Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

154
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM Oleh : Anjar Nugroho 1. Dalam kitab-kitab klasik yang menjelaskan dan menafsirkan teks-teks ajaran Islam tidak asing lagi bahwa kaum laki- laki digambarkan lebih superior dari kaum perempuan. Biasanya argumen penguatan supremasi tersebut menggunakan ayat al-Qur’an Surat an-Nisa’ 4 : 34. Penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dalam situasi sosio kultural pada waktu penafsiran itu dilakukan. Pada saat ini dimana kedudukan dan peranan perempuan dengan laki-laki berkompetisi sama, maka tafsir- tafsir lama perlu dibongkar khususnya dari pandangan yang missoginis, yaitu pandangan yang membenci perempuan. Allah berfirman dalam al-Qur’an : ْ نِ م وا ُ قَ قْ نَ ا ا َ مِ بَ وٍ ضْ عَ ن ىَ لَ عْ مُ هَ ضْ عَ نُ َ ! اَ لَ ! ضَ ف اَ مِ بِ اءَ سِ ! لن ى اَ لَ عَ ونُ م اَ ! وَ قُ الَ جِ ! ر ل ا2 يِ ت لا ل اَ وُ َ ! اَ 8 ظِ فَ ح ا َ مِ ب ِ بْ 2 يَ غْ لِ لٌ اتَ 8 ظِ افَ جٌ ات َ تِ D ن اَ قُ اتَ حِ ل اَ ! ض ل اَ قْ مِ هِ ل اَ وْ مَ اْ مُ كَ تْ غَ طَ اْ نِ N ا َ قَ ! نُ ه وُ بِ رْ ض اَ و ِ عِ ح اَ ضَ مْ ل ا2 ىِ فَ ! نُ ه وُ رُ جْ ه اَ وَ ! نُ ه وُ 8 ظِ عَ فَ ! نُ هَ وزُ ^ شُ نَ ونُ ق اَ حَ ت اً ر2 يِ d بَ ك اً ! 2 تِ لَ عَ انَ كَ َ ! اَ ! نِ N ا لا2 تِ d بَ سَ ! نِ هْ 2 يَ لَ ع واُ غْ بَ o ن لاَ ق1 )

description

...."Pada saat ini dimana kedudukan dan peranan perempuan dengan laki-laki berkompetisi sama, maka tafsir-tafsir lama perlu dibongkar khususnya dari pandangan yang missoginis, yaitu pandangan yang membenci perempuan...."

Transcript of Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Page 1: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Oleh : Anjar Nugroho

1. Dalam kitab-kitab klasik yang menjelaskan dan menafsirkan teks-teks ajaran

Islam tidak asing lagi bahwa kaum laki-laki digambarkan lebih superior dari

kaum perempuan. Biasanya argumen penguatan supremasi tersebut

menggunakan ayat al-Qur’an Surat an-Nisa’ 4 : 34. Penafsiran yang bercorak

demikian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dalam situasi sosio kultural

pada waktu penafsiran itu dilakukan. Pada saat ini dimana kedudukan dan

peranan perempuan dengan laki-laki berkompetisi sama, maka tafsir-tafsir

lama perlu dibongkar khususnya dari pandangan yang missoginis, yaitu

pandangan yang membenci perempuan. Allah berfirman dalam al-Qur’an :

�ع�ض� ب ع�ل�ى �ع�ض�ه�م� ب �ه� الل ف�ض�ل� �م�ا ب اء� �س� الن ع�ل�ى ق�و�ام�ون� ج�ال� الر�

�ب� �غ�ي �ل ل ح�اف�ظ�ات% �ات% �ت ق�ان �ح�ات� ف�الص�ال �ه�م� م�و�ال� أ م�ن� �ف�ق�وا �ن أ �م�ا و�ب

وه�ن� و�اه�ج�ر� ف�ع�ظ�وه�ن� ه�ن� وز� �ش� ن �خ�اف�ون� ت �ي و�الالت �ه� الل ح�ف�ظ� �م�ا ب

�يال ب س� �ه�ن� �ي ع�ل �غ�وا �ب ت ف�ال �م� �ك �ط�ع�ن أ �ن� ف�إ �وه�ن� و�اض�ر�ب �م�ض�اج�ع� ال ف�ي

ا Bير� �ب ك Dا �ي ع�ل �ان� ك �ه� الل �ن� (1إ

2. Para mufassir memberikan penjelasan yang beraneka ragam tentang kata-

kata ‘qawwâmûn’. Al-Thabari menegaskan bahwa qawwâmûn berarti

penanggung jawab. Ini artinya bahwa laki-laki bertanggung jawab dalam

mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah

maupun kepada istrinya. Ibnu Abbas mengartikan qawwâmûn adalah laki-laki

memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan. Zamakhsyari

menekankan bahwa kata-kata qawwâmûn mempunyai arti kaum laki-laki

berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan

sebagaimana kepada rakyatnya.2)

Page 2: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

3. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki adalah

penanggung jawab, penguasa, pembimbing, pelindung kaum perempuan

)istri). Dengan demikian, bahwa posisi laki-laki )suami) terhadap perempuan

)istri) adalah posisi superior dan inverior. Dengan begitu laki-laki secara

otomatis menjadi pemimpin keluarga, dan istri atau perempuan harus

menerima posisi suami tersebut yaitu sebagai orang yang dipimpin.

4. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam pandangan beberapa ulama

tidak hanya sebatas dalam lingkup keluarga. Tetapi meliputi pula

kepemimpinan dalam masyarakat )kepemimpinan publik) dan politik.

Sehingga perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan

laki-laki dalam mengaktualisasikan potensinya sebagai pemimpin.

5. Masdar Farid Mas’udi mengakui adanya pendapat sebagian ulama yang

menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan )diberangus hak-haknya)

sebagai pemimpin. Pemberangusan Kepemimpinan perempuan, demikian

kata Masdar, ini terjadi demikian menyeluruh, mulai dari kepemimpinan dalam

kehidupan intelektual, sosial, kepemimpinan dalam keluarga sampai

kepemimpinan shalat. Hal itu dikarenakan, lanjut Masdar, tidak ada satu ayat

dan hadist pun yang tidak diragukan keshahihannya secara definitif melarang

kepemimpinan kaum perempuan, bahkan dalam ketiga sektor kehidupan tadi.

Lalu Masdar menyebut sebuah hadis yang berbunyi :

Masdar menilai, inilah hadis yang selama ini dijadikan pegangan untuk

melarang perempuan tampil sebagi pemimpin masyarakat, mulai dari lembaga

kemasyarakatan sejenis yayasan, ormas )kecuali yang berstatus underbow)

sampai dengan kepemimpinan politik, khususnya kepemimpinan negara )al-

imâmah al-uzma).3)

Page 3: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

4. Mustafa Muhammad Imarah dalam catatan pinggirrnya terhadap kitab Jawahir

al-Bukharî, mengklaim larangan kepemimpinan perempuan itu sebagai

pendirian jumhur ulama kecuali al-Tabari dan Abu Hanîfah untuk bidang-

bidang tertentu.4)

5. Larangan kepemimpinan perempuan yang diungkapkan oleh sebagian ulama

dikarenakan laki-laki memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh perempuan.

Dimana kelebihan tersebut menentukan kapabilitas seseorang untuk menjadi

pimpinan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Abdullah Muhammad bin

Ahmad al-Ansari al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, bahwa laki-laki

memiliki kelebihan dalam akal dan pengaturan. Karena itu, demikian

dijelaskannya, mereka memiliki hak memimpin perempuan. Dikatakan pula,

bahwa laki-laki memiliki kekuatan dan kejiwaan dan naluri )tab’), dua hal yang

tidak dimiliki oleh perempuan, yang dikarenakan dalam diri laki-laki dominan

unsur panas dan kering (al-harârah wa al-yabûsah), dari sinilah kemudian

muncul kekuatan itu. Sementara watak perempuan lebih dominan unsur

basah dan dingin (al- ruthûbah wa al-burûdah), dan dari sini muncul makna

kelembutan dan kelemahan.5)

<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Kelebihan laki-laki atas perempuan juga

dituturkan oleh Zamakhsyari, seorang pemikir Mu’tazilah. Dia mengatakan,

bahwa kelebihan laki-laki adalah pada akal )al-‘aql), ketegasan )al-hazm),

tekad yang kuat )al-‘azm), kekuatan )al-quwwah), secara umum memiliki

kekuatan menulis )al-kitâbah), dan keberanian )al-furûsiyah). Karena itu

demikian lanjut Zamakhsyari, dari laki-laki lahir para Nabi, ulama, kepala

negara )imâmah kubra), imam dan jihad.6)

<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Ibnu Katsir, ulama tafsir klasik juga

berpendapat tentang kelebihan laki-laki atas perempuan yang mempengaruhi

keabsahan kepemimpinan perempuan. Dia mengatakan bahwa laki-laki

Page 4: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

adalah pemimpin perempuan, dan laki-laki juga sebagai pembesar, hakim,

pendidik perempuan jika perempuan menyimpang. Firman Allah yang

berbunyi “Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas

sebagian yang lain” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir sebagai petunjuk laki-laki lebih

utama dari perempuan dan lebih baik. Oleh karena itulah Nabi dikhususkan

untuk laki-laki, begitu pula kekuasaan tertinggi. Berdasarkan sabda Nabi

Muhammad SAW : “ Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan

pimpinannya kepada kaum perempuan “. Hadis ini diriwayatkan oleh Abi

Bakrah dari bapaknya.7) Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan bahwa

kelebihan laki-laki atas perempuan tersebut adalah dengan sendirinya (fi

nafsihi).

<!--[if !supportLists]-->8. <!--[endif]-->Patut dipertanyakan pendapat para ulama

yang telah menafsirkan qawwam dengan penguasaan/kepemimpinan laki-laki

atas perempuan, sehingga konsekwensinya perempuan sampai kapanpun

tidak akan pernah mendapatkan haknya untuk berkiprah dalam dunia

kepemimpinan. Memang secara bahasa qawwam dapat diartikan sebagai

musallith/penguasa. Akan tetapi, mengapa dua kata yang sama di ayat yang

lain yang tidak bicara soal hubungan suami istri - dan memang hanya ada di

dua tempat - diartikan qâim(in), yang berarti penguat atau penopang. Dua ayat

tersebut adalah :

ع�ل�ى �و� و�ل �ه� �ل ل ه�د�اء� ش� �ق�س�ط� �ال ب ق�و�ام�ين� �وا �ون ك �وا آم�ن �ذ�ين� ال Lه�ا ي� أ �ا ي

�ه� ف�الل ا Bف�ق�ير و�� أ Dا �ي غ�ن �ن� �ك ي �ن� إ �ين� ب و�األق�ر� �ن� �د�ي �و�ال ال و�

� أ �م� ك �ف�س� �ن أ

�ع�ر�ض�وا ت و�� أ �و�وا �ل ت �ن� و�إ �وا �ع�د�ل ت �ن� أ �ه�و�ى ال �ع�وا �ب �ت ت ف�ال �ه�م�ا ب و�ل�ى

� أ

ا Bير� ب خ� �ع�م�ل�ون� ت �م�ا ب �ان� ك �ه� الل �ن� ف�إ

9)

Page 5: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

و�ال �ق�س�ط� �ال ب ه�د�اء� ش� �ه� �ل ل ق�و�ام�ين� �وا �ون ك �وا آم�ن �ذ�ين� ال Lه�ا ي� أ �ا ي

�لت� ل ب� �ق�ر� أ ه�و� �وا اع�د�ل �وا �ع�د�ل ت �ال أ ع�ل�ى � ق�و�م �آن� ن ش� �م� �ك �ج�ر�م�ن ي

0W ون�� �ع�م�ل ت �م�ا ب �ير% ب خ� �ه� الل �ن� إ �ه� الل �ق�وا و�ات ق�و�ى

10)

<!--[if !supportLists]-->9. <!--[endif]-->Sehingga, dapat dijelaskan bahwa dalam

An-Nisa’ 4 : 34, jika qawwam diartikan dengan sama, penopang atau penguat,

maka ayat tersebut akan berarti bahwa kaum lelaki adalah

penganut/penopang kaum istri dengan bukan karena nafkah yang mereka

berikan. Dengan pengertian yang seperti ini, maka secara normatif sikap

suami terhadap istri bukanlah menguasai atau mendominasi dan cenderung

memaksa, melainkan mendukung dan mengayomi.

<!--[if !supportLists]-->10. <!--[endif]-->Mendukung pendapat di atas, Quraish

Shihab mengemukakan hak-hak yang dimiliki oleh perempuan baik dalam

lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara, dengan mengutip

sebuah ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam

kaitannya dengan hak-hal politik kaum perempuan. Ayat tersebut adalah ayat

71 surat Al-Taubah yang berbunyi :

وف� �م�ع�ر� �ال ب ون� م�ر�� �أ ي �ع�ض� ب �اء� �ي و�ل

� أ �ع�ض�ه�م� ب �ات� �م�ؤ�م�ن و�ال �ون� �م�ؤ�م�ن و�ال

�ط�يع�ون� و�ي �اة� ك الز� �ون� �ؤ�ت و�ي الص�الة� �ق�يم�ون� و�ي �ر� �ك �م�ن ال ع�ن� �ه�و�ن� �ن و�ي

ح�ك�يم% ع�ز�يز% �ه� الل �ن� إ �ه� الل ح�م�ه�م� �ر� ي س� �ك� �ئ �ول أ �ه� ول س� و�ر� �ه� الل

<!--[if !supportLists]-->11. <!--[endif]-->Secara umum, Quraish menjelaskan, ayat

di atas difahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama

antar laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang

Page 6: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’rûf dan

mencegah yang munkar. Kata auliyâ’, dalam pengertian yang disampaikan

Quraish, mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan, sedangkan

pengertian yang dikandung oleh “ menyuruh mengerjakan yang ma’rûf “

mencakup segala kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberikan

nasehat )kritik) kepada penguasa.11)

<!--[if !supportLists]-->12. <!--[endif]-->Dalam kepemimpinan publik, terdapat

ruang yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam haknya menjadi

pemimpin satu dengan yang lainnya. Penulis tidak sependapat dengan para

ulama yang menyatakan bahwa dalam soal kepemimpian adalah menjadi hak

mutlak laki-laki dengan merujuk kepada surat An-Nisa’ ayat 34. Kami menilai

bahwa ayat tersebut turun dalam konteks kehidupan keluarga dan bukan

dalam konteks yang luas dari itu. Biarpun demikian, walaupun dalam konteks

keluarga pun tidak boleh terjadi dominasi laki-laki )suami) atas perempuan

)istri).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubi, Al-Jamî’ lî Ahkâm al-

Qur’an, Kairo : Dâr Al-Katib Al- Arabi, 1967

Abu Qasim Jarullah Mahmud Ibn Umar az-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-

Khasysyaf ‘an Haqâiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqâwil fi Wujûh at-Ta’wîl ,

Beirut, Dâr al-Fikr, cet 1977.

Faiqoh, “Kepemimpinan Perempuan dalam Teks-Teks Ajaran Agama dalam

Perspektif Pemikiran Konservatif”, dalam Tim Editor PSW UII,

kumpulan makalah seminar Penguatan Peran Politik Perempuan,

Page 7: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Pendekatan Fiqih Perempuan, Yogyakarta : Lembaga Penelitian UII,

1998

Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Alih bahasa oleh The

Forgentten Queens of Islam, Bandung : Mizan, 1994

Ibnu al-Arabi, Ahkâm Al-Qur’an, Beirut : Dâr al-Ma’rifah, tt.

Ibnu Kasir, Tafsîr al-Qur’ân Al-Azîm, juz I,

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan, 1998

Mustafa Muhammad Imârah, Jawâhir al-Bukhârî, Surabaya : Penerbit Al-

Hidayah, tt.

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

1) An-Nisa’ (4) : 34

2) Faiqoh, “Kepemimpinan Perempuan dalam Teks-Teks Ajaran Agama dalam Perspektif Pemikiran

Konservatif”, dalam Tim Editor PSW UII, kumpulan makalah seminar Penguatan Peran Politik

Perempuan, Pendekatan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta : Lembaga Penelitian UII, 1998), hlm. 43-44

3) Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak …. hlm. 58 - 59

4) Mustafa Muhammad Imârah, Jawâhir al-Bukhârî, (Surabaya : Penerbit Al-Hidayah, tt.) hlm. 367

5) Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubi, Al-Jamî’ lî Ahkâm al-Qur’an, (Kairo : Dâr

Al-Katib Al- Arabi, 1967), V : 169

6) Zamakhsyari, Al-Khasysyaf, (Teheran : Intisyarat Aftab, tt.), I : 523

Page 8: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

7) Ibnu Al-Arabi, Ahkâm Al-Qur’an, (Beirut : Dâr al-Ma’rifah, tt.), I : 416

Ibnu Kasir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azîm … I : 608

9) An-Nisâ’ (4) : 135

10) Al-Mâidah ( 5) : 8

 

11) M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, cet. XVIII (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 272 - 273

2 Tanggapan

Ditulis dalam Islam dan Gender

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 20, 2007

Bermadzab di era   modern

<!--[if gte vml 1]&gt;&lt;![endif]--><!--[if !vml]--> <!--[endif]-->

BERMADZAB DI ERA MODERN :

MENJAWAB KEMODERNAN DENGAN AL-IJTIHAD AL-‘ILM AL-‘ASHR

Oleh : Anjar Nugroho

Page 9: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

<!--[if gte vml 1]&gt;&lt;![endif]--><!--[if !vml]-->

<!--[endif]-->

A. Pengantar

Penulisan buku ini dilatar belakangi oleh fenomena di kalangan umat Islam yang

menempatkan bermadzab dengan berijtihad pada posisi yang dikotomis.

Sekelompok orang atau ulama yang tergolong bermadzab seolah tidak

menyentuh praktik ijtihad. Sebaliknya, sekelompok orang atau ulama yang

mengklaim dirinya sebagai pendukung ijtihad, seolah tidak pernah

mempraktikkan model bermadzab )mengikuti ulama lain, taqlid atau ittiba’).

Kelompok bermadzab dianggap sebagai pengikut masa lalu yang tidak

menyentuk masalah kekinian. Sebaliknya, kelompok pendukung ijtihad dianggap

a-historis karena mengabaikan khasanah pemikiran masa lalu. Untuk itu menurut

penulis buku ini, adalah sangat penting untuk melakukan kajian kritis dalam

rangka mengadakan redifinisi untuk keduanya )bermadzab dan berijtihad)

Penulis buku ini adalah Guru Besar Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang. Meraih gelar megister dan Ph.D-nya di University of Chicago,

Amerika Serikat dalam bidang Islamic Studies dan sempat menjadi dosen tamu

di McGill University, Montreal, Canada. Dia termasuk penulis produktif, buku-

bukunya yang telah terbit antara lain : Eklektisisme Hukum Nasional; Pendidikan

(Agama) untuk membangun Etika Sosial; Melawan Globalisasi; dan buku yang

sedang dikaji ini.

Dia mengawali tulisan dalam bukunya )Bab I) dengan membahas tentang

redifinisi bermadzab. Dalam pembahasan ini dia memulainya dengan uraian

mengenai fiqih dan konsep bermadzab. Kemudian dia melanjutkan kajiannya

Page 10: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

dengan sejarah perkembangan dan perjalanan bermadzab. Benang merah yang

dapat ditemui dalam pembahasan bab ini adalah bahwa taqlid merupakan

bentuk bermadzab yang paling rendah dari lima tingkatan bermadzab, dan

bermadzab tidak membatasi untuk melakukan ijtihad.

Pada bab berikutnya )Bab II), - setelah pembahasan redifinisi bermadzab

– Qadri menguraikan pembahasan tentang redifinisi tajdid dan ijtihad. Ijtihad dan

tajdid dalam setiap madzab, menurut buku ini, tidak pernah berhenti dalam

perjalanan sejarahnya. Tesis itu untuk membantah anggapan bahwa praktik

tajdid atau ijtihad telah berhenti dalam waktu berabad-abad. Yang terpenting

dalam bab ini adalah bagaimana mengembangkan model atau formulasi ijtihad

baru atau memperbaharui ijtihad itu.

Selanjutnya )Bab III), buku karya Prof. Qodri ini menawarkan model ijtihad

baru yang dinamainya al-Ijtihad al-‘Ilmi al-’Ashr )Modern Scientific Ijtihad). Model

ijtihad ini diperlukan untuk membangun hukum Islam yang benar-benar dapat

mewujudkan masyarakat yang modern, sejahtera )prosperius), adil dan aman

dalam kehidupan yang pluralistik di era globalisasi. Al-Ijtihad al-‘Ilmi al-’Ashr

mensyaratkan penggunaan prosedur ilmiah seperti yang terjadi di dunia

akademik pada setiap ilmu pengetahuan, seperti : history of ideas<!--[if !

supportFootnotes]--> [1] <!--[endif]--> , primary sources<!--[if !supportFootnotes]--

> [2] <!--[endif]--> , historical continuity, living knowledge<!--[if !supportFootnotes]--

> [3] <!--[endif]--> dan sebagainya. Dan yang tidak kalah penting, pendekatan

yang perlu digunakan dalam al-Ijtihad al-‘Ilmi al’-Ashr adalah induktif dan empirik.

