KEPUTUSAN BURUNDI KELUAR DARI INTERNATIONAL …
Transcript of KEPUTUSAN BURUNDI KELUAR DARI INTERNATIONAL …
KEPUTUSAN BURUNDI KELUAR DARI
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT TAHUN 2016-2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyarataan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S,Sos)
Oleh:
Djordi Prakoso
1112113000066
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
v
ABSTRAK
Skripsi ini membahas keputusan Burundi keluar dari International Criminal
Court tahun 2016-2017. Terbentuknya ICC melalui Statuta Roma tahun 1998
menandakan adanya komitmen global untuk melindungi para korban kejahatan
internasional serta untuk menghentikan praktik impunitas. Kawasan Afrika
memiliki peran penting dalam proses terbentuknya ICC. Hal ini terlihat dari
keterlibatan negara-negara Afrika di berbagai proses pembentukannya seperti
keterlibatan dalam rancangan Statuta Roma, negosiasi Statuta Roma di Konferensi
Roma, hingga proses ratifikasi. Afrika juga menjadi blok regional terbesar di
dunia yang menjadi negara anggota ICC dengan jumlah 33 negara. Namun,
selama melakukan proses peradilan, dukungan tersebut berubah menjadi kritik
karena ICC dianggap hanya menargetkan negara-negara Afrika. Pada akhir tahun
2017, dari 10 negara yang sedang diinvestigasi oleh ICC, 9 diantaranya adalah
negara-negara di Afrika. Diakhir tahun 2016, terdapat tiga negara yang
memutuskan untuk keluar dari ICC yaitu Afrika Selatan, Burundi, dan Gambia,
namun kedua negara membatalkan keinginannya dan menjadikan Burundi sebagai
negara Afrika pertama dan satu-satunya negara yang secara resmi keluar dari ICC
pada tahun 2017.
Skripsi ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan keputusan
Burundi keluar dari ICC. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, kerangka
pemikiran yang digunakan adalah konsep kepentingan nasional dan teori
kebijakan luar negeri. Dalam pengambilan keputusan untuk keluar dari ICC,
Burundi melihat hal yang terjadi pada level internasional memaksa negara untuk
bersifat self-help demi menjaga survival negaranya sesuai dengan kapabilitas yang
dimilikinya. Upaya untuk survival inilah yang menjadikan Burundi keluar dari
ICC pada tahun 2017. Dari hasil analisa menggunakan kedua teori tersebut
ditemukan alasan keluarnya Burundi dari ICC yaitu kurangnya kredibilitas dari
ICC yang sebagian besar dipengaruhi oleh hubungannya dengan DK PBB, upaya
Burundi untuk menghindari proses penuntutan oleh ICC, serta adanya dukungan
Uni Afrika untuk keluar dari ICC.
Kata kunci : Burundi, ICC, DK PBB, PBB, Self-help, Survival, Kepentingan
nasional, Kebijakan Luar Negeri.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahirabbil’alamiin, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa kita panjatkan kepada Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya semoga kita semua
mendapatkan syafaatnya di yaumil akhir nanti. Amin
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat akademis di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar sarjana pada
program studi Hubungan Internasional. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi
ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang
sangat berarti bagi penulis. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua penulis, Almarhumah Ibu tersayang, Haniyah beserta Ayah
tercinta Sunaryono, yang telah memberikan dukungan baik moril dan
materil, kasih sayang yang tulus yang tak pernah bisa terganti, serta doa
yang selalu dipanjatkan kepada Allah SWT untuk penulis.
2. Kakak dan adik penulis, Dewi Lestari merupakan kakak yang hebat
yang tak pernah lelah memberikan dukungan, baik moril maupun
materil bagi penulis untuk menyelesaikan studi di jenjang perguruan
tinggi ini. Andika M. Rafli, adik kebanggaan yang juga selalu
memberikan dukungan bagi penulis.
vii
3. Bapak Febri Dirgantara Hasibuan, M.M. selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pemikirannya selama membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak atas kesabaran,
kepercayaan, dan ilmu yang Bapak berikan kepada penulis.
4. Bapak Ahmad Alfajri, M.A., selaku ketua Program Studi Hubungan
Internasional yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini,
5. Jajaran dosen dan staf Program Studi Hubungan Internasional. Terima
kasih atas ilmu yang sangat bermanfaat serta kemudahan administrasi
yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
6. Sahabat terbaik penulis yaitu Fathu Hidayat, M. Bahrel Wafi, Gufron
Syahrial, dan Ahmad Deedat. Terima kasih atas kebersamaan dan segala
suka duka yang telah kita lewati. Thank you my Brothers!
7. Sahabat “The Kumbang” yaitu Azmi, Dede, Eufrat, Ismail, Rizki,
Mabrur, Aang, Labib, Utong, Dirga, Upi, Fachri, Dynal, dan Andes.
Terima kasih atas kebersamaannya.
8. Teman-teman “Pejuang Terakhir”, Arlinda, Aisyah, Deedat, Eufrat,
Utong, Farah, Fachri, Irma, Niyomi, Indra, Dinda, Mugi, Tasya, Sakina,
Putri, Augusti, Ismail, Ijul, Nurul dan Zaky terimakasih atas motivasi
serta kerjasama yang bermanfaat selama proses penulisan skripsi.
Penulis mengetahui banyak suka duka dan banyak air mata dalam
penulisan skripsi ini, but finally we did it!
viii
9. Teman-teman Prodi Ilmu Hubungan Internasional A,B, dan C angkatan
2012 yang merupakan teman seperjuangan sejak awal perkuliahan.
Terima kasih atas segala dukungan dan keceriaan selama masa
perkuliahan.
10. Teman-teman dari Satgas GAN UIN Jakarta yaitu Arif, Anam, Eneng,
Iwan, Fajrin, Faruq, Nurdin, Zuyin, Bang Varhan, Bang Fahrudin, Bang
Ucim, dll. Terima kasih untuk pengalaman yang tak terlupakan selama
penulis aktif berorganisasi di kampus.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
banyak memberikan bantuan selama proses penulisan skripsi ini.
Dengan demikian, penulis berharap skripsi ini dapat menjadi persembahan
bagi orang-orang tersebut serta dapat bermanfaat bagi orang lain terutama civitas
akademika yang juga akan meneliti tentang isu International Criminal Court.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar skripsi
ini dapat memberikan informasi yang baik bagi pembacanya.
Tangerang Selatan, 30 April 2019
Djordi Prakoso
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ..................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL .................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 8
E. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 13
E.1. Konsep Kepentingan Nasional .......................................................... 13
E.2. Teori Kebijakan Luar Negeri ............................................................ 15
F. Metode Penelitian....................................................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 18
BAB II HUBUNGAN BURUNDI DENGAN ICC
A. Profil Burundi ........................................................................................... 21
B. Keanggotaan Burundi di International Criminal Court ........................... 26
C. Proses Penarikan Burundi dari International Criminal Court .................. 30
x
BAB III PROFIL INTERNATIONAL CRIMINAL COURT
A. Sejarah Pembentukan International Criminal Court ................................. 35
B. Yurisdiksi International Criminal Court ................................................... 40
C. Struktur International Criminal Court ....................................................... 48
BAB IV ANALISA KEPUTUSAN BURUNDI KELUAR DARI
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT TAHUN 2016-2017
A. Kurangnya Kredibilitas dari ICC .............................................................. 52
B. Upaya Burundi untuk Menghindari Proses Penuntutan Oleh ICC ........... 62
C. Adanya Dukungan Uni Afrika untuk Keluar dari ICC ............................. 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xiii
LAMPIRAN ...................................................................................................... xxvi
xi
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar II.1Peta Geografis Burundi..................................................................... 22
Gambar III.1 Markas International Criminal Court di Hague Belanda................ 37
Gambar III.2 Negara-negara anggota ICC............................................................ 39
Gambar III.3 Struktur Mahkamah Kejahatan Internasional…………………...... 48
Tabel III.1 Daftar Kejahatan Yang Masuk Dalam Yurisdiksi ICC………........... 42
Tabel III.2 Batasan Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC)................ 44
xii
DAFTAR SINGKATAN
ICC : International Criminal Court
ICJ : International Court of Justice
DK PBB : Dewan Keamanan PBB
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
ICTR : International Criminal Tribunal for Rwanda
ICTY : International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia
VCLT : Vienna Convention on The Law of Treaties
HAM : Hak Asasi Manusia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini menganalisa alasan Burundi keluar dari International Criminal
Court (ICC) tahun 2016-2017. Mahkamah Kejahatan International atau International
Criminal Court mendapatkan ancaman penarikan diri oleh negara anggotanya
khususnya yang berasal dari Afrika. Negara anggota ICC yang berasal dari Afrika
yang semula mendukung ICC, kini mulai mengeluarkan kritiknya terhadap
mahkamah. Situasi memuncak diakhir tahun 2016, saat tiga negara Afrika yaitu
Afrika Selatan, Burundi, dan Gambia memutuskan untuk keluar dari keanggotannya
di ICC.1 Keputusan penarikan diri yang diambil oleh ketiga negara tersebut
merupakan yang pertama kali terjadi sejak berdirinya ICC.
Terbentuknya International Criminal Court dapat dikatakan sebagai salah satu
peristiwa penting sejak berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lebih dari
setengah negara-negara di dunia telah bergabung menjadi negara anggota ICC. Salah
satu hal penting dari terbentuknya ICC yaitu menandakan adanya komitmen global
untuk melindungi para korban kejahatan internasional ketika mekanisme pengadilan
1 “3 Negara Keluar, Mahkamah Kejahatan Internasional Raih Dukungan”, Website VOA,
1November 2016, diakses pada 3 April 2019 dari https://www.voaindonesia.com/a/tiga-negara-keluar-
mahkamah-kejahatan-internasional/3574136.html
2
nasional tidak memiliki kapasitas, keinginan, atau yurisdiksi2 untuk menuntut para
pelaku kejahatan internasional.3 Alasan dibentuknya ICC adalah untuk menghentikan
praktik impunitas, dimana sebagian besar para pelaku kejahatan internasional banyak
yang tidak dihukum karena belum ada pengadilan negara yang siap untuk
mengadilinya.4
Selain itu, dibentuknya ICC juga untuk menghindari praktik yang terjadi
dimasa lampau dimana proses pembentukan pengadilan ad hoc seperti International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal
Tribunal for Rwanda (ICTR) telah terbukti terlalu memakan waktu dan mahal. Hal
tersebut ditegaskan oleh Duta Besar Amerika Serikat Scheffer yang memimpin
delegasi Amerika Serikat ke konferensi Roma untuk pembentukan ICC.5
Dalam sejarah pembentukannya, negara-negara Afrika memiliki kontribusi
besar terhadap pembentukan ICC. Menurut Du Pleiss, keseriusan negara-negara
Afrika untuk terlibat dalam pembentukan ICC menunjukan bahwa mahkamah dibuat
sebagian oleh negara-negara Afrika dan pada akhirnya untuk kepentingan para
2 Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh suatu badan peradilan atau
badan-badan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Lihat Sefriyani, Hukum
Internasional Suatu Pengantar (Jakarta : Rajawali Pers,2014),h.232-233 3 Mark D. Kielsgard, Reluctant Engagement : US Ploicy and the International Criminal Court
(Boston : Martinus Nijhoff Publisher, 2010), h.84. 4 CF Swanepoel, “Is a Permanent African Criminal Court Likely Soon Considering the
Continent’s Post-Colonial Respone to International Criminal Justice?”, Speculum Juris, Vol.30 Issue 1
(2016), h.17 diakses pada 3 April 2019dari http://www.saflii.org/za/journals/SPECJU/2016/5.pdf 5 CF Swanepoel, “Is a Permanent African Criminal Court Likely Soon Considering the
Continent’s Post-Colonial Respone to International Criminal Justice?”, h.17.
3
korban kejahatan serius di Afrika.6 Sebagai buktinya, negara-negara Afrika terlibat
dalam pembentukan dua dokumen penting sebagai penggagas Statuta Roma yaitu
Southern African Development Community Principles dan Dakar Declarations.7
Kedua dokumen tersebut berisikan tentang urgensi pembentukan ICC serta kriteria
pengadilan saat negoisasi pembentukan Statuta Roma di Konferensi Roma.8
Dukungan negara-negara Afrika tidak berhenti sampai tahap deklarasi , saat itu
47 negara Afrika hadir dalam konferensi Roma-Italia untuk pembentukan Statuta
Roma yang merupakan sebuah perjanjian pembentuk ICC pada bulan Juli 1998.9
Setelah Statuta Roma terbentuk, Organization of African Unity melalui Majelis OAU
meminta negara-negara anggotanya untuk meratifikasi Statuta Roma demi keamanan
wilayah Afrika.10 Dukungan tersebut dilanjutkan oleh negara-negara Afrika dengan
meratifikasi Statuta Roma dimana Senegal menjadi negara pertama yang
meratifikasinya. Hingga saat ini terdapat 33 negara Afrika yang menjadi negara
anggota dari ICC menjadikan Afrika sebagai blok regional terbesar didunia yang
menjadi negara anggota ICC.11
6 Max du Plessis, The International Criminal Court that Africa Wants (Pretoria : Institute for
Security Studies, 2010),h.6 7 Max du Plessis, The International Criminal Court that Africa Wants, h.7 8 Max du Plessis, The International Criminal Court that Africa Wants, h.7 9 Coalition for International Criminal Court, “Africa and the International Criminal Court”
Dokumen Coalition for ICC, h.1 diakses pada 3 April 2019 dari
http://www.iccnow.org/documents/Africa_and_the_ICC.pdf 10 Eki Yemisi Omorogbe, “The African Union and the International Criminal Court : What to
Do With Non-Party Heads of State?”, University of Leicester School of Law Research Paper No.17-09
(2017), h.4 11 ICC, “The State Parties to the Rome Statue”, website ICC, diakses pada 3 April 2019, dari
https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/Pages/the%20states%20parties%20to%20the%20rome%20stat
ute.aspx
4
ICC merupakan satu-satunya pengadilan internasional permanen yang mampu
mengadili individu yang didakwa melakukan kejahatan serius yang menjadi perhatian
masyarakat internasional seperti kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, genosida,
dan kejahatan agresi12 ketika pengadilan domestik enggan ataupun tidak mampu
mengadilinya (complementary).13 Sebagai peradilan yang bersifat independen, ICC
bertindak secara adil, efektif, dan tidak memihak dalam melakukan penyelidikan,
penuntutan dan dalam pelaksanaan persidangan.14 Selain itu, ICC memiliki struktur
organisasi sendiri dan bukan bagian dari organ yudisial PBB seperti ICJ. Tetapi, ICC
dan PBB memiliki hubungan kerjasama yang diatur didalam Statuta Roma.15
Saat ini ICC memiliki negara anggota sebanyak 122 negara.16 Burundi
merupakan salah satu negara angota dari ICC sebelum memutuskan untuk keluar
pada tahun 2016. Burundi menandatangani Statuta Roma pada 13 Januari 1999 dan
meratifikasinya pada 21 September 2004 menjadikan Burundi sebagai anggota ICC
ke 95.17 Dengan meratifikasi Statuta Roma menunjukan adanya komitmen serius
12 ICC, “Understanding International Criminal Court” Dokumen ICC,h.3, diakses pada 1
September 2017 dari https://www.icc-cpi.int/iccdocs/PIDS/publications/UICCEng.pdf 13 ICC memiliki sifat complementary yang berarti ICC hanya memiliki yurisdiksi apabila
suatu negara yang memiliki yurisdiksi domestik atas kejahatan yang dilakukan diwilayahnya atau oleh
warga negaranya tidak mampu atau enggan untuk mengadili kejahatan tersebut. Lihat “Rome Statute
of International Criminal Court dokumen ICC (1998), pasal 17, diakses pada 3 April 2019, dari
https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/add16852-aee9-4757-abe7-
9cdc7cf02886/283503/romestatuteng1.pdf 14 William A. Schabas, An Introduction to the International Criminal Court (New York:
Cambridge University Press,2011),h.57-58. 15 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 2. 16 ICC, “The State Parties to the Rome Statue”, 17 “Burundi and The ICC”, Website Coalition for the International Criminal Court, diakses
pada 3 April 2019 dari http://www.coalitionfortheicc.org/latest/resources/burundi-and-icc
5
Burundi untuk mencegah terjadinya praktik impunitas18 dan mendukung ICC untuk
mengadili individu yang melakukan kejahatan serius seperti kejahatan perang,
kejahatan kemanusiaan, genosida dan kejahatan agresi.
Statuta Roma ICC memiliki sifat non-reservations yang berarti setiap negara
anggota harus menerima segala ketentuan yang ada di Statuta Roma tanpa
pengecualian.19 Oleh sebab itu, Burundi yang merupakan negara anggota ICC telah
menjadikan Statuta Roma sebagai bagian dari hukum nasionalnya dan menerima
segala ketentuan yang ada di Statuta Roma. Selain itu, Burundi sebagai negara
anggota harus menerima yurisdiksi ICC dan memiliki kewajiban untuk bekerja sama
dengan pengadilan untuk membantu proses peradilan seperti penangkapan dan
penyerahan individu yang terdakwa melakukan kejahatan internasional kepada ICC.
Walaupun negara-negara Afrika memiliki peranan penting dalam pembentukan
ICC, hubungan antara ICC dan negara-negara Afrika saat ini sedang memburuk.
Ada ketidakpuasan dari negara anggotanya, khususnya yang berasal dari Afrika
terhadap performa ICC. Ketidakpuasan tersebut berujung pada kritik yang
memunculkan persepsi bahwa ICC dianggap hanya fokus menangani kasus kejahatan
yang terjadi di negara-negara Afrika dan menargetkan para pemimpin di Afrika.20
Bahkan, beberapa negara Afrika mengartikulasikan ketidakpuasan tersebut dengan
mengancam untuk menarik diri dari keanggotaanya di ICC seperti yang telah
18 Impunity atau Impunitas adalah pembebesan atau kebebasan dari hukuman, kerusakan, atau
kerugian. Lihat “Full Definition of Impunity”, website Merriam-Webster, diakses pada 9 Oktober 2016
dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/impunity 19 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”,pasal 120. 20 Max du Plessis, The International Criminal Court that Africa Wants, h.13.
6
dilakukan oleh Burundi, Afrika Selatan, dan Gambia pada tahun 2016. Keinginan
untuk keluar dari ICC juga dinyatakan oleh Uganda, Namibia, dan Kenya21 meski
hanya sebatas pernyataan.
Setiap negara anggota ICC memiliki hak untuk menarik diri dari
keanggotannya di Statuta Roma. Proses penarikan diri negara anggota International
Criminal Court telah dijelaskan pada Pasal 127 (1) Statuta Roma bahwa negara
anggota yang ingin menarik diri dari keanggotaannya di ICC harus menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada Sekretaris Jendral PBB dan proses penarikan diri dari
keanggotaan ICC membutuhkan waktu setidaknya satu tahun dimulai ketika
Sekretaris Jendral PBB menerima pemberitahuan tersebut.22
Dari tiga negara yang mengajukan pemberitahuan tertulis ke Sekretaris Jenderal
PBB, hanya Burundi yang secara resmi keluar dari ICC. Burundi secara resmi keluar
dari ICC pada 27 Oktober 2017.23 Setelah resmi keluar dari ICC, Burundi tidak lagi
terikat dengan ketentuan hukum yang ada di dalam Statuta Roma termasuk
kewajibannya untuk bekerjasama dengan ICC. Selain itu, keluarnya Burundi dari
Statuta Roma menjadikannya sebagai negara pertama dan negara Afrika pertama
yang resmi keluar dari ICC.
21 “The International Criminal Court- Exit South Africa”, Website the Economist, 27 Oktober
2016, diakses pada 3 April 2019 dari https://www.economist.com/middle-east-and-
africa/2016/10/27/exit-south-africa 22 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”,pasal 127 (1). 23 “Burundi leaves International Criminal Court Amid Row”, Website BBC, 27 Oktober
2017,diakses pada 3 April 2019 dari https://www.bbc.com/news/world-africa-41775951
7
Bagaimanapun, langkah yang diambil oleh Burundi merupakan kerugian bagi
pengadilan serta para korban kejahatan dimana ICC akan kesulitan melakukan
investigasi dan penuntutan terhadap kejahatan yang mungkin terjadi di Burundi di
masa depan ataupun meminta kerjasama untuk menangkap dan menyerahkan para
pelaku kejahatan internasional. Selain itu, keputusan untuk menarik diri dari ICC
merupakan langkah yang bertentangan dengan nilai, komitmen, dan cita-cita Uni
Afrika serta negara-negara Afrika itu sendiri untuk menjaga perdamaian, keamanan,
dan akuntabilitas terhadap kejahatan internasional yang serius.24
Kasus ini menarik untuk dikaji dikarenakan beberapa hal : Pertama, kasus
penarikan diri Burundi dari keanggotaannya di ICC menjadikannya negara pertama
dan satu-satunya yang secara resmi keluar di ICC. Burundi yang merupakan negara
kecil di Afrika Tengah berani untuk mengambil keputusan tersebut. Kedua, negara-
negara Afrika yang mempunyai kontribusi besar terhadap pembentukan ICC dan
mempunyai representasi terbesar di ICC, kini memiliki keinginan untuk menarik diri
dari keanggotaannya di ICC. Dengan keluarnya Burundi, menjadikannya sebagai
negara Afrika pertama yang resmi keluar dari ICC. Dengan demikian, penelitian ini
akan mengkaji lebih mendalam terkait keputusan Burundi keluar dari ICC tahun
2016-2017.
