Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam...

451
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012 Editor : Muchit A. Karim

Transcript of Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam...

Page 1: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan

Islam Kontemporerdi Indonesia

Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012

Editor :Muchit A. Karim

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi hukum. Ketiga materi hukum tersebut yaitu: a) hukum perkawinan sebanyak 170 pasal; b) hukum kewarisan (wasiat, hibah) sebanyak 44 pasal; c) hukum perwakafan sebanyak 14 pasal. Kemudian ditambah dengan satu pasal ketentuan penutup.

Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama. Akan tetapi karena kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya KHI disahkan dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991. Melalui Inpres ini, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas yang membutuhkan.

Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri No 154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres No 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri tersebut dalam bidang tugasnya masing-masing.

Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula Badan Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai kini lembaga tersebut menjadikan KHI sebagai sumber referensi dalam menangani perkara-perkara yang ada.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ISBN 978-602-8739-07-8

Problematika Hukum Kewarisan

Islam Kontemporerdi Indonesia

Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012

Editor :Muchit A. Karim

Page 2: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

ProblematikaHukum Kewarisan Islam Kontemporer

di Indonesia

Editor :Muchit A. Karim

Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012

Page 3: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

problematika hukum kewarisan islam kontemporer di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RIEd. I. Cet. 1. ----Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012xxiv + 430 hlm; 14,8 x 21 cm

ISBN 978-602-8739-07-8

Hak Cipta pada Penerbit

....................................................................................................................................................................Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa seizin sah dari penerbit ....................................................................................................................................................................Cetakan Pertama, Oktober 2012....................................................................................................................................................................

PROBLEMATIKA HUKUM KEWARISAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA....................................................................................................................................................................Editor :Muchit A. Karim

Tata Letak :Sugeng

Design CoverFirdaus....................................................................................................................................................................

Foto Ilustrasi Cover :Tangan orangtua dan anak dengan latar ornamen Timur Tengah

Penerbit:Puslitbang Kehidupan KeagamaanBadan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RIJl. MH. Thamrin No. 6 JakartaTelp/Fax. (021) 3920425, 3920421Email: [email protected]

Page 4: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

iii

Kata Pengantar

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT.,

Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya “Penerbitan Naskah Buku

Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku Tahun 2012 ini,

sebagian besar merupakan hasil kegiatan penelitian dan

pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2011. Kami

menghaturkan ucapan terima kasih kepada para pakar dalam

menulis prolog, juga kepada para peneliti sebagai editor buku ini

yang secara tekun telah menyelaraskan laporan hasil penelitian

menjadi buku, yang akhirnya dapat hadir di hadapan pembaca

yang budiman.

Pada tahun 2012 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku

yang diterbitkan, buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:

1. Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan

Kontemporer di Indonesia.

2. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di

Indonesia.

Page 5: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Kata Pengantar

iv

3. Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi

Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.

4. Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia

5. Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat

Beragama

6. Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/

Perselisihan Rumah Ibadat.

7. Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik,

Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.

8. Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.

9. Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.

Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggi-

tingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang

telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program

penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga

penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak

menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi

bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai

bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang

pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang

terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara

simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk

memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang

amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan.

Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa

kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas

Page 6: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

v

berbagai kekurangan tersebut. Akhirnya, ucapan terimakasih kami

haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan

dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

Jakarta, Oktober 2012

Kepala

Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan

NIP. 19691110 199403 1 005

3. Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi

Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.

4. Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia

5. Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat

Beragama

6. Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/

Perselisihan Rumah Ibadat.

7. Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik,

Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.

8. Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.

9. Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.

Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggi-

tingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang

telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program

penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga

penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak

menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi

bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai

bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang

pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang

terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara

simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk

memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang

amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan.

Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa

kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas

Page 7: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Kata Pengantar

vi

Page 8: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

vii

Sambutan

Kepala Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya, sehingga kita masih diberi kekuatan untuk bisa

mengabdi kepada bangsa dan negara yang kita cintai.

Mengawali sambutan ini, saya ingin mengucapkan selamat

atas terbitnya buku "Problematika Hukum Kewarisan Islam

Kontemporer di Indonesia" yang pada mulanya adalah naskah

workshop urgensitas legislasi undang-undang mengenai

kewarisan dan problematikanya. Buku ini dirasa sungguh penting

di tengah upaya Kementerian Agama untuk senantiasa

meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama umat

Islam, dimana salah satunya kebutuhan terhadap pengaturan

kewarisan dalam bentuk legislasi Undang-Undang Kewarisan.

Berkaitan dengan upaya legislasi hukum Islam di

Indonesia, memang masih menyimpan beberapa permasalahan,

diantaranya kontroversi termasuk dari kalangan umat Islam sendiri

yang mengasumsikan bahwa legislasi hukum Islam adalah

penghidupan kembali Piagam Jakarta.

Kekhawatiran semacam itu merupakan warisan dan

mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin merusak atau

menjauhkan masyarakat Islam dari ajaran agamanya yang semula

sudah menerima secara menyeluruh (receipt in complete). Hingga

masa-masa Orde Baru sampai Era Reformasi mentalitas tersebut

Page 9: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Sambutan

viii

masih tumbuh subur di sebagian besar wilayah Indonesia,

termasuk mereka yang muslim sekalipun.

Di sisi lain, terdapat perkembangan yang cukup

menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di dalamnya

adalah hukum Islam mendapat dukungan justru dari para

akademisi dan hakim. Alasan yang dikemukakan diantaranya

adalah nilai dari materi hukum Islam sudah semestinya

ditempatkan sebagai sumber hukum. Di samping itu, banyak pula

produk hukum Islam masuk dan diakui sebagai hukum positif.

Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum Kewarisan

Islam menjadi signifikan.

Perlu juga digarisbawahi bahwa upaya legislasi Hukum

Kewarisan Islam adalah gagasan mulia, namun membutuhkan

perjuangan yang tidak kenal lelah untuk meyakinkan para politisi

di lembaga legislatif. Untuk itu, diperlukan upaya maksimal dari

Dirjen Bimas Islam terutama Direktorat Urusan Agama Islam dan

Pembinaan Syari’ah serta berbagai instansi terkait dalam merealisir

upaya tersebut.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada Puslitbang

Kehidupan Keagamaan atas diterbitkannya buku ini, dan semoga

banyak mendatangkan manfaat.

Jakarta, Oktober 2012

Pgs. Kepala

Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI

Prof. Dr. H. Machasin, MA

NIP. 19561013 198103 1 003

Page 10: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ix

Prolog

Dr. H. Andi Syamsu Alam, SH,MH

Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama

Mahkamah Agung RI

\

Puji syukur kehadirat Allah SWT, bahwa saat ini akan lahir

buku “Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di

Indonesia”. Buku ini sangat dinantikan kehadirannya, terutama

oleh warga Peradilan Agama yang benar-benar menghadapi

problem dalam menerapkan hukum kewarisan di Indonesia.

Betapa tidak, sebab dewasa ini kebanyakan umat Islam

membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri ketimbang ke

Pengadilan Agama. Hal ini terungkap, antara lain:

1. Pernyataan Ketua Pengadilan Tinggi Mataram (waktu itu)

didepan forum pertemuan para Ketua Pengadilan Tingkat

Banding 4 (empat) lingkungan di Mahkamah Agung, bahwa

sekarang harus dipertimbangkan kembali, sebab masyarakat

lebih cenderung membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri

dari pada ke Pengadilan Agama.

2. Seorang dosen yang mewakili Fakultas Hukum Universitas

Airlangga pada seminar KHI di Surabaya menyatakan bahwa

hasil penelitian Universitas Airlangga menunjukan bahwa

perkara kewarisan jauh lebih banyak yang ke Pengadilan

Negeri dari pada ke Pengadilan Agama.

masih tumbuh subur di sebagian besar wilayah Indonesia,

termasuk mereka yang muslim sekalipun.

Di sisi lain, terdapat perkembangan yang cukup

menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di dalamnya

adalah hukum Islam mendapat dukungan justru dari para

akademisi dan hakim. Alasan yang dikemukakan diantaranya

adalah nilai dari materi hukum Islam sudah semestinya

ditempatkan sebagai sumber hukum. Di samping itu, banyak pula

produk hukum Islam masuk dan diakui sebagai hukum positif.

Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum Kewarisan

Islam menjadi signifikan.

Perlu juga digarisbawahi bahwa upaya legislasi Hukum

Kewarisan Islam adalah gagasan mulia, namun membutuhkan

perjuangan yang tidak kenal lelah untuk meyakinkan para politisi

di lembaga legislatif. Untuk itu, diperlukan upaya maksimal dari

Dirjen Bimas Islam terutama Direktorat Urusan Agama Islam dan

Pembinaan Syari’ah serta berbagai instansi terkait dalam merealisir

upaya tersebut.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada Puslitbang

Kehidupan Keagamaan atas diterbitkannya buku ini, dan semoga

banyak mendatangkan manfaat.

Jakarta, Oktober 2012

Pgs. Kepala

Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI

Prof. Dr. H. Machasin, MA

NIP. 19561013 198103 1 003

Page 11: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Prolog

x

3. Perkara kasasi di Mahkamah Agung yang berasal dari

Pengadilan Negeri lebih banyak dengan menggunakan alasan

PMH (perbuatan melawan hukum).

Hal ini merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan,

padahal Undang-undang No.3 Tahun 2006 yang telah dirubah

dengan Undang-undang No.50 Tahun 2009 secara tegas

menyatakan bahwa sengketa kewarisan di kalangan orang-orang

Islam menjadi kewenangan mutlak peradilan agama.

Kecendrungan orang Islam membawa perkaranya ke

Pengadilan Negeri mungkin menjadi salah satu penyebab

disamping perkembangan zaman, sehingga hakim mulai

melakukan inovasi terhadap hukum kewarisan Islam.

Hakim Agung Tim E yang menangani perkara-perkara

kewarisan di kalangan Umat Islam di Mahkamah Agung dan

Pengadilan Agama, telah melakukan inovasi, seperti:

• Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak tiri

kalau tidak ada lagi ahli waris lainnya dan anak itu dipelihara

sejak kecil, dengan menggunakan lembaga wasiat wajibah.

• Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak non

muslim sedangkan pewaris beragama Islam dengan alasan

wasiat wajibah.

• Tidak membatalkan putusan tentang pusako tinggi di Padang

dengan alasan hukum adat yang sudah melembaga.

• Pengadilan Agama menerapkan tradisi masyarakat Sulsel yang

membagi harta warisan menyisihkan rumah sebagai bagian

mutlak anak perempuan, terutama anak perempuan bungsu

melalui pembagian waris tanpa sengketa atau P3HP.

Page 12: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

xi

• Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan menerapkan kebiasaan

yang melembaga yang disebut “ampikale” dan diterima oleh

pencari keadilan, bahkan tidak banding dan kasasi.

• Sudah ada Pengadilan Agama yang membagi warisan sama

bagian anak laki-laki dan anak perempuan dengan berbagai

pertimbangan.

• Hakim Agung Tim E pernah menjatuhkan putusan anak

perempuan menghijab saudara pewaris.

• Sudah banyak sekali putusan tentang ahli waris pengganti.

• Demikian pula putusan wasiat wajibah untuk anak angkat. Dan

siapa yang menanggung nafkah anak angkat paska perceraian.

• Buku II tentang Pedoman Teknis telah memberi petunjuk

tentang pembagian harta bersama secara serial, karena isteri

lebih dari seorang.

• Sedang ditunggu putusan tentang nafkah dan kewarisan anak

hasil zina sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang

sangat terkenal.

• Mafqud, menurut hasil diskusi Hakim Agung Tim E, ditetapkan

2 tahun kecuali kasus-kasus tertentu seperti kasus Adam Air,

tsunami dan lain-lain.

Hal-hal ini bisa melahirkan putusan yang berbeda-beda,

tergantung pandangan hukum seorang Hakim. Mengapa, sebab

persoalan-persoalan ini tidak diatur secara khusus. Karena itu

lahirnya buku ini sangat urgen untuk mendorong lahirnya

Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum

Waris. Syukur-syukur kalau kelak dapat menjadi hukum waris

nasional seperti Undang-undang Perkawinan.

3. Perkara kasasi di Mahkamah Agung yang berasal dari

Pengadilan Negeri lebih banyak dengan menggunakan alasan

PMH (perbuatan melawan hukum).

Hal ini merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan,

padahal Undang-undang No.3 Tahun 2006 yang telah dirubah

dengan Undang-undang No.50 Tahun 2009 secara tegas

menyatakan bahwa sengketa kewarisan di kalangan orang-orang

Islam menjadi kewenangan mutlak peradilan agama.

Kecendrungan orang Islam membawa perkaranya ke

Pengadilan Negeri mungkin menjadi salah satu penyebab

disamping perkembangan zaman, sehingga hakim mulai

melakukan inovasi terhadap hukum kewarisan Islam.

Hakim Agung Tim E yang menangani perkara-perkara

kewarisan di kalangan Umat Islam di Mahkamah Agung dan

Pengadilan Agama, telah melakukan inovasi, seperti:

• Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak tiri

kalau tidak ada lagi ahli waris lainnya dan anak itu dipelihara

sejak kecil, dengan menggunakan lembaga wasiat wajibah.

• Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak non

muslim sedangkan pewaris beragama Islam dengan alasan

wasiat wajibah.

• Tidak membatalkan putusan tentang pusako tinggi di Padang

dengan alasan hukum adat yang sudah melembaga.

• Pengadilan Agama menerapkan tradisi masyarakat Sulsel yang

membagi harta warisan menyisihkan rumah sebagai bagian

mutlak anak perempuan, terutama anak perempuan bungsu

melalui pembagian waris tanpa sengketa atau P3HP.

Page 13: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Prolog

xii

Buku ini sangat baik dianjurkan untuk dibaca oleh segenap

warga peradilan agama. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan

melalui kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan

pihak Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama atau yang sering

disingkat Ditjen Badilag MARI.

Wassalam.

Page 14: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

xiii

Prakata Editor

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan

materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi pasal,

berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi hukum. Ketiga

materi hukum tersebut yaitu: a) hukum perkawinan sebanyak 170

pasal; b) hukum kewarisan (wasiat, hibah) sebanyak 44 pasal; c)

hukum perwakafan sebanyak 14 pasal. Kemudian ditambah

dengan satu pasal ketentuan penutup.

Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-

Undang Hukum Materil Peradilan Agama. Akan tetapi karena

kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya KHI disahkan

dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991.

Melalui Inpres ini, Presiden menginstruksikan kepada Menteri

Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan

oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas yang

membutuhkan.

Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri No

154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres No 1 Tahun 1991

dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji

untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri

tersebut dalam bidang tugasnya masing-masing.

Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi

secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula Badan

Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai kini lembaga

tersebut menjadikan KHI sebagai sumber referensi dalam

menangani perkara-perkara yang ada.

Buku ini sangat baik dianjurkan untuk dibaca oleh segenap

warga peradilan agama. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan

melalui kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan

pihak Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama atau yang sering

disingkat Ditjen Badilag MARI.

Wassalam.

Page 15: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Prakata Editor

xiv

Sejak tahun 1998 tepatnya pasca reformasi, sistem

kenegaraan dan kepemerintahan mengalami dinamika yang

signifikan. Keinginan agar KHI menjadi Undang-Undang mulai

terbuka lebar, apalagi sejak lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 mengenai Perubahan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Berdasarkan UU ini, Peradilan Agama-lah yang berhak

menyelesaikan perkara umat Islam seperti hukum penyelesaian

perkawinan, perwakafan, hibah dan wasiat. Begitu pula

penyelesaian persoalan shadaqah, infaq, zakat dan ekonomi

syari’ah. Hal ini berarti penyelesaian perkara warisan umat Islam

tidak diperbolehkan ditangani Pengadilan Umum.

Akan tetapi sampai saat ini tingkat pengetahuan ulama

dan masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat

rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Puslitbang

Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama yang diselenggarakan pada tahun 2009. Penelitian

tersebut berjudul: “Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap

Fiqih Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan

bahwa tingkat pengetahuan ulama dan tokoh masyarakat

terhadap Kompilasi Hukum Islam masih rendah.

Pandangan mereka dapat dikategorikan kepada: a) ulama

yang belum mengetahui Kompilasi Hukum Islam; b) ulama yang

mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara mendalam; c) ulama

dan hakim yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara

mendalam karena sering menyelesaikan persoalan masalah

kewarisan.

Hal tersebut berdampak pada perbedaan respon terhadap

keberadaan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam.

Perbedaan terjadi pada isi materi Kompilasi Hukum Islam terkait

kewarisan sesuai dengan fiqih Islam seperti konsep harta bersama

Page 16: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

xv

(gono gini), ahli waris pengganti dan wasiat wajibah untuk anak

dan bapak angkat. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa

Kompilasi Hukum Islam sebagian besar materinya bersumber dari

kitab-kitab fiqih Islam dan sebenarnya tidak perlu

mempertentangkan Kompilasi Hukum Islam dengan fiqih Islam

karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk fiqih khas

Indonesia.

Walau demikian pada kenyataannya para hakim dalam

menyelesaikan persoalan warisan, selain berpedoman kepada

Kompilasi Hukum Islam mereka umumnya masih menrujuk ke

literatur fiqih klasik serta menggali praktek hukum di masyarakat

(hukum adat).

Atas dasar hasil penelitian dimaksud, muncul dalam

seminar tersebut usulan yakni perlunya dilakukan penyusunan

Undang-Undang Materil Peradilan bidang Kewarisan dengan

melibatkan unsur ulama dan masyarakat yang masih pro dan

kontra.

Menindaklanjuti usulan tersebut Puslitbang Kehidupan

Keagamaan pada tahun 2011 menyelenggarakan Workshop

bertema: “Urgensitas Legislasi Hukum Kewarisan Islam dan

Problematikanya”. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menggali

gagasan dan pemikiran para pakar dari berbagai perguruan tinggi

menyangkut pengembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia.

Juga merumuskan draf naskah akademik rancangan Undang-

Undang Hukum Materil Peradilan Agama bidang Kewarisan,

menggali pandangan, saran dan pendapat para pemangku

kebijakan (stake holder) terhadap poin-poin penting menyangkut

kebijakan dan materi naskah akamdemik bidang kewarisan. Juga

melakukan sosialisasi uji sahih rumusan draf naskah akademik RUU

Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.

Sejak tahun 1998 tepatnya pasca reformasi, sistem

kenegaraan dan kepemerintahan mengalami dinamika yang

signifikan. Keinginan agar KHI menjadi Undang-Undang mulai

terbuka lebar, apalagi sejak lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 mengenai Perubahan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Berdasarkan UU ini, Peradilan Agama-lah yang berhak

menyelesaikan perkara umat Islam seperti hukum penyelesaian

perkawinan, perwakafan, hibah dan wasiat. Begitu pula

penyelesaian persoalan shadaqah, infaq, zakat dan ekonomi

syari’ah. Hal ini berarti penyelesaian perkara warisan umat Islam

tidak diperbolehkan ditangani Pengadilan Umum.

Akan tetapi sampai saat ini tingkat pengetahuan ulama

dan masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat

rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Puslitbang

Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama yang diselenggarakan pada tahun 2009. Penelitian

tersebut berjudul: “Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap

Fiqih Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan

bahwa tingkat pengetahuan ulama dan tokoh masyarakat

terhadap Kompilasi Hukum Islam masih rendah.

Pandangan mereka dapat dikategorikan kepada: a) ulama

yang belum mengetahui Kompilasi Hukum Islam; b) ulama yang

mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara mendalam; c) ulama

dan hakim yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara

mendalam karena sering menyelesaikan persoalan masalah

kewarisan.

Hal tersebut berdampak pada perbedaan respon terhadap

keberadaan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam.

Perbedaan terjadi pada isi materi Kompilasi Hukum Islam terkait

kewarisan sesuai dengan fiqih Islam seperti konsep harta bersama

Page 17: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Prakata Editor

xvi

Pada penyelenggaraan Workshop tersebut mengundang

18 orang pemakalah dan 6 orang pembahas dari kalangan

akademisi dan praktisi hukum kewarisan di seluruh Indonesia. Dari

para pembahasan makalah tersebut diharapkan berkembangnya

ide-ide pemikiran dan gagasan cemerlang untuk merumuskan dan

menyusun draf naskah akademik hukum materil Peradilan Agama

bidang Kewarisan sebagai landasan bagi terwujudnya Undang-

Undang tentang Kewarisan Islam. Sebab, sebagaimana

dikemukakan di atas bahwa upaya legislasi hukum Kewarisan

Islam dapat meningkatkan Kompilasi Hukum Islam menjadi

Undang-Undang yang merupakan keniscayaan untuk menjamin

kepastian hukum bagi masyarakat.

Para peserta workshop juga memiliki pandangan yang

sama bahwa dalam menyusun draf RUU Hukum Kewarisan Islam

perlu dipersiapkan penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam

sebagai bahan utama dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum

Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang

komprehensif, moderat dan adil, namun memiliki kepastian

hukum.

Atas dasar pemikiran di atas, selanjutnya Tim Perumus

menyusun draf naskah akadmik RUU Hukum Materil Peradilan

Agama Bidang Kewarisan yang pada akhirnya dilakukan sosialisasi

dan uji kesahihan naskah akademik tersebut pada tanggal 3-4

Desember 2011 dengan menghadirkan para stake holder untuk

menyampaikan pandangan, saran dan masukan konstruktif

terhadap draf naskah akademik tersebut. Berdasarkan masukan

itu, kemudian dilakukan penyempurnaan sehingga terwujudlah

draf final naskah akademik Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Kewarisan. Akan tetapi, draf naskah akadmik hukum

materil ini tidak akan memiliki makna apabila pemerintah tidak

Page 18: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

xvii

berinisiatif menindaklanjuti dengan menyusun rancangan

Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang

Kewarisan tersebut dan berupaya meyakinkan para politisi di

lembaga legislatif untuk membahas dan mengesahkan menjadi

Undang-Undang. Karena harus disadari bahwa gagasa ini

merupakan gagasan mulia, namun membutuhkan energi yang

tinggi dan perjuangan yang tidak kenal lelah.

Jakarta, Oktober 2012

Editor

Muchit A. Karim

Pada penyelenggaraan Workshop tersebut mengundang

18 orang pemakalah dan 6 orang pembahas dari kalangan

akademisi dan praktisi hukum kewarisan di seluruh Indonesia. Dari

para pembahasan makalah tersebut diharapkan berkembangnya

ide-ide pemikiran dan gagasan cemerlang untuk merumuskan dan

menyusun draf naskah akademik hukum materil Peradilan Agama

bidang Kewarisan sebagai landasan bagi terwujudnya Undang-

Undang tentang Kewarisan Islam. Sebab, sebagaimana

dikemukakan di atas bahwa upaya legislasi hukum Kewarisan

Islam dapat meningkatkan Kompilasi Hukum Islam menjadi

Undang-Undang yang merupakan keniscayaan untuk menjamin

kepastian hukum bagi masyarakat.

Para peserta workshop juga memiliki pandangan yang

sama bahwa dalam menyusun draf RUU Hukum Kewarisan Islam

perlu dipersiapkan penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam

sebagai bahan utama dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum

Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang

komprehensif, moderat dan adil, namun memiliki kepastian

hukum.

Atas dasar pemikiran di atas, selanjutnya Tim Perumus

menyusun draf naskah akadmik RUU Hukum Materil Peradilan

Agama Bidang Kewarisan yang pada akhirnya dilakukan sosialisasi

dan uji kesahihan naskah akademik tersebut pada tanggal 3-4

Desember 2011 dengan menghadirkan para stake holder untuk

menyampaikan pandangan, saran dan masukan konstruktif

terhadap draf naskah akademik tersebut. Berdasarkan masukan

itu, kemudian dilakukan penyempurnaan sehingga terwujudlah

draf final naskah akademik Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Kewarisan. Akan tetapi, draf naskah akadmik hukum

materil ini tidak akan memiliki makna apabila pemerintah tidak

Page 19: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Prakata Editor

xviii

Page 20: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

xix

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan .. iii

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat ............................... vii

Prolog ........................................................................................................ ix

Prakata Editor .......................................................................................... xiii

Daftar Isi .................................................................................................... xix

BAB I Pendahuluan ................................................................. 1

BAB II Legislasi, Signifikansi dan Paradigma Baru

Hukum Waris di Indonesia ........................................ 7

Legislasi Hukum Kewarisan: Suatu

Keniscayaan, oleh Ahmad Rofiq ................... 9

Signifikansi Penyusunan RUU Hukum

Kewarisan di Indonesia (Filosofis, Yuridis,

Sosiologis dan Historis) oleh Zaenuddin

Ali ............................................................................. 19

Paradigma Baru Hukum Waris Islam

Indonesia, oleh Edi Riadi .................................. 59

BAB III Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di

Indonesia dalam Perspektif Fiqh, Kompilasi

Hukum Islam dan Praktik di Pengadilan

Agama serta Masyarakat ........................................... 83

Azas-azas Hukum Kewarisan Islam, oleh

Jaih Mubarok ....................................................... 85

Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dan

Pembagian Harta Waris..................................... 111

Page 21: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Daftar Isi

xx

• Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,

oleh Ratu Haika ............................................. 111

• Halangan Menerima Warisan, oleh

Moh. Adib ....................................................... 149

• Harta Bersama, oleh Sukris Sarmadi ...... 173

• Menuju Kesetaraan dalam Aturan

Kewarisan Islam Indonesia:

Kedudukan Anak Perempuan VS

Saudara Kandung, oleh Euis

Nurlailawati .................................................... 211

• Ahli Waris Pengganti dalam Sistem

Hukum di Indonesia (Suatu Analisis

Filsafat), oleh Syahrizal Abbas ................. 231

• Wasiat Wajibah untuk Anak Angkat,

Anak diluar Perkawinan Sah, dan Anak

dari Orang Tua Beda Agama, oleh

Moh. Muhibbin ............................................. 263

• Kedudukan Waris Anak di Luar Nikah,

oleh Sulhani Hermawan ............................ 289

• Wasiat Pembagian Harta Waris

sebelum Pewaris Meninggal Dunia

dan Praktik Hibah Dihitung sebagai

Bagian Waris, oleh Zaenul Mahmudi .... 315

• Gharrawain dan Musyarakah, oleh

Humaidi Hamid.............................................. 349

• Kewarisan Khuntsa (kelamin ganda),

Mafqud (orang hilang), anak dalam

kandungan, oleh Sri Hidayati .................. 373

Page 22: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

xxi

BAB IV Hukum Kewarisan tentang Hak-Hak

Kebendaan yang diatur Undang-Undang .......... 407

Keterkaitan Hukum Waris dengan Hak-

Hak Kebendaan yang Diatur dalam

Berbagai Peraturan Perundang-

undangan, Oleh Yeni Salma Barlinti ............ 409

BAB V Penutup .......................................................................... 421

Kesimpulan ........................................................... 423

Saran ....................................................................... 425

• Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,

oleh Ratu Haika ............................................. 111

• Halangan Menerima Warisan, oleh

Moh. Adib ....................................................... 149

• Harta Bersama, oleh Sukris Sarmadi ...... 173

• Menuju Kesetaraan dalam Aturan

Kewarisan Islam Indonesia:

Kedudukan Anak Perempuan VS

Saudara Kandung, oleh Euis

Nurlailawati .................................................... 211

• Ahli Waris Pengganti dalam Sistem

Hukum di Indonesia (Suatu Analisis

Filsafat), oleh Syahrizal Abbas ................. 231

• Wasiat Wajibah untuk Anak Angkat,

Anak diluar Perkawinan Sah, dan Anak

dari Orang Tua Beda Agama, oleh

Moh. Muhibbin ............................................. 263

• Kedudukan Waris Anak di Luar Nikah,

oleh Sulhani Hermawan ............................ 289

• Wasiat Pembagian Harta Waris

sebelum Pewaris Meninggal Dunia

dan Praktik Hibah Dihitung sebagai

Bagian Waris, oleh Zaenul Mahmudi .... 315

• Gharrawain dan Musyarakah, oleh

Humaidi Hamid.............................................. 349

• Kewarisan Khuntsa (kelamin ganda),

Mafqud (orang hilang), anak dalam

kandungan, oleh Sri Hidayati .................. 373

Page 23: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Daftar Isi

xxii

Page 24: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

1

BAB I

PENDAHULUAN

Page 25: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab I

2

Page 26: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan

materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229

pasal, terdiri dari tiga materi hukum, yaitu hukum perkawinan 170

pasal, hukum kewarisan termasuk wasiat dan hibah 44 pasal, dan

hukum perwakafan 14 pasal ditambah satu pasal ketentuan

penutup.

Kebutuhan adanya kompilasi hukum Islam sebagai hukum

materiil di Peradilan Agama telah berlangsung sejak lama. Namun,

cita-cita tersebut mulai mendapatkan respon serius sejak

keluarnya SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama pada

tanggal 25 Maret 1985 yang berisi tentang Penunjukan

Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui

yurisprudensi.

Atas dasar SKB tersebut dilakukan berbagai kegiatan

dalam rangka penyusun kompilasi hukum Islam. Kegiatan tersebut

antara lain penelitian melalui kitab kuning oleh beberapa

perguruan tinggi agama Islam se-Indonesia, penelitian

yurisprudensi putusan Peradilan agama dan Pengadilan Tinggi

Agama, wawancara dengan para alim ulama se-Indonesia, studi

banding ke beberapa Negara di Timur Tengah, dan diakhiri

dengan lokakarya tingkat nasional pada tanggal 2-5 Februari 1988

yang diikuti oleh para ulama, ahli hukum, kaum cendekiawan, dan

para tokoh masyarakat. Melalui lokakarya inilah kemudian

melahirkan draf kompilasi hukum Islam.

Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-

Undang Hukum materiil di Peradilan Agama. Akan tetapi karena

kondisi politik yang belum memungkinkan akhirnya KHI disahkan

dengan inpres Nomor 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991.

Melalui Inpres ini presiden mengintruksikan kepada Menteri

Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan

Page 27: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab I

4

oleh instansi pemerintahan dan masyarakat luas yang

membutuhkan. Kemudian Menteri Agama melalui keputusan

Nomor 154 tahun 1991 menetapkan tentang pelaksanaan inpres

Nomor 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama

Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji untuk

mengkordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri ini dalam

bidang tugasnya masing-masing. Sejak saat itu, sosialisasi intens

dilakukan kedua lembaga tersebut. Di samping itu Badan

Pembinaan Peradilan Agama pun ikut mensosialisasikan bahkan

menjadikan KHI sebagai sumber rujukan dalam menangani

perkara-perkara yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Seiring dengan laju reformasi hukum di Indonesia pasca

reformasi sistem kenegaraan dan kepemerintahan sejak tahun

1998, peluang dan kesempatan mewujudkan cita-cita menjadikan

KHI sebagai UU mulai terbuka lebar. Sejak lahirnya UU No. 3 Tahun

2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Berdasarkan UU ini, bagi orang-orang yang beragama

Islam sudah tidak ada lagi pilihan hukum dalam menyelesaian

persoalan-persoalan perkawinan, perwakafan, hibah, wasiat dan

kewarisan. Ditambah lagi sadaqah, infak, zakat dan ekonomi

syariah. Implikasinya persoalan warisan, umat Islam tidak lagi

diperbolehkan menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Umum.

Sebagai upaya penguatan institusi Peradilan Agama,

sebelum tahun 2006 Badan Pembinaan Peradilan Agama

Kementerian Agama telah menyiapkan Rancangan Undang-

Undang (RUU) Terapan Peradilan Agama khususnya di bidang

perkawinan. RUU ini telah masuk dalam daftar Rancangan

Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005 -2009 dengan

nomor urut 124. Hingga kini belum disiapkan secara matang RUU

Page 28: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

5

yang akan dijadikan sebagai Hukum Materiil Peradilan Agama di

Peradilan Agama.

Memang saat ini, untuk sementara waktu dasar hukum

materiil bidang kewarisan masih merujuk Kompilasi Hukum Islam

buku III tentang Kewarisan. Akan tetapi, selain status Kompilasi

Hukum Islam yang hanya merupakan instruksi Presiden masih

menjadi persoalan dalam kerangka hirarki perundang-undangan

di Indonesia, juga substansi hukum kewarisan yang ada dalam

kompilasi masih banyak yang perlu dilakukan perbaikan dan

pengembangan seiring dengan berbagai temuan dan

perkembangan baru dalam praktik di pengadilan pada khususnya

dan di masyarakat pada umumnya yang meniscayakan adanya

adaptasi di sana sini.

Terkait dengan upaya perbaikan dan pengembangan

subtasi hukum waris yang ada di Kompilasi Hukum Islam,

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama pada tahun 2009 telah melakukan penelitian

tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris

dalam kompilasi Hukum Islam di lima wilayah Indonesia yang

dijadikan sampel, yaitu Yogyakarta, Medan, Banjarmasin, Sulawesi

Selatan, dan Gorontalo.

Fokus penelitian meliputi respon ulama dan hakim agama

tentang: Harta Bersama, Ahli Waris Pengganti, Anak Perempuan

Menghijab Saudara Pewaris, Wasiat Wajibah Untuk Anak Angkat,

Waris Beda Agama, Halangan Menerima Warisan Karena

Perencanaan Pembunuhan dan Fitnah, 1/3 Bagian Untuk Ayah Bila

Pewaris Tidak Punya Anak, Porsi Perbandingan Bagian Anak Laki-

Laki dan Perempuan, Wasiat Pembagian Warisan Sebelum Pewaris

Meninggal, Praktik Hibah Dihitung Sebagai Bagian Waris, Praktik

Penyelesaian Warisan Yang Unik di beberapa wilayah penelitian,

oleh instansi pemerintahan dan masyarakat luas yang

membutuhkan. Kemudian Menteri Agama melalui keputusan

Nomor 154 tahun 1991 menetapkan tentang pelaksanaan inpres

Nomor 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama

Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji untuk

mengkordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri ini dalam

bidang tugasnya masing-masing. Sejak saat itu, sosialisasi intens

dilakukan kedua lembaga tersebut. Di samping itu Badan

Pembinaan Peradilan Agama pun ikut mensosialisasikan bahkan

menjadikan KHI sebagai sumber rujukan dalam menangani

perkara-perkara yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Seiring dengan laju reformasi hukum di Indonesia pasca

reformasi sistem kenegaraan dan kepemerintahan sejak tahun

1998, peluang dan kesempatan mewujudkan cita-cita menjadikan

KHI sebagai UU mulai terbuka lebar. Sejak lahirnya UU No. 3 Tahun

2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Berdasarkan UU ini, bagi orang-orang yang beragama

Islam sudah tidak ada lagi pilihan hukum dalam menyelesaian

persoalan-persoalan perkawinan, perwakafan, hibah, wasiat dan

kewarisan. Ditambah lagi sadaqah, infak, zakat dan ekonomi

syariah. Implikasinya persoalan warisan, umat Islam tidak lagi

diperbolehkan menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Umum.

Sebagai upaya penguatan institusi Peradilan Agama,

sebelum tahun 2006 Badan Pembinaan Peradilan Agama

Kementerian Agama telah menyiapkan Rancangan Undang-

Undang (RUU) Terapan Peradilan Agama khususnya di bidang

perkawinan. RUU ini telah masuk dalam daftar Rancangan

Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005 -2009 dengan

nomor urut 124. Hingga kini belum disiapkan secara matang RUU

Page 29: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab I

6

pembagian warisan berupa tanah kurang dari 2 hektar, dan

Kewarisan Anak Hasil Perzinaan. Hasil penelitian ini kemudian

diseminarkan pada bulan Oktober 2009 dengan menghadirkan

para narasumber dan peserta yang kompeten di bidang hukum

waris Islam.

Pada tahun 2012, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan kajian untuk

mempertajam berbagai persoalan yang telah dihasilkan dalam

kegiatan penelitian dan seminar sebelumnya hingga

dirumuskannya naskah akademik yang komprehensif untuk back

up paper draf RUU kewarisan yang akan dijadikan Hukum Materiil

Peradilan Agama di Pengadilan Agama.

Dalam buku ini, dihimpun gagasan dan fikiran para pakar

dan cendekia dari akademisi, peneliti, ulama/kyai, praktisi hukum

sampai pada pengamat hukum, terutama yang concern dengan

masalah kewarisan Islam di Indonesia. Diantara mereka yakni para

dosen perguruan tinggi Islam Negeri, dosen Universitas Negeri

dan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syari’ah Indonesia (HISSI).Dari

mereka diharapkan pandangan, saran, dan pendapat.

Selain itu juga untuk mencari solusi atas berbagai

problematika substantif materi kewarisan dalam perspektif fiqh,

perundang-undangan, dan praktik kewarisan di Pengadilan dan

Masyarakat serta memperbaiki Draf Naskah Akademik Rancangan

Undang-Undang Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.

Keterlibatan para stake holder (penentu kebijakan) dari unsur

terkait sangat memberikan andil bagi penyusunan buku ini,

diantaranya Direktorat Jenderal Peradilan Agama pada Mahkamah

Agung, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah,

Biro Hukum dan KLN, serta Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi

Agama.

Page 30: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

7

pembagian warisan berupa tanah kurang dari 2 hektar, dan

Kewarisan Anak Hasil Perzinaan. Hasil penelitian ini kemudian

diseminarkan pada bulan Oktober 2009 dengan menghadirkan

para narasumber dan peserta yang kompeten di bidang hukum

waris Islam.

Pada tahun 2012, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan kajian untuk

mempertajam berbagai persoalan yang telah dihasilkan dalam

kegiatan penelitian dan seminar sebelumnya hingga

dirumuskannya naskah akademik yang komprehensif untuk back

up paper draf RUU kewarisan yang akan dijadikan Hukum Materiil

Peradilan Agama di Pengadilan Agama.

Dalam buku ini, dihimpun gagasan dan fikiran para pakar

dan cendekia dari akademisi, peneliti, ulama/kyai, praktisi hukum

sampai pada pengamat hukum, terutama yang concern dengan

masalah kewarisan Islam di Indonesia. Diantara mereka yakni para

dosen perguruan tinggi Islam Negeri, dosen Universitas Negeri

dan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syari’ah Indonesia (HISSI).Dari

mereka diharapkan pandangan, saran, dan pendapat.

Selain itu juga untuk mencari solusi atas berbagai

problematika substantif materi kewarisan dalam perspektif fiqh,

perundang-undangan, dan praktik kewarisan di Pengadilan dan

Masyarakat serta memperbaiki Draf Naskah Akademik Rancangan

Undang-Undang Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.

Keterlibatan para stake holder (penentu kebijakan) dari unsur

terkait sangat memberikan andil bagi penyusunan buku ini,

diantaranya Direktorat Jenderal Peradilan Agama pada Mahkamah

Agung, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah,

Biro Hukum dan KLN, serta Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi

Agama.

BAB II

LEGISLASI SIGNIFIKANSI DAN PARADIGMA

BARU HUKUM WARIS DI INDONESIA

Page 31: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

8

Page 32: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

9

LEGISLASI HUKUM KEWARISAN:

SUATU KENISCAYAAN

Ahmad Rofiq

Latar Belakang

Sejak awal, dipilihnya nomenklatur “Hukum Terapan

Peradilan Agama”, saya sudah tidak setuju, meskipun saya sangat

mendukung substansinya. Karena term “hukum terapan”

membawa implikasi peran strategis hakim, di dalam “berijtihad”

dan menjawab atau memutuskan hukum, sudah “dipasung” oleh

nomenklatur tersebut.

Dalam perkembangannya, RUU Hukum Terapan PA

tersebut, tidak lahir sempurna, tetapi lahir dalam bentuk yang

belum/tidak sesuai dengan harapan, yakni lahirnya UU Nomor: 41

Tahun 2004 tentang Wakaf. Karena dengan lahirnya UU Wakaf,

menjadikan gagasan untuk melembagakan atau legislasi

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-undang menjadi

“serpihan-serpihan” yang memerlukan energi tambahan untuk

“memperjuangkan” kelahiran UU yang lengkap, baik Hukum

Perkawinan Islam, Pe(Ke)warisan Islam, dan Perwakafan.

Dalam soal legislasi hukum Islam di negeri ini, memang

“menyimpan” banyak keanehan, karena selalu saja muncul

kontroversi termasuk dari kalangan Muslim sendiri, yang

beranggapan, bahwa dengan legislasi hukum Islam, “diidentikkan”

dengan menghidupkan Piagam Jakarta.

Banyak faktor yang mempengaruhi di sini. Pertama,

kekhawatiran lahirnya kembali Piagam Jakarta adalah salah satu

alasan. Kedua, boleh jadi kekhawatiran tersebut, merupakan

Page 33: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

10

“warisan” dari mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin “merusak”

atau menjauhkan masyarakat Islam dari ajaran agamanya, yang

semula sudah diterima secara menyeluruh (receptie in complexu).

Hingga masa-masa Orde Baru sampai dengan era reformasi,

“mentalitas” tersebut, masih “subur” tumbuh di sebagian besar

warga Indonesia yang muslim sekalipun.

Namun di sisi lain, ada perkembangan yang relatif cukup

menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di dalamnya

yang substansinya adalah hukum Islam, mendapat dukungan

justru dari perkembangan kesadaran akademik para akademisi

dan teoritisi hukum, karena menempatkan bahwa nilai dan materi

hukum Islam sudah selayaknya ditempatkan sebagai sumber

hukum, dan setelah melalui proses legislasi yang terbuka, fair, dan

obyektif, banyak produk hukum Islam, masuk dan diakui sebagai

hukum positif.

Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum

Kewarisan Islam, yang cakupan berlakunya memang khusus untuk

orang yang beragama Islam, demi upaya mewujudkan tertib

hukum yang berkeadilan, merupakan suatu keniscayaan adanya.

Sama halnya dengan pewarisan halalah, juga merupakan

persoalan krusial, karena bagian istri yang tidak mempunyai anak

hanya memperoleh ¼ bagian, sedangkan saudara mendapat ¾

bagian. Pembagian semacam itu tidak adil, sehingga istri

sebaiknya memperoleh ½ bagian dari harta waris

Menurut Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, Kompilasi Hukum

Islam sebenarnya bukan undang-undang, tetapi hanyalah Inpres

yang bisa dijadikan landasan hukum bagi hakim Agama dalam

memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Sudah banyak

keputusan-keputusan hakim yang ditetapkan berdasarkan pada

Kompilasi Hukum Islam sehingga keputusan tersebut menjadi

Page 34: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

11

yurisprudensi. Keputusan-keputusan hakim itu mestinya perlu

dicermati kembali karena banyak menimbulkan kontroversi di

tengah masyarakat pencari keadilan. Seperti suami/istri yang telah

memperoleh bagian dari harta bersama masih pula memperoleh

bagian harta waris dari tirkah. Sistem kekerabatan patrilineal,

bilateral atau matrilineal masih menjadi acuan dalam pembagian

waris. Mengapa azas keadilan berimbang yang dipergunakan

dalam pembagian waris, bagaimana masalah aul, apakah sudah

menggunakan azas keadilan berimbang? Ini menjadi pertanyaan.

Problematika Legislasi

Problematika yang muncul dalam legislasi – termasuk

Hukum Kewarisan Islam – ini juga, masih soal “mentalitas” Snouck

Hurgronje-nian seperti disebut di atas. Sementara itu, ada kala-

ngan yang menilai legislasi hukum Islam, berarti menambah daftar

“Fiqh Madzhab Negara”, yang justru dianggap mendistorsi

keberadaan hukum Islam sebagai hukum yang universal dan

dilaksanakan oleh pemeluknya dengan sukarela, karena telah

mengejawantah ke dalam nilai yang hidup dalam masyarakat.

Karena “formalisasi” hukum Islam ke dalam Undang-undang

dan/atau perundang-undangan, maka terjadi “proses

pendangkalan” umat Islam terhadap referensi keagamannya. Dan

ironisnya, justru yang lantang dan vokal berpendapat demikian,

adalah kaum Muslimin itu sendiri. Soal hukum waris adalah soal

“sensitive”, setidaknya ini bisa dirunut dari masa-masa sebelum

kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Staatblad 1937 Nomor 610 Pemerintah Kolonial Belanda sudah

mengambil kompetensi Pengadilan Agama Jawa dan Madura

dalam perkara kewarisan Islam, yang semula menjadi kompetensi

absolute, menjadi hanya kewenangan fatwa waris. Implikasinya,

karena hanya fatwa, maka pihak yang berperkara, tidak harus

mengikuti secara sukarela isi fatwa tersebut.

“warisan” dari mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin “merusak”

atau menjauhkan masyarakat Islam dari ajaran agamanya, yang

semula sudah diterima secara menyeluruh (receptie in complexu).

Hingga masa-masa Orde Baru sampai dengan era reformasi,

“mentalitas” tersebut, masih “subur” tumbuh di sebagian besar

warga Indonesia yang muslim sekalipun.

Namun di sisi lain, ada perkembangan yang relatif cukup

menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di dalamnya

yang substansinya adalah hukum Islam, mendapat dukungan

justru dari perkembangan kesadaran akademik para akademisi

dan teoritisi hukum, karena menempatkan bahwa nilai dan materi

hukum Islam sudah selayaknya ditempatkan sebagai sumber

hukum, dan setelah melalui proses legislasi yang terbuka, fair, dan

obyektif, banyak produk hukum Islam, masuk dan diakui sebagai

hukum positif.

Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum

Kewarisan Islam, yang cakupan berlakunya memang khusus untuk

orang yang beragama Islam, demi upaya mewujudkan tertib

hukum yang berkeadilan, merupakan suatu keniscayaan adanya.

Sama halnya dengan pewarisan halalah, juga merupakan

persoalan krusial, karena bagian istri yang tidak mempunyai anak

hanya memperoleh ¼ bagian, sedangkan saudara mendapat ¾

bagian. Pembagian semacam itu tidak adil, sehingga istri

sebaiknya memperoleh ½ bagian dari harta waris

Menurut Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, Kompilasi Hukum

Islam sebenarnya bukan undang-undang, tetapi hanyalah Inpres

yang bisa dijadikan landasan hukum bagi hakim Agama dalam

memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Sudah banyak

keputusan-keputusan hakim yang ditetapkan berdasarkan pada

Kompilasi Hukum Islam sehingga keputusan tersebut menjadi

Page 35: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

12

Langkah berikutnya, sebagaimana diatur dalam pasal 63

UU Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah excecutoir

verklaring atau fiat eksekusi setiap keputusan Pengadilan Agama

oleh Pengadilan Negeri, yang meskipun bersifat administrative,

ternyata dalam prakteknya sering menilmbulkan masalah, akibat

dari “over-acting” pegawai atau pejabat di PN. Padahal UU

Perkawinan ini lahir empat tahun setelah UU Nomor: 14 Tahun

1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang pasal 10

sudah menegaskan bahwa kedudukan Peradilan Umum, Agama,

Militer, dan Tata Usaha Negara adalah sama atau sederajat. Tetapi

kenapa masih ada pengukuhan atau fiat eksekusi?

Tahun 1989 dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, sesungguhnya harus diakui merupakan

“angin segar” bagi insan Peradilan Agama, karena di dalamnya

diatur tentang jurusita, yang memiliki tugas untuk melakukan

eksekusi terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum

tetap. Akan tetapi anehnya, di dalamnya ternyata dimasukkan

dalam penjelasan umum angka 2, adanya hak opsi bagi pihak yang

berperkara. Orang Islam dapat mengajukan perkara penyelesaian

hukum kewarisan Islam yang dihadapinya ke pengadilan negeri.

Ini berdampak, kepada makin longgarnya umat Islam dalam

komitmen dan loyalitasnya menjalankan hukum agamanya, karena

dipengaruhi atau “disuruh” untuk “nyebrang” atau “hijrah”

mengikuti hukum perdata barat yang menjadi hukum materiil

Pengadilan Negeri.

Konon, Mahkamah Agung sudah pernah mengeluarkan

edaran, agar Pengadilan Negeri tidak menerima perkara waris

yang diajukan oleh orang yang beragama Islam, karena menurut

asas personalitas keislaman, orang Islam dalam berperkara,

mestinya diajukan ke Pengadilan Agama. Hasil penelitian Afdlol –

waktu itu mahasiswa PDIH UNDIP, kebetulan saya ikut menjadi

Page 36: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

13

salah satu penguji – di empat kabupaten dan satu kota di Jawa

Timur, ditemukan data bahwa umat Islam di Jawa Timur lebih

cenderung memilih mengajukan perkara pembagian warisan ke

Pengadilan Negeri. Ironis?

Kelahiran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah, juga menyisakan masalah, terkait dengan

apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan pihak bank,

karena di dalamnya selain ditangani oleh Bazarnas dan Pengadilan

Agama, namun masih muncul lagi Pengadilan Negeri. Bahkan

Mahkamah Agung memberikan contoh ketika ada perkara

sengketa perbankan syariah dengan nasabahnya, pada tingkat

pertama dan banding dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, ketika

sampai tingkat kasasi dialihkan kepada Peradilan Niaga.

Namun demikian, apapun yang ditulis oleh Prof Zaenuddin

Ali, prinsip bisa diterima, namun dengan beberapa penambahan.

Baik alasan filosofis, historis, yuridis, maupun sosiologis. Demikian

juga yang ditulis para narasumber, perlu diformulasi dengan

reasoning akademik dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,

yang merupakan warga terbesar bangsa ini.

Penyempurnaan Materi: Beberapa Catatan

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa catatan yang penulis

rasakan urgent dan mendasar dalam rangka penyempurnaan

naskah akademik yang akan menjadi dasar, kerangka pemikiran,

dan dasar-dasar dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan

Islam di Indonesia:

1. Hal sangat mendasar, adalah soal paradigma dan substansi

hukum apa yang hendak dilakukan dalam mengkonstruksi

Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Perdebatan yang

muncul, berangkat dari pluralisme hukum dalam masyarakat,

termasuk khazanah keragaman madzhab fiqh atau hukum

Langkah berikutnya, sebagaimana diatur dalam pasal 63

UU Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah excecutoir

verklaring atau fiat eksekusi setiap keputusan Pengadilan Agama

oleh Pengadilan Negeri, yang meskipun bersifat administrative,

ternyata dalam prakteknya sering menilmbulkan masalah, akibat

dari “over-acting” pegawai atau pejabat di PN. Padahal UU

Perkawinan ini lahir empat tahun setelah UU Nomor: 14 Tahun

1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang pasal 10

sudah menegaskan bahwa kedudukan Peradilan Umum, Agama,

Militer, dan Tata Usaha Negara adalah sama atau sederajat. Tetapi

kenapa masih ada pengukuhan atau fiat eksekusi?

Tahun 1989 dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, sesungguhnya harus diakui merupakan

“angin segar” bagi insan Peradilan Agama, karena di dalamnya

diatur tentang jurusita, yang memiliki tugas untuk melakukan

eksekusi terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum

tetap. Akan tetapi anehnya, di dalamnya ternyata dimasukkan

dalam penjelasan umum angka 2, adanya hak opsi bagi pihak yang

berperkara. Orang Islam dapat mengajukan perkara penyelesaian

hukum kewarisan Islam yang dihadapinya ke pengadilan negeri.

Ini berdampak, kepada makin longgarnya umat Islam dalam

komitmen dan loyalitasnya menjalankan hukum agamanya, karena

dipengaruhi atau “disuruh” untuk “nyebrang” atau “hijrah”

mengikuti hukum perdata barat yang menjadi hukum materiil

Pengadilan Negeri.

Konon, Mahkamah Agung sudah pernah mengeluarkan

edaran, agar Pengadilan Negeri tidak menerima perkara waris

yang diajukan oleh orang yang beragama Islam, karena menurut

asas personalitas keislaman, orang Islam dalam berperkara,

mestinya diajukan ke Pengadilan Agama. Hasil penelitian Afdlol –

waktu itu mahasiswa PDIH UNDIP, kebetulan saya ikut menjadi

Page 37: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

14

yang ada, juga harus dikawal dengan paradigma dan nilai-

nilai yang jelas, hendak dibawa ke mana masyarakat subyek

hukum akan diarahkan.

Di tengah berkembangnya kecenderungan gerakan trans-

nasional yang lebih mengarah ke “wahabisme” di satu sisi,

dan makin menyeruaknya faham indifidualis-liberalis, maka

paradigma konstruksitifisme perlu dikedepankan. Apakah

akan dikawal dalam perspektif pemikiran fiqh Ulama Sunny,

atau harus campur-campur model takhayyur, talfiq, atau

eklektik, yang jelas menurut hemat saya, ikhtiar untuk

mendekatkan umat Islam kepada agama dan fiqh yang

selama ini sudah dianutnya, merupakan asas yang harus

dikedepankan.

2. Asas kewarisan dalam Islam adalah individual dan ijbari.

Sementara usulan Prof Jaih Mubarak tentang asas

musahamah, menurut hemat saya tidak cukup memenuhi

syarat dianggap sebagai asas. Namun demikian apabila

ternyata dalam kasus terjadi harta warisan yang ditinggalkan

pewaris, ternyata apabila langsung dibagi, justru akan

“merusak” nilai ekonomi harta tersebut. Dalam praktik adat,

ada harta yang disebut dengan harta pusaka, atau harta yang

dimiliki secara kolektif.

3. Soal komposisi pembagian warisan 2:1 antara laki-laki dan

perempuan, hemat saya sebagai ketentuan bagian warisan

dalam Al-Qur’an yang perlu dipertahankan. Secara rasional,

tanggung jawab laki-laki lebih besar di dalam kehidupan

sehari-hari dalam kehidupan yang normal. Kecuali apabila

secara kasuistik, seorang laki-laki tidak dapat menjalankan

fungsi utamanya sebagai laki-laki yang menjadi penanggung

jawab ekonomi keluarganya. Gagasan komposisi 1:1 yang

mengemuka dalam masyarakat, sebagai implikasi makin

Page 38: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

15

maraknya faham individualisme, namun gagasan ini kurang

atau tidak mendapat tempat, karena dapat dimaknai sebagai

terjadinya “degradasi” komitmen orang Islam terhadap

agamanya.

4. Secara umum, apa yang sudah dituangkan dalam Kompilasi

Hukum Islam sebagai bahan awal – yang oleh para pihak

disebut memang belum sempurna – untuk melangkah

kepada legislasi, sudah lumayan. Sebagai “rancangan” naskah

akademik, apa yang disampaikan para penulis bisa diterima

dengan tambahan, karena persoalan utamanya menurut

hemat saya, adalah persoalan “politis”.

Semaksimal apapun naskah akademik disiapkan,

apabila political-will para anggota Legislatif tidak ada atau

rendah, maka proses legislasi itu akan mengalami banyak

hambatan. Sudah banyak contoh, draft RUU sudah disiapkan

dan disosialisasikan sedemikian rupa, bahkan mungkin

menghabiskan biaya sosialisasi yang cukup besar, tetapi

mentah lagi dan mentah lagi. Karena itu, dibutuhkan

“perjuangan” dalam jalur dan versi yang lain, agar soal hukum

kewarisan Islam yang notabene menurut Prof Zaenudin Ali,

adalah pengejawantahan dari pengamalan sila Ketuhanan

Yang Maha Esa, mendapatkan legalitas yuridis formal dan

memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

5. Soal Mawani’ al-Irts

Tentang penghalang mewarisi (mawani’ al-irts), soal

ikhtilaf al-din (perbedaan agama) harus tetap dipertahankan.

Karena perbedaan agama adalah bentuk pemutusan

hubungan keagamaan (shilah al-syari’ah). Bahwa di dalamnya

nantinya akan ditempuh kompromi atau pendekatan

kemanusiaan, karena di antara ahli waris ada yang berbeda

yang ada, juga harus dikawal dengan paradigma dan nilai-

nilai yang jelas, hendak dibawa ke mana masyarakat subyek

hukum akan diarahkan.

Di tengah berkembangnya kecenderungan gerakan trans-

nasional yang lebih mengarah ke “wahabisme” di satu sisi,

dan makin menyeruaknya faham indifidualis-liberalis, maka

paradigma konstruksitifisme perlu dikedepankan. Apakah

akan dikawal dalam perspektif pemikiran fiqh Ulama Sunny,

atau harus campur-campur model takhayyur, talfiq, atau

eklektik, yang jelas menurut hemat saya, ikhtiar untuk

mendekatkan umat Islam kepada agama dan fiqh yang

selama ini sudah dianutnya, merupakan asas yang harus

dikedepankan.

2. Asas kewarisan dalam Islam adalah individual dan ijbari.

Sementara usulan Prof Jaih Mubarak tentang asas

musahamah, menurut hemat saya tidak cukup memenuhi

syarat dianggap sebagai asas. Namun demikian apabila

ternyata dalam kasus terjadi harta warisan yang ditinggalkan

pewaris, ternyata apabila langsung dibagi, justru akan

“merusak” nilai ekonomi harta tersebut. Dalam praktik adat,

ada harta yang disebut dengan harta pusaka, atau harta yang

dimiliki secara kolektif.

3. Soal komposisi pembagian warisan 2:1 antara laki-laki dan

perempuan, hemat saya sebagai ketentuan bagian warisan

dalam Al-Qur’an yang perlu dipertahankan. Secara rasional,

tanggung jawab laki-laki lebih besar di dalam kehidupan

sehari-hari dalam kehidupan yang normal. Kecuali apabila

secara kasuistik, seorang laki-laki tidak dapat menjalankan

fungsi utamanya sebagai laki-laki yang menjadi penanggung

jawab ekonomi keluarganya. Gagasan komposisi 1:1 yang

mengemuka dalam masyarakat, sebagai implikasi makin

Page 39: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

16

agama, sementara secara faktual, hubungan kekerabatan itu

dibuktikan dengan hubungan saling menyayangi tetap

berjalan baik, dapat ditempuh misalnya dengan melalui

wasiyat wajibah. Sementara soal beda Negara sejalan dengan

berkembangnya information technology (IT), maka sepanjang

tidak ada halangan beda agama, tidak perlu dipermasalahkan.

Artinya, beda Negara tidak menjadi penghalang saling

mewarisi.

6. ‘Ashabah (bagian sisa)

Dalam fiqh Sunny, dikenal adanya bagian ashabah,

baik ashabah bi al-nafs, bi al-ghair, atau ma’a al-ghair. Dasar

hukum tentang bagian ashabah ini, adalah riwayat Muttafaq

‘alaih, yang diyakini oleh Ulama Sunny cukup kuat dan menjadi

dasar hukum yang kuat. Memang di dalamnya diperlukan

pemikiran ijtihadi, yang terkait dengan keberadaan walad

(anak), apakah sama kedudukannya anak, apakah laki-laki saja

atau juga anak perempuan yang termasuk walad? Bagaimana

apabila ahli waris terdiri dari anak perempuan dan saudara-

saudara sekandung atau seayah?

Rasulullah saw memberikan bagian saudara

perempuan setengah dan anak perempuan setengah.

Sementara saudara-saudara jelas terhalang oleh anak laki-laki.

Demikian juga soal anak dari anak atau cucu. Jika cucu

dihubungkan dengan orang tuanya yang menghubungkannya

kepada pewaris adalah perempuan, yang memunculkan istilah

dzawi al-arham, atau sering disebut dengan ghairu warits,

dalam fiqh Sunny. Kompilasi Hukum Islam telah

mengakomodasi konsep wasiyat wajibah dari Fiqh Mesir

dengan penyesuaian, dan ahli waris pengganti dari Hazairin

untuk mengatasi ahli waris dzawi al-arham tersebut.

Page 40: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

17

7. Gharrawin

Sebagaimana telah dikemukakan dalam makalah

Sukris Sarmadi dan Ratu, bagian Bapak 1/3 dalam kasus

Gharrawain ketika bersama Suami dan Ibu, atau bagian yang

lebih besar ½ ketika bersama Istri dan Ibu, perlu dijelaskan,

supaya tidak “mengganggu” pemahaman masyarakat. Karena

Bapak, selain sebagai penerima ashabah binafsih, juga sebagai

ashhab al-furudl, yang menerima bagian 1/6 ketika pewaris

meninggalkan anak atau cucu laki-laki garis laki-laki. Bahkan

Bapak juga selain menerima 1/6 juga tambah ashabah, apabila

pewaris mempunyai anak perempuan saja.

8. Harta Bersama

Memang dalam hal ini, diperlukan penjelasan

akademik, mengapa harta bersama sebelum diwaris

separohnya menjadi hak yang masih hidup. Masalah ini, akan

lebih mencolok lagi “ketidakadilan”-nya, manakala pewaris

tidak mempunyai anak, dan harta warisan akan diterima oleh

ahli waris samping atau saudara-saudara yang selain sebagai

ashabah jika laki-laki, juga bisamenjadi muashshib ketika

bersama saudaranya yang perempuan.

Kesimpulan

Mengakhiri pembahasan ini, dari uraian yang dikemukakan

di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, upaya legislasi

hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI menjadi Undang-

Undang merupakan suatu keniscayaan. Meskipun harus

disadari, bahwa gagasan ini merupakan gagasan mulia, namun

membutuhkan energi tinggi dan perjuangan yang tidak kenal

lelah, untuk meyakinkan para “politisi” di lembaga legislative.

agama, sementara secara faktual, hubungan kekerabatan itu

dibuktikan dengan hubungan saling menyayangi tetap

berjalan baik, dapat ditempuh misalnya dengan melalui

wasiyat wajibah. Sementara soal beda Negara sejalan dengan

berkembangnya information technology (IT), maka sepanjang

tidak ada halangan beda agama, tidak perlu dipermasalahkan.

Artinya, beda Negara tidak menjadi penghalang saling

mewarisi.

6. ‘Ashabah (bagian sisa)

Dalam fiqh Sunny, dikenal adanya bagian ashabah,

baik ashabah bi al-nafs, bi al-ghair, atau ma’a al-ghair. Dasar

hukum tentang bagian ashabah ini, adalah riwayat Muttafaq

‘alaih, yang diyakini oleh Ulama Sunny cukup kuat dan menjadi

dasar hukum yang kuat. Memang di dalamnya diperlukan

pemikiran ijtihadi, yang terkait dengan keberadaan walad

(anak), apakah sama kedudukannya anak, apakah laki-laki saja

atau juga anak perempuan yang termasuk walad? Bagaimana

apabila ahli waris terdiri dari anak perempuan dan saudara-

saudara sekandung atau seayah?

Rasulullah saw memberikan bagian saudara

perempuan setengah dan anak perempuan setengah.

Sementara saudara-saudara jelas terhalang oleh anak laki-laki.

Demikian juga soal anak dari anak atau cucu. Jika cucu

dihubungkan dengan orang tuanya yang menghubungkannya

kepada pewaris adalah perempuan, yang memunculkan istilah

dzawi al-arham, atau sering disebut dengan ghairu warits,

dalam fiqh Sunny. Kompilasi Hukum Islam telah

mengakomodasi konsep wasiyat wajibah dari Fiqh Mesir

dengan penyesuaian, dan ahli waris pengganti dari Hazairin

untuk mengatasi ahli waris dzawi al-arham tersebut.

Page 41: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

18

Sisa-sisa Hurgronje-nian tampaknya di negeri ini masih sangat

kuat, dan sering mengusung wacana, bahwa legislasi hukum

Islam sama halnya menghidupkan Piagam Jakarta.

2. Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di Indonesia,

perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa dan

bagaimana, yang hendak ditawarkan atau digunakan untuk

meng-engine dan mengcreate masyarakat. Dalam perspektif

historis, pada awalnya masyarakat Islam di Indonesia telah

menerima secara menyeluruh, karena ini adalah indikator

keberagamaan masyarakat.

3. Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di

Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI sebagai

bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum

Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang

komprehensif, moderat, dan adil, namun memiliki kepastian

hukum. Terutama soal materi-materi sebagaimana yang sudah

dikemukakan di atas.

Penutup

Demikian sedikit kontribusi pemikiran yang saya bisa

kemukakan sebagai pembahasan namun materi yang dikirim via

email, hanya tiga makalah. Semoga sumbangsih pemikiran ini,

dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam menyiapkan draft

dan naskah akademik Hukum Waris Islam di Indonesia.

Page 42: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

19

SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM

KEWARISAN DI INDONESIA (FILOSOFIS,

YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS)

Zainudin Ali

Latar Belakang

Penyusunan Rancangan Undang-undang hukum materil

peradilan agama bidang hukum kewarisan yang kemudian

disahkan menjadi peraturan perundang-undangan merupakan

suatu langkah maju untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam di

Indonesia. Namun penyusunan rancangan Undang-undang

dimaksud harus memperhatikan nilai-nilai hukum kewarisan yang

hidup dan berkembang pada setiap suku bangsa yang beragama

Islam di Indonesia dari masa ke masa.

Peraturan perundang-undangan yang berkenaan hukum

kewarisan Islam dapat dianggap baik bila memenuhi unsur hukum

di dalam teori-teori ilmu hukum mengenai berlakunya hukum

sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut.

a. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita

hukum sebagai nilai positif yang tertinggi

b. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya

didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau

terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan

c. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah

tersebut ada pengakuan dari masyarakat dan/atau kaidah

dimaksud dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun

tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);

Sisa-sisa Hurgronje-nian tampaknya di negeri ini masih sangat

kuat, dan sering mengusung wacana, bahwa legislasi hukum

Islam sama halnya menghidupkan Piagam Jakarta.

2. Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di Indonesia,

perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa dan

bagaimana, yang hendak ditawarkan atau digunakan untuk

meng-engine dan mengcreate masyarakat. Dalam perspektif

historis, pada awalnya masyarakat Islam di Indonesia telah

menerima secara menyeluruh, karena ini adalah indikator

keberagamaan masyarakat.

3. Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di

Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI sebagai

bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum

Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang

komprehensif, moderat, dan adil, namun memiliki kepastian

hukum. Terutama soal materi-materi sebagaimana yang sudah

dikemukakan di atas.

Penutup

Demikian sedikit kontribusi pemikiran yang saya bisa

kemukakan sebagai pembahasan namun materi yang dikirim via

email, hanya tiga makalah. Semoga sumbangsih pemikiran ini,

dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam menyiapkan draft

dan naskah akademik Hukum Waris Islam di Indonesia.

Page 43: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

20

d. Kaidah hukum berlaku secara historis, yaitu sesuai dengan

sejarah hukum kewaarisan Islam dalam konteks keindonesia-

an.1

Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi

maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke empat unsur

kaidah di atas, sebab: (1) apabila hanya berlaku secara filosofis,

maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang

dicitacitakan (ius constituendum); (2) bila kaidah hukum hanya

berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu

merupakan kaidah mati; (3) Kalau hanya berlaku secara sosiologis

dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan

pemaksa; dan (4) apabila hanya berlaku secara historis, maka

kemungkinan kaidah itu tidak sesuai dengan legal cultuure ke

Indonesiaan.

Selain itu, penulis mengemukakan karakteristik penyele-

saian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus penyele-

saian pembagian harta warisan di Kabupaten Donggala.2 Hal

dimaksud, sebagai bahan masukan dalam penyusunan Rancangan

Undang-undang bidang hukum kewarisan.

Permasalahan

1. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil

Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-nesia

secara Filosofis?

2. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil

Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

secara yuridis?

1Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.

75

2Hasil Penelitian Penulis berkenaan penyusunan Disertasi yang berjudul

Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala tahun 1995

Page 44: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

21

3. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil

Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-nesia

secara sosiologis

4. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil

Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

secara historis

5. Bagaimana karakteristik penyelesaian pembagian harta

warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala

Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil

Membicarakan siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Mate-

ril Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

secara Filosofis, maka tidak ada salahnya membicarakan lebih

dahulu ummat Islam. Ummat Islam dimaksud, merupakan salah

satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman

secara hukum ketatanegaraan di Indonesia. Karena itu, ummat

Islam tidak dapat dicerai pisahkan dengan hukum Islam yang

sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di Indonesia

bila dilihat dari aspek perumusan Dasar negara yang dilakukan

oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan

mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu.

Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia,

yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang

telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar

kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam

bagi pemeluk-pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan

pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan

UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”

Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti

yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali)

d. Kaidah hukum berlaku secara historis, yaitu sesuai dengan

sejarah hukum kewaarisan Islam dalam konteks keindonesia-

an.1

Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi

maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke empat unsur

kaidah di atas, sebab: (1) apabila hanya berlaku secara filosofis,

maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang

dicitacitakan (ius constituendum); (2) bila kaidah hukum hanya

berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu

merupakan kaidah mati; (3) Kalau hanya berlaku secara sosiologis

dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan

pemaksa; dan (4) apabila hanya berlaku secara historis, maka

kemungkinan kaidah itu tidak sesuai dengan legal cultuure ke

Indonesiaan.

Selain itu, penulis mengemukakan karakteristik penyele-

saian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus penyele-

saian pembagian harta warisan di Kabupaten Donggala.2 Hal

dimaksud, sebagai bahan masukan dalam penyusunan Rancangan

Undang-undang bidang hukum kewarisan.

Permasalahan

1. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil

Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-nesia

secara Filosofis?

2. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil

Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

secara yuridis?

1Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.

75

2Hasil Penelitian Penulis berkenaan penyusunan Disertasi yang berjudul

Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala tahun 1995

Page 45: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

22

mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29

batang tubuh UUD 1945 ayat (1) negara Republik Indonesia

berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat

ditafsirkan antara lain, sebagai berikut.

a. Dalam negara republik Indonesia tidak boleh terjadi atau

berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah

hukum Islam bagi ummat Islam, atau yang bertentangan

dengan kaidah-kaidah agama Nasrani, atau yang bertentangan

dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang

Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama

Budha bagi orang Budha. Hal itu berarti di dalam wilyah negara

Rapublik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan

hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum)

agama dan kesusilaan bangsa Indonesia;

b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam

bagi orang Islam, Syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan

syari’at Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan

syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.

Makna dari penafsiran kedua ini adalah: Negara Republik

Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan

fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh

bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan

hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau

penyelenggara negara. Artinya, penyelenggara negara

berkewajiban menjalankan syari’at yang dipeluk oleh bangsa

Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan.

Syari’at yang berasal dari agama Islam misalnya, yang disebut

syari’at Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum shalat, zakat,

puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum-hukum

dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan

Page 46: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

23

kekuasaan negara untuk menjalankannya secara sempurna.

Yang dimaksud adalah misalnya, hukum harta kekayaan,

hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyelenggaraan

hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum

pidana (Islam) seperti zina, pencurian, pembunuhan yang

memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus

(Peradilan Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat

diadakan oleh negara dalam pelaksanaan kewajibannya

menjalankan syari’at yang berasal dari agama Islam untuk

kepentingan ummat Islam yang menjadi warga negara

Republik Indonesia.

c. Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara

untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri

oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi

kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu

menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Ini

berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di

negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri oleh

masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya

hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum

yang pada umumnya mengatur hubungan manusia dengan

Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya

menurut kepercayaan agamanya masing-masing.3

Perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa

yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab

Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini:

3 H. Mohammad Daud Ali, . Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 8

mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29

batang tubuh UUD 1945 ayat (1) negara Republik Indonesia

berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat

ditafsirkan antara lain, sebagai berikut.

a. Dalam negara republik Indonesia tidak boleh terjadi atau

berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah

hukum Islam bagi ummat Islam, atau yang bertentangan

dengan kaidah-kaidah agama Nasrani, atau yang bertentangan

dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang

Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama

Budha bagi orang Budha. Hal itu berarti di dalam wilyah negara

Rapublik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan

hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum)

agama dan kesusilaan bangsa Indonesia;

b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam

bagi orang Islam, Syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan

syari’at Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan

syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.

Makna dari penafsiran kedua ini adalah: Negara Republik

Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan

fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh

bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan

hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau

penyelenggara negara. Artinya, penyelenggara negara

berkewajiban menjalankan syari’at yang dipeluk oleh bangsa

Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan.

Syari’at yang berasal dari agama Islam misalnya, yang disebut

syari’at Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum shalat, zakat,

puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum-hukum

dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan

Page 47: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

24

a. DR. Muhammad Hatta (alm) ketika menjelaskan arti perkataan

“kepercayaan” yang termuat dalam ayat (2) Pasal 29 UUD

1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan

kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan

agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung

ayat 2 Pasal 29 dimaksud. Kata “itu” menunjuk pada kata

agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut.

Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan

kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan

diletakkan di bawah Bab agama.4

Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai benar dengan

keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953

bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945

itu, tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu

bahwa dasar ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah,

kepercayaan agama . . . ; (b) Ketika memberi penjelasan

mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali

ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik

Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu

merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan;

(c) Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa

yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan

landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan

dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Undang-

undang No. 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia harus

dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.5

4 H. Mohammad Daud Ali, Ibid, hal 9.

5H. Mohammad Daud Ali, Ibid., hal 10.

Page 48: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

25

Berdasarkan uraian dan penjelsan di atas, maka dapat

diasumsikan bahwa hukum Islam dan kekuatan hukumnya

secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah

Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang

Pengelolaan Zakat. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang

perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 50 tahun

2009 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 21

Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Demikian juga

beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan hukum

Islam Selain itu, juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang

menjadi Pedoman bagi para hakim di Peradilan khusus

(Peradilan Agama) di Indonesia. Hal dimaksud merupakan

pancaran dari norma-norma hukum yang tertuang dalam

Pasal 29 UUD 1945. Karena itu, keberlakuan dan kekuatan

hukum Islam secara ketata negaraan di negara Republik

Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.

3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Sosiologis

Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di

Indonesia dikenal teori receptio a contrario. Teori receptio a

contrario dimaksud, dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan

dikembangkan secara sistematis dan diperaktekkan oleh

murid-muridnya (Sajuti Talib, H Mohammad Daud Ali, Bismar

Siregar, H.M. Tahir Azhary, dan sebagainya). Menurut mereka

hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam

masyarakat muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan

a. DR. Muhammad Hatta (alm) ketika menjelaskan arti perkataan

“kepercayaan” yang termuat dalam ayat (2) Pasal 29 UUD

1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan

kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan

agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung

ayat 2 Pasal 29 dimaksud. Kata “itu” menunjuk pada kata

agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut.

Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan

kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan

diletakkan di bawah Bab agama.4

Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai benar dengan

keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953

bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945

itu, tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu

bahwa dasar ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah,

kepercayaan agama . . . ; (b) Ketika memberi penjelasan

mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali

ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik

Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu

merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan;

(c) Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa

yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan

landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan

dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Undang-

undang No. 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia harus

dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.5

4 H. Mohammad Daud Ali, Ibid, hal 9.

5H. Mohammad Daud Ali, Ibid., hal 10.

Page 49: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

26

dengan hukum Islam.6 Hal dimaksud, diungkapkan 2 (dua)

buah contoh kasus dan 2 (dua) buah contoh ungkapan yang

menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum Islam tidak

dapat dicerai pisahkan. Contoh dan ungkapan dimaksud

sebagai berikut.

a. Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam,

bila mereka membagi harta warisan maka ia mengguna-

kan simbol anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama

di panas. Panasnya anak laki-laki di sawah dan panasnya

anak perempuan di dapur sehingga bagian warisan anak

laki-laki sama dengan bagian warisaan anak perempuan.

Namun sesudah mereka memeluk agama Islam maka

hukum adat kewarisan itu digantikan posisinya oleh

hukum Islam berdasarkan ungkapan langgai molemba

mobine manggala (anak laki-laki memikul dan anak

perempuan menggendong). Hal itu berarti bagian harta

warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua

orang anak perempuan.

b. Suku Bugis di Sulawesi Selatan: bila mereka melakukan

pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki

dan anak perempuan maka pembagiannya dilakukan

berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu

bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan

bagian harta warisan seorang anak perempuan (sama wae

asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk

agama Islam, maka pembagian harta warisan dimaksud,

berubah untuk mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu

bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua

6Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke

3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 83

Page 50: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

27

orang anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan

dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis

“majjujung makkunraie mallempa oroane”.

c. Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah: “Adat

bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Artinya: hukum

adat bersumber dari hukum Islam, hukum Islam

bersumber dari Alqur’an.

d. Suku Aceh di Sumatera Utara membuat pepatah: “Adek

dan syara’ sanda menyanda, syara mengato adek mema-

kai”. Artinya: hubungan hukum adat dengan hukum Islam

erat sekali, saling topang menopang, hukum Islam

menentukan, hukum adat melaksanakan.7

Berdasarkan dua buah contoh dan dua buah ung-

kapan tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa sistem

hukum Islam di negara republik Indonesia berlaku, sehingga

dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia menganut

sistem hukum majemuk. Namun demikian, sistem-sistem

hukum dimaksud merupakan suatu mata rantai yang tak dapat

dipisahkan dalam proses pembentukan hukum nasional yang

berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi

pedoman dan bintang pemandu terhadap norma-norma

hukum lainnya termasuk Undang-undang Dasar 1945,

Undang-undang, dan peraturan-peraturan lainnya di satu

pihak dan pihak lainnya sebagai dasar negara republik

Indonesia.

Selain itu, menunjukkan bahwa Sistem Hukum Indo-

nesia adalah sistem hukum yang menjadikan Pancasila sebagai

recht idee di satu pihak dan recht staat dipihak lainnya atau

7Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, (Palu:

Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998), hal. ii

dengan hukum Islam.6 Hal dimaksud, diungkapkan 2 (dua)

buah contoh kasus dan 2 (dua) buah contoh ungkapan yang

menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum Islam tidak

dapat dicerai pisahkan. Contoh dan ungkapan dimaksud

sebagai berikut.

a. Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam,

bila mereka membagi harta warisan maka ia mengguna-

kan simbol anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama

di panas. Panasnya anak laki-laki di sawah dan panasnya

anak perempuan di dapur sehingga bagian warisan anak

laki-laki sama dengan bagian warisaan anak perempuan.

Namun sesudah mereka memeluk agama Islam maka

hukum adat kewarisan itu digantikan posisinya oleh

hukum Islam berdasarkan ungkapan langgai molemba

mobine manggala (anak laki-laki memikul dan anak

perempuan menggendong). Hal itu berarti bagian harta

warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua

orang anak perempuan.

b. Suku Bugis di Sulawesi Selatan: bila mereka melakukan

pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki

dan anak perempuan maka pembagiannya dilakukan

berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu

bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan

bagian harta warisan seorang anak perempuan (sama wae

asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk

agama Islam, maka pembagian harta warisan dimaksud,

berubah untuk mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu

bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua

6Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke

3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 83

Page 51: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

28

sistem hukum yang menjadikan pancasila sebagai bintang

pemandu di satu pihak dan pihak lainnya menjadikan sebagai

dasar hukum negara. Selain itu tampak pula bahwa

Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-

undangan lainnya tidak dapat dicerai pisahkan, melainkan

merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Historis

Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat

di Indonesia dikenal teori receptio in complexu. Teori receptio in

complexu dimaksud, dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg

(1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam

Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam secara

menyeluruh. Sebagai bukti teori dimaksud, diuraikan sebagai

berikut.

a. Statuta Batavia (Saat ini disebut Jakarta) 1642

menyebutkan bahwa: sengketa warisan antara orang

pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan

mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai

oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer

menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat

hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku

dimaksud direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu,

kemudian diberlakukan di daerah Jajahan VOC. Buku ini

terkenal dengan sebutan Compendium Freijer.8

b. Penggunaan Kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon serta

peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Cloowijk untuk

diperlakukan di Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa,

8H. Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal 71

Page 52: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

29

Sulawesi Selatan. Karena itu, selama VOC berkuasa dua

abad (602-1800) kedudukan hukum Islam tetap seperti

semula, berlaku dan berkembang di kalangan ummat

Islam Indonesia. Kenyataan ini, dimungkinkan karena jasa

dari para penyiar agama Islam yang hidup pada abad itu.

Demikian juga jasa Naruddin al-Raniri yang menulis buku

Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab

dimaksud merupakan kitab pertama yang disebarluaskan

ke seluruh Wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan

ummat Islam. Kitab ini dianalisis oleh Syekh Arsyad al-

Banjari kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab

yang diberi judul Sabil al-Mukhtadin (jalan orang yang

diberi petunjuk). Buku ini dijadikan pegangan dalam

menyelesaikan sengketa antar ummat Islam di daerah

Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah Kesultanan

Palembang dan Banten diterbitkan beberapa kitab hukum

Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah hukum

keluarga dan warisan. Juga diikuti oleh Kerajaan-kerajaan

Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.

c. Pada tanggal 25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan

yang senada dimaksud, yang kemudian diberi nama

Resolutie der Indische Regeerling. Salomon Keyzer (1823-

1868) dan Cristian van den Berg (1845-1927) menyatakan

hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.

5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di

Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala

Ada dua permasalahan pokok yang dijadikan kajian utama

pada penyusunan pokok bahasan makalah ini, yaitu (1) bagaimana

masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum

kewarisan Islam di luar dan di dalam Pengadilan Agama, dan (2)

bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum

sistem hukum yang menjadikan pancasila sebagai bintang

pemandu di satu pihak dan pihak lainnya menjadikan sebagai

dasar hukum negara. Selain itu tampak pula bahwa

Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-

undangan lainnya tidak dapat dicerai pisahkan, melainkan

merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Historis

Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat

di Indonesia dikenal teori receptio in complexu. Teori receptio in

complexu dimaksud, dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg

(1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam

Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam secara

menyeluruh. Sebagai bukti teori dimaksud, diuraikan sebagai

berikut.

a. Statuta Batavia (Saat ini disebut Jakarta) 1642

menyebutkan bahwa: sengketa warisan antara orang

pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan

mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai

oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer

menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat

hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku

dimaksud direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu,

kemudian diberlakukan di daerah Jajahan VOC. Buku ini

terkenal dengan sebutan Compendium Freijer.8

b. Penggunaan Kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon serta

peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Cloowijk untuk

diperlakukan di Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa,

8H. Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal 71

Page 53: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

30

kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanannya di

luar dan di dalam Pengadilan Agama.

Sehubungan dengan masalah pokok di atas, serangkaian

masalah di bawah ini menjadi obyek kajian dalam penelitian ini,

yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala

melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah ahli

waris; (2) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala

melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah

Dewan Adat; (3) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten

Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui

Pengadilan Agama; (4) bagaimana asas-asas hukum kewarisan

Islam; (5) bagaimana unsur-unsur hukum kewarisaan Islam; (6)

bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti di

Kabupaten Donggala dengan kedudukan ahli waris pengganti di

negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di

Mesir, Suriah, Marokko, Tunisia, dan Pakistan menurut hukum

kewarisan Islam; (7) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam

dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam

pelaksanaan hukum kewarisan melalui musyawarah ahli waris; (8)

bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum

kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum

kewarisan melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di

Kabupaten Donggala; (9) faktor-faktor apa yang menyebabkan

masyarakat muslim di Kabupaten Donggala untuk melaksa-nakan

hukum kewarisan Islam.

a. Kerangka Dalil dan Kerangka Teoretis

1) Kerangka Dalil

a) Ayat-ayat Qur`an yang mengatur Kewarisan Islam,

di antaranya:

(1) Qur`an Surah IV: 11

Page 54: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

31

Qur`an Surah IV: 11 mengandung beberapa garis hukum

kewarisan Islam, di antaranya, yaitu: (1) Allah mengatur tentang

perbandingan perolehan antara seorang anak laki-laki dengan

seorang anak perempuan, yaitu: 2:1; (2) mengatur tentang

perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang,

mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan; (3)

mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu

seperdua dari harta peninggalan; (4) mengatur perolehan ibu

bapak, yang masing-masing seper enam dari harta peninggalan

kalau si pewaris mempunyai anak; (5) mengatur tentang besarnya

perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau

pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, maka perolehan ibu

sepertiga dari harta peninggalan; (6) mengatur tentang besarnya

perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau

pewaris tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara, maka

perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan; (7) pelaksanaan

pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 1

sampai 6 itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris.9

(2) Qur`an Surah IV: 12.

Qur`an Surah IV: 12 mengandung beberapa garis hukum

kewarisan Islam, di antaranya, yaitu (1) Duda karena kematian istri

mendapat pembagian seperdua dari harta peninggalan istrinya

kalau si istri tidak meninggalkan anak; (2) duda karena kematian

istri mendapat pembagian seperempat dari harta peninggalan

9 Lihat, Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,

1981), h. 21. Hazairin, op. cit.,h. 7. H.M. Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam. (Jakarta:

Ind-Hild-Co, 1992),h. 7. Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, (London: Delux Press,

1984), h.275. David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, (America:

International Microfilms University Press, 1986), h. 75-88. Husnain Muhammad Makhluf,

Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, (Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971), h. 43-45.

Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun, (Beirut: Dar an-

Nadafat at-Tarbiyah, 1978), h. 120-128. Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah

wa al-Wasiyyat, (Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun), h. 37-41.

kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanannya di

luar dan di dalam Pengadilan Agama.

Sehubungan dengan masalah pokok di atas, serangkaian

masalah di bawah ini menjadi obyek kajian dalam penelitian ini,

yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala

melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah ahli

waris; (2) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala

melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah

Dewan Adat; (3) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten

Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui

Pengadilan Agama; (4) bagaimana asas-asas hukum kewarisan

Islam; (5) bagaimana unsur-unsur hukum kewarisaan Islam; (6)

bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti di

Kabupaten Donggala dengan kedudukan ahli waris pengganti di

negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di

Mesir, Suriah, Marokko, Tunisia, dan Pakistan menurut hukum

kewarisan Islam; (7) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam

dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam

pelaksanaan hukum kewarisan melalui musyawarah ahli waris; (8)

bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum

kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum

kewarisan melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di

Kabupaten Donggala; (9) faktor-faktor apa yang menyebabkan

masyarakat muslim di Kabupaten Donggala untuk melaksa-nakan

hukum kewarisan Islam.

a. Kerangka Dalil dan Kerangka Teoretis

1) Kerangka Dalil

a) Ayat-ayat Qur`an yang mengatur Kewarisan Islam,

di antaranya:

(1) Qur`an Surah IV: 11

Page 55: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

32

istrinya kalau si istri meninggalkan anak; (3) janda karena kematian

suami mendapat pembagian seperempat dari harta suaminya

kalau si suami meninggalkan anak; (5) pelaksanaan pembagian

termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 4 di atas itu

sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris (6) jika ada

seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah)

sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang

saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka itu

memperoleh 1/6; (7) jika ada seorang laki-laki atau seorang

perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya

ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka

mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta

peninggalan; (8) pelaksanaan pembagian harta warisan

termaksud dalam garis hukum nomor 6 dan 7 di atas itu sesudah

dibayarkan wasiat dan hutang-hutang pewaris; (9) pembagian

wasiat dan pembayaran hutang pewaris tidak boleh

mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris.10

(3) Qur`an Surah IV; 176.

