KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RANAH SOSIAL DAN POLITIK...
Transcript of KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RANAH SOSIAL DAN POLITIK...
KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RANAH SOSIAL DAN POLITIK MENURUT HUSEIN MUHAMMAD
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
AHMAD ZARKASIH NIM: 1112043100025
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M/1440 H
ABSTRAK
Ahmad Zarkasih. 1112043100025. “KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RANAH SOSIAL DAN POLITIK MENURUT HUSEIN MUHAMMAD. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pandangan imam madzhab tentang kepemimpinan wanita dalam Islam dan menganalisis pendapat ulama kontemporer tentang kepemimpinan wanita dalam Islam.
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menelaah buku-buku yang berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan dari analisis literatur ini dihasilkan data yang dikehendaki untuk ditelaah secara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Menurut Husein Muhammad, wanita dapat menjadi pemimpin berdasarkan pertimbangan kemaslahatan bukan karena alasan jenis kelamin. Sukses dan kegagalan kepemimpinan tidak disebabkan oleh jenis kelamin namun melalui cara-cara kepemimpinan demokratis dan berdasarkan konstitusi, serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, bukan kekuasaan tiranik, otoriter dan sentralistik. Oleh karena itu, ayat-ayat Alquran dan hadis nabi yang “terlanjur” dipahami sebagai landasan untuk mensubordinasi wanita harus dipahami ulang melalui perspektif budaya dan sosial. Karena, fakta sejarah menunjukkan beberapa wanita yang sukses dengan gemilang dalam memimpin bangsanya, sebaliknya ditemukan juga kegagalan laki-laki dalam memimpin rakyatnya.
Kata Kunci : Kepemimpinan Wanita, Husein Muhammad,
Pembimbing I : Dr. Supriyadi Ahmad, M.A
Pembimbing II : Sri Hidayati, M.Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1959 sampai 2018
v
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن اللرحيم
Alhamdulillah, puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya penyusunan skripsi yang berjudul “ KEPEMIMPINAN WANITA
DALAM RANAH POLITIK DAN SOSIAL MENURUT HUSEIN
MUHAMMAD” dapat diselesaikan dengan baik, meskipun terdapat beberapa
kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini. Penelitian skripsi ini
tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan
penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Siti Hana, M.A Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum
dan Hidayatullah, M.H Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Supriyadi Ahmad, M.A dan Sri Hidayati, M.Ag Dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya serta
kesabaran dalam membimbing sehingga peneliti dapat menyelesaikan
penelitian skripsi ini dengan tepat waktu.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Dosen Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk peneliti.
5. Kepala dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala dan Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tekah menyediakan fasilitas yang memadai guna
vi
menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Muhammad Zeen dan Ibunda
Rahmawati, segenap keluarga besar Nenek Hj. Aisyah, keluarga besar Alm
kakek H.Yakub dan Nenek Hj Masnun serta Kakanda Irawati, Irfan,
Irman, Syamsyudin, Rahmah,Irma dan Keponakan tersayang Hamizah
Hamim Thohari, Muhammad Gilang, Dini, Zizi, Fajrin,Haekal, Fatya,
7. Pimpinan Pondok Modern Umul Quro’ Al-Islami KH. Helmi Abdul
Mubin, Lc, dan Ibu Fatimah Noor, Ust Syamsul Rizal, Saeful Falah, Ush
Nuril Izzah, Usth Ummu Hafoh
8. Guru-guru tercinta Habib Ainul Yakin Bin Abdurahmman Alqadri, Habib
Abdurahmman Bin Abdullah Alqadri, Ust. Andi, Ust. Anton, Ust. Ujang
Wahab, Ust. H. Ahmad Firdaus, Ust. H. Burhanuddin, Ust Asep Saepudin
Ust. Dede Jamalulail, SH.I. Usth. Rusni, Usth. Solehah, Usth. Aidah. Usth.
Sarah, yang selalu memberika motivasi dan memanjatkan do'a
9. Teman-teman seperjuangan dari SMP sampai di UIN A. Gojali Sahlan,
S.Pd, M. Sulaeman, S.H., Pandi Darmawan, S.E., Endang Jayadi, S.Ag,
Nur Anisa Utami, S.Pd, Rin-Rin Sri Annisa, S.E.,Nur Hamidah S.Pd,
Faisal Ridho S.H dan Khodir, S.Ag.
10. Teman-Teman Seperjuangan Perbandingan Mazhab Fiqih Angkatan 2012,
terimakasih sudah saling menyemangatin dan berdiskusi selama
perjuangan ini, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11. Segenap Abang-abang tercinta, Bapak Rw. 08 Acing Ardiansyah, Ketua
Pemuda Boni, Bagap, Rohim, Syamsudin, bayu, Soni, Sutisna, Jabrik,
Muhammad Abdullah S.E serta Ketua Karang Taruna Persada,
Hendrawan Dacil dan Away.
12. Keluarga Besar 13 IKAPMI UIN JAKARTA dan rekan Alumni Pesantren
Modern Ummul Quro Al-Islami.
13. Sahabat-sahabat Seperjuangan di Tanah Kelahiran Kukupu Rio
Gusdiansyah, Syahrul, Iyus, Andri, Iwan, Angga, iyok, Khairul Uweng,
vii
Kambuy, Rofki arifin, Abpril Romi, Arif Rifadah S.pd segenap Pemuda/i
Rw.08, Karang Taruna Persada Unit 08, Majelis Taklim Jamiatul Khair,
Nurul Iman, dan Nurul Ummah.
Semoga segala bantuan, partisipasinya, do’a dan budi baik mereka mendapat
ridho dan balasan dari Allah SWT. peneliti berharap semoga penelitian skripsi ini
memberikan manfaat dan dapat dijadikan masukan bagi guru-guru sebagai
referensi untuk penelitian selanjutnya.
Bogor, 2019
Ahmad Zarkasih
viii
DAFTAR ISI
JUDUL........................................................................................................... i PERSETUJUIAN PEMBIMBING.............................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI........................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................... iv ABSTRAK..................................................................................................... v KATA PENGANTAR................................................................................... vi DAFTAR ISI.................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................ 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... 5 D. Metodologi Penelitian......................................................................... 6 E. Review Studi Terdahulu...................................................................... 7 F. Sistematika Penulisan......................................................................... 10
BAB II KEPEMIMPINAN DAN POSISI WANITA DALAM ISLAM A. Pengertian Kepemimpinan.................................................................. 11 B. Posisi Wanita Dalam Islam................................................................. 19 C. Kesetaraan Gender Dalam Kepemimpinan Menurut Islam................ 26
BAB III KEPEMIMPINAN WANITA DAN BIOGRAFI HUSEIN MUHAMMAD
A. Kepemimpinan Wanita dalam Islam................................................... 33 B. Sejarah Kepemimpinan Wanita di Dunia Islam.................................. 35 C. Biografi Husein Muhammad........................................................... 39
BAB IV PERBANDINGAN KEPEMIMPINAN WANITA MENURUT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER
A. Landasan Berpikir Husein Muhammad.............................................. 49 B. Pandangan Husein Muhammad Tentang Kepemimpinan Wanita...... 51 C. Metode Pemikiran Fiqh Husein Muhammad...................................... D. Dekonstruksi Kemapanan Pemikiran Tentang Kepemimpinan
Wanita.................................................................................................
55
59 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 64 B. Saran-saran.......................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 66
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan zaman pada sekarang memberikan pengaruh-pengaruh baru
terhadap hukum-hukum fiqih dalam segala hal. Isu kesetaraan gender menjadi
kontroversi yang baru dalam dunia Islam. Kesetaraan gender merupakan kesamaan
kedudukan sorang laki-laki dengan seorang wanita. Laki-laki dalam segala
kegiatanya tidak terlalu memiliki banyak batasan sedangkan wanita dalam segala
bentuk kegiatanya mempunyai banyak batasan. Salah satu batasan wanita Muslimah
adalah menjadikanya seorang pemimpin atau penguasa dalam sebuah kaum atau
negara.
Secara umum, pendapat yang berkembang dalam fikih tentang keterlibatan
wanita dalam urusan politik terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, pendapat yang
mengatakan bahwa sejak kemunculannya, fikih tidak pernah memperkenankan kaum
wanita untuk terlibat dalam urusan politik. Kedua, keterlibatan politik wanita sudah
diakui dan disahkan sejak kemunculan fikih. Ketiga, persoalan politik bukanlah ranah
agama (fikih), karenanya, politik berada di luar aturan agama (fikih).1 Menurut
Wahjosumidjo untuk mengetahui seluk beluk kepemimpinan, seseorang harus
1Jamalullail, “Hak Berpolitik Seorang Muslimah Perspektif Fiqih Politik”, (Skripsi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 34.
1
2
mengatahui dan memahami arti dan batasan istilah kepemimpinan.2 Kepemimpinan
adalah kemampuan yang ada pada diri seorang leader yang berupa sifat-sifat tertentu,
seperti: kecerdasaan (intellegence), kemampuan mengawasi (supervisory ability),
inisiatif (inisiative), ketenangan diri (self assurance), dan kepribadian (individuality).3
Kepemimpinan merupakan rangkaian aktivitas pemimpin yang tidak dapat dipisahkan
dengan kedudukan, gaya dan perilaku pemimpin tersebut, serta interaksi antara
pemimpin, pengikut dan situasi.4 Kemudian, menurut George Terry, Kepemimpinan
adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka rela
untuk mencapai tujuan kelompok. 5
Dalam konsep Islam, seorang pemimipin dianjurkan dari kaum adam (laki-
laki), hal ini menguatkan bahwa laki-laki adalah seorang pemimpin bagi dirinya dan
keluarganya, selain itu pemimpin dari laki-laki mempunyai sidat tegas dan pantang
menyerah. Namun menurut beberapa pendapat ulama ada sebagian yang
memperbolehkan dan yang tidak memperbolehkan adanya wanita sebagai pemimpin
atau penguasa sesuai dengan hujahnya masing-masing. Hukum pemimpin wanita
2Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis, (Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 237.
3 Soekarso dan Iskandar Putong, Kepemimpinan: Kajian Teoritis dan Praktis, h. 71. Diakses melalui https://books.google.co.id/books?id=g6hxBgAAQBAJ&dq=sifat-sifat+kepemimpinan&hl=id&source=gbs_navlinks_s pada 19 Maret 2019.
4 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis
5 Akh. Muwafik Saleh, Komunikasi dalam Kepemimpinan Organisasi, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2016), h. 19.
3
dalam Islam menjadi seorang presiden, gubernur, hakim walikota, ataupun pemimpin
lainya menjadi kontroversi dalam tinjauan syariah Islam karena ada perbedaan ulama
tentang hadits sahih dari Abu Bakrah di mana Nabi menyatakan bahwa Suatu kaum
tidak akan berjaya apabila dipimpin oleh perempuan. Rasulullah SAW, ketika
mendengar kaum Persia dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra Raja Kisra yang
bernama Bûran, beliau berkata,“Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin
oleh wanita.” Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan.
Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan
adalah sebuah anjuran. Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas,
semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi
perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilator belakangi adanya perbedaan sudut
pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari
kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Pada zaman sekarang kedudukan kekuasaaan atau pemimipin banyak
diduduki oleh kaum wanita baik muslim maupun non muslim yang menjabat menjadi
pemimpin suatu perusahaan daerah bahkan negara. Hal ini bertentangan dengan
kalam yang di ucapkan oleh Rasulullah. Namun seiring dengan perkembangan zaman
yang mengatas namakan kesetaraan gender menjadi penyebab perilaku itu menjadi
hal yang biasa bahkan sudah menjadi darah daging dalam perebutan kekuasaan.
Al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah menyebutkan syarat-syarat
pemimpin (ahlu imamah) mempunyai tujuh syarat, yaitu : adil, berilmu, normal panca
4
indera mendengar, melihat dan berbicara, normal anggota tubuh, mampu berpikir,
berani dan dari suku Quraisy. Al-Mawardi, salah seorang ulama besar tidak
menyebutkan laki-laki merupakan salah satu persyaratan menjadi pemimpin. Namun
hal ini tidak menyimpulkan bahwa wanita diperbolehkan menjadi seorang
pemimpin.6
Sedangkan zaman sekarang ini keadaan seperti gambaran tersebut sudah jauh
berbeda, dimana kekuasaan seorang presiden hanya terbatas pada bidang eksekutif,
sedangkan kekuasaan bidang yudikatif dan legislatif, masing-masing ada pada
lembaga Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan rakyat atau Majelis Perwakilan
Rakyat. Dengan demikian pada zaman sekarang ini sangat memungkinkan seorang
perempuan yang anggap lemah kemampuannya dalam memimpin, menjadi seoarang
pemimpin atau presiden atau istilah lainnya.
Salah satu tokoh di Indonesia yang meramaikan kajian kepemimpinan wanita
dalam Islam adalah Husein Muhammad melalui karyanya Fiqh Perempuan: Refleksi
Kiai atas Wacana Agama dan Gender.7 Buku ini lahir dari kegelisahan Husein
Muhammad melihat fenomena terabaikannya dan terpinggirkannya hak-hak wanita
6 Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (terj. Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman), Cet. 1, (Jakarta: Qistthi Press, 2015), h. 9.
7Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2002).
5
dari sistem kehidupan patriarki, adanya ketidakadilan pada wanita, serta banyaknya
pelecehan dan kejahatan seksual pada wanita.8
Oleh karena itu dari latar belakang permasalahan di atas, penulis tertarik
untuk meniliti tentang pemasalahan tersebut dengan memberi judul “Kepemimpinan
Wanita dalam Ranah Sosial dan Politik Menurut Husein Muhammad”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mencapai hasil penelitian yang baik, penulis memberikan batasan-
batasan pada penelitian ini :
Pertama, Penelitian ini membahas terkait peran wanita dalam sebuah
kepemimpinan suatu negara, daerah dan lainya menurut pandangan Islam di
zaman kontemporer.
Kedua, pembahasan terkait kepimimpinan wanita menurut Islam akan dilihat
dari sisi pemikiran Husein Muhammad.