B. Redifinisi Bermadzab

Dalam buku ini, Madzab, secara bahasa diartikan pendapat )view, opinion, ra’y),

kepercayaan, ideologi )belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, paham,

aliran )school, al-ta’lim wa al-thariqah). Kemudian yang dimaksud bermadzab

adalah mengikuti madzab tertentu dalam sistem pengambilan hukum Islam/fiqih.

Page 11: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Sejarah timbulnya madzab bermula dari ijtihad yang dilakukan oleh seorang

imam/mujtahid yang kemudian hasil ijtihadnya itu diikuti oleh para murid-

muridnya. Lama-kelamaan melalui proses dialektis, terjadi pembakuan baik

dalam manhaj maupun corak pemikiran hukum Islam hasil ijtihad para imam, dan

dari sinilah madzab terbentuk. Pada mulanya dikenal madzab sebuah kota atau

daerah )misal madzab Hijazi dan madzab Iraqi), tapi madzab berbasis

kedaerahan ini berakhir setelah munculnya Imam Syafi’i yang mengembalikan

basis madzab dari daerah ke individu. Lalu munculah madzab berbasis

individu/imam diantaranya yang terkenal : madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan

Hanbali. )hal. 16-18)

Praktek bermadzab selama ini adalah dengan mengikuti pendapat-pendapat

fuqaha )ahli hukum Islam) yang telah megklaim diri mereka sebagai pengikut

salah satu imam pendiri madzab. Kalau ada kelompok umat yang menjadi

pengikut madzab Syafi’i, maka mereka harus mengikuti pendapat-pendapat

fuqaha tersebut )yang pada umumnya masa mereka sangat jauh dari imam

madzab itu sendiri) dengan merujuk kepada kitab-kitab yang telah ditulis oleh

mereka. Dan ironisnya, kitab-kitab karya imam pendiri madzabnya )dalam hal ini

imam Syafi’i) jarang atau hampir tidak pernah dijadikan rujukan secara langsung,

bahkan karya murid langsung sang imam juga jarang atau tidak pernah dijadikan

rujukan. Dengan demikian, penulis buku ini ingin mengatakan bahwa bermadzab

Syafi’i berarti identik dengan taqlid terhadap aqwal )pendapat-pendapat yang

sudah matang ) fuqaha Syafi’iyah. )hal. 21)

Kemudian setelah realitas umat dalam bermadzab seperti tergambar dia atas,

penulis buku ini mengajukan pertanyaan kritis dan mendasar : Apakah

bermadzab harus mengikuti dan tidak boleh berfikir, termasuk tidak boleh

mengetahui alasan penerapan hukum? Pertanyaan itu mendapat jawaban

langsung yang intinya bahwa bermadzab tidak musti atau harus mengikuti

pandapat madzab tanpa perlu tahu landasan normatif dan filosofis di balik

pendapat itu. Bermadzab terdiri atas beberapa tingkatan, dan yang paling rendah

adalah bermadzab taqlid yang prakteknya seperti terurai di atas. Namun,

Page 12: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

bermadzab dalam pengertian ittiba’ )mengikuti dengan mengetahui alasan dan

dalil pengambilan hukum ) tidak selalu demikian. Bahkan masih tetap disebut

bermadzab, meskipun menjalankan ijtihad, terutama sekali atas kasus-kasus

kontemporer. Dan lebih dari itu, juga tetap masih disebut bermadzab meskipun

juga berupaya mengembangkan metodologi )manhaj) yang sangat mungkin akan

mempunyai akibat terjadi perbedaan pendapat dengan imam madzabnya. )hal.

21-22)

Bermadzab tidak musti melulu mengikuti pendapat imam madzab dari kata-

katanya )fi al-aqwal), mamun bisa dalam metodologinya )fi al-manhaj), bahkan

juga untuk mengembangkan metodologinya, bukan lagi mengikuti manhaj yang

sudah ada. Berangkat dari tesis itu, maka penulis buku ini juga menawarkan

redifinisi terhadap konsep talfiq yang konotasinya selalu pada bermadzab fi al-

aqwal. Tetapi bagaimana talfiq )eklektik) juga dapat dipraktekkan dalam wilayah

bermadzab fi al-manjah. )hal. 24-25)

Pada akhirnya dalam bab redifinisi bermadzab, buku ini menguraikan tingkatan

bermadzab yang terdiri dari lima tingkat : Pertama, taqlid kepada fuqaha

madzab. Kedua, taqlid kepada imam madzab. Ketiga, ittiba’ kepada ulama

madzab atau langsung kapada imam madzab. Keempat, bermadzab fi al-

manhaj. Dan kelima, mengembangkan metodologi imam madzab. )hal. 51-56)

C. Memaknai (Hasil) Ijtihad

Dalam reformasi bermadzab, suatu hal yang tidak kalah penting adalah

bagaimana memaknai hasil ijtihad atau proses ijtihad itu sendiri. Buku ini

memberi panduan tentang hal tersebut yang diberi nama oleh pengarang

bukunya dengan istilah “mengembalikan kepada kodrat hukum Islam )the nature

of Islamic law).” Tahap-tahap untuk mengembalikan kodrat hukum Islam

setidaknya meliputi empat hal, sebagai berikut :

Pertama, hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha atau mujtahidin yag

lalu, yang selama ini selalu ditempatkan pada posisi doktrinal atau diabaikan

Page 13: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

sama sekali, hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yaitu

sebagai hasil ijtihad ualama terdahulu. Penulis buku ini menggunakan istilah

“humanisasi hukum Islam” untuk menyebut upaya “deabsolutisasi” )untuk tidak

mengatakan “desakralisasi”)<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> atas hasil

ijtihad sehingga menjadi sesuatu yang dapat tersentuh oleh pemikiran manusia

zaman sekarang. Di sisi lain, hasil ijtihad yang selama ini dianggap sebagai

sebagai “barang mati” dapat diangkat menjadi khasanah intelektual yang sangat

berharga. )hal. 73)

Kedua, melihat hasil ijtihad itu secara kontekstual, sehingga menjadi hidup dan

mempunyai nilai.<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Hasil ijtihad jika

ditempatkan secara proporsioal – termasuk melihatnya secara kontekstual -,

akan mampu memberi inspirasi dari produk pemikir terdahulu yang telah

memberi jawaban terhadap permasalahan atau tantangan zaman pada

masanya. Oleh karena itu, usaha kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa

lalu , menurut penulis buku ini, perlu digairahkan, bahkan mestinya menjadi

suatu keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya membaca teks dari hasil

ijtihad tersebut, namun harus dibarengi dengan kajian sejarah dan sosial yang

melingkupi mujtahid serta kajian metodologi yang duipergunakan oleh mujtahid

di dalam menghasilkan hukum Islam itu. )hal. 74)

Ketiga, setelah kontekstualisasi maka dilakukan reaktualisasi. Untuk memulai

proyek reaktualisasi, yang harus menjadi landasannya, menurut penulis buku ini

adalah kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad dan dilanjutkan dengan

reinterpretasi. Pasca itu, pada waktunya nanti, akan ada tuntutan reformasi atau

pembaharuan )tajdid) terhadap ajaran dalam tataran praktis yang merupakan

pemahaman para mujtahid terhadap wahyu. Maka di sini perlu historical

contiunity dalam mempelajari hukum Islam secara akademik. )hal. 75-76)

Keempat, perlu pendekatan interdisipliner atau multidisipliner<!--[if !

supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> dalam membaca/meneliti pemikiran hukum

Islam masa lalu. Berbagai pendekatan itu bisa meminjam dari ilmu sosial dan

Page 14: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

humaniora, termasuk –yang paling urgen – adalah pendekatan sejarah )historical

approach), lebih khusus lagi sejarah sosial. )hal. 76)

D. Al-Ijtihad al-‘Ilmi al-’Ashr (Modern Scientific Ijtihad).

Setelah selesai mengupas tentang redifinisi bermadzab dan berijtihad

pada bab-bab terdahulu, buku ini kemudian memasuki kupasan yang menjadi

heart core dalam karya Prof. Qodri ini yaitu formulasi ijtihad modern yang dia beri

mana al-ijtihad al-‘ilmi al-’ashr )modern scientific ijtihad).

Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang mampu memberi

jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang akan datang, penulis

buku ini menawarkan persiapan langkah-langkah yang dapat diuraikan sebagai

berikut :

Pertama, menggunakan sumber primer )primary sources) sebagai sumber

rujukan dalam bermadzab. Dalam bermadzab Syafi’i, misalnya, agar

menekankan untuk mengkaji secara intensif, serius dan kritis kitab-kitab karya

imam Syafi’i, bukan kitab-kitab karya murid-muridnya )pendukung madzab

Syafi’i). )hal. 110-111)

Kedua, Mengkaji pemikiran fiqih ulama atau keputusan hukum Islam oleh

organisasi keagamaan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis, tetapi dengan

critical study. Hal ini berarti menempatkan fiqih sebagai sejarah pemikiran

)intellectual history atau history of ideas). Artinya, mengkaji sejarah pemikiran

ulama sekaligus latar belakang mengapa ulama tersebut menelorkan pemikiran

itu. Konteks historis atau background sosial-politik tidak bisa diabaikan dalam

membaca karya-karya pemikiran ulama terdahulu. Pada akhirnya , ketika proses

bermadzab dilakukan, tidak semata-mata menemukan produk ijtihad para

mujtahid terdahulu, tetapi yang lebih penting adalah menggali metode )manhaj)

yang digunakan oleh mujtahid itu. Inilah yang dikenal dengan istilah bermadzab fi

al-manhaj, sebagai sisi lain dari bermadzab fi al-aqwal. Memposisikan fiqih

dalam ranah sejarah pemikiran berarti pula menjadikan fiqih sebagai living

Page 15: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

knowledge, untuk merangsang tumbuhnya inspirasi memunculkan pemikiran

fiqih baru. Beberapa syarat akademik agar pemikiran fiqih menjadi living

knoledge antara lain tidak boleh mengabaikan historical backgrounds saat

pemikitan fiqih muncul, sehingga berarti pula masuk pada wilayah hermeneutika

dan sejarah sosial hukum Islam )social history of Islamic law). Pada akhirnya,

ketika keseluruhan prasarat akademik itu terpenuhi, maka proses historical

contiunity dapat dijamin. )hal. 111-114)

Ketiga, semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan

)knowledge), baik yang didasarkan atas dasar deduktif dan verstehen maupun

yang dihasilkan secara empirik. Hanya al-Qur’an dan teks hadis yang terbatas

)khususnya yang mutawatir) saja yang tidak dapat diuji ulang )re-examined),

walaupun pemahamannya tetap dapat dikaji secara mendalam. )hal. 114-115)

Keempat, mempunyai sikap terbuka terhadap pemikiran di luar

madzabnya dan responsif terhadap berbagai perkembangan problem-problem

baru yang muncul. Syarat ketiga ini untuk menjamin tidak adanya sikap apriori

terhadap dinamika pemikiran sekaligus sikap reatif yang berlebihan saat

merespon permasalahan fiqih aktual. Harus disadari bahwa wilayah fiqih tidak

hanya meliputi ibadah mahdhah, tetapi secara luas meliputi pula wilayah-wilayah

kemanusiaan, kebudayaan bahkan peradaban. Disiplin ilmu lain )di luar ilmu fiqih

dan ushul fiqh) perlu dilibatkan dalam proses ijtihad atau setidak-tidaknya

istinbath al-ahkam. Dalam khasanah keilmuan imam Syafi’i dikenal metode

istiqra’i yang berarti pula pendekatan interdisipliner dalam mengkaji masalah-

masalah fiqih. )hal. 115-117)

Kelima, meningkatkan daya tangkap )responsif) dan cepat terhadap

permasalahan yang muncul, dimana bisabya umat ingin cepat mendapatkan

jawaban hukum agama dari para ahli hukum Islam. Untuk ini, perlu dibentuk

jaringan atau organisasi yang mampu dengan cepat mempertemukan diantara

para fuqaha untuk segera mengambil inisiatif menanggapi permasalahan yang

ada. )hal. 117-118)

Page 16: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Keenam, melakukan penafsiran yang aktif dan bahkan responsif. Yang dimaksud

aktif atau proaktif adalah ketika jawaban hukum Islam itu sekaligus mampu

memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang sedang dialami oleh

umat. )hal. 119)

Ketujuh, ajaran al-ahkam al-khamsah atau ketetapan berupa hukum wajib,

haram, sunnah, makruh dan mubah agar dapat dijadikan sebagai konsep atau

ajaran etika sosial. Selama ini banyak kritik bahwa hukum Islam selalu berkutat

pada wilayah ibadah mahdhah dan kurang menyentuh kehidupan sosial. )hal.

119-120)

Kedelapan, menjadikan ilmu fiqih sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum.

Hal ini dimaksudkan agar sasaran akhir fiqih berupa “hukum nasional” dapat

tercapai. Alangkah sia-sianya jika fiqih hanya sebatas wacana di masjid dan

forum pengajian, tanpa ada upaya untuk memperjuangkannya menjadi hukum

positif yang berlaku di Indonesia. )hal. 120)

Kesembilan, dalam kajian fiqih lebih dititik beratkan pada pendekatan induktif

atau empirik disamping deduktif. Proses deduktif dapat terwakili saat memahami

nash al-Qur’an dan Hadis yang shahih dengan segala jenis metodenya,

termasuk qiyas. Sedangkan induktif adalah memberi peran lebih akal dalam

proses ijtihad yang bentuknya antara lain mashlahah, istihsan dan ijma’ )dimana

harus dimaknai sebagai prosedur penciptaan mashalih ‘ammah. )hal. 121)

Kesepuluh, menjadikan mashalih ‘ammah menjadi landasan utama dalam

membangun fiqih atau hukum Islam. Mashalih ‘ammah dapat dipadankan

dengan universal values pada dataran aspek yang tidak bertentangan dengan

pokok ajaran Islam. Berbicara mengenai mashlahah, berarti mengakui peran

penting akal dalam proses ijtihad. Kemashlahatan dunia, menurut al-Sulami dpat

diperoleh dengan adat kebiasaan, percobaan )tajarib) realitas yang dinilai oleh

akal dan semacamnya. )hal. 122-123)

Page 17: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nash )al-Qur’an dan hadis yang

shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam ijtihad.

Kontrol ini tidak dengan menggunakan pendekatan tekstual )scipturalist), namun

lebih menekankan pada konsep etika. )hal. 125)

E. Catatan Akhir

Buku ini mendapat sambutan yang cukup hangat dari para intlektual

Muslim terkemuka Indonesia. Sambutan-sambutan itu bisa dilihat dari komentar

mereka terhadap buku yang pertama kali diterbitkan oleh penerbit Teraju-Mizan

tahun 2003 dan telah mengalami cetak ulang pada tahun yang sama. Salam satu

yang berkomentar positif adalah Prof. KH. Ali Yafie yang mengatakan bahwa

tulisan Prof. Qodri Azizy merupakan suatu reformulasi yang sangat dibutuhkan

oleh dunia ilmiah masa kini dalam memahami dua masalah besar yang

berkembang terus menerus dalam dunia ilmu-ilmu keislaman, yakni bermadzab

dan berijtihad. Komentar positif lain disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab yang

menyatakan bahwa buku ini “sungguh memuat gagasan-gagasan segar yang

diurai secara argumentatif dan menarik”.

Tapi catatan penting yang perlu diberikan di sini adalah bahwa tulisan Prof

Qodri Azizy tidaklah sebuah tulisan yang utuh dan genuin pada masalah yang

diangkat. Reformasi bermadzab yang menjadi term sentral pada buku ini telah

banyak yang mengupas yang dalam beberapa aspek lebih sophisticated. Syekh

Yusuf al-Qaradhawi adalah satu ulama terkemuka yang telah menulis hal serupa

dalam bukunya Al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al-Indilbat wa al-Infirat<!--[if !

supportFootnotes]--> [7] <!--[endif]--> )telah diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia : Ijtihad Kontemporer : Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan).

Tawaran al-Qaradhawi tentang ijtihad intiqa’<!--[if !supportFootnotes]--> [8] <!--

[endif]-->i dan ijtihad insya’<!--[if !supportFootnotes]--> [9] <!--[endif]--> i senafas

dengan tawaran Prof. Qodri tentang redifinisi ijtihad dan ijtihad al-‘Ilmi al-‘asr, tapi

dalam beberapa aspek tawaran al-Qaradhawi lebih “liberal” karena al-Qaradhawi

Page 18: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

berani untuk lepas sama sekali dari pemikiran madzab masa lampau dalam

kasus ijtihad insya’i.

Tetapi lepas dari segala kekurangan dan kelemahan yang ada dalam

karya Prof. Qodri ini, adalah bijaksana untuk mengatakan bahwa karya ini adalah

karya yang “dalam proses untuk menjadi”. Sebagaimana saran Prof. Qodri dalam

buku ini untuk umat Islam ketika berhadapan dengan karya intelektual apapun

dan dari siapapun, untuk senantiasa memposisikannya sebagai living

knowledge, yang bisa dikririsi agar dapat dikembangkan teori-teorinya. Buku ini

bukan sekumpulan doktrin yang beku, tapi karya intelektual yang terbuka untuk

dikaji ulang, khusunya bagi mereka yang concern terhadap isu-isu pembaharuan

hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

David Hackett, Historian’s Fallacies ; Toward o Logic of Hitorical Thought, New

York : Harper Torchbook, 1970

Erdward Halled Carr, What Is History?, New York : Vintage Book, 1961

Mircea Eliade, A History of Ideas, Chicago : the University of Chicago Press,

1985

Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme : Sebuah Kaian

Tentang Pertelingkahan antara Rasionalitas dan Mistis, penterj. Agung

Prihantoro, Yogyakarta : Qalam, 2001

Sayyed Hossein Nasr, “Philosophy” dalam The Study of Midlle East, John Wiley

& Son, 1976

Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al-Indilbat wa al-Infirat, Kairo ;

Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994

Page 19: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]--> [1] <!--[endif]--> Untuk memahami lebih dalam

tentang history of ideas, penulis buku ini menyarankan untuk melihat buku-buku antara

lain : David Hackett, Historian’s Fallacies ; Toward o Logic of Hitorical Thought (New

York : Harper Torchbook, 1970); Erdward Halled Carr, What Is History?, (New York :

Vintage Book, 1961); Mircea Eliade, A History of Ideas (Chicago : the University of

Chicago Press, 1985)

<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Primary Sources ini dalam rangka

mengambil fakta (fact) dan bukti (evidence) kebenaran tentang apa yang menjadi

pendapat seseorang ketika pendapat tadi disandarkan kepadanya. Ini juga sebagai upaya

untuk memperoleh kebenaran sejarah (historical truth).

<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Living Knowledge ini untuk menyebut

karya intelektual yang diposisikan sebagai sejarah pemikiran dalam kontek kajian

akademik yang dapat berperan untuk menjadi inspirasi memunculkan pemikiran baru

<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> Penulis buku ini tidak mengatakan

desakralisasi karena dia memandang bahwa nilai sakral sejauh proporsional akan tetap

ada, sebagai konsekuensi esensi hukum Islam yang mempunyai sumber utama wahyu

Allah.

<!--[if !supportFootnotes]--> [5] <!--[endif]--> Terhadap hasil ijtihad masa lalu

yang masih mempunyai nilai untuk masa kini, penulis buku ini menyebut dengan istilah

living tradition and knowledge hasil pinjaman dari Sayyed Hossein Nasr, “Philosophy”

dalam The Study of Midlle East, (John Wiley & Son, 1976), h. 327-445

<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Pereview lebih setuju jika tidak

disamakannya istilah interdisipliner dengan multidisipliner. interdisipliner artinya

Page 20: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

menggunakan berbagai pendekatan dimana antara satu pendekatan dengan pendekatan

lain saling mengisi, tetapi dalam multidisipliner antara pendekatan satu dengan

pendekatan lain berjalan sendiri yang pada prakteknya bahkan bisa saling menafikan.

Lihat Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme : Sebuah Kaian Tentang

Pertelingkahan antara Rasionalitas dan Mistis, penterj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta :

Qalam, 2001), hlm.98-113

<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihad al-Mu’ashir

baina al-Indilbat wa al-Infirat, (Kairo ; Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994)

<!--[if !supportFootnotes]--> [8] <!--[endif]--> Yang dimaksud ijtihad intiqa’i

menurut al-Qaradhawi adalah memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat

terkuat yang terdapat pada warisan fiqih Islam, yang penuh dengan fatwa dan keputusan

hukum.