24 Narnia Bohler-Muller dan Dunia Prince Zongwe, “ It is Self-Defeating for Africa (and
South Africa) to Withdraw From the International Criminal Court”, Namibia Law Journal, Vol.9
No.115 (2017), h.2
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pernyataan masalah sebelumnya, maka skripsi ini
berfokus untuk menjawab pertanyaan masalah sebagai berikut :
“Mengapa Burundi memutuskan untuk keluar dari International Criminal
Court (ICC) tahun 2016-2017 ?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Skripsi ini bertujuan untuk :
1. Menganalisa alasan Burundi keluar dari International Criminal Court
tahun 2016-2017.
2. Menganalisa keputusan Burundi keluar dari International Criminal Court
dengan menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori kebijakan luar
negeri.
3. Menjelaskan mekanisme sebuah negara untuk keluar dari International
Criminal Court
Manfaat skripsi ini diharapkan menjadi salah satu sumber rujukan untuk
penelitian selanjutnya yang terkait dengan alasan pengunduran diri sebuah negara
dari ICC serta keputusan Burundi untuk keluar dari ICC tahun 2016-2017.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian dengan topik seputar keputusan Burundi keluar dari International
Criminal Court telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Untuk itu, penulis
menggunakan beberapa penelitian yang terkait dengan isu diatas guna mengetahui
9
persamaan dan perbedaan yang ada pada penelitian tersebut dengan skripsi yang akan
dibahas.
Joost Pauwelyn dan Rebecca J. Hamilton menulis artikel jurnal pada tahun
2018 dengan judul “Exit From International Tribunals”.25 Artikel yang diterbitkan
oleh Journal of International Dispute Settlement” Vol.9 Issue 4 menjelaskan alasan
sebuah negara keluar dari international tribunal. Dengan memberikan beberapa
contoh kasus seperti Inggris yang akan keluar dari Court of Justice of the European
Union (CJEU), Burundi keluar dari ICC, Venezuela keluar dari Inter-American Court
of Human Rights (IACtHR), adanya ancaman dari Rusia dan Inggris untuk keluar dari
European Court of Human Rights (ECtHR) serta Bolivia, Ecuador, dan Venezuela
yang keluar dari International Center for Settlemnet of Investment Disputes (ICSID).
Menurut pauwelyn dan Hamilton, secara teoritis keluarnya sebuah negara
dipengaruhi oleh 2 hal yaitu Tribunal-centered change atau State-centered change.
Tribunal-centered di bagi menjadi dua yaitu Judicial activism dan Tribunal bias.
Sedangkan State-centered change dibagi menjadi dua yaitu Sovereignity costs dan
Political change. Disebutkan sebagai salah satu contoh analisis dijurnal tersebut
bahwa keluarnya Burundi dari ICC merupakan interaksi dari kedua faktor tersebut.
Adapun perbedaaan penelitian ini dengan skripsi yang akan dibahas adalah dari fokus
pembahasan. Penelitian ini menjelaskan secara umum alasan negara-negara keluar
25 Joost Pauwelyn dan Rebecca J. Hamilton, “Exit From International Tribunals”, Journal of
International Dispute Settlement, Vol.9 Issue4(2018) diakses pada 5 April 2019 dari
https://www.researchgate.net/publication/328468164_Exit_from_International_Tribunals
10
dari International Tribunals sedangkan skripsi ini menganalisa secara mendalam
terhadap keputusan Burundi keluar dari ICC tahun 2016-2017.
Skripsi ini memilih artikel jurnal yang ditulis oleh Narnia Bohler-Muller dan
Dunia Zongwe pada tahun 2017 dengan judul “It Is Self-Defeating For Africa (and
South Africa) to Withdraw From Interntional Criminal Court”.26 Menurut Muller dan
Zongwe, seruan Uni Afrika kepada negara-negara di Afrika (khususnya Afrika
Selatan) untuk keluar dari keanggotannya di ICC hanya akan merugikan negara-
negara Afrika itu sendiri. Keputusan untuk keluar dari ICC saat ini dianggap tidak
tepat karena dinilai untimely dan premature karena benua Afrika belum memiliki
pengadilan regional ataupun benua yang secara efektif mampu mengadili para pelaku
kejahatan internasional seperti ICC. Selain itu, penarikan diri dari ICC dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai benua Afrika itu sendiri yang memiliki kontribusi
besar terhadap pembentukan ICC dan upayanya dalam membangun perdamaian dan
keamanan.
Tujuan utama artikel jurnal yang ditulis oleh oleh Muller dan Zongwe adalah
memberikan alasan bagi negara-negara Afrika untuk tidak keluar dari
keanggotaannya di ICC. Sedangkan skripsi ini bertujuan untuk menganalisa
keputusan Burundi keluar dari International Criminal Court tahun 2016-2017
dengan menggunakan teori kepentingan nasional serta kebijakan luar negeri.
26 Narnia Bohler-Muller dan Dunia Prince Zongwe, “ It is Self-Defeating for Africa (and
South Africa) to Withdraw From the International Criminal Court”
11
Kemudian, artikel jurnal yang ditulis oleh Manisuli Ssenyonjo tahun 2017
dengan judul “State Withdrawal Notifications From The Rome Statute of
International Criminal Court : South Africa, Burundi and The Gambia.27 Artikel
jurnal ini menjelaskan bahwa langkah ketiga negara yaitu Afrika Selatan, Burundi,
dan Gambia keluar dari International Criminal Court didasari oleh kepentingan
nasional masing-masing negara. Selain itu, artikel jurnal ini juga memberikan
beberapa alasan umum yang menyebabkan negara-negara tersebut memutuskan
keluar dari ICC serta dampaknya terhadap ICC.
Ssenyonjo menjelaskan bahwa penarikan diri dari Statuta Roma tidak
berpengaruh pada kewajiban suatu negara terhadap perjanjian internasional lainnya.
Sehingga, Afrika Selatan, Burundi, dan Gambia yang merupakan pihak dari Konvensi
Genosida secara implisit tetap memiliki kewajiban untuk bekerjasama terhadap
“international penal tribunal”28 (dalam hal ini adalah ICC) yang memiliki yurisdiksi
terhadap kejahatan genosida untuk menangkap dan menyerahkan pelaku kejahatan
genosida ke ICC.
27 Manisuli Ssenyonjo, “State Withdrawal Notifications From The Rome Statute of The
International Criminal Court : South Africa, Burundi, and The Gambia”, Criminal Law Forum, Vol.29
Issue 1 (2017) diakses pada 5 April 2019 dari
https://bura.brunel.ac.uk/bitstream/2438/14738/1/Fulltext.pdf 28 Orang-orang yang didakwa melakukan kejahatan Genosida atau tindakan lain yang
disebutkan dalam pasal III harus diadili oleh pengadilan nasional yang kompeten di wilayah dimana
kejahatan tersebut dilakukan, atau oleh pengadilan pidana internasional yang mungkin memiliki
yurisdiksi yang berkaitan dengan pihak-pihak yang melakukan perjanjian yang akan menerima
yurisdiksi tersebut, Lihat “Convention On The Prevention and Punishment of the Crime of Genoside”,
Dokumen PBB (1948), Pasal VI diakses pada 5 April 2019, dari
https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%2078/volume-78-i-1021-english.pdf
12
Perbedaan antara penelitian ini dengan skripsi yang dibahas adalah dari segi
pembahasan. Penelitian ini fokus menjelaskan secara umum alasan ketiga negara
yaitu Afrika Selatan, Burundi, dan Gambia keluar dari ICC. Sedangkan skripsi ini
berfokus pada satu negara yaitu menganalisa keputusan Burundi keluar dari ICC
tahun 2016-2017.
T erakhir, skripsi dari Dinar Wulandari dari Universitas Jember dengan judul “
Keputusan Afrika Selatan Menarik Diri Dari Keanggotaan International Criminal
Court (ICC)” tahun 2017.29 Dalam argumen utamanya, keputusan Afrika Selatan
keluar dari ICC disebabkan adanya diskriminasi yang dilakukan oleh ICC terhadap
Afrika. ICC dinilai hanya fokus menangani kasus kejahatan di Afrika dan
menargetkan para pemimpin negara di Afrika seperti pada kasus Presiden Sudan yaitu
Omar al-Bashir. Keterkaitan penelitian ini dengan skripsi yang dibahas adalah dari
segi pembahasan yang fokus kepada analisa keputusan sebuah negara keluar dari
ICC.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan skripsi yang dibahas yaitu dari segi
pembahasan dan teori yang digunakan sebagai alat analisa. Penelitian ini fokus
menganalisa keputusan Afrika Selatan keluar dari ICC sedangkan skripsi ini berfokus
untuk menganalisa alasan Burundi keluar dari ICC tahun 2016-2017. Selain itu,
penelitian ini menggunakan teori neo-realisme sedangkan pada skripsi ini
29 Dinar Wulandari, “Keputusan Afrika Selatan Menarik Diri Dari Keanggotaan International
Criminal Court (ICC)”, Skripsi : Universitas Jember (2017), diakses pada 5 April 2019 dari
https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/81300
13
menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori kebijakan luar negeri sebagai
alat analisa.
E. Kerangka Pemikiran
Untuk mengetahui alasan Burundi keluar dari International Criminal Court
tahun 2016-2017, skripsi ini menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori
kebijakan luar negeri sebagai alat analisis. Dua alat analisa tersebut menjadi landasan
berfikir dalam skripsi ini untuk menjawab pertanyaan penelitian dan menguraikan
tujuan penelitian yang diharapkan dalam skripsi ini.
E.1 Konsep Kepentingan Nasional
Dalam menentukan arah kebijakan dan menetapkan keputusan, suatu negara
akan terlebih dahulu merumuskan kepentingan nasionalnya. Menurut Kenneth Waltz
dalam bukunya yang berjudul “Theory of International Politics (1979)
mengemukakan bahwa kepentingan nasional negara terbentuk sebagai respon
terhadap sistem internasional yang bersifat anarki.30 Artinya, dalam sistem
internasional tidak ada otoritas yang lebih tinggi diatas negara yang mengakibatkan
negara-negara hidup dalam lingkungan yang kompetitif dan mengancam
kedaulatannya sehingga berpotensi mengarah pada terjadinya perang.31 Oleh karena
itu, hal yang terpenting bagi negara bukanlah power seperti yang dijelaskan oleh
30 Jamie Jaafar, “ Reconciling Realism and Constructivism : An Analysis of National Interest
and International Institutions”, Bulletin of the centre for East-West Cultural and Economic Studies,
Vol.12, No.2 (2017), h.11. 31 Munafrizal Manan, “Foreign Policy and National Interest : Realism and Its Critiques”,
Global & Strategis, Vol.9, No.2 (2017), h.178.
14
Morgenthau, melainkan security.32 Negara akan memaksimalkan security karena
survival merupakan tujuan akhir dari kepentingan nasional negara.33
Negara sebagai unit-unit dalam sistem internasional yang anarki membuatnya
terpaksa untuk bersifat self-help guna memastikan kelangsungan hidup mereka
sehingga setiap unit tersebut akan berusaha untuk mempertahankan dirinya sendiri.34
Menurut Waltz meski tujuan setiap negara mungkin beragam tetapi inti dari
kepentingan nasional setiap negara adalah survival.35 Menurutnya “In anarchy,
security is the highest end. Only if survival is assured can states seek such other goals
as tranquility, profit, and power” [Dalam sistem internasional yang anarki, keamanan
merupakan tujuan tertinggi. Hanya jika kelangsungan hidup negara terjamin maka
negara dapat mengejar tujuan lainnya seperti ketenangan, keuntungan dan
kekuasaan].36
Survival sebuah negara dianggap sebagai prasyarat untuk mencapai semua
tujuan lainnya. Kepentingan lain seperti ekonomi, lingkungan, dan kemanusiaan tidak
dapat dicapai apabila keberadaan suatu negara terancam.37 Waltz juga menegaskan
bahwa negara biasanya akan memilih kebijakan sesuai dengan keadaan atau situasi
32 Munafrizal Manan, “Foreign Policy and National Interest : Realism and Its Critiques”,h.177 33 Munafrizal Manan, “Foreign Policy and National Interest : Realism and Its Critiques”,h.178 34 Kenneth Waltz, Theory of International Politics (Addison :Wesley Publishing Company,
1979), h.88-105. 35 Kenneth Waltz, Theory of International Politics (New York : Waveland Press, McGraw-
Hill, 1979),h. 91-92 36 David A. Baldwin, “The Concept of Security”, Review of International Studies, Vol.23
(1997),h.21 37 Munafrizal Manan, “Foreign Policy and National Interest : Realism and Its Critiques”,h.178
15
mereka dan bertindak dengan hati-hati untuk tidak membahayakan keberadaan
mereka sendiri.38
E.2 Teori Kebijakan Luar Negeri
Skripsi ini memilih teori kebijakan luar negeri yang dikembangkan oleh Miriam
Fendius Elman39 yang mendukung sistem internasional milik Waltz untuk
menjelaskan perilaku negara kecil. Istilah “small or weak states” didefinisikan
berdasarkan keterbatasan kapasitasnya untuk : pertama, mempengaruhi kepentingan
keamanan atau secara langsung mengancam sebuah kekuatan besar (great power).
Kedua, mempertahankan atau membela diri sendiri terhadap serangan kekuatan
besar.40
Pada dasarnya kebijakan luar negeri merupakan “action theory” atau
kebijaksanaan suatu negara yang ditunjukan ke negara lain untuk mencapai suatu
kepentingan tertentu.41 Kebijakan luar negeri juga merupakan suatu komitmen yang
pada dasarnya merupakan strategi dasar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam
konteks dalam negeri dan luar negeri serta sekaligus menentukan keterlibatan suatu
negara dalam di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitarnya.42
38 Kenneth Waltz, Theory of International Politics, h.134 39 Miriam Fendius Elman merupakan Associate Professor di Departemen Ilmu Politik di
Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, Syracuse University 40 Miriam Fendius Elman, “ The Foreign Policies of Small States : Challenging Neorealism in
Its Own Backyard”, British Journal of Political Science, Vol.25 No.2 (1995), h. 171 41 Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011), h.47 42 Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, h.47
16
Menurut Elman, pasca berakhirnya perang dingin sejumlah negara- negara kecil
telah memasuki kancah dunia. Para ahli teori hubungan internasional dianggap hanya
fokus membahas kebijakan luar negeri negara-negara besar dan mengabaikan studi
untuk negara-negara kecil.43 Elman mengemukakan bahwa untuk membahas
kebijakan luar negeri negara-negara kecil dapat berfokus pada efek dari sistem
internasional. Hal itu dikarenakan negara-negara kecil lebih disibukan dengan
masalah survival dimana negara-negara kecil biasanya dihadapkan dengan masalah
eksternal terhadap national survival dan sistem internasional akan mejadi level
analisa yang paling relevan untuk menjelaskan kebijakan luar negeri negara-negara
tersebut.44
Handel menambahkan dengan mengemukakan bahwa faktor domestik kurang
berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri negara-negara kecil. Sistem internasional
membuat negara-negara kecil kurang memiliki pilihan dalam proses pengambilan
keputusan. Oleh karena itu, “Third Image” milik Kenneth Waltz adalah level analisis
yang paling relevan.45 Sebaliknya, politik domestik akan memainkan peran yang
dominan terhadap proses pengambilan kebijakan luar negeri negara-negara besar atau
great powers. Hal itu disebabkan karena negara-negara besar dihadapkan dengan
ancaman eksternal dengan tingkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-
43 Miriam Fendius Elman, “ The Foreign Policies of Small States : Challenging Neorealism in
Its Own Backyard”, h.171-172 44 Miriam Fendius Elman, “ The Foreign Policies of Small States : Challenging Neorealism in
Its Own Backyard”, h.175 45 Miriam Fendius Elman, “ The Foreign Policies of Small States : Challenging Neorealism in
Its Own Backyard”, h. 178
17
negara kecil sehingga negara-negara tersebut memiliki lebih banyak opsi untuk
bertindak.46
Berdasarkan penjelasan dua alat analisa diatas, penulis berpendapat bahwa
keluarnya Burundi dari ICC merupakan bentuk self-help yang dilakukan oleh Burundi
untuk menjaga kepentingan nasionalnya. Kemudian, penulis menganalisa alasan
keputusan Burundi untuk keluar ICC pada tahun 2016-2017 menggunalan level
analisa “third image” yang berfokus pada sistem internasional milik Waltz untuk
mendapatkan jawaban yang diharapkan.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
sebagai metode penelitian. Menurut Creswell pendekatan kualitatif dalam sebuah
penelitian adalah sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau
masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambaran lengkap yang dibentuk
dengan kata-kata dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.47 Penggunaan metode
kualitatif digunakan karena skripsi ini akan bersifat deskriptif analitis agar dapat
menjelaskan keputusan Burundi keluar dari International Criminal Court tahun 2016-
2017.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder.
Data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan studi kepustakaan (Library
46 Miriam Fendius Elman, “ The Foreign Policies of Small States : Challenging Neorealism in
Its Own Backyard”, h. 175 47 John W. Creswell, Research Design, Qualitative, Quantitative Approaches (terjemahan)
(Jakarta : KIK Press, 2002), h.1.
18
Research) terhadap beberapa literatur seperti buku, jurnal, karya ilmiah dan sumber
elektronik berupa situs internet yang terkait. Untuk itu, studi kepustakaan dilakukan
dengan mengunjungi perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini disajikan dalam
bentuk deskriptif-analitis, data-data yang telah diperoleh selanjutnya diproses melalui
analisis dan dihubungkan dengan kerangka pemikiran yang berkaitan untuk
mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi ke dalam
lima bab yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab I memaparkan latar belakang permasalahan yang merupakan
signifikasi dari isu yang dikaji dan memunculkan sebuah rumusan masalah yang
menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini serta dilanjutkan dengan tujuan dan
manfaat dari skripsi ini. Kemudian, pada bagian ini juga menjelaskan tinjauan
pustaka serta teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dibagian
akhir, dijelaskan metode penelitian serta sistematika penulisan yang digunakan untuk
membantu menjelaskan skripsi ini.
19
BAB II HUBUNGAN BURUNDI DENGAN INTERNATIONAL CRIMINAL
COURT
Pada bab ini dijelaskan hubungan antara Burundi dengan International
Criminak Court. Pembahasan hubungan Burundi dengan International Criminal
Court dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan dijelaskan Profil negara
Burundi secara umum. Bagian kedua dijelaskan keanggotaan Burundi di
International Criminal Court. Dalam uraian tersebut juga disertakan pembahasan
terkait hak dan kewajiban Burundi sebagai negara anggota serta perannya selama
menjadi anggota ICC. Bagian ketiga dijelaskan proses penarikan diri Burundi dari
keanggotaannya di International Criminal Court.
BAB III PROFIL INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC)
Pada bab ini dipaparkan profil International Criminal Court. Pembahasan
mengenai profil International Criminal Court akan dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama menjelaskan terlebih dahulu sejarah pembentukan International
Criminal Court. Bagian kedua menjelaskan yurisdiksi International Criminal Court
serta batasannya. Bagian ketiga memaparkan struktur dari International Criminal
Court.
BAB IV ANALISA KEPUTUSAN BURUNDI KELUAR DARI
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT TAHUN 2016-2017
20
Pada bab IV ini membahas alasan Burundi keluar dari International Criminal
Court tahun 2016-2017. Alasan tersebut akan dipaparkan kedalam beberapa bagian.
