keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

18
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN KHUSUSNYA MENGENAI PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL JAKARTA 2013

Transcript of keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

Page 1: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 25/DPD RI/II/2013-2014

TENTANG HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIAATAS

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG

POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN KHUSUSNYA MENGENAI PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON

PEGAWAI NEGERI SIPIL

JAKARTA2013

Page 2: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...
Page 3: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1067

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 25/DPD RI/II/2013-2014

TENTANG HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIAATAS

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN KHUSUSNYA MENGENAI PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;

b. bahwa untuk kelancaran pelaksanaan sebagian tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan serta membantu tugas-tugas Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan tenaga honorer yang diangkat oleh pejabat instansi pemerintah;

c. bahwa tenaga honorer yang telah lama bekerja dan/atau tenaganya dibutuhkan oleh Pemerintah dan memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dengan Peraturan Pemerintah;

d. bahwa dalam penyelengaraan pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud pada huruf c, dalam prakteknya masih terdapat pelanggaran dan penyimpangan baik ditingkat pusat maupun daerah sehingga perlu dilakukan pengawasan atas penyelenggaraannya;

e. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama;

f. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e di atas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Khususnya Mengenai Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf

Page 4: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1068

a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Khususnya Mengenai Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

4. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6/DPD/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 20 Desember 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN KHUSUSNYA MENGENAI PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERTAMA : Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Khususnya Mengenai Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

KEDUA : Isi dan rincian Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 20 Desember 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN,

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

Page 5: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1069

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRANKEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 25/DPD RI/ II/2013-2014TENTANG

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANGPOKOK-POKOK KEPEGAWAIAN, KHUSUSNYA MENGENAI PENGANGKATAN TENAGA

HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKelancaran penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan nasional sangat

tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya Pegawai Negeri. Karena itu, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional yakni mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Di samping itu dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan pemerintahan kepada Daerah, Pegawai Negeri berkewajiban untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dengan berlakunya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka terjadi desentralisasi urusan kepegawaian kepada daerah. Untuk memberi landasan yang kuat bagi pelaksanaan desentralisasi kepegawaian tersebut, diperlukan adanya pengaturan kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil secara nasional tentang norma, standar dan prosedur yang sama dan bersifat nasional dalam setiap unsur manajemen kepegawaian.

Ditilik dari dasar konstitusional maka UUD NRI 1945 telah memberikan jaminan terhadap tiap-tiap warga negara untuk bekerja dan mengembangkan diri sesuai dengan minat dan kemampuannya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2) dan Ayat (3), serta Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945. Oleh karena hak atas pekerjaan dan berpartisipasi dalam pemerintahan merupakan hak asasi manusia, maka persoalan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS harus dilihat dalam kerangka pemenuhan hak asasi manusia untuk dapat memilih, mendapatkan pekerjaan sekaligus merupakan perwujudan dari hak asasi manusia untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam berpartisipasi untuk menyelenggarakan pemerintahan. Meskipun demikian, pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan dengan tetap mengutamakan kepentingan untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang efektif dan efisien.

Jaminan konstitusi tersebut di atas kemudian diterjemahkan dalam peraturan perundang-undangan khusus mengenai kepegawaian yaitu Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 merupakan perubahan terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Semangat yang dibangun dari lahirnya UU ini adalah untuk melakukan reformasi birokrasi dan

Page 6: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1070

desentralisasi pemerintahan guna mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan dengan aparatur Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititik beratkan pada sistem prestasi kerja.

Berkaca dari semangat untuk mewujudkan reformasi birokrasi di daerah, maka ketentuan kepegawaian terutama yang berkaitan dengan kepegawaian daerah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama terkait dengan beberapa hal, yaitu: 1) Pembinaan manajemen PNS; 2) Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian jabatan eselon II; 3) Penentuan formasi; 4) Pengembangan karir; 5) Gaji dan tunjangan; dan 6) Pembinaan dan pengawasan.

Untuk menuntaskan persoalan kepegawaian, khususnya mengenai Tenaga Honorer, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2012 yang merupakan perubahan kedua atas PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer. Dalam PP tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang diatur yaitu mengenai honorer kategori 1 (honorer yang penghasilannya dibiayai dari APBN/APBD) honorer kategori 2 (tenaga honorer yang penghasilannya bukan dibiayai dari APBN/APBD).

Sebagian kalangan menilai bahwa lahirnya PP 56 Tahun 2012 ini memberi harapan untuk mengakhiri ‘rezim honorer’, sehingga manajemen PNS dapat ditata sesuai dengan prinsip-prinsip merit system, dan tidak dijadikan komoditi politik dan ajang KKN, yang mengakibatkan rendahnya kualitas birokrasi. Terbitnya ini juga menjadi peluang adanya kepastian akan pengangkatan tenaga honorer tercecer saat pendataan dan pengangkatan tahun 2005 sampai dengan 2009, sehingga PP ini menjadi acuan utama dalam pelaksanaan penyelesaian masalah tenaga honorer di Indonesia.