<!--[if !supportFootnotes]--> [9] <!--[endif]--> Ijtihad insya’i disebut juga ijtihad

kreatif yang berarti pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan, yang

persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama-ualama terdahulu.

1 Tanggapan

Ditulis dalam Hukum Islam

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 20, 2007

Kesetaraan laki-laki dan   Perempuan

PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI SETARA DIHADAPAN ALLAH

 

)TINJAUAN ISLAM)

Oleh : Anjar Nugroho

Page 21: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Sebelum kedatangan Islam kedudukan perempuan di seluruh dunia

dipandang rendah. Perempuan tidak mendapat hak apa-apa dan diperlakukan

tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tapi juga

dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa

bangsa Arab pada masa Jahiliyyah biasa menguburkan anak perempuan

Kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. membawa perubahan yang

cukup mendasar berkaitan dengan harkat dan kedudukan perempuan. Secara

perlahan perempuan mendapat tempat yang terhormat, sampai akhirnya

berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan terkikis dari akar budayanya

)Asghar Ali Engineer, 1997)

Secara normatif Islam memandang sama dan sederajat antara laki-laki dan

perempuan. Banyak ayat al-Qur’an yang telah menunjukkan bahwa laki-laki dan

perempuan adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama secara

spiritual. Begitu pula, banyak hadis yang menunjukkan kesamaan harkat laki-laki

dan perempuan.

Dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat.

“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar.” )Q.S.

al-Qamar/54 : 49). Oleh pada ulama, qadar di sini diartikan sebagai “ukuran-

ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu”, dan itulah kodrat.

Dengan demikian laki-laki dan perempuan, sebagai individu dan jenis kelamin

memiliki kodratnya masing-masing. Namun demikian, Syekh Mahmud Syaltut,

Pemimpin tertinggi al-Azhar pernah mengatkan :

“Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir apat

dikatakan Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana

Allah menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereke berdua

dianugerahkan Tuhan potensi dan kemanusiaan”.

Ayat al-Qur’an yang populer dijadikan rujukan di dalam membicarkan tentang

asal usul kejadian perempuan adalah firman Allah dalam al-Qur’an surat an-

Page 22: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Nisa’/4 : 1, “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah

menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan

pasangannya dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak.”

Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut banyak ulama adalah Adam dan

pasangannya adalah istri beliau Hawa. umumnya para mufassirin memahami

dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wâhidat dan zaujahâ dalam

ayat itu adalah Nabi Adam AS )laki-laki) dan Hawa )perempuan) yang dari

keduanyalah kemudian berkembang biak ummat manusia )Yunahar Ilyas, 1997).

Kontrovesi sesungguhnya bukan kepada siapa yang pertama, tapi pada

penciptaan Hawa yang dalam ayat diungkapkan dengan kalimat wa khalaqa

minhâ zaujahâ. Persoalannya adalah, apakah Hawa diciptakan dari tanah seperti

penciptaan Adam, atau diciptakan dari )bagian tubuh) Adam itu sendiri. Kata

kunci penafsiran yang kontroversial itu terletak pada kalimat minhâ. Apakah

kalimat itu menunjukkan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama

dengan dirinya, atau diciptakan dari )diri) Adam itu sendiri.

Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap

perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki.

Tanpa laki-laki perempuan tidak akan pernah ada. Bahkan tidak sedikit diantara

mereka yang mengatakan bahwa perempuan )Hawa) diciptakan dari tulang

rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya

demikian. Namun tidak sedikit ulama memahaminya sebagai metafora, bahkan

ada yang menolak keshahihan hadis tersebut )Quraish Shihab, 1999).

Riffat Hasan tidak hanya menolak dengan keras pandangan para ulama

di atas, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi juga

mempertanyakan kenapa dipastikan nafs wâhidah itu Adam dan zaujahâ itu

Hawa, istrinya. Padahal ungkap teolog muslimah yang akhir-akhir ini sangat

serius mengkaji masalah perempuan itu, kata nafs dalam bahasa Arab tidak

menunjukkan kepada laki-laki atau perempuan, tetapi bersifat netral, bisa laki-

Page 23: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

laki bisa perempuan. Begitu juga zauj, tidak secara otomatis diartikan istri,

karena istilah itu bersifat netral, artinya pasangan yang bisa laki-laki dan bisa

perempuan. Disamping zauj dikenal juga istilah zaujah, bentuk feminin dari zauj.

Mengutip kamus Taj al-‘Arus, Riffat menyatakan bahwa hanya masyarakat hijaz

yang menggunakan istilah zauj untuk menunjukkan kepada perempuan,

sementara di daerah lain digunakan zaujah untuk menyatakan perempuan. Lalu,

tulis Riffat mempertanyakan, kenapa al-Qur’an yang secara meyakinkan tidak

hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz, menggunakan istilah zauj bukan

zaujah, seandainya yang dimaksud itu sungguh-sungguh perempuan?

Lepas dari kontrovesri di atas, Amina Wadud Muhsin )1992), menyatakan

bahwa yang penting bukan bagaimana Hawa diciptakan, tetapi kenyataan bahwa

Hawa adalah pasangan Adam. Pasangan, menurut Amina, dibuat dari dua

bentuk yang saling melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah

perbedaan sifat, karakteristik dan fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini

pas saling melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan. Setiap anggota

pasangan mensyaratkan adanya pasangan lainnya dengan logis dan keduanya

berdiri tegak hanya atas dasar hubungan ini. Dengan pengertian seperti ini

penciptaan Hawa, bagi Amina merupakan bagian rencana penciptaan Adam.

Dengan demikian keduanya sama pentingnya.

Al-Qur’an tidak membedakan perempuan dan laki-laki dalam konteks

penciptaan dan proses selanjutnya sebagai manusia. Tidak sebagaimana

pandangan sebagian pandangan kebanyakan orang selama ini )khususnya

dalam tradisi Nasrani dan Yahudi) bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki,

tapi juga untuk laki-laki. Dalam pandangan al-Qur’an, Allah menciptakan

semuanya )perempuan dan laki-laki) adalah “untuk satu tujuan” )Q.S. Al-Hijr/15 :

85) dan “tidak untuk main-main” )Q.S. Al-Anbiya’/21 : 16). Hal tersebut

merupakan salah satu tema utama al-Qur’an.

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara

laki-laki dan perempuan . Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama

Page 24: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan

denagn orang-orang yang bertaqwa )muttaqun), dan untuk mencapai derajat

muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau

kelompok etnis tertentu.

Manusia, yang diciptakan “dengan sebaik-baik bentuk” )Q.S. At-Tin/95 : 4) telah

diciptakan untuk mengabdi kepada Allah )Q.S. Adz-Dzariyat/51 : 56). Yang

selanjutnya, menurut ajaran al-Qur’an, pengabdian kepada Allah tidak bisa

dipisahkan dari pengabdian kepada umat manusia, atau, dalam istilah Islam,

orang-orang yang beriman kepada Allah harus menghormasti Haqqullah )hak-

hak Allah) dan Haqul ‘Ibad )hak-hak makhluq). Penenuhan kewajiban kepada

Tuhan dan manusia merupakan hakekat kesalehan. Laki-laki dan perempuan

sama-sama diseru oleh Allah agar berbuat kebajikan dan akan diberi pahala

yang sma untuk kesalehan mereka. Hal ini dinyatakan dengan jelas dala

sejumlah ayat al-Qur’an seperti berikut :

“ Dan Tuhan …. memperkenankan permohonan mereka : “Tidak pernah aku sia-

siakan amal setiap kamu, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagian kamu

adalah turunan dari sebaian yang lain.” )Q.S. Ali Imran/3 : 195)

“ Siapapun yang berbuat kesalehan, baik laki-laki maupun perempuan, dan

mereka beriman, mereka akan masuk ke dalam surga. Dan tidaklah

ketidakadilan sekecilpun akan ditimpakan kerpada mereka.” )Q.S. An-Nisa’/4 :

124)

“ Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah pelindung, yang

satu terhadap yang lain : mereka menyuruh kepada keadilan dan mencegah

berbuat kejahatan; mereka taat melakukan shalat, menunaikan zakat, dan taat

kepada Allah dan Rasul-Nya. Atas mereka, akan Allah limpahkan rahmat-Nya

karena Allah.” )Q.S. At-Taubah/9 : 71)

“Siapapun yang berbuat kesalehan, laki-laki ataupun perempuan, dan mereka

beriman, sungguh, kepada mereka akan Kami berikan suatu kehidupan baru,

Page 25: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

kehidupan yang baik dan suci, dan Kami akan memberikan pahala yang terbaik

atas apa yang mereka kerjakan.” )Q.S. an-Nahl/16 : 97)

Ayat-ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan

yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individu, baik dalam

bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh

salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan

yang sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam kenyataan di

masyarakat muslim, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi,

karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit

diselesaikan.

Salah satu tujuan al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat.

Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik

sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu al-Qur’an

tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis,

warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis

kelamin.

Al-Qur’an tidak hanya menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan benar-

benar setara dalam pandangan Allah tetapi juga bahwa mereka merupakan

“anggota-anggota” dan “pelindung” satu sama lain. Dengan kata lain, al-Qur’an

tidak menciptakan hirarki-hirarki yang menempatkan laki-laki di atas perempuan

)sebagaimana dilakukan oleh banyak ulama Nasrani). Al-Qur’an juga tidak

menempatkan laki-laki dan perempuan dalam satu hubungan yang bermusuhan.

Mereka diciptakan sebagai makhluq-makhluq yang setara dari Pencipta alam

semesta, yang Maha Adil dan Maha Pengasih, yang menginginkan mereka hidup

dalam harmoni dan kesalehan bersama-sama.

Meskipun al-Qur’an menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan,

masyarakat muslim pada umumnya tidak menganggap laki-laki dan perempuan

setara, terutama dalam konteks perkawinan. Dasar penolakan masyarakat

Page 26: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Muslim terhadap gagasan kesetaraan laki-laki dan perempuan berakar dalam

keyakinan bahwa perempuan lebih rendah dalam asal-usul penciptaan )karena

diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok) dan dalam kesalehan )karena

membantu setan dalam menggoda Adam untuk melakukan apa yang telah

dilarang Allah), dan diciptakan terutama untuk dimanfaatkan oleh laki-laki yang

lebih tinggi dari mereka.

Superioritas laki-laki atas perempuan yang meresap dalam tradisi Islam

didasarkan kepada hadis-hadis Israilliyat )penyusupan ide-ide Israel dalam

muatan hadis) dan juga pada interpretasi-interpretasi ayat-ayat al-Qur’an.

Riwayat Isra’illiyat ialah cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama samawi

sebelum Islam,seperti dari Yahudi dan Nasrani. Cerita-cerita ini muncul di dalam

kitab-kitab tafsir dan dalam kitab-kitab syarh Hadis. Bisa jadi cerita-cerita tesebut

dimasukkan oleh para mantan pengikut kedua agama itu yang sudah masuk

Islam, atau mungkin pula melalui upaya penyusupan secara sistematis oleh

kalangan penganut agama tersebut. Beberapa kitab tafsir mu’tabar

mengintrodusir kisah-kisah isra’iliyat, seperti Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Qurthubi,

tafsir al-Alusi dan sebagainya )Nasaruddin Umar, 1999). Seperti yang sudah

diketahui, dalam ajaran Nasrani maupun Yahudi terdapat pendangan yang

merendahkan derajat perempuan. Dengan demikian semakin banyak

mengintrodusir kisah-kisah Isra’illiyat dalam penafsiran al-Qur’an maupun Hadis,

semakin besar pula peluang terjadinya bias ketidakadilan dalam memandang

hubungan antara laki-laki dan perempuan

Contoh kisah Isra’iliyyat dalam penafsiran al-Qur’an adalah kisah asal-usul

kejadian perempuan. Dalam Kitab Perjanjian Lama diceritakan kisah-kisah yang

secara umum cenderung difahami memberikan citra negatif terhadap

perempuan, seperti menafsirkan kehadiran perempuan untuk melengkapi bagian

dari kebutuhan laki-laki )2:20). Perempuan dikesankan sebagai ciptaan kedua

)second creation) dan subordinasi dari laki-laki karena ia diciptakan dari tulang

rusuk laki-laki )2:21-22). Perempuan ditimpakan kesalahan dalam kisah jatuhnya

manusia )Adam dan Hawa) dari surga ke dunia )3:12), karenanya perempuan

Page 27: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

harus lebih banyak menanggung resiko dalam konsep dosa warisan tersebut

)3:12) Ayat-ayat ini dijelaskan secara panjang lebar dalam Kitab Talmud, suatu

kitab yang mengulas ayat-ayat yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama.

Penggunaan kisah-kisah Isra’iliyyat di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an

maupun Hadis tidak selamanya dipandang negatif. Agama Yahudi dan agama

Nasrani yang kemudian melahirkan Kitab Taurat dan Injil, adalah berasal dari

anak cucu Nbi Ibrahim. Keberadaan kedua agama dan kedua kitab suci tersebut

diakui dalam al-Qur’an. Merujuk kepada kedua Kitab Suci tersebut dipandang

syah dan wajar oleh para mufassir. Hanya saja maslahnya alah sejauh mana

keaslian kisahikisah yang dijadikan rujukan tersebut. Kalau yang dijadikan

rujukan adalah kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Talmud, sebagaimana

telah diketahui, banyak terdapat cerita-cerita rakyat Babilonia.

Dengan mengintrodusir tradisi klasik masyarakat Babilonia yang sarat dengan

mitos itu, maka barang tentu akan menimbulkan pandangan yang menyudutkan

perempuan, mengingat mitos-mitos Babilonia sangat merugikan

perempuan.Tidak heran jika kitab-kitab tafsir yang mengintrodusir kisah-kisah

Isra’iliyyat ditemukan banyak penafsiran yang memojokkan perempuan.

Allah yang berbicara melalui al-Qur’an bercirikan keadilan dan dinyatakan secara

jelas dalam al-Qur’an bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat zulm )tidak jujur,

tirani, pemerasan dan perbuatan yang salah). Karenanya, al-Qur’an sebagai

firmah Allah tidak bisa dijadikan sumber ketidakadilan manusia, dan

ketidakadilan yang membuat perempuan Muslim ditundukkan dan diremehkan,

tidak bisa dianggap dari Allah.

Al-Qur’an, menurut penulis, sangat memperhatikan pembebasan manusia –baik

laki-laki mapun perempuan – dari berbagai macam penindasan dan

ketidakadilan yang pada akhirnya menghalangi manusia mengaktualisasikan visi

al-Qur’an tentang tujuan hidup manusia yang mewujud dalam pernyataan al-

Qur’an : “Kepada Allah-lah mereka akan kembali.” )Q.S. An-Najm/53 : 42)

Page 28: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, dengan Ahmad Suaedi dan

Amiruddin Arrani penterj. Yogyakarta : LkiS dan Pustaka Pelajar, 1994.

Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, Istanbul : Dâr ad-

Dakwah, t.t..

Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, Alih bahasa oleh Yaziar

Radianti, Bandung : Pustaka, cet I, 1994.

Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempaun dalam Islam, Alih bahasa oleh Farid

Wajidi, Bandung, LSPPA, 1994.

Budhy Munawar-Rachman, “Islam dan Feminisme, dari Sentralisme Kepada

Kesetaraan”, dalam Mansour Faqih dkk., Membincang Feminisme, Cet. I,

Surabaya : Risalah Gusti, 1996.

Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki

dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Alih bahasa oleh

Team LSPPA,Yogyakarta : LSPPA - Yayasan Prakarsa, 1995.

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita, alih bahasa oleh Anshori Umar

Sitanggal, Semarang : CV. Asy-Syifa’, tt.

Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fiqih

Pemberdayaan, Cet. 2, Bandung : Mizan, 1997.

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

2 Tanggapan

Page 29: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Ditulis dalam Islam dan Gender

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 16, 2007

Pemikiran Syari’ati   2

IDEOLOGISASI ISLAM: JALAN MENUJU REVOLUSI

 

(PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI)

 

Oleh: Anjar Nugroho

 

Ali Syari’ati dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya juga,

multi-interpretable. Tetapi para pengamat juga dapat melihat semacam

pandangan dunia )weltanschauung) yang cukup konsisten dalam tulisan-

tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati yang paling menonjol adalah

menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi

dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini Syari’ati dapat disebut

pemikir politik-keagamaan )politico religio thinker).<!--[if !supportFootnotes]--

> [1] <!--[endif]-->

Page 30: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syari’ati adalah

agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai

kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara

kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang

belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah

pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia

merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme

yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka.<!--[if !

supportFootnotes]--> [2] <!--[endif]--> Atas dasar ini, maka banyak pengamat

menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”.<!--[if !supportFootnotes]--

> [3] <!--[endif]-->

Dalam pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu

keyakinan yang dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang

timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi

dibutuhkan, menurut Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau

bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk

mengubah dan merombak status quo secara fundamental.<!--[if !

supportFootnotes]--> [4] <!--[endif]-->

Menurut Ali Syari’ati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai

ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai

semangat kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi

dengan pernyataan:

But one comes to understand Islam in the sense of an ideology in

another way. Islam, as an ideology, is not a scientific specialization

but is the feeling one has in regard to a school of thought as a belief

ystem and not as a culture. It is the perceiving of Islam as an idea and

not as a collection of sciences. It is the understanding of Islam as a

human, historical and intellectual movement, not as a storehouse of

cientific and technical information. And, finally, it is the view of Islam

as an ideology in the minds of an intellectual and not as ancient

Page 31: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

religious sciences in the mind of a religious scholar. )Tetapi orang

datang untuk memahami Islam dalam pengertian suatu ideologi di

dalam pandangan yang lain. Islam, sebagai suatu ideologi, bukanlah

suatu spesialisasi ilmiah tetapi adalah kepekaan seseorang yang

mempunyai hubungan dengan suatu aliran pikiran lebih sebagai

sistem kepercayaan dan bukan sebagai kultur. Ia memposisikan Islam

sebagai suatu gagasan dan bukan sebagai suatu koleksi ilmu

pengetahuan. Islam demikian mempunyai pandangan yang utuh

tentang manusia, pergerakan intelektual dan sejarah, bukan sebagai

suatu gudang informasi teknis dan ilmiah. Dan, pada akhirnya, Islam

sebagai ideologi berada dalam pikiran kaum intelektual dan bukan

sebagai ilmu pengetahuan religius masa lampau yang berada dalam

pikiran ulama.)<!--[if !supportFootnotes]--> [5] <!--[endif]-->

Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi

sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, papar Syari’ati,

dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin

gerakan-gerakan historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat.

Ketika para nabi itu memproklamirkan semboyan-semboyah tertentu dalam

membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian

mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan

sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi.

Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil

bentuk agama sebagai institusi sosial.<!--[if !supportFootnotes]--> [6] <!--[endif]-->

Berangkat dari asumsi demikian, maka dapat dicari sebuah jawaban dari

pertanyaan mengapa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan cepat

dapat diterima oleh masyarakat Arab. Islam sebagai ideologi yang diusung oleh

Muhammad membawa orde sosial baru yang disandarkan kepada prinsip

keadilan dan persamaan dalam stuktur sosial masyarakat. Islam yang demikian

sangat menarik masyarakat Arab yang sudah lama muak dengan bentuk

aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-

Page 32: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai menemukan

semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan dan

kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan

keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk

melepaskan diri dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.

Sehingga dapat dimengerti jika kemudian Syari’ati mencoba merekonstruksi

“Islam Syi’ah” sebagai ideologi revolusioner. Syari’ati menyatakan dengan jelas,

bahwa Islam bukanlah Islam kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahîd,

bukan pula Islam dalam tradisi umum, tetapi Islam dalam kerangka Abu Zar.<!--

[if !supportFootnotes]--> [7] <!--[endif]--> Islam lahir secara progresif dalam upaya

merespon problem-problem masyarakat dan memimpin masyarakat untuk

mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita yang berharga. Dalam hal ini, Islam

dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif, dan diposisikan

sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial-politik seperti

penindasan, diskriminasi, ketidakadilan dan sebagainya. Semangat Islam

sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam

untuk membangun konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa

penindasan dan ketidakadilan.

