Kepribadian menurut teori Barat
Transcript of Kepribadian menurut teori Barat
Bentuk Kepribadian
Dilihat dari Teori Islam atau Teori Timur
I. Contoh Kasus
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa subjek
merasa sangat terganggu dengan sifat kurang percaya dirinya itu. Subjek
sebenarnya juga merasa bingung mengapa subjek menjadi kurang percaya diri,
padahal saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah
Pertama, subjek adalah murid yang dikenal sangat aktif dan disayang sama
guru-gurunya dulu.
Tetapi, saat subjek memasuki bangku Sekolah Menengah Atas, subjek
berubah menjadi sosok yang pendiam, jarang bertanya di kelas, susah bergaul,
tidak lagi menjadi murid yang berprestasi , dan tidak menjadi murid yang
disayang oleh guru-gurunya. Akibatnya, saat duduk di bangku SMA, nilai-
nilai subjek banyak yang turun.
Memang diakui subjek, lingkungan sekolah antara SD, SMP, dan SMA
sangat berbeda. Saat SD dan SMP, subjek memilih untuk bersekolah di
lingkungan rumahnya. Sehingga, subjek tidak terlalu kesulitan untuk
beradaptasi dengan lingkungannya itu, karena subjek sudah banyak mengenal
teman-teman satu kelas subjek.
Baru, saat memasuki dunia SMA, subjek harus melakukan sedikit
adaptasi karena subjek memilih untuk bersekolah di luar lingkungan rumah
subjek. Di lingkungan SMA, subjek menemukan banyak hal-hal yang baru.
Subjek menemukan banyak perbedaan saat sekolah di lingkungan rumah
subjek dengan di luar lingkungan rumah subjek.
Saat SMA, kebanyakan teman-teman subjek berasal dari SMP yang
berbeda dengan subjek, sehingga subjek memerlukan sedikit adaptasi lagi
untuk memahami kepribadian dari teman-temannya. Adaptasi ini, sedikit
banyak berpengaruh juga terhadap cara bergaul subjek. Subjek merasa nyaman
dengan orang-orang yang kepribadiannya hampir sama bahkan sama dengan
subjek. Ini terbukti bahwa hampir semua teman-teman subjek merupakan
siswa yang tidak aktif di kelas, pendiam, kurang percaya diri dengan
kemampuannya.
1
Memasuki dunia perkuliahan, subjek merasa sifat kurang percaya
dirinya ini semakin bertambah. Subjek menjadi semakin tidak aktif di kelas,
sering duduk di belakang, sulit untuk berbicara di depan kelas, sulit untuk
memulai sebuah hubungan pertemanan baru, masih suka berkelompok dengan
teman-teman yang kepribadiannya juga sama dengan subjek. Karena sifatnya
yang tidak berubah ini, subjek juga harus kembali menjadi mahasiswa yang
tidak dikenal sama dosen dan semakin sulit untuk mengeluarkan pendapatnya.
Sebenarnya, subjek juga sadar bahwa sifatnya ini sangat mengganggu
bahkan bisa menghambat masa depannya. Subjek juga tahu, bahwa seharusnya
masa kuliah adalah masa yang paling baik untuk menambah teman baru guna
memperluas relasi bila nanti subjek sudah lulus kuliah dan memasuki dunia
kerja. Tapi, subjek juga tidak bisa bila harus seketika mengubah sifatnya ini
dengan instant,karena semua yang ada di dunia ini butuh proses. Dan subjek
akan terus berusaha untuk menghilangkan sifat kurang percaya dirinya ini
sedikit demi sedikit.
II. Dasar Teori
Dalam Abhidhamma kata “kepribadian” serupa dengan konsep atta,
atau diri (self) menurut konsep barat. Menurut Abhidhamma tidak ada diri
yang bersifat kekal atau abadi, benar-benar kekal, yang ada hanyalah
sekumpulan proses impersonal yang timbul dan menghilang. Yang nampak
sebagai pribadi terbentuk dari perpaduan antara proses-proses impersonal ini.
Apa yang nampak sebagai diri, tidak lain adalah bagian keseluruhan jumlah
bagian-bagian tubuh yakni pikiran, penginderaan, hawa nafsu dan sebagainya.
