masa penjajahan Indonesia (yang dahulu disebut Nederlandsch Indie) terdapat komunitas-komunitas kecil berdasarkan pertalian darah maupun satuan wilayah dikenal masyarakat adat (indigenous community) yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan sampai sekarang tidak diketahui secara pasti dengan data yang akurat. Entitas tersebut, memiliki corak pengetahuan kearifan tersendiri (indigenous knowledge) termasuk mekanisme dalam penyelesaian konflik dan sengketanya.

Beberapa catatan para pakar hukum adat itu mengisyaratkan betapa masyarakat Adat telah mempunyai budaya yang tinggi dalam segala keterbatasan dan keberagamannya yang oleh pemerintah kolonial Belanda dicoba hendak digantikan dengan unifikasi hukum untuk memudahkan pengaturan dan sekaligus memasukkan nilai-nilai (cultural value) barat ke dalamnya. Penerapan kebijakan ini yang pada akhirnya menimbulkan otokritik dari kalangan akademisi C. van Vollenhoven (Leiden University) pada pertarungan dengan akademisi Utrecht dalam telaah kritis Peter J Burns akademisi dari James Cook University Australia6.

Bukti empirik telah nyata upaya penyatuan atau unifikasi hukum pada negara yang bangsanya bersifat majemuk pada masa kolonial dan selanjutnya mengalami kegagalan, karena hukum negara (state law) tidak sesuai dengan kesadaran hukum (volksgeist) masyarakatnya. Demikian juga pengadilan sebagai lembaga garda penegak keadilan dalam menyelesaikan sengketa juga gagal menghasilkan putusan yang selaras dengan nilai keadilan yang sangat didambakan para pencarinya (justisiabelen). Para pencari keadilan khususnya masyarakat adat diberikan ruang pada pengadilan adat yang menurut Emil Kleden:

“...bukan merupakan hal baru di negeri ini, sejak Indonesia belum merdeka ia telah begitu dipercaya oleh masyarakat sebagai mekanisme penyelesaian konflik/sengketa di tingkat lokal (komunitas). Sayangnya saat ini, di banyak tempat, kepercayaan masyarakat Adat/lokal terhadap pengadilan Adat telah memudar ketika negara tidak lagi mengakui keberadaannya serta menghormati segala putusan yang dihasilkannya. Diskursus tentang pengadilan Adat pada dasarnya merefleksikan hubungan negara dan masyarakat. Dimaksud dengan ruang negara-dalam sistem demokrasi-adalah keseluruhan wewenang dan struktur terkait yang diserahkan rakyat kepada negara untuk diatur. Sedangkan sebagian urusan lain tetap diurus oleh masyarakat sendiri, karena mereka mampu dan akan lebih efektif”7.

Simpulan dari uraian Kleden mengisyaratkan bahwa kebijakan penyatuan atau bahasa lainnya penyeragaman hukum dengan tujuan pragmatik memudahkan pengaturan oleh negara tidak saja menimbulkan persoalan yang titik klimaksnya diundangkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 diberlakukan 13 Januari 1951 yang mengatur tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan serta acara berbagai pengadilan sipil. Dengan kata lain UU darurat ini hendak mewujudkan unifikasi beberapa pengadilan yang tidak sesuai dengan NKRI, menghapuskan pengadilan swapraja di daerah tertentu dan semua pengadilan Adat, melanjutkan pengadilan agama dan pengadilan desa sepanjang merupakan bagian tersendiri atau terpisah dari pengadilan Adat. Pilihan kebijakan yang

6 Periksa telaah kitis: Peter J Burns.,1999., The Leiden Legacy, Concepts of Law in Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.95-111 penulis dalam konteks ini hendak menekankan bagaimana sesungguhnya peran penting akademisi hukum (legal scholars) dalam mempengaruhi kebijakan penting negara (baca pemerintah yang berkuasa) melalui hasil-hasil kajian yang jujur, obyektif, bernas, pengakuan akan keberagaman budaya dan hukum sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki bangunan sistem hukum khususnya di Indonesia, dimana sebagaian komponennya adalah sub sistem peradilan yang mandiri dan berwibawa.

7 Emil Kleden.,2006., Peradilan Adat: Cermin Upaya Membangun Otonomi dalam Donny Danardono Op.cit. hlm.151. Kajian tersebut memberikan bukti-bukti bagaimana pemerintah kolonial Belanda saja memberikan dasar legitimasi terhadap keberadaan pengadilan Adat di berbagai wilayah Indonesia misalnya S 1881 No.83 untuk Aceh Besar, S 1886 No.220 untuk Pinuh Kalimantan Barat, S 1889 No.90 untuk Gorontalo, S 1935 No.102 menyisipkan Psl 3a RO untuk mengatur kewenangan para hakim masyarakat hukum kecil dalam memeriksa dan mengadili perkara Adat serta dasar hukum untuk pengadilan Adat di tempat lainnya.