Qur`an surah IV: 176 mengandung beberapa garis

hukum kewarisan Islam, yaitu (1) mereka minta fatwa kepada

engkau Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah

memberi fatwa kepada kamu mengenai arti kalalah itu, yakni jika

seseorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau

mawali anaknya; (2) kalau orang yang meninggal kalalah itu

mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara

10Lihat, Sajuti Thalib op. cit., h. 24. Hazairin, opcit.,h. 8. H.M. Tahir Azhary Loc. cit.

Husnaian Muhammad Makhluf, op. cit., h.57-58. David Stephen Powers, op. cit., h. 46,47,98,

dan 105. Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, (Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj,

1977), 64. A. Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, (Myland: Amana

Corp Brentwood, 1983), h. 182. Abdur-Rahman Doi, op. cit., h. 296-298. Ahmad Kamil

KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, (Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966), h.36.

Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 37-46.

Page 56: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

33

perempuan itu mendapat pembagian 1/2 dari harta peninggalan

saudaranya; (3) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada

saudara perempuan dua orang atau lebih, maka pembagian harta

warisan bagi mereka 2/3 dari harta peninggala; (4) kalau orang

yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri dari

laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki

sama dengan bagian dua orang saudara perempuan; (5) Allah

menerangkan ketentuan tersebut kepada kamu agar kamu tidak

keliru mengenai pengertian kalalah dan pembagian harta warisan

apabila terjadi pewarisan dalam hal kalalah dan Allah itu

mengetahui segala sesuatunya.10

(4) Qur`an Surah IV: 33.

Qur`an surah IV: 33 mengandung empat garis hukum,

yaitu (1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli

waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu

bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (2)

bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris

pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya

(yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (3) bagi setiap

orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari

(untuk mewarisi) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang

tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (4) atas alasan

termaksud dalam garis hukum nomor 1, 2, dan 3 di atas, maka

berikanlah kepada mereka (mawali) itu bagiannya masing-

masing.11

10 Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 29. Hazairin, op. cit., h. 9. H.M.Tahir Azhary, op. cit.,

h.8. David Stephen Powers, op. cit., h.98, 104, 106, dan 107. Husnain Muhammad Makhluf,

op. cit., h.79-83. Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit. Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 59

- 60. 11 Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 27. Hazairin, op. cit., h. 8. H.M. Tahir Azhary, loc. cit.

Muhammad Mustafa Salabi, op. cit., h. 142-157. Bandingkan dengan uraian H.Moh. Djafar,

op. cit., h. 144. Menurut H. Moh. Djafar, Kompilasi Hukum Islam mengenai ahli waris

istrinya kalau si istri meninggalkan anak; (3) janda karena kematian

suami mendapat pembagian seperempat dari harta suaminya

kalau si suami meninggalkan anak; (5) pelaksanaan pembagian

termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 4 di atas itu

sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris (6) jika ada

seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah)

sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang

saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka itu

memperoleh 1/6; (7) jika ada seorang laki-laki atau seorang

perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya

ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka

mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta

peninggalan; (8) pelaksanaan pembagian harta warisan

termaksud dalam garis hukum nomor 6 dan 7 di atas itu sesudah

dibayarkan wasiat dan hutang-hutang pewaris; (9) pembagian

wasiat dan pembayaran hutang pewaris tidak boleh

mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris.10

(3) Qur`an Surah IV; 176.

Qur`an surah IV: 176 mengandung beberapa garis

hukum kewarisan Islam, yaitu (1) mereka minta fatwa kepada

engkau Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah

memberi fatwa kepada kamu mengenai arti kalalah itu, yakni jika

seseorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau

mawali anaknya; (2) kalau orang yang meninggal kalalah itu

mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara

10Lihat, Sajuti Thalib op. cit., h. 24. Hazairin, opcit.,h. 8. H.M. Tahir Azhary Loc. cit.

Husnaian Muhammad Makhluf, op. cit., h.57-58. David Stephen Powers, op. cit., h. 46,47,98,

dan 105. Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, (Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj,

1977), 64. A. Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, (Myland: Amana

Corp Brentwood, 1983), h. 182. Abdur-Rahman Doi, op. cit., h. 296-298. Ahmad Kamil

KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, (Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966), h.36.

Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 37-46.

Page 57: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

34

b) Hadits Rasulullah yang berhubungan dengan Hukum

Kewarisan Islam, di antaranya:

(1) Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud Dawud

dan at-Tirmizi.

Janda Sa`ad bin Ruba`i datang kepada Rasulullah membawa

kedua orang anak perempuannya dari Sa`ad lalu ia berkata: "Ya

Rasulullah, mereka ini adalah dua orang anak perempuan Sa`ad

bin Ruba`i yang telah gugur dalam peperangan di Uhud bersama

Anda. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka

dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka sedang keduanya

tidak mungkin kawin tanpa harta". Nabi bersabda: "Allah akan

menetapkan hukum mengenai peristiwa itu. Sesudah itu turunlah

ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si

paman anak Sa`ad dan bersabda: Berikan 2/3 pembagian harta

warisan untuk kedua orang anak perempuan Sa`ad, 1/8 untuk ibu

mereka, dan sisanya adalah untukmu (saudara Sa`ad).12

(2) Hadits Rasulullah dari Usamah bin Zaid yang Diriwa-yatkan

oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ibn Majah.

Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan

muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari

seorang muslim.13

pengganti di Indonesia merupakan hasil ijtihad kollektif ala ahlis-Sunnah wal-jamaah.

Pendapat yang demikian menurut analisis penulis mempunyai unsur kebenaran. Namun

perlu diungkapkan di sini bahwa ide itu lahir dari Hazairin atau orang pertama

menggunakan istilah mawali di Indonesia. Ijtihad Hazairin akan diuraikan oleh penulis pada

kerangka teoretis yang bersumber dari ijtihad. 12 Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-

Halabi, 1952), h. 109. Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938),

h. 414. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa

tahun), h. 909. 13 Lihat, Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 8, (Qahirah: Dar al-Matba`us-Sya`bi, tanpa

tahun), h. 178. Sajuti Thalib, op. cit., h.35. Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat,

(Qahirah: Dar al-Fikr al-Hadits lit-tab`i wannasyar, 1962), h. 9.

Page 58: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

35

(3) Hadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang Diriwayatkan oleh

ibn Majah dan at-Tirmizi.

Seorang yang membunuh tidak berhak menerima warisan

dari orang yang dibunuhnya.14

c) Ketentuan Hukum kewarisan Islam yang bersumber dari

Ijtihad, yaitu:

1) Kewarisan Cucu

Kewarisan cucu15 secara tegas tidak dijumpai di dalam

Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid (termasuk

Hazarin) menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan

perluasan pengertian kata walad (anak) yang terdapat di

dalam Qur`an surah IV: 11, yaitu bukan saja berarti anak yang

langsung dilahirkan, melainkan pengertian walad (anak) itu,

juga termasuk keturunannya ke bawah (cucu).16

2) Ketentuan Kewarisan Anak Saudara.

Ketentuan kewarisan anak saudara si pewaris

(kemanakan si pewaris) secara tegas tidak ditemukan di dalam

Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid menetapkan

ketentuan warisan-nya berdasarkan perluasan pengertian kata

akhun (saudara) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 176,

yaitu bukan saja berarti saudara kandung atau se ayah,

melainkan pengertian akhun (saudara) itu, juga termasuk

keturunannya.

14 Lihat Ibn Majah, op. cit., h. 913. At-Tirmizi, op. cit., h.425. Syari-fuddin, Ibid., h. 8.

Husnain Muhammad Makhluf, op. cit., h. 34. Hazairin, op. cit., h. 9. 15 Hukum adat di Indonesia mengakui cucu sebagai ahli waris bila ayah atau

ibunya lebih dahulu meninggal dari pewarisnya. Lihat, B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan

Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poes-ponoto, (Jakarta: Pradnja Paramita,

1953), h. 210. 16 Lihat Hazairin, op. cit., h. 28.

b) Hadits Rasulullah yang berhubungan dengan Hukum

Kewarisan Islam, di antaranya:

(1) Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud Dawud

dan at-Tirmizi.

Janda Sa`ad bin Ruba`i datang kepada Rasulullah membawa

kedua orang anak perempuannya dari Sa`ad lalu ia berkata: "Ya

Rasulullah, mereka ini adalah dua orang anak perempuan Sa`ad

bin Ruba`i yang telah gugur dalam peperangan di Uhud bersama

Anda. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka

dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka sedang keduanya

tidak mungkin kawin tanpa harta". Nabi bersabda: "Allah akan

menetapkan hukum mengenai peristiwa itu. Sesudah itu turunlah

ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si

paman anak Sa`ad dan bersabda: Berikan 2/3 pembagian harta

warisan untuk kedua orang anak perempuan Sa`ad, 1/8 untuk ibu

mereka, dan sisanya adalah untukmu (saudara Sa`ad).12

(2) Hadits Rasulullah dari Usamah bin Zaid yang Diriwa-yatkan

oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ibn Majah.

Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan

muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari

seorang muslim.13

pengganti di Indonesia merupakan hasil ijtihad kollektif ala ahlis-Sunnah wal-jamaah.

Pendapat yang demikian menurut analisis penulis mempunyai unsur kebenaran. Namun

perlu diungkapkan di sini bahwa ide itu lahir dari Hazairin atau orang pertama

menggunakan istilah mawali di Indonesia. Ijtihad Hazairin akan diuraikan oleh penulis pada

kerangka teoretis yang bersumber dari ijtihad. 12 Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-

Halabi, 1952), h. 109. Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938),

h. 414. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa

tahun), h. 909. 13 Lihat, Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 8, (Qahirah: Dar al-Matba`us-Sya`bi, tanpa

tahun), h. 178. Sajuti Thalib, op. cit., h.35. Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat,

(Qahirah: Dar al-Fikr al-Hadits lit-tab`i wannasyar, 1962), h. 9.

Page 59: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

36

3) Ketentuan Kewarisan Paman.

Ketentuan kewarisan paman si pewaris, yakni saudara

orangtua si meninggal, secara tegas tidak terdapat di dalam

Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid menetapkan

ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata

kakek dan nenek yang terdapat di dalam hadits Rasulullah dari

Qabisah bin Syu`aib yang diriwayat kan oleh Abu Dawud, Ibn

Majah, dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek dan nenek itu

dapat diartikan dengan memasukkan keturunannya ke

bawah yakni paman.17

2) Kerangka Teoretis

Dalam pengkajian pelaksanaan hukum Islam, termasuk

hukum kewarisan Islam di Indonesia, terjadi perdebatan

sengit antara para ahli hukum mengenai status hukum Islam

dan hukum adat. Karena itu, timbul 3 (tiga) teori mengenai

hubungan hukum Islam dengan hukum adat, yaitu: (1) teori

receptio in complexu,18 (2) teori receptie,19 dan teori receptio a

contrario.20 Teori yang tersebut terakhir ini dijadikan salah satu

17 Lihat, Abu Dawud, op. cit., h. 100. At-Tirmiziy, op. cit., h. 320. Ibn Majah, op.

cit., h.910. Hazairin, Ibid., h. 102. 18 Teori receptio in complexu dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927).

Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi

hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Lihat, H. Mohammad Daud Ali,

op. cit., h. 16. 19 Teori receptie dipelopori oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dan

dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh C. van Vollenhoven dan B. ter Haar Bzn

serta dilaksanakan dalam praktek oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Menurut

mereka hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi hukum kalau

telah diterima oleh hukum adat. Lihat, Ibid., h. 17. 20 Teori receptio a contrario dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan

dikembangkan secara sistematis dan dipraktekkan oleh murid-muridnya. Menurut mereka

hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum

Page 60: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

37

kerangka teoretis dalam penulisan disertasi ini berdasarkan

pertimbangan bahwa berlakunya hukum kewarisan Islam di

Indonesia bukan melalui teori receptio in complexu dan teori

receptie melainkan hukum kewarisan Islam berlaku di

Indonesia karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Selain

teori receptio a contrario yang disebutkan di atas, juga

digunakan rumusan-rumusan garis hukum di dalam

perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam yang

dijadikan kerangka teoretis.21

b. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di

Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala21a

1) Pendahuluan

Bila hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan di

Kabupaten Donggala diuraikan, maka perlu diungkapkan: (1)

bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di luar Pengadilan

Agama, yaitu: (1.1) musyawarah ahli waris, (1.2) musyawarah

Dewan Adat, dan (1.3) Pengadilan Negeri, (2) bentuk

pelaksanaan hukum kewarisan di Pengadilan Agama. Dalam

bab ini juga akan diuraikan persesuaian hukum kewarisan

Islam dengan hukum kewarisan adat dan perbedaan hukum

kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten

Donggala.

adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Lihat, Hazairin, op. cit., h. 4. Bandingkan

dengan uraian Sajuti Thalib, op. cit., h. 1 dan 2. 21 Pasal 29 UUD 1945 menjamin untuk pelaksanaan hukum kewarisan Islam di

Indonesia. Demikian juga Pasal 49 ayat (1) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 dan

Instruksi Presiden RI tanggal 10 Juni 1991 mengatur pelaksanaan hukum kewarisan Islam

bagi masyarakat muslim di Indonesia. 21a Hasil Penelitian penulis pada tahun 1995 berkenaan Penyusunan Disertasi

yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan nIslam di Kabupaten Donggala

3) Ketentuan Kewarisan Paman.

Ketentuan kewarisan paman si pewaris, yakni saudara

orangtua si meninggal, secara tegas tidak terdapat di dalam

Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid menetapkan

ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata

kakek dan nenek yang terdapat di dalam hadits Rasulullah dari

Qabisah bin Syu`aib yang diriwayat kan oleh Abu Dawud, Ibn

Majah, dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek dan nenek itu

dapat diartikan dengan memasukkan keturunannya ke

bawah yakni paman.17

2) Kerangka Teoretis

Dalam pengkajian pelaksanaan hukum Islam, termasuk

hukum kewarisan Islam di Indonesia, terjadi perdebatan

sengit antara para ahli hukum mengenai status hukum Islam

dan hukum adat. Karena itu, timbul 3 (tiga) teori mengenai

hubungan hukum Islam dengan hukum adat, yaitu: (1) teori

receptio in complexu,18 (2) teori receptie,19 dan teori receptio a

contrario.20 Teori yang tersebut terakhir ini dijadikan salah satu

17 Lihat, Abu Dawud, op. cit., h. 100. At-Tirmiziy, op. cit., h. 320. Ibn Majah, op.

cit., h.910. Hazairin, Ibid., h. 102. 18 Teori receptio in complexu dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927).

Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi

hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Lihat, H. Mohammad Daud Ali,

op. cit., h. 16. 19 Teori receptie dipelopori oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dan

dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh C. van Vollenhoven dan B. ter Haar Bzn

serta dilaksanakan dalam praktek oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Menurut

mereka hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi hukum kalau

telah diterima oleh hukum adat. Lihat, Ibid., h. 17. 20 Teori receptio a contrario dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan

dikembangkan secara sistematis dan dipraktekkan oleh murid-muridnya. Menurut mereka

hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum

Page 61: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

38

2) Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Luar Pengadilan Agama

Kalau diperhatikan pembagian harta warisan yang

dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala di

luar Pengadilan Agama Kabupaten Donggala, maka tampak 3

(tiga) bentuk pelaksanaan yaitu, (1) pembagian harta warisan

melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan

melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta

warisan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala.

Ketiga bentuk pembagian harta warisan tersebut diuraikan

masing-masing contohnya sebagai berikut.

a) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Ahli Waris

Pembagian harta warisan yang dilakukan melalui

musyawarah ahli waris terjadi dalam bentuk sistem

kemufakatan kekeluargaan yang dilakukan oleh para ahli waris

berdasarkan hak pemilikan individu terhadap harta warisan

mereka, baik di wilayah penduduk perkotaan (Palu),

pegunungan dan daratan (Biromaru dan Dolo) maupun

wilayah penduduk pesisir pantai (Banawa dan Tawaeli).

Kemufakatan tersebut terjadi karena adanya ahli waris yang

dituakan atau adanya kerukunan keluarga di antara para ahli

waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa bukti

pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris di

Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai tahun 1993 sebagai

berikut.

(1) Ahkam22 meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia

meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri

22 Ahkam adalah nama samaran yang digunakan oleh penulis untuk kepentingan

ilmiah dalam penulisan buku ini. Nama sebenarnya ada dalam buku catatan penulis. Selain

itu, digunakan nama samaran dalam penampilan contoh-contoh penyelesaian kasus

kewarisan di Kabupaten Donggala kecuali penyelesaian kasus melalui Pengadilan Agama

dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Penggunaan nama samaran itu, berpedoman

Page 62: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

39

atas 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak

perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat

tinggal, 2 (dua) areal kebun kelapa, tanah perumahan

seluas 946 M2, dan sebuah perhiasan kalung emas. Harta

warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah

berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta

warisan mereka.23 Musyawarah tersebut dilakukan oleh

ahli waris berdasarkan hukum Islam karena ada di antara

ahli waris yang mengetahui pentingnya hukum kewarisan

Islam untuk dilaksanakan dan disetujui oleh ahli waris

lainnya, yaitu anak perempuan mendapat sebuah rumah

tempat tinggal dan sebuah perhiasan kalung emas, 2 (dua)

orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing satu

areal kebun kelapa dan tanah perumahan 473 M2.

Musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan

oleh ahli waris Ahkam tersebut, dapat terlaksana karena

adanya kerukunan di antara para ahli waris dan adanya

ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya3

pada huruf awal nama seseorang, misalnya seseorang bernama Ahamad diganti dengan

nama Ahkam. Hal itu, dilakukan atas saran-saran dari para ahli waris yang diwawancarai. 23 Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu.

3 Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu. Abdul Hamid sebagai salah

seorang ahli waris (Ahkam) mengemukakan bahwa pembagian harta warisan melalui

musyawarah ahli waris mengenai status hak pemilikan individu terhadap harta peninggalan

pewarisnya adalah mencerminkan hukum kewarisan Islam yang menjadi hukum adat

kewarisan di Kabupaten Donggala. Sejalan dengan hal itu, Drs. Amrin Yodo (sekertaris

merangkap anggota Dewan Adat di kelurahan Besusu kecamatan Palu Timur) mengemuka-

kan bahwa "ungkapan istilah llaannggggaaii mmoolleemmbbaa mmoobbiinnee mmaannggggaallaa dijadikan rreecchh iiddee atau cita

hukum dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah, baik musyawarah ahli waris

maupun musyawarah Dewan Adat, kecuali bila ada kesepakatan lain yang diinginkan oleh

ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, ahli waris perempuan diberikan

lebih banyak atau disamakan dengan bagian anak laki-laki atas persetujuan ahli waris

laki-laki berdasarkan pertimbangan bahwa kehidupannya sudah mapan bila dibandingkan

dengan kehidupan saudara perempuannya. Drs. Amrin Yodo, wawancara, 27 Maret 1994 di

Palu.

2) Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Luar Pengadilan Agama

Kalau diperhatikan pembagian harta warisan yang

dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala di

luar Pengadilan Agama Kabupaten Donggala, maka tampak 3

(tiga) bentuk pelaksanaan yaitu, (1) pembagian harta warisan

melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan

melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta

warisan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala.

Ketiga bentuk pembagian harta warisan tersebut diuraikan

masing-masing contohnya sebagai berikut.

a) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Ahli Waris

Pembagian harta warisan yang dilakukan melalui

musyawarah ahli waris terjadi dalam bentuk sistem

kemufakatan kekeluargaan yang dilakukan oleh para ahli waris

berdasarkan hak pemilikan individu terhadap harta warisan

mereka, baik di wilayah penduduk perkotaan (Palu),

pegunungan dan daratan (Biromaru dan Dolo) maupun

wilayah penduduk pesisir pantai (Banawa dan Tawaeli).

Kemufakatan tersebut terjadi karena adanya ahli waris yang

dituakan atau adanya kerukunan keluarga di antara para ahli

waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa bukti

pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris di

Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai tahun 1993 sebagai

berikut.

(1) Ahkam22 meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia

meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri

22 Ahkam adalah nama samaran yang digunakan oleh penulis untuk kepentingan

ilmiah dalam penulisan buku ini. Nama sebenarnya ada dalam buku catatan penulis. Selain

itu, digunakan nama samaran dalam penampilan contoh-contoh penyelesaian kasus

kewarisan di Kabupaten Donggala kecuali penyelesaian kasus melalui Pengadilan Agama

dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Penggunaan nama samaran itu, berpedoman

Page 63: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

40

(2) Gesaratu meninggal tahun 1990 di Palu. Ia mening galkan

harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 (tiga)

orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan.

Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 6

(enam) ekor kambing, dan tanah perumahan seluas 700

M2. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui

musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu

terhadap harta warisan mereka24

Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris

berda-sarkan hukum Islam, yaitu 3 orang anak laki-laki

mendapat bagian masing-masing tanah perumahan seluas

200 M2, seorang anak perempuan mendapat bagian tanah

perumahan seluas 100 M2, dan dua orang anak perempuan

mendapat sebuah rumah tempat tinggal. Menurut Khaerul

Tahwila, "musyawarah pembagian harta warisan yang

dilakukan oleh ahli waris Gesaratu dapat terlaksana melalui

musyawarah karena orangtua mereka sudah

membudayakan kerukunan keluarga dalam kehidupan

rumah tangga dan menjadikan hukum Islam sebagai

pedoman dalam kehidupan rumah tangganya"25.

Dari hasil penelitian ditemukan 35 (tiga puluh lima)

buah kasus pembagian harta warisan melalui musyawarah

ahli waris yang telah diuraikan tampak 4 (empat bentuk

asas-asas hukum kewarisan Islam, yaitu: (1) asas hukum

kewarisan Islam, (2) asas hukum kewarisan adat yang

berjiwa Islami, (3) asas hukum kewarisan adat lama, dan

(4) asas hukum kewarisan Islam di satu pihak dan di pihak

24 Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli

25 Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya, wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli. Hasil

musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu sesuai

hukum Islam, yaitu 2: 1.

Page 64: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

41

lain asas hukum kewarisan adat suku Kaili yang tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Ke empat bentuk

asas-asas hukum kewarisan tersebut akan diuraikan

penyebabnya sebagai berikut.(a) Asas hukum kewarisan Islam tampak dalam

pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli

waris karena ada di antara ahli waris yang dituakan

oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum

kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian

harta warisan dan/atau hukum kewarisan Islam itu

sudah menjadi budaya hukum secara turuntemurun

dalam keluarga pewaris. Selain itu, terjadi kerukunan

keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada

kasus nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21,

22, 23, 31, 32, 33, dan 34.

(b) Asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami

tampak dalam pembagian harta warisan melalui

musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris

yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui

pentingnya hukum kewarisan Islam untuk

dilaksanakan dalam pembagian harta warisan tetapi

harta warisan mereka relatip sedikit, baik harta

warisan yang terdiri atas kebun kelapa, kebun kapok,

tanah sawah, maupun harta warisan yang sifatnya

usaha. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara

para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 6, 8, 9, 12,

18, 20, 25, 27, dan 28.

(c) Asas hukum kewarisan adat lama tampak dalam

pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli

waris bila ada di antara ahli waris yang menginginkan

tidak dibedakan bagian harta warisan anak perempuan

(2) Gesaratu meninggal tahun 1990 di Palu. Ia mening galkan

harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 (tiga)

orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan.

Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 6

(enam) ekor kambing, dan tanah perumahan seluas 700

M2. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui

musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu

terhadap harta warisan mereka24

Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris

berda-sarkan hukum Islam, yaitu 3 orang anak laki-laki

mendapat bagian masing-masing tanah perumahan seluas

200 M2, seorang anak perempuan mendapat bagian tanah

perumahan seluas 100 M2, dan dua orang anak perempuan

mendapat sebuah rumah tempat tinggal. Menurut Khaerul

Tahwila, "musyawarah pembagian harta warisan yang

dilakukan oleh ahli waris Gesaratu dapat terlaksana melalui

musyawarah karena orangtua mereka sudah

membudayakan kerukunan keluarga dalam kehidupan

rumah tangga dan menjadikan hukum Islam sebagai

pedoman dalam kehidupan rumah tangganya"25.

Dari hasil penelitian ditemukan 35 (tiga puluh lima)

buah kasus pembagian harta warisan melalui musyawarah

ahli waris yang telah diuraikan tampak 4 (empat bentuk

asas-asas hukum kewarisan Islam, yaitu: (1) asas hukum

kewarisan Islam, (2) asas hukum kewarisan adat yang

berjiwa Islami, (3) asas hukum kewarisan adat lama, dan

(4) asas hukum kewarisan Islam di satu pihak dan di pihak

24 Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli

25 Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya, wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli. Hasil

musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu sesuai

hukum Islam, yaitu 2: 1.

Page 65: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

42

dengan bagian harta warisan anak laki-laki sebagai

akibat kurang mengetahui pentingnya hukum

kewarisan Islam. Sementara anak laki-laki tidak

menghendaki terjadinya silang sengketa dalam

pembagian harta warisan, sehingga merelakan

sebagian haknya untuk dimiliki oleh saudara

perempuannya. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga

di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor

15, 24, 26, dan 35.

(d) Asas hukum kewarisan Islam dan asas hukum

kewarisan adat suku Kaili tampak dalam pembagian

harta warisan bila ada di antara ahli waris yang

dituakan mengetahui pentingnya hukum kewarisan

Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta

warisan. Di samping itu, terjadi kerukunan keluarga di

antara para ahli waris. Selain itu, mereka mempunyai

harta warisan yang sifatnya tidak terbagi kepada ahli

waris melainkan hanya dapat dimanfaatkan oleh

semua ahli waris dan seluruh kerabat keluarga pewaris.

Misalnya, pada kasus nomor 29 dan 30.

b) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Dewan

Adat

Kalau masyarakat muslim yang mendiami kabupaten

Donggala membagi harta warisannya melalui musyawarah

Dewan Adat26 berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil)

membagi harta warisannya melalui musyawarah di antara

26 Musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah penyelesaian suatu

permasalahan yang dilakukan oleh mereka yang terdiri atas pemuka adat dan pemuka

agama di satu pihak dan di lain pihak ada pemuka agama (baca: Islam) yang berfungsi

ganda, yaitu sebagai pemuka agama dan pemuka adat di suatu Desa, Khaerul Tahwila,

wawancara, tanggal 28 Juli 1994 di desa Baiya kecamatan Tawaeli.

Page 66: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

43

mereka. Kegagalan itu ada yang disebabkan oleh kesalah

pahaman mengenai harta yang diperoleh salah seorang ahli

waris ketika orangtua mereka masih hidup, dan ada yang

disebabkan oleh seorang ahli waris menginginkan

pembagiannya lebih banyak dari ahli waris lainnya.27

Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat

tersebut, ditemukan oleh penulis 16 buah pembagian harta

warisan dan dua kasus diuraikan sebagai berikut.

(1) Abbas meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan

harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua)

orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Harta

warisan itu terdiri atas Rp.1.000.000. Harta warisan tersebut

dimusyawa-rahkan oleh ahli waris berkenaan dengan

status pembagiannya. Namun, musyawarah itu tidak

berhasil sehingga diajukan pembagian harta warisan

melalui musyawarah Dewan Adat di Desa Baiya28

Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris

bersama Dewan Adat berdasarkan kerelaan para ahli waris

(as-sulhu, yaitu seorang anak laki-laki mendapat bagian

Rp. 400.000 dan 2 orang anak perempuan mendapat

bagian masing-masing Rp. 300.000). Kesepakatan itu

disetujui oleh para ahli waris. Pilihan hukum tersebut

dilakukan oleh ketua Dewan Adat karena anak perempuan

menghendaki bagian warisannya tidak dibedakan dengan

27Abd. Hamid mengemukakan bahwa "munculnya masalah kewarisan adalah

adanya ahli waris di satu pihak berpendapat bahwa pemberian orangtua kepada anaknya

selagi orangtua masih hidup termasuk diperhitungkan sebagai pembagian harta warisan

bila terjadi pembagian harta warisan dikemudian hari, di lain pihak ada ahli waris

berpendapat bahwa harta yang diperoleh seorang anak dari orang-tuanya selagi orang-tua

masih hidup hanyalah pemberian bentuk hibah, sehingga ia menuntut hak yang sama

dengan ahli waris lainnya. Anggota Dewan Adat Kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994

di Palu.

28Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.

dengan bagian harta warisan anak laki-laki sebagai

akibat kurang mengetahui pentingnya hukum

kewarisan Islam. Sementara anak laki-laki tidak

menghendaki terjadinya silang sengketa dalam

pembagian harta warisan, sehingga merelakan

sebagian haknya untuk dimiliki oleh saudara

perempuannya. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga

di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor

15, 24, 26, dan 35.

(d) Asas hukum kewarisan Islam dan asas hukum

kewarisan adat suku Kaili tampak dalam pembagian

harta warisan bila ada di antara ahli waris yang

dituakan mengetahui pentingnya hukum kewarisan

Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta

warisan. Di samping itu, terjadi kerukunan keluarga di

antara para ahli waris. Selain itu, mereka mempunyai

harta warisan yang sifatnya tidak terbagi kepada ahli

waris melainkan hanya dapat dimanfaatkan oleh

semua ahli waris dan seluruh kerabat keluarga pewaris.

Misalnya, pada kasus nomor 29 dan 30.

b) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Dewan

Adat

Kalau masyarakat muslim yang mendiami kabupaten

Donggala membagi harta warisannya melalui musyawarah

Dewan Adat26 berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil)

membagi harta warisannya melalui musyawarah di antara

26 Musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah penyelesaian suatu

permasalahan yang dilakukan oleh mereka yang terdiri atas pemuka adat dan pemuka

agama di satu pihak dan di lain pihak ada pemuka agama (baca: Islam) yang berfungsi

ganda, yaitu sebagai pemuka agama dan pemuka adat di suatu Desa, Khaerul Tahwila,

wawancara, tanggal 28 Juli 1994 di desa Baiya kecamatan Tawaeli.

Page 67: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

44

bagian anak laki-laki. Namun, sesudah tokoh agama

memberikan nasehat mengenai pentingnya hukum

kewarisan Islam untuk dilaksanakan maka anak

perempuan tersebut rela bila bagian warisannya kurang

dari saudara laki-lakinya, sedang pihak anak laki-laki tidak

menghendaki terjadinya silang sengketa di antara mereka

sehingga rela menerima sesuai kehendak saudara

perempuannya.29

Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh

ahli waris Abbas melalui musyawarah Dewan Adat bila

dilakukan berdasarkan hukum kewarisan adat lama maka

dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp

666.600 lebih dan seorang anak laki-laki mendapat

bagian Rp 333.300 lebih. Bila dilakukan pembagian harta

warisan berdasarkan hukum Islam, maka dua orang anak

perempuan mendapat bagian Rp 500.000 dan seorang

anak laki-laki mendapat bagian Rp 500.000. Namun,

kedua sistem hukum itu tidak diterapkan karena mereka

menghendaki kerelaan menerima warisan yang telah

disebutkan.

(2) Daeng Siata meninggal tahun 1990 di Balaroa. Ia

meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri

atas 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak

perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat

tinggal, kebun kelapa seluas 925 M2, perhiasan emas

29Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.

Kepala Desa Baiya mengemukakan bahwa "musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah

yang menghasilkan perdamaian di antara mereka yang bersengketa". Hasil musyawarah

Dewan Adat mencerminkan hukum kewarisan adat lama yang hampir tidak membedakan

bagian warisan anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal itu dilakukan oleh Dewan Adat

karena pihak perempuan tidak mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai

bagian dari ajaran agama Islam.

Page 68: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

45

berupa kalung, dan tanah perumahan seluas 1.312,50 M2.

Harta warisan tersebut dikuasai sebagian oleh anak yang

kedua laki-laki, sehingga ahli waris lainnya menuntut

haknya melalui Dewan Adat di Kelurahan Balaroa.30.

Musyawarah tersebut, Dewan Adat menerapkan

hukum Islam, yaitu anak terakhir laki-laki mendapat bagian

kebun kelapa, anak kedua laki-laki mendapat tanah

perumahan, anak pertama perempuan mendapat sebuah

rumah tempat tinggal, dan anak ketiga perempuan

mendapat tanah perumahan bersama perhiasan emas.

Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang

perempuan. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua

Dewan Adat atas persetujuan ahli waris ketika tokoh

agama sudah menyampaikan nasehat kepada ahli waris

mengenai keadilan yang dikandung oleh hukum

kewarisan Islam dan pentingnya hukum kewarisan Islam

untuk dilaksanakan.31

Pembagian harta warisan melalui musyawarah

Dewan Adat yang telah diuraikan 16 (enam belas) buah

kasus, tampak 15 (lima belas) buah kasus mencerminkan

asas hukum kewarisan Islam, yaitu kasus nomor 2 sampai

16. Hal itu menunjukkan peranan ketua dan anggota

Dewan Adat dalam menerapkan hukum kewarisan Islam

amat besar. Peranan ketua dan anggota Dewan Adat itu

tampak karena ada di antara ketua dan anggota Dewan

Adat yang berasal dari tokoh agama Islam yang

30 Abd. Hamid (ketua Dewan Adat di kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994

di Palu.

31 Abd. Hamid (Ketua Dewan Adat Kelurahan Balaroa), wawancara, 27 Juli 1994

di Palu. Ketua adat mengemukakan bahwa ketua dan anggota Dewan Adat merupakan

parner kerja kepala Desa atau kepala kelurahan disetiap tempat pelaksanaan

pemerintahan.

bagian anak laki-laki. Namun, sesudah tokoh agama

memberikan nasehat mengenai pentingnya hukum

kewarisan Islam untuk dilaksanakan maka anak

perempuan tersebut rela bila bagian warisannya kurang

dari saudara laki-lakinya, sedang pihak anak laki-laki tidak

menghendaki terjadinya silang sengketa di antara mereka

sehingga rela menerima sesuai kehendak saudara

perempuannya.29

Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh

ahli waris Abbas melalui musyawarah Dewan Adat bila

dilakukan berdasarkan hukum kewarisan adat lama maka

dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp

666.600 lebih dan seorang anak laki-laki mendapat

bagian Rp 333.300 lebih. Bila dilakukan pembagian harta

warisan berdasarkan hukum Islam, maka dua orang anak

perempuan mendapat bagian Rp 500.000 dan seorang

anak laki-laki mendapat bagian Rp 500.000. Namun,

kedua sistem hukum itu tidak diterapkan karena mereka

menghendaki kerelaan menerima warisan yang telah

disebutkan.

(2) Daeng Siata meninggal tahun 1990 di Balaroa. Ia

meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri

atas 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak

perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat

tinggal, kebun kelapa seluas 925 M2, perhiasan emas

29Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.

Kepala Desa Baiya mengemukakan bahwa "musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah

yang menghasilkan perdamaian di antara mereka yang bersengketa". Hasil musyawarah

Dewan Adat mencerminkan hukum kewarisan adat lama yang hampir tidak membedakan

bagian warisan anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal itu dilakukan oleh Dewan Adat

karena pihak perempuan tidak mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai

bagian dari ajaran agama Islam.

Page 69: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

46

menyampaikan kepada ahli waris mengenai pentingnya

hukum kewarisan Islam dilakukan dalam pembagian harta

warisan, sehingga ahli waris menyadari selaku orang yang

beragama Islam untuk melakukannya. Karena itu, tokoh

agama Islam berfungsi ganda dalam masyarakat muslim di

Kabupaten Donggala, yaitu di satu pihak sebagai anggota

Dewan Adat dan di pihak lain sebagai tokoh agama Islam

yang menyadarkan ahli waris untuk melakukan

pembagian harta warisan berdasarkn hukum Islam. Selain

mencerminkan hukum kewarisan Islam pada pembagian

harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut,

ditemukan kasus nomor 1 yang tidak mencerminkan asas

hukum kewarisan adat lama dan tidak mencerminkan

asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-

Qur`an surah IV: 11, 12, dan 176 tetapi dapat digolongkan

tidak bertentangan hukum kewarisan Islam karena

masing-masing ahli waris rela menerima bagian warisan

yang disepakati melalui musyawarah Dewan Adat.

Kerelaan kedua pihak tersebut, disebut as-sulhu.

c) Pembagian Harta Warisan Melalui Pengadilan Negeri di

Kab. Donggala.

Kalau diperhatikan masyarakat muslim di Kabupaten

Donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 dalam memperoleh

hak warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala,

maka ditemukan 21 buah putusan pengadilan dan

dikemukakan dua buah kasus sebagai berikut.

(1) Amrin v. Ladju cs, 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18 Juni 1990.

Amrin dalam perkara ini sebagai ahli waris yang tidak

ikut menyetujui penjualan harta warisan yang dilakukan

oleh Ladju cs (saudara-saudaranya) sehingga ia

menggugat Ladju cs ke Pengadilan Negeri Kabupaten

Page 70: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

47

Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Gugatan

tersebut menyatakan bahwa Lawasi meninggal tahun

1987 di Tawaeli meninggalkan warisan kepada ahli waris

yang terdiri atas 5 orang anak laki-laki bersama 5 (lima)

orang anak perempuan dan berupa harta yang terdiri atas

sebuah kebun kelapa 100 pohon. Harta tersebut dijual

oleh anak laki-laki yang pertama dan disetujui oleh 8

orang saudaranya.

Pada gugatan tersebut, penggugat mengemukakan

bahwa harta warisan yang menjadi obyek sengketa adalah

harta peninggalan Lawasi (ayah penggugat dan tergugat)

yang belum terbagi kepada ahli warisnya, sehingga

perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat cs

bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang

berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Donggala

karena tanpa sepengetahuan penggugat sebagai ahli

waris. Karena itu, penggugat memohon sita jaminan pada

harta yang menjadi obyek sengketa kepada ketua

Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Berdasarkan

gugatan penggugat, maka tergugat mengemukakan

jawaban bawa ia tidak memberitahukan kepada

penggugat karena tidak ada di Palu, melainkan ia berada

di Jakarta. Selain itu, tergugat mengemukakan bahwa akan

memberikan harta peninggalan lainnya bila tergugat

menuntut hak warisannya. Berdasarkan gugatan ini, hakim

memeriksa perkara tersebut dalam 12 kali sidang. Pada

sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha

mendamaikan kedua pihak dan akhirnya berhasil. Pada

sidang yang ke-12 pihak penggugat mencabut

gugatannya dengan dalil pihak tergugat menginginkan

pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris.

menyampaikan kepada ahli waris mengenai pentingnya

hukum kewarisan Islam dilakukan dalam pembagian harta

warisan, sehingga ahli waris menyadari selaku orang yang

beragama Islam untuk melakukannya. Karena itu, tokoh

agama Islam berfungsi ganda dalam masyarakat muslim di

Kabupaten Donggala, yaitu di satu pihak sebagai anggota

Dewan Adat dan di pihak lain sebagai tokoh agama Islam

yang menyadarkan ahli waris untuk melakukan

pembagian harta warisan berdasarkn hukum Islam. Selain

mencerminkan hukum kewarisan Islam pada pembagian

harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut,

ditemukan kasus nomor 1 yang tidak mencerminkan asas

hukum kewarisan adat lama dan tidak mencerminkan

asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-

Qur`an surah IV: 11, 12, dan 176 tetapi dapat digolongkan

tidak bertentangan hukum kewarisan Islam karena

masing-masing ahli waris rela menerima bagian warisan

yang disepakati melalui musyawarah Dewan Adat.

Kerelaan kedua pihak tersebut, disebut as-sulhu.

c) Pembagian Harta Warisan Melalui Pengadilan Negeri di

Kab. Donggala.

Kalau diperhatikan masyarakat muslim di Kabupaten

Donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 dalam memperoleh

hak warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala,

maka ditemukan 21 buah putusan pengadilan dan

dikemukakan dua buah kasus sebagai berikut.

(1) Amrin v. Ladju cs, 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18 Juni 1990.

Amrin dalam perkara ini sebagai ahli waris yang tidak

ikut menyetujui penjualan harta warisan yang dilakukan

oleh Ladju cs (saudara-saudaranya) sehingga ia

menggugat Ladju cs ke Pengadilan Negeri Kabupaten

Page 71: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

48

Mereka melakukan musyawarah yang menghasilkan

kesepakatan berdasarkan hukum kewarisan adat lama,

yaitu setiap ahli waris mendapat bagian masing-masing

Rp 50.000. Hasil kesepakatan itu disahkan oleh hakim

melalui putusan Akta Perdamaian.32

Putusan pengadilan tersebut mencerminkan

hukum kewarisan adat lama yakni bagian anak laki-laki

sama nilainya dengan bagian anak perempuan. Hal itu

terjadi karena adanya pengaruh ekonomi. Selain itu

ketidaktahuan ahli waris mengenai pentingnya hukum

kewarisan Islam untuk dilaksanakan. Namun putusan itu

tidak bertentangan dengan hukum adat Kaili yang

berlaku dewasa ini karena adanya asas musyawarah yang

mengihlaskan pembagian yang disepakati kedua pihak.

(2) Moh. Kasim Dg. Matjora cs v. Baiduri, 21/Pdt.G/ 1992/Pn.

Palu, 6 Juli 1992. Moh. Kasim Dg. Matjora dalam perkara ini

adalah ahli waris Sunga, sedang Baiduri adalah saudara

pewaris yang menguasai harta peninggalan Sunga,

sehingga Moh. Kasim menggugat Baiduri berdasarkan

hukum kewarisan adat ke Pengadilan Negeri Kabupaten

Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Pada

gugatan itu dinyatakan bahwa Sunga meninggal dunia di

Palu; meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri

atas 5 (lima) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang

anak perempuan dan harta terdiri atas tanah kebun

seluas 2.345 M2. Harta warisan itu dikuasai oleh saudara

pewaris (Baiduri) dan sudah dijual sebagian dengan harga

Rp.510.000.-

32 Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18

Juni 1990.

Page 72: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

49

Pada gugatan tersebut, penggugat menyatakan

bahwa tergugat tidak berhak menjual harta

peninggalan Sunga tanpa sepengetahuan ahli warisnya

(para penggugat). Karena itu, perbuatan hukum yang

dilakukan oleh tergugat bertentangan dengan hukum

kewarisan adat yang berlaku di Kabupaten Donggala.

Berdasarkan gugatan penggugat, pihak tergugat

mengemukakan bahwa harta yang menjadi obek

sengketa adalah harta peninggalan ayahnya yang belum

dibagi waris kepada ahli warisnya sehingga ia berhak

menguasainya. Berdasarkan gugatan penggugat dan

jawaban tergugat, hakim memeriksa alasan-alasan, saksi-

saksi dan bukti-bukti penggugat dan tergugat dalam 7 kali

sidang dan ternyata tergugat tidak mempunyai alat

bukti. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu

berusaha mendamaikan ke dua pihak dan dibantu oleh

pihak keluarga Baiduri sehingga mereka mau berdamai.

Pada sidang terakhir penggugat mencabut gugatannya

dengan dalil pihak tergugat ingin melakukan

musyawarah di antara mereka. Karena itu, saudara

pewaris (Baiduri) mengembalikan tanah kebun dan harga

tanah kepada Moh. Kasim cs. Hasil perdamaian itu

disahkan oleh hakim melalui putusan Akta

Perdamaian.33

Hasil kesepakatan tersebut, mencerminkan hukum

kewarisan adat suku Kaili di satu pihak, yakni tergugat

tidak berhak mewarisi harta peninggalan Sunga karena

pewaris meninggalkan anak sehingga ia mengembalikan

33 Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 21 tanggal 6 Juli 1992

mencerminkan hukum kewarisan Islam karena tidak memberikan warisan kepada saudara

pewaris.

Mereka melakukan musyawarah yang menghasilkan

kesepakatan berdasarkan hukum kewarisan adat lama,

yaitu setiap ahli waris mendapat bagian masing-masing

Rp 50.000. Hasil kesepakatan itu disahkan oleh hakim

melalui putusan Akta Perdamaian.32

Putusan pengadilan tersebut mencerminkan

hukum kewarisan adat lama yakni bagian anak laki-laki

sama nilainya dengan bagian anak perempuan. Hal itu

terjadi karena adanya pengaruh ekonomi. Selain itu

ketidaktahuan ahli waris mengenai pentingnya hukum

kewarisan Islam untuk dilaksanakan. Namun putusan itu

tidak bertentangan dengan hukum adat Kaili yang

berlaku dewasa ini karena adanya asas musyawarah yang

mengihlaskan pembagian yang disepakati kedua pihak.

(2) Moh. Kasim Dg. Matjora cs v. Baiduri, 21/Pdt.G/ 1992/Pn.

Palu, 6 Juli 1992. Moh. Kasim Dg. Matjora dalam perkara ini

adalah ahli waris Sunga, sedang Baiduri adalah saudara

pewaris yang menguasai harta peninggalan Sunga,

sehingga Moh. Kasim menggugat Baiduri berdasarkan

hukum kewarisan adat ke Pengadilan Negeri Kabupaten

Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Pada

gugatan itu dinyatakan bahwa Sunga meninggal dunia di

Palu; meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri

atas 5 (lima) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang

anak perempuan dan harta terdiri atas tanah kebun

seluas 2.345 M2. Harta warisan itu dikuasai oleh saudara

pewaris (Baiduri) dan sudah dijual sebagian dengan harga

Rp.510.000.-

32 Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18

Juni 1990.

Page 73: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

50

kepada ahli warisnya dan di pihak lain mencerminkan

hukum kewarisan Islam karena saudara pewaris

mengembalikan harta warisan kepada ahli waris Sunga

(penggugat) sebagai orang yang berhak mewaris.

Dari 21 (dua puluh satu) buah kasus pembagian harta

warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala

yang telah telah diuraikan, ditemukan pencerminan

hukum adat Kaili yang sesuai hukum Islam sebanyak 7

(tujuh) buah kasus, yaitu kasus nomor 7, 8, 11, 13, 17, 19,

dan 21. Demikian juga putusan pengadilan yang

mencerminkan hukum kewarisan adat yang berasaskan

musyawarah mufakat antara penggugat dan tergugat

dapat dianggap tidak bertentangan hukum Islam, yaitu

kasus nomor 1, 2, 3, 4, dan 5.

Selain mencerminkan hukum kewarisan adat dan Islam

yang telah diuraikan ditemukan juga asas-asas hukum

kewarisan adat lama satu kasus, yaitu kasus nomor 11. Sebalik-

nya, ditemukan juga putusan pengadilan yang tidak men-

cerminkan asas-asas hukum, baik asas hukum adat maupun

asas hukum Islam, melainkan hal itu hanya berpedoman

kepada formalitas beracara di pengadilan, yaitu kasus nomor

6, 9, 10, 12, 14, 15, 18, dan 20.

d) Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan

Agama Kabupaten Donggala

Putusan Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh

Pengadilan Agama Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai

dengan tahun 1993 ditemukan 6 (enam) buah kasus

pembagian harta warisan dan dua kasus diantaranya

dikemukakan sebagai berikut.

Page 74: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

51

(1) H. Baharuddin dan Rabiah bin H. Baele v. Hj. Hajare binti

H. Baele cs, 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990.

H. Baharuddin dan Rabiah H. Baele dalam perkara ini

adalah ahli waris anak laki-laki dan perempuan, sedang Hj.

Hadjare cs adalah ahli waris anak perempuan bersama

janda istri ke dua dan anaknya sebagai penguasa harta

peninggalan H. Baele yang belum terbagi kepada ahli

warisnya. Karena itu, H. Baharuddin dan Rabiah

menggugat Hj. Hajare cs berdasarkan hukum Islam ke

Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk

memperolah hak warisannya dengan cara menjual rumah.

Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa H. Baele

meninggal tahun 1988 di Palu. Ia meninggalkan warisan

kepada ahli waris yang terdiri atas 3 orang anak

perempuan bersama 2 orang anak laki-laki dari istri

pertama, seorang anak perempuan bersama seorang anak

laki-laki dari istri kedua, janda istri kedua; harta yang

ditinggalkannya terdiri atas dua buah rumah tempat

tinggal. Harta berupa sebuah rumah tempat tinggal

dikuasai oleh istri kedua dan sebuah rumah lainnya

dikuasai oleh anak kedua sampai anak kelima dari istri

pertama. Pihak tergugat mengemukakan bahwa harta

yang dikuasinya adalah harta peninggalan pewarisnya dan

ia adalah termasuk ahli waris sehingga ia berhak

menempati rumah yang menjadi obyek sengketa

warisan.34

Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban

tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti,

ternyata bahwa penggugat dan tergugat belum

34Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor

169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990.

kepada ahli warisnya dan di pihak lain mencerminkan

hukum kewarisan Islam karena saudara pewaris

mengembalikan harta warisan kepada ahli waris Sunga

(penggugat) sebagai orang yang berhak mewaris.

Dari 21 (dua puluh satu) buah kasus pembagian harta

warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala

yang telah telah diuraikan, ditemukan pencerminan

hukum adat Kaili yang sesuai hukum Islam sebanyak 7

(tujuh) buah kasus, yaitu kasus nomor 7, 8, 11, 13, 17, 19,

dan 21. Demikian juga putusan pengadilan yang

mencerminkan hukum kewarisan adat yang berasaskan

musyawarah mufakat antara penggugat dan tergugat

dapat dianggap tidak bertentangan hukum Islam, yaitu

kasus nomor 1, 2, 3, 4, dan 5.

Selain mencerminkan hukum kewarisan adat dan Islam

yang telah diuraikan ditemukan juga asas-asas hukum

kewarisan adat lama satu kasus, yaitu kasus nomor 11. Sebalik-

nya, ditemukan juga putusan pengadilan yang tidak men-

cerminkan asas-asas hukum, baik asas hukum adat maupun

asas hukum Islam, melainkan hal itu hanya berpedoman

kepada formalitas beracara di pengadilan, yaitu kasus nomor

6, 9, 10, 12, 14, 15, 18, dan 20.

d) Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan

Agama Kabupaten Donggala

Putusan Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh

Pengadilan Agama Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai

dengan tahun 1993 ditemukan 6 (enam) buah kasus

pembagian harta warisan dan dua kasus diantaranya

dikemukakan sebagai berikut.

Page 75: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

52

memperoleh hak warisan. Karena itu, hakim memutuskan

bahwa gugatan penggugat diterima sebagian, yaitu 5

(lima) orang anak dari istri pertama mendapat sebuah

rumah tempat tinggal di Palu, sedangkan istri kedua

bersama dua orang anaknya mendapat sebuah rumah

tempat tinggal di Tawaili.35

Putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan

hukum kewarisan Islam, melainkan hanya mencerminkan

hukum kewarisan adat suku Kaili, yaitu pembagian harta

warisan secara kollektip kepada ahli waris, sehingga

memungkinkan muncul masalah baru kepada yang

berhak menerima warisan kollektip.

(2) Yandi v. ahli waris lainny, 122/Pdt.G/ 1991/PA. Palu, 23

Juli 1991. Yandi dalam perkara ini adalah ahli waris anak

laki-laki menggugat ahli waris perempuan sebagai

penguasa harta peninggalan ayahnya ke Pengadilan

Agama Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak

warisannya sesuai hukum Islam. Pada gugatan tersebut,

dinyatakan bahwa Yabakita meninggal tahun 1952 di

Tatanga. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri atas 2 (dua)

orang anak laki-laki, 3 (tiga) orang anak laki-laki bersama

seorang anak perempuan melalui anak perempuan

pertama yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2

(dua) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak

perempuan melalui anak laki-laki kedua yang lebih dahulu

meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak

35 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor

169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990 tampak tidak membedakan bagian seorang

anak laki-laki dengan bagian seorang anak perempuan, dan janda istri kedua. Selain itu,

tidak membedakan harta perkawinan istri pertama dengan istri kedua. Namun, kedua

pihak menerima putusan itu.

Page 76: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

53

perempuan bersama seorang anak laki-laki melalui anak

laki-laki ketiga yang meninggal lebih dahulu dari

pewarisnya.36

Harta warisan yang ditinggalkannya terdiri atas

kebun kelapa 764 pohon, tanah perumahan 1200 meter.

Harta tanah perumahan itu belum terbagi kepada ahli

warisnya dan dikuasai oleh anak laki-laki dan perempuan

melalui anak pertama perempuan yang meninggal lebih

dahulu dari pewarisnya berdasarkan wasiat pewaris.

Karena itu, penggugat menuntut warisannya berdasarkan

hukum Islam. Pihak penggugat mengemukakan bahwa

harta yang dikuasainya adalah pemberian pewaris melalui

surat wasiat.37

Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban

tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti

dalam persidangan, terungkap bahwa wasiat pewaris tidak

disetujui oleh ahli waris lainnya. Karena itu, hakim

membatalkan wasiat pewaris dan harta peninggalan

dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan

hukum kewarisan Islam, yaitu anak laki-laki dan

perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya

digantikan kedudukannya oleh anaknya atau

keturunannya. Selain itu, bagian warisan seorang anak

36 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor

122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Juli 1991.

37 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor

122/Pdt.G/1991/PA.Palu, 23 Juli 1991 mempunyai pertimbangan hukum bahwa wasiat

kepada ahli waris tertentu yang tidak disetujui oleh ahli waris lainnya adalah batal demi

hukum atau dibatalkan oleh hakim.

memperoleh hak warisan. Karena itu, hakim memutuskan

bahwa gugatan penggugat diterima sebagian, yaitu 5

(lima) orang anak dari istri pertama mendapat sebuah

rumah tempat tinggal di Palu, sedangkan istri kedua

bersama dua orang anaknya mendapat sebuah rumah

tempat tinggal di Tawaili.35

Putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan

hukum kewarisan Islam, melainkan hanya mencerminkan

hukum kewarisan adat suku Kaili, yaitu pembagian harta

warisan secara kollektip kepada ahli waris, sehingga

memungkinkan muncul masalah baru kepada yang

berhak menerima warisan kollektip.

(2) Yandi v. ahli waris lainny, 122/Pdt.G/ 1991/PA. Palu, 23

Juli 1991. Yandi dalam perkara ini adalah ahli waris anak

laki-laki menggugat ahli waris perempuan sebagai

penguasa harta peninggalan ayahnya ke Pengadilan

Agama Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak

warisannya sesuai hukum Islam. Pada gugatan tersebut,

dinyatakan bahwa Yabakita meninggal tahun 1952 di

Tatanga. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri atas 2 (dua)

orang anak laki-laki, 3 (tiga) orang anak laki-laki bersama

seorang anak perempuan melalui anak perempuan

pertama yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2

(dua) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak

perempuan melalui anak laki-laki kedua yang lebih dahulu

meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak

35 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor

169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990 tampak tidak membedakan bagian seorang

anak laki-laki dengan bagian seorang anak perempuan, dan janda istri kedua. Selain itu,

tidak membedakan harta perkawinan istri pertama dengan istri kedua. Namun, kedua

pihak menerima putusan itu.

Page 77: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

54

laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak

perempuan38

Putusan Pengadilan tersebut mencerminkan asas

hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an

surah IV: 11, 12, dan 33, yaitu ahli waris yang meninggal

lebih dahulu dari orangtuanya digantikan oleh

turunannya.

Kesimpulan

1. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis

berdasarkan Sila Pertama Pancasila

2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis

berdasarkan Pasal 29 UUD 1945

3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis

diterima oleh masyarakat muslim yang mendiami negara

republik Indonesia berdasarkan fakta hukum melalui putusan

Pengadilan Agama

4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis

berdasarkan teori recepcie in complexu dan teori receptio a

contrario

5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di

Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala melalui 4

38 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor

122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Agustus 1991. Pertimbangan hukum putusan itu adalah Pasal

184, dan 185 Kompilasi hukum Islam, dan Pasal 49 ayat (3) Undang-undang nomor 7 Tahun

1989.

Page 78: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

55

(empat) bentuk, yaitu Melalui musyawarah ahli waris, melalui

musyawarah dewan adat, melalui Pengadilan Agama, dan

Melalui Pengadilan Umum (Negeri). Ke empat bentuk

penyelesaian pembagian harta warisan dimaksud,

mencerminkan asas-asas hukum kewarisan Islam, hukum

kewarisan adat yang menjiwai hukum kewarisan Islam, dan

asas hukum kewarisan adat lama sebagai akibat ketidak

tahuan filosofi hukum kewarisan Islam.

Daftar Pustaka

Abdrrahman, H., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika

Pressindo, 1992

Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press,

1984

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-

Halabi, 1952

Ahmad Kamil KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, Qahirah: al-Majlis

a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966

Ali, Mohammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem

Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah, 1985.

---------. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991

Ali, Zainuddif, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten

Donggala, Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998

---------. Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,

Cetakan ke 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938

laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak

perempuan38

Putusan Pengadilan tersebut mencerminkan asas

hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an

surah IV: 11, 12, dan 33, yaitu ahli waris yang meninggal

lebih dahulu dari orangtuanya digantikan oleh

turunannya.

Kesimpulan

1. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis

berdasarkan Sila Pertama Pancasila

2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis

berdasarkan Pasal 29 UUD 1945

3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis

diterima oleh masyarakat muslim yang mendiami negara

republik Indonesia berdasarkan fakta hukum melalui putusan

Pengadilan Agama

4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama

Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis

berdasarkan teori recepcie in complexu dan teori receptio a

contrario

5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di

Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala melalui 4

38 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor

122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Agustus 1991. Pertimbangan hukum putusan itu adalah Pasal

184, dan 185 Kompilasi hukum Islam, dan Pasal 49 ayat (3) Undang-undang nomor 7 Tahun

1989.

Page 79: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

56

Azdiy Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as as-Sajistan al. Sunan

Abu Dawud. Jilid 2. Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi,

1952.

Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam. Jogyakarta:

Nurcahaya, 1983.

Azhary, H.M. Tahir.. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-Hild-

Co, 1992.

B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan

oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnja Paramita, 1953Bukhari, Muhammad bin Ismail al. Sahih al-Bukhari. Jilid 8,

Qahirah: Dar as-Sya`bi, tanpa tahun.

David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of

Inheritance, America: International Microfilms University

Press, 1986

Djafar, H. Moh. "Polemik Antara Prof. Dr. Hazairin dan Para

Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut

Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbandingan". Disertasi

Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith.

Jakarta: Tintamas, 1990.

Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah,

Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-

Halabi, tanpa tahun Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2,

Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun

Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-

Qanun, Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978

Page 80: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

57

Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-

Wasiyyat, Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa

tahun

Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, Delhi: Kalam Mahal

Darya Ganj, 1977

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina

Aksara, 1981

Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-Fikr al-

Hadits lit-tab`i wannasyar, 1962

Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary,

Myland: Amana Corp Brentwood, 1983

Azdiy Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as as-Sajistan al. Sunan

Abu Dawud. Jilid 2. Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi,

1952.

Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam. Jogyakarta:

Nurcahaya, 1983.

Azhary, H.M. Tahir.. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-Hild-

Co, 1992.

B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan

oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnja Paramita, 1953Bukhari, Muhammad bin Ismail al. Sahih al-Bukhari. Jilid 8,

Qahirah: Dar as-Sya`bi, tanpa tahun.

David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of

Inheritance, America: International Microfilms University

Press, 1986

Djafar, H. Moh. "Polemik Antara Prof. Dr. Hazairin dan Para

Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut

Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbandingan". Disertasi

Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith.

Jakarta: Tintamas, 1990.

Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah,

Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-

Halabi, tanpa tahun Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2,

Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun

Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-

Qanun, Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978

Page 81: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

58

Page 82: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

59

PARADIGMA BARU HUKUM WARIS ISLAM DI

INDONESIA

Edi Riadi

Latar Belakang

Hukum Waris Islam yang dibangun sejak abad ke tujuh

masehi sampai saat ini, dalam tataran teoritis, tidak mengalami

perubahan dan senantiasa akan tetap dipertahankan seperti itu

karena hukum waris Islam dianggap hukum Tuhan yang berlaku

sepanjang masa dan tidak menerima perubahan. Para fuqaha (ahli

di bidang hukum Islam) berpendapat hukum waris Islam dan

begitu juga bidang hukum Islam lainnya dianggap merupakan

perintah Allah swt. yang harus dilaksanakan apa adanya tanpa

reserve sehingga hukum tersebut diistilahkan dengan hukum

ta’abbudi (wajib diikuti sebagai ibadah/kepatuhan kepada Allah

swt.), bukan hukum ta’aqulli yaitu hukum yang dapat dilakukan

perubahan sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya

masyarakatnya.

Persepsi para fuqaha mengenai hukum Islam, khususnya

hukum waris Islam, seperti itu berdampak stagnasi hukum Islam

itu sendiri, sehingga tertinggal dari sistem hukum lain yang

senantiasa mengalami perubahan. Sistem hukum waris Islam, pada

zamannya, dapat dikatakan sebagai hukum waris yang sangat

modern dibanding dengan sistem hukum waris lain. Ambil contoh

sebagai perbandingan, di beberapa negara bagian Amerika pada

abad ke 19 jika seorang meninggal dunia harta warisan khususnya

yang berbentuk properti diwariskan kepada anak laki-laki sulung.11

11 Lawrence M. Friedman, A History of American Law, New York, Simon and

Schuster, 2005, H.29.

Page 83: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

60

Pewarisan seperti demikian sudah lama dihapus oleh Islam sejak

saat penyebaran Islam di Madinah lima belas abad lalu dengan

menerapkan hukum waris yang berbasiskan keadilan tanpa

membedakan antara laki-laki dan perempuan serta tanpa

membedakan dewasa atau belum dewasa. Walaupun porsi

perempuan hanya mendapat setengah bagian dari porsi laki-laki,

namun demikian porsi waris perempuan tersebut merupakan

terobosan paling kotroversial pada zaman itu, karena pada saat itu

wanita tidak memiliki hak untuk mewaris bahkan wanita dijadikan

objek warisan seperti benda.12

Hukum waris Islam yang lima belas abad lalu merupakan

hukum paling modern, pada masa kini menjadi hukum yang

kehilangan ruh kemodernan dan ruh keadilannya ditengah

perkembangan sosio-kultural masyarakat kini. Problem beda

agama dan anak angkat yang menjadi penghalang pewarisan,

bagian wanita separuh dari laki-laki dalam hukum waris Islam

mendapat kritikan tajam dari kalangan ahli hukum modern. Lebih

dari itu lembaga dzawil arham13 yang dibangun para fuqaha

merupakan problem hukum waris Islam lainnya yang sangat

kontroversial dan bias gender. Lembaga dzawil arham sebagai

model hukum waris Islam yang dibangun atas landasan pola

berfikir masyarakat Arab yang patrilineal sangat tidak relevan

dengan rasa keadilan masyarakat modern. Sistem hukum waris

Islam yang dibangun fuqaha lima belas abad yang lalu, pada masa

12 Muhammad Ahmad Ismail al-Muqarrim, al-Mar’ah Baina Takrim al-Islami wa

Ihanati al-Jahiliyyati, Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005, h.57.

13 Dzawil arham kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris akan

tetapi tidak termasuk ahli waris seperti cucu dari anak perempuan, perempuan keturunan

dari saudara sekandung dan seayah, keturunan dari saudara seibu, bibi dar pihak ayah,

paman dan bibi dari pihak ibu, perempuan keturunan dari paman pihak ayah, kakek dari

pihak ibu. Lihat A. Hussain, The Islamic Law of Succession, Riyad, Darussalam, 2005, h.

164,181, 211, 218, 228,285; Lihat pula Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfah al-

Muhtaj bi Syarhi al-Muhtaj, Kairo, Dar al-Fikr, tth. H. 393.

Page 84: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

61

sekarang sudah tidak berpihak pada keadilan, pluralisme, dan

kesetaraan gender sehingga sulit diterima oleh masyarakat

modern yang menjunjung tinggi kesetaraan gender dan

pluralisme.14

Upaya pembaharuan hukum Islam banyak dilontarkan

para pemikir Muslim. Contoh sangat kontroversial diprakarsai

Abdullah Ahmed an-Naim dengan teori nasikh mansukh ayat-ayat

madaniyah yang dianggapnya bersifat sektoral dan temporal oleh

ayat-ayat makiyyah yang menurutnya bersifat universal,15 Syahrur

dengan teori limit memaknai al-Qur’an surah al-Nisa IV:11,12, 176

yang mengatur porsi waris anak wanita , saudara wanita, dan istri

mendapat separuh dari anak laki-laki, saudara laki dan suami

merupakan batas minimal sehingga porsi anak wanita, saudara

wanita, dan istri dapat berubah menjadi sama yang dengan porsi

anak laki-laki, saudara laki-laki, dan suami.16 Pembaruan pemikiran

hukum Islam yang dimunculkan oleh Abdullah Ahmed an-Naim

dan pemikir Islam lainnya sulit diterima oleh fuqaha yang

memahami hukum sebagai ketentuan ta’abbudi.

Di Indonesia, Hazairin sebagai pembaru hukum waris

Islam pertama melontarkan teori “Waris Bilateral” selanjutnya

diikuti oleh Munawir Sadzali dengan gagasan reaktualisasi hukum

Islam. Hazairin berpendapat ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur

tentang hukum waris mencita-citakan bentuk masyarakat

14 Lihat Robert Spencer, Islam Unveiled, San Francisco, Encounter Books, 2002,

h.73-92.

15 Abdullah Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties,

Human Right and International Law, (Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasaan Sipil, Hak

Asasi Manusia dan Hubungan International, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani,

Yogyakarta, LKiS, 1994, h.110.

16 Muhammad Shahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqhi al-Islami, (terj. Sahiron

Syamsuddin dan Burhanudin), Yogyakarta, Elsaq press, 2004, h.317-424.

Pewarisan seperti demikian sudah lama dihapus oleh Islam sejak

saat penyebaran Islam di Madinah lima belas abad lalu dengan

menerapkan hukum waris yang berbasiskan keadilan tanpa

membedakan antara laki-laki dan perempuan serta tanpa

membedakan dewasa atau belum dewasa. Walaupun porsi

perempuan hanya mendapat setengah bagian dari porsi laki-laki,

namun demikian porsi waris perempuan tersebut merupakan

terobosan paling kotroversial pada zaman itu, karena pada saat itu

wanita tidak memiliki hak untuk mewaris bahkan wanita dijadikan

objek warisan seperti benda.12

Hukum waris Islam yang lima belas abad lalu merupakan

hukum paling modern, pada masa kini menjadi hukum yang

kehilangan ruh kemodernan dan ruh keadilannya ditengah

perkembangan sosio-kultural masyarakat kini. Problem beda

agama dan anak angkat yang menjadi penghalang pewarisan,

bagian wanita separuh dari laki-laki dalam hukum waris Islam

mendapat kritikan tajam dari kalangan ahli hukum modern. Lebih

dari itu lembaga dzawil arham13 yang dibangun para fuqaha

merupakan problem hukum waris Islam lainnya yang sangat

kontroversial dan bias gender. Lembaga dzawil arham sebagai

model hukum waris Islam yang dibangun atas landasan pola

berfikir masyarakat Arab yang patrilineal sangat tidak relevan

dengan rasa keadilan masyarakat modern. Sistem hukum waris

Islam yang dibangun fuqaha lima belas abad yang lalu, pada masa

12 Muhammad Ahmad Ismail al-Muqarrim, al-Mar’ah Baina Takrim al-Islami wa

Ihanati al-Jahiliyyati, Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005, h.57.

13 Dzawil arham kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris akan

tetapi tidak termasuk ahli waris seperti cucu dari anak perempuan, perempuan keturunan

dari saudara sekandung dan seayah, keturunan dari saudara seibu, bibi dar pihak ayah,

paman dan bibi dari pihak ibu, perempuan keturunan dari paman pihak ayah, kakek dari

pihak ibu. Lihat A. Hussain, The Islamic Law of Succession, Riyad, Darussalam, 2005, h.

164,181, 211, 218, 228,285; Lihat pula Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfah al-

Muhtaj bi Syarhi al-Muhtaj, Kairo, Dar al-Fikr, tth. H. 393.

Page 85: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

62

bilateral.17 Sehingga dengan landasan berfikir semacam itu,

Hazairin memahami Hadits tentang kewarisan bukan merupakan

produk hukum yang berlaku umum dan abadi bagi semua ummat

Islam, akan tetapi harus dipahami sebagai produk peradilan yang

berlaku parsial dan temporal dalam menyelesaikan kasus-

perkasus.18 Sedangkan Munawir Sadzali melontarkan kritikan porsi

waris wanita setengah bagian dari laki-laki dengan memandang

hukum Islam secara kontekstual.19 Menurut Munawir Sazali hukum

Islam tidak sepenuhnya ta’abbudi melainkan mengadung sifat

ta’aquli, sehingga hukum Islam lentur untuk menerima perubahan-

perubahan sesuai perkembangan zaman dan budaya masyarakat.

1. Hukum ideal dan realistis.

Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan.

Sedangkan hukum realistis adalah hukum yang dihasilkan dengan

cara mensinergikan hukum ideal dan hukum berlaku ditengah

masyarakat. Hukum ideal bermuatan rasa keadilan universal,

sedangkan hukum realistis bermuatan keadilan lokal dan

temporal. Hukum ideal tidak mungkin diberlakukan ditengah

masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa

mempertimbangkan kesadaran hukum masyarakat tersebut pada

masanya. Oleh karena itu proses sinergi hukum ideal dengan

hukum yang berlaku dalam masyarakat menjadi hukum realistis

merupakan suatu keniscayaan agar hukum tersebut bermuatan

rasa keadilan masyarakat. Karakteristik hukum realistis hanya

berlaku dalam masyarakat pada masa tertentu, dan belum tentu

dapat diberlakukan dalam masyarakat lainnya dalam kurun waktu

17 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Jakarta,

Tintamas, 1981, h.13.

18 Ibid, h. 94.

19 Munawir Sjadzali, Dari Lembah kemiskinan, dalam Muhammad Wahyuni Navis

(ed.), Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta, Paramadina, 1995, h.87-96.

Page 86: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

63

yang sama atau kurun waktu berbeda karena rasa keadilan

masyarakatnya berbeda. Hukum waris fikih adalah hukum realistis

untuk masyarakat Arab pada masa itu oleh karenanya mungkin

banyak kaidah hukum waris ala fikih yang sudah tidak relevan

untuk masyarakat Indonesia pada masaa kini. Dalam hal inilah

diperlukan tajdid hukum yang berkesinambungan paralel dengan

tuntutan keadilan lokal sebagai akibat perubahan sosio-kultural

masyarakat.

Al-Qur’an surah al-Nisa IV:7 diturunkan untuk merubah

realitas sosio-kultural masyarakat Arab pada masa itu yang

membedakan wanita dari laki-laki. Masyarakat Arab menempatkan

laki-laki sebagai subjek hukum sedangkan wanita sebagai objek

hukum. Bahkan wanita pada masa itu dapat diwarisi karena

dianggap sebagai objek hukum. Al-Qur’an surah al-Nisa IV:7

tersebut merupakan kaidah yang berfungsi sebagai tool of social

engineering mendudukkan wanita dan laki-laki setara didepan

hukum, keduanya menjadi subjek hukum, oleh karenanya ayat

tersebut merupakan hukum ideal, dimana laki-laki dan perempuan

sama-sama dapat mewaris baik dalam keluarga inti maupun

dalam keluarga besar. Ayat tersebut bermuatan keadilan universal,

sehingga bersifat qath’i yang tidak akan mengalami perubahan.

Adapun Al-Qur’an surah al-Nisa 11, 12 dan 176 dan Hadits Nabi

Muhammad mengenai kewarisan merespon kultur masyarakat

yang mengkondisikan laki-laki berperan penuh dalam hampir

semua wilayah kehidupan, karena pada umumnya semua wilayah

kehidupan saat itu bergantung pada kekuatan fisik yang dimiliki

laki-laki. Ayat 11, 12, dan 176 dan Hadits Nabi Muhammad tentang

kewarisan yang mempertimbangkan peran besar laki-laki dan

peran domestik kaum wanita dalam kontek sosio kultural

masyarakat Arab pada masanya merupakan hukum realistik,

sehingga pada umumnya dalam tiga ayat dan Hadits Nabi

bilateral.17 Sehingga dengan landasan berfikir semacam itu,

Hazairin memahami Hadits tentang kewarisan bukan merupakan

produk hukum yang berlaku umum dan abadi bagi semua ummat

Islam, akan tetapi harus dipahami sebagai produk peradilan yang

berlaku parsial dan temporal dalam menyelesaikan kasus-

perkasus.18 Sedangkan Munawir Sadzali melontarkan kritikan porsi

waris wanita setengah bagian dari laki-laki dengan memandang

hukum Islam secara kontekstual.19 Menurut Munawir Sazali hukum

Islam tidak sepenuhnya ta’abbudi melainkan mengadung sifat

ta’aquli, sehingga hukum Islam lentur untuk menerima perubahan-

perubahan sesuai perkembangan zaman dan budaya masyarakat.

1. Hukum ideal dan realistis.

Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan.

Sedangkan hukum realistis adalah hukum yang dihasilkan dengan

cara mensinergikan hukum ideal dan hukum berlaku ditengah

masyarakat. Hukum ideal bermuatan rasa keadilan universal,

sedangkan hukum realistis bermuatan keadilan lokal dan

temporal. Hukum ideal tidak mungkin diberlakukan ditengah

masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa

mempertimbangkan kesadaran hukum masyarakat tersebut pada

masanya. Oleh karena itu proses sinergi hukum ideal dengan

hukum yang berlaku dalam masyarakat menjadi hukum realistis

merupakan suatu keniscayaan agar hukum tersebut bermuatan

rasa keadilan masyarakat. Karakteristik hukum realistis hanya

berlaku dalam masyarakat pada masa tertentu, dan belum tentu

dapat diberlakukan dalam masyarakat lainnya dalam kurun waktu

17 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Jakarta,

Tintamas, 1981, h.13.

18 Ibid, h. 94.

19 Munawir Sjadzali, Dari Lembah kemiskinan, dalam Muhammad Wahyuni Navis

(ed.), Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta, Paramadina, 1995, h.87-96.

Page 87: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

64

Muhammad tentang kewarisan membedakan kedudukan dan

hak laki-laki dari wanita dalam hukum kewarisan. Oleh karena itu

ketiga ayat dan Hadits Nabi Muhammad tentang kewarisan

tersebut bermuatan keadilan lokal dan temporal sehingga bersifat

dzonni. Pemahaman qath’i dan dzanni dalam ayat dan Hadits

hukum tidak mesti dilihat dari sisi linguistik maupun periwayatan

melainkan dapat dilihat dari sisi muatan keadilannya. Ayat dan

hadits yang bermuatan keadilan universal merupakan dalil qath’i,

sedangkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang bermuatan keadilan

lokal dan temporal merupakan dalil dzanni.

2. Dialektik tafsir tekstual dan kontekstual.

Pada masa awal Islam, tingkat moderasi tafsir terhadap

teks Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad sangat tinggi. Para

sahabat berkreasi memahami teks Al-Qur’an dan Hadits sesuai

tingkat keluasan dan kedalaman pengetahuannya. Zaid bin Tsabit

yang dijuluki oleh Nabi Muhammad sebagai sahabat yang afqahu

shahabah fiilmi al-irst merupakan orang yang luas

pengetahuannya dibidang hukum kewarisan masyarakat Arab,

sehingga ia lebih mampu memahami teks Al-Qur’an dan Hadits

tentang kewarisan yang bersinergi dengan hukum yang berlaku

pada masyarakat Arab saat itu. Sedangkan Ibnu Abbas hanya

memiliki kemampuan memahami teks al-Qur’an dan Hadits

tentang kewarisan tanpa memiliki kemampuan mensinergikan

dengan hukum adat masyarakat Arab. Tafsir Zaid bin Tsabit

tentang waris merupakan mainstream sehingga banyak diikuti

para fuqaha, karena pendapat Zaid bin Tsabit sangat dirasakan

sesuai dengan keadilan masyarakat setempat saat itu. Aliran Ibnu

Abbas banyak ditinggalkan para fuqaha karena tidak bermuatan

keadilan lokal, sehingga tafsir Ibnu Abbas tidak sesuai dengan rasa

keadilan masyarakat Arab pada masanya. Akan tetapi tafsir Ibnu

Abbas lebih dirasa bermuatan keadilan pada masa kini. Tafsir Ibnu

Page 88: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

65

Abbas mengenai kata walad dalam Al-Qur’an surah Al-nisa IV:176

mencakup anak laki-laki dan wanita selaras dengan pergeseran

keluarga moderen yang meninggalkan keluarga besar menjadi

keluarga inti, dimana saudara sebagai keluarga besar baru dapat

mewaris jika pewaris tidak meninggalkan keturunan. Demikian

halnya tafsiran Ibnu Abbas terhadap Al-Qur’an surah al-Nisa IV:11

dalam kalimat ‘fain lam yakun lahu waladun wawaritsahu abawahu

fali ummihi altsuluts’ bahwa ibu mendapat dari sepertiga besar

mengindikasikan ibu setara dengan ayah, karena ibu dalam kasus

tertentu bisa memperoleh waris melebihi porsi ayah. Tafsir Ibnu

Abbas ini menghilangkan asas 2 : 1 antara porsi laki-laki dengan

porrsi perempuan.

Tafsir Zaid bin Tsabit merupakan tafsir kontekstual pada

masa itu, sehingga menciptakan hukum progresif yang

membentuk hukum realistis dan diterima masyarakat Arab,

sedangkan tafsir ibnu Abbas merupakan tafsir tekstual pada masa

itu bermuatan hukum ideal dan tidak realistis, sehingga

membentuk hukum yang tidak bermuatan keadilan lokal dan

temporal pada masanya, yang berakibat tereliminasi karena tidak

populer ditengah masyarakat Arab saat itu. Namun demikian tafsir

Ibnu Abbas mendekati hukum ideal sehingga relevan untuk

diterapkan pada masa kini.

3. Perkembangan hukum waris di Indonesia.

Reaktualilasi hukum waris Islam yang dilontarkan oleh

Hazairin dan Munawir Sadzali baru diterima dan diterapkan oleh

para hakim Pengadilan Agama setelah hukum waris, perkawinan,

dan wakaf dikodifikasikan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam

(KHI). KHI khususnya mengenai bab kewarisan merupakan hukum

yang realistis, karena banyak menyerap hukum adat yang berlaku

di Indonesia sehingga bermuatan rasa keadilan masyarakat.

Muhammad tentang kewarisan membedakan kedudukan dan

hak laki-laki dari wanita dalam hukum kewarisan. Oleh karena itu

ketiga ayat dan Hadits Nabi Muhammad tentang kewarisan

tersebut bermuatan keadilan lokal dan temporal sehingga bersifat

dzonni. Pemahaman qath’i dan dzanni dalam ayat dan Hadits

hukum tidak mesti dilihat dari sisi linguistik maupun periwayatan

melainkan dapat dilihat dari sisi muatan keadilannya. Ayat dan

hadits yang bermuatan keadilan universal merupakan dalil qath’i,

sedangkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang bermuatan keadilan

lokal dan temporal merupakan dalil dzanni.

2. Dialektik tafsir tekstual dan kontekstual.

Pada masa awal Islam, tingkat moderasi tafsir terhadap

teks Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad sangat tinggi. Para

sahabat berkreasi memahami teks Al-Qur’an dan Hadits sesuai

tingkat keluasan dan kedalaman pengetahuannya. Zaid bin Tsabit

yang dijuluki oleh Nabi Muhammad sebagai sahabat yang afqahu

shahabah fiilmi al-irst merupakan orang yang luas

pengetahuannya dibidang hukum kewarisan masyarakat Arab,

sehingga ia lebih mampu memahami teks Al-Qur’an dan Hadits

tentang kewarisan yang bersinergi dengan hukum yang berlaku

pada masyarakat Arab saat itu. Sedangkan Ibnu Abbas hanya

memiliki kemampuan memahami teks al-Qur’an dan Hadits

tentang kewarisan tanpa memiliki kemampuan mensinergikan

dengan hukum adat masyarakat Arab. Tafsir Zaid bin Tsabit

tentang waris merupakan mainstream sehingga banyak diikuti

para fuqaha, karena pendapat Zaid bin Tsabit sangat dirasakan

sesuai dengan keadilan masyarakat setempat saat itu. Aliran Ibnu

Abbas banyak ditinggalkan para fuqaha karena tidak bermuatan

keadilan lokal, sehingga tafsir Ibnu Abbas tidak sesuai dengan rasa

keadilan masyarakat Arab pada masanya. Akan tetapi tafsir Ibnu

Abbas lebih dirasa bermuatan keadilan pada masa kini. Tafsir Ibnu

Page 89: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

66

Pokok-pokok hukum waris KHI: Pertama, mengedepankan sistem

keluarga inti dimana keluarga menyamping tidak dapat mewaris

selama masih ada anak pewaris; ke dua, mendudukkan wanita

setara dengan laki-laki, sehingga KHI tidak mengenal lembaga

dzawil arham; dan ke tiga, menghormati anak angkat menjadi

bagian keluarga yang harus mendapat wasiat wajibah walaupun

bukan sebagai ahli waris. Namun demikian KHI masih menyisakan

bias gender dalam pasal-pasal mengenai porsi anak perempuan

dan saudara perempuan, istri dimana mereka hanya mendapat ½

(satu perdua) dari anak laki-laki, saudara laki-laki dan suami.

Penerapan Hukum kewarisan KHI dalam praktek peradilan

Agama, masih menyisakan multitafsir, sebagian hakim peradilan

Agama masih memaknai rumusan kewarisan KHI dengan sistem

waris mazhab empat, sebagian lainnya memaknai dengan teori

waris bilateral Hazairin. Mahkamah Agung sebagai pengadilan

negara tertinggi melakukan pembinaan hukum lewat

yurisprudensi. Dalam bidang hukum waris Islam, Mahkamah

Agung sudah banyak melakukan perubahan-perubahan kearah

hukum waris bilateral yang dilandasi filosofi keadilan, kesetaraan

gender, dan pluralisme. Yurisprudensi Mahkamah Agung lebih

progresif dibanding KHI, karena putusannya mengenai kewarisan

bukan saja melihat dari sisi kesetaraan gender bahkan juga melihat

sisi pluralisme yang tidak dimiliki KHI.

Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang progresif

antara lain:

1. Mengedepankan keluarga inti dengan menetapkan keluarga

horizontal dan diagonal terhijab oleh anak perempuan.

2. Mengedepankan kesetaraan gender dengan menghapuskan

lembaga dzawil arham melalui ahli waris pengganti.

Page 90: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

67

3. Menyerap rasa keadilan masyarakat dengan menetapkan anak

angkat wajib menerima wasiat wajibah.

4. Menghargai pluralisme, dengan mewajibkan keluarga

hubungan darah atau perkawinan yang beragama selain Islam

untuk mendapat wasiat wajibah.

Persoalannya, apakah yurisprudensi Mahkamah Agung

tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits sebagai

sumber utama hukum Islam. Untuk mengukur Yurisprudensi

Mahkamah Agung tersebut apakah bertententangan degan Al-

Qur’an atau Hadits dapat dilakukan analisa dengan pendekatan

teori hukum ideal dan hukum realistis diatas. Dalam hal ini

Mahkamah Agung cenderung melakukan tafsir ulang terhadap

ayat Al-Qur’an yang bermuatan hukum ideal dengan

mensinergikan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

Pendekatan lainnya penciptaan kaidah ushul:

Norma hukum dipahami dari kondisi umum masyarakat

yang melatar belakangi turunnya nash bukan dipahami dari sisi

teks dan kasus parsial yang melatar belakangi turunnya nash)

disamping kaidah ushul yang baku yakni:

Norma hukum dipahami dari teks nash bukan dari

peristiwa parsial yang melatar belakangi turunnya nash) dan

kaidah:

Norma hukum dipahami dari latar belakang partial yang

mempengaruhi turunnya nash bukan dipahami dari teks nash).

Pokok-pokok hukum waris KHI: Pertama, mengedepankan sistem

keluarga inti dimana keluarga menyamping tidak dapat mewaris

selama masih ada anak pewaris; ke dua, mendudukkan wanita

setara dengan laki-laki, sehingga KHI tidak mengenal lembaga

dzawil arham; dan ke tiga, menghormati anak angkat menjadi

bagian keluarga yang harus mendapat wasiat wajibah walaupun

bukan sebagai ahli waris. Namun demikian KHI masih menyisakan

bias gender dalam pasal-pasal mengenai porsi anak perempuan

dan saudara perempuan, istri dimana mereka hanya mendapat ½

(satu perdua) dari anak laki-laki, saudara laki-laki dan suami.

Penerapan Hukum kewarisan KHI dalam praktek peradilan

Agama, masih menyisakan multitafsir, sebagian hakim peradilan

Agama masih memaknai rumusan kewarisan KHI dengan sistem

waris mazhab empat, sebagian lainnya memaknai dengan teori

waris bilateral Hazairin. Mahkamah Agung sebagai pengadilan

negara tertinggi melakukan pembinaan hukum lewat

yurisprudensi. Dalam bidang hukum waris Islam, Mahkamah

Agung sudah banyak melakukan perubahan-perubahan kearah

hukum waris bilateral yang dilandasi filosofi keadilan, kesetaraan

gender, dan pluralisme. Yurisprudensi Mahkamah Agung lebih

progresif dibanding KHI, karena putusannya mengenai kewarisan

bukan saja melihat dari sisi kesetaraan gender bahkan juga melihat

sisi pluralisme yang tidak dimiliki KHI.

Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang progresif

antara lain:

1. Mengedepankan keluarga inti dengan menetapkan keluarga

horizontal dan diagonal terhijab oleh anak perempuan.

2. Mengedepankan kesetaraan gender dengan menghapuskan

lembaga dzawil arham melalui ahli waris pengganti.

Page 91: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

68

Kaidah pertama dalam hukum modern dinamakan penafsiran

hermeneutik , kaidah ke dua dikenal dengan penafsiran gramatik,

dan kaidah ketiga dikenal dengan penafsiran historis.

Hukum waris Islam realistis

Pembangunan hukum waris Islam Indonesia kedepan

diharapkan dapat merespons rasa keadilan masyarakat. Akan

tetapi perumusan hukum waris Islam yang berbasis kesadaran

hukum masyarakat Indonesia yang majemuk tidak mudah

diwujudkan. BPHN sebagai pusat pembinaan dan pengembangan

hukum nasional sudah beberapa dasawarsa berupaya melakukan

pembaharuan hukum nasional, khususnya dibidang hukum waris

sampai saat ini belum terwujud. Kesulitan tersebut karena sangat

beragamnya hukum adat yang memiliki rasa keadilan lokal.

Demikian halnya pembangunan hukum Islam yang berwawasan

ke Indonesiaan akan mengalami hal yang sama. Namun demikian

pembangunan hukum Islam ini dapat dilakukan dengan dua

pendekatan, pendekatan melalui hukum abstrak dan hukum

konkrit. Pendekatan hukum abstrak melalui legislasi yang

dirumuskan dengan merespon nilai-nilai ideal. Nilai-nilai ideal ini

dapat digali dari Konvensi HAM. Sedangkan pendekatan hukum

konkrit melalui putusan pengadilan yang lebih merespon rasa

keadilan lokal. Oleh karenanya dalam merumuskan hukum abstrak

harus memberikan ruang bagi hakim untuk memutus kasus sesuai

dengan rasa keadilan lokal.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kajian hukum

waris Islam tidak terikat dengan fikih normatif melainkan

diperlukan telaah teks Al-Qur’an dan Hadits jauh kebelakang yakni

pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi Muhammad,

karena pada masa itu banyak hasil pemikiran sahabat yang sangat

relevan untuk diterapkan pada masa kini, walaupun pemikiran

Page 92: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

69

tersebut pada masa lampau merupakan pendapat minoritas yang

tereliminasi yang dalam konteks fikih biasa disebut qila bukan

kategori qalu.

Sebagai gambaran beberapa contoh dibawah ini

merupakan pendekatan-pendekatan telaah historis terhadap

hukum kewarisan Islam.

1. Al-Qur’an surah Al-nisa IV:176 mengenai waris kalalah, sebagian

besar sahabat Nabi Muhammad bependapat waris kalalah

adalah jika pewaris tidak meninggalkan anak dan bapak karena

ayat tersebut dilatar belakangi peristiwa sahabat Nabi

Muhammad yang bernama Jabir bin Abdullah bin Amr ketika

sakit keras, bertanya kepada Nabi Muhammad tentang

pembagian harta kekayaannya sedangkan ia tidak mempunyai

keturunan dan ayahnya sudah meninggal dunia, maka saat itu

turun al-Qur’an surah Al-nisa IV:176. Sedangkan kelompok kecil

sahabat yakni Ibnu Abbas dan Umar bi Khattab berpendapat

bahwa kalalah adalah dimana orang yang meninggal dunia

tidak meninggalkan anak maka ahli warisnya saudara, mungkin

bersama ayah jika ayah masih ada atau hanya saudara jika ayah

sudah tidak ada. Pendapat Ibnu Abbas dan Umar bin Khatthab,

pada saat itu, merupakan wacana yang asing bagi sahabat Nabi

Muhammad lainnya, sehingga dianggap pendapat yang lemah

dan tidak diikuti kebanyakan sahabat Nabi Muhammad saat itu

sehingga tidak berkembang dalam mazhab fiqih populer.

Untuk saat ini, pendapat itu lebih tepat diterapkan karena lebih

sesuai dengan hukum adat yang pada umumnya berlaku di

Indonesia maupun KUH Perdata dimana saudara dapat mewaris

bersama ayah.20

20 Lihat Pasal 854 dan 855 KUHPerdata, Ichtiar Baru, 2006, vol.1, h. 571-570;

Wirjono Prodjodikoro, Usaha Memperbaiki Hukum Warisan di Indonesia, dalam Wirjono

Kaidah pertama dalam hukum modern dinamakan penafsiran

hermeneutik , kaidah ke dua dikenal dengan penafsiran gramatik,

dan kaidah ketiga dikenal dengan penafsiran historis.

Hukum waris Islam realistis

Pembangunan hukum waris Islam Indonesia kedepan

diharapkan dapat merespons rasa keadilan masyarakat. Akan

tetapi perumusan hukum waris Islam yang berbasis kesadaran

hukum masyarakat Indonesia yang majemuk tidak mudah

diwujudkan. BPHN sebagai pusat pembinaan dan pengembangan

hukum nasional sudah beberapa dasawarsa berupaya melakukan

pembaharuan hukum nasional, khususnya dibidang hukum waris

sampai saat ini belum terwujud. Kesulitan tersebut karena sangat

beragamnya hukum adat yang memiliki rasa keadilan lokal.

Demikian halnya pembangunan hukum Islam yang berwawasan

ke Indonesiaan akan mengalami hal yang sama. Namun demikian

pembangunan hukum Islam ini dapat dilakukan dengan dua

pendekatan, pendekatan melalui hukum abstrak dan hukum

konkrit. Pendekatan hukum abstrak melalui legislasi yang

dirumuskan dengan merespon nilai-nilai ideal. Nilai-nilai ideal ini

dapat digali dari Konvensi HAM. Sedangkan pendekatan hukum

konkrit melalui putusan pengadilan yang lebih merespon rasa

keadilan lokal. Oleh karenanya dalam merumuskan hukum abstrak

harus memberikan ruang bagi hakim untuk memutus kasus sesuai

dengan rasa keadilan lokal.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kajian hukum

waris Islam tidak terikat dengan fikih normatif melainkan

diperlukan telaah teks Al-Qur’an dan Hadits jauh kebelakang yakni

pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi Muhammad,

karena pada masa itu banyak hasil pemikiran sahabat yang sangat

relevan untuk diterapkan pada masa kini, walaupun pemikiran

Page 93: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

70

2. Al-Qur’an surah al-Ahzab 33:4 melarang anak angkat

diposisikan sebagai anak kandung sendiri. Ayat Al-Qur’an

tersebut bukan berarti Islam melarang seorang muslim untuk

mengangkat anak, melainkan melarang mengangkat anak yang

berakibat memutuskan kekerabatan anak tersebut dengan

orang tua aslinya dan memposisikan anak tersebut sepenuhnya

secara hukum sama dengan anak sendiri, akibat hukumnya

anak tersebut tidak boleh menikah dengan anak asli bapak

angkatnya. Nabi Muhammad sendiri mengangkat Zaid sebagai

anak angkat tanpa mendudukkan sebagai anak kandung, akan

tetapi pengangkatan anak tersebut murni untuk kepentingan

kehidupan Zaid.

Anak angkat, dalam hukum Islam, tidak termasuk ahli waris

namun berhak mendapat bagian dari harta warisan ayah

angkatnya berdasarkan Al-Qur’an Surah al-Baqarah II:180.

Sebagian ulama ahli di bidang tafsir berpendapat pengertian

kaum kerabat dalam ayat tersebut tidak terbatas bagi orang

yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, sehingga

wasiat dapat dilakukan untuk kepentingan orang lain yang

memiliki hubungan khusus dengan pewaris atau orang-orang

papa yang membutuhkan bantuan dapat menerima wasiat.21

Dalam Al-Qur’an surah al-nisa IV:11,12, 176 hutang pewaris

kepada pihak debitur dan wasiat harus dilaksanakan lebih

dahulu sebelum pembagian harta warisan, hal ini menunjukkan

bahwa kedudukan lembaga wasiat sangat diutamakan dan

Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1974, h.95; Lihat pula

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung, 1988,

h.186-189; Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1989, h.98-

100

21 Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam

al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1967, Juz 2, h.264; Muhammad Rasyid Ridha,

Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Ma’rifah, tth., vol.2, h.137.

Page 94: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

71

dilindungi keberadaannya untuk dilaksanakan disamping hak

ahli waris.22 KHI.Ps.209 mengatur tentang wasiat wajibah, yaitu

wasiat yang ditetapkan oleh hakim jika seorang meninggal

dunia dan meninggalkan anak angkat yang tidak diberi wasiat.

Pasal ini diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam berbagai

putusannya yang sudah menjadi Yurisprudensi.23 Berbeda

dengan hukum adat, Mahkamah Agung dan KHI tidak

memposisikan anak angkat sebagai ahli waris, sebagaimana

sebagian hukum adat yang berlaku di Indonesia, akan tetapi

anak angkat diberi porsi maksimal 1/3 harta warisan sebagai

wasiat wajibah dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang

memiliki hubungan darah dengan pewaris.24

3. Hukum waris Islam konvensional menetapkan perbedaan

agama pewaris dengan kerabat yang memiliki hubungan darah

sebagai faktor penghalang untuk mewaris. Ketentuan ini tidak

diatur dalam Al-Qur’an melainkan dalam Hadits Nabi

Muhammad yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid. Bunyi

haditsnya ada dua macam:

Pertama,

22 Lihat al-Qur’an surah al-Nisa 4:11 dan 12; Lihat pula Abu ‘Abdillah Muhammad

bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kutub al-

‘Arabiyyah, 1967, Juz 5, h.73-74; Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-

Ma’rifah, tth., vol.4, h.421.

23 Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 214 K/AG/1997 tanggal 31-8-1999;

Nomor 121 K/AG/2003 tanggal 27-9-2006; Nomor 370 K/AG/2000 tanggal 14-6-2006; Nomor

368 K/AG/1999 tanggal 17-4-2002.

24 Contoh, jika Pewaris meninggalkan satu orang anak kandung dan seorang atau

dua orang anak angkat maka anak kandung mendapat 2/3, satu/dua orang anak angkat 1/3.

Jika Pewaris meninggalkan tiga orang anak kandung dan satu/dua orang anak angkat maka

tiga orang anak kandung mendapat ¾ satu orang/dua orang anak angkat mendapat ¼.

2. Al-Qur’an surah al-Ahzab 33:4 melarang anak angkat

diposisikan sebagai anak kandung sendiri. Ayat Al-Qur’an

tersebut bukan berarti Islam melarang seorang muslim untuk

mengangkat anak, melainkan melarang mengangkat anak yang

berakibat memutuskan kekerabatan anak tersebut dengan

orang tua aslinya dan memposisikan anak tersebut sepenuhnya

secara hukum sama dengan anak sendiri, akibat hukumnya

anak tersebut tidak boleh menikah dengan anak asli bapak

angkatnya. Nabi Muhammad sendiri mengangkat Zaid sebagai

anak angkat tanpa mendudukkan sebagai anak kandung, akan

tetapi pengangkatan anak tersebut murni untuk kepentingan

kehidupan Zaid.

Anak angkat, dalam hukum Islam, tidak termasuk ahli waris

namun berhak mendapat bagian dari harta warisan ayah

angkatnya berdasarkan Al-Qur’an Surah al-Baqarah II:180.

Sebagian ulama ahli di bidang tafsir berpendapat pengertian

kaum kerabat dalam ayat tersebut tidak terbatas bagi orang

yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, sehingga

wasiat dapat dilakukan untuk kepentingan orang lain yang

memiliki hubungan khusus dengan pewaris atau orang-orang

papa yang membutuhkan bantuan dapat menerima wasiat.21

Dalam Al-Qur’an surah al-nisa IV:11,12, 176 hutang pewaris

kepada pihak debitur dan wasiat harus dilaksanakan lebih

dahulu sebelum pembagian harta warisan, hal ini menunjukkan

bahwa kedudukan lembaga wasiat sangat diutamakan dan

Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1974, h.95; Lihat pula

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung, 1988,

h.186-189; Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1989, h.98-

100

21 Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam

al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1967, Juz 2, h.264; Muhammad Rasyid Ridha,

Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Ma’rifah, tth., vol.2, h.137.

Page 95: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

72

Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang

beragama selain Islam dan orang yang beragama selain Islam

tidak boleh mewaris harta warisan pewaris muslim).25

Kedua, hadits berbunyi:

Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris

yang beragama selain Islam – tanpa kalimat sebaliknya).26

Dilihat dari segi sanad (rangkaian orang yang meriwayatkan

hadits dari Nabi Muhammad kepada sahabat berlanjut kepada

generasi berikutnya sampai kepada ulama yang membukukan

hadits) hadits tersebut shahih (memenuhi standar untuk

dijadikan sumber hukum) akan tetapi dari segi matan

(substansinya) hadits tersebut diragukan ke-shahihan-nya.

Pertama, karena matan hadits tersebut khususnya bentuk yang

kedua menurut satu riwayat dalam Shahih Bukhari dan Sunan

Ibnu Majah adalah pendapat Umar bin Khatthab bukan

pendapat Nabi Muhammad sendiri.27 Kedua, daya mengikatnya

hadits tersebut diragukan karena Nabi Muhammad, menurut

riwayat Muadz bin Jabal, pernah memutus kasus sengketa harta

warisan dari pewaris bukan muslim dimana ahli warisnya terdiri

dari orang muslim dan orang yang memeluk agama selain

Islam, harta warisan dibagikan kepada keluarga yang beragama

selain Islam dan kepada keluarga yang beragama Islam.

25 Lihat Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Arqam, 1999, h.777; Tirmidzi, Sunan

Tirmidzi, Riyad, Maktabah al-Ma’arif, 1993, h.475; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar

Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2000, h.464; Abu daud, Sunan Abu Daud, beirut, Dar al-Arqam, 1999,

h.677; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Libanon, Bait al-Afkar, 2004, h.1033; Imam Hakim,

Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2002, h.1523;

26 Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut, Dar al-Ma’arif, 2004, h.1588; Imam Malik,

Muwattha, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, h.328.

27 Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:438; Ibnu majah, Sunan Ibnu majah,

2000:464.

Page 96: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

73

Keputusan Nabi Muhammad tersebut diikuti oleh Muadz bin

Jabal dan Yahya bin Ya’mar.28 Jika Hadits tersebut mengikat

tidak mungkin Nabi Muhammad memutus kasus yang

bertentangan dengan ketetapannya sendiri dimana orang

Muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang

beragama selain Islam. Berbeda dengan Nabi Muhammad dan

Muadz bin jabal, Umar bin Khatthab berpegang teguh pada

prinsip dimana orang Muslim tidak boleh mewaris harta

warisan pewaris kafir, Beliau dalam kapasitas sebagai qadhi

(hakim) pernah menolak tuntutan seorang muslim terhadap

harta warisan pewaris yang kafir dan harta warisan diberikan

kepada ahli waris yang kafir.29

KHI, Pasal 171 huruf (b) dan (c), mengatur tentang syarat

pewaris dan ahli waris harus beragama Islam, dengan demikian

beda agama merupakan penghalang bagi seseorang untuk

mewaris. Dalam hal wasiat, Pasal 171 huruf (f) KHI

menyebutkan: “wasiat adalah pemberian suatu benda dari

pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku

setelah pewaris meninggal dunia”.

Pasal tersebut tidak mensyaratkan penerima wasiat harus orang

yang beragama Islam, sehingga sah-sah saja orang yang tidak

beragama Islam menerima wasiat dari seorang yang beragama

Islam. Akan tetapi pasal-pasal lainnya tentang wasiat tidak pula

terdapat pasal yang mengatur kewajiban seorang untuk

berwasiat kepada keturunannya atau kerabat yang mempunyai

hubungan darah yang tidak beragama Islam. Mahkamah

Agung dalam beberapa putusannya menetapkan anak pewaris

yang tidak beragama Islam mendapat wasiat wajibah (wasiat

28 Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud, 1999:677 dan 678; Imam Hakim, al-

Mustadrak ‘Ala Shahihain, 2002:1523.

29 Imam Malik, Al-Muwattha, 2003:328.

Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang

beragama selain Islam dan orang yang beragama selain Islam

tidak boleh mewaris harta warisan pewaris muslim).25

Kedua, hadits berbunyi:

Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris

yang beragama selain Islam – tanpa kalimat sebaliknya).26

Dilihat dari segi sanad (rangkaian orang yang meriwayatkan

hadits dari Nabi Muhammad kepada sahabat berlanjut kepada

generasi berikutnya sampai kepada ulama yang membukukan

hadits) hadits tersebut shahih (memenuhi standar untuk

dijadikan sumber hukum) akan tetapi dari segi matan

(substansinya) hadits tersebut diragukan ke-shahihan-nya.

Pertama, karena matan hadits tersebut khususnya bentuk yang

kedua menurut satu riwayat dalam Shahih Bukhari dan Sunan

Ibnu Majah adalah pendapat Umar bin Khatthab bukan

pendapat Nabi Muhammad sendiri.27 Kedua, daya mengikatnya

hadits tersebut diragukan karena Nabi Muhammad, menurut

riwayat Muadz bin Jabal, pernah memutus kasus sengketa harta

warisan dari pewaris bukan muslim dimana ahli warisnya terdiri

dari orang muslim dan orang yang memeluk agama selain

Islam, harta warisan dibagikan kepada keluarga yang beragama

selain Islam dan kepada keluarga yang beragama Islam.

25 Lihat Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Arqam, 1999, h.777; Tirmidzi, Sunan

Tirmidzi, Riyad, Maktabah al-Ma’arif, 1993, h.475; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar

Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2000, h.464; Abu daud, Sunan Abu Daud, beirut, Dar al-Arqam, 1999,

h.677; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Libanon, Bait al-Afkar, 2004, h.1033; Imam Hakim,

Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2002, h.1523;

26 Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut, Dar al-Ma’arif, 2004, h.1588; Imam Malik,

Muwattha, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, h.328.

27 Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:438; Ibnu majah, Sunan Ibnu majah,

2000:464.

Page 97: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

74

yang ditetapkan oleh pengadilan) maksimal 1/3 bagian dari

harta warisan, sebagaimana wasiat wajibah untuk anak angkat

ketika ayah angkat pada saat hidupnya tidak memberikaan

wasiat untuk anak angkatnya. Atas dasar lemahnya kedudukan

Hadits tentang beda agama sebagai penghalang untuk

mewaris, dan teori ushul fiqih ke tiga di atas bahwa Hadits tidak

dapat diberlakukan secara umum akan tetapi merupakan

hukum yang mengikat kasus tertentu.

Maka putusan Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah

kepada anak atau kerabat pewaris yang menganut agama

selain Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam.

4. Mahkamah Agung, dalam Yurisprudensinya, berpendapat anak

perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris

‘ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris

setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya)

tidak mendapat warisan.30

Hukum waris Islam konvensional menetapkan jika pewaris

meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris satu orang anak

perempuan dan saudara laki-laki atau paman dari pihak ayah,

anak wanita hanya mendapat ½ bagian sisanya diberikan

kepada saudara atau paman sebagai ‘ashabah. Jika anak wanita

tersebut dua orang atau lebih mereka mendapat 2/3 berbagi

sama, sisanya 1/3 bagian untuk saudara atau paman sebagai

‘ashabah.31 Ketentuan tersebut merupakan pemahaman para

30 Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996;

Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.

31 Al-Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Beirut, Dar al-Fikri, 1977, vol.3, h.437.

Page 98: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

75

sahabat Nabi Muhammad atas Hadits yang diriwayatkan oleh

Abdullah Ibnu Abbas yang berbunyi:

Bagikan harta warisan kepada ahli waris yang sudah ditentukan

bagiannya sisanya diserahkan kepada laki-laki yang

kekerabatannya lebih utama dengan pewaris).32

Kedudukan ahli waris saudara tercantum dalam Al-Qur’an surah

al-Nisa 11, 12, dan 176. Dalam Al-Qur’an surah al-Nisa 11

dikatakan jika pewaris meninggalkan saudara berbilang maka

ibu pewaris hanya mendapat 1/6 bagian, dalam ayat ini ahli

waris saudara dalam keadaan tidak bergabung dengan ahli

waris anak.

Sedangkan dalam Al-Qur’an surah al-Nisa 12 dan 176 isinya, jika

pewaris tidak meninggalkan (walad terj.Ind. nya anak) maka

saudara mewarisi harta warisan pewaris. Kata (walad) dalam

literatur Arab meliputi anak perempuan dan anak laki-laki. Oleh

karena itu berdasarkan teks ayat 12 dan 176 saudara pewaris

hanya dapat mewaris jika pewaris tidak meninggalkan anak

baik laki-laki maupun perempuan.

Pemahaman ini dikembangkan oleh Abdullah Ibnu Abbas

seorang sahabat Nabi Muhammad, sedangkan sahabat Nabi

Muhammad lainnya yaitu Mu’adz bin Jabal berpendapat kata

(walad) tersebut maksudnya anak laki-laki sehingga jika pewaris

hanya meninggalkan anak perempuan maka saudara

memperoleh sisa bagian harta warisan setelah diambil bagian

32 Lihat Bukhari, Shahih Bukari, 2004:1644; Muslim, Shahih Muslim, 1999:777;

Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:473; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, 2000:466; Abu Daud,

Sunan Abu Daud, 199:675; Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, 2002:1518; Ibnu Hibban,

Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033.

yang ditetapkan oleh pengadilan) maksimal 1/3 bagian dari

harta warisan, sebagaimana wasiat wajibah untuk anak angkat

ketika ayah angkat pada saat hidupnya tidak memberikaan

wasiat untuk anak angkatnya. Atas dasar lemahnya kedudukan

Hadits tentang beda agama sebagai penghalang untuk

mewaris, dan teori ushul fiqih ke tiga di atas bahwa Hadits tidak

dapat diberlakukan secara umum akan tetapi merupakan

hukum yang mengikat kasus tertentu.

Maka putusan Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah

kepada anak atau kerabat pewaris yang menganut agama

selain Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam.

4. Mahkamah Agung, dalam Yurisprudensinya, berpendapat anak

perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris

‘ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris

setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya)

tidak mendapat warisan.30

Hukum waris Islam konvensional menetapkan jika pewaris

meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris satu orang anak

perempuan dan saudara laki-laki atau paman dari pihak ayah,

anak wanita hanya mendapat ½ bagian sisanya diberikan

kepada saudara atau paman sebagai ‘ashabah. Jika anak wanita

tersebut dua orang atau lebih mereka mendapat 2/3 berbagi

sama, sisanya 1/3 bagian untuk saudara atau paman sebagai

‘ashabah.31 Ketentuan tersebut merupakan pemahaman para

30 Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996;

Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.

31 Al-Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Beirut, Dar al-Fikri, 1977, vol.3, h.437.

Page 99: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

76

anak perempuan.33 Pendapat Abdullah Ibnu Abbas merupakan

pendapat kelompok kecil sahabat Nabi Muhammad sehingga

tidak berkembang, sedangkan pendapat Mu’adz bin Jabal

diikuti kelompok besar sahabat sehingga dijadikan rujukan oleh

kalangan fuqaha.

Untuk masyarakat Indonesia, yang pada umumnya tidak

membedakan anak perempuan dan laki-laki, penerapan

pendapat Abdullah Ibnu Abbas lebih memenuhi rasa keadilan

masyarakat daripada pendapat Muadz bin Jabal. Oleh

karenanya putusan Yurisprudensi yang menetapkan anak

perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris

‘ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris

setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya)

tidak mendapat warisan34 sangat memenuhi rasa keadilan

masyarakat. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut

menerapkan kaidah ushul fikih:

Dalam memahami al-Qur’an surah al-Niasa IV:176 dan

menerapkan kaidah ushul fikih :

Dalam memahami hadits Abdullah Ibnu Abbas.

33 Imam Hakim, al-Mustadrak ‘ala Shahihain, 2002:1517-1518; Ibnu Hibban,

Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:472;

34 Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996;

Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.

Page 100: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

77

5. Fiqih madzhab empat menganut lembaga dzawil arham.

Lembaga dzawil aarham tersebut dipahami dari Hadits yang

diriwayatkan Abdullah Ibnu Abbas yang berbunyi:

Pembagian harta warisan lebih dahulu diberikan kepada ahli

waris yang sudah ditentukan bagiannya, sisanya bagikan

kepada laki-laki yang lebih utama hubungan kerabatnya

dengan pewaris, yakni ‘ashabah). Pemahaman Hadits tersebut

menimbulkan waris ‘ashabah binafsih bagi laki-laki, karena

kultur masyarakat Arab sebagaimana dijelaskan sebelumnya

adalah masyarakat patrilineal yang mengutamakan laki-laki

karena fungsi dalam rumah tangga dan diluar rumah tangga

sangat besar dibanding dengan wanita. Tafsir hadits tersebut

realistik dan adil pada masyarakat Arab pada saat itu, tetapi

belum tentu relevan bagi masyarakat Indonesia masa kini.

Hukum adat masyarakat Indonesia lebih mengutamakan cucu

perempuan dari anak laki-laki dibandingkan saudara laki-laki.

Oleh karena itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung menghapus

lembaga dzawil arham melalui pemahaman ahli waris

pengganti yang di atur dalam pasal 185 KHI. Mahkamah Agung

memperluas makna ahli waris pengganti dalam pasal tersebut

bukan hanya terbatas pada keturunan anak, sehingga secara

tidak langsung Mahkamah Agung telah menghapuskan

lembaga dzawil arham.35 Kasus-kasus ahli waris pengganti

yang masuk ke Mahkamah Agung terbatas hanya kasus-kasus

keturunan dari anak dan keturunan dari saudara akan tetapi

35 Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 14 K/AG/1995; Nomor 243 K/AG/2005;

Nomor 245 K/AG/2005; Nomor 242 K/AG/2006; Nomor 467 K/AG/2007

anak perempuan.33 Pendapat Abdullah Ibnu Abbas merupakan

pendapat kelompok kecil sahabat Nabi Muhammad sehingga

tidak berkembang, sedangkan pendapat Mu’adz bin Jabal

diikuti kelompok besar sahabat sehingga dijadikan rujukan oleh

kalangan fuqaha.

Untuk masyarakat Indonesia, yang pada umumnya tidak

membedakan anak perempuan dan laki-laki, penerapan

pendapat Abdullah Ibnu Abbas lebih memenuhi rasa keadilan

masyarakat daripada pendapat Muadz bin Jabal. Oleh

karenanya putusan Yurisprudensi yang menetapkan anak

perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris

‘ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris

setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya)

tidak mendapat warisan34 sangat memenuhi rasa keadilan

masyarakat. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut

menerapkan kaidah ushul fikih:

Dalam memahami al-Qur’an surah al-Niasa IV:176 dan

menerapkan kaidah ushul fikih :

Dalam memahami hadits Abdullah Ibnu Abbas.

33 Imam Hakim, al-Mustadrak ‘ala Shahihain, 2002:1517-1518; Ibnu Hibban,

Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:472;

34 Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996;

Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.

Page 101: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

78

perluasan pengertian ahli waris pengganti dirumuskan oleh

Mahkamah Agung dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi

dan Teknis Peradilan Agama dimana ahli waris pengganti

meliputi keturunan paman, keturunan kakek, keturunan nenek

baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.36

Di Indonesia, lembaga ahli waris pengganti dalam hukum waris

Islam pertama kali dimunculkan oleh Hazairin dengan

memahami Al-Qur’an surah al-nisa 4:33.37 Di Mesir tidak dikenal

ahli waris pengganti akan tetapi keturunan derajat pertama dari

anak yang lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris

memperoleh wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian atau sama

dengan bagian orang tuanya yang telah meninggal dunia lebih

dahulu.38

Mesir menghapus dzawil arham hanya sebatas cucu

perempuan dari anak perempuan, demikian halnya aliran syiah

di Iran mengenal lembaga ahli waris pengganti dari anak yang

lebih dahulu meninggal dunia, akan tetapi terdapat sedikit

perbedaan dengan Mesir. Ahli waris pengganti dalam mazhab

Syi’ah bukan mendapat wasiat wajibah melainkan sebagai ahli

waris mendapat bagian orang tuanya yang lebih dahulu

meninggal dunia.

Dengan tanpa perlu melalui lembaga ahli waris pengganti, Al-

Qur’an sebetulnya tidak mengenal dzawil arham yang tidak

sejalan dengan arus kesetaraan gender. Al-Qur’an surah al-Nisa

IV:7 sangat jelas merupakan ayat yang sangat mendasar

36 Lihat Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI, 2008, h.173.

37 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an Dan Hadith, 1981:27.

38 Muhammad Abu Zahra, Fatawa, Damsyiq, Dar al-Qalam, 2006, h.641.

Page 102: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

79

dimana Al-Qur’an memperkenalkan sistem hukum kewarisan

bilateral, akan tetapi oleh karena yang memahami Al-Qur’an

surah al-Nisa IV:7 adalah para sahabat Nabi Muhammad yang

pola berpikirnya sudah dipengaruhi oleh budaya Arab yang

patrilineal sehingga mereka menghasilkan tafsir Al-Qur’an yang

bernuansa patrilineal. Substansi Al-Qur’an surah al-Nisa 4:7

mengandung empat kaidah hukum pokok:

Pertama, Anak laki-laki dapat mewaris dari kedua orang tuanya,

pengertian sebaliknya kedua orang tuanya dapat mewaris dari

anaknya);

Ke dua, Keluarga laki-laki dapat mewaris dari kerabatnya);

Ke tiga; Anak wanita dapat mewaris dari kedua orang tuanya,

pengertian sebaliknya kedua orang tua dapat mewaris dari

anak perempuannya);

Ke empat, Kerabat wanita dapat mewaris dari kerabatnya).

Kaidah hukum pokok pertama menurunkan empat kaidah

hukum cabang: 1. Anak laki-laki mewaris dari ayahnya; 2. Anak

laki-laki dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat mewaris dari

anak laki-lakinya; 4. Ibu dapat mewaris dari anak laki-lakinya.

Kaidah hukum pokok ke dua menurunkan kaidah hukum

cabang: 1.Cucu laki-laki (baik dari anak laki maupun dari anak

perluasan pengertian ahli waris pengganti dirumuskan oleh

Mahkamah Agung dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi

dan Teknis Peradilan Agama dimana ahli waris pengganti

meliputi keturunan paman, keturunan kakek, keturunan nenek

baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.36

Di Indonesia, lembaga ahli waris pengganti dalam hukum waris

Islam pertama kali dimunculkan oleh Hazairin dengan

memahami Al-Qur’an surah al-nisa 4:33.37 Di Mesir tidak dikenal

ahli waris pengganti akan tetapi keturunan derajat pertama dari

anak yang lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris

memperoleh wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian atau sama

dengan bagian orang tuanya yang telah meninggal dunia lebih

dahulu.38

Mesir menghapus dzawil arham hanya sebatas cucu

perempuan dari anak perempuan, demikian halnya aliran syiah

di Iran mengenal lembaga ahli waris pengganti dari anak yang

lebih dahulu meninggal dunia, akan tetapi terdapat sedikit

perbedaan dengan Mesir. Ahli waris pengganti dalam mazhab

Syi’ah bukan mendapat wasiat wajibah melainkan sebagai ahli

waris mendapat bagian orang tuanya yang lebih dahulu

meninggal dunia.

Dengan tanpa perlu melalui lembaga ahli waris pengganti, Al-

Qur’an sebetulnya tidak mengenal dzawil arham yang tidak

sejalan dengan arus kesetaraan gender. Al-Qur’an surah al-Nisa

IV:7 sangat jelas merupakan ayat yang sangat mendasar

36 Lihat Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI, 2008, h.173.

37 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an Dan Hadith, 1981:27.

38 Muhammad Abu Zahra, Fatawa, Damsyiq, Dar al-Qalam, 2006, h.641.

Page 103: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

80

perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya (baik dari

pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Kakek (baik dari pihak ibu

maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari cucunya (baik

cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki); 3. Saudara laki-

laki (baik sekandung, seayah maupun seibu) dapat mewaris dari

saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah

maupun seibu); 6. Paman (dari pihak ayah maupun dari pihak

ibu) dapat mewaris dari keponakannya; 7. Keponakan laki-laki

dapat mewaris dari paman dan bibinya; 8. Saudara sepupu

laki-laki dapat mewaris dari saudara sepupu laki-laki dan

saudara sepupu perempuan;

Dalam kaidah hukum ketiga menurunkan empat kaidah hukum

cabang: 1. Anak perempuan dapat mewaris dari ayahnya; 2.

Anak perempuan dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat

mewaris dari anak perempuannya; 4. Ibu dapat mewaris dari

anak perempuannya.

Kaidah hukum pokok ke empat menurunkan kaidah hukum

cabang: 1. Cucu perempuan (baik dari anak laki-laki maupun

dari anak perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya

(baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Nenek (baik

dari pihak ibu maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari

cucunya (baik cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki);

3. Saudara perempuan (baik sekandung, seayah maupun seibu)

dapat mewaris dari saudara laki-laki atau perempuan (baik

sekandung, seayah maupun seibu); 6. Bibi (baik dari pihak ayah

maupun dari pihak ibu) dapat mewaris dari keponakannya;

7. Keponakan perempuan dapat mewaris dari paman dan

bibinya; 8. Saudara sepupu perempuan dapat mewaris dari

saudara sepupu laki-laki dan saudara sepupu perempuan;

Page 104: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

81

Al-Qur’an surah al-nisa IV:7 ini harus dipahami berlaku

umum sesuai kaidah ushul fiqih

Kandungan hukum ayat tersebut harus dipahami dari susunan

kalimatnya bukan dilihat dari latar belakang peristiwa hukum itu

muncul karena kaidah hukum tersebut kaidah hukum ideal.

Sedangkan hadits-hadits Nabi Muhammad yang tidak sejalan

dengan substansi yang terkandung dalam Al-Qur’an surah al-Nisa

IV:7 harus dipahami sebagai hukum realistik yang berlaku lokal

dan temporal sesuai kaidah ushul fiqh:

Kandungan hukum dalam putusan Nabi Muhammad harus

dipahami sesuai latar belakang yang partial yang mempengaruhi

terbentuknya putusan bukan dipahami dari rangkaian rumusan

kalimatnya, sehingga tidak berlaku umum). Dari uraian tersebut

Mahkamah Agung bukan saja sudah membuat terobosan

menghapus lembaga dzawil arham yang tidak berpihak pada arus

kesetaraan gender bahkan terobosan tersebut tidak bertentangan

dengan substansi hukum Islam.

Penutup

Bagaimanapun juga ditengah hiruk pikuknya suara negatif

terhadap Mahkamah Agung, sebagai lembaga peradilan tertinggi

Mahkamah Agung telah berbuat banyak dalam melakukan

pembaruan hukum khususnya dibidang waris Islam yang selama

ini sulit untuk dilakukan oleh lembaga Legislatif dalam rangka

pembaruan hukum nasional karena menyangkut sensitif

keagamaan dan kesukuan. Akan tetapi Mahkamah Agung mampu

meretas sensitifitas keagamaan dan kesukuan tanpa hambatan

dan diterima secara diam-diam oleh masyarakat tanpa gejolak.

perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya (baik dari

pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Kakek (baik dari pihak ibu

maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari cucunya (baik

cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki); 3. Saudara laki-

laki (baik sekandung, seayah maupun seibu) dapat mewaris dari

saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah

maupun seibu); 6. Paman (dari pihak ayah maupun dari pihak

ibu) dapat mewaris dari keponakannya; 7. Keponakan laki-laki

dapat mewaris dari paman dan bibinya; 8. Saudara sepupu

laki-laki dapat mewaris dari saudara sepupu laki-laki dan

saudara sepupu perempuan;

Dalam kaidah hukum ketiga menurunkan empat kaidah hukum

cabang: 1. Anak perempuan dapat mewaris dari ayahnya; 2.

Anak perempuan dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat

mewaris dari anak perempuannya; 4. Ibu dapat mewaris dari

anak perempuannya.

Kaidah hukum pokok ke empat menurunkan kaidah hukum

cabang: 1. Cucu perempuan (baik dari anak laki-laki maupun

dari anak perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya

(baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Nenek (baik

dari pihak ibu maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari

cucunya (baik cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki);

3. Saudara perempuan (baik sekandung, seayah maupun seibu)

dapat mewaris dari saudara laki-laki atau perempuan (baik

sekandung, seayah maupun seibu); 6. Bibi (baik dari pihak ayah

maupun dari pihak ibu) dapat mewaris dari keponakannya;

7. Keponakan perempuan dapat mewaris dari paman dan

bibinya; 8. Saudara sepupu perempuan dapat mewaris dari

saudara sepupu laki-laki dan saudara sepupu perempuan;

Page 105: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab II

82

Sulit dibayangkan kalau upaya pembaharuan dibidang hukum

waris Islam dilakukan lewat legislasi badan Legislatif, kemungkinan

bisa terulang bagaimana terjadinya konflik horizontal masyarakat

seperti pada saat pembahasan RUU perkawinan di awal tahun

tujuh puluhan. Upaya Mahkamah Agung tersebut patut mendapat

support dalam rangka pembangunan hukum nasional yang

modern yang mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan

pluralisme yang semuanya merupakan substansi ajaran Islam

sebagai hukum ideal.

Page 106: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

83

Sulit dibayangkan kalau upaya pembaharuan dibidang hukum

waris Islam dilakukan lewat legislasi badan Legislatif, kemungkinan

bisa terulang bagaimana terjadinya konflik horizontal masyarakat

seperti pada saat pembahasan RUU perkawinan di awal tahun

tujuh puluhan. Upaya Mahkamah Agung tersebut patut mendapat

support dalam rangka pembangunan hukum nasional yang

modern yang mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan

pluralisme yang semuanya merupakan substansi ajaran Islam

sebagai hukum ideal.

BAB IIIHUKUM KEWARISAN ISLAM

KONTEMPORER DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF

FIQH, KOMPILASI HUKUM ISLAM, DAN PRAKTIK DI

PENGADILAN AGAMA SERTA MASYARAKAT

Page 107: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

84

Page 108: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

85

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM

Jaih Mubarok

Latar Belakang

Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya

mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik

menjalankan/ mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara

umum bersifat penyimpul (mirip dengan makna kaidah) dari

rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-

prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak

diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam

kerangka menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah

dijelaskan oleh pakarnya, serta tawaran yang mudah-mudahan

layak untuk dipertimbangkan oleh para penyusun naskah

akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam.

Teori-Teori Pilihan Hukum

Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum;

yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1)

pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation

and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-ittifaq

wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas

keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan

antara kebenaran ideal dengan kebenaran nyata (idealism and

realism); 5) pilihan antara hukum dan moralitas (law and morality);

dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan (stability and

change).

*) Dosen UIN Sunan Gunung Djati

Page 109: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

86

Sedangkan Muhammad ‘Imarah menjelaskan empat

pilihan dalam tathbiqh hukum Islam: 1) pilihan antara

kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl al-dîn wa

tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-

ijtihâd); 3) pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn

wa al-dawlah); dan 4) pilihan antara musyawarah dan syari‘ah (al-

syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî‘ah al-ilâhiyyah).39

Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam

memiliki dua sisi. Di satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum

Islam adalah divine law (hukum yang diwahyukan Allah);

sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa hukum

Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning of

jurists).40 Dua sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif

ketegangan) dan saling melengkapi (dalam perspektif harmoni).

Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman; terdapat

terminologi dalam Hukum Islam yang menjadi pasangan untuk

melihat kesatuan dan keragaman. Al-ittifâq digunakan untuk

menggambarkan proses ijtihad yang menghasilkan pendapat

yang sama (seragam); terminologi lain yang lebih popular adalah

ijmâ‘; dan terminologi al-ikhtilâf digunakan untuk memperlihatkan

pendapat yang ragam.

Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme;

pembahasan mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan

Allah dan kitab suci layak untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu al-

‘Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H.) dalam kitab Syarh

Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl, menjelaskan

tiga istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh‘, al-

39 Muhammad ‘Imarah, Ma‘alim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).

40 Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago &

London: The University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.

Page 110: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

87

isti‘mâl, dan al-haml.41 Terminologi al-ijtihâd (Mujtahid), al-ittibâ‘

(Muttabi‘), dan al-taqlîd (Muqallid) relevan dengan teori pilihan ini.

Keempat, pilihan antara Idealisme dan Realisme; kebenaran

dalam ilmu filsafat ada dua: 1) kebenaran ideal (gagasan), dan 2)

kebenaran real (nyata, apa adanya). Metode untuk mencapai

kebenaran ideal adalah rasio (al-‘aql) dan metode untuk mencapai

kebenaran real adalah empiris (positivistik). M. Atho Mudzhar

secara implisit menjelaskan bahwa pilihan terhadap fikih termasuk

domain pilihan idealisme; sedangkan pilihan terhadap fatwa,

qanun, dan qadha merupakan domain realisme.

Kelima, pilihan antara Hukum dan Moralitas; di antara

filosof membagi etika menjadi tiga: 1) etika deskriptif (descriptive

ethic), yaitu penyeledikan tingkah-laku manusia secara individu

atau pribadi-pribadi (personal morality), kelompok (social

morality), dan di dalamnya dikaji mengenai motif perbuatan dan

perbuatan yang terbuka; 2) etika normatif (normative ethic),

penyelidikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi

(personal morality) dan kelompok (social morality) yang

penyelidikannya dilakukan atas dasar prinsip-prinsip yang harus

dipakai dalam kehidupan. Etika deskriptif adalah penyelidikan

yang dilakukan untuk menggambarkan tingkah laku manusia;

sedangkan etika normatif adalah penyelidikan yang sudah

membandingkan antara nilai yang dianut dengan perilaku para

penagnutnya; dan 3) etika kritis (metaethics), yaitu penyelidikan

yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah yang digunakan

dalam etika.42 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara

HUKUM dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai

41 Syihab al-Din Abu al-‘Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr

al-Mahshûl fî al-Ushûl (Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. 1973), hlm. 20.

42 Ibid., hlm. 141-142.

Sedangkan Muhammad ‘Imarah menjelaskan empat

pilihan dalam tathbiqh hukum Islam: 1) pilihan antara

kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl al-dîn wa

tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-

ijtihâd); 3) pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn

wa al-dawlah); dan 4) pilihan antara musyawarah dan syari‘ah (al-

syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî‘ah al-ilâhiyyah).39

Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam

memiliki dua sisi. Di satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum

Islam adalah divine law (hukum yang diwahyukan Allah);

sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa hukum

Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning of

jurists).40 Dua sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif

ketegangan) dan saling melengkapi (dalam perspektif harmoni).

Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman; terdapat

terminologi dalam Hukum Islam yang menjadi pasangan untuk

melihat kesatuan dan keragaman. Al-ittifâq digunakan untuk

menggambarkan proses ijtihad yang menghasilkan pendapat

yang sama (seragam); terminologi lain yang lebih popular adalah

ijmâ‘; dan terminologi al-ikhtilâf digunakan untuk memperlihatkan

pendapat yang ragam.

Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme;

pembahasan mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan

Allah dan kitab suci layak untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu al-

‘Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H.) dalam kitab Syarh

Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl, menjelaskan

tiga istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh‘, al-

39 Muhammad ‘Imarah, Ma‘alim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).

40 Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago &

London: The University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.

Page 111: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

88

benar secara HUKUM, tapi tidak/kurang relevan dengan moral

yang dianut suatu masyarakat yang bersangkutan.

Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme;

pilihan antara tradisionalisme (stability) dan modernisme (change;

modify) adalah pilihan yang sejak abad IV H. hingga sekarang terus

berlanjut. Istilah “Kaum Muda” dan “Kaum Tua”43 di Indonesia

merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara statis dan

dinamis.44

Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan

pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu). Kesempurnaan agama

Islam terletak pada nilai universal yang dikandungnya. Di samping

itu, kesempurnaan agama juga terletak pada kandungannya yang

mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan

intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan

agama tidak dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya

(termasuk aturan-aturan teknis); akan tetapi, kesempurnaannya

terletak pada nilai universal yang dikandungnya dan peluang

mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah agama. Dengan

kerangka yang demikian, wajarlah bila ‘Imarah menegaskan bahwa

salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara

kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya

sepadan dengan pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan

antara musyawarah dan syari‘ah.

Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum

Negara; Salah satu topik penting dalam hal terjadi ikhtilaf antara

gagasan fukaha dalam kitab fikih dengan peraturan perundang-

undangan di sebuah Negara, adalah pilihan dalam taat hukum:

43 Tradisionalisme biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme

disebut aliran rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96.

44 Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX

(Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1996), hlm. 60-61.

Page 112: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

89

apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara

ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh

ulama yang otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan

peraturan perundang-undangan, terdapat “kaidah” yang

menyatakan bahwa suatu perbuatan HUKUM dinilai sah secara

agama (shahha dîn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara (wa

lâ yashihhu qadhâ’[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa

ketaatan masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda

dan kaidah yang menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang

dibuat oleh pemimpin dapat menyelesaikan perbedaan pendapat

(hukm al-hâkim yarfa‘u al-khilâf) belum sepenuhnya bisa diterima

oleh masyarakat Muslim di berbagai negara.

Teori-teori Persaingan Hukum Waris dan Hukum Adat

Diskursus mengenai persaingan hukum Islam dan “hukum

Barat” guna menjadi hukum nasional diperkaya dengan teori-teori

aplikasi hukum yang saling mendukung atau saling bertentangan.

Di antara nya adalah:

Pertama, teori Autoritas Hukum; H.A.R. Gibb

mengemukakan bahwa umat Islam yang telah menerima Islam

sebagai agamanya, telah menerima otoritas hukum Islam atas

dirinya;45 umat Islam yang telah menyatakan diri memeluk agama

Islam berarti telah siap menjalankan ajaran Islam, termasuk

hukum-hukum yang dikandungnya.

Kedua, teori Receptie in Complexu; teori yang

dikemukakan oleh Gibb mendapat dukungan dari Lodewijk Willem

Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in

complexu. Menurut teori ini, bagi orang Islam berlaku penuh

45 H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”

dalam Tjun Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan

(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.

benar secara HUKUM, tapi tidak/kurang relevan dengan moral

yang dianut suatu masyarakat yang bersangkutan.

Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme;

pilihan antara tradisionalisme (stability) dan modernisme (change;

modify) adalah pilihan yang sejak abad IV H. hingga sekarang terus

berlanjut. Istilah “Kaum Muda” dan “Kaum Tua”43 di Indonesia

merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara statis dan

dinamis.44

Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan

pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu). Kesempurnaan agama

Islam terletak pada nilai universal yang dikandungnya. Di samping

itu, kesempurnaan agama juga terletak pada kandungannya yang

mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan

intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan

agama tidak dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya

(termasuk aturan-aturan teknis); akan tetapi, kesempurnaannya

terletak pada nilai universal yang dikandungnya dan peluang

mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah agama. Dengan

kerangka yang demikian, wajarlah bila ‘Imarah menegaskan bahwa

salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara

kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya

sepadan dengan pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan

antara musyawarah dan syari‘ah.

Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum

Negara; Salah satu topik penting dalam hal terjadi ikhtilaf antara

gagasan fukaha dalam kitab fikih dengan peraturan perundang-

undangan di sebuah Negara, adalah pilihan dalam taat hukum:

43 Tradisionalisme biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme

disebut aliran rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96.

44 Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX

(Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1996), hlm. 60-61.

Page 113: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

90

hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun

dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.46

Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan

terhadap teori Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in

Complexu dari van den Berg. Adalah Christian Snouck Hurgronye

(1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter Haar. Menurut teori ini,

bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum

Islam berlaku kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh

masyarakat sebagai hukum adat.47

Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut teori ini,

teori resepsi telah patah dan keluar dari Indonesia sejak

diberlakukannya UUD 45;48 karena UUD 45 dan Pancasila

memberikan tempat yang luas bagi berlakunya hukum agama

(termasuk agama Islam). Oleh karena itu, Hazairin berpendapat

bahwa teori resepsi yang dikemukan oleh Christian Snouck

Hurgronye dan didukung oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar,

adalah teori Iblis.

Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib;

dalam teori ini ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku

adalah hukum Islam; hukum adat baru berlaku apabila tidak

bertentangan dengan hukum Islam.49 Teori resepsi a contrario

yang dikemukakan Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi

orang Islam berlaku hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan

keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c)

46 Ibid., h. 120.

47 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.”

1959), hlm. 46.

48 Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.

49 Ibid., h. 132.

Page 114: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

91

hukum adat berlaku bagi umat Islam apabila tidak bertentangan

dengan hukum Islam.50

Keenam, teori Penegakan Hukum. Menurut teori ini, hukum

dapat tegak di masyarakat bergantung pada tiga hal: 1) materi

hukum, 2) penegak hukum, dan 3) kesadaran hukum masyarakat.

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah menegaskan bahwa

kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat

dalam diri setiap manusia yang memiliki dua kemungkinan: timbul

dan tenggelam.

Sejumlah pakar hukum menganggap bahwa kepatuhan

hukum terutama disebabkan: 1) rasa takut pada sanksi yang

negatif, 2) pemeliharaan hubungan baik dengan teman-teman dan

pemimpin, 3) kepentingannya terlindungi, dan/atau 4) cocok

(sesuai) dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya. Pakar

sosiologi hukum menetapkan bahwa dalam kesadaran hukum

terdapat empat indikator: 1) pengetahuan hukum; 2) pemahaman

hukum; 3) penilaian dan sikap terhadap hukum; dan 4) ketaatan

hukum. Soekanto menyebutkan bahwa kesadaran hukum

sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum

diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga negara.

Survei Literatur

Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam

telah dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat

normatif-rasional maupun analisis yang cenderung bersifat

sosiologis-aplikatif yang cenderung berakar pada nilai budaya

tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu menjelaskan

mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di

antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan

50 Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori,” dalam Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm.

102-114,117,122, dan 130-132.

hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun

dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.46

Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan

terhadap teori Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in

Complexu dari van den Berg. Adalah Christian Snouck Hurgronye

(1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter Haar. Menurut teori ini,

bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum

Islam berlaku kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh

masyarakat sebagai hukum adat.47

Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut teori ini,

teori resepsi telah patah dan keluar dari Indonesia sejak

diberlakukannya UUD 45;48 karena UUD 45 dan Pancasila

memberikan tempat yang luas bagi berlakunya hukum agama

(termasuk agama Islam). Oleh karena itu, Hazairin berpendapat

bahwa teori resepsi yang dikemukan oleh Christian Snouck

Hurgronye dan didukung oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar,

adalah teori Iblis.

Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib;

dalam teori ini ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku

adalah hukum Islam; hukum adat baru berlaku apabila tidak

bertentangan dengan hukum Islam.49 Teori resepsi a contrario

yang dikemukakan Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi

orang Islam berlaku hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan

keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c)

46 Ibid., h. 120.

47 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.”

1959), hlm. 46.

48 Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.

49 Ibid., h. 132.

Page 115: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

92

pengendalian diri, 2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas

kerukunan dan kekeluargaan, 4) asas musyawarah dan mufakat,

dan 5) asas keadilan.51

Dalam Tesis yang berjudul “Hukum Islam Dipandang dari

Perspektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan

Mranggen Kabupaten Demak)” yang ditulis oleh Mintarno dalam

rangka menyelesaikan studinya di Program Magister Kenotariatan,

Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan bahwa di

antara asas HUKUM waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas

bilateral, 3) asas individual, dan 4) asas keadilan.52

H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda,

yang mempublikasikan artikelnya yang berjudul “Beberapa Asas

Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan Hukum

Adat.” H. Hatpiadi menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan:

Pertama, asas kematian. Asas ini diatur berdasarkan pada

Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan

Hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar

(hakim dan ketua Pengadilan Agama Watampone yang

menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling

utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta seseorang

sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan.

Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan.

Asas ini terdapat dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH

Perdata. Asas hubungan darah merupakan salah satu asas yang

esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan, karena faktor

51 Riana Kesuma Ayu, “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.com,

diakses tahun 2011.

52 Mintarno, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan

Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),” Tesis Magister, Program

Pascasarjana, Magister Kenotariatan (Semarang: Universitas Diponegoro. 2006).

Page 116: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

93

hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan

kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang

berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.

Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini

didasarkan pada prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh

karena itu, yang berhak menjadi ahli waris hanyalah keluarga yang

lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa

keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup

hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH

Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris

sebagaimana yang terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam

dan hukum adat. Dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Adat,

anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli waris yang lebih dekat

dari pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek, saudara-

saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa

penentuan kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya “anak

lebih utama dari cucu, ayah lebih utama (lebih dekat) kepada anak

dari pada saudara: ayah lebih utama kepada anak dari pada kakek.

Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan Islam

menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya

saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se

ibu, sebab saudara kandung mempunyai dua garis penghubung

(dari ayah dan dari ibu), sedangkan saudara sebapak atau saudara

seibu hanya dihubungkan oleh satu garis penghubung yaitu dari

ayah atau dari ibu”. Ketiga sistem Hukum Kewarisan sama-sama

menempatkan anak, suami/istri, dan orang tua (Bapak/ibu) sebagai

ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu anak

sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis ke

bawah, sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam

derajat keutamaan pertama dalam garis ke atas, melibihi derajat

ahli waris lainnya seperti nenek, paman/bibi dan saudara. Di dalam

pengendalian diri, 2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas

kerukunan dan kekeluargaan, 4) asas musyawarah dan mufakat,

dan 5) asas keadilan.51

Dalam Tesis yang berjudul “Hukum Islam Dipandang dari

Perspektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan

Mranggen Kabupaten Demak)” yang ditulis oleh Mintarno dalam

rangka menyelesaikan studinya di Program Magister Kenotariatan,

Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan bahwa di

antara asas HUKUM waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas

bilateral, 3) asas individual, dan 4) asas keadilan.52

H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda,

yang mempublikasikan artikelnya yang berjudul “Beberapa Asas

Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan Hukum

Adat.” H. Hatpiadi menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan:

Pertama, asas kematian. Asas ini diatur berdasarkan pada

Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan

Hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar

(hakim dan ketua Pengadilan Agama Watampone yang

menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling

utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta seseorang

sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan.

Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan.

Asas ini terdapat dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH

Perdata. Asas hubungan darah merupakan salah satu asas yang

esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan, karena faktor

51 Riana Kesuma Ayu, “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.com,

diakses tahun 2011.

52 Mintarno, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan

Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),” Tesis Magister, Program

Pascasarjana, Magister Kenotariatan (Semarang: Universitas Diponegoro. 2006).

Page 117: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

94

Hukum Kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat tidak demikian

halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi waris dengan

Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan

tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup

(menghijab) ahli waris tertentu.

Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling).

Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang

mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli

waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia”

(Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi

ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan

menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal

sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua

ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan

secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan

ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu

meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak

menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima

sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia

lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum

kewarisan Islam, menurut sebagian pendapat, seperti pendapat

Wirjono Prodjodikoro dan pendapat dari pakar hukum Islam,

antara lain menurut Mahmud Yunus menyebutkan bahwa

pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda dengan

pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan

Islam mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan

mawaly. Menurut Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly)

didasarkan pada al-Qur'an pada Surah an-Nisa’ (IV) ayat 33, yang

artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan

pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti

oleh Sajuti Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini

Page 118: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

95

menjadi salah satu asas penting dalam Hukum Kewarisan menurut

Kompolasi Hukum Islam sebagaimana yang terdapat

ketentuannya dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 185

(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris

maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali

mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris

pengganti tidak boleh melebih dari bagian ahli waris yang

sederajat dengan yang diganti. Kelima, asas individual; asas ini

menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara individu-

individu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan

kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung

pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada

masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan,

sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan dinyatakan

dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya

tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. Konsekwensi dari

ketentuan ini adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan

atau dialihkan kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi

hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan dengan ketentuan pada

Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara memperoleh hak

milik adalah melalui pewaris. Asas individual sangat popular pula

dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan

adat. Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, “Setiap

ahli waris secara individu berhak atas bagian yang didapatnya

tanpa terikat kepada ahli waris lainnya”. Akan tetapi dalam hukum

kewarisan adat, selain dikenal sistem pewaris individual, juga

dikenal adanya sistem kolektif, dan mayorat namun dari ketiga

macam sistem pewaris tersebut, maka sistem individual yang lebih

umum berlaku dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat

adat parental yang tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia.

Keenam, asas bilateral; yaitu seseorang tidak hanya mewarisi dari

garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris menurut garis ibu,

Hukum Kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat tidak demikian

halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi waris dengan

Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan

tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup

(menghijab) ahli waris tertentu.

Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling).

Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang

mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli

waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia”

(Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi

ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan

menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal

sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua

ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan

secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan

ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu

meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak

menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima

sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia

lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum

kewarisan Islam, menurut sebagian pendapat, seperti pendapat

Wirjono Prodjodikoro dan pendapat dari pakar hukum Islam,

antara lain menurut Mahmud Yunus menyebutkan bahwa

pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda dengan

pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan

Islam mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan

mawaly. Menurut Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly)

didasarkan pada al-Qur'an pada Surah an-Nisa’ (IV) ayat 33, yang

artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan

pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti

oleh Sajuti Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini

Page 119: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

96

demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.

Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak laki-

laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas

bilateral ini menetapkan juga suami istri untuk saling mewaris.

Ketujuh, asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada

ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini

adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan.

Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa BW mengenal tiga

macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat

memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu: 1) menerima

seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan

kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu hutang-hutangnya;

dan 3) menolak menerima harta warisan”. Menurut H. Muhammad

Daud Ali, “dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat

keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus

ditunaikan”.Berdasarkan dengan berbagai penjelasan dan

ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan dan

ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan

asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris,

namun sifatnya terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang

bersifat aktiva secara otomatis berpindah dari pewaris kepada ahli

waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa pasiva (utang-utang,

kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hak-hak

yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang

seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari

barang aktiva dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang.

Akan tetapi kalau ada ahli waris yang bersedia membayarkan

utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris, maka itu

tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin

dari akhlak yang baik.53

53 H. Hatpiadi, “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/ diakses tanggal

Page 120: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

97

H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta,

menulis “Azas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” yang substansinya

menjelaskan bahwa asas-asas hukum waris Islam adalah:

Pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu ketulusan hati,

kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian bahwa

pelaksanaan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati

untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini

kebenarannya.

Kedua, asas ta'abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksana-

an pembagian waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah

kepada Allah SWT; ketiga, asas huquq al-maliyah/hak-hak

kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap

kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan

hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-

hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri,

jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak

dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap Muwaris diatur

dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1) mengurus dan

menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2)

menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban

menagih piutang, 3) menyelesaikan wasiat Muwaris, dan 4)

membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Keempat, asas hukukun thabi’iyah/hak-hak dasar; yaitu

hak-hak dasar ahli waris sebagai manusia; meskipun ahli waris

merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang

sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup

ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang

belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka

dipandang cakap untuk mewarisi. Sebab-sebab mewaris adalah: 1)

13 Pebruari 2011.

demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.

Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak laki-

laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas

bilateral ini menetapkan juga suami istri untuk saling mewaris.

Ketujuh, asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada

ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini

adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan.

Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa BW mengenal tiga

macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat

memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu: 1) menerima

seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan

kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu hutang-hutangnya;

dan 3) menolak menerima harta warisan”. Menurut H. Muhammad

Daud Ali, “dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat

keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus

ditunaikan”.Berdasarkan dengan berbagai penjelasan dan

ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan dan

ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan

asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris,

namun sifatnya terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang

bersifat aktiva secara otomatis berpindah dari pewaris kepada ahli

waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa pasiva (utang-utang,

kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hak-hak

yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang

seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari

barang aktiva dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang.

Akan tetapi kalau ada ahli waris yang bersedia membayarkan

utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris, maka itu

tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin

dari akhlak yang baik.53

53 H. Hatpiadi, “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/ diakses tanggal

Page 121: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

98

hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3) wala, dan 4) seagama.

Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang

mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan

lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke

samping(saudara). Di samping itu, dalam hukum Islam dikenal

penghalang untuk menerima warisan, yaitu: 1) murtad, 2)

membunuh, dan 3) hamba sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi

Hukurn Islam dijelaskan juga penghalang-penghalang menerima

warisan, yaitu: 1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba

membunuh atau menganiaya berat pada muwaris; 2)

dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan

bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam

dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya

peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia

(muwaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah

SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik

pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan

harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, 2)

jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3)

orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah

ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang mempunyai

hubungan darah dan perkawinan.

Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima

hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan

laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan; ketujuh, asas

individual/perorangan; yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi pada

masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam

pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai

tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang

berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.

Page 122: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

99

Kedelapan, asas keadilan yang berimbang; yaitu harus ada

keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta

warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang

harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya,

mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang

dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan

masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam

kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya

sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya. Tanggung jawab

merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari

persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anak-anaknya

memerlukan bantuan atau tidak.

Kesembilan, asas kematian; yaitu kewarisan baru muncul

bila “Muwaris’ meninggal dunia. Dengan demikian, kewarisan

semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Peralihan

harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi

setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya

harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui

pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta

itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta

seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung

maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya,

tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum

Islam.

Kesepuluh, asas membagi habis harta warisan; yaitu semua

harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian

masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara:

1) menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya

masing-masing, 2) membersihkan/ memurnikan harta warisan

seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan

hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3) wala, dan 4) seagama.

Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang

mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan

lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke

samping(saudara). Di samping itu, dalam hukum Islam dikenal

penghalang untuk menerima warisan, yaitu: 1) murtad, 2)

membunuh, dan 3) hamba sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi

Hukurn Islam dijelaskan juga penghalang-penghalang menerima

warisan, yaitu: 1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba

membunuh atau menganiaya berat pada muwaris; 2)

dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan

bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam

dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya

peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia

(muwaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah

SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik

pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan

harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, 2)

jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3)

orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah

ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang mempunyai

hubungan darah dan perkawinan.

Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima

hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan

laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan; ketujuh, asas

individual/perorangan; yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi pada

masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam

pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai

tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang

berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.

Page 123: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

100

pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan

Radd.54

Asas Kewarisan Islam

Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian

merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses

beralihnya harta mayit sebagai harta warisan (mauruts), di

samping itu, Haptiadi juga memperkenalkan asas hubungan darah

dan hubungan perkawinan, serta asas perderajatan dan asas

pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada dasarnya, asas

kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan perkawinan

menjelaskan mengenai sebab-sebab mewarisi; yaitu sebab-sebab

mewarisi adalah karena wafatnya muwaris, dan ahli waris yang

menerima tirkah karena hubungan darah atau karena hubungan

perkawinan (suami-istri).

Tiga asas ini (kematian, hubungan darah, dan hubungan

perkawinan) tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama. Akan

tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan

pengaruh dari Hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam

Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai

di pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam.

Azas Ijbari

Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan

proses intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi

milik ahli waris (terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih

dari dua orang). Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar

yang di antara artinya adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti

terminologinya adalah perpindahan pemilikan harta dari Muwaris

54 H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/

diakses tanggal 13 Pebruari 2011.

Page 124: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

101

kepada ahli waris karena ketentuan yang terdapat dalam Qur’an-

sunah. Dengan demikian, dalam proses perpindahan kepemilikan

harta tersebut tidak terdapat unsure paksaan terhadap Muwaris,

bahkan tidak ada larangan secara eksplisit dalam Qur’an-sunah

bagi ahli waris untuk menolak menerima harta warisan yang

bernilai positif (bukan dalam bentuk hutang).

Sedangkan apabila ahli waris menerima warisan berupa

utang, maka secara hukum yang bersangkutan berkewajiban

secara agama untuk membayarnya sesuai dengan

kemampuannya. Asas ijbari juga berarti peralihan harta yang pasti

terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, jumlah harta sudah

ditentukan untuk masing-masing ahli waris, orang-orang yang

akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti,

yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau

perkawinan. Dengan demikian, asas ijbari juga dapat dimasukkan

sebagai asas yang menjelaskan sebab-sebab mewarisi. Arti

etimologi ijbari dengan arti terminologinya tidak terlalu relevan.

Asas huququn thabi’iyah/hak-hak dasar menilai ahli waris

dari segi kemanusiaannya; meskipun ahli waris merupakan

seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit

menghadapi kematian tetapi masih hidup ketika Muwaris

meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai

walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap

untuk mewarisi.

Dalam fikih mawaris dikenal konsep hijab-mahjub sesama

ahli waris karena asas penderajatan (ketentuan hukum mengenai

ahli waris dekat dan ahli waris jauh) dan dikenal juga sebab-sebab

yang dapat membuat seseorang terhalang untuk menerima harta

warisan (mawani‘ al-irtsi), di antaranya adalah murtad, membunuh,

dan hamba sahaya. Mengenai sebab-sebab mewarisi, isu yang

relatif krusial adalah isu perbedaan agama antara Muwaris dengan

pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan

Radd.54

Asas Kewarisan Islam

Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian

merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses

beralihnya harta mayit sebagai harta warisan (mauruts), di

samping itu, Haptiadi juga memperkenalkan asas hubungan darah

dan hubungan perkawinan, serta asas perderajatan dan asas

pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada dasarnya, asas

kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan perkawinan

menjelaskan mengenai sebab-sebab mewarisi; yaitu sebab-sebab

mewarisi adalah karena wafatnya muwaris, dan ahli waris yang

menerima tirkah karena hubungan darah atau karena hubungan

perkawinan (suami-istri).

Tiga asas ini (kematian, hubungan darah, dan hubungan

perkawinan) tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama. Akan

tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan

pengaruh dari Hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam

Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai

di pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam.

Azas Ijbari

Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan

proses intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi

milik ahli waris (terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih

dari dua orang). Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar

yang di antara artinya adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti

terminologinya adalah perpindahan pemilikan harta dari Muwaris

54 H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/

diakses tanggal 13 Pebruari 2011.

Page 125: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

102

ahli waris serta isu riddah. Pada umumnya, para terpelajar yang

terpengaruh dengan doktrin Universal Declaration of Human Right

(UDHR), terutama tentang ajaran menganai kebebasan beragama,

menganggap bahwa ridah dan perbedaan agama sebagai

penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang dinilai

diskriminatif.

Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan

penjelasan mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat

diwariskan. Oleh karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan

mengenai obyek yang dapat dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak

dan kewajiban dalam hukum kekeluargaan atau hak-hak dan

kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat diwariskan. Di samping

itu, asas ini secara implisit mengenai proses-proses sebelum

pembagian maurus, antara lain melunasi hutang-hutang muwaris

kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan kepada

ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada.

Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang

mendasari aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis

sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga

tidak tersisa lagi, dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli

waris dengan bagiannya masing-masing, membersihkan/

memurnikan harta warisan seperti hutang dan wasiat, sampai

dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga

dikenalkan konsep Aul dan Radd.

Asas Ta‘abudi Versus Asas Ta‘aquli

Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara

wahyu dan akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation and reason) dari

Coluson, teori pilihan antara kesempurnaan agama dan

pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu) dari Imarah, dan teori

Autoritas Hukum dari Gibb yang didukung oleh Lodewijk Willem

Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in

Page 126: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

103

complex, pada dasarnya berhubungan dengan asas ketuhanan

yang dikemukakan oleh Riana Kesuma Ayu dalam konteks hukum

Adat di Indonesia, dan juga relevan dengan asas

ta'abbudi/penghambaan diri, yaitu pelaksanaan pembagian waris

secara Islam diyakini sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

Asas ketuhanan mengandung ajaran bahwa melaksanakan

pembagian waris merupakan bagian dari menjalankan (baca: taat

pada) ajaran agama Islam yang termasuk ibadah. Pada umumnya,

asas ini memberikan ruang yang sangat luas dalam menerima teks

Qur’an, sunah, dan pendapat ulama apa adanya; teks-teks suci

yang terdapat dalam Qur’an-sunnah dipahami, diterima, dan

dijalankan apa adanya; penafsiran terhadap Qur’an-sunah ditolelir

dalam keadaan khusus atau tertentu.

Asas ilahiyah (ta‘abudi) memberikan ruang yang terbatas

pada ijtihad karena para pembesar dan penganut madzhab/aliran

berpikir ini berpendapat bahwa pemahaman dan pengamalan

ajaran agama yang lebih dekat dengan makna teks secara tekstual

dianggap lebih shahih dan selamat, dari pada memahami dan

menjalankan ajaran agama berdasarkan nalar (ta’wil) yang jauh

dari makna tekstualnya.

Asas ketuhanan/Ilahiyah dengan asas basyariyah/nalar

harus diadopsi dan dipadankan secara seimbang. Metode yang

paling sederhana, asas ketuhanan diterapkan terhadap obyek

hukum yang sudah ditetapkan ketentuannya dalam Qur’an-sunah;

sedangkan asas basyariyah/nalar diterapkan terhadap obyek/hal

yang tidak ditentukan oleh Allah dan Rasul dalam Qur’an-sunah.

Akan tetapi, pandangan ini biasanya dianggap pandangan sempit

karena membatasi porsi ijtihad yang tidak sesuai dengan

semangat nalar Islami seperti ditawarkan oleh al-Jabiri dalam kitab

Bunyan al-‘Aql al-‘Arabi, termasuk para pengarusutamaan jender

yang menuntut pembagian sama antara laki-laki dan perempuan

ahli waris serta isu riddah. Pada umumnya, para terpelajar yang

terpengaruh dengan doktrin Universal Declaration of Human Right

(UDHR), terutama tentang ajaran menganai kebebasan beragama,

menganggap bahwa ridah dan perbedaan agama sebagai

penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang dinilai

diskriminatif.

Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan

penjelasan mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat

diwariskan. Oleh karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan

mengenai obyek yang dapat dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak

dan kewajiban dalam hukum kekeluargaan atau hak-hak dan

kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat diwariskan. Di samping

itu, asas ini secara implisit mengenai proses-proses sebelum

pembagian maurus, antara lain melunasi hutang-hutang muwaris

kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan kepada

ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada.

Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang

mendasari aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis

sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga

tidak tersisa lagi, dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli

waris dengan bagiannya masing-masing, membersihkan/

memurnikan harta warisan seperti hutang dan wasiat, sampai

dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga

dikenalkan konsep Aul dan Radd.

Asas Ta‘abudi Versus Asas Ta‘aquli

Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara

wahyu dan akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation and reason) dari

Coluson, teori pilihan antara kesempurnaan agama dan

pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu) dari Imarah, dan teori

Autoritas Hukum dari Gibb yang didukung oleh Lodewijk Willem

Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in

Page 127: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

104

karena ketentuan waris dalam Qur’an-sunah dianggap bias jender,

tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-mar’ah. H.

Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas

ta’abudi diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan

dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris)

selaras dengan asas integrity/ketulusan.

Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas Kegunaan-

Musahamah

Pada kesempatan ini diajukan tiga asas yang berkaitan

dengan cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas

Tertib Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci

pada bagian berikut.

Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun

2000-an dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam

mu’amalah, yaitu tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab

mudharabah (bagian dari syirkah) dalam membagi keuntungan

antara shahib al-mal/pemilik dana dengan mudharib/pengelola.

Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid menjelaskan bahwa

tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh

asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan

bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang

menyatakan bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan

akad mudharabah tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan

tandhidh terhadap modal usaha mudharabah; yaitu melakukan

tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai tertentu

(tahwiluhu min ‘urudh ila nuqud).55

55 Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi

al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159.

Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausu‘ah

Fatawa al-Mu‘amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-Maliyah al-Islamiyah

(Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.

Page 128: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

105

Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan

dalam pembagian harta warisan, terutama terhadap

mauruts/tirkah yang ragam dari segi bentuk dan nilai. Misalnya

Tuan Ahmad meninggal dunia dengan harta peninggalan berupa

sebuah bangunan ruko di Mangga Dua Jakarta, satu bangunan

ruko di Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10 hektar di

Jonggol, tiga buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan

Avanza, dan tanah seluas 10 hektar di Pamengpeuk Garut. Maka

ahli waris Tuan Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus

menaksir terlebih dahulu seluruh harta warisan ke dalam bentuk

rupiah (nuqud), pembagian harta warisan dilakukan setelah

dilakukan penaksiran sehingga sangat mungkin luas tanah atau

bangunan yang diterima oleh ahli waris berbeda-beda tapi relatif

sama dari segi nilai/harga setelah dilakukan perhitungan

porsi/kadar bagian masing-masing ahli waris sesuai dengan

derajat yang dimilikinya. Hal itu dilakukan karena harga ruko di

Mangga Dua dan di Jambu Dua berbeda, harga tanah di Jonggol

berbeda dengan harga tanah di pameungpeuk, dan harga mobil

yang diwariskan juga berbeda-beda karena perbedaan merk.

Asas tandhidh diduga kuat telah dipraktikkan di

masyarakat meskipun cara penaksirannya dilakukan bukan oleh

ahlinya (misal pihak aprassial); sehingga ada yang memperoleh

harta warisan hanya 200 meter persegi karena terletak di pinggir

jalan utama, sementara saudaranya yang lain menerima harta

warisan berupa tanah yang luasnya mencapai 1000 meter persegi

tapi tidak di pinggir jalan utama, karena perbedaan harga tanah

yang disebabkan oleh letak tanah tersebut.

Kedua, asas Tertib Administratif; yaitu pembagian harta

warisan merupakan perbuatan HUKUM Islam yang seharusnya

memiliki akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang

karena ketentuan waris dalam Qur’an-sunah dianggap bias jender,

tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-mar’ah. H.

Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas

ta’abudi diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan

dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris)

selaras dengan asas integrity/ketulusan.

Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas Kegunaan-

Musahamah

Pada kesempatan ini diajukan tiga asas yang berkaitan

dengan cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas

Tertib Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci

pada bagian berikut.

Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun

2000-an dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam

mu’amalah, yaitu tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab

mudharabah (bagian dari syirkah) dalam membagi keuntungan

antara shahib al-mal/pemilik dana dengan mudharib/pengelola.

Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid menjelaskan bahwa

tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh

asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan

bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang

menyatakan bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan

akad mudharabah tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan

tandhidh terhadap modal usaha mudharabah; yaitu melakukan

tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai tertentu

(tahwiluhu min ‘urudh ila nuqud).55

55 Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi

al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159.

Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausu‘ah

Fatawa al-Mu‘amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-Maliyah al-Islamiyah

(Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.

Page 129: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

106

agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang

terutama biasanya terjadi di kemudian hari (sunda: ngagugat).

Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan,

maka mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan

(Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian

warisan yang diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan

dengan sendirinya memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan.

Sedangkan bagi ahli waris yang membagi harta warisan secara

baik-baik (tidak berselisih) kadang-kadang tidak memiliki alat bukti

otentik mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan. Oleh

karena itu, layak kiranya dipikirkan untuk membentuk institusi

yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai

pembagian harta warisan agar keluarga yang bersangkutan

terhindar dari perselisihan yang terjadi di kemudian hari.

Ketiga, asas Kegunaan/Musahamah; dalam Kompilasi

Hukum Islam, pasal 189 (1) dijelaskan bahwa harta warisan yang

berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar,

supaya dipertahankan keutuhannya sebagaimana semula, dan

dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang

bersangkutan. Ketentuan ini dalam pandangan Oyo Sunaryo

Mukhlas disebut sebagai asas pemeliharaan keutuhan dan

kesatuan lahan.56

Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan keahlian

khusus, sebaiknya pembagiannya dilakukan secara musahamah;

yaitu harta peninggalan tersebut secara operasional tetap

dipelihara dan dikelola secara bisnis guna mendapatkan

56 Oyo Sunaryo Mukhlas, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam

dalam Tata Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.

Page 130: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

107

keuntungan yang dibagi bersama sesama ahli waris sesuai

kesepakatan.

Apabila di antara ahli waris memiliki keahlian yang kurang

lebih sama, maka pemeliharaan dan pengelolaan harta

peninggalan dapat dilakukan secara bergiliran. Umpama: Tuan

Tarfin meninggalkan harta warisan bertipa rumah makan yang

luasnya 10 meter persegi (4 m x 2.5 m) di Cikapundung Elektronik

Center Bandung. Ia meninggalkan 2 orang anak laki-laki dan anak

perempuan serta istrinya sebagai ahli waris, maka dengan

bimbingan ibunya, dua anak tersebut sebagai ahli waris diberi hak

untuk memelihara dan mengoperasikan rumah makan tersebut

pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dengan cara

demikian, keuntungan yang diterima keluarga masih bisa

diperoleh dalam jangka yang lebih lama bila dibandingkan

dengan cara penjualan rumah makan tersebut.

Penutup

Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu

sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatu

hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada

level peraturan perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai

asas hukum memerlukan proses ijma‘ jama‘i yang sekarang ini

diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam

dengan pihak eksekutif dan legislatif sebuah negara.

Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas

Kegunaan/ Musahamah, merupakan tawaran yang diharapkan

dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-

pihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam

pembagian harta warisan. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang

terutama biasanya terjadi di kemudian hari (sunda: ngagugat).

Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan,

maka mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan

(Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian

warisan yang diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan

dengan sendirinya memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan.

Sedangkan bagi ahli waris yang membagi harta warisan secara

baik-baik (tidak berselisih) kadang-kadang tidak memiliki alat bukti

otentik mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan. Oleh

karena itu, layak kiranya dipikirkan untuk membentuk institusi

yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai

pembagian harta warisan agar keluarga yang bersangkutan

terhindar dari perselisihan yang terjadi di kemudian hari.

Ketiga, asas Kegunaan/Musahamah; dalam Kompilasi

Hukum Islam, pasal 189 (1) dijelaskan bahwa harta warisan yang

berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar,

supaya dipertahankan keutuhannya sebagaimana semula, dan

dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang

bersangkutan. Ketentuan ini dalam pandangan Oyo Sunaryo

Mukhlas disebut sebagai asas pemeliharaan keutuhan dan

kesatuan lahan.56

Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan keahlian

khusus, sebaiknya pembagiannya dilakukan secara musahamah;

yaitu harta peninggalan tersebut secara operasional tetap

dipelihara dan dikelola secara bisnis guna mendapatkan

56 Oyo Sunaryo Mukhlas, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam

dalam Tata Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.

Page 131: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

108

Daftar Pustaka

Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu‘ah Fatawa al-Mu‘amalat

al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-Maliyah al-

Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.

E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai

Buku “Ichtiar.”

H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum

Adat,” dalam www.badilag.net/.

H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,”

www.badilag.net/.

Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam

Indonesia Abad XX. Jogjakarta: Gadjah Mada University

Press.

Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif

Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana,

Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Muhammad ‘Imarah. 1991. Ma‘alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar

al-Syuruq.

Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham

al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma‘had

al-‘Alami li al-Fikrr al-Islami.

Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic

Jurisprudence. Chicago & London: The University of

Chicago Press.

Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam

websiteayu.

Page 132: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

109

Syihab al-Din Abu al-‘Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqîh

al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Kairo: Maktabah

al-Kuliyyah al-Azhariyyah.

Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia:

Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Daftar Pustaka

Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu‘ah Fatawa al-Mu‘amalat

al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-Maliyah al-

Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.

E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai

Buku “Ichtiar.”

H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum

Adat,” dalam www.badilag.net/.

H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,”

www.badilag.net/.

Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam

Indonesia Abad XX. Jogjakarta: Gadjah Mada University

Press.

Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif

Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana,

Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Muhammad ‘Imarah. 1991. Ma‘alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar

al-Syuruq.

Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham

al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma‘had

al-‘Alami li al-Fikrr al-Islami.

Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic

Jurisprudence. Chicago & London: The University of

Chicago Press.

Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam

websiteayu.

Page 133: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

110

Page 134: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

111

HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA

DAN PEMBAGIAN HARTA WARIS

HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA

Ratu Haika

Latar Belakang

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk

seluruh umat Islam di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak

suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut

memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu.

Hal ini disebabkan karena:

Pertama: meskipun pada dasarnya Islam telah mengatur

dasar hukum kewarisan secara terperinci dalam al Qur'an, jika

terdapat suatu kemungkinan kemuskilan pengertian telah

dijelaskan oleh Nabi. Namun demikian, dalam hal pelaksanaan

praktis terdapat masalah yang secara jelas tidak terdapat

dalam al Qur'an dan belum sempat dijelaskan oleh Nabi,

sehingga hukum menjadi terbuka.

Sebab kedua, ialah bahwa ilmu hukum, termasuk hukum

Islam, dimana hukum waris ada di dalamnya, adalah tergolong

ilmu sosial dan bukan ilmu eksakta. Oleh karena itu, hukum waris

tempat kemungkinan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat

diantara para ahli hukum itu sendiri, terutama mengenai ayat-

ayat yang memungkinkan adanya penafsiran lebih dari satu.57

57 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Menurut KUH

Perdata Dan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 6

Page 135: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

112

Khusus hukum kewarisan Islam di Indonesia, ada beberapa

perbedaan di kalangan para fuqaha yang pada garis besarnya

terbagi menjadi dua golongan, yaitu: pertama, yang lazim

disebut dengan madzhab Sunni (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i

dan Hambali) yang cenderung patrilineal dan kedua, ajaran

Hazairin yang cenderung Bilateral.

Dalam aturan kewarisan Sunny, ahli waris dibagi menjadi

tiga golongan, yaitu: dzawi al furudh, `ashahah, dan dzawi al

arham. Dalam dinamika hukum Islam di Indonesia selanjutnya,

muncul pemikiran yang agak berbeda dengan pemikiran di

atas, seperti dikemukakan oleh Hazairin. Pembagian ahli waris

menurut Hazairin adalah: dzawi as siham, dzawi al qarabah dan

mawali.58 Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya lahirlah

KHI, setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya

UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah

kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh,

serta bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil PA

dalam menyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf.

Mengenai KHI ini, Prof Dr. Busthanul Arifin mengatakan

bahwa KHI Bukan hanya sekedar reaktualisasi hukum Islam, tapi

juga sudah mencerminkan reformasi hukum Islam.59 Di samping itu

perlu juga diperhatikan apa yang dikatakan oleh M. Yahya

Harahap bahwa KHI baru merupakan langkah awal. KHI belum

final dan belum sempurna.60 Selain status KHI yang hanya

sebagai inpres, dimana dalam hirarki perundang-undangan di

Indonesia masih dipersoalkan juga substansi hukum kewarisan

dalam KHI masih banyak yang perlu dilakukan perbaikan dan

58 Lihat buku-buku beliau: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan

Hadits (a) (Jakarta: Tintamas,1982) ; Hendak Kemana Hukum Islam, (b) (Jakarta:

Tintamas,1976); Hukum keluarga Nasional (c) (Jakarta: Tintamas, l974).

59 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah,

Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani, 1982) h.76

60 Yahya Harahap, Op. Cit., h.61

Page 136: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

113

pengembangan seiring dengan berbagai temuan dan

perkembangan baru dalam praktek di Pangadilan pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya. Karena dalam

buku II KHI ini, banyak hal yang diatur, maka dalam tulisan ini

hanya dibatasi pada masalah rukun dan syarat pewarisan,

kelompok ahli waris dan bagiannya masing-masing.

Kewarisan Islam Perspektif Fiqh

Waris dalam bahasa Arab berasal dari akar kata waratsa,

yaritsu wa miratsan,61 secara bahasa berarti pindahnya sesuatu dari

seseorang kepada orang lain. Sesuatu itu lebih umum dari harta,

meliputi ilmu, kemulian dan sebagainya. Dalam al Qur’an ditemukan

beberapa lafadz waratsa yang antara lain diterjemahkan dengan

menggantikan kedudukan (Qs. An Naml: 16), menganugrahkan (Qs.

Az Zumar: 74), menerima warisan (Qs. Maryam: 6) Sedang menurut

istilah, kewarisan adalah pemindahan pemilikan harta dari

penguasaan orang yang telah meninggal dunia kepada ahli

warisnya yang masih hidup, baik berupa uang, barang-barang

kebutuhan hidup atau hak-hak syar 'iyyah.62

Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Pewarisan

Peralihan harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya

dengan nama peawarisan dapat terjadi jika terdapat tiga unsur

pewarisan yang memenuhi syarat sebagai berikut:

Matinya pewaris

Dalam kewarisan Islam, kematian pewaris menyebab-

kan peralihan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya

dengan sendirinya, dalam artian peralihan berlaku secara ijbari.63

61 M. Ali Ash Shabuni, A1 Mawaris fi syariat al Islamiyyah `ala Dhau'i Kitabi wa as

Sunah, (Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979), h. 30

62Ibid

63 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan

Khusus hukum kewarisan Islam di Indonesia, ada beberapa

perbedaan di kalangan para fuqaha yang pada garis besarnya

terbagi menjadi dua golongan, yaitu: pertama, yang lazim

disebut dengan madzhab Sunni (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i

dan Hambali) yang cenderung patrilineal dan kedua, ajaran

Hazairin yang cenderung Bilateral.

Dalam aturan kewarisan Sunny, ahli waris dibagi menjadi

tiga golongan, yaitu: dzawi al furudh, `ashahah, dan dzawi al

arham. Dalam dinamika hukum Islam di Indonesia selanjutnya,

muncul pemikiran yang agak berbeda dengan pemikiran di

atas, seperti dikemukakan oleh Hazairin. Pembagian ahli waris

menurut Hazairin adalah: dzawi as siham, dzawi al qarabah dan

mawali.58 Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya lahirlah

KHI, setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya

UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah

kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh,

serta bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil PA

dalam menyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf.