Satu-satunya benang dalan jiwa adalah bhava, yakni kesinambungan
kesadaran dari waktu ke waktu.
Setiap momen yang berturut-turut dalam kesadaran manusia, dibentuk
oleh momen sebelumnya, dan pada gilirannya akan menentukan momen-
momen yang berikutnya. Bhavalah yang menghubungkan momen kesadaran
yang satu dengan momen kesadaran berikutnya. Jadi semua proses kejiwaaan
manusia itu berkesinambungan.
2
Dhamma sama dengan energi unsur yang dengan gerak dan kombinasi-
kombinasinya memberi daya bangkit pada proses-proses yang ada. Adapun
susunannya yakni:
1. Kumpulan proses kegiatan badan yang digerakkan oleh dhamma-
dhamma dari telinga, mata, hidung, lidah, kulit, serta dhamma-
dhamma pelengkap dari warna suara, bau, rasa, dan daya tahan.
2. Kumpulan-kumpulan indrawi (vedana)
3. Proses pembentuk persepsi
4. Proses pembentuk naluri sadar dan tak sadar untuk bertindak
(sankhara), terbagi dalam:
a) Unsur-unsur penyusun aktivitas batin dalam kesadaran: perasaan,
persepsi, kehendak, sensasi langsung, keinginan, pengertian,
kecendurangan, dan konsentrasi.
b) Unsur-unsur yang menyusun keutamaan: iman, keberanian, kesopanan,
rasa muak akan hal-hal yang tidak baik, sikap tidak loba, tidak benci,
sabar, dan nalar.
c) Pembentuk cacat kelemahan: keras kepala, keraguan, kecerobohan,
kemarahan, kemunafikan, iri hati, cemburu, pembohong, menipu,
benci, dan sombong.
5. Kumpulan kegiatan-kegiatan kesadaran dibagi dalam unsur-unsur atau
dhamma yang bertanggung jawab atas tiga kategori kesadaran:
kesadaran murni, tidak murni, dan tidak jelas murni atau tidak. Semua
tiga kategori kesadaran ini meliputi 89 unsur-unsur utama dhamma,
yang bila dikaitkan dengan macam-macam kumpulan proses
pembentuk sankhara.
Model abhidamma untuk tipe-tipe kepibadian secara langsung
diturunkan dari prinsip bahwa faktor-faktor jiwa muncul dalam kekuatan yang
berbeda-beda. Apabila jiwa seseorang tetap dikuasai oleh suatu faktor, maka
hal ini akan menentukan kepribadian, motif-motif dan tingkah lakunya.
Keunikan pola-pola faktor-faktor jiwa setiap orang menimbulkan perbedaan
individual dalam kepribadian melampaui kategori-kategori kasar tipe-tipe
pokok kepribadian. Seseorang yang dikuasai oleh delusi merupakan suatu tipe
kepribadian yang agak lumrah, atau sama seperti pendengki yang dikuasai
oleh kemuakan, dan budak nafsu yang dikuasai oleh ketamakan. Suatu tipe
3
yang lebih positif adalah orang yang cerdas, ditandai oleh sikap penuh hati-
hati dan pemahaman yang kuat.
Pandangan Abhidamma tentang motivasi pada manusia berasal dari
analisanya tentang faktor-faktor jiwa dan pengaruh dari faktor-faktor tersebut
pada tingkah laku. Keadaan jiwa seseoranglah yang menggerakkannya untuk
mencari sesuatu dan menjauhi lainnya, keadaan-keadaan jiwannya
membimbing setiap perbuatannya. Apabila jiwa dikuasai oleh ketamakan,
maka ini akan menjadi motif yang menonjol, dan orang akan bertingkah laku
sesuai motif tersebut, berusaha mendapatkan objek ketamakannya. Apabila
egoisme yang merupakan suatu faktor yang kuat, maka orang tersebut akan
bertindak dengan cara-cara yang serba meningkatkan dirinya. Dalam arti ini,
setiap tipe kepribadian merupakan tipe motivasi juga.