2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah bagaimanakah
pemikiran Husein Muhammad tentang kepemimpinan wanita dalam ranah
sosial dan politik?
C. Tujuan dan Manfaat penulisan
1. Tujuan Penelitian
8 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. xxiii.
6
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk
mengetahui pemikiran Husein Muhammad tentang kepemimpinan wanita
dalam ranah sosial dan politik.
2. Manfaat Penenlitian
Adapun manfaat dari penilitian ini adalah :
a. Bagi penulis, menambah wawasan dan pengetahuan tentang
kepemimpinan wanita dalam ranah sosial dan politik menurut hukum
Islam.
b. Bagi akademisi, sebagai tambahan informasi dan rujukan baru tentang
hal yang berkaitan dengan kepimimpinan wanita dalam ranah sosial
dan politik menurut hukum Islam.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dengan memanfaatkan metode ilmiah.9
Jenis data yang digunakan dalam penilitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer yaitu data yang hanya bisa didapatkan dari sumber
9 Lexy J. Moelong, Metode Penelitian Kaulitatif (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2017), h. 5-4.
7
otentik (asli) atau pertama.10 Dalam penelitin ini, sumber primer penulis
adalah buku karya Husein Muhammad berjudul Fiqh Perempuan: Refleksi
Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Data sekunder adalah sumber data
yang mempunyai kegunaan untuk mendukung dan memberikan informasi
tambahan terhadap data primer. Data sekunder dalam penelitian ini penulis
dapatkan dari buku-buku dan karya-karya ilmiah terutama yang terkait dengan
kepemimpinan wanita dalam Islam.
E. Review Studi Terdahulu
Nama : Tasmin Tangngareng (UIN Alauddin Makasar 2016)
Judul : Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
Nabi SAW (Pemahaham Makna Tekstual dan
Kontekstual)
Persamaan : Membahas kepemimpinan wanita
Perbedaan : Penelitian ini mengfokuskan kajiannya pada aspek
kepemimpinan wanita dalam hadis Nabi Muhammad
SAW menggunakan perangkat analisa ilmu hadis.
Sehingga, diperoleh kesimpulan bahwa Secara
tekstual hadis tersebut sebagai larangan bagi wanita
menjadi pemimpin dalam urusan umum. Oleh karena
itu, jumhur ulama secara tegas menyatakan bahwa
10 Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitan Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 123.
8
kepemimpinan wanita dalam urusan umum dilarang.
Secara kontekstual hadis tersebut dapat dipahami
bahwa Islam tidak melarang wanita menduduki suatu
jabatan atau menjadi pemimpin dalam urusan umum.
Bahkan menjadi kepala negara, dengan syarat
sanggup melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena
itu hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual
sebab kandungan petunjuknya bersifat temporal.11
Dengan demikian, penelitian ini jelas berbeda dengan
fokus kajian penulis tentang kepemimpinan wanita
dalam ranah sosial dan politik menurut Husein
Muhammad.
Nama : Asep Cisaat
Judul : Kepemimpinan dalam Perspektif Hukum Islam
(STAI Bina Madani Tangerang Banten)
Persamaan : Membahas tentang kepemimpinan dalam Islam
Perbedaan : Bahwa perempuan diperbolehkan menjadi kepala negara/
pemerintahan ( perdana mentri selama dalam suatu negara
dimana system pemerintahan berdasarkan musyawarah.
Seorang kepala Negara tidak lagi harus bekerja keras
11 Tasmin Tangngareng, “Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Hadis Nabi SAW (Pemahaman Makna Tekstual dan Kontekstual)”, Sulesana, Vol. 10, No. 2, Tahun 2016.
9
sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli sesuai
dengan bidang masing-masing mentri dan staff ahlinya
karena itu tidak ada halangan bagi seorang perempuan
untuk menjadi kepala Negara/ pemerintahan/ perdana
Menteri yang penting adalah perempuan yang di angkat
untuk menduduki jabatan itu mampu untuk menjalankan
tugas-tugasnya.
Nama : Jamalullail (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2003)
Judul : Hak Berpolitik Seorang Muslimah Perspektif Fiqih Politik
Persamaan : Membahas tentang kiprah wanita dalam politik
Perbedaan : Penelitian ini mengkaji hak politik wanita muslimah
secara umum sama seperti laki-laki untuk menduduki
posisi di kehakiman, DPR, MPR, Kepala Negara.
Sementara, fokus kajian penulis lebih sempit yaitu
tentang kepemimpinan wanita dalam ranah sosial dan
politik menurut Husein Muhammad.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penelitian yang akan ditulis, penulis menyusun
sistematika penulisan. Adapun setiap babnya terdiri dari :
BAB I Pendahuluan
10
Bab ini sebagai awal menuju pendeskripsian isi skripsi, adapun
pemaparan yang ada di bab ini mencakup latar belakang masalah, batasan
masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metodologi penelitian dan kerangka pemikiran.
BAB II Kepemimpinan dan posisi wanita dalam Islam
Bab ini membahas tentang teori atau definisi tentang penelitian yang
terkait, adapun teori atau definisi yang terkait ,di antaranya:
1. Pengertian Kepemimpinan
2. Posisi Wanita dalam Islam dan
3. Kesetaraan gender
BAB III Sejarah Kepemimpinan Wanita dan Biografi Husein Muhammad
Bab ini berisikan tentang sejarah kepemimpinan wanita dan selayang
pandang perjalanan hidup Husein Muhammad:
1. Kepemimpinan Wanita
2. Sejarah wanita di Indonesia
3. Pengertian Ulama dan peran ulama di Indonesia, dan
4. Biografi Husein Muhammad
BAB IV Analisis dan Pembahasan
Bab ini berisikan pembahasan mengenai analisis kepemimpinan
wanita menurut Husein Muhammad.
BAB V Penutup
11
Bab ini adalah akhir dari penelitian yang menyimpulkan tentang hasil
penelitian dan saran-saran.
BAB II
KEPEMIMPINAN DAN POSISI WANITA DALAM ISLAM
A. Pengertian Kepemimpinan
Dalam bahasa Indonesia, kata pemimpin sering disebut penghuhlu,
pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua,
kepala, peruntun, raja, dan sebagainya. Sedangkan, istilah Memimpin
digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan
kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Pemimpin merupaka suatu peran yang ada dalam sistem tertentu.
Karenanya, seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan
kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah kepemimpinan pada
dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh
yang dimiliki seseorang, oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang
yang bukan pemimpin.1
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh
oleh pemimpin kepada bawahannya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan juga termasuk ilmu terapan dari ilmu-ilmu sosial, sebab
prinsip-prinsip dan rumusanya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi
kesejahteraan manusia.2
Kepemimpinan agar berjalan secara efektif harus memberikan
pengarahan terhadap usaha-usaha semua anggota dalam mencapai tujuan-
tujuan organisasi. Tidak adanya kepemimpinan atau bimbingan akan
1Jarwanto, Pengantar Manajeman (3 In 1), (Yogyakarta: Mediatera, 2015), h. 92. 2Jarwanto, Pengantar Manajeman (3 In 1),h. 93.
11
12
mengakibatkan renggangnya hubungan antara tujuan perseorangan dan tujuan
organisasi. Keadaan ini memunculkan situasi di mana perseorangan bekerja
untuk mencapai tujuan pribadinya. Sementara itu, keseluruhan organisasi
menjadi tidak efisien dalam pencapaian sasaran-sasarannya. Oleh karena itu,
kepemimpinan sangat diperlukan jika suatu organisasi ingin sukses. Jadi,
organisasi perusahaan yang berhasil memiliki satu sifat umum yang
menyebabkan organisasi tersebut dapat dibedakan dengan organisasi yang
tidak berhasil sifat dan cara umum tersebut adalah kepemimpinan yang efektif.
Kepemimpinan bukan suatu yang istimewa, tetapi tanggung jawab, ia bukan
fasilitas tetapi pengorbanan, juga bukan untuk berleha-leha tetapi kerja keras.
Ia juga bukan kesewenang-wenangan bertindak tetapi kewenangan melayani.
Kepemimpinan adalah berbuat dan kepeloporan bertindak. Pengertian
kepemimpinan dapat dilihat dari berbagai sisi kepemimpinan itu sendiri,
kepemimpinan mengandung dua segi, yaitu:
a. Pemimpin formal adalah orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan
kepemimpinannya, teratur dalam organisasi secara hirarki.
Kepemimpinan formal ini disebut dengan istilah “kepala”.
b. Pemimpin informal adalah kepemimpinan yang tidak mempunyai dasar
pengangkatan resmi, tidak nyata terlihat dalam susunan kepemimpinan
organisasi.3
Kepemimpinan dalam arti yang luas yaitu meliputi proses mempengaruhi
dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi prilaku pengikut untuk
3 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 3.
13
mencapai tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budaya. Selain
itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para
pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran,
memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan kerja
sama orang-orang diluar kelompok dan organisasi. Kepemimpinan terkadang
dipahami sebagai kekuatan untuk menggerakkan dan memengaruhi orang.
Kepemimpinan sebagai sebuah alat sarana, proses untuk membujuk orang agar
bersedia melakukan sesuatu secara sukarela atau suka cita. Ada beberapa faktor
yang dapat menggerakan orang yaitu ancaman, penghargaan, otoritas, dan
bujukan.
Menurut agama Islam, kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang
berarti wakil. Penggunaan kata khalifah setelah Rasulullah SAW sama artinya
yang terkandung dalam perkataan “amir” atau pengusaha. Oleh karena itu, kedua
istilah dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pemimpin formal.
Selain kata khalifaf disebut juga Ulil Amri yang satu akar dengan kata
amir sebagaimana di atas. Kata Ulil Amri berarti pemimpin tertinggi dalam
masyarakat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59 yang
berbunyi:
زعتم سول وأولي ٱألمر منكم فإن تن وأطیعوا ٱلر أیھا ٱلذین ءامنوا أطیعوا ٱہلل في ی
ل وٱلیوم ٱألخر ذ سول إن كنتم تؤمنون بٱہلل وٱلر وه إلى ٱہلل ك خیر وأحسن شيء فرد
٥۹تأویال
14
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Semua kepemimpinan selalu menggunakan power atau kekuatan.
Kekuatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan seseorang dalam
mempengaruhi orang lain.4 Kemampuan pemimpin untuk membina hubungan
baik, komunikasi dan interaksi dengan para bawahan dan seluruh elemen
perusahaan. Kemampuan adalah persyaratan mutlak bagi seorang pemimpin
dalam membina komunikasi untuk menjalankan perusahaan sehingga akan terjadi
kesatuan pemahaman.
Selain itu dengan kemampuan kepemimpinan akan memungkinkan
seseorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya agar mereka mau
menjalankan segala tugas dan tanggung jawab dengan jujur, amanah, ikhlas, dan
profesional.5
Selain identik dengan kata khalifah, kepemimpinan dalam Islam
bersinonim dengan istilah imamah. Kata imamah mempunyai pengertian secara
istilah sebagai berikut:6
4 Pandji Anoraga, Manajemen Bisinis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 182. 5Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis dan
Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 137. 6 Abdullah ad-Dumaiji, Konsep Kepemimpinan dalam Islam, (Jakarta: Ummul Qura,
2017), h. 38.
15
a. Menuru al-Mawardi imamah ditetapkan untuk menggantikan tugas kenabian
dalam menjaga agama dan menata dunia dengan agama.
b. Imam Haramain al-Juwaini mendefinisikan imamah sebagai kepemimpinan
sempurna, yang berkaitan dengan kalangan khusus maupun umum dalam
berbagai persoalan agama maupun dunia.
c. Al Nafasi dalam al-Aqa’id mengartikan imamah sebagai wakil dari Rasulullah
SAW dalam urusan menegakkan agama yang wajib diikuti oleh seluruh umat.
d. Dalam kita al-Mawaqif , imamah didefinisikan sebagai seorang pemimpin yang
menggantikan Rasulullah SAW untuk menegakkan agama di mana seluruh
umat wajib mengikutinya.
e. Ibn Khaldun mengartikan imamah sebagai pemimpin yang membawa
(mengatur) seluruh umat berdasarkan pandangan syariat dalam mewujudkan
maslahat-masalahat mereka, yang bersifat keakhiratan dan duniawi yang akan
kembali kepada ukhrawi.
f. Muhammad Najib al-Muthi’i berpendapat imamah adalah kepemimpinan
menyeluruh dalam segala urusan dunia dan agama.
Dalam sejarah Islam sendiri mengalami pasang surut pada sistem
kepemimpinannya. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman pemimpinannya
terhadap masa depan mengenai bagaimana mengatur strategi dalam
memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh umat dalam segala posisi kehidupan
untuk menentukan langkah sejarah. Untuk itu kepemimpinan sangatlah
mempengaruhi bagi kesejahteraan umat, apakah akan mencapai suatu kejayaan
atau bahkan suatu kemunduran. Karena bukan rahasia umum lagi bahwa Islam
16
pernah mencapai suatu masa kejayaan ketika abad-abad perkembangan awal
Islam.
Dalam Islam seseorang yang menjadi pemimpin haruslah memenuhi enam
persyaratan, yaitu:7
a. Mempunyai kekuatan, kekuatan yang dimaksudkan disini adalah kemampuan
dan kapasitas serta kecerdasan dalam menunaikan tugas-tugas.
b. Amanah, yakni kejujuran, dan kontrol yang baik.
c. Adanya kepekaan nurani yang dengannya diukur hak-hak yang ada.
d. Profesional, hendaknya dia menunaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
padanya dengan tekun dan profesional.
e. Tidak mengambil kesempatan dari posisi atau jabatan yang sedang
didudukinya.
f. Menempatkan orang yang paling cocok dan pantas pada setiap jabatan.