Page 9: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

487

diambil pemerintah itu secara mutatis mutandis menyokong diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada 24 September 1960.

Secara prinsip, pengaturan masalah pertanahan yang ada dalam UUPA adalah: a) hak bangsa; b) hak menguasai negara; c) nasionalitas; d) penghargaan dan pengakuan hukum adat; e) kesamaan akses laki-laki dan perempuan terhadap tanah; f) landreform; dan g) perencanaan penatagunaan tanah dan lingkungan hidup.

Dalam perjalanan pelaksanaannya ditemukan beberapa kekurangan dan kelemahan negara yang belum melaksanakan perintah UUPA:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 oleh pembentuk undang-undang dirancang sebagai undang-undang pokok yang memerlukan peraturan pelaksanaan. Beberapa peraturan perundangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 hingga saat ini belum kunjung dibuat/diundangkan, sehingga menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum) seperti UU Hak Milik, UU Hak Ulayat;

2. Beberapa peraturan perundangan yang lahir kemudian, terutama pada era Orde Baru yang dipengaruhi oleh filosofi neo-kapitalisme, merupakan peraturan perundangan yang sektoral dan substansinya bertentangan dengan UUPA, misalnya: UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; dan lain-lain.

3. Tujuan unifikasi hukum yang merupakan salah satu dasar UUPA dalam perkembangannya ternyata bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang pluralistik, sehingga kurang mampu mengikuti dinamika masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Adat;

4. Beberapa peraturan perundangan di bidang sumber daya agraria ternyata terdegradasi menjadi sektoral, substansinya tumpang-tindih serta saling bertentangan satu sama lain.

5. Beberapa konsep dasar yang tertuang di dalam UUPA dalam tataran empirik mengalami penafsiran yang menyimpang dari apa yang sesungguhnya dimaksud oleh UUPA, sehingga menimbulkan sengketa antara pemangku kepentingan. Misalnya, konsep hak menguasai negara dalam praktiknya negara seolah-olah sebagai pemilik tanah (domein verklaring, konsep kolonial); tanah berfungsi sosial belum pernah diterapkan dalam kehidupan riil; tanah untuk kepentingan umum seringkali dimaknai secara sempit hanya untuk kepentingan pemerintah.

III. Pandangan UmumJika dirunut dari aspek sejarah pengaturan masalah sumber daya agraria sebagai

pengejawantahan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 terutama pada era Orde Baru dan sesudah era itu yang dalam istilah lazim dinamai era reformasi yang menurut hemat kami mengalami kegagalan, menunjukkan tidak saja terjadi penyimpangan tafsir dan pelaksanaan UUPA, melainkan juga menghadapi kerasnya gempuran ideologi neo kapitalisme dan globalisasi. UUPA oleh sementara kalangan dipandang kurang mampu menghadapi tantangan perubahan jaman dan pergeseran penguasaan dan pemilikan sumber daya.

Problem lainnya adalah tumpang-tindih atau carut marut pengaturan sumber daya agraria itu sendiri dimana UUPA tereduksi hanya sebatas mengatur tentang pertanahan. Dengan demikian fakta ini merupakan salah satu penyebab dari penyelesaian sengketa agraria khususnya yang melalui jalur litigasi tidak saja menciptakan ketidakadilan (unjustices) bagi pencari keadilan (justice seeker) lebih jauh menciptakan sengketa antar pemangku kepentingan (dispute among stake holders). Itu sebabnya alih-alih menurun atau berkurang sengketa di bidang sumber daya agraria justru semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya8.

Sebagai hasil titik temu berbagai pemangku kepentingan untuk melanjutkan reformasi termasuk merekonstruksi tata kelola sumber daya agraria dan sumber daya alam, maka pada tanggal 9 November 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat menghasilkan Ketetapan

8 Tim Peneliti.,2012., Konfigurasi Politik Hukum Pertanahan Nasional Menuju Reforma Agraria, dalam Jurnal Keadilan Vol.6 No.1 Tahun 2012, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan, Jakarta, hlm.7-8 dan 10-11 sebagai penegasan penulis tak hendak memperdebatkan data jumlah yang tak sama menurut data KPA 1970-2000 jumlah kasus tanah 1753, mencakup luas lahan 10.892.203 hektar, meliputi 1.189.482 keluarga. Sementara menurut BPN jumlah kasus 2810 yang belum terselesaikan Usep Setiawan.,2010.,Kembali Ke Agraria, Cetakan Pertama, STPN Press, KPA serta SAINS, Yogyakarta, hlm.311.