1.2 Dasar Hukum(1) UUD NRI 1945 telah menjamin hak-hak dasar warga negara untuk bekerja dan

mengembangkan diri sesuai dengan minat dan kemampuannya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2) dan Ayat (3), serta Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945• Pasal 27 Ayat (2) UUD NRI 1945

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

• Pasal 28D Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI 1945(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang

adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan. • Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

(4) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dinyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional yakni mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus rnenyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan, dan ketaatan kepada Pancasila dan UUD NRI 1945. Ketentuan pengaturan manajemen PNS terutama mengacu pada:• Pasal 12

(1) Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna.

(2) Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.

• Pasal 13(1) Kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil mencakup penetapan norma,

standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban, dan kedudukan hukum.

(2) Kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berada pada Presiden selaku Kepala Pemerintahan.

(3) Untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan memberikan pertimbangan tertentu, dibentuk

Page 7: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1071

Komisi Kepegawaian Negara yang yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.(4) Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), terdiri dari

2 (dua) Anggota Tetap yang berkedudukan sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi, serta 3 (tiga) Anggota Tidak Tetap yang kesemuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(5) Ketua dan Sekretaris Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), secara ex officio menjabat sebagai Kepala dan Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(6) Komisi Kepegawaian Negara mengadakan sidang sekurang-kurangnya sekali dalam satu bulan.

(5) Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berkewajiban terhadap menajemen Kepegawaian Daerah yang diatur terutama dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 135 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(6) Dalam rangka penyelesaian permasalahan tenaga honorer, Pemerintah mengeluarkan PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer. PP tersebut telah diganti sebanyak dua kali dengan PP No. 43 Tahun 2007 dan PP No. 56 Tahun 2012.

(7) Dalam melaksanakan PP tersebut Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 814.1/169/SJ tertanggal 10 Januari 2013. Di dalam Surat Edaran itu Menteri Dalam Negeri menyebutkan bahwa:a. Pemerintah tidak akan mengangkat lagi tenaga honorer atau yang sejenisnya menjadi

Calon Pegawai Negeri Sipil.b. Bagi Gubernur, Walikota/Bupati yang masih melakukan pengangkatan tenaga honorer

dan sejenisnya, maka konsekuensi dan dampak pengangkatan tenaga honorer atau sejenisnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari diselenggarakannya Pengawasan DPD RI atas UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian, khususnya mengenai Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil mengacu pada PP No. 56 Tahun 2012, adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan Pengawasan Terhadap Tenaga Honorer ini merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), guna pelaksanaan fungsinya untuk melakukan Pengawasan atas Pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian, khususnya mengenai Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil mengacu pada PP No. 56 Tahun 2012 yang telah ditetapkan.

2. Kegiatan Pengawasan ini dimaksudkan untuk mengawasi Pemerintah Pusat (khususnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Badan Kepegawaian Negara dan Pemerintah Daerah (Badan Kepegawaian Daerah) untuk menjalankan fungsi dan perannya dalam menuntaskan persoalan kepegawaian, khususnya mengenai Tenaga Honorer

3. Secara khusus DPD mengharapkan melalui pengawasan ini maka akan mampu memberikan sumbangsih terhadap penyelesaian tenaga honorer dan juga mampu memberikan sumbangan bagi penataan manajemen PNS yang sesuai dengan prinsip-prinsip merit system, dan tidak dijadikan komoditi politik dan ajang KKN.

sedangkan tujuannya adalah sebagai berikut:1. Merumuskan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait terutama Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara (BKN), serta Pemerintah Daerah

2. Mengawal tindak lanjut rekomendasi yang telah dihasilkan DPD RI untuk menjamin dilaksanakannya hasil rekomendasi tersebut.

Page 8: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1072

BAB IIPELAKSANAAN PENGAWASAN DPD RI TERHADAP

UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG

POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN, KHUSUSNYA MENGENAI PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON

PEGAWAI NEGERI SIPIL

2.1 Objek PengawasanSalah satu program kerja DPD RI pada Masa Sidang I dan Masa Sidang II Tahun Sidang

2012-2013 adalah pelaksanaan fungsi Pengawasan atas Pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian terutama pasca terbitnya PP No. 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer. Salah satu yang menjadi alasan perlunya dilakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang ini adalah banyaknya persoalan terkait dengan menajemen kepegawaian daerah khususnya menyangkut nasib tenaga honorer.

PP No. 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer yang merupakan perubahan kedua atas PP No. 48 Tahun 2005 tersebut mengatur mengenai honorer kategori 1 dan honorer kategori 2.Adapun tenaga honorer dimaksud terdiri dari: 1) Kategori I (K1)

Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria diangkat oleh pejabat yang berwenang bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus; berusia paling rendah 19 (sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari 2006.

2) Kategori II (K2)Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria, diangkat oleh pejabat yang berwenang, bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus, berusia paling rendah 19 (sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari 2006.

Peraturan Pemerintah tersebut akan menjadi sebuah payung hukum dalam pengangkatan tenaga honorer kategori 1, atau yang disebut honorer tertinggal atau tercecer, secara adil dan transparan tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Idealnya, dengan terbitnya PP No. 56 Tahun 2012 ini bisa mengakhiri ‘rezim honorer’, sehingga manajemen PNS dapat ditata sesuai dengan prinsip-prinsip merit system, dan tidak dijadikan komoditas politik dan ajang KKN, yang mengakibatkan rendahnya kualitas birokrasi, baik di pusat terutama di daerah.