Dalam agama Islam, kepemimpinan mempunyai beberapa prinsip yang
tercantum di dalam Alquran, yaitu:
1) Prinsip Tanggung Jawab
Ajaran Islam menyatakan bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggungjawaban. Tanggungjawab merupakan esensi
mendasar yang harus diketahui terlebih dahulu oleh setiap orang yang
mencalonkan diri sebagai pemimpin untuk menjaga amanah dan kepercayaan
yang telah diberikan rakyat agar tidak sia-sia. Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-
Nisa’ [4]: 58.
7Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer, h. 138.
17
ت إلى أھلھا وإذا حكمتم بین ٱلناس أن ن وا ٱألم یأمركم أن تؤد ۞إن ٱہلل
ا بصیرا تحكموا بٱلعدل إن ٱہلل كان سمیع ا یعظكم بھۦ إن ٱہلل ٥۸ نعم
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
2) Prinsip Tauhid
Agama Islam menyerukan kepada manusia untuk menuju kepada arah
kesatuan akidah yang dapat diterima oleh semua golongan, yaitu tauhid. Hal
tersebut dijelaskan dalam QS. Al-Anbiya’ [21] : 92
حدة وأنا ربكم فٱعبدون ة و تكم أم ذهۦ أم ۹۲إن ھ
Artinya: “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu
semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”.
3) Prinsip Musyawarah
Perintah kepada pemimpin untuk melaksanakan musyarawah terdapat
di dalam Alquran, bahwa seorang pemimpin wajib melakukan musyawarah
dengan orang-orang yang mempunyai pengetahuan dan berpandangan baik.
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Syura [41]: 38
ا لوة وأمرھم شورى بینھم ومم وٱلذین ٱستجابوا لربھم وأقاموا ٱلص
ھم ینفقون ۳۸رزقن
18
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka”.
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang baik
adalah orang yang tidak serta merta memutuskan penyelesaian dengan
pertimbangan akal sendiri, namun mengajak orang-orang yang berilmu dan
berpandangan luas untuk bermusyawarah dalam rangka mencari solusi terbaik
suatu masalah.
4) Prinsip Adil
Dalam suatu masyarakat “pancaran” keadilan dari seorang pemimpin
mempunyai posisi yang sangat penting. Keadilan merupakan suatu “rumusan”
perlakuan seorang pemimpin terhadap untuk tidak membeda-bedakan,
memihak, berat sebelah dalam melayani kepentingan masyarakat. Hal ini
dijelaskan dalam QS. Al-Maidah [5]: 8 berikut ini:
شھداء بٱلقسط وال یجرمنكم مین ہلل أیھا ٱلذین ءامنوا كونوا قو ی
شن ◌ان قوم على أال تعدلوا ٱعدلوا ھو أقرب للتقوى وٱتقوا ٱہلل إن ◌ٴ
خبیر بما تعملون ۸ٱہلل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
19
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.8
B. Posisi Wanita dalam Islam
Kedatangan Islam adalah tahap baru untuk kehidupan wanita. Cahaya
itu telah memaksa untuk membuka mata kesadaran setiap orang untuk tidak
lagi meremehkan posisi wanita dan meletakkannya pada tempat yang
selayaknya. Islam memberikan dan membawa pesan moral kekuasaan,
sehingga wanita terbebas dari belenggu dan tirani yang selama ini
merendahkan mereka. Dengan demikian, secara horizontal tidak ada kekuatan
manapun yang dapat menekan wanita. Hal ini, dikarenakan ajaran Islam yang
bersumber dari Alquran dan hadis memberikan landasan prinsip-prinsip etis
yang mengatur kesetaraan hak wanita dalam masyarakat. Alquran sering kali
menyebut prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan.9 Hal tersebut
merupakan prinsip utama yang diterapkan secara lugas untuk membangun
sebuah komunitas yang kreatif, kondusif dan saling menguntungkan. Bahkan,
prinsip-prinsip tersebut belakangan ini sering disebut sebagai pilar politk Islam.
Oleh karena itu, prinsip-prinsip tersebut menjamin posisi wanita tidak
dinomorduakan lagi.
Islam lahir membawa visi dan misi kesetaraan universal, maksudnya
manusia tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Allah
8 Abdullah ad-Dumaiji, Konsep Kepemimpinan dalam Islam, h. 287. 9Bahtiar Efendi, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan
Demokratisasi, (Jakarta: Galang Press, 2001), h. 81.
20
SWT menciptakan manusia dari satu asal, seperti yang diterangkan di dalam
QS. Al-Hujurat: 13.
كم شعوبا وقبائل لتعارفوا ن ذكر وأنثى وجعلن كم م أیھا ٱلناس إنا خلقن ی
علیم خبیر أتقٮكم إن ٱہلل ۱۳إن أكرمكم عند ٱہلل
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Begitu mulianya Islam memposisikan wanita sebagai makhluk
terhormat tidak berbeda dengan laki-laki. Sehingga, salah satu nama surat di
dalam Alquran bernama al-Nisa’ yang berarti wanita untuk membuktikan
peran Islam dalam mengangkat keadilan dan perlindungan terhadap wanita
sesuai dengan kandungan ayat-ayat dalam surat tersebut. Bahkan, menurut
Mahmud Syaltut, penghormatan dalam Islam terhadap wanita terabadikan di
dalam lebih dari sepuluh surat di dalam Alquran, yaitu: al-Nisa’, al-Thalaq, al-
Nur, al-Mujadalah, al-Ahzab, al-Mumtahanah, dan lain-lain. Hal ini
membuktikan bahwa Islam mengakui dan menempatkan wanita pada posisi
yang terhormat. Meskipun demikian, prinsip-prinsip tersebut tidak dapat
diungkap oleh kalangan muslim sendiri. Masih saja ada praktik yang dilakukan
oleh umat Islam yang merendahkan dan meremehkan andil perempuan,
21
khususnya kiprah wanita dalam dunia politik untuk menjadi pemimpin di
dalamnya.10
Jika posisi wanita dilihat sejak kedatangan Islam, maka akan terlihat
nasib dan kondisinya yang tidak stabil. Naik-turun nasib kehidupan wanita
selalu dibentuk dan diarahkan oleh kebudayaan yang berlaku pada suatu ruang
dan waktu. Terdapat tahap-tahapan di mana wanita dihormati, lalu direndahkan
dan dihinakan, kemudian disetarakan lagi dengan kaum laki-laki.
Penghormatan yang diberikan Islam terhadap wanita di mulai sejak masa
Rasulullah SAW. Pada masa ini, wanita diberi kebebasan dalam segala dimensi
kehidupan masyarakat, baik bidang ekonomi, publik, keilmuan dan lain
sebagainya. Bahkan dalam bidang keamanan pun wanita dilibatkan. Hal ini
terekam dalam sebuah hadis yang artinya sebagai berikut:
“Dari Ummu Athiah: Aku ikut berperang bersama Rasulullah SAW
sebanyak tujuh kali, aku menggantikan tugas mereka ketika merika berpergian
dan membuat makanan untuk mereka, dan membalut luka yang sakit.” (HR.
Muslim).
Rasulullah Saw mempunyai hubungan yang dekat dengan wanita,
beliau selalu menerima setiap usul yang disampaikan oleh kaum wanita.11
Pernah suatu ketika kaum wanita memprotes Rasulullah Saw agar beliau
mengizinkan mereka mengikuti pengajian, yang sebelumnya dikhususkan
untuk kaum laki-laki saja, karena kaum laki-lakilah yang akan menyampaikan
10 Fatimah Mernisi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 187. 11 Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), h. 12.
22
hasil pengajian kepada wanita. Akhirnya, Rasulullah Saw memutuskan untuk
membuka pengajian khusus untuk kaum wanita.12 Kemudian, Rasulluah Saw
juga memberikan hak politik dan kebebasan menyatakan pendapat. Dalam QS.
Al-Mujadalah: 1-4: “Sesungguhnya Allah Swt telah mendengar perkataan
perempuan yang menganjurkan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang
suaminya dan mengadukan (persoalannya) kepada Allah, dan Allah mendengar
percakapanmu berdua:
Ayat tersebut di atas, membuat sentuhan wanita dan nuansa feminis
yang melekat abadi, setelah berabad-abad ketika wanita mengajukan pendapat
tidak didengar bakan diharamkan. Namun setelah kedatangan Islam hal ini
terhapus karena Islam tidak memandang perempuan sebatas bunga yang dapat
dinikmati keindahan dan keharumannya saja, melainkan juga dipandang
sebagai makhuk berpikir yang mempunyai pendapat cemerlang dan bernilai.
Di samping, hak-hak tersebut di atas, Islam memberikan hak waris yang
sepantasnya diterima oleh wanita yang sebelumnya penerimaan waris
dimonopoli kaum laki-laki saja.13
Suatu ketika Rasulluah Saw kedatangan seorang sahabat wanita.
Sahabat wanitan tersebut menceritakan perihal kematian suaminya di medan
perang. Di sisi lain, ia meninggalkan dua orang anak. Setelah mendengarkan
seluruh cerita dari sahabat wanita tersebut, Rasulullah Saw memberikan
keputusan untuk memberikan warisan dari harta yang ditinggalkan oleh suami
12 Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan: Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 33.
13 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II, h. 424.
23
sahabat wanita tersebut. Hak tersebut dijelaskan di dalam Alquran. Tindakan
Rasullullah tersebut adalah awal lahirnya pengangkatan martabat wanita, dan
merubah tradisi lama yang nota bene merupakan kebudayaan yang tidak
berperikemanusiaan. Wanita mulai mendapatkan hak-haknya meskipun secara
kualitas tidak persis sama dengan laki-laki.
Dari pemaparan tersebut di atas, terlihat bahwa tingginya intensitas
keterlibatan wanita baik dalam dunia keilmuan, politik, ekonomi dan lain
sebagianya. Hal ini menunjukkan era tersebut adalah masa kebangkitan wanita
dan posisi wanita mulai dihormati dan diperhitungkan.
Menurut Nasaruddin Umar, perjalanan sejarah penaklukan Islam yang
mengharuskan adanya persentuhan dengan budaya patriarkis yang ada pada
kebudayaan masyarakat Asiria, Persia dan lain sebagainya membawa pengaruh
pada hasil penafsiran teks kitab suci. Para ulama tafsir dan fikih abad masih
menerapkan penafsiran yang masih cenderung patriarki. Terlabih lagi, adanya
keyakinan teologis, bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam, wanita
diciptakan hanya sebagai penyembuh dahaga hasrat Adam dan wanitalah yang
menggoda Adam yang mengakibatkan diusirnya Adam dari surga dan
mengakibatkan adanya dosa warisan.14
Agama Islam sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia yang
terimplementasi di dalam Piagam Madinah.15 Menurut pendapat sarjana fikih,
14 Nasaruddin Umar, Teologi Jender: Mitos dan Teks Kitab Suci, (Jakarta: Pustaka Cicero, t.t), h. 154.
15Imran Siswa, “Hak Asasi Manusia dalam Piagam Madinah serta Prinsip-prinsip
Konstitusi Madinah”, Mahkamah, Vol. 2, No. 2 Oktober 2010, h. 169.
24
hak asasi manusia merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh syari’ah untuk
semua manusia.16
Lebih lanjut, sebagai agama yang membawa misi kebebasan adalah
suatu konsekuensi logis bahwa Islam melarang mengekang kebebasan kaum
wanita, bahkan fakta sejarah membuktikan telah lahir dari “rahim” agama
Islam sebuah revolusi pemikiran dan tindakan yang tegas dan lugas dalam
rangka menghilangkan pekatnya sikap-sikap diskriminatif dan paternalistis.
Islam telah memunculkan sosok-sosok wanita yang mempunyai paradigma luas
tentang hakekat alam, manusia dan hidup. Ajaran Islam yang menjunjung
tinggi semangat egaliter, keadilan dan kebebasan telah merubah wanita Islam
menjadi tidak sekedar penurut pada tradisi yang merenggut kemualiaan
posisinya sebagai manusia.17 Dalam QS. Al-Hujarat [49]: 13 Allah
Swtberfirman:
كم شعوبا وقبائل ن ذكر وأنثى وجعلن كم م أیھا ٱلناس إنا خلقن ی
علیم خبیر أتقٮكم إن ٱہلل ۱۳لتعارفوا إن أكرمكم عند ٱہلل
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
16Simposium Hak Asasi Manusia di antara Islam dan Undang-undang Dasar, h. 25. 17Najmah Sa’idah Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan (Bercermin pada
Shahabiyah Ra), (Jakarta: Idea Pustaka, 2003), h. 193.
25
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa laki-laki dan
perempuan dapat menempati posisi yang mulia. Kemulian manusia tidaklah
bedasarkan atas suku, keturunan, bangsa, jenis kelamin dan warna kulit. Allah
Swt berfirman dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 1 sebagai berikut:
حدة وخلق منھا زوجھا ن نفس و أیھا ٱلناس ٱتقوا ربكم ٱلذي خلقكم م ی
ٱلذي تساءلون بھۦ وٱألرحام وبث منھما رجاال كثیرا ونساء وٱتقوا ٱہلل
۱ كان علیكم رقیبا إن ٱہلل
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”.
Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita
mempunyai kesamaan dalam segi asal-muasal, tempat tinggal dan tempat
kembali. Allah Swt menegaskan bahwa “sesungguhnya Allah Swt tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik laki-laki maupun wanita,
26
keduanya yaitu laki-laki dan wanita mempunyai hak yang sama”.18 Hal senada
juga ditegaskan oleh Allah Swt dalam ayat lain, yaitu: “bagi laki-laki
dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan
dianugerahkan dari apa yang diusahakannya”.19 Ayat-ayat tersebut merupakan
penjelasan Alquran yang melenyapkan semua pandangan yang membedakan
laki-laki dengan wanita, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dari pemaparan tersebut di atas terlihat bahwa agama Islam telah
memposisikan wanita pada tempat yang mulia, serta meluruskan konsep-
konsep yang keliru yang berkaitan dengan kedudukan kaum wanita. Prinsisp
keadilan merupakan pondasi yang harus ditegakkan dan diluruskan dalam
sendi-sendi kehidupan masyarakat, karena menurut Islam jelas bahwa tidak ada
kasta yang membedakan posisi antara laki-laki dan wanita, di mana salah satu
dari kedua jenis kelamin lebih unggul dibandingkan jenis kelamin yang lain.