Gagasan KPA dituangkan dalam berbagai tulisan para pemikirnya bernama KNUPKA (Komisi Nasional Untuk Penyelesaian Konflik Agraria). Namun, menurut pemahaman kami hal lebih penting dipermasalahkan adalah mengapa jumlah sengketa sumber daya agraria semakin meningkat, karena kebijakan yang salah, perangkat hukumnya atau faktor politik, ekonomi lainnya yang mempengaruhi terhadap penegakan hukum yang selama ini telah dilakukan?.

Page 10: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

488

No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menugasi pemerintah untuk melaksanakannya. Namun sampai sekarang mandat Tap MPR tersebut belum dilaksanakan.

Pasal 5 ayat (1) huruf d yang terkait dengan arah kebijakan pembaruan agraria, menyatakan:

“...menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini (dimaksud huruf c menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum).

Pasal 5 ayat (2) huruf e yang terkait dengan arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, menyatakan:

“...menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini”.

Dalam konteks upaya mewujudkan pembangunan sistem hukum nasional yang mengakomodasi kondisi empirik bangsa Indonesia yang bersifat plural (bhineka), salah satu di antaranya adalah penyempurnaan hukum agraria nasional melalui serangkaian upaya yang terencana, sistematik, berpandangan jauh ke depan, mengakomodasi keberagaman, berkeadilan serta berkepastian hukum dilakukan dengan mengubah dan/atau menambah pasal-pasal di dalam UUPA serta membentuk peraturan perundangan sebagai pelaksanaan dan amanat UUPA. Satu hal penting yang sementara ini dikesampingkan baik oleh pembentuk maupun pelaksana peraturan perundangan adalah upaya yang serius untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan di bidang sumber daya agraria baik yang bersifat nasional maupun daerah sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam pembangunan sistem hukum nasional (development of the legal system) di Indonesia khususnya dicirikan berorientasi pada kepentingan negara (state interest) dan menurut para pakar socio-legal antara lain Thomas Carothers struktur hukum moderen dan demokratis yang ditransplantasikan dari sistem hukum barat (Eropa maupun Amerika Serikat) tidak didasari oleh pengetahuan yang memadai tentang akar budaya hukum di negara berkembang9.

Lebih jauh, pada konteks diskursus pembaruan sub sistem hukum pertanahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan sistem hukum nasional menurut Boedi Harsono “penyempurnaan hukum tanah nasional diperlukan dalam menghadapi era globalisasi misalnya adanya tuntutan untuk lebih dipermudah tata cara memperoleh tanah yang diperlukan dunia usaha. Demikian pula agar dalam mengusahakan peningkatan masuknya modal dan investasi dari luar, dimungkinkan perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah dengan hak-hak atas tanah yang menurut ketentuan hukum tanah nasional sekarang hanya dapat dipunyai oleh perusahaan-perusahaan dan warga negara Indonesia”10.

Dalam pandangan DPD, pengaturan sumber daya tanah sebagai “lex specialis” atau ketentuan khusus dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 ternyata memiliki cacat penafsiran ”ratio concludendi” dari problematika hukum (legal problem) dari substansi pasal-pasal yang terdapat pada UUPA yang dimaknai sebagai “lex generalis”. UUPA yang sebagaian besar mengatur masalah sumber daya tanah, sedikit mengatur masalah sumber daya hutan dan sumber daya air. Menyadari sepenuhnya perkembangan ilmu, teknologi serta upaya pemerintah untuk mendayagunakan potensi sumber daya agraria sebagai upaya untuk meningkatkan devisa/pemasukan pada negara yang sejatinya diabdikan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh bangsa Indonesia.

Sejarah membuktikan bahwa pada era Orde Baru Maret 1966 sampai Mei 1998 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 mengalami “proses desktruksi” dengan penyimpangan pasal-pasal dalam UUPA, karena rezim pembangunan dengan bantuan asingnya, mengutamakan kepentingan pemodal (investor) sehingga memicu meningkatnya angka sengketa di bidang sumber daya agraria. Dalam rezim UUD NRI Tahun 1945, maka sumber daya agraria yang di dalamnya mencakup bumi dalam hal ini tubuh bumi yang dalam hal ini mencakup sumber