Adapun beberapa alasan tersebut diantaranya kurangnya kredibilitas dari
International Criminal Court, upaya Burundi untuk menghindari proses penuntutan
oleh International Criminal Court, serta adanya dukungan Uni Afrika untuk keluar
dari ICC. Alasan-alasan tersebut kemudian dianalisa dan dipaparkan dengan
menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori kebijakan luar negeri yang
dijadikan sebagai alat analisa dalam penelitian ini untuk mendapatkan jawaban yang
komprehensif.
BAB V KESIMPULAN
Pada bagian ini dijelaskan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisa
yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya.
21
BAB II
HUBUNGAN BURUNDI DENGAN ICC
Bab ini dijelaskan hubungan Burundi dengan International Criminal Court.
Pembahasan Hubungan Burundi dengan ICC akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama menjelaskan profil negara Burundi secara umum. Bagian kedua menjelaskan
keanggotaan Burundi di ICC. Kemudian, bagian ketiga menjelaskan proses
pengunduran diri Burundi dari ICC.
A. Profil Burundi
Burundi merupakan sebuah negara yang berada di kawasan Afrika Timur.
Secara geografis, Burundi berbatasan dengan Rwanda di sebelah utara, Tanzania
disebelah timur dan Republik Demokratik Kongo di sebelah barat.48 Selain itu, di
sebelah barat daya berbatasan dengan Danau Tanganyika.49 Ibu kota Burundi terletak
di Bujumbura yang merupakan kota terbesar di negara tersebut. Burundi
dikategorikan sebagai negara kecil dengan sebutan small landlocked country dengan
luas wilayah sebesar 27.830 km.50 Burundi juga merupakan negara terpadat kedua di
48 World Bank Group, “Republic of Burundi Adressing Fragility And Demographic
Challenges To Reduces Poverty And Boost Sustainable Growth”, Dokumen World Bank (2018), h.1
diakses pada 9 April 2019, dari
http://documents.worldbank.org/curated/en/655671529960055982/pdf/Burundi-SCD-final-
06212018.pdf 49 “Burundi”, Website One World Nations Online, diakses pada 9 April 2019, dari
https://www.nationsonline.org/oneworld/burundi.htm 50 “Burundi Country Profile”, Dokumen United Nations Great Lake (2018), diakses pada 9
April 2019 dari https://ungreatlakes.unmissions.org/sites/default/files/310808_burundi_profile.pdf
22
Afrika dengan perkiraan 470 penduduk /km dengan populasi sekitar 11,2 juta jiwa
secara keseluruhan.51
Gambar II.1 Peta Geografis Burundi52
Populasi di Burundi terdiri dari 3 kelompok etnis yang dominan. Menurut
perkiraan tahun 2018, Etnis Hutu merupakan mayoritas yang mewakili sekitar 80%
dari total populasi. Etnis Tutsi sebagai minortitas mewakili populasi sekitar 19%, dan
etnis Twa mewakili 1% populasi.53 Bahasa utama yang digunakan adalah bahasa
Kirundi dan bahasa Perancis serta Bahasa Swahili yaitu bahasa campuran antara
bahasa Arab dengan bahasa Bantu yang digunakan sebagai bahasa perdagangan dan
bisnis di sebagian besar wilayah Afrika Timur serta digunakan di wilayah Danau
Tanganyika dan ibu kota. Selain itu, warga negara Burundi sebagian besar menganut
agama Katolik (65%), Protestan (27%), Muslim (6%) dan agama tradisional (2%).54
51 “Burundi Country Profile”, Dokumen United Nations Great Lake, 52 “Global Words, Country Profile Burundi, Dokumen Global Words (2009), 53 “Burundi Country Profile”, Dokumen United Nations Great Lake, 54 “Global Words, Country Profile Burundi, Dokumen Global Words (2009), diakses pada 9
April 2019, dari
http://www.globalwords.edu.au/units/Sustainability_UPY6_html/documents/Burundi.pdf
23
Burundi juga merupakan salah satu negara miskin di dunia dengan GDP per
kapita (2018) sebesar US$900 hampir sama dengan Liberia. Hampir 72,9 %
populasinya hidup di bawah garis kemiskinan dengan US$1,90 per hari.55
Perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pertanian yang telah
mempekerjakan 80% populasinya meski sangat kekurangan lahan. Burundi juga
menempati peringkat 184 dari 188 pada Indeks Pembangunan Manusia atau Human
Development Index.56 Meski sektor pertanian menjadi tulang punggung
perekonomian, sektor ini hanya berkontribusi sebesar 40% terhadap GDP dan banyak
warga negara Burundi yang mengidap kelaparan, kekurangan gizi dan pertumbuhan
yang terhambat.57
Sejak merdeka dari Belgia pada tahun 1962,58 Burundi dicirikan oleh
ketidakstabilan politik serta kekerasan khsusnya konflik internal yang timbul dari
perpecahan etnis antara Hutu yang merupakan mayoritas dan Tutsi yang merupakan
minoritas.59 Sejak awal kemerdekaan, rakyat Burundi telah mengendalikan kekuatan
politik melalui kekerasan serta telah mengubah kepemimpinan sebanyak sebelas kali,
dimana enam diantaranya melalui kudeta militer.60 Sektor pemerintahan Burundi
55 “Burundi Country Profile”, Dokumen United Nations Great Lake, 56 “Burundi Country Profile”, Dokumen United Nations Great Lake, 57 World Bank Group, “Republic of Burundi Adressing Fragility And Demographic
Challenges To Reduces Poverty And Boost Sustainable Growth”, h.viii 58 BBC, “Burundi Profile Timeline”, Website BBC, 3 Desember 2018, diakses pada 9 April
2019 dari https://www.bbc.co.uk/news/world-africa-13087604 59 Country Watch, “ Burundi-2016 Country Review”, Dokumen Country Watch (2016), h.2,
diakses pada 9 April 2019 dari
http://www.countrywatch.com/Content/pdfs/reviews/B35Q954M.01c.pdf 60 World Bank Group, “Republic of Burundi Adressing Fragility And Demographic
Challenges To Reduces Poverty And Boost Sustainable Growth”, h.x
24
diawali oleh dominasi kepemimpinan dari kelompok Tutsi sampai tahun 1993.61
Selama kelompok Tutsi mendominasi pemerintahan telah terjadi peristiwa penting
yaitu serangkaian kekerasan serta kudeta militer terhadap para pemimpinnya.62
Seperti peristiwa yang terjadi pada tahun 1972, ketika terjadi pemberontakan
yang dipimpin oleh kelompok Hutu yang memprotes kepemimpinan Presiden
Michombero dari kelompok Tutsi. Pemerintah menggunakan respon kekerasan
terhadap pemberontakan tersebut sehingga menewaskan 300.000 orang dengan
mayoritas berasal dari kelompok Hutu.63 Pemberontakan kembali terjadi pada tahun
1993, saat itu Presiden Hutu pertama yang terpilih secara demokratis yaitu Melchior
Ndadaye dibunuh oleh pemberontak dari kelompok Tutsi yang kembali memicu
konflik antara tentara pemerintah yang berasal dari suku Hutu dengan kelompok
pemberontak Tutsi yang diperkirakan telah menelan korban jiwa sebanyak 25.000
sampai 50.000 orang dan diperkirakan 800.000 orang telah mengungsi ke negara
tetangga.64 Konflik antar etnis tersebut berlanjut dari tahun 1993 sampai 2005.65
Saat ini, Burundi dipimpin oleh Presiden Pierre Nkurunziza yang berasal dari
kelompok Hutu. Presiden Pierre Nkurunziza telah menjabat sejak tahun 2005, ketika
dirinya terpilih melalui pemilihan umum yang dilakukan untuk pertama kali sejak
61 UK Border Agency, “Country of Origin Information key Doucments : Burundi”, Dokumen
Refworld (2008), h.8 ,diakses pada 9 April 2019 dari https://www.refworld.org/pdfid/4b2b77d22.pdf 62 Country Watch, “ Burundi-2016 Country Review”, h 8-9 63 “The 1972 and 1993 Burundi Genocides”, Website Atrocities Watch Africa”, diakses pada
9 April 2019 dari http://atrocitieswatch.org/the-1972-and-1993-burundi-genocides/ 64 Country Watch, “ Burundi-2016 Country Review”, h.12 65 Coalition For ICC, “Burundi and the International Criminal Court”, Dokumen Coalition for
International Criminal Court (2017), diakses pada 9 April 2019 dari
http://www.coalitionfortheicc.org/sites/default/files/cicc_documents/ciccfactsheet_burundi_icc.pdf
25
tahun 1993. Nkurunziza saat itu menyatakan dibawah pemerintahannya, berkomitmen
untuk menegakan hukum di Burundi dengan berkaca pada pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang terjadi selama bertahun-tahun. Dibawah konstitusi baru,
pemerintahannya menjamin pembagian kekuasaan antara kelompok etnis Hutu dan
Tutsi.66 Pada 26 Agustus 2010, Presiden Pierre Nkurunziza kembali dilantik untuk
masa jabatan lima tahun kedepan.67
Situasi di Burundi kembali memburuk sejak April 2015 ketika Presiden Pierre
Nkurunziza mengumumkan keputusannya untuk mencalonkan diri sebagai presiden
untuk masa jabatan yang ketiga yang dianggap bertentangan dengan konstitusi
negara.68 Oleh sebab itu, percobaan kudeta terhadap Presiden Nkurunziza dilakukan
pada 13 Mei 2015 namun tidak membuahkan hasil dan Presiden Nkurunziza kembali
terpilih pada 15 Juli 2015.69 Menurut laporan United Nations High Commissioner for
Refugees, sejak pecahnya konflik pada April 2015, ribuan warga Burundi telah pergi
meninggalkan negaranya untuk mencari perlindungan di negara-negara tetangga.
Pada akhir tahun 2017, lebih dari 410.600 pengungsi Burundi telah melarikan diri ke
Republik Demokratik Kongo, Uganda, dan Tanzania.70
66 Refworld, “Operational Guidance Note-Burundi”, Dokumen Refworld (2007), h. 2, diakses
pada 9 April 2019 dari https://www.refworld.org/pdfid/460255512.pdf 2. 67 Country Watch, “ Burundi-2016 Country Review”, h.24 68 Stephanie Thomson, “ Burundi Is On The Brink- A Crisi Explained”, Website World
Economic Forum, 9 Februari 2016, diakses pada 9 April 2019 dari
https://www.weforum.org/agenda/2016/02/burundi-is-on-the-brink-a-crisis-explained-dc4113d4-af48-
4f63-b6b8-6a8c42acb78b/ 69 Stephanie Thomson, “ Burundi Is On The Brink- A Crisi Explained”, 70 UNHCR, “ Burundi Situation 2017”, Dokumen UNHCR (2017), diakses pada 9 April 2019
dari https://www.unhcr.org/59244aa77.pdf
26
B. Keanggotaan Burundi di International Criminal Court
Keanggotaan Burundi di International Criminal Court diawali melalui
penandatangan Statuta Roma yang dilakukan oleh Pemerintah Burundi pada 13
Januari 1999 dan diratifikasi pada 21 September 2004.71 Sesuai dengan pasal 126 (2),
Statuta Roma mulai berlaku pada hari ke 60 setelah diratifikasi oleh negara tersebut,
sehingga Statuta Roma mulai berlaku kepada Burundi pada 1 Desember 2004.72
Setelah Statuta Roma berlaku, Burundi resmi menjadi negara anggota ICC dengan
menjadi negara anggota ke-95.73 Meski Burundi tidak termasuk dalam 60 negara awal
yang meratifikasi Statuta Roma, setidaknya Burundi telah berkomitmen untuk
menjaga perdamaian dan keamanan internasional serta mencegah terjadinya praktik
impunitas bagi para pelaku kejahatan internasional.74
Pada pasal 11 (b) disebutkan negara yang menjadi anggota ICC setelah Statuta
Roma berlaku maka pengadilan dapat menggunakan yurisdiksinya setelah berlakunya
Statuta Roma pada negara tersebut kecuali jika negara tersebut membuat deklarasi
kepada Panitera pengadilan (Registrar).75 Sesuai pasal ini, ICC hanya memiliki
yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah Burundi atau yang dilakukan
71 Coalition For ICC, “Burundi and the International Criminal Court”, Dokumen Coalition for
International Criminal Court (2017), diakses pada 10 April 2019 dari
http://www.coalitionfortheicc.org/sites/default/files/cicc_documents/ciccfactsheet_burundi_icc.pdf 72 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 126 (2). 73 Coalition For ICC, “Burundi and the International Criminal Court”, 74 ICC, “Membership In The Rome Statute – Why and How”, Dokumen ICC (2017), diakses
pada 10 April 2019 dari https://www.icc-cpi.int/itemsDocuments/pr1331_lft.pdf 75 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 11 (2).
27
oleh warga negaranya sejak 1 Desember 2004 kecuali jika Burundi membuat
deklarasi untuk mengadili kejahatan yang terjadi sebelum Statuta Roma berlaku.
Statuta Roma ICC memiliki sifat non-reservations yang berarti setiap negara
anggota harus menerima segala ketentuan yang ada di Statuta Roma tanpa
pengecualian.76 Oleh karena itu, Burundi yang merupakan negara anggota ICC telah
menjadikan Statuta Roma sebagai bagian dari hukum nasionalnya dan menerima
segala ketentuan yang diatur didalam Statuta Roma. Hal ini sesuai dengan pasal 2
Vienna Convention on The Law of Treaties (VCLT) bahwa ratifikasi memiliki arti
bahwa sebuah negara telah menyetujui untuk terikat dalam perjanjian internasional.77
Kemudian, pada pasal 26 VCLT disebutkan bawa “Every treaty in force is
binding upon the parties t it and must be performed by them in good faith”[Setiap
perjanjian yang berlaku mengikat pihak-pihak yang terlibat didalamnya dan harus
dilaksanakan dengan itikad baik].78 Sebagai negara anggota, secara hukum Burundi
memiliki berbagai hak yang mungkin didapatkan serta kewajiban yang harus
dilaksanakan dengan menjadi negara anggota ICC.
Sebagaimana negara anggota lainnya, Burundi memiliki hak untuk ikut serta
dalam segala kegiatan ICC seperti memberikan suara dalam pengambilan keputusan
dan pandangan terhadap kinerja ICC serta mengikuti pemilihan Hakim dan Jaksa ICC
melalui perwakilannya di Assembly of Parties atau Majelis Negara Pihak. Setiap
76 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 120. 77 PBB, “Vienna Convention on the Law of Treaties”, Dokumen PBB (2005), h.2, diakses
pada 10 April 2019 dari http://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/1_1_1969.pdf 78 PBB, “Vienna Convention on the Law of Treaties”, h.6.
28
negara memiliki satu perwakilannya di Majelis Negara Pihak disertai oleh pengganti
dan penasihat.79 Selain itu, negara-negara anggota ICC juga dapat menggunakan
haknya secara hukum untuk meminta pengadilan menggunakan yurisdiksinya untuk
melakukan penyelidikan atas suatu kasus kejahatan internasional yang terjadi di
wilayahnya atau dilakukan oleh individu yang berasal dari negaranya.80
Burundi dan negara-negara anggota lainnya juga memiliki hak untuk
mencalonkan warga negaranya ataupun warga negara dari negara anggota lainnya
untuk mengisi posisi penting di ICC seperti Hakim, Jaksa Penuntut, dan Panitera.81
Kemudian, hak yang paling penting adalah Burundi tetap memilliki hak untuk
melakukan penyelidikan, penuntutan, dan mengadili kejahatan internasional yang
terjadi di wilayahnya sebagaimana yang ditekankan pada pembukaan Statuta Roma.82
ICC menganut asas complementary dimana yurisdiksi pengadilan adalah
sebagai pelengkap dan tetap mengutamakan yurisdiksi nasional.83 Berbeda dengan
pengadilan ad hoc ICTY or ICTR yang yurisdiksinya mengungguli yurisdiksi
nasional, ICC menjunjung tinggi prinsip kedaulatan negara dan akan mengambil alih
ketika negara tersebut enggan atau tidak mampu melakukan prosedur penuntutan.84
79 ICC, “Assembly of States Parties”, Website ICC, diakses pada 10 April 2019, dari
https://www.icc-cpi.int/asp 80 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 12 (2). 81 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 36 (4) (b). 82 Lihat “Rome Statue of International Criminal Court”, Preamble 83 Adel Maged, “Withdrawal of Referrals-A Serious Challenge to the Function of the ICC”,
International Criminal Law Review, Vol 6 Issue 3 (2006), h.423 84 Adel Maged, “Withdrawal of Referrals-A Serious Challenge to the Function of the ICC”,
h.423
29
Terakhir, negara-negara anggota berhak melakukan penarikan diri dari
keanggotaannya di ICC sesuai prosedur yang tercantum didalam Statuta Roma.85
Negara-negara anggota ICC, memiliki kewajiban hukum untuk bekerjasama
dengan pengadilan dalam memberikan bantuan peradilan sebagaimana yang diatur
dalam Statuta Roma. Pada pasal 86 dengan jelas disebutkan bahwa seluruh negara
anggota berada dibawah kewajiban umum untuk bekerjasama dengan pengadilan
serta kewajiban khusus untuk menangkap dan menyerahkan para pelaku yang
dianggap telah melakukan kejahatan internasional86 Berdasarkan pasal tersebut maka
Burundi sebagai negara anggota ICC memiliki kewajiban untuk menangkap dan
menyerahkan para pelaku kejahatan ketika masuk wilayah yurisdiksinya termasuk
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pengadilan.
Selama 13 tahun keanggotaannya di ICC, Burundi tidak memiliki peran yang
signifikan di institusi tersebut. Burundi tidak pernah mengisi jabatan-jabatan penting
di ICC, seperti Kepresidenan (Presidency), Divisi Yudisial (Judicial Division) yang
berisikan hakim-hakim ICC, Kantor Kejaksaan (Office of The Prosecutor), ataupun
Kantor Administrasi (Registry). Burundi hanya memiliki peran di Majelis Negara
Pihak (Assembly of States Parties) dimana setiap negara yang meratifikasi Statuta
Roma memiliki satu perwakilannya sebagai represntasi dari negaranya.87
85 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 127. 86 Sarah Williams dan Lena Sherif, “The Arrest Warrant for President Al-Bashir : Immunities
of Incumbent Heads of State and the International Criminal Court”, Journal of Conflict & Security
Law, Vol.14 No.1 (2009), h.86. 87 ICC”, Assembly of States Parties”,
30
Perwakilan Burundi di Majelis Negera Pihak diwakili oleh Duta Besar Vestine
Nehimana.88 Majelis Negara Pihak merupakan badan legislatif pengadilan.89 Oleh
karena itu, Burundi berhak untuk memberikan suaranya (terhitung satu suara)90
meskipun setiap keputusan yang diambil di Majelis Negara Pihak dicapai melalui
konsensus. Contohnya, Burundi memiliki hak memberikan suara untuk amandemaen
Statuta Roma91, menentukan budget pengadilan, berpartisipasi dalam pemilihan
Hakim dan Jaksa Penuntut beserta wakilnya. 92Selain itu Burundi memiliki hak untuk
mengajukan kandidat pada posisi tersebut.93
C. Proses Penarikan Diri Burundi dari International Criminal Court
Dibawah Statuta Roma, setiap negara anggota memiliki hak untuk menarik diri
dari keanggotaannya di ICC sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 127 (1) bahwa
negara anggota yang ingin menarik diri dari keanggotaannya di ICC harus
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Sekretaris Jenderal PBB dan proses
penarikan diri memerlukan waktu satu tahun terhitung sejak Sekretaris Jendral PBB
menerima pemberitahuan tersebut.94
88 Kwamchetsi Makokha, “Claims of ICC Bias and Double Standards At ASP Annual
Meeting” Website The East African, 28 November 2016, diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.theeastafrican.co.ke/news/ea/Claims-of-ICC-bias-and-double-standards-at-ASP-annual-
meeting/4552908-3467836-k3151nz/index.html 89 ABA-ICC, “Structure of The ICC”, Website ABA-ICC Project, diakses pada 10 April 2019
dari https://www.aba-icc.org/about-the-icc/structure-of-the-icc/ 90 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 112 (7). 91 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 121 (2). 92 ICC”, Assembly of States Parties”, 93 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 36 (4) (b). 94 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 127 (1).