Pemerintah sekarang ini telah menetapkan 9 (sembilan) langkah dalam percepatan reformasi birokrasi, antara lain: 1. Penataan struktur organisasi pemerintah, meliputi:

o Audit/assesment Kementerian/Lembagao Audit Lembaga Non Strukturalo Konsep Arsitektur Pemerintahan 2014-2019

2. Penataan jumlah dan distribusi PNS, meliputi:o Moratoriumo Analisa Jabatan, Analisa Beban Kerja & Evaluasi Jabatan à Formasio Minus Growtho Seleksi Honorer K2o Redistribusi PNSData dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB), dari 525 Pemda sekarang ini, sebanyak 161 tidak mengusulkan, 108 mengusulkan tapi tidak mendapat formasi, dan hanya 256 yang mendapatkan formasi. Kebutuhan formasi 2012 sebanyak 13.000 dan 2013 sebesar 65.000, misalnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Keuangan, Komisi Pemilihan Umum, Tenaga Pendidik di daerah terpencil dll.

3. Pengembangan sistem seleksi CPNS dan promosi PNS secara terbukaTuntutan adanya transpransi dalam mekanisme rekrutmen PNS membuat pelaksanaan seleksi dilakukan secara objektif, terbuka dan transparan.

4. Peningkatan profesionalisme PNSKementerian PAN dan RB sedang mendorong jabatan fungsional sampai dengan Desember 2014, melalui: 1) Kurikulum untuk menghasilkan pemimpin perubahan; 2) Peningkatan Anggaran Diklat; 3) Pengukuran kinerja individu; 4) Penguatan jabatan fungsional; dan 5) Penerapan disiplin PNS

Page 9: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1073

5. Pengembangan sistem pemerintahan elektronik terintegrasiKementerian PAN dan RB mendorong adanya pengembangan sistem elektronik melalui: 1) Pelaksanaan aplikasi Information Technology (IT) Kementerian/Lembaga (K/L) & Pemda (e-office, e-planning, e-budgeting, e-audit, dll); 2) Integrasi IT di K/L dan Pemda; 3) Kontrol pengembangan dan penganggaran; serta 4) Pemanfaatan IT dalam pelayanan masyarakat. Kerjasama telah dikeluarkan Kementerian PAN dan RB melalui integrated data center, cyber law, internet exchange, sehingga per Januari 2013 security dan sistem informasi pegawai.

6. Peningkatan pelayanan publikKementerian PAN dan RB berencana melakukan beberapa langkah, yaitu: 1) Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kementrian, Lembaga dan Pemda 2) juga ditegakkanya Standar Pelayanan Minimal; 3) Pemeringkatan pelayanan publik; 4) Penyederhanaan izin dan 5) Pengelolaan pengaduan masyarakat.

7. Peningkatan integritas dan akuntabilitas kinerja aparaturPemerintah sekarang sedang menyusun RUU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah.

8. Peningkatan kesejahteraan Peningkatan kesejahteraan ini dilakukan dengan jalan bahwa saat ini sedang disusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penggajian dan Pensiun, memberikan tunjangan kinerja dan secara berkala menaikkan gaji PNS dan Pensiun.

9. Efisiensi belanja pegawaiEfisiensi dilakukan melalui: 1) Review belanja perjalanan dinas, konsyinering, belanja diklat; 2) Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan (MenKeu) dan Menteri MenPAN dan RB tentang Pengetatan/Pembatasan Biaya Honor di Lingkungan K/L; 3) Kebijakan pengetatan belanja perjalanan dinas; 4) Mendorong penggunaan sarana fasilitas Pemerintah.

Dengan langkah-langkah tersebut di atas, pada prinsipnya DPD RI memberikan dukungan penuh dan akan mengawal implementasinya.

Obyek pengawasan DPD atas pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999 berkaitan dengan beberapa persoalan krusial, antara lain:1. Kuota minimal 30% yang berlaku secara nasional untuk pengangkatan tenaga honorer K2

menjadi CPNS.2. Batas waktu penentuan masa kerja dalam pengangkatan tenaga honorer untuk menjadi

CPNS.3. Mekanisme pengangkatan dan pemberian pesangon dan atau uang penghargaan masa

kerja dan uang penggantian hak yang diberikan kepada tenaga honorer yang tidak diterima sebagai CPNS.

4. Pengaturan dan pelaksanaan mengenai pemberian sanksi terhadap pelanggaranan moratorium pengangkatan tenaga honorer di daerah.