Vhisuddimagga (Budhaggosa 1976), sebuah buku pegangan bagi
meditator yang didasarkan pada Abhidhamma dan berasal dari abad V M,
menyediakan satu bagian untuk mengenali kepribadian karena setiap macam
orang harus diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan sifat-sifatnya. Salah
satu metode untuk meneliti kepribadian adalah mengamati dengan seksama
cara orang berdiri dan bergerak. Misalnya orang yang kuat nafsunya atau
senang dalam kenikmatan, angggun jalannya; orang yang penuh kebencian
suka menyeret kakinya kalau berjalan, orang yang dikuasai oleh delusi cepat
langkahnya bila berjalan. Contoh petunjuk untuk melakukan analisis ini
berbunyi sebagai berikut
“ orang yang kuat nafsunya, jejak kakinya terbelah tengah. Orang yang
tidak ramah jejak kakinya membentuk garis kebelakang, jejak kaki orang yang
dikuasai oleh delusi kelihatan terburu-buru titampakkan………………….”
Selanjutnya dikatakan bahwa Budhha meninggalkan jejak kaki yang rata
secara sempurna karena jiwanya tenang sedangkan badanya pun seimbang.
Penulis Visuddhimagga mengakui bahwa setiap detil kehidupan
merupakan petunjuk watak; buku pedoman dari abad V ini memberikan suatu
profil tingkah laku yang sangat lengkap tentang setiap tipe kepribadian.
1. Orang suka kenikmatan (sensual)
Berpenampilan menarik, sopan, dan menjawab dengan hormat kalau
disapa. Kalau tidur mengatur tempat tidurnya, membaringkan tubuhnya
4
dengan hati-hati, ketika tidur tidak banyak bergerak. Melakukan tugas-
tugasnya dengan seni; menyapu dengan ayun-ayunannya yang halus dan
teratur, malakukan tugas-tugasnya dengan seksama. Pada umumnya mereka
merupakan pekerja yang terampil, halus, rapi, sangat berhati-hati. Mereka
berpakaian rapi dan bagus.
Apabila makan mereka menyukai makanan yang empuk yang manis
dan dimasak sampai matang dan disajikan dengan cara yang mewah; mereka
makan dengan perlahan-lahan, sedikit-sedikit, dan sangat menikmati cita rasa.
Kalau melihat objek yang menyenangkan, mereka akan berhenti untuk
mengaguminya dan terpesona oleh keindahannya dan tidak akan
memperhatikan kekurangannya. Mereka akan meninggalkan objek semacam
itu dengan rasa sesal. Akan tetapi segi negatifnya mereka suka berlagak,
menipu, sombong, tamak, tidak mudah puas, penuh nafsu, dan sembrono.
2. Orang yang penuh kebencian
Berdiri dengan kaku, membereskan tempat tidur secara serampangan
dan tergesa gesa, tidur dengan badan tegang dan marah kalau dibangunkan.
Apabila bekerja kasar dan sembrono ; apabila menyapu berbunyi keras dan
gaduh.
Pakaian ketat dan tidak rapi. Menyukai makanan yang pedas dan asam:
makan dengan tergesa-gesa tanpa memperhatikan cita rasa, mereka tidak
menyukai rasa yang hambar. Tidak tertarik pada objek-objek yang indah,
memperhatikan kekurangan-kerkuangan kecil apapun, sementara mengabaikan
kebaikan-kebaikannya. Sering marah, penuh kebencian,tidak mau
menunjukkan rasa terima kasih, mudah iri hati, dan kikir.
3. Berada diantara kedua tipe diatas
Orang yang dikuasai delusi berdiri dengan seenaknya. Tempat tidur
tidak rapi, tidur terlentang,bangun dengan lamban dan menggerutu penuh
keluh kesah. Sebagai pekerja mereka tidak terampil dan jorok, menyapu
dengan kaku dan serampangan, tidak bersih. Pakaian kedodoran dan tidak
5
rapi. Pemakan yang ceroboh, memasukan suapan yang besar-besar kemulut,
dan mengotori muka dengan makanan.
Tidak mempunyai ide apakah suatu objek bagus atau tidak selalu
percaya dengan apa yang dikatakan orang lain lantas ikut memuji dan
mencelanya. Kelihatan malas dan kaku, pikiran mudah kacau, mudah
menyesal dan bingung, keras kepala, dan bandel.