31
Proses penarikan diri Burundi dari keanggotaan ICC diawali dengan langkah di
Parlemen yang meloloskan legislasi untuk keluar dari ICC.95 Kemudian, pada 18
Oktober 2016 Presiden Burundi Pierre Nkurunziza menandatangani legislasi
tersebut96 untuk mendukung langkah Burundi sebagai negara pertama yang keluar
dari ICC. Setelah melewati proses penarikan diri dari ICC, Burundi secara resmi
keluar dari ICC pada 27 Oktober 2017.97
Padahal, Burundi memiliki kesempatan untuk membatalkan keputusannya
keluar dari ICC sebelum satu tahun proses penarikan diri yang telah ditetapkan mulai
efektif seperti yang dilakukan oleh Afrika Selatan dan Gambia.98 Afrika Selatan
memutuskan untuk membatalkan keinginannya keluar dari ICC pada 7 Maret 201799
dan Gambia pada 10 Februari 2017.100 Kepastian Burundi untuk keluar dari ICC
disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Burundi yaitu Alain Nyamitwe yang
95 “Majelis Rendah Burundi Pilih Tinggalkan ICC”, Website Voa, 12 Oktober 2016, diakses
pada 10 April 2019 dari https://www.voaindonesia.com/a/majelis-rendah-burundi-tinggalkan-
icc/3547436.html 96 Angus MacSwan, “Burundi leader signs decree to quit the International Criminal Court”,
Website Reuters, 19 Oktober 2016, diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.reuters.com/article/us-burundi-icc/burundi-leader-signs-decree-to-quit-the-international-
criminal-court-idUSKCN12I2EP 97 “Burundi becomes first nation to leave international Criminal Court”, Website The
Guardian, 28 Oktober 2017, diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.theguardian.com/law/2017/oct/28/burundi-becomes-first-nation-to-leave-international-
criminal-court 98 “Burundi First to Leave International Criminal Court”, Website Aljazeera, 27 Oktober
2017, diakses pada 10 April 2019 dari https://www.aljazeera.com/news/2017/10/burundi-leave-
international-criminal-court-171027080533712.html 99 ICC, “ASP President welcomes the revocation of South Africa’s Withdrawal from the
Rome Statute”, Website ICC, diakses pada 10 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/Pages/item.aspx?name=pr1285 100 “ Secretary-General Welcomes the Gambia’s Decision to Rescind Its Withdrawal from
Rome Statute of International Criminal Court”, Website UN, 16 Februari 2017, diakses pada 10 April
2019 dari https://www.un.org/press/en/2017/sgsm18443.doc.html
32
menyatakan “ There is no going back ” [ Tidak ada jalan untuk kembali].101 Dengan
keluarnya Burundi dari ICC, menjadikan negara tersebut sebagai negara Afrika
pertama dan satu-satunya negara yang resmi keluar dari ICC.
Keluarnya Burundi dari ICC tentunya mendapatkan respon dari dunia
internasional. Meskipun respon yang diberikan hanya berupa pernyataan, hal tersebut
merupakan bentuk keprihatinan atas keputusan Burundi ataupun dukungan terhadap
ICC. Seperti pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Majelis Negara Pihak ICC
yaitu Presiden Kaba yang menekankan bahwa “penarikan diri dari Statuta Roma
mewakilkan sebuah kemunduran dalam perang melawan impunitas serta upaya
menuju tujuan universalitas Statuta”.102 Selain itu, menurut Daniel Bekele, direktur
Afrika di Human Right Watch mengatakan bahwa “Burundi telah gagal untuk
meminta pertanggung jawaban orang-orang yang telah melakukan kejahatan brutal
dan telah tenggelam dengan berusaha menolak keadilan bagi para korban di hadapan
ICC”.103
Disisi lain, berbagai pejabat negara dari berbagai negara Afrika seperti
Botswana, Burkina Faso, Cape Verde, Pantai Gading, Demokratik Republik Kongo,
Ghana, Lesotho, Malawi, Mali, Nigeria, Senegal, Sierra Leone, Tanzania, Tunisia,
dan Zambia justru memberikan pernyataan yang mendukung ICC dimana negara-
101 “Burundi Officially Informs UN of Intent to Leave ICC”,Website VOA, 27 Oktober 2016,
diakses pada 10 April 2016 dari https://www.voanews.com/a/burundi-icc-withdrawal/3568311.htm 102 ICC, “ Statement of the President of the Assembly of States Parties on the Process of
Withdrawal From the Rome Statute by Burundi”, Website ICC, 18 Oktober 2016, diakses pada 10
April 2019 dari https://www.icc-cpi.int/Pages/item.aspx?name=pr1244 103 HRW, “Burundi : ICC Withdrawal Major Loss to Victims”, Website HRW, 27 Oktober
2016,diakses pada 10 April 2019 dari https://www.hrw.org/news/2016/10/27/burundi-icc-withdrawal-
major-loss-victims
33
negara tersebut menegaskan kembali komitmennya untuk tetap mendukung dan
bekerja sama dengan ICC.104
Sebagai konsekuensi keluar dari keanggotaan di ICC, maka Burundi tidak lagi
terikat dengan ketentuan hukum yang ada di dalam Statuta Roma setelah waktu satu
tahun penarikan diri yang telah ditetapkan telah efektif. Namun, sebagaimana yang
dijelaskan pada pasal 127 (2) bahwa sebelum waktu satu tahun penarikan diri mulai
efektif, Burundi masih memiliki kewajiban untuk bekerjasama dengan pengadilan
seperti saat menjadi negara anggota ICC (termasuk kewajiban keuangan) serta
Burundi masih berada didalam lingkup yurisdiksi ICC sampai waktu satu tahun
penarikan diri mulai efektif..105 Sehingga, ICC masih memiliki hak untuk melakukan
investigasi terhadap kejahatan internasional yang mungkin terjadi di Burundi.
Ketentuan di pasal 127 (2) merupakan bentuk pencegahan yang dilakukan oleh ICC
ketika ada suatu negara yang melakukan penarikan diri dari keanggotannya untuk
menghindari yurisdiksi ICC ketika negara menemukan warga negaranya atau
pemimpinnya yang sedang dilakukan investigasi atau penuntutan yang dilakukan oleh
ICC sebelum proses penarikan diri mulai efektif.106
Selain itu, penarikan diri Burundi juga memberikan kerugian bagi pengadilan
karena ICC akan kesulitan dalam melakukan investigasi dan penuntutan terhadap
104 Manisuli Ssenyonjo, “African States failed Withdrawal From the Rome Statute of the
International Criminal Court : From Withdrawal Notifications to Constructive Engagement”,
International Criminal Law Review, Vol.17 Issue 5 (2017), h.793. 105 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 127 (2). 106 Frederique Renee Zoe, “Withdrawal From the Rome Statute by the Republic of South
Africa : Filling the Gaps”, Thesis : Tilburg University (2018), h.25.
34
kejahatan internasional yang mungkin terjadi di Burundi di masa depan. Hal ini
disebabkan Burundi bukan lagi negara anggota dari Statuta Roma. Selain itu,
keputusan Burundi untuk keluar dari ICC dapat menjadi preseden bagi negara-negara
anggota lainnya untuk mengikuti langkah Burundi keluar dari ICC di masa depan.107
Sayangnya, hal tersebut telah terjadi dimana Pemerintah Filipina memutuskan untuk
keluar dari ICC pada 17 Maret 2019.108 Terakhir, dengan keluarnya Burundi dari ICC
akan memunculkan keraguan bagi negara-negara yang ingin menandatangani ataupun
meratifikasi Statuta Roma dalam waktu dekat.109
107 Manisuli Ssenyonjo, “African States failed Withdrawal From the Rome Statute of the
International Criminal Court : From Withdrawal Notifications to Constructive Engagement”, h.795 108 BBC, “Philipines Officially Out of the International Criminal Court”, Website BBC, 18
Maret 2019, diakses pada 10 April 2019 dari https://www.aljazeera.com/news/2019/03/philippines-
officially-international-criminal-court-190317171005619.html 109 Manisuli Ssenyonjo, “African States failed Withdrawal From the Rome Statute of the
International Criminal Court : From Withdrawal Notifications to Constructive Engagement”, h.795
35
BAB III
PROFIL INTERNATIONAL CRIMINAL COURT
Pada bab ini dipaparkan profil International Criminal Court. Pembahasan
mengenai profil International Criminal Court dibagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama menjelaskan terlebih dahulu sejarah pembentukan International Criminal
Court. Bagian kedua menjelaskan yurisdiksi International Criminal Court serta
batasannya. Bagian ketiga dipaparkan struktur dari International Criminal Court.
A. Sejarah Pembentukan International Criminal Court
International Criminal Court atau Mahkamah Kejahatan Internasional
merupakan pengadilan internasional permanen pertama yang dibentuk melalui sebuah
perjanjian yang disebut Statuta Roma. ICC dibentuk untuk mengadili kejahatan yang
paling keji yang menjadi perhatian masyarakat internasional yaitu kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi.110 Sejarah
terbentuknya ICC tentunya tidak terlepas dari pengalaman pengadilan-pengadilan
sebelumnya yang memilki dampak signifikan terhadap pembentukan Mahkamah
Kejahatan Internasional. Tanpa adanya pengadilan ad hoc terdahulu, mungkin
negara-negara didunia tidak siap terhadap pembentukan pengadilan kriminal yang
permanen. Para pengadilan ad hoc terdahulu tersebut adalah International Military
110 Abreha Mesele Zinabu, “Jurisdiction of the International Criminal Court on Child Soldiers
: Promoting Impunity?”, Thesis : Addis Ababa University (2014), h.12, diakses pada 18 April 2019
dari
http://etd.aau.edu.et/bitstream/handle/123456789/17538/Abreha%20Mesele.pdf?sequence=1&isAllow
ed=y
36
Tribunal (IMT) di Nuremberg, International Military Tribunal for Far East (IMTFE)
di Tokyo, International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), dan
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).111
Melihat pengalaman dari terbentuknya pengadilan-pengadilan sebelumnya,
masyarakat internasional berkeinginan untuk membuat pengadilan yang permanen
yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penegakan hukum terhadap
kejahatan-kejahatan internasional112 dan adanya keinginan untuk menghentikan
impunitas bagi para pelaku kejahatan internasional.113 Keinginan tersebut terjawab
pada 17 Juli 1998 sebanyak 160 negara berkumpul dalam konferensi diplomatik di
Italia untuk menyepakati terbentuknya ICC melalui perjanjian yang disebut Statuta
Roma.114 Setelah diratifikasi oleh 60 negara, secara resmi Statuta Roma mulai berlaku
pada 1 Juli 2002.115
ICC tentunya memiliki perbedaan dengan pengadilan-pengadilan sebelumnya.
Meski International Criminal Court dan International Court of Justice berkedudukan
di Den Haag, Belanda keduanya tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. ICJ
merupakan salah satu organ utama PBB. ICJ dibentuk bersamaan dengan
dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945, Statutanya pun melekat
111 M. Cherif Bassiouni, The Statute of the International Criminal Court : A Documentary
History (New York : Transnational Publishers, 1998), h.5 112 Sefriani, “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998”, Jurnal
Hukum,Vol 14, No.2 (2007), h.317 113 Lihat “Rome Statue of International Criminal Court”,Preamble. 114 ICC, “Understanding International Criminal Court” Dokumen ICC, Dokumen ICC,
diakses pada 1 September 2017 dari https://www.icc-cpi.int/iccdocs/PIDS/publications/UICCEng.pdf 115 Christiane E. Philipp, “The International Criminal Court-A Brief Introduction”, Max
Planck Yearbook of United Nations Law, Vol.7 (2003), h.331.
37
pada Piagam PBB (The Charter of United Nations) dan anggarannya berdasarkan
anggaran PBB. Sedangkan, ICC merupakan independent institution, memiliki
struktur organisasi sendiri terlepas dari PBB demikian dengan anggaran
operasionalnya yang berdasarkan negara-negara anggotanya.116 Selain itu, ICJ
merupakan pengadilan untuk menangani perselisihan antar negara sedangkan ICC
pengadilan untuk menuntut individu.117 Pengadilan ad hoc seperti ICTY dan ICTR
memang serupa dengan ICC tetapi pengadilan tersebut hanya bersifat sementara dan
memiliki cangkupan geografis yang terbatas. Sedangkan, ICC merupakan pengadilan
yang bersifat permanen dan memiliki jangkauan yang global.118
Gambar III.1. Markas International Criminal Court di Hague Belanda119
116 Sefriani, “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998”, h.318 117 Amnesty International USA, “The International Criminal Court”, Dokumen Amnesty
International USA, diakses pada 18 April 2019 dari
https://www.amnestyusa.org/pdfs/IJA_Factsheet_1_International_Criminal_Court.pdf 118 Amnesty International USA, “The International Criminal Court”, 119 Andrew Novak, The Incternational Criminal Court : An Introduction (London : Springer
International Publishing, 2015), h.26.
38
Dibawah Statuta Roma, ICC tidak memiliki pasukan atau polisinya sendiri
untuk menangkap para pelaku kejahatan. Oleh karena itu, setiap Jaksa Penuntut
Umum mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk seorang terdakwa,
pengadilan harus bergantung pada kerjasama negara-negara anggotanya untuk
menangkap pelaku kejahatan internasional serta menyerahkannya ke Mahkamah di
Den Haag untuk diadili.120 Tanpa adanya kerjasama dari negara- negara anggotanya,
sulit bagi ICC untuk menjalankan fungsi dasarnya untuk mengadili para pelaku
kejahatan internasional.
Sampai awal tahun 2019, Statuta Roma telah diratifikasi oleh 122 negara121
dengan rincian 33 negara Afrika yang terdiri dari : Benin, Botswana, Burkina Faso,
Cabo Verde, Central African Republic, Chad, Comoros, Congo, Cote d’Ivoire,
Democratic Republic of the Congo, Djibouti, Gabon, Gambia, Ghana, Guinea,
Kenya, Lesotho, Liberia, Madagascar, Malawi, Mali, Mauritius, Namibia, Niger,
Nigeria, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, South Africa, Tunisia, Uganda, United
Republic of Tanzania, dan Zambia.122
Terdapat 18 negara Asia-Pasifik yang terdiri dari : Afghanistan, Bangladesh,
Cambodia, Cook Islands, Cyprus, Fiji, Japan, Jordan, Maldives, Marshall Islands,
120Tim McCormack, “The Contribution Of The International Criminal Court To Increasing
Respect For International Humanitarian Law”, The University of Tasmania Law Review, Vol 27 No 1
(2008), h.28 diakses pada 18 April 2019 dari
http://classic.austlii.edu.au/au/journals/UTasLawRw/2008/2.html 121 ICC, “The State Parties to the Rome Statue”, website ICC, diakses pada 18 April 2019,
dari https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/Pages/the%20states%20parties%20to%20the%20rome%20stat
ute.aspx 122 ICC, “African States”, website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/african%20states/Pages/african%20states.aspx
39
Mongolia, Nauru, Palestine, Republic of Korea, Samoa, Tajikistan, Timor-Leste, dan
Vanuatu.123 Selain itu, terdapat 18 negara Eropa Timur yang terdiri dari Albania,
Bosnia and Herzegovina, Bulgaria, Croatia, Czech Republic, Estonia, Georgia,
Hungary, Latvia, Lithuania, Montenegro, Poland, Republic of Moldova, Republic of
North Macedonia, Romania, Serbia, Slovakia, dan Slovenia.124
Gambar III.2. Negara-negara anggota (ICC)
Kemudian, terdapat 28 Negara dari Amerika Latin dan Karibia yang terdiri
dari Antigua dan Barbuda, Argentina, Barbados, Belize, Bolivia, Brazil, Chile,
Colombia, Costa Rica, Dominica, Dominican Republic, Ecuador, El Salvador,
Grenada, Guatemala, Guyana, Honduras, Mexico, Panama, Paraguay, Peru, Saint
123 ICC, “Asia-Pacific States”, website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/asian%20states/Pages/asian%20states.aspx 124 ICC, “Eastern European States”, website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari
https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/eastern%20european%20states/Pages/eastern%20european%20
states.aspx
40
Kitts and Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Suriname, Trinidad
and Tobago, Uruguay, dan Venezuela125 serta 25 negara Eropa Barat dan negara
lainnya yang terdiri dari Andorra, Australia, Austria, Belgium, Canada, Denmark,
Finland, France, Germany, Greece, Iceland, Ireland, Liechthenstein, Luxemburg,
Malta, Netherlands, New Zealand, Norway, Portugal, San Marino, Spain, Sweden,
Switzerland, dan United Kingdom.126
B. Yurisdiksi International Criminal Court
Sebelum membahas yurisdiksi International Criminal Court, penting untuk
mengetahui bagaimana status dan kewenangan hukum ICC sebagai sebuah Institusi.
Statuta ICC menyatakan bahwa “The Court shall have international legal
personality” [Pengadilan memiliki kepribadian hukum internasional] serta “The
Court shall also have such legal capacity as may be necessary for the exercise of its
functions and the fulfillment of its purposes” [Pengadilan juga memiliki kapasitas
hukum yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya dan memenuhi tujuannya].127
Artinya, ICC memiliki memiliki kepribadian hukum internasional untuk
menjalankan kapasitas hukum internasionalnya seperti mengajukan tuntutan hukum
dan melakukan tindakan hukum serta menimbulkan kewajiban hukum, sebagaimana
125 ICC, “Latin American and Caribbean States”, website ICC diakes pada 18 April 2019 dari
https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/latin%20american%20and%20caribbean%20states/Pages/latin
%20american%20and%20caribbean%20states.aspx 126 ICC, “Western European and Other States”, website ICC diakses pada 18 April 2019 dari
https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/western%20european%20and%20other%20states/Pages/wester
n%20european%20and%20other%20states.aspx 127 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 4 (1) dan (2).
41
diperlukan untuk menjalankan fungsinya dalam menyelidiki, menuntut dan
menghukum para pelaku kejahatan internasional.128 Mahkamah dapat menjalankan
fungsi dan kewenangannya di wilayah negara anggotanya serta diwilayah negara lain
melalui perjanjian khusus. Meski berkedudukan di Den Haag Belanda, ICC dapat
menyelenggarakan sidang-sidangnya di negara-negara lain sesuai dengan
kebutuhan.129
Berkaitan dengan yurisdiksi Mahkamah Kejahatan Internasional, terdapat
empat jenis yurisdiksi untuk memulai penuntutan yaitu Subject Matter Jurisdiction
(ratione materiae), Personal Jurisdiction (ratione personae), Territorial Jurisdiction
(rationae loci), dan Temporal Jurisdiction.130 Pertama, Subject Matter Jurisdiction
(rationae materiae) dimana ICC memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan internasional
yang dianggap sebagai kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat
internasional yang diatur dalam pasal 5-8 Statuta Roma. Kejahatan-kejahatan
internasional tersebut adalah kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan
kemanusiaan, dan kejahatan agresi.
Dibawah ini terdapat tabel penjelasan terkait 4 kejahatan internasional yang
masuk dalam yurisdiksi ICC.131
128 Kenneth S. Gallant, “ The International Criminal Court In The System of States and
International Organizations, Leiden Journal International Law, Vol.16 Issue 3(2003), h.3-4 129 Sefriani, “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998”, h.319 130 Andrew Novak, The Incternational Criminal Court : An Introduction (London : Springer
International Publishing, 2015), h.43. 131 Andrew Novak, The Incternational Criminal Court : An Introduction , h.48.
42
Tabel III.1. Daftar Kejahatan Yang Masuk Dalam Yurisdiksi ICC
Kedua, Personal Jurisdiction (ratione personae) merupakan yurisdiksi yang
dimiliki oleh ICC hanya untuk mengadili individu (natural person). Sebagaimana
yang dijelaskan pada Pasal 12 (2) (b) yang menyatakan bahwa pengadilan memiliki
yurisdiksi atas warga negara dari negara pihak yang terdakwa melakukan kejahatan
berdasarkan Statuta Roma.132 Pengadilan juga memiliki yurisdiksi terhadap warga
negara dari negara non-pihak dari Statuta Roma melalui keputusan Dewan Keamanan
PBB133, melalui deklarasi penerimaan yurisdiksi dari negara yang bersangkutan atau
132 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 12 (2) (b) 133 Dalam kasus Presiden Omar al-Bashir, ICC memiliki yurisdiksi atas Sudan yang
merupakan negara non-pihak dari ICC. Yurisdiksi Pengadilan diaktifkan melalui rujukan Dewan
Keamanan melalui resolusi 1593. Lihat Depo Akande, “The Legal Nature of Security Council
43
melakukan kejahatan diwilayah negara pihak dari ICC.134 Disisi lain, pengadilan
tidak memiliki yurisdiksi terhadap individu yang belum berumur 18 tahun yang diatur
didalam pasal 26 Statuta Roma.135
Ketiga, Territorial Jurisdiction (rationae loci) berarti ICC memiliki yurisdiksi
terhadap kejahatan yang diserahkan oleh negara anggotanya dimana wilayahnya
menjadi tempat dilakukannya kejahatan internasional. Selain itu, yurisdiksi
pengadilan juga berlaku di wilayah negara non-pihak jika negara tersebut mengakui
yurisdiksi pengadilan melalui deklarasi ad hoc. Keempat, Temporal Jurisdiction
(rationae temporis) memiliki arti bahwa ICC hanya memiliki yurisdiksi untuk
mengadili kejahatan yang dilakukan setelah Statuta Roma berlaku yaitu 1 Juli
2002.136 Jika suatu negara menjadi negara anggota ICC setelah Statuta Roma berlaku
maka pengadilan hanya memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan
setelah berlakunya Statuta Roma di negara tersebut.137 Kecuali, jika negara tersebut
melakukan deklarasi sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 12 (3) Statuta Roma.