C. Kesetaraan Gender dalam Islam
Dalam pembahasan gender masih ada anggapan diskriminatif terhadap
wanita dan penghilangan hak-hak terhadap mereka. Gender yang telah
diperjuangkan oleh beberapa kalangan, baik dari kalangan akademisi maupun
dari kalangan yang menilai bahwa Islam adalah agama yang mendorong
kehadiran isu gender tersebut di muka bumi ini. Tentunya, kalangan orientalis
yang berbasis misionarisme ingin memojokkan posisi umat Islam dengan
mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-artikel yang
18 QS. Ali Imran [3]: 195. 19 QS. Al-Nisa’ [4]: 32.
27
menyudutkan dan memberikan pendapat secara sepihak tentang Islam dan
gender.20
Agama Islam tidak meletakkan antara hak dan kewajiban yang ada
pada anatomi manusia dalam posisi yang saling berlawanan, hak dan kewajiban
itu selalu setara di mata Islam untuk kedua jenis kelamin yang berbeda
tersebut. Islam menjunjung tinggi konsep keadilan untuk siapapun tanpa
melihat jenis kelamin mereka. Islam merupakan agama yang terdepan dalam
usaha membebaskan belenggu tirani perbudakan, kesetaraan hak dan tidak
pernah memberikan keutamaan salah satu jenis kelamin saja. Islam lahir
sebagai agama yang menebar kasih dan sayang bagi siapa saja.21
Allah Swt menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan
laki-laki. Kaum laki-laki diberikan kelebihan oleh Allah Swt baik fisik maupun
mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas
kaum wanita terdapat di dalam Alquran pada surat al-Nisa’ [4]: 35. Sehingga,
secara asal nafkah bagi keluarga merupakan tanggug jawab kaum laki-laki.
Semua yang diciptakan Allah Swt berdasarkan kudratnya masing-masing. Para
pemikir Islam mengartikan qadar di dalam Alquran sebagai ukuran-ukuran,
sifat-sifat yang ditetapkan Allah Swt bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan
kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan wanita sebagai individu dan jenis
kelamin memiliki kudratnya masing-masing. Mahmud Syaltut yang dikutip
20 Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), h. 11.
21 Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam,
h.11.
28
oleh Abudin Nata mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan
wanita berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT telah
menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana
telah menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat Alquran yang populer
dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah
firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 1.22
Adanya perbedaan antara laki-laki dan wanita tidak dapat disangkal
karena memiliki kodrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari
segi biologis.23 Alquran mengingatkan: ”dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.24
Kaum laki-laki dan wanita sama di hadapan Allah. Memang ada ayat
yang menegaskan bahwa “para laki-laki (suami) adalah pemimpin para
perempuan (istri)”,25 namun kepemimpinan ini tidak boleh menjadikannya
berlaku sewenang-wenang, karena di sisi lain Alquran memerintahkan untuk
saling tolong-menolong antara laki-laki dan wanita, terlebih Alquran
22 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006), h. 23. 23 Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-isu
Aktual, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014), h. 59. 24 QS. Al-Nisa’ [4]: 32. 25 QS. Al-Nisa’ [4]: 34.
29
memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan
memusyawarahkan persoalan mereka bersama.26
Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk
memahami realitas kehidupan.27 Islam juga merupakan tatanan global yang
diturunkan Allah Swt sebagai rahmat li al-‘Âlamîn.28 Sehingga–sebuah
konsekuensi logis– jika penciptaan Allah Swt atas makhluk-Nya – laki-laki
dan wanita–memiliki misi sebagai khalifatullâh fî al-ardh, yang memiliki
kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu
kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan.29 Dengan
demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan
kesetaraan harkat dan martabat sebagai hamba Allah Swt serta mengemban
amanah yang sama dengan laki-laki.
Berdasarkan pernyataan di atas, wanita dalam Islam mempunyai peran
yang sangat strategis dalam mendidik umat, memperbaiki masyarakat dan
membangun peradaban, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat wanita
dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya pada satu
keunggulan peradaban.30 Mereka berperan dalam masyarakatnya dengan azzam
26 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 142. 27 Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme: Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2010), h. 84. 28 Darsono Yusin Sali, Meneguhkan Keislaman & Keindonesiaan, (Yogyakarta:
Deepublish, 2018), h. 227-228. 29 Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Cahaya Illahi Yang Hilang, (Malang: Universitas
Brawijaya Press, 2013), h. 184. 30 Samsul Nizar. "PENDIDIKAN PEREMPUAN: Kajian Sejarah yang Terabaikan."
Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 11.1 (2017): 1-18.
30
yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka,
sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan
mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan tataran
kehidupan mereka.
Hal ini muncul dikarenakan jauhnya umat ini secara umum dari
Alquran dan Sunnah. Di samping itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan
konsep gendernya menawarkan berbagai teori dan praktik yang memadai untuk
mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil menjadi pemecah masalah
berbagai permasalahan wanita yang berkembang. Pada gilirannya konsep
gender–kemudian cenderung diterima mentah-mentah oleh kalangan wanita
muslim tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat dan implikasinya.31
Dalam agama Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun
hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada
kelebihan manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang
potensial saja sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan
sebagai hamba (sama seperti jin)32 dan khalîfatullâh.33
Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan
(konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih
tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan
potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai
31 Kasmawati, “Gender dalam Perspektif Islam”, Sipakalebbi’, Vol. 1, No. 1Mei 2013, h.
9. 32 QS. Al-Dzhariyat [51]: 56. 33 QS. Al-Baqarah [2]: 30.
31
fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang
lain.34 Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki-
laki dan wanita dinyatakan di dalam QS. Al-Taubah [9] :71. Kelebihan tertentu
laki-laki atas perempuan dieksplisitkan QS. Al-Nisa’ [4]: 34 dalam kerangka
yang konteksual , sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah
subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah nilai ideal universal
wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan dalam kerangka
konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang konteksnya
(asbâb al-Nuzûl) yang dalam pandangan Ali Ashgar Engineer terformulasikan
dalam bahasa hukum (syari’at). Syari’at adalah suatu wujud formal wahyu
dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat.35 Antara
wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis
sebagaimana Alquran itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas
masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan bertahap.
Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang
realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks. Dari
penelusuran penulis paling tidak ada dua faktor yang menghambat perjuangan
gender, yaitu:
a. Faktor internal yang merupakan faktor dari dalam diri wanita itu
sendiri, misalnya perempuan selalu mempersepsikan status dirinya
34 Ashghar Ali Engineer, The Rigts of Women in Islam, (London: C. Hurst and Co., 1992), h. 122.
35 Ashghar Ali Engineer, The Rigts of Women in Islam, h. 122.
32
berada di bawah status laki-laki, sehingga tidak mempunyai
keberanian dan kepercayaan diri untuk maju.
b. Faktor ekternal yaitu faktor yang berada diluar diri perempuan itu
sendiri, dan hal yang paling dominan adalah terdapatnya nilai-nilai
budaya patriarki yang mendominasi segala kehidupan di dalam
keluarga masyarakat, sehingga menomor duakan peran perempuan.
Selain itu, juga interprestasi agama yang bias gender, kebijakan umum,
peraturan perundang-undangan dan sistem serta aparatur hukum yang
dikriminatif serta bias gender, baik di pusat maupun daerah. Di samping itu
juga masih kuatnya budaya sebagian besar masyarakat yang menganggap
perempuan kurang berkiprah di ruang publik, ditambah dengan adanya ajaran
agama yang dipahami secara keliru, membuat perjuangan perempuan untuk
mencapai keadilan dan kesetaraan gender semakin sulit tercapai.
BAB III
KEPEMIMPINAN WANITA DAN BIOGRAFI HUSEIN MUHAMMAD
A. Kepemimpinan Wanita dalam Islam
Isu yang senantiasa menjadi kontroversi dalam ranah publik Islam
adalah boleh tidaknya wanita menjadi pempimpin. Diskursus kepemimpinan
wanita dalam ranah publik mempunyai keberagaman dan kompleksitas
dibandingkan dengan diskusi kepemimpinan wanita di ranah domestik atau
rumah tangga.
Abbas Mahmud al-Aqqad merupakan salah satu sarjana Islam yang
menolak keras wanita menjadi pemimpin. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan fisik dan biologis menjadi prasyarat kualifikasi manusia yang
dapat mengemban tanggung jawab sosial. Perbedaan jenis kelamin, juga
berakibat munculnya perbedaan tanggung jawab sosial, laki-laki bertanggung
jawa dalam ranah publik sedangkan wanita bertanggung jawab menjaga
keharmonisan ranah domestik. Al-Aqqad mengemukakan bahwa hak menjadi
pemimpin dilandaskan pada kemampuan dan kesanggupan alamiah yang
cenderung dimiliki oleh laki-laki dan bukan wanita. Bahkan, menurut al-
Aqqad wilayah kepemimpinan wanita adalah sebatas wilayah rumah tangga,
sementara laki-laki seluas perjalanan hidup.1
Pendapat al-Aqqad tentang kepemimpinan wanita tersebut di atas
berbeda dengan pandangan Nasaruddin Umar, bahwa tidak ada satupun dalil
dalam Alquran maupun hadis yang melarang kaum wanita aktif dalam
1Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Alquran: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat Alquran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 74-75.
33
34
kancah perpolitikan. Tentunya, hal ini dapat dijadikan sebagai landasan
hukum atas hak yang dimiliki oleh wanita untuk aktif dalam bidang
percaturan politik, baik sebagai pejabat maupun kepala negara. Lebih lanjut,
Nasaruddin Umar menunjukkan bahwa term khalifah dalam QS. Al-Baqarah
[2]: 30 tidak mereferensikan satu jenis kelamin saja. Oleh karena itu, laki-laki
dan wanita mempunyai fungsi yang sama sebagai pemimpin yang akan
mempertanggungjawabkannya kepada Allah Swt.2
Abdurrahman Wahid memberikan ruang pada wanita untuk menjadi
pemimpin. Kesuksesan kepemimpinan seorang wanita sangat bergantung
pada penerimaan laki-laki yang berada di bawah kepemimpinannya.
Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa pandangan ulama yang menganggap
wanita adalah makhluk yang lemah dibandingkan dengan laki-laki sehingga
tidak mempunyai kecakapan dalam memimpin bertolak belakang dengan
fakta sejarah yang terjadi. Dalam sejarah, tercatat beberapa wanita menjadi
pemimpin suatu negara, misalnya: Ratu Balqis, Cleopatra, Margaret
Theatcher, Benazir Butho dan Corie Aquino. Bahkan, Abdurrahman Wahid
mengakui kemampuan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi presiden.3
B. Sejarah Kepemimpinan Wanita di Dunia Islam
2 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Alquran, (Jakarta: Fikahati Aneka, 2000), h. 49.
3M.N. Ibad, Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek,(Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2011), h. 101-102.
35
Dalam sejarah Islam, tercatat peran yang sangat penting yang telah
ditempuh oleh kaum wanita, khususnya pada masa Nabi Muhammad Saw dan
sahabat. Pada masa Nabi Muhammad Saw dan sahabat, misalnya, nama
Khadijah, Aisyiah dan Fatimah merupakan tiga nama yang selalu
menjadi referensi perilaku umat Islam. Khadijah adalah seorang wanita yang
mandiri, pebisnis, pedagang, bahkan Khadijah sendiri yang berinisiatif untuk
menikah dengan Nabi Muhammad Saw.4 Oleh karena itu, dalam diri Khadijah
muncul citra seorang wanita yang sangat berkepribadian bebas, tegas dan
bertolak belakang dengan penggambaran wanita Islam yang dinilai pasif.
Umur Khadijah lebih tua 15 (lima belas) tahun dari Nabi Muhammad
Saw.5 Khadijah tidak hanya dikenal sebagai istri Nabi Muhammad Saw saja,
namun juga sebagai ibu untuk orang-orang mukmin. Khadijah adalah wanita
yang pertama kali memeluk agama Islam yang sering menjadi lambang sejarah
pendirian Islam yang berbeda dengan masyarat pagan pra Islam serta
mempunyai karakter yang menjadi patokan untuk perubahan sosial dalam
tradisi Islam.
Selama masih hidup, Khadijah adalah satu-satunya istri Nabi
Muhammad Saw dan merupakan kenangan indah yang sering diingat oleh Nabi
Muhamad Saw. Khadijah mencurahkan harta kekayaannya untuk kepentingan
agama Islam, membenaskan budak, membantu orang-orang yang
4 A. Fatih Syuhud, Wanita Shalihah Wanita Modern, (Malang: Pustaka Alkhoirot, 2009), h. 10.
5 Muslimin Zuhdi, Tetaplah Beribnar Sekalipun Langit Runtuh, (Ponorogo: Kuwaiz,
2009), h. 112.
36
membutuhkan pertolongan dan menolong para imigran. Nabi Muhammad Saw
merasa tenteram setelah menerima pernyataan keimanan Khadijah bahwa Nabi
Muhammad Saw adalah utusan Allah. Hal ini kemudian memicu rasa cemburu
Aisyah dan menyatakan kecemburuannya itu langsung kepada Nabi
Muhammad Saw.6
Selain Khadijah, sejarah Islam juga menunjukkan bagaimana
Sunni dan Syi’ah sebagai dua aliran besar dalam Islam memberikan model
peranan yang sangat penting untuk wanita pada dua figur yang berbeda. Syiah
memberikan peran bagi Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad Saw yang
semenjak kecil melihat penghinaan yang dihadapi oleh ayahandanya dalam
mendakwahkan agama Islam. Ketika dicela, dihina, dan ketika dilempar,
Fatimah berada di samping Nabi Muhammad Saw. Ketika mereka dikurung
dan diasingkan, Fatimah bersama ibunya ada bersama Nabi Muhammad Saw.