Faktor yang tidak sehat sentral, yakni delusi, adalah bersifat
perseptual: delusi (moha) didefinisikan sebagai kegelapan jiwa yang
menyebabkan persepsi salah tentang objek kesadaran. Dalam Abhidama
delusi dilihat sebagai ketidaktahuan dasar yang merupakan sumber utama
pendertiaan manusia. Persepsi yang salah tentang sifat sebenarnya dari hal-hal
ini adalah ketidakmampuan melihat dengan jelas, tanpa prasangka atau bias
apapun merupakan inti dari keadaan jiwa yang tidak sehat. Delusi
menyebabkan “pandangan yang salah “ atau pemahaman yang tidak tepat
(aditthi). Pandangan yang salah berarti menempatkan sesuatu pada kategori
yang salah atau miss kategorisasi.
Contoh bagaimana bekerjanya faktor-faktor ini adalah pada kasus
orang yang menderita paranoid, yang secara keliru mempersepsikan orang lain
sebagai sesuatu yang mengancam, padahal sesungguhnya sama sekali tidak
berniat jahat, karenanya mengkategorikan orang lain itu sebagai anggota
komplotan khyalan itu untuk melawan dirinya. Buddha berpandangan bahwa
apabila jiwa seseorang telah dikuasai oleh pandangan yang salah, apa saja
yang mungkin ingin dilakukan atau dicita-citakan hanya akan “mengarahkan
pada suatu keadaan yang tidak diinginkan, tidak menyenangkan, tidak
mengenakkan pada kesengsaraan dan penderitaan “(Angutara Nikkaya, 1975,
I, Hlm. 23).
Diantara pandangan-pandangan salah yang dikecam secara eksplisit
oleh Buddha adalah suatu asumsi umum terdapat dalam teori kepribadian
barat, tetapnya terdapat diri atau ego yang bersifat tetap. Dalam Abhhidhama
tidak ada diri sebagai diri, melainkan “suatu proses gejala fisik dan jiwa yang
menenggelamkan aku yang timbul dan segera hilang lagi secara terus
menerus” (Nyanatiloka 1972,hlm 25).
6
Kebingungan (vicikiccha), mencerminkan ketidakmampuan untuk
menentukan atau membuat suatu keputusan yang tepat. Apabila faktor ini
menguasai jiwa seseorang, maka ia berada dalam kebimbangan, dan pada
akhirnya dapat menjadi lumpuh. Faktor-faktor kognitif lain yang tidak sehat
adalah sikap tidak tahu malu (ahirika) dan tanpa belas kasihan (anattapa);
sikap-sikap ini menyebabkan seseorang tidak menghiraukan pendapat orang-
orang lain dan norma yang tertanam dalam dirinya sendiri. Apabila faktor-
faktor ini menonjol maka seseorang akan melihat perbuatan-perbuatan jahat
tanpa penyesalan dan dengan demikian orang cenderung berperilaku buruk.
Memang faktor-faktor ini merupakan prasyarat bagi keadaan jiwa yang
mendasari setiap perbuatan jahat.
Faktor tidak sehat lainnya yang dapat meenimbulkan kejahatan adalah
egoisme (mana). Sikap mementingkan diri sendiri ini menyebabkan orang
melihat objek semata-mata sebagai pemenuhan nafsu atau kebutuhannya
sendiri. Bergabungnya ketiga faktor jiwa ini (sikap tidak tahu malu, sikap
tanpa belas kasihan, egoisme) dalam satu momen sudah pasti sering kali
menjadi dasar bagi banyak kejahatan yang dilakukan manusia.
Faktor-faktor jiwa yang tidak sehat sisanya bersifat afektif. keresahan
(uddhaccca) dan kekhawatiran (kukucca) adalah keadaan bingung,
penyesalan, linglung. Faktor-faktor ini menciptakan kecemasan yang
merupakan ciri utama dari kebanyakan kekalutan jiwa. Serangkaian faktor
tidak sehat lainnya berhubungan dengan ketergantungan: ketamakan (lobha),
kekikiran (macchariya), dan iri hati (issa) merupakan aneka bentuk dari
ketertarikan pada suatu objek sedangkan kemuakan (dosa) merupakan sisi
negatifnya. Ketamakan dan kemuakan terdapat dalam semua keadaan jiwa
yang negatif dan selalu berkombinasi dengan delusi. Dua faktor terakhir yang
tidak sehat adalah kontraksi (thina) dan kebekuan (midhha). Faktor-faktor ini
membuat keadaan jiwa menjadi kaku, tidak fleksibel. Apabila faktor-faktor
negatif ini menonjol, maka jiwa dan tubuh seseorang cenderung menjadi
lamban.
