Kepuasan Kerja (Edit)

26
Kepuasan Kerja Disusun oleh: Kelompok 2 Fransisca M. D. S. Wihardjo 2011-034-010 Winarni 2011-034-015 Ria Kurniati 2011-034-018 Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

Transcript of Kepuasan Kerja (Edit)

Page 1: Kepuasan Kerja (Edit)

Kepuasan Kerja

Disusun oleh:

Kelompok 2

Fransisca M. D. S. Wihardjo 2011-034-010

Winarni 2011-034-015

Ria Kurniati 2011-034-018

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Jakarta

2012

Page 2: Kepuasan Kerja (Edit)

Daftar Isi

I. Pengertian dan Model Kausal Kepuasan Kerja..................................................................2

II. Beberapa Kajian Teori...........................................................................................................5

1. Discrepancy theories / teori kesenjangan...........................................................................5

2. Two-Factor Theory / Teori dua faktor................................................................................5

3. Equity Theory / Teori Keadilan..........................................................................................6

4. Facet Satisfaction Theory / Teori Kepuasan Bidang..........................................................7

5. Opponent Process Theory / Teori Proces Berlawanan.......................................................8

6. Individual Difference Theory / Teori Perbedaan Individu.................................................9

III. Faktor-Faktor Penentu Kepuasan Kerja...............................................................................9

1. Ciri-ciri intrinsik pekerjaan................................................................................................9

2. Gaji, imbalan, atau penghasilan yang dirasakan adil / equittable reward.........................10

3. Perlakuan atasan langsung / penyeliaan...........................................................................10

4. Rekan sejawat yang menunjang.......................................................................................10

5. Kondisi kerja yang menunjang.........................................................................................11

IV. Pengukuran Kepuasan Kerja..............................................................................................11

1. Face Scale.........................................................................................................................11

2. Job Descriptive Index (JDI)..............................................................................................12

3. Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ)..................................................................12

4. Job in General (JIG) Scale...............................................................................................13

5. Job Satisfaction Survey (JSS)...........................................................................................13

6. Nagy Job Satisfaction Scale.............................................................................................13

V. Dampak dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja..............................................................14

1. Dampak terhadap produktivitas........................................................................................14

1

Page 3: Kepuasan Kerja (Edit)

2. Dampak terhadap ketidakhadiran (absen) dan keluarnya tenaga kerja (turnover)...........15

3. Dampak terhadap kesehatan.............................................................................................16

Daftar Pustaka..........................................................................................................................17

2

Page 4: Kepuasan Kerja (Edit)

I. Pengertian dan Model Kausal Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja didefinisikan oleh Locke (dalam Siegel & Lane, 1982; Jex, 2002)

sebagai tingkat perasaan positif seorang pekerja terhadap situasi kerjanya dinilai dari sejauh

mana pekerjaan tersebut membantu pencapaian nilai-nilai yang dianggap penting bagi pekerja

tersebut, dimana nilai-nilai tersebut selaras atau membantu pemenuhan kebutuhan dasar

seseorang. Selain aspek perasaan, Jex (2002) menyatakan bahwa definisi ini dapat dijabarkan

ke dalam dua komponen tambahan, yaitu komponen kognitif dan perilaku / behavioral.

Aspek kognitif merupakan gambaran atau penilaian pekerja terhadap situasi kerjanya,

contohnya: membosankan, menantang, penuh tekanan, dll. Sementara aspek perilaku

menunjukan kecenderungan tindakan seorang pekerja terhadap pekerjaannya. Fishbein

(dalam Jex, 2002) mengambil kesimpulan bahwa komponen perilaku tidaklah seinformatif

komponen afektif dan kognitif, karena perilaku sesorang tidak selalu selaras dengan sikapnya

yang terbentuk dari aspek afektif dan kognitif.

Howell dan Dipboye (dalam Munandar, 2001) memandang kepuasan kerja seabgai

hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai

aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan sikap tenaga kerja

terhadap pekerjaannya. Dari definisi Howell dan Dipboye ini terbentuklah tiga model

hubungan kausal antara sikap kerja / kepuasan kerja dan motivasi kerja terhadap unjuk kerja.