Mengenai KHI ini, Prof Dr. Busthanul Arifin mengatakan

bahwa KHI Bukan hanya sekedar reaktualisasi hukum Islam, tapi

juga sudah mencerminkan reformasi hukum Islam.59 Di samping itu

perlu juga diperhatikan apa yang dikatakan oleh M. Yahya

Harahap bahwa KHI baru merupakan langkah awal. KHI belum

final dan belum sempurna.60 Selain status KHI yang hanya

sebagai inpres, dimana dalam hirarki perundang-undangan di

Indonesia masih dipersoalkan juga substansi hukum kewarisan

dalam KHI masih banyak yang perlu dilakukan perbaikan dan

58 Lihat buku-buku beliau: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan

Hadits (a) (Jakarta: Tintamas,1982) ; Hendak Kemana Hukum Islam, (b) (Jakarta:

Tintamas,1976); Hukum keluarga Nasional (c) (Jakarta: Tintamas, l974).

59 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah,

Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani, 1982) h.76

60 Yahya Harahap, Op. Cit., h.61

Page 137: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

114

Kematian pewaris merupakan faktor utama adanya pewarisan,

karena itu kematian harus diketahui secara jelas dan dapat

dibuktikan secara hukum. Dalam hal ini para Ulama membagi

kematian pewaris menjadi tiga macam, yaitu: mati hakiki, mati

hukmi dan mati takdiri.64

Hidupnya ahli waris saat kematian pewaris

Para ahli waris yang benar-benar hidup di saat kematian

pewaris, berhak mewarisi harta peninggalan. Untuk unsur dan

syarat kedua ini ada beberapa masalah antara lain, waris bagi

orang mafqud dan waris anak dalam kandungan.

Pewaris meninggalkan tirkah

Hal ini jika pewaris tidak meninggalkan tirkah,65 maka

tidak akan terjadi pewarisan. Menurut Ash Shabuni tirkah sama

artinya dengan mauruts, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh

orang yang meninggal dunia, baik berupa uang, atau hak-hak

materi lainnya.66 Dalam pengertian yang cukup populer di

kalangan Jumhur Ulama, tirkah mempunyai arti yang lebih luas

daripada mauruts. Tirkah yaitu apa yang ditinggalkan oleh

orang yang meninggal dunia, yang mencakup harta benda

maupun hak-hak keuangan, termasuk hutang pewaris dan juga

peninggalan yang digunakan untuk biaya, pengurusan mayat

dan pelaksanaan wasiat. Sedangkan mauruts hanya terbatas

pada sisa harta yang setelah dikeluarkan untuk biaya

pengurusan mayat, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.67

Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 18

64 Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jilid III ( Semarang: Toha Putra: 1980), h. 426

65 Tirkah secara lughawi berarti harts peninggalan.

66 Ash Shabuni, Op. Cit., h. 37

67 M, Abu Zahrah, Al Tirkh wa a l Mirats, (Cairo'. Dar Al Filer, 1975), h. 150

Page 138: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

115

Tidak ada penghalang

Meskipun telah terpenuhi ketiga unsur dan syarat

pewarisan di atas, jika masih ada penghalang mewarisi maka

pewarisan tidak akan terjadi. Adapun penghalang-penghalang

pewarisan itu adalah perbudakan, pembunuhan dan berlainan

agama

Ahli Waris dan Bagiannya

Dalam uraian kelompok ahli waris dan bagiannya ini akan

disusun berdasarkan uraian ahli waris menurut sebab-sebab

mereka mendapatkan warisan. Sebab-sebab kewarisan dalam Islam

ada tiga,68 yaitu:

Ahli waris sababiyah (karena perkawinan)

Salah satu sebab kewarisan adalah karena perkawinan. Ahli

waris karena perkawinan ialah suami dan atau istri.

a. Bagian istri

Istri dalam menerima warisan dari suaminya mempunyai dua

fard, yaitu: seperempat bila si suami (pewaris) tidak

mempunyai f a r ' u w a r i t s (anak laki-laki atau perempuan) dan

cucu-cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki.

Seperdelapan bila sipewaris mempunyai far’u warits. Adapun

dasar hukumnya adalah QS. An-Nisa: 12 b. Bagian Suami

Dalam menerima warisan dari istrinya, suami mempunyai dua

fard, yaitu: pertama, seperdua (½) bila si istri (pewaris) tidak

mempunyai far'u waris. Kedua, seperempat (¼) bila pewaris

68 Husnain Muhammad Mahluf, A1 Mawaris fi Syari'at al Islamiyyah, (Cairo:

Mathbah al Madam, 1976), h. 33

Kematian pewaris merupakan faktor utama adanya pewarisan,

karena itu kematian harus diketahui secara jelas dan dapat

dibuktikan secara hukum. Dalam hal ini para Ulama membagi

kematian pewaris menjadi tiga macam, yaitu: mati hakiki, mati

hukmi dan mati takdiri.64

Hidupnya ahli waris saat kematian pewaris

Para ahli waris yang benar-benar hidup di saat kematian

pewaris, berhak mewarisi harta peninggalan. Untuk unsur dan

syarat kedua ini ada beberapa masalah antara lain, waris bagi

orang mafqud dan waris anak dalam kandungan.

Pewaris meninggalkan tirkah

Hal ini jika pewaris tidak meninggalkan tirkah,65 maka

tidak akan terjadi pewarisan. Menurut Ash Shabuni tirkah sama

artinya dengan mauruts, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh

orang yang meninggal dunia, baik berupa uang, atau hak-hak

materi lainnya.66 Dalam pengertian yang cukup populer di

kalangan Jumhur Ulama, tirkah mempunyai arti yang lebih luas

daripada mauruts. Tirkah yaitu apa yang ditinggalkan oleh

orang yang meninggal dunia, yang mencakup harta benda

maupun hak-hak keuangan, termasuk hutang pewaris dan juga

peninggalan yang digunakan untuk biaya, pengurusan mayat

dan pelaksanaan wasiat. Sedangkan mauruts hanya terbatas

pada sisa harta yang setelah dikeluarkan untuk biaya

pengurusan mayat, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.67

Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 18

64 Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jilid III ( Semarang: Toha Putra: 1980), h. 426

65 Tirkah secara lughawi berarti harts peninggalan.

66 Ash Shabuni, Op. Cit., h. 37

67 M, Abu Zahrah, Al Tirkh wa a l Mirats, (Cairo'. Dar Al Filer, 1975), h. 150

Page 139: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

116

meninggalkan far'u warits. Adapun dasar hukumnya adalah QS.

An-Nisa: 12

Ahli Waris Nasabiyah

Dalam aturan kewarisan sunni, ahli waris nasabiyah dibagi

menjadi tiga golongan yaitu : dzawi al fiurudh, `ashahah dan dzawi

al arham69 dzawi al furudh adalah ahli waris yang bagiannya

dalam warisan telah ditentukan secara pasti, misalnya

seperdua, sepertiga, seperenam dan sebagainya. 'Ashabah

adalah ahli waris yang mempunyai bagian terbuka dalam warisan.

Sedang dzawi al arham adalah orang-orang yang baru berhak

menerima warisan kalau golongan pertama dan kedua tidak ada.

Ini terjadi ikhtilaf diantara para ulama fiqh. Batas antara dzawi

al.furudh dan 'ashabah tidak dapat ditarik secara tegas, karena

ada beberapa ahli waris yang dalam suatu keadaan bertindak

sebagai dzawi al-furudh tetapi dalam keadaan lain beralih menjadi

'ashabah. Karenanya kedua bidang ini akan lebih jelas dan mudah

difahami jika dibahas secara bersamaan.

Berbeda dengan pemikiran di atas, madzhab Ja’fariah tidak

menerima penggolongan seperti di atas. Madzhab Ja'fariah me-

ngelompokkan ahli waris berdasarkan dua tinjauan, yaitu berda-

sarkan hubungan darah dan kepastian saham.70 Ahli waris

berdasarkan hubungan darah terdiri atas tiga kelompok keutama-

an, yaitu :

1) kelompok keutamaan pertama terdiri dari keturunan

dan orang tua

69 Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbadingan Terhadap

Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab (Jakarta : INIS, 1998), h. 1

70 Abu Zahrah, al Mirats 'Inda Ja fariah, (Kairo:Dar al Fikr,tt), h.10

Page 140: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

117

2) kelompok keutamaan kedua terdari dari kakek dan saudara

(keturunan)

3) kelompok keutamaan ketiga terdiri dari leluhur di atas kakek

dan kerabat garis sisi yang bukan saudara.

Dalam hal ini selama kelompok keutamaan yang lebih tinggi

masih ada, maka kelompok yang lebih rendah tidak berhak mewa-

risi.

Adapun ahli waris berdasarkan kepastian saham

dibedakan menjadi dua, yaitu: dzawi as siham, orang yang

mendapat bagian pasti dan dzawi al qarabah, orang yang

mendapat sisa setelah dikeluarkan saham golongan dzawi as

siham. Dilihat dari pengelmpokan ahli waris berdasarkan

kepastian saham ini, tampaknya mempunyai kesamaan dengan

istilah dzawi al furudh dan `ashabah dalam kewarisan Sunni.

Perbedaannya terletak aturan tentang hijab menghijab, karena

di sini tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan

perempuan, demikian pula keturunannya tidak membedakan dari

jalur anak laki-laki atau perempuan. Namun walaupun

demikian tetap memegang perbandingan 2:1 antara laki-laki dan

perempuan. Selain itu dalam kewarisan madzhah Ja’fariah juga

mengenal kewarisan ahli waris karena penggantian.

Beralih ke Indonesia, menurut Hazairin ahli waris

dibagi menjadi tiga71, yaitu dzawi al faraidh, dzawi al qarabahal,

dan mawali (ahli waris pengganti). Dari pengelompokan ahli waris

ini tampaknya antara Hazairin dan madzhah Ja’fariah banyak

persamaan disamping juga ada perbedaan. Persamaannya

adalah keduanya tidak mengakuai adanya `ashabah dan

memperkenalkan istilah dzawi al qarahah. Selain itu keduanya juga

71 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an Dan Hadith (Jakarta:

Tintatnas,1982), h.18

meninggalkan far'u warits. Adapun dasar hukumnya adalah QS.

An-Nisa: 12

Ahli Waris Nasabiyah

Dalam aturan kewarisan sunni, ahli waris nasabiyah dibagi

menjadi tiga golongan yaitu : dzawi al fiurudh, `ashahah dan dzawi

al arham69 dzawi al furudh adalah ahli waris yang bagiannya

dalam warisan telah ditentukan secara pasti, misalnya

seperdua, sepertiga, seperenam dan sebagainya. 'Ashabah

adalah ahli waris yang mempunyai bagian terbuka dalam warisan.

Sedang dzawi al arham adalah orang-orang yang baru berhak

menerima warisan kalau golongan pertama dan kedua tidak ada.

Ini terjadi ikhtilaf diantara para ulama fiqh. Batas antara dzawi

al.furudh dan 'ashabah tidak dapat ditarik secara tegas, karena

ada beberapa ahli waris yang dalam suatu keadaan bertindak

sebagai dzawi al-furudh tetapi dalam keadaan lain beralih menjadi

'ashabah. Karenanya kedua bidang ini akan lebih jelas dan mudah

difahami jika dibahas secara bersamaan.

Berbeda dengan pemikiran di atas, madzhab Ja’fariah tidak

menerima penggolongan seperti di atas. Madzhab Ja'fariah me-

ngelompokkan ahli waris berdasarkan dua tinjauan, yaitu berda-

sarkan hubungan darah dan kepastian saham.70 Ahli waris

berdasarkan hubungan darah terdiri atas tiga kelompok keutama-

an, yaitu :

1) kelompok keutamaan pertama terdiri dari keturunan

dan orang tua

69 Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbadingan Terhadap

Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab (Jakarta : INIS, 1998), h. 1

70 Abu Zahrah, al Mirats 'Inda Ja fariah, (Kairo:Dar al Fikr,tt), h.10

Page 141: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

118

mengakui adanya ahli waris karena penggantian, walaupun ada

perbedaan dalam pelaksanaannya.

Untuk selanjutnya dalam menguraikan ahli waris nasabiyah

dan bagiannya akan disusun berdasarkan hubungan ahli waris

dengan si pewaris dalam kekerabatan yaitu :

Anak dan Keturunannya

1. Anak perempuan (keturunan perempuan derajat pertama)

Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak

perempuan mempunyai tiga macam fardh, yaitu : seperdua bila

hanya satu orang dan mendapat dua pertiga bila dua orang atau

lebih, menjadi 'ashabah bila didampingi oleh kerabat laki-laki

yang sederajat. Dasar hukumnya adalah Qs. An Nisa: 11

2. Anak laki-laki

Anak laki-laki adalah termasuk ahli waris `ashabah. Adapun

cara-cara dan ketentuan dalam kewarisannya adalah sebagai

berikut :

a) Mendapat seluruh harta warisan, bila ahli waris hanya

seorang atau beberapa orang anak laki-laki.

b) Mendapat seluruh sisa dari harta warisan, bila pewaris

meninggalkan ahli waris dzawi al furudh dan anak laki-laki.

c) Apabila diantara ahli waris itu ada anak perempuan dan

dzawi al furudh maka setelah diambil bagian dzawi al furudh,

dibagi antara anak laki-laki dan perempuan dengan

perbandingan 2: 1.

3. Cucu perempuan (keturunan perempuan derajat kedua dan

seterusnya)

Para ulama Sunni sepakat bahwa keturunan yang

berhak mewarisi hanyalah keturunan yang melalui garis laki-

Page 142: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

119

laki. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan kemung-

kinan bahwa keturunan melalui garis perempuan mempunyai

hak yang sama, seperti yang diberikan kepada garis laki-laki.

Bagian untuk cucu perempuan ini adalah : pertama sama

seperti anak perempuan, yaitu setengah bila sendiri, sepertiga

bila dua orang atau lebih sekiranya keturunan derajat yang

lebih tinggi sudah tidak ada. Kedua, memperoleh seperenam

jika ia bersama anak perempuan tunggal. Ketiga, menjadi

'ashabah, bila mewaris bersama keturunan laki-laki yang

sederajat atau yang lebih rendah dan terhijab dua orang anak

perempuan dan far’u warits laki-laki yang lebih tinggi

derajatnya.

Berbeda dengan ulama sunni, madzhab Ja'fariah

berpendapat bahwa kerabat dari keturunan laki-laki

mempunyai kedudukan yang sama dengan kerabat dari

keturunan perempuan, termasuk keturunan dari anak laki-laki

dan perempuan.72 Jadi mereka tidak membedakan antara

keturunan dari anak laki-laki dan perempuan. Anak

derajat dua dan seterusnya selalu menjadi ahli waris

pengganti terhadap orang tua mereka. Namun cucu-cucu ini

baru bisa mewaris bila anak (derajat pertama) baik laki-laki

maupun perempuan telah tidak ada semua.

4. Cucu laki-laki (keturunan laki-laki derajat kedua dan seterusnya)

Cucu laki-laki ini termasuk 'ashabah, bila tidak ada anak laki-laki

atau orang laki-laki yang lebih tinggi derajatnya. Jadi menurut

kewarisan Sunni la terhijab oleh anak laki-laki. Dan menurut

madzhab Ja'fariah la juga terhijab oleh anak perempuan.

Sedang menurut Hazairin yang mengakuai adanya ahli waris

72 Abu Zahrah, Op. cit, h.97

mengakui adanya ahli waris karena penggantian, walaupun ada

perbedaan dalam pelaksanaannya.

Untuk selanjutnya dalam menguraikan ahli waris nasabiyah

dan bagiannya akan disusun berdasarkan hubungan ahli waris

dengan si pewaris dalam kekerabatan yaitu :

Anak dan Keturunannya

1. Anak perempuan (keturunan perempuan derajat pertama)

Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak

perempuan mempunyai tiga macam fardh, yaitu : seperdua bila

hanya satu orang dan mendapat dua pertiga bila dua orang atau

lebih, menjadi 'ashabah bila didampingi oleh kerabat laki-laki

yang sederajat. Dasar hukumnya adalah Qs. An Nisa: 11

2. Anak laki-laki

Anak laki-laki adalah termasuk ahli waris `ashabah. Adapun

cara-cara dan ketentuan dalam kewarisannya adalah sebagai

berikut :

a) Mendapat seluruh harta warisan, bila ahli waris hanya

seorang atau beberapa orang anak laki-laki.

b) Mendapat seluruh sisa dari harta warisan, bila pewaris

meninggalkan ahli waris dzawi al furudh dan anak laki-laki.

c) Apabila diantara ahli waris itu ada anak perempuan dan

dzawi al furudh maka setelah diambil bagian dzawi al furudh,

dibagi antara anak laki-laki dan perempuan dengan

perbandingan 2: 1.

3. Cucu perempuan (keturunan perempuan derajat kedua dan

seterusnya)

Para ulama Sunni sepakat bahwa keturunan yang

berhak mewarisi hanyalah keturunan yang melalui garis laki-

Page 143: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

120

pengganti berpendapat bahwa cucu baik laki-laki atau

perempuan hanya terhijab oleh orang tua mereka, sedang anak

pewaris yang lain tidak menjadikan mereka terhijab73

a. Orang tua dan keturunan ke atas

1) Ibu

Dalam mewarisi harta dari anak, ibu mempunyai

bagian :

a) Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan)

atau dua orang saudara atau lebih, Qs. An Nisa:11

b) Mendapat sepertiga bila tidak terdapat anak

(keturunan) atau dua orang saudara atau lebih

juga tidak ada suami atau istri pewaris, Qs. An Nisa:

11

c) Sepertiga sisa harta warisan bila bersama salah

seorang istri atau suami pewaris.

2) Ayah

Dalam kewarisan sunni, ayah mewarisi harta peniggalan

anaknya mendapat bagian :

a) Seperenam, jika pewaris mempunyai anak

(keturunan) laki-laki.

b) Seperenam dan sebagai `ashabah bila ia bersama

anak (keturunan) perempuan.

c) Sebagai 'ashabah jika tidak ada far 'u warits.

73Hazairin, Op. cit., h.27

Page 144: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

121

Dalam hal ini baik Hazairin maupun madzhab Ja'fariah

berpendapat bahwa ayah hanya menjadi 'ashahah atau d-

zawi al qarabah bila pewaris tidak mempunyai anak atau

keturunan sama sekali. Jadi menurut mereka bagian ayah

adalah:

a. seperenam bila ada anak (keturunan) pewaris

b. menjadi 'ashabah bila tidak ada anak

3) Nenek

Yang dimaksud nenek dalam kewarisan sunni adalah

nenek shahihat. Nenek shahihat ialah nenek (keturunan

ke atas) yang dipertalikan pada si mati (pewaris) tanpa

memasukkan kakek ghairushahih,74 yaitu pertaliannya

dengan si pewaris tanpa diselingi oleh kakek sama

sekali.

Adapun bagian nenek adalah seperenam, jika

tidak ada ibu dan terhijab dengan adanya ibu.

4) Kakek

Kakek dalam kewarisan sunni maksudnya adalah kakek

shahih, yaitu kakek yang hubungan nasabnya dengan si

pewaris tanpa diselingi oleh ibu75 Seperti bapaknya

bapak (abu al ab), bapak dari bapaknya bapak (abu ab al

ab) sampai seterusnya. Adapun bagian kakek adalah

sebagai berikut :

a) Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan) laki-

laki pewaris.

b) Seperenam dan sebagai `ashahah jika bersama anak

(keturunan) perempuan.

74 Husnain M. Makhluf, Op. Cit, h. 93

75 Ibid, h.80

pengganti berpendapat bahwa cucu baik laki-laki atau

perempuan hanya terhijab oleh orang tua mereka, sedang anak

pewaris yang lain tidak menjadikan mereka terhijab73

a. Orang tua dan keturunan ke atas

1) Ibu

Dalam mewarisi harta dari anak, ibu mempunyai

bagian :

a) Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan)

atau dua orang saudara atau lebih, Qs. An Nisa:11

b) Mendapat sepertiga bila tidak terdapat anak

(keturunan) atau dua orang saudara atau lebih

juga tidak ada suami atau istri pewaris, Qs. An Nisa:

11

c) Sepertiga sisa harta warisan bila bersama salah

seorang istri atau suami pewaris.

2) Ayah

Dalam kewarisan sunni, ayah mewarisi harta peniggalan

anaknya mendapat bagian :

a) Seperenam, jika pewaris mempunyai anak

(keturunan) laki-laki.

b) Seperenam dan sebagai `ashabah bila ia bersama

anak (keturunan) perempuan.

c) Sebagai 'ashabah jika tidak ada far 'u warits.

73Hazairin, Op. cit., h.27

Page 145: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

122

c) Sebagai 'ashabah jika tidak ada far'u warits.

d) Mempunyai kedudukan khusus jika bersama

saudara76

e) Terhijab oleh ayah

Dari keterangan di atas tampak bahwa kakek

menduduki kedudukan ayah bila ayah telah tidak ada. Dalam

kedudukan kakek dan nenek ini, madzhab Ja’fariah tidak

membedakan kakek dan nenek tersebut, baik dari jalur ayah

maupun ibu. Kakek dan nenek dari garis ayah akan

mengambil saham ayah. Demikian pula kakek dan nenek dari

ibu akan mengambil saham ibu. Namun tetap

memperhatiakan derajat yang dekat menghijab derajat yang

jauh dan laki-laki mendapat dua kali perempuan.

Saudara dan ahli waris penerusnya

1. Saudara perempuan kandung dan seayah

Bagian saudara perempuan kandung dan seayah adalah

sebagai berikut :

a) Mendapat seperdua bila hanya seorang

b) Mendapat dua pertiga jika terdiri dari dua orang atau lebih

c) Menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya atau

bersama dengan anak perempuan.

d) Terhijab oleh anak (keturunan) laki-laki dan ayah

Hubungan saudara kandung dan seayah ini seperti

kedudukan anak dan cucu, jadi selama ada saudara kandung,

saudara seayah terhijab.

76 Lihat Al-Yasa Abu Bakar, Op.cit, h. 161-170, Fathurralmian, Op.Cit, h. 272-279

Page 146: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

123

2. Saudara seibu (laki-laki atau perempuan)

Saudara seibu akan mengambil seperenam kalau hanya

satu orang. Bila mereka terdiri atas dua orang atau lebih maka

bagiannya adalah 1/3. mereka akan berbagi rata walaupun antara

laki-laki dan perempuan. Adapun dasar yang dipakai adalah QS.

An-Nisa : 12

3. Saudara laki-laki kandung dan seayah

Hubungan saudara laki-laki kandung dan seayah

seperti hubungan anak dengan cucu, jadi selama masih ada

saudara laki-laki kandung, saudara seayah menjadi terhijab.

Saudara laki-laki menjadi 'ashabah jika tidak ada keturunan

laki-laki atau ayah atau kakek, berdasarkan An-Nisa: 176.

Karena itu menarik saudaranya yang perempuan menjadi

'ashabah bil ghair. Namun ketika mewarisi bersama dengan

anak perempuan terjadi perbedaan pendapat, apakah akan

menarik saudaranya yang perempuan menjadi 'ashabah bil

ghair atau tidak. Jumhur ulama menganggap saudara laki-

laki itu menarik saudara perempuannya dengan alasan

semua dzawi al furudh yang ada dalam Al-Qur'an dan

sederajat dengan 'ashabah bi an-nafsi akan ditarik menjadi

'ashabah bil ghair. Ibnu Abbas yang kemudian diikuti Oleh

Ibnu H a z m , menganggap saudara tersebut tidak akan menarik

saudara perempuannya menjadi 'ashabah. Menurutnya,

ketentuan yang dianut jumhur hanya berlaku terhadap saudara-

saudara yang mewarisi berdasarkan Al-Qur'an, yaitu ketika tidak

ada keturunan perempuan.77

77 Al-Yasa Abu Bakar, Op.Cit. h. 157

c) Sebagai 'ashabah jika tidak ada far'u warits.

d) Mempunyai kedudukan khusus jika bersama

saudara76

e) Terhijab oleh ayah

Dari keterangan di atas tampak bahwa kakek

menduduki kedudukan ayah bila ayah telah tidak ada. Dalam

kedudukan kakek dan nenek ini, madzhab Ja’fariah tidak

membedakan kakek dan nenek tersebut, baik dari jalur ayah

maupun ibu. Kakek dan nenek dari garis ayah akan

mengambil saham ayah. Demikian pula kakek dan nenek dari

ibu akan mengambil saham ibu. Namun tetap

memperhatiakan derajat yang dekat menghijab derajat yang

jauh dan laki-laki mendapat dua kali perempuan.

Saudara dan ahli waris penerusnya

1. Saudara perempuan kandung dan seayah

Bagian saudara perempuan kandung dan seayah adalah

sebagai berikut :

a) Mendapat seperdua bila hanya seorang

b) Mendapat dua pertiga jika terdiri dari dua orang atau lebih

c) Menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya atau

bersama dengan anak perempuan.

d) Terhijab oleh anak (keturunan) laki-laki dan ayah

Hubungan saudara kandung dan seayah ini seperti

kedudukan anak dan cucu, jadi selama ada saudara kandung,

saudara seayah terhijab.

76 Lihat Al-Yasa Abu Bakar, Op.cit, h. 161-170, Fathurralmian, Op.Cit, h. 272-279

Page 147: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

124

4. Ahli waris penerus saudara

Para ulama sepakat bahwa lafadz al akh yang terdapat

dalam Al-Qur'an tidak mencakup kepada keturunannya. Namun

apabila saudara telah tidak ada, hak mewarisi tersebut beralih

pada keturunan mereka berdasarkan hadits Ibnu Abbas.78

Keturunan perempuan dari saudara laki-laki tidak terma-

suk dzawi al furudh dan karenanya tidak dapat ditarik menjadi

'ashabah bi al ghair. Begitu pula keturunan saudara seibu tidak

lagi diperhitungkan, sama seperti keturunan anak perempuan,

karena hubungan mereka melalui garis perempuan. Selanjutnya

apabila keturunan saudara laki-laki kandung tidak ada, maka hak

saudara tersebut dialihkan kepada saudara laki-laki seayah dan

keturunannya. Jadi ahli waris penerus dari saudara adalah :

a) Keturunan laki-laki garis laki-laki dari saudara laki-laki

kandung atau seayah.

b) Saudara laki-laki (kandung atau seayah) dari ayah dan

keturunan laki-laki garis laki-laki.

Dzawi al arham

Makna secara lughah dzawi al arham diambil dari pengertian

lafadz arham dalam QS. Al-Anfal : 75

Dari ayat ini arti arham ialah mencakup keluarga secara

umum baik ia termasuk ahli waris dzawi al- furudh atau 'ashabah

atau golongan lainnya79 Namun secara istilah ulama fiqh

mendefinisikannya sebagai anggota kerabat yang tidak menjadi

dzawi al furudh dan 'ashabah. Adapun yang termasuk dzawi al arham

adalah :

78 An-Nawawi, Shahih Muslim bi syarh an-Nawawi (Beirut : Dar al Fikr), h.52

79 Hassanain M. Makhluf, Op.cit, h. 131

Page 148: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

125

1. Semua kerabat (laki-laki dan perempuan) yang dalam tali

perhubungannya dengan pewaris ada orang perempuan,

seperti cucu melalui anak perempuan. Namun ada pengecualian

yaitu saudara seibu dan nenek yang digolongkan sebagai

ahli waris dzawi al furudh.

2. Semua kerabat perempuan yang tidak tertarik menjadi

`ashabah bi a1 ghair oleh ahli waris laki-laki yang sederajat

dengan dia.

Mengenai kewarisan dzawi al arham ini terdapat dua

pendapat, yaitu pendapat pertama, mengatakan bahwa dzawi al

arham tidak berhak mendapat warisan sama sekali. Jika tidak ada

ahli waris lain kecuali dzawi al arham maka harta warisan

diserahkan pada bait al mal. Konsepsi ini merupakan pendapat

Imam Syafi'i dan Imam Malik yang bersandar pada pendapat

Zaid bin Tsabit dan Ibn Abbas.

Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa dzawi al

arham dapat mewaris bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris

dzawi al furudh dan `ashabah. Pendapat ini adalah pendapat Imam

Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal. Pendapat kedua Imam

tersebut disandarkan pada pendapat Ali bin Abi Thalib, Umar bin

Khathtab dan Ibnu Mas'ud,80 dan pendapat ini adalah pendapat

Jumhur.

Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada

pasal 171 ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum

yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

80 M. Ali Ash. Shabuni, op. cit, h. 178

4. Ahli waris penerus saudara

Para ulama sepakat bahwa lafadz al akh yang terdapat

dalam Al-Qur'an tidak mencakup kepada keturunannya. Namun

apabila saudara telah tidak ada, hak mewarisi tersebut beralih

pada keturunan mereka berdasarkan hadits Ibnu Abbas.78

Keturunan perempuan dari saudara laki-laki tidak terma-

suk dzawi al furudh dan karenanya tidak dapat ditarik menjadi

'ashabah bi al ghair. Begitu pula keturunan saudara seibu tidak

lagi diperhitungkan, sama seperti keturunan anak perempuan,

karena hubungan mereka melalui garis perempuan. Selanjutnya

apabila keturunan saudara laki-laki kandung tidak ada, maka hak

saudara tersebut dialihkan kepada saudara laki-laki seayah dan

keturunannya. Jadi ahli waris penerus dari saudara adalah :

a) Keturunan laki-laki garis laki-laki dari saudara laki-laki

kandung atau seayah.

b) Saudara laki-laki (kandung atau seayah) dari ayah dan

keturunan laki-laki garis laki-laki.

Dzawi al arham

Makna secara lughah dzawi al arham diambil dari pengertian

lafadz arham dalam QS. Al-Anfal : 75

Dari ayat ini arti arham ialah mencakup keluarga secara

umum baik ia termasuk ahli waris dzawi al- furudh atau 'ashabah

atau golongan lainnya79 Namun secara istilah ulama fiqh

mendefinisikannya sebagai anggota kerabat yang tidak menjadi

dzawi al furudh dan 'ashabah. Adapun yang termasuk dzawi al arham

adalah :

78 An-Nawawi, Shahih Muslim bi syarh an-Nawawi (Beirut : Dar al Fikr), h.52

79 Hassanain M. Makhluf, Op.cit, h. 131

Page 149: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

126

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."

Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI

mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris

b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta

peninggalan dari pewaris kepada ahli waris

e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.

Unsur dan Syarat Pewarisan

Dari definisi hukum kewarisan di atas tampak unsur-unsur

pewarisan, yaitu:

a. Pewaris

Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b):

"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau

yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan

beragama Islam, meniggalkan ahli waris dan harta

peninggalan."

Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya

pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal

dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Selain disyaratkan

telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama

Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-

syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh

mawaris.

Page 150: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

127

b. Ahli Waris

Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal

171 ayat ( c ): "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal

dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena

hukum untuk menjadi ahli waris"

Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini,

dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris

adalah:

1) Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

2) Beragama Islam.

Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut

diatur dalam pasal 172 KHI:

"Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari

kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,

sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa,

beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."

3) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya

pewaris, seperti disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak

dalam ketentuan ini, dan menurut penulis hal ini perlu

ditegaskan.

Dari pasal 171 ayat ( c ) ini, pertama, menurut penulis perlu

adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan

redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli

waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian.

Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan

apakah ahli waris tersebut disyaratkan hidup atau tidak

seperti telah diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."

Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI

mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris

b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta

peninggalan dari pewaris kepada ahli waris

e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.

Unsur dan Syarat Pewarisan

Dari definisi hukum kewarisan di atas tampak unsur-unsur

pewarisan, yaitu:

a. Pewaris

Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b):

"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau

yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan

beragama Islam, meniggalkan ahli waris dan harta

peninggalan."

Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya

pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal

dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Selain disyaratkan

telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama

Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-

syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh

mawaris.

Page 151: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

128

bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah

hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki

maupun hukum.

Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut

adalah: "Ahli waris adalah orang yang masih hidup atau

dinyatakan masih hidup oleh putusan pengadilan pada saat

meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."

4) Adanya Harta Peninggalan (Tirkah).

KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat

para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah,

yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan

adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa

harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya."

Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal

171 ayat (e) ;

"Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama

sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah

(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."

Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum

harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah

berupa:

1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang,

termasuk piutang yang akan ditagih.

2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar

pada saat seseorang meninggal dunia

Page 152: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

129

3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan

masing-masing.

4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami

atau istri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa

sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali

pada asalnya, yaitu suku tersebut.81

Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang

merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara

induvidual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan

setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau istri, harta

bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan

pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran

hutang si mati dan wasiat.

Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara

pengertian tirkah dan maurus .

Halangan Menjadi Ahli Waris

Salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah tidak adanya

halangan pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris

dalam KHI disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai

berikut:

"Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan

putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap,

dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada pewaris.

81 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dengan

Kewarisan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 102-103

bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah

hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki

maupun hukum.

Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut

adalah: "Ahli waris adalah orang yang masih hidup atau

dinyatakan masih hidup oleh putusan pengadilan pada saat

meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."

4) Adanya Harta Peninggalan (Tirkah).

KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat

para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah,

yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan

adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa

harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya."

Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal

171 ayat (e) ;

"Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama

sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah

(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."

Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum

harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah

berupa:

1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang,

termasuk piutang yang akan ditagih.

2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar

pada saat seseorang meninggal dunia

Page 153: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

130

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan

bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam

dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih

berat".

Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli

waris menurut KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris

tampak bahwa yang terkandung dalam pasal 173 ini hanya

pembunuhan. Adapun perbudakan dan berlainan agama tidak

ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima, karena di

Indonesia tidak ada perbudakan.

Adapun tentang berbeda agama walaupun tidak

dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang halangan

seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga

mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang

pewarisan juga. Hal ini seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan

ayat (c) tentang pewaris dan ahli waris yang harus beragama

Islam. Jadi dalam halangan mewarisi ini sebaiknya ditambah

dengan berbeda agama.

Kelompok Ahli Waris Dan Bagiannya

Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal

174, selengkapnya pasal tersebut berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,

anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan

perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

Page 154: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

131

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat

warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan

pengelompokan berdasarkan sebab-sebab terjadinya pewarisan,

yaitu karena hubungan darah (nasabiyah), dan karena perkawinan

(sababiyah). Jika dibandingkan dengan pengelompokan ahli waris

menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI tidak mencantumkan ahli

waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena di

Indonesia tidak mengenal perbudakan.

Ahli waris sababiyah (karena perkawinan)

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 174 bahwa salah

satu sebab pewarisan adalah karena perkawinan. Mereka yang

termasuk dalam kelompok ini adalah suami atau istri (duda atau

janda). Adapun mengenai bagiannya diatur dalam pasal 179 dan

pasal 180.

a. Bagian Suami

Mengenai bagian suami ini, diatur dalam pasal 179, yang

berbunyi sebagai berikut :

"Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,

maka duda mendapat seperempat bagian".

b. Bagian Istri

Bagian istri ini diatur dalam pasal 180 KHI, yang berbunyi :

"Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka

janda mendapatkan seperempat bagian".

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan

bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam

dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih

berat".

Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli

waris menurut KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris

tampak bahwa yang terkandung dalam pasal 173 ini hanya

pembunuhan. Adapun perbudakan dan berlainan agama tidak

ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima, karena di

Indonesia tidak ada perbudakan.

Adapun tentang berbeda agama walaupun tidak

dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang halangan

seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga

mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang

pewarisan juga. Hal ini seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan

ayat (c) tentang pewaris dan ahli waris yang harus beragama

Islam. Jadi dalam halangan mewarisi ini sebaiknya ditambah

dengan berbeda agama.

Kelompok Ahli Waris Dan Bagiannya

Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal

174, selengkapnya pasal tersebut berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,

anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan

perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

Page 155: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

132

Ahli waris nasabiyah (karena hubungan darah)

Masih merujuk pada pasal 174 tentang pengelompokan

ahli waris, disebutkan juga bahwa bentuk pengelompokan yang

lain selain karena perkawinan adalah karena hubungan darah.

Adapun bagian mereka masing-masing diatur dalam pasal-pasal :

176, 177, 178, 181, dan 182

Anak dan Penerusnya

a) Anak Perempuan

Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak

perempuan menurut KHI (pasal 176) sebagaimana juga dalam

hukum kewarisan dalam fiqh mawaris mempunyai tiga macam

bagian, yaitu:

1) Seperdua bila hanya sendirian

2) Dua pertiga bila dua orang atau lebih

3) Menjadi 'ashabah atau mendapat bagian 1:2 bila bersama

dengan anak laki-laki.

Dari pasal 176 ini, nampaknya KHI tetap berpegang teguh

pada norma QS. An-Nisa : 11 yang juga dijadikan dasar oleh para

ulama dalam fiqh mawaris dalam menetapkan bagian bagi anak,

yaitu bahwa bagian anak perempuan adalah 1/2 dari bagian laki-laki.

Dalam hal ini KHl tidak menerima usulan l:l untuk bagian anak laki-

laki dan perempuan sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh

Munawir Sadzali yang pada saat pembentukan KHI berkedudukan

sebagai Menteri Agama RI.

Untuk sekedar alternatif atas kemantapan surat an-Nisa : 11

dalam pasal 183 membuka kemungkinan untuk menyimpang

melalui jalur perdamaian.82 .

82 Pasal 183 berbunyi : " Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian

Page 156: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

133

b) Anak Laki-laki

Sebagaimana fiqh mawaris, tampaknya KHI juga

menempatkan anak laki-laki sebagai 'ashabah. Walaupun tidak

dinyatakan secara jelas dalam bentuk redaksi bahwa anak laki-laki

adalah 'ashabah, namun dari pasal-pasalnya KHI tidak

menentukan bagian tertentu bagi anak laki-laki. Selain seperti pasal

176 KHI, yaitu bahwa apabila anak perempuan bersama-sama

dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua

berbanding satu dengan anak perempuan.

c) Cucu

Mengenai bagian cucu ini KHI tidak jelas mengaturnya.

Jika dilihat dari segi pengelompokan ahli waris seperti termuat

dalam pasal 174, maka cucu ini tidak disebutkan di dalamnya.

Dalam pasal 174 ini hanya disebutkan anak, baik laki-laki atau

perempuan. Mungkin bisa dipertanyakan apakah anak yang

dimaksud disini, termasuk keturunannya (cucu dan terus

kebawah) atau hanya terbatas pada anak saja.

Adapun mengenai bagian cucu yang orang tuanya telah

meninggal dunia mendahului pewaris, maka hal ini diatur dalam

pasal 185 yang biasa dikenal dengan ahli waris pengganti.

Orang Tua dan Ahli Waris Penerusnya

a) Ibu

Ketentuan besarnya bagian untuk ibu terdapat pada

pasal 178, yang berbunyi:

dalam pembagian warisan, setelah masingmasing menyadari bagiannya„

Ahli waris nasabiyah (karena hubungan darah)

Masih merujuk pada pasal 174 tentang pengelompokan

ahli waris, disebutkan juga bahwa bentuk pengelompokan yang

lain selain karena perkawinan adalah karena hubungan darah.

Adapun bagian mereka masing-masing diatur dalam pasal-pasal :

176, 177, 178, 181, dan 182

Anak dan Penerusnya

a) Anak Perempuan

Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak

perempuan menurut KHI (pasal 176) sebagaimana juga dalam

hukum kewarisan dalam fiqh mawaris mempunyai tiga macam

bagian, yaitu:

1) Seperdua bila hanya sendirian

2) Dua pertiga bila dua orang atau lebih

3) Menjadi 'ashabah atau mendapat bagian 1:2 bila bersama

dengan anak laki-laki.

Dari pasal 176 ini, nampaknya KHI tetap berpegang teguh

pada norma QS. An-Nisa : 11 yang juga dijadikan dasar oleh para

ulama dalam fiqh mawaris dalam menetapkan bagian bagi anak,

yaitu bahwa bagian anak perempuan adalah 1/2 dari bagian laki-laki.

Dalam hal ini KHl tidak menerima usulan l:l untuk bagian anak laki-

laki dan perempuan sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh

Munawir Sadzali yang pada saat pembentukan KHI berkedudukan

sebagai Menteri Agama RI.

Untuk sekedar alternatif atas kemantapan surat an-Nisa : 11

dalam pasal 183 membuka kemungkinan untuk menyimpang

melalui jalur perdamaian.82 .

82 Pasal 183 berbunyi : " Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian

Page 157: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

134

(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua

saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua saudara

atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil

oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

Berdasarkan pasal 178 ayat (1) KHI diatas bahwa ibu

mendapat bagian sepertiga dengan dua sebab, yaitu :

1. Karena tidak ada anak

2. Karena tidak berkumpul dua orang saudara atau lebih.

Sebab pertama menimbulkan dua kemungkinan,

pertama apakah anak yang dimaksud hanya terbatas pada anak

baik laki-laki atau perempuan. Kedua apakah termasuk juga

keturunan dari anak tersebut baik melalui jalur laki-laki atau

perempuan. Kemungkinan kedua ini bisa diterima karena KHI

mengakui adanya waris pengganti, sebagaimana terdapat

dalam pasal 185 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

"Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada

pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,

kecuali mereka tersebut dalam pasal 173".

b) Ayah

Besarnya bagian ayah dalam KHI diatur pada pasal

177, yang berbunyi sebagai berikut : "Ayah mendapat

sepertiga bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila

ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1994

dijelaskan bahwa maksud dari pasal 177 Kompilasi Hukum Islam

adalah : "Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila

ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".

Page 158: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

135

Menurut pasal 177 KHI ditambah dengan keterangan

dari Surat Edaran Mahkamah Agung di atas besarnya bagian

yang mungkin diterima oleh ayah dapat dirinci sebagai berikut :

(a) Mendapat sepertiga bagian, bila ahli waris terdiri dari

ayah, ibu dan duda.

(b) Mendapat seperenam bagian, bila ahli waris terdiri dari

ayah, ibu, duda dan anak

Dalam kompilasi hukum Islam seperti diterangkan di

atas, ditetapkan bahwa bagian ayah apabila pewaris tidak

meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu adalah

sepertiga bagian. Hal ini nampaknya tidak jelas dasar

hukumnya. Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan

yang diatur dalam Q.S. An-Nisa: 11 dan kesepakatan para ulama

yang menentukan bagian ayah dengan cara ‘ashabah bila si

pewaris tidak meninggalkan anak.

Ketentuan yang terdapat dalam penggalan ayat

tersebut bukan ketentuan untuk ayah, tetapi ketentuan untuk

ibu. Dalam hal ini ayah tidak ditentukan bagiannya, ini artinya

dalam keadaan tidak ada anak, ayah tidak termasuk dzawi al

furudh, melainkan ‘ashabah, yang bagiannya seperti dijelaskan

oleh Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas:

Rasulullah SAW bersabda: “Berikan bagian faraidh

kepada yang berhak, adapun sisanya untuk laki-laki yang paling

dekat dengan pewaris” (HR. Muslim)

(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua

saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua saudara

atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil

oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

Berdasarkan pasal 178 ayat (1) KHI diatas bahwa ibu

mendapat bagian sepertiga dengan dua sebab, yaitu :

1. Karena tidak ada anak

2. Karena tidak berkumpul dua orang saudara atau lebih.

Sebab pertama menimbulkan dua kemungkinan,

pertama apakah anak yang dimaksud hanya terbatas pada anak

baik laki-laki atau perempuan. Kedua apakah termasuk juga

keturunan dari anak tersebut baik melalui jalur laki-laki atau

perempuan. Kemungkinan kedua ini bisa diterima karena KHI

mengakui adanya waris pengganti, sebagaimana terdapat

dalam pasal 185 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

"Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada

pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,

kecuali mereka tersebut dalam pasal 173".

b) Ayah

Besarnya bagian ayah dalam KHI diatur pada pasal

177, yang berbunyi sebagai berikut : "Ayah mendapat

sepertiga bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila

ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1994

dijelaskan bahwa maksud dari pasal 177 Kompilasi Hukum Islam

adalah : "Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila

ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".

Page 159: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

136

Jika kita bandingkan dengan pendapat ulama jumhur

dalam fiqh mawaris maka kedudukan ayah mempunyai tiga

kemungkinan, ia mungkin sebagai dzawi al f'urudh atau

sebagai dzawi al furudh ditambah mendapat sisa bagian setelah

diambil dzawi al furudh lain, atau ia menjadi `ashabah. Hal ini

berbeda dengan pendapat madzhab ja'fariah, dimana ayah tetap

sebagai dzawi as siham (dzawi al furudh) ketika bersama-

sama anak perempuan, karena dalam madzhab ini

tidak mengenal kelompok ahli waris `ashabah, tetapi dzawi

al qarabah. Dimana ayah hanya akan menjadi dzawi al

qarabah jika tidak ada keturunan baik laki-laki maupun

perempuan.

Dari penjelasan di atas, mengenai bagian ayah, KHI perlu

ada penyempurnaan. Dari beberapa pendapat ulama di atas

yang mana yang dipilih, apakah pendapat jumhur atau madzhab

Ja’ fariah.

c) Kakek dan Nenek

Seperti bagian cucu, bagian kakek dan nenekpun dalam

KHI tidak diatur lebih lanjut. Kakek dan nenek hanya

disebutkan dalam pasal yang mengatur pengelompokan ahli

waris yaitu pasal 174.

Menurut penulis hal ini terjadi karena kedudukan kakek

dan nenek berada di bawah derajat ayah dan ibu, dimana

mereka mewaris apabila ayah dan ibu tidak ada. Jadi dalam hal

ini nampaknya menurut para penyusun KHI bagian untuk ayah

dan ibu telah mewakili untuk bagian kakek dan nenek.

Page 160: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

137

Saudara dan Ahli Waris Penerusnya

a) Saudara Seibu

Mengenai kewarisan saudara seibu ini diatur dalam pasal

181 Kompilasi Hukum Islam, yang selengkapnya berbunyi :

"Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan

ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua

orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat 1/3

bagian".

Dari redaksi pasal 181 di atas dapat diambil kesimpulan

bahwa :

1) Saudara seibu hanya bisa mendapat warisan dari

pewaris bila pewaris tidak meninggalkan anak dan

ayah. Jadi mereka terhijab oleh anak dan ayah.

2) Bagian saudara seibu ini adalah : seperenam bila

sendirian dan mendapat sepertiga bila terdiri dari dua

orang atau lebih.

3) Disini kedudukan mereka walaupun laki-laki hanyalah

sebagai dzawi al furudh.

b) Saudara kandung dan seayah

Bagian untuk saudara kandung dan seayah ini diatur dalam

pasal 182 KHI, yang selengkapnya berbunyi :

"Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan

anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan

kandung atau seayah, maka la mendapat separoh bagian.

Bila saudara perempuan kandung atau seayah dua orang

atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua

Jika kita bandingkan dengan pendapat ulama jumhur

dalam fiqh mawaris maka kedudukan ayah mempunyai tiga

kemungkinan, ia mungkin sebagai dzawi al f'urudh atau

sebagai dzawi al furudh ditambah mendapat sisa bagian setelah

diambil dzawi al furudh lain, atau ia menjadi `ashabah. Hal ini

berbeda dengan pendapat madzhab ja'fariah, dimana ayah tetap

sebagai dzawi as siham (dzawi al furudh) ketika bersama-

sama anak perempuan, karena dalam madzhab ini

tidak mengenal kelompok ahli waris `ashabah, tetapi dzawi

al qarabah. Dimana ayah hanya akan menjadi dzawi al

qarabah jika tidak ada keturunan baik laki-laki maupun

perempuan.

Dari penjelasan di atas, mengenai bagian ayah, KHI perlu

ada penyempurnaan. Dari beberapa pendapat ulama di atas

yang mana yang dipilih, apakah pendapat jumhur atau madzhab

Ja’ fariah.

c) Kakek dan Nenek

Seperti bagian cucu, bagian kakek dan nenekpun dalam

KHI tidak diatur lebih lanjut. Kakek dan nenek hanya

disebutkan dalam pasal yang mengatur pengelompokan ahli

waris yaitu pasal 174.

Menurut penulis hal ini terjadi karena kedudukan kakek

dan nenek berada di bawah derajat ayah dan ibu, dimana

mereka mewaris apabila ayah dan ibu tidak ada. Jadi dalam hal

ini nampaknya menurut para penyusun KHI bagian untuk ayah

dan ibu telah mewakili untuk bagian kakek dan nenek.

Page 161: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

138

pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-

sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka

bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan

saudara perempuan".

Dari redaksi pasal 181 KHI tersebut dapat diketahui

ketentuan tentang bagian saudara kandung dan seayah adalah

sebagai berikut :

1) Mereka hanya dapat bagian bila tidak ada anak dan ayah

2) Saudara perempuan mendapat setengah bila sendiri, dua

pertiga bila terdiri dari dua orang atau lebih dan menjadi

'ashabah bi al ghair bila bersama saudara laki laki

sekandung atau seayah. Saudara laki-laki kandung atau

seayah adalah `ashabah.

Dari kedua pasal di atas (pasal 181 dan pasal 182)

nampaknya rumusan KHI mempedomani Qs, an Nisa ayat 12

dan ayat 176 sebagaimana penafsiran para ulama dalam fiqh

mawaris.

Tentang pengertian kalalah dalam ayat tersebut di

atas, KHI mengambil pengertian yang dipakai oleh jumhur

ulama yaitu seorang yang meninggal dunia tanpa

meninggalkan ahli waris anak dan ayah. Hal ini berbeda dengan

pengertian yang dipakai oleh Hazairin yaitu orang yang

meninggal dunia tanpa meninggalkan anak. Jadi menurut

Hazairin ayah tidak menghijab saudara.

Dari kedua pasal tersebut di atas, juga dapat

diketahui bahwa KHI sama halnya dengan kesepakatan para

ulama membeda-bedakan saudara kepada yang kandung,

seayah dan seibu. Hal ini juga berbeda dengan Hazairin yang

menyamakan pengertian saudara untuk semua.

Page 162: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

139

Adapun yang menarik dikaji dari kedua pasal di atas

adalah pengertian tentang "anak". Apakah pengertian "anak"

yang diambil dari kata "walad" dari Qs. An Nisa : 176 tersebut ?

apakah walad terbatas hanya anak laki-laki saja atau

mengandung arti umum mencakup anak laki-laki dan anak

perempuan.

c) Ahli Waris Penerus Saudara

Tentang ahli waris penerus saudara inipun tidak diatur secara

jelas dalam KHI.

Praktek Hukum Waris Islam di Pengadilan

a. Ahli Waris Non Muslim

Sebagaimana telah diterangkan di atas, baik dalam

kewarisan perspektif fiqh atau kewarisan dalam KHI bahwa non

muslim adalah salah satu penghalang dalam mewarisi. Walaupun

dalam KHI tidak menyebutkannya sebagai penghalang mewarisi

tetapi disebutkan bahwa salah satu syarat ahli waris dan pewaris

adalah muslim, ini artinya apabila seorang tidak muslim ia tidak

bisa menjadi ahli waris dari seorang muslim.

Salah satu kasus yang diputuskan MA tentang ahli waris

non muslim ini adalah putusan No. 368 K/Ag/199583, dimana MA

memberikan hak waris dari pewaris muslim (kedua orang tua

kandung) kepada salah seorang ahli waris (anak) yang beragama

bukan Islam atau non muslim atau kafir, dengan bagian sama

dengan bagian anak perempuan lainnya, dengan cara wasiat

wajibah.

83 Dede Ibin, “Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim” dalam jurnal Mimbar

Hukum (Jakarta: Al Hikmah, 2004) No. 63, hal. 100

pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-

sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka

bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan

saudara perempuan".

Dari redaksi pasal 181 KHI tersebut dapat diketahui

ketentuan tentang bagian saudara kandung dan seayah adalah

sebagai berikut :

1) Mereka hanya dapat bagian bila tidak ada anak dan ayah

2) Saudara perempuan mendapat setengah bila sendiri, dua

pertiga bila terdiri dari dua orang atau lebih dan menjadi

'ashabah bi al ghair bila bersama saudara laki laki

sekandung atau seayah. Saudara laki-laki kandung atau

seayah adalah `ashabah.

Dari kedua pasal di atas (pasal 181 dan pasal 182)

nampaknya rumusan KHI mempedomani Qs, an Nisa ayat 12

dan ayat 176 sebagaimana penafsiran para ulama dalam fiqh

mawaris.

Tentang pengertian kalalah dalam ayat tersebut di

atas, KHI mengambil pengertian yang dipakai oleh jumhur

ulama yaitu seorang yang meninggal dunia tanpa

meninggalkan ahli waris anak dan ayah. Hal ini berbeda dengan

pengertian yang dipakai oleh Hazairin yaitu orang yang

meninggal dunia tanpa meninggalkan anak. Jadi menurut

Hazairin ayah tidak menghijab saudara.

Dari kedua pasal tersebut di atas, juga dapat

diketahui bahwa KHI sama halnya dengan kesepakatan para

ulama membeda-bedakan saudara kepada yang kandung,

seayah dan seibu. Hal ini juga berbeda dengan Hazairin yang

menyamakan pengertian saudara untuk semua.

Page 163: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

140

Dari putusan MA tersebut tampaknya dalam putusannya

MA merujuk pada pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm

bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah kerabat yang

tidak menerima warisan, baik karena perbudakan atau berbeda

agama. Dalam putusan ini wasiat wajibah diberikan kepada ahli

waris yang terhalang mewarisi karena berbeda agama.

Contoh lain adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 51

K/AG/199984. Dalam putusan inipun tampaknya MA menerapkan

hukum dengan memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non

muslim.

Dari kedua contoh di atas, Mahkamah Agung sebagai

lembaga tertinggi peradilan di Indonesia memberikan putusan

yang berbeda dengan tingkat Pertama (PA) dan PTA. Pada kasus I

di tingkat pertama dinyatakan bahwa ahli waris non muslim tidak

mendapat warisan dari pewarisnya (muslim) karena terhalang oleh

agamanya yang berbeda dengan agama pewaris, ini sesuai

dengan KHI, yang menjadi hukum positif di PA. Pada tingkat PTA

diputuskan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan harta

peninggalan pewaris dengan cara wasiat wajibah, dengan bagian

¾ dari bagian anak perempuan, putusan ini diambil berdasarkan

Qs. Al Baqarah: 180. Pada tingkat kasasi, MA membenarkan

pertimbangan hukum dari hakim PTA, Cuma diperbaiki dalam

bagian ahli waris non muslim yaitu sama dengan bagian anak

perempuan lainnya.

Pada kasus kedua Mahkamah Agung memiliki

pertimbangan tersendiri yang berbeda dengan pertimbangan

hakim di tingkat pertama (Pengadilan Agama) dan banding

(Pengadilan Timggi Agama). Pada pengadilan tingkat pertama dan

tingkat banding tidak mengakui adanya wasiat wajibah bagi ahli

84Ibid. h. 102

Page 164: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

141

waris non muslim. Hal ini karena peraturan di Indonesia khususnya

KHI, tidak ada pasal yang mengatur ketentuan tentang wasiat

wajibah bagi ahli waris non muslim. Dalam Kompilasi Hukum Islam

wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi orang tua angkat atau

anak angkat.

b. Anak bersama saudara

Berkenaan dengan kedudukan saudara apabila bersama

anak, dalam perjalanan pelaksanaan KHI, pernah terjadi

pemahaman yang berbeda antara Pengadilan Tinggi Agama

Mataram dengan Mahkamah Agung, dalam memahami kata

'walad' sebagaimana disebut dalam QS. An-Nisa : 176 . Pengadilan

Tinggi Agama Mataram mengartikan kata "Walad" dengan arti

anak laki-laki, sebagaimana pemahaman jumhur ulama. Sedang

Mahkamah Agung mengartikan walad dengan arti umum,

mencakup anak laki-laki dan perempuan, sebagaimana

pernahaman Ibnu Abbas85.

Konsekuensi dari pernahaman itu, dalam kasus ahli waris

terdiri dari anak perempuan (bint) bersama saudara laki-laki (akh

syaqiq), menurut putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No.

19/Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 bahwa anak

perempuan mendapat setengah sebagai dzawi al furudh dan

saudara laki-laki mendapat setengah sebagai 'ashabah. Sedang

menurut Mahkamah Agung dalam putusannya No. 86 K/AG/1994

tanggal 27 Juli 1994, saudara tersebut tidak mendapat bagian,

karena terhalang oleh anak perempuan.86

85 Lihat Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan

Terhadap Penalaran Hazirin Dan Penalaran F'iqh Madzhab (Jakarta: INIS,1988), h.84-91, 93-

97,119-120, h.132

86 Kasus pewarisan yang diselesaikan adalah, ahli waris terdiri dari : seorang anak

perempuan, bersama seorang saudara laki-laki kandung. Gugatan diajukan pada

Pengadilan Agama Mataram. PA Mataram menolak gugatan tersebut dengan

Dari putusan MA tersebut tampaknya dalam putusannya

MA merujuk pada pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm

bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah kerabat yang

tidak menerima warisan, baik karena perbudakan atau berbeda

agama. Dalam putusan ini wasiat wajibah diberikan kepada ahli

waris yang terhalang mewarisi karena berbeda agama.

Contoh lain adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 51

K/AG/199984. Dalam putusan inipun tampaknya MA menerapkan

hukum dengan memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non

muslim.

Dari kedua contoh di atas, Mahkamah Agung sebagai

lembaga tertinggi peradilan di Indonesia memberikan putusan

yang berbeda dengan tingkat Pertama (PA) dan PTA. Pada kasus I

di tingkat pertama dinyatakan bahwa ahli waris non muslim tidak

mendapat warisan dari pewarisnya (muslim) karena terhalang oleh

agamanya yang berbeda dengan agama pewaris, ini sesuai

dengan KHI, yang menjadi hukum positif di PA. Pada tingkat PTA

diputuskan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan harta

peninggalan pewaris dengan cara wasiat wajibah, dengan bagian

¾ dari bagian anak perempuan, putusan ini diambil berdasarkan

Qs. Al Baqarah: 180. Pada tingkat kasasi, MA membenarkan

pertimbangan hukum dari hakim PTA, Cuma diperbaiki dalam

bagian ahli waris non muslim yaitu sama dengan bagian anak

perempuan lainnya.

Pada kasus kedua Mahkamah Agung memiliki

pertimbangan tersendiri yang berbeda dengan pertimbangan

hakim di tingkat pertama (Pengadilan Agama) dan banding

(Pengadilan Timggi Agama). Pada pengadilan tingkat pertama dan

tingkat banding tidak mengakui adanya wasiat wajibah bagi ahli

84Ibid. h. 102

Page 165: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

142

Pelaksanaan Pembagian Waris di Masyarakat

Dalam masyarakat Indonesia dikenal 3 sistem kekerabatan

yang juga mempengaruhi dalam pembagian warisan, yaitu:

1. Patrilineal, anak laki-laki tertentu saja yang mewarisi seluruh

harta peninggalan, ini seperti terdapat di daerah Batak. Di sini

anak perempuan yang telah kawin, maka telah lepas dari ikatan

kekeluargaan dengan orang tuanya dan masuk dalam

lingkungan suaminya dan itu bukan ahli waris. Dalam prakteknya

ia diberi hibah oleh orang tuanya sebelum mereka meninggal

dunia.87

2. Matrilineal, seperti di Minangkabau, anak merupakan bagian dari

ibunya. Jika seorang laki-laki meninggal dunia, maka anak laki-

laki tidak mendapat warisan dari ayahnya. Karena pengaruh

sosial dan budaya, maka bergeserlah keadaan itu setelah melalui

putusan No. 85/Pdt. G/1992/V/PA. MTR, tanggal 5 November 1992. Penolakan PA

Mataram tersebut disebabkan karena objek gugatan tidak jelas begitu pula

identitas para penggugat tidak jelas, tanpa menyinggung siapa yang berhak

menjadi ahli waris.

Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya No.

191Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 menetapkan ahli waris yang berhak

menerima warisan adalah : anak perempuan mendapat setengah dan saudara laki-laki

kandung menjadi ashabah menerima setengah (sisanya). Dengan demikian berarti PTA

Mataram mengartikan anak dalam pasal 182 adalah terbatas kepada pengertian anak laki-

laki sebagaimana pemahaman jumhur ulama.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung dengan putusannya No. 86/AG/1994 tanggal

27 Juli 1994, membatalkan putusan PTA Mataram. Menurut MA, yang berhak menerima

warisan hanya anak perempuan, saudara kandung terhijab tidak mendapat bagian. Dalam

pertimbangannya MA mengartikan walad dengan arti umum. _yang meliputi anak laki-laki

dan perempuan. Pendapat MA ini didasarkan pada pendapat lbnu Abbas. MA berpendapat

selama masih ada anak. baik anak laki-laki maupun anak perempuan maka hak waris

orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua,

suami dan istri tertutup (terhijab).

Lihat Departement Agama RI, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Putusan Badan

Peradilan Agama dalam Perkara Kewarisan (Jakarta: Depag. RL. 1999/2000) h. 238-253

87B. Ter Har, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, ter. K. Ng. Soebakti Poesponoto

(Jakarta: Pradnyaparamitha, 1980) h. 231

Page 166: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

143

waktu yang panjang. Pergeseran itu mula-mula melalui lembaga

hibah dengan ijin, lalu dengan memberi tahu, kemudian cukup

dengan pesan dari ayah dan tahap terakhir tanpa pesan, maka

hak penuh anak-anak atas harta hasil pencaharian ayahnya.88

3. Parental atau bilateral, ini berlaku bagi masyarakat Jawa, Sunda,

dan Kalimantan. Disini baik anak laki-laki atau perempun

mempunyai hak untuk mendapat harta peninggalan orang

tuanya.89

Berdasarkan sebuah penelitian Pembagian warisan di

kalangan ulama Banjar,90dari 41 kasus ditemukan 4 cara dalam

pembagian warisan, yaitu :

1. Dengan cara hibah

Adapun alasan mengggunakan cara ini adalah agar

sepeninggal pewaris, anak-anak dan ahli waris lainnya tetap

hidup dalam persaudaraan. Orang tua tidak menginginkan

anak-anaknya terpecah belah hanya karena persoalan harta

warisan.

2. Dengan cara musyawarah

Alasan digunakan cara musyawarah ini adalah untuk

kemasalahatan dan keutuhan sebuah keluarga, dan dianggap

lebih bijaksana karena berdasarkan musyawarah mufakat harta

warisan diberikan kepada ahli waris yang lebih memerlukan.

88 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan

Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h.193

89 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitah, 1984), h.

83

90 Ahmad Haries, Pelaksanaan Pembagian Waris Di Kalangan Ulama Banjar,

(Bandung: Alfabeta, 2009), h. 75-96

Pelaksanaan Pembagian Waris di Masyarakat

Dalam masyarakat Indonesia dikenal 3 sistem kekerabatan

yang juga mempengaruhi dalam pembagian warisan, yaitu:

1. Patrilineal, anak laki-laki tertentu saja yang mewarisi seluruh

harta peninggalan, ini seperti terdapat di daerah Batak. Di sini

anak perempuan yang telah kawin, maka telah lepas dari ikatan

kekeluargaan dengan orang tuanya dan masuk dalam

lingkungan suaminya dan itu bukan ahli waris. Dalam prakteknya

ia diberi hibah oleh orang tuanya sebelum mereka meninggal

dunia.87

2. Matrilineal, seperti di Minangkabau, anak merupakan bagian dari

ibunya. Jika seorang laki-laki meninggal dunia, maka anak laki-

laki tidak mendapat warisan dari ayahnya. Karena pengaruh

sosial dan budaya, maka bergeserlah keadaan itu setelah melalui

putusan No. 85/Pdt. G/1992/V/PA. MTR, tanggal 5 November 1992. Penolakan PA

Mataram tersebut disebabkan karena objek gugatan tidak jelas begitu pula

identitas para penggugat tidak jelas, tanpa menyinggung siapa yang berhak

menjadi ahli waris.

Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya No.

191Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 menetapkan ahli waris yang berhak

menerima warisan adalah : anak perempuan mendapat setengah dan saudara laki-laki

kandung menjadi ashabah menerima setengah (sisanya). Dengan demikian berarti PTA

Mataram mengartikan anak dalam pasal 182 adalah terbatas kepada pengertian anak laki-

laki sebagaimana pemahaman jumhur ulama.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung dengan putusannya No. 86/AG/1994 tanggal

27 Juli 1994, membatalkan putusan PTA Mataram. Menurut MA, yang berhak menerima

warisan hanya anak perempuan, saudara kandung terhijab tidak mendapat bagian. Dalam

pertimbangannya MA mengartikan walad dengan arti umum. _yang meliputi anak laki-laki

dan perempuan. Pendapat MA ini didasarkan pada pendapat lbnu Abbas. MA berpendapat

selama masih ada anak. baik anak laki-laki maupun anak perempuan maka hak waris

orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua,

suami dan istri tertutup (terhijab).

Lihat Departement Agama RI, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Putusan Badan

Peradilan Agama dalam Perkara Kewarisan (Jakarta: Depag. RL. 1999/2000) h. 238-253

87B. Ter Har, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, ter. K. Ng. Soebakti Poesponoto

(Jakarta: Pradnyaparamitha, 1980) h. 231

Page 167: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

144

Hal ini dalam KHI diatur dalam pasal 193 : “Para ahli waris dapat

bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta

warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”

3. Berdasarkan faraidh

Alasan yang menggunakan cara ini, adalah bahwa ketentuan

hukum waris Islam seperti yang telah tertera dalam al Qur’an

harus lebih diutamakan.

4. Pembagian harta perpantangan.

Yaitu pabila seorang suami/istri meninggal dunia, maka harta

itu terlebih dahulu di bagi dua satu untuk pasangan yang masih

hidup, dan yang dibagi sebagai waris hanyalah harta bagian

yang telah meninggal. Tentang ini dalam KHI disebutkan dalam

pasal 96 ayat 1: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta

bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, separoh

sisanya baru dibagi dengan sistem pembagian warisan”

Penutup

Dari paparan di atas tentang unsur dan syarat-syarat

kewarisan, kelompok ahli waris dan bagian masing-masing, baik

dari persfektif Fiqh, KHI atau praktek di Pengadilan dan masyarakat

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Unsur dan syarat-syarat kewarisan

Tentang syarat ahli waris disamping beragama Islam

perlu ditambahkan masih hidup baik secara hakiki atau hukum

ketika meninggalnya pewaris. Selain itu perlu ada perbaikan

redaksi tentang pengertian ahli waris, yaitu:

"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

Page 168: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

145

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena

hukum untuk menjadi ahli waris".

Rekomendasinya yakni bagi ahli waris dan pewaris

perlu dipertegas lagi dalam halangan pewarisan, jadi halangan

pewarisan di samping pembunuhan perlu ditambah dengan

non-muslim.

2. Kelompok ahli waris dan bagiannya

Mengenai kelompok ahli waris di samping dibagi

berdasarkan sebab mewarisi juga perlu dikelompokkan

berdasarkan cara mereka mendapatkannya, apakah

menggunakan pengelompokan seperti madzhab sunni yang

terbagi atas dzawil furudh, ashabah dan dzawil arham atau

menurut madzhab Ja’fariah yang ada kemiripan dengan yang

dikenalkan oleh Hazairin, yaitu dzawi al faraidh (dzawi as

siham), dzawi al qarabah dan al mawali. Dalam hal ini menurut

penulis pendapat yang kedua bisa dipertimbangkan karena

tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan jalur

dari laki-laki atau perempuan.

Adapun tentang bagian anak laki-laki dan perempuan

2:1 perlu dipertahankan karena hal ini sesuai dengan al

Qur’an, adapun untuk mengakomodir budaya atau

kemungkinan untuk memberi bagian yang sama atau lebih

kepada anak perempuan sudah pas dengan jalan perdamaian

seperti diatur dalam KHI pasal 193.

Selanjutnya adalah tentang pengertian walad (anak),

di sini perlu dijelaskan apakah dalam penjelasan, pengertian

mana yang akan dipakai apakah hanya anak laki-laki atau

juga termasuk anak perempuan. Menurut hemat penulis

pengertian anak ditetapkan adalah anak baik laki-laki atau

perempuan.

Hal ini dalam KHI diatur dalam pasal 193 : “Para ahli waris dapat

bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta

warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”

3. Berdasarkan faraidh

Alasan yang menggunakan cara ini, adalah bahwa ketentuan

hukum waris Islam seperti yang telah tertera dalam al Qur’an

harus lebih diutamakan.

4. Pembagian harta perpantangan.

Yaitu pabila seorang suami/istri meninggal dunia, maka harta

itu terlebih dahulu di bagi dua satu untuk pasangan yang masih

hidup, dan yang dibagi sebagai waris hanyalah harta bagian

yang telah meninggal. Tentang ini dalam KHI disebutkan dalam

pasal 96 ayat 1: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta

bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, separoh

sisanya baru dibagi dengan sistem pembagian warisan”

Penutup

Dari paparan di atas tentang unsur dan syarat-syarat

kewarisan, kelompok ahli waris dan bagian masing-masing, baik

dari persfektif Fiqh, KHI atau praktek di Pengadilan dan masyarakat

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Unsur dan syarat-syarat kewarisan

Tentang syarat ahli waris disamping beragama Islam

perlu ditambahkan masih hidup baik secara hakiki atau hukum

ketika meninggalnya pewaris. Selain itu perlu ada perbaikan

redaksi tentang pengertian ahli waris, yaitu:

"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

Page 169: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

146

Terakhir adalah tentang bagian bapak apabila tidak

ada anak dikembalikan saja bagiannya adalah sebagai

ashabah, karena kalau seperti dalam KHI mendapat 1/3 tidak

ada dasar hukumnya.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:

Akedemi Pressindo, 1992

Abu Bakar, Alyasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian

Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Fiqh

Madzhab, Jakarta : INIS, 1998

Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam at Tarikah wa al Mawaris,

Kairo: Dar al Fikr al Arabi, tt.

--------------, AlMirats `Inda Ja fari’ah, Cairo: Dar al Fikr, tt

Al Khudari, Ahmad Kamil, Al Mawaris al Islamiyyah, Mesir: al Majlis

al a'la li al Su'im al Islamiyyah, 1996

A. Rasyid, Raihan, " Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat wajibah"

dalam Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: Al Hikmah dan

Binperta Depag, 1995

Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar

Sejarah, Hambatan Dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani,

1982

Ash Shabuni, M. Ali, A1 Mawaris Fi Syari'at al Islamiyyah Ala Dhau'I

al Kitabi wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979

Aulawi, A. Wasit, " Sejarah Perkembangan Hukum Islam" dalam

Amrullah, et. al. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem hukum

Nasional, Mengenang 65 Tahun Prof. DR H. Busthanul Arifin,

SH, Jakarta: Gema Insani Press

Page 170: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

147

Departemen Agama RI, Al Qur'an Dan Terjemahannya, Jakarta:

Depag, 1991

---------, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1991

----------, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,

1991

Dirjen Binbaga Islam, Tinjauan Figh Islam Terhadap Putusan Badan

Peradilan Agama Dalam Perkara Kewarisan,Jakarta: Depag,

1999/2000

Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung : Al Ma'arif , 1975

Harahap, M. Yahaya, " Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam,

Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam" dalam Mimbar

Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5, Jakarta: al Hikmah

dan Binperta Depag. RI, 1992

Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Tintamas, 1974

----------, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976

----------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith,

Jakarta: Tintamas, 1982.

Ibn Hazm, A1 Muhalla, Kairo: Maktabah Alif, 1978

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam

Lingkungan Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

M. Mahluf, Husnain, Al Mawaris .f Syari'ah al Islamiyyah, Cairo:

Mathbah al Madaniy, 1976

Musa, Muhammad Yusuf, at Tirkah wa al Mirats fi al Islam, Kairo:

Dar a; Ma'rifah, 1960

Terakhir adalah tentang bagian bapak apabila tidak

ada anak dikembalikan saja bagiannya adalah sebagai

ashabah, karena kalau seperti dalam KHI mendapat 1/3 tidak

ada dasar hukumnya.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:

Akedemi Pressindo, 1992

Abu Bakar, Alyasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian

Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Fiqh

Madzhab, Jakarta : INIS, 1998

Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam at Tarikah wa al Mawaris,

Kairo: Dar al Fikr al Arabi, tt.

--------------, AlMirats `Inda Ja fari’ah, Cairo: Dar al Fikr, tt

Al Khudari, Ahmad Kamil, Al Mawaris al Islamiyyah, Mesir: al Majlis

al a'la li al Su'im al Islamiyyah, 1996

A. Rasyid, Raihan, " Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat wajibah"

dalam Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: Al Hikmah dan

Binperta Depag, 1995

Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar

Sejarah, Hambatan Dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani,

1982

Ash Shabuni, M. Ali, A1 Mawaris Fi Syari'at al Islamiyyah Ala Dhau'I

al Kitabi wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979

Aulawi, A. Wasit, " Sejarah Perkembangan Hukum Islam" dalam

Amrullah, et. al. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem hukum

Nasional, Mengenang 65 Tahun Prof. DR H. Busthanul Arifin,

SH, Jakarta: Gema Insani Press

Page 171: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

148

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan

Menurut KUH Perdata Dan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994

Rusyd, Ibn, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Juz II,

Beirut: Dar al Fikr, tt

Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Jilid Ill, Beirut : Dar al Kutub al

Arabiyah, 1971

Page 172: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

149

HALANGAN MENERIMA WARISAN

Muhammad Adib

Latar Belakang

Halangan menerima warisan (mawani‘ al-irts) adalah salah

satu sub bahasan yang penting dalam wacana hukum waris Islam.

Ia bertali-temali erat dengan sub-sub bahasan lain yang

merupakan tahapan-tahapan seleksi penerima harta warisan

sebelum penghitungan dan pembagian dilakukan. Tahapan-

tahapan seleksi tersebut meliputi:

1. Seleksi tahap I, yakni seleksi berdasarkan hubungan kekeluarga-

an yang bertumpu kepada dua garis hubungan, yaitu: a)

hubungan darah (al-nasab) dan b) hubungan pernikahan yang

sah (al-zawaj al-shahih). Pada tahap ini, keluarga yang tidak

lolos seleksi, semisal saudara ipar dan menantu, tereliminasi

dengan sendirinya.

2. Seleksi Tahap II, yakni sekelsi berdasarkan kelayakan kerpibadi-

an calon penerima harta warisan. Tumpuannya adalah: a) status

sosial, b) hubungan baik dan c) kesamaan agama. Pada tahap

ini, calon penerima harta warisan yang tidak lolos sekeksi,

semisal menghilangkan nyawa atau berbeda agama dengan

orang yang akan mewariskan harta kepadanya (muwarrits)

menjadi tereliminasi dengan sendirinya.

Selain penting, sub bahasan tentang halangan menerima

harta warisan, utamanya dalam hal kesamaan agama, juga

terhitung sensitif. Sebab ia tidak hanya terkait dengan masalah

kepentingan individu mendapatkan harta warisan yang sudah

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan

Menurut KUH Perdata Dan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994

Rusyd, Ibn, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Juz II,

Beirut: Dar al Fikr, tt

Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Jilid Ill, Beirut : Dar al Kutub al

Arabiyah, 1971

Page 173: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

150

menjadi haknya, melainkan juga berjalin berkelindan dengan pola

relasi antar agama.

Itulah sebabnya, mengkaji masalah halangan menerima

warisan harus dilakukan secara komprehensif dan bijak. Kompre-

hensif, dalam arti menjangkau kajian tekstual dan kontekstual

secara tuntas. Bijak, dalam arti mengakomodir kemajemukan

realitas sosial keagamaan di Indonesia yang selalu saja rentan

terhadap konflik horisontal bernuansa isu SARA.

Halangan Menerima Warisan

Berbicara tentang halangan menerima warisan tentu tidak

lepas dari empat perspektif, yaitu: fiqih, Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia (KHI), praktik di pengadilan, dan masyarakat. Empat

perspektif tersebut selanjutnya perlu ditelaah berdasarkan

perspektif yang lebih mendasar, yakni perspektif metodologis atau

wacana ushul fiqih. Dalam perspektif fiqih, utamanya hukum waris

Islam (‘ilm al-fara’idh), ada tiga hal yang menjadi penghalang bagi

seorang ahli waris untuk menerima harta warisan (mawani‘ al-irts),

yaitu:

a. Perbudakan (al-riqq)

Para ulama bersepakat bahwa budak tidak dapat

menerima harta warisan serta tidak dapat mewariskan hartanya.

Sebab, dalam statusnya sebagai budak, dia sama sekali tidak

memiliki kecakapan untuk memiliki dan mengelola harta benda.

Bahkan, lebih dari itu, dia sebagai harta dan hak milik tuannya

yang bisa diwariskan. Kalaupun budak tersebut memiliki harta

kekayaan, maka harta tersebut secara otomatis sepenuhnya

menjadi hak milik tuannya.91

91 Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ctk. II (Beirut: Dār al-Fikr,

1985), VIII: 258.

Page 174: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

151

Perbicangan para ulama sebenarnya tidak terhenti pada

titik kesepakatan itu saja terkait dengan perbudakan sebagai salah

satu penghalang menerima warisan. Dalam hal budak muba‘adh

dan budak mukatab misalnya, pendapat mereka cukup beragam

sesuai dengan pijakan argumentasi masing-masing. Namun, oleh

karena secara de jure sudah dihapus sejak lama, maka perbudakan

sebagai penghalang menerima warisan sudah tidak relevan lagi

untuk diperbincangkan.

b. Pembunuhan (al-qatl)

Secara umum para ulama bersepakat bahwa ahli waris

yang membunuh orang yang akan mewariskan harta kepadanya

(muwarrits), terutama yang disengaja atau direncanakan (‘amdan)

baik secara langsung ataupun tidak, diberi sanksi tegas tidak dapat

menerima harta warisan. Selain berpijak kepada hadits di bawah

ini:

Seorang pembunuh (orang yang mewariskan harta

kepadanya) tidak berhak menerima harta warisan apapun.

(H.R. al-Nasa’i).

Kesepakatan ulama tersebut juga berpijak kepada

argumentasi bahwa sang ahli waris telah menempuh cara

kekerasan yang keji terhadap orang yang akan mewariskan harta

kepadanya. Akibatnya, dia patut diberi sanksi kehilangan hak

untuk mendapatkan harta tersebut.92

Di luar kesepakatan tersebut, para ulama berbeda

pendapat tentang jenis-jenis pembunuhan selain yang disengaja

atau direncanakan sebagai penghalang sang pelaku untuk

92 Ibid., hlm. 260.

menjadi haknya, melainkan juga berjalin berkelindan dengan pola

relasi antar agama.

Itulah sebabnya, mengkaji masalah halangan menerima

warisan harus dilakukan secara komprehensif dan bijak. Kompre-

hensif, dalam arti menjangkau kajian tekstual dan kontekstual

secara tuntas. Bijak, dalam arti mengakomodir kemajemukan

realitas sosial keagamaan di Indonesia yang selalu saja rentan

terhadap konflik horisontal bernuansa isu SARA.

Halangan Menerima Warisan

Berbicara tentang halangan menerima warisan tentu tidak

lepas dari empat perspektif, yaitu: fiqih, Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia (KHI), praktik di pengadilan, dan masyarakat. Empat

perspektif tersebut selanjutnya perlu ditelaah berdasarkan

perspektif yang lebih mendasar, yakni perspektif metodologis atau

wacana ushul fiqih. Dalam perspektif fiqih, utamanya hukum waris

Islam (‘ilm al-fara’idh), ada tiga hal yang menjadi penghalang bagi

seorang ahli waris untuk menerima harta warisan (mawani‘ al-irts),

yaitu:

a. Perbudakan (al-riqq)

Para ulama bersepakat bahwa budak tidak dapat

menerima harta warisan serta tidak dapat mewariskan hartanya.

Sebab, dalam statusnya sebagai budak, dia sama sekali tidak

memiliki kecakapan untuk memiliki dan mengelola harta benda.

Bahkan, lebih dari itu, dia sebagai harta dan hak milik tuannya

yang bisa diwariskan. Kalaupun budak tersebut memiliki harta

kekayaan, maka harta tersebut secara otomatis sepenuhnya

menjadi hak milik tuannya.91

91 Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ctk. II (Beirut: Dār al-Fikr,

1985), VIII: 258.

Page 175: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

152

mendapatkan harta warisan. Perbedaan pendapat tersebut

dilatarbelakangi oleh perbedaan tolok ukur yang dipakai:

1) Tolok ukur adanya sanksi qishash atau tebusan (kaffarah);

dipakai oleh Hanafiyyah dan Hanabilah.

Berdasarkan tolok ukur tersebut, hanya pembunuhan yang

dijatuhi sanksi qishash atau kaffarah saja yang dianggap

sebagai penghalang menerima warisan, yakni pembunuhan

yang dilakukan secara disengaja atau direncanakan,

pembunuhan semi disengaja dan pembunuhan karena semata-

mata kekeliruan. Sementara pembunuhan yang tidak terkena

sanksi qishash ataupun kaffarah, yaitu pembunuhan karena ada

alasan yang bisa diterima secara syar‘i, tidak dianggap sebagai

penghalang hak menerima warisan. Sebut saja, misalnya,

pembunuhan oleh algojo hukuman mati atau karena

mempertahankan nyawa. Pelaku pembunuhan tersebut

terakhir tetap bisa menerima warisan.93

2) Tolok ukur motivasi keji (al-‘udwan) sang pelaku; dipakai oleh

Malikiyyah.

Berpijak kepada tolok ukur tersebut, pembunuhan yang bisa

menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan

yang dilakukan atas dasar motivasi untuk menyakiti ataupun

menghilangkan nyawa korban. Motivasi seperti ini hanya

terdapat pada tindakan pembunuhan secara disengaja atau

direncanakan (al-qatl al-‘amd), baik secara langsung ataupun

tidak langsung. Termasuk dalam jenis ini adalah persaksian

palsu yang menyebabkan korban disanksi hukuman mati.94

93 Ibid., hlm. 261.

94 Ibid., hlm. 262.

Page 176: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

153

3) Tolok ukur efek tindakan, yakni hilangnya nyawa orang lain;

dipakai oleh Syafi‘iyyah.

Mengacu kepada tolok ukur tersebut, semua tindakan yang

bisa menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, baik secara

disengaja ataupun tidak, baik yang dilakukan karena ada alasan

syar‘i ataupun tidak, tetap dianggap sebagai penghalang hak

menerima warisan.95

Perbedaan agama (ikhtilaf al-din)

Sebagian besar para ulama ahli hukum Islam

berpandangan bahwa perbedaan agama menjadi halangan bagi

seorang ahli waris untuk bisa menerima harta warisan, baik

sebagai muslim maupun non muslim. Ahli waris muslim tidak bisa

menerima warisan dari orang non muslim. Begitu pula sebaliknya,

ahli waris non muslim tidak bisa menerima warisan dari orang

muslim. Pandangan ini berpijak kepada hadits berikut ini:

Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non

muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa

menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan

Muslim).96

Pandangan ini, secara turun-temurun, memang menjadi

pandangan mainstream dalam wacana hukum waris Islam. Pada

setiap literatur dan materi hukum waris Islam yang diajarkan baik

di lembaga pendidikan formal maupun non formal, pandangan

inilah yang menjadi menu dan acuan utama.

95 Ibid.

96 Ibid., hlm. 263.

mendapatkan harta warisan. Perbedaan pendapat tersebut

dilatarbelakangi oleh perbedaan tolok ukur yang dipakai:

1) Tolok ukur adanya sanksi qishash atau tebusan (kaffarah);

dipakai oleh Hanafiyyah dan Hanabilah.

Berdasarkan tolok ukur tersebut, hanya pembunuhan yang

dijatuhi sanksi qishash atau kaffarah saja yang dianggap

sebagai penghalang menerima warisan, yakni pembunuhan

yang dilakukan secara disengaja atau direncanakan,

pembunuhan semi disengaja dan pembunuhan karena semata-

mata kekeliruan. Sementara pembunuhan yang tidak terkena

sanksi qishash ataupun kaffarah, yaitu pembunuhan karena ada

alasan yang bisa diterima secara syar‘i, tidak dianggap sebagai

penghalang hak menerima warisan. Sebut saja, misalnya,

pembunuhan oleh algojo hukuman mati atau karena

mempertahankan nyawa. Pelaku pembunuhan tersebut

terakhir tetap bisa menerima warisan.93

2) Tolok ukur motivasi keji (al-‘udwan) sang pelaku; dipakai oleh

Malikiyyah.

Berpijak kepada tolok ukur tersebut, pembunuhan yang bisa

menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan

yang dilakukan atas dasar motivasi untuk menyakiti ataupun

menghilangkan nyawa korban. Motivasi seperti ini hanya

terdapat pada tindakan pembunuhan secara disengaja atau

direncanakan (al-qatl al-‘amd), baik secara langsung ataupun

tidak langsung. Termasuk dalam jenis ini adalah persaksian

palsu yang menyebabkan korban disanksi hukuman mati.94

93 Ibid., hlm. 261.

94 Ibid., hlm. 262.

Page 177: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

154

Namun, sebagaimana telah disebutkan pada bagian

pendahuluan di atas, masalah perbedaan agama sebagai salah

satu halangan menerima warisan terhitung sensitif. Ia tidak hanya

berkait dengan benturan antara kepentingan mendapatkan harta

warisan di satu sisi, tetapi juga dengan pola relasi antar umat

beragama yang sarat ketegangan di sisi yang lain.

Benturan yang sensitif terhadap ternyata sudah dirasakan

oleh para ahli hukum Islam pada masa awal. Terbukti, tokoh-tokoh

Sahabat sekaliber Mu‘adz ibn Jabal dan Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan

pernah menghadapi kasus pelik terkait sengketa harta warisan.

Diceritakan, suatu saat, Mu‘adz kedatangan dua orang tamu

bersaudara yang bersilang-sengketa memperebutkan harta

warisan.