Setiap faktor yang tidak sehat ditentang oleh faktor yang sehat. Faktor-
faktor ini bersifat tidak sehat atau sehat; tidak ada yang berada ditengah. Cara
untuk mencapai keadaan jiwa yang sehat dalam Abhhidama adalah
menggantikan faktor-faktor yang tidak sehat menjadi faktor-faktor yang sehat.
7
Prinsip yang berlaku mirip dengan “reciprocal inhibition” (hambatan timbal
balik yang digunakan dalam “systematic desentizatin”, dimana pengendoran
(relaxation) menghambat lawan psikologisnya yaitu ketegangan (wolpe
1958)). Untuk setiap faktor jiwa yang negatif terdapat faktor positif yang
menangkalnya. Apabila satu faktor sehat tertentu ada dalam suatu keadaan
jiwa, maka faktor tidak sehat yang ditekannya tidak akan dapat muncul.
Faktor sehat yang terpenting adalah pemahaman yang benar “insight”
(panna), lawan dari delusi. “insight” dalam arti “presepsi yang jelas tentang
objek sebagaimana adanya” menekan delusi, faktor tidak sehat yang
fundamental. Kedua faktor ini tidak mungkin hadir bersama dalam satu
keadaan jiwa: dimana terdapat kejelasan, maka tidak dapat terdapat delusi;
sebaliknya dimana terdapat delusi maka tidak dapat ada kejelasan. Sikap
penuh perhatian atau mindfulness (sati) adalah pemahaman yang jelas dan
bersifat kontinyu tentang objek; pasangan hakiki dari pemahaman yang benar
ini membuat jiwa seseorang selalu tetap terang. Pemahaman yang benar dan
sikap penuh perhatian adalah faktor-faktor sehat yang utama; apabila
keduanya muncul dalam suatu keadaan jiwa maka faktor-faktor sehat lainnya
akan muncul juga. Kehadiran dua faktor sehat ini cukup untuk menekan semua
faktor tidak sehat.
Sejumlah faktor sehat menuntut syarat-syarat tertentu agar dapat
muncul. dua faktor kognitif kembar, yakni sikap rendah hati (hiri), yang akan
menghambat sikap tidak tahu malu dan sikap penuh hati-hati (ottapa), lawan
dari sikap tanpa penyesalan, muncul dalam jiwa kalau hanya ada godaan untuk
berbuat jahat. Sikap rendah hati dan sikap hati-hati selalu berhubungan dengan
kejujuran (cittujjukata) yakni sikap menilai secara tepat. Sikap lain yang sehat
adalah kepercayaan (saddha), kepastian yang didasarkan pada presepsi yang
tepat. Kelompok faktor jiwa ini yakni sikap rendah hati, penuh hati-hati,
kejujuran, kepercayaan, bekerja sama untuk menghasilkan perbuatan
kebajikan diukur dari norma pribadi maupun norma masyarakat.