9 Thomas Carothers, 2006.,The Problem of Konowledge dalam Thomas Carothers (Ed), Promoting Rule of Law Abroad: In Search of Knowledge, Washington: Carnegie Endowment for International Peace hlm.15-30 dalam Sulistyawati Irianto.,2009.,Meretas Jalan Keadilan Bagi Kaum Terpinggirkan dan Perempuan (Suatu Tinjauan Socio-Legal) Pidato Pengukuhan Guru Besar ilmu Hukum, Universitas Indonesia,Tidak Diterbitkan, Jakarta, hlm.3

10 Boedi Harsono.,2007., Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Perkembangan Pemikiran dan Hasilnya Sampai Menjelang Kelahiran UUPA, Cetakan Ketiga, Universitas Trisakti Press, Jakarta, hlm.13-14

Page 11: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

489

daya tanah, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat harus selaras dengan filosofi Pancasila khususnya sila kelima.

Jika rancangan undang-undang pertanahan dimaksudkan untuk melengkapi dalam menjawab perkembangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (konsiderans huruf c), maka seharusnya diarahkan sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia yakni “Pancasila” yang terjabarkan dalam sila-silanya. Dengan demikian, maka sumber daya tanah harus dimaknai sebagai aset dari segenap bangsa bukan benda komoditi seperti yang dikatakan oleh Hernando de Soto. Sumber daya tanah harus dipandang sebagai hak bangsa yang mendasari lahirnya hak-hak penguasaan dan/atau pemilikan atas sumber daya tanah. Dengan demikian, pemilikan dan/atau penguasaan atas sumber daya tanah tidak dapat diletakkan dalam mekanisme pasar yang bebas, harus diberikan pembatasan luas dan jenis penguasaannya dengan memberikan prioritas pada perlindungan hak asal bagi masyarakat adat maupun kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan (lack of power, opportunities and capacities, marginalised people’s).

Masalah pertanahan tidak hanya sebatas pendaftaran, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan serta pemeliharaan namun lebih jauh di dalamnya terdapat ketimpangan struktur penguasaan dan/atau pemilikan karena kemampuan akses. Dengan demikian peran negara amat sentral dalam menjalankan tugas melakukan pengelolaan, pengaturan serta pengawasannya harus menunjung tinggi prinsip kebangsaan, kenasionalan, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, fungsi sosial dan ekologis, keadilan, keanekaragaman dalam kesatuan hukum, perencanaan dalam penggunaan, kewajaran, kepatutan serta asas pemerintahan yang baik/layak.

IV. Pandangan Khusus4.1 Pandangan Terhadap Naskah Akademik

a. Latar belakang :1. Salah satu persoalan yang mendasari penyusunan RUU ini adalah munculnya

berbagai undang-undang sektoral yang sama sekali tidak merujuk pada UUPA, sehingga posisi UUPA mengalami degradasi dari tujuan awalnya sebagai aturan pertanahan yang lex generalis. Hanya saja, apakah dengan kehadiran RUU pertanahan ini tidak semakin menguatkan sektoralisme pengaturan di bidang pertanahan?

2. Disebutkan bahwa karena situasi peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan tidak sikron, maka berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam diperlukan suatu kajian ulang. Dengan demikian pada dasarnya pekerjaan yang mendesak untuk dilakukan sebelum menyusun RUU Pertanahan adalah melakukan kaji ulang atas seluruh perundang-undangan yang terkait dengan tanah dan pengelolaan SDA. Atas hasil kaji ulang itulah semestinya menjadi dasar apakah diperlukan suatu UU Pertanahan sebagai penyempurnaan dari UUPA.

3. Dalam latar belakang disebutkan fakta-fakta mengenai hilangnya roh UUPA dalam berbagai kebijakan mengenai pertanahan karena adanya penafsiran yang keliru terhadap falsafah dan prinsip dasar dari UUPA, sehingga implikasinya adalah terjadinya konflik agraria yang massif. Pertanyaannya, dapatkah RUU Pertanahan menjadi penafsir yang tepat terhadap UUPA sehingga berbagai dampak negatifnya dapat diatasi?

4. Konflik agraria sesungguhnya terjadi karena selama ini tidak dijalankannya agenda reforma agraria. Sedangkan aturan untuk melaksanakan reforma agraria telah diatur dalam berbagai aturan, sehingga yang dibutuhkan adalah komitmen pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria, bukan dengan membuat perundang-undangan yang baru. Dalam arti bahwa kendala pelaksanaan reforma agraria bukan ketiadaan aturannya, melainkan tidak adanya komitmen politik dari pemerintah. Selain itu, harus disadari bahwa konflik agraria lahir karena perubahan paradigma pembangunan agraria kita dari populisme ke kapitalisme. Artinya paradigma pembangunan kita yang tidak sesuai dengan prinsip dan falsafah UUPA.