Fatimah adalah wanita yang tabah serta seorang tokoh wanita yang mempunyai
peran politik hingga akhir hayatnya. 7
Dalam pandangan Sunni, Aisyah dijadikan
sebagai contoh wanita muslim. Aisyah merupakan figur politisi wanita yang
cerdas dan bertanggung jawab atas transmisi hadis setelah kewafatan Nabi
Muhammad Saw sampai kepada umat Islam.8 Badr al-Din al-Zarkasyi menulis
6 Abdurrahman Arrosi, 30 Kisah Teladan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999). 7 Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Illahi: Belajar Menjadi Kekasih Allah, (Depok:
Pustaka IIMaN, 2008), h. 411. 8 Benazir Bhutto, “Politik dan Perempuan Muslim”, dalam Charles Kurzman, ed.,
Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 154.
37
sebuah karya yang dibatasi hanya pada satu pembahasan saja, yaitu tanggapan-
tanggapan Aisyah terhadapa para sahabat berjudul al-Ijabah li Iradi ma
Istadrakathu A’isyah al al-Shahabah. Karya ilmiah ini mengupas tentang
keistimewaan Aisyah, perbedaan pendapatnya dengan sahabat lain baik
bedasarkan pendapatnya sendiri ataupun sunnah yang jelas. Sa’id al-Afghani,
peneliti kitab al-Ijabah berpendapat pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki
oleh Aisyah bagaikan samudera dengan ombaknya yang berdebur.9
Posisi penting yang diberikan kepada kaum wanita sepanjang beberapa
daswarsa pertama sejarah Islam, dapat dilihat pada buku-buku sejarah,
misalnya dalam karya al-Thabari (w. 310 H) , seperti para istri Nabi
Muhammad Saw, yaitu: Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, Zainab Ibnti Jahsy
atau murid-muridnya. Banyak di antara mereka adalah anggota keluarga
bangsawan Quraisy. Para istri Nabi Muhammad Saw menunjukkan panggung
politik sebagai sarana kaum wanita mandiri mengajukan pelbagai
tuntutan. Nabi Muhammad Saw digambarkan bersedia mendengarkan pendapat
kaum wanita dan memberikan perhatian atas keluh kesah mereka. Sebagai
contoh adalah kasus Ummu Salamah yang memperpersoalkan pengabaian
kaum wanita. Hal ini tersebut dijawab dengan pengakuan posisi wanita sebagai
mitra sejajar bagi kaum laki-laki.10
9 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, terj. Chirul Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), jilid 1, h. 204.
10 Fatimah Mernisi, Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam
Sejarah Muslim, (Bandung: Mizan, 1999), h. 50.
38
Pada masa awal Islam, para wanita biasa memberikan bantuannya
membuat teks keagamaan Islam. Banyak di kalangan para isteri sahabat Nabi
dan sahabat Nabi sendiri yang terdiri dari wanita (shahabiyat) yang
meriwayatkan hadits yang berasal dari Nabi dan dipandang sangat otentik.
Oleh karena itu, wanita-wanita tersebut meriwayatkan hadits secara verbal
yang kemudian dicatat dan dibukukan oleh kaum laki-laki. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa hampir dua pertiga dari hadits Nabi Muhammad Saw
disandarkan kepada A’isyah yang merupakan isteri Nabi yang termuda.11
Pada masa dinasti Umayyah, wanita mempunyai pengaruh terhadap
jalannya roda perpolitikan. Misalnya, Umm Khalid yang merupakan isteri dari
Yazid I (memerintah 60-64 H/680-683 M), sangat berpengaruh terhadap
suaminya dan putranya yang bernawa Muawwiyah II (memerintahj 64 H/683
M), pengganti Yazil I. Pernikahan Umm Khalid dengan Marwan al-Hakam
mempermudah suksesi kekhalifahan kepada klan Umayyah yang lain, tetapi
Umm Khalid tidak dapat mencegah disingkirkannya putranya yang lain sebagai
penerus tahta selanjutnya oleh keturunan khalifah sendiri. Umm Khalid dituduh
sebgai pembunuh Marwan yang dilatar belakangi motif balas dendam,
sehingga memicu munculnya perselisihan.12
Fatimah Mernisi menyatakan keberhasilan yang diraih para jariyah
pada masa Dinasti Abbasiyah dalam kancah perpolitikan dikarenakan khalifah
11 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan: Transformasi Alquran, Perempuan dan Masyarakat Modern, terj. Akhmad Affandi dan Muh. Ihsan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 25.
12 Abdul Hadi, "Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam Perspektif Fenomelogi." An
Nisa'a 12.1 (2017): h. 17.
39
cenderung menyukai mereka. Hal ini dikarenakan para jawari lebih mudah
“dikendalikan” daripada hurrah, sehingga, mereka sekuat tenaga akan
mematuhi yang menjadi titah khalifah. Patuh pada khalifah adalah fungsi
utama dari jariyah. Wanita-wanita tersebut dibiarkan tetap tunduk dan patuh,
tidak ikut campur dan mengganggu jalannya politik yang sudah mapan.
Bahkan, dengan kecerdasasan dan kepandaian yang mereka miliki, mereka
“mempermainkan” aturan-aturan dengan menaati dan mematuhinya dengan
sungguh untuk menyempurnakan citra mereka di mana khalifah, sehingga
tanpa mengajukan tuntutan yang memang terlarang bagi mereka, khalifah akan
memberikan hadiah kepada mereka.13
C. Biografi Husein Muhammad
1. Perjalanan Hidup dan Pendidikan
Husein Muhammad dilahirkan dari pasangan Muhammad
Asyrofuddin dan Ummu Salma Syathori di Arjawinangun, Cirebon pada 9
Mei 1953. Dari garis ibu, Husein Muhammad merupakan cucu dari KH.
Syathori pendiri Pondok Pesantren Dar at-Tauhid Arjawinangun, Cirebon.
Sementara ayah Husein Muhammad, merupakan orang dari keluarga biasa
yang berlatar belakang pendidikan pesantren.14
Pasangan suami-istri Muhammad Asyrofuddin dan Ummu Salma
Syatori dikaruniai delapan orang anak, yaitu:
13 Fatimah Mernisi, Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim, h.162.
14M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005),
h. 110.
40
a. Hasan Thuba Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Raudhah at
Thalibin, Bojonegoro, Jawa Timur.
b. Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar at-Tauhid,
Cirebon.
c. Ahsin Sakho Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid
Cirebon.
d. Ubaidah Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Lasem, Jawa
Tengah.
e. Mahsum Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid,
Cirebon.
f. Azza Nur Laila, pengasuh Pondok Pesantren HMQ Lirboyo, Kediri.
g. Salman Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras,
Jombang, Jawa Timur.
h. Faiqoh, pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.15
Sejak usia dini, Husein Muhammad sudah belajar ilmu agama
kepada KH. Mahmud Toha dan kakeknya, yaitu KH. Syatori.16 Pendidikan
dasar formal Husein Muhammad diselesaikan sekolah dasar dan sekolah
diniyah di Pondok Pesantren Dar at Tauhid pada tahun 1966. Setelah itu,
Husein Muhammad melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengan
Pertama 1 Arjawinangun dan lulus pada tahun 1969. Pada jenjang sekolah
menengan pertama ini, Husein Muhammad mulai berkecimpung dalam
15Noviyati Widiyani, Peran KH. Husein Muhammad dalam Gerakan Kesetaraan Gender di Indonesia, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 38-39.
16 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 113.
41
dunia keorganisasian. Di sisi lain, masuknya Husein Muhammad di
sekolah umum ini menunjukkan sikap moderat dari Pondok Pesantren Dar
at-Tauhid yang memang telah ditanamkan oleh pendiri pondok yaitu KH.
Syatori dengan mempelopori perumusan kurikulum pendidikan pesantren
secara modern pada masa itu.17
Setelah lulus dari SMP N 1 Arjawinangun, Husein Muhammad
melanjutkan pencarian ilmu ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri selama 3
(tiga) tahun. Setelah itu, Husein Muhammad melanjutkan studinya di
Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta yang merupakan perguruan
tinggi dengan ciri khas pewajiban menghafalkan Alquran untuk para
mahasiswanya.
Setelah tamat mengenyam pendidikan di PTIQ yang ditempuh
selama 5 (lima), Husein Muhammad berangkat ke Mesir untuk
melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar dalam bidang studi ilmu
tafsir Alquran atas rekomendasi dari gurunya Prof. Dr. Ibrahim Husein,
bahwa Mesir adalah negara yang lebih terbuka dalam bidang ilmu
pengetahuan dibandingkan negara di wilayah Timur Tengah lainnya.18
Di Mesir, Husen Muhammad tidak hanya mengenyam pendidikan
secara formal di Al-Azhar, namun juga, menempa dirinya untuk
menambah pengetahuan dan wawasan dengan membaca. Hal ini dilakukan
oleh Husein Muhammad lantaran di Mesir banyak beredar buku-buku
yang berkualitas dan belum tentu dapat ditemukan di Indonesia. Buku-
17 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 111-112. 18 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 113.
42
buku yang dibaca oleh Husein Muhammad meliputi bidang keilmuan,
yaitu: sastra, filsafat, Islam, karya-karya sarjana Barat yang sudah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab seperti: Albert Camus, Sartre
Nietzsche dan lain-lain.19
Setelah lulus dari Mesir pada tahun 1983, Husein Muhammad
pulang ke Indonesia untuk melanjutkan kepengurusan Pondok Pesantren
Dar at Tauhid yang didirikan oleh kakeknya. Selain itu, Husein
Muhammad juga ditawari untuk menjadi tenaga pengajar di almamaternya,
PTIQ Jakarta, namun tawaran tersebut ia tolak karena ingin mengfokuskan
diri pada pengembangan Pondok Pesantren Dar at Tauhid.
2. Kiprah Keorganisasian
Husein Muhammad banyak berkecimpung dalam aktivitas
keorganisasian. Adapun posisi-posisi yang pernah ditempati oleh Husein
Muhammad dalam struktur organisasi yang pernah ia ikuti, antara lain:
pendiri, pengasuh, ketua, kepada Madrasah Aliyah, wakil ketua,
penanggung jawab, dewan redaksi, konsultan dan tim ahli. Lebih jelasnya
sebagai berikut:
a. Ketua I Dewan Mahasiswa PTIQ periode 1978-1979.
b. Ketua I Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo Mesir periode
1982-1983.
c. Sekretaris Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa, Kairo periode 1982-
1983.
19 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 114
43
d. Pendiri Institute Studi Fahmina, Cirebon tahun 2008.
e. Pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid, Arjawinangun, Cirebon.
f. Anggota Dewan Syuro DPP PKB perode 2001-2005.
g. Ketua Dewan Tanfiz PKB Kabupaten Cirebon, periode 1999-2002.
h. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, periode 1999-2005.
i. Ketua Umum Yayasan Wali Sanga, periode 1996-2005.
j. Ketua I Yayasan Pesantren Dar at Tauhid, periode 1984-2005.
k. Wakil Rais Syuriyah NU Cabang Kabupaten Cirebon, periode 1989-
2001.
l. Sekjen Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Barat, periode 1994-1999.
m. Pengasuh PP RMI, periode 1989-199.
n. Wakil Ketua Pengurus Yayasan Puan Amal Hayati, Jakarta.
o. Direktur Pengembangan Wacana LSM RAHIMA, Jakarta, periode
2001-2005.
p. Ketua Umum DKM Masjid Jami’ Fadlhlullah, Arjawinangun.
q. Kepala Madrasah Aliyah Nusantara berlokasi di Arjawinangun, periode
1989-1998.
r. Ketua Departemen Kajian Filsafat dan Pemikiran ICMI Kabupaten
Cirebon, periode 1994 1999.
s. Ketua Badan Koordinasi TKA-TPA wilayah III Cirebon.
t. Pemimpin Umum dan Penanggung jawab Dwibulanan “Swara
Rahima”, Jakarta.
u. Dewan Redaksi Jurnal Dwi Bulanan “Puan Amal Hayati”, Jakarta,
44
v. .Konsultan Yayasan Balqis untuk Hak-Hak Perempuan, Cirebon.
w. Anggota National Broad of International Center for Islam and
Pluralism, Jakarta.
x. Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and
Development.
y. Dewan Penasihat dan Pendiri KPPI (Koalisi Perempuan Partai Politik
Indonesia) di Kabupaten Cirebon.
z. Komisioner pada Komnas Perempuan, periode 2007-2009 dan periode
2010-2014.
aa. Anggota Pengurus Associate Yayasan Desantara, Jakarta.
bb. Pendiri lintas Iman (Forum Sabtuan), Cirebon.
cc. Komisi Ahli Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. periode
2010-2014.
dd. Pembina Forum Reformasi Hukum Keluarga Indonesia.
ee. Komisi Ahli Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, periode
2010-2014.
ff. Pembina Forum Reformasi Hukum Keluarga Indosia.
Adapun forum ilmiah internasional yang pernah diikuti oleh
Husein Muhammad, antara lain:
a. Konferensi Internasiona tentang Alquran dan Iptek yang
diselenggarakan oleh Rabithah Alam Islami Mekkah, di Bandung
pada tahun 1996.