3

Page 5: Kepuasan Kerja (Edit)

Gambar 1.1 Beberapa Model Hubungan Kausal antara Motivasi Kerja, Unjuk-kerja, dan

Sikap Kerja (Howell & Dipboye dalam Munandar, 2001)

Pada Model A, kondisi kerja mempengaruhi sikap tenaga kerja terhadap pekerjaan

dan organisasi, dan sikap ini mempengaruhi secara langsung besarnya motivasi kerja dan

upaya untuk melakukan pekerjaan. Berdasarkan model A, manajemen perlu untuk

menciptakan kondisi kerja yang menimbulkan sikap kerja positif dalam diri pekerja terhadap

pekerjaannya sehingga pekerja tersebut termotivasi untuk bekerja keras dan menghasilkan

unjuk kerja yang efektif.

Menurut model B, sikap kerja merupakan akibat dari kondisi kerja, motivasi kerja,

dan unjuk kerja. Menurut model ini tenaga kerja yang bekerja keras dan berhasil akan merasa

bangga terhadap hasil kerja mereka sehingga mengembangkan sikap yang positif terhadap

pekerjaan dan organisasi tempat mereka bernaung. Artinya, manajemen tidak perlu

memperhatikan kepuasan kerja secara langsung, sebaliknya manajemen perlu menitik

beratkan usahanya untuk memastikan para pekerja terdorong untuk bekerja keras dan

menyediakan fasilitas supaya mereka dapat berunjuk kerja secara memuaskan serta mendapat

cukup balikan atas hasil unjuk kerjanya.

Sementara itu model C mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan kausal langsung

antara sikap kerja dan unjuk kerja. Dikatakan bahwa sikap tidak menyebabkan timbulnya

unjuk kerja tertentu. Sebaliknya unjuk kerja juga tidak menimbulkan sikap kerja tertentu.

Sikap kerja dan unjuk kerja merupakan hasi lterpisah dari kondisi kerja dan motivasi kerja

yang berbeda. Model C ini selaras dengan kesimpulan Fishbein (dalam Jex, 2002) yang telah

dijabarkan sebelumnya, bahwa perilaku sesorang yang tercermin dalam unjuk kerjanya tidak

selalu selaras dengan sikapnya yang terbentuk dari aspek afektif dan kognitif. Salah satu

dampak dari model ini adalah manajemen perlu melakukan serangkaian tindakan tertentu jika

hendak menghasilkan sikap kerja yang positif dan perlu melakukan serangkaian tindakan

yang lain serta jika hendak memotivasi pekerja untuk mencapai tingkat unjuk kerja yang

lebih tinggi.

Porter-Lawler (dalam Munandar, 2001), yang mengembangkan model motivasi

harapan Vroom, menggambarkan hubungan timbal balik antara motivasi kerja dan kepuasan

kerja (Gambar 1.2)

4

Page 6: Kepuasan Kerja (Edit)

Gambar 1.2 Pengembangan Model Motivasi Harapan Vroom oleh Porter-Lawler (dalam

Munandar, 2001)

Dari Gambar 1.2 dapat dilihat bahwa Porter dan Lawler melihat motivasi (usaha),

kemmapuan dan sifat, serta persepsi peranan menghasilkan prestasi kerja dan memperoleh

pengghargaan (intrinsik dan ekstrinsik). Selanjutnya pekerja membuat penilaian kepantasan /

keadilan atas pengghargaan yang diperoleh, hasilnya menentukan besar kecilnya kepuasan

kerja. Nilai dari imbalan yang diperoleh dan probabilitas memperoleh imbalan dengan upaya

tertentu menentukan besarnya motivasi yang akan menghasilkan unjuk kerja tertentu dan

seterusnya.