5. Contoh-contoh yang terdapat dalam naskah akademik RUU Pertanahan sebagai landasan sosiologis mengenai penyebab ketimpangan dan konflik agraria kurang tajam dan hanya mengambil pengalaman di Jawa. Padahal saat ini, fakta mengenai ketimpangan dan konflik agraria juga banyak terjadi bahkan semakin massif di luar Jawa.

b. Urgensi Pembentukan RUU PertanahanDalam naskah akademik disebutkan beberapa alasan yang menjadi urgensi pembentukan RUU Pertanahan ini, antara lain :

Page 12: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

490

1) Sebagai penyempurnaan UUPA. Penyempurnaan dimaksudkan untuk memperbaiki/menambah kekurangan/kelemahan UUPA.

2) Untuk mengatasi konflik hukum yang lahir karena adanya undang-undang sektoral yang tidak sinkron dengan UUPA.

3) Sebagai upaya penguatan Pasal 1 s/d 15 UUPA.4) Untuk mengatasi masalah pertanahan yang muncul dewasa ini.

Urgensi tersebut di atas pada kenyataannya tidak terumuskan secara komprehensif di dalam norma RUU Pertanahan. Hal ini tercermin dari sejumlah pasal mengenai Hak Atas Tanah belum secara kuat menerjemahkan amanat dalam Pasal 1 s/d 15 UUPA. Sebaliknya, jika spirit RUU Pertanahan tersebut akan mengatur urgensi sebagaimana tersebut di atas, maka pertanyaannya adalah apakah RUU ini secara substansi tidak bermakna menggantikan atau mendegradasi UUPA?.

c. Terkait dengan evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan.

Naskah akademik RUU Pertanahan telah menguraikan dengan jelas berkaitan dengan harmonisasi, evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait. Evaluasi dan analisis tersebut dimaksudkan untuk melihat keterkaitan RUU Pertanahan ini dengan peraturan perundang-undnagan lain, sehingga diketahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pertahanan. Uraian ini berusaha untuk menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta posisi RUU Pertanahan ini untuk menghindari tumpang tindih pengaturan. Namun hal ini tidak tercermin dalam rumusan normanya. Dengan kata lain, norma-norma yang ada dalam RUU Pertanahan belum mensikronisasi dan mengharmonisasi dari beberapa norma yang terkandung dalam berbagai UU yang berkaitan dengan pertanahan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

4.2 Pandangan Terhadap Pasal-Pasal RUU PertanahanMenurut DPD RI, RUU Pertanahan memiliki beberapa kelemahan yang

berpotensi menimbulkan konflik norma, konflik kelembagaan, dan konflik kepentingan sebagai berikut :1. Bahwa berbagai hal yang dikemukakan dalam naskah akademik tidak semua

tercermin dalam RUU. Sebagai contoh bagaimana mengatasi undang-undang sektoral yang mengatur masalah pertanahan tetapi tidak mengacu pada UUPA, misalnya UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, seperti penetapan kawasan hutan yang tidak melihat kondisi eksisting (faktual/empiris), UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas misalnya penetapan kawasan konsesi pertambangan yang mencakup kawasan pemukiman, kawasan hutan dan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyangkut sumber air yang dikomersialkan pada wilayah tanah kas desa.

2. Tidak ada pasal yang menunjukkan penguatan kelembagaan pertanahan di masa depan. Padahal masalah ini merupakan hal yang sangat fundamental karena sejauh ini belum ada kelembagaan yang secara kuat diberi kewenangan untuk mengurus secara penuh masalah tanah. Hal ini kemudian mencerminkan begitu kuatnya ego-sektoralisme antar masing-masing lembaga dalam mengurus masalah pertanahan, misalnya antara BPN dengan Kementerian Kehutanan, sehingga ke depan perlu diatur kelembagaan yang kuat untuk hak atas tanah yang terpisah pengaturannya dengan pemanfaatan di atas permukaan tanah.

3. Dalam RUU ini tidak secara kuat diatur mengenai perlindungan terhadap kelompok kecil, seperti petani gurem, petani tak bertanah dan kelompok perempuan. Padahal kelompok-kelompok tersebut yang saat ini sangat membutuhkan tanah dan menjadi penyebab kemiskinan di pedesaan.

4. Bagian konsiderans tidak tegas mengacu pada dasar falsafah bangsa yakni “Pancasila” sebagaimana UUPA, berarti bertentangan dengan semangat dan jiwa UUPA sendiri.