45
b. Konferensi Internasiona tentang Kependudukan dan Kesehatan
Reproduksi, di Kairo pada tahun 1998.
c. Konferensi Internasional tentang AIDS di Kuala Lumpur pada
tahun 1999.
d. Studi banding di Turki tentang Aborsi Aman pada tahun 1999.
e. Felloship pada Institute Studi Islam Modern (ISIM) Universitas
Leiden pada tahun 2002.
f. Menjadi narasumber pada seminar dan lokakarnya Internasional
tentang Islam and Gender di Colombo pada tahun 2003.
g. Lecturer pada Internasional Conference of Islam Scholars di
Jakarta pada tahun 2004.
h. Seminar International Conference of Islam Scholars di Jakarta
pada tahun 2004.
i. Pembicara pada Seminar Internasional Social Justice and Gender
Equity Within Islam, di Dhaka pada tahun 2006.
j. Pembicara pada Seminar Internasional Trends in Family Law
Reform in Muslim Countries, di Malaysia pada tahun 2006.
k. Pembicara pada Global Movement for Equality and Justice in The
Muslim Family, di Malaysia pada tahun 2009.
l. Pembicara pada Workshop Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan, di Istanbul pada tahun 2014.20
3. Karya-karya Intelektual Husein Muhammad
20 M. Nuruzzman, Kiai Membela Perempuan, h. 127.
46
Adapun karya-karya ilmiah yang lahir dari daya intelektualitas
Husein Muhammad, antara lain:
a. Refleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Perempuan, dalam
Syafiq Hasyim (ed), Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut
Atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan,
1999.
b. Metodologi Kajian Kitab Kuning, dalam Marzuki Wahid (ed),
Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
c. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2003.
d. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren,
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001.
e. Taqliq wa Takhrij Syarh al-Lujain, Yogyakarta: Forum Kajian Kitab
Kuning-Lkis, 2001.
f. Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, Yogyakarta:
YKF-FF, 2002.
g. Gender di Pesantren: Pesantren and The Issue of Gender Relation,
dalam Majalah Culture, The Indonesian Journal of Muslim Cultures,
Jakarta: Center of Languages and Cultures, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2002.
47
h. Kelemahan dan Fitnah Perempuan, dalam Moqsith Ghazali, et. all,
Tubuh Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai
Pemikiran Ulama Muda, Yogyakarta: Rahima-FF-LkiS, 2002.
i. Kebudayaan yang Timpang, dalam K. M. Ikhsanuddin, dkk, Panduan
Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, Yogyakarta: YKF-FF,
2002.
j. Fiqh Wanita: Pandangan Ulama terhadap Wacana Agama dan
Gender, Malaysia: Sister in Islam, 2004.
k. Pemikiran Fiqh yang Arif, dalam KH. MA. Sahal Mahfudh, Wajah
Baru Fiqh Pesantren, Jakarta: Citra Pustaka, 2004.
l. Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud al-
Lujan,Jakarta: FK3-Kompas, 2005.
m. Spiritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Kemanusiaan,
Yogyakarta: Lkis, 2006.
n. Dakwah Fiqh Perempuan: Modul Kursus Islam dan Gender, Cirebon:
Fahmina Institute, 2006.
o. Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender,2011.
p. Fiqh Seksualitas, Jakarta: PKBI, 2011.
q. Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, Bandung: Mizan, 2012.
r. Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, Bandung: Mizan,
2011.
s. Menyusuri Jalan Cahaya: Cinta: Keindahan, Pencerahan, Buyan,
2013.
48
t. Kidung Cinta dan Kearifan, Cirebon: Zawiyah, 2014.21
Selain karya-karya ilmiah tersebut di atas, Husein Muhammad
juga melakukan penerjemahan terhadap karya-karya ulama, antara lain:
a. Khutbah al-Jumuaah wa al-Dain, Lajnah min Kibar Ulama al
Azhar(Wasiat Taqwa Ulama-Ulama Besar al Azhar), Cairo: Bulan
Bintang, 1985.
b. Abu Faruq Abu Zayid, Al-Syariaah al-Islamiyyah bain al-Mujaddidin
wa al-Muhadditsin, (Hukum Islam antara Modernis dan
Tradisionalis), Jakarta: P3M, 1986.
c. Muhammad al-Madani, Mawathin al-Ijtihad fi al-Syari’ah al
Islamiyah.
d. Sayid Mu’in al-Din, Al-Taqlid wa al-Talfiq fi al-Fiqh al-Islamy.
e. Yusuf al-Qardhawi, Al-Ijtihâd wa al-Taqlid baina al-Dawabith al-
Syariyah wa al-Hayah al-Mu’ashirah, (Dasar-Dasar Pemikiran Hukum
Islam), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
f. Mushthafa al-Maraghi, Thabaqat al Ushuliyyin (Pakar-Pakar Fiqh
Sepanjang Sejarah), Yogyakarta: LKPSM, 2001.
g. Wajah Baru Relasi Suami Istri Telaah Kitab Syarah Uqud al Lujain,
Jakarta: Forum Kajian Kitab Kuning-LkiS, 2001.
21 M. Nuruzzaman, Kiai Husein membela Perempuan, 127.
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN HUSEIN MUHAMMAD TENTANG
KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RANAH SOSIAL DAN POLITIK
A. Landasan Berpikir Husein Muhammad
Husein Muhammad mengawali buku pentingnya, Fiqh Perempuan:
Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender dengan mengutarakan sebuah
pertanyaan “adakah keadilan gender?”. Pertanyaan tersebut muncul bisa jadi
bersumber dari kegelisan Husein Muhammad melihat fenomena sosial yang
diutarakannya sebagai berikut:
“Jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisi-tradisi, pola perilaku manusia keseharian, hukum-hukum, pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinan, maka kebudayaan yang tampak di sekitar kita secara umum masih memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki. Orang boleh menyebutnya sebagai budaya patriarki. Dalam kebudayaan ini, memapankan peran laki-laki untuk melakukan apa saja, disadari atau tidak, mendapatkan pembenaran. Sebaliknya, kaum perempuan berada dalam posisi subordinat. Ia menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan nasib hidupnya kepada laki-laki. Otomomi perempuan berkurang. Pada gilirannya, keadaan ini seringkali terbukti melahirkan sebuah proses marjinalisasi, bahkan juga eksploitasi dan kekerasan atas kaum perempuan. Ini terjadi dalam segala ruang, domestik maupun publik. Fenomena, realitas, dan fakta-fakta sosial tersebut memperlihatkan dengan jelas adanya relasi laki-laki dam perempuan yang asimetris, yang timpang, yang tidak setara, dan diskriminatif ”1
Sebagai orang yang mendasarkan pemikirannya pada nilai-nilai
demokrasi dan hak asasi manusia, Husein Muhammad terpantik jiwa
intelektualnya untuk menyelami dan mendalami masalah-masalah yang dialami
oleh kaum perempuan berupa pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia. Karenanya, Husein Muhammad semakin intensif melakukan kajian
tentang hak asasi manusia yang dikaitkan dengan permasalahan perempuan
dalam perspektik fikih atau hukum Islam. Selanjutya, melalui kajian dan
analisis kritis terhadap paradigma kedian dan demokrasi, Husein Muhammad
1Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 3-5.
49
50
mencapai kesimpulan bahwa permasalahan terbesar bagi kaum perempuan
adalah subordinasi (dinomorduakan) dan ketidakadilan.2
Menurut Husein Muhammad Subordinasi dan ketidakadilan terhadap
perempuan adalah fenomena yang bertolak belakang dengan visi Islam sebagai
rahmat li al-Alamin. Pesan kerahmatan agama Islam benar-benar tersebar
dalam teks-teks Islam, baik Alquran maupun hadis. Kata rahmah, rahman,
rahim dan derivasinya disebut berulang-ulang dalam jumlah yang banyak,
lebih dari 90 ayat. Kata-kate tersebut mempunyai makna kasih dan sayang.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Swt menyatakan, “Ana al-Rahman. Ana al-
Rahim” (Aku Sang Maha Kasih. Aku Sang Maha Sayang).3
Oleh karena itu, adagium Islam sebagai agama rahmat, menurut Husein
Muhammad harus dijadikan sebai tatana kehidupan manusia yang didasarkan
atas pengakuan terhadap kesederajatan manusia di hadapan hukum,
penghormatan atas martabat, persaudaraan, penegakan keadilan, pengakuan
atas pikiran dan kehendak orang lain, dialog secara sopan dan santun, serta
mengedepankan sikap saling mendukung dan kerja sama tanpa memandang
asal-usul tempat kelahiran, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, keturunan,
agama dan lain sebagainya.4
Dengan demikian, Husein Muhammad mendasarkan pikirannya atas
asas-asas demokrasi dan pengakuan hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan
prinsip agam Islam sebagai rahmat li al-Alamin yang memandang manusia
harus dipandang sederajat tidak dibeda-bedakan atas suku, agama, ras, maupun
jenis kelamin.
2Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2013), h. xxxi-xxxii.
3 Husein Muhammad, Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan: Inspirasi dari Islam dan
Perempua, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h. 7.
4Husein Muhammad, Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan: Inspirasi dari Islam dan Perempuan, h, 7-8.
51
B. Pandangan Husein Muhammad Tentang Kepemimpinan Wanita
Dalam konteks kepemimpinan wanita, ada dua aliran yang saling
berbeda pendapat. Aliran pertama menyatakan bahwa wanita tidak berhak
untuk menyandang gelar sebagai pemimpin. Sementara aliran kedua,
memperbolehkan wanita untuk menjadi pemimpin baik dalam ranah publik
maupun domestik.5 Menurut Jamal Ma’mur Asmani, wanita mendapat
kedudukan mulia dalam Islam. Karena Islam tidak menempatkan wanita dalam
posisi yang subordinat dalam kehidupan masyarakat.6
Menurut Husein Muhammad, prinsip-prinsip dasar dan hak-hak asasi
manusia secara umum telah disepakati dan menjadi perhatian umat Muslim.
Namun demikian, permasalahan akan muncul jika hal tersebut dihubungkan
dengan persoalan yang lebih khusus, misalnya, dalam hal peran wanita dalam
ranah politik, khususnya hak untuk menjabat sebagai kepala negara atau
pemerintahan.7
Menurut Husein Muhammad adanya subordinasi terhadap wanita
disebabkan oleh adanya kekeliruan dalam memahami akal masalah. Secara
umum, orang melihat wanita sebagai makhluk yang lemah, sedangkan laki-laki
kuat; perempuan emosional, laki-laki rasional; perempuan halus laki-laki kasar,
dan lain sebagainya. Perbedaam-perbedaan ini kemudian kemudian diyakini
sebagai kodrat yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, sudah dari sananya atau
merupakan pemberian Allah Swt. Oleh karena itu, hal tersebut bersifat tetap
dan tidak dapat berubah. Mengingikan perubahan hal itu dianggap sebagai
menyalahi kodrat atau bahkan melawan ketentuan Allah Swt. Gambaran-
gambaran tentang laki-laki dan wanita demikian ini berakar dalam kebudayaan
masyarakat. Dalam pandangan kaum feminis, sifat-sifat sebagaimana
disebutkan tidak lain merupakan sesuatu yang dibentuk oleh secara sosial dan
5Fathurrahman, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Legitimasi Sejarah atas Kepemimpinan Politik Perempuan”, El-Hikam: Journal of Education and Religious Studies, Vol. IX, No. 1 Januari-Juni 2016, h. 138.
6Jamal Ma’mur Asmani, “Kepemimpinan Perempuan: Pergulatan Wacana di Nahdlatul Ulama (NU)”, ADDIN, Vol. 9, No. 1, Februari 2015, h. 42.
7 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 141.
52
kebudayaan. Dalam pengertian lain, hal itu dibuat oleh manusia sendiri, bukan
keputusan Allah Swt. Fakta-fakta sosial menunjukkan dengan jelas bahwa
sifat-sifat tersebut dapat diganti atau dirubah menurut waktu, tempat dan kelas
sosial. Hal ini, oleh para feminis disebut sebagai perbedaan gender. Karenanya,
sebagai sesuatu yang bersifat sosial dan bentukan manusia, maka
kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk merubah dan
mempertukarkannya sesuai dengan kondisi yang dihadapi.8
Lebih lanjut, Husein Muhammad memaparkan bahwa pandangan
mayoritas pakar fikih konservatif, peran politik dalam bingkai ‘amr ma’ruf
nahi munkar, kaum laki-laki dan wanita dianggap mempunyai hak dan
kewajiban yang sama. Namun demikian, dalam konteks politik praktis yang di
dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat (al-Wilayat al-
Mulzimah) menyangkut masyarakat luas, seperti pengambilan keputusan dalam
peradilan (menjadi hakim), dalam lembaga eksekutif dan legislatif atau
kekuasaan besar (publik/al-Wilayat al-‘Uzma), tugas-tugas ini, menurut
mayoritas ulama, harus diperlakukan dengan berbeda.9
Hal ini, dapat dilihat dari fatwa Universitas Al-Azhar yang dikutip oleh
Husein Muhammad sebagai berikut:
“Syariat Islam melarang kaum perempuan menduduki jabatan-jabatan yang meliputi kekuasaan-kekuasaan umum (publik). Yang dimaksud kekuasaan umum dalam fatwa di atas adalah kekuasaan memutuskan atau memaksa (al-Sulthah al-Mulzimah) dalam urusan-urusan kemasyarakatan (al-Jama’ah), seperti kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan kehakimah (yudikatif) dan kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif)”.10
Kekusaan kehakiman adalah kekuasaan tinggi dan termasuk dalam
ranah kekuasaan publik (al-Wilayah al-‘Ammah). Kekuasaan ini juga bersifat
memaksa (al-Sulthah al-Mulzimah). Karenanya, untuk menduduki jabatan ini
diperlukan sejumlah persyaratan. Para sarjana fikih menyebutkan beberapa
8Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 6. 9Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 141. 10 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 141.
53
persyaratan yang disepakati, yaitu: beragama Islam, dewasa, berakal dan
merdeka, sehat jasmani, adil dan memahami hukum-hukum syari’ah.
Sementara, persyaratan jenis kelamin masuk kepada kategori yang
diperdebatkan. Dalam hal ini, ahli fikih terbagi menjadi tiga golongan.11
Pertama, Malik ibn Anas, al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal
berpendapat jabatan kehakiman haruslah diserahkan kepada laki-laki dan tidak
boleh wanita. Menurut mereka seorang hakim selain harus menghadiri sidang-
sidang terbuka, yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki, ia juga harus
mempunyai kecerdasan akal yang sempurna (kamal al-Ra’yi wa tamam al-‘Aql
wa al-Fathanah). Selain itu, wanita dalam kedudukan tersebut akan
berhadapan dengan laki-laki. Kehadiran mereka dapat menimbulkan fitnah
(ganguan). Pendapat lain yang dikumukakan oleh para sarjana fikih tersebut
adalah fakta sejarah, bahwa Nabi Muhammad Saw, Khalifah al-Rasyidin, dan
pemimpin-pemimpin setelahnya tidak memberikan kekuasaan pada wanita.12
Kedua, mazhab Hanafi dan Ibn Hazm al-Dhahiri berpendapat bahwa
laki-laki tidak merupakan syarat mutlak untuk menduduki kursi kehakiman.