5. Prioritas dan perlakukan khusus terhadap pengangkatan tenaga honorer yang bertugas sebagai tenaga pendidik.

6. Prioritas dan perlakuan khusus terhadap Orang Asli Papua dalam penerimaan CPNS di Provinsi Papua dan Papua Barat.

7. Persoalan Tenaga Harian Lepas dalam melakukan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan di daerah.

8. Lembaga pelaksana rekruitmen CPNS.9. Pengaturan manajemen PNS yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan,

pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah PNS

2.2 Mekanisme Penyusunan Hasil Pengawasan Sebagaimana diatur dalam Peraturan DPD RI No. 6 Tahun 2012 tentang Pedoman

Pengawasan Pelaksanaan Pengawasan DPD RI, pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu dilakukan dengan menyusun agenda pengawasan termasuk mengakomodasi/menindaklanjuti usulan anggota provinsi, atau kelompok anggota, menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan, melakukan pengumpulan data/verifikasi dan pembahasan, melakukan klarifikasi dengan pejabat yang bersangkutan dengan hasil pengawasan dan menyusun laporan hasil pengawasan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 70 Ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pembahasan materi Otonomi Daerah terkait permasalahan Kepegawaian, khususnya mengenai Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu ruang lingkup tugas Komite I DPD RI. Dengan demikian penyusunan Hasil Pengawasan DPD RI atas Undang-Undang ini dilakukan melalui Komite I.

2.3 Bentuk dan Pelaksanaan Kegiatan Dalam rangka penyusunan Hasil Pengawasan atas UU No. 43 Tahun 1999 tentang

Kepegawaian, khususnya mengenai Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, DPD RI melakukan bentuk-bentuk kegiatan sebagai berikut:

a) Penyerapan aspirasi masyarakat oleh Anggota DPD RI di masing-masing provinsi;

Page 10: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1074

b) Rapat Kerja dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada tanggal 28 November 2013;

c) Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, Drs, SH, MS dan Dr. Hj. Ira Irawati, Dra, Msi pengajar FISIP, Universitas Padjajaran, Bandung pada 16 Desember 2013.

d) Kunjungan Lapangan pada tanggal 9 sampai dengan 12 Desember 2013 dalam rangka kegiatan Pengawasan atas Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

2.4 Lokasi KegiatanLingkup wilayah kunjungan yang dilakukan oleh para anggota DPD RI ini guna pelaksanaan

fungsi pengawasannya adalah pelaksanaan kunjungan lapangan ke daerah perwakilan masing-masing.

Page 11: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1075

BAB IIIHASIL KEGIATAN (TEMUAN) PENGAWASAN TERHADAP

UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN,

KHUSUSNYA MENGENAI PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

3.1. Gambaran umum pengadaan CPNS tahun 2013Persoalan yang paling mengemuka terkait dengan masalah kepegawaian sekarang

ini adalah terutama mengenai pengangkatan Tenaga Honorer. Sejak setahun lalu, pemerintah sebagaimana diamanahkan oleh UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk membentuk pegawai negeri sipil yang profesional dan berorientasi pada pelayanan publik dengan memenuhi ketentuan merit system. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer.

Sampai tahun 2013, pemerintah telah melakukan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS berdasarkan alokasi formasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Penyelesaian tenaga honorer Kategori 1 dan Kategori 2 oleh Pemerintah dapat diketahui dari data berikut:

Tabel 1. Pengadaan CPNS 2013 Penyelesaian Tenaga Honorer K1.

NO. INSTANSI ALOKASI FORMASI

USUL MA-SUK DITETAPKAN SISA PENY-

ELESAIANFORMASI

SISA1. Instansi Pusat 1.881 1.839 1.770 69 422. Instansi Daerah 28.221 27.278 26.280 998 9433. Pusat dan Daerah 30.102 29.117 28.050 1.067 985

Sumber : Badan Kepegawaian Nasional, 2013Catatan :

1. Sisa penyelesaian disebabkan berkas usulan yg dipersyaratkan belum/tidak dilengkapi 2. Formasi Sisa dikarenakan berkas belum diusulkan oleh instansi3. Data keadaan 20 November 2013

Bila dilihat dari sisi positifnya, Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012 ini secara langsung menjadi acuan utama dalam pelaksanaan penyelesaian masalah tenaga honorer di Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa pengangkatan Kategori I (Tenaga Honorer yang dibiayai oleh APBN/APBD) akan dilaksanakan pada tahun 2012. Sedangkan untuk Kategori II dilakukan secara bertahap pada tahun 2013 dan 2014. Namun semua proses administrasi, ujian dan seleksi untuk Kategori II kemungkinan dilaksanakan pada tahun 2012, sehingga tahun 2013 dan 2014 tinggal pengangkatan.

Dari data Kementerian PAN dan RB sekarang ini ada 648.982 peserta tes CPNS dari tenaga honorer K2. Jumlah tersebut terdiri dari 86.351 pelamar untuk kementerian/lembaga, dan 562.631 pelamar di hampir seluruh provinsi, kabupaten/kota. Namun, menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Azwar Abubakar, pemerintah hanya menyiapkan kuota 30 persen, atau sekitar 216 ribu tenaga honorer K2 untuk diangkat sebagai CPNS. Tes CPNS Tenaga Honorer K II dilakukan dengan menggunakan sistem Lembar Jawaban Komputer (LJK) dengan rincian :

Tabel 2. Sebaran, Jumlah, dan Pendidikan Tenaga Honorer K2 di Pusat dan Daerah

NO. INSTANSI JUMLAH1. Instansi Pusat 86.6642. Instansi Daerah 562.6403. Sebaran Tenaga Honorer K-2