Untuk penjelasan lebih lanjut lihat tabel jenis yurisdiksi ICC dibawah ini.
Referrals t the ICC and its Impact on Al Bashir’s Immunities”, Journal of International Criminal
Justice, Vol 7 Issue 2 (2009), h.335. 134 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 12 (2) (b) dan pasal 12 (3) 135 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 26. 136 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 11 (1) 137 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 11 (1)
44
Tabel 3.2. Batasan Yurisdiksi International Criminal Court
Karena ICC memiliki jangkauan yang luas serta harus selektif dalam memilih
kasus-kasus yang diselediki, maka yurisdiksinya tidak ditentukan sebelumnya atau
berjalan otomatis. Oleh karena itu untuk mengaktifkan yurisdiksi ICC, Statuta Roma
menjelaskan ada tiga “trigger mechanisms” untuk memicu yurisdiksi pengadilan
yaitu melalui state party referral, United Nations Security Referral dan Proprio Motu
Power sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 13 Statuta Roma. 138
Pertama, state party referral dimana yurisdiksi ICC dapat diaktifkan melalui
rujukan dari negara anggotanya (state party referral) untuk mengadili individu yang
merupakan warga negaranya atau kejahatan yang terjadi di wilayahnya.139 Beberapa
kasus dimana yurisdiksi ICC diaktifkan melalui cara ini terjadi di beberapa negara
seperti Uganda, Democratic Republic of Congo, Mali, Gabon, dan Central African
Republic.140
138 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 13 139 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 13 (a) 140 ABA-ICC, “How the ICC Works, Website ABA-ICC Project, diakses pada 18 April 2019
dari https://how-the-icc-works.aba-icc.org/
45
Kedua, melalui United Nations Security Referral dimana Dewan Keamanan
PBB menggunakan wewenangnya berdasarkan Bab VII Piagam PBB untuk merujuk
situasi dimana terjadi kejahatan internasional kepada Jaksa Penuntut ICC untuk
dilakukan penyelidikan lebih lanjut.141 Pada tahun 2005, untuk pertama kalinya DK
PBB menggunakan wewenangnya untuk merujuk situasi di Darfur ke ICC melalui
Resolusi 1593 DK PBB. Pada tahun 2011, DK PBB kembali menggunakan
wewenangnya dengan mengeluarkan Resolusi 1970 untuk merujuk situasi di Libya ke
Jaksa Penuntut ICC.142
Ketiga, melalui Proprio Motu Power yaitu kemampuan Jaksa Penuntut ICC
untuk memulai memulai preliminary examination terhadap kemungkinan kejahatan
yang mungkin telah telah terjadi di wilayah atau individu dari negara anggota dan di
wilayah atau individu dari negara non-pihak ICC.143 Sesuai dengan pasal 15 Statuta
Roma, Jaksa Penuntut harus mendapatkan persetujuan dari Majelis Pra-Peradilan
sebelum memulai investigasi atas mosinya sendiri.144
Jika Jaksa Penuntut menyimpulkan ada dasar yang kuat untuk melanjutkan
penyelidikan, maka Jaksa Penuntut harus mengajukan otorisasi penyelidikan serta
materi pendukung ke Majelis Pra-Peradilan.145 Materi pendukung juga dapat
diperoleh melalui presentasi dari korban kejahatan didepan Majelis Pra-Peradilan.
141 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 13 (a) 142Bethel Aregawi, “The Politicisation of the International Criminal Court by United Nations
Security Council Referrals”, Website Accord, 21 Juli 2017, diakses pada 18 April 2019 dari
https://www.accord.org.za/conflict-trends/politicisation-international-criminal-court-united-nations-
security-council-referrals/ 143 ABA-ICC, “How the ICC Works, Website ABA-ICC Project, 144 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 15 (3) 145 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 15 (3)
46
Sumber kasus-kasus yang akan diselidiki oleh Jaksa Penuntut Umum berasal dari
banyak pihak seperti PBB, Organisasi Antar Pemerintah, Organisasi Non-Pemerintah,
Kelompok-kelompok atau Individu.146 Selain itu, jika setelah melakukan preliminary
examination Jaksa Penuntut Umum tidak menemukan adanya dasar yang kuat untuk
melanjutkan penyelidikan, maka Jaksa Penuntut harus memberikan informasi kepada
pemohon yang telah memberikan informasi tentang adanya kejahatan tersebut.147
ICC memiliki ciri khas yaitu merupakan badan peradilan yang independen
dan yurisdiksinya yang bersifat complementary terhadap yurisdiksi nasional.148 Hal
ini berarti ketika pengadilan nasional enggan atau tidak mampu melakukan
penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan internasional, maka ICC dapat
menggantikan peran tersebut.149 Adanya prinsip ini didasarkan pada dua alasan yaitu,
untuk menghormati kedaulatan negara anggotanya dan ICC tidak dapat menangani
terlalu banyak kasus kejahatan untuk diselediki.150 Adanya prinsip complementary
membuat pengadilan menjadi pilihan terakhir. Pengadilan memiliki yurisdiksi jika
ada bukti bahwa otoritas nasional berusaha melindungi terdakwa yang telah
melakukan kejahatan internasional.
Perlu diketahui bahwa tidak semua kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi
pengadilan dapat diadili. Hal ini dikarenakan, suatu kasus kejahatan harus melalui
146 Andrew Novak, The Incternational Criminal Court : An Introduction , h.53. 147 Andrew Novak, The Incternational Criminal Court : An Introduction , h.53 148 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”,pasal 1 149 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”,pasal 17. 150 Anna Olsson, “The principle of complementarity of International Criminal Court and the
principle of universal jurisdiction”, Thesis : University of Lund (2003), h.24, diakses pada 18 April
2019, dari
http://lup.lub.lu.se/luur/download?func=downloadFile&recordOId=1560934&fileOId=1565473
47
tahapan dimana hakim Majelis Pra-Peradilan ICC harus mempertimbangkan apakah
kasus tersebut dapat diterima atau tidak (admissible).151 Tahapan ini disebut dengan
tahap penerimaan sebuah situasi oleh mahkamah atau dikenal dengan “admissibility”.
Tahapan ini membutuhkan dua komponen yaitu complementarity dan gravity.
Complementarity berarti mengutamakan penuntutan pengadilan nasional dan
penuntutan hanya dapat dilakukan jika negara yang bersangkutan enggan dan tidak
mampu melakukannya. Sedangkan gravity mensyaratkan bahwa kejahatan yang
dilakukan memiliki skala atau tingkatan yang cukup berat untuk dituntut dihadapan
mahkamah.152
Tahap Admissibility yang diuraikan di dalam Statuta Roma pasal 17, terdiri
dari dua komponen utama yaitu complementarity, yang diatur pada pasal 17 (1) (a)
sampai (c) dan gravity yang diatur oleh pasal 17 (1) (d), dimana suatu kasus tidak
dapat diterima (inadmissible) oleh ICC, bilamana :153
1. Kasus tersebut sedang diselidiki atau dituntut oleh negara yang
mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali negara tersebut
enggan atau benar-benar tidak mampu untuk melakukan
penyelidikan atau penuntutan.
2. Kasus tersebut telah diselidiki oleh negara yang memiliki
yurisdiksi atas kasus tersebut, kemudian memutuskan untuk tidak
menuntut orang yang bersangkutan, kecuali kalau keputusan
tersebut merupakan hasil dari ketidaksediaan atau
ketidakmampuan negara tersebut untuk benar-benar melakukan
penuntutan.
151 Andrew Novak, The International Criminal Court :An Introduction , h.54 152 Andrew Novak, The International Criminal Court :An Introduction , h.54 153 Marijana Konforta dan Maja Munivrana Vajda, “The Principle of Complementarity In The
Jurisprudence of the ICC”,Zagreb Law Review, Vol.3 No.1 (2014),h.12.
48
3. Orang yang bersangkutan telah diadili atas tindakan yang menjadi
pokok pengaduan itu dan suatu sidang oleh ICC tidak
diperkenankan berdasarkan pasal 20154 tentang ne bis in idem.155
4. Kasusnya tidak cukup berat untuk membenarkan tindakan lebih
lanjut oleh mahkamah.
C. Stuktur International Criminal Court
ICC sebagai pengadilan internasional yang bermarkas di Belanda, memiliki
struktur dan sistem yang diatur oleh Statuta Roma yang dijelaskan melalui gambar
dibawah ini :
Gambar 3.2. Struktur Statuta Roma156
Berdasarkan gambar di atas, sistem Statuta Roma terdiri dari tiga badan yang
terpisah yaitu Majelis Negara Anggota (ASP), Dana Perwalian untuk Korban (Trust
Fund for Victims), dan Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) yang terdiri dari
154 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”,pasal 20. 155 Ne bis in idem merupakan prinsip hukum yang melarang sesorang untuk tidak boleh
dituntut/diadili lebih dari satu kali atas kejahatan kriminal yang sama atau juga disebut aturan untuk
melawan hukuman ganda (double jeopardy). Lihat Gerard Conway,”Ne Bis in Idem in International
Law”, International Criminal Law Review, No.3 (2003),h.217, diakses pada 18 April 2019, dari
http://cj.md/uploads/Ne_Bis_in_Idem_in_International_Law.pdf 156 ICC, “How The Court Works”, website ICC diakses pada 18 April 2019, dari
https://www.icc-cpi.int/about/how-the-court-works
49
empat organ yaitu Kepresidenan, Divisi Yudisial, Kantor Jaksa (Office of The
Prosecutor) dan Kantor Administrasi (Registry).157 Majelis Negara Anggota
merupakan badan yang terdiri dari representatif negara anggota Statuta Roma untuk
mengadakan pertemuan dan memberikan pengawasan manajemen terhadap
pengadilan seperti pemilihan hakim, jaksa, dan menyutujui anggaran. Lalu, Dana
Perwalian untuk Korban (Trust Fund for Victims) bertugas untuk memberikan
bantuan, dukungan dan pemulihan kepada korban.158
Kemudian, ICC yang bertugas melaksanakan fungsi peradilan terdiri dari
empat organ utama yaitu Pertama, Kepresidenan bertugas untuk melakukan
hubungan eksternal dengan negara-negara, mengkoordinasikan masalah peradilan
seperti penugasan hakim, situasi dan kasus, serta mengawasi pekerjaan administratif
yang dilakukan oleh Registry. Kepresidenan terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden
pertama dan Wakil Presiden kedua yang semuanya dipilih melalui suara mayoritas
dari para Hakim ICC dengan masa jabatan tiga tahun yang dapat diperbaharui.159
Berdasarkan pasal 38 Statuta Roma, Hakim ICC memilih kandidat untuk mengisi
posisi Kepresidenan pada 11 Maret 2018 yang terdiri dari Hakim Chile Eboe-Osuji
dari Nigeria sebagai Presiden, Hakim Robert Fremr dari Republik Ceko sebagai
157 ICC, “How The Court Works”. 158 ICC, “How The Court Works”. 159 ABA-ICC, “Structure of The ICC”, Website ABA-ICC Project, diakses pada 18 April
2019 dari https://www.aba-icc.org/about-the-icc/structure-of-the-icc/
50
Wakil Presiden pertama, dan Hakim Marc Perrin de Brichambaut dari Perancis
sebagai Wakil Presiden kedua.160
Kedua, Divisi Yudisial yang terdiri dari 18 hakim untuk melakukan proses
peradilan yang dibagi menjadi tiga divisi yaitu Pra-peradilan, Peradilan dan Banding.
Para Hakim dipilih oleh Majelis Negara Pihak dan bertugas dengan masa jabatan
sembilan tahun dan tidak dapat diperbarui. Tugas Divisi Yudisial ini memastikan
persidangan yang adil dan mengeluarkan berbagai keputusan, mengeluarkan surat
perintah penangkapan dan pemanggilan para terdakwa, memberi wewenang para
korban untuk berpartisipasi, serta memerintah untuk memberikan perlindungan
terhadap saksi-saksi.161
Ketiga, Kantor Kejaksaan (Office of The Prosecutor) bertugas dalam
melakukan pemeriksaan pendahuluan, penyelidikan dan penuntutan. Seperti Divisi
Yudisial, Jaksa Penuntut dan Wakil Jaksa Penuntut dipilih oleh Majelis Negara Pihak
dengan masa jabatan sembilan tahun dan tidak dapat diperbarui. Kantor Kejaksaan
terdiri dari Divisi Yurisdiksi, Divisi Investigasi dan Divisi Penuntutan. Ketua Jaksa
Penuntut saat ini adalah Fatou Bensouda dari Gambia dan Wakilnya James Stewart
dari Kanada.162
160 ICC, “The Presidency”, Website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/about/presidency 161 ICC, “Judicial Divisions”, Website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/about/judicial-divisions 162 ICC, “ Office of the Prosecutor”, Website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/about/otp
51
Keempat, Kantor administratif (Registry) merupakan organ netral pengadilan
yang berfungsi memebrikan pelayanan terhadap organ lain sehingga ICC dapat
menjalankan fungsinya dengan efektif. Registry bertanggung jawab atas tiga kategori
pelayanan yaitu Juducial Support termasuk manajemen pengadilan, catatan
pengadilan, penerjemah dan interpretasi, dukungan penasihat, pusat penahanan,
bantuan hukum, dukungan untuk para korban, memastikan saksi menerima dukungan
dan perlindungan. Kedua, External Affairs seperti informasi publik dan Outreach,
dukungan korban dan saksi. Ketiga, Management termasuk keamanan, anggaran,
keuangan, sumber daya manusia, dan pelayanan umum.163
163 ICC, “Registry”, Website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/about/registry
52
BAB IV
ANALISA KEPUTUSAN BURUNDI KELUAR DARI
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT TAHUN 2016-2017
Pada bab IV ini membahas alasan Burundi keluar dari International Criminal
Court tahun 2016-2017. Alasan tersebut dipaparkan kedalam beberapa bagian.
Adapun beberapa alasan tersebut diantaranya kurangnya kredibilitas dari
International Criminal Court, upaya Burundi untuk menghindari proses penuntutan
oleh International Criminal Court, serta adanya dukungan Uni Afrika untuk keluar
dari ICC. Alasan-alasan tersebut kemudian dianalisa dan dipaparkan dengan
menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori kebijakan luar negeri yang
dijadikan sebagai alat analisa dalam penelitian ini guna mendapatkan jawaban yang
komprehensif.
A. Kurangnya Kredibilitas dari ICC
Setiap kebijakan luar negeri suatu negara tidak dapat terlepas dari kepentingan
nasional yang dimiliki oleh negara tersebut. Sebagaimana yang diutarakan oleh
Miriam F. Elman, untuk memahami kebijakan luar negeri kecil dapat dianalisa
dengan fokus pada efek dari sistem international.164 Hal itu disebabkan karena
perilaku negara kecil cenderung mencerminkan kendala ataupun ancaman yang
164 Miriam Fendius Elman, “ The Foreign Policies of Small States : Challenging Neorealism
in Its Own Backyard”, h.175
53
terjadi di lingkungan internasional165 serta kurangnya self-sufficiency untuk
mempertahankan dirinya terhadap Great Powers, sehingga negara-negara tersebut
akan fokus terhadap masalah survival.166
Keputusan yang diambil Burundi untuk keluar dari International Criminal
Court tentunya merupakan respon terhadap hal yang terjadi di level internasional
yang kemudian mempengaruhi proses pengambilan kebijakan luar negeri Burundi.
Salah satu alasan Burundi memutuskan untuk keluar dari ICC adalah kurangnya
kredibilitas dari ICC yang sebagian besar dipengaruhi oleh hubungannya dengan
PBB. Perlu ditegaskan kembali bahwa ICC merupakan institusi yang independen dan
hubungannya dengan PBB diatur dalam Relationsip Agreement.167 Selain itu, Statuta
roma juga mengatur hubungan kedua lembaga ini dengan mengakui peran yang
dimainkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan
melalui wewenangnya untuk melakukan referrals ataupun deferrals.168
Wewenang PBB untuk melakukan referrals tercantum didalam Pasal 13 (b)
dimana DK PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan yang diatur didalam Bab
VII piagam PBB, memiliki wewenang untuk mengaktifkan yurisdiksi ICC dengan
165 Miriam Fendius Elman, “ The Foreign Policies of Small States : Challenging Neorealism
in Its Own Backyard”, h.180 166 Miriam Fendius Elman, “ The Foreign Policies of Small States : Challenging Neorealism
in Its Own Backyard”, h 178 167 UN, “Negotiated Relationship Agreement Between The International Criminal Court and
The United Nations, Dokumen UN, diakses pada 25 April 2019 dari http://legal.un.org/ola/media/UN-
ICC_Cooperation/UN-ICC%20Relationship%20Agreement.pdf 168 Jullie Ingrid Luguli, “A Critical Examination of The Relationship Between The
International Criminal Court and the United nations Security Council, in the Light of Referrals and
Deferrals”, Thesis : University of Cape Town (2014), h.2 diakses pada 25 April 2019 dari
https://open.uct.ac.za/bitstream/handle/11427/12858/thesis_law_2014_lugulu_ji.pdf;sequence=1
54
merujuk situasi ke Jaksa Penuntut dimana telah dilakukan satu atau lebih kejahatan
internasional yang masuk dalam lingkup yurisdiksi ICC.169 Dapat dikatakan, melalui
pasal tersebut, DK PBB telah memperluas yurisdiksi pengadilan ke warga negara atau
wilayah suatu negara yang bukan merupakan anggota dari ICC.170 Sejauh ini, DK
PBB telah merujuk dua situasi ke pengadilan yang mengarah kepada dua
penyelidikan. Rujukan pertama terhadap situasi yang terjadi di Darfur pada Maret
2005 melalui resolusi 1593 dan pada tahun 2011, DK PBB juga merujuk situasi di
Libya melalui resolusi 1970 untuk diselediki lebih lanjut oleh Jaksa Penuntut ICC.171
Dalam praktiknya, wewenang DK PBB untuk merujuk situasi ke ICC
nyatanya tidak terlepas dari campur tangan politik negara-negara Great Powers yang
berisikan China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis sehingga
menpengaruhi kredibilitas dari ICC. Menurut pemerintah Afrika Selatan, “kredibilitas
ICC akan selalu dipertanyakan selama tiga dari lima negara anggota DK PBB ( Cina,
Rusia, Amerika Serikat) tidak menjadi anggota dari Statuta Roma”.172 Hal tersebut
disebabkan oleh status negara-negara tersebut yang bukan merupakan anggota ICC
serta veto-power yang dimilikinya.173
169 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 13 (b). 170 Amelia Couture, “The Politics of International Justice : the Security Council’s Impact on
the Independence, Effectiveness and Legitimacy of the International Criminal Court”, International
Human Rights Internship Working Paper Series, Vol.3 No2 (2015), h.11 diakses pada 25 April 2019
dari https://www.mcgill.ca/humanrights/files/humanrights/ihri_wps_v3n2-amelia_couture.pdf 171 Amelia Couture, “The Politics of International Justice : the Security Council’s Impact on
the Independence, Effectiveness and Legitimacy of the International Criminal Court, h.12. 172 Charles Chernor Jalloh dan Ilias Bantekas,The International Criminal Court and Africa
(New York : Oxford University Press, 2017), h.225 173 Charles Chernor Jalloh dan Ilias Bantekas,The International Criminal Court and Africa,
h.225
55
DK PBB dianggap selektif dalam memilih negara yang akan dirujuknya ke
ICC.174 Hal ini dapat dibuktikan dengan praktik referrals yang telah dilakukan oleh
DK PBB yang sejauh ini yang hanya melibatkan dua negara Afrika yaitu Sudan dan
Libya. DK PBB dianggap hanya fokus pada negara-negara Afrika dan mengabaikan
situasi yang sama ataupun lebih buruk yang terjadi di luar Afrika sehingga terlihat
diskriminatif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Leslie Vinjamuri, direktur Center for
the International Politics of Conflict, Right and Justice (CCRJ) bahwa “the most
horrific crime mass atrocities in recent years have taken place outside of Africa, and
the ICC simply not there”. [ kejahatan massal yang paling mengerikan telah terjadi
dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi di luar Afrika, dan ICC tidak ada
disana].175
Dapat dikatakan, situasi yang melibatkan kepentingan dari negara-negara DK
PBB atau sekutunya tidak akan dirujuk ke ICC. Ketiga negara DK PBB yang bukan
merupakan anggota dari ICC dapat menggunakan vetonya untuk menghindari
yurisdiksi ICC terhadap negaranya ataupun memblokir rujukan yang melibatkan
sekutunya.176 Seharusnya DK PBB dapat melakukan rujukan terhadap kasus
kejahatan berat yang juga terjadi diluar Afrika seperti di Iraq, Afghanistan, Palestina,
Syria, Ukraina, dan Myanmar dan berbagai kejahatan berat yang terjadi di luar Afrika
174 Amelia Couture, “The Politics of International Justice : the Security Council’s Impact on
the Independence, Effectiveness and Legitimacy of the International Criminal Court, h.15. 175 Adam Taylor, “ Why So many African Leaders Hate The International Criminal Court”,
Website Washingtonpost, 15 Juni 2015, diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2015/06/15/why-so-many-african-leaders-
hate-the-international-criminal-court/?utm_term=.2b383bf97443 176 Manisuli Ssenyonjo, “State Withdrawal Notifications From The Rome Statute of The
International Criminal Court : South Africa, Burundi, and The Gambia”, h.20
56
lainnya. Untuk menunjukan bahwa DK PBB selektif dalam merujuk situasi ke ICC
dapat dilihat dari beberapa contoh berikut ini.