5

Page 7: Kepuasan Kerja (Edit)

II. Beberapa Kajian Teori

Dalam sejarah perkembangan psikologi organisasi, telah dihasilkan beberapa teori

mengenai kepuasan kerja, yaitu:

1. Discrepancy theories / teori kesenjangan

Teori kesenjangan dari Locke (dalam Munandar, 2001; Aamodt, 1999) menyatakan

bahwa kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya ditentukan oleh kesenjangan antara apa

yang diinginkan, dihargai, dan diharapkan oleh pekerja tersebut dengan apa yang

diperolehnya. Menurut Locke, kepuasan seorang pekerja bergantung pada subjektifitas

pekerja tersebut terhadap persepsi apakah keinginannya dan harapannya telah terpenuhi.

Misalnya, Budi mengutamakan uang sebagai hal terpenting sementara Rita mengutamakan

waktu bersama keluarga sebagai yang terpenting. Keduanya bekerja di perusahaan yang

memberikan gaji yang tinggi dan menuntut pekerjanya untuk sering lembur, maka dalam

kasus ini Budi akan merasa puas sementara Rita tidak merasa puas dengan pekerjaannya.

2. Two-Factor Theory / Teori dua faktor

Teori dua faktor adalah teori kebutuhan yang dikembangkan Hezberg (dalam Aamodt,

1999). Dalam teorinya Hezberg menyatakan bahwa faktor terkait pekerjaan dapat dibagi ke

dalam 2 kategori yaitu faktor higienis dan faktor motivasional. Faktor Higienis adalah faktor

yang berhubungan dengan kebutuhan langsung dan dapat dirasakan dalam waktu jangka

pendek, antara lain: gaji, hubungan dengan teman kerja, kondisi kerja, supervisi. Saat faktor-

faktor tersebut terpenuhi maka setidaknya akan menghasilkan sikap kerja netral, namun tidak

selalu memberikan kepuasan kerja. Sebaliknya, ketika tidak terpenuhi maka akan

menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor Motivasional adalah faktor yang berhubungan

dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan psikologis, antara lain: tanggung jawab, kesempatan

untuk berprestasi, kesempatan untuk maju, pengakuan hasil kerja. Apabila faktor tersebut

terpenuhi akan menimbulkan kepuasan kerja, jika tidak akan menimpulkan ketidakpuasan.

6

Page 8: Kepuasan Kerja (Edit)

Gambar 2.3 Teori Dua Faktor Hezberg (dalam Aamodt, 1999)

3. Equity Theory / Teori Keadilan

Teori ini dikembangkan oleh J. S. Adams (dalam Aamodt, 1999) dan didasarkan pada

premis bahwa tingkat kepuasan kerja dan motivasi terkait dengan penilaian pekerja tersebut

terhadap seberapa adil ia diperlakukan dibandingkan dengan orang lain. Saat merasa

diperlakukan tidak adil maka pekerja akan berusaha mengubah kepercayaannya atau

perilakunya hingga situasinya terlihat adil. Tiga komponen yang terlibat dalam persepsi

keadilan ini adalah input, output, dan rasio input/output.

Input adalah elemen pribadi yang diberikan pada pekerjaan. Elemen yang langsung

keterkaitannya meliputi waktu, usaha, pendididkan, dan pengalaman. Elemen yang tidak

langsung keterkaitannya meliputi biaya yang dikeluarkan pada tempat penitipan anak dan

jarak yang ditempuh ke tempat kerja.Output adalah elemen yang diterima dari pekerjaan.

Output yang terlihat jelas meliputi upah, tunjangan, tantangan, dan tanggung jawab. Output

yang tidak terlihat dengan jelas meliputi teman dan kenyamanan tempat kerja. Menurut teori

ini, pekerja secara tidak sadar menghitung input dan output mereka dan menghitung rasio

input/outputnya dengan membagi nilai output dengan nilai input, kemudian

membandingkannya dengan rasio oekerja lain atau dengan pengalam kerja sebelumnya. Jika

rasionya lebih rendah dari yang lain maka pekerja tersebut akan merasa tidak puas sehingga

termotivasi untuk menyeimbangkan rasio dengan satu atau berberapa cara. Pertama, pekerja

mencoba meningkatkan output dengan meminta peningkatan gaji atau tanggung jawab.