Insansi Pusat 37Pemprop/Kota/Kab. 510

4. Jumlah Tenaga Honorer K-2Instansi Pusat 86.644 (13%Pemprop/Kota/Kab 562.640 (87%)Jumlah Seluruhnya 649.284

5. Pendidikan77% Tenaga Honorer K-II memiliki tingkat pendidikan maksimal SLTA

6. Jenis Tugas54% Tenaga Teknis/Administratif lainnya42% bertugas sebagai Tenaga Pendidik4% Tenaga Penyuluh atau Kesehatan

Sumber: Badan Kepegawaian Nasional, 2013

Page 12: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1076

Bila mengacu pada sistem kuota tersebut, pada ditegaskan dalam Pasal 6 Ayat (3) PP No. 56 Tahun 2012 dapat dikatakan belum mampu memberikan kepastian bagi Tenaga Honorer K2 karena PP tersebut mengharuskan Tenaga Honorer K2 untuk mengikuti seleksi ujian tertulis agar dapat dipertimbangkan untuk diangkat CPNS. Pengangkatan CPNS dari honorer K2 didasarkan pada kebutuhan pegawai di instansi yang ada, dengan tetap mempertimbangkan aspek kemampuan keuangan negara.

PP No. 56 Tahun 2012 juga dinilai rancu, salah satunya bahwa memang di PP tersebut tidak disebutkan kuota pasti. Meskipun secara kebijakan, Kementerian PAN dan RB memberikan jatah 30% Tenaga Honorer K2 yang diangkat. Hal ini terlihat dari diadakannya tes tertulis sesama honor dengan menetapkan Passing Grade. Penentuan kelulusan menjadi wewenang Pemerintah Pusat berdasarkan Passing Grade, hal ini menimbulkan celah pemerintah Pusat bisa saja menetapkan berapa kuota yang akan diambil untuk mengangkat Tenaga Honorer K2 tersebut. Juga memungkinkan adanya celah kolusi yang terjadi di Pemerintah Pusat saat ini. Belum lagi bagaimana nasib Tenaga Honorer K2 yang saat pelaksanaan test nanti tidak memiliki formasi? apakah yang bersangkutan dapat mengikuti tes juga dengan mengisi formasi yang lain? ini juga masih dirasa rancu dan akan sangat disesalkan jika nantinya pemerintah menyatakan bahwa

Tenaga Honorer K2 yang tidak dibutuhkan atau tidak memiliki formasi akan diberhentikan. Hal ini bisa saja terjadi mengingat isi dari PP No. 56 Tahun 2012 tersebut hanya mengakomodir Tenaga Honorer K2 yang sesuai dengan kebutuhan, dan di dalam PP No. 56 Tahun 2012 tidak diatur nasib Tenaga Honorer K2 yang tidak lolos. Menurut pendapat Pemerintah (Wakil Menteri Dalam Negeri Prof. Eko Prasodjo), mereka (Tenaga Honorer K2 yang tidak lolos) nantinya akan diatur dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sekarang RUU-nya masih sementara dibahas.

3.2. Pokok-Pokok Temuan dalam Pelaksanaan PengawasanDari berbagai temuan dan analisa DPD RI setidaknya ada beberapa hal yang menjadi

persoalan terhadap pengangkatan Tenaga Honorer, khususnya di daerah, antara lain: 3.0.1. Kuota 30% pengangkatan CPNS yang berlaku secara nasional.

PP No. 56 Tahun 2012 pada prinsipnya tidak mengatur mengenai kuota pengangkatan tenaga honorer baik untuk K1 dan K2. Namun demikian, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengeluarkan kebijakan pengangkatan tenaga honorer K2 sebesar 30% dari total jumlah tenaga honorer secara nasional yaitu 649.284 orang.

Terhadap kebijakan tersebut, dari temuan DPD di daerah menimbulkan keresahan khusus bagi guru honorer (42 % dari jumlah tenaga honorer). Pembatasan kuota itu sangat tidak adil, seharusnya pemerintah menetapkan kuota berdasarkan kebutuhan guru di daerah. Disamping itu untuk menjamin asas keadilan, proses seleksi seharusnya mempertimbangkan masa pengabdian dan produktivitas tenaga honorer. Apalagi keberadaan guru honorer sangat membantu dan jumlahnya lebih banyak dari pada guru PNS. Dalam pandangan DPD RI, bilamana memang diperlukan kuota untuk pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS, maka kuota tersebut disusun sebagai kuota minimal 30% dan tidak diberlakukan secara nasional, melainkan diberlakukan untuk masing-masing daerah.

3.0.2. Batas waktu penentuan masa kerja dalam pengangkatan tenaga honorer untuk menjadi CPNS

Pengangkatan Tenaga Honorer, terlepas dari bagaimana asal mulanya tetap harus ditempatkan dalam ranah persoalan kewajiban negara sebagaimana ditegaskan di dalam konstitusional untuk menjamin warga negara memperoleh pekerjaan yang layak, salah satunya untuk bekerja pada instansi pemerintahan. Namun demikian, ditilik dari aspek yuridis, baik UU No. 43 Tahun 1999 maupun peraturan pelaksananya belum mengatur mengenai batas waktu paling lama menjadi tenaga honorer. Ketentuan mengenai batas waktu paling lama penting dibuat agar pemerintah bisa mempersiapkan dan memperhatikan lebih serius keberadaan tenaga honorer pada instansi masing-masing. Hal ini penting pula agar tidak terdapat situasi dimana seseorang menjadi tenaga honorer dalam rentang waktu yang sangat lama tanpa ada kepastian waktu mengenai pengangkatan menjadi CPNS.