Situasi yang terjadi di Afghanistan tidak dirujuk oleh DK PBB ke ICC,
padahal terdapat dasar yang kuat jika telah terjadi kejahatan yang masuk dalam
yurisdiksi mahkamah pada tahun 2003-2004 (berlanjut dalam beberapa kasus hingga
2014) khususnya kejahatan perang termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk yang
dilakukan oleh pasukan Amerika Serikat.177 Tentunya Amerika Serikat akan
menggunakan hak vetonya untuk mencegah ICC melakukan penyelidikan terhadap
kejahatan yang dilakukan oleh pasukan militernya. Sama halnya seperti AS, Inggris
juga akan menggunakan veto powernya terkait kejahatan yang dilakukan oleh
pasukan militernya di Irak pada tahun 2003.178
Pada kasus lain, ICC memiliki yurisdiksi terahadap kejahatan agresi. Namun,
dugaan kejahatan Rusia di Checnya, dominasi Cina di Tibet, dan intervensi militer
Perancis di Pantai Gading nampaknya tidak akan pernah dituntut di ICC yang
disebabkan oleh kekuatan politik yang dimiliki oleh DK PBB untuk menggunakan
vetonya jika situasi tersebut dirujuk ke ICC.179 Selain itu, seharusnya DK PBB
merujuk situasi di Suriah ke Jaksa Penuntut ICC untuk dilakukan penyelidikan.
Sayangnya, pada 22 Mei 2014 Rusia dan China telah memveto rancangan resolusi
177 ICC, “Report on Preliminary Examination Activities 2016”, Dokumen ICC (2016), h.44
diakses pada 25 April 2019 dari https://www.icc-cpi.int/iccdocs/otp/161114-otp-rep-PE_ENG.pdf 178 Tim Murthi, “ICC Must Maintain Its Credibility”, Website Mail & Guardian, 14 Februari
2014, diakses pada 25 April 2019 dari https://mg.co.za/article/2014-02-13-icc-must-maintain-its-
credibility 179 Tim Murthi, “ICC Must Maintain Its Credibility”,
57
PBB yang menyerukan agar situasi di Syria dirujuk ke ICC. Dengan veto power yang
dimilikinya, Rusia dan Cina telah mengabaikan 57 negara serta 13 negara Dewan
Keamanan yang mendukung resolusi tersebut.180
Sebagai respon terhadap veto Rusia dan Cina, Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-
moon menyebutkan bahwa “Syrian conflict an “extraordinarily brutal war” and
warned that the UN’s Credibility would suffer if was unable to help end it” [ “konflik
yang terjadi di Suriah merupakan “konflik yang brutal”, dan hal tersebut akan
mempengaruhi kredibilitas PBB jika tidak dapat membantu menyelesaikannya”.181
Tentunya veto yang dilakukan oleh Rusia dan Cina adalah untuk melindungi rezim
Bashar al-Assad dari investigasi ICC serta potensi penuntutan. Sebagai sekutu
terdekat, Rusia telah memberikan perlindungan diplomatik sepanjang krisis di Suriah.
Sementara itu, pada kasus ini posisi Cina seperti pada umumnya yaitu selaras dengan
Rusia.182 Hak Veto yang dimiliki oleh negara anggota DK PBB telah menghambat
DK PBB itu sendiri untuk melaksanakan tugas rujukannya ke Jaksa Penuntut ICC
denga cara yang adil dan efektif. 183
180 Ian Black,“Rusia and China Veto UN Move to Refer Syria to International Criminal
Court”, Website TheGuardian, 22 Mei 2014, diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.theguardian.com/world/2014/may/22/russia-china-veto-un-draft-resolution-refer-syria-
international-criminal-court 181 Ian Black,“Rusia and China Veto UN Move to Refer Syria to International Criminal
Court”, 182 “Russia and China Veto UN Bid to refer the Syrian Crisis to The ICC, Website DW, 22
Mei 2014, diakses pada 25 April 2019 dari https://www.dw.com/en/russia-and-china-veto-un-bid-to-
refer-the-syrian-crisis-to-the-icc/a-17654994 183 Manisuli Ssenyonjo, “State Withdrawal Notifications From The Rome Statute of The
International Criminal Court : South Africa, Burundi, and The Gambia”, h.16
58
Sebagai konsekuensinya, muncul persepsi bahwa ICC hanya fokus
menargetkan negara-negara di Afrika. Sampai pada akhir 2017, terdapat 10 situasi
yang sedang diinvestigasi oleh ICC dimana 9 situasi diantaranya merupakan negara-
negara di Afrika dan situasi di Georgia.184 Perlu diketahui, 6 dari 10 situasi yang
sedang diinvestigasi oleh ICC berasal dari rujukan yang dilakukan oleh pemerintah
dari masing-masing negara. Negara tersebut adalah Republik Afrika Tengah I dan II,
Pantai Gading, Mali, Republik Kongo, dan Uganda. 2 situasi lainnya yang dirujuk ke
ICC melalui DK PBB yaitu Sudan dan Libya serta 1 kasus di Kenya yang dibawa ke
pengadilan melalui inisiasi dari Jaksa Penuntut.185
Dari banyaknya sitausi yang sedang diinvestigasi oleh ICC yang hampir
seluruhnya adalah negara-negara Afrika telah membuat negara-negara Afrika,
termasuk Burundi menganggap bahwa ICC secara tidak fair telah menargetkan
negara-negara Afrika.186 Negara-negara Afrika merasa bahwa penuntutan yang
dilakukan oleh ICC terhadap negara-negara Afrika sebagai agenda politik dari
negara-negara Barat.187 Menteri Luar Negeri Burundi, Alain Nyamitwe menyatakan
kritiknya terhadap ICC “I believe that there are some other politically motivated
184 Yoal Verbruggen, “ Turbulent Year Tests International Criminal Court’s Credibility”,
Website International Bar Association, 23 Oktober 2017, diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.ibanet.org/Article/NewDetail.aspx?ArticleUid=D9D36120-BE66-47E2-AAC5-
CA7C11535741 185 “The International Criminal Court”, Dokumen Legal Assistance Centre (2016), h.3 diakses
pada 25 April 2019 dari http://www.lac.org.na/news/inthenews/pdf/ICC_Questions_and_Answers.pdf 186 Jeron Maklanron,” South Africa’s Disappointment With the International Criminal Court:
The Unfair Treatment of Africa People Caused and End to Cooperation, The Journal of Pan African
Studies, Vol.9 No.7 (2016), h. 92 187 Jeron Maklanron,” South Africa’s Disappointment With the International Criminal Court:
The Unfair Treatment of Africa People Caused and End to Cooperation,h.92
59
reasons which have pushed the ICC to act on African cases. How many times have
you heard about ICC investigating crimes in Iraq? How many times have you heard
the ICC investigating crimes in Afghanistan?[Saya yakin ada alasan bermotif politik
lainnya yang mendorong ICC untuk menindak kasus-kasus di Afrika. Berapa kali
anda mendengar ICC menginvestigasi kejahatan di Iraq? Berapa kali anda mendengar
ICC menginvestigasi kejahatan di Afghanistan?”]188
Uni Afrika juga mengkritik ICC melalui Mr.Tedros, Ketua Dewan Ekskutif
Uni Afrika yang menyebutkan bahwa “Far from promoting justice and
reconciliation... the court has transformed itself into a political instrument targeting
Africa and Africans. This unfair and unjust treatment is totally unacceptable”. [
“Jauh dari mempromosikan keadilan dan rekonsiliasi.. pengadilan telah merubah
dirinya menjadi instrument politik yang menargetkan negara-negara Afrika dan
orang-orang Afriika. Ini merupakan perilaku yang tidak adil dan tidak dapat
diterima”.189
Selain itu Uni Afrika menganggap bahwa ICC juga menargetkan para
pemimpin di Afrika 190 yang dimulai dari Presiden Omar al Bashir pada tahun
2009191, Presiden Libya Muammar Gaddafi pada tahun 2011192, Presiden Kenya
188 “Burundi Officially Informs UN of Intent to Leave ICC”,Website VOA, 27 Oktober 2016,
diakses pada 10 April 2016 dari https://www.voanews.com/a/burundi-icc-withdrawal/3568311.htm 189 “African Union” Condemns ‘Unfair’ ICC”, Website BBC, 11 Oktober 2013, diakses pada
25 April 2019 dari https://www.bbc.com/news/world-africa-24489059 190 “ICC Accused of ‘Exclusively’ Targeting Africans”, Website Mail & Guardian, 20 April
2011, diakses pada 25 April 2019 dari https://mg.co.za/article/2011-04-20-icc-accused-of-exclusively-
targeting-africans 191 Irene Wanjiru Maina, “ A Critical Analysis of The International Criminal Court and
Africa”, Thesis : University of Nairobi (2014), h. 52
60
Uhuru Kenyatta serta Wiliam Ruto pada tahun 2013.193 Kritik Uni Afrika terhadap
ICC bukan berdasarkan pada banyaknya negara-negara Afrika yang telah ataupun
sedang diinvestigasi oleh pengadilan, tetapi lebih kepada mengapa hingga saat ini
ICC lebih banyak mengadili negara-negara di Afrika yang nyatanya telah terjadi
kejahatan internasional yang lebih buruk di luar Afrika. Bagaimanapun, diskriminasi
yang dilakukan oleh DK PBB untuk tidak merujuk situasi diluar Afrika atas dasar
kewarganegaraan telah merusak kredibilitas ICC sebagai lembaga yang independen.
Selain itu, kredibilitas ICC juga dipengaruhi oleh Preliminary Examination
yang dilakukan oleh pengadilan. Perlu diketahui bahwa Preliminary Examination
atau pemeriksaan pendahuluan bukan merupakan investigasi dan tidak secara
otomatis akan membawanya ke tahap investigasi. Preliminary Examination
merupakan sebuah proses yag dilakukan oleh Jaksa Penuntut ICC untuk memeriksa
informasi yang diberikan kepadanya oleh individu, kelompok atau negara anggota
untuk menentukan apakah ada dasar yang kuat untuk melanjutkan kasus tersebut ke
tahap investigasi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Statuta Roma.194
Saat ini ICC telah melakukan Preliminary Examination terhadap beberapa
situasi di luar Afrika seperti di Iraq, Afghanistan, Kolombia, Palestina, Ukraina dan
192 Irene Wanjiru Maina, “ A Critical Analysis of The International Criminal Court and
Africa”, h.66 193 Irene Wanjiru Maina, “ A Critical Analysis of The International Criminal Court and
Africa”, h.62 194 ICC, “Ukraine”, Website ICC, diakses pada 25 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/ukraine
61
Myanmar.195 Meski hal tersebut menandakan keinginan Jaksa Penuntut untuk
menyelidiki situasi yang berada di luar Afrika, hingga saat ini belum ada satu pun
dari situasi yang ditindaklanjuti oleh Jaksa Penuntut ICC untuk dilakukan tahap
investigasi .
Terkait dengan Preliminary Examination yang dilakukan oleh ICC, dalam
pidatonya didepan Assembly of States, Menteri Hubungan Luar Negeri Afrika
Selatan, Maite Nkoana-Mashabane secara terbuka mempertanyakan
ketidakberpihakan ICC :196
“We ask ourselves, as have many, why no investigations have been opened in
Afghanistan, Iraq and Palestine after long periods of preliminary analysis,
notwithstanding clear evidence of violations. Is it because those investigations
have the potential to implicate the ‘great powers’?[Kami bertanya kepada diri
kita sendiri, seperti kebanyakan orang, mengapa tidak ada investigasi yang
dibuka di Afghanistan, Irak dan Palestina setelah periode panjang
pemeriksaan pendahuluan, terlepas dari bukti adanya pelanggaran yang jelas.
Apakah karena investigasi tersebut melibatkan “kekuatan besar?”]
Dari pernyataan Menteri Hubungan Luar Negeri Afrika Selatan Maite Nkiana-
Mashabane diatas dengan jelas mempertanyakan kredibilitas ICC sebagai
independent institution serta menegaskan kelanjutan dari proses preliminary
examination yang telah dilakukan oleh ICC untuk segera dilanjutkan ketahap
investigasi terhadap ketiga negara tersebut. Proses preliminary examination di Iraq
195 ICC, “Preliminary Examination”, Website ICC, diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/pages/pe.aspx 196 van der Merwe, International Criminal Justice in Africa Issues, Challenge, and Prospect
(Nairobi : Strathmore University Press, 2016), h.2 diakses pada 25 April 2016 dari
http://www.press.strathmore.edu/uploads/journals/strathmore-african-law/International-Criminal-
Justice-in-Africa_PREPRESS_14032016.pdf
62
dimulai pada tahun 2006 dan dibuka kembali pada tahun 2014197, di Afghanistan
dimulai pada tahun 2007198, dan Palestina pada tahun 2014.199
Proses preliminary examination terhadap situasi yang melibatkan negara-
negara besar (negara DK PBB) ataupun yang melibatkan sekutunya seperti di Iraq,
Afghanistan, dan Palestina nampaknya akan sulit untuk dilanjutkan ketahap
investigasi mengingat kurangnya komitmen terhadap batas waktu maksimum untuk
durasi preliminary examination yang mengakibatkan proses pemerikasaan terhambat
dan tertunda dengan alasan yang tidak jelas.200
B. Upaya Burundi untuk Menghindari Proses Penuntutan oleh ICC
Pada April 2015, terjadi krisis politik di Burundi yang disebabkan oleh
Presiden Nkurunziza yang mengumumkan bahwa dirinya akan mencalonkan diri
untuk masa jabatan ketiga dalam pemilihan umum tahun 2015.201 Presiden
Nkurunziza telah menjabat sejak tahun 2005.202 Menurut pihak oposisi, pencalonanya
sebagai kandidat presiden untuk masa jabatan yang ketiga dianggap tidak memenuhi
syarat karena sebelumnya Presiden Nkurunziza telah menjalani dua masa jabatan
197 ICC, “Iraq”, Website ICC, diakses pada 27 April 2019 dari https://www.icc-cpi.int/iraq 198 ICC, “Afghanistan” Website ICC, diakses pada 27 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/afghanistan 199 ICC, “Palestine”, Website ICC, diakses pada 27 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/palestine 200 Manisuli Ssenyonjo, “African States failed Withdrawal From the Rome Statute of the
International Criminal Court : From Withdrawal Notifications to Constructive Engagement”, h.773. 201 Juho Takkunen, “Local Conseptualisations of Violence and Dialogue in Burundi’s Post-
Electoral Crisis, Thesis : University of Tampere (2017), h. 2 diakses pada 27 April 2019 dari
https://tampub.uta.fi/bitstream/handle/10024/101713/GRADU-1499329511.pdf?sequence=1 202 Juho Takkunen, “Local Conseptualisations of Violence and Dialogue in Burundi’s Post-
Electoral Crisis, h.2
63
sebagaimana batasan yang diatur dalam konstitusi Burundi pada tahun 2005 dan
Arusha Agreement 2000.203
Disisi lain, menurut Presiden Nkurunziza dan pendukungnya menganggap
bahwa pencalonanya sebagai presiden adalah sah. Mereka berpendapat bahwa masa
jabatan Presiden Nkurunziza yang pertama seharusnya tidak dihitung karena dirinya
dipilih melalui parlemen transisi pada tahun 2005 dan terhitung baru menjabat satu
masa jabatan.204 Pada Mei 2015, Mahkamah Konstitusi Burundi memutuskan bahwa
Presiden Nkurunziza dapat mencalonkan dirinya untuk masa jabatan yang ketiga
tanpa melanggar konstitusi.205 Akibat kontroversi tersebutlah yang memicu terjadinya
krisis di Burundi.
Sebagian besar protes terjadi di Ibu Kota Burundi di Bujumbura dan
kemudian terjadi di kota lain.206 Gagalnya upaya kudeta pada Mei 2015 semakin
memperburuk situasi207 dan pemerintah merespon dengan melakukan beberapa
operasi yang mengarah pada kejahatan kemanusiaan seperti pembunuhan,
pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, dan kekerasan seksual lainnya, serta kasus
203 Kasaija Philip Apuuli, “The Arusha Peace and Reconciliation Agreement (2000) and the
Current Political Crisis in Burundi”, Insight on Africa, Vol 10 Issue 1 (2017), h.55 204 Astrid jamar, “ Escalating Conflict in Burundi : The Challenges of Overcoming
radicalisation, Briefing paper, Vol.10 (2016), h.1 diakses pada 27 April 2019 dari
https://blogs.sps.ed.ac.uk/politicalsettlements/files/2017/09/2016_BP_10_Jamar_Conflict-in-
Burundi.pdf 205 Miah Phelan Sweeney, “Political Crisis and Conflict in Burundi, Website Stand, 5
November 2018, diakses pada 27 April 2019 dari https://www.stand.ie/political-crisis-and-conflict-in-
burundi/ 206 HRW, “ICC : New Burundi Investigation 2-Year Bloody Crackdown on Political
Opposition”, Website HRW, 9 November 2017, diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.hrw.org/news/2017/11/09/icc-new-burundi-investigation 207 Astrid jamar, “ Escalating Conflict in Burundi : The Challenges of Overcoming
radicalisation, h.1
64
penghilangan paksa dan tindakan penganiayaan.208 Selain itu pemerintah Burundi
juga memblokir sebagian besar stasiun radio independen. Hampir semua pemimpin
partai oposisi Burundi, jurnalis independen, dan aktivis telah meninggalkan negara
tersebut setelah menerima ancaman berulang kali.209
Pada April 2016, tercatat lebih dari 400 orang telah terbunuh. Lebih dari
220.000 pengungsi telah melarikan diri ke negara tetangga sepertu Rwanda,
Tanzania, dan Republik Demokratik Kongo. Selain itu, Banyak juga yang masih tetap
tinggal di negaranya karena pengalaman buruk sebelumnya selama menjadi
pengungsi. Mereka lebih memilih untuk menjadi Internally Displaced Persons
(IDPs) atau pengungsi internal sampai krisis tersebut mereda khususnya di ibukota
Bujumbura.210
Hampir terjadi impunitas total atas kejahatan yang terjadi di Burundi.