Wanita boleh saja menjadi seorang hakim. Namun demikian, posisi wanita
sebagai hakim terbatas pada perkara-perkara selain pidana berat (hudud dan
qishas). Hal ini dikarenakan wanita diperkanankan untuk menjadi saksi-saksi
dalam perkara pidana berat. Lebih lanjut, qadhi (hakim) bukanlah merupakan
penguasa. Tugasnya adalah terbatas untuk melaksanakan dan menyampaikan
hukum agama, fungsinya sama dengan mufti (pemberi fatwa hukum). Selain
itu, golongan ini menolak hadis tentang kepemimpinan negara sebagai dasar
hukum untuk fungsi yudikatif. Ibn Hazm menambahkan bahwa Umar ibn
Khaththab pernah menugaskan wanita menjadi bendahara pasar.13
Ketiga, Ibn Jarir al-Thabari dan Al-Hasan al-Bashri meyatakan wanita
boleh menjadi hakim untuk menangani berbagai perkara, baik perdata maupun
11 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 142. 12 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 142. 13 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 143.
54
pidana. Jenis kelamin laki-laki tidak menjadi syarat dalam kekuasaan
kehakiman. Menurut pendapat ini, jika wanita boleh menjadi mufti, merupakan
hal yang logis jika mereka menjadi hakim. Tugas mufti adalah menjelaskan
hukum-hukum agama melalui analisis ilmiah dengan tanggungjawab personal.
Semantara hakim, juga mempunyai tugas yang sama, tetapi dengan tanggung
jawab negara atau berdasarkan kekuasaan negara. Pendapat ketiga ini, ditolak
oleh al-Mawardi karena, menurutnya bertentangan dengan QS. Al-Nisa’: 34
dan ijma’ (konsensus) ulama.14
Dalam ranah kekuasaan legislatif, menurut al-Mawardi dan Abu Ya’la
yang dikutip oleh Husein Muhammad, terdapat beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi oleh orang-orang untuk menjadi anggota legislatif atau ahl al-
Halli wa al-‘Aqdi/ahl al-Ikhtiyar, yaitu: adil dengan kelengkapan kriterianya,
kemampuan memilih calon kepala negara dan keahlian memilih kepala negara.
Kekuasan legislatif dalam teori politik merupakan lembaga tertinggi dalam
negara yang bertugas untuk memilih kepala negara, menetapkan undang-
undang dan kebijakan-kebijakan politik negara.15.
Menurut Husein Muhammad, al-Mawardi dan Abu Ya’la tidak secara
tegas atau eksplisit menyebutkan pendapatnya tentang keabsahan keanggotaan
wanita dalam lembaga tertinggi negara ini. Hal ini, kemungkinan disebabkan
oleh alasan yang sudah cukup memadai terkait diskursus ketidakabsahan
wanita menduduki jabatan yang secara tingkatan lebih rendah dibandingkan
kepala negara, yaitu: wizarah al-Tahwidh (perdana menteri) wizarah al-Tanfidz
(menteri) serta dalam kekuasaan kehakiman. Jabatan-jabatan tersebut, dalam
pandangan al-Mawardi dan Abu Ya’la, membutuhkan keahlian dan
kemampuan, yang keduanya menjadi unsur-unsur yang dominan untuk posisi
jabatan dalam kekuasaan umum (al-Wilayah al-‘Ammah). Wanita dipandang
tidak cukup mumpuni dan memenuhi persyaratan untuk mengemban tugas
menduduki jabatan tersebut.16
14 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 143. 15 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 143-144. 16 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 144.
55
Lebih lanjut, pandangan al-Mawardi dan Abu Ya’la, menurut Husein
Muhammad diikuti oleh al-Maududi, seorang pemikir Islam terkemuka yang
juga menjadi pemimpin Jami’aat Islami. Secara tegas, al-Maududi
mensyaratkan laki-laki untuk jabatan kekuasaan legislatif. Dasar argumentasi
al-Maududi adalah QS. Al-Nisa’: 34 dan hadis Abu Bakarah. Selain itu, alasan
yang dikemukakan oleh al-Maududi bahwa keanggotan wanita dalam lembaga
legislatif akan membuka peluang bagi pergaulan wanita dengan laki-laki yang
telah jelas diharamkan oleh Islam. Lebih lanjut, al-Maududi berpendapat
bahwa pada hakikatnya lembaga ini tidak hanya berfungsi untuk membuat
undang-undang, tetapi juga, menjalankan politik negara. Al-Maududi
menetapkan departemen-departemen dan garis-garis besar haluan negara.
Dalam kekuasaan lembaga ini juga terletak keputusan menentukan perang dan
damai. Karenanya, lembaga legislatif dan semacamnya ini tidak dapat
dipersamakan dengan kekuasaan faqih dan mufti, melainkan sebagai qawwam
atas semua urusan agama.17
Pendapat al-Maududi ini, menurut Husein Muhammad berbeda dengan
padangan Sa’id Ramadhan al-Buthi, ulama berkebangsaan Syiria, yang
menyatakan bahwa syura (permusyawaratan) dalam pandangan mayoritas
ulama mempunyai fungsi yang sama dengan fatwa. Anggota legislatif di
parlemen, menurutnya, mempunyai fungsi yang sama dengan seorang mufti.
Seluruh ulama bersepakat wanita boleh menjadi mufti. Karenanya, wanita
dapat diperkenankan dan dibenarkan untuk menjadi anggota legislatif.18
C. Metode Pemikiran Fiqh Husein Muhammad
Menurut Husein Muhammad, fikih adalah karya intelektual tentang
hukum Islam dengan landasaan teks-teks keagamaan, terutama Alquran dan
hadis. Rumusan karya intelektual ini diperlukan untuk memberikan solusi
jawaban terhadap permasalahan-permasalahan manusia, baik dalam urusan
17 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 144-145. 18 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h.145.
56
personal (ritual-peribadatan), hubungan kemanusiaan yang eksklusif, seperti
urusan-urusan ekonomi, politik. Kebudayaan, dan lain sebagainya.19
Husein Muhammad melanjutkan, bahwa permasalahan paling penting
dan mendesak dalam fikih, tetapi sering dilupakan, adalah bahwa fikih selalu
dihasilkan melalui aktivitas pikiran intelektual yang tidak berada dalam ruang
kosong dan waktu dengan perbagai persoalan dan logika pemikirannya sendiri.
Dalam pengertian lain, fikih adalah karya intelektual yang senantiasa bergumul
dengan fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta historis-sosiologis ini menyimpan
makna-makna dan subtansi-subtansinya sendiri. Karenanya, kesimpulan-
kesimpulan fikih yang lahir dalam konteks sejarah tertentu tidak dapat ditarik
ke ruang dan zaman yang mempunyai perbedaan subtansi. Hal ini, juga berarti
bahwa untuk memutuskan suatu hukum perkara-perkara yang muncul pada
masa kini tidak selalu dapat diberlakukan hukum yang telah berlaku pada masa
lampau. kekeliruan dan kerancuan akan terjadi apabila memaksakan
berlakunya keputusan pikiran untuk seluruh ruang dan waktu yang telah
berbeda atau berubah subtanyinya.20
Selanjutnya, Husein Muhammad berpendapat bahwa cara berpikir fikih,
yang tetap mempertahankan teks-teks kitab seperti apa adanya, masih menjadi
fenomena yang lumrah dan terus diikuti oleh mayoritas masyarakat Islam sejak
berabad-abad lamanya dan terjadi di mana-mana. Bahkan, sebagian di
antaranya ada yang membatasi diri pada hasil-hasil ijtihad ulama tertentu dan
menolak pikiran-pikiran yang dihasilkan oleh ulama di luar mazhab yang
dianut. Seringkali terajdi gugatan-gugatan terhadap pemikiran fikih dan upaya
membongkar warisan intelektual klasik dipandang sebagai kesombongan
intelektual dan menyalahi akar-akar tradisi. Hegemoni ini juga merupakan ironi
dalam perspektif ilmiah. Bahkan, sikap dan pandangan memapankan fikih
seperti itu secara tidak langsung memposisikan fikih sebagai suatu ideologi,
lebih dari itu, dapat mempersamakan fikih dengan teks-teks yang menjadi
sumbernya, yaitu Alquran. Pemikiran seperti ini, pernah dikritik oleh Jalal al-
19Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 137. 20 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 137-138.
57
Din al-Suyuthi, melalui karyanya Al-Radd ‘ala Man Akhalada Ila al-Ardh wa
Jahila bi Anna al-Ijtihad fi Kulli Ashrin Fard (Kritik terhadap pandangan yang
memapankan (mempertahankan status quo) dan tidak menyadari bahwa ijtihad
adalah keniscayaan pada setiap zaman).21
Dalam kaitan ini, Husein Muhammad mengutip pernyataan Ibn al-
Qayyim al-Jauziyah yang terdapat dalam kitab A’lam al-Muwaqqi’in, sebagai
berikut:
“Janganlah anda terpaku pada teks-teks (nusyuz) yang dikutip dalam kitab-kitab sepanjang hidup anda. Jika orang luar daerah anda, menemui anda untuk menanyakan suatu persoalan (meminta fatwa hukum), maka tanyailah dulu tradisinya. Sesudah itu, barulah anda putuskan, berdasarkan analisis anda terhadap tradisinya itu, dan bukan berdasarkan tradisi daerah anda dan apa yang terdapat dalam kitab-kitab anda. Para ulama mengemukakan bahwa ini adalah kebenaran yang jelas. Sikap statis dengan tidak melakukan analsis sosiologis dan tetap memberikan keputusan berdasarkan teks-teks yang ada dalam buku-buku adalah kesesatan dan tidak memahami maksud para ulama Islam dan generasi muslim awal.”22
Bahkan, menurut Husein Muhammad, Ibn al-Qayyim menegaskan
bahwa pengambilan keputusan fatwa fikih tanpa memperhatikan pertimbangan
aspek-aspek kebiasaan, tradisi, situasi dan kondisi serta indikasi-indikasi yang
lain merupakan keputusan sesat dan menyesatkan.23
Alquran merupakan landasan fikih yang utama. Alquran menyatakan
dirinya sebagai kitab petunjuk dan rahmat. Alquran juga menyatakan bahwa
Nabi Muhammad Saw diutus ke dunia untuk menyebarkan kerahmatan untuk
alam semesta. Cita-cita Alquran adalah terciptanya sebuah kehidupan manusia
yang bermoral yang menghargai nilai-nilai kemanusian. Dalam hal ini, Husein
Muhammad mengutip QS. Al-Hujurat: 13.24
كم شعوبا وقبا ن ذكر وأنثى وجعلن كم م أیھا ٱلناس إنا خلقن ی ئل لتعارفوا إن أكرمكم عند ٱہلل
علیم خبیر ۱۳أتقٮكم إن ٱہلل
21 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 138. 22 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 138-139. 23 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h.139. 24 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 139.
58
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Husein Muhammad menjelaskan bahwa setelah melakukan kajian
terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
menyimpulkan bahwa syari’ah Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan
tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu: kemaslahatan, keadilan,
kerahmatan dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip tersebut harus dijadikan dasar
dan subtansi dari semua permasalahan fikih. Ia harus senantiasa ada dalam
pikiran setiap ahli fikih ketika memutuskan suatu perkara hukum.
Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita syari’ah
(agama).25
Pandangan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah ini, menurut Husein Muhammad
sama dengan pemikir-pemikir fikih terkemuka, yaitu: al-Ghazali (w. 505
H/1111 M), Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Izz al-Din ibn Abd al-Salam (w.
660 H), Syihab al-Din al-Qarafi (w. 685 H), Najmuddin al-Thufi (w. 716 H),
Ibn Taimaiyyah (w. 728 H), Abu Ishaq al-Syathibi (w 790 H), Muhammad ibn
al-Thahir ibn Asyur (w. 1393 H/1973 M) dan lain sebagainya. Mereka
berpendapat bahwa kemaslahatan adalah basis dan tujuan utama syari’ah
Islam.26
Penjelasan lebih khusus tentang kemaslahatan, Husein Muhammad
mengajukan pendapat al-Ghazali yang terdapat dalam kitab Al-Mushtashfa ‘Ilm
al-‘Ushul, sebagai berikut:
“kemaslahatan, menurut saya, adalah mewujudkan tujuan-tujuan
agama, yaitu: menjaga lima hal: agama (hifz al-Din), jiwa (hifz al-Nafs), akal
(hifz al-Aqal), keturunan (hifz al-Nasl), dan harta benda (hifz al-Mal). Setiap
25 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 139-140.
26 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 140.
59
hal yang mengandung perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah
kemaslahatan, dan setiap yang menegasikannya adalah kerusakan (mafsadah),
menolak kerusakan adalah kemaslahatan.27
Pernyataan al-Ghazali tersebut di atas, menurut Husein Muhammad,
menggambarkan dengan jelas komitmen dan perhatian Islam terhadap hak-hak
asasi manusia. Inilah dimensi keagamaan yang bersifat humanisme universal.
Pada dimensi ini, agama selalu hadir bdalam bentuk yang adil, merahmati,
egaliter, dan demokratis. Hal ini juga, berarti bahwa agama Islam memandang
manusia sebagai makhluk yang sejajar dan sederajat. Karenanya, sistem
keagamaan yang bersifat diskriminatif dalam berbagai dimensinya tidak
mempunyai relevansi atau kecocokan dengan Islam, maka harus ditolak.
Prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kemanusiaan merupakan spirit dari
seluruh aktivitas kehidupan manusia.28
D. Dekonstruksi Kemapanan Pemikiran Tentang Kepemimpinan Wanita
Argumentasi yang dijadikan landasan pelarangan wanita menjadi
pemimpin oleh para ulama, menurut Husein Muhammad didasarkan pada QS.