Kemudian untuk menyelesaikan permasalahan pengangkatan tenaga honorer K1 dan K2 sebagaimana diatur di dalam PP No. 56 tahun 2012 telah ditentukan batas waktu penentuan masa kerja dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Dalam PP No. 56 Tahun 2012 disebutkan bahwa tenaga honorer K1 diangkat untuk mengisi formasi tahun anggaran 2012. Sedangkan tenaga honorer K2 untuk mengisi formasi tahun anggaran 2013 dan 2014. Namun temuan DPD menunjukan bahwa untuk tenaga honorer K1 masih banyak yang belum diangkat menjadi CPNS. Oleh karena itu, DPD RI merekomendasikan agar dilakukan perpanjangan batas waktu pengangkatan tenaga honorer untuk K1.

Page 13: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1077

3.0.3. Mekanisme pengangkatan dan pemberian pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang diberikan kepada tenaga honorer yang tidak diterima sebagai CPNS.

Mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS seharusnya dilaksanakan oleh intstitusi independen yang secara objektif, transparan dan akuntabel agar bisa menghasilkan CPNS yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan formasi yang dibutuhkan. Demikian juga bagi tenaga honorer harus diberikan kepastian dan jaminan kerja.

Bilamana dalam mekanisme pengangkatan tersebut tenaga honorer yang bersangkutan tidak lolos dalam seleksi, yang menurut pandangan DPD harus diberikan kesempatan untuk mengikuti ujian CPNS sebanyak dua kali, maka terhadap tenaga honorer besangkutan tidak diperpanjang masa kerjanya. Tenaga honorer yang tidak diperpanjang masa kerjanya harus diberikan pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang layak.

3.0.4. Pengaturan dan pelaksanaan mengenai pemberian sanksi terhadap pelanggaranan moratorium pengangkatan tenaga honorer di daerah

PP No. 48 tahun 2005 telah menentukan larangan untuk melakukan pengangkatan tenaga honorer. Selengkapnya Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005 menyebutkan bahwa:

“Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”Selanjutnya Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri

Dalam Negeri No. 814.1/169/SJ perihal Penegasan larangan pengangkatan tenaga honorer. Namun kepala daerah tidak sepenuhnya melaksanakan peraturan tersebut, sehingga masih terdapat pengangkatan tenaga-tenaga honorer yang baru di beberapa daerah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya ketentuan sanksi di dalam PP No. 56 Tahun 2012 yang mengatur mengenai larangan pengangkatan tenaga honorer oleh kepala daerah.

Dalam pandangan DPD RI, perlu ditegaskan ketentuan sanksi untuk melengkapi ketentuan yang berisi larangan tersebut agar memberikan efek jera terhadap pihak yang melakukan pelanggaran.

3.0.5. Prioritas dan perlakukan khusus terhadap pengangkatan tenaga honorer yang bertugas sebagai tenaga pendidik.

Permasalahan terkait pengangkatan Guru Honorer menjadi CPNS merupakan permasalah paling besar dari sisi kuantitas yang dihadapi oleh Pemerintah saat ini. Bahkan jumlah guru honorer jumlahnya lebih banyak dari pada jumlah guru PNS yang sekarang ada. Namun kebutuhan untuk mengadakan guru masih banyak mengingat guru PNS jumlah masih belum memadai untuk memenuhi jumlah tenaga pendidik yang dibutuhkan.

Sementara itu, syarat administrasi untuk pengangkatan guru honorer masih memberatkan misalnya soal penetapan masa kerja dan usia minimal dan maksimal. Untuk penetapan masa kerja dalam PP No. 56 Tahun 2012 diukur minimal 1 tahun per 31 Desember 2005 yang penghitungannya tidak sesuai dengan Kalender Pendidikan. Kalender Pendidikan berdasarkan tahun ajaran baru yang dimulai pada bulan Juli, sehingga apabila dipatok 1 (satu) tahun per 31 Desember tidak sesuai dengan waktu untuk pengangkatan guru honorer. Sangat jarang pengangkatan guru pada bulan Januari karena bulan itu proses belajar mengajar sudah berlangsung selama 1 (satu) semester. Akibatnya, banyak guru dan tenaga honorer lainnya membuat dan memalsukan SK sehingga dibuatkan sesuai arahan acuan per 31 Desember, misalkan per 31 Desember 2005. Hal itu dilakukan sebab bila dibuat per Juli 2005, mereka tenaga honorer dianggap belum mengajar 1 (satu) tahun. Begitu juga dengan usia yang seharusnya dihitung pada awal tahun ajaran baru. Sehingga usia tidak ditetapkan per 1 Januari 2006, tetapi per 30 Juni 2006. Yang jelas pegawai pada satuan pendidikan adalah pegawai non struktural dan sudah memiliki acuan tersendiri dalam menghitung masa kerja sesuai Kalender Pendidikan.