Dalam konteks global Syari’ati melihat ada problem besar masa depan dunia

Islam, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah

mengalienasi masyarakat Muslim dari kebudayaan aslinya )turâts), karena

mereka mau tidak mau harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang

telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis. Senada dengan

Syari’ati, Hasan Hanafi juga melihat bahwa kolonialisme atau westernisasi

mempunyai pengaruh luas terhadap dunia Timur )Muslim), tidak hanya pada

budaya dan konsepsi tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan

peradaban. Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah pada gaya

kehidupan sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni

bangunan. Tidak hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk

membuka diri terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan

Page 33: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

keterbukaan bahasa, maka konsekwensinya harus menerima kehadiran bahasa

asing.<!--[if !supportFootnotes]--> [8] <!--[endif]-->

Syari’ati memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda

negara Dunia Ketiga tak terkeculai Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah

munculnya bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas,

ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat )Westoxication). Ia

menyatakan bahwa kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh

terbesar masyarakat yang harus diberantas dalam jangka panjang. Tetapi untuk

jangka pendek, menurut Syari’ati, ada dua musuh yang harus segera

dimusnahkan: pertama, Marxisme vulgal – menjelma terutama dalam Marxisme-

Stalinisme – yang banyak digemari para intelektual dan kaum muda Iran, dan

kedua, Islam konservatif sebagaimana dipahami kaum mullah yang

menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada para

penguasa.<!--[if !supportFootnotes]--> [9] <!--[endif]-->

Untuk membebaskan massa dari krisis yang membawa mereka mencapai

negara yang merdeka dan berkeadilan sosial-ekonomi, Syari’ati yakin bukan

melalui Liberalisme, Kapitalisme, ataupun Sosialisme, namun yang bisa

mengobati penyakit ini, kata Syari’ati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan

satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk

tekanan dan penindasan. Hal ini sangat masuk akal jika Syari’ati menginginkan

Islam sebagai penggerak revolusi. Terlebih lagi dalam konteks Iran, Islam

)Syi’ah) justru dijadikan sebagai agama resmi negara. Dengan latar belakang

yang demikian kondusif, Syari’ati menempuh sejumlah strategi sekaligus

mengkonsolidasi masyarakat ke dalam satu paradigma: Islam adalah solusi.

Beberapa strategi tersebut mengandung muatan yang sama, yakni menyakinkan

masyarakat untuk memilih Islam sebagai jalan perubahan.<!--[if !

supportFootnotes]--> [10] <!--[endif]-->

Pertama-tama Syari’ati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan

menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa

Page 34: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Islam agama yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan.

Syari’ati sangat antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi

pemahaman Islam yang benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu

memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat.

Mereka itulah yang menurut Syari’ati disebut para pemikir tercerahkan

)rausanfikr). Kemudian Syari’ati menunjukkan bahwa Islam merupakan akar

budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan demikian

masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika menginginkan

perubahan.

Untuk mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi, mula-mula Syari’ati

melakukan redifinisi tentang pemahaman ideologi itu sendiri Syari’ati

menjelaskan bahwa ideologi terdiri dari kata “ideo” yang berarti pemikiran,

gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lain, dan kata “logi” yang berarti logika,

ilmu atau pengetahuan. Sehingga ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang

keyakinan dan cita-cita.<!--[if !supportFootnotes]--> [11] <!--[endif]--> Menurut

pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau

keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan

cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas sosial atau suatu

bangsa.<!--[if !supportFootnotes]--> [12] <!--[endif]-->

Ideologys includes both a belief and the knowing of it. It is to have a

special attitude and consciousness which a person has in relation to

himself, his class position, social base, national situation, world and

historic destiny as well as the destiny of one’s own society which one

is dependent upon… Therefore, ideology is a belief system that

interprets the social, rational and class orientation of a human being

as well as one’s system of values, social order, form of living, ideal

individual, social situation and human life in all its various

dimensions. It answers the questions: What are you like? What do

you do? What must you do? What must be?

Page 35: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

)Ideologi meliputi suatu kepercayaan dan pengetahuan tentangnya.

Ideologi diperlukan agar seseorang mempunyai kesadaran dan sikap

khusus dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, posisi kelasnya,

dasar sosial, situasi nasional, dunia dan tujuan sejarah seperti

halnya tujuan masyarakat sebagai tempat bergantung… Oleh karena

itu, ideologi adalah suatu sistem kepercayaan yang

menginterpretasikan kondisi sosial, rasionalitas dan orientasi kelas

seseorang seperti halnya sistem nilai, orde sosial, format individu

ideal, hidup manusia dan situasi sosial dalam berbagai dimensinya .

Ideologi menjawab pertanyaan: Apa yang kamu sukai? Apa yang

kamu lakukan? Apa yang kamu harus lakukan? Harus menjadi

apa?)<!--[if !supportFootnotes]--> [13] <!--[endif]-->

Syari’ati berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu

menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia

merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip,

kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda

lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke

arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui dan tidak

terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran

dan substansi, fenomena dan konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran

manusia.<!--[if !supportFootnotes]--> [14] <!--[endif]--> Tentu saja pemahaman

Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan pandangan para

penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen Habermas, misalnya, ia

menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan filsafat )bahasa Habermas:

Knowledge, pengetahuan) mempunyai landasan yang sama dalam

pengembanganya, yaitu kepentingan )keberpihakan). Walaupun Habermas

berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa kepentingan itu adalah pasti

kepentingan kelompok atas, Habermas lebih melihat kepentingan itu muncul dari

siapa saja )manusia kelompok manapun) yang terlibat dalam pengembangkan

sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.<!--[if !supportFootnotes]--> [15] <!--[endif]-->

Page 36: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Di sisi yang berbeda, ideologi menuntut seorang cendekiawan untuk

memihak. Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah suatu kepentingan yang

mutlak. Setiap ideologi memulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo,

kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi, politik dan

moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Berbeda

dengan filsafat maupun ilmu yang sama sekali tidak mempunyai komitmen

seperti itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak

membedakan apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut.<!--[if !

supportFootnotes]--> [16] <!--[endif]--> Inilah perbedaan yang menyolok antara

ilmu, filsafat dan ideologi. Dengan kata lain, agar ideologi mampu memposisikan

dirinya menjadi landasan perjuangan, maka keberpihakannya harus jelas. Pada

wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga mampu memberikan doktrin-doktrin

politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa menyerang. Inilah sebenarnya, kata

Syari’ati, makna sesungguhnya dari ideologi, yang berarti bukan konsep,

landasan berfikir, filsafat, apalagi ilmu. Ideologi adalah kata lain dari

keberpihakan politik, tegas Syari’ati.

Lebih lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah

melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan

perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas

Syari’ati, yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan

mengoganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan

pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia.

Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab,

keterlibatan dan komitmen.<!--[if !supportFootnotes]--> [17] <!--[endif]--> Ideologi,

lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia )commited).

Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak,

arena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggungjawab dan

keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan

hanya dapat digerakkan oleh ideologi.<!--[if !supportFootnotes]--> [18] <!--[endif]-->

Page 37: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Setelah mengkonstruksi gagasannya tentang ideologi, Syari’ati

menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakkan oleh

masyarakat yang mempunyai ideologi kokoh. Dalam kondisi keterpurukan untuk

konteks Iran, Syari’ati berfikir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak

kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan

dunia komprehensif, sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia

sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, untuk tujuan makhluq

secara keseluruhan.<!--[if !supportFootnotes]--> [19] <!--[endif]--> Di sinilah

letaknya bahwa Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan:

Ia )Islam) akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan

melawan kekuasaan tiranik. Ia tidak akan pernah berbaiat )sepakat)

dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah

berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti

antara pewaris Adam dan pewaris setan. Asy-syûra mengingatkan

kembali akan ajaran ihwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah

Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah

Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan.<!--[if !

supportFootnotes]--> [20] <!--[endif]-->

Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam dengan pemahaman

umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang

tidak ideologis, agama seperti dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan

keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru

terhadap modus-modus, agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-

konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantab selama generasi

demi generasi. Ia tidak harus merupakan menifestasi dari semangat ideal

kemanusiaan yang sejati”.<!--[if !supportFootnotes]--> [21] <!--[endif]--> Jika Islam

dirubah bentuknya dari “madzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan

kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan

Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan,

komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak

Page 38: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

memberi kontribusi apa pun kepada masyarakat.<!--[if !supportFootnotes]--

> [22] <!--[endif]-->

Untuk mencapai tujuan menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi

Islam, Syari’ati menempuh beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk

melakukan redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara

detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu

yang berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan

mental kognitif masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis untuk

mengubah status quo yang tidak memuaskan kehendak masyarakat.<!--[if !

supportFootnotes]--> [23] <!--[endif]-->

Pada tahap pertama, Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhîd

sebagai pandangan dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa

kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar,

memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda

dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang

berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani

dan jasmani.<!--[if !supportFootnotes]--> [24] <!--[endif]--> Karena itu diskriminasi

manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa

dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Ketuhanan.

Pada tahap kedua, adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan

mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial

dan mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami

dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari

sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan

misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.<!--[if !supportFootnotes]--> [25] <!--

[endif]-->

Dengan berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah

sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri

Page 39: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

menjadi medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat

Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi

meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara

keseluruhan.<!--[if !supportFootnotes]--> [26] <!--[endif]--> Meskipun demikian,

Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil

sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran

orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat

dalam al-Qur’an.

Pada tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan

menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah

melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-

langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan

perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus

mengejawantah sebagai suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk

membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan

menegaskan hak-hak serta identitasnya.

Keseluruhan langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan

mengerucut pada satu tujuan, yaitu pembaharuan Islam )protestanism).

To emancipate and guide the people, to give birth to a new love, faith,

and dynamism, and to shed light on people’s hearts and minds and

make them aware of various elements of ignorance, superstition,

cruelty and degeneration in contemporary Islamic societies, an

enlightened person should start with “religion.” By that I mean our

peculiar religious culture and not the one predominant today. He

should begin by an Islamic Protestantism similar to that of Christianity

in the Middle Ages, destroying all the degenerating factors which, in

the name of Islam, have stymied and stupefied the process of thinking

and the fate of the society, and giving birth to new thoughts and new

movements. Unlike Christian Protestantism, which was empty-handed

Page 40: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

and had to justify its liberationist presentation of Jesus, Islamic

Protestantism has various sources and elements to draw from.

)Untuk membebaskan dan membimbing rakyat, untuk menciptakan

cinta dan keyakinan baru, kedinamisan, dan memberi kesadaran baru

ke dalam hati dan pikiran rakyat, serta mengingatkan mereka akan

berbagai bahaya yang muncul akibat unsur kebodohan, ketahayulan,

kejahatan dan kebobrokan di dalam masyarakat-masyarakat Islam

kini, orang tercerahkan harus mulai dengan “agama” – maksud saya

kebudayaan agama dan bukan salah satu budaya yang dominan

sekarang ini. Ini harus dimulai dengan semacam Protestantisme Islam

)pembaharuan Islam) yang mirip dengan Protestantisme Kristen

)pembaharuan Kristen) pada Abad Pertengahan, yang

menghancurkan seluruh faktor perusak yang, dengan

mengatasnamakan Islam, telah menghalangi dan membius proses

pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan baru. Tidak seperti

Protestantisme Kristen, yang tak punya apa-apa dan harus

membenarkan kehadiran Yesus sebagai pembebas, maka

Protestanisme Islam mempunyai banyak sumber daya dan unsur

yang dapat digunakannya.<!--[if !supportFootnotes]--> [27] <!--[endif]-->

Gerakan Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang

sangat besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk:

pertama, penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan

mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan

gerakan. Kedua, mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi

kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan yang

semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan

“pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan

pemahaman di antara mereka, dan dengan demikian menempatkan agama –

yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan gerakan – untuk kepentingan

rakyat. Keempat, mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka

Page 41: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama

untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang

diperlukan untuk menggerakkan rakyat.

Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang – dengan

kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil – melumpuhkan agen-

agen reaksioner dalam masyarakat, sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-

unsur yang digunakan untuk membius mereka. Keenam, menghilangkan

semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri agama biasa, dan

menggantinya dengan semangat pemikiran bebas )ijtihâd) yang kritis,

revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat dicapai melalui gerakan pembaharuan

agama yang akan menyaring dan menyuling cadangan energi yang sangat besar

di dalam masyarakat, dan akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan

generasi masa kini. Karena alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang

yang tercerahkan dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif.<!--[if !

supportFootnotes]--> [28] <!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Azra, “Akar-Akar Ideologis…”, hlm. 70

<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Nikki R Keddie, Root of Revolution: An

Interpretative History of Modern Iran (New Haven: Yale University Press, 1981), hlm.

217.

<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Azra, “Akar-Akar Ideologis…“, hlm. 70

<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> Lihat Ali Syari’ati, “Islamology”, dalam

http://www.shariati.com, diakses tanggal 11 Maret 2006

<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Ibid.

Page 42: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran dan

Aksi (Bandung: Mizan, 1982), hlm. 154-155

<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Lihat Ali Syari’ati, “And Once Again Abu-

Dhar”, dalam

http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/once_again_abu_dhar7.php,

diakses tanggal 11 Maret 2006

 

<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Lihat Hasan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm

al-Istighrâb (Kairo: Dâr al-Fanniyah, 1991), hlm. 17

<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> Lihat Azra, “Akar-Akar Ideologis…“, hlm.

71; bandingkan dengan Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat:

Bongkar Wacana Atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme dan

Globalisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 197. Hasan Hanafi mengemukakan

hal yang senada dengan Syari’ati bahwa sesungguhnya tantangan terbesar bagi

kelompok-kelompok umat sekarang adalah bagaimana mempertahankan identitas tanpa

harus terjatuh dalam bahaya isolasi diri, dan bahaya menolak andil orang lain; serta

bagaimana menghadapi bahaya pembebekan buta (taqlîd). Lihat Hanafi, Muqaddimah…,

hlm. 21

<!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]--> Lihat Supriyadi, Sosialisme Islam…, hlm.

150

<!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Bandingkan apa yang telah didefinisikan

oleh Syari’ati tentang ideologi dengan definisi yang diberikan oleh John B. Thompson

yang menyatakan bahwa ideologi adalah “sistem berfikir”, “sistem kepercayaan”,

“praktik-praktik simbolik” yang berhubungan dengan tindakan sosial politik. Lihat John

B. Thompson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia, terj. Haqqul

Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 17

Page 43: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

 

<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]--> Lihat Ali Syari’ati, “Man and Islam”,

dalam http://www.shariati.com, diakses tanggal 11 Maret 2006

<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]--> Syari’ati, “Islamology”.

 

<!--[if !supportFootnotes]--> [14] <!--[endif]--> Lihat Syari’ati, “Man and Islam”.

<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]--> Menurut analisa Habermas, ada tiga

macam ilmu yang didorong seakan-akan dari dalam oleh tiga kepentingan dasar manusia:

ilmu-ilmu empiris-analitis didorong oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk

memanfaatkan apa yang diketahui, ilmu-ilmu historis-hermeneutis diarahkan oleh

kepentingan “praksis” (dalam arti Aristoteles), kepentingan untuk memahami makna.

Ilmu-ilmu kritis (filsafat, psikoanalisa) didorong oleh kepentingan mansipatoris,

kepentingan untuk membebaskan. Lihat Franz Magnis-Suseno, “75 Tahun Jürgen

Hambermas”, dalam Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 6

<!--[if !supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,

terj. Amien Rais (Jakarta: Srigunting, 2001), cet. II, hlm. 161

<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]--> Ibid., hlm. 163

<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual:

Suatu Wawasan Islam (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 81

<!--[if !supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]--> Prasetyo, Sosiologi Islam…, hlm. 153

 

<!--[if !supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran

dan Aksi, terj. Nasrullah dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 47

Page 44: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

<!--[if !supportFootnotes]-->[21]<!--[endif]--> Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…,

hlm. 81

<!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--[endif]--> Syari’ati, “Islamology”.

<!--[if !supportFootnotes]-->[23]<!--[endif]--> Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,

hlm. 160

<!--[if !supportFootnotes]-->[24]<!--[endif]--> Syari’ati, On Sociology of Islam, hlm. 82

<!--[if !supportFootnotes]-->[25]<!--[endif]--> Ibid., hlm. 83

<!--[if !supportFootnotes]-->[26]<!--[endif]--> Menurut Marx, yang menentukan

perubahan dan perkembangan masyarakat adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial

atau terjadinya kontradiksi dalam masyarakat, dan kelas-kelas sosial merupakan aktor

sejarah utama. Jadi yang menentukan jalannya sejarah bukan individu-individu tertentu,

melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya.

Lihat Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke

Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 125

<!--[if !supportFootnotes]-->[27]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, “Where shall we begin?”.

<!--[if !supportFootnotes]-->[28]<!--[endif]--> Ibid.

No Comments yet...

Ditulis dalam Pemikiran Islam

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 16, 2007

Pemikiran Syari’ati   1

Page 45: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

ISLAM AGAMA PEMBEBASAN: PANDANGAN ALI SYARI’ATI

Oleh: Anjar Nugroho

 

Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman

maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam

yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan

politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur

bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk

menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum

tertindas )mustad’afîn<!--[if !supportFootnotes]--> [1] <!--[endif]--> ).  Islam yang demikian

itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat

sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik

dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.

            Dalam konteks situasi politik saat Syari’ati hidup, wacana Islam mainstreem

itulah yang digunakan oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim

Syah. Ketika rezim Syah menindas rakyatnya, para ulama rezimis tersebut tidak mampu

Page 46: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

berbuat apa-apa untuk kepentingan rakyat. Justru ulama itu dipaksa untuk terus-

menerus memberikan justifikasi keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah. Syari’ati

menganalogkan Islam yang demikian itu sebagai Islam gaya penguasa )Islamnya

Usman, Khalîfah  ketiga Islam). Sementara Islam otentik, sebagaimana yang dinyatakan

Syari’ati, adalah Islamnya Abu Zar, sahabat Nabi sang pencetus pemikiran sosialistik

Islam:

Abu Dhar was watching these shameful scenes and because he could no longer

bear it, could no longer remain silent, he rebelled, a manly and wonderful rebellion;

an  prising which caused rebellion in all the Islamic lands against ‘Uthman; an

uprising from which the waves of enthusiasm can still be felt until the present day

in the situations of human societies. Abu Dhar was trying to develop the economic

and political unity of Islam and the regime of ‘Uthman was reviving aristocracy.

Abu Dhar believed Islam to be the refuge of the helpless, the oppressed and the

humiliated people and ‘Uthman, the tool of capitalism, was the bastion to preserve

the interests of the usurers, the wealthy and the aristocrats. )Abu Zar menyaksikan

peristiwa yang memalukan ini dan karena tidak  bisa lagi menerima hal itu itu,

maka dia tidak lagi bisa diam, ia pun melawan, suatu perlawanan yang sangat

bagus dan jantan; suatu perlawanan yang  menyebabkan timbulnya perlawanan di

semua wilayah Islam melawan kekuasaan Usman; suatu perlawanan dari

gelombang gairah Islam yang tetap dirasakan sampai zaman sekarang di dalam

sejarah umat manusia. Abu Zar sedang berusaha untuk membangun kesatuan

ekonomi dan politik Islam dan rejim Usman sedang menghidupkan kembali

aristocracy. Abu Zar percaya Islam sebagai tempat perlindungan orang yang

membutuhkan pertolongan, si tertindas dan orang-orang yang terhina dan ‘Usman

menjadikan Islam sebagai alat kapitalisme yang berarti pula benteng untuk

memelihara para lintah darat, orang-orang kaya dan kaum ningrat.)<!--[if !

supportFootnotes]--> [2] <!--[endif]-->

 

Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan

aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang

Khaliq )Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi

dan pembebasan:

Page 47: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam.

Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam

keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa,

aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan )progress) dan

kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum

mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab

pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi )taqiyeh)

keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan

untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah,

dogmatis, dan imitasi tidak kritis )taqlîd) kepada ulama.<!--[if !

supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]-->

 

 

Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:

Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam.

Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar

atau Islam Marwan )bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam,

walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya.

Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan

lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih

lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus

mempunyai kepedulian )concern) kepada kaum miskin dan tertindas.

Khalîfah  yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari

sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman

berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan.<!--[if !

supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]-->

 

Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein;

kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk

memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah

Page 48: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan

kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol

perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah

revolusioner ini kemudian mengalami “penjinakan” di tangan kelas atas – penguasa

politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas “Islam” versi penguasa. Ulama, tuduh

Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan

melembagakannya sebagai “pemenang” )pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma

kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman,

terpisah dari realitas sosial.<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]-->

            Kenyataan ini, menurut Syari’ati, misalnya, terlihat pada masa Safawi, dimana

dinasti penguasa memasyarakatkan Syi’isme versi mereka sendiri yang sangat berbeda

dengan Syi’ah Imam Ali dan Imam Husein. Syari’ati, menyebut jenis Syi’ah penguasa

sebagai “Syi’ah Hitam )Black Shi’ism)”, dan Syi’ah Imam Ali sebagai “Syi’ah Merah )Red

Shi’ism)”, yakni Syi’ah kesyahidah )Shi’ism of martyrdom).