Kedua, pekerja berusaha menyeimbangkan rasio dengan mengurangi input mereka. Sehingga

mereka tidak bekerja serajin sebelumnya atau bahkan mengurangi kehadiran. 7

Page 9: Kepuasan Kerja (Edit)

4. Facet Satisfaction Theory / Teori Kepuasan Bidang

Model yang dikembangkan oleh Lawler (dalam Munandar, 2001) ini terkait erat

dengan teori Keadilan Adams. Menurut model ini, individu akan puas dengan bidang tertentu

dari pekerjaan mereka (misalnya dengan rekan kerja, dengan atasan, gaji, dan sebagainya),

apabila jumlah dari bidang yang mereka persepsikan harus mereka terima untuk

melaksanakan kerja tertentu sama dengan jumlah yang mereka persepsikan dari yang secara

aktual mereka terima. Saat pekerja menilai dirinya menerima lebih dari yang sepatutnya

maka pekerja tersebut akan merasa bersalah. Dan ketika pekerja mempersepsikan apa yang

diterimanya kurang dari yang sepantasnya maka pekerja tersebut akan merasa tidak puas.

Untuk menentukan tingkat kepuasan kerja, Lawler memberikan nilai bobot kepada setiap

bidang sesuai dengan nilai kepentingan bagi individu bersangkutan, kemudian ia

mengkombinasikan semua skor kepuasan bidang yang dibobot ke dalam satu skor total.

Gambar 2.4 Teori Kepuasan Bidang Lawler (dalam Munandar, 2001)

8

Page 10: Kepuasan Kerja (Edit)

5. Opponent Process Theory / Teori Proces Berlawanan

Landy (dalam Munandar 2001) menekankan dalam teorinya bahwa orang ingin

mempertahankan suatu keseimbangan emosional, karena kondisi emosional yang ekstrim

tidak memberikan manfaat. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja memacu mekanisme

fisiologikal dalam sistem pusat saraf yang membaut aktif emosi yang berlawanan. Teori ini

menyatakan saat individu memperoleh penghargaan atas pekerjaan mereka maka akan timbul

rasa senang dan pada saat yang besamaan muncul juga perasaan tidak senang. Rasa senang

tersebut akan menurun setelah beberapa waktu hingga membuat individu merasa sedikit sedih

sebelum kembali ke normal. Hal ini terjadi karena emosi tidak senang (emosi berlawanan)

berlangsung lebih lama. Berdsarkan asumsi teori ini maka kepuasan kerja secara mendasar

bervariasi dari waktu ke waktu, oleh sebab itu pengukuran kepuasan kerja sebaiknya

dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai.

6. Individual Difference Theory / Teori Perbedaan Individu

Teori ini menyatakan bahwa sebagian keragaman kepuasan kerja disebabkan oleh

kecenderungan kepribadian individual pada berbagai keadaan untuk menikmati apa yang ia

kerjakan. Oleh sebab itu, individu tertentu secara umum akan merasa puas dan termotivasi

terlepas dari jenis pekerjaan yang mereka miliki (dalam Aamodt, 1999).

9

Page 11: Kepuasan Kerja (Edit)

III. Faktor-Faktor Penentu Kepuasan Kerja

Banyak faktor, seperti keamanan, upah, tunjjangan, supervisi, kondisi kerja, ciri

intrinsik pekerjaan, pengakuan, tingkat profesi, kebijakan cuti, desentralisasi otoritas,dsb,

telah diteliti sebagai kemungkinan penentu kepuasan. Meskipun demikian faktor yang akan

dibahas di makalah ini meliputi: ciri-ciri intrinsik pekerjaan, gaji, penyeliaan, rekan sejawat

yang menunjang, dan kondisi kerja yang menunjang.