Memperhatikan tingkat kebutuhan terhadap pengadaan tenaga pendidik sangat tinggi, maka DPD RI merekomendasikan perlu dilakukan prioritas untuk pengangkatan tenaga honorer yang bertugas sebagai tenaga pendidik untuk menjadi CPNS. Prioritas tersebut perlu pula dilakukan dengan memperhatikan hal-hal khusus dalam penyelenggaraan pendidikan, misalkan hitungan masa kerja berdasarkan kalender pendidikan, bukan kalender pemerintahan.

3.0.6. Prioritas dan perlakuan khusus terhadap Orang Asli Papua dalam penerimaan CPNS di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Page 14: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1078

Meski pemerintah pusat telah memberikan status kekhususan kepada Papua dan Papua Barat melalui Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pemerintah pusat tetap saja setengah hati dalam mengimplementasikan regulasi yang diharapkan jadi kompromi agar rakyat Papua tidak menuntut kemerdekaan tersebut. Buktinya, pengangkatan 1.283 tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) sejak 2005, hingga kini masih telantar tak jelas nasibnya.

Keluarnya Surat Edaran Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Nomor 188.34/7111/Otda 8 November 2013 perihal Penyampaian Draft Raperda dan Surat Mendagri Gamawan Fauzi No. 814.1/169/SJ perihal Penegasan larangan pengangkatan tenaga honorer, pada prinsipnya dari dua surat tersebut meminta Pemerintah Papua Barat tidak mengangkat CPNS sendiri, termasuk 1.283 orang yang telah mengabdi sejak 2005. Padahal pengangkatan 1.283 CPNS Papua Barat itu merupakan konsekuensi dari pemekaran daerah yang tadinya satu dengan Provinsi Papua. Sejak berdiri sendiri sebagai provinsi ke 33, pengusulan CPNS Papua Barat secara besar-besaran itu baru dilakukan dan mereka mengabdi sejak 2005, sehingga sangat ironi kalau Papua Barat diberi status otonomi provinsi, tetapi tidak diberi kewenangan mengangkat CPNS.

Secara ketentuan regulasi, pengangkatan CPNS oleh Papua Barat diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus dalam Bab IV Pasal 27 Ayat (1) yang menyebutkan, Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian, Ayat (2) dinyatakan, dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak terpenuhi, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat. Ayat (3) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud Ayat (20) diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Ketentuan Pasal 27 ini sesungguhnya memberikan kesempatan kepada pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengambil kebijakan yang berkaitan dengan kepegawaian daerah. Bahkan Ayat (2) dan Ayat (3) memberikan kekuatan kepada kedua provinsi di Papua, untuk mengambil kebijakan khusus kepegawaian dengan “toleransi” tertentu. Namun, hal itu harus tetap diatur dengan Perdasi.

Dengan ketentuan seperti itu, Provinsi Papua Barat sedang memfinalisasi satu Perdasi mengenai pengangkatan tenaga honorer yang berjumlah sekitar 1.283 orang dengan masa pengabdian antara 2-10 tahun. Namun, Dirjen Otda Kemdagri beralasan aturan dalam Pasal 27 Ayat (2) itu tidak terpenuhi dengan telah ditetapkannya PP No. 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 48 Tahun 2005.

3.0.7. Persoalan Tenaga Harian Lepas dalam melakukan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan di daerah.

Dalam melaksanakan pengawasan mengenai pengangkatan tenaga honorer, DPD RI banyak menemukan temuan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh Tenaga Harian Lepas (THL) di bidang penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Keberadaan THL ini tidak masuk dalam K1 dan K2 dalam PP No. 56 Tahun 2012. Padahal jumlah THL cukup besar, misalkan THL Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian yang berjumlah 21.585 orang yang jumlahnya hampir sama dengan penyuluh pertanian PNS yang berjumlah 27.697 orang. THL tersebut direkrut oleh pemerintah pusat sebagai tenaga kontrak dan diperbantukan pada lembaga penyuluhan di kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.

Terhadap persoalan THL tersebut di atas, DPD RI berpandangan seharusnya diselesaikan oleh pemerintah pusat yang mengangkatnya dan sebaiknya diselesaikan sampai dengan bulan Maret tahun 2014 khusus untuk THL yang masuk dalam K1 dan K2. Sedangkan terhadap THL yang sekarang ini ada, perlu dirumuskan pengaturannya di dalam UU Aparatur Sipil Negara yang dimasukan sebagai jenis Pegawai Tidak Tetap Pemerintah.

3.0.8. Lembaga pelaksana rekruitmen CPNSSelama ini pengadaan CPNS diatur dalam PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil. Di dalam PP tersebut, pengadaan CPNS dilaksanakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Pengawasan yang dilakukan oleh DPD menemukan bahwa pelaksanaan pengadaan CPNS seringkali sejalan dengan pelaksanaan pemilukada sehingga disinyalir pengangkatan tenaga honorer dan pengadaan CPNS rentan dipolitisasi untuk kepentingan politik. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya politisasi pengadaan CPNS maka pengadaan CPNS diselenggarakan oleh institusi independen, misalkan perguruan tinggi yang memiliki kredibilitas. Lembaga independen tersebut melakukan rekruitmen CPNS mulai dari tahapan pengumuman, penentuan standar kelulusan, pendaftaran, seleksi administrasi, ujian, dan penentuan kelulusan, tanpa mengurangi kewenangan pejabat pembina kepegawaian untuk menentukan formasi dan pengangkatan menjadi PNS.