Al-Nisa’: 34. Laki-laki adalah qawwam atas perempuan, dikarenakan Allah
Swt telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena
mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka.29
Para mufassir menyatakan bahwa qawwam mempunyai arti pemimpin,
pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain sebagainya.
Kemudian, mereka berpendapat bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas
wanita berupa keunggulan akal dan fisik. Misalnya, al-Razi mengatakan bahwa
kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi dua hal: ilmu pengetahuan (al-
‘ilm) dan kemampuan fisik. Zamakhsari (467-538 H), seorang pemikir
Mu’tazilah berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah
karena akal, ketegasan, tekad yang kuat, kekuatan fisik, secara umum
27 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 140. 28 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 141. 29 Husein Muhmmad, Fiqh Perempuan, h. 146.
60
mempunyai kemampuan menulis, dan keberanian. Al-Thabathaba’i
berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas wanita adalah karena laki-laki
mempunyai kemampuan berpikir yang melahirkan keberanian, kekuatan, dan
kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara wanita lebih sensitif dan
emosional.30
Menurut Husein Muhammad, pandangan tentang kelebihan-kelebihan
tersebut di atas, telah terbantahkan dengan sendirinya melalui kenyataan fakta-
fakta. Realitas sosial dan sejarah modern membuktikan bahwa telah banyak
wanita yang dapat melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap hanya
sebagai monopoli kaum laki-laki. Misalnya, wanita menjadi kepala negara,
kepala pemerintahan, gubernur, ketua parlemen, ketua partai politik, dan lain
sebagainya.31
Realitas tersebut di atas, memperlihatkan bahwa pandangan yang
meyakini kealamiahan dan kodratiah sifat-sifat di atas tidaklah benar.
Sebaliknya, yang benar adalah ia merupakan konstruk sosial yang sengaja
diciptakan. Pada sisi lain, kenyataan itu juga memperlihatkan adanya sebuah
proses kebudayaan yang kian maju. Kehidupan tidak lagi bergerak dalam
kemapanan dan stagnasi. Ada dialektika sosial yang bergerak terus-menerus,
dari kehidupan nomaden ke berperadaban, dari kerangka berpikir tradisionalis
ke berpikir rasionalis, dari pandangan tekstualis ke pandagan subtansialis, dari
ketertutupan pada keterbukaan, dan seterusnya.32
Oleh karena itu, menurut Husein Muhammad kandungan QS. Al-Nisa’:
34 harus dipahami sebagai bersifat sosilogis dan kontekstual. Posisi wanita
sebagai subordinat laki-laki sesungguhnya lahir dari sebuah bangunan
masyarakat atau peradaban yang dikuasai oleh laki-laki, yang terkenal dengan
sebutan peradaban patriarki. Pada masyarakat seperti ini, wanita tidak
30 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 146. 31 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 147. 32 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 147.
61
diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya dan berperan dalam
posisi-posisi yang menentukan.33
Dalam pandangan Husein Muhammad, watak Alquran adalah
memutuskan seagala sesuatu berdasarkan langkah-langkah tertentu yang
strategis, dan hanya ini bisa dilakukan secara gradual. Karenanya, akan
menjadi kesalahan besar apabila wanita selalu diposisikan yang subordinatif
pada masa lalu ke dalam kehidupan modern sekarang ini, dan sebaliknya.
Artinya, wanita dalam masyarakat kehidupan modern tidak selalu tepat
diberikan legitimasi hukum sebagaimana yang diberikan kepeda masyarkat
masa lalu. Alquran memberikan tuntunan berupa kemaslahatan dan keadilan.
Kemaslahatdan dan keadilan adalah menempatkan segala sesuatu secara
proporsional dan kontekstual. Tegasnya, QS. Al-Nisa’: 34, adalah petunjuk
mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi dan kondisi riil yang terjadi
pada saat ayat tersebut diturunkan.34
Menurut Husein Muhammad, ada argumentasi lain yang dijadikan
landasan mereka adalah hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh
Abi Bakrah yang artinya sebagai berikut:
“Utsamah ibn Haitsam menceritakan kepada kami: ‘Auf menceritakan kepada kamu dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia mengatakan: Allah telah menyadarkanku, melalui kalimat-kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw, ketika ahu hampir saja ikut terlibat dalam Perang Jamal (unta). Yaitu ketika disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa bangsa Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai penguasa (raja/ratu) mereka. (Pada saat itu) Nabi mengatakan: Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan”.35
Menurut Husein Muhammad, hadis tersebut di atas jelas diungkapkan
oleh Nabi Muhammad Saw sebagai sebuah informasi bukan dalam kerangka
legistimasi hukum. Jelasnya, hadis ini tidak mempunyai relevansi hukum.36
Hal ini dapat dibuktikan melalui fakta-fakta sejarah yang ada. Beberapa wanita,
33 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 147-148. 34 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 148.
35 36 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 150.
62
terbukti dapat memimpin bangsanya dengan sukses gemilang. Pada masa
sebelum Islam, dikenal Ratu Balqis, penguasi negeri Saba seperti yang
diinformasikan oleh al-Qur’an. Indira Gandi, Margaret Tatcher, Srimavo
Bandaranaeke, Benazir Butho, Syeikh Hasina Zia merupakan contoh dari
beberapa pemimpin wanita yang sukses di masa modern. Hal sebaliknya, tidak
jarang ditemukan laki-laki yang menjadi pemimpin tidak mampu meraih
kesuksesan dalam memimpin bangsanya37
Labih lanjut, Husein Muhammad mengutip Ibn Qayyim al-Jauziyah
berpendapat:
“Dalam urusan-urusan politik, yang diperlukan adalah cara-cara yang dapat mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang menjamin kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan/kebinasan, meskipun cara-cara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan tidak ada aturan wahyu Tuhan”.38
Oleh karena itu, menurut Husein Muhammad, kaidah yang berlaku
dalam hal tersebut di atas adalah la siyata illa ma wafaqa al-Syar’ (dalam
urusan politik yang paling menentukan adalah kesesuainnya dengan syara’),
yaitu yang tidak bertentangan dengan agama, bukan la siyata illa ma nathaqa
bihi al-Syar’ (yang diucapkan oleh syara’ atau agama). Kaidah lain yang
menyatakan dengan jelas mengenai hal ini adalah tasharruf al-Imam ala al-
Raiyyah manuthun bi al-Maslahah (tindakan penguasa atas rakyatnya harus
didasarkan atas kemaslahatan mereka). Kemaslahatan dalam urusan kekuasaan
umum/publik antara lain dapat ditegakkan melalui cara-cara kepemimpinan
demokratis dan berdasarkan konstitusi, serta perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia, bukan kekuasaan tiranik, otoriter dan sentralistik. Dengan
demikian, jelaskan bahwa kepemimpinan publik tidak ada kaitannya dengan
jenis kelamin, melainkan pada kualifikasi pribadi, integritas intelektual dan
moral sistem politik yang mendukungnya.39
37 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 150.
38 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 151 39 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 152.
63
Lebih jauh, Husein Muhammad berpendapat bahwa keputusan Ijma’
dapat diubah jika nilai kemaslahatan di mana hukum harus ditegakkan di
atasnya, telah berubah. Jadi, sekali lagi, tidak ada persoalan apakah seorang
pemimimpin (presiden) harus laki-laki atau perempuan. Wanita dapat menjadi
pemimpin jika kemaslahatan bangsa menghendakinya. Sebaliknya, seorang
laki-laki tidak pantas menjadi pemimpin, jika ia dapat membawa kesesngsaraa
dan penderitaan rakyatnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah penulis sajikan, maka ada beberapa kesimpulan
dan rekomendasi yang dapat disampaikan.
Menurut Husein Muhammad, wanita dapat menjadi pemimpin berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan bukan karena alasan jenis kelamin. Sukses dan
kegagalan kepemimpinan tidak disebabkan oleh jenis kelamin namun melalui
cara-cara kepemimpinan demokratis dan berdasarkan konstitusi, serta
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, bukan kekuasaan tiranik, otoriter
dan sentralistik. Oleh karena itu, ayat-ayat Alquran dan hadis nabi yang
“terlanjur” dipahami sebagai landasan untuk mensubordinasi wanita harus
dipahami ulang melalui perspektif budaya dan sosial. Karena, fakta sejarah
menunjukkan beberapa wanita yang sukses dengan gemilang dalam memimpin
bangsanya, sebaliknya ditemukan juga kegagalan laki-laki dalam memimpin
rakyatnya.
B. Saran-saran
1. Perlu adanya kajian mendalam terkait kepemimpinan wanita dalam
perspektif sosial dan budaya mengingat perkembangan zaman yang dinamis
dengan relativitas konteks yang bermacam-macam. Hal ini perlu dilakukan
untuk mengetahui bahwa suatu produk pemikiran boleh jadi tepat sasaran
dan berguna pada suatu masa, namun di masa yang lain tidak dapat
diterapkan.
64
65
2. Bagi civitas akademika agar senantiasa melakukan penelitian tentang
kepemimpinan wanita dalam mazhab dan tentunya belum “tersentuh”
pembahasannya dalam skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abu Syuqqah, Abdul Halim. Kebebasan Wanita, terj. Chirul Halim. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Ad-Dumaji, Abdullah. Konsep Kepemimpinan dalam Islam. Jakarta: Ummul Qura, 2017.
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. Filsafat Alquran: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat Alquran. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Al-Mawardi. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (terj. Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman), Cet. 1, Jakarta: Qistthi Press, 2015.
Anoraga, Pandji. Manajemen Bisinis. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Arrosi, Abdurrahman. 30 Kisah Teladan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Efendi, Bahtiar. Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokratisasi,. Jakarta: Galang Press, 2001.
Engineer, Asghar Ali. Matinya Perempuan: Transformasi Alquran, Perempuan dan Masyarakat Modern, terj. Akhmad Affandi dan Muh. Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
The Rigts of Women in Islam. London: C. Hurst and Co., 1992.
Fakih, Mansour, dkk. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2006.
Hamka. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996.
Hasyim, Syafiq. Hal-hal yang Tak Terpikirkan: Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Ibad, M. N. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011.
Jamalullail, “Hak Berpolitik Seorang Muslimah Perspektif Fiqih Politik”, Skripsi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
Jarwanto. Pengantar Manajeman (3 In 1). Yogyakarta: Mediatera, 2015.
66
67
Khatimah, Najmah Sa’idah Husnul Khatimah. Revisi Politik Perempuan (Bercermin pada Shahabiyah Ra). Jakarta: Idea Pustaka, 2003.
Kurzman, Charles, ed., Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina, 2003.
Mernisi, Fatimah. Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim,. Bandung: Mizan, 1999.
______________. Wanita di Dalam Islam. Bandung: Pustaka, 1994.
Moelong, Lexy J.. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2017.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2002.
Muhammad, Husein. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2013.
_______________. Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan: Inspirasi dari Islam dan Perempua, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.
Musa, Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-isu Aktual. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006.
Nuruzzaman, M. Kiai Husein Membela Perempuan,. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Rachman, Budhy Munawar. Argumen Islam untuk Sekularisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2010.
Rakhmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Illahi: Belajar Menjadi Kekasih Allah. Depok: Pustaka IIMaN, 2008.
Rivai, Veitzal. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Saleh, Akh. Muwafik, Komunikasi dalam Kepemimpinan Organisasi. Malang: Universitas Brawijaya Press, 2016.
68
Sali, Darsono Yusin. Meneguhkan Keislaman & Keindonesiaan. Yogyakarta: Deepublish, 2018.
Sarwono, Jonathan. Metodologi Penelitan Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Sastrahidayat, Ika Rochdjatun. Cahaya Illahi Yang Hilang. Malang: Universitas Brawijaya Press, 2013.
Sinn, Ahmad Ibrahim Abu. Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Syuhud, A. Fatih. Wanita Shalihah Wanita Modern. Malang: Pustaka Alkhoirot, 2009.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis. Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007.
Umar, Nasaruddin. Teologi Jender: Mitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: Pustaka Cicero, t.t.
Umar, Nasaruddin., Kodrat Perempuan dalam Alquran. Jakarta: Fikahati Aneka, 2000.
Widiyani, Noviyati. Peran KH. Husein Muhammad dalam Gerakan Kesetaraan Gender di Indonesia. Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Zuhdi, Muslimin. Tetaplah Beribnar Sekalipun Langit Runtuh. Ponorogo: Kuwaiz, 2009.
ARTIKEL
Asmani, Jamal Ma’mur. “Kepemimpinan Perempuan: Pergulatan Wacana di Nahdlatul Ulama (NU)”, ADDIN, Vol. 9, No. 1, Februari 2015.
Fathurrahman, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Legitimasi Sejarah atas Kepemimpinan Politik Perempuan”, El-Hikam: Journal of Education and Religious Studies, Vol. IX, No. 1 Januari-Juni 2016.
Hadi, Abdul. "Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam Perspektif Fenomelogi." An Nisa'a 12.1 2017.
Kasmawati, “Gender dalam Perspektif Islam”, Sipakalebbi’, Vol. 1, No. 1 Mei 2013.
69
Nizar, Samsul. "PENDIDIKAN PEREMPUAN: Kajian Sejarah yang Terabaikan." Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 11.1 (2017).
Siswa, Imran, “Hak Asasi Manusia dalam Piagam Madinah serta Prinsip-prinsip Konstitusi Madinah”, Mahkamah, Vol. 2, No. 2 Oktober 2010.
Tangngareng, Tasmin, “Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Hadis Nabi SAW (Pemahaman Makna Tekstual dan Kontekstual)”, Sulesana, Vol. 10, No. 2, Tahun 2016.
INTERNET Soekarso dan Iskandar Putong, Kepemimpinan: Kajian Teoritis dan Praktis,
Diakses melaluihttps://books.google.co.id/books?id=g6hxBgAAQBAJ&dq=sifat-sifat+kepemimpinan&hl=id&source=gbs_navlinks_s pada 19 Maret 2019.