Keduanya berlainan agama; muslim dan yahudi, sementara

ayah mereka yang baru saja meninggal kebetulan beragama

yahudi. Pasca kematian sang ayah, anak yang beragama yahudi

mengklaim semua harta warisan, dengan alasan saudaranya yang

muslim berbeda agama dengan sang ayah. Tentu saja, anak yang

muslim merasa berkeberatan dan menuntut bagian harta warisan.

Menghadapi kasus tersebut, Mu‘adz dan Mu‘awiyah

ternyata menyampaikan fatwa yang berbeda dengan landasan

tekstual (baca: hadits) yang berlaku ketika itu. Dia memutuskan

bahwa anak yang muslim sama dengan yang beragama yahudi,

yaitu sama-sama berhak menerima harta warisan. Argumentasi

tekstualnya adalah hadits berikut ini.

Islam akan selalu bertambah dan tidak akan pernah

berkurang. (H.R. Abu Dawud, dinilai shahih oleh al-Hakim).

Page 178: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

155

Uniknya, meskipun berpijak kepada landasan tekstual yang

cukup membuat kita mengernyitkan dahi, fatwa Mu‘adz dan

putusan Mu‘awiyah tersebut ternyata diamini oleh sejumlah tokoh

kalangan Tabi‘in, seperti Masruq, Sa‘id ibn al-Musayyab, Ibrahim al-

Nakha‘i dan ‘Abd Allah ibn Ma‘qil. Bahkan, tokoh tersebut terakhir

secara terang-terangan menyatakan kekagumannya terhadap

fatwa dan putusan yang dianggapnya brilian itu.

Belum pernah dijumpai putusan yang secerdas dan

sebrilian putusan Mu‘awiyah. Orang Islam bisa menerima

warisan Ahl al-Kitab, sementara mereka tidak bisa menerima

warisan dari orang Islam. Sama dengan pernikahan; orang

Islam bisa menikahi perempuan kalangan mereka, tetapi

mereka tidak bisa menikai perempuan muslimah.97

Terlepas dari kontroversi seputar validitas transmisi

(sanad)-nya, riwayat di atas menyiratkan dua hal penting, yaitu:

1) Sengketa harta warisan, terlebih-lebih yang diwarnai oleh

nuansa ketegangan antar agama, adalah kasus sensitif yang

memerlukan penalaran yang komprehensif dan bijak. Di satu

sisi, berpijak hanya kepada acuan tekstual an sich hanya akan

berpotensi memperparah ketegangan. Sementara di sisi lain,

mengenyampingkan sama sekali pijakan tekstual tentu bukan

cara yang tepat, karena akan mendapatkan penolakan di mana-

mana.

97 Al-Hāfizh Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fath al-Bārī Syarh Shahīh al-Bukhārī (Ttp.: Dār al-

Rayyān li al-Turāts, 1986), XII: 52.

Namun, sebagaimana telah disebutkan pada bagian

pendahuluan di atas, masalah perbedaan agama sebagai salah

satu halangan menerima warisan terhitung sensitif. Ia tidak hanya

berkait dengan benturan antara kepentingan mendapatkan harta

warisan di satu sisi, tetapi juga dengan pola relasi antar umat

beragama yang sarat ketegangan di sisi yang lain.

Benturan yang sensitif terhadap ternyata sudah dirasakan

oleh para ahli hukum Islam pada masa awal. Terbukti, tokoh-tokoh

Sahabat sekaliber Mu‘adz ibn Jabal dan Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan

pernah menghadapi kasus pelik terkait sengketa harta warisan.

Diceritakan, suatu saat, Mu‘adz kedatangan dua orang tamu

bersaudara yang bersilang-sengketa memperebutkan harta

warisan.

Keduanya berlainan agama; muslim dan yahudi, sementara

ayah mereka yang baru saja meninggal kebetulan beragama

yahudi. Pasca kematian sang ayah, anak yang beragama yahudi

mengklaim semua harta warisan, dengan alasan saudaranya yang

muslim berbeda agama dengan sang ayah. Tentu saja, anak yang

muslim merasa berkeberatan dan menuntut bagian harta warisan.

Menghadapi kasus tersebut, Mu‘adz dan Mu‘awiyah

ternyata menyampaikan fatwa yang berbeda dengan landasan

tekstual (baca: hadits) yang berlaku ketika itu. Dia memutuskan

bahwa anak yang muslim sama dengan yang beragama yahudi,

yaitu sama-sama berhak menerima harta warisan. Argumentasi

tekstualnya adalah hadits berikut ini.

Islam akan selalu bertambah dan tidak akan pernah

berkurang. (H.R. Abu Dawud, dinilai shahih oleh al-Hakim).

Page 179: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

156

2) Inovasi hukum yang mengakomodir kebutuhan dan kondisi

aktual telah dilakukan semenjak masa awal Islam. Dalam ruang

lingkup hukum waris Islam, inovasi masalah warisa beda

agama, sebagaimana diceritakan oleh riwayat Mu‘adz dan

Mu‘awiyah di atas, hanyalah satu contoh saja dari sekian

banyak inovasi hukum waris yang dilakukan pada masa

Sahabat. Sebut saja, misalnya, masalah ‘awl, radd, gharrawayn

dan musyarakah. Masalah-masalah kewarisan tersebut sarat

dengan inovasi, karena setelah jika diamati dengan cermat dan

kritis, semuanya telah mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua

ahli waris dari apa yang tertuang secara definitif dalam teks al-

Qur’an. Menariknya, semua inovasi tersebut ternyata tidaklah

selalu bergulir dengan mulus. Perlawanan dari sejumlah

Sahabat lain, utamanya yang berhaluan skriptualis, terhitung

cukup keras dan sengit. Sebagai contoh, pada kasus masalah

musyarakah, ‘Umar ibn al-Khaththab, sang tokoh penggagas

yang saat itu sedang menjabat sebagai Khalifah, ditentang

habis-habisan oleh ‘Abd Allah ibn ‘Abbas dan Ubay ibn Ka‘b.

Alasan mereka, gagasan ‘Umar tersebut berlawanan dengan

ketentuan tekstual al-Qur’an.98

Perspektif KHI

Ketentuan tentang halangan mendapatkan warisan pada

KHI ternyata cukup tersebar di beberapa pasal sebagai berikut:

a. Pasal 171 item b dan c:

(b) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau

yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan

98 Muhammad Muhy al-Dīn ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al-Mawārīts fī al-Syarī‘ah al-

Islāmiyyah ‘alā Madzāhib al-A’imma al-Arba‘a, ctk. I (ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1984), hlm.

170; Ibn Qudāmah ‘Abd Allāh ibn Qudāmah, al-Mughnī fī Syarh Mukhtashar al-Kharaqī (Kairo:

Dār al-Manār, 1987), VI: 181-182; Ibn Rusyd Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubī, Bidāyah al-

Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera, t.t.), II: 257.

Page 180: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

157

Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan

harta peninggalan.

(c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang

karena hukum untuk menjadi ahli waris.

b. Pasal 172:

Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui

dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau

kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang

belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau

lingkungannya

c. Pasal 173 item a dan b:

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan

hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,

dihukum karena:

1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba

membunuh atau menganiaya berat para pewaris;

2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan

pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu

kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara

atau hukuman yang lebih berat.

Apabila dicermati menurut pijakannya, ketentuan KHI

tentang halangan menerima waris bisa diklasifikasi menjadi tiga

bagian, yaitu:

a. Bagian yang diadaptasi dari literatur-literatur fiqih Islam.

Termasuk dalam bagian ini adalah:

1) Harus beragama Islam (Pasal 171 dan 172).

2) Inovasi hukum yang mengakomodir kebutuhan dan kondisi

aktual telah dilakukan semenjak masa awal Islam. Dalam ruang

lingkup hukum waris Islam, inovasi masalah warisa beda

agama, sebagaimana diceritakan oleh riwayat Mu‘adz dan

Mu‘awiyah di atas, hanyalah satu contoh saja dari sekian

banyak inovasi hukum waris yang dilakukan pada masa

Sahabat. Sebut saja, misalnya, masalah ‘awl, radd, gharrawayn

dan musyarakah. Masalah-masalah kewarisan tersebut sarat

dengan inovasi, karena setelah jika diamati dengan cermat dan

kritis, semuanya telah mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua

ahli waris dari apa yang tertuang secara definitif dalam teks al-

Qur’an. Menariknya, semua inovasi tersebut ternyata tidaklah

selalu bergulir dengan mulus. Perlawanan dari sejumlah

Sahabat lain, utamanya yang berhaluan skriptualis, terhitung

cukup keras dan sengit. Sebagai contoh, pada kasus masalah

musyarakah, ‘Umar ibn al-Khaththab, sang tokoh penggagas

yang saat itu sedang menjabat sebagai Khalifah, ditentang

habis-habisan oleh ‘Abd Allah ibn ‘Abbas dan Ubay ibn Ka‘b.

Alasan mereka, gagasan ‘Umar tersebut berlawanan dengan

ketentuan tekstual al-Qur’an.98

Perspektif KHI

Ketentuan tentang halangan mendapatkan warisan pada

KHI ternyata cukup tersebar di beberapa pasal sebagai berikut:

a. Pasal 171 item b dan c:

(b) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau

yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan

98 Muhammad Muhy al-Dīn ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al-Mawārīts fī al-Syarī‘ah al-

Islāmiyyah ‘alā Madzāhib al-A’imma al-Arba‘a, ctk. I (ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1984), hlm.

170; Ibn Qudāmah ‘Abd Allāh ibn Qudāmah, al-Mughnī fī Syarh Mukhtashar al-Kharaqī (Kairo:

Dār al-Manār, 1987), VI: 181-182; Ibn Rusyd Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubī, Bidāyah al-

Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera, t.t.), II: 257.

Page 181: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

158

2) Membunuh (Pasal 173 item a).

b. Bagian yang sepertinya diadopsi dari BW Pasal 838 item 1 dan

2. Termasuk dalam bagian ini adalah:

1) Mencoba membunuh (Pasal 173 item a).

2) Memfitnah pewaris bahwa dia pernah melakukan suatu

kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima

tahun atau hukuman yang lebih berat lagi (Pasal 173 item b).

Perhatikan ketentuan BW Pasal 838 item 1 dan 2 di bawah ini:

Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris,

dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah:

1) dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau

mencoba membunuh orang yang meninggal itu;

2) dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan

karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap

pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan

yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau

hukuman yang lebih berat lagi;99

Namun, meskipun sepertinya merupakan adaptasi dari

BW, dua ketentuan tersebut tidak tercerabut dari ketentuan-

ketentuan dalam hukum Islam waris Islam. Halangan karena

memfitnah pewaris, misalnya, senada dengan pendapat ulama

Malikiyyah bahwa memberikan kesaksian palsu (syahadah al-

zur) yang menyebabkan pewaris dihukum mati adalah bentuk

lain dari pembunuhan disengaja sebagai penghalang

menerima warisan.100

99 R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:

Pradaya Paramitha, 1982), hlm. 209.

100 Al-Zuhaylī, al-Fiqh., hlm. 262.

Page 182: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

159

c. Bagian yang merupakan inovasi ketentuan tentang halangan

menerima warisan, yaitu halangan menerima waris karena

menganiaya berat terhadap pewaris (Pasal 173 item a).

Klasifikasi di atas menyiratkan sebuah kenyataan

menarik, yaitu bahwa ketentuan KHI tentang halangan

menerima warisan (Pasal 171, 172 dan 173) merupakan bentuk

kompromistik dari hukum waris Islam di satu sisi dan BW di sisi

yang lain. Bentuk kompromistik seperti itu tentu memerlukan

kajian yang komprehensif, agar memiliki pijakan metodologis

yang bisa dipertanggungjawabkan.

Seperti ditegaskan oleh Busthanul Arifin, salah seorang

tokoh perumus KHI, Pasal 173 KHI adalah serapan dari materi

hukum BW yang tumbuh dari norma dan etika agama Kristen.

Meski demikian, perlu ditelusuri secara lebih jelas apakah

penyerapan aturan kewarisan BW tersebut bertentangan

dengan hukum Islam ataukah tidak.101

Praktik di Pengadilan

Dua putusan Mahkamah Agung (MA), yakni Nomor: 368

K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal

29 September 1999, adalah yang paling banyak disorot oleh

publik. Penyebabnya adalah karena melalui dua putusan tersebut,

MA memutuskan memberikan bagian warisan, tepatnya dengan

wasiat wajibah, kepada ahli waris non muslim. Bedanya, jika, pada

putusan pertama, ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai

ahli waris, maka, pada putusan kedua, ahli waris non muslim

dinyatakan sebagai ahli waris serta mendapatkan bagian yang

sama dengan ahli waris muslim.102

101 Dikutip dari: http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).

102 Moh. Muhibuddin, “Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim di

Indonesia”, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09 Juli 2011).

2) Membunuh (Pasal 173 item a).

b. Bagian yang sepertinya diadopsi dari BW Pasal 838 item 1 dan

2. Termasuk dalam bagian ini adalah:

1) Mencoba membunuh (Pasal 173 item a).

2) Memfitnah pewaris bahwa dia pernah melakukan suatu

kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima

tahun atau hukuman yang lebih berat lagi (Pasal 173 item b).

Perhatikan ketentuan BW Pasal 838 item 1 dan 2 di bawah ini:

Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris,

dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah:

1) dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau

mencoba membunuh orang yang meninggal itu;

2) dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan

karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap

pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan

yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau

hukuman yang lebih berat lagi;99

Namun, meskipun sepertinya merupakan adaptasi dari

BW, dua ketentuan tersebut tidak tercerabut dari ketentuan-

ketentuan dalam hukum Islam waris Islam. Halangan karena

memfitnah pewaris, misalnya, senada dengan pendapat ulama

Malikiyyah bahwa memberikan kesaksian palsu (syahadah al-

zur) yang menyebabkan pewaris dihukum mati adalah bentuk

lain dari pembunuhan disengaja sebagai penghalang

menerima warisan.100

99 R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:

Pradaya Paramitha, 1982), hlm. 209.

100 Al-Zuhaylī, al-Fiqh., hlm. 262.

Page 183: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

160

Di satu sisi, dua putusan tersebut memang bisa dijadikan

sebagai contoh upaya inovasi yurisprudensial yang dilakukan oleh

hakim atau lembaga peradilan. Selain karena hakim memiliki

kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang menyimpang

dari ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap

kontradiktif dengan cita rasa—disebut dengan “contra legem”,

putusan MA di atas tentu didasari oleh banyak pertimbangan lain,

semisal menjaga keutuhan keluarga, mengakomodir realitas sosial

masyarakat Indonesia yang plural dan memenuhi rasa keadilan.

Putusan tersebut tentu memberikan warna baru dalam wacana

hukum waris Islam.103

Namun, di sisi lain, putusan MA tersebut masih menyisakan

beragam persoalan, baik yang terkait dengan pijakan metodologis

(ushul fiqih) maupun pijakan yuridis. Secara metodologis, masih

terjadi kesimpang-siuran di kalangan pemerhati hukum Islam

tentang ijtihad, fatwa ataupun putusan pengadilan yang

berlawanan dengan teks al-Qur’an dan hadits. Sementara secara

yuridis, putusan tersebut tidak memiliki acuan yang baku, karena

berlawanan dengan ketentuan dalam KHI yang tidak memberikan

harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris

non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Pengambilan

putusan seperti itu kurang sejalan dengan prinsip kepastian

hukum, terutama yang terkait dengan sumber hukum.

Fakta di Masyarakat

Secara umum, ketentuan halangan menerima warisan,

sebagaimana diatur dalam hukum waris Islam dan KHI, masih

dianggap sebagai ketentuan terbaik dan final di kalangan

masyarakat, utamanya yang berbasis keagamaan kuat. Terbukti,

103 Ibid.

Page 184: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

161

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga saat ini, tetap

memakainya sebagai salah satu dasar hukum.

Hal yang sama juga dijumpai pada komunitas pesantren,

terutama dengan formulasi kurikulum dan kerangka pemikiran

yang berbasis kitab kuning yang masih tetap dipertahankan

hingga saat ini. Terbukti, hingga saat ini, belum dijumpai hasil

bahtsul masa’il dari komunitas pesantren yang menghasilkan

produk hukum yang berbeda.

Hanya di kalangan masyarakat yang hukum adatnya relatif

kuat, atau mungkin yang beragam pemeluk agamanya, saja yang

sedikit memiliki perbedaan. Sebut saja, misalnya, masyarakat desa

Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman Provinsi D.I.

Yogyakarta104 yang sudah tidak asing dengan pewarisan lintas

agama.

Refleksi

Dari uraian panjang-lebar tentang halangan menerima

warisan di atas, bisa dipahami bahwa hukum waris Islam berada di

antara dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, ia terikat dengan

seperangkat teks al-Qur’an dan hadits yang memuat ragam

ketentuan teknis kewarisan yang sudah dianggap baku. Piranti

metodologis (ushul fiqih) yang ada selama ini dibangun dalam

suatu konstruksi teoretik yang menguatkan teks-teks tersebut.

Namun, di sisi lain, hukum waris Islam berhadapan langsung

dengan realitas sosial yang dinamis serta berkembang sedemikian

rupa, sehingga menuntut berbagai inovasi dan adaptasi yang

acapkali berlawanan dengan muatan ajaran teks.

104 Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian Warisan Beda

Agama di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09 Juli 2011).

Di satu sisi, dua putusan tersebut memang bisa dijadikan

sebagai contoh upaya inovasi yurisprudensial yang dilakukan oleh

hakim atau lembaga peradilan. Selain karena hakim memiliki

kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang menyimpang

dari ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap

kontradiktif dengan cita rasa—disebut dengan “contra legem”,

putusan MA di atas tentu didasari oleh banyak pertimbangan lain,

semisal menjaga keutuhan keluarga, mengakomodir realitas sosial

masyarakat Indonesia yang plural dan memenuhi rasa keadilan.

Putusan tersebut tentu memberikan warna baru dalam wacana

hukum waris Islam.103

Namun, di sisi lain, putusan MA tersebut masih menyisakan

beragam persoalan, baik yang terkait dengan pijakan metodologis

(ushul fiqih) maupun pijakan yuridis. Secara metodologis, masih

terjadi kesimpang-siuran di kalangan pemerhati hukum Islam

tentang ijtihad, fatwa ataupun putusan pengadilan yang

berlawanan dengan teks al-Qur’an dan hadits. Sementara secara

yuridis, putusan tersebut tidak memiliki acuan yang baku, karena

berlawanan dengan ketentuan dalam KHI yang tidak memberikan

harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris

non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Pengambilan

putusan seperti itu kurang sejalan dengan prinsip kepastian

hukum, terutama yang terkait dengan sumber hukum.

Fakta di Masyarakat

Secara umum, ketentuan halangan menerima warisan,

sebagaimana diatur dalam hukum waris Islam dan KHI, masih

dianggap sebagai ketentuan terbaik dan final di kalangan

masyarakat, utamanya yang berbasis keagamaan kuat. Terbukti,

103 Ibid.

Page 185: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

162

Itulah sebabnya, pada bagian refleksi kali ini, perlu

diangkat kembali dua hal yang sangat penting dalam kaitannya

dengan dua sisi berseberangan yang dihadapi oleh hukum waris

Islam di atas. Dua hal tersebut adalah: 1) tinjauan historis hukum

waris Islam, utamanya yang terkait dengan semangat inovatif yang

termuat di dalamnya, dan 2) pijakan metodologis (ushul fiqih)

yang bisa menopang semangat inovasi tersebut.

Tinjauan Historis

Sepanjang sejarah perjalanannya, mulai dari masa awal

Islam hingga saat ini, hukum waris Islam sebenarnya berjalin

berkelindan dengan inovasi hukum. Bahkan, lebih dari itu,

keberadaan hukum waris Islam sendiri sebenarnya merupakan

inovasi luar biasa yang merombak sistem pewarisan harta era Pra-

Islam. Diakui atau tidak, berbagai upaya inovasi tersebut

menyiratkan watak fleksibel hukum waris Islam dalam konteks

perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Tidak

berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa hukum waris merupakan

salah satu contoh terbaik dari evoluasi hukum Islam.

Sebagaimana diketahui, hukum waris Islam hadir di

tengah-tengah sebuah sistem sosial kesukuan (tribal society

system) bangsa Arab pra-Islam yang memiliki dua karakteristik

yang khas, yaitu:

1) Struktur sosialnya bersifat patrilineal (mujtama‘ abawi), di mana

eksistensi kaum perempuan melebur ke dalam garis laki-laki.105

Hal ini tercermin dari sebuah syair Arab pra-Islam berikut ini:

105 Halimah Barakat, “The Arab Family and Challenge of Social Transformation”,

dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.), Women and Family in the Middle East (Texas:

University of Texas Press, 1995), hlm. 28.

Page 186: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

163

oKeturunan kita adalah anak-anak laki-laki kita beserta keterunan

mereka, dan juga anak-anak perempuan kita. Sementara

keturunan anak-anak perempuan kita tidak termasuk keturunan

kita, melainkan keturunan laki-laki “nun jauh di sana”.106

2) Sistem sosialnya bersifat patriarkal. Segalanya berpusat kepada

eksistensi dan peran laki-laki, baik dalam ranah publik ranah

domestik. Sebab hanya laki-lakilah yang saat itu mampu

memberikan kontribusi sosial bagi keberlanjutan kehidupan

suku.107

Implikasinya mudah ditebak. Sistem pembagian harta warisan

menjadi diskriminatif. Hanya kaum laki-laki dewasa saja yang

bisa mewarisi harta kekayaan, baik melalui jalur hubungan

keluarga (nasab), pengangkatan anak (tabanni) maupun

perjanjian (half wa ‘ahd).108 Sementara kaum perempuan, anak-

anak, orang-orang jompo dan orang-orang cacat sama sekali

tidak memilliki hak apa-apa. Prinsip yang dipegang teguh

adalah “senioritas” (the principle of seniority) dan “keikutsertaan

dalam aktivitas militer” (the principle of comradship in arms).109

106 Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm, ctk. II (Beirut: Dār al-

Ma‘rifah, 1973), IV: 405.

107 Hammūdah ‘Abd al-‘Athī, The Family Structure in Islam (Indiana: Islamic Book

Service, 1977), hlm. 8-9

108 Rasyīd Ridhā, Tafsīr., hlm. 402; M. Musthafa Khan, Islamic Law of Inheritance: A

New Approach (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989), hlm. 8.

109 ‘Abd al-‘Athī, The Family., hlm. 250-251. Prinsip ini tercermin dalam penyataan

orang-orang Arab pra-Islam bahwa “Kami tidak akan merwariskan harta kami kepada orang

yang tidak bisa menunggang kuda, menghunus pedang, menggunakan anak panah,

mengusir musuh dan menjaga keselamatan suku”. Lihat: Abū Ja‘far Muhammad ibn Jarīr al-

Thabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, ctk. II (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1972), IV: 176 dan

185.

Itulah sebabnya, pada bagian refleksi kali ini, perlu

diangkat kembali dua hal yang sangat penting dalam kaitannya

dengan dua sisi berseberangan yang dihadapi oleh hukum waris

Islam di atas. Dua hal tersebut adalah: 1) tinjauan historis hukum

waris Islam, utamanya yang terkait dengan semangat inovatif yang

termuat di dalamnya, dan 2) pijakan metodologis (ushul fiqih)

yang bisa menopang semangat inovasi tersebut.

Tinjauan Historis

Sepanjang sejarah perjalanannya, mulai dari masa awal

Islam hingga saat ini, hukum waris Islam sebenarnya berjalin

berkelindan dengan inovasi hukum. Bahkan, lebih dari itu,

keberadaan hukum waris Islam sendiri sebenarnya merupakan

inovasi luar biasa yang merombak sistem pewarisan harta era Pra-

Islam. Diakui atau tidak, berbagai upaya inovasi tersebut

menyiratkan watak fleksibel hukum waris Islam dalam konteks

perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Tidak

berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa hukum waris merupakan

salah satu contoh terbaik dari evoluasi hukum Islam.

Sebagaimana diketahui, hukum waris Islam hadir di

tengah-tengah sebuah sistem sosial kesukuan (tribal society

system) bangsa Arab pra-Islam yang memiliki dua karakteristik

yang khas, yaitu:

1) Struktur sosialnya bersifat patrilineal (mujtama‘ abawi), di mana

eksistensi kaum perempuan melebur ke dalam garis laki-laki.105

Hal ini tercermin dari sebuah syair Arab pra-Islam berikut ini:

105 Halimah Barakat, “The Arab Family and Challenge of Social Transformation”,

dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.), Women and Family in the Middle East (Texas:

University of Texas Press, 1995), hlm. 28.

Page 187: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

164

Saat itulah, hukum waris Islam hadir sebagai “sistem

tandingan” yang mengusung misi emansipasipatoris untuk

merombak secara radikal namun bertahap (tadrijiyyan) sistem

waris Arab pra-Islam, dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1) Penyadaran persuasif tentang kesetaraan derajat manusia di

hadapan Allah swt.110 Hal ini tercermin dari ayat-ayat periode

Mekkah yang memang memuat prinsip-prinsip umum

agama.111

2) Pasca peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah, hubungan

persaudaraan yang tulus (wilayah) antara Sahabat Muhajirin

dan Sahabat Anshar dijadikan standar baru dalam pewarisan;

menggeser prinsip partisipasi militer, sehingga memberi

peluang bagi setiap orang, terlepas dari status sosial dan

kelaminnya, untuk mewariskan ataupun mewarisi harta.112

3) Setelah ikatan persaudaraan seiman semakin kuat, standar

untuk bisa mewariskan dan mewarisi harta dipersempit hanya

di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah (ulu al-

arham).113 Pewarisan melalui jalur pengangkatan anak (tabanni)

dilarang keras,114 sementara pewarisan melalui jalur perjanjian

masih dipertahankan,115 karena janji memang harus ditepati.

4) Penyadaran persuasif tentang hak-hak kaum perempuan. Selain

mengecam keras kebiasaan memperlakukan kaum perempuan

110 Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in A World

Civilization (The Classical Age of Islam), ctk. I (Chicago: Chicago University Press, 1974), I: 163.

111 Misalnya: QS. al-A‘rāf (7):85; al-Isrā’ (17):23 dan 33, al-Kahf (18):110; al-Syu‘arā’

(26):130; al-Hujurāt (49):13; al-Dzāriyāt (51):56.

112 Muhammad al-Khudarī Bek, Tārīkh al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Surabaya: Al-Hidāyah,

t.t.), hlm. 91.

113 QS. al-Ahzāb (33):6.

114 QS. al-Ahzāb (33):4.

115 QS. al-Nisā’ (4):33.

Page 188: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

165

sebagai barang warisan,116 al-Qur’an juga menjamin hak-hak

wajar mereka untuk mendapatkan bagian harta warisan117

namun prosentase bagian warisan (nashib) masih belum

dijelaskan secara terperinci.

5) Setelah prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan,

utamanya dalam hal pembagian harta warisan, telah tertanam

kuat dalam kesadaran sosial masyarakat, barulah al-Qur’an

memberikan ketentuan operasional tentang prosentase

pembagian warisan.118

Inovasi hukum waris Islam terus berlangsung hingga masa

Sahabat. Masalah ‘awl, radd, gharrawayn dan musyarakah,

misalnya, yang digagas dan digulirkan oleh tokoh-tokoh

sekaliber ‘Umar ibn al-Khaththab dan ‘Ali ibn Abi Thalib,

misalnya, atau masalah waris beda agama yang difatwakan

oleh Mu‘adz ibn Jabal dan dilegislasi oleh Mu‘awiyah ibn Abi

Sufyan, sebagai contoh lain, adalah sekian ragam pemikiran

kewarisan yang sarat dengan inovasi. Disebut inovatif, karena

setelah jika diamati dengan cermat dan kritis, semuanya telah

mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua ahli waris dari apa

yang tertuang secara definitif dalam teks al-Qur’an.

Namun, berbagai upaya inovasi seperti yang sudah

dicontohkan oleh Sahabat, lambat-laun namun pasti,

menghilang dari wacana pemikiran hukum Islam, seiring

dengan stagnasi pemikiran (baca: taqlid) yang melanda umat

Islam secara keseluruhan. Ketentuan hukum waris menjelma

menjadi “teks suci” yang bersifat final, taken for granted dan

haram hukumnya jika diubah.

116 QS. al-Nisā’ (4):19 dan 22.

117 QS. al-Nisā’ (4):7.

118 QS. al-Nisā’ (4):11-14 dan 176.

Saat itulah, hukum waris Islam hadir sebagai “sistem

tandingan” yang mengusung misi emansipasipatoris untuk

merombak secara radikal namun bertahap (tadrijiyyan) sistem

waris Arab pra-Islam, dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1) Penyadaran persuasif tentang kesetaraan derajat manusia di

hadapan Allah swt.110 Hal ini tercermin dari ayat-ayat periode

Mekkah yang memang memuat prinsip-prinsip umum

agama.111

2) Pasca peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah, hubungan

persaudaraan yang tulus (wilayah) antara Sahabat Muhajirin

dan Sahabat Anshar dijadikan standar baru dalam pewarisan;

menggeser prinsip partisipasi militer, sehingga memberi

peluang bagi setiap orang, terlepas dari status sosial dan

kelaminnya, untuk mewariskan ataupun mewarisi harta.112

3) Setelah ikatan persaudaraan seiman semakin kuat, standar

untuk bisa mewariskan dan mewarisi harta dipersempit hanya

di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah (ulu al-

arham).113 Pewarisan melalui jalur pengangkatan anak (tabanni)

dilarang keras,114 sementara pewarisan melalui jalur perjanjian

masih dipertahankan,115 karena janji memang harus ditepati.

4) Penyadaran persuasif tentang hak-hak kaum perempuan. Selain

mengecam keras kebiasaan memperlakukan kaum perempuan

110 Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in A World

Civilization (The Classical Age of Islam), ctk. I (Chicago: Chicago University Press, 1974), I: 163.

111 Misalnya: QS. al-A‘rāf (7):85; al-Isrā’ (17):23 dan 33, al-Kahf (18):110; al-Syu‘arā’

(26):130; al-Hujurāt (49):13; al-Dzāriyāt (51):56.

112 Muhammad al-Khudarī Bek, Tārīkh al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Surabaya: Al-Hidāyah,

t.t.), hlm. 91.

113 QS. al-Ahzāb (33):6.

114 QS. al-Ahzāb (33):4.

115 QS. al-Nisā’ (4):33.

Page 189: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

166

Pijakan Metodologis

Selama ini, setiap inovasi dan pembaruan hukum Islam,

khususnya yang berkaitan dengan waris, selalu berbenturan

dengan sebuah konstruksi pemikiran yang, menurut hemat

penulis, terkristalisasi menjadi prinsip kemutlakan otoritas ujaran

verbal teks al-Qur’an dan hadits. Prinsip tersebut tercermin dari

beberapa teori ushul fiqih berikut:

a. Teori mufassar atau nash.

Menurut para ulama ushul fiqih, hal-hal rinci dalam teks

al-Qur’an dan hadits, semisal angka-angka 1/2 (nishf), 1/3

(tsuluts), 1/6 (sudus) dan 1/8 (tsumun) dalam bidang waris,

dinilai bersifat definitif (qath‘i) serta tidak memiliki makna

apapun lagi selain jumlah matematis yang dikandungnya. Hal-

hal rinci tersebut disebut dengan “mufassar” menurut ulama

Hanafiyyah atau “nash” menurut ulama Mutakallimun. Hal-hal

rinci yang bersifat definitif tersebut menutup peluang bagi

upaya ta’wil (penafsiran metaforis) ataupun takhshish serta

hanya menerima naskh. Oleh karena itu, ia harus diterapkan apa

adanya.119

b. Teori mashalahah gharibah.

Sebagai konsekuensi dari teori mufassar di atas, maka

pertimbangan kemaslahatan apapun, sekuat apapun ia, bila

bertentangan dengan ujaran nash yang kandungan maknanya

berstatus qath‘i al-dalalah, sama sekali tidak memiliki nilai

hukum. Dalam arti, ia tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam

119 Muhammad Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah

Muqāranah li Manāhij al-‘Ulamā’ fī Istinbāth al-Ahkām min Nushūsh al-Kitāb wa al-Sunnah,

ctk. III (Beirut: Al-Maktab al-Islāmī, 1984), I:169.

Page 190: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

167

penalaran hukum. Dalam ushul al-fiqh, kemaslahatan seperti ini

diistilahkan sebagai mashlahah gharibah atau munasib mulgha

(kemaslahatan yang “asing” serta tidak memiliki nilai hukum).120

c. Teori hadits ahad.

Mayoritas ulama, seperti dikutip oleh al-Nawawi,

menyatakan bahwa menerapkan hadits ahad (inklusif di

dalamnya hadits tentang waris beda agama di atas, pen.),

sepanjang garis transmisinya valid (shahih), adalah wajib

hukumnya, terlepas dari apakah muatan maknanya yang

bersifat definitif (qath‘i) masih spekulatif (zhanni). Keniscayaan

menerapkan hadits had bukan dipengaruhi oleh muatan

maknanya, melainkan karena diperintahkan oleh Allah swt. dan

Rasul-Nya.121

Terkait dengan semangat inovasi hukum tentang

halangan menerima warisan (mawani‘ al-irts), di saat dihadapkan

dengan prinsip kemutlakan otoritas ujaran verbal teks al-Qur’an

dan hadits, perlu diingat dua hal berikut:

a. Tidak dijumpai satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menyatakan

secara eksplisit tentang halangan menerima waris. Di antara

sekian ayat waris dalam al-Qur’an, utamanya surat al-Nisa’,

sama sekali tidak dijumpai pernyataan tentang halangan

menerima warisan. Ayat al-Qur’an yang biasanya dijadikan

sebagai pijakan bagi halangan menerima waris, utamanya

dalam kasus perbedaan agama, adalah ayat berikut:

120 Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh., I: 169.

121 Muhy al-Dīn al-Nawawī al-Dimasyqī, Syarh Shahīh Muslim, ctk. I (Mesir: al-

Mathba‘ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.

Pijakan Metodologis

Selama ini, setiap inovasi dan pembaruan hukum Islam,

khususnya yang berkaitan dengan waris, selalu berbenturan

dengan sebuah konstruksi pemikiran yang, menurut hemat

penulis, terkristalisasi menjadi prinsip kemutlakan otoritas ujaran

verbal teks al-Qur’an dan hadits. Prinsip tersebut tercermin dari

beberapa teori ushul fiqih berikut:

a. Teori mufassar atau nash.

Menurut para ulama ushul fiqih, hal-hal rinci dalam teks

al-Qur’an dan hadits, semisal angka-angka 1/2 (nishf), 1/3

(tsuluts), 1/6 (sudus) dan 1/8 (tsumun) dalam bidang waris,

dinilai bersifat definitif (qath‘i) serta tidak memiliki makna

apapun lagi selain jumlah matematis yang dikandungnya. Hal-

hal rinci tersebut disebut dengan “mufassar” menurut ulama

Hanafiyyah atau “nash” menurut ulama Mutakallimun. Hal-hal

rinci yang bersifat definitif tersebut menutup peluang bagi

upaya ta’wil (penafsiran metaforis) ataupun takhshish serta

hanya menerima naskh. Oleh karena itu, ia harus diterapkan apa

adanya.119

b. Teori mashalahah gharibah.

Sebagai konsekuensi dari teori mufassar di atas, maka

pertimbangan kemaslahatan apapun, sekuat apapun ia, bila

bertentangan dengan ujaran nash yang kandungan maknanya

berstatus qath‘i al-dalalah, sama sekali tidak memiliki nilai

hukum. Dalam arti, ia tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam

119 Muhammad Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah

Muqāranah li Manāhij al-‘Ulamā’ fī Istinbāth al-Ahkām min Nushūsh al-Kitāb wa al-Sunnah,

ctk. III (Beirut: Al-Maktab al-Islāmī, 1984), I:169.

Page 191: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

168

... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada

orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang

beriman.122

Namun, ayat di atas sebenarnya tidak berbicara tentang

halangan menerima waris, melainkan tentang orang-orang

munafiq yang oportunis bermuka dua, sehingga tidak tepat jika

dijadikan sebagai landasan tekstual bagi perbedaan agama

sebagai halangan menerima warisan.

b. Pijakan tekstual ketentuan halangan menerima waris adalah

hadits Rasulullah saw., sebagaimana telah disebutkan pada

bagian lain dari makalah ini, yaitu:

Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non

muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa

menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan

Muslim).

Di satu sisi, hadits tersebut memang dinilai valid

(shahih), sehingga dinilai memenuhi syarat untuk digunakan

sebagai sumber hukum. Faktanya, hadits itulah terlepas dari

definitif atau spekulatif muatan maknanya yang dipakai sebagai

pijakan utama bagi ketentuan perbedaan agama sebagai salah

satu penghalang menerima warisan.

Pada kenyataannya, otoritas hadits tersebut memang begitu

kuat pengaruhnya terhadap ketentuan hukum waris Islam

tentang penghalang menerima warisan. Buktinya, seperti

tercermin dari Fatwa MUI pada tahun 2005, pemberian harta

122 QS. Al-Nisā’ (4): 141.

Page 192: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

169

kepada orang yang berbeda agama melalui jalur waris

berkebalikan hukumnya dengan pemberian harta melalui jalur

hibah, wasiat dan hadiah.123

Oleh karena itu, perbincangan tentang pijakan metodologis

inovasi hukum waris Islam, utamanya yang berkenaan dengan

halangan menerima warisan, bisa didekati dengan beberapa

perspektif alternatif berikut:

a. Muhammad Mushthafa Syalabi mengkritik keras prinsip

“ta‘abbud” (ketundukan mutlak kepada ujaran verbal teks)

pada ranah pranata sosial (‘adat, mu‘amalat). Menurutnya,

prinsip tersebut merupakan persepsi yang rancu, karena

bertentangan dengan prinsip umum bahwa hukum Islam,

utamanya yang berada pada ranah pranata sosial, bertujuan

untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Jadi

terdapat konteks historis dan tujuan yang bisa dinalar.124

Sebagai tindak lanjut dari kritik kerasnya itu, Syalabi

kemudian mengklasifikasi hukum Islam, baik yang berasal

dari ujaran teks maupun dari ijtihad ulama, berdasarkan

‘illah yang dikandungnya. Salah satu yang penting di

antaranya adalah kelompok kedua, yaitu hukum yang lahir

pada zaman Nabi saw. yang dilatarbelakangi oleh ‘illah

tertentu, tetapi pada era berikutnya, kondisi sosial sudah

berubah, sehingga ‘illah tersebut sudah tidak relevan lagi.

Atas dasar itu, para ulama masa itu kemudian melakukan

123 Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS

VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli

2011).

124 Muhammad Mushthafā Syalabī, Ta‘līl al-Ahkām:‘Ardh wa Tahlīl li Tharīqah al-

Ta‘līl wa Tathawwurihā fī ‘Ushūr al-Ijtihād wa al-Taqlīd, ctk. II (Beirut: Dār al-Nahdhah al-

‘Arabiyyah, 1981), hlm. 299.

... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada

orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang

beriman.122

Namun, ayat di atas sebenarnya tidak berbicara tentang

halangan menerima waris, melainkan tentang orang-orang

munafiq yang oportunis bermuka dua, sehingga tidak tepat jika

dijadikan sebagai landasan tekstual bagi perbedaan agama

sebagai halangan menerima warisan.

b. Pijakan tekstual ketentuan halangan menerima waris adalah

hadits Rasulullah saw., sebagaimana telah disebutkan pada

bagian lain dari makalah ini, yaitu:

Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non

muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa

menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan

Muslim).

Di satu sisi, hadits tersebut memang dinilai valid

(shahih), sehingga dinilai memenuhi syarat untuk digunakan

sebagai sumber hukum. Faktanya, hadits itulah terlepas dari

definitif atau spekulatif muatan maknanya yang dipakai sebagai

pijakan utama bagi ketentuan perbedaan agama sebagai salah

satu penghalang menerima warisan.

Pada kenyataannya, otoritas hadits tersebut memang begitu

kuat pengaruhnya terhadap ketentuan hukum waris Islam

tentang penghalang menerima warisan. Buktinya, seperti

tercermin dari Fatwa MUI pada tahun 2005, pemberian harta

122 QS. Al-Nisā’ (4): 141.

Page 193: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

170

inovasi, sesuai dengan tingkat perubahan sosial tadi.

Contohnya adalah penghapusan zakat bagi kaum mu’allaf

dan sistem pembagian harta rampasan perang

(ghannimah).125

b. Menghadapi situasi dilematis antara ujaran verbal teks

hadits pada bidang pranata sosial di satu sisi dan realitas

sosial yang kompleks di sisi lain, ‘Ali Hasb Allah

mengemukakan sebuah pernyataan yang menarik:

Di saat terjadi kontradiksi antara kepentingan umum

(mashlahah) dan ujaran verbal teks, maka mashlahah yang

diunggulkan manakala bersifat pasti dan primer (dharr).

Namun, jika mashlahah tersebut bersifat tersier (tahsi}n),

maka ujaran verbal tekslah yang diunggulkan. Sementara itu,

mashlahah yang bersifat sekunder (hj) lebih tepat jika

dipersamakan dengan mashlahah yang primer.Penutup

Demikianlah makalah yang serba terbatas ini penulis susun

dan sampaikan. Segala kekurangan dan kesalahan yang sudah

pasti bisa dijumpai di dalamnya mudah-mudahan dipermaklumi

dan dikritik secara konstruktif. Bagaimanapun, segala keterbatan

yang dimiliki oleh penulis tidak bisa ditutup-tutupi lagi.

125 Syalabī, Ta‘līl al-Ahkām., hlm. 34-42.

Page 194: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

171

Daftar Pustaka

Al-Qur’ān al-Karīm.

‘Abd al-‘Athī, Hammūdah, The Family Structure in Islam (Indiana:

Islamic Book Service, 1977).

Adīb Shālih, Muhammad, Tafsīr al-Nushūsh fī al-Fiqh al-Islāmī:

Dirāsah Muqāranah li Manāhij al-‘Ulamā’ fī Istinbāth al-

Ahkām min Nushūsh al-Kitāb wa al-Sunnah, ctk. III (Beirut:

Al-Maktab al-Islāmī, 1984).

Barakat, Halimah, “The Arab Family and Challenge of Social

Transformation”, dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.),

Women and Family in the Middle East (Texas: University of

Texas Press, 1995).

Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian

Warisan Beda Agama di Desa Sumbersari Kecamatan

Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09

Juli 2011).

Http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).

Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Al-Hāfizh, Fath al-Bārī Syarh Shahīh al-

Bukhārī (Ttp.: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1986).

Ibn Jarīr al-Thabarī, Abū Ja‘far Muhammad, Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr

al-Qur’ān, ctk. II (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1972).

Ibn Qudāmah, ‘Abd Allāh ibn Qudāmah, al-Mughnī fī Syarh

Mukhtashar al-Kharaqī (Kairo: Dār al-Manār, 1987);

Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubī, Bidāyah al-

Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera,

t.t.).

inovasi, sesuai dengan tingkat perubahan sosial tadi.

Contohnya adalah penghapusan zakat bagi kaum mu’allaf

dan sistem pembagian harta rampasan perang

(ghannimah).125

b. Menghadapi situasi dilematis antara ujaran verbal teks

hadits pada bidang pranata sosial di satu sisi dan realitas

sosial yang kompleks di sisi lain, ‘Ali Hasb Allah

mengemukakan sebuah pernyataan yang menarik:

Di saat terjadi kontradiksi antara kepentingan umum

(mashlahah) dan ujaran verbal teks, maka mashlahah yang

diunggulkan manakala bersifat pasti dan primer (dharr).

Namun, jika mashlahah tersebut bersifat tersier (tahsi}n),

maka ujaran verbal tekslah yang diunggulkan. Sementara itu,

mashlahah yang bersifat sekunder (hj) lebih tepat jika

dipersamakan dengan mashlahah yang primer.Penutup

Demikianlah makalah yang serba terbatas ini penulis susun

dan sampaikan. Segala kekurangan dan kesalahan yang sudah

pasti bisa dijumpai di dalamnya mudah-mudahan dipermaklumi

dan dikritik secara konstruktif. Bagaimanapun, segala keterbatan

yang dimiliki oleh penulis tidak bisa ditutup-tutupi lagi.

125 Syalabī, Ta‘līl al-Ahkām., hlm. 34-42.

Page 195: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

172

Khudarī Bek, al-, Marshall G. S., Tārīkh al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Surabaya:

Al-Hidāyah, t.t.).

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Keputusan Fatwa Nomor: 5/MUNAS

VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama,

http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli 2011).

Muhammad Muhy al-Dīn ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al-Mawārīts fī al-

Syarī‘ah al-Islāmiyyah ‘alā Madzāhib al-A’imma al-Arba‘a,

ctk. I (ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1984)

Muhibuddin, Moh., “Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim

di Indonesia”, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09

Juli 2011).

Musthafa Khan, M., Islamic Law of Inheritance: A New Approach

(New Delhi: Kitab Bhavan, 1989).

Nawawī al-Dimasyqī, al-, Muhy al-Dīn, Syarh Shahīh Muslim, ctk. I

(Mesir: al-Mathba‘ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.

Rasyīd Ridhā, Muhammad, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm, ctk. II (Beirut:

Dār al-Ma‘rifah, 1973).

Subekti, R., dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982)

Syalabī, Muhammad Mushthafā, Ta‘līl al-Ahkām:‘Ardh wa Tahlīl li

Tharīqah al-Ta‘līl wa Tathawwurihā fī ‘Ushūr al-Ijtihād wa al-

Taqlīd, ctk. II (Beirut: Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981),

hlm. 299.

Zuhaylī, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ctk. II (Beirut:

Dār al-Fikr, 1985).

Page 196: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

173

HARTA BERSAMA

H.A. Sukris Sarmadi

Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk

akan segala budaya. Dalam perkembangan hukum yang terjadi di

Indonesia, hukum Islam termasuk menjadi sumber hukum di

Indonesia.126 Terutama di bidang hukum keperdataan.127 Dalam

realitasnya, umat Islam di Indonesia merupakan jumlah mayoritas

di negeri ini. Harapan umat Islam pada umumnya menjadikan

hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Hal

ini didasarkan pada cara berpikir pandangan hidup dan karakter

suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.128

Kenyataan ini sesuai dengan sejarah panjang Islam di Indonesia

hingga interaksinya dengan hukum barat yang dibawa oleh

kolonial Belanda yang mengakui akan berlakunya hukum Islam

dalam lapangan keperdataan tertentu.

Kondisi sekarang umat Islam di Indonesia telah dapat

melaksanakan hukum Islam di dasarkan pada berbagai legalisasi

perundang-undangan seperti Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama kemudian disempurnakan dengan

Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

126 Suparman Usman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi Hukum

Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 122

127 Zainuddin Ali menterjemahkan keperdataan dengan fiqh al muamalat, hal ini

dikarenakan dalam fiqh bagian muamalat dalam arti luas mencakup hukum keperdataan.

lih. Zainuddin Ali, 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 68

128 R. Subekti, 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII, Jakarta : Pradnya

Paramita, hlm. 3

Khudarī Bek, al-, Marshall G. S., Tārīkh al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Surabaya:

Al-Hidāyah, t.t.).

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Keputusan Fatwa Nomor: 5/MUNAS

VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama,

http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli 2011).

Muhammad Muhy al-Dīn ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al-Mawārīts fī al-

Syarī‘ah al-Islāmiyyah ‘alā Madzāhib al-A’imma al-Arba‘a,

ctk. I (ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1984)

Muhibuddin, Moh., “Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim

di Indonesia”, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09

Juli 2011).

Musthafa Khan, M., Islamic Law of Inheritance: A New Approach

(New Delhi: Kitab Bhavan, 1989).

Nawawī al-Dimasyqī, al-, Muhy al-Dīn, Syarh Shahīh Muslim, ctk. I

(Mesir: al-Mathba‘ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.

Rasyīd Ridhā, Muhammad, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm, ctk. II (Beirut:

Dār al-Ma‘rifah, 1973).

Subekti, R., dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982)

Syalabī, Muhammad Mushthafā, Ta‘līl al-Ahkām:‘Ardh wa Tahlīl li

Tharīqah al-Ta‘līl wa Tathawwurihā fī ‘Ushūr al-Ijtihād wa al-

Taqlīd, ctk. II (Beirut: Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981),

hlm. 299.

Zuhaylī, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ctk. II (Beirut:

Dār al-Fikr, 1985).

Page 197: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

174

Disempurnakan lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 50

tahun 2009. Bidang keperdataan lainnya adalah pemberlakuan

Undang-Undang N0. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf .129 Tidak hanya

pada keperdataan umum saja namun berlanjut pada masalah

ibadah seperti Undang-Undang N0. 13 Tahun 2008 tentang Haji

hingga di bidang ekonomi yaitu pemberlakuan Undang-Undang

No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah dan Undang-

Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 130

Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dikarenakan

prinsip atau asas hukum perbankan syariah berbeda dengan

perbankan konvensional.131

Lapangan hukum materil keperdataan sebenarnya telah

diberlakukan Kompilasi Hukum Islam sebagai dokumen Yustisia

yang dibentuk berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991.132 KHI sebagai

dokumen Yustisia berarti dijadikan pedoman bagi Hakim di

lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan

dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

Pada saat ini, seluruh hakim lingkungan Peradilan Agama telah

menjadikan KHI sebagai rujukan yustisia sekalipun di temukan di

beberapa daerah ada pendapat hakim yang berbeda terhadapnya

menyangkut beberapa persoalan kewarisan dan perkawinan. Ini

129 Sebagai penyempurnaan dari PP No. 28 thn. 1977 tentang Perwakaan Tanah.

Vide, Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan Hukum

Nasional, dalam http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task.

130 Sebelum diberlakukan UU No. 19 tahun 2008 telah berlaku PP RI N0. 39 Tahun

2005 tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan

BI N0. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan

Prinsip Syariah.

131 Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I, Yogyakarta :

Genta Press, hlm. 70.

132 Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen

Agama, hlm. 1-9.

Page 198: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

175

bukan berarti KHI tidak laik untuk dijadikan bahan rujukan

Nasional

KHI memang belum sempurna karena masih menyisakan

persoalan-persoalan hukum, untuk itu perlu disempurnakan. Hal

ini cukup dirasakan oleh A. Hamid S. Atamimi sehingga beliau

mengatakan, marilah kita terima KHI secara realistik sebagaimana

apa adanya. Ia banyak mengandung kelemahan. Karenanya ia

perlu disempurnakan.133 Di antara persoalan tersebut adalah

menyangkut persoalan harta benda dan kewarisan. Mochtar

Kusumaatmadja mengatakan bahwa bidang hukum waris

dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar

bidang-bidang yang bersifat netral seperti hukum perseroan,

hukum kontrak (perikatan) dan hukum lalu lintas (darat, air dan

udara).134 Bidang waris termasuk bidang hukum yang

mengandung terlalu banyak halangan, adanya komplikasi-

komplikasi kultural, keagamaan dan sosiologi.135

Adalah wajar jika Kompilasi Hukum Islam sendiri diakui

sangat besar manfaatnya sebagai dokumen materil hukum Islam

yang dulunya hanya berdasar kitab-kitab fiqh klasik. Dengan

Kompilasi Hukum Islam telah memberikan start awal

pengkodifikasian hukum Islam sehingga memudahkan penerapan

hukum Islam bidang keperdataan khusus. Jika ia dapat dijadikan

suatu UU, tentu akan lebih baik sembari memperbaiki bagian yang

hingga sekarang masih menyisakan persoalan. Atas kenyataan ini,

UU materil hukum Islam sangat penting di buat karena betapa

133 A. Hamid S. Atamimi, 1992. Compendium Freijer Upaya Mempositipkan

Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan Hukum tahun N0. hlm 137-138, 144.

134 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum

Nasional, Bandung : Bina Cipta, hlm. 14

135 Ibid, h. 12

Disempurnakan lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 50

tahun 2009. Bidang keperdataan lainnya adalah pemberlakuan

Undang-Undang N0. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf .129 Tidak hanya

pada keperdataan umum saja namun berlanjut pada masalah

ibadah seperti Undang-Undang N0. 13 Tahun 2008 tentang Haji

hingga di bidang ekonomi yaitu pemberlakuan Undang-Undang

No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah dan Undang-

Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 130

Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dikarenakan

prinsip atau asas hukum perbankan syariah berbeda dengan

perbankan konvensional.131

Lapangan hukum materil keperdataan sebenarnya telah

diberlakukan Kompilasi Hukum Islam sebagai dokumen Yustisia

yang dibentuk berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991.132 KHI sebagai

dokumen Yustisia berarti dijadikan pedoman bagi Hakim di

lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan

dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

Pada saat ini, seluruh hakim lingkungan Peradilan Agama telah

menjadikan KHI sebagai rujukan yustisia sekalipun di temukan di

beberapa daerah ada pendapat hakim yang berbeda terhadapnya

menyangkut beberapa persoalan kewarisan dan perkawinan. Ini

129 Sebagai penyempurnaan dari PP No. 28 thn. 1977 tentang Perwakaan Tanah.

Vide, Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan Hukum

Nasional, dalam http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task.

130 Sebelum diberlakukan UU No. 19 tahun 2008 telah berlaku PP RI N0. 39 Tahun

2005 tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan

BI N0. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan

Prinsip Syariah.

131 Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I, Yogyakarta :

Genta Press, hlm. 70.

132 Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen

Agama, hlm. 1-9.

Page 199: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

176

besar keperluan terhadapnya untuk menciptakan kepastian

hukum bagi pencari keadilan.

Mahfud MD mengatakan bahwa dengan menerima

berlakunya hukum nasional yang inklusif, umat Islam dapat

melaksanakan ajaran Islam tanpa halangan apapun, bahkan dapat

membuat fiqh sendiri yang khas Indonesia. Ada kaidah ushul fiqh

yang biasa dipakai dalam penerimaan atas hukum inklusif itu,

yakni ``maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu``. Jika tidak

dapat mengambil seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya. Jika

sudah memperjuangkan secara demokratis untuk memberlakukan

hukum Islam sebagai hukum formal nasional tetapi gagal,

berjuanglah melalui sisa peluang yang tersedia, yakni

melaksanakan hukum Islam secara inklusif sebagai produk

demokrasi.136

Progresif Harta Bersama; Objek Baru Dalam Faraid al Islam

Istilah harta bersama perkawinan tidak pernah dibahas

dalam kitab fiqh tradisional terlebih lagi mengenai pembagian dari

harta bersama apabila salah satu pihak meninggal dunia sehingga

menjadi bagian dari ijtihad masa kini di dunia Islam khususnya di

Indonesia. Sejauh ini persoalan harta bersama (syirkah) dalam

pengertian umum (muamalah), fiqh Islam membahasnya secara

khusus. Beberapa macam syirkah telah diperkenalkan dalam

hukum materil klasik seperti syirkah al Muwafadah.137 Syirkatu Al

Abdan, Syirkatu Al Inan,138 Syirkatu Al Irts, Syirkatu al Ghonimah,

136 Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga dalam

http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=32&

HPSESSID=b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0

137 Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J. III, Bairut-

Libanon, 1990, h. 67

138 Ibid, h. 76

Page 200: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

177

Syirkatu al Amlak.139 Sebagian berpendapat bahwa harta bersama

masuk dalam pengertian syirkah al amlaak yang dimaknakan

dengan kepemilikan bersama atas suatu benda (syarikah al-’ain),

seperti kepemilikan bersama atas harta yang diwarisi oleh dua

orang, atau harta yang dibeli oleh dua orang, atau harta yang

dihibahkan orang lain kepada dua orang itu, dan yang

semacamnya.140Tetapi pendapat ini sangat berbeda dengan illat

maksud dari istilah harta bersama karena perkawinan dalam KHI.

Sebab dalam KHI, harta bersama perkawinan terjadi secara

otomatis karena sebab perkawinan. Sementara illat Syirkah al

Muwafadah Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan, Syirkatu Al Irts,

Syirkatu al Ghonimah, Syirkatu al Amlak terjadi sebab lain seperti

karena perjanjian, pemberian dan milik pribadi.

Harta bersama didefinisikan dalam KHI tersebut dalam

Pasal 1 huruf f bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau

syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau

bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung

selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan

terdaftar atas nama siapapun. Pengertiannya berarti secara

otomatis setiap peroleh suami atau istri selama dalam perkawinan

menjadi otomatis bermakna harta bersama kecuali karena

perolehan hibah, wasiat dan warisan (vide Pasal 1 huruf f dan Pasal

86, 87 KHI).141 Dalam konteks ini KHI meneguhkan apa yang ada

dalam Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

yang mendefinisikan bahwa Harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian, Pasal 88 s.d

139 Ibid, h. 69

140 Taqiyuddin An-Nabhani, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar al Fikr,

Cairo, h. 150

141 A. Sukris Sarmadi, 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum Perdata

Islam di Indonesia, Pustaka Prisma, Cet.II, 2008 Yogyakarta, h. 118

besar keperluan terhadapnya untuk menciptakan kepastian

hukum bagi pencari keadilan.

Mahfud MD mengatakan bahwa dengan menerima

berlakunya hukum nasional yang inklusif, umat Islam dapat

melaksanakan ajaran Islam tanpa halangan apapun, bahkan dapat

membuat fiqh sendiri yang khas Indonesia. Ada kaidah ushul fiqh

yang biasa dipakai dalam penerimaan atas hukum inklusif itu,

yakni ``maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu``. Jika tidak

dapat mengambil seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya. Jika

sudah memperjuangkan secara demokratis untuk memberlakukan

hukum Islam sebagai hukum formal nasional tetapi gagal,

berjuanglah melalui sisa peluang yang tersedia, yakni

melaksanakan hukum Islam secara inklusif sebagai produk

demokrasi.136

Progresif Harta Bersama; Objek Baru Dalam Faraid al Islam

Istilah harta bersama perkawinan tidak pernah dibahas

dalam kitab fiqh tradisional terlebih lagi mengenai pembagian dari

harta bersama apabila salah satu pihak meninggal dunia sehingga

menjadi bagian dari ijtihad masa kini di dunia Islam khususnya di

Indonesia. Sejauh ini persoalan harta bersama (syirkah) dalam

pengertian umum (muamalah), fiqh Islam membahasnya secara

khusus. Beberapa macam syirkah telah diperkenalkan dalam

hukum materil klasik seperti syirkah al Muwafadah.137 Syirkatu Al

Abdan, Syirkatu Al Inan,138 Syirkatu Al Irts, Syirkatu al Ghonimah,

136 Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga dalam

http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=32&

HPSESSID=b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0

137 Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J. III, Bairut-

Libanon, 1990, h. 67

138 Ibid, h. 76

Page 201: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

178

Pasal 97 KHI merupakan lex special dari Pasal 35 ayat (1) UU

Perkawinan.

Harta bersama pada Pasal 85 s.d Pasal 97 KHI mengklasifi-

kasikannya dalam harta kekayaan perkawinan dan kemungkinan

adanya harta lain selama perkawinan. Setidaknya ada dua bagian

pokok hukum harta kekayaan dalam perkawinan, sebagai berikut :

1. harta bawaan; harta milik sendiri, perolehan sebelum perka-

winan (Pasal 87, 88 KHI), karena suatu pemberian, hibah,

wasiat, warisan sebelum dan sesudah perkawinan (Pasal 85, 86

KHI)

2. harta bersama perkawinan karena terjadi perkawinan dan

karena perjanjian (Pasal 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97

KHI).

Dari dua pokok harta tersebut, keduanya memungkinkan

menjadi objek harta warisan dikemudian hari. Ada kesepakatan

yang umum di kalangan ulama tentang kausalitas sebab-sebab

kewarisan yakni karena hubungan perkawinan, kekerabatan dan

perwalian. Hubungan perkawinan (Ashab al-Furudh al-Sababiah)

dimaksud adalah dapat saling waris-mewarisi antara suami istri

yang masih dalam ikatan perkawinan,142 yakni kematian salah satu

pihak. Perceraian antara mereka sewaktu mereka hidup

mengakibatkan tidak terjadinya kewarisan.143

142 A. Sukris Sarmadi, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam Tranformatif,

Rajawali Pers, Jakarta, h. 27

143 Perceraian di sini dalam arti talak bain, sedangkan perempuan yang masih

dalam iddah talak raj’iyah masih berhak memperoleh kewarisan jika suaminya meninggal

pada masa itu. Selanjutnya, dalam fiqh klasik perceraian (talak bain) berakibat bagi istri tidak

lagi akan mendapatkan harta kecuali jika ia memiliki anak, maka biaya hadhanah tetp

menjadi tanggung jawab suami. Baik dalam UU No. 1/1974 maupun pada Komilasi Hukum

Islam, perceraian berakibat adanya pembagian harta bersama. Sebuah perkawinan

dianggap telah membentuk terjadinya harta bersama walaupun hanya suami saja yang

Page 202: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

179

Sementara itu, akibat kematian salah satu pihak dari suami

istri berakibat adanya harta yang diwarisi oleh yang masih hidup

terhadap yang telah meninggal dunia, baik terhadap sisa harta

bersama maupun harta bawaan orang yang lebih dulu meninggal

dunia. Di sinilah konteks persoalan tentang harta waris (al-

Mauruts) adalah sejumlah harta milik orang yang meninggal dunia

(pewaris) setelah diambil sebagaian harta tersebut untuk biaya-

biaya perawatan jika ia menderita sakit sebelum meninggalnya,

penyelenggaraan jenazah, penunaian wasiat harta jika ia

berwasiat, dan pelunasan segala utang-utangnya jika ia berutang

kepada orang lain sejumlah harta.144

Berdasar demikian, apa yang disebut dalam kitab-kitab

klasik terhadap persoalan objek harta kewarisan harta waris (al-

Mauruts) hanya berkaitan dengan apa yang dimiliki oleh orang

yang meninggal dunia. Bila ia adalah suami atau istri, maka apa

saja yang dimiliki mereka setelah dikurangi dengan kewajiban

mereka yaitu wasiat, hutang dan tahjiz. Maka jika suatu hukum

hasil ijtihad menyatakan adanya harta bersama perkawinan maka

harus dikurangi pula dengan harta bersama. Karena separoh harta

bersama menjadi milik suami atau istri yang masih hidup dan

merupakan paroan yang bukan kewarisan.

Konteks bahasa lain bisa dinyatakan bahwa objek harta

warisan telah memprogresif mengikuti akibat suatu ijtihadi adanya

harta bersama perkawinan. Suami atau istri yang masih hidup

beroleh dua hak, pertama separoh dari harta bersama. Kedua

adalah separohnya dari harta bersama menjadi harta warisan di

bekerja, pembagian sejumlah sama rata, dengan kata lain bila suami meninggal, istri berhak

separoh harta tersebut lihat KHI.Pasal .96 Bab XIII.

144 A. Sukris Sarmadi, Op. Cit. h. 33

Pasal 97 KHI merupakan lex special dari Pasal 35 ayat (1) UU

Perkawinan.

Harta bersama pada Pasal 85 s.d Pasal 97 KHI mengklasifi-

kasikannya dalam harta kekayaan perkawinan dan kemungkinan

adanya harta lain selama perkawinan. Setidaknya ada dua bagian

pokok hukum harta kekayaan dalam perkawinan, sebagai berikut :

1. harta bawaan; harta milik sendiri, perolehan sebelum perka-

winan (Pasal 87, 88 KHI), karena suatu pemberian, hibah,

wasiat, warisan sebelum dan sesudah perkawinan (Pasal 85, 86

KHI)

2. harta bersama perkawinan karena terjadi perkawinan dan

karena perjanjian (Pasal 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97

KHI).

Dari dua pokok harta tersebut, keduanya memungkinkan

menjadi objek harta warisan dikemudian hari. Ada kesepakatan

yang umum di kalangan ulama tentang kausalitas sebab-sebab

kewarisan yakni karena hubungan perkawinan, kekerabatan dan

perwalian. Hubungan perkawinan (Ashab al-Furudh al-Sababiah)

dimaksud adalah dapat saling waris-mewarisi antara suami istri

yang masih dalam ikatan perkawinan,142 yakni kematian salah satu

pihak. Perceraian antara mereka sewaktu mereka hidup

mengakibatkan tidak terjadinya kewarisan.143

142 A. Sukris Sarmadi, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam Tranformatif,

Rajawali Pers, Jakarta, h. 27

143 Perceraian di sini dalam arti talak bain, sedangkan perempuan yang masih

dalam iddah talak raj’iyah masih berhak memperoleh kewarisan jika suaminya meninggal

pada masa itu. Selanjutnya, dalam fiqh klasik perceraian (talak bain) berakibat bagi istri tidak

lagi akan mendapatkan harta kecuali jika ia memiliki anak, maka biaya hadhanah tetp

menjadi tanggung jawab suami. Baik dalam UU No. 1/1974 maupun pada Komilasi Hukum

Islam, perceraian berakibat adanya pembagian harta bersama. Sebuah perkawinan

dianggap telah membentuk terjadinya harta bersama walaupun hanya suami saja yang

Page 203: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

180

tambah harta bawaan pewaris suami atau istri berbagi (fard)

bersama ahli waris lain. Di sini ada pemaknaan baru tentang objek

harta waris (al-Mauruts). Ada hak baru dalam lingkaran kewarisan

terhadap pewaris, harta waris dan ahli waris yang oleh ulama

faradiyun dianggap sebagai lingkaran kesatuan yang tak dapat

dipisahkan dan menjadi asas yang fundamental (rukun) terjadinya

kewarisan.145

Harta Bersama : Menilai dan menformat KHI

Butir Pasal yang ada dalam KHI tentang harta bersama

(Pasal 85 s.d. Pasal 97) berjumlah 13 Pasal. Sebenarnya butir Pasal

terlalu banyak dan masih menyisakan ruang kosong pengertian

tentang harta bersama yang memungkinkan terjadinya ketidak-

pastian hukum terlebih dikaitkan dengan persoalan menjadi objek

kewarisan. Bagian ini dapat diketengahkan, sebagai berikut :

Pasal 1 huruf f

Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang

diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama

dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta

bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Seharusnya disinggung soal harta bawaan sehingga berbunyi :

Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh

baik sendiri-sendiri atau bersama suami atau istri selama dalam

ikatan perkawinan berlangsung bukan karena harta bawaan

yang selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan

terdaftar atas nama siapapun.

145 Para ulama menegaskan sebagai rukun terjadinya suatu kewarisan yakni

adanya pewaris, harta waris dan ahli waris. Tidak ada salah satunya mengakibatkan tidak

berlakunya suatu kewarisan. Sayid Sabiq, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,

h. 426

Page 204: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

181

Pasal 85 :

Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.

146

Pasal 86 :

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan

harta istri karena perkawinan,

(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,

demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan

dikuasai penuh olehnya.

Pasal 87 :

(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan

adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para

pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.147

(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,

hadiah, sadaqoh atau lainnya.

Pasal 88 :

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta

bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada

Pengadilan Agama.

146Pasal 119 Burgelijk Wetboek (BW) mengatur masalah harta bersama

perkawinan.bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki

suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki istri. Pasal 128 BW menetapkan

bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli

waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.

147 Pasal 139-154 BW mengisaratkan bila pasangan suami istri sepakat untuk tidak

menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris

sebelum perkawinan.

tambah harta bawaan pewaris suami atau istri berbagi (fard)

bersama ahli waris lain. Di sini ada pemaknaan baru tentang objek

harta waris (al-Mauruts). Ada hak baru dalam lingkaran kewarisan

terhadap pewaris, harta waris dan ahli waris yang oleh ulama

faradiyun dianggap sebagai lingkaran kesatuan yang tak dapat

dipisahkan dan menjadi asas yang fundamental (rukun) terjadinya

kewarisan.145

Harta Bersama : Menilai dan menformat KHI

Butir Pasal yang ada dalam KHI tentang harta bersama

(Pasal 85 s.d. Pasal 97) berjumlah 13 Pasal. Sebenarnya butir Pasal

terlalu banyak dan masih menyisakan ruang kosong pengertian

tentang harta bersama yang memungkinkan terjadinya ketidak-

pastian hukum terlebih dikaitkan dengan persoalan menjadi objek

kewarisan. Bagian ini dapat diketengahkan, sebagai berikut :

Pasal 1 huruf f

Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang

diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama

dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta

bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Seharusnya disinggung soal harta bawaan sehingga berbunyi :

Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh

baik sendiri-sendiri atau bersama suami atau istri selama dalam

ikatan perkawinan berlangsung bukan karena harta bawaan

yang selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan

terdaftar atas nama siapapun.

145 Para ulama menegaskan sebagai rukun terjadinya suatu kewarisan yakni

adanya pewaris, harta waris dan ahli waris. Tidak ada salah satunya mengakibatkan tidak

berlakunya suatu kewarisan. Sayid Sabiq, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,

h. 426

Page 205: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

182

Pasal 89 :

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri

maupun hartanya sendiri.

Pasal 90 :

Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun

harta suaminya yang ada padanya.

Semua Pasal tersebut di atas sebenarnya telah dapat

relevan dengan penalaran keislaman modern selama ini, baik

sebagian adopsi fiqh klasik maupun ijtihadi terhadapnya. Harta

kekayaan sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam pasal 1

huruf (f) dalam perkawinan dianggap akan menjadi harta bersama

(syirkah) walaupun tidak menutup kemungkinan adanya harta

milik masing-masing suami istri (vide, psl.85 KHI). Apa yang

dimaksud dengan harta masing-masing tersebut adalah harta

bawaan dari masing-masing mereka, baik sebagai hadiah dari

orang lain atas dirinya atau warisan dari orang tuanya atau dari

pihak jurusan di mana ia berhak memperoleh warisan atau

pemberian lainnya (vide, psl 87 ayat 1). Mengenai harta bawaan

dan harta pemberian seseorang karena sebab tertentu ditegaskan

dalam al Qur’an, sebagai berikut :

“Untuk laki-laki ada bagian perolehan harta dari

peninggalan (pemberian) ibu bapak dan karib kerabat yang

dekat (kepadanya) sebagaimana halnya bagi wanita ada

bagian perolehan harta dari peninggalan (pemberian) ibu

Page 206: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

183

bapak dan karib kerabat yang dekat, baik sedikit ataupun

banyak sebagai bagian yang telah ditetapkan kepadanya.

(Q.S(4) An Nisaa:7).

Ayat tersebut di atas bukan hanya memberi konsep sebab

terjadinya pemilikan harta bagi seseorang berupa harta warisan

ataupun harta pusaka yang ditinggalkan orang tua mereka tetapi

juga sebab lain seperti karena pemberian dari orang tua mereka

atau kerabat dekat yakni keluarganya sendiri. Bagi hukum Islam,

bagian harta tersebut tidak dapat diganggu gugat dan tetap akan

menjadi haknya untuk memiliki dan memfungsikannya. Oleh

karenanya hukum Islam melarang kepada pihak manapun untuk

mempergunakan, atau menjual atau mengambilnya untuk

kepentingannya sendiri terhadap harta tersebut, termasuk

terhadap istrinya sendiri atau terhadap suaminya sendiri

sebagaimana juga sesuai dengan pasal 92 yang menyatakan

bahwa suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak

diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Dengan kata lain harta bersama saja tidak dibenarkan untuk di jual

atau dipindahkan, terlebih lagi harta pribadi masing-masing dari

suami atau istri.

“Janganlah sebagian dari kamu memakan harta orang lain

(mengambilnya) dengan cara yang batil (dilarang

agamamu) dan janganlah kamu bawa kepada hakim untuk

memperoleh legalisasi mengambil harta tersebut dengan

cara dosa (memutar balikkan bukti) sedangkan kamu

menyadarinya. (Q.S(2) Al Baqarah:188).

Pasal 89 :

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri

maupun hartanya sendiri.

Pasal 90 :

Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun

harta suaminya yang ada padanya.

Semua Pasal tersebut di atas sebenarnya telah dapat

relevan dengan penalaran keislaman modern selama ini, baik

sebagian adopsi fiqh klasik maupun ijtihadi terhadapnya. Harta

kekayaan sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam pasal 1

huruf (f) dalam perkawinan dianggap akan menjadi harta bersama

(syirkah) walaupun tidak menutup kemungkinan adanya harta

milik masing-masing suami istri (vide, psl.85 KHI). Apa yang

dimaksud dengan harta masing-masing tersebut adalah harta

bawaan dari masing-masing mereka, baik sebagai hadiah dari

orang lain atas dirinya atau warisan dari orang tuanya atau dari

pihak jurusan di mana ia berhak memperoleh warisan atau

pemberian lainnya (vide, psl 87 ayat 1). Mengenai harta bawaan

dan harta pemberian seseorang karena sebab tertentu ditegaskan

dalam al Qur’an, sebagai berikut :

“Untuk laki-laki ada bagian perolehan harta dari

peninggalan (pemberian) ibu bapak dan karib kerabat yang

dekat (kepadanya) sebagaimana halnya bagi wanita ada

bagian perolehan harta dari peninggalan (pemberian) ibu

Page 207: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

184

Berdasar demikian, suami dan istri mempunyai hak penuh

untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing

berupa hibah, hadiah, sadaqah atau perbuatan lainnya (lihat psl 87

ayat 2). Apa yang dimaksud dengan melakukan perbuatan hukum

atas harta miliknya tersebut adalah memfungsikan dan atau

menjual atau memindahkan harta tersebut dari haknya kepada

orang lain.

Kehidupan keluarga, terkadang terjadi kesamaran dalam

membedakan antara harta pribadi dengan harta bersama. Dalam

hukum materil Islam, harta kekayaan pribadi suami istri dapat

menjadi harta bersama jika pihak-pihak yang bersangkutan

menghendakinya (lih. Psl.47 s/d 50).

Nabi saw mengatakan :

Bahwasanya Allah berfirman,``Sesungguhnya Aku (ALLAH)

yang ketiga dari orang yang bersyarikat (mencampur harta

dengan perjanjian) selama salah satu pihak tidak berkhianat

kepada yang lainnya. Apabila salah satu pihak ada yang

mengkhianatinya dari kawannya maka Aku keluar

daripadanya. (H.R. Abu Daud dan dikuatkan dengan hadits

lain oleh Hakim dengan menshohihkannya).

Page 208: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

185

Adanya persetujuan kedua belah pihak, harta tersebut

menjadi harta bersama yang mungkin berupa benda berujud

meliputi benda tak bergerak, benda bergerak dan surat-surat

berharga, mungkin pula harta bersama tersebut berupa benda tak

berujud yang dapat meliputi berupa hak dan kewajiban. Apa yang

dimaksud dengan berupa hak dan kewajiban adalah hak untuk

memfungsikan benda atau menguasai sesuatu dan ikut pula

bertanggung jawab untuk memlihara dan atau mengembang-

kannya. Dengan demikian, suami bertanggung jawab menjaga

harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri sebagaimana

halnya istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama

maupun harta suaminya yang ada padanya (vied, psl.89 dan 90).

Bertanggung jawab berarti memelihara atau menjaganya dan atau

melindunginya serta jika memungkinkan untuk mengembang-

kannya.

Kebanyakan masyarakat memahami butir Pasal harta

bersama dalam KHI secara runtut justru menjadikan mereka tidak

memahami harta bersama dan harta bawaan. Ini terjadi karena

terlalu banyak butir Pasal hanya untuk menjelaskan pengertian

harta bersama dan harta bawaan serta kedudukan harta tersebut

masing-masingnya.148 Enam butir Pasal di atas dapat diringkas

yaitu dari Pasal 85, 86, 87, 88, 89 dan Pasal 90 dapat dijadikan tiga

Pasal yang ringkas tetapi mengandung kepastian pengertian

hukum, kejelasan tentang harta bersama dan harta bawaan,

misalnya, sebagai berikut:

148 Penulis selama lebih dari 13 Tahun menjadi Advokat resmi dan secara khusus

menjadi konsultan persoalan harta bersama serta kewarisan, hingga sekarang sebagai

Ketua LKBHI Fak. Syariah IAIN Antasari sering menyodorkan butir-butir Pasal tersebut

kepada masyarakat yang berkonsultasi dan selalu mereka semakin menjadi tidak mengerti.

Berdasar demikian, suami dan istri mempunyai hak penuh

untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing

berupa hibah, hadiah, sadaqah atau perbuatan lainnya (lihat psl 87

ayat 2). Apa yang dimaksud dengan melakukan perbuatan hukum

atas harta miliknya tersebut adalah memfungsikan dan atau

menjual atau memindahkan harta tersebut dari haknya kepada

orang lain.

Kehidupan keluarga, terkadang terjadi kesamaran dalam

membedakan antara harta pribadi dengan harta bersama. Dalam

hukum materil Islam, harta kekayaan pribadi suami istri dapat

menjadi harta bersama jika pihak-pihak yang bersangkutan

menghendakinya (lih. Psl.47 s/d 50).

Nabi saw mengatakan :

Bahwasanya Allah berfirman,``Sesungguhnya Aku (ALLAH)

yang ketiga dari orang yang bersyarikat (mencampur harta

dengan perjanjian) selama salah satu pihak tidak berkhianat

kepada yang lainnya. Apabila salah satu pihak ada yang

mengkhianatinya dari kawannya maka Aku keluar

daripadanya. (H.R. Abu Daud dan dikuatkan dengan hadits

lain oleh Hakim dengan menshohihkannya).

Page 209: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

186

Pasal 85

Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau

istri yang diperolehnya karena harta bawaan.

Pasal 86

(1) Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perka-

winannya karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah,

wasiat dan warisan atau lainnya adalah bukan harta

bersama.

(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-

masing, menguasai dan memeliharanya.

(3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta

istri maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertang-

gung jawab menjaga harta bersama maupun harta

suaminya yang ada padanya.

(4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya

perjanjian untuk menjadi harta bersama.

Pasal 87

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta

bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada

Pengadilan Agama.

Pasal 88, 89, 90, 91 diganti (lih. Bagian penutup)

Pasal 88 s.d 90 dapat di isi dengan materi baru tambahan,

sebagai berikut

Page 210: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

187

a. Dalam banyak kasus, pengadilan agama sering lambat untuk

melakukan penyitaan terhadap suatu barang harta bersama

atau suatu rekening bank yang di dalamnya berisi uang

tabungan. Akibatnya pihak wanita sering dirugikan ketika

penyitaan baru kemudian di jalankan, uang rekening di bank

telah dihabiskan oleh suami melewati ATM dan transfer.

b. Kasus kedua menyangkut persoalan pembuktian bagi wanita

sering kali tidak memiliki bukti asli, sebagian terkadang hanya

memiliki copy atau copy dari copy mengakibatkan tidak

diterima suatu gugatan.

c. Kasus royalti dan hak tentang gaji

d. Kasus pengalihan harta bawaan kepada harta lain saat telah

terjadi perkawinan

e. Kasus percampuran harta bawaan kepada harta bersama

tanpa dapat dibuktikan

Selanjutnya butir Pasal 91 s.d Pasal 97 cukup jelas dan

tegas mengandung kepastian pemahaman dan hukum kecuali

Pasal 94 ada tambahan seperti sebagai berikut :

Pasal 91

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di

atas dapat berupa benda berujud atau tidak berujud,

(2) Harta bersama yang berujud dapat meliputi benda tidak

bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga,

(3) Harta bersama yang tidak berujud dapat berupa hak

maupun kewajiban,

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan

oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 85

Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau

istri yang diperolehnya karena harta bawaan.

Pasal 86

(1) Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perka-

winannya karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah,

wasiat dan warisan atau lainnya adalah bukan harta

bersama.

(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-

masing, menguasai dan memeliharanya.

(3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta

istri maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertang-

gung jawab menjaga harta bersama maupun harta

suaminya yang ada padanya.

(4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya

perjanjian untuk menjadi harta bersama.

Pasal 87

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta

bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada

Pengadilan Agama.

Pasal 88, 89, 90, 91 diganti (lih. Bagian penutup)

Pasal 88 s.d 90 dapat di isi dengan materi baru tambahan,

sebagai berikut

Page 211: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

188

Pasal 92

Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak

diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93 :

(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri

dibebankan kepada hartanya masing-masing,

(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan

untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta

bersama,

(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada

harta suami,

(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi

dibebankan kepada harta istri.

Pasal 94 harusnya ada tambahan pasal sehingga berbunyi:

(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang

mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing

terpisah dan berdiri sendiri,

(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami

yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana

tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya

akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan

menghitung secara proporsional serta mempertimbang-

kan jangka waktu perkawinan berlangsung

(3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,

perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di

perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.

Page 212: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

189

(4) Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya

berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam

hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang

berlangsung, hak atas royalti menjadi pendapatan yang

diperoleh dalam perkawinan dan karena itu menjadi harta

bersama;

Sebuah kasus dimana seorang PNS setelah perkawinan 30

tahun, istri pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS tersebut

kawin dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS tersebut

meninggal dunia. Istri kedua menuntut gaji dan taspen yang

dihitung telah bekerja selama 35 tahun sementara anak-anak PNS

meyakini gaji dan taspen mengandung hak ibu (istri pertama)

selama 30 tahun. Maka pembagiannya dapat menggunakan

hitungan proporsional dengan indek persentasi tahun berdasar

Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (4).

Pasal 95 :

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2)

huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal

136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan

Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama

tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah

satu melakukan perbuatan yang merugikan dan

membahayakan harta berama seperti judi, mabuk, boros

dan sebagainya, (2) Selama masa sita dapat dilakukan

penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga

dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal 96

(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama

menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

Pasal 92

Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak

diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93 :

(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri

dibebankan kepada hartanya masing-masing,

(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan

untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta

bersama,

(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada

harta suami,

(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi

dibebankan kepada harta istri.

Pasal 94 harusnya ada tambahan pasal sehingga berbunyi:

(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang

mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing

terpisah dan berdiri sendiri,

(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami

yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana

tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya

akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan

menghitung secara proporsional serta mempertimbang-

kan jangka waktu perkawinan berlangsung

(3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,

perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di

perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.

Page 213: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

190

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri

yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan

sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau

matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan

Agama.

Pasal 97

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua

dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam

perjanjian perkawinan.149

Terhadap pasal 93 KHI dalam hal ini sangatlah selektif

dalam mengatur persoalan harta, baik dalam arti harta kekayaan

pribadi maupun harta bersama, khususnya ketika terkait dengan

masalah hutang. Bagi setiap istri atau suami yang berutang

dibebankan pada harta masing-masing mereka, kecuali hutang

tersebut didasarkan karena kepentingan keluarga (suami istri)

maka akan dibebankan kepada harta bersama (vide, psl. 93 ayat 1

dan 2). Dan jikapun dalam pembayarannya juga tidak mencukupi

maka pembayaran harta diambil dari harta suami dan jika juga

tidak mencukupi maka akan diambil dari harta suami dan jika juga

tidak mencukupi maka akan diambil dari harta istri (lih. Psl.93 ayat

3 dan 4). Ada dua alasan penting mengapa hutang harus

dibayarkan bahkan diambil dari harta bersama hingga harta

masing-masing suami istri jika juga belum dalam dilunasi dengan

melewati proses harta suami kemudian harta istri, sebagai berikut :

1. Membayar hutang dalam hukum materil Islam adalah wajib.

Pelunasannya harus diupayakan secara maksimal. Nabi saw

mengatakan :

149 Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua

antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak

mana asal barang-barang itu.

Page 214: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

191

“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dari dosanya

kecuali hutangnya. (H.R. Muslim).

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya:

Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah bersabda:

Penangguhan membayar hutang oleh orang kaya adalah

perbuatan zalim. (H.R. Bukhari).

2. Proses secara bertahap menunjukkan komitmen kehidupan

keluarga yang selalu harus saling membantu lahir batin yang

terkadang diperlukan pengorbanan harta. Harta suami

didahulukan karena dialah sebagai punggung perekonomian

keluarga.

Apa yang dikemukakan dalam pasal 93 tersebut merupakan

jalan terakhir jika pada waktu itu keharusan untuk melunasi-

nya telah sampai pada batas waktu yang diperjanjikan kepada

orang lain sedang orang dimaksud telah sangat memerlukan-

nya.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri

yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan

sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau

matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan

Agama.

Pasal 97

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua

dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam

perjanjian perkawinan.149

Terhadap pasal 93 KHI dalam hal ini sangatlah selektif

dalam mengatur persoalan harta, baik dalam arti harta kekayaan

pribadi maupun harta bersama, khususnya ketika terkait dengan

masalah hutang. Bagi setiap istri atau suami yang berutang

dibebankan pada harta masing-masing mereka, kecuali hutang

tersebut didasarkan karena kepentingan keluarga (suami istri)

maka akan dibebankan kepada harta bersama (vide, psl. 93 ayat 1

dan 2). Dan jikapun dalam pembayarannya juga tidak mencukupi

maka pembayaran harta diambil dari harta suami dan jika juga

tidak mencukupi maka akan diambil dari harta suami dan jika juga

tidak mencukupi maka akan diambil dari harta istri (lih. Psl.93 ayat

3 dan 4). Ada dua alasan penting mengapa hutang harus

dibayarkan bahkan diambil dari harta bersama hingga harta

masing-masing suami istri jika juga belum dalam dilunasi dengan

melewati proses harta suami kemudian harta istri, sebagai berikut :

1. Membayar hutang dalam hukum materil Islam adalah wajib.

Pelunasannya harus diupayakan secara maksimal. Nabi saw

mengatakan :

149 Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua

antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak

mana asal barang-barang itu.

Page 215: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

192

Dalam pasal 94 disebutkan bahwa harta bersama dari

perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari

seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri sedang

perhitungannya dimulai saat berlangsungnya akad nikah. Dalam

hal pelunasan segala hutang, jika demi alasan keluarga maka

penentuan untuk mengambil harta bersama dimaksud pasal 93

ayat (2, 3, 4) adalah dari hal mana suami dimaksud memfungsikan-

nya, apakah untuk istri yang pertama atau kedua, ketiga atau

keempat. Dan jika kepentingan dimaksud untuk kesemua istri,

maka pengambilannya secara berimbang.