1. Ciri-ciri intrinsik pekerjaan

Menurut Locke (dalam Siegel & Lane, 1982; Munandar, 2001) ciri-ciri intrinsik

dalam pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja adalah keragaman, kesulitan, jumlah

pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, keendali terhadap metoda kerja, kemajemukan, dan

kreativitas. Berdasarkan survei diagnostik pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang

memperlihatkan hubungan dengan kepuasan kerja, ciri-ciri tersebut meliputi:

a. Keragaman keterampilan. Semakin beragam ketrampilan yang digunakan, pekerjaan

semakin menarik.

b. Jati diri tugas / task identity. Tugas yang dianggap tidak menjadi bagian dari bagian

yang lebih besar akan menimbulkan rasa tidak puas.

c. Tugas yang penting / task significance. Jika tugas dianggap penting maka pekerja

cenderung memperoleh kepuasan kerja.

d. Otonomi. Pekerjaan yang dirasakan memberikan kebebasan, ketidaktergantungan,

dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menghasilkan kepuasan kerja.

e. Umpan balik / feedback pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan.

2. Gaji, imbalan, atau penghasilan yang dirasakan adil / equittable reward

Kunci dari penentuan kepuasan pada ciri ini adalah sejauh mana gaji yang diterima

dirasakan adil oleh pekerja. Pekerja akan merasa puas bila gaji yang diterima dipersepsikan

secara adil berdasarkan tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar gaji

yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu.

3. Perlakuan atasan langsung / penyeliaan

Dari berbagai penelitian, penegangan rasa (consideration) adalah satu-satunya ciri

kepemimpinan yang secara konsisten berhubungan dengan kepuasan kerja. Menurut Locke

10

Page 12: Kepuasan Kerja (Edit)

(dalam Siegel & Lane, 1982; Munandar, 2001), ada dua jenis hubungan atasan dan bawahan,

yaitu hubungan fungsional dan hubungan keseluruhan. Hubungan fungsional mencerminkan

sejauh mana penyelia membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang

penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi

yang mencerminkan sikap dasar dan nilai yang serupa. Jika cara penyeliaan dilakukan oleh

atasan yang memiliki ciri-ciri memimpin yang transformasional, maka pekerja akan

meningkatkan motivasinya serta dapat merasa puas dengan pekerjaannya.

4. Rekan sejawat yang menunjang

Kepuasan kerja dirasakan apabila pekerja dapat berkomunikasi dan membina

hubungan sosial dengan rekan lainnya yang berada pada ruangan yang sama. Corak kepuasan

kerja ini tidak selalu menimbulkan peningkatan motivasi kerja. Apabila individu bekerja

dalam suatu kelompok kerja, kepuasan kerja dapat timbul karena kebutuhan tingkat tinggi

(aktualisasi diri) dapat terpenuhi dan mempunyai dampak pada motivasi kerjanya.

5. Kondisi kerja yang menunjang

Organisasi kerja perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk, dan peralatan

kerja yang mudah diatur dengan memperhatikan prinsip ergonomi. Kondisi kerja yang

memenuhi kebutuhan fisik tentu akan memuaskan individu yang bekerja.

11

Page 13: Kepuasan Kerja (Edit)

IV. Pengukuran Kepuasan Kerja

Salah satu isu penting yang perlu dibahas adalah abgaimana cara mengukur kepuasan

kerja. Berikut adalah standar inventori kepuasan kerja yang sering digunakan: Face Scale,

Job Descriptive Index (JDI), Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ), Job in General

(JIG) Scale, Job Satisfaction Survey (JSS), Nagy Job Satisfaction Scale.

1. Face Scale

Face Scale adalah salah satu metode pengukuran kepuasan kerja paling pertama

yang dikembangkan oleh Kunin pada tahun 1955 (dalam Aamodt, 1999; Jex, 2002). Face

Scale teridiri dari serangkaian wajah dengan ekspresi wajah berbeda. Responden diminta

memilih wajah yang paling mewakili perasaan kepuasan kerja mereka secara umum.

Meskipun skala ini mudah digunakan, namun skala ini sudah jarang digunakan karena tidak

dapat memberikan informasi akan sumber dari ketidakpuasan.