5. Pasal-pasal terkait dengan hak atas tanah, belum terlalu kuat dan tajam menempatkan prinsip dan landasan UUPA, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 s/d 15 UUPA, misalnya; prinsip fungsi sosial, prinsip pengusahaan sendiri, pembatasan penguasaan dan/ atau tanah non-pertanian.

6. Pasal 1 s/d 4 RUU Pertanahana. pertanahan tidak hanya sebatas pada persoalan administrasi serta perbuatan

mengenai tanah belaka melainkan hal yang esensial adalah mengatasi persoalan ketimpangan distribusi dan pemberian kesempatan bagi yang sedang kurang diuntungkan;

b. berhubungan pula dengan Pasal 3 ayat (1) dan (2) Pasal 4 ayat (1) s/d (3) hak menguasai negara sebagai organisasi kekuasaan sebagai penerima mandat

Page 13: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

491

dari segenap rakyat seharusnya memiliki kewenangan yang terbatas dalam melakukan pengelolaan atas sumber daya tanah sebagaimana dimaksud UUD 1945, harus transparan, dipertanggung jawabkan, mengutamakan pada kelompok masyarakat yang sedang dalam ketiadaan akses, kurang diuntungkan, terpinggirkan;

c. menyangkut mengenai eksistensi masyarakat hukum adat (emphirical of the legal existence) berikut hak ulayatnya satuan kelompok yang lebih dulu ada sebelum terbentuknya NKRI, maka memiliki hak eksklusif dalam menentukan kebijakan sendiri (otonom) dalam pengelolaan sumber daya tanah yang merupakan sumber bagi hidup dan kehidupan selaras dengan harkat dan martabatnya “prima ad facie” yakni pengakuan dan perlindungan hak yang lebih dahulu ada dalam hal ini hak masyarakat hukum adat, “prior informed consent” yakni keharusan/ kewajiban dalam pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan tertentu untuk memperoleh persetujuan dan kesepakatan dari hak eksklusif yang telah melembaga11;

7. Pasal 5 s/d 7 hak pengelolaan (HPL) yang merupakan bagian dari hak menguasai negara (HMN) dalam praktik di masyarakat acapkali menimbulkan sengketa tenurial (tenurial conflict) karena lemahnya administrasi dan pendataan. Oleh karena itu harus dilakukan pendataan yang sistematik, berkelanjutan, akuntabel, bukan bersifat sifat dan tujuan pemberian HPL tersebut. Sebagai aset sumber daya tanah yang dilekati dengan HPL dicegah dialihkan, namun hanya dilekati dengan hak sekunder seperti HGB atau hak pakai. Masalah HPL yang di banyak wilayah menimbulkan persoalan hukum yaitu konflik kelembagaan dan konflik kepentingan seperti kasus surat hijau di Kota Surabaya, kasus tukar menukar aset/kekayaan negara di beberapa daerah segera harus diselesaikan problematika hukumnya;

8. Pasal 8 s/d 9 menyangkut hak ulayat merupakan hak eksklusif kedaulatan pengelolaan, merencanakan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan wajib memperoleh pengakuan dan perlindungan menurut hukum. Hak Ulayat yang masih menjadi lembaga hukum yang hidup dan dipertahankan oleh kesatuan hukum memang seharusnya mendapatkan tidak saja perlindungan tetapi juga pengakuan dari negara. Kesalahan konseptual dari interpretasi atas Pasal 3 UUPA, segera harus diakhiri dengan memberikan kewenangan masyarakat hukum Adat untuk mengatur secara bersama-sama dengan pemerintah dan/atau pemerintah daerah pemanfaatan tanah, wilayah serta sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum Adat yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupannya. Dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1), pengakuan semestinya dinyatakan oleh negara, bukan pemerintah, karena yang diakui adalah hak konstitusional warga negara, bukan hadiah pemerintah.

9. Bab IV hak atas tanah Pasal 12 s/d Pasal 40 menyimpan banyak persoalan tidak saja hukum melainkan politik, pertahanan dan keamanan, sosial, ekonomi serta budaya. Konflik yang terjadi selama ini adalah antar lembaga sektoral, masyarakat Adat maupun sektor dunia usaha baik perkebunan, pertambangan, kehutanan, maupun di sektor lainnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang sungguh sungguh, terencana, sistematik, menjangkau visi yang jauh ke depan bagaimana politik hukum atas sumber daya tanah ini kembali ke fungsinya yakni memberikan kesejahteraan bagi sebesar-besar seluruh bangsa Indonesia, terutama bagi kelompok yang telah lama kurang diuntungkan. Strateginya adalah membentuk kelembagaan lintas sektoral yang akan mengkoordinasikan secara tertib, terencana, lintas wilayah, lintas sektor misalnya dibentuk Kementerian Agraria dan Lingkungan Hidup/SDA.Selain hal tersebut, dalam ketentuan Pasal 12 perlu ada penjelasan yang mengatur adanya keterkaitan prinsip dan konsep hak-hak atas tanah berdasarkan UUPA dengan RUU Pertanahan. Tujuannya untuk mengetahui dan menemukan konsistensi atau kesesuaian antara UUPA dengan RUU Pertanahan. Jika ternyata ada pertentangan terhadap prinsip-prinsip hak atas tanah, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, maka itu artinya kepentingan rakyat yang harus di penuhi dan perlu dilindungi menjadi terabaikan.