Shi’ites take their slogans from the embodiment of the tribulations and hopes

of the masses of the oppressed. Aware of the rulers, and in rebellion against

them, they cry out: “Seek the leadership of Ali and flee from the leadership of

cruelty. Choose Imamate, and stamp ‘cancelled,’ ‘disbelief’ and

‘dispossession’ upon the forehead of the Caliphate.Choose justice, and

overthrow the system of paradox and discrimination in ownership. Choose the

principle of being ready to protest against the existing conditions, where the

ruling government, religious leaders and aristocracy try to show that

everything is in accordance with the Will of God, the Divine Law and the

satisfaction of God and his creatures. Such things, to the ruling government,

included their conquests, their plundering of mosques, associations, schools,

gifts, trusts, and charities and the observance of religious ceremonies and

practices…. And this is the last revolutionary wave of Alavite Shi’ism, Red

Shi’ism, which continued for seven hundred years to be the flame of the spirit

of revolution, the search for freedom, and justice, always inclining towards the

common people and fighting relentlessly against oppression, ignorance and

poverty. A century later came the Safavids, and Shi’ism left the great mosque

of the common people to become a next-door neighbor to the Palace of ‘Ali

Qapu in the Royal Mosque.

Page 49: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Red Shi’ism changes to Black Shi’ism!

The Religion of Martyrdom changes to The Religion of Mourning. )Syi’ah

mengambil semboyan mereka )Imam Ali, Hasan, Husein, dan Zaenab) dari

perwujudan harapan kesengsaraan rakyat jelata, orang-orang tertindas.

Sadar akan hadirnya para penguasa )zalim), dan selalu memberontak

melawan mereka. Mereka menangis histeris dan beriak : “Lihatlah itu

kepemimpinan Ali yang lari dari kepemimpinan yang kejam. Pilihlah imâmah 

)kepemimpinan), pilihlah keadilan, dan robohkan sistem paradok dan

diskriminasi di dalam kepemilikan. Pilihkah prinsip untuk selalu siap

memprotes atas kondisi sosial politik yang ada, di saat para penguasa, para

ulama dan bangsawan mencoba untuk menunjukkan segala hal itu sebagai

kehendak Tuhan, Hukum Tuhan. Kehendak itu mewujud dalam menaklukkan

mereka, merampas masjid mereka, perkumpulan, hadiah, kepercayaan,

derma dan ketaatan dalam menjalankan upacara keagamaan… Dan ini

adalah gelombang Syi’ah revolusioner, yakni Syi’ah Merah, yang selama tujuh

ratus tahun menyalakan ruh revolusi, mencari kebebasan dan keadilan,

berpihak kepada rakyat dan berani melawan berbagai tekanan, kemiskinan

dan kebodohan. Satu abad kemudian datanglah Dinasti Safawi, dan Syi’ah

telah )dipaksa) meninggalkan masjid besar milik bersama rakyat untuk

menjadi penghuni masjid istana raja. Syi’ah Merah berubah menjadi Syi’ah

Hitam! Agama Kesyahidan berubah menjadi agama berkabung.) <!--[if !

supportFootnotes]--> [6] <!--[endif]-->

 

            Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi,

Syi’isme )Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang

seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah,

Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-

rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah

Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum

yang tertindas dan pencari keadilan.

             Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang

ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang

menjadikan tradisi menjadi penjara. Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama,

Page 50: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama

mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah,

bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir

telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di

sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan

generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, “Islam sejati

tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah”.<!--[if !

supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]-->

            Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis

khusus Islam revolusioner.<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Tetapi entah

mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap

doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya

sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana

orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan

aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat

disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan

dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.

            Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan

dengan gagasan tentang teologi pembebasan )theology of liberation) yang banyak

diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar

pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama,

yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan )ulama, gereja) yang

posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril

umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan

tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk

melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan

teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi

agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga

doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada

kepentingan rakyat.

            Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan

adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang

Page 51: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan

atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-

an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit

keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat

yang berbasis keagamaan.<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->

            Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan

menyertakan di dalamnya suatu doktri keagamaan yang benar-benar masuk akal,

Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap

perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah

membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan.

Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras

terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan

menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-

musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan

terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap

teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama

agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari

filsafat Yunani Platonis.<!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]-->

            Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh

kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam

pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan

berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran

Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama

sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem

despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.

            Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam

adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan

eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah.

Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya

yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam )Islamic society),

meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa

kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada

Page 52: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat

begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah

negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa

bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm )penindasan).<!--[if !supportFootnotes]--

>[11]<!--[endif]-->

            Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang

bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam

sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang

sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan

menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at,

dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial

dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas

)mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn )orang yang kuat

dan sombong).

            Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati “menuduh” ulama sebagai sumber

utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama,

Islam telah menjadi agama “orang mati” yang tidak berdaya melawan “orang-orang yang

serakah”. Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan

revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara )din-i dewlati), yang

paling tinggi menekankan sikap kedermawanan )philanthropism), paternalisme,

pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain,

demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan

kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta. Karena ulama Syi’ah memperoleh

pemasuka dari Khams )sedekah) dari sahm-i Imâm )bagian dari zakat), mereka tak

terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar.

Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen

dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar

pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.<!--[if !supportFootnotes]--

>[12]<!--[endif]-->

            Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan khusus ulama semacam itu telah

menjadikan mereka sebagai instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-lembaga

pendidikan Islam dibiayai kaum berharta untuk mencegah ulama berbicara tentang

Page 53: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

perlunya menyelamatkan kaum miskin. Sebaliknya, dengan menggunakan doktrin fikih

tentang ekonomi, ulama berusaha mengabsahkan ekploitasi, yang menurutnya bahkan

lebih ekploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Pada akhirnya, Islam telah

menjadi khordeh-i burzhuazi )burjuasi kecil). Dan, kaum mullah telah melakukan

perkawinan yang tidak suci )unholy marriage) dengan pedagang bazâr. Dalam

perkawinan ini, mullah menciptakan agama bagi pedagang, sementara pedagang

membuat dunia lebih menyenangkan bagi mullah.<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--

[endif]-->

            Tentu saja kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama

membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama

terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan

sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan

tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti

Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> Dan

Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh

Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih

banyak ulama sumber panutan )marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani,

dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka

mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan

Syari’ati.<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]-->

            Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund,<!--[if !

supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]--> Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal.

Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang

massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya

sendiri dan Ayâtullah  Muhammad Baqir Sadr )dihukum mati oleh pemerintah Republik

Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani

sebagai idolanya.<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]--> Khomaeni tentu saja

cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah

menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada

nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai

pemimpin besar.

Page 54: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

            Walaupun Ali Syari’ati tampak sebangun dengan Imam Khomeini dalam melihat

realitas politik Iran dan bagaimana faham Syi’ah berhadap-hadapan dengan faham

resmi yang dibanguh rezim, akan tetapi ada satu hal yang membedakan antara

keduanya, yaitu pada persoalan siapa yang akan menjadi lokomotif pembaharu atau

revolusi. Khomeini cenderung mengedepankan peran ulama formal )para mullah)

sedangkan Syari’ati pada kekuatan kelompok rausanfikr. Kelompok rausanfikr adalah

sekelompok orang yang melakukan pembaharuan di kalangan umat dengan menjadikan

faham Islam sebagai basis epistemologi dan aksiologisnya. Islam yang demikian itu,

kata Syari’ati, adalah “Islam protestan” yang bisa menjadi kekuatan sosio-kultural untuk

menghilangkan abad kegelapan dunia Islam dan menciptakan suatu abad

renaisance.<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->

            Pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam secara konsisten berada dalam

aras Islam progresif dan revolusioner. Corak Islam yang demikian itu berangkat dari

faham bahwa dalam ajaran Islam, Tuhan telah menugaskan kepada manusia sebagai

khalîfah-Nya di muka bumi. Khalîfah dalam hal ini adalah pemangku tugas pembaharu

dan selalu memimpin dunia dengan keadilan dan kearifannya. Jika ditemukan dalam

penggalan sejarah manusia-manusia serakah yang aksinya menindas dan memperkosa

hak-hak manusia lain, maka menjadi tugas khalîfah untuk menyingkirkan jenis manusia

itu dari muka bumi. Khalîfah haruslah dalam posisi pro-aktif memperjuangkan prinsip-

prinsip keadilan, bukan manusia pasrah yang selalu menerima nasib secara taken for

granted. Demikianlah yang dapat dikategorikan sebagai ajaran Islam progresif

sebagaimana yang digagas oleh Ali Syari’ati.

            Kata kunci progresifitas Islam adalah peran aktif dalam sejarah kemanusiaan.

Islam bukan agama pasrah yang hanya berfikir tentang kehidupan akherat dan tidak

melibatkan diri dalam dinamika sejarah sosial-politik manusia. Bentuk ajaran agama

yang demikian ini yang telah melahirkan banyak kritik dari Karl Marx, sang revolusioner

yang telah dituduh anti agama. Agama pasrah ini adalah agama candu yang akan

melanggengkan segala bentuk kesewenang-wenangan dan penindasan. Dalam posisi

ini, kata Marx, mereka yang tertindas akan dihibur oleh ajaran yang mengatakan bahwa

penderitaan itu adalah taqdir Tuhan dan pahala mereka adalah surga.<!--[if !

supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]--> Dan Syari’ati sangat setuju dengan pandangan

Marx itu, khususnya dalam aspek bagaimana bentuk-bentuk penindasan itu tidak

Page 55: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

dilanggengkan oleh ajaran agama. Jika ini yang terjadi, maka Syari’ati pun akan senada

dengan Marx, bahwa agama adalah candu )opium).

            Bagi Syari’ati, Islam harus diekspresikan dalam tindakan. Hal ini dimulai dari

menghidupkan kembali realitas abadi yang dipelajari kaum Syi’ah untuk memahami

hakekat kehidupan. Teladan Imam Husein di padang Karbala harus menjadi inspirasi

bagi semua umat yang tertindas dan terasingkan di dunia ini. Jika kaum Syi’ah

mengikuti teladan Imam Husein dan memimpin semua bangsa di Dunia Ketiga dalam

kampanye melawan tirani, mereka dapat mendorong Imam yang selama ini gha’ib dapat

hadir kembali.<!--[if !supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]-->

            Syi’ah, kata Syari’ati, harus dihidupkan kembali. Seperti telah dikemukakan di

muka, Syi’ah Ali dan Husein yang asli telah dihapus oleh apa yang Syari’ati sebut

“Syi’ah Safavi”. Suatu keimanan yang aktif dan dinamis telah dirubah menjadi masalah

pribadi yang pasif, padahal menghilangnya Imam Gha’ib berarti bahwa misi Nabi dan

para Imam sebenarnya dilanjutkan oleh umat. Karena itu, masa kegha’iban adalah masa

demokrasi. Orang awam tidak boleh lagi menghamba kepada para mujtahîd dan

dipaksa meniru )taqlîd) perilaku keagamaan mereka, seperti yang dikehendaki oleh

Syi’ah Safavi.Setiap Muslim harus tunduk kepada Tuhan semata, demikian penegasan

Syari’ati, dan mempertanggungjawabkan kehidupannya sendiri. Selain ini adalah

musyrik dan menyimpang dari Islam, mengubah ketaatan kepada Tuhan menjadi

ketaatan tanpa jiwa kepada peraturan-peraturan. Rakyat harus memilih pemimpin

mereka sendiri; mereka harus dimintai pendapatnya, sesuai dengan ajaran syûra.

Kekuasaan ulama harus diakhiri, dan sebagai gantinya, kata Syari’ati, “kaum intelektual

tercerahkan” )rausanfikr) menjadi pemimpin umat yang baru.<!--[if !supportFootnotes]--

>[21]<!--[endif]--> Untuk pernyataan yang terakhir inilah, Syari’ati berbeda pandangan

secara mendasar dengan Imam Khomeini dimana Khomeini lebih menekankan

kepemimpinan ideal ada di tangan ulama.

            Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya.

Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata “politik” berasal

dari bahasa Yunani “polis” )kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi

padanan kata Islamnya adalah “siyasah”, yang secara harfiyah berarti “menjinakkan

seokor kuda liar,”, suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk

memunculkan kesempurnaan yang inheren.<!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--[endif]-->

Page 56: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

 

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

                <!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Dalam istilah al-Qur’an, istid’âf

bukan berarti “kelemahan atau keputusasaan”. Itu merupakan kata jadian yang sama

dengan istibdâd (despotisme), isti’mâr (kolonialisme), istismâr (eksploitasi), dan

seterusnya. Dalam kenyatannya, yang terakhir itu merupakan bentuk-bentuk istid’âf

(penindasan) yang telah terjadi di berbagai masa sejarah. Setiap kali rakyat dibiarkan

lemah secara ekonomis (eksploitasi), politis (despotisme), nasionalis (kolonialisme), dan

kultural (pelumpuhan), entah di dalam satu bidang ini atau gabungan beberapa

diantaranya, maka terjadilah istid’âf dan korban-korbannya dinamakan mustad’afîn (yang

tertindas). Lihat Ali Syari’ati, What Is To Be Done: The Enlightened and Thinkers and

Islamic Renaisance, terj. Farhang Rajaee (Houston: IRIS, 1986), hlm. 1-2

                <!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Ali Syari’ati,  “And Once Again

Abu-Dhar”, dalam

http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/once_again_abu_dhar7.php,

diakses tanggal 22 Pebruari 2006

                <!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]-->  Dikutip dari Azyumardi Azra,

“Akar-Akar Ideologis Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati”, dalam

Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga

Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.77

<!--[if !supportFootnotes]--> [4] <!--[endif]--> Dikutip dari Muhammad Nafis,

“Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh

Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati

dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), hlm. 61

Page 57: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

                <!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Lihat Azra, “Akar-Akar

Ideologis…”, hlm.77-78

                <!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, “Red Shi’ism (the

religion of martyrdom) vs. Black Shi’ism (the religion of mourning)”, dalam

http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/red_black_shiism.php,

diakses tanggal 20 Pebruari 2006

                <!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Syari’ati, What Is to Be Done,

hlm. 21

                <!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Robert D. Lee, “Ali Shari’ati”,

dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun,

terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 140

 

                <!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> Michael Lowy, Teologi

Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 27

<!--[if !supportFootnotes]--> [10] <!--[endif]--> Wahono Nitiprawiro, Teologi

Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000),

hlm. 23-25

 

                <!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Asghar Ali Engineer, Islam dan

Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet.

III, hlm. 7

                <!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]--> Lihat Azra, “Akar-Akar

Ideologis…”, hlm. 79

                <!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]--> Ibid., hlm. 80

Page 58: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

                <!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> Abdulaziz Sachedina, “Ali

Syari’ati: Ideologue of the Iranian Revolution”, dalam John L. Esposito (ed.), Voices of

Resurgent Islam (New York, Oxford: Oxford University Press, 1983), hlm. 207;

bandingkan dengan Shahrough Akhavi, “Shari’ati’s Social Thought”, dalam Nikki R.

Keddie (ed.), Religion and Politics in Iran (New Haven: Yale University Press, 1983),

hlm. 45

                <!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]--> Lihat Ali Rahnema, “Ali

Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis

Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 234.

                <!--[if !supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]--> Akhund adalah sebuah istilah

pejoratif untuk menyebut ulama yang berpengetahuan dangkal.

                <!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]--> Lihat Azra, “Akar-Akar

Ideologis…,” hlm. 82

 

                <!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]--> Lihat Mungol Buyat, “Islam in

Pahlevi and Post-Pahlevi Iran; A Cultural Revolution?”, dalam John L. Esposito (ed.),

Islam and Development (New York: Syracuse University Press, 1980),  hlm. 161

                <!--[if !supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]--> Lihat Ian Adams, Ideologi

Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, terj. Ali Noerzaman

(Yogyakarta: CV. Qalam, 2004), hlm. 243

                <!--[if !supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]--> Lihat Karen Armstrong, The

Battle For God (New York: Alfred A. Knopf, 2000), hlm. 401-402

                <!--[if !supportFootnotes]-->[21]<!--[endif]--> Lihat Akhavi, “Shari’ati’s Social

Thought”, hlm. 132

Page 59: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

                <!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--[endif]--> Lihat Michael J. Fischer, Iran:

From Religious Dispute to Revolution (Cambridge, Mass, London: Cambridge University

Press, 1990), hlm. 154-155

2 Tanggapan

Ditulis dalam Pemikiran Islam

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 14, 2007

Dakwah   Kultural

DAKWAH BERBASIS BUDAYA LOKAL : DAKWAH ALTERNATIF UNTUK

MEMBUMIKAN AJARAN ISLAM*)

Oleh : Anjar Nugroho

Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan

kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan

simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.

Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di

dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama

memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama

adalah sesuatu yang final, universal, abadi )parennial) dan tidak mengenal

perubahan )absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan

Page 60: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama

pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan

mendapat tempat.

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi

atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan

Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga

kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang

simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah

)mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik

)fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau

dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan

Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah,

masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan

tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.

Interaksi Islam dengan budaya lokal

Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara

begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol

Islami )misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan

)untuk memahami nilai-nilai Islam).

Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya

menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih

toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang

masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala

Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang

ada di Timur Tengah )Arab), tempat lahirnya agama Islam.

Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam

kita dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam

kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih

Page 61: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka

dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak

dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita

rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa

tetapi isinya Islam.

Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa

bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas

menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat

ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad

Sobary )1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak

ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan

memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal

dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu

cenderung sufistik sifatnya.

Akan tetapi Kaitannya dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam

dengan budaya lokal, Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara

Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah sekarang ini )muballigh/da’i)

untuk pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya

sekadar budaya lokal. Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-

mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan pentingnya

“dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog sosial” yang sejuk dan ramah

terhadap kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut

‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu yang cukup lama, karena

dakwah ujung-ujungnya adalah merubah kebiasaan cara berfikir )habits of mind)

masyarakat.

Lalu akhir-akhir ini kita melihat, misalnya, teman-teman yang mempunyai

orientasi keagamaan Syiah juga menggunakan sumber daya budaya. Penulis

tidak tahu apakah Haddad Alwi itu mengikuti paham Syiah atau tidak, tapi kalau

saya lihat lagu-lagunya )misalnya lagu ana madinatul ‘ilm, wa-aliyyu babuha)

Page 62: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

sungguh luar biasa. Itu merupakan representasi dakwah Syiah yang memakai

instrumen budaya dan hasilnya sangat efektif.

Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar

belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita

memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya

Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan

jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya.

Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu

mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam

budaya.

Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai

hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan

Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah

yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.

Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya

menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna

subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya.

Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –

fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam

memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha

merumuskan hukum-hukum )nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala

)ideografik).

Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol

budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna

yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna )esensi),

simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.

Simbol Budaya dan Nilai Agama

Page 63: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten

maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya )appearence) adalah

simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat

mengungkapkan makna ’subyektif’ )kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat

religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut

sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi

transeden dan imanen.

Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya

abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition

yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam

tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan

itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan

kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan

bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo

merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal

demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati

agamanya.

Hanya saja yanag perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol

)pengungkapan) tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut

logika berpikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan

untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan

menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.

Dengan kata lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah

pernyataan yang menyertai )kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang

bagaimana? Ruwahan yang bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai

suatu simbol )pengungkapan) dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan

yang menyertainya. Nah, kita dapat menilainya )benar atau salah) dari

pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir maupun

tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu menciptakan simbol agar

Page 64: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi sekarang? Karena pengaruh

pemikiran Barat )baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan visi dan

paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu

dipahami dengan kacamata fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang

hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum-

hukum halal haram. Jadi sedikit banyak jelas kurang tumbuh.

Namun justru dari sinilah ummat ditantang untuk terus meningkatkan daya

furqani. Dan runcingnya daya furqani itu hanya dapat dicapai oleh –seperti

diungkap Damarjati Supadjar– orang yang mampu pubadiri atau megat-ruh.

<!--[if gte vml 1]&gt; &lt;![endif]--><!--[if !

vml]--><!--[endif]-->

1 Tanggapan

Ditulis dalam Islam dan Budaya

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 14, 2007

Islam Liberal di   Muhammadiyah

“ISLAM LIBERAL” DI MUHAMMADIYAH ?

 

Oleh : Anjar Nugroho

Ungkapan “Islam Liberal” mungkin terdengar kontradiksi dalam

peristilahan )contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat

mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan

Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam

Page 65: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

tulisannya, “Mahomet, or Fanatism“. Islam juga disamakan dengan kezaliman,

seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai “Kezaliman Timur”, atau definisi yang

diberikan Francis Bacon “Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki

nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni;

sebagaimana terjadi di Turki.”

Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat

tentang Islam yang diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan

gambaran teokrasi yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan

kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara

menambah kesan adanya perang dingin yang terlihat. Apalagi pasca tragedi

WTC yang dalang dan pelakunya diduga oleh Barat adalah kelompok radikal

Islam )baca : al-Qaeda). Juga dalam dunia akademik, umat Islam dianggap

mencurahkan perhatian kepada pemahaman keagamaan yang radikal. Hal itu

terlihat pada karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti;

Islam Radikal )Radical Islam), Islam Militan )Militant Islam), dan Jihad )Sacred

Rage).

Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa

Islam belum diberi kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat

Islam dihadapkan pada sebuah tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual

terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana tafsir kontekstual itu masih

menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang Muslim Pakistan,

misalnya, pernah menulis: “Orang yang berpikir tentang reformasi atau

modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang

reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal … Mengapa Islam harus

dimodernkan? Bukankah kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna,

universal, serta berlaku setiap waktu?”

Islam Liberal memang tampak sangat kontroversial. Karena membahas

mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia

Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan

Page 66: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

dipengaruhi cara pandang orientalisme. Dengan demikian mudah mendatangkan

kecurigaan, jenis pemikiran ini bisa berakibat buruk terhadap kelangsungan

otentisitas ajaran Islam.

Sebenarnya tradisi–yang disebut sebagai Islam Liberal ini sangat

menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan

menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya

Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai

sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut “Liberal” yaitu: )1).

melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; )2).

mendukung gagasan demokrasi; )3). membela hak-hak perempuan; )4)

membela hak-hak non-Muslim; )5) membela kebebasan berpikir; )6) membela

gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu

dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.

Istilah Islam Liberal yang digunakan Charles kurzman jauh dari makna penyimpangan

secara radikal terhadap otentisitas ajaran Islam. Ia menggunakan secara “netral” – hanya

– sebagai instrumen untuk menunjukkan ada sekelompok intelektual Muslim yang

berusaha mengembangkan gagasan ke-Islaman yang bersifat toleran, terbuka dan

berkemajuan dalam menghadapi persoalan-persoalan global seperti demokrasi,

pluralisme, kesetaraan gender, dan modernisasi.

Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok

gagasan Islam Liberal, yang pada akhirnya nanti dikritik secara keras oleh kaum

konservatif Islam, khususnya dalam pandangan-pandangan mereka perihal:

Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan

akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga,

pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu

sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan

argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan;

dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan

non-Muslim.

Page 67: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang

jauh sampai di masa keemasan Islam )the golden age of Islam). Teologi rasional

Islam yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-

Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu

menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja

sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf

besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang

luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb )The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih

dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru

ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke

belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua

sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal–yang pada masanya sudah tidak ada

lagi–dan pemerintahan “sekular” yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn

Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem

hukum, yaitu syari’ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan

Mamluk (political expediency, natural equity).

Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap

keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-

ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu “jalan tengah”, yaitu suatu

sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara

intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma’ (konsensus) hanya ada dan terjadi

pada masa sahabat–oleh karena kesetiaan mereka kepada apa yang dikatakannya dan

diperbuatnya, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran

ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas

masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan

liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.

Lalu, apakah wacana Islam Liberal bisa dikembangkan di Muhammadiyah? Dalam

pandangan penulis, wacana yang ditawarkan Islam Liberal dapat ditarik signifikansinya

Page 68: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

dalam mengembangkan tradisi pemikiran yang produktif, kritis, dan konstruktif di

kalangan Muhamadiyah. Harus jujur diakui, meski telah memproklamirkan sebagai

gerakan modernis-substansialis di Indonesia, tetapi masih tampak kegagapan dan

kegamangan Muhammadiyah dalam mengaitkan doktrin agama dengan persoalan publik.

Seperti tampak secara jelas (sering) keterlambatannya dalam merespon persoalan-

persoalan politik, sosial, dan budaya yang berkembang begitu cepat. Bahkan ada

kecenderungan Angkatan Muda Muhammadiyah tengah mengembangkan wacana

intelaktual “formalisme Islam” (Muthohharun Jinnan, Kompas 29 Juni 2001), yang

tampak seperti gerakan “back to salaf”, dan gerakan jilbabisasi yang marak di kampus-

kampus Muhammadiyah.

Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah disebabkan oleh

beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang

cenderung memperluas demografi dan keanggotaan (Kuntowijoyo,1998). Aktivisme

tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan

apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua peran

Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan

tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan

perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-

probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari

pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT)

terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik

di kalangan para anggota Majlis Tarjih (Azhar, 2000)

Karena itu, Islam Liberal patut dipertimbangkan sebagai acuan paradigma dalam

mengembangkan pemikiran keislaman secara utuh dan mendalam di Muhammadiyah.

Wallahu a’lam

 

 

Page 69: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

4 Tanggapan

Ditulis dalam Pemikiran Muhammadiyah

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 14, 2007

Islam dan Kebudayaan   Lokal

GAGASAN PRIBUMISASI ISLAM :

 

MERETAS KETEGANGAN ISLAM DENGAN KEBUDAYAAN LOKAL

 

Oleh : Anjar Nugroho

ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji dialektika antara agama dan kebudayaan. Agama

memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan

terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau

budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau

adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang

bersifat absolut. Untuk itu perlu adanya gagasan pribumisasi Islam, karena pribumisasi

Islam itu menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud

dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari

agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara

agama dan budaya.

Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut

dapat dilihat dalam perspektif sejarah agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu,

termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman

Page 70: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan

mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.

Pendahuluan

Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling

mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang

melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan

simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol,

dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu

dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak

mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan

temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi,

tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat<!--[if !

supportFootnotes]--> [1] <!--[endif]--> .

Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama

memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi

simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi

bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan

Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan

dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama<!--

[if !supportFootnotes]--> [2] <!--[endif]--> .

Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem

nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan.

Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat

sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan

struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.

Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam

masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan

filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).

Page 71: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara

pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan

kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama

memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak

tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji

memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu

mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan

kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal

dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam

menyikapi orang yang meninggal <!--[if !supportFootnotes]--> [3] <!--[endif]--> .

Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan

tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan

memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni

tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya

lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran

Ilahiyat yang bersifat absolut.

Epistemologi Pribumisasi Islam

Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh

Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar

bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke

dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-

masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan

praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses

mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar

budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya

perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu

tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari

polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak

terhindarkan<!--[if !supportFootnotes]--> [4] <!--[endif]--> .

Page 72: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan,

melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya

yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini

memisahkan antara agama dan budaya.

Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang

sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari

‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam

setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi

keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah

yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,

melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah

sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami

historisitas yang terus berlanjut<!--[if !supportFootnotes]--> [5] <!--[endif]--> .

Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di

Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan

antara Islam dan budaya lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat,

sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia.

Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran,

perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk

menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan

hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia

sebagai makhluq yang mulia<!--[if !supportFootnotes]--> [6] <!--[endif]--> .

‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal.

Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai

ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan

wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan

mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam

Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman

terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai

Page 73: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki

karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab

problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan

etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial

masyarakat yang selalu berubah.

Dalam konteks inilah, ‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme,

otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal

tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih

berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology)<!--[if !supportFootnotes]--

> [7] <!--[endif]--> , yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi

kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga

dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat.

Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh

paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya

perdamaian.

Otentisitas Islam Pribumi

Cuma permasalahanya apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam

perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan

internalisasi Islam pribumi sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam

sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai sebagai

pengejawantahan dari praktek bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih

lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah

Islam Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam

memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.

Ambillah contoh misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang

raja dari Demak. Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang

mempunyai kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering

menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi

Page 74: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan

hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah penguasa kerajaan

Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk memadamkan pengaruh mistik,

sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan orang menjadi

individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.

Demikianlah, akhirnya Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara

membakar hidup-hidup (meskipun pada akhirnya konon dia tidak mati) yang

melambangkan disirnakannya sufisme dan mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at

demi ketertiban negara. Walaupun Kuntowijoyo<!--[if !supportFootnotes]--> [8] <!--

[endif]--> menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama

antara keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang

yang dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor

kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang diusung ke

dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo kekuasaan, maka

ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu membahayakan

kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan sosial, maka ajaran

tersebut diberangus secepatnya.

Klaim-klaim yang dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter

discourse untuk sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new

paradigm masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan

mempunyai pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang

komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai kapanpun,

akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam pandangan Mark

R. Woodward<!--[if !supportFootnotes]--> [9] <!--[endif]--> tidak akan mungkin terjadi.

Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang

lainnya, untuk berbicara secara komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika,

ritual, dan aspek-aspek keagamaan lainnya.

Sistem-sistem doktrinal, begitu kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang

komprehensif hanya bisa muncul melalui penafsiran. Teologi dan hukum Islam

Page 75: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah

dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at

semikanonik <!--[if !supportFootnotes]--> [10] <!--[endif]--> .

Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.

Fazlur Rahman,<!--[if !supportFootnotes]--> [11] <!--[endif]--> mendefinisikan hadis

sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya memberikan

informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak

disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak

informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa

diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi<!--[if !supportFootnotes]--> [12] <!--[endif]--

>. Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip

al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk

praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan

dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi

keagamaan.

Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang

luas. Penting kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang

berbeda dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953)

bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan

kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak

mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas

tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu,

sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-

temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan

semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam

“ortodok”.<!--[if !supportFootnotes]--> [13] <!--[endif]-->

Kemunculan literatur hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan

simbolisasi dalam evolusi tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang

melaluinya prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan

Page 76: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan

menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk

skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad). Hadis

menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan (devotional

religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.

Sama halnya dengan peran penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher<!--

[if !supportFootnotes]--> [14] <!--[endif]--> melihat bahwa perkembangan hukum

didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab tas kawasan Byzantium dan Persia, dan

syari’at menggunakan yurisprudensi Romawi. Hukum Islam didasarkan pada empat

prinsip fundamental : (1) al-Qur’an, (2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4),

analogi (qiyas) (Rahman, 1979 : 68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip

fundamental dari al-Qur’an atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk

semua segi tingkah laku keagamaan dan sosial.

Karakter syari’at bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai

prinsip-prinsip penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh

terlepas dari tema sentral al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema

yang membebaskan “dari beban yang menyusahkan”.<!--[if !supportFootnotes]--

> [15] <!--[endif]--> Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan

diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus

roh Jawa (javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan dengan

keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa bentuk

asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong berkembangnya

sufisme.

Penjelasan panjang tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa

kelompok mereka yang paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari.

Otentisitas memang menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran

agama. Tetapi seringkali diabaikan di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang

mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis

dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama,

Page 77: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis,

padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat dengan

penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan

struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan

keabsahannya.

Dakwah dan Tradisi Lokal

Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan

lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah,

termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang

memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan

wilayah itu secara agama.

Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara

keIslaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai

dengan nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau

idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat,

tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan

akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam

struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau

budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul

sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit

membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi

Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua

illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab

pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk

mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke

Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan

tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.<!--[if !

supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]-->

Page 78: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu

elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya

bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai

Islam).

Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya

menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran

terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk

“membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan

demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah

(Arab), tempat lahirnya agama Islam.

Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu,

memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat

yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di

Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan

Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam

racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang

dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.

Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa

bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas

menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang

gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32)

dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek

esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati.

Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi.

Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.<!--[if !supportFootnotes]--> [17] <!--

[endif]-->

Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut

dapat dilihat dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu,

Page 79: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman

budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan

mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.

Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi

dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh

Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang

lainnya.

Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam

penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran

ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam

perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan

para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara

penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten.

Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari

syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa

Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar

belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita

memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya

Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,<!--[if !supportFootnotes]--> [18] <!--[endif]-->

sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:

Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga,

bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi

dalam budaya.

Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan

antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya–

melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan

ekonomi, yakni modus produksi.

Page 80: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan

verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-

perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya,

bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan

hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui

usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala

(ideografik). <!--[if !supportFootnotes]--> [19] <!--[endif]-->

Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya

yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini

lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal

makna masih sama.

Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun

tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol

pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna

’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari

pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak

diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.

Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika

ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya

merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya,

high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah

bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu

muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam.

Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak

dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati

agamanya.

CATATAN AKHIR

Page 81: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

1 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam

Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001, hal. 196

2 Ibid., hal. 195

3 Lihat Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran

Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003

4 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta :

Desantara, 2001), hal. 111

5 Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam

Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14

tahun 2003, hal. 9-10

6 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), hal.

235

7 Khamami Zada dkk., Islam Pribumi … hal. 12

8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam … hal. 232-233

9 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,

(Yogyakarta : LKIS, 1999) hal. 90

10 Ibid., hl. 91

11 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 54

12 Lihat Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton

University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of

Chicago Press, 1979), hal. 43-64

13 Mark R. Woodward, Islam Jawa … hal. 91

Page 82: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

14 Goldziher, Introduction to Islamic … hal. 45

15 Ibid., hal 55

16 Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”,

dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002

17 Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli

2002

18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam… hal 45

19 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid … hal. 110-111

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara,

2001)

Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam

Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002

Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)

Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University

Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of

Chicago Press, 1979)

Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin

24 Pebruari 2003

Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam

Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi

No. 14 tahun 2003

Page 83: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam

Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991)

Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta :

LKIS, 1999)

Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli

2002

Page 84: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

1 Tanggapan

Ditulis dalam Islam dan Budaya

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 11, 2007

Pandangan terhadap kaum homoseksual dan   lesbian

 

“SIKAP KOMPREHENSIF ISLAM TERHADAP PERILAKU DAN ORGANISASI

KAUM GAY (HOMOSEKSUAL) DAN LESBIAN”

Oleh: Anjar Nugroho

Page 85: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

1. Pendahuluan

Pada hari Ahad, tanggal 5 November 2006 berlangsung peristiwa yang menyentak

masyarakat Banyumas dan sekitarnya, yakni pendeklarasian perkumpulan kaum

homoseksual Banyumas yang diberi nama “Arus Pelangi”. Reaksi pun diberikan oleh

pelbagai organisasi Islam maupaun para tokoh Islam Banyumas. Mereka mengecam

peristiwa itu, dan nenolak dengan tegas keberadaan Arus Pelangi di wilayah Banyumas.

Dasar kecaman dan penolakan mereka terhadap Arus Pelangi adalah ketentuan normatif

al-Qur’an dan al-Hadis yang memang secara tersurat memuat larangan yang sangat tegas

terhadap perilaku homoseksual, bahkan al-hadis memberikan bentuk hukuman yang

cukup berat yakni hukuman mati terhadap orang yang berperilaku seks menyimpang

tersebut.

Larangan berperilaku seks menyimpang seperi homoseksual maupun lesbian adalah

ketentuan qath’i (tegas) dan muhkamat (jelas ketetapan hukumnya), sehingga tidak perlu

lagi ada penjelasan panjang lebar untuk masalah ini. Tetapi jika dilihat dari aspek sebab

musabab munculnya perilaku homoseksual/lesbian yang sangat kompleks, adalah tidak

bijaksana jika umat Islam hanya bisa mengecam para pelakunya tanpa bisa memberi

solusi berdasarkan sifat Islam yang rahmatan lil’alamin. Kaum Homo/lesbi adalah

bagian dari umat yang perlu mendapat perhatian dan pendampingan agar mereka dapat

membebaskan diri dari perilaku menyimpang itu, bukan malah menjauhi mereka bersama

persoalannya.

Untuk mencapai maksud itu, Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah

Kabupaten Banyumas telah mengadakan Diskusi Terbatas (Mujadalah) Tarjih dan Tajdid

yang khusus membahas masalah homoseksual bersama pakar medis dan psikologi. Pakar

medis dan psikologi ini dihadirkan agar pembahasannya bisa lebih komprehensif

(lengkap) dan solotif (menuntaskan masalah). Model mujadalah/kajian seperti ini (lintas

disiplin ilmu) akan terus ditradisikan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid agar persoalan-

persoalan umat yang direspon dapat dicarikan jalan keluar dengan sebaik-baiknya.

2. Sebab-Sebab Munculnya Homoseksual/Lesbian

Page 86: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Sebagaimana telah dirumuskan oleh para pakar, bahwa homoseksual (untuk sesama

perempuan disebut lesbian) adalah rasa tertarik secara perasaan (rasa kasih sayang,

hubungan emosional) dan atau secara erotik, baik secara lebih menonjol (predominan)

atau semata-mata (eksklusif), terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan

atau tanpa hubungan fisik (jasmaniah). Dari sudut pandang psiko-medis, homoseksual

saat ini tidak lagi dikategorikan sebagai suatu gangguan atau penyakit jiwa ataupun

sebagai suatu penyimpangan (deviasi) seksual. Karena homoseksualitas merupakan suatu

fenomena manifestasi seksual manusia, seperti juga heteroseksualitas (hubungan seks

antar jenis kelamin berbeda) atau biseksualitas (hubungan seks dengan sesama dan antar

jenis kemain berbeda).

Sudut pandang psiko-medis itu tentu berlawanan dengan sudut pandang agama yang

lebih melihat dari sisi moral dan fitrah kemanusiaan. Melakukan hubungan seks dengan

sejenis adalah perilaku yang tidak sesuai dengan fitrah manusia yang diciptakan Allah

berpasang-pasangan, dan pasangan itu adalah laki-laki dan perempuan, sebagaimana

Allah juga menggambarkan sepasang fenomena alam yaitu siang dan malam. Mungkin

yang dimaksud bukan penyimpangan seksual atau gangguan jiwa dalam sudut pandang

psiko-medis terhadap perilaku homoseksual/lesbian, adalah karena para pelaku

homoseksual/lesbian tidak merasa ada penyimpangan dan mereka menjalaninya dengan

wajar-wajar saja. Mereka adalah yang sudah merasa cocok dengan orientasi seksual

seperti itu yang dalam istilah psiko-medisnya dinamakan ego sintonik. Tetapi juga tidak

bisa dipungkiri bahwa sebagian yang melakukan praktik homoseksual/lesbian merasa

bahwa perbuatan tersebut menyimpang dan mereka pun berusaha untuk

meninggalkannya, yang disebut dengan ego distonik.

Dilihat dari jenis-jenis homoseksual/lesbian berdasarkan penyebabnya ada tiga; yaitu,

yang pertama, biogenik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau

kelainan genetik. Jenis ini yang paling sulit untuk disembuhkan karena sudah melekat

dengan eksistensi hidupnya. Mereka sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk

menyukai orang lain yang sejenis, sehingga benar-benar ini di luar kontrol dan keinginan

sadar mereka. Kedua, psikogenetik yaitu homoseksual/lesbian yang disebabkan oleh

kesalahan dalam pola asuh atau mereka mengalami pengalaman dalam hidupnya yang

Page 87: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

mempengaruhi orientasi seksualnya di kemudian hari. Kesalahan pola asuh yang

dimaksud adalah ketidak tegasan dalam mengorientasikan sejak dini kecenderungan

perilaku berdasarkan jenis kelamin. Dalam hal ini misalnya anak laki-laki tetapi

diberlakukan seperti anak perempuan dan begitu pula sebaliknya. Pengalaman yang dapat

membentuk perilaku homo/lesbi diantaranya adalah pengalaman pernah disodomi atau

waktu kecil orang itu melakukan coba-coba melakukan hubungan seks dengan temannya

yang sejenis. Pengalaman-pengalaman seperti ini berpengaruh cukup besar terhadap

orientasi seksual orang itu di kemudian hari. Ketiga, sosiogenetik yaitu orientasi seksual

yang dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kaum Nabi Luth yang homo adalah contoh

dalam sejarah umat manusia bagaimana faktor sosial-budaya homosexual oriented

mempengaruhi orang yang ada dalam lingkungan tersebut untuk berperilaku yang sama.

3. Homoseksual dalam Tinjauan al-Qur’an dan al-Hadis

Perilaku homoseksual disebut diantaranya dalam Q.S. al-A’raf/7 : 30-34; dan Q.S.