Lemahnya sistem peradilan menyebabkan sedikitnya pasukan keamanan ataupun
pejabat negara yang diadili atas perbuatanya seperti pembunuhan, penyiksaan
ataupun pelanggaran lainnya.211 Pada 25 April 2016, Jaksa penuntut ICC akhirnya
membuka preliminary examination atau pemeriksaan pendahuluan terhadap situasi di
208 Manisuli Ssenyonjo, “African States failed Withdrawal From the Rome Statute of the
International Criminal Court : From Withdrawal Notifications to Constructive Engagement”, h.755 209 HRW, “Burundi’s Human Right Crisis : Materials Published by Human Right Watch April
2015 to Juli 2016, Dokumen HRW (2016), h.1 diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.hrw.org/sites/default/files/supporting_resources/burundi_compendium_2016_web_versio
n_4.pdf 210 Chloe Hogg, “The Burundi Crisis”, Website Impakter, 26 April 2016, diakses pada 27
April 2017 dari https://impakter.com/the-burundi-crisis/ 211 HRW, “Burundi’s Human Right Crisis : Materials Published by Human Right Watch April
2015 to Juli 2016, h.1
65
Burundi sejak April 2015.212 Pemeriksaan awal bertujuan untuk menentukan apakah
ada dasar yang kuat untuk dilakukannya investigasi dengan mempertimbangkan
kriteria yang ditetapkan oleh Statuta Roma. Hasil pemeriksaan awal menyebutkan
setidaknya 430 orang dilaporkan tewas, 3.400 orang ditangkap dan lebih dari 230.000
warga Burundi terpaksa mengungsi ke negara tetangga. Pemeriksaan awal ini fokus
kepada tindakan kejahatan pembunuhan, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan dan
bentuk kekerasan seksual lainnya, serta kasus penghilangan paksa yang terjadi di
Burundi sejak April 2015.213
Selain itu, juga ada pemeriksaan yang dilakukan oleh United Nation Human
Right Council atau Dewan HAM PBB dengan membentuk United Nation
Independent Investigation on Burundi (UNIIB) pada 17 Desember 2015 melalui
resolusi Dewan Hak Asasi Manusia No. S-24/1.214 Menurut hasil investigasi yang
dilakukan oleh UNIIB selama sembilan bulan, Pemerintah Burundi dituduh telah
melakukan pelanggaran HAM atas tuduhan penyiksaan dan pembunuhan terhadap
oposisi pemerintah.215
Menurut Jaksa Penuntut ICC, jika setelah pemeriksaan pendahuluan ada dasar
yang kuat untuk melanjutkan ke tahap investigasi, maka Jaksa Penuntut akan
212 ICC, “Burundi”, Website ICC, diakses pada 27 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/burundi 213 ICC, “Burundi”, 214 UNHRC, “United Nation Independent Investigation on Burundi”, Website UNHRC,
diakses pada 27 April 2019 dari https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/UNIIB/Pages/UNIIB.aspx 215 Jason Burke, “UN Report Accuses Burundi Government of Human Rights Abuses”,
Website The Guardian, 21 September 2016, diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.theguardian.com/world/2016/sep/21/un-report-accuses-burundi-government-human-
rights-abuses
66
meminta Majelis Pra-Peradilan untuk meminta otorisasi penyelidikan bersama
dengan bahan pendukung yang telah dikumpulkan. Sesuai dengan Pasal 15 Statuta
Roma, Majelis Pra-Peradilan dapat memberikan otorisasi ataupun menolak
permintaan investigasi.216 Oleh karena itu, sebelum Jaksa Penuntut melanjutkan
proses preliminary examination ke tahap investigasi, serta adanya investigasi
independen yang dilakukan oleh UNIIB maka Pemerintah Burundi memutuskan
untuk keluar dari ICC.
Keputusan tersebut diambil untuk menghindari potensi penuntutan yang
mungkin dilakukan oleh ICC terhadap pejabat pemerintahan khususnya Presiden
Burundi. Dikhawatirkan kasus yang terjadi di Sudan akan terulang terhadap Burundi
dimana Presiden Omar al-Bashir beserta pejabat pemerintah lainnya menjadi buronan
ICC. Selain itu, krisis politik yang terjadi saat ini telah memicu terjadinya krisis
ekonomi dan semakin memperburuk perekonomian Burundi. Sebagaimana yang
diutarakan oleh Waltz bahwa negara akan memaksimalkan security karena survival
merupakan tujuan akhir dari kepentingan nasional negara.217 Oleh sebab itu,
keputusan Burundi untuk keluar dari ICC pada tahun 2016 merupakan momen yang
tepat untuk menghindari potensi krisis yang lebih buruk apabila ICC melakukan
proses penuntutan yang melibatkan pejabat pemerintah Burundi. Keputusan tersebut
merupakan bentuk self-help yang dilakukan oleh Burundi guna menjaga kestabilan
negara dari krisis politik yang sedang terjadi.
216 Lihat “Rome Statute of International Criminal Court”, pasal 15 (3) (4) dan (5) 217 Munafrizal Manan, “Foreign Policy and National Interest : Realism and Its
Critiques”,h.178
67
C. Adanya Dukungan Uni Afrika untuk Keluar dari ICC
Dalam sejarah pembentukan ICC, Uni Afrika memiliki peran penting dimana
saat itu Organization of African Unity sangat mendukung pembentukan ICC. Pada
tahun 1998, Dewan Menteri OAU mendesak 53 negaranya untuk berpartisipasi dalam
konferensi Roma dalam pembentukan ICC. Selain itu Majelis OAU pada Juli 2000
meminta negara-negaranya untuk keamanan wilayah Afrika.218 Namun, sejak awal
tahun 2008 Uni Afrika mulai kritis terhadap penuntutan ICC yang dianggap hanya
berfokus kepada negara-negara di Afrika dan para pemimpin di Afrika dengan
mengabaikan kejahatan berat yang terjadi di luar Afrika.219 Persepsi tersebut
didukung dengan fakta, sejak tahun 2002 sebagian besar kasus yang diselidiki serta
para pejabat pemerintahan yang telah dituntut ataupun dipanggil untuk hadir
dihadapan ICC berasal dari Afrika.220 Selain itu, pada tahun 2016, ICC baru
membuka investigasi di Georgia yang merupakan negara diluar Afrika pertama
setelah hampir 14 tahun.221
218 Eki Yemisi Omorogbe, “The African Union and the International Criminal Court : What to
Do With Non-Party Heads of State?”, University of Leicester School of Law Research Paper No.17-09
(2017), h.4 219 Philomena Apiko dan Faten Aggad, “The International Criminal Court, Africa and the
African Union: What way forward?”,h.9 220 Bernard Khanyisani Nhlangulela, “An Examination of the Relationship Between the
African Union (AU) and the International Criminal Court (ICC) : The Cases of Kenya, Sudan,
Rwandadan Liberia”, Thesis : University of Kwazulu-Natal (2015), h.7, diakses pada 27 April 2019
dari
https://researchspace.ukzn.ac.za/bitstream/handle/10413/14313/Nhlangulela_Bernard_Khanyisani_201
5.pdf?sequence=1&isAllowed=y 221 Souher Edelbi, “The Framing of The African Union In International Criminal Law : A
Racialized Logic”, Website Voelkerrechtsblog, 21 Februari 2018, diakses pada 27 April 2019 dari
https://voelkerrechtsblog.org/the-framing-of-the-african-union-in-international-criminal-law-a-
racialized-logic/
68
Dalam serangkaian keputusan dari 2008-2016, Uni Afrika melalui
keputusannya mengkritik ICC terkait penuntutannnya yang banyak melibatkan
negara-negara di Afrika.222 Seperti keputusan Uni Afrika pada tahun 2009 yang
menegaskan bahwa negara-negara Uni Afrika tidak akan bekerjasama dengan ICC
terkait surat perintah penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar al Bashir.223 Selain
itu, pada tahun 2013 Uni Afrika mengeluarkan resolusi terkait penuntutan terhadap
tiga pemimpin di Afrika yaitu Presiden Sudan Omar al Bashir, Presiden Muammar
Gadaffi, dan Presiden Uhuru Kenyatta yang menyatakan ICC tidak dapat menuntut
Kepala Negara atau pejabat pemerintah negara anggota Uni Afrika selama masa
jabatannya aktif.
Akhirnya, pada awal tahun 2017 Uni Afrika mencoba untuk mendorong
negara-negara Afrika untuk keluar dari keanggotannya di ICC melalui sebuah
resolusi yang diambil pada African Union Summit di Addis Ababa yang disebut “ICC
Withdrawal Strategy”.224 Resolusi tersebut bersifat tidak mengikat dan merupakan
dukungan bagi negara-negara Uni Afrika yang ingin keluar dari ICC.225 Pada 27
Oktober 2016, Burundi menyampaikan pemberintahuan tertulis kepada Sekretaris
222 Philomena Apiko dan Faten Aggad, “The International Criminal Court, Africa and the
African Union: What way forward?”, European Centre for Development Policy Management,
Discussion Paper No. 201 (2016), h.1 diakses pada 3 April 2019 dari https://ecdpm.org/wp-
content/uploads/DP201-ICC-Africa-AU-Apiko-Aggad-November-2016.pdf 223 Dire Tladi, “The African Union and the International Criminal Court : The Battle for the
Soul of International Law : Africa and the International Criminal Court”, South African Yearbook of
International Law, Vol.34 Issue 1 (2009),h.57 diakses pada 27 April 2019 dari
http://sites.uci.edu/internationaljustice/files/2012/11/Tladi-AU-and-ICC.pdf 224 Anita Powell, “Quietly, AU Encourages Withdrawal From International Criminal Court”,
Website VOA, 1 Februari 2017, diakses pada 27 April 2019 dari https://www.voanews.com/a/quietly-
au-encourages-withdrawal-from-international-criminal-court/3701428.html 225 Anita Powell, “Quietly, AU Encourages Withdrawal From International Criminal Court”,
Website VOA,
69
Jenderal PBB Ban Ki-Moon untuk memulai proses satu tahun penarikan diri dari
keanggotaannya di ICC.226 Selama satu tahun proses penarikan dirinya, Burundi
masih memiliki kesempatan untuk membatalkan keputusannya untuk keluar dari ICC
seperti halnya yang dilakukan oleh Afrika Selatan dan Gambia. Afrika Selatan
memutuskan untuk membatalkan keinginannya keluar dari ICC pada 7 Maret 2017227
dan Gambia pada 10 Februari 2017228 sebelum satu tahun proses penarikan diri
keanggotaannya di ICC efektif.
Menurut Waltz “States are largely concerned with relative rather than absolute
gains. In the anarchy of international politics, “relative gain is more important than
absolute gain” [“Negara lebih mementingkan keuntungan relatif dari pada absolut.
Dalam anarki politik internasional, “keuntungan relatif lebih penting dari pada
keuntungan absolut.”]229 Waltz juga menegaskan bahwa negara biasanya akan
memilih kebijakan sesuai dengan keadaan atau situasi mereka dan bertindak dengan
hati-hati untuk tidak membahayakan keberadaan mereka sendiri.230 Berdasarkan
penjelasan tersebut, tentunya Burundi akan mengambil keputusan yang lebih
menguntungkan untuk negaranya terkait keanggotaannya di ICC.
226 Abdurrahman Alfa Shaban, “ICC Exit : Burundi Officialy Writes to UN Chief Ban Ki-
Moon”, Website AfricaNews, 27 Oktober 2016, diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.africanews.com/2016/10/27/icc-exit-burundi-officially-writes-to-un-chief-ban-ki-moon/ 227 Hanibal Goitom, “South Africa : Notice of Withdrawal From the Rome Statute Revoked”,
Website Library of Congress, 10 Maret 2017, diakses pada 3 April dari
http://www.loc.gov/law/foreign-news/article/south-africa-notice-of-withdrawal-from-the-rome-statute-
revoked/ 228 Refworld, “World Report 2018-Gambia”, website Refworld, 18 Januari 2018, diakses pada
3 April 2019 dari https://www.refworld.org/docid/5a61ee73a.html 229 Robert Powell, Absolute and Relative Gains in International Relations Theory”, The
American Political Science Review, Vol.85 No.4 (1991), h.1303 diakses pada 27 April 2019 dari
http://www.ir.rochelleterman.com/sites/default/files/Powell%201991.pdf 230 Kenneth Waltz, Theory of International Politics, h.134
70
Jika Burundi memutuskan untuk membatalkan proses penarikan
keanggotaannya dan tetap menjadi anggota ICC, maka keputusan tersebut dinilai
kurang tepat dan lebih merugikan posisi Burundi. Hal itu berdasarkan penjelasan
sebelumnya yang telah menunjukan kurangnya kredibilitas dari ICC yang telah
selektif dalam melakukan penuntutan sehingga merugikan negara-negara di Afrika,
termasuk Burundi. Setelah itu, adanya proses preliminary examination yang telah
dilakukan oleh Jaksa Penuntut ICC terhadap krisis politik yang terjadi pada tahun
2015 yang berpotensi dilakukannya investigasi untuk menuntut state officials dari
Burundi. Selain itu, Burundi juga tidak memiliki peran yang signifikan selama
menjadi anggota ICC, peran Burundi hanya ada di Assembly of States yang tidak
terlalu penting dibandingkan dengan posisi lain seperti Jaksa, Hakim, ataupun
Kepresidenan.
Oleh karena itu, Keputusan Burundi untuk keluar dari ICC adalah pilihan
yang tepat dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan Burundi tetap menjadi
negara anggota ICC. Adanya dukungan dari Uni Afrika bagi negara anggotanya yang
ingin keluar dari ICC semakin meyakinkan Burundi pada keputusannya untuk keluar
dari pengadilan.
71
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori
kebijakan luar negeri, penulis berkesimpulan bahwa alasan bahwa alasan Burundi
untuk keluar dari ICC disebabkan oleh tiga alasan. Pertama adalah kurangnya
kredibilitas dari ICC. Kedua adalah upaya Burundi untuk menghindari proses
penuntutan oleh ICC. Ketiga adalah adanya dukungan Uni Afrika untuk keluar dari
ICC.
Pada alasan yang pertama, kurangnya kredibilitas dari ICC yang sebagian
besar dipengaruhi oleh hubungannya dengan DK PBB. Statuta Roma mengakui peran
DK PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan melalui wewenangnya untuk
melakukan referral atau rujukan untuk merujuk merujuk situasi ke Jaksa Penuntut
dimana telah dilakukan satu atau lebih kejahatan internasional yang masuk dalam
lingkup yurisdiksi ICC baik yang terjadi di negara anggota ataupun non-anggota dari
ICC. Namun dalam praktiknya, wewenang DK PBB dalam melakukan referrals tidak
terlepas dari kepentingan politik. DK PBB selektif dalam melakukan rujukan karena
mengabaikan situasi kejahatan yang terjadi diluar Afrika. Selain itu, DK PBB
menggunakan veto powernya untuk menghindari yurisdiksi ICC serta untuk
memblokir rujukan yang melibatkan sekutunya. Hubungan ICC dengan DK PBB
72
telah merusak kredibilitas ICC sebagai institusi yang independen dan terlihat
diskriminatif dalam melakukan penuntutan.
Kredibilitas ICC juga dipengaruhi oleh Preliminary Examination yang
dilakukan oleh Jaksa Penuntut ICC terhadap beberapa kasus yang terjadi diluar
Afrika yang dianggap terlalu lama karena tidak adanya batas waktu maksimum untuk
durasi Preliminary Examination dan kasus-kasus tersebut tidak ditindaklanjuti untuk
dilakukannya proses investigasi. Alasan yang kedua, Keluarnya Burundi dari ICC
adalah untuk menghindari proses penuntutan yang mungkin melibatkan pejabat
negaranya atas krisis politik yang terjadi pada tahun 2015. Keputusan tersebut
diambil juga untuk menghindari potensi krisis yang lebih buruk apabila ICC
melakukan proses penuntutan yang melibatkan pejabat pemerintah Burundi. Untuk
alasan ketiga, adanya dukungan dari Uni Afrika untuk mendukung anggotanya untuk
keluar dari ICC melalui ICC Withdrawal Strategy semakin meyakinkan Burundi
dalam mengambil keputusan keluar dari ICC.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bassiouni, M. Cherif. The Statute of the International Criminal Court : A
Documentary History. New York : Transnational Publishers, 1998.
Creswell, John W. Research Design, Qualitative, Quantitative Approaches
(terjemahan). Jakarta : KIK Press, 2002.
Holsti, K.J. International Politics : A Framework for Analysis, 6th ed. New Jersey
: Prenctice Hall, Inc, 1992.
Jalloh, Charles Chernor dan Bantekas, Ilias. The International Criminal Court and
Africa. New York : Oxford University Press, 2017.
Kielsgard, Mark D. Reluctant Engagement : US Ploicy and the International
Criminal Court. Boston : Martinus Nijhoff Publisher, 2010.
Merwe, van der. International Criminal Justice in Africa Issues, Challenge, and
Prospect. Nairobi : Strathmore University Press, 2016. Diakses pada 25
April 2016 dari
http://www.press.strathmore.edu/uploads/journals/strathmore-african-
law/International-Criminal-Justice-in-Africa_PREPRESS_14032016.pdf
Novak, Andrew. The Incternational Criminal Court : An Introduction. London :
Springer International Publishing, 2015.
Perwita, Agung Banyu dan Yani, Yanyan Mochamad. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Plessis, Max du. The International Criminal Court that Africa Wants. Pretoria :
Institute for Security Studies,2010.
Schabas,William A. An Introduction to the International Criminal Court. New
York: Cambridge University Press, 2011.
Sefriyani. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers, 2014.
Waltz, Kenneth. Theory of International Politics. Addison : Wesley Publishing
Company, 1979.
xiv
Waltz, Kenneth. Theory of International Politics. New York : Waveland Press,
McGraw-Hill, 1979.
Jurnal & Paper
Akande, Depo. “The Legal Nature of Security Council Referrals the ICC and its
Impact on Al Bashir’s Immunities”. Journal of International Criminal
Justice. Vol 7 Issue 2, 2009.
Apiko, Philomena dan Aggad, Faten. “The International Criminal Court, Africa
and the African Union: What way forward?”. European Centre for
Development Policy Management, Discussion Paper No. 201, 2016
diakses pada 3 April 2019 dari https://ecdpm.org/wp-
content/uploads/DP201-ICC-Africa-AU-Apiko-Aggad-November-
2016.pdf
Apuuli, Kasaija Philip. “The Arusha Peace and Reconciliation Agreement (2000)
and the Current Political Crisis in Burundi”. Insight on Africa. Vol 10
Issue 1, 2017.
Baldwin, David A. “The Concept of Security”. Review of International Studies.
Vol.23, 1997.
Conway, Gerard. “Ne Bis in Idem in International Law”, International Criminal
Law Review, No.3, 2003. Diakses pada 18 April 2019, dari
http://cj.md/uploads/Ne_Bis_in_Idem_in_International_Law.pdf
Couture, Amelia. “The Politics of International Justice : the Security Council’s
Impact on the Independence, Effectiveness and Legitimacy of the
International Criminal Court”. International Human Rights Internship
Working Paper Series. Vol.3 No2, 2015. Diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.mcgill.ca/humanrights/files/humanrights/ihri_wps_v3n2-
amelia_couture.pdf
Elman, Miriam Fendius. The Foreign Policies of Small States : Challenging
Neorealism in Its Own Backyard. British Journal of Political Science.
Vol.25 No.2. 1995.
Gallant, Kenneth S. “The International Criminal Court In The System of States
and International Organizations”. Leiden Journal International Law,
Vol.16 Issue 3, 2003.
Jaafar, Jamie. “Reconciling Realism and Constructivism : An Analysis of
National Interest and International Institutions”. Bulletin of the centre for
East-West Cultural and Economic Studies. Vol.12, No.2, 2017.
xv
Jamar, Astrid. “Escalating Conflict in Burundi : The Challenges of Overcoming
Radicalisation”. Briefing paper. Vol.10, 2016. Diakses pada 27 April
2019 dari
https://blogs.sps.ed.ac.uk/politicalsettlements/files/2017/09/2016_BP_1
0_Jamar_Conflict-in-Burundi.pdf
Konforta, Marijana dan Vajda, Maja Munivrana. “The Principle of
Complementarity In The Jurisprudence of the ICC”. Zagreb Law Review.
Vol.3 No.1, 2014.
Maged, Adel. “Withdrawal of Referrals-A Serious Challenge to the Function of
the ICC”. International Criminal Law Review, Vol 6 Issue 3, 2006.
Maklanron, Jeron. “South Africa’s Disappointment With the International
Criminal Court: The Unfair Treatment of Africa People Caused and End
to Cooperation”. The Journal of Pan African Studies, Vol.9 No.7, 2016.
Muller, Narnia Bohler dan Zongwe, Dunia Prince. “It is Self-Defeating for Africa
(and South Africa) to Withdraw From the International Criminal Court”.
Namibia Law Journal, Vol.9 No.11, 2017.
Omorogbe, Eki Yemisi. “The African Union and the International Criminal Court
: What to Do With Non-Party Heads of State”. University of Leicester
School of Law Research Paper No.17-09, 2017.
Pauwelyn, Joost dan Hamilton, Rebecca J. “Exit From International Tribunals”.
Journal of International Dispute Settlement. Vol.9 Issue4, 2018 diakses
pada 5 April 2019 dari
https://www.researchgate.net/publication/328468164_Exit_from_Internat
ional_Tribunals
Philipp, Christiane E. “The International Criminal Court-A Brief Introduction”.