10. Terkait dengan Bab V tentang Reforma Agraria, maka pada dasarnya telah mengaburkan makna dari reforma agraria sejati (genuine), karena bila didalami dengan baik, dalam RUU ini lebih bersifat “management” atau pengelolaan belaka,

11 Selaras dengan pandangan Soetandyo Wignjosoebroto, Pokok Pikiran tentang Empat Syarat Pengakuan Eksisten Masyarakat Adat: 1. Sepanjang masyarakat hukum Adat itu masih hidup, 2.sesuai dengan perkembangan masyarakat, 3 sesuai dengan prinsip negara kesatuan RI, 4.diatur dengan undang-undang lihat dalam Hilmy Rosyida dan Bisariyadi (Editor).,2005.,Masyarakat Hukum Adat,Inventarisasi dan Perlindungan Hak, Komnas HAM, MK dan Depdagri, hlm.39. Periksa pula pandangan Satjipto Rahardjo.,2005., Hukum Adat Dalam NKRI (Perspektif Sosiologi Hukum) dalam Hilmy Rosyida dan Bisariyadi (Editor).,2005.,Masyarakat Hukum Adat,Inventarisasi dan Perlindungan Hak, Komnas HAM, MK dan Depdagri, hlm.43-45 dan 53-54

Page 14: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

492

bukan “reform” berwujud penataan kembali ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan sumber daya tanah, hal ini ditunjukkan, antara lain :a) Dalam Pasal 41, ayat (2) huruf c tentang Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)

sama sekali tidak disebutkan tanah-tanah “surplus”, yaitu tanah sebagai hasil pengambilalihan tanah pertanian yang melebihi batas maksimal, tanah absenti seharusnya juga termasuk tanah-tanah non-pertanian, tanah yang sengaja diterlantarkan.

b) Pasal-pasal dalam Bab V ini lebih menekankan redistribusi tanah yang dikualifikasikan kelebihan batas, absenti atau diterlantarkan, padahal esensi reforma agraria pada dasarnya bertujuan merombak ketimpangan struktur penguasaan dan/atau pemilikan sumber daya.

c) Pasal 44, dengan menggunakan istilah “akses reform” mencerminkan pola pikir yang “ambigu/mendua” atau pola pikir “market/pasar”, bukan pola pikir “reform”. Karena sejatinya berbagai program penunjang yang disebutkan dalam pasal tersebut seharusnya sudah menjadi satu kesatuan program land reform.Reforma Agraria (the Agrarian Reform) sejatinya adalah ruh atau jantung dari tugas negara agraris untuk bagaimana mendayagunakan sumber daya potensialnya bagi perwujudan sebesar-besar kesejahteraan rakyat secara hakiki. Reforma agraria memiliki makna esensial mengatasi persoalan disparitas penguasaan dan/atau pemilikan/akses sumber daya tanah yang amat timpang.

11. Bab VI pendaftaran tanah tidak hanya mencakup pendaftaran hak personal, badan hukum melainkan hak Ulayat masyarakat Adat sejalan asas “Contradictoire de limitatie”(penetapan hak atas tanah tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang). Disamping itu, pembatasan waktu 20 tahun pada Pasal 51 ayat (5) mengandung potensi konflik dan sengketa karena kondisi masyarakat yang timpang dalam pengetahuan hukum dan perkembangan iptek. Menurut pandangan DPD RI, penetapan waktu 20 tahun tidak memiliki dasar rasionalitas hukum yang tepat berkaitan dengan Rechtsverwerking yaitu pelepasan hak untuk menuntut karena terlampauinya batas waktu tertentu menurut hukum Adat sebagaimana terdapat pada Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ditentukan lima tahun terhitung sejak diterbitkannya surat tanda bukti hak (sertifikat).