Terhadap pasal 95 yang menyebut kemungkinan terjadi-

nya sita jaminan seperti bolehnya seorang istri mengajukan

kepada Pengadilan Agama agar menyita harta bersama perka-

winannya karena suaminya menjadi seorang penjudi atau

pemadat, boros yang berakibat dapat menghabiskan harta

bersama dalam perekonomian keluarga bagi hukum Islam

merupakan cara terbaik pemeliharaan harta.

Selanjutnya selama dalam sita jaminan tersebut, istri dapat

mengambil harta bersama, mengambil sebagiannya untuk dijual

demi kepentingan keluarga oleh hukum Islam dibenarkan

sebagaimana KHI dalam pasal 95 ayat (2) menyebutkannya, dan

cara pengambilan dimaksud adalah dengan izin Pengadilan

Agama. Sebagai dasar terhadap persoalan pasal ini, sebuah hadits

menyebutkan :

Page 216: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

193

Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya,

”Wahai Rasullah, sesunggunya Abu Sufyan (suaminya)

adalah orang yang sangat kikir. Ia tidak memberikan nafkah

kepadaku dan anakku sehingga terpaksa aku mengambil

(harta belanja) darinya tanpa sepengetahuannya.

Mendengar demikian , Rasul Saw mengatakan, “Ambillah

apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara

yang baik” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Adalah sangat jelas bagi istri untuk mengambil harta

suaminya demi kewajiban nafkah yang seharusnya telah

diberikannya sebagaimana hadits di atas dan jika suaminya tidak

memberikan nafkah keluarga, istri dapat mengambilnya dari harta

bersama, menjual barang tertentu dari harta bersama demi

kepentingan keluarga. Termasuk terhadap istri yang suaminya

ghaib/hilang (Mafqud) hingga sampai ada kepastian dari putusan

Pengadilan Agama (vide psl. 96 ayat 2).

Khusus terhadap pasal 96 ayat (1) yang menyebutkan

bahwa apabila terjadi cerai mati maka separuh harta bersama

menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Apa yang diatur

dalam ketentuan pasal tersebut adalah konsekuensi logis dari

pengaturan adanya harta bersama berarti masing-masing pihak

memiliki haknya untuk memfungsikan, memindahkan harta

tersebut. Mempergunakan, memindahkan atau menjualnya tidak

boleh dilakukan salah. Dengan konteks demikian , kematian salah

satu pihak berarti terbukanya jalan pemisahan harta kedua belah

pihak. Dengan matinya salah satu pihak berakibat pembagian

harta tersebut dimana salah satu pihak yang hidup akan

Dalam pasal 94 disebutkan bahwa harta bersama dari

perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari

seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri sedang

perhitungannya dimulai saat berlangsungnya akad nikah. Dalam

hal pelunasan segala hutang, jika demi alasan keluarga maka

penentuan untuk mengambil harta bersama dimaksud pasal 93

ayat (2, 3, 4) adalah dari hal mana suami dimaksud memfungsikan-

nya, apakah untuk istri yang pertama atau kedua, ketiga atau

keempat. Dan jika kepentingan dimaksud untuk kesemua istri,

maka pengambilannya secara berimbang.

Terhadap pasal 95 yang menyebut kemungkinan terjadi-

nya sita jaminan seperti bolehnya seorang istri mengajukan

kepada Pengadilan Agama agar menyita harta bersama perka-

winannya karena suaminya menjadi seorang penjudi atau

pemadat, boros yang berakibat dapat menghabiskan harta

bersama dalam perekonomian keluarga bagi hukum Islam

merupakan cara terbaik pemeliharaan harta.

Selanjutnya selama dalam sita jaminan tersebut, istri dapat

mengambil harta bersama, mengambil sebagiannya untuk dijual

demi kepentingan keluarga oleh hukum Islam dibenarkan

sebagaimana KHI dalam pasal 95 ayat (2) menyebutkannya, dan

cara pengambilan dimaksud adalah dengan izin Pengadilan

Agama. Sebagai dasar terhadap persoalan pasal ini, sebuah hadits

menyebutkan :

Page 217: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

194

memperoleh separuh dari harta bersama. Sedang separohnya lagi

untuk ahli waris pihak yang meninggal dunia.

Dalam Fiqh Islam klasik tidak dibahas prihal harta bersama,

terlebih lagi mengenai pembagian dari harta bersama apabila

salah satu pihak meninggal dunia. Hanya untuk persoalan harta

bersama (syirkah) dalam pengertian umum (muamalah) dalam fiqh

Islam telah dibahas secara khusus. Beberapa macam syirkah telah

diperkenalkan dalam hukum materil klasik seperti syirkah al

muwafadah.150 Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan,151 Syirkatu Al

Irts, Syirkatu al Ghonimah.152 Sedang terhadap masalah harta

bersama perkawinan dianggap akan sulit terjadi karena dalam

realitas suamilah yang mencari nafkah sedang istri atau anak

hanya memperoleh nafkah untuk keperluan hidup mereka

bersama. Sejauh itu pula dalam tradisi masyarakat tidak pernah

terjadi persoalan dalam masalah harta keluarga, kepemilikan

terhadapnya hanya ada pada suami sehingga seperti seorang istri

tidak merasa sedikitpun ada harta miliknya. Dengan demikian

diperlukan adanya pengaturan hukum mengenai harta bersama

dalam perkawinan. Terhadap harta bawaan istri tetap menjadi

harta miliknya tanpa dapat diambil oleh suaminya, demikian pula

sebaliknya bagi suami tidak dapat memindah alihkan harta milik

istrinya.

Berkenaan dengan pasal 96 ayat (1) inilah dipahami bahwa

terjadi pemisahan harta bersama disebabkan terjadinya cerai mati

salah satu pihak, begitu pula terhadap cerai lainnya seperti cerai

karena putusan Pengadilan Agama dan akibat talak lain.

Pemisahan dimaksud berlaku sepanjang tidak ditentukan lain

150 Al Jaziri, J. III. Lok Cit, h. 67

151 Ibid, h. 76

152 Ibid, h. 69

Page 218: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

195

dalam perjanjian perkawinan (lih. Psl. 97). Dalam hal kejadian

khusus seperti hilangnya suami dalam tempo waktu tertentu dan

belum juga kembali maka bagi istri tidak diperkenankan secara

langsung dapat mengambil separoh haknya dari harta bersama.

Pemisahan harta dimaksud harus telah ditangguhkan sampai

adanya kepastian meninggalnya baik secara hakiki maupun hukmi

dengan putusan Pengadilan Agama. Jadi perkara dimaksud harus

telah diadukan kepada Pengadilan Agama dengan permohonan

pembagian harta bersama sekaligus permohonan penetapan

meninggalnya suami. Hal tersebut apabila dimungkinkan untuk

melakukannya kecuali jika pihak istri berkeinginan untuk

menunggu khabar pasti terhadapnya dengan konsekuensi ia

sudah harus dapat untuk tidak mengambil hak parohannya dari

harta bersama.

Apa yang dimaksud dengan meninggalnya seseorang

yang sebelumnya dikhabarkan hilang (mafqud) secara hakiki

adalah meninggalnya dapat dibuktikan dengan jelas, dan secara

langsung istri dapat melihat mayat suaminya dan atau orang

banyak telah dapat menyaksikan kematiannya. Sedangkan mati

secara hukmi adalah kematian berdasarkan putusan Pengadilan

Agama setelah memeriksa perkara pengajuan permohonan

penetapan mati atau tidaknya suaminya oleh istrinya kepada

Pengadilan Agama setempat yang mewilayahi tempat tinggal

pasangan suami istri tersebut. Bagaimana hukum formil yang

berlaku di Pengadilan Agama? dalam pemeriksaan dimaksud yang

paling pokok upaya hukum terhadapnya adalah memeriksa bukti

dan atau mendengarkan/meneliti kesaksian orang terhadap

kepergian orang mafqud dimaksud. Hukum materil Islam

sebagaimana yang berkembang dalam mazhab Syafi’iyah dan

Hanafiyah menyatakan keharusan seorang hakim Agama untuk

memeriksa usia/umur ketika ia meninggalkan tempat kediaman-

memperoleh separuh dari harta bersama. Sedang separohnya lagi

untuk ahli waris pihak yang meninggal dunia.

Dalam Fiqh Islam klasik tidak dibahas prihal harta bersama,

terlebih lagi mengenai pembagian dari harta bersama apabila

salah satu pihak meninggal dunia. Hanya untuk persoalan harta

bersama (syirkah) dalam pengertian umum (muamalah) dalam fiqh

Islam telah dibahas secara khusus. Beberapa macam syirkah telah

diperkenalkan dalam hukum materil klasik seperti syirkah al

muwafadah.150 Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan,151 Syirkatu Al

Irts, Syirkatu al Ghonimah.152 Sedang terhadap masalah harta

bersama perkawinan dianggap akan sulit terjadi karena dalam

realitas suamilah yang mencari nafkah sedang istri atau anak

hanya memperoleh nafkah untuk keperluan hidup mereka

bersama. Sejauh itu pula dalam tradisi masyarakat tidak pernah

terjadi persoalan dalam masalah harta keluarga, kepemilikan

terhadapnya hanya ada pada suami sehingga seperti seorang istri

tidak merasa sedikitpun ada harta miliknya. Dengan demikian

diperlukan adanya pengaturan hukum mengenai harta bersama

dalam perkawinan. Terhadap harta bawaan istri tetap menjadi

harta miliknya tanpa dapat diambil oleh suaminya, demikian pula

sebaliknya bagi suami tidak dapat memindah alihkan harta milik

istrinya.

Berkenaan dengan pasal 96 ayat (1) inilah dipahami bahwa

terjadi pemisahan harta bersama disebabkan terjadinya cerai mati

salah satu pihak, begitu pula terhadap cerai lainnya seperti cerai

karena putusan Pengadilan Agama dan akibat talak lain.

Pemisahan dimaksud berlaku sepanjang tidak ditentukan lain

150 Al Jaziri, J. III. Lok Cit, h. 67

151 Ibid, h. 76

152 Ibid, h. 69

Page 219: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

196

nya hingga perkara dimaksud diajukan kepadanya. Penelitian

hakim dapat membandingkan kepada kawan-kawannya dari

orang mafqud tersebut, apakah umur sebaya dengannya telah

banyak meninggal dunia atau belum. Dalam madzhab Hambali

harus diselidiki oleh hakim apakah kepergiannya untuk

menghadapi resiko besar dimana kemungkinan untuk mati lebih

cenderung terjadi atau sebaliknya atau terhadap pekerjaan yang

mempunyai resiko kematian sangat tinggi. Memperhatikan

pendapat yang berkembang, hal yang paling esensial bagi hukum

materil Islam adalah mampunyai seorang hakim Agama untuk

membuktikan mati atau tidaknya orang yang mafqud tersebut

sedang acara pembuktiannya diserahkan kepada apa yang lazim

dilakukan dan diatur atau diterima di Pengadilan, sepanjang tidak

menyalahi aturan yang umum diyakini nilai-nilai logika. Bahwa

keputusan tersebut adalah logis secara hukum. Dengan demikian

akan jelaslah satu putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama

mungkin memutuskan kematiannya secara hukmi atau menetap-

kannya orang yang bersangkutan masih hidup (vide, psl. 96 ayat

2).153

Persoalan Kerumitan Harta Bersama dan Solusi Atas Realitas

Pengadilan Agama Serta Keberagamaan Masyarakat Muslim

Pengadilan Agama termasuk Pengadilan yang paling sibuk

di Indonesia. Misalnya tahun 2009, ada 257,798 perkara yang

diajukan ke Pengadilan Agama berbanding dengan yang diajukan

ke Pengadilan Negeri hanya 202, 754 perkara. Artinya Pengadilan

Agama lebih banyak 27% dari perkara yang ada di Pengadilan

153 Masalah mafqud merupakan masalah hukum yang pernah terjadi pada masa

Rasulullah saw. Dalam riwayat Siwar Ibn Mas’ab dari Muhammad Ibn Syurabi al Hamdany

dari Mughirah Ibn Syu’bah Nabi saw mengatakan :

“Istri orang yang mafqud adalah istrinya sampai ada berita kepastiannya (H.R.

Daraquthni)

Page 220: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

197

Negeri. Belum lagi bila dibandingkan sangat luasnya yurisdiksi

Pengadilan Negeri yang menangani perkara perdata dan pidana

dibanding kecilnya yurisdiksi Pengadilan Agama154 yang hanya

menangani soal perdata tertentu saja. Atas kenyataan ini, UU

materil hukum Islam sangat penting di buat karena betapa besar

keperluan terhadapnya untuk menciptakan kepastian hukum bagi

pencari keadilan.

Formalitas hukum tertulis modern di dunia termasuk di

Indonesia memiliki dua mata sisi. Bagian sisi yang pertama

merupakan manfaat terbesar darinya adalah adanya perlindungan

dan kepastian hukum terhadapnya. Mata sisi yang kedua adalah

bisa dijadikan pembunuh terhadap kebenaran substansif. Bagian

menurut hemat penulis masih kurang diperbincangkan dalam

studi ilmiah namun amat terasa bagi pencari keadilan di lapangan

bidang litigasi (Pengadilan).

Menurut Satjipto Raharjo, hukum modern tidak selamanya

dapat diterapkan pada berbagai situasi dan negara di dunia. Hal

tersebut dikarenakan dan disadari bila hukum itu bukan hanya

bangunan peraturan biasa. Hukum adalah juga bangunan ide,

kultur dan cita-cita. Keterpurukan hukum di Indonesia lebih dika-

renakan penyingkatan hukum sebagau rule of law tanpa melihat

sebagai rule of morality. Akibatnya hukum hanya dilihat sebagai

peraturan prosedur yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik

hukum juga sarat dengan nilai, gagasan sehingga ia menjadi

partikular.155 Hukum modern disadari tidak mungkin dihapuskan

namun ia perlu diberikan ruh kehidupan kultur Indonesia agar ia

154 Cate Sumner & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru, Pengadilan

Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF, hlm. 2

155 Satjipto Rahardjo, 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III, Jakarta : Buku

Kompas, hlm. 253-254

nya hingga perkara dimaksud diajukan kepadanya. Penelitian

hakim dapat membandingkan kepada kawan-kawannya dari

orang mafqud tersebut, apakah umur sebaya dengannya telah

banyak meninggal dunia atau belum. Dalam madzhab Hambali

harus diselidiki oleh hakim apakah kepergiannya untuk

menghadapi resiko besar dimana kemungkinan untuk mati lebih

cenderung terjadi atau sebaliknya atau terhadap pekerjaan yang

mempunyai resiko kematian sangat tinggi. Memperhatikan

pendapat yang berkembang, hal yang paling esensial bagi hukum

materil Islam adalah mampunyai seorang hakim Agama untuk

membuktikan mati atau tidaknya orang yang mafqud tersebut

sedang acara pembuktiannya diserahkan kepada apa yang lazim

dilakukan dan diatur atau diterima di Pengadilan, sepanjang tidak

menyalahi aturan yang umum diyakini nilai-nilai logika. Bahwa

keputusan tersebut adalah logis secara hukum. Dengan demikian

akan jelaslah satu putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama

mungkin memutuskan kematiannya secara hukmi atau menetap-

kannya orang yang bersangkutan masih hidup (vide, psl. 96 ayat

2).153

Persoalan Kerumitan Harta Bersama dan Solusi Atas Realitas

Pengadilan Agama Serta Keberagamaan Masyarakat Muslim

Pengadilan Agama termasuk Pengadilan yang paling sibuk

di Indonesia. Misalnya tahun 2009, ada 257,798 perkara yang

diajukan ke Pengadilan Agama berbanding dengan yang diajukan

ke Pengadilan Negeri hanya 202, 754 perkara. Artinya Pengadilan

Agama lebih banyak 27% dari perkara yang ada di Pengadilan

153 Masalah mafqud merupakan masalah hukum yang pernah terjadi pada masa

Rasulullah saw. Dalam riwayat Siwar Ibn Mas’ab dari Muhammad Ibn Syurabi al Hamdany

dari Mughirah Ibn Syu’bah Nabi saw mengatakan :

“Istri orang yang mafqud adalah istrinya sampai ada berita kepastiannya (H.R.

Daraquthni)

Page 221: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

198

menjadi hukum yang indonesia. Hukum yang sepadu hati nurani

masyarakat dan keagamaan mereka.

Selain persoalan warisan yang di dalamnya banyak

mengandung perbedaan dengan fiqh klasik, persoalan harta

bersama juga sangat sering diperselisihkan saat terjadi perceraian

di depan Pengadilan Agama. Demikian pula saat berbagi warisan

menyangkut ketidakjelasan harta bersama untuk menjadi objek

harta warisan (al mauruts). sebelum adanya Rakernas Mahkamah

Agung RI Tahun 2007 Bidang Peradilan Agama, perkara perceraian

dapat disatukan pengajuannya dengan harta bersama dalam satu

gugatan. Namun belakangan karena persoalan harta bersama

sering berlarut-larut penyelesaiannya karena masuk bidang yang

sangat rumit sehingga perceraian sering tertunda penyelesaiannya

maka MA dalam Rakernasnya mensarankan beberapa persoalan

hubungannya dengan harta bersama, sebagai berikut :

1. Untuk menghindari berlarut-larutnya proses penyelesaian

perkara perceraian, agar perkara perceraian tidak selalu

diakumulasikan dengan harta bersama sebagaimana dimak-

sud dalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pada

harta bersama tersebut dapat diletakkan sita;

2. Penghitungan harta bersama seorang suami yang beristri lebih

dari seorang sesuai dengan ketentuan pasal 94 ayat (2) KHI,

dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan

jangka waktu perkawinan berlangsung;

3. Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya berda-

sarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam hal hak itu

diperoleh dalam perkawinan yang sedang berlangsung, hak

atas royalti menjadi pendapatan yang diperoleh dalam

perkawinan dan karena itu menjadi harta bersama;

Page 222: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

199

4. Pengelolaan/penguasaan harta bawaan yang menghasilkan

tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan

menjadi harta bersama;

5. Dengan memperhatikan ketentuan hukum Islam, pembayaran

bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai sebagaimana

dimaksud dalam PP 10 Tahun 1983 jo PP 45 Tahun 1990 dapat

dikompensasikan dengan lembaga mut’ah dalam perceraian

Islam;

Kerumitan pembagian harta bersama terletak pada tiga

bagian persoalan.

1. Pertama persoalan materi KHI yang masih belum lengkap.

Terhadap KHI, Bagian ini dapat diselesaikan dengan cara,

sebagai berikut :

a. Memperjelas butir Pasal tentang harta bersama agar

mengandung batir pasal yang efisien, mudah dipahami,

jelas dan berkekuatan melindungi dan kepastian hukum.

Hal ini dapat dilihat Pasal 85, 86, 87, 88, 89 dan Pasal 90

dapat dijadikan tiga Pasal yang ringkas tetapi mengan-

dung kepastian pengertian hukum, kejelasan tentang

harta bersama dan harta bawaan.

b. Melengkapi butir Pasal tentang harta bersama seperti

maksud petunjuk Rakernas MA yaitu terhadap ketentuan

Pasal 94 ayat (2) KHI, dilakukan secara proporsional

dengan mempertimbangkan jangka waktu perkawinan

berlangsung;

c. Menambah butir Pasal tentang harta bersama terhadap

kasus baru.

menjadi hukum yang indonesia. Hukum yang sepadu hati nurani

masyarakat dan keagamaan mereka.

Selain persoalan warisan yang di dalamnya banyak

mengandung perbedaan dengan fiqh klasik, persoalan harta

bersama juga sangat sering diperselisihkan saat terjadi perceraian

di depan Pengadilan Agama. Demikian pula saat berbagi warisan

menyangkut ketidakjelasan harta bersama untuk menjadi objek

harta warisan (al mauruts). sebelum adanya Rakernas Mahkamah

Agung RI Tahun 2007 Bidang Peradilan Agama, perkara perceraian

dapat disatukan pengajuannya dengan harta bersama dalam satu

gugatan. Namun belakangan karena persoalan harta bersama

sering berlarut-larut penyelesaiannya karena masuk bidang yang

sangat rumit sehingga perceraian sering tertunda penyelesaiannya

maka MA dalam Rakernasnya mensarankan beberapa persoalan

hubungannya dengan harta bersama, sebagai berikut :

1. Untuk menghindari berlarut-larutnya proses penyelesaian

perkara perceraian, agar perkara perceraian tidak selalu

diakumulasikan dengan harta bersama sebagaimana dimak-

sud dalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pada

harta bersama tersebut dapat diletakkan sita;

2. Penghitungan harta bersama seorang suami yang beristri lebih

dari seorang sesuai dengan ketentuan pasal 94 ayat (2) KHI,

dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan

jangka waktu perkawinan berlangsung;

3. Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya berda-

sarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam hal hak itu

diperoleh dalam perkawinan yang sedang berlangsung, hak

atas royalti menjadi pendapatan yang diperoleh dalam

perkawinan dan karena itu menjadi harta bersama;

Page 223: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

200

2. Di muka sidang Pengadilan Agama, kebanyakan pihak suami

enggan mengakui sebagai harta bersama.

Bagian ini meliputi beberapa titik persoalan, sebagai berikut :

a. Enggannya suami dikarenakan masih banyaknya pendapat

guru agama di daerah yang menyatakan tidak adanya

harta bersama dengan mendasarkan pada fiqh klasik.

Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian

Agama RI Badan Litbang dan Diklat tahun 2010 di

Indonesia menunjukkan tingkat pengetahuan ulama,

tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam sangat

rendah dengan kategori tiga kelompok yaitu kelompok

ulama yang tidak mengetahui Kompilasi Hukum Islam,

kedua kelompok ulama yang mengetahui tetapi tidak

memperdalam Kompilasi Hukum Islam dan kelompok

ketiga yaitu yang mengetahui dan memperdalam

Kompilasi Hukum Islam. Ini menunjukkan Kompilasi

Hukum Islam belum benar-benar menjadi fiqh khas

Indonesia karena umumnya belum diketahui maupun

dipelajari.156

b. Harta kekayaan cenderung diminati dan dipertahankan

oleh pihak yang berkepentingan dan yang menguasai.

Dan yang biasanya menguasai adalah suami sehingga ia

menyembunyikannya, tak mengakuinya dan sulitnya kaum

wanita menunjukkan bukti-bukti yang kuat terhadap harta

bersama. Dan ini didukung dengan hukum formal di

Indonesia bahwa suatu tuduhan harus dapat membukti-

kan. Karena di bidang keperdataan maka hakim biasanya

meminta bukti berupa surat-surat resmi permbuktian.

156 Muchit A. Karim (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam

Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta :

Kementerian Agama RI, hlm. ii

Page 224: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

201

3. Rumitnya persoalan hukum di Indonesia menyangkut persoal-

an kepemilikan harta.

Bagian ini dapat ditinjau dari dua segi yaitu, sebagai berikut :

Pertama, hukum acara sebagai legalitas formal di

Pengadilan Agama yang masih mengadopsi hukum pening-

galan kolonial seperti HIR, Rbg sekalipun telah memberlakukan

hukum acara tersendiri tentang Peradilan Agama (UU No. 7

Tahun 1989 dan UU No.3 Tahun 2006). Sangat banyak sekali

persoalan dan tuntutan harta bersama tidak dapat diterima

oleh Pengadilan Agama hanya karena kesalahan prosedur

beracara di muka sidang, pihak Tergugat tidak mendaftarkan

hartanya secara resmi, persoalan yang berkait dengan

keagrariaan, pertanahan, fidusia, pertanggungan, perbankan,

perikatan, kebebasan berkontrak, dll.

Kedua adalah kemampuan para hakim agama dalam

menyelesaikan persoalan harta bersama. Baik segi

pemahaman tentang harta bersama maupun hubungannya

dengan kewarisan ketika terjadi kematian suami atau istri serta

kemampuan penyelesaiannya. Penelitian terakhir di Indonesia

tentang Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam

Indonesia yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

tahun 2010 terhadap daerah yang dijadikan sampling

penelitian seperti Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sulawesi

Selatan, Yogyakarta, Sumatera Barat dan Sumatera Utara

terhadap ulama dan hakim agama tentang isi Kompilasi

Hukum Islam perbandingan dengan fiqh Islam menyangkut

faraid. Seperti ahli waris pengganti, harta bersama, wasiat

wajibah. Kelompok pertama menerima Kompilasi Hukum Islam

selama memiliki rujukan dengan al Qur`an dan al Sunnah.

Kelompok kedua menerima jika memiliki rujukan dengan

2. Di muka sidang Pengadilan Agama, kebanyakan pihak suami

enggan mengakui sebagai harta bersama.

Bagian ini meliputi beberapa titik persoalan, sebagai berikut :

a. Enggannya suami dikarenakan masih banyaknya pendapat

guru agama di daerah yang menyatakan tidak adanya

harta bersama dengan mendasarkan pada fiqh klasik.

Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian

Agama RI Badan Litbang dan Diklat tahun 2010 di

Indonesia menunjukkan tingkat pengetahuan ulama,

tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam sangat

rendah dengan kategori tiga kelompok yaitu kelompok

ulama yang tidak mengetahui Kompilasi Hukum Islam,

kedua kelompok ulama yang mengetahui tetapi tidak

memperdalam Kompilasi Hukum Islam dan kelompok

ketiga yaitu yang mengetahui dan memperdalam

Kompilasi Hukum Islam. Ini menunjukkan Kompilasi

Hukum Islam belum benar-benar menjadi fiqh khas

Indonesia karena umumnya belum diketahui maupun

dipelajari.156

b. Harta kekayaan cenderung diminati dan dipertahankan

oleh pihak yang berkepentingan dan yang menguasai.

Dan yang biasanya menguasai adalah suami sehingga ia

menyembunyikannya, tak mengakuinya dan sulitnya kaum

wanita menunjukkan bukti-bukti yang kuat terhadap harta

bersama. Dan ini didukung dengan hukum formal di

Indonesia bahwa suatu tuduhan harus dapat membukti-

kan. Karena di bidang keperdataan maka hakim biasanya

meminta bukti berupa surat-surat resmi permbuktian.

156 Muchit A. Karim (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam

Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta :

Kementerian Agama RI, hlm. ii

Page 225: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

202

kitab-kitab fiqh Islam dengan menolak konsep ahli waris

pengganti, wasiat-wasiat wajibah untuk anak dan bapak

angkat, kewarisan kolektif tanah yang kurang dari 2 hektar. 157

Kelompok ketiga ialah yang menerima sepenuhnya Kompilasi

Hukum Islam tanpa mempertentangkan dengan fiqh klasik

dan memasukkannya sebagai fiqh khas hasil ijtihad ulama

Indonesia.

Penutup

Baik hukum materil tertulis ataupun prosedur hukum

formil belum tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum

secara baik kepada tujuannya. Bahkan ia dapat saja mendorong

ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan

hukum. Oleh karenanya, hukum harus pula dipahami substansinya

agar wilayah kemanusiaan tidak terganggu. Ukuran substansi

hukum tidak hanya pada maksud pembuat undang-undang tetapi

juga lebih luas memasuki keadilan yang pro-rakyat, masuk pada

ranah keadilan yang dibutuhkan oleh pencari keadilan.

Persoalan substansi hukum kadang sangat sulit dipahami.

Menganalisis hukum sebagai satu sistem, ada tiga aspek yang

dikaji yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum

(legal substansi) dan budaya hukum (legal cultur). Friedman

mengatakan, suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya

merupakan sebuah organisme kompleks di mana struktur,

substansi dan kultur berinteraksi.158 Satu sama lain menjadi

terhubung dan tak dapat dipisahkan. Struktur hukum adalah

menyangkut kedudukan dari peradilan, yudikatif, eksekutif. Ia

menjadi penting dalam pelaksanaan dan penegakan hukum. Hal

157 Ibid. hlm. iii

158 Lawrence M Friedman, 1975. The Legal Sistem, A Social Science Perspective,

New York : Russelll Sage Foundation. h. 17

Page 226: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

203

yang penting adalah substansi hukum yaitu berupa norma,

peraturan-peraturan maupun Undang-Undang. Sedangkan kultur

hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Suatu sistem hukum

adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer dan peraturan-

peraturan skunder. Peraturan primer adalah norma-norma prilaku.

Peraturan skunder adalah norma-norma mengenai bagaimana

memutuskan, apakah semua itu valid dan bagaimana

memberlakukannya.159

Di bawah ini beberapa solusi agar butir Pasal KHI menjadi

mudah, efisien, jelas, melengkapi dan tidak multi tafsir, sebagai

berikut :

Pasal 1 huruf f harusnya berbunyi : Harta kekayaan dalam

perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau

bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung

bukan karena harta bawaan yang selanjutnya disebut harta

bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Pasal 85 harusnya berbunyi : Adanya harta bersama dalam

perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik

masing-masing suami atau istri yang diperolehnya karena harta

bawaan.

Pasal 86 harusnya berbunyi :

(1) Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perkawinannya

karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah, wasiat dan warisan

atau lainnya adalah bukan harta bersama.

(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-masing,

menguasai dan memeliharanya.

159 Ibid, h. 16

kitab-kitab fiqh Islam dengan menolak konsep ahli waris

pengganti, wasiat-wasiat wajibah untuk anak dan bapak

angkat, kewarisan kolektif tanah yang kurang dari 2 hektar. 157

Kelompok ketiga ialah yang menerima sepenuhnya Kompilasi

Hukum Islam tanpa mempertentangkan dengan fiqh klasik

dan memasukkannya sebagai fiqh khas hasil ijtihad ulama

Indonesia.

Penutup

Baik hukum materil tertulis ataupun prosedur hukum

formil belum tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum

secara baik kepada tujuannya. Bahkan ia dapat saja mendorong

ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan

hukum. Oleh karenanya, hukum harus pula dipahami substansinya

agar wilayah kemanusiaan tidak terganggu. Ukuran substansi

hukum tidak hanya pada maksud pembuat undang-undang tetapi

juga lebih luas memasuki keadilan yang pro-rakyat, masuk pada

ranah keadilan yang dibutuhkan oleh pencari keadilan.

Persoalan substansi hukum kadang sangat sulit dipahami.

Menganalisis hukum sebagai satu sistem, ada tiga aspek yang

dikaji yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum

(legal substansi) dan budaya hukum (legal cultur). Friedman

mengatakan, suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya

merupakan sebuah organisme kompleks di mana struktur,

substansi dan kultur berinteraksi.158 Satu sama lain menjadi

terhubung dan tak dapat dipisahkan. Struktur hukum adalah

menyangkut kedudukan dari peradilan, yudikatif, eksekutif. Ia

menjadi penting dalam pelaksanaan dan penegakan hukum. Hal

157 Ibid. hlm. iii

158 Lawrence M Friedman, 1975. The Legal Sistem, A Social Science Perspective,

New York : Russelll Sage Foundation. h. 17

Page 227: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

204

(3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri

maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertanggung

jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang

ada padanya.

(4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya

perjanjian untuk menjadi harta bersama.

Pasal 87 harusnya berbunyi :

bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai dapat

dikompensasikan dengan lembaga mut’ah dalam perceraian Islam;

Pasal 88 harusnya berbunyi :

Pengelolaan atau penguasaan harta bawaan yang menghasilkan

tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan menjadi

harta bersama; Kasus misalnya suami bermodal atas modal harta

bawaan karena warisan. Kemudian usahanya berkembang maka

tambahan hasil perkembangan tersebut menjadi harta bersama

sedang harta bawaannya tetap seperti semula

Pasal 89 harusnya berbunyi :

Pengalihan harta bawaan suami atau istri kepada harta yang lain

hendaknya bersifat yang berwujud dan tidak tercampur dengan

harta bersama. Pasal ini untuk menghilangkan kemungkinan

terjadinya kekaburan kepemilikan harta seperti yang sering terjadi

di masyarakat. Kasus seorang istri telah memiliki sebidang

tanah/rumah sebelum perkawinan. Saat perkawinan telah

berlangsung, istri menjual tanah/rumah tersebut yang uangnya

untuk memperbaiki rumah milik harta bersama suami istri. Dalam

sengketa perceraian suami tak mengakui terjadi demikian

berakibat istri kesulitan membuktikan.

Page 228: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

205

Pasal 90 harusnya berbunyi :

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta

bersama maka penyelesaian itu diajukan kepada Pengadilan

Agama. Selanjutnya butir Pasal 91 s.d Pasal 97 cukup jelas dan

tegas mengandung kepastian pemahaman dan hukum, hanya

sedikit tambahan melengkapi yaitu Pasal 94 ayat (2) , (3) dan (4)

sebagai berikut :

Pasal 91 :

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di

atas dapat berupa benda berujud atau tidak berujud,

(2) harta bersama yang berujud dapat meliputi benda tidak

bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga,

(3) harta bersama yang tidak berujud dapat berupa hak

maupun kewajiban,

(4) harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan

oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92 :

Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan

menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93 :

(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri

dibebankan kepada hartanya masing-masing,

(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan

untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta

bersama,

(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada

harta suami,

(3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri

maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertanggung

jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang

ada padanya.

(4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya

perjanjian untuk menjadi harta bersama.

Pasal 87 harusnya berbunyi :

bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai dapat

dikompensasikan dengan lembaga mut’ah dalam perceraian Islam;

Pasal 88 harusnya berbunyi :

Pengelolaan atau penguasaan harta bawaan yang menghasilkan

tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan menjadi

harta bersama; Kasus misalnya suami bermodal atas modal harta

bawaan karena warisan. Kemudian usahanya berkembang maka

tambahan hasil perkembangan tersebut menjadi harta bersama

sedang harta bawaannya tetap seperti semula

Pasal 89 harusnya berbunyi :

Pengalihan harta bawaan suami atau istri kepada harta yang lain

hendaknya bersifat yang berwujud dan tidak tercampur dengan

harta bersama. Pasal ini untuk menghilangkan kemungkinan

terjadinya kekaburan kepemilikan harta seperti yang sering terjadi

di masyarakat. Kasus seorang istri telah memiliki sebidang

tanah/rumah sebelum perkawinan. Saat perkawinan telah

berlangsung, istri menjual tanah/rumah tersebut yang uangnya

untuk memperbaiki rumah milik harta bersama suami istri. Dalam

sengketa perceraian suami tak mengakui terjadi demikian

berakibat istri kesulitan membuktikan.

Page 229: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

206

(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi

dibebankan kepada harta istri.

Pasal 94 dengan tambahan butir pasal (2), (3) dan (4) :

(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang

mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing

terpisah dan berdiri sendiri,

(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami

yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana

tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya

akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan

menghitung secara proporsional serta mempertimbang-

kan jangka waktu perkawinan berlangsung

(3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,

perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di

perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.

(4) Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya

berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam

hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang

berlangsung, hak atas rolayti menjadi pendapatan yang

diperoleh dalam perkawinan dan karena itu menjadi harta

bersama;

Kasus, seorang PNS setelah perkawinan 30 tahun, istri

pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS tersebut kawin

dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS tersebut meninggal

dunia. Istri kedua menuntut gajih dan taspen yang dihitung telah

bekerja selama 35 tahun sementara anak-anak PNS meyakini gajih

dan taspen mengandung hak ibu (istri pertama) selama 30 tahun.

Maka pembagiannya dapat menggunakan hitungan proporsional

dengan indek persentasi tahun berdasar Pasal 94 ayat (2) dan ayat

(3).

Page 230: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

207

Pasal 95 :

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf

c Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat

(2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk

meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya

permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan

perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta

berama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya, (2)

Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta

bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin

Pengadilan Agama.

Pasal 96 :

(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama

menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri

yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai

adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara

hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97 :

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua

dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam

perjanjian perkawinan.160

Berdasar demikian, Harta bersama yang tersebut dalam

KHI sudah cukup lengkap hanya diperlukan sedikit

penyempurnaan, dan lebih bagus lagi adanya tambahan yang

melengkapi persoalan baru pada zaman ini.

160 Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua

antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak

mana asal barang-barang itu.

(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi

dibebankan kepada harta istri.

Pasal 94 dengan tambahan butir pasal (2), (3) dan (4) :

(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang

mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing

terpisah dan berdiri sendiri,

(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami

yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana

tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya

akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan

menghitung secara proporsional serta mempertimbang-

kan jangka waktu perkawinan berlangsung

(3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,

perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di

perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.

(4) Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya

berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam

hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang

berlangsung, hak atas rolayti menjadi pendapatan yang

diperoleh dalam perkawinan dan karena itu menjadi harta

bersama;

Kasus, seorang PNS setelah perkawinan 30 tahun, istri

pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS tersebut kawin

dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS tersebut meninggal

dunia. Istri kedua menuntut gajih dan taspen yang dihitung telah

bekerja selama 35 tahun sementara anak-anak PNS meyakini gajih

dan taspen mengandung hak ibu (istri pertama) selama 30 tahun.

Maka pembagiannya dapat menggunakan hitungan proporsional

dengan indek persentasi tahun berdasar Pasal 94 ayat (2) dan ayat

(3).

Page 231: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

208

Daftar Pustaka

Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J.

III, Bairut-Libanon, 1990.

Atamimi, A. Hamid S., 1992. Compendium Freijer Upaya

Mempositipkan Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan

Hukum tahun x

Ali, Zainuddin, , 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar

Grafika

Al Nabhani, Taqiyuddin, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar

al Fikr, Cairo

Al Fatni, Abdul Malik, 1949. Khulashah al Faraaid, Mesir : Mustafa al

Baby al Halaby

Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama

Friedman, Lawrence M., 1975. The Legal Sistem, A Social Science

Perspective, New York : Russelll Sage Foundation

Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I,

Yogyakarta : Genta Press

Karim, Muchit A. (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan

Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, Jakarta : Kementerian Agama RI

Kusumaatmadja, Mochtar., 1976, Hukum, Masyarakat dan

Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Bina Cipta

Rahardjo, Satjipto., 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III,

Jakarta : Buku Kompas

Sabiq, Sayid, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,

Page 232: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

209

Sarmadi, A. Sukris., 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum

Perdata Islam di Indonesia, Pustaka Prisma, Cet.II, 2008

Yogyakarta

------------------------, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam

Tranformatif, Rajawali Pers, Jakarta,

Subekti, R., 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII, Jakarta :

Pradnya Paramita

Sumner, Cate & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru,

Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi

Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF

Usman, Suparman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi

Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya

Media Pratama

Media Elektronik dan Internet

Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan

Hukum Nasional, dalam http://www.badilag.net/index.

php?option=com_content&task

Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga

dalam

http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniL

engkap&id=32& HPSESS ID =b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0

Daftar Pustaka

Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J.

III, Bairut-Libanon, 1990.

Atamimi, A. Hamid S., 1992. Compendium Freijer Upaya

Mempositipkan Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan

Hukum tahun x

Ali, Zainuddin, , 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar

Grafika

Al Nabhani, Taqiyuddin, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar

al Fikr, Cairo

Al Fatni, Abdul Malik, 1949. Khulashah al Faraaid, Mesir : Mustafa al

Baby al Halaby

Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama

Friedman, Lawrence M., 1975. The Legal Sistem, A Social Science

Perspective, New York : Russelll Sage Foundation

Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I,

Yogyakarta : Genta Press

Karim, Muchit A. (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan

Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, Jakarta : Kementerian Agama RI

Kusumaatmadja, Mochtar., 1976, Hukum, Masyarakat dan

Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Bina Cipta

Rahardjo, Satjipto., 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III,

Jakarta : Buku Kompas

Sabiq, Sayid, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,

Page 233: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

210

Page 234: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

211

MENUJU KESETARAAN DALAM ATURAN

KEWARISAN ISLAM INDONESIA:

KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN

VS SAUDARA KANDUNG

Euis Nurlaelawati

Latar Belakang

Hukum keluarga merupakan satu-satunya area hukum

yang dipertahankan penerapannya dalam sebuah masayarakat

Muslim sejak Islam datang dan dipeluk oleh masyarakat tersebut.

Terdapat beberapa alasan kenapa, berbeda dengan area hukum

yang lain, hukum keluarga Islam terus diterapkan dan tidak

tergantikan oleh sistem hukum lain. Penerapan hukum keluarga

Islam sering dianggap sebagai identitas kemusliman seseorang

atau masyarakat tertentu. Namun, meskipun masalah keluarga

merupakan masalah pribadi, pada perkembangan selanjutnya

masalah keluarga membutuhkan intervensi pemerintah dalam

penyelesaiannya.

Sejalan dengan upaya intervensi pemerintah, usaha

pembaharuan kemudian muncul terhadap aturan-aturan hukum

keluarga yang selama itu diadopsi dari pandangan-pandangan

para ‘ulama yang terdapat dalam buku-buku fiqh klasik. Usaha

tersebut dianggap penting untuk dilakukan demi memper-

tahankan kelangsungan pemberlakuan hukum keluarga Islam di

satu sisi, dan mengakomodir kepentingan dan tuntutan jaman dan

pihak-pihak tertentu yang selama itu dianggap selalu ditempatkan

pada posisi bawah atau marginal, seperti pihak perempuan dan

anak-anak, di sisi lain.

Page 235: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

212

Hukum kewarisan Islam tidak terkecuali dalam hal ini.

Beberapa negara melakukan pembaharuan terhadap aturan-

aturan kewarisan Islam. Wasiat wajiba, misalnya, merupakan salah

satu konsep yang dijadikan oleh banyak negara Muslim sebagai

solusi atas masalah cucu yatim yang menurut kewarisan Islam

terhijab oleh anak (laki-laki) mayat.

Yang menarik adalah bahwa konsep ini di Indonesia

digunakan sebagai solusi bagi masalah adopsi, yang dengan

konsep tersebut pihak-pihak yang terlibat dalam adopsi dapat

memperoleh bagian dari harta peninggalan masing-masing dari

mereka. Hal menarik lainnya adalah masalah cucu yang juga

mendapat perhatian ‘ulama Indonesia diselesaikan lewat konsep

ahli waris pengganti.

Pemabaharuan dalam hukum kewarisan Islam dapat

dilihat juga dalam beberapa aturan yang lain. Aturan tentang

bagian saudara dan anak perempuan adalah salah satu aturan lain

yang menerima pembaharuan. Aturan yang sudah dibuat ini

nampak membingungkan dan menyebabkan penafsiaran yang

berbeda-beda, dan menimbulkan debat di kalangan para ‘ulama

dan juga para penegak hukum di Indonesia. Makalah ini

mengupas tentang usaha pembaharuan dalam bidang kewarisan

yang dilakukan oleh Indonesia seperti terlihat dalam Kompilasi

Hukum Islam, terutama terkait dengan bagian anak perempuan

ketika bertemu saudara pewaris. Perdebatan dan alasan-alasan

perdebatan akan dikaji dalam makalah ini. Praktek dan pandangan

para hakim serta para ‘ulama tentang aturan tersebut akan

didiskusiskan juga dalam makalah ini.

Aturan Kewarisan Anak dan Saudara: Antara Fiqh dan KHI

Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi

dengan adanya upaya pemerintah dalam negara-negara tertentu

Page 236: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

213

untuk mengatur dan menertibkan aturan-aturan terkait dengan

masalah keluarga. Trend pembaharuan ini diawali oleh Turki

dengan dibuatnya sebuah qanun yang susuai dengan spirit

pembaharuan hukum di Turki. Upaya ini kemudian diikuti oleh

beberapa negara Muslim lainnya seperti Tunissia, Maroko, Mesir

dan lainnya. Di Asia Tenggara sendiri, upaya ini diawali oleh

pemerintah Malaysia dan kemudian Indonesia.161

Upaya pembaharuan ini dibarengi dengan apa yang

disebut dengan kodifikasi hukum. Mengapa upaya kodifikasi

hukum ini dilakukan? Ada beberapa tujuan yang terdapat dalam

upaya kodifikasi ini. Tujuan-tujuan tersebut mencakup;

1. Untuk membuat unifikasi hukum, sehingga kepastian hukum

bisa tercapai,

2. Untuk memecahkan permasalahan kontemporer yang

disebabkan oleh adanya perubahan kondisi jaman/ memnuhi

tuntutan jaman, dan,

3. Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita terkait

dengan status hukum mereka.162

Berkenaan dengan upaya pembaharuan lewat kodifikasi

ini, apa yang dikemuakan oleh Weber terkait dengan teori hukum

(Legal Theory) sangat relevan. Weber mengungkapkan bahwa

tradisi hukum lama adalah ‘Qadi Justice, di mana para qadli secara

serampangan merujuk kepada beberapa aturan hukum yang

beragam sesuai dengan kesadaran subjektif mereka. Namun

161 Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi

Hukum Islam and Legal Practices of Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam

University Press, 2009, 19.

162 Lihat Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap

Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta:

INIS, 2002, 5.

Hukum kewarisan Islam tidak terkecuali dalam hal ini.

Beberapa negara melakukan pembaharuan terhadap aturan-

aturan kewarisan Islam. Wasiat wajiba, misalnya, merupakan salah

satu konsep yang dijadikan oleh banyak negara Muslim sebagai

solusi atas masalah cucu yatim yang menurut kewarisan Islam

terhijab oleh anak (laki-laki) mayat.

Yang menarik adalah bahwa konsep ini di Indonesia

digunakan sebagai solusi bagi masalah adopsi, yang dengan

konsep tersebut pihak-pihak yang terlibat dalam adopsi dapat

memperoleh bagian dari harta peninggalan masing-masing dari

mereka. Hal menarik lainnya adalah masalah cucu yang juga

mendapat perhatian ‘ulama Indonesia diselesaikan lewat konsep

ahli waris pengganti.

Pemabaharuan dalam hukum kewarisan Islam dapat

dilihat juga dalam beberapa aturan yang lain. Aturan tentang

bagian saudara dan anak perempuan adalah salah satu aturan lain

yang menerima pembaharuan. Aturan yang sudah dibuat ini

nampak membingungkan dan menyebabkan penafsiaran yang

berbeda-beda, dan menimbulkan debat di kalangan para ‘ulama

dan juga para penegak hukum di Indonesia. Makalah ini

mengupas tentang usaha pembaharuan dalam bidang kewarisan

yang dilakukan oleh Indonesia seperti terlihat dalam Kompilasi

Hukum Islam, terutama terkait dengan bagian anak perempuan

ketika bertemu saudara pewaris. Perdebatan dan alasan-alasan

perdebatan akan dikaji dalam makalah ini. Praktek dan pandangan

para hakim serta para ‘ulama tentang aturan tersebut akan

didiskusiskan juga dalam makalah ini.

Aturan Kewarisan Anak dan Saudara: Antara Fiqh dan KHI

Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi

dengan adanya upaya pemerintah dalam negara-negara tertentu

Page 237: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

214

kemudian terjadi perubahan besar di mana system hukum

bergeser dari system qadi justice kepada system yang lebih

sistematis. Weber mngungkapkan bahwa, “a radical change

occurred during the Enlightenment era, which stimulated a

transfer from the patrimonial tradition of law to a systematic,

rational, and abstract legal code”.163

Jika dilihat dari karaker tradisi hukum lama dan baru, kita

bisa mengatakan bahwa hukum lama bersifat terbuka (open),

sementara tradisi hukum baru bersifat tertutup (close). Dengan

demikian, jika tradisi hukum lama lebih mengedepankan

interpretasi hukum secara pribadi (personal interpretation), tradisi

hukum lama membiasakan diberlakukannya interpretasi hukum

secara berjamaah (collective interpretation). Maka, dengan

demikian, sifat- legislasi hukum modern/ reformasi hukum adalah

adanya upaya penyeragaman hukum (unification), dan penulisan

hukum melalui sebuah aturan tertulis (undang-undang)

(codification), dan penulisan hukum secara sistematis dan lugas

dengan bahasa nasional negara masing-masing (systematically

written). Sifat lain adalah menimbulkan suatu kepastian dalam

transaksi hukum (the certainty within legal transaction).

Dan jika kita telusuri dengan seksama unsur-unsur yang

tercipta dari upaya kodifikasi hukum yang dilakukan oleh

beberapa negara Muslim di dunia ini, maka kita akan menemukan

beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang terkemukakan adalah: (1)

bahwa kodifikasi tersebut dipicu oleh tuntutan atau alasan yang

krusial, yaitu untuk memenuhi tantangan dan tuntutan legislasi

modern, (2) bahwa dalam upaya ini, negara-negara tersebut

menggunakan metode-metode yang beragam, yang kesemuanya

163 Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam: A Critical Study, London: Routledge and

Kegan Paul, 1874, 108-109.

Page 238: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

215

bermuara pada tercapainya sebuah kemaslahatan umat dan

terealisasinya politik hukum, yaitu; tatbiq, takhayyur and tajdid, (3)

bahwa kodifikasi menyebabkan tergantikannya aturan-aturan

hukum terkait beberapa masalah keluarga yang tertera dalam fiqh

klasik dengan aturan-aturan baru yang sesuai dengan kondisi local

masing-masing negara.

Pemerintah Indonesia, seperti telah dikemukakan di atas,

tidak terkecuali, melakukan pembaharuan dan melegalisasi hukum

Islam sebagai hukum nasional yang harus diterapkan oleh

masyarakat Muslim Indonesia. Upaya pembaharuan yang paling

siginifikan, meski wadah hukumnya masih terus diperdebatkan

adalah dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam. Melalui kompilasi,

beberapa aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan Islam

diperbaharui, sambil beberapa aturan lainnya dipertahankan.

Mengenai kewarisan, Kompilasi secara umum mengambil

doktrin fikih tradisional dan merujuk pada nash-nash al-Qur’an

yang cocok, misalnya memberikan anak laki-laki bagian waris yang

sama besarnya dengan dua anak perempuan, dan

mempertahankan aturan ‘ashabah—bahwa saudara laki-laki yang

terdekat mendapatkan sisa. Namun, dipengaruhi adat dan norma-

norma setempat, kompilsi menerapkan aturan-aturan lain, seperti

sistem ahli waris pengganti dan wasiat wajib yang tidak ditemukan

di mana pun dalam kitab-kitab fikih. Sistem ahli waris pengganti

digunakan untuk memecahkan masalah cucu-cucu yatim, yang

orangtuanya telah mendahului wafat kakek mereka atau orangtua

dari ayah atau ibu mereka sendiri. Menurut sistem waris Islam

klasik, cucu-cucu yatim dinafikan atau terhijab dalam harta waris

kakek-kakek mereka.

Semua mazhab sepakat bahwa seorang cucu yatim tidak

memiliki hak terhadap bagian dari kakek atau neneknya jika ada

anak (laki-laki) dari si mayat (kakek) yang masih hidup. Mengikuti

kemudian terjadi perubahan besar di mana system hukum

bergeser dari system qadi justice kepada system yang lebih

sistematis. Weber mngungkapkan bahwa, “a radical change

occurred during the Enlightenment era, which stimulated a

transfer from the patrimonial tradition of law to a systematic,

rational, and abstract legal code”.163

Jika dilihat dari karaker tradisi hukum lama dan baru, kita

bisa mengatakan bahwa hukum lama bersifat terbuka (open),

sementara tradisi hukum baru bersifat tertutup (close). Dengan

demikian, jika tradisi hukum lama lebih mengedepankan

interpretasi hukum secara pribadi (personal interpretation), tradisi

hukum lama membiasakan diberlakukannya interpretasi hukum

secara berjamaah (collective interpretation). Maka, dengan

demikian, sifat- legislasi hukum modern/ reformasi hukum adalah

adanya upaya penyeragaman hukum (unification), dan penulisan

hukum melalui sebuah aturan tertulis (undang-undang)

(codification), dan penulisan hukum secara sistematis dan lugas

dengan bahasa nasional negara masing-masing (systematically

written). Sifat lain adalah menimbulkan suatu kepastian dalam

transaksi hukum (the certainty within legal transaction).

Dan jika kita telusuri dengan seksama unsur-unsur yang

tercipta dari upaya kodifikasi hukum yang dilakukan oleh

beberapa negara Muslim di dunia ini, maka kita akan menemukan

beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang terkemukakan adalah: (1)

bahwa kodifikasi tersebut dipicu oleh tuntutan atau alasan yang

krusial, yaitu untuk memenuhi tantangan dan tuntutan legislasi

modern, (2) bahwa dalam upaya ini, negara-negara tersebut

menggunakan metode-metode yang beragam, yang kesemuanya

163 Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam: A Critical Study, London: Routledge and

Kegan Paul, 1874, 108-109.

Page 239: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

216

aturan ini, sebagian negara Muslim mengatur bahwa para ahli

waris yang meninggal lebih dulu dan ahli waris atau keturunan

mereka tidak menerima bagian waris selagi ada anak laki-laki yang

masih hidup. Namun, kemudian aturan ini diyakini menimbulkan

masalah bagi umat Islam.164 Apa yang dikemukakan oleh Lucy

Carroll dapat menjelaskan apa yang dilakukan oleh beberapa

negara tersebut. Lucy Carrol menyatakan:

Dalam sebuah masyarakat kesukuan di mana anak laki-laki

yang masih hidup mengambil tanggung jawab terhadap

anak-anak dari saudara laki-lakinya yang meninggal dalam

kelompok keluarga besar, aturan-aturan tradisional suksesi

atau kewarisan bisa menimbulkan kesulitan. Tetapi dalam

sebuah masyarakat di mana keluarga inti lebih umum,

maka penafikan sepenuhnya satu garis keturunan pihak

yang meninggal tampak tidak adil dan tidak sah.165

Beberapa ‘ulama di beberapa negara menganggap bahwa

tidaklah adil untuk menafikan cucu yatim dari hak mereka

terhadap harta waris dari kakek mereka hanya karena orangtua

mereka meninggal lebih dulu dari kakek mereka. Oleh karena itu

beberapa negara berusaha memecahkan ketaksetaraan itu. Dua

pemecahan teridentifikasi dan diterapkan, yakni: wasiat wajib dan

sistem ahli waris melalui hak atau pergantiaan ahli waris (ahli waris

pengganti). Konsep yang pertama digunakan oleh negara-negara

Timur Tengah; sedang yang terakhir oleh Pakistan.166

164 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97.

165 Lucy Carroll, “Orphaned Grandchildren in Islamic Law of Succession”, Islamic

Law and Society, 5 (1998), 410.

166 Rubya Mehdi merekam bahwa pemecahan Pakistan, yakni waris dengan hak,

dipandang lebih radikal. Para ulama tradisional menentang sistem itu atas dasar bahwa

sistem itu membinasakan semangat dan struktur hukum waris Islam. Namun, mereka

sepakat dengan pendapat bahwa masalah cucu yatim harus dipecahkan, dan berpendapat

bahwa wasiat wajib memiliki dasar hukum yang lebih absah dalam kitab suci. Lihat Rubya

Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, 190.

Page 240: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

217

Kompilasi jelas telah menerapkan dan mengadopsi kedua

aturan itu, dengan beberapa penyesuaian dengan sistem

masyarakat setempat. Terkait dengan konsep yang pertama, pasal

185 Kompilasi menyatakan bahwa kedudukan waris dari ahli waris

yang lebih dulu meninggal bisa digantikan oleh para ahli

warisnya.167 Pilihan ini selaras dengan praktik hukum yang berlaku

sejak lama dengan memberikan hak waris kepada cucu yatim,

yang dikenal dengan sistem plaatsvervulling. Praktik ini bahkan

telah menjadi sebuah hukum yang mapan di Medan.

Pengadilan Umum Banding Medan, misalnya, pernah

menetapkan dalam sebuah keputusan bahwa ketika seorang anak

dari pewaris itu meninggal, sebelum pewaris wafat, dan yang

pertama meninggalkan seorang atau beberapa orang anak, maka

anak-anak dari anak atau cucu dari orang yang wafat itu memiliki

hak terhadap harta waris orang yang wafat atas nama ayah

mereka.168 Ini berarti bahwa sistem pergantian ahli waris tidak

sepenuhnya baru di Indonesia. Meskipun sistem ini menjadi

masalah yang meluas di banyak negara Muslim, aturan ahli waris

pengganti yang ditetapkan dalam kompilasi memiliki landasan

lokal dalam praktik hukum di antara masyarakat Indonesia.

Aturan lain yang nampak diperbaharui dalam kompilasi

adalah aturan terkait dengan bagian saudara yang menurut fiqh

hanya dapat bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak. Dalam

pandangan para ‘ulama anak yang dimaksud dalam al-Qur’an

167 Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97. Lihat juga

Kompilasi, Pasal 185 (1).

168 Keputusan tersebut terekam sebagai keputusan Pengadilan Umum Banding

No. 195/1950. Keputusan yang sama juga dikeluarkan di masa-masa awal oleh Raad van

Justitie Batavia pada 12 Desember 1932. Hal ini direkam dalam “Indisch Tijdschrift van het

Recht,” 150 (1932): 239. Lebih rinci mengenai hal ini, lihat A.B. Loebis, Pengadilan Negeri

Jakarta in Action: Jurisprudensi Hukum Adat Warisan, (n.p, n.d) 63. Untuk informasi detail

tentang ini, lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity, 98.

aturan ini, sebagian negara Muslim mengatur bahwa para ahli

waris yang meninggal lebih dulu dan ahli waris atau keturunan

mereka tidak menerima bagian waris selagi ada anak laki-laki yang

masih hidup. Namun, kemudian aturan ini diyakini menimbulkan

masalah bagi umat Islam.164 Apa yang dikemukakan oleh Lucy

Carroll dapat menjelaskan apa yang dilakukan oleh beberapa

negara tersebut. Lucy Carrol menyatakan:

Dalam sebuah masyarakat kesukuan di mana anak laki-laki

yang masih hidup mengambil tanggung jawab terhadap

anak-anak dari saudara laki-lakinya yang meninggal dalam

kelompok keluarga besar, aturan-aturan tradisional suksesi

atau kewarisan bisa menimbulkan kesulitan. Tetapi dalam

sebuah masyarakat di mana keluarga inti lebih umum,

maka penafikan sepenuhnya satu garis keturunan pihak

yang meninggal tampak tidak adil dan tidak sah.165

Beberapa ‘ulama di beberapa negara menganggap bahwa

tidaklah adil untuk menafikan cucu yatim dari hak mereka

terhadap harta waris dari kakek mereka hanya karena orangtua

mereka meninggal lebih dulu dari kakek mereka. Oleh karena itu

beberapa negara berusaha memecahkan ketaksetaraan itu. Dua

pemecahan teridentifikasi dan diterapkan, yakni: wasiat wajib dan

sistem ahli waris melalui hak atau pergantiaan ahli waris (ahli waris

pengganti). Konsep yang pertama digunakan oleh negara-negara

Timur Tengah; sedang yang terakhir oleh Pakistan.166

164 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97.

165 Lucy Carroll, “Orphaned Grandchildren in Islamic Law of Succession”, Islamic

Law and Society, 5 (1998), 410.

166 Rubya Mehdi merekam bahwa pemecahan Pakistan, yakni waris dengan hak,

dipandang lebih radikal. Para ulama tradisional menentang sistem itu atas dasar bahwa

sistem itu membinasakan semangat dan struktur hukum waris Islam. Namun, mereka

sepakat dengan pendapat bahwa masalah cucu yatim harus dipecahkan, dan berpendapat

bahwa wasiat wajib memiliki dasar hukum yang lebih absah dalam kitab suci. Lihat Rubya

Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, 190.

Page 241: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

218

adalah anak laki-laki. Efek dari pandangan ini adalah bahwa

saudara dapat memperoleh harta waris jika pewaris tidak

meninggalkan anak, yaitu anak laki-laki.

Pemahaman lainnya adalah bahwa jika pewaris mening-

galkan anak atau hanya anak perempuan, saudara dapat

memperoleh kewarisan. Jika pewaris meninggalkan anak laki-laki,

saudara tertutup dan tidak berhak atas harta waris. Kesimpulannya

adalah jika anak laki-laki mempunyai kedudukan menghijab

saudara, anak perempuan tidak, dan anak perempuan akibatnya

harus berbagi harta warisan dengan saudara, jika mereka bertemu

dalam sebuah kondisi waris mewaris.

Para ‘ulama Indonesia rupanya melihat aturan dalam fiqh

ini agak bias jender. Lewat sebuah pasalnya, para penyusun

kompilasi mengatur bahwa bagian saudara ditentukan oleh

keberadaan anak. Seperti dalam al-Qur’an, kompilasi menyatakan

bahwa saudara hanya akan memperoleh harta waris jika pewaris

tidak meninggalkan anak. Bedanya, jika anak yang disebutkan

dalam al-Qur’an dijelaskan lagi oleh pandangan para ‘ulama

terutama sunni, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan walad adalah anak laki-laki, kompilasi tidak menjelaskan

siapa anak yang dimaksud. Apakah anak laki-laki saja atau anak

laki-laki dan juga anak perempuan.

Beberapa kalangan penyusun menjelaskan bahwa anak

yang dimaksud adalah anak baik laki-laki mapun perempuan.

Artinya adalah bahwa kompilasi melakukan terobosan dan

perubahan terhdap aturan yang dibuat oleh para ‘ulama klasik.

Dikehendaki bahwa seorang perempuan mempunyai kedudukan

yang sama dengan anak laki-laki dalam hal hijab menghijab

terutama ketika mereka berada bersama dengan saudara.

Penyetaraan kedudukan laki-laki dan permepuan ini memang slalu

Page 242: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

219

diupayakan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia memberikan

perhatian terhadap kedudukan hukum perempuan di Indonesia.

Terkait dengan pembaharuan ini, kita teringat dengan apa

yang dikemukakan oleh Anderson tentang metode-metode

pembaharuan. Anderson mengemukakan bahwa terdapat dua

metode pembaharuan yang secara umum diterapkan oleh negara-

negara Muslim, yaitu intra dan extra doctrinal. Intra doctrinal

adalah metode pembaharuan yang diterapkan di mana para

pembaharu melakukan penafsiran terhadap hukum dan tidak

beranjak jauh dari teks hukum yang ada. Sementara extra doctrinal

adalah sebuah metode yang menyiratkan bahwa pembaharu

melakukan penafsiran terhadap teks dan beranjak jauh dari

maksud atau menyimpang dari teks yang ada.

Dengan melihat kedua metode tersebut, dalam melakukan

pembaharuan terkait dengan aturan kewarisan tentang bagian

saudara dan anak perempuan sangat jelas bahwa kompilasi

menerapkan metode extra doctrinal, di mana penyusun kompilasi

melakukan interpretasi terhadap teks Qur’an dan menentukan

aturan yang berbeda dari apa yang sudah diatur dalam fiqh.

Putusan Hakim Agama

Bagaimana pandangan dan praktek para hakim terkait

dengan aturan-aturan yang telah diterapkan dalam kompilasi?

Untuk melihat ini, beberapa putusan harus ditinjau dan dievaluasi.

Dalam kebanyakan kasus, para hakim di pengadilan agama

mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi dalam menen-

tukan kasus-kasus hukum yang diajukan kepada mereka. Hal ini

tampak pada keputusan-keputusan pengadilan agama di Jakarta

Selatan (No. 19/pdt.p/1997/PAJS), yang menolak permohonan

penetapan perkawinan (itsbât al-nikâh) atas dasar kenyataan

adalah anak laki-laki. Efek dari pandangan ini adalah bahwa

saudara dapat memperoleh harta waris jika pewaris tidak

meninggalkan anak, yaitu anak laki-laki.

Pemahaman lainnya adalah bahwa jika pewaris mening-

galkan anak atau hanya anak perempuan, saudara dapat

memperoleh kewarisan. Jika pewaris meninggalkan anak laki-laki,

saudara tertutup dan tidak berhak atas harta waris. Kesimpulannya

adalah jika anak laki-laki mempunyai kedudukan menghijab

saudara, anak perempuan tidak, dan anak perempuan akibatnya

harus berbagi harta warisan dengan saudara, jika mereka bertemu

dalam sebuah kondisi waris mewaris.

Para ‘ulama Indonesia rupanya melihat aturan dalam fiqh

ini agak bias jender. Lewat sebuah pasalnya, para penyusun

kompilasi mengatur bahwa bagian saudara ditentukan oleh

keberadaan anak. Seperti dalam al-Qur’an, kompilasi menyatakan

bahwa saudara hanya akan memperoleh harta waris jika pewaris

tidak meninggalkan anak. Bedanya, jika anak yang disebutkan

dalam al-Qur’an dijelaskan lagi oleh pandangan para ‘ulama

terutama sunni, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan walad adalah anak laki-laki, kompilasi tidak menjelaskan

siapa anak yang dimaksud. Apakah anak laki-laki saja atau anak

laki-laki dan juga anak perempuan.

Beberapa kalangan penyusun menjelaskan bahwa anak

yang dimaksud adalah anak baik laki-laki mapun perempuan.

Artinya adalah bahwa kompilasi melakukan terobosan dan

perubahan terhdap aturan yang dibuat oleh para ‘ulama klasik.

Dikehendaki bahwa seorang perempuan mempunyai kedudukan

yang sama dengan anak laki-laki dalam hal hijab menghijab

terutama ketika mereka berada bersama dengan saudara.

Penyetaraan kedudukan laki-laki dan permepuan ini memang slalu

Page 243: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

220

bahwa permohonan itu diminta hanya oleh satu pihak, sedangkan

pihak lainnya (suami) menolah bahwa pernah terjadi perkawinan.

Kompilasi mendesak bahwa penetapan perkawinan harus

diminta dan disetujui oleh pasangan demi kesejahteraan mereka.

Begitu juga, para hakim pengadilan Tasikmalaya, melalui keputu-

san No. 11/pdt.p/2001/PA.Tsm, mengizinkan seseorang untuk

melakukan perkawinan poligami hanya setelah pemohon (suami)

bisa membuktikan adanya salah satu alasan yang tertuang dalam

Kompilasi, yakni bahwa istrinya menderita penyakit yang tak

tersembuhkan, dan setelah dia membuat bukti kemampuannya

untuk menafkahi istri-istrinya ditambah persetujuan istri pertama-

nya.

Dalam kasus-kasus terdahulu, para hakim pengadilan

agama Nganjuk, Jawa Timur, menolak memberi izin keinginan

suami untuk mendapatkan istri kedua. Hal ini karena diketahui

bahwa istri pertama, meski tidak memiliki anak ketika permohonan

itu diajukan, salah satu alasan permohonannya untuk berpoligami,

terbukti secara medis bisa melahirkan anak.

Pengakuan suami bahwa dia telah berhubungan seksual

dengan calon istri kedua, yang kemudian juga diajukan sebagai

alasan permohonan, meyakinkan para hakim untuk menolak

permintaan itu. Mereka beralasan bahwa seorang laki-laki tidak

bisa kawin lagi untuk memenuhi hasrat seksualnya yang tinggi

karena ini tidak disebutkan dalam Kompilasi.169 Namun demikian,

ini tidak berarti bahwa semua ketentuan dalam Kompilasi

dibarengi dengan persetujuan para hakim. Sebagian keputusan

sebenarnya menunjukkan bahwa dalam sejumlah kasus mereka

menyimpang dari Kompilasi dan malah mengacu pada kitab-kitab

169 Lihat Keputusan No. 341/1976.

Page 244: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

221

fikih. Mereka secara jelas tidak khawatir bahwa keputusan-

keputusan mereka akan dijatuhkan oleh pengadilan yang lebih

tinggi.170 Ada alasan-alasan pokok di balik keputusan mereka

untuk meninggalkan Kompilasi.

Selain niat mereka mempertahankan kepentingan umum

di mana banyak hakim berpendapat bahwa penyimpangan dari

aturan-aturan yang ditetapkan dalam Kompilasi kadang diperlukan

untuk menciptakan kemaslahatan umum atau untuk menjamin

kepuasan keadilan pihak-pihak atau salah satu pihak yang terlibat

dalam satu kasus, kenyataan bahwa mereka tidak sependapat

dengan aturan-aturan yang ada dalam kompilasi merupakan salah

satu alasan mengapa mereka, dalam kasus-kasus tertentu, tidak

sepenuhnya memenuhi sejumlah aturan dalam Kompilasi.

Khusus terkait aturan kewarisan, terdapat beberapa con-

toh putusan yang menarik untuk dicermati dan didiskusikan.

Contoh pertama yang menunjukan kecenderungan seperti

dimaksud di atas dapat dilihat dari aturan waris dari mayit yang

meninggalkan seorang anak perempuan dan jaminan (saudara

laki-laki) dan saudara perempuan, sebagaimana digambarkan

secara sangat baik oleh dua kasus berikut ini. Yang pertama

diidentifikasi sebagai No. 830/G/1991/PA.Pkl, dan kemudian No.

69/G/1992/PTA.Smrg, dan No.184/K/AG/1995/MA, dan yang kedua

diidentifikasi sebagai No. 85/pdt.6/1992/V/PA.Mtr, dan kemudian

170 Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 142-144. Untuk

pandangan yang sama, lihat S. Pompe and J.M. Otto, “Some Comments on Recent

Developments in the Indonesian Marriage Law with Particular Respect to the Rights of

Women”, Verfassung und Rech Ubersee, 4 (1990), 415, dan bandingkan dengan Cammack

yang melaporkan bahwa sejak diterapkan UU Perkawinan beberapa hakim tampaknya

menyadari keputusan mereka dijatuhkan oleh Mahkamah Agung pada kasasi dan itu

merupakan alasan mereka condong kepada UU Perkawinan. Mark Cammack, “Islamic Law in

Indonesia’s New Order”, International and Comparative Law Quarterly, 38 (1989), 53.

bahwa permohonan itu diminta hanya oleh satu pihak, sedangkan

pihak lainnya (suami) menolah bahwa pernah terjadi perkawinan.

Kompilasi mendesak bahwa penetapan perkawinan harus

diminta dan disetujui oleh pasangan demi kesejahteraan mereka.

Begitu juga, para hakim pengadilan Tasikmalaya, melalui keputu-

san No. 11/pdt.p/2001/PA.Tsm, mengizinkan seseorang untuk

melakukan perkawinan poligami hanya setelah pemohon (suami)

bisa membuktikan adanya salah satu alasan yang tertuang dalam

Kompilasi, yakni bahwa istrinya menderita penyakit yang tak

tersembuhkan, dan setelah dia membuat bukti kemampuannya

untuk menafkahi istri-istrinya ditambah persetujuan istri pertama-

nya.

Dalam kasus-kasus terdahulu, para hakim pengadilan

agama Nganjuk, Jawa Timur, menolak memberi izin keinginan

suami untuk mendapatkan istri kedua. Hal ini karena diketahui

bahwa istri pertama, meski tidak memiliki anak ketika permohonan

itu diajukan, salah satu alasan permohonannya untuk berpoligami,

terbukti secara medis bisa melahirkan anak.

Pengakuan suami bahwa dia telah berhubungan seksual

dengan calon istri kedua, yang kemudian juga diajukan sebagai

alasan permohonan, meyakinkan para hakim untuk menolak

permintaan itu. Mereka beralasan bahwa seorang laki-laki tidak

bisa kawin lagi untuk memenuhi hasrat seksualnya yang tinggi

karena ini tidak disebutkan dalam Kompilasi.169 Namun demikian,

ini tidak berarti bahwa semua ketentuan dalam Kompilasi

dibarengi dengan persetujuan para hakim. Sebagian keputusan

sebenarnya menunjukkan bahwa dalam sejumlah kasus mereka

menyimpang dari Kompilasi dan malah mengacu pada kitab-kitab

169 Lihat Keputusan No. 341/1976.

Page 245: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

222

No.19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr, dan kemudian No. 86/K/AG/1994/

MA.171

Kasus yang pertama melibatkan seorang anak perempuan

dan beberapa saudara perempuan, semuanya adalah sesama ahli

waris dengan anak perempuan itu oleh pengadilan agama tingkat

pertama Pekalongan dan pengadilan banding Semarang. Kasus

yang kedua, yang menarik perhatian besar dari para analis hukum

dan sarjana, melibatkan seorang saudara laki-laki dan seorang

saudara perempuan.172 Tidak diketahui apakah para penggugat

memahami apa kata Kompilasi tentang kasus mereka. Namun para

ahli waris saudara laki-laki dari mayit dalam kasus kedua sampai ke

pengadilan agama tingkat pertama. Mereka mengklaim bagian

harta atas dasar bahwa, sebagai saudara laki-laki dari mayit (orang

yang meninggal), keturunan mereka berhak mendapat bagian

bersama saudara perempuannya mayit—meskipun saudara

perempuan itu masih hidup, saudara laki-laki telah meninggal

ketika kasus itu diperiksa di pengadilan, tetapi, tentu saja, masih

hidup ketika saudara laki-lakinya (praepositus) meninggal.

Pengadilan menyimpulkan bahwa kasus itu terlalu banyak

masalah, karena harta yang diperselisihkan tidak ditetapkan secara

jelas dan, karena permohonan itu dianggap tidak memenuhi

syarat prosedural. Oleh karena itu mereka menolak kasus itu.173

Tidak puas dengan keputusan itu, penggugat dan tergugat

membawa kasus itu ke pengadilan agama banding. Pengadilan

171 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 151-152. Teks kasus itu

dan keputusan-keputusannya bisa dilihat pula dalam Mimbar Hukum 30:7 (1997), 122-151.

172 Selain Euis Nurlaelawati, lihat juga Cammack, “Inching towards Equality”, 14-

15, dan Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, 197-198.

173 Euis Nurlaelawari, Modernization, Tradition and Identity, 152. Jadi pengadilan

tidak memutuskan kasus mengikuti doktrin tradisional dan tidak memberi saudara laki-laki

bagian bersama dengan anak perempuan dari mayit sebagaimana dipahami Cammack.

Lihat Cammack, “Inching toward Equality,” 15.

Page 246: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

223

setuju agar saudara laki-laki diberi bagian. Dalam menetapkan

bahwa saudara laki-laki, dalam kasus kedua, sebagaimana saudara

perempuan dalam kasus pertama, harus berbagi dengan saudara

perempuan, jelas bahwa pengadilan banding Mataram dan

pengadilan rendah Semarang mengadopsi penafsiran hukum dari

ayat al-Qur’an terkait, yang menyatakan bahwa saudara kandung,

saudara perempuan dan saudara laki-laki, diberi hak waris jika

mayit tidak meninggalkan anak atau walad (QS. Al-Nisa’ [4]: 176).

Mayoritas ulama Sunni memahami dari ayat ini bahwa,

ketika mayit meninggalkan seorang anak atau walad, maka

saudara kandung tidak mendapatkan bagian dan bahwa, untuk

menyatukan praktik Nabi yang pernah memberi saudara

perempuan bagian yang sama dengan anak perempuan, mereka

menafsirkan kata walad dalam ayat ini merujuk pada anak laki-laki

saja,174 yang berarti bahwa ketika ada anak perempuan, maka

saudara kandung bisa diberi bagian. Atas dasar penafsiran Sunni

tradisional inilah kata walad merujuk pada laki-laki saja, sehingga

pengadilan agama tersebut memberikan bagian kepada saudara

laki-laki.

Dalam kedua kasus itu, saudara perempuan memohon

kepada Mahkamah Agung, dan para hakim di Mahkamah Agung

membalikkan keputusan dari kedua pengadilan banding itu.

Mereka sepakat bahwa anak-anak perempuan menghalangi

saudara laki-laki (dalam kasus kedua) dan saudara perempuan

(dalam kasus pertama) dari bagian. Mereka menyatakan bahwa

selagi mayit meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perem-

puan, maka hak waris dari hubungan darah dengan mayit itu,

174 Noel J. Coulson, History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press,

1971), 66. Harus dicatat di sini bahwa penafsiran Sunni terhadap kata walad sebagai

merujuk hanya pada laki-laki hanya terjadi dalam ayat ini, karena mereka menafsirkan kata

walad yang muncul dalam ayat-ayat yang lain mencakup laki-laki dan perempuan.

No.19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr, dan kemudian No. 86/K/AG/1994/

MA.171

Kasus yang pertama melibatkan seorang anak perempuan

dan beberapa saudara perempuan, semuanya adalah sesama ahli

waris dengan anak perempuan itu oleh pengadilan agama tingkat

pertama Pekalongan dan pengadilan banding Semarang. Kasus

yang kedua, yang menarik perhatian besar dari para analis hukum

dan sarjana, melibatkan seorang saudara laki-laki dan seorang

saudara perempuan.172 Tidak diketahui apakah para penggugat

memahami apa kata Kompilasi tentang kasus mereka. Namun para

ahli waris saudara laki-laki dari mayit dalam kasus kedua sampai ke

pengadilan agama tingkat pertama. Mereka mengklaim bagian

harta atas dasar bahwa, sebagai saudara laki-laki dari mayit (orang

yang meninggal), keturunan mereka berhak mendapat bagian

bersama saudara perempuannya mayit—meskipun saudara

perempuan itu masih hidup, saudara laki-laki telah meninggal

ketika kasus itu diperiksa di pengadilan, tetapi, tentu saja, masih

hidup ketika saudara laki-lakinya (praepositus) meninggal.

Pengadilan menyimpulkan bahwa kasus itu terlalu banyak

masalah, karena harta yang diperselisihkan tidak ditetapkan secara

jelas dan, karena permohonan itu dianggap tidak memenuhi

syarat prosedural. Oleh karena itu mereka menolak kasus itu.173

Tidak puas dengan keputusan itu, penggugat dan tergugat

membawa kasus itu ke pengadilan agama banding. Pengadilan

171 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 151-152. Teks kasus itu

dan keputusan-keputusannya bisa dilihat pula dalam Mimbar Hukum 30:7 (1997), 122-151.

172 Selain Euis Nurlaelawati, lihat juga Cammack, “Inching towards Equality”, 14-

15, dan Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, 197-198.

173 Euis Nurlaelawari, Modernization, Tradition and Identity, 152. Jadi pengadilan

tidak memutuskan kasus mengikuti doktrin tradisional dan tidak memberi saudara laki-laki

bagian bersama dengan anak perempuan dari mayit sebagaimana dipahami Cammack.

Lihat Cammack, “Inching toward Equality,” 15.

Page 247: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

224

kecuali orangtua dan pasangan (istri atau suami) (bukan

hubungan darah), terhalangi. Menariknya, dalam hal ini mereka

merujuk pada pandangan Ibnu Abbas, salah seorang Sahabat

Nabi. Ibnu Abbas menafsirkan kata walad dalam ayat tersebut di

atas sebagai anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini menuai

kritik dari sejumlah sarjana dan hakim karena mereka

menganggap para hakim Mahkamah Agung ini, sebagaimana

akan dibahas di bawah, menyalahpahami Ibnu Abbas dan tidak,

sebagaimana tentunya kedua pengadilan banding, menyebut

Kompilasi sebagai dasar mereka sama sekali.

Lalu apa kata Kompilasi mengenai hal ini? Mengapa mere-

ka tidak merujuknya? Kompilasi, Pasal 181 dan 182, sebagaimana

telah dijelaskan di atas, menyatakan bahwa hak waris dari saudara

kandung hanya bisa diberikan jika tidak ada anak. Kata anak ini

adalah terjemahan sebenarnya dari walad.175 Jadi, Kompilasi

menetapkan menurut kata al-Qur’an. Pada dasarnya, kata anak

mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun,

tampaknya penggunaan kata ini masih membingungkan bagi

sebagian hakim yang mempertanyakan apakah kata ini, seperti

kata walad dalam al-Qur’an, mengacu hanya kepada laki-laki

sebagaimana dalam penafsiran Sunni, atau kepada laki-laki dan

perempuan sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas.

Perdebatan tersebut muncul dan dilakukan karena Kompi-

lasi bersifat mendua. Seperti kata walad dalam al-Qur’an

ditafsirkan secara berbeda dalam konteks ini, masih menggunakan

terjemahannya yang umum. Yang menjadi pertanyaan mengapa

Kompilasi (Pasal 182) tidak menggunakan kata-kata yang jelas dan

tertentu anak perempuan dan anak laki-laki sekaligus ketika

175 Maksud saya, kata walad sebagaimana umunya ditafsirkan dalam al-Qur’an

sebagai anak laki-laki dan perempuan dan bukan diterjemahkan dalam kamus Arab yang

merujuk hanya pada anak laki-laki.

Page 248: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

225

memaksudkan bahwa keduanya mendahulukan saudara kandung,

dan menggunakan kata anak laki-laki saja ketika tujuannya adalah

untuk menyatakan bahwa anak laki-laki saja menghalangi saudara

kandung dari waris.

Persoalan ini telah memicu perdebatan sengit di antara

para hakim dan ahli dalam hukum Islam. Perdebatan ini bisa diikuti

dalam terbitan mingguan Direktorat Kehakiman Agama Departe-

men Agama, Mimbar Hukum. Dari sini bisa dipahami bahwa

kedudukan doktrin Sunni klasik di kalangan umat Islam Indonesia,

khususnya para ahli hukum Islam dan hakim, tetap mengakar kuat

sehingga banyak dari mereka berani melawan Kompilasi dan

bahkan melawan keputusan Mahkamah Agung. Meskipun

keputusan Mahkamah Agung mendapatkan dukungan dari

sejumlah hakim,176 perlawanan terhadapnya tidak bisa diabaikan.

Dalam salah satu terbitannya, majalah Mimbar Agama

memuat artikel Baidlawi dan Rahmat Syafe’i, yang menyuguhkan

penafsiran kata walad yang diberikan oleh para ahli hukum awal,

termasuk penafsiran Ibnu Abbas. Mereka mengaitkannya dengan

perdebatan yang dicuatkan oleh praktik peradilan, khususnya

dalam kaitannya dengan kasus yang kedua. Bermaksud melawan

pandangan Mahkamah Agung, dalam artikel mereka Baidlawi dan

Rahmat Syafe’i menulis bahwa benar Ibnu Abbas menafsirkan kata

walad mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun

salah jika dipahami bahwa Ibnu Abbas memasukkan anak

perempuan dalam kata walad dengan maksud untuk menafikan

saudara laki-laki. Oleh karena itu Mahkamah Agung keliru jika

mengambil pandangan Ibnu Abbas sebagai dasar hukum bagi

keputusannya. Ibnu Abbas, lanjut mereka, memaknai bahwa hanya

176 Lihat, misalnya, Alizar Jas, “Pengertian Kata Walad dalam Surah al-Nisa Ayat

176”, Mimbar Hukum, 40 (1998).

kecuali orangtua dan pasangan (istri atau suami) (bukan

hubungan darah), terhalangi. Menariknya, dalam hal ini mereka

merujuk pada pandangan Ibnu Abbas, salah seorang Sahabat

Nabi. Ibnu Abbas menafsirkan kata walad dalam ayat tersebut di

atas sebagai anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini menuai

kritik dari sejumlah sarjana dan hakim karena mereka

menganggap para hakim Mahkamah Agung ini, sebagaimana

akan dibahas di bawah, menyalahpahami Ibnu Abbas dan tidak,

sebagaimana tentunya kedua pengadilan banding, menyebut

Kompilasi sebagai dasar mereka sama sekali.

Lalu apa kata Kompilasi mengenai hal ini? Mengapa mere-

ka tidak merujuknya? Kompilasi, Pasal 181 dan 182, sebagaimana

telah dijelaskan di atas, menyatakan bahwa hak waris dari saudara

kandung hanya bisa diberikan jika tidak ada anak. Kata anak ini

adalah terjemahan sebenarnya dari walad.175 Jadi, Kompilasi

menetapkan menurut kata al-Qur’an. Pada dasarnya, kata anak

mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun,

tampaknya penggunaan kata ini masih membingungkan bagi

sebagian hakim yang mempertanyakan apakah kata ini, seperti

kata walad dalam al-Qur’an, mengacu hanya kepada laki-laki

sebagaimana dalam penafsiran Sunni, atau kepada laki-laki dan

perempuan sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas.

Perdebatan tersebut muncul dan dilakukan karena Kompi-

lasi bersifat mendua. Seperti kata walad dalam al-Qur’an

ditafsirkan secara berbeda dalam konteks ini, masih menggunakan

terjemahannya yang umum. Yang menjadi pertanyaan mengapa

Kompilasi (Pasal 182) tidak menggunakan kata-kata yang jelas dan

tertentu anak perempuan dan anak laki-laki sekaligus ketika

175 Maksud saya, kata walad sebagaimana umunya ditafsirkan dalam al-Qur’an

sebagai anak laki-laki dan perempuan dan bukan diterjemahkan dalam kamus Arab yang

merujuk hanya pada anak laki-laki.

Page 249: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

226

saudara perempuan dan bukan saudara laki-laki yang didahului

oleh anak perempuan.

Dengan kata lain, mereka ingin menegaskan tanpa rancu

bahwa Ibnu Abbas berpendapat bahwa ketika mayit mening-

galkan anak laki-laki dan anak perempuan, atau hanya anak laki-

laki, maka hak saudara sekandung, baik saudara laki-laki maupun

saudara perempuan, digantikan. Namun jika mayit itu mening-

galkan hanya anak perempuan saja, maka hanya hak saudara

perempuan saja dan bukan hak saudara laki-laki yang digantikan.

Dengan demikian hanya jika anak perempuan itu dilawankan

dengan saudara perempuan itulah anak perempuan dipandang

sebagai walad.