Kelompok faktor yang tidak sehat yang terdiri dari ketamakan,
kekikiran, irihati, dan kemuakan dilawan oleh faktor-faktor sehat meliputi
ketidakterikatan (alobha), ketidakmuakan (adosa), sikap tidak memihak
(tatramajihata), dan sikap tenang (passadhi), yang mencerminkan ketenangan
fisik dan jiwa yang terjadi karena berkurangnya perasaaan-prasaan
8
ketertarikan. Keempat faktor di atas menggantikan sikap rakus atau
kebalikannya, sikap menolak dengan penuh perhatian terhadap apa saja yang
mungkin timbul dalam kesadaran seseorang. Faktor-faktor tidak sehat yakni
ketamakan, egois, iri hati, dan kemuakkan, misalnya dapat menyebabkan
seseorang sangat mendambakan pekerjaan yang terpandang dengan upah yang
lebih tinggi dan mewah, atau iri hati terhadap orang lain yang memiliki
pekerjaan yang demikian atau memandang rendah terhadap pekerjaan dirinya
yang kurang bergengsi. Sebaliknya faktor-faktor sehat tandingannya meliputi
ketenangan, ketidakterikatan, ketidakmuakan dan sikap netral akan
menyebabkan orang itu menimbang keuntungan-keuntungan berupa upah
dengan prestise dengan kerugian-kerugiannya seperti ketekanan dan
ketegangan yang lebih besar, menilai secara lebih adil kelebihan-kelebihan
yang telah menyebabkan orang lain memangku jabatan semacam itu dan
kelemahan-kelemahan yang menyebabkan dirinya tampil kurang baik daripada
semestinya. Akhirnya keempat faktor yang sehat ini akan menyebabkan
seseorang mampu menilai keuntungan-keuntungan apa saja yang dapat
diperoleh dari pekerjaannya, dalam hal-hal manakah pekerjaan itu kurang
memuaskan, manakah kemampuan-kemapuannya yang sebenarnya, dan
bagaimana menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut untuk
mendapatkan posisi yang terbaik dalam batas-batas kemampuannya. Yang
lebih penting lagi adalah sikap netral akan menyebabkan seseorang
memandang seluruh situasi dengan tenang, tidak perlu merasa susah bahwa
dirinya tidak memiliki pekerjaan yang lebih baik, tidak menganggap rendah
kerjaan yang dimilikinya, atau berpasrah kalah menerima dengan putus asa
suatu pekerjaan yang dirasa tidak cocok. Keempat faktor jiwa ini
memungkinkan orang menerima hal-hal sebagaimana adanya dan membuat
perubahan-perubahan apa saja yang mungkin.
Tubuh dan jiwa dalam Abhidhama dianggap saling berhubungan.
Karena setiap faktor memepengaruhi baik tubuh maupun jiwa, maka
kumpulan faktor jiwa yang terakhir ini merupakan satu-satunya kelompok
faktor yang secara eksplisit dilukiskan sebagai memiliki akibat-akibat fisis dan
psikologis. Faktor-faktor tersebut adalah kegembiraan (ahutta), fleksibilitas
(muduta), kesangupan menyesuaikan diri (kammananata), dan kecakapan
(pequnnnata). Apabila faktor-faktor ini muncul maka seseorang akan berpikir
9
dan bertindak dengan yang mungkin timbul leluasa dan mudah mewujudkan
ketrampilan-ketrampilannya secara maksimal. Faktor-faktor ini menekankan
faktor kontraksi dan kebekuan yang tidak sehat itu, yang menguasai jiwa
seperti keadaan depresi. Faktor-faktor yang sehat ini mampu menyesuaikan
diri secara fisik dan psikis terhadap keadaan-keadaan yang senantiasa berubah,
menghadapi tantangan-tantangan manapun.
Dalam psikodinamik Abidhama, faktor-faktor jiwa yang sehat dan
tidak sehat saling menghambat; kehadiran faktor yang satu menekan faktor
tandingannya. Kamma seseorang lah yang akan mentukan apakah dalam
keadaan sehat atau tidak sehat. Suatu kombinasi faktor merupakan hasil dari
pengaruh-pengaruh biologis dan pengaruh faktor situasi disamping itu juga
merupakan pindahan pengaruh dari keadaan-keadaan jiwa sebelumnya.
Faktor-faktor tersebut biasanya timbul sebagai suatu kelompok, entah
bersifat positif maupun negatif. Dalam setiap keadaan jiwa tertentu, faktor-
faktor yang membentuk keadaan jiwa tersebut muncul dengan kekuatan-
kekuatan yang berbeda yaitu faktor apa saja yang paling kuat menetukan
bagaimana seseorang mengalami dan bertindak dalam suatu momen tertentu.
Meskipun mungkin semua faktor negatif hadir, namun keadaan yang
dialami akan sangat berbeda tergantung pada apakah misalnya ketamakan atau
kebekuan yang mendominasi jiwa. Hirarki kekuatan dari faktor-faktor tersebut
menetukan apakah keadaaan spesifik itu akan menjadi negatif atau positif.
