Kemiskinan Budaya Dengar

3
Kemiskinan Budaya Dengar Oleh IDI SUBANDY IBRAHIM MENDENGARKAN adalah proses internalisasi yang mudah dilakukan tapi masih sering diabaikan dalam komunikasi insani. Dalam dunia psikologi, misalnya, perkembangan kemampuan mendengarkan dipandang sebagai bagian penting dari proses pendewasaan diri, pamatangan kapasitas kognisi, dan pemekaran ruang batin kita. Kemampuan mendengarkan di sini lebih dari sekadar memfungsikan indra pendengaran (telinga) dalam membedakan suara atau bunyi, tapi mendengarkan adalah upaya mengoptimalkan rasa dan kepekaan akan rangsangan yang diserap oleh telinga kita. Sayangnya kini kemampuan kita dalam "mendengarkan" belum menjadi bagian dari modal yang dianggap penting dalam hubungan insani, perilaku politik, atau keprihatinan masyarakat kita. Bukankah masih sering kita mendengar dalam kehidupan sehari-hari, para orang tua mulai sulit menyediakan waktu untuk mendengarkan keluh kesah anaknya, sementara anak-anak tak mau peduli dengan nasihat orang tuanya. Para pendidik hanya mau didengar oleh muridnya, tapi para murid malah acuh tak acuh terhadap nasihat gurunya. Di berbagai forum memang digelar latihan praktis yang menjanjikan kemampuan untuk menjadi pembicara yang andal, tapi nyaris tak ada pendidikan agar kita menjadi pendengar yang baik. Karena itu, tak berlebihan kalau kemudian bangsa kita menjadi bangsa yang miskin budaya dengar. Padahal, hampir semua kegagalan dalam berkomunikasi secara efektif dianggap berawal dari ketidakmampuan untuk membangun budaya dengar. Kegagalan dalam kebijakan pemerintah, misalnya, disebabkan ketidakmampuan pemerintah mendengarkan suara rakyatnya. Maka, tak heran niat baik pemerintah untuk SUPLEMEN IKLAN

description

essay

Transcript of Kemiskinan Budaya Dengar

Kemiskinan Budaya Dengar

Kemiskinan Budaya DengarOleh IDI SUBANDY IBRAHIM

MENDENGARKAN adalah proses internalisasi yang mudah dilakukan tapi masih sering diabaikan dalam komunikasi insani. Dalam dunia psikologi, misalnya, perkembangan kemampuan mendengarkan dipandang sebagai bagian penting dari proses pendewasaan diri, pamatangan kapasitas kognisi, dan pemekaran ruang batin kita. Kemampuan mendengarkan di sini lebih dari sekadar memfungsikan indra pendengaran (telinga) dalam membedakan suara atau bunyi, tapi mendengarkan adalah upaya mengoptimalkan rasa dan kepekaan akan rangsangan yang diserap oleh telinga kita.

Sayangnya kini kemampuan kita dalam "mendengarkan" belum menjadi bagian dari modal yang dianggap penting dalam hubungan insani, perilaku politik, atau keprihatinan masyarakat kita. Bukankah masih sering kita mendengar dalam kehidupan sehari-hari, para orang tua mulai sulit menyediakan waktu untuk mendengarkan keluh kesah anaknya, sementara anak-anak tak mau peduli dengan nasihat orang tuanya. Para pendidik hanya mau didengar oleh muridnya, tapi para murid malah acuh tak acuh terhadap nasihat gurunya. Di berbagai forum memang digelar latihan praktis yang menjanjikan kemampuan untuk menjadi pembicara yang andal, tapi nyaris tak ada pendidikan agar kita menjadi pendengar yang baik.

Karena itu, tak berlebihan kalau kemudian bangsa kita menjadi bangsa yang miskin budaya dengar. Padahal, hampir semua kegagalan dalam berkomunikasi secara efektif dianggap berawal dari ketidakmampuan untuk membangun budaya dengar. Kegagalan dalam kebijakan pemerintah, misalnya, disebabkan ketidakmampuan pemerintah mendengarkan suara rakyatnya. Maka, tak heran niat baik pemerintah untuk memperbaiki kehidupan rakyat pun akhirnya tak mampu didengar rakyat secara meyakinkan. Padahal, kita punya ungkapan yang bagus, Seorang pembicara yang baik adalah pendengar yang baik. Sebaliknya, seorang pendengar yang baik adalah seorang pembicara yang baik. Karena, pendengar yang baik adalah seorang yang sanggup berempati terhadap kawan-bicaranya.

Dominasi "budaya lisan" dan "budaya visual" yang muncul lewat media elektronik semakin membuat kemampuan "budaya dengar" kita, selain "budaya baca" bangsa ini, menjadi semakin tumpul. Padahal, di tengah ingar-bingar kehidupan politik, kedigjayaan budaya citra dan sugesti bunyi dalam masyarakat konsumsi, yang kita butuhkan adalah kesanggupan untuk memekarkan kekayaan imajinasi. Langkah awal bisa dilakukan dengan menumbuhkan kebiasaan untuk mengurangi bicara dan lebih banyak mendengarkan. Bukankah yang dibutuhkan saat ini adalah kesanggupan untuk mendengarkan setiap persoalan secara tersirat lebih dari apa yang dinyatakan secara verbal atau visual.

Sayangnya, menurut Stephen Covey, penulis buku cukup laris, The 7 Habits of Highly Effective People (1990), selama ini kebanyakan orang mendengarkan tidak dengan maksud untuk memahami, mereka hanya mendengarkan dengan tujuan memberikan jawaban. Bahkan, tak jarang orang mendengarkan sekadar untuk memberi sanggahan terhadap apa yang didengarnya. Dalam dunia politik misalnya, masih banyak elite politik kita yang hanya suka berbicara dan maunya suaranya didengar oleh masyarakat. Tapi muncul kesan kuat mereka sendiri masih jarang mau mendengarkan suara hati nurani yang menjadi keprihatinan rakyat. Padahal dalam partisipasi politik juga terkandung makna kesiapan dan kesanggupan untuk mendengarkan aspirasi dan suara rakyat.

Seorang penyair sufistik seperti Jalaluddin Rumi jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita, "Karena, untuk berbicara orang harus lebih dulu mendengarkan. Belajarlah bicara dengan mendengarkan." Dalam psikologi komunikasi, kemampuan mendengarkan semacam inilah yang dikenal sebagai kemampuan "mendengar dengan empati". Mendengarkan dengan empati ("merasa terlibat") adalah peristiwa batin yang memungkinkan suara (voice) yang kita dengar menjadi bagian dari psikologi pembebasan. Mendengarkan dengan empati adalah mendengarkan yang tersirat, yang membuat kita sanggup menyelami setiap wacana yang tak berarti apa-apa di tingkat verbal atau visual, tapi di baliknya justru tersimpan gejolak batin manusia untuk bergerak ke arah perubahan. Dengan memperkaya budaya dengar berarti kita menyisakan secelah ruang imajinasi yang penting bagi daya hidup kebudayaan yang dari hari ke hari justru tengah mengalami polusi.***

Penulis peneliti sosial dan kebudayaan pop; penulis buku "Sirnanya Komunikasi Empatik: Krisis Budaya Komunikasi dalam Masyarakat Kontemporer" (2004).

SUPLEMEN

IKLAN

Minggu, 10 April 2005 pikiran rakyat