Menjelaskan hal ini, kedua penulis itu ingin mengatakan

bahwa jika mayit meninggalkan anak perempuan saja seperti

dalam kasus (kedua) yang telah dibahas, maka hak saurada laki-laki

terhadap bagian itu memiliki dasar yang jelas dalam pandangan

para fukaha Sunni maupun Ibnu Abbas. Mereka berpendapat,

Mahkamah Agung keliru ketika mengutip dan merujuk pada

pandangan Ibnu Abbas untuk mendukung keputusannya

memberikan bagian penuh kepada anak perempuan dan pada

saat yang sama menafikan saudara laki-laki dari bagian waris,

karena Ibnu Abbas sendiri tidak memaksudkannya demikian.177

177 Lihat Baidlawi, “Ketentuan Hak Waris Saudara dalam Konteks Hukum Islam”,

dan Rahmat Syafe’i, “Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung tentang Kewarisan

Saudara dengan Anak Perempuan”, Mimbar Hukum, 44 (1999). Para penulis juga

menambahkan bahwa tidak ada yang menafsirkan kata walad dalam ayat 176 sebagai

hanya mencakup laki-laki saja. Mereka berpendapat bahwa kata walad dalam ayat 176

merujuk sepenuhnya pada laki-laki dan perempuan, tetapi ayat itu tidak ditafsirkan dengan

cara yang menyimpang (mukhâlafah) yakni, ayat itu tidak ditafsirkan untuk mengatur

bahwa jika ada anak, maka saudara sekandung sepenuhnya dinafikan. Dengan kata lain,

ayat ini hanya memaparkan hak waris saudara sekandung ketika mayit tidak meninggalkan

anak (kalâlah). Jika mayit meninggalkan anak, maka hak waris saudara sekandung diatur

dalam sabda nabi yang menyatakan, “… berilah bagian tertentu kepada para ahli waris

Page 250: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

227

Pemahaman mereka disimpulkan pada kenyataan bahwa

mengenai masalah ini Ibnu Abbas memberikan perhatian hanya

terhadap kasus di mana saudara perempuan (bibi) dan anak

perempuan terlibat dan tidak membahas satu kasus di mana anak

perempuan ditinggalkan bersama saudara laki-laki (pamannya).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, pandangan Ibnu Abbas tentang

masalah ini diuraikan sebagai berikut: Ibnu Jarir dan rekan-

rekannya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair

mengatakan bahwa jika mayit meninggalkan seorang anak

perempuan dan seorang adik perempuan, maka adik perempuan

tidak mendapatkan bagian (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks

no. 18).178 Dengan memahami pendapat Ibnu Abbas semacam ini,

mereka juga menunjukkan bahwa keputusan Mahkamah Agung

bahwa anak perempuan bisa menafikan saudara sekandung

adalah tepat dan memiliki dasar hukum, yakni pandangan Ibnu

Abbas, hanya dalam kasus Pekalongan di mana anak perempuan

berseteru dengan saudara perempuan.179

Atas dasar kedua kasus itu bisa ditarik beberapa

kesimpulan.

Pertama, benar, seperti kata Cammack, bahwa Mahkamah

Agung barangkali ingin memberi arah kepada perkembangan

tertentu dan sisanya adalah hak waris dari saudara sekandung (diriwayatkan dari Ibnu

Abbas) (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks no. 19), dan yang menyatakan “… untuk

anak perempuan adalah setengah dan untuk anak perempuannya anak laki-laki adalah

bagian yang membuat dua pertiga bagian dan sisanya untuk saudara perempuan

(diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud). Untuk pembahasan tentang hal ini, bandingkan Bowen,

Islam, Law and Equality in Indonesia, 197.

178 Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986).

179 Meskipun para penulis itu juga menyatakan bahwa memberikan bagian

penuh kepada anak perempuan adalah juga penyelewengan, karena tidak ada teks yang

mengatakan demikian. Mereka menyatakan bahwa jika ada saudara perempuan tetapi

dinafikan, maka anak perempuan tidak diberi bagian penuh tetapi hanya separuh. Ibid.

saudara perempuan dan bukan saudara laki-laki yang didahului

oleh anak perempuan.

Dengan kata lain, mereka ingin menegaskan tanpa rancu

bahwa Ibnu Abbas berpendapat bahwa ketika mayit mening-

galkan anak laki-laki dan anak perempuan, atau hanya anak laki-

laki, maka hak saudara sekandung, baik saudara laki-laki maupun

saudara perempuan, digantikan. Namun jika mayit itu mening-

galkan hanya anak perempuan saja, maka hanya hak saudara

perempuan saja dan bukan hak saudara laki-laki yang digantikan.

Dengan demikian hanya jika anak perempuan itu dilawankan

dengan saudara perempuan itulah anak perempuan dipandang

sebagai walad.

Menjelaskan hal ini, kedua penulis itu ingin mengatakan

bahwa jika mayit meninggalkan anak perempuan saja seperti

dalam kasus (kedua) yang telah dibahas, maka hak saurada laki-laki

terhadap bagian itu memiliki dasar yang jelas dalam pandangan

para fukaha Sunni maupun Ibnu Abbas. Mereka berpendapat,

Mahkamah Agung keliru ketika mengutip dan merujuk pada

pandangan Ibnu Abbas untuk mendukung keputusannya

memberikan bagian penuh kepada anak perempuan dan pada

saat yang sama menafikan saudara laki-laki dari bagian waris,

karena Ibnu Abbas sendiri tidak memaksudkannya demikian.177

177 Lihat Baidlawi, “Ketentuan Hak Waris Saudara dalam Konteks Hukum Islam”,

dan Rahmat Syafe’i, “Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung tentang Kewarisan

Saudara dengan Anak Perempuan”, Mimbar Hukum, 44 (1999). Para penulis juga

menambahkan bahwa tidak ada yang menafsirkan kata walad dalam ayat 176 sebagai

hanya mencakup laki-laki saja. Mereka berpendapat bahwa kata walad dalam ayat 176

merujuk sepenuhnya pada laki-laki dan perempuan, tetapi ayat itu tidak ditafsirkan dengan

cara yang menyimpang (mukhâlafah) yakni, ayat itu tidak ditafsirkan untuk mengatur

bahwa jika ada anak, maka saudara sekandung sepenuhnya dinafikan. Dengan kata lain,

ayat ini hanya memaparkan hak waris saudara sekandung ketika mayit tidak meninggalkan

anak (kalâlah). Jika mayit meninggalkan anak, maka hak waris saudara sekandung diatur

dalam sabda nabi yang menyatakan, “… berilah bagian tertentu kepada para ahli waris

Page 251: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

228

masa depan doktrin waris Islam dan berusaha konsisten dengan

premis yang dikembangkan bahwa sanak keluarga laki-laki dan

perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.180

Para hakim Mahkamah Agung tidak merujuk pada Kompilasi atau

pada teori-teori yang diajukan oleh sejumlah pakar hukum

Indonesia, misalnya teori bilateral Hazairin, tetapi pada pandangan

Ibnu Abbas. Hal ini membuktikan kurang yakinnya terhadap

Kompilasi dan kecenderungannya terhadap doktrin hukum dari

kitab fikih, seperti yang digunakan dalam pengadilan tingkat

pertama dan tingkat banding.

Kedua, meskipun Kementerian Agama tidak memiliki

wewenang untuk menilai produk hukum pengadilan agama, ia

merasa perlu menganalisis dan mempelajari keputusan-keputusan

yang dikeluarkan pada seluruh tingkat pengadilan agama,

termasuk Mahkamah Agung. Harus dicatat di sini, apa yang

dipraktikkan Mahkamah Agung menyiratkan perkembangan

model peradilan ketika tuntutan dibuat. Sedangkan apa yang

dilakukan Kementerian Agama, seperti tercermin dalam Mimbar

Hukum, merupakan refleksi hukum yang mempertegas bahwa ada

pendapat lain tentang satu kasus yang juga layak atau

sesungguhnya bahkan lebih layak diterapkan.

Selain itu, para sarjana Muslim Indonesia juga masih

berpendapat bahwa, karena mereka sering selalu menemukan

bahwa tidak ada dua kasus yang sama persis, seiring dengan

kenyataan bahwa orang tidak ada yang sama betul, para hakim

bisa secara sah mencapai keputusan yang berbeda selagi proses

penalarannya tetap konsisten.

180 Lihat Cammack, “Inching toward Equality”, 15.

Page 252: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

229

Penutup

Dari diskusi di atas, diperoleh beberapa kesimpulan.

Pertama, pembaharuan hukum merupakan hal yang tidak bisa

dihindari dan memiliki dasar atau rasional dalam Islam. Namun,

upaya pembaharuan tentunya tidak bisa secara mudah diterima

oleh seluruh kalangan yang menganggap bahwa aturan yang

sudha mapanlah yang benar dan sesuai untuk diterpakan. Kedua,

upaya pembaharuan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan

jelas, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang beragam.

Interpretasi terhadap hukum tentunya bisa diterima

dengan alasan adanya kemaslahatan di dalamnya, dan bukan

karena ketidakjelasan aturan. Ketiga, kecenderungan dan

kefanatikan terhadap sebuah aturan telah menyebabkan banyak

kelompok tidak merasa percaya diri untuk menerapkan aturan

yang baru yang sudah disepakati pemeberlakuannya. Untuk itu,

dasar hukum bagi pembaharuan harus kuat dan ditetapkan

setelah mengakomodir banyak pandangan hukum.

masa depan doktrin waris Islam dan berusaha konsisten dengan

premis yang dikembangkan bahwa sanak keluarga laki-laki dan

perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.180

Para hakim Mahkamah Agung tidak merujuk pada Kompilasi atau

pada teori-teori yang diajukan oleh sejumlah pakar hukum

Indonesia, misalnya teori bilateral Hazairin, tetapi pada pandangan

Ibnu Abbas. Hal ini membuktikan kurang yakinnya terhadap

Kompilasi dan kecenderungannya terhadap doktrin hukum dari

kitab fikih, seperti yang digunakan dalam pengadilan tingkat

pertama dan tingkat banding.

Kedua, meskipun Kementerian Agama tidak memiliki

wewenang untuk menilai produk hukum pengadilan agama, ia

merasa perlu menganalisis dan mempelajari keputusan-keputusan

yang dikeluarkan pada seluruh tingkat pengadilan agama,

termasuk Mahkamah Agung. Harus dicatat di sini, apa yang

dipraktikkan Mahkamah Agung menyiratkan perkembangan

model peradilan ketika tuntutan dibuat. Sedangkan apa yang

dilakukan Kementerian Agama, seperti tercermin dalam Mimbar

Hukum, merupakan refleksi hukum yang mempertegas bahwa ada

pendapat lain tentang satu kasus yang juga layak atau

sesungguhnya bahkan lebih layak diterapkan.

Selain itu, para sarjana Muslim Indonesia juga masih

berpendapat bahwa, karena mereka sering selalu menemukan

bahwa tidak ada dua kasus yang sama persis, seiring dengan

kenyataan bahwa orang tidak ada yang sama betul, para hakim

bisa secara sah mencapai keputusan yang berbeda selagi proses

penalarannya tetap konsisten.

180 Lihat Cammack, “Inching toward Equality”, 15.

Page 253: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

230

Page 254: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

231

AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM

HUKUM DI INDONESIA

(SUATU ANALISIS FILSAFAT)

Syahrizal Abbas

Latar Belakang

Realitas hukum di Indonesia, termasuk hukum waris

berada dalam kutub “pluralisme hukum”.181 Pluralisme hukum

tidak dimaknai dalam arti sempit, di mana sistem hukum yang satu

berbeda dan saling berhadapan dengan sistem hukum yang

lain.182 Pluralisme hukum adalah suatu realitas hukum, di mana

suatu sistem hukum dengan kerangka filsafatnya, menawarkan

pola tersendiri kepada masyarakat. Masyarakat dapat menilai dan

mempertimbangkan kerangka filsafat suatu sistem hukum yang

cocok dan memenuhi rasa keadilan. Hukum pada dasarnya adalah

sarana dan perangkat untuk menemukan dan memberikan rasa

keadilan kepada masyarakat.183

Hukum waris di Indonesia bergumul dalam realitas plural-

isme hukum. Hukum waris Islam, hukum waris BW, hukum waris

adat, dan praktik hukum kewarisan di lingkungan pengadilan

membentuk warna tersendiri.184 Secara normatif, sub-sistem

hukum ini saling pengaruh mempengaruhi terhadap praktik

181 Ihromi, Pluralisme Sistem Hukum, Jakarta : UI Press, 1987, hlm. 16; Soepomo,

Sistem Hukum di Indonesia, Pradnya Paramita, 1972, hlm. 23.

182 Lili Rasyidi, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1988,

hlm. 123.

183 Hans Kelsen, Law and Justice, Oxford : Oxford University Press, 1990, hlm. 211.

184 Hukum Islam, Hukum Perdata Barat (BW) dan Hukum Adat adalah suatu sistem

hukum, sedangkan hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan BW dan hukum kewarisan

adat adalah suatu sub-sistem hukum.

Page 255: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

232

kewarisan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ketiga sub-

sistem hukum kewarisan telah bekerja dan memberikan tawaran-

tawaran etis terhadap sejumlah problema hukum kewarisan

mulai dari konsep waris, alasan mewarisi, ahli waris, bagian-bagian

ahli waris, dan cara pembagian serta pola penyelesaian sengketa

waris.

Ketiga sub-sistem hukum kewarisan di atas memiliki

hubungan dengan kerangka filsafat dari sistem hukum Islam,

sistem hukum Barat dan sistem hukum Adat.185 Pada satu sisi,

ketiga sistem hukum ini memiliki landasan filsafat yang berbeda

satu sama lain, namun pada sisi lain, ketiga sistem hukum ini juga

memiliki kesamaan-kesamaan. Studi mendalam terhadap landasan

filsafat ketiga sistem hukum ini sangat diperlukan, sehingga

mampu menghadirkan kerangka yang tepat bagi pembentukan

hukum kewarisan nasional. Studi fisafat terhadap hukum Islam,

hukum BW dan hukum adat ditujukan untuk menemukan nilai-

nilai etis universal yang dibawa oleh ketiga sistem hukum ini

dalam masalah kewarisan. Pendekatan filsafati dan sociological

jurisprudence di anggap mampu ‘mempertemukan’ ketiga sistem

hukum ini dalam satu ikatan ‘benang merah’ yaitu keadilan

universal.186

Harus diakui bahwa filsafat dan struktur ketiga sistem

hukum tersebut memang berbeda. Perbedaan ini sangat wajar

terjadi, karena filsafat dan struktur dari hukum Islam, hukum adat,

dan hukum Barat dibangun dari realitas dan filsafat masyarakat

yang berbeda satu sama lain. Filsafat dan struktur hukum ini

menjadi bagian substantif dari hukum kewarisan Islam, hukum

kewarisan adat dan hukum kewarisan Barat. Hukum kewarisan

185 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,

Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 14.

186 Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, Cambridge University, 1996, hlm. 437.

Page 256: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

233

Islam dibangun atas landasan doktrin ajaran al-Qur’an dan

Sunnah.187 Ajaran hukum kewarisan Islam memiliki landasan

normatif dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.188

Meskipun demikian, harus pula dicermati sejarah lahirnya ajaran

hukum kewarisan yang tidak pernah lepas dari struktur masyarakat

Arab, tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab ketika itu. Struktur

masyarakat Arab yang bersuku-suku (qaba-il) ikut mewarnai

kontruksi hukum kewarisan Islam. Masyarakat Arab dikenal

sabagai masyarakat yang menempatkan suku sebagai institusi

penting sebagai pelindung dan lambang kehormatan.189 Suku

adalah perekat antar individu yang amat sulit dipisahkan, bahkan

anggota suku rela berkorban nyawa untuk membela kepentingan

sukunya. Keterikatan individu terhadap suku, didasarkan pada

garis keturunan dan hubungan darah.

Bagi masyarakat Arab, garis keturunan dan hubungan

darah merupakan kehormatan yang selalu dijaga dan dilindungi. 190 Oleh karenanya, keberadaan laki-laki menjadi amat penting

dalam kehidupan suku-suku Arab. Laki-laki adalah orang yang

mampu melindungi dan menjaga kehormatan sukunya. Laki-laki

adalah orang yang paling dihormati, karena ia menjadi lambang

pemersatu dan pelindung suku.191 Tradisi kesukuan ini sedikit

banyak mempengaruhi dan membawa warna tersendiri bagi

doktrin kewarisan Islam dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Realitas sosial masyarakat Arab adalah berpindah-pindah

dan hidup komunal dalam kesukuan. Komunalitas kesukuan

187 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut ; Dar al-Fikr, 2006, hlm. 594.

188 Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi fondasi dasar hukum kewarisan Islam

adalah surah an-Nisa’ ayat 11.

189 Phillip K. Hitti, The History of Arab, McMillan, 1979, hlm. 131.

190 Syed Mahmuddunnasir, Sejarah Peradaban Islam, Malaysia : IIT, 1995, hlm. 56.

191 Phillip K. Hitti, op.cit., hlm. 351.

kewarisan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ketiga sub-

sistem hukum kewarisan telah bekerja dan memberikan tawaran-

tawaran etis terhadap sejumlah problema hukum kewarisan

mulai dari konsep waris, alasan mewarisi, ahli waris, bagian-bagian

ahli waris, dan cara pembagian serta pola penyelesaian sengketa

waris.

Ketiga sub-sistem hukum kewarisan di atas memiliki

hubungan dengan kerangka filsafat dari sistem hukum Islam,

sistem hukum Barat dan sistem hukum Adat.185 Pada satu sisi,

ketiga sistem hukum ini memiliki landasan filsafat yang berbeda

satu sama lain, namun pada sisi lain, ketiga sistem hukum ini juga

memiliki kesamaan-kesamaan. Studi mendalam terhadap landasan

filsafat ketiga sistem hukum ini sangat diperlukan, sehingga

mampu menghadirkan kerangka yang tepat bagi pembentukan

hukum kewarisan nasional. Studi fisafat terhadap hukum Islam,

hukum BW dan hukum adat ditujukan untuk menemukan nilai-

nilai etis universal yang dibawa oleh ketiga sistem hukum ini

dalam masalah kewarisan. Pendekatan filsafati dan sociological

jurisprudence di anggap mampu ‘mempertemukan’ ketiga sistem

hukum ini dalam satu ikatan ‘benang merah’ yaitu keadilan

universal.186

Harus diakui bahwa filsafat dan struktur ketiga sistem

hukum tersebut memang berbeda. Perbedaan ini sangat wajar

terjadi, karena filsafat dan struktur dari hukum Islam, hukum adat,

dan hukum Barat dibangun dari realitas dan filsafat masyarakat

yang berbeda satu sama lain. Filsafat dan struktur hukum ini

menjadi bagian substantif dari hukum kewarisan Islam, hukum

kewarisan adat dan hukum kewarisan Barat. Hukum kewarisan

185 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,

Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 14.

186 Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, Cambridge University, 1996, hlm. 437.

Page 257: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

234

menjadi salah satu pertimbangan dalam proses dan pembangian

harta warisan, bila salah satu dari anggota suku meninggal dunia.

Tradisi ini juga membawa pengaruh bagi kontsruksi hukum

kewarisan Islam, terutama dalam pertimbangan hubungan

kebersamaan dan kekeluargaan. Suku bertanggung jawab

terhadap setiap aggoata suku yang meninggal dunia dan kepala

suku memberikan proteksi dan jaminan kehidupan bagi ahli waris

yang ditinggalkan. Harta menjadi bagian penting untuk

melindungi anggota suku.192 Dengan demikian nilai filsafat

kebersamaan dan tolong menolong dalam tradisi kesukuan Arab

tercermin dalam hukum kewarisan Islam.

Dalam tradisi masyarakat Arab, keberadaan laki-laki

sebagai pewaris menjadi amat penting, karena ia sebagai tulang

punggung suku (qabilah). Bila salah seorang dari anggota suku

meninggal dunia, maka pemimpin suku akan berperan dan

bertanggung jawab menjamin harta peninggalan yang ditinggal-

kan oleh pewaris. Pengambil-alihan tanggung jawab kepala suku

terhadap ahli yang ditinggalkan oleh pewaris, menggambarkan

peran penting dan dominasi kepala suku dalam pengaturan harta

warisan dan jaminan perlindungan terhadap anggota suku.193

Muhammad Hamidullah, menyebutkan bahwa dalam

tradisi kewarisan masyarakat Arab, mengalihkan harta dari seorang

pewaris kepada ahli waris sangat ditentukan oleh tradisi kesukuan

termasuk memberikan harta kepada anak yang orang tuanya

terlebih dahulu meninggal dunia.194 Hamidullah menyebutkan hal

ini hanya berlaku kepada cuku laki-laki dari anak laki-laki, dan tidak

192 Oemar Abdul Aziz, The History of Islamic Law, Malaysia :UM, 2001, hlm. 13.

193 I b i d. Hlm. 14.

194 Muhammad Hamidullah, Islamologi, Montreal : McGill University Press, 1975,

hlm. 164.

Page 258: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

235

berlaku kepada cucu laki-laki dari anak perempuan. 195 Logika ini

sangat dipahami, karena dalam tradisi masyarakat Arab, dominasi

dan pengaruh laki-laki dalam penentuan kewarisan sangat

dominan. Al-Qur’an sebagai ajaran etis memberikan perimbangan

terhadap dominasi ini, walaupun tidak mengikis habis dominasi

laki-laki terhadap proses pewarisan.

Filsafat kebersamaan dan tanggung jawab yang tergambar

dalam tradisi masyarakat Arab, diakomodir oleh al-Qur’an dengan

sejumlah penyesuaian, sehingga filsafat yang mendasari

kewarisan Islam adalah filsafat tanggung jawab (responsiblity),

kebersamaan, kemaslahatan, pengakuan hak individual, jaminan

keberlangsungan hidup, dan menghindarkan konflik antar sesama

ahli waris.196

Dalam kewarisan Islam, harta yang ditinggalkan oleh

seorang pewaris memiliki hubungan erat dengan orang yang

menjadi ahli waris. Hubungan ini terwujud dalam bentuk

penentuan ahli waris dan pendistribusian harta warisan. Pendistri-

busian harta warisan kepada ahli waris dimaksudkan dalam rangka

perwujudan tanggung jawab bagi keberlangsungan hidup ahli

waris. Kematian pewaris tidak boleh menyebabkan hilangnya

jaminan dan keselamatan hidup ahli waris. 197

Filsafat tanggung jawab ini bukan hanya berada pada satu

orang tetapi juga dari seluruh anggota keluarga. Oleh karenanya,

bila seseorang meninggal dunia, maka tanggung jawab terhadap

keberlangsungan hidup keluarga dapat dijalankan dengan

195 I b i d., hlm. 170.

196 Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, (Terj),

Diponegoro : Bandung, 1988, hlm. 17.

197 I b i d., hlm. 18. ; Mohammed Majmuri, Family Law, Canada : Concordia

University Press, 2008, hlm. 234.

menjadi salah satu pertimbangan dalam proses dan pembangian

harta warisan, bila salah satu dari anggota suku meninggal dunia.

Tradisi ini juga membawa pengaruh bagi kontsruksi hukum

kewarisan Islam, terutama dalam pertimbangan hubungan

kebersamaan dan kekeluargaan. Suku bertanggung jawab

terhadap setiap aggoata suku yang meninggal dunia dan kepala

suku memberikan proteksi dan jaminan kehidupan bagi ahli waris

yang ditinggalkan. Harta menjadi bagian penting untuk

melindungi anggota suku.192 Dengan demikian nilai filsafat

kebersamaan dan tolong menolong dalam tradisi kesukuan Arab

tercermin dalam hukum kewarisan Islam.

Dalam tradisi masyarakat Arab, keberadaan laki-laki

sebagai pewaris menjadi amat penting, karena ia sebagai tulang

punggung suku (qabilah). Bila salah seorang dari anggota suku

meninggal dunia, maka pemimpin suku akan berperan dan

bertanggung jawab menjamin harta peninggalan yang ditinggal-

kan oleh pewaris. Pengambil-alihan tanggung jawab kepala suku

terhadap ahli yang ditinggalkan oleh pewaris, menggambarkan

peran penting dan dominasi kepala suku dalam pengaturan harta

warisan dan jaminan perlindungan terhadap anggota suku.193

Muhammad Hamidullah, menyebutkan bahwa dalam

tradisi kewarisan masyarakat Arab, mengalihkan harta dari seorang

pewaris kepada ahli waris sangat ditentukan oleh tradisi kesukuan

termasuk memberikan harta kepada anak yang orang tuanya

terlebih dahulu meninggal dunia.194 Hamidullah menyebutkan hal

ini hanya berlaku kepada cuku laki-laki dari anak laki-laki, dan tidak

192 Oemar Abdul Aziz, The History of Islamic Law, Malaysia :UM, 2001, hlm. 13.

193 I b i d. Hlm. 14.

194 Muhammad Hamidullah, Islamologi, Montreal : McGill University Press, 1975,

hlm. 164.

Page 259: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

236

penerapan hukum kewarisan Islam. Filsafat kebersamaan,

dimaknai dengan ketentuan kewarisan yang ada dalam al-Qur’an

memberikan penegasan agar nilai kebersamaan harus tetap

dipertahanakan, walaupun salah seorang dari anggota keluarga

meninggal dunia.198

Distribusi harta warisan harus menjamin terwujudnya

kebersamaan. Pembagian dan pendistribusian harta warisan

berdasarkan hukum Islam tidak boleh menghilangkan ikatan

kekeluargaan dan semangat kebersamaan. Penerapan hukum

kewarisan Islam bersifat alternatif,199 yang mana kebersamaan dan

kesepakatan yang terjadi di kalangan ahli waris sangat

menentukan pemberlakuan tidaknya hukum kewarisan Islam.

Hukum kewarisan Islam memberikan kebebasan kepada ahli waris

untuk menggunakan atau memilih jalan lain yang terbaik dalam

penyelesaian pembagian dan pendistribusian harta warisan

kepada ahli waris. Kemaslahatan, kedamaian dan keadilan jauh

lebih penting dan diutamakan dalam pendistribusian dan

pembagian harta warisan.

Bila seluruh ahli waris yang berhak bersepakat untuk tidak

membagikan harta warisan berdasarkan ketentuan furudh al-

muqaddarah, dan itu dianggap lebih mengandung maslahat,

penuh nilai keadilan dan kebersamaan, maka hal itu jauh lebih

baik dan lebih mulia.200 Dengan demikian penerapan hukum

kewarisan Islam yang bersifat rigid dan memaksa, bila adanya

sengketa di antara ahli waris atau adanya kehendak yang ingin

membagikan harta pusaka berdasarkan ketentuan furudh al-

198 Sayyid Sabiq, op.cit. hlm. 598;

199 Hamid Khan, Islamic Law of Inheritance, Oxford-Pakistan : Oxford University

Press, 2007, hlm. 18.

200 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : Fak. Ekonomi UII, 1990,

hlm. 45.

Page 260: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

237

muqaddarah. Penerapan ketentuan hukum kewarisan Islam yang

bersifat rigid dan memaksa dilaksanakan melalui proses penga-

dilan.

Filsafat pengakuan hak individual dalam hukum kewarisan

Islam, ditujukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum

mengenai hak milik terhadap harta yang diperoleh melalui

pewarisan. Hak milik ini melekat dan tidak dapat dihapuskan oleh

siapapun, kecuali terdapat alasan syara’ yang sah seperti

pembunuhan terhadp pewaris. 201 Filsafat keberlangsungan hidup

juga mendasari hukum kewarisan dalam Islam.

Distribusi harta kekayaan dalam hukum kewarisan Islam

ditujukan untuk memastikan keberlangsungan hidup (continuitas)

ahli waris. Hal ini amat penting ditekankan oleh Islam, karena

keberlangsungan hidup dan tanggung jawab orang-orang yang

ditinggalkan pewaris harus mendapat perlindungan dan jaminan

hidup.

Hukum kewarisan Islam, sangat menghindari terjadinya

ketidakpastian hidup baik dalam bidang ekonomi, pendidikan,

kesehatan dan lain-lain, setelah meninggal dunianya pewaris.202

Landasan filsafat ini amat penting dipahami dalam menganalisis

problema penggatian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan

Islam.

Konstruksi filfasat hukum kewarisan Barat, tentu agak

berbeda dengan hukum kewarisan Islam. Hal ini didasarkan pada

kehidupan masyarakat Barat yang menganut paham individual-

201 Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Dar al-Fir al-Araby, Bairut,

2000, hlm. 478.

202 Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; From Classical and Contemporary,

Oxfor UK : Altamira Press, 2006, hlm. 56.

penerapan hukum kewarisan Islam. Filsafat kebersamaan,

dimaknai dengan ketentuan kewarisan yang ada dalam al-Qur’an

memberikan penegasan agar nilai kebersamaan harus tetap

dipertahanakan, walaupun salah seorang dari anggota keluarga

meninggal dunia.198

Distribusi harta warisan harus menjamin terwujudnya

kebersamaan. Pembagian dan pendistribusian harta warisan

berdasarkan hukum Islam tidak boleh menghilangkan ikatan

kekeluargaan dan semangat kebersamaan. Penerapan hukum

kewarisan Islam bersifat alternatif,199 yang mana kebersamaan dan

kesepakatan yang terjadi di kalangan ahli waris sangat

menentukan pemberlakuan tidaknya hukum kewarisan Islam.

Hukum kewarisan Islam memberikan kebebasan kepada ahli waris

untuk menggunakan atau memilih jalan lain yang terbaik dalam

penyelesaian pembagian dan pendistribusian harta warisan

kepada ahli waris. Kemaslahatan, kedamaian dan keadilan jauh

lebih penting dan diutamakan dalam pendistribusian dan

pembagian harta warisan.

Bila seluruh ahli waris yang berhak bersepakat untuk tidak

membagikan harta warisan berdasarkan ketentuan furudh al-

muqaddarah, dan itu dianggap lebih mengandung maslahat,

penuh nilai keadilan dan kebersamaan, maka hal itu jauh lebih

baik dan lebih mulia.200 Dengan demikian penerapan hukum

kewarisan Islam yang bersifat rigid dan memaksa, bila adanya

sengketa di antara ahli waris atau adanya kehendak yang ingin

membagikan harta pusaka berdasarkan ketentuan furudh al-

198 Sayyid Sabiq, op.cit. hlm. 598;

199 Hamid Khan, Islamic Law of Inheritance, Oxford-Pakistan : Oxford University

Press, 2007, hlm. 18.

200 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : Fak. Ekonomi UII, 1990,

hlm. 45.

Page 261: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

238

istik.203 Dalam masyarakat Barat, setiap individu memiliki

kebebasan dan kemerdekaan, sehingga setiap hak milik bersifat

“mutlak-indivual’. Keberadaan hak milik yang dimiliki seseorang

semata-mata ditujukan pada kepentingan individual dan tidak ada

ruang bagi kepentingan sosial.204

Dalam pandangan masyarakat Barat, pemanfaatn hak

milik individual hanyalah semata-mata untuk kepentingan

individu, dan sangat terbatas hak milik seseorang memiki ruang

kepentingan dan tanggung jawab sosial (sosial space and

responsibility).205

Hak milik individual dalam pandangan filsafat masyarakat

Barat memiliki makna ; (1) hak milik yang diperoleh seseorang

adalah mutlak untuk kepentingan dirinya dan tidak ada sedikitpun

hak orang orang lain dari harta yang menjadi milik individu

tersebut, termasuk dalam hal harta warisan; (2) hak milik individu

adalah hak mutlak setiap pribadi, dan ia memiliki kebebasan untuk

menggunakan harta milik yang berasal dari harta warisan, untuk

dipergunakan sesuai dengan kehendak dan keinginannya, apakah

untuk kepentingan dirinya ataukah kepentingan sosial. Dengan

demikian, tanggung jawab sosial dari harta yang dimiliki

seseorang sangat tergantung pada kehendak dan keinginan orang

tersebut. Hukum tidak memberikan ruang social responsibility

pada harta seseoarang yang berupa hak milik individual, dan

fislafat inilah yang mendasari hukum kewarisan Barat. 206

203 Prances Burton, Family Law, UK : Cavendishpublishing, 2003, hlm. 14.

204 William P. Staatskey, Family Law, USA : Thomson Delma Learning, 2003, hlm.

123.

205 I b i d., hlm. 124.

206 Prances Burton, op.cit., hlm. 16.

Page 262: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

239

Filsafat masyarakat Barat yang lain yang perlu mendapat-

kan perhatian adalah rasionalitas independensi hak milik. Konsep

rasionalitas independen bermakna bahwa seseorang memiliki hak

milik melalui proses alamiah atau secara hukum, tidak dapat

dihalangi oleh pandangan dan kehendak sosial dan/atau struktur

sosial masyarakat tertentu. Masyarakat Barat memahami bahwa

hak milik seseorang harus diberikan atau diperjuangkan bila secara

alamiah dan hukum ia mendapatkan hak miliki, karena hak miliki

adalah salah satu hak asasi yang melekat pada individu yang

harus diberikan dalam kondisi apapun.

Oleh karenanya, dalam hukum kewarisan di Barat, seorang

cucu yang ayahnya meninggal dunia terlebih dahulu, berhak

mendapat harta warisan dari kakeknya, karena cucu memiliki hak

secara hukum menempati posisi ayahnya untuk mendapatka harta

warisan dari kakek.207 Tidak ada alasan bagi masyarakat Barat, tidak

memberikan hak kepada cucu yang ayah atau ibunya meninggal

dunia terlebih dahulu, karena itu sangat tidak rasional dan

menutup hak miliki indivual sang cucu.

Dalam tradisi dan hukum kewarisan Barat dikenal adanya

istilah penggantian tempat ahli waris (plaatsvervullling). 208

Dalam masyarakat Adat di Indonesia, filsafat yang menda-

sari hukum kewarisannya adalah filafat komunalitas dan

207 David S. Power, Islamic Family Law, Norwell : Kluwer Academic Publisher

Group, 1990, hlm. 271.

208 Pergantia tempat ahli waris (plaatspervulling) adalah penempatan cucu

menduduki posisi ayah yang telah terlebih dahulu meninggal dunia, untuk mendapatkan

harta warisan dari kakek. Perluasan makna terhadap plaatsvervulling juga diberikan oleh

Hilyatus Sa’adah, dengan keturunan ahli waris yang sudah meninggal dunia pada saat

terbukanya warisan/menggantikan tempat orang tuanya sebagai ahli waris. Hilyatus

Sa’adah, Penggantian Tempat Ahli Waris (Plaatsvervulling) pada Masyarakat Pesantren, Tesis

S2, Semarang :UNDIP, 210, hlm. i.

istik.203 Dalam masyarakat Barat, setiap individu memiliki

kebebasan dan kemerdekaan, sehingga setiap hak milik bersifat

“mutlak-indivual’. Keberadaan hak milik yang dimiliki seseorang

semata-mata ditujukan pada kepentingan individual dan tidak ada

ruang bagi kepentingan sosial.204

Dalam pandangan masyarakat Barat, pemanfaatn hak

milik individual hanyalah semata-mata untuk kepentingan

individu, dan sangat terbatas hak milik seseorang memiki ruang

kepentingan dan tanggung jawab sosial (sosial space and

responsibility).205

Hak milik individual dalam pandangan filsafat masyarakat

Barat memiliki makna ; (1) hak milik yang diperoleh seseorang

adalah mutlak untuk kepentingan dirinya dan tidak ada sedikitpun

hak orang orang lain dari harta yang menjadi milik individu

tersebut, termasuk dalam hal harta warisan; (2) hak milik individu

adalah hak mutlak setiap pribadi, dan ia memiliki kebebasan untuk

menggunakan harta milik yang berasal dari harta warisan, untuk

dipergunakan sesuai dengan kehendak dan keinginannya, apakah

untuk kepentingan dirinya ataukah kepentingan sosial. Dengan

demikian, tanggung jawab sosial dari harta yang dimiliki

seseorang sangat tergantung pada kehendak dan keinginan orang

tersebut. Hukum tidak memberikan ruang social responsibility

pada harta seseoarang yang berupa hak milik individual, dan

fislafat inilah yang mendasari hukum kewarisan Barat. 206

203 Prances Burton, Family Law, UK : Cavendishpublishing, 2003, hlm. 14.

204 William P. Staatskey, Family Law, USA : Thomson Delma Learning, 2003, hlm.

123.

205 I b i d., hlm. 124.

206 Prances Burton, op.cit., hlm. 16.

Page 263: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

240

tanggung jawab bersama.209 Masyarakat adat memiliki falsafat

hidup bersama dan nilai-nilai komunalitas dan nilai kebersamaan

menjadi nilai esensial dari kehidupan masyarakat adat. Dalam

kehidupan masyarakat adat, peran tokoh-tokoh adat dan nilai-

nilai luhur yang dianut menjadi pertimbangan peting dalam

hukum kewarisan adat. Hukum kewarisan pada suatu komunitas

masyarakat adat, berbeda dengan hukum kewarisan masyarakat

adat yang lain.

Hukum dan praktik kewarisan suatu masyarakat adat

sangat tergantung pada sistem kekerabatan yang dianut. Dalam

masyarakat yang menganut kekerabatan patrilineal, maka

dominasi peran tanggung jawab pihak laki-laki lebih dominan

dibandingkan dengan perempuan dalam proses kewarisan,

sedangkan dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan

matrilineal, maka dominasi dan tanggung jawab pihak perempuan

teras lebih dominan dalam menjaga keutuhan keluarga dan

tanggung jawab terhadap ahli waris yang ditinggal oleh

pewaris.210 Sedangkan masyarakat yang menganut sistem

kekerabatan bilateral atau parental, maka peran dan dominasi

pihak laki-laki dan perempuan dalam proses kewarisan memiliki

kesetaraan dan keseimbangan. 211 Oleh karenanya tanggung jawab

keluarga serta ahli waris yang ditinggalkan pewaris berada pada

pundak kedua belah pihak.

Filsafat tanggung jawab bersama dalam menjaga

keutuhan keluarga yang dianut oleh masyarakat adat telah

209 Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita,

hlm. 25.

210 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, hlm.

18.

211 Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral, Jakarta : Tinta Mas, 1961, hlm. 26.

Page 264: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

241

mendasari mereka, untuk menggunakan isntitusi pergantian ahli

waris dalam proses kewarisan.212 Dalam masyarakat adat, seorang

cucu akan mendapatkan hak waris dari kakeknya yang orang

tuanya telah meninggal terlebih dahulu. Pemberian hak kepada

cucu ini didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan cucu

merupakan tanggung jawab bersama dari keluarga.

Pola pikir dan kerangka filsafat yang dianut hukum

kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, hukum hukum kewarisan

Barat dapat menjadi ladasan untuk melihat dan menganlisis lebih

jauh kerangka filsafat yang digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam

(KHI) yang memberikan jalan keluar terhadap persoalan praktik

pergantian tempat ahli waris. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah

menawarkan suatu terobosan hukum baru yang memadukan

prinsip hukum kewarisan Islam dan kewarisan adat, dengan

melahirkan sejumlah pasal-pasal pergantian tempat ahli waris.

Pasal 185 KHI adalah pergumulan nilai-nilai normatif

hukum kewarian Islam dengan praktik masyarakat adat. Dalam

penerapannya pasal-pasal ini masih memunculkan problematika,

sehingga beberapa substansi pasal ini memerlukan kajian dan re-

interpretasi ulang. Kajian ini amat perlu dilakukan, guna

menempatkan lembaga (institusi) pergantian tempat ahli waris,

sebagai instiusi kewarisan yang mampu mewujudkan keadilan,

sosial empati, tanggung jawab bersama dan tidak ada pihak yang

terdhalimi, dengan tetap memegang teguh nilai-nilai al-Qur’an

dan al-Hadits.

Realitas hukum yang terjadi selama ini mengharuskan

kajian komprehensif dan integral, terhadap lembaga pergantian

212 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung : Alumni, 1993, hlm. 45.

tanggung jawab bersama.209 Masyarakat adat memiliki falsafat

hidup bersama dan nilai-nilai komunalitas dan nilai kebersamaan

menjadi nilai esensial dari kehidupan masyarakat adat. Dalam

kehidupan masyarakat adat, peran tokoh-tokoh adat dan nilai-

nilai luhur yang dianut menjadi pertimbangan peting dalam

hukum kewarisan adat. Hukum kewarisan pada suatu komunitas

masyarakat adat, berbeda dengan hukum kewarisan masyarakat

adat yang lain.

Hukum dan praktik kewarisan suatu masyarakat adat

sangat tergantung pada sistem kekerabatan yang dianut. Dalam

masyarakat yang menganut kekerabatan patrilineal, maka

dominasi peran tanggung jawab pihak laki-laki lebih dominan

dibandingkan dengan perempuan dalam proses kewarisan,

sedangkan dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan

matrilineal, maka dominasi dan tanggung jawab pihak perempuan

teras lebih dominan dalam menjaga keutuhan keluarga dan

tanggung jawab terhadap ahli waris yang ditinggal oleh

pewaris.210 Sedangkan masyarakat yang menganut sistem

kekerabatan bilateral atau parental, maka peran dan dominasi

pihak laki-laki dan perempuan dalam proses kewarisan memiliki

kesetaraan dan keseimbangan. 211 Oleh karenanya tanggung jawab

keluarga serta ahli waris yang ditinggalkan pewaris berada pada

pundak kedua belah pihak.

Filsafat tanggung jawab bersama dalam menjaga

keutuhan keluarga yang dianut oleh masyarakat adat telah

209 Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita,

hlm. 25.

210 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, hlm.

18.

211 Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral, Jakarta : Tinta Mas, 1961, hlm. 26.

Page 265: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

242

tempat ahli waris, karena secara konseptual lembaga tidak dikenal

dalam konstruksi fiqh al-waris (al-faraidh), namun secara

subtansial, sebagian besar masyarakat mempraktikan konsep

pergantian tempat ahli waris. Realitas dan praktik hukum

masyarakat ini tidak dapat dibiarkan, karena praktik seperti itu

tidak dapat menjamin seorang cucu mendapat hak warisnya dari

kakek, dengan lasan ayahnya telah terlebih dahulu meninggal

dunia.

Pasal-pasal pergantian tempat ahli waris dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) harus mampu memenuhi rasa keadilan

masyarakat, dengan tidak melanggar prinsip dan nilai etis dari

hukum kewarisa Islam. Di sinilah urgensitas tulisan ini.

Analisis Fiqh

Al-Qur’an dan Sunnah adalah dalil dan sekaligus sebagai

sumber bagi fiqh. 213 Al-Qur’an dan Sunnah adalah landasan utama

perumusan hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan adalah

hukum yang berkaitan dengan pengalihan harta dari si mayit

kepada orang yang ditinggalkannya berdasarkan ketentuan

hukum syara’.214 Subtansi hukum kewarisan meliputi pewaris, ahli

waris, harta warisan, dan bagian serta mekanisme distribusi harta

warisan kepada ahli waris yang berhak berdasarkan ketentuan al-

Qur’an dan al-Hadits.

Sebagian fuqaha’ terutama dari kalangan Malikiyah,

Syafi’iyah dan Hanabilah memahami hukum kewarisan Islam

sebagai hukum yang sudah final, rigid dan pasti, sehingga tidak

mungkin diberikan tafsiran atau makna lain, selain yang tersebut

213 Ali Hasaballah, Ushul at-Tasyri’ al-Islamy, Cairo : Dar ibn ‘Ashashah, 1995, hlm.

78.

214 Muhammad Yusuf Musa, Ahkam at-Tirkah fil Islam, Cairo : Dar al-Ma’arif, 1978,

hlm.12.

Page 266: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

243

secara eksplisit dalam teks al-Qur’an dan al-Hadits.215 Pandangan

para fuqaha’ ini telah melahirkan postulat bahwa hukum

kewarisan Islam bersifat qathi’iy. Pandangan ini telah mewarnai

sebagian besar pemikiran masyarakat muslim, sehingga tidak

menerima adanya lembaga pergantian tempat ahli waris dalam

hukum kewarisan Islam. Buku-buku fiqh klasik, tidak memberikan

ruang untuk konsep ini, sehingga tidak pernah ditemukan adanya

pengakuan terhadap lembaga pergantian tempat ahli waris,

denga alasan tidak ada teks al-Qur’an dan al-Hadits mengenai hal

ini. Ketentuan mengenai siapa ahli waris dan bagian dari masing-

masing dari harta warisan telah ditetapkan secara pasti oleh al-

Qur’an dan al-Hadits. Ketentuan siapa-siapa ahli waris dan furudh

al-muqaddarah ini, tidak mungkin dilakukan perubahan dan

interpretasi lain, karena ketentuan ini bersifat qathi’iy.

Konstruksi fiqh waris yang tekstual ini ternyata

berbanding terbalik dengan realitas hukum sehari-hari yang

dipraktikan oleh masyarakat muslim, terutama masyarakat yang

sangat kental dengan hukum adat. Bila diteliti lebih jauh, banyak

masalah kewarisan yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat yang memerlukan tafsiran baru dan ijtihad, sehingga

hukum kewarisan Islam mampu memenuhi kebutuhan hukum

masyarakat. Kehadiran para pemikir muslim seperti Ibn Katsir,

Imam Thabary, Imam Qurtuby, Abduh, Imam Maraghi, Ali As-

Shabuni, Sayyid Sabiq, Yusuf Musa, Fazlurrahma, Yusuf

Qaradhawy dan berbagai pemikir lain telah memberikan nuansa

baru terhadap pemikiran hukum kewarisan Islam. 216

Para pemikir ini memberikan tafsiran baru terhadap

beberapa ketentuan dalam hukum kewarisan termasuk di

215 Muhammad Ali as-Shabuni, op.cit., hlm. 15.

216 Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; op.cit., hlm. 186.

tempat ahli waris, karena secara konseptual lembaga tidak dikenal

dalam konstruksi fiqh al-waris (al-faraidh), namun secara

subtansial, sebagian besar masyarakat mempraktikan konsep

pergantian tempat ahli waris. Realitas dan praktik hukum

masyarakat ini tidak dapat dibiarkan, karena praktik seperti itu

tidak dapat menjamin seorang cucu mendapat hak warisnya dari

kakek, dengan lasan ayahnya telah terlebih dahulu meninggal

dunia.

Pasal-pasal pergantian tempat ahli waris dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) harus mampu memenuhi rasa keadilan

masyarakat, dengan tidak melanggar prinsip dan nilai etis dari

hukum kewarisa Islam. Di sinilah urgensitas tulisan ini.

Analisis Fiqh

Al-Qur’an dan Sunnah adalah dalil dan sekaligus sebagai

sumber bagi fiqh. 213 Al-Qur’an dan Sunnah adalah landasan utama

perumusan hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan adalah

hukum yang berkaitan dengan pengalihan harta dari si mayit

kepada orang yang ditinggalkannya berdasarkan ketentuan

hukum syara’.214 Subtansi hukum kewarisan meliputi pewaris, ahli

waris, harta warisan, dan bagian serta mekanisme distribusi harta

warisan kepada ahli waris yang berhak berdasarkan ketentuan al-

Qur’an dan al-Hadits.

Sebagian fuqaha’ terutama dari kalangan Malikiyah,

Syafi’iyah dan Hanabilah memahami hukum kewarisan Islam

sebagai hukum yang sudah final, rigid dan pasti, sehingga tidak

mungkin diberikan tafsiran atau makna lain, selain yang tersebut

213 Ali Hasaballah, Ushul at-Tasyri’ al-Islamy, Cairo : Dar ibn ‘Ashashah, 1995, hlm.

78.

214 Muhammad Yusuf Musa, Ahkam at-Tirkah fil Islam, Cairo : Dar al-Ma’arif, 1978,

hlm.12.

Page 267: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

244

antaranya mengenai ‘pergantian tempat ahli waris’. Para

pemikiran kontemporer cenderung memberikan hak waris kepada

cucu walaupun ayahnya telah terlebih dahulu meninggal dunia.

Persoalan pergantian tempat ahli waris adalah persoalan

ijtihadiyah, dan ternyata dalam fiqh kewarisan yang dibangun oleh

ulama klasik menyimpan problema yang harus diselesaikan dalam

konteks kekinian. Landasan utama hukum kewarisan adalah ayat

al-Qur’an terutama surah an-Nisa’ ayat 11 (yushikumullahu fi

awladikum lizzakari mitslu al-unsayaini). Imam al-Qurtuby

menjadikan ayat ini sebagai salah satu ayat al-Qur’an yang

memberikan indikasi bahwa cucu mendapatkan harta warisan dari

kakek, walaupun ayahnya telah meninggal dunia terlebih dahulu.

Imam Qurtuby memaknai kata “awlad” yang terdapat dalam surah

an-Nisa’ ayat 11 bukan hanya untuk anak laki-laki (awladun adalah

jamak dari kata waladun), akan tetapi juga kepada makna

keturunan ke bawah. 217 Lebih jauh Imam al-Qurtuby memaknai

kata “awlad” bukan hanya anak laki-laki, tetapi juga termasuk anak

perempuan. Makna ini tersurat dari kandungan surah an-Nisa’ ayat

11 yang artinya ; “Allah mewajibkan kamu tentang “awlad” (anak-

anak kamu), buat seorang anak laki-laki (adalah) seperti bahagian

dua anak perempua”.218 Pandangan Imam Qurtuby ini

bersumber/berasal dari tafsir Ibn Abbas terhadap makna awlad di

dalam surah an-Nisa’ ayat 11.219

Al-Maraghi, Sayyid Sabiq dan Yusuf Qaradhawy juga tidak

menolak lembaga pergantian tempat ahli waris, karena mereka

juga cenderung memberikan tafsir terhadap makna “awlad”

dengan makna keturunan sampai ke bawah, yang mencakup tidak

hanya keturunan dari garis laki-laki, tetapi juga keturunan dari

217 Imam Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby, Beirut : Dar al-Fikr al-‘Araby, 2006, hlm. 412.

218 I b i d., hlm. 421-422.

219 I b i d.,

Page 268: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

245

garis anak perempuan. 220 Para ahli fiqh ini memandang persoalan

pergantian tempat ahli waris sebagai suatu ijtihad, yang

menempatkan cucu pada posisi ayahnya yang meninggal dunia

terlebih dahulu dari kakeknya, dan ia berhak mendapatkan harta

warisan dari kakeknya dan bagian harta warisan untuknya sesuai

dengan hak pada posisi ayahnya. Riset para ulama Azhar ini,

menemukan bahwa cucu walaupun orang tuanya terlebih

dahulu meninggal dunia, namun peluang cucu untuk mendapat-

kan harta warisaan dari kakeknya tetap terbuka, apalagi cucunya

tersebut berada dalam keadaan miskin, sehingga ia mesti

mendapatkan bagian harta warisan dari kakeknya pada porsi dan

psoisi ayahnya yang terlebih dahulu meninggal dunia. Ini adalah

salah satu bentuk keadilan dalam hukum kewarisan Islam. 221

Di Indonesia, pemikiran tentang adanya lembaga

pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam

diperbincangkan oleh Hazairin. Hazairin menyatakan bahwa

dalam hukum kewarisan Islam sebenarnya ada ruang bagi

lembaga pergantian tempat ahli waris. Hazairin merujuk Surah an-

Nisa’ ayat 33 sebagai landasan adanya institusi pergantian tempat

ahli waris dalam hukum Islam. Dalam Surah an-Nisa’ ayat 33

disebutkan: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-

pewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orang-orang yang kamu

sumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka

bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks ayat 33

surah an-Nisa’ mengandung makna bahwa Allah mengadakan

220 Imam Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cairo ; Maktabah al-Islamiyah, 1982, hlm.

367; Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 599; Yusuf al-Qaradhawy, Kumpulan Ijtihad Kontemporer,

Jakarta : Firdaus, 1990, hlm. 213.

221 Yusuf al-Qaradhawy, I b i d., 214.

antaranya mengenai ‘pergantian tempat ahli waris’. Para

pemikiran kontemporer cenderung memberikan hak waris kepada

cucu walaupun ayahnya telah terlebih dahulu meninggal dunia.

Persoalan pergantian tempat ahli waris adalah persoalan

ijtihadiyah, dan ternyata dalam fiqh kewarisan yang dibangun oleh

ulama klasik menyimpan problema yang harus diselesaikan dalam

konteks kekinian. Landasan utama hukum kewarisan adalah ayat

al-Qur’an terutama surah an-Nisa’ ayat 11 (yushikumullahu fi

awladikum lizzakari mitslu al-unsayaini). Imam al-Qurtuby

menjadikan ayat ini sebagai salah satu ayat al-Qur’an yang

memberikan indikasi bahwa cucu mendapatkan harta warisan dari

kakek, walaupun ayahnya telah meninggal dunia terlebih dahulu.

Imam Qurtuby memaknai kata “awlad” yang terdapat dalam surah

an-Nisa’ ayat 11 bukan hanya untuk anak laki-laki (awladun adalah

jamak dari kata waladun), akan tetapi juga kepada makna

keturunan ke bawah. 217 Lebih jauh Imam al-Qurtuby memaknai

kata “awlad” bukan hanya anak laki-laki, tetapi juga termasuk anak

perempuan. Makna ini tersurat dari kandungan surah an-Nisa’ ayat

11 yang artinya ; “Allah mewajibkan kamu tentang “awlad” (anak-

anak kamu), buat seorang anak laki-laki (adalah) seperti bahagian

dua anak perempua”.218 Pandangan Imam Qurtuby ini

bersumber/berasal dari tafsir Ibn Abbas terhadap makna awlad di

dalam surah an-Nisa’ ayat 11.219

Al-Maraghi, Sayyid Sabiq dan Yusuf Qaradhawy juga tidak

menolak lembaga pergantian tempat ahli waris, karena mereka

juga cenderung memberikan tafsir terhadap makna “awlad”

dengan makna keturunan sampai ke bawah, yang mencakup tidak

hanya keturunan dari garis laki-laki, tetapi juga keturunan dari

217 Imam Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby, Beirut : Dar al-Fikr al-‘Araby, 2006, hlm. 412.

218 I b i d., hlm. 421-422.

219 I b i d.,

Page 269: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

246

mawali untuk si fulan dari harta peninggalan orang tua dan

keluarga dekat serta pihak allazina ‘aqadat aymanukum, dan

berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya.

Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata

walidain dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi

pewaris adalah orang tua (ayah-ibu), maka ahli waris adalah anak

dan atau mawali anak. Jika anak itu masih hidup, tentu merekalah

yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan ayat 11

surah an-Nisa’. Sebaliknya jika anaknya tidak ada lagi maka cucu

merupakan mawali dari kakek, sehingga ia dapat menempatkan

posisi ayah untuk menerima harta warisan dari kakeknya yang

meninggal dunia.222

Pandangan Hazairin ini ditolak sebagian basar masyarakat

muslim di Indonesia, karena ayat 33 surah an-Nisa’ bukan

memberikan jalan untuk pergantian tempat ahli waris. Sebagian

Ulama di Aceh misalnya, masih tetap memahami bahwa surah an-

Nisa’ ayat 11 adalah pintu yang menutup adanya pergantian

tempat ahli waris. Kata awlad dipahami dengan makna hanya

anak laki-laki dan keturunannya yang masih hidup, sehingga harta

itu hanya diberikan kepada ahli waris yang secara fisik masih

hidup dan ada pada saat pewaris meninggal dunia.223 Pemahaman

ini yang melahirkan konsekuensi bahwa tidak ada pergantian

tempat ahli waris. Ayat-al-Qur’an dan al-Hadits tidak satu pun yang

memberikan penjelasan kongkrit tentang ada tidaknya konsep

pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam.

Mengingat hukum kewarisan Islam dinyatakan sebagai hukum

rigid, ketat dan tidak dapat diinterpreasikan, maka tidak adanya

hak bagi cucu yang orang tuanya meninggal dunia terlebih

dahulu. Seorang cucu tidak dapat menempat posisi ayah atau

222 Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral...,op.cit., hlm. 28.

223 Muhammad Amin al Asyi, Khulashah Ilmu Faraidh, (Naskah Klasik), hlm. 67.

Page 270: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

247

ibunya yang meninggal dunia terlebih dahulu dari kakeknya,

untuk memperoleh harta warisan dari kakeknya. Oleh karena itu,

para fuqaha ini menolak adanya pergantian tempat ahli waris bagi

cucu, karena ketentuan al-Qur’an dan al-Hadits sudah sangat jelas

dan kongkrit mengenai siapa-siapa ahli waris, ketentuan bagian

warisan, dan cara pembagiannya.

Bila ditelusuri secara seksama kitab-kitab fiqh mawaris

(faraidh) terutama dari kitab-kitab fiqh klasik, hampir tidak

ditemukan ketentuan ahli waris pengganti, kecuali hanya dalam

menentukan besarnya bagian ahli waris dzawil arham bagi

mazhab ahl tanzil, bila tidak dijumpai ahli waris dari golongan

zawil furudh dan ahli waris ashabah. Oleh karenanya dalam kitab-

kitab fiqh tidak akan ditemukan makna ahli waris pengganti.

Istilah penggantian tempat ahli waris hanya dikenal dalam hukum

Belanda dengan istilah plaatsvervulling., Makna pergantian tempat

dalam hukum waris yaitu meninggal dunianya seseorang dengan

meninggalkan cucu yang orang tuanya telah meinggal dunia

terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orang tua yang

telah meninggal dunia terlebih dahulu untuk mendapatkan

warisan dari kakek atau neneknya. Besar bagian yang diterima oleh

seorang cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima

oleh orang tuanya sekiranya mereka masih hidup.

Bila ditelusuri lebih jauh istilah dan praktek pergantian

tempat ahli waris juga dikenal dalam hukum adat, walaupun

praktek ini tidak sama dengan peluang yang ada dalam hukum

kewarisan Islam. Karena dalam praktek hukum adat hak bagi

pengganti tidak persis sama dengan orang yang diganti, dan

sangat tergatung kepada realitas dan kemampuan ekonomi yang

dimiliki oleh cucu, dan jumlah besaran dari harta peninggalan.

Ketidaksamaan bagian dapat dilihat dari subtansi pembahasan

mawali untuk si fulan dari harta peninggalan orang tua dan

keluarga dekat serta pihak allazina ‘aqadat aymanukum, dan

berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya.

Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata

walidain dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi

pewaris adalah orang tua (ayah-ibu), maka ahli waris adalah anak

dan atau mawali anak. Jika anak itu masih hidup, tentu merekalah

yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan ayat 11

surah an-Nisa’. Sebaliknya jika anaknya tidak ada lagi maka cucu

merupakan mawali dari kakek, sehingga ia dapat menempatkan

posisi ayah untuk menerima harta warisan dari kakeknya yang

meninggal dunia.222

Pandangan Hazairin ini ditolak sebagian basar masyarakat

muslim di Indonesia, karena ayat 33 surah an-Nisa’ bukan

memberikan jalan untuk pergantian tempat ahli waris. Sebagian

Ulama di Aceh misalnya, masih tetap memahami bahwa surah an-

Nisa’ ayat 11 adalah pintu yang menutup adanya pergantian

tempat ahli waris. Kata awlad dipahami dengan makna hanya

anak laki-laki dan keturunannya yang masih hidup, sehingga harta

itu hanya diberikan kepada ahli waris yang secara fisik masih

hidup dan ada pada saat pewaris meninggal dunia.223 Pemahaman

ini yang melahirkan konsekuensi bahwa tidak ada pergantian

tempat ahli waris. Ayat-al-Qur’an dan al-Hadits tidak satu pun yang

memberikan penjelasan kongkrit tentang ada tidaknya konsep

pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam.

Mengingat hukum kewarisan Islam dinyatakan sebagai hukum

rigid, ketat dan tidak dapat diinterpreasikan, maka tidak adanya

hak bagi cucu yang orang tuanya meninggal dunia terlebih

dahulu. Seorang cucu tidak dapat menempat posisi ayah atau

222 Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral...,op.cit., hlm. 28.

223 Muhammad Amin al Asyi, Khulashah Ilmu Faraidh, (Naskah Klasik), hlm. 67.

Page 271: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

248

kitab Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Kitab Nihayat

al-Muhtaj karya Ar-Ramli.

Dalam kaitan pergantian tempat ahli waris patut dianalisis

pandangan Ar-Ramli, salah seorang ulama Syafi’iyah, yang

menyatakan bahwa cucu laki-laki dapat menggantikan ayahnya

yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari

anak perempuan tidak mungkin menggantikan posisi ayahnya.

Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orang tuanya,

apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih

hidup. Namun demikian, jika anak laki-laki masih ada, maka cucu

tersebut tidak mendapatkan apa-apa.224 Pandangan Ar-Ramli

ternyata kemudian dielaborasi lebih jauh oleh ulama Azhar yang

memberikan peluang kepada cucu untuk menempati posisi

ayahnya, guna mendapatkan harta warisan dari kakeknya yang

meninggal dunia. Realitas ini yang menggugah para pengkaji

hukum kewarisan guna menemukan nilai-nilai keadilan melalui

adanya institusi pergantian tempat ahli waris.

Analisis KHI

Pada dasarnya, berbagai kitab fiqh waris klasik tidak

membahas secara eksplisit konsep pergantian ahli waris

sebagaimana dalam konsep hukum perdata Barat (BW) atau

hukum adat, namun fiqh telah mengenal ahli waris yang

meninggal lebih dahulu dari pewaris yang digantikan

kedudukannya oleh anak dan keturunannya. Namun istilah yang

digunakan bukan ahli waris pengganti, akan tetapi istilah “tanzil”.

Meskipun istilah yang digunakan dalam fiqh adalah istilah tanzil,

namun pada hakikatnya tetap mengandung makna ahli waris

pengganti, namun tidak sempurna, karena yang dianggap berhak

dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris pengganti

224224 Ar-Ramly,Nihayat al-Muhtaj, Cairo : Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t., hlm. 362.

Page 272: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

249

hanyalah keturunan dari anak laki-laki, yang meninggal lebih

dahulu dari pewaris. Dengan kata lain hanya cucu laki-laki dan

cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki (ibnu-ibni dan bintu

ibni) yang dapat menerima warisan dari kakeknya, dan itu pun

bagian yang telah ditentukan secara pasti, baik ashabul furudh

maupun ashabah.

Konsep tanzil ini dapat dilihat pada contoh bintu ibn (anak

perempuan dari anak laki-laki), jika menerima harta warisan

bersama dengan seorang anak perempuan, maka ia mendapat

1/6 bagian, sedangkan cucu laki-laki maupun cucu perempuan

dari keturunan anak perempuan tidak dapat menerima bagian

warisan dari kakek/neneknya karena ia termasuk dalam golongan

dzawil arham. Alur pikir seperti ini yang menyebabkan Kompilasi

Hukum Islam mengakomodir adanya institusi pergantian tempat

ahli waris dengan beberapa perubahan dan pembaruan.

Pembaruan hukum kewarisan Islam di Indonesia melalui

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah berupa pemberian hak

seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada

keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal

185 Kompilasi Hukum Islam yang lengkapnya adalah :

a. Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si

pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,

kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

b. Bagian ahli waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris

yang sederajat dengan yang diganti.225

Ketentuan Pasal 185 KHI, dipertegas lagi dalam Buku

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tentang

asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti adalah :

225 Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah dan Ditbinbapera, 1998, hlm. 65.

kitab Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Kitab Nihayat

al-Muhtaj karya Ar-Ramli.

Dalam kaitan pergantian tempat ahli waris patut dianalisis

pandangan Ar-Ramli, salah seorang ulama Syafi’iyah, yang

menyatakan bahwa cucu laki-laki dapat menggantikan ayahnya

yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari

anak perempuan tidak mungkin menggantikan posisi ayahnya.

Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orang tuanya,

apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih

hidup. Namun demikian, jika anak laki-laki masih ada, maka cucu

tersebut tidak mendapatkan apa-apa.224 Pandangan Ar-Ramli

ternyata kemudian dielaborasi lebih jauh oleh ulama Azhar yang

memberikan peluang kepada cucu untuk menempati posisi

ayahnya, guna mendapatkan harta warisan dari kakeknya yang

meninggal dunia. Realitas ini yang menggugah para pengkaji

hukum kewarisan guna menemukan nilai-nilai keadilan melalui

adanya institusi pergantian tempat ahli waris.

Analisis KHI

Pada dasarnya, berbagai kitab fiqh waris klasik tidak

membahas secara eksplisit konsep pergantian ahli waris

sebagaimana dalam konsep hukum perdata Barat (BW) atau

hukum adat, namun fiqh telah mengenal ahli waris yang

meninggal lebih dahulu dari pewaris yang digantikan

kedudukannya oleh anak dan keturunannya. Namun istilah yang

digunakan bukan ahli waris pengganti, akan tetapi istilah “tanzil”.

Meskipun istilah yang digunakan dalam fiqh adalah istilah tanzil,

namun pada hakikatnya tetap mengandung makna ahli waris

pengganti, namun tidak sempurna, karena yang dianggap berhak

dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris pengganti

224224 Ar-Ramly,Nihayat al-Muhtaj, Cairo : Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t., hlm. 362.

Page 273: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

250

a. Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang

disebut dalam Pasal 174 KHI.

b. Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang

diatur berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris

pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam

Pasal 147 KHI. Di antara keturunan dari anak laki-

laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek

dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya. (Paman walaupun

keturunan dari kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti,

karena paman sebagai ahli waris langsung yang disebut

dalam Pasal 174 KHI).

Dengan demikian, Pasal 185 KHI menegaskan adanya

pergantian tempat ahli waris, dalam makna keturunan yang dapat

menggantikan posisi yang meninggal terlebih dahulu adalah

anaknya. Pasal 185 juga menegaskan bahwa ahli waris yang dapat

menduduki posisi pengganti adalah ahli waris yang berdasarkan

hukum atau putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tidak

dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat para pewaris; tidak dipersalahkan secara

menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah

melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun

penjara atau hukuman yang lebih berat.

Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI dapat dipahami bahwa

yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan dari

anak laki-laki dan keturunan anak perempuan. Hal ini bermakna

bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari

anak laki-laki dapat menjadi ahli waris pengganti, demikian pula

cucu laki-laki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak

perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti. Ketentuan ini

sangat berbeda dengan konsepsi fiqh waris yang tidak

membenarkan keturunan anak perempuan menjadi ahli waris

Page 274: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

251

pengganti (baca konsep tanzil), bahkan keturunan anak laki-laki

(cucu) tidak mendapat harta warisan, jika dalam ahli waris tersebut

terdapat anak laki-laki. Dengan demikian, cucu dari keturunan

anak laki-laki yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris

menjadi terhijab. Persoalannya adalah apa yang menjadi landasan

pikiran para perumus KHI terutama Pasal 185.

Yahya Harahap menjelaskan barangkali dasar pemikiran

yang dijadikan pertimbangan bagi perumus KHI dalam

merumuskan Pasal 185 adalah bertitik tolak pada alasan sosial

ekonomi. 226 Pada satu sisi, pasal ini mengaitkan dengan alasan

monopolistik atas harta warisan serta alasan kepatutan dan alasan

kemanusiaan pada sisi lain. Bukankah pada umumnya, anak yatim

yang ditinggalkan oleh ayah atau ibunya jauh lebih lemah dan

lebih sengsara dibandingkan dengan saudara ayah atau saudara

ibunya. Pada saat kakek atau nenek meninggal dunia, saudara

ayah atau saudara ibu lebih mapan ekonominya, sedangkan

mereka sebagai anak yatim, hidup terlantar. Pantaskah dan

manusiawikah, menyingkirkan mereka untuk mewarisi harta

kakek/nenek sebagai pengganti ayah atau ibunya. Bukankah

dalam hal seperti ini saudara-saudara mendiang ayah/ibunya

memonopoli harta warisan kakek/nenek, meskipun keadaan sosial

ekonomi mereka sudah mapan.227

Pasal 185 ayat (2) menyatakan bahwa ; bagian ahli waris

tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan

yang diganti. Ketentuan pasal ini menyimpan sejumlah

problematika porsi ahli waris pengganti. Hal ini dapat dilihat dari

contoh berikut :

226 M. Yahya Harahap, “Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan”, Majalah

Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996, hlm. 24.

227 I b i d.

a. Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang

disebut dalam Pasal 174 KHI.

b. Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang

diatur berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris

pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam

Pasal 147 KHI. Di antara keturunan dari anak laki-

laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek

dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya. (Paman walaupun

keturunan dari kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti,

karena paman sebagai ahli waris langsung yang disebut

dalam Pasal 174 KHI).

Dengan demikian, Pasal 185 KHI menegaskan adanya

pergantian tempat ahli waris, dalam makna keturunan yang dapat

menggantikan posisi yang meninggal terlebih dahulu adalah

anaknya. Pasal 185 juga menegaskan bahwa ahli waris yang dapat

menduduki posisi pengganti adalah ahli waris yang berdasarkan

hukum atau putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tidak

dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat para pewaris; tidak dipersalahkan secara

menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah

melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun

penjara atau hukuman yang lebih berat.

Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI dapat dipahami bahwa

yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan dari

anak laki-laki dan keturunan anak perempuan. Hal ini bermakna

bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari

anak laki-laki dapat menjadi ahli waris pengganti, demikian pula

cucu laki-laki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak

perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti. Ketentuan ini

sangat berbeda dengan konsepsi fiqh waris yang tidak

membenarkan keturunan anak perempuan menjadi ahli waris

Page 275: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

252

Kasus Pertama

Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki, cucu dari anak

laki-laki dan seorang anak perempuan, serta saudara laki-laki

kandung, dan harta warisan Rp. 180 juta.

• Ayah : 1/6

• Anak laki-laki : asabah

• Cucu dari anak laki-laki : asabah

• Anak perempuan : asabah bil ghairi

• Saudara laki-laki kandung : mahjub karena ada anak.

Pembagiannya :

Asal masalah : 6

• Ayah : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta

• Anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta

• Cucu dari anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta

• Anak perempuam : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta +

: 18 jumlah = Rp.180 juta

Dari contoh ini, bila diterapkan secara tekstual

plaatsvervulling, maka ahli waris pengganti adalah termasuk

golongan asabah dan dalam suatu kewarisan, bisa jadi bagian ahli

waris pengganti (cucu) ternyata lebih besar dari bagian yang

diperoleh anak perempuan pewaris yang masih hidup akan

mendapat separoh dari cucu. Kalau ahli waris yang diganti itu anak

perempuan, maka ia akan mendapat bagian seperti anak

perempuan. Hal ini tentu tidak adil dan harus dicari jalan yang

terbaik.

Kasus Kedua

Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, seorang

cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang cucu perempuan

dari anak perempuan dengan harta warisan 7 milyar, dengan

Page 276: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

253

menerapkan cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6

karena ada nash, dan cucu perempuan sama dengan anak

perempuan, karena ia adalah ahli waris pengganti, maka

pembagiannya adalah :

• Seorang anak perempuan : 2/6

• Cucu pr dari anak laki-laki : 1/6 sesuai dengan hadits takmil

Cucu pr dari anak pr : 2/6 karena posisi sebagai ahli

waris Pengganti.

Pembagiannya :

Asal masalah : 6

• Anak pr : 2/6 ; 3/7 x 7 M = Rp. 3 M

• Cucu pr dari : 1/6 ; 1/7 x 7 M = Rp. 1M

anak laki-laki

• Cucu pr dari : 2/6 ; 3/7 x 7 M = Rp. 3 M +

anak pr

: 7 (aul) = Rp.7 milyar

Dari contoh kasus ini terlihat posisi cucu perempuan dari

anak laki-laki rugi dan dirasa kurang adil, karena hanya

mendapatkan 1/6 bagian, hal ini terjadi berdasarkan nash hadits.

Sedangkan cucu perempuan dari anak perempuan aman dengan

mendapatkan sama bagian dengan anak perempuan, karena tidak

ada nash yang menetapkan bagian tertentu, padahal dalam

pembagian faraidh, posisi cucu perempuan dari anak perempuan

termasuk ke dalam golongan dzawil arham.

Kasus Ketiga

Kasus ahli waris terdiri atas seorang anak perempuan,

seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang cucu

perempuan dari anak perempuan. Harta warisannya 5 milyar,

Kasus Pertama

Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki, cucu dari anak

laki-laki dan seorang anak perempuan, serta saudara laki-laki

kandung, dan harta warisan Rp. 180 juta.

• Ayah : 1/6

• Anak laki-laki : asabah

• Cucu dari anak laki-laki : asabah

• Anak perempuan : asabah bil ghairi

• Saudara laki-laki kandung : mahjub karena ada anak.

Pembagiannya :

Asal masalah : 6

• Ayah : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta

• Anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta

• Cucu dari anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta

• Anak perempuam : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta +

: 18 jumlah = Rp.180 juta

Dari contoh ini, bila diterapkan secara tekstual

plaatsvervulling, maka ahli waris pengganti adalah termasuk

golongan asabah dan dalam suatu kewarisan, bisa jadi bagian ahli

waris pengganti (cucu) ternyata lebih besar dari bagian yang

diperoleh anak perempuan pewaris yang masih hidup akan

mendapat separoh dari cucu. Kalau ahli waris yang diganti itu anak

perempuan, maka ia akan mendapat bagian seperti anak

perempuan. Hal ini tentu tidak adil dan harus dicari jalan yang

terbaik.

Kasus Kedua

Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, seorang

cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang cucu perempuan

dari anak perempuan dengan harta warisan 7 milyar, dengan

Page 277: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

254

dengan menerapkan cucu perempuan mendapat 1/6, bagiannya

sesuai dengan nash hadits, maka pembangiannya sebagai berikut :

• Seorang anak perempuan : 1/2

• Cucu pr dari anak laki-laki : 1/6

• Cucu pr dari anak pr : 1/6

Pembagiannya:

Asal masalah : 6

• Anak pr : 2/6 ; 3/5 x 5 milyar = Rp. 3 milyar

• Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar = Rp. 1 milyar

anak laki-laki

• Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar = Rp. 1 milyar +

anak pr: 7 (rad) jumlah = Rp. 7 milyar

Dari contoh ini terlihat adanya perimbangan antara cucu

sama-sama mendapat 1/6 bagian dengan tanpa mengurangi

maksud Pasal 185 KHI yang tidak boleh melebihi ahli waris yang

sederajat. Contoh ini barangkali yang mendekati keadilan di antara

sesama ahli waris pengganti.

Contoh-contoh di atas digunkaan untuk menguji

ketentuan Pasal 185 KHI dalam terapan di Pengadilan Agama. Oleh

karena itu, seorang hakim harus mampu melakukan terobosan

baru dalam menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, sehingga nilai

keadilan dan kesetaraan akan terwujud. Alur pikiran KHI, terutama

dalam pergantian tempat ahli waris adalah ; harta benda dalam

keluarga memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan

keturunannya yang masih hidup, dan anak-anak orang yang

meninggal dunia tersebut, dapat menggantikan kedudukan

bapaknya sebagai ahli waris terhadap harta benda kakeknya. 228

228 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982, hlm.

43.

Page 278: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

255

Analisis Praktik Pengadilan

Pergantian tempat ahli waris (plaatsvervulling) di Indonesia

berakar pada hukum adat, dan kemudian diperkuat lagi oleh

hukum perdata Belanda (BW) dan di praktikan pada sejumlah

pengadilan Hindia Belanda. Realitas ini memperkuat secara formal

dan non formal adanya lembaga pergantian tempat ahli waris.

Pergantian tempat ahli waris bermula dari adat-istiadat dan tradisi

rakyat ugeran, yang merupakan kebudayaan asli masyarakat

Indonesia. Lembaga ini menjadi dasar hukum bagi penyelesaian

sengketa kewarisan. Penerapan ahli waris pengganti hanya dapat

dilaksanakan dalam garis keturunan ke bawah, dan tertutup untuk

garis keturunan keatas.

Pada zaman Hindia Belanda, institusi pergantian tempat

ahli waris yang dikenal dengan istilah plaatsvervulling, didasarkan

pada Yurisprudensi Raad van Justitie (RvJ) Putusan Kamar III/Adat

Kamar Raad van Justitie Betawi, tanggal 16 Desember 1939 dalam

Indisch Tijdcgrift van Het Recht 140 halaman 239 yang berbunyi :

Apabila seseorang anak lebih dahulu meninggal dunia sipeninggal

warisan, dan anak tersebut meninggalkan anak-anak, maka cucu-

cucu dari peninggal warisan ini menggantikan orang tuannya,

mereka bersama-sama berhak atas bagian dari harta peninggalan

kakek-nenek mereka.

Pada zaman kemerdekaan, praktik pergantian tempat ahli

waris tetap dipertahankan pada lembaga peradilan di Indonesia.

Hal ini terbukti dari adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI

tentang lembaga pergantian tempat ahli waris berupa Putusan

Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dan Putusan

Mahkamah Agung RI No. Reg. 141/K/Sip/1959. Dalam Putusan

Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dinyatakan bahwa ;

menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, hak

dengan menerapkan cucu perempuan mendapat 1/6, bagiannya

sesuai dengan nash hadits, maka pembangiannya sebagai berikut :

• Seorang anak perempuan : 1/2

• Cucu pr dari anak laki-laki : 1/6

• Cucu pr dari anak pr : 1/6

Pembagiannya:

Asal masalah : 6

• Anak pr : 2/6 ; 3/5 x 5 milyar = Rp. 3 milyar

• Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar = Rp. 1 milyar

anak laki-laki

• Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar = Rp. 1 milyar +

anak pr: 7 (rad) jumlah = Rp. 7 milyar

Dari contoh ini terlihat adanya perimbangan antara cucu

sama-sama mendapat 1/6 bagian dengan tanpa mengurangi

maksud Pasal 185 KHI yang tidak boleh melebihi ahli waris yang

sederajat. Contoh ini barangkali yang mendekati keadilan di antara

sesama ahli waris pengganti.

Contoh-contoh di atas digunkaan untuk menguji

ketentuan Pasal 185 KHI dalam terapan di Pengadilan Agama. Oleh

karena itu, seorang hakim harus mampu melakukan terobosan

baru dalam menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, sehingga nilai

keadilan dan kesetaraan akan terwujud. Alur pikiran KHI, terutama

dalam pergantian tempat ahli waris adalah ; harta benda dalam

keluarga memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan

keturunannya yang masih hidup, dan anak-anak orang yang

meninggal dunia tersebut, dapat menggantikan kedudukan

bapaknya sebagai ahli waris terhadap harta benda kakeknya. 228

228 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982, hlm.

43.

Page 279: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

256

menggantikan seseorang ahli waris yang meninggal dunia terlebih

dahulu daripada pewarisnya, ada pada keturunan garis menurun.

Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg.

141/K/Sip/1959 diputuskan ; penggantian waris dalam garis ke atas

pun mungkin pula berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang

hidup di kalangan masyarakat yang bersangkutan.

Dari beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai

pergantian tempat ahli waris dapat dtemukan paling tidak dua hal.

Pertama, yurisprudensi Mahkamah Agung hanya berlaku di

lingkup peradilan umum, karena substansi pergantian ahli waris

masih mengacu pada hukum adat. Mahkamah Agung, hanya

memperkuat hukum yang hidup (living law) terutama mengenai

ahli waris pengganti. Kedua, pergantian tempat ahli waris, bukan

hanya berlaku bagi keturunan di bawah baik dari garis keturunan

laki-laki maupun perempuan, tetapi juga berlaku untuk garis ke

atas berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Mahkamah Agung

tidak merinci tingkat keadilan dan kepatutan, penggunaan ahli

waris pengganti dari garis lurus ke atas, sehingga Mahkamah

Agung terkesan membiarkan masyarakat untuk menentukan

sendiri.

Yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai penentuan

ahli waris pengganti dari garis ke atas sejalan dengan teori air

mengalir (kran) yang dikemukakan oleh Djojodigoeno. Dia

menyatakan bahwa air akan mengalir ke bawah bila kran dibuka,

dan akan mencari tempat ke atas bila krannya ditutup. 229 Teori ini

juga sejalan dengan teori hukum adat yang berlaku di kalangan

masyarakat Jawa.

229 Djojodigoeno dan Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middle Jawa, (terj),

1942, t.tp. hlm. 12.

Page 280: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

257

Di lingkungan Peradilan Agama, penerapan ketentuan

hukum pergantian ahli baru dimulai dilaksanakan sejak lahirnya

Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991. Sebelumnya,

lingkungan Peradilan Agama tidak mengenal adanya pergantian

tempat ahli waris, karena hukum materil yang dipergunakan pada

Pengadilan Agama adalah kitab-kitab fiqh yang tidak memberikan

ruang bagi penerapan konsep pergantian ahli waris. Pada sisi lain,

keberanian hakim juga cuku terbatas untuk keluar kitab-kitab fiqh

standar yang menjadi hukum materiil pada Pengadilan Agama,

dan sangat terbatas kemampuan untuk menggali hukum-hukum

yang hidup di dalam masyarakat (living law).

Kompilasi Hukum Islam membawa perubahan yang agak

fundamnetal terutama dalam hal pergantian tempat ahli waris,

namun di dalam praktek pada Pangadilan Agama masih banyak

ditemukan kendala-kendala penafsiran Pasal 185 KHI,

sebagaimana disebutkan dalam contoh-contoh penyelesaian

perkara pergantian tempat ahli waris pada sub bab analisis KHI

dalam tulisan ini. Contoh kendala penerapan Pasal 185 KHI di

lingkungan Peradilan Agama terlihat dari putusan Pengadilan

Agama di Selong Kab. Lombok Timur No. 111/Pdt/G/1997/PA.SEL,

tanggal 26 Agustus 1997 M, bertepatan denga 22 Rabiul Akhir

1418 H.

Putusan tingkat pertama ini menerapkan ketentuan Pasal

158 KHI yang menetapkan ahli waris pengganti yang terdiri atas ;

cucu perempuan dari anak perempuan (1/18 bagian) dan cucu

laki-laki dari anak perempuan (2/18 bagian). Putusan PA Selong ini

dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Mataram dengan

nomor putusan No. 04/Pdt-G/1998/PTA.MTR, tanggal 28 Maret

1998 bertepatan dengan tangga 29 Dzul Qaidah 1418 H. PTA

Mataram beralasan bahwa ahli waris pengganti yang ditetapkan

oleh PA Selong termasuk dalam kategori zhawil arham, sehingga ia

menggantikan seseorang ahli waris yang meninggal dunia terlebih

dahulu daripada pewarisnya, ada pada keturunan garis menurun.

Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg.

141/K/Sip/1959 diputuskan ; penggantian waris dalam garis ke atas

pun mungkin pula berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang

hidup di kalangan masyarakat yang bersangkutan.

Dari beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai

pergantian tempat ahli waris dapat dtemukan paling tidak dua hal.

Pertama, yurisprudensi Mahkamah Agung hanya berlaku di

lingkup peradilan umum, karena substansi pergantian ahli waris

masih mengacu pada hukum adat. Mahkamah Agung, hanya

memperkuat hukum yang hidup (living law) terutama mengenai

ahli waris pengganti. Kedua, pergantian tempat ahli waris, bukan

hanya berlaku bagi keturunan di bawah baik dari garis keturunan

laki-laki maupun perempuan, tetapi juga berlaku untuk garis ke

atas berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Mahkamah Agung

tidak merinci tingkat keadilan dan kepatutan, penggunaan ahli

waris pengganti dari garis lurus ke atas, sehingga Mahkamah

Agung terkesan membiarkan masyarakat untuk menentukan

sendiri.

Yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai penentuan

ahli waris pengganti dari garis ke atas sejalan dengan teori air

mengalir (kran) yang dikemukakan oleh Djojodigoeno. Dia

menyatakan bahwa air akan mengalir ke bawah bila kran dibuka,

dan akan mencari tempat ke atas bila krannya ditutup. 229 Teori ini

juga sejalan dengan teori hukum adat yang berlaku di kalangan

masyarakat Jawa.

229 Djojodigoeno dan Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middle Jawa, (terj),

1942, t.tp. hlm. 12.

Page 281: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

258

tidak berhak mendapatkan harta warisan melalui ahli waris

pengganti.

Keputusan PTA Mataram akhirnya juga dibatalkan oleh

Mahkamah Agung RI No. 354.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober 1999.

Mahkamah Agung dalam amar putusan putusannya menyatakan

bahwa putusan judex factie PTA telah salah menerapkan hukum,

sehingga harus dibatalkan dan mengadili sendiri perkara tersebut.

Mahkamah Agung menetapkan ahli waris pengganti sebagaimana

putusan PA Selong. Kaidah hukum yang dapat dipetik dari

putusan MA adalah ; (1) khusus harta warisan yang terjadi pada

tahun 1988, dapat diterapkan KHI, karena gugatan perdata

masalah harta warisan tersebut diajukan ke Pangadilan Agama

pada tahun 1997, setelah berlakunya KHI; (2) menurut KHI Pasal

185, ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris

dapat digantikan oleh anaknya yang disebut ahli waris pengganti,

yang bagiannya dari harta warisan tersebut tidak boleh melebihi

dari bagian ahli waris yang sederajat yang diganti dalam perkara

ini.

Gambaran di atas menunjukan bahwa penerapan Pasal

158 KHI, ternyata tidak mudah dan memerlukan keseriusan para

hakim untuk melaksanakan ijtihadnya, sehingga putusan yang

diberikan benar-benar terwujud rasa keadilan di tengah-tengah

masyarakat. Hal yang sama juga hampir dapat dipastikan terjadi

pada lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia.

Analisis Praktik Masyarakat

Di Indonesia, khususnya di Aceh, masalah pergantian

tempat ahli waris sampai hari ini masih terjadi perdebabatan

secara konseptual. Hal ini didasarkan pada realitas kehidupan

Page 282: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

259

masyarakat Aceh yang kental dengan hukum Islam.230 Hukum adat

di Aceh merupakan penjelmaan substantif dari hukum Islam,

sehingga praktik-praktik adat di Aceh tidak dapat dilepaskan dari

prinsip-prinsip hukum Islam. Secara konseptual, sebagian ulama di

Aceh menolak konsep pergantian tempat ahli waris sebagaimana

tertuang dalam KHI, dengan alasan pergantian tempat ahli waris

tidak ditemukan ketentuannya secara tegas dalam ayat-ayat al-

Qur’an dan hadits Nabi SAW. 231 Meskipun demikian, ulama Aceh

tidak pernah menutup pintu terhadap adanya penafsiran dan

pembaruan terhadap hukum Islam. Ulama Aceh menerima tafsir

terhadap ketentuan-ketentuan waris dalam rangka perwujudan

nilai keadilan, kebersamaan, tanggung jawab dan menjunjung

tinggi hak-hak anak yatim. Atas dasar inilah masyarakat Aceh

“mempraktikan” substansi pergantian tempat ahli waris dalam

kehidupan masyarakat Aceh, walaupun secara konseptual tidak

menyebutkan secara eksplisit pergantian tempat ahli waris. Dalam

praktik kehidupan masyarakat Aceh, banyak ditemukan ahli waris

yang memberikan sedikit atau sebagaian harta untuk anak yatim

yang ditinggalkan orang tuanya.