Apabila faktor tertentu muncul dalam keadaan jiwa seseorang maka
faktor tersebut akan menjadi sifat kepribadian. Jumlah keseluruhan faktor-
faktor jiwa yang sudah menjadi kebiasaan pada seseorang menentukan sifat-
sifat kepribadiannya.
III. Analisis Kasus
Dari contoh kasus di atas terlihat bahwa subjek mengalami masalah
berupa krisis percaya diri yang mulai timbul sejak subjek masuk Sekolah
Menengah Atas hingga subjek memasuki dunia perkuliahan.
Bila dianalisis dengan teori kepribadian Budha, maka bisa dikatakan
kalau kepribadian subjek termasuk ke dalam kepribadian yang tidak sehat.
Terus bagaimanakah teori kepribadian Budha menjelaskan arti kepribadian
subjek dalam contoh kasus di atas?
10
Seperti yang dikatakan dalam Abhidhamma, kepribadian seseorang itu
tidak kekal, selalu berubah, yang ada hanyalah sekumpulan proses impersonal
yang timbul dan menghilang, perpaduan antara proses-proses impersonal, serta
merupakan bagian keseluruhan jumlah bagian-bagian tubuh yakni pikiran,
penginderaan,hawa nafsu dan sebagainya. Jadi jika contoh kasus tersebut
dikaitkan dengan teori di atas, maka bisa ditulis bahwa krisis kurang percaya
diri yang dialami subjek merupakan suatu keadaan yang tidak kekal, selalu
berubah-ubah, karena subjek yang dulunya percaya diri saat duduk di TK
hingga SMP, tiba-tiba saja mengalami krisis percaya diri saat duduk di
Sekolah Menengah Atas. Ini bisa dijadikan bukti bahwa kepribadian seseorang
itu selalu berubah.
Jadi, krisis percaya diri yang dialami subjek dalam contoh kasus di atas
bisa disebabkan karena adanya momen krisis kurang percaya diri yang
sebelumnya telah subjek punya dan terus berlanjut hingga sekarang. Seperti
yang dipaparkan dalam contoh kasus di atas, bahwa krisis percaya diri yang
dialami subjek sejak Sekolah Menengah Atas bisa disamakan dengan momen
sebelumnya dan krisis percaya diri saat kuliah adalah momen selanjutnya.
Selain itu, mungkin saja krisis kurang percaya diri yang dialami subjek
telah menguasai jiwa subjek, sehingga krisis kurang percaya diri ini akan
dijadikan sebuah motif yang menonjol dalam tingkah laku keseharian subjek,
dan berusaha untuk mendapatkan objek krisis kurang percaya dirinya tersebut.
Nah, apabila krisis kurang percaya diri ini telah menjadi faktor yang kuat
dalam hidup subjek, bisa saja subjek akan terus mempertahankan krisis kurang
percaya dirinya ini dalam setiap tindakannya. Maka tidak aneh, bila sampai
kuliah subjek masih mengalami krisis kurang percaya diri ini padahal subjek
sudah mengetahui bahwa keadaan ini sangat merugikan dia. Mengapa ini tetap
dipertahankan oleh subjek? Karena krisis kurang percaya diri ini secara tidak
langsung telah menjadi tipe kepribadian baru bagi subjek yang sekaligus
sebagai sebuah tipe motivasi bagi subjek.
Krisis kurang percaya diri yang dialami subjek pada contoh kasus di
atas bisa juga karena subjek mengalami delusi yaitu kegelapan jiwa yang
menyebabkan persepsi salah tentang objek kesadaran yang merupakan sumber
11
utama penderitaan manusia. Delusi yang dialami subjek sepertinya bila dilihat
dari contoh kasus di atas lebih disebabkan karena subjek keliru
mempersepsikan orang lain sebagai sesuatu yang mengancam, padahal
sesungguhnya sama sekali tidak berniat jahat. Subjek merasa bahwa teman-
teman baru subjek ini akan menertawakan subjek saat subjek salah. Padahal
pandangan subjek terhadap teman-temannya ini salah, teman-teman subjek
hanya ingin memberi tahu yang benar itu seperti apa kepada subjek.