Hud/11 : 77-82, satu rangkaian dengan kisah Nabi Luth dan umatnya. Umat Nabi Luth

adalah sekelompok manusia yang mempraktikan homoseksual dalam kehidupan sehari-

hari. Dari fenomena itu, lantas Allah mengutus Nabi Luth untuk memberi peringatan

kepada umatnya atas perilaku mereka yang terkutuk tersebut, walaupun pada akhirrnya

umat Nabi Luth diadzab oleh Allah karena keengganan mereka menerima peringatan

Nabi Luth. Kisah itu (Q.S. al-A’raf/7 : 30-34) tertuang sebagai berikut:

�وطBا �ذ� و�ل �ق�و�م�ه� ق�ال� إ �ون� ل �ت �أ �ت ة� أ �ف�اح�ش� �م� م�ا ال �ق�ك ب �ccا س �ccه� م�ن� ب

�ح�د� �م�ين� م�ن� أ �ع�ال �م� ال �ك �ن �ون� )( إ �ت �أ �ت ج�ال� ل ه�و�ةB الر� �ccون� م�ن� ش�د

اء� �س� �ل� الن �م� ب �ت �ن ر�ف�ون� ق�و�م% أ �ان� )( و�م�ا م�س� �ال ق�و�م�ه� ج�و�اب� ك إ

�ن� �وا أ �خ�ر�ج�وه�م� ق�ال �م� م�ن� أ �ك �ت ي ر� �ccم� ق�ه� �ن اس% إ �ccن� ون� أ ر� �ccط�ه� �ت )( ي

�اه� �ن ي �ج� �ن �ه� ف�أ ه�ل� �ال و�أ �ه� إ ت

� أ �ت� ام�ر� �ان �ر�ين� م�ن� ك اب �ccغ� ا ال �ccن م�ط�ر�� )( و�أ

�ه�م� �ي ا ع�ل Bر� م�ط�ر�ظ� �ف� ف�ان �ي �ان� ك �ة� ك )( ع�اق�ب �م�ج�ر�م�ين� ال

Page 88: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

 

Kemudian dalam Q.S. Hud/11 : 77-82, tertulis:

 

�م�ا �ا ج�اء�ت� و�ل �ن ل س� �وطBا ر� �ه�م� س�يء� ل �ه�م� و�ض�اق� ب عBا ب ال� ذ�ر� �ccو�ق

�و�م% ه�ذ�ا اء�ه� ع�ص�يب% ي ون� ق�و�م�ه� )( و�ج� �ccع �ه�ر� ه� ي �ccي� �ل ل� و�م�ن� إ �ccق�ب

�وا �ان �ون� ك �ع�م�ل �ات� ي �ئ ي �ا ق�ال� الس� � ي �ي ه�ؤ�الء� ق�و�م �ات �ن ر� ه�ن� ب �ccط�ه� أ

�م� �ك �ق�وا ل �ه� ف�ات �ي و�ال الل ون �خ�ز� �ف�ي ف�ي ت �س� ض�ي �ي �ل �م� أ �ك ل% م�ن �ccج ر�

يد% ش� �وا ر� �ق�د� )( ق�ال �م�ت� ل �ا م�ا ع�ل �ن �ك� ف�ي ل �ات �ن قm م�ن� ب �ccك� ح �ccن� و�إ

�م� �ع�ل �ت �ر�يد� م�ا ل �و� )( ق�ال� ن �ن� ل �م� ل�ي أ �ك و�ةB ب �ccو� ق� �ل�ى آو�ي أ �ن� إ ك ر�

د�يد� �وا ش� �ا )( ق�ال �وط� ي �ا ل �ن ل� إ س� �ك� ر� ب �ن� ر� �وا ل �ص�ل �ك� ي �ي �ل ر� إ س�� ف�أ

�ه�ل�ك� �أ �ق�ط�ع� ب �ل� م�ن� ب �ي �ف�ت� و�ال الل �ت �ل �م� ي �ك د% م�ن �ح� �ال أ �ك� إ �ت أ �ه� ام�ر� �ن إ

�ه�ا يب �ccص�ا م �ccم� م�ه� اب �ccص� �ن� أ د�ه�م� إ �ccم�و�ع �ح� ب Lccس� الص� �ي �ل �ح� أ ب Lccالص

�ق�ر�يب� �م�ا ب اء� )( ف�ل �ا ج� ن م�ر�� ا أ �ccن� ع�ل ا ج� �ccه� �ي �ه�ا ع�ال اف�ل �ccا س �ccن م�ط�ر�

� و�أ

�ه�ا �ي ةB ع�ل ار� ج�يل� م�ن� ح�ج� �ض�ود س� )(� م�ن

Apa yang dilakukan oleh umat Nabi Luth itu, dalam perspektif Islam yang hanif,

bertentangan dengan fitrah kemanusiaan yang menyatakan bahwa masing-masing

manusia akan mendapatkan jodoh (pasangan)nya yang berbeda jenis. Ayat-ayat berikut

ini menyatakan ketentuan Allah (Sunnatullah) itu bahwa manusia diciptakan-Nya

bersama pasangannya:

Q.S. an-Nisa’/4 : 1:

 

Page 89: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

�ا Lه�ا ي ي� �اس� أ �ق�وا الن �م� ات �ك ب �ذ�ي ر� �م� ال �ق�ك ل �ف�س� م�ن� خ� �ق� و�اح�د�ة� ن ل �ه�ا و�خ� و�ج�ه�ا م�ن �ث� ز� و�ب

�ه�م�ا ا ر�ج�اال م�ن Bير� �ث اءB ك �س� �ق�وا و�ن �ه� و�ات �ذ�ي الل �ون� ال اء�ل �س� �ه� ت ام� ب �ccح �ن� و�األر� ه� إ �ccان� الل �ccك

�م� �ك �ي Bا ع�ل ق�يب ر�

Kemudian dalam Q.S. ar-Rum/30 : 21:

�ه� و�م�ن� �ات �ن� آي �ق� أ ل �م� خ� �ك �م� م�ن� ل ك �ف�س� �ن و�اجBا أ �ز� �وا أ �ن ك �س� �ت �ه�ا ل �ي �ل إ

ل� �ccم� و�ج�ع� �ك �ن �ي و�د�ةB ب �ccم Bة �ccح�م �ن� و�ر� ك� ف�ي إ �ccات� ذ�ل �ccآلي � و�م �ccق� ل

ون� �ر� �ف�ك �ت ي

Juga dalam Q.S. Fathir/35 : 11 :

ه� �ccم� و�الل� �ق�ك ل اب� م�ن� خ� ر� �ccم� ت� ة� م�ن� ث �ccط�ف� �م� ن �م� ث �ك ع�ل ا ج� Bccو�اج �ز� أ

�ح�م�ل� و�م�ا �ث�ى م�ن� ت �ن �ض�ع� و�ال أ �ال ت �م�ه� إ �ع�ل �ع�م�ر� و�م�ا ب م�ع�م�ر� م�ن� ي

�ق�ص� و�ال �ن �ال ع�م�ر�ه� م�ن� ي �اب� ف�ي إ �ت �ن� ك �ك� إ �ه� ع�ل�ى ذ�ل ير% الل �س� ي

Pasangan (zauj, azwaj) yang dimaksud adalah lawan jenis, dalam arti laki-laki

pasangannya adalah perempuan, begitu pula sebaliknya. Ketentuan ini dinyatakan Allah

dalam Q.S. an-Najm/53 : 45 :

�ن�ه� أ ل�ق� و� ي ن� خ� و ج� و�األن ث�ى الذ�ك�ر� الز�

Juga dinyataka-Nya dalam Q.S. al-Hujarat/49 : 13 :

 

�ا Lه�ا ي ي� �اس� أ �ا الن �ن �م� إ �اك �ق�ن ل �ر� م�ن� خ� �ى ذ�ك �ث �ن �م� و�أ �اك �ن Bا و�ج�ع�ل ع�وب ل� ش� �ccائ� ف�وا و�ق�ب ار� �ccع� �ت �ن� ل إ

�م� م�ك �ر� ك� �د� أ ن �ه� ع� �م� الل �ق�اك �ت �ن� أ �ه� إ �يم% الل �ير% ع�ل ب خ�

Dzakar dan untsa menunjuk pada pengertian manusia yang berjenis kelamin laki-

laki (dzakar) dan perempuan (untsa), sehingga jelas bahwa pasangan (zauj) yang

Page 90: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

dimaksud al-Qur’an adalah manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Sehingga orang yang mempasangkan dirinya dengan sesama jenis,

baik laki-laki dengan laki-laki (homoseksual) maupun perempuan dengan

perempuan (lesbian), maka tindakan tersebut bertentangan dengan fitrah

kemanusiaan. Kemudian secara jelas fitrah ini yang sejalan dengan sunnatullah

akan tetap berlangsung dan tidak akan terjadi perubahan sampai hari kiamat. Hal

ini dinyatakan Allah dalam Q.S. al-Fathir/35 : 43 :

 

ا Bار� �ب �ك ت �ccر� األر�ض� ف�ي اس �ccئ� و�م�ك� ي �ccو�ال الس �قccح�ي� ر� ي �ccم�ك� �ئ� ال ي �ccال الس� ه� إ �ccه�ل� �أ ل� ب �ccف�ه

ون� �ظ�ر� �ن �ال ي �ة� إ ن �ين� س� �ن� األو�ل د� ف�ل �ج� �ة� ت ن �س� �ه� ل �د�يال الل �ب �ن� ت د� و�ل �ج� �ة� ت ن �س� �ه� ل �ح�و�يال الل ت

 

 

Islam secara tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual maupun lesbian adalah

bentuk perilaku seksual menyimpang bahkan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.

Hubungan seks dalam Islam tidak hanya sekadar untuk memuaskan hawa nafsu

(prokreasi), akan tetapi memiliki tujuan penting menyangkut kelangsungan kehidupan,

yaitu melanjutkan keturunan (reproduksi). Hubungan seks sejenis tidak mungkin akan

menghasilkan keturunan, sehingga hal ini tidak sejalan dengan tujuan hubungan seks

dalam Islam.

 

Karena penyimpangan itu, maka dalam Hadis Nabi terdapat beberapa Hadis yang

mengutuk dan memberi hukuman dengan tegas bagi orang yang melakukan

homoseksual/lesbian. Seperti dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan

Ibn Majah, melalaui Ibn Abbas Rasulullah bersabda:

Page 91: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

والمفعول الفعل فاقتلوا لوط قوم عمل يعمل تموه وجد من

به

Juga dalam Hadis riwayat Abu Daud yang bersumber dari Sa’id Ibn Jubair dan Mujahid

dari Ibn Abbas tentang kasus seorang anak perawan yang kedapatan melakukan praktek

lesbian (اللوطية), maka ia harus dihukum rajam.

4. Solusi Islam atas Kaum Homoseksual

Walaupun Islam secara tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual/lesbian

adalah terkutuk, akan tetapi adalah sangat tidak bijak jika para pelaku homo dan

lesbi tersebut tidak mendapat penanganan (pendampingan, advokasi) yang

memadai, yang memungkinkan mereka dapat meninggalkan perbuatannya itu.

Islam telah memproklamirkan diri sebagai rahmat bagi seluruh alam, sehingga

adalah wajar jika Islam tidak hanya tampil sebagai penghukum bagi orang yang

bersalah, tetapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana Islam mampu

memberi solusi atas berbagai persoalan yang dialami oleh umat, termasuk

persoalan homoseksual/lesbian

 

Sebagaimana telah disebut di muka, bahwa penyebab timbulnya homoseksual

beraneka macam. Ada karena faktor kelainan otak dan genetik maupun karena

faktor psikologi dan faktor lingkungan (kultural). Masing-masing penyebab itu

membutuhkan penanganan yang spesifik (khusus), sehingga pelaku secara

bertahap dapat disembuhkan dan kembali dapat menjalani kehidupan seksual

yang “normal”.

 

Dalam tradisi Islam dinyatakan bahwa setiap kesulitan (persoalan) pasti ada

kemudahan (jalan keluar) ( ا Bر �س� ي ر� �ع�س� ال م�ع� �ن� setiap aturan (hukum) selalu ,(ف�إ

Page 92: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

diikuti dengan jalan keluar ( ا Bه�اج� و�م�ن Bع�ة ر� ش� �م� �ك م�ن �ا �ن ج�ع�ل mل� �ك dan di setiap ,( ل

penyakit pasti ada obatnya.

Seperti sudah dinyatakan di atas, bahwa memberi hukuman semata bagi pelaku

homo/lesbi tidak akan menyelesaikan masalah. Justru hal ini akan memunculkan

persoalan baru yaitu perasaan bersalah dan takut yang berlebih dari para pelaku

homo lesbi yang berakibat mereka terperosok dalam depresi mental yang akut

atau malah justru para pelaku homo/lesbi akan semakin mengokohkan

perilakunya dengan membentuk kelompok atau perkumpulan sebagai sarana

“curhat” bagi sesama orang-orang yang dicap “durhaka” terhadap agama. Untuk

mereka yang sudah membentuk dan melibatkan diri secara aktif dalam

perkumpulan/organisasi kaum homo/lesbi hanya akan mempersulit penanganan

terhadap mereka, karena mereka semakin menikmati (enjoy) dengan perbuatan

mereka.

 

Menangani secara khusus terhadap kasus homoseksual/lesbian adalah bagian dari

dakwah Islam yang harus dijalankan karena ini adalah perintah ajaran Islam.

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. an-Nahl/16: 125 :

ه�و� �ك� ب ر� �ن� إ �ح�س�ن� أ ه�ي� �ي �ت �ال ب �ه�م� اد�ل و�ج� �ة� ن �ح�س� ال �م�و�ع�ظ�ة� و�ال �م�ة� �ح�ك �ال ب �ك� ب ر� �يل� ب س� �ل�ى إ اد�ع�

�د�ين� �م�ه�ت �ال ب �م� �ع�ل أ و�ه�و� �ه� �يل ب س� ع�ن� ض�ل� �م�ن� ب �م� �ع�ل أ

 

Kaum homoseksual/lesbian dalam kapasitasnya sebagai obyek dakwah harus

ditangani secara penuh hikmah ( �م�ة� �ح�ك �ال dan senantiasa diberi nasehat-nasehat ( ب

yang baik ( �ة� ن �ح�س� ال �م�و�ع�ظ�ة� ) agar bisa kembali ke jalan Tuhan (و�ال �ك� ب ر� �يل� ب س� �ل�ى .(إ

 

Page 93: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Berdasarkan faktor penyebab munculnya homoseksual/lesbian, penanganan

terhadap mereka dibedakan dari yang karena faktor genetik, psikologis maupun

kultural. Bagi kaum homo/lesbi yang disebabkan oleh faktor genetik, perlu ada

usaha-usaha medis berupa terapi hormon yang kontinyu dan sistematis. Walaupun

upaya ini disebut kurang efektif, akan tetapi usaha itu tetap perlu sebagaimana

tertulis dalam qaidah ushul fiqh bahwa bahaya (penyakit) itu harus dihilangkan

(diobati) ( يزال .(الظرر

 

Homoseksual karena faktor psikologis maupun kultural dapat disembuhkan

dengan terus-menerus melakukan pendampingan (advokasi) terhadap mereka.

Perlu ditumbuhkan dalam diri mereka perasaan bahwa mereka dalam kondisi sakit

(kesadaran sakit) sehingga kemudian muncul dalam diri mereka motivasi sembuh

yang kuat. Selanjutnya mereka perlu didampingi oleh psikolog maupun

rohaniawan untuk memantau dan terus memberi motivasi sembuh. Mereka, kaum

homo/lesbi itu, kalau perlu dikarantina secara khusus untuk menghindari kontak

sesama mereka yang akan berakibat pada munculnya kembali keinginan untuk

melakukan homoseksual/lesbian.

 

Keinginan para pelaku homo/lesbi untuk melampiaskan nafsunya perlu disalurkan

ke dalam kegiatan-kegiatan positif semacam kajian Islam atau diskusi maupun

kegiatan-kegiatan olahraga dan kegiatan lain yang positif. Tentu saja aktivitas ini

mendapat kontrol yang sitemik dan terpogram dalam satu paket dengan

penanganan komprehensif terhadap kaum homo/lesbi.

 

Sangat diharapkan peranan organisasi-organisasi Islam dalam penanganan terapi

psikoreligius semacam ini. Khusus untuk Muhammadiyah, dapat dibentuk tim

khusus yang melibatkan berbagai majlis dan lembaga terkait yang berada dalam

Page 94: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

struktur Muhammadiyah untuk menangai secara serius kaum

homoseksual/lesbian. Data-data tentang mereka dapat dilacak di berbagai LSM

atau lembaga konseling yang selama ini concern terhadap eksistensi mereka.

 

5. Kesimpulan dan Saran

Hasil diskusi (mujadalah) terbatas Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kab. Banyumas tentang perilaku homoseksual/lesbian ini pada akhirnya

dapat disimpulkan dalam beberapa hal sebagai berikut:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Perilaku homoseksual/lesbian

bertentangan dengan norma agama dan pelanggaran terhadap fitrah

kemanusiaan. Pelakunya dinyatakan sebagai orang yang menyimpang dari

kewajaran dan perlu mendapat penanganan secara serius agar tidak

menimbulkan penyakit sosial yang meresahkan.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Upaya-upaya Islami dengan hanya

mengecam atau menghukum atas tindakan kaum homo/lesbi adalah kurang

bijaksana, yang malah justru akan menjauhkan mereka dari seruan agama.

Semakin banyak yang mengecam mereka, hanya akan membuat solidaritas

diantara mereka semakin kuat, dan akan semakin sulit mereka untuk dapat

disembuhkan.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Islam melalui organisasasi-organisasi

Islam harus menampilkan diri sebagai pihak yang senantiasa selalu mencari

jalan keluar dari setiap persoalan umat, termasuk dalam hal ini adalah perilaku

homoseksual/lesbian. Upaya yang paling bijak dan solutif dalam menangani

masalah ini adalah dengan melakukan pendampingan psikoreligius secara

serius dan sistematis terhadap mereka.

Page 95: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Perlu dibentuk pusat-pusat rehabilitasi

kaum homoseksual/lesbian seperti pusat-pusat rehabilitasi narkoba yang

dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam bekerja sama dengan pemerintah

dan pihak-pihak lain yang terkait. Mengapa ini dilakukan oleh organisasi-

organisasi Islam? Hal ini karena perilaku homoseksual/lesbian tidak

dinyatakan sebagai penyimpangan dalam sudut pandang medis, sehingga

jangan mengaharap pemerintah akan tampil sebagai pelopor dalam

merehabilitasi mereka.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Sebisa mungkin dilakukan pencegahan

terhadap upaya-upaya kaum homoseksual/lesbian membentuk

kelompok/organisasi, karena hal ini membuat solidaritas mereka semakin kuat

dan mereka tampil semakin eksklusif sehingga lebih sulit untuk mendekati

dan menawarkan penyembuhan terhadap mereka.

28 Tanggapan

Ditulis dalam Hukum Islam

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 6, 2007

Teori Islam tentang   Negara

TEORI ISLAM TENTANG DAULAH (NEGARA) :

 

PERSPEKTIF KOSERVATIF-TRADISIONAL DAN LIBERAL-

SEKULER

Oleh : Anjar Nugroho

 

Page 96: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

 

I. PERPSEKTIF KONSERVATIF-TRADISIONAL

a. Pengertian Daulah

Kata daulah dalam Ensiklopedi Islam Islam berasal kata dasar dari dala-yadulu –daulah,

yang artinya bergilir, beredar, dan berputar. Secara istilah arti teoritisnya adalah

kelompok sosial yang mentap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu

pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Daulah dapat

diartikan negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti.

Dalam Al Qur;an terdapat dua ayat yang menggunakan kata ini, keduanya dengan

arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surah Ali Imran (3) ayat 140 yang artinya :”… Dan

masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan diantara kamu …” dan surat al-

Hasyr/59 : 7 : “… Dan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang

kaya …”. Jimly Asshiddiqie, ahli hukum Indonesia, berpendapat bahwa dalam ayat

pertama terkandung muatan yang berkonotasi politik dan ayat terakhir muatannya lebih

berkonotasi ekonomi.

Kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada masa pra-Islam, karena tidak

ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Adapun istilah kesukuan “al-

banti” terus digunakan dalam Islam. Pada masa Abbasiyah kata daulah diartikan dengan

kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.

Kata daulah juga bisa diberikan kepada penduduk dan anggota daulah. Pada akhir abad

ke-10 H, al-Husein, anak dari Wazir al-Qasim (al-Qasim bin al-Dajl) mendapat gelar wali

al-daulah (pelindung negara). Pada tahun 330 M/42 H, dari keluarga Hamdani (Bani

Hamdani yang ada di Jazirah), Hasan bin Hamdan dan Ali bin Hamdan, keduanya

penguasa di Mosul dan Suriah, diberi gelar Saif al-Daulah (pedang negara). Pemberian

gelar ini menunjukkan bahwa khalifah memberikan gelar penghormatan kepada

pendukungnya. Gelar daulah ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (945

H/1086 M) di Spanyol, Gaznawi (Dinasti Turki yang menguasai Asia Tengah dan

Page 97: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

beberapa wilayah di Asia Selatan dengan pusat pemerintahan di Gazna tahun 1008-1186

M), dan juga digunakan oleh Malik Tawaif (1011-1086) di Spanypl. Fatimiah (Dinasti

Syiah di Arrika Utara tahun 297-567 H/909-1171 M) kadang-kadang juga memberikan

gelar daulah kepada pejabat istana mereka.

Al-Kindi, filosof pertama Islam keturunan Arab (185-256 H/810-869 M),mengartikan

daulah dengan al-mulk (kerajaan). Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi, seorang

dokter pada masa Islam klasik (251-313 H/865-925 M), mengartikan daulah dengan

suksesi.

b. Dasar Hukum Terbentuknya Daulah

Para pakar politik Islam klasik menjadikan dasar hukum pembentukan daulah

dalam arti pemerintahan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu

menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila

menerapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.

Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

Sesungguhnya Allah Hama Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. al-Nisa’:58) dan “Hai

Orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di

antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar berian kepada allah

dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”

(Q.S. al-Nisa : 59)

Para pakar politik Islam klasik (konservatif-trdisional) menjadikan kedua ayat ini sebagai

landasan terbentuknya daulah, karena kedua ayat itu mengandung unsur-unsur yang dapat

mewujudkan atau merealisasikan sasarn atau tujuan yang diinginkan terbentuknya suatu

daulah. Munawir Sjadzali, ahli fiqih siyasi Indonesia, berpendapat bahwa kedua ayat itu

mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan

bernegara. Ia berpendapat bahwa ayat di atas menjelaskan bagaimana proses hubungan

yang komunikatif dan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin dalam rangka

mencapai tujuan yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Rais (pemimpin),

Page 98: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

sebagai pemegang amanah, dan mar’us (yang dipimpin) merupakan komponen yang

harus ada dalam pemerintahan suatu daulah. Pemimpin dan perangkatnya yang ada dalam

suatu daulah merupakan motor penggerak dan pelaksana jalannya roda pemerintahan.

Adapun mar’us harus mematuhi dan melaksanakan sistem dan aturan yang telah

digariskan atau diprogramkan oleh rais. Ayat pertama ditujukan kepada pengausa, agar

bertindak adil. Ayat kedua ditujukan kepada warga sipil, agar mematuhi Allah,

Rasulullah, dan ulil amri (penguasa).

Keharusan adanya pemimpin berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW :”Jika tiga

orang bepergian, hendaklan mereka menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai

pemimpin” (HR. Abu Daud)

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kemashlahatan dan keadilan tidak bias ditegakkan

tanpa adanya penguasa yang berwenang menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan

Sunah Rasulullah SAW. Hukum tidak bisa berjalan dengan baik tanpa didukung rakyat

yang memenuhi hukum. Harus ada kerjasama antara penguasa dan rakyat.Kemashlahatan

bisa berjalan dengan baik apabila telah terbentuk daulah.

c. Rukun Daulah

Menurut Imam al-Mawardi, rukun daulah adalah adanya rakyat, wilayah dan

pemerintahan. 1) Rakyat merupakan salah satu yang esensial begi terwujudnya daulah.

Rakyat merupakan gabungan individu yang berdomisili di wilayah daulah.Tidak semua

yang menetap di wilayah daulah dianggap sebagai warga. Daulah Islam membedakan

antara orang Islam dengan kaum Dzimmi (kaum non Muslim yang menetap dan mendapat

perlindungan di darul Islam). Kaum dzimmi yang bermukim di daerah Muslim diharuskan

membayar jizyah (pajak yang dipungut dari rakyat nonmuslim dalam negara Islam), yang

dengannya mereka terjamin memperoleh perlindungan dari negara (Q.S. 9:29). Pajak

tersebut juga merupakan pembenaran perlindungan perlindungan nyawa dan harta

mereka. Setelah itu baik daulah Islam maupun masyarakat Muslim tidak berhak

melanggar harta, kehormatan maupun kemerdekaan mereka. Mereka mendapatkan

perlindungan dalam kemashlahatan umum, seperti perdagangan dan industri.

Page 99: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Kaum Dzimmi terikat dengan hukum pidana yang sama dengan warga muslim. Demikian

juga dengan hukum perdata, harta kekayaan apapun bentuknya dan alat perdagangannya

yang dilarang bagi muslim juga terlarang bagi kaum dzimmi. Misalnya, riba terlarang

bagi kaum muslim juga bagi kaum dzimmi. Dalam hukum keluarga (perkawinan,

perceraian, danm warisan)mereka diperbolehkan memberlakukan hukum agama mereka,

seperti pernikahan tanpa saksi, tanpa penetapan mahar, dan sebagainya. Mereka juga

diberi kebebasan dalam mengadakan upacara keagamaan sesuai dengan agama mereka.

Menurut Imam al-Mawardi, penguasa boleh menugaskan kaum dzimmi dalam lembaga

eksekutif. Mereka tidak wajib berperang apabila peperangan itu dimaksudka untuk

membela Islam. Adapun warga Muslim yang telah memenuhi kriteria tertentu, misalnya

baligh, berakal, dan merdeka, mempunyai hak politik, hak memilih dan dipilih, dan wajib

ikut berperang membela Islam dalam peperangan.

2)Wilayah. Yang dimaksud wilayah di sini mencakup wilayah darat, laut, dan udara.

Untuk mewujudkan daulah, sekelompok orang harus menetap pada suartu wilayah

tertentu. Suku-suku yang sellau berpindah tempat tidak mempunyai wilayah sendiri, tidak

dianggap sebagai daulah. Sistem Islam membedakan antara darul Islam (daerah yang

berada di wilayah kekuasaan Islam) dan darul harbi (wilayah yang berada dalam

kekuasaan kaum kafir).

Di Samping itu terdapat darul Ahad (darul aman), yaitu suatu wilayah yang ditaklukkan

oleh kaum muslimin tetapi tidak dikuasai secara teritorial. Penaklukan wilayah ini

dilakukan secara damai dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam. Hanya saja antara

darul Islam dan mereka tidak diikat dalah suatu perjanjian damai.

3)Pemerintahan. Pemerintah merupakan unsur utama dalam pembentukan daulah. Ia

berkuasa menjalankan urusan daulah, mengurus organisasinya dan menangani urusan

rakyatnya. Dalama perkembangan sejarah Islam, para ahli politik Islam sepakat

menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah emndirikan daulah Islam pertama Madinah di

tahun pertama hijriyah (622 M). Dengan terbentuknya komunitas muslim di Madinah,

maka Rasulullah sekaligus sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara. Pengukuhan

Page 100: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

kekuasaan dinyatakan dalah konstitusi tertulis yang dikenal sebagai Piagam Madinah.

Dengan piagam ini Rasul mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang atau damai,

menyelesaikan konflik antar warga masyarakat, dan menentukan kebijakan menyangkut

masalah ekonomi, politik dan lain-lain.

Setelah Nabi Muhammad wafat, kekuasaan dan bentuk daulah mengalami

perkembangan. Julukan kepada kepala daulah mengalami perubahan, seperti dari khalifah

menjadi sulthan dan amir.

d. Syarat Daulah

Menurut Mahmud Hilmi, Guru Besar filsafat dan politik Islam di Universitas al-Azhar

(Mesir) dalam bukunya Nizam al-Hukm al-Islami, menyatakan syarat daulah adalah ; 1)

mempunyai pengairan yang memadai, 2) tersedia barang-barang kebutuhan pokok, 3)

tempatnya strategis dan udaranya bagus, 4) dekat dari daerah pemukiman, dan 5)

wilayahnya terpelihara dari gangguan musuh dan pengacau hingga rakyat merasa

terlindungi.

Selanjutnya ia menyatakan, apabila daulah telah berdiri, maka harus dipenuhi beberapa

faktior berikut : 1) pemerintah harus menyediakan air bersih dan memberi kemudahan

kepada rakyat untuk memperolehnya, 2) mendirikan tempat shalat di dekat pemukiman,

3) mendirikan pasar yang memungkinkan penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, 4)

membentengi daerah agar aman dari serbuan musuh, 5) mendatangkan para ilmuwan dan

para ahli yang sesuai dengan kebutuhan penduduk sehingga mereka dapat memenuhi

kebutuhannya sendiri.

e. Fungsi Daulah

Menurut Abu Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hanbali (338-458 H; ahli fiqih

madzab Hanbali) dan Imam al-Mawardi, menyatakan ada beberapa fungsi daulah,

diantaranya sebagai berikut :

Page 101: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

1. Memberi perlindungan dan keamanan, serta mempertahankan diri dari serangan

musuh.

2. Tugas yudikatif mencakup penegakkan hukum dan keadilan, sehingga orang

dhalim tidak bertindak sewenang-wenang dan orang yang teraniaya tidak

bertambah lemah, dan menegakkan hudud, agar larangan Allah SWT dapat

dilindungi dari pelanggaran sehingga hak dan kemashlahatan rakyat terpelihara.

3. Tugas keuangan, di antaranya menarik pajak dan sedekah yang diwajibkan syara’,

sehinga menurut nash maupun ijtihad dengan tidak memaksa.

II. PERSPEKTIF LIBERAL-SEKULARISTIK (ALI ABD AL-RAZIQ)

Untuk kepentingan diskusi ini, dieksplorasi sedikit pemikiran intelektual muslim yang

dikenal sebagai eksponen perspektif sekularistik tentang negara/kekuasaan. Dalam hal ini

adalah Ali Abd. Raziq, intelektual dan aktifis politik Muslim yang dikenal sebagai

eksponen pemikiran pemisah agama dan negara. Tokoh yang pernah diangkat sebagai

hakim syari’ah di Mesir (1915) ini menulis Al-Islam wa Ushulul al-Hukm: Bahtsun fi

al Khilafati wa al-Hukumati fi al-Islam- Islam dan sumber-sumber kekuasaan politik;

Kajian tentang Khilafah dan kekuasaan dalam Islam, diterbitkan pertama kali pada tahun

1925, yang berarti hanya berselang dua tahun setelah revolusi Kemalis yang menghapus

sistem khilafah Turki pada akhir 1923.

Dalam membangun tesis pemisahan antara agama dan politik, itu Raziq dalam hal

tertentu tampak dipengaruhi oleh pemikiran ibn Khaldun yang dikenal sebagai Bapak

Sosiologi dalam Islam maupun Barat modern. Raziq mengikuti Khaldun dalam pencarian

sumber kekuasaan dari sebab-sebab alamiyah dan bukan dari sebab-sebab ilahiyah. Oleh

karena itu Raziq, seperti juga Khaldun memberi penyediaan pintu masuk untuk menerima

kekuasaan raja atau kekuasaan secular dan bukan khilfah (kekuasaan atau rezim yang

memperoleh keabsahan ilahiah).

Kendati demikian harus dicatat bahwa Raziq jauh lebih berani melangkah, dalam

membangun tesis tentang kekuasaan. Menurut aktifis Hisb al-Ummah- organisasi yang

sesungguhnya tergolong radikal di Mesir, kekuasaan harus lepas dari khilafat dengan

Page 102: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

mencari justifikasi kepada rakyat. Dalam kontek inilah Raziq menolak tesis Khldun yang

meminta penguasa non-khilafat tetap membangun moralitas ilahiyah. Pandangan seperti

ini menurut Raziq hanya menyebabkan bercapur aduknya justifkasi ilahiyah dengan

justifikasi rakyat.

Pada tingkat asumsi yang dibangun, Razik memang berbeda dengan Khaldun. Bagi Raziq

sumber legitimasi kekuasaan tidak bisa dicampur aduk antara legitimasi rakyat

(ascending of power) dengan yang datang dari Tuhan (descending of power). Tidak

seperti Raziq, ibn Khaldun memandang bahwa khilafah adalah rejim Qur’ani, sebuah

rezim politik yang mengurus kebutuhan manusia dunia dan akhirat, dijustifikasi

berdasarkan kalam ilahi. Walaupun menurut Khaldun rezim Qur’ani tersebut hendaknya

tidak menghapus atau menekan semua keinginan alami manusia dan institusi sosial,

karena ia merupakan basis sebuah rezim apapun, rezim politik maupun Qur’ani. Lebih

jauh dikatakan pula bahwa jika raja bertindak dengan ikhlas melayani kepentingan publik

atas nama Tuhan, dan mengajak mereka perlu dikecam dalam diri pengusaha profan

semacam ini.

Berakar dari asumsi atau pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab

alamiyah, Raziq membangun klaim hubungan agama dan politik melalui perspektif

sekularistik. Klaim tentang khilafat dan kekuasaan dalam Islam itu ia mulai dengan

mengajukan pertanyaan besar: (1) Apakah kekhalifahan memang diperlukan ? (2)

Apakah memang ada sistem pemerintahan yang Islami ? (3) Dari manakah sumber

legitimasi kekuasaan, dari atas (Tuhan) atau dari bawah (rakyat) ?

Pertanyaan ini muncul di tengah seting sosial saat itu yang ditandai dengan lemahnya

kekahlifahan dalam Islam, tetuama di kawasan Eropa Timur, yang kemudian memicu

ketegangan di kalangan aktifis politik Islam. Ketegangan atau konflik itu di Turki

berujung dengan pembubaran kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) pada tahun 1923/1924

oleh pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk. Pembubaran itu

dilakukan dengan alasan lembaga spiritual saat itu, khususnya lembaga keulamaan,

dinilai hanya mengabdi kepda kepentingan sultan/khalifah, menjustifikasi penguasa,

dalam hal ini khalifah, tanpa memperhatikan berbagai kelemahan yang dimilikinya.

Page 103: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Kekecewaan masyarakat terhadap sultan atau khalifah saat itu muncul di tengah

kekalahan mereka dari musuh yang antara lain berhasil menduduki Islamabad. Sultan

dipaksa untuk menerima perjanjian damai yang memalukan. Perjanjian itu merampas

kemerdekaan dan memecah belah wilyahnya. Umat Islam, terutama dipelopori Kemal

saat itu menolak penghinaan ini dan memerangi Sultan dengan kekuatan senjata,

sehingga menarik simpati seluruh dunia Islam. Rasyid Rida, editor majalah Al-Manar

pun pada saat itu berada dalam barisan penentang para Sultan yang dinilainya telah

mengedepankan kepentingannya sendiri daripada menjaga keutuhan dan khormatan

wilyah negerinya.

Di tengah melemahnya sistem khilafah antara lain karena disebabkan mengemukannya

kepentingan pribadi penguasa seperti itulah Raziq lalu membangun argumentasinya

tentang kekuasaan. Menurutnya masyarakat memang memerlukan kekuasaan politik,

namun tidak harus dalam bentuk tertentu. Bahkan umat pun tidak harus dipersatukan

secara politik. Tesis utama Raziq dapat dikemukakan sebagai berikut :

<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->

<!--[endif]-->

(1) Bahwa Nabi tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat

spiritual. (2) Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang

definitive. Karena itu umat Islam bebas memilih bentuk pemerintahan apapun

yang mereka rasakah cocok (3) Bahwa tipe-tipe pemerintah yang dibentuk

setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem itu

semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan

istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius. (4) Bahwa sistem ini telah

menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam, karena ia

digunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.

 

Pikirannya yang menyimpang dari mainstream intelektual Muslim di Mesir saat itu,

menyebabkan dia harus menanggung resiko di pecat dari jabatannya sebagai hakim

Page 104: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

syariah oleh Majelis Ulama Tertinggi Mesir, dan Al-Azhar menanggalkan gelar alim dari

Raziq. Namun dalam mempertahankan argumennya, Raziq ketika diwawancarai

wartawan Bourse Egiptienne sesaat setelah Dewan Ulama Pusat Mesir melancarkan

kecaman terhadap dirinya, ia menyatakan gagasan utama dalam buku saya, yang telah

membuat saya banyak dikecam, adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk Rezim

atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat oleh

sistem itu sendiri. Islam justru memberi kita kebebasan untuk membentuk negara sesuai

dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di sekeliling kita, dengan

mempertimbangkan sosial dan tuntutan jaman.

Pemikiran Raziq jelas merupakan kritik, di satu pihak terhadap pemikiran differensionis

Ibn Khaldun di satu pihak, dan terutama adalah kritik kepada para pemikir Islam

perspektif organik. Raziq tidak sependapat dengan pemikiran organik yang dianut oleh

mayoritas Muslim saat itu. Dalam tipologi kekuasan organik, penguasa atas nama negara

memberikan dukungan dan akomodasi terhadap negara. Simbol-simbol agama akan

dikenakan dalam acara-acara resmi maupun tidak resmi dan bahkan dalam sistem negara

teokratik, penggunaan symbol-simbol agama itu dilakukan secara institusional dan

formalistik. Dalam kajian Islam, diskusi hubungan agama dan kekuasaan atau politik

organis, memunculkan klaim tidak ada pemisahan antara agama dan politik, sehingga

kekuasan bukan sekedar representasi, tetapi adalah presentasi dari agama. Di sinilah

Raziq berbeda paham dengan para penganut Islam formalistik seperti Sayyid Qutb, Rida

maupun Al-Maududi.

Menurut Raziq, persyaratan yang dibangun untuk menjustifikasi penyatuan agama dan

politik dalam Islam didasarkan kepada teradisi pemikiran skripturalistik, idealistik dan

formalistik dalam memahami teks doktrinal agama (Woodward, 1998 : 283-311). Dalam

pemikiran skpritualistik pemahaman agama dilakukan secara tekstual. Pemikir seperti

Sayyid Qutb, misalnya mengartikan secara harfiah ayat Al-qur’an : “Barangsiapa yang

tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-

orang yang kafir”. (QS. 5:44,45,47)

Page 105: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Ayat ini dfahami sebagai perintah menjalankan pemerintahan illahi dalam lembaga

formal sehingga lalu memunculkan konsep negara teokratis, dengan simbol-simbol

kekuasaan bersumber dari Islam. Dengan demikian dalam memahami kekuasaan,

penganut perpsektif skripturalis cenderung berangkat dari asumsi descending of power,

dalam hal ini legitimasi penguasa berasal dari Tuhan, dan dengan demikian penguasa

tidak lain adalah representasi dari kekuasaanNya yang dari sini lalu muncul pemerintahan

teokratis.

Pemikiran skripturalistik sering menampilkan kecenderungan bertindak secara idealistik

dengan melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-

nilai Islam ideal. Tokoh seperti Al-Farabi dan filosof Ikhwan al-Shafa, misalnya

mengajukan negara ideal yang disebut al-madinah al-fadilah (negara utama). Karena

konsepsi ini bercorak filosof, maka cenderung a-historis. Mengenai sikapnya terhadap

penyelenggaraan politik pemerintahan, maka kaum idealis cenderung tidak realis dalam

menghadapi format politik dan kenegaraan yang ada. Pandangan idealis ini kemudian

lebih cenderung berorientasi formalistik, sebuah pemikiran yang lebih mengedepankan

bentuk (body) dari pada isi (mind). Mereka tidak terusik dengan kenyataan bahwa bisa

saja kekuasaan mengendalikan body, meski tidak otomatis dapat mengendalikan mind.

Dalam hal politik penyelenggaraan pemerintahan, negara dipandang sebagai simbol

agama, sehingga perlu politik yang Islami, antara lain dengan membentuk negara Islam

atau Partai Islam.

Sikap idealis dan tidak realistik, di tambah dengan kecenderungan untuk melakukan

formalisme ajaran tersebut memicu ketidak sabaran sejumlah pegerakan kebangkitan

Islam seperti kelompok Al-Jamaah al-Islamiyah maupun gerakan Jihad untuk merespon

pemerintahan Mesir yang cenderung secular secara radikal, berbeda dengan strategi yang

diterapkan Iskhwanul Muslimin yang cenderung lebih moderat.

Dalam membangun tesis pemisah agama dan politik Raziq, menghidarkan diri dari

pemikiran skriptualistik, idealistik maupun formalistik. Raziq menegaskan bahwa tidak

ada rujukan yang dapat dipakai di dalam al-Qur’an maupun Hadits untuk membuktikan

adanya persyaratan menggerakan sistem kekhalifahan. Peraturan tentang kekuasaan

Page 106: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

politik, politheisme, perbudakaan atau tentang apapun tidak lantas menjadi wajib hanya

karena dibahas dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an yang sangat terkenal, “patuhlah

kepada Allah, Rasul dan ulil amri, “ tidak dengan serta merta merujuk kepada penguasa

politik baru manapun.

Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, Raziq menyatakan

bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama’ Oleh karena

itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah.

Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia menyatakan :

Muhammad hanyalah seorang utusan (Allah). Ia betul-betul mengabdikan dirinya

bagi dakwah agama tanpa kecenderungan yang menyangkut kedaulatan yang

sementara sifatnya, karena ia tidak menyerukan bagi sesuatu yang berkaitan

dengan pemerintahan…. Nabi tidak memiliki kerajaan ataupun pemerintahan

yang sifatnya temporal. Ia tidak mendirikan kerajaan dalam pengeritan politik

atau apa pun yang sinomim dengannya;…. Ia hanyalah seorang Nabi, seperti

Nabi-nabi yang lain yang mendahuluinya. Ia bukanlah raja atau pun pembangun

negara, Ia juga tidak menyerukan bagi dibangunnya imperium temporal (al-Raziq,

2001 : 133).

 

 

 

REFERENSI:

Dahlan, Abdul Azis dkk., (ed)., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van

Hoevee, cet. IV, 2000

Al-Raziq, Ali Abd., 1966, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut : Maktabah al-hayah.

Page 107: Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

‘Imara, Muhammad, 1972, al-Islam wa Ushul al hukm li ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Beirut : Dar

al-Fikr.

Effendy, Bachtiar, 1998, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina

Al-Maududi, Abu al-A’la, Khalifah dan Kerajaan, Evaluasi atas Sejarah Pemerintahan,

Bandung : Mizan, 1984

Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah,

Beirut : Dar al-Fikr, 1966