Gambar 4.1 Face Scale

2. Job Descriptive Index (JDI)

JDI adalah skala yang paling umum digunakan saat ini. Sala ini dikembangkan pada

akhir 1960an oleh Patricia Cain Smith dan koleganya di Universitas Cornel dan terdiri dari

sejumlah kata sifat dan pertanyaan terkait pekerjaan yang dijumlahkan oleh pemberi kerja.

Skala ini menghasilkan nilai pada 5 dimensi kepuasan kerja: supervisi, upah, kesempatan

promosi, rekan kerja, dan pekerjaan itu sendiri (Siegel & Lane, 1982; Aamodt, 1999; Jex,

2002).

12

Page 14: Kepuasan Kerja (Edit)

Gambar 4.2 Job Descriptive Index (JDI)

3. Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ)

MSQ dikembangkan oleh H. M. Weiss, Dawis, England, dan Lofquist pada tahun

1967. MSQ terdiri dari 100 item yang dirancang untuk mengukur 20 bidang kerja. Terdapat

juga versi pendek dari MSQ yang teridiri dari 20 item. Rentang kepuasan pada MSQ meliputi

sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat puas (Siegel & Lane, 1982; Aamodt, 1999;

Jex, 2002).

4. Job in General (JIG) Scale

Ironson, Smith, Brannick, Gibson, dan Paul pada tahun 1989 mengembangkan Job in

General (JIG) Scale. JIG didesain dengan mengikuti model JDI, namum terdiri dari sejumlah

kata sifat dan frasa mengenai pekerjaan secara umum dari pada bidang pekerjaan tertentu

(Aamodt, 1999; Jex, 2002).

5. Job Satisfaction Survey (JSS)

Skala ini pada mulanya dikembangkan oleh Spector pada tahun 1985 sebagai

instrumen untuk mengukur tingkat kepuasan kerja dari pekerja Layanan Kemanusiaan. JSS

terdiri dari 36 item yang dirancang untuk mengukur 9 bidang kerja dan lingkungan kerja.

Item pada JSS mewakili pernyataan mengenai pekerjaan atau situasi kerja seseorang.

Responden diminata memilih sejauh mana mereka setuju dengan masing-masing item. Oleh

sebab itu JSS lebih serupa dengan JDI karena sifatnya yang deskriptif dari pada dengan

MSQ. Namun, tidak seperti JDI, skor kepuasan umum dapat dihitung pada JSS dengan

menjumlahkan skor dari setiap bidang (Jex, 2002).

13

Page 15: Kepuasan Kerja (Edit)

Gambar 4.2 Job Satisfaction Survey Facet (JSS)

6. Nagy Job Satisfaction Scale.

Pada tahun 1966 Nagy mengkritik banyak standar pengukuran kepuasan kerja karena

pengukuran yang ada hanya menanyakan apakah pekerja puas dengan aspek pekerjaan

tertentu tetapi tidak bertanya sepenting apa aspek tersebut bagi yang bersangkutan. Oleh

sebab itu, pada tahun 1995 Nagy menciptakan Nagy Job Satisfaction Scale, yang

mencantumkan dua pertanyaan di setiap bidangnya: yang satu mengenai seberapa penting

bidang tersebut bagi pekerja dan yang berikutnya bertanya seberapa puas pekerja tersebut

dengan bidang terkait.

14

Page 16: Kepuasan Kerja (Edit)

V. Dampak dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja

Berikut adalah hasil penelitian terhadap dampak kepuasan kerja terhadap

produktivitas, ketidakhadiran (absen) dan keluarnya tenaga kerja (turnover), kesehatan.

1. Dampak terhadap produktivitas

Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan antara produktivitas dan kepuasan

kerja sangat kercil, hal ini sebagian dapat dijelaskan dengan mengatakan bahwa

produktivitias dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor moderator di samping kepuasan kerja.