Page 15: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1079

3.0.9. Pengaturan manajemen PNS Temuan DPD RI di daerah menunjukan bahwa banyak persoalan dalam manajemen

kepegawaian, terutama berkaitan dengan jabatan dengan komptensi yang dibutuhkan. Selain itu, DPD RI juga menemukan banyak persoalan ketidakpastian karir PNS karena mudah dipolitisasi oleh pejabat daerah. Oleh karena itu, DPD RI berpandangan bahwa pengaturan manajemen PNS perlu diatur secara menyeluruh dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur yang seragam meliputi, penetapan kebutuhan dan pengendalian jumlah, pengadaan, jabatan, pola karir, penggajian, tunjangan, kesejahteraan dan penghargaan, sanksi dan pemberhentian, pensiun dan perlindungan. Dengan adanya keseragaman tersebut diharapkan agar tercipta penyelenggaraan manajemen kepegawaian yang memenuhi standar kualifikasi yang sama di seluruh Indonesia.

Page 16: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1080

BAB IVREKOMENDASI

Berdasarkan masukan dari hasil kunjungan lapangan, kajian dan rapat dengar pendapat umum dengan pakar dan ahli kepegawaian yang telah dilakukan terhadap pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil maka terdapat beberapa rekomendasi yang harus diperhatikan, yaitu:1. Pemerintah perlu mengubah/mengganti Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012 tentang

Perubahan Kedua terhadap Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dengan memasukan atau mengubah beberapa pokok sebagai berikut:

a. Meninjau ulang kuota 30% pengangkatan tenaga honorer K2 secara nasional dengan mengganti kuota minimal pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS sebesar 30% untuk masing-masing daerah.

b. Batas waktu penentuan masa kerja dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS sampai tahun 2014, dengan rincian sebagai berikut:1) Tenaga honorer K1 untuk mengisi formasi tahun anggaran 2012, diperpanjang

untuk dapat mengisi formasi tahun anggaran 2013 dan 2014 2) Tenaga Honorer K2 untuk mengisi formasi tahun anggaran 2013 dan 2014

c. Tenaga honorer diberikan kesempatan untuk mengikuti tes CPNS paling banyak dua kali, dan bilamana tidak diterima maka terjadi pemutusan hubungan kerja. Terhadap pemutusan hubungan kerja maka yang bersangkutan berhak mendapatkan pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Memasukan ketentuan mengenai sanksi bagi semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi yang melakukan pengangkatan tenaga honorer atau yang sejenis. Pemberian sanksi administrasi dan pidana yang memberikan efek jera bagi pelaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Catatan: Pasal 8 PP 48/2005 hanya mengatur norma larangan, tanpa mengatur ketentuan sanksi).

e. Memasukan ketentuan mengenai penggunaan pakaian khusus bagi tenaga honorer yang berbeda dengan pakaian dinas pegawai negeri sipil.

f. Memprioritaskan dan memberikan perlakuan khusus bagi pengangkatan tenaga hororer yang bertugas sebagai tenaga pendidik untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. (42% dari 649.284 tenaga honorer K2 bertugas sebagai tenaga pendidik).

g. Perlu adanya kebijakan afirmasi dan perlakuan khusus bagi pengangkatan tenaga honorer di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan mengakomodasi Orang Asli Papua dan menyesuaikan parameter kelulusan serta memberikan pelatihan khusus untuk meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan tugasnya.

2. Pengangkatan Tenaga Harian Lepas (THL) pada dasarnya merupakan kewenangan pemerintah pusat yang mana THL tersebut diperbantukan kepada lembaga penyuluhan di kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Oleh karena itu tanggungjawab penyelesaian permasalahan THL merupakan kewenangan pemerintah pusat yang mengangkatnya. Terhadap THL yang sekarang ini ada, akan diatur di dalam UU Aparatur Sipil Negara yang dimasukan sebagai jenis Pegawai Tidak Tetap Pemerintah.

3. Pelaksanaan penerimaan CPNS baik meliputi pendaftaran, seleksi administratif dan ujian CPNS baik untuk umum maupun tenaga honorer dilaksanakan oleh institusi independen yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan bebas KKN

4. Menegaskan kembali bahwa manajemen pegawai negeri sipil daerah yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah merupakan kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 129 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5. DPD RI melakukan pengawasan dalam bentuk rapat koordinasi berkala dengan Kementerian Pendayagunaan dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara dan Pemerintah Daerah terhadap implementasi 9 Program Percepatan Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

6. Untuk melaksanakan moratorium penerimaan tenaga honorer, pemerintah segera melakukan penertiban tenaga honorer terutama di daerah-daerah tatkala menjelang pemilukada dan penegakan hukum terhadap pelaku yang melanggar larangan pengangkatan tenaga honorer.

Page 17: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1081

BAB VPENUTUP

Demikian Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, khususnya mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil. Hasil pengawasan ini disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ke-8 dan selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan perundang-undangan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 20 Desember 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINANKetua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

Page 18: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 25 ...

1082