12. Bab VII Perolehan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan Pengalihfungsian Tanah tidak sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum khususnya yang berkaitan dengan mekanisme perolehan tanah dan penggantian yang layak serta alasan/ dasar kepentingan umum;

13. Bab IX penyelesaian sengketa sejatinya harus mengedepankan prinsip keadilan dan kemanfaatan sumber daya dalam keselarasan/harmoni. Pembentukan pengadilan yang ditugaskan menyelesaikan sengketa pertanahan seharusnya terpisah dari bagian UU pertanahan karena faktor kesejarahan, kondisi empiris, sosial, budaya, politis serta hukum. Pengaturan mengenai sengketa pertanahan seharusnya tidak dipandang hanya sebagai suatu persoalan perdata biasa, melainkan sebuah problematika konflik agraria yang menyangkut dimensi sosial, ekonomi dan politik. Sehingga tidak tepat hanya membentuk pengadilan pertanahan yang kompetensinya sempit (hanya aspek pertanahan saja). Namun menurut DPD RI, pembentukan Pengadilan Keagrariaan yang kompetensinya lebih luas menangani sengketa keagrariaan dipandang jauh lebih tepat.

V. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1 Kesimpulan

1. RUU Pertanahan (jika nantinya menjadi UU Pertanahan), menurut pandangan DPD RI belum mampu menjalankan amanat pembaruan/reforma agraria serta belum mampu menjadi solusi yang diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan di bidang keagrariaan yang sangat kompleks dan akut. Sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam lagi agar RUU ini nantinya dapat menjadi wahana bagi terselenggaranya “reforma agraria” yang sejalan dengan filsafah Pancasila dan amanat UUD 1945 serta TAP IX/MPR/2001.

2. UU Pertanahan seharusnya sebagai lex specialis yang menjadi landasan hukum bagi upaya harmonisasi dan sinkronisasi UUPA secara integral sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Namun dalam RUU Pertanahan masih terjadinya overlapping pengaturan dengan UUPA khususnya yang terkait dengan pengaturan hak-hak atas tanah (Pasal 1 s/d 15 UUPA).

3. Perlu adanya kajian yang mendalam untuk pembentukan dan penguatan kelembagaan agraria setingkat kementerian, sehingga pengelolaan masalah pertanahan lebih

Page 15: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

493

terintegrasi dan dapat mengatasi persoalan sektoralisme pengaturan, kelembagaan dan kepentingan di bidang agraria (misalnya dibentuk Kementerian Agraria dan Lingkungan Hidup/SDA).

4. RUU Pertanahan belum secara jelas dan komprehensif memberikan pengakuan dan perlindungan hak atas tanah terhadap petani kecil dan masyarakat Adat.

5. RUU Pertanahan belum disinkronisasikan dan diharmonisasikan secara komprehensif dengan UU yang lainnya, sehingga wajar bila masih adanya benturan dan overlapping pengaturan.

5.2 Rekomendasi1. Segera mewujudkan politik hukum agraria melalui upaya yang sistematik,

berkelanjutan, berkeadilan sosiologis, ekologis, mengacu pada kesejahteraan warga bangsa.

2. RUU Pertanahan akan lebih baik bila didorong sebagai RUU Hak Atas Tanah, sebagaimana yang telah disusun oleh DPD RI dan yang telah disampaikan kepada DPR RI. Karena dengan demikian, akan menjadi jelas posisinya dengan UUPA sebab hak atas tanah merupakan salah satu mandat dari UUPA yang diatur lebih lanjut dengan UU.

3. Pengaturan masalah sengketa pertanahan sebaiknya diatur dalam satu peraturan tersendiri setingkat UU, yaitu UU Pengadilan Agraria sebagaimana yang telah diinisiasi oleh DPD RI. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi konflik agraria yang bersifat masif, struktural dan melibatkan aktor dari sektor lain.

4. Segera menyelesaikan pekerjaan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan di bidang sumber daya agraria secara menyeluruh, pusat-daerah, dan antar kelembagaan.

5. Perlu adanya kajian yang mendalam untuk pembentukan dan penguatan kelembagaan agraria setingkat kementerian, sehingga pengelolaan masalah pertanahan lebih terintegrasi dan dapat mengatasi persoalan sektoralisme pengaturan, kelembagaan dan kepentingan di bidang agraria (misalnya dibentuk Kementerian Agraria dan Lingkungan Hidup/SDA).

Demikian Pandangan RUU Pertanahan ini kami sampaikan, sebagai wujud konstitusionalitas DPD RI terhadap RUU yang diinisiasi oleh DPR RI. Mudah-mudahan hal ini dapat memperkaya dan menyempurnakan materi Naskah Akademik dan RUU Pertanahan yang telah ada.

Jakarta, 8 Juli 2013

PIMPINANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIAKetua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

Page 16: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 70 ...

494