Mengaitkan dengan pandangan Budha, delusi yang dialami subjek ini
menunjukkan bahwa jiwa subjek telah dikuasai oleh pandangan yang salah,
sebenarnya subjek juga ingin seperti teman-temannya yang bisa percaya diri di
depan umum, tetapi karena jiwa subjek telah ditutupi dengan pandangan yang
salah maka subjek berpikiran kalau keinginanya untuk menjadi lebih percaya
diri akan mengarahkan subjek dalam keadaan yang tidak diinginkan, tidak
menyenangkan, tidak mengenakan, bahkan bisa menjadi kesengsaraan. Karena
dalam setiap perubahan pasti ada sesuatu yang aneh dalam diri subjek, nah
keanehan yang dialami subjek itu mungkin saja akan menjadi bahan tertawaan
bagi teman-teman subjek. Makanya, subjek memilih untuk tetap pada
keadaannya sekarang.
Krisis kurang percaya diri mungkin bisa dimasukkan sebagai faktor-
faktor jiwa yang tidak sehat yang bersifat keresahan (uddhaccca) dan
kekhawariran (kukucca) yaitu suatu keadaan bingung, penyesalan, linglung.
Faktor-faktor ini menciptakan kecemasan pada diri subjek yang merupakan
ciri utama dari kebanyakan kekalutan jiwa menurut pendapat Abidhama. Dari
contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya subjek juga ingin
berubah, ingin menjadi percaya diri lagi seperti saat sebelum masuk bangku
SMA, tetapi subjek bingung mencari cara yang tepat untuk berubah agar
teman-teman subjek nanti tidak menertawakan perubahan yang dialami oleh
subjek. Kemudian dari contoh kasus juga, subjek juga menyesal kenapa
sekarang subjek menjadi krisis kurang percaya diri, padahal dunia perkuliahan
adalah dunia yang bisa dijadikan subjek sebagai tempat untuk berkembang dan
memuluskan karier subjek bila sudah lulus nanti.
12
Bila contoh kasus di atas dikaitkan dengan pernyataan yang ada dalam
psikodinamik Abidhama di atas, bisa saja krisis kurang percaya diri yang
dialami subjek merupakan suatu kombinasi faktor yang merupakan hasil dari
pengaruh-pengaruh biologis dan pengaruh faktor situasi di samping itu juga
merupakan pindahan pengaruh dari keadaan jiwa sebelumnya. Maksudnya,
bias saja faktor postur tubuh menjadi alasan mengapa subjek merasa kurang
percaya diri, entah postur tubuh subjek pendek, gendut, jelek, atau yang
lainnya. Ini dipakai sebagai contoh bila dikaitkan dengan faktor biologis.
Kemudian bila dilihat pengaruh dari faktor situasi bisa saja diambil dari hasil
wawancara pada contoh kasus di atas yaitu pernyataan subjek yang
beranggapan bahwa lingkungan subjek saat SMP dengan SMA sangat
berbeda, lingkungan yang berbeda otomatis membuat situasi lingkungan yang
dirasakan subjek juga berubah, bisa saja lingkungan yang berubah itu
membuat situasi yang dirasakan subjek menjadi sebuah ancaman atau malah
menjadi suatu situasi yang aman bagi subjek untuk kepribadiannya.
Sedangkan krisis yang dialami subjek dari SMA bias dijadikan contoh bahwa
krisis kurang percaya diri yang dialami subjek saat kuliah merupakan
pindahan pengaruh dari keadaan jiwa sebelumnya.
Sebetulnya dalam kepribadian manusia itu ada faktor positif dan
negatif. Hanya saja kebetulan faktor negatiflah yang lebih dominan pada diri
subjek ini. Sehingga factor negatif inilah yang mendapatkan penguatan dari
subjek yang akhirnya menjadi sifat dari kepribadian subjek.
IV. Referensi
Sutrisno, Mudji (Editor). 1993. Buddhisme:Pengaruhnya dalam Abad
Modern.. Yogyakarta: Kanisius.
Buddhadasa, Bhikku. 2008. The Truth of Nature: Tanya Jawab dengan Bhikku
Buddhadasa Tentang Ajaran Buddha. Bandung: Karaniya
13