Max Planck Yearbook of United Nations Law, Vol.7, 2003.
Powell, Robert. “Absolute and Relative Gains in International Relations Theory”.
The American Political Science Review. Vol.85 No.4, 1991. Diakses
pada 27 April 2019 dari
http://www.ir.rochelleterman.com/sites/default/files/Powell%201991.pdf
Sefriani. “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998”.
Jurnal Hukum. Vol 14. No.2, 2007.
Ssenyonjo, Manisuli. “African States failed Withdrawal From the Rome Statute of
the International Criminal Court : From Withdrawal Notifications to
Constructive Engagement”. International Criminal Law Review, Vol.17
Issue 5,2017.
xvi
Ssenyonjo, Manisuli. “ State Withdrawal Notifications From The Rome Statute of
The International Criminal Court : South Africa, Burundi, and The
Gambia”. Criminal Law Forum. Vol.29 Issue 1, 2017 diakses pada 5
April 2019 dari
https://bura.brunel.ac.uk/bitstream/2438/14738/1/Fulltext.pdf
Swanepoel, CF. “Is a Permanent African Criminal Court Likely Soon Considering
the Continent’s Post-Colonial Respone to International Criminal
Justice?”. Speculum Juris, Vol.30. Issue 1, 2016, diakses pada 3 April
2019 dari http://www.saflii.org/za/journals/SPECJU/2016/5.pdf
Tladi, Dire. “The African Union and the International Criminal Court : The Battle
for the Soul of International Law : Africa and the International Criminal
Court”. South African Yearbook of International Law. Vol.34 Issue 1,
2009. Diakses pada 27 April 2019 dari
http://sites.uci.edu/internationaljustice/files/2012/11/Tladi-AU-and-
ICC.pdf
Williams, Sarah dan Sherif, Lena. “The Arrest Warrant for President Al-Bashir :
Immunities of Incumbent Heads of State and the International Criminal
Court”. Journal of Conflict & Security Law, Vol.14 No.1, 2009.
Tesis
Luguli, Jullie Ingrid. A Critical Examination of The Relationship Between The
International Criminal Court and the United nations Security Council, in
the Light of Referrals and Deferrals. Thesis : University of Cape Town,
2014. Diakses pada 25 April 2019 dari
https://open.uct.ac.za/bitstream/handle/11427/12858/thesis_law_2014_lu
gulu_ji.pdf;sequence=1
Maina, Irene Wanjiru. A Critical Analysis of The International Criminal Court
and Africa. Thesis : University of Nairobi, 2014.
Nhlangulela, Bernard Khanyisani. An Examination of the Relationship Between
the African Union (AU) and the International Criminal Court (ICC) :
The Cases of Kenya, Sudan, Rwandadan Liberia. Thesis : University of
Kwazulu-Natal, 2015. Diakses pada 27 April 2019 dari
https://researchspace.ukzn.ac.za/bitstream/handle/10413/14313/Nhlangul
ela_Bernard_Khanyisani_2015.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Olsson, Anna. The principle of complementarity of International Criminal Court
and the principle of universal jurisdiction. Thesis : University of Lund,
2003. Diakses pada 18 April 2019, dari
http://lup.lub.lu.se/luur/download?func=downloadFile&recordOId=1560
934&fileOId=1565473
xvii
Takkunen, Juho. Local Conseptualisations of Violence and Dialogue in Burundi’s
Post-Electoral Crisis. Thesis : University of Tampere, 2017. Diakses
pada 27 April 2019 dari
https://tampub.uta.fi/bitstream/handle/10024/101713/GRADU-
1499329511.pdf?sequence=1
Wulandari, Dinar. Keputusan Afrika Selatan Menarik Diri Dari Keanggotaan
International Criminal Court (ICC). Skripsi : Universitas Jember, 2017
diakses pada 5 April 2019 dari
https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/81300
Zinabu, Abreha Mesele. Jurisdiction of the International Criminal Court on Child
Soldiers : Promoting Impunity?. Thesis : Addis Ababa University, 2014.
Diakses pada 18 April 2019 dari
http://etd.aau.edu.et/bitstream/handle/123456789/17538/Abreha%20Mes
ele.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Zoe, Frederique Renee. Withdrawal From the Rome Statute by the Republic of
South Africa : Filling the Gaps. Thesis : Tilburg University,2018.
Report, Artikel Online, dll
Amnesty International USA. The International Criminal Court. Dokumen
Amnesty International USA. Diakses pada 18 April 2019 dari
https://www.amnestyusa.org/pdfs/IJA_Factsheet_1_International_Crimin
al_Court.pdf
Country Watch. Burundi-2016 Country Review. Dokumen Country Watch, 2016.
Diakses pada 9 April 2019 dari
http://www.countrywatch.com/Content/pdfs/reviews/B35Q954M.01c.pdf
CICC. Africa and the International Criminal Court. Dokumen Coalition for ICC.
diakses pada 3 April 2019 dari
http://www.iccnow.org/documents/Africa_and_the_ICC.pdf
_____. Burundi and the International Criminal Court. Dokumen Coalition for
International Criminal Court, 2017. Diakses pada 9 April 2019 dari
http://www.coalitionfortheicc.org/sites/default/files/cicc_documents/ciccf
actsheet_burundi_icc.pdf
Global Words. Global Words, Country Profile Burundi. Dokumen Global Words,
2009. Diakses pada 9 April 2019, dari
http://www.globalwords.edu.au/units/Sustainability_UPY6_html/docume
nts/Burundi.pdf
xviii
HRW. Burundi’s Human Right Crisis : Materials Published by Human Right
Watch April 2015 to Juli 2016. Dokumen HRW, 2016. Diakses pada 27
April 2019 dari
https://www.hrw.org/sites/default/files/supporting_resources/burundi_co
mpendium_2016_web_version_4.pdf
ICC. Understanding International Criminal Court. Dokumen ICC. Diakses pada 1
September 2017 dari https://www.icc-
cpi.int/iccdocs/PIDS/publications/UICCEng.pdf
_____. Rome Statute of International Criminal Court. Dokumen ICC, 1998.
Diakses pada 3 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/nr/rdonlyres/add16852-aee9-4757-abe7-
9cdc7cf02886/283503/romestatuteng1.pdf
_____. Membership In The Rome Statute – Why and How. Dokumen ICC, 2017.
Diakses pada 10 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/itemsDocuments/pr1331_lft.pdf
_____. Report on Preliminary Examination Activities 2016. Dokumen ICC, 2016.
Diakses pada 25 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/iccdocs/otp/161114-otp-rep-PE_ENG.pdf
LAC. The International Criminal Court. Dokumen Legal Assistance Centre,
2016. Diakses pada 25 April 2019 dari
http://www.lac.org.na/news/inthenews/pdf/ICC_Questions_and_Answers
PBB. Convention On The Prevention and Punishment of the Crime of Genoside.
Dokumen PBB. 1948. diakses pada 5 April, 2019 dari
https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%2078/volume-78-i-
1021-english.pdf
PBB. Vienna Convention on the Law of Treaties. Dokumen PBB, 2005. Diakses
pada 10 April 2019 dari
http://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/1_1_1969.pd
f
Refworld. Operational Guidance Note-Burundi. Dokumen Refworld, 2007.
Diakses pada 9 April 2019 dari
https://www.refworld.org/pdfid/460255512.pdf
UK Border Agency. Country of Origin Information key Doucments : Burundi.
Dokumen Refworld, 2008. Diakses pada 9 April 2019 dari
https://www.refworld.org/pdfid/4b2b77d22.pdf
xix
UN. Negotiated Relationship Agreement Between The International Criminal
Court and The United Nations. Dokumen UN. Diakses pada 25 April
2019 dari http://legal.un.org/ola/media/UN-ICC_Cooperation/UN-
ICC%20Relationship%20Agreement.pdf
UNGL. Burundi Country Profile. Dokumen United Nations Great Lake, 2018,
diakses pada 9 April 2019 dari
https://ungreatlakes.unmissions.org/sites/default/files/310808_burundi_pr
ofile.pdf
UNHCR. Burundi Situation 2017. Dokumen UNHCR, 2017. Diakses pada 9 April
2019 dari https://www.unhcr.org/59244aa77.pdf
World Bank Group. Republic of Burundi Adressing Fragility And Demographic
Challenges To Reduces Poverty And Boost Sustainable Growth.
Dokumen World Bank, 2018 Diakses pada 9 April 2019, dari
http://documents.worldbank.org/curated/en/655671529960055982/pdf/B
urundi-SCD-final-06212018.pdf
Website
ABA-ICC. Structure of The ICC. Website ABA-ICC Project. Diakses pada 10
April 2019 dari https://www.aba-icc.org/about-the-icc/structure-of-the-
icc/
_____. How the ICC Works. Website ABA-ICC Project. Diakses pada 18 April
2019 dari https://how-the-icc-works.aba-icc.org/
_____. Structure of The ICC. Website ABA-ICC Project. Diakses pada 18 April
2019 dari https://www.aba-icc.org/about-the-icc/structure-of-the-icc/
Aljazeera. Burundi First to Leave International Criminal Court. Website
Aljazeera. 27 Oktober 2017. Diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.aljazeera.com/news/2017/10/burundi-leave-international-
criminal-court-171027080533712.html
Aregawi, Bethel. The Politicisation of the International Criminal Court by United
Nations Security Council Referrals. Website Accord. 21 Juli 2017.
Diakses pada 18 April 2019 dari https://www.accord.org.za/conflict-
trends/politicisation-international-criminal-court-united-nations-security-
council-referrals/
AtrocitiesWatch. The 1972 and 1993 Burundi Genocides. Website Atrocities
Watch Africa. Diakses pada 9 April 2019 dari
http://atrocitieswatch.org/the-1972-and-1993-burundi-genocides/
xx
BBC. Burundi leaves International Criminal Court Amid Row. Website ICC. 27
Oktober 2017. Diakses pada 3 April 2019 dari
https://www.bbc.com/news/world-africa-41775951
_____. Burundi Profile Timeline. Website BBC. 3 Desember 2018. Diakses pada
9 April 2019 dari https://www.bbc.co.uk/news/world-africa-13087604
______. African Union Condemns ‘Unfair’ ICC. Website BBC. 11 Oktober
2013. Diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.bbc.com/news/world-africa-24489059
______. Philipines Officially Out of the International Criminal Court. Website
BBC. 18 Maret 2019. Diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.aljazeera.com/news/2019/03/philippines-officially-
international-criminal-court-190317171005619.html
Black , Ian. Rusia and China Veto UN Move to Refer Syria to International
Criminal Court. Website TheGuardian. 22 Mei 2014. Diakses pada 25
April 2019 dari
https://www.theguardian.com/world/2014/may/22/russia-china-veto-un-
draft-resolution-refer-syria-international-criminal-court
Burke, Jason .UN Report Accuses Burundi Government of Human Rights Abuses.
Website The Guardian. 21 September 2016. Diakses pada 27 April 2019
dari https://www.theguardian.com/world/2016/sep/21/un-report-accuses-
burundi-government-human-rights-abuses
CICC. Burundi and The ICC. Website Coalition for the International Criminal
Court. Diakses pada 3 April 2019 dari
http://www.coalitionfortheicc.org/latest/resources/burundi-and-icc
DW. Russia and China Veto UN Bid to refer the Syrian Crisis to The ICC.
Website DW. 22 Mei 2014. Diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.dw.com/en/russia-and-china-veto-un-bid-to-refer-the-syrian-
crisis-to-the-icc/a-17654994
Edelbi, Souher. The Framing of The African Union In International Criminal Law
: A Racialized Logic. Website Voelkerrechtsblog. 21 Februari 2018.
Diakses pada 27 April 2019 dari https://voelkerrechtsblog.org/the-
framing-of-the-african-union-in-international-criminal-law-a-racialized-
logic/
Goitom, Hanibal. South Africa : Notice of Withdrawal From the Rome Statute
Revoked. Website Library of Congress. 10 Maret 2017. Diakses pada 3
April dari http://www.loc.gov/law/foreign-news/article/south-africa-
notice-of-withdrawal-from-the-rome-statute-revoked/
xxi
HRW, Burundi : ICC Withdrawal Major Loss to Victims. Website HRW. 27
Oktober 2016. Diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.hrw.org/news/2016/10/27/burundi-icc-withdrawal-major-
loss-victims
______. ICC : New Burundi Investigation 2-Year Bloody Crackdown on Political
Opposition. Website HRW. 9 November 2017. Diakses pada 27 April
2019 dari https://www.hrw.org/news/2017/11/09/icc-new-burundi-
investigation
Hogg, Chloe. The Burundi Crisis. Website Impakter. 26 April 2016. Diakses pada
27 April 2019 dari https://impakter.com/the-burundi-crisis/
ICC. The State Parties to the Rome Statue. website ICC. Diakses pada 3 April
2019 dari https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/Pages/the%20states%20parties%2
0to%20the%20rome%20statute.aspx
_____. Assembly of States Parties. Website ICC. Diakses pada 10 April 2019, dari
https://www.icc-cpi.int/asp
_____. ASP President welcomes the revocation of South Africa’s Withdrawal
from the Rome Statute”. Website ICC. Diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/Pages/item.aspx?name=pr1285
_____. Statement of the President of the Assembly of States Parties on the Process
of Withdrawal From the Rome Statute by Burundi. Website ICC. 18
Oktober 2016. Diakses pada 10 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/Pages/item.aspx?name=pr1244
_____. African States. Website ICC. Diakses pada 18 April 2019 dari
https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/african%20states/Pages/african%
20states.aspx
_____. Asia-Pacific States. Website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari
https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/asian%20states/Pages/asian%20st
ates.aspx
_____. Eastern European States. Website ICC, diakses pada 18 April 2019 dari
https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/eastern%20european%20states/Pa
ges/eastern%20european%20states.aspx
_____. Latin American and Caribbean States. Website ICC. Diakes pada 18 April
2019 dari https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/latin%20american%20and%20car
xxii
ibbean%20states/Pages/latin%20american%20and%20caribbean%20stat
es.aspx
_____. Western European and Other States. Website ICC. Diakses pada 18 April
2019 dari https://asp.icc-
cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/western%20european%20and%20
other%20states/Pages/western%20european%20and%20other%20states.a
spx
_____. How The Court Works. Website ICC. Diakses pada 18 April 2019. Dari
https://www.icc-cpi.int/about/how-the-court-works
_____. The Presidency. Website ICC. Diakses pada 18 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/about/presidency
_____. Judicial Divisions. Website ICC. Diakses pada 18 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/about/judicial-divisions
_____. Office of the Prosecutor. Website ICC. Diakses pada 18 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/about/otp
_____. Registry. Website ICC. Diakses pada 18 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/about/registry
_____. Ukraine. Website ICC, diakses pada 25 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/ukraine
_____. Preliminary Examination. Website ICC. Diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/pages/pe.aspx
_____. Iraq. Website ICC. Diakses pada 27 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/iraq
_____. Afghanistan. Website ICC. diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/afghanistan
_____. Palestine. Website ICC. Diakses pada 27 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/palestine
_____. Burundi. Website ICC. Diakses pada 27 April 2019 dari https://www.icc-
cpi.int/burundi
_____. ASP President welcomes the revocation of South Africa’s Withdrawal
from the Rome Statute. Website ICC. Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.icc-cpi.int/Pages/item.aspx?name=pr1285
Makokha, Kwamchetsi. Claims of ICC Bias and Double Standards At ASP
Annual Meeting. Website The East African. 28 November 2016. Diakses
xxiii
pada 10 April 2019 dari
https://www.theeastafrican.co.ke/news/ea/Claims-of-ICC-bias-and-
double-standards-at-ASP-annual-meeting/4552908-3467836-
k3151nz/index.html
MacSwan, Angus. Burundi leader signs decree to quit the International Criminal
Court. Website Reuters. 19 Oktober 2016. Diakses pada 10 April 2019
dari https://www.reuters.com/article/us-burundi-icc/burundi-leader-signs-
decree-to-quit-the-international-criminal-court-idUSKCN12I2EP
Murthi, Tim. ICC Must Maintain Its Credibility. Website Mail & Guardian. 14
Februari 2014. Diakses pada 25 April 2019 dari
https://mg.co.za/article/2014-02-13-icc-must-maintain-its-credibility
M&G. ICC Accused of ‘Exclusively’ Targeting Africans. Website Mail &
Guardian. 20 April 2011. Diakses pada 25 April 2019 dari
https://mg.co.za/article/2011-04-20-icc-accused-of-exclusively-targeting-
africans
One World Nations. Burundi. Website One World Nations Online. Diakses pada 9
April 2019, dari https://www.nationsonline.org/oneworld/burundi.htm
PBB. Secretary-General Welcomes the Gambia’s Decision to Rescind Its
Withdrawal from Rome Statute of International Criminal Court. Website
UN. 16 Februari 2017. Diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.un.org/press/en/2017/sgsm18443.doc.htm
_____. Secretary-General Welcomes the Gambia’s Decision to Rescind Its
Withdrawal from Rome Statute of International Criminal Court. Website
UN. 16 Februari 2017. Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.un.org/press/en/2017/sgsm18443.doc.htm
Powell, Anita. Quietly, AU Encourages Withdrawal From International Criminal
Court. Website VOA. 1 Februari 2017. Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.voanews.com/a/quietly-au-encourages-withdrawal-from-
international-criminal-court/3701428.html
Refworld. World Report 2018-Gambia. Website Refworld. 18 Januari 2018.
Diakses pada 3 April 2019 dari
https://www.refworld.org/docid/5a61ee73a.html
Shaban, Abdurrahman Alfa. ICC Exit : Burundi Officialy Writes to UN Chief Ban
Ki-Moon. Website AfricaNews. 27 Oktober 2016. Diakses pada 27 April
2019 dari https://www.africanews.com/2016/10/27/icc-exit-burundi-
officially-writes-to-un-chief-ban-ki-moon/
xxiv
Sweeney, Miah Phelan. Political Crisis and Conflict in Burundi. Website Stand. 5
November 2018. Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.stand.ie/political-crisis-and-conflict-in-burundi/
Taylor, Adam. Why So many African Leaders Hate The International Criminal
Court. Website Washingtonpost. 15 Juni 2015. Diakses pada 25 April
2019 dari
https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2015/06/15/why-
so-many-african-leaders-hate-the-international-criminal-
court/?utm_term=.2b383bf97443
The Economist. The International Criminal Court- Exit South Africa. Website the
Economist. 27 Oktober 2016. Diakses pada 3 April 2019 dari
https://www.economist.com/middle-east-and-africa/2016/10/27/exit-
south-africa
The Guardian. Burundi becomes first nation to leave international Criminal
Court. Website The Guardian. 28 Oktober 2017. Diakses pada 10 April
2019 dari https://www.theguardian.com/law/2017/oct/28/burundi-
becomes-first-nation-to-leave-international-criminal-court
Thomson, Stephanie. Burundi Is On The Brink- A Crisi Explained. Website World
Economic Forum. 9 Februari 2016. Diakses pada 9 April 2019 dari
https://www.weforum.org/agenda/2016/02/burundi-is-on-the-brink-a-
crisis-explained-dc4113d4-af48-4f63-b6b8-6a8c42acb78b/
Verbruggen, Yoal. Turbulent Year Tests International Criminal Court’s
Credibility. Website International Bar Association. 23 Oktober 2017.
Diakses pada 25 April 2019 dari
https://www.ibanet.org/Article/NewDetail.aspx?ArticleUid=D9D36120-
BE66-47E2-AAC5-CA7C11535741
VOA. 3 Negara Keluar Mahkamah Kejahatan Internasional Raih Dukungan.
Website VOA. 1 November 2016. Diakses pada 3 April 2019 dari
https://www.voaindonesia.com/a/tiga-negara-keluar-mahkamah-
kejahatan-internasional/3574136.html
_____. Burundi Officially Informs UN of Intent to Leave ICC. Website VOA. 27
Oktober 2016. Diakses pada 10 April 2016 dari
https://www.voanews.com/a/burundi-icc-withdrawal/3568311.htm
_____. Majelis Rendah Burundi Pilih Tinggalkan ICC. Website VOA. 12 Oktober
2016. Diakses pada 10 April 2019 dari
https://www.voaindonesia.com/a/majelis-rendah-burundi-tinggalkan-
icc/3547436.html
xxv
UNHRC.United Nation Independent Investigation on Burundi. Website UNHRC.
Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/UNIIB/Pages/UNIIB.aspx
xxvi
LAMPIRAN
xxvii
xxviii
xxix
xxx
xxxi
xxxii
xxxiii
xxxiv
xxxv
xxxvi
xxxvii
xxxviii
xxxix
xl
xli
xlii
xliii
xliv
xlv