Bahkan, akhir-akhir ini terdapat pandangan bahwa kepuasan kerja mungkin merupakan

akibat, dan bukan merupakan sebab dari produktivitas. Lawler dan Proter menyatakan bahwa

peningkatan kepuasan kerja karena kenaikan dalam unjuk kerja hanya dapat terjadi apabila

tenaga kerja mempersepsikan ganjaran intrinsik (misalnya rasa telah mencapai sesuatu) dan

ekstrinsik (misalnya gaji) berasosiasi dengan unjuk kerja (Siegel & Lane, 1982; Munandar,

2001).

2. Dampak terhadap ketidakhadiran (absen) dan keluarnya tenaga kerja (turnover)

Porter dan Steers (dalam Siegel & Lane, 1982; Munandar, 2001) menyimpulkan

bahwa ketidakhadiran bersifat lebih spontan dari pada turnover sehingga lebih kecil

kemungkinannya dalam mencerminkan ketidakpuasan kerja, sementara mereka

menyimpulkan bahwa turnover terkait lebih langsung dengan ketidakpuasan kerja.

Nicholson, Brown, dan Chadwick-Jones (dalam Siegel & Lane, 1982) menyimpulkan dari

penelitan mereka bahwa tidak ada hubungan anatara kepuasan kerja dan ketidakhadiran.

Model hubungan antara ketidakhadiran dan kepuasan kerja Steers dan Rhodes

menyatakan bahwa perilaku kehadiran terkait dua faktor, yaitu motivasi kehadiran dan

kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa motivasi kehadiran dipengaruhi oleh

kepuasan kerja serta kombinasi tenanan internal dan eksternal untuk masuk kerja. Sementara

Model hubungan turnover dan kepuasan kerja Mobley, Horner, dan Hollingworth

menyatakan bahwa setelah pekerja menjadi tidak puas terjadi bebrapa tahapan (seperti

berfikir untuk berhenti), sebelum keputusan utnuk berhenti dibuat (Siegel & Lane, 1982;

Munandar, 2001).

Menurut Robins (dalam Munandar, 2001) ketidakpuasan kerja dapat diungkapkan

dalam empat kemungkinan perilaku yang berbeda terletak pada dua dimensi yaitu

15

Page 17: Kepuasan Kerja (Edit)

konstruktif-destruktif (horisontal) dan aktif-pasif (vertikal). Dari dua dimensi ini ada empat

cara mengungkapkan ketidakpuasan karyawan.

1) Keluar (Exit). Ketidakpuasan kerja diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan dan

mencari pekerjaan lain.

2) Menyuarakan (Voice). Ketidakpuasan kerja diungkapkan melalui usaha aktif dan

kosntruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran perbaikan,

mendiskusikan masalah dengan atasannya.

3) Mengabaikan (Neglect). Ketidakpuasan kerja diungkapkan melalui sikap membiarkan

keadaan menjadi lebih buruk, termasuk sering absen, datang terlambat, usaha

berkurang, kesalahan semakin banyak.

4) Kesetiaan (Loyalty). Ketidakpuasan kerja diungkapkan dengan menunggu secara pasif

sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela organisasi terhadap kritik

dari luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang

tepat untuk memperbaiki kondisi.

Gambar 5.1 Empat Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan Robbins (dalam Munandar, 2001)

3. Dampak terhadap kesehatan

Dari satu kajian longitudinal disimpulkan bahwa ukuran-ukuran dari kepuasan kerja

merupakan peramal yang baik bagi longevity atau panjang umur atau rendang kehidupan.

Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, hubungan kausalnya

masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik dan

mental dankepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja dan

kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat

16

Page 18: Kepuasan Kerja (Edit)

meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif

juga pada yang lain (Munandar, 2001).

17

Page 19: Kepuasan Kerja (Edit)

Daftar Pustaka

Aamodt, M. G. (1999). Applied Industrial/ Organizational Psychology. California: Wadsworth.

Jex, S. M. (2002). Organizational Psychology. A Scientist Practitioner Approach. New Yirk: John Wiley & Sons.

Munandar, A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press.

Siegel, L., & Lane, I. M. (1982). Personnel and Organizational Psychology. Illinois: Richard D. Irwin, INC.

18