Dalam hukum adat Aceh dikenal konsep patah titi atau

putoh tutu dalam hukum kewarisan.232 Konsep ini bermakna

bahwa seseorang cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal

dunia, maka ia tidak mendapatkan harta warisan dari kakeknya

bila kakek meninggal dunia, karena jembatannya sudah putus

yaitu ayah. Dalam hukum adat di Aceh disebutkan bahwa jika

seorang anak meninggal dunia, putuslah hubungan kewarisan

230 Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhokseumawe :

Nadiya Foundation, 2003, hlm. 78.

231 A. Halim Tosa, Praktek Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, Banda Aceh :

Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996, hlm 25.

232 Mohammad Said, Adat Aceh, Banda Aceh : P &K, 1980, hlm. 19,

tidak berhak mendapatkan harta warisan melalui ahli waris

pengganti.

Keputusan PTA Mataram akhirnya juga dibatalkan oleh

Mahkamah Agung RI No. 354.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober 1999.

Mahkamah Agung dalam amar putusan putusannya menyatakan

bahwa putusan judex factie PTA telah salah menerapkan hukum,

sehingga harus dibatalkan dan mengadili sendiri perkara tersebut.

Mahkamah Agung menetapkan ahli waris pengganti sebagaimana

putusan PA Selong. Kaidah hukum yang dapat dipetik dari

putusan MA adalah ; (1) khusus harta warisan yang terjadi pada

tahun 1988, dapat diterapkan KHI, karena gugatan perdata

masalah harta warisan tersebut diajukan ke Pangadilan Agama

pada tahun 1997, setelah berlakunya KHI; (2) menurut KHI Pasal

185, ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris

dapat digantikan oleh anaknya yang disebut ahli waris pengganti,

yang bagiannya dari harta warisan tersebut tidak boleh melebihi

dari bagian ahli waris yang sederajat yang diganti dalam perkara

ini.

Gambaran di atas menunjukan bahwa penerapan Pasal

158 KHI, ternyata tidak mudah dan memerlukan keseriusan para

hakim untuk melaksanakan ijtihadnya, sehingga putusan yang

diberikan benar-benar terwujud rasa keadilan di tengah-tengah

masyarakat. Hal yang sama juga hampir dapat dipastikan terjadi

pada lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia.

Analisis Praktik Masyarakat

Di Indonesia, khususnya di Aceh, masalah pergantian

tempat ahli waris sampai hari ini masih terjadi perdebabatan

secara konseptual. Hal ini didasarkan pada realitas kehidupan

Page 283: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

260

yang dimiliki oleh orang tua si anak yang sudah meninggal tadi

dengan keberadaan cucu (dalam hal ini keberadaan hubungan

kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorag cucu ini akan terhijab

oleh keberadaan saudara laki-laki dan perempuan si anak yang

meninggal dunia. Pandangan ini dikenal dengan patah titih atau

putoh tutu. 233 Dalam konsep ini, sang ayah berlaku sebagai titi

atau jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang

ayah meninggal, maka terputuslah hubungan (khususnya

hubungan penyebab) kewarisan antara kakek dan cucu.

Meskipun demikian, Islam memandang kemuliaan dan

keadilan bagi cucu atau anak yatim yang ditinggalkan orang

tuannya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan

sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim.

Selain itu dalam aturan adat Aceh, sang ulama yang menjadi saksi

dalam pembagian harta warisan tersebut, akan mendapat sedikit

bagian yang dikenal dengan istilah hak reheung (hak menanti dan

menyaksikan).234 Pemberian yang diberikan kepada anak yatim

tersebut (cucu) dan ulama ini tersebut, bukanlah disebut warisan,

akan tetapi hibah. Umumnya, jumlah yang diberikan kepada cucu

atau ulama tidak melebihi dari sepertiga (1/3) harta warisan dan

umumnya telah mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang

berhak.

Praktik hukum kewarisan adat Aceh, jelas terlihat

pandangan ganda dalam persolan pergantian tempat ahli waris

ini. Pada satu sisi para ulama Aceh menolak konsep pergantian

tempat ahli dengan memberlakukan konsep patah titi, namun

pada sisi lain praktik masyarakat cenderung memberikan sebagian

harta yang berasal dari harta warisan si kakek kepada sang cucu

233 I b i d.

234 Syahrizal Abbas, op.cit., hlm. 119.

Page 284: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

261

yang bapaknya (orang tuanya) terlebih dahulu meninggal dunia.

Pandangan ganda ini memerlukan “penjernihan”, sehingga cucu

dapat memperoleh hak warisan dari kakek, dan adanya jaminan

dan perlindungan hukum terhadap cucu yang yatim tersebut.

Realitas hukum ini, perlu dipertegas agar tidak terjadi

“penyembunyian hukum”, dan pemberian hak kewarisan kepada

orang lain yang secara ‘substantif’ tidak memiliki hubungan

hukum untuk mendapatkan harta warisan. Akibat dari dominasi

pandangan ulama yang menganut paham patah titi atau putoh

tutu, maka sedikit sekali sengketa kewarisan terkait pergantian

tempat ahli waris yang diselesaikan lewat jalur formal Mahkamah

Syar’iyah atau Pengadila Agama.

Praktik patah titi atau putoh tutu masih dipraktikan oleh

masyarakat Aceh. Penyelesaian kasus ini jarang ditempuh melalui

jalur formal ke Pengadilan, tetapi penyelesaiannya dilakukan

melalui adat dan agama dengan mengumpulkan orang tua

kampung, ulama dan kaum kerabat. Dengan demikian nampak

sedikit sekali kasus pergantian ahli waris yang diajukan ke

Mahkamah Syar’iyah. Dalam kenyataannya tidak sedikit anak

yatim yang diasuh oleh kakek atau nenek, karena orang tua

mereka meninggal akibat musibah gempa dan tsunami yang

melanda Aceh tahun 2004 yang lalu.

Penyelesaian sengketa kewarisan melalui jalur adat dan

agama, memang jauh lebih baik, namun harus ada kepastian

bahwa cucu mendapat jaminan dan perlindungan serta hak yang

pasti dari hukum, dari harta warisan kakeknya. Oleh karena itu,

ketentuan mengenai pergantian tempat ahli waris harus

mendapat pengakuan dalam hukum tertulis yang lebih mengikat

dan menjadi hukum materil pada Pengadilan Agama. Penjelasan,

diskusi dan sosialisasi terhadap konsep pergantian tempat ahli

waris harus terus menerus dilakukan kepada masyarakat agar

yang dimiliki oleh orang tua si anak yang sudah meninggal tadi

dengan keberadaan cucu (dalam hal ini keberadaan hubungan

kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorag cucu ini akan terhijab

oleh keberadaan saudara laki-laki dan perempuan si anak yang

meninggal dunia. Pandangan ini dikenal dengan patah titih atau

putoh tutu. 233 Dalam konsep ini, sang ayah berlaku sebagai titi

atau jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang

ayah meninggal, maka terputuslah hubungan (khususnya

hubungan penyebab) kewarisan antara kakek dan cucu.

Meskipun demikian, Islam memandang kemuliaan dan

keadilan bagi cucu atau anak yatim yang ditinggalkan orang

tuannya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan

sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim.

Selain itu dalam aturan adat Aceh, sang ulama yang menjadi saksi

dalam pembagian harta warisan tersebut, akan mendapat sedikit

bagian yang dikenal dengan istilah hak reheung (hak menanti dan

menyaksikan).234 Pemberian yang diberikan kepada anak yatim

tersebut (cucu) dan ulama ini tersebut, bukanlah disebut warisan,

akan tetapi hibah. Umumnya, jumlah yang diberikan kepada cucu

atau ulama tidak melebihi dari sepertiga (1/3) harta warisan dan

umumnya telah mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang

berhak.

Praktik hukum kewarisan adat Aceh, jelas terlihat

pandangan ganda dalam persolan pergantian tempat ahli waris

ini. Pada satu sisi para ulama Aceh menolak konsep pergantian

tempat ahli dengan memberlakukan konsep patah titi, namun

pada sisi lain praktik masyarakat cenderung memberikan sebagian

harta yang berasal dari harta warisan si kakek kepada sang cucu

233 I b i d.

234 Syahrizal Abbas, op.cit., hlm. 119.

Page 285: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

262

menumbuhkan kesadaran bahwa hukum kewarisan Islam

membawa keadilan, jaminan, dan perlindungan serta pemastian

keberlangsugan hidup generasi mendatang.

Penutup

Pergantian tempat ahli waris merupakan salah satu bentuk

pembaruan hukum Islam, melalui jalur KHI. Konstruksi pergantian

tempat ahli waris masih banyak menyisakan problematika, baik

secara konseptual maupun praktik masyarakat dan penerapannya

di lingkungan Peradilan Agama. Oleh karenanya, kajian secara

terus menerus, baik secara teoritis konseptual maupun realitas

aktual harus dilakukan, sehingga akan ditemukan jalan terbaik

(maslahat) bagi penyelesaian perkara kewarisan. Patut juga

dilakukan upaya serius berupa sosialisasi lembaga pergantian

tempat ahli waris kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak

lagi melakukan “penyembunyian hukum”, yang tidak mengakui

adanya institusi pergantian tempat ahli waris, akan tetapi dalam

praktiknya menjalankan lembaga pergantian tempat ahli waris.

Wallahu a’lam....Amin..

Page 286: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

263

WASIAT WAJIBAH UNTUK ANAK ANGKAT,

ANAK DILUAR PERKAWINAN SAH, DAN ANAK

DARI ORANG TUA BEDA AGAMA

Moh. Muhibbin

Latar Belakang

Allah telah menetapkan aturan main (rule of game) bagi

kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan itu dituangkan dalam

bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh

dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang

tingkah laku manusia secara sederhana adalah syari'ah atau

hukum syara' yang sekarang ini disebut hukum Islam (Islamic Law).

Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di

dunia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia maupun

di akhirat kelak. Diantara hukum tersebut ada yang tidak

mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh dan ada juga

yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan didunia layaknya

sanksi hukum pada umumnya. Ada pula sanksi yang tidak

dirasakan di dunia namun ditimpakan di akhirat kelak dalam

bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut.

Segi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kodrat

kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk

hidup, terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup

lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri

untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut,

Allah menciptakan dalam setiap diri manusia dua nafsu, yaitu

nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk

memenuhi naluri mempertahankan hidup, karena itu ia

menumbuhkan kesadaran bahwa hukum kewarisan Islam

membawa keadilan, jaminan, dan perlindungan serta pemastian

keberlangsugan hidup generasi mendatang.

Penutup

Pergantian tempat ahli waris merupakan salah satu bentuk

pembaruan hukum Islam, melalui jalur KHI. Konstruksi pergantian

tempat ahli waris masih banyak menyisakan problematika, baik

secara konseptual maupun praktik masyarakat dan penerapannya

di lingkungan Peradilan Agama. Oleh karenanya, kajian secara

terus menerus, baik secara teoritis konseptual maupun realitas

aktual harus dilakukan, sehingga akan ditemukan jalan terbaik

(maslahat) bagi penyelesaian perkara kewarisan. Patut juga

dilakukan upaya serius berupa sosialisasi lembaga pergantian

tempat ahli waris kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak

lagi melakukan “penyembunyian hukum”, yang tidak mengakui

adanya institusi pergantian tempat ahli waris, akan tetapi dalam

praktiknya menjalankan lembaga pergantian tempat ahli waris.

Wallahu a’lam....Amin..

Page 287: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

264

memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul

kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta.

Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melan-

jutkan kehidupan, sehingga manusia memerlukan lawan jenisnya

guna menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai makhluk yang

berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan

dan meningkatkan daya akalnya. Sebagai makhluk beragama

manusia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan dan

menyempurnakan agamanya235

Dengan demikian terdapat lima hal yang merupakan

syarat bagi kehidupan menusia, yaitu: agama, akal, jiwa, harta dan

keturunan. Kelima hal ini disebut dengan dlaruriyat al-khamsah

(lima kebutuhan dasar) pada diri manusia.236

Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatu-

llah, namun nafsu itu sendiri cenderung kearah keburukan. Nafsu

yang tidak dikontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan

pertumpahan darah di muka bumi ini. Untuk itulah tujuan dari

berbagai aturan yang ditetapkan oleh Allah yang bernama hukum

adalah untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidup manusia.

Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat

dikelompokkan kepada dua kelompok.

Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir

manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut

dengan hukum ibadah. Tujuannya untuk menjaga hubungan Allah

dengan hamba-Nya, yang disebut dengan hablun min Allah.

235 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 2

236 Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul Fikr, 2002, hal.

92

Page 288: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

265

Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara

manusia satu dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Aturan

tentang hal ini disebut dengan "hukum muamalat".

Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama

manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang wasiat yang

aplikasinya dipakai untuk menyebutkan sesuatu hak yang

ketetapannya disandarkan atas waktu setelah kematian seseorang.

Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu

orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu,

bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tapi setiap

komunitas memiliki pemahaman berbeda-beda tentang wasiat.

Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksa-

naannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing

bagaimana sah-nya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitupula di

Indonesia, mempunyai aturan sendiri tentang wasiat. Di antaranya

diatur dalam BW untuk non muslim atau masyarakat adat,

sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

Harta dan pemilikan yang timbul dari wasiat memerlukan

pengaturan tentang: Pengertian wasiat, siapa yang berhak

menerimanya, berapa jumlahnya, bagaimana cara mendapat-

kannya dan bagaimana perbandingan wasiat dalam Fiqh Islam,

KHI dan praktik di Pengadilan Agama dan Masyarakat.

Pembahasan ini berupaya untuk memahami wasiat wajibah bagi

umat Islam di Indonesia. Bagaimana pun juga, Kompilasi Hukum

Islam merupakan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. KHI

sebenarnya hasil ijtihad dari kitab-kitab Fiqh klasik yang kemudian

dikontekstualisasikan dengan keadaan di Indonesia.

Kontekstualisasi ini dilakukan karena pijakan hukum yang disusun

ulama dahulu itu ada dalam ruang, waktu dan tempat mereka

yang sampai saat ini dijadikan rujukan oleh para hakim di

lingkungan peradilan agama.

memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul

kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta.

Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melan-

jutkan kehidupan, sehingga manusia memerlukan lawan jenisnya

guna menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai makhluk yang

berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan

dan meningkatkan daya akalnya. Sebagai makhluk beragama

manusia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan dan

menyempurnakan agamanya235

Dengan demikian terdapat lima hal yang merupakan

syarat bagi kehidupan menusia, yaitu: agama, akal, jiwa, harta dan

keturunan. Kelima hal ini disebut dengan dlaruriyat al-khamsah

(lima kebutuhan dasar) pada diri manusia.236

Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatu-

llah, namun nafsu itu sendiri cenderung kearah keburukan. Nafsu

yang tidak dikontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan

pertumpahan darah di muka bumi ini. Untuk itulah tujuan dari

berbagai aturan yang ditetapkan oleh Allah yang bernama hukum

adalah untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidup manusia.

Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat

dikelompokkan kepada dua kelompok.

Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir

manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut

dengan hukum ibadah. Tujuannya untuk menjaga hubungan Allah

dengan hamba-Nya, yang disebut dengan hablun min Allah.

235 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 2

236 Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul Fikr, 2002, hal.

92

Page 289: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

266

Pengertian Wasiat

Secara etimologi, kata wasiat berasal dari bahasa Arab

(washiyyatu), yang mempunyai beberapa arti yaitu “menjadikan,

menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu

dengan sesuatu yang lainnya”. Secara terminologi wasiat adalah

pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,

piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat

sesudah orang yang berwasiat meninggal. Secara garis besar

wasiat merupakan penghibaan harta dari seseorang kepada orang

lain, atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang

tersebut. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat

adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan

wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut

imbalan atau tabarru'. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa

pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para

ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan

wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya

kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan

kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang

pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang

yang menyatakan wasiat tersebut.

Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, wasiat diartikan sebagai

suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang

dilaksanakan sesudah meninggal dunia yang berwasiat. Menurut

asal hukumnya, wasiat merupakan suatu perbuatan yang

dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apapun.

Karenanya, tidak ada dalam syari’at Islam suatu wasiat yang wajib

dilakukan dengan jalan putusan hakim. 237

237 Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2001, hal :273.

Page 290: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

267

Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir

dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan

tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat

terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta

peninggalan.238 Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian wasiat

dijelaskan pada Bab II tentang Hukum Kewarisan. Pasal 171 huruf f

menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris

kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah

pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f).

Istilah wasiat wajibah tidak dikemukakan dalam kitab-kitab

klasik, sehingga sewaktu istilah ini muncul diartikaan dengan

wasiat yang hukumnya wajib dilaksanakan. Istilah wasiat wajibah

merupakan istilah tersendiri yang pengertiannya hukum wasiat

yang wajib. Maka perlu dijelaskan pengertian wasiat wajibah

Wasiat wajibah

Ia merupakan kebijakan yang dilakukan penguasa atau

hakim sebagai aparat penegak hukum untuk memaksa atau

memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal

dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan

tertentu. 239 Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal

yaitu: Pertama, hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat dan

muncullah unsur kewajiban melalui sebuah perundangan atau

surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat

dan persetujuan si penerima wasiat. Kedua, ada kemiripannya

dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal

penerimaan laki- laki (dua) kali lipat bagian perempuan.

238 Anwar Sitompul, Fara’id, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah Masalahnya,

Surabaya: Al ihlas. 1984, hal. 60

239 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal. 63

Pengertian Wasiat

Secara etimologi, kata wasiat berasal dari bahasa Arab

(washiyyatu), yang mempunyai beberapa arti yaitu “menjadikan,

menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu

dengan sesuatu yang lainnya”. Secara terminologi wasiat adalah

pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,

piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat

sesudah orang yang berwasiat meninggal. Secara garis besar

wasiat merupakan penghibaan harta dari seseorang kepada orang

lain, atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang

tersebut. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat

adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan

wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut

imbalan atau tabarru'. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa

pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para

ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan

wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya

kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan

kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang

pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang

yang menyatakan wasiat tersebut.

Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, wasiat diartikan sebagai

suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang

dilaksanakan sesudah meninggal dunia yang berwasiat. Menurut

asal hukumnya, wasiat merupakan suatu perbuatan yang

dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apapun.

Karenanya, tidak ada dalam syari’at Islam suatu wasiat yang wajib

dilakukan dengan jalan putusan hakim. 237

237 Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2001, hal :273.

Page 291: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

268

Makna wasiat wajibah, seseorang dianggap menurut

hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara

nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu

hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak

ada wasiat dibuat, wasiat dianggap ada dengan sendirinya.240

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan

kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian

harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu

halangan syara’.241

Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum

Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat

yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung

kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.242

Wasit Aulawi menjelaskan bahwa salah satu wujud

pelaksanaan tersebut ialah berupa cucu yang kedua orang tuanya

telah meninggal dunia. Dalam hal ini wasiat adalah pemberian

sejumlah harta sebesar yang diterima oleh ayah atau ibunya jika

mereka masih hidup dengan jumlah maksimal 1/3 harta warisan,

sedangkan pelaksanaan tersebut harus di penuhi beberapa

persyaratan yaitu, cucu tersebut belum pernah menerima wasiat

atau hibah dan wasiat wajibah ini dilaksanakan sebelum

pelaksanaan wasiat ikhtiyariah, mendahului pembagian harta

warisan kepada ahli waris lain.243

240 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem

Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.71

241 Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van

Hoeve, 2000, Jilid 6, hal.1930 ]

242 Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media

Pratama,1997, hal. 163]

243 A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Amrullah Ahmad,

Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal.

65

Page 292: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

269

Dasar Hukum Wasiat

Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan Islam, adalah

Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 180.

Artinya;

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan

(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,

Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini

adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-

Baqarah: 180). Ma'ruf ialah adil dan baik dan wasiat itu tidak

melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal.

Kata wasiat dalam Al-Baqarah ayat 180 tersebut di atas

merupakan ayat yang paling lengkap berkaitan dengan wasiat, Al-

Baqarah ayat 180 tidak menjelaskan tentang kesaksian pada waktu

berwasiat, padahal jika tidak di lakukan di depan saksi akan

menimbulkan masalah di kemudian hari, untuk itu dalam Al-

Maidah ayat 106 mengatur tentang persaksian, baik saksi itu

beragama Islam ataupun nonmuslim,

Dalam surat Al-Maidah ayat 106 disebutkan:

Makna wasiat wajibah, seseorang dianggap menurut

hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara

nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu

hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak

ada wasiat dibuat, wasiat dianggap ada dengan sendirinya.240

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan

kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian

harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu

halangan syara’.241

Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum

Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat

yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung

kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.242

Wasit Aulawi menjelaskan bahwa salah satu wujud

pelaksanaan tersebut ialah berupa cucu yang kedua orang tuanya

telah meninggal dunia. Dalam hal ini wasiat adalah pemberian

sejumlah harta sebesar yang diterima oleh ayah atau ibunya jika

mereka masih hidup dengan jumlah maksimal 1/3 harta warisan,

sedangkan pelaksanaan tersebut harus di penuhi beberapa

persyaratan yaitu, cucu tersebut belum pernah menerima wasiat

atau hibah dan wasiat wajibah ini dilaksanakan sebelum

pelaksanaan wasiat ikhtiyariah, mendahului pembagian harta

warisan kepada ahli waris lain.243

240 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem

Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.71

241 Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van

Hoeve, 2000, Jilid 6, hal.1930 ]

242 Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media

Pratama,1997, hal. 163]

243 A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Amrullah Ahmad,

Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal.

65

Page 293: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

270

Artinya;

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu

menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah

(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau

dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam

perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu

tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu

mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-

ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini

harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia

karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian

Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-

orang yang berdosa".

Dalam diskursus, pengalihan harta melalui wasiat

merupakan kehendak Allah untuk mewujudkan kemaslahatan

hidup bagi manusia baik terhadap individu maupun komunitas,

maka diaturlah wasiat yang isinya memberikan legalisasi terhadap

pemilikan atau pemberian manfaat terhadap harta benda yang

dikaitkan dengan waktu setelah kematian seseorang serta

dilakukan secara sukarela kepada orang lain supaya dapat ikut

memanfaatkan harta kekayaan itu.

Para Ulama’ berbeda pandangan terhadap makna surat Al-

Baqarah ayat 180. Perbedaan ini terletak pada penilain apakah ayat

tersebut muhkamat atau mutasyabihat, dengan adanya perbedaan

ini akan berdampak pada kandungan atau isi ayat tersebut.

Pendapat ibnu Abbas, Al- Hasan Al- Basri Taus Masruq Al- Dahhaq,

mereka berpendapat bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan

para kerabat yang memperoleh harta warisan telah dihapus,

sedangkan mereka yang tidak mendapatkan harta warisan tetap

memikul wasiat yang wajib. Hal ini karena ayat tersebut mencakup

keduanya, kemudian mereka yang mendapatkan warisan

Page 294: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

271

terhapus. Sedangkan mereka yang tidak mendapatkan warisan

masih berlaku, dalam hal ini Ibnu jarir At-Tabari dalam tafsirnya

memilih pendapat ini. Akan tetapi ulama’ mutakhhirin

menyebutnya dengan istilah tahsis bukan nasakh.

Al-Qurtuby dalam tafsirnya menjelaskan pendapat ulama’

tentang makna Al- Baqarah: 180. Dalam hal ini ada ulama’ yang

menjelaskan sebagai ayat yang muhkamat. Secara interpretatif

menunjukkan umum, akan tetapi maknanya khusus, yakni orang

tua yang tidak memperoleh warisan dan kerabat yang termasuk

ahli waris. Sedangkan ulama’ lain berpendapat bahwa ayat

tersebut terhapus dengan ayat muwaris atau faraid dan diperkuat

dengan hadits yang artinya: Allah telah memberikan orang yang

punya hak akan haknya, maka tidak boleh wasiat kepada ahli waris”

Sementara itu ulama’ lain berpendapat bahwa wasiat kepada

kedua orang tua dihapus dengan bagian tertentu yang pada

wasiat masih tetap berlaku bagi kerabat yang tidak dapat warisan.

Sebenarnya apabila diperhatikan ayat tersebut (Al Baqarah

180), maka tidak ada hal yang meniadakan antara ayat tentang

wasiat dan ayat tentang waris, artinya, ayat waris untuk kerabat

yang mendapat warisan, sedangkan ayat wasiat untuk kerabat

yang tidak dapat warisan karena ada penghalang seperti kafir dan

budak, terhijab atau tertutup ahli wari yang lebih dekat dan

tergolong dawi al- arham.

Kadar Wasiat

Para ’Ulama’ sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli

waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3 (sepertiga)

hartanya. 244 Hal ini sesuai dengan Hadits

244 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Jakarta: Pustaka Imami, 1990, hal.452.

Artinya;

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu

menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah

(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau

dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam

perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu

tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu

mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-

ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini

harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia

karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian

Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-

orang yang berdosa".

Dalam diskursus, pengalihan harta melalui wasiat

merupakan kehendak Allah untuk mewujudkan kemaslahatan

hidup bagi manusia baik terhadap individu maupun komunitas,

maka diaturlah wasiat yang isinya memberikan legalisasi terhadap

pemilikan atau pemberian manfaat terhadap harta benda yang

dikaitkan dengan waktu setelah kematian seseorang serta

dilakukan secara sukarela kepada orang lain supaya dapat ikut

memanfaatkan harta kekayaan itu.

Para Ulama’ berbeda pandangan terhadap makna surat Al-

Baqarah ayat 180. Perbedaan ini terletak pada penilain apakah ayat

tersebut muhkamat atau mutasyabihat, dengan adanya perbedaan

ini akan berdampak pada kandungan atau isi ayat tersebut.

Pendapat ibnu Abbas, Al- Hasan Al- Basri Taus Masruq Al- Dahhaq,

mereka berpendapat bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan

para kerabat yang memperoleh harta warisan telah dihapus,

sedangkan mereka yang tidak mendapatkan harta warisan tetap

memikul wasiat yang wajib. Hal ini karena ayat tersebut mencakup

keduanya, kemudian mereka yang mendapatkan warisan

Page 295: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

272

Hadits Nabi saw., yang berbunyi:

)(

Artinya:

“Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah

menjenguk saya waktu haji wada’ karena sakit keras yang saya alami

sampai hampir saja saya meninggal. Lalau saya berkata kepada

beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana

engkau sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak

harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan

satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak 2/3 dari

harta saya? Beliau menjawab “Tidak” saya mengatakan lagi

bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau

menjawab “Tidak” sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan,

sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu

meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik

dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,

menengadahkan tangan meminta-minta pda orang banyak. Apapun

yang kamu nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala

karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu”.(HR. Muslim)

Page 296: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

273

Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa

wasiat hukumnya fardhu 'ain. Mereka beralasan bahwa Surat Al-

Baqarah ayat 180 dan Surat An-Nisa ayat 11-12 mengandung

pengertian bahwa “Allah mewajibkan hamba-Nya untuk

mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris dan mewajibkan

wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan utang.

Adapun maksud kepada orang tua dan kerabat dipahami karena

mereka itu tidak menerima warisan”.

Berdasarkan hadits tersebut dapat dipahami bahwa, untuk

melindungi ahli waris, supaya mereka tidak dalam keadaan miskin

setelah ditinggalkan pewaris, harta yang boleh diwasiatkan

(jumlah maksimal) tidak boleh melebihi dari sepertiga dari seluruh

harta yang ditinggalkan. Hal ini dalam hukum kewarisan Islam

adalah untuk melindungi ahliwaris.245

Wasiat Wajibah Dalam Fiqh Islam, KHI, Praktik di Pengadilan

dan Masyarakat

Pada dasarnya memberikan wasiat itu merupakan

tindakan ikhtiyariyah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas

dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun.

Dengan demikian, pada dasarnya seseorang itu bebas apakah

membuat atau tidak membuat wasiat. Hal ini didasarkan pada

pendapat para Jumhurul Ulama’ (madzhab empat) yang

mengatakan bahwa, wasiat kepada kerabat itu disunnahkan. Akan

tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kebebasan untuk

membuat wasiat atau tidak itu hanya berlaku untuk orang-orang

yang bukan kerabat dekat. Mereka berpendapat bahwa untuk

kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, seseorang wajib

membuat wasiat. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an surat Al

245 Rahmad Budiono, 1999:24, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,

Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti

Hadits Nabi saw., yang berbunyi:

)(

Artinya:

“Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah

menjenguk saya waktu haji wada’ karena sakit keras yang saya alami

sampai hampir saja saya meninggal. Lalau saya berkata kepada

beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana

engkau sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak

harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan

satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak 2/3 dari

harta saya? Beliau menjawab “Tidak” saya mengatakan lagi

bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau

menjawab “Tidak” sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan,

sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu

meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik

dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,

menengadahkan tangan meminta-minta pda orang banyak. Apapun

yang kamu nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala

karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu”.(HR. Muslim)

Page 297: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

274

Baqarah ayat 180. Sedangkan yang berpendapat seperti ini

misalnya ibnu Hazm Adh-Dhahiri, At-Thobari dan Abu Bakar bin

Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat bahwa wasiat

itu adalah kewajiban agama dan pembayaran kewajiban bagi kedua

orang tua dan para kerabat yang tidak dapat karena terhalang dari

mewarisi.246

Di dalam kitab, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, karangan

Wahbah Al Zuhaiyliy Juz.VIII, h.122 mengatakan bahwa, "…Telah

dijelaskan bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunnatkan

menurut jumhur ulama'. Di antara mereka itu adalah para imam

madzhab empat. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali

sebab hak dari Allah atau bagi para para hamba Allah. Sebagian

ahli fiqh, seperti Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dan At-Thobari dan Abu

Bakar bin Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat

bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran

kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak dapat

karena terhalang dari mewarisi …sampai ucapan pengarang:

"Undang-undang Mesir dan Suriah telah mengambil pendapat

yang kedua

Berdasarkan nash tersebut di atas, maka Ibnu Hazm

memandang hukum wasiat adalah wajib atas setiap orang yang

meninggalkan harta. Ibnu Hazm berpendapat demikian, karena ia

mengacu pada nash secara tekstual (zhahir), yang menyatakan

kewajiban berwasiat. Karena kewajiban wasiat tersebut berlaku

bagi setiap orang yang meninggalkan harta, maka apabila seseo-

rang meninggal dunia dan orang tersebut tidak berwasiat,

hartanya haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi

kewajiban wasiat tersebut.

246 Wahbah Al Zuhaiyliy, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al

Fikr.h,1989, hal.122

Page 298: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

275

Karena yang berhak menetapkan urusan-urusan kaum

muslimin adalah penguasa, dan urusan wasiat termasuk salah satu

urusan pada diri setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa

haruslah bertindak untuk memberikan sebagian harta pening-

galan sebagaimana tersebut diatas guna memenuhi kewajiban

wasiat. Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut, maka

muncullah istilah wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat

yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada

karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah,

karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan

dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah

merupakan lapangan kajian hukum yang bersifat ijtihadiyyah.

Di dalam ketentuan wajibnya wasiat wajibah ini tidak

membutuhkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam wasiat

biasa, karena wasiat wajibah ini tidak membutuhkan ijab kabul.

Wasiat wajibah dalam hal ini seperti warisan dan dijalankan

sebagaimana pembagian waris. Sebagaimana dijelaskan dalam

kitab Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, hal. 123 mengatakan,…Dan

karena wasiat ini tidak memenuhi ketentuan-ketentuan wasiat

yang dilakukan secara sukarela karena ketiadaan ijab dari orang

yang memberi wasiat dan tidak ada qabul dari orang yang

menerima wasiat, maka wasiat wajibah ini menyerupai pembagian

warisan; sehingga diperlakukan seperti perlakuan warisan, yaitu

bagi laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian perempuan

dan ahliwaris yang asal menutupi cabangnya. Dan setiap cabang

mengambil bagian dari asalnya saja.

Al Jashshash dalam bukunya “Ahkamul Qur’an” menegas-

kan bahwa Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 180 tersebut jelas

menunjuk pada wajibnya berwasiat untuk keluarga yang tidak

mendapatkan warisan.

Baqarah ayat 180. Sedangkan yang berpendapat seperti ini

misalnya ibnu Hazm Adh-Dhahiri, At-Thobari dan Abu Bakar bin

Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat bahwa wasiat

itu adalah kewajiban agama dan pembayaran kewajiban bagi kedua

orang tua dan para kerabat yang tidak dapat karena terhalang dari

mewarisi.246

Di dalam kitab, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, karangan

Wahbah Al Zuhaiyliy Juz.VIII, h.122 mengatakan bahwa, "…Telah

dijelaskan bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunnatkan

menurut jumhur ulama'. Di antara mereka itu adalah para imam

madzhab empat. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali

sebab hak dari Allah atau bagi para para hamba Allah. Sebagian

ahli fiqh, seperti Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dan At-Thobari dan Abu

Bakar bin Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat

bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran

kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak dapat

karena terhalang dari mewarisi …sampai ucapan pengarang:

"Undang-undang Mesir dan Suriah telah mengambil pendapat

yang kedua

Berdasarkan nash tersebut di atas, maka Ibnu Hazm

memandang hukum wasiat adalah wajib atas setiap orang yang

meninggalkan harta. Ibnu Hazm berpendapat demikian, karena ia

mengacu pada nash secara tekstual (zhahir), yang menyatakan

kewajiban berwasiat. Karena kewajiban wasiat tersebut berlaku

bagi setiap orang yang meninggalkan harta, maka apabila seseo-

rang meninggal dunia dan orang tersebut tidak berwasiat,

hartanya haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi

kewajiban wasiat tersebut.

246 Wahbah Al Zuhaiyliy, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al

Fikr.h,1989, hal.122

Page 299: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

276

Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan apakah

kewajiban berwasiat tersebut masih berlaku atau tidak. Perbedaan

pendapat ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pendapat

pula, yakni apakah ayat Al Qur’an tersebut dimansukh oleh ayat-

ayat Al Qur’an dalam bidang kewarisan atau tidak. Jumhur ulama

berpendapat bahwa kewajiban berwasiat untuk ibu, bapak, dan

keluarga dekat sudah mansukh, baik yang menerima warisan

maupun yang tidak. Mereka juga berpendapat bahwa Hadits

Rasulullah yang artinya “Tidak ada wasiat untuk para ahli waris”

merupakan peneguhan dari pemikiran mereka.247 Karena tak ada

pertentangan antara ayat-ayat yang mewajibkan wasiat dengan

ayat-ayat dalam bidang kewarisan, maka ayat-ayat yang

mewajibkan wasiat tidak mansukh oleh ayat-ayat kewarisan. Ini

pendapat para ulama yang tetap mewajibkan wasiat untuk

kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan. Dalam kaitan ini,

Ibnu Hazm berpendapat bahwa “apabila tidak diadakan wasiat

untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, maka

hakim harus bertindak sebagai pewaris, yakni memberikan

sebagian warisan kepada kerabat yang tidak mendapat warisan

sebagai suatu wasiat wajib untuk mereka”. Berdasarkan keadaan di

atas, untuk cucu yang tidak mendapatkan warisan baik ia

merupakan anak dari anak perem-puan, atau anak dari anak laki-

laki, karena ada anak laki-laki yang masih hidup, maka wajiblah

dibuatkan wasiat. Contohnya, seseorang meninggal dunia dengan

meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang cucu laki-laki

dari anak laki-laki, bapak cucu tersebut telah meninggal dunia

lebih dulu daripada kakeknya. Dalam keadaan seperti ini, cucu

laki-laki tersebut tidak memperoleh warisan karena terhijab oleh

anak laki-laki.

247 ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth, Kifayatul

Ahyar,Bandung, Syirkatul Ma’arif. 35,

Page 300: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

277

Untuk menguasai keadaan seperti ini diberilah cucu terse-

but berdasarkan wasiat wajib. Besarnya bagian cucu maksimal

hanya sepertiga warisan, sebab besarnya wasiat wajibah tidak

boleh melebihi sepertiga warisan. Jadi, bagian cucu tidak sebesar

bagian yang seharusnya diterima oleh orang tuanya andaikata ia

masih hidup. Ini merupakan perbedaan yang cukup prinsip antara

wasiat wajibah dengan penggantian tempat. Akan tetapi, “wasiat

wajibah tetapi merupakan obat kekecewaan karena keadaan yang

tak adil tersebut”. 248

Pendapat Ibnu Hazm dan beberapa ulama mengenai wasiat

wajibah seperti tersebut diatas, diikuti oleh Undang-Undang

Wasiat Mesir, Nomor 71 Tahun 1946. Dalam Undang-undang

tersebut ditegaskan bahwa besarnya wasiat wajibah adalah

sebesar yang seharusnya diterima oleh orang tua seandainya ia

masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga

warisan. Disamping itu, harus dipenuhi pula dua syarat, yaitu :

1. Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima

warisan.

2. Si mati tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain

sebesar yang telah ditentukan padanya, sepeti hibah

umpamanya. 249

Undang-undang di atas sama sekali tidak menyinggung

soal kemenakan. Hal ini jelas merupakan petunjuk bahwa Undang-

undang tersebut berusaha mengatasi persoalan yang dirasakan

sangat mendesak, ilustrasi kebenaran pernyataan ini dapat

digambarkan dengan sebuah contoh, seseorang mempunyai dua

orang cucu laki-laki. Yang seorang berasal dari anak laki-laki, yang

248 Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.

Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 26

249 Hasbi Ash-Shiddiqy,Op. Cit., Hal. 277.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan apakah

kewajiban berwasiat tersebut masih berlaku atau tidak. Perbedaan

pendapat ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pendapat

pula, yakni apakah ayat Al Qur’an tersebut dimansukh oleh ayat-

ayat Al Qur’an dalam bidang kewarisan atau tidak. Jumhur ulama

berpendapat bahwa kewajiban berwasiat untuk ibu, bapak, dan

keluarga dekat sudah mansukh, baik yang menerima warisan

maupun yang tidak. Mereka juga berpendapat bahwa Hadits

Rasulullah yang artinya “Tidak ada wasiat untuk para ahli waris”

merupakan peneguhan dari pemikiran mereka.247 Karena tak ada

pertentangan antara ayat-ayat yang mewajibkan wasiat dengan

ayat-ayat dalam bidang kewarisan, maka ayat-ayat yang

mewajibkan wasiat tidak mansukh oleh ayat-ayat kewarisan. Ini

pendapat para ulama yang tetap mewajibkan wasiat untuk

kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan. Dalam kaitan ini,

Ibnu Hazm berpendapat bahwa “apabila tidak diadakan wasiat

untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, maka

hakim harus bertindak sebagai pewaris, yakni memberikan

sebagian warisan kepada kerabat yang tidak mendapat warisan

sebagai suatu wasiat wajib untuk mereka”. Berdasarkan keadaan di

atas, untuk cucu yang tidak mendapatkan warisan baik ia

merupakan anak dari anak perem-puan, atau anak dari anak laki-

laki, karena ada anak laki-laki yang masih hidup, maka wajiblah

dibuatkan wasiat. Contohnya, seseorang meninggal dunia dengan

meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang cucu laki-laki

dari anak laki-laki, bapak cucu tersebut telah meninggal dunia

lebih dulu daripada kakeknya. Dalam keadaan seperti ini, cucu

laki-laki tersebut tidak memperoleh warisan karena terhijab oleh

anak laki-laki.

247 ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth, Kifayatul

Ahyar,Bandung, Syirkatul Ma’arif. 35,

Page 301: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

278

lainnya berasal dari anak perempuan. Kedua orang tua cucu

tersebut sudah meninggal dunia, satu-satunya ahli waris adalah

cucu laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu laki-laki dari anak

perempuan terhijab. Mengatasi persoalan seperti ini para fuqaha

berpikir untuk memecahkan masalah tersebut. Sebab, baik Al

Qur’an maupun As Sunnah tidak mengaturnya secara rinci bagian

seorang cucu.

Pusat perhatian wasiat wajibah ini terfokus pada masalah

cucu, ijtihad yang muncul adalah seperti wasiat wajibah tersebut.

Dalam perkembangan pemikiran hukum kewarisan Islam, para

pemikir ahli hukum Islam (fuqaha’) tidak hanya melihat pada cucu

saja, tetapi dengan memperluas cakrawala analisisnya, yakni

dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenai

penggantian tempat. Ahli pemikir hukum Islam yang disebut

terakhir ini, misalnya Profesor Hazairin. Namun demikian,

walaupun dalam lingkup yang sangat terbatas, wasiat wajibah

mempunyai kemiripan dengan penggantian tempat. Kemiripan

tersebut terletak pada ada orang meninggal lebih dulu daripada

orang yang meninggalkan harta kekayaan.

Meskipun pada suatu saat antara penggantian tempat dan

wasiat wajibah menunjukkan kesamaan, akan tetapi banyak sekali

perbedaan antara keduanya. Perbedaan itu mucul karena dasar

pokok pikiran yang tidak sama antara keduanya. Wasiat wajibah

merupakan pranata untuk mengatasi satu jenis persoalan,

sedangkan penggantian tempat merupakan pranata untuk

mengatasi persoalan yang bersifat menyeluruh. Yang dimaksud

dengan menyeluruh di sini adalah menyeluruh persoalan

kematian lebih dulu daripada pewaris, baik dalam garis lurus ke

bawah, garis lurus ke atas maupun garis ke samping.250

250 Rahmad Budiono, Op. cit., hal. 28.

Page 302: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

279

Pada Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, masalah wasiat

wajibah tercantum dalam salah satu pasal pada Bab II yang

mengatur tentang warisan. Hal tersebut termuat pada pasal 209

Kompilasi Hukum Islam.

Oleh karenanya perlu dikaji bagimanakah konsep wasiat

wajibah menurut pemikiran Ibnu Hazm dan Kompilasi Hukurn

Islam. Adakah persamaan dan perbedaan wasiat wajibah menurut

Ibnu Hazm dan Kompilasi hukum Islam?. Hal inilah yang perlu

dikaji lebih lanjut.

Salah satu hukum materiil peradilan agama di Indonesia

yang dijadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum

Islam walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden

Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.

Salah satu materi KHI adalah pemberian wasiat wajibah kepada

anak angkat dan orang tua angkat yang disebutkan dalam pasal

209 KHI. Hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam

yang tidak di temukan dalam kitab-kitab klasik bahkan Undang-

undang Mesir, Syiria, Maroko dan Tunisiapun tidak menyatakan

wasiat wajibah kepada anak angkat dan orang tua angkat. Pasal

209 KHI tersebut menyebutkan:

ayat 1 : Harta peninggalan anak angkat di bagi berdasar-

kan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut

di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat

yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak

angkatnya.

Ayat 2 : Terhadap anak angkat yang tidak menerima

wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya

1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

lainnya berasal dari anak perempuan. Kedua orang tua cucu

tersebut sudah meninggal dunia, satu-satunya ahli waris adalah

cucu laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu laki-laki dari anak

perempuan terhijab. Mengatasi persoalan seperti ini para fuqaha

berpikir untuk memecahkan masalah tersebut. Sebab, baik Al

Qur’an maupun As Sunnah tidak mengaturnya secara rinci bagian

seorang cucu.

Pusat perhatian wasiat wajibah ini terfokus pada masalah

cucu, ijtihad yang muncul adalah seperti wasiat wajibah tersebut.

Dalam perkembangan pemikiran hukum kewarisan Islam, para

pemikir ahli hukum Islam (fuqaha’) tidak hanya melihat pada cucu

saja, tetapi dengan memperluas cakrawala analisisnya, yakni

dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenai

penggantian tempat. Ahli pemikir hukum Islam yang disebut

terakhir ini, misalnya Profesor Hazairin. Namun demikian,

walaupun dalam lingkup yang sangat terbatas, wasiat wajibah

mempunyai kemiripan dengan penggantian tempat. Kemiripan

tersebut terletak pada ada orang meninggal lebih dulu daripada

orang yang meninggalkan harta kekayaan.

Meskipun pada suatu saat antara penggantian tempat dan

wasiat wajibah menunjukkan kesamaan, akan tetapi banyak sekali

perbedaan antara keduanya. Perbedaan itu mucul karena dasar

pokok pikiran yang tidak sama antara keduanya. Wasiat wajibah

merupakan pranata untuk mengatasi satu jenis persoalan,

sedangkan penggantian tempat merupakan pranata untuk

mengatasi persoalan yang bersifat menyeluruh. Yang dimaksud

dengan menyeluruh di sini adalah menyeluruh persoalan

kematian lebih dulu daripada pewaris, baik dalam garis lurus ke

bawah, garis lurus ke atas maupun garis ke samping.250

250 Rahmad Budiono, Op. cit., hal. 28.

Page 303: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

280

Berdasar pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 180 ini

memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai

hukum wasiat tersebut. Sebagian ulama (Ulama Hanabilah)

berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu

untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak

menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak

dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu').

Beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat

wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya

meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau

neneknya. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat

wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada

anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan

mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang

majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka

wasiat wajibah juga diperuntukan bagi ahli waris non muslim

dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan.

Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang

kehilangan haknya karena perbedaan agama ini terjadi di di

Pengadilan Agama Yogyakarta. Dalam kasus tersebut Pengadilan

Agama telah memberikan keputusan tentang wasiat wajibah bagi

kerabat yang tidak mewaris karena terhalang (beda agama). Hal

yang menjadi pertimbangan hakim adalah pengunaan qiyas

(analogi) dengan ide hukumnya atau kausa yang melatar-

belakanginya adalah diperluasnya penafsiran pemberian wasiat

wajibah bagi kerabat yang tidak mewaris yaitu anak angkat atau

orang tua angkat diperluas kepada kerabat non muslim. Hal yang

sama juga terjadi pada putusan Mahkamah Agung yang

memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim

yang terhalang mewarisi.

Page 304: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

281

Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat

wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama

yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari

prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran

Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan

banyak hadits. Perasaan kasih yang terjalin dalam satu keluarga

dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui wasiat

sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada manusia

lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan, menghindari

konflik di dunia yang berdampak besar bagi terciptanya keruku-

nan dan ketentraman keluarga.

Sudah menjadi kesepakatan sebagian ulama (ijma’) bahwa

perbedaan agama (muslim dan non Muslim) merupakan salah satu

faktor penghalang untuk dapat mewarisi. Begitu juga hubungan

nasab merupakan salah satu sebab untuk dapat mewarisi.

Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi

kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang

mewariskan. Hal tersebut dapat dilihat dalam satu kitab fiqh yang

artinya: “Telah sepakat para ulama (fuqoha) bahwa ada tiga hal

yang dapat menghalangi untuk mewarisi, yaitu: perbudakan,

pembunuhan, dan perbedaan agama.”

Dan dalam hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh

Bukhori dan Muslim dari Usamah Ibn Zaid yang artinya sebagai

berikut: “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan

orang kafirpun tidak dapat mewarisi harta orang muslim”. Para ahli

hukum Islam (jumhur ’ulama’) sepakat bahwa orang non islam

(kafir) tidak dapat mewarisi hartanya orang islam lantaran status

orang non islam (kafir) lebih rendah.

Demikian juga orang murtad (orang yang meninggalkan/

keluar dari agama islam) mempunyai kedudukan yang sama, yaitu

tidak mewarisi harta peninggalan keluarganya. Orang yang

Berdasar pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 180 ini

memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai

hukum wasiat tersebut. Sebagian ulama (Ulama Hanabilah)

berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu

untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak

menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak

dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu').

Beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat

wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya

meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau

neneknya. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat

wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada

anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan

mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang

majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka

wasiat wajibah juga diperuntukan bagi ahli waris non muslim

dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan.

Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang

kehilangan haknya karena perbedaan agama ini terjadi di di

Pengadilan Agama Yogyakarta. Dalam kasus tersebut Pengadilan

Agama telah memberikan keputusan tentang wasiat wajibah bagi

kerabat yang tidak mewaris karena terhalang (beda agama). Hal

yang menjadi pertimbangan hakim adalah pengunaan qiyas

(analogi) dengan ide hukumnya atau kausa yang melatar-

belakanginya adalah diperluasnya penafsiran pemberian wasiat

wajibah bagi kerabat yang tidak mewaris yaitu anak angkat atau

orang tua angkat diperluas kepada kerabat non muslim. Hal yang

sama juga terjadi pada putusan Mahkamah Agung yang

memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim

yang terhalang mewarisi.

Page 305: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

282

murtad tersebut berarti telah melakukan tindak kejahatan terbesar

dan telah memutuskan shilah syari’ah. Oleh karena itu para fuqaha

telah sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta

warisan dari kerabatnya.251

Di samping itu ada sebagian ulama lain yang juga

sependapat seperti Ibn Hazm, At-Thabari dan Muhammmad

Rasyid Ridla bahwa ahli waris non-Muslim akan mendapatkan

harta warisan pewaris Muslim dengan melalui wasiat wajibah,

diantara ketiga ulama tersebut yang lebih lengkap dan jelas

uraiannya adalah ulama Ibn Hazm sebagaimana tersebut dalam Al

Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz VIII hal. 122 sebagaimana alasan

hukum yang disampaikan di atas. Pendapat Ibn Hazm yang

lainnya, yang artinya sebagai berikut: “Diwajibkan atas setiap

muslim untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak mewarisi

disebabkan adanya perbudakan, adanya kekufuran (non-Muslim),

karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (karena bukan

ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya

(dalam hal ini tidak ada batasan tertentu). Apabila ia tidak

berwasiat (bagi mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau

wali yang mengurus wasiat untuk memberikan wasiat tersebut

kepada mereka (kerabat) menurut kepatutan.”

Dari uraian Ibn Hazm tersebut tampak jelas bahwa kedua

orang tua yang tidak mewarisi, yang salah satunya disebabkan

tidak beragama Islam (non-Muslim), wajib diberi wasiat wajibah.

Apabila seorang Muslim sewaktu hidupnya tidak berwasiat, maka

ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksakan

wasiat tersebut. Dengan demikian kewajiban berwasiat tidak

hanya bersifat tidak hanya sebagai tanggung jawab seseorang

dalam melaksanakan perintah agama (berwasiat) akan tetapi juga

251 Ibnu Rusyd, Op. cit. hal. 497.

Page 306: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

283

dapat dipaksakan apabila ia lalai melaksanakannya karena sudah

menyangkut kepentingan masyarakat.

Kewajiban berwasiat bagi setiap muslim, sebagaimana

diungkapkan Ibnu Hazm, didasarkan kepada dalil Al-Qur’an surat

Al-Baqarah ayat 180. Pemahaman Ibnu Hazm terhadap ayat-ayat

kewajiban di atas tentu saja agak berbeda dengan Jumhur Ulama

yang memahaminya bahwa ayat kewajiban berwasiat di atas telah

dimasuki oleh ayat kewarisan, yang telah menentukan bagian

warisan untuk kedua orang tua dan golongan kerabat lainnya.

Pemahaman Jumhur Ulama tersebut diperkuat dengan hadits

shahih yang melarang untuk berwasiat kepada ahli waris, yang

ungkapannya sebagai berikut :“Allah telah memberikan kepada

setiap yang berhak akan hak (warisnya), maka tidak boleh berwasiat

kepada ahli waris”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dengan demikian, menurut Jumhur Ulama lafadz “kutiba”

dalam ayat kewajiban berwasiat tidak menunjukkan kepada wajib

lagi, tetapi beralih menjadi sunat, yang itupun bukan berwasiat

untuk ahli waris sebagaimaan hadits di atas. Selain itu, wasiat yang

berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba seperti zakat kafarat

dan utang yang belum dibayar tetap wajib hukumnya. Sedangkan

menurut Ibnu Hazm ayat kewajiban berwasiat tetap berlaku

(muhkam) yang dikhususkan bagi orang tua dan kerabat yang

tidak mewarisi karena berbagai hal di antaranya adanya

perbedaan agama (non-Muslim). Sekalipun antara jumhur Ulama

dan Ibnu Hazm ada perbedaan pendapat dalam menetapkan

hukum berwasiat, tetapi ulama dari kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah

dan Hanabilah telah membolehkan berwasiat untuk mereka yang

tidak beragama Islam (non-Muslim) dengan syarat yang diberikan

wasiat tidak memerangi umat Islam, jika tidak demikian, maka

wasiatnya batal, tidak sah.

murtad tersebut berarti telah melakukan tindak kejahatan terbesar

dan telah memutuskan shilah syari’ah. Oleh karena itu para fuqaha

telah sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta

warisan dari kerabatnya.251

Di samping itu ada sebagian ulama lain yang juga

sependapat seperti Ibn Hazm, At-Thabari dan Muhammmad

Rasyid Ridla bahwa ahli waris non-Muslim akan mendapatkan

harta warisan pewaris Muslim dengan melalui wasiat wajibah,

diantara ketiga ulama tersebut yang lebih lengkap dan jelas

uraiannya adalah ulama Ibn Hazm sebagaimana tersebut dalam Al

Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz VIII hal. 122 sebagaimana alasan

hukum yang disampaikan di atas. Pendapat Ibn Hazm yang

lainnya, yang artinya sebagai berikut: “Diwajibkan atas setiap

muslim untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak mewarisi

disebabkan adanya perbudakan, adanya kekufuran (non-Muslim),

karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (karena bukan

ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya

(dalam hal ini tidak ada batasan tertentu). Apabila ia tidak

berwasiat (bagi mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau

wali yang mengurus wasiat untuk memberikan wasiat tersebut

kepada mereka (kerabat) menurut kepatutan.”

Dari uraian Ibn Hazm tersebut tampak jelas bahwa kedua

orang tua yang tidak mewarisi, yang salah satunya disebabkan

tidak beragama Islam (non-Muslim), wajib diberi wasiat wajibah.

Apabila seorang Muslim sewaktu hidupnya tidak berwasiat, maka

ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksakan

wasiat tersebut. Dengan demikian kewajiban berwasiat tidak

hanya bersifat tidak hanya sebagai tanggung jawab seseorang

dalam melaksanakan perintah agama (berwasiat) akan tetapi juga

251 Ibnu Rusyd, Op. cit. hal. 497.

Page 307: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

284

Perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat

mewarisi sebagaimana dikemukakan para ulama di atas,

nampaknya masih tetap mewarnai hukum kewarisan Islam dewasa

ini. Undang-Undang kewarisan Mesir dan Syiria, Maroko dan

Tunisia menyatakan secara tegas bahwa antara Muslim dan non-

Muslim tidak dapat saling mewarisi.

Adanya hak wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim,

sebagai mana dalam putusan Mahkamah Agung, dapat dikatakan

sebagai upaya rechtvinding bagi kewarisan Islam di Indonesia,

mungkin juga di dunia Islam, sebab di Negara-negara muslim

sendiri seperti Mesir, Syiria, Tunisia dan Maroko, wasiat wajibah

hanya diberikan kepada cucu yang orang tuanya meninggal

terlebih dahulu, bukan ahli waris non-Muslim. Hakim yang

memutus perkara ini, melakukan penemuan hukum (rechtvinding)

dengan mengunakan metode Juridis Sosiologis dengan

mengambil pendapat Hazairin, sedang Hazairin sendiri mengadop

pendapatnya dari Ibnu Hazm dengan mendasarkan pemikiran

bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, menjunjung

tinggi asas keadilan berimbang, asas kepastian (kemutlakan), asas

individual dan asas bilateral.

Sekalipun putusan Mahkamah Agung yang memberikan

hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim hanya sebagai

madzab minoritas (Zhahiri) dalam khazanah pemikiran hukum

Islam, namun patut kita hargai sebagai hasil penemuan hukum

dalam upaya mengaktualisasikan hukum Islam di tengah-tengah

masyarakat Indonesia yang pluralistik baik di bidang sosial,

budaya, hukum maupun agama agar hukum Islam tidak kehila-

ngan jati dirinya sebagi rahmatal lil’alamin. Adapun pembaharuan

hukum yang dilakukan Mahkamah Agung, dalam kitannya dengan

memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim,

Page 308: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

285

adalah pembaharuan yang sifatnya terbatas, yaitu dengan tetap

memposisikan ahliwaris non-Muslim sebagai orang yang terhalang

untuk mewarisi pewaris muslim sebagaimana yang telah menjadi

kesepakatan para ulama (ijma).

Tetapi di sisi lain, nampaknya bagi Mahkamah Agung

membiarkan ahli waris non-Muslim tidak mendapatkan sesuatu

apapun dari harta warisan pewaris Muslim kurang relevan dengan

nilai-nilai dan norma hukum yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat Indonesia, sehingga jalan keluarnya dengan

memberikan hak wasiat wajibah, yang pada dasarnya memiliki

perbedaan yang cukup signifikan dengan yang berkedudukan

sebagai ahli waris khususnya dalam penerimaan bagian warisan.

Hak wasiat wajibah bagiannya relatif hanya dibatasi dengan

batasan maksimal 1/3.

Dalam kontek ke-Indonesiaan wasiat wajibah bagi ahli

waris non-Muslim di pihak lain berkaitan dengan nilai dan

masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang telah mengadakan

kontrak sosial untuk hidup rukun, damai, saling hormat

menghormati dan tidak saling merendahkan martabat

kemanusiaan atas dasar apapun juga, baik karena perbedaan suku,

budaya maupun agama.

Kontrak sosial tersebut telah dituangkan dalam konstitusi

negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 sebagai

penjabaran dari Pancasila, yang belakangan ini telah mengalami

perubahan (amandemen), dalam bagian pasal-pasalnya banyak

menguraikan tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia

(HAM), yang tidak hanya sebagai cerminan dari keinginan

masyarakat Indonesia, tetapi juga sudah menjadi keinginan

masyarakat global (dunia).

Perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat

mewarisi sebagaimana dikemukakan para ulama di atas,

nampaknya masih tetap mewarnai hukum kewarisan Islam dewasa

ini. Undang-Undang kewarisan Mesir dan Syiria, Maroko dan

Tunisia menyatakan secara tegas bahwa antara Muslim dan non-

Muslim tidak dapat saling mewarisi.

Adanya hak wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim,

sebagai mana dalam putusan Mahkamah Agung, dapat dikatakan

sebagai upaya rechtvinding bagi kewarisan Islam di Indonesia,

mungkin juga di dunia Islam, sebab di Negara-negara muslim

sendiri seperti Mesir, Syiria, Tunisia dan Maroko, wasiat wajibah

hanya diberikan kepada cucu yang orang tuanya meninggal

terlebih dahulu, bukan ahli waris non-Muslim. Hakim yang

memutus perkara ini, melakukan penemuan hukum (rechtvinding)

dengan mengunakan metode Juridis Sosiologis dengan

mengambil pendapat Hazairin, sedang Hazairin sendiri mengadop

pendapatnya dari Ibnu Hazm dengan mendasarkan pemikiran

bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, menjunjung

tinggi asas keadilan berimbang, asas kepastian (kemutlakan), asas

individual dan asas bilateral.

Sekalipun putusan Mahkamah Agung yang memberikan

hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim hanya sebagai

madzab minoritas (Zhahiri) dalam khazanah pemikiran hukum

Islam, namun patut kita hargai sebagai hasil penemuan hukum

dalam upaya mengaktualisasikan hukum Islam di tengah-tengah

masyarakat Indonesia yang pluralistik baik di bidang sosial,

budaya, hukum maupun agama agar hukum Islam tidak kehila-

ngan jati dirinya sebagi rahmatal lil’alamin. Adapun pembaharuan

hukum yang dilakukan Mahkamah Agung, dalam kitannya dengan

memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim,

Page 309: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

286

Penutup

Wasiat wajibah merupakan tindakan ikhtiyariyyah yang

dilakukan penguasa atau hakim atau lemabaga yang mempunyai

hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia yang

diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak

memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena

adanya suatu halangan syara’. Terhadap kerabat yang tidak

menerima harta waris karena terhalang syara’, maka mereka diberi

wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan

pewaris.

Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang

kehilangan haknya karena halangan syara’, seperti anak angkat,

perbedaan agama dan anak zina tidak diketemukan sebuah

rujukan yang soreh dalam Al Qur’an dan hadits, tetapi menjadi

bagian dari maslah ijtihadiyyah.

Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat

wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama

yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari

prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran

Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan

banyak hadits. Perasaan kasih sayang yang terjalin dalam satu

keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui

wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada

manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan,

menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi

terciptanya kerukunan dan ketentraman keluarga.

Page 310: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

287

Daftar Pustaka

Ali Ash-Shobuni, Fiqh Mawaris, Bairut: Daar Al Fikr, 1990

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004

Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru

Van Hoeve, 2000, Jilid 6.

Anwar Sitompul, Fara’id, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah

Masalahnya, Surabaya: Al ihlas. 1984.

A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem

Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam

Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra,

2001.

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Surabaya: Pustaka Imami, 1990

ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth,

Kifayatul Ahyar,Bandung, Syirkatul Ma’arif, 1993

Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,

Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,1999

Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Fikry, 1983

Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta:

Gaya Media Pratama,1997

Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul

Fikr, 2002

________ , Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al

Fikr.h,1989

Penutup

Wasiat wajibah merupakan tindakan ikhtiyariyyah yang

dilakukan penguasa atau hakim atau lemabaga yang mempunyai

hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia yang

diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak

memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena

adanya suatu halangan syara’. Terhadap kerabat yang tidak

menerima harta waris karena terhalang syara’, maka mereka diberi

wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan

pewaris.

Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang

kehilangan haknya karena halangan syara’, seperti anak angkat,

perbedaan agama dan anak zina tidak diketemukan sebuah

rujukan yang soreh dalam Al Qur’an dan hadits, tetapi menjadi

bagian dari maslah ijtihadiyyah.

Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat

wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama

yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari

prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran

Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan

banyak hadits. Perasaan kasih sayang yang terjalin dalam satu

keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui

wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada

manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan,

menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi

terciptanya kerukunan dan ketentraman keluarga.

Page 311: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

288

Page 312: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

289

KEDUDUKAN WARIS ANAK DI LUAR NIKAH

Sulhani Hermawan

Latar Belakang

Kewarisan secara bahasa merupakan perpindahan sesuatu

dari seseorang kepada seseorang lainnya. Sedangkan secara

terminologi syar’i, kewarisan adalah perpindahan kepemilikan dari

seseorang yang meninggal (mayit) kepada ahli warisnya yang

masih hidup, baik yang dimiliki tersebut berupa harta, atau hak-

hak kebendaan dan non-kebendaan lainnya.252 Secara garis besar,

kewarisan dilakukan karena beberapa sebab yaitu hubungan

kekerabatan nasab, hubungan pernikahan yang sah, dan hubu-

ngan kekerabatan hukmiyah (pembebasan budak).253

Mendiskusikan kedudukan waris anak di luar nikah tentu

dimulai dengan pembahasan tentang anak di luar nikah terlebih

dahulu, dan kemudian membicarakan status kewarisan yang

dimilikinya. Fiqh Islam dengan beberapa variannya dan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) telah memunculkan ketentuan tentang anak di

luar nikah. Demikian pula, dalam praktiknya, pengadilan dan

masyarakat memiliki ketentuan tertentu untuk menyebut anak di

luar nikah. Setelah pembahasan ketentuan yang jelas dari Fiqh,

KHI, praktik di pengadilan dan masyarakat tentang anak di luar

nikah, baru kemudian dibicarakan ketentuan masing-masing

tentang kewarisan anak di luar nikah.

252 Muhammad ‘Ali ash-Shabuniy, al-Mawaris fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah fi dhau’

al-KItab wa as-Sunnah, cet. III (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985), hlm. 31-32.

253 Ibid., hlm. 6.

Page 313: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

290

Anak di Luar Nikah dalam Perspektif Fiqh

Hubungan anak dengan orang tua selain dibangun oleh

hubungan darah juga dikuatkan oleh adanya pengakuan syara’.

Adanya kesatuan hubungan darah menunjukan bahwa hubungan

anak dengan orang tuanya merupakan hubungan yang sejati

untuk mengungkap silsilah nasab dan keturunan dalam keluarga.

Dan penguatan dari pengakuan syara’ menunjukkan bahwa

hubungan anak dengan orang tuanya tidak sekedar

menghubungkan nama seseorang anak dengan nama bapaknya

secara biologis, tetapi jauh dari itu adalah merupakan dasar bagi

hak dan kewajiban yang akan dipikulkan kepada masing masing

pihak, sebagai konsekuensinya.254

Sehubungan dengan itu Islam memiliki ketentuan khusus

untuk menetapkan sahnya nasab atau keturunan seseorang

dengan orang lain, yaitu dapat berdasarkan adanya perkawinan

maupun adanya pengakuan nasab (istilhaq/iqraru bin nasab).

Nasab seseorang berdasarkan perkawinan adalah menetapkan

adanya hubungan nasab seseorang dengan orang lain hanya

dengan syarat adanya perkawinan yang sah saja dan tidak

tergantung kepada bukti lainnya. 255

Dalam Fiqh ditentukan bahwa anak yang dilahirkan ibunya

dari jalan yang tidak syar’i atau buah hasil hubungan yang

254 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan

(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun

Xxv No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-

kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-

pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-

majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-

95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4.

255 Ibid.

Page 314: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

291

diharamkan maka disebut dengan anak zina.256 Semua ulama dari

empat madzhab Fiqh (Madzhab Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah

dan Hanabilah) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak

memiliki nasab dari pihak laki-laki (ayah biologisnya), dalam arti

dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang

menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa

dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak

tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja

baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.257

Anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayah (biologisnya),

tetapi dinasabkan kepada ibunya.258

Ketentuan tentang status anak sah didasarkan kepada

perkawinan yang sah tersebut didasarkan oleh para ulama Fiqh

pada sebuah hadits yang berbunyi:

259

256 Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984),

juz X, hlm. 532.

257 Lihat Al Mabsuth juz XVII hlm. 154, Asy-Syarh al-Kabir juz III, hlm. 412, Al-

Kharsyi juz VI, hlm. 101, Al-Qawanin hal: 338, dan Ar-Raudlah 6/44 yang dikutip dari Taisiril

Fiqh juz II, hlm. 828 dalam http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasil-

hubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl. 15.52.

258 Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin Syatha (Sayyid Bakri Syatha), I’anah

ath-Thalibin, Syarh Fath al-Mu’in, (Free software Maktaba Shameela), juz II, hlm. 128.

259 Hadits ini diriwayatkan oleh banyak rawi dan dimuat di dalam beberapa kitab

Hadits, antara lain Riwayat ‘Aisyah di dalam Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Mausu’ah Hadits an-

Nabawi asy-Syarif, edisi II, Free Program oleh Islamspirit.com), No. Hadits 1948, 2105, 2289,

2396, 2594, 4052, 6368, 6384, 6431 dan 6760. As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-

Kahlani tsumma ash-Shan’ani mengutip Ibn ‘Abd al-Barr bahwa hadits ini diriwayatkan oleh

sekitar 20 orang sahabat, lihat As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani tsumma

ash-Shan’ani, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-Maram (Semarang: Maktabah Toha Putera,

t.th), juz. III, hlm. 210.

Anak di Luar Nikah dalam Perspektif Fiqh

Hubungan anak dengan orang tua selain dibangun oleh

hubungan darah juga dikuatkan oleh adanya pengakuan syara’.

Adanya kesatuan hubungan darah menunjukan bahwa hubungan

anak dengan orang tuanya merupakan hubungan yang sejati

untuk mengungkap silsilah nasab dan keturunan dalam keluarga.

Dan penguatan dari pengakuan syara’ menunjukkan bahwa

hubungan anak dengan orang tuanya tidak sekedar

menghubungkan nama seseorang anak dengan nama bapaknya

secara biologis, tetapi jauh dari itu adalah merupakan dasar bagi

hak dan kewajiban yang akan dipikulkan kepada masing masing

pihak, sebagai konsekuensinya.254

Sehubungan dengan itu Islam memiliki ketentuan khusus

untuk menetapkan sahnya nasab atau keturunan seseorang

dengan orang lain, yaitu dapat berdasarkan adanya perkawinan

maupun adanya pengakuan nasab (istilhaq/iqraru bin nasab).

Nasab seseorang berdasarkan perkawinan adalah menetapkan

adanya hubungan nasab seseorang dengan orang lain hanya

dengan syarat adanya perkawinan yang sah saja dan tidak

tergantung kepada bukti lainnya. 255

Dalam Fiqh ditentukan bahwa anak yang dilahirkan ibunya

dari jalan yang tidak syar’i atau buah hasil hubungan yang

254 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan

(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun

Xxv No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-

kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-

pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-

majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-

95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4.

255 Ibid.

Page 315: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

292

Hadits tersebut menjadi dalil atas ditetapkannya nasab seorang

anak kepada ayahnya didasarkan kepada hubungan pernikahan

yang sah, dan di luar itu disebut dengan anak hasil zina yang

pelakunya bisa mendapatkan sanksi rajam dengan batu.260

Dalam literatur-literatur fikih terdapat keterangan yang

menjelaskan agar pengakuan (istilhaq) seseorang dianggap sah

dan bisa menjadikan adanya hubungan nasab dengan orang yang

diakuinya itu harus dipenuhi empat syarat, yaitu:261

a. Bahwa anak yang diakui itu tidak diketahui orang tuanya,

sehingga ada kemungkinan untuk menetapkan bahwa anak

itu adalah anak dari bapak yang mengakuinya. Maka

pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui secara pasti

orang tuanya tidak diperbolehkan.

b. Dari segi umur pengakuan anak tersebut masuk akal, sehingga

apabila anak yang diakui ternyata lebih tua atau sebaya

ataupun lebih muda sedikit dari ayah yang mengakui, maka

pengakuan anak tersebut tidak dapat diterima atau ditolak.

c. Dari segi obyek pengakuan, jumhur ulama berpendapat

pengakuan anak tersebut tidak didasarkan atas keterangan

bahwa anak yang diakuinya itu adalah hasil hubungan di luar

nikah/zina dengan ibu dari anak itu. Di antara dalil hukumnya

adalah

260 As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani tsumma ash-Shan’ani,

Subul as-Salam…, juz. III, hlm. 213.

261 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan

(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun

XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-

kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-

pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-

majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-

95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4

Page 316: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

293

262

Jadi hubungan nasab tidak diakui berdasarkan zina sesuai

dengan hadits “Dan bagi orang yang berzina itu batu “ () sebagaimana telah disebutkan di atas. Di samping itu as-

Sayid Sabiq menegaskan bahwa jumhur ulama seperti Malik,

al-Tsawriy, al-Lays dan asy-Syafi’i berpendapat bahwa anak

zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya

baik dalam hukum perkawinan maupun hukum kewarisan.

Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, Ibnu Taimiyah tetap

mengakui adanya hubungan nasab antara anak zina dengan

ayahnya, alasannya sanksi zina ditimpakan kepada pelaku

perbuatan zina baik di dunia maupun diakhirat, bukan kepada

anak yang dilahirkan.

d. Pengakuan anak tersebut dibenarkan oleh anak yang

diakuinya dengan syarat kalau anak tersebut sudah dewasa,

sebab dengan persetujuan anak yang sudah dewasa

pengakuan itu dianggap benar. Namun jika anak yang diakui

belum dewasa (belum baligh), maka hubungan nasab cukup

didasarkan pada pengakuan ayahnya saja.

As-Sayid Sabiq menyatakan bahwa apabila seseorang

perempuan menikah dan enam bulan sesudah pernikahan

tersebut melahirkan anak, maka anak tersebut dianggap sebagai

262 Al-Qur’an surat an-Nahl/16 ayat 72.

Hadits tersebut menjadi dalil atas ditetapkannya nasab seorang

anak kepada ayahnya didasarkan kepada hubungan pernikahan

yang sah, dan di luar itu disebut dengan anak hasil zina yang

pelakunya bisa mendapatkan sanksi rajam dengan batu.260

Dalam literatur-literatur fikih terdapat keterangan yang

menjelaskan agar pengakuan (istilhaq) seseorang dianggap sah

dan bisa menjadikan adanya hubungan nasab dengan orang yang

diakuinya itu harus dipenuhi empat syarat, yaitu:261

a. Bahwa anak yang diakui itu tidak diketahui orang tuanya,

sehingga ada kemungkinan untuk menetapkan bahwa anak

itu adalah anak dari bapak yang mengakuinya. Maka

pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui secara pasti

orang tuanya tidak diperbolehkan.

b. Dari segi umur pengakuan anak tersebut masuk akal, sehingga

apabila anak yang diakui ternyata lebih tua atau sebaya

ataupun lebih muda sedikit dari ayah yang mengakui, maka

pengakuan anak tersebut tidak dapat diterima atau ditolak.

c. Dari segi obyek pengakuan, jumhur ulama berpendapat

pengakuan anak tersebut tidak didasarkan atas keterangan

bahwa anak yang diakuinya itu adalah hasil hubungan di luar

nikah/zina dengan ibu dari anak itu. Di antara dalil hukumnya

adalah

260 As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani tsumma ash-Shan’ani,

Subul as-Salam…, juz. III, hlm. 213.

261 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan

(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun

XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-

kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-

pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-

majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-

95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4

Page 317: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

294

anak yang sah. Mengutip Malik, diriwayatkan bahwa Ustman bin

Affan didatangi oleh seorang perempuan yang telah melahirkan

anak setelah enam bulan dari pernikahannya. Utsman bin affan

kemudian memerintahkan agar perempuan tersebut dirajam.

Akan tetapi, ‘Ali bin Abi Thalib menolak adanya hukum rajam

terhadap perempuan tersebut dengan argumentasi bahwa anak

tersebut masih berada di dalam pernikahan yang sah, dan

kehamilan bisa terjadi hanya dalam waktu enam bulan saja. Ali bin

Abi Thalib berargumen dengan dalil ayat al-Qur’an tentang masa

kehamilan dan persusuan sebanyak 30 bulan dan tentang masa

persusuan yang sempurna sebanyak 2 tahun (24 bulan), sehingga

kehamilan terhitung 6 bulan.263

Surat al-Ahqaf ayat 15:

264

Surat al-Baqarah ayat 233:

265

1. Anak di Luar Nikah dalam Perspektif KHI dan Praktik

Pengadilan

Definisi anak yang sah dalam perspektif KHI diatur di

dalam Bab XIV tentang Pemeliharaan Anak. Pasal 99 KHI mengatur

bahwa anak yang sah menurut hukum adalah anak yang dilahirkan

263 As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.),

majlad II, hlm. 357-358.

264 Al-Qur’an surat al-Ahqaf/46 ayat 15

265 Al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 233

Page 318: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

295

dalam atau akibat perkawinan yang sah. Termasuk dihitung sebagi

anak yang sah ketika pembuahan dilakukan oleh suami istri yang

sah di luar rahim dan dilahirkan oleh suami istri tersebut.266

Oleh karenanya, anak yang tidak sah atau anak di luar

nikah adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat perkawinan

yang sah. Pasal 100 KHI mengatur bahwa anak yang lahir di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarga ibunya. Dalam pasal 101 KHI diatur bahwa seorang

suami yang mengingkari sahnya anak, sedangkan istri tidak

menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan

lisan. Sementara itu dalam pasal 102 diatur bahwa suami yang

akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka

waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah

putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa

istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang

memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan

Agama.267

Dalam Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor:

408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang pengakuan

anak di luar perkawinan, di dalam salah satu pertimbangan

hukumnya menjelaskan: “Dalam penalaran hukum, majelis hakim

berpendapat bahwa tidak ada ketentuan yang jelas dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut.

Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita

hamil. Menurut Majelis hakim, Pasal 53 KHI didasarkan pada Al-

Qur’an, Surah An-nur, ayat 3. Filsafat hukum Islam dari ayat

266 KHI pasal 99, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh

Humaniora Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan Badan Peradilan

Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

1991/1992, hlm. 46-47.

267 Kompilasi Hukum Islam…, hlm. 47.

anak yang sah. Mengutip Malik, diriwayatkan bahwa Ustman bin

Affan didatangi oleh seorang perempuan yang telah melahirkan

anak setelah enam bulan dari pernikahannya. Utsman bin affan

kemudian memerintahkan agar perempuan tersebut dirajam.

Akan tetapi, ‘Ali bin Abi Thalib menolak adanya hukum rajam

terhadap perempuan tersebut dengan argumentasi bahwa anak

tersebut masih berada di dalam pernikahan yang sah, dan

kehamilan bisa terjadi hanya dalam waktu enam bulan saja. Ali bin

Abi Thalib berargumen dengan dalil ayat al-Qur’an tentang masa

kehamilan dan persusuan sebanyak 30 bulan dan tentang masa

persusuan yang sempurna sebanyak 2 tahun (24 bulan), sehingga

kehamilan terhitung 6 bulan.263

Surat al-Ahqaf ayat 15:

264

Surat al-Baqarah ayat 233:

265

1. Anak di Luar Nikah dalam Perspektif KHI dan Praktik

Pengadilan

Definisi anak yang sah dalam perspektif KHI diatur di

dalam Bab XIV tentang Pemeliharaan Anak. Pasal 99 KHI mengatur

bahwa anak yang sah menurut hukum adalah anak yang dilahirkan

263 As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.),

majlad II, hlm. 357-358.

264 Al-Qur’an surat al-Ahqaf/46 ayat 15

265 Al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 233

Page 319: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

296

tersebut adalah dalam rangka perlindungan dan kemaslahatan

anak yang telah terjadi proses pembuahannya di luar nikah sehingga

ada teori hukum: "hukum mengikuti kepentingan publik

(kemaslahatan) yang kuat (al-hukmu yattabi'u al-mashlahah ar -

rajihah)." Selain itu, fakta-fakta dalam proses persidangan telah

memenuhi Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23

tahun 2002) dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Pengadilan Agama. Oleh karena itu permohonan dapat

dikabulkan dan Majelis hakim memutuskan anak yang namanya

Fulan diakui sebagai anak sah Pemohon dan Termohon

berdasarkan pengakuan Pemohon.”268

Akhmad Junaedi menanggapi keputusan PA Sleman

Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang

pengakuan anak di luar perkawinan dengan menyatakan bahwa

pendapat Pengadilan Agama Sleman tersebut tidak sejalan

dengan pendapat Jumhur Ulama, Undang Undang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam tetapi sejalan dengan pendapat Ibnu

Taimiyah dan Burgelijk Wetboek (BW). Kekeliruan majelis hakim PA

Sleman berawal dari dalam penalaran hukum terhadap kasus yang

dihadapi dengan menyimpulkan “Tidak ada ketentuan yang jelas

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut.

Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita

hamil.” 269

268 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan

(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun

XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-

kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-

pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-

majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-

95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 1.

269 Ibid, hlm. 6-7.

Page 320: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

297

Dalam hal mengatur kedudukan hukum anak tidak sah

atau anak di luar perkawinan baik Undang Undang Perkawinan

maupun KHI sepintas terkesan bias diskriminasi, seperti tanggapan

yang pernah disampaikan oleh Busthanul Arifin,

“Bahwa ketentuan ini menimbulkan kesan, seakan akan

kedudukan ibu yang melahirkan anak di luar nikah tidak

seimbang dengan kedudukan bapak yang menghamilinya.

Bahkan kalau ditinjau dari segi anak menimbulkan kesan

tidak adil dan tidak manusiawi. Akan tetapi sekiranya anak

yang tidak sah (yang lahir di luar nikah) diberi juga status

hukum terhadap bapak alaminya, maka seluruh lembaga

perkawinan yang begitu luhur akan berantakan sama

sekali.”270

Akhmad Junaedi menegaskan bahwa menurut BW

(Burgelijk Wetboek) anak di luar perkawinan (natuurlijk kind) adalah

anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan sah dan

tidak termasuk anak zina dan anak sumbang. Menurut sistem yang

dianut BW pasal 272 “adanya keturunan di luar perkawinan saja

belum terjadi suatu hubungan nasab antara anak dengan orang

tuanya, baik dengan bapak maupun ibunya”. Barulah dengan

adanya pengakuan (erkening) lahir suatu pertalian kekeluargaan

dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak

dengan orang tua yang mengakuinya. Hal ini sejalan dengan pasal

280 BW yang menyatakan dengan pengakuan anak di luar

perkawinan, maka lahirlah hubungan perdata antara anak dengan

ayah-ibunya. Pengakuan anak menurut BW tidak dapat dilakukan

secara diam diam, tetapi harus dilakukan di muka pegawai Catatan

Sipil dengan pencatatan dalam akte kelahiran anak tersebut, atau

dalam akte perkawinan kedua orang tuanya atau dalam akta

270 Ibid, hlm. 5-6.

tersebut adalah dalam rangka perlindungan dan kemaslahatan

anak yang telah terjadi proses pembuahannya di luar nikah sehingga

ada teori hukum: "hukum mengikuti kepentingan publik

(kemaslahatan) yang kuat (al-hukmu yattabi'u al-mashlahah ar -

rajihah)." Selain itu, fakta-fakta dalam proses persidangan telah

memenuhi Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23

tahun 2002) dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Pengadilan Agama. Oleh karena itu permohonan dapat

dikabulkan dan Majelis hakim memutuskan anak yang namanya

Fulan diakui sebagai anak sah Pemohon dan Termohon

berdasarkan pengakuan Pemohon.”268

Akhmad Junaedi menanggapi keputusan PA Sleman

Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang

pengakuan anak di luar perkawinan dengan menyatakan bahwa

pendapat Pengadilan Agama Sleman tersebut tidak sejalan

dengan pendapat Jumhur Ulama, Undang Undang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam tetapi sejalan dengan pendapat Ibnu

Taimiyah dan Burgelijk Wetboek (BW). Kekeliruan majelis hakim PA

Sleman berawal dari dalam penalaran hukum terhadap kasus yang

dihadapi dengan menyimpulkan “Tidak ada ketentuan yang jelas

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut.

Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita

hamil.” 269

268 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan

(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun

XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-

kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-

pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-

majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-

95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 1.

269 Ibid, hlm. 6-7.

Page 321: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

298

tersendiri dari Catatan Sipil maupun akte yang dibuat Notaris.

Pengakuan anak yang tidak diikuti dengan perkawinan sah orang

tuanya mengakibatkan hubungan kekeluargaan antara anak

dengan keluarga dari ayah dan ibunya belum terwujud, sebab

hubungan tersebut didasarkan pada pengesahan anak (wettiging)

yakni perkawinan sah orang tuanya. Apabila ayah ibunya sudah

kawin secara sah namun belum melakukan pengakuan anak yang

lahir sebelum perkawinan, maka pengesahan anaknya dilakukan

dengan surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh Kepala

Negara. 271

Terkait dengan pembuktian asal-usul anak dengan akta

kelahiran atau alat bukti lainnya atau penetapan Pengadilan

Agama berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana diatur di

dalam pasal 103 KHI, anak yang lahir di dalam perkawinan di

bawah tangan (tidak dicatatkan dalam administrasi pencatatan

perkawinan), dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya,

anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan

keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum

terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100

KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai

anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang

melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah

dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat

mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.272

Anak di Luar Nikah Menurut Praktik di Masyarakat

Dalam hukum adat di Indonesia ditentukan bahwa anak

yang sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang

271 Ibid, hlm. 6.

272 Lihat http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses tanggal

23 juni 2011, pkl 21.09 wib, hlm. 1-3.

Page 322: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

299

tuanya yang sah menurut ajaran agama. Hukum adat juga

menentukan bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh ibunya

yang mempunyai suami, maka anak itu adalah anak suaminya.273

Di dalam hukum adat tidak menjadi masalah berapa lama seorang

anak dilahirkan sesudah akad perkawinan.274

Dalam hukum adat, proses terjadinya anak luar nikah

dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori. Pertama, anak

dari hubungan ibu sebelum terjadinya perkawinan, kedua, anak

dari kandungan ibu setelah lama bercerai dari suaminya, ketiga,

anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain

yang bukan suaminya, keempat, anak dari kandungan ibu yang

tidak diketahui siapa ayahnya, kelima, anak dari kandungan ibu

tanpa melakukan perkawinan yang sah.275

Sikap hukum adat di Indonesia terhadap anak luar nikah

berbeda-beda. Di Minahasa, Ambon dan Mentawai, anak yang

lahir di luar perkawinan, beribu kepada perempuan yang

melahirkannya, dan dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak

cacat. Sementara, di beberapa tempat lainnya, ibu yang

melahirkan tanpa perkawinan dan anak yang dilahirkannya, secara

magis religious, dianggap membawa petaka, sial dan celaka. Oleh

karenanya, ibu dan anak tersebut harus diasingkan dari

273 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),

hlm. 68, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali”, Tesis Magister pada Program Studi

Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006, hlm. 17-18.

274 Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …,

hlm. 16.

275 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat …, hlm. 100, yang dikutip oleh Sri

Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 20-23.

tersendiri dari Catatan Sipil maupun akte yang dibuat Notaris.

Pengakuan anak yang tidak diikuti dengan perkawinan sah orang

tuanya mengakibatkan hubungan kekeluargaan antara anak

dengan keluarga dari ayah dan ibunya belum terwujud, sebab

hubungan tersebut didasarkan pada pengesahan anak (wettiging)

yakni perkawinan sah orang tuanya. Apabila ayah ibunya sudah

kawin secara sah namun belum melakukan pengakuan anak yang

lahir sebelum perkawinan, maka pengesahan anaknya dilakukan

dengan surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh Kepala

Negara. 271

Terkait dengan pembuktian asal-usul anak dengan akta

kelahiran atau alat bukti lainnya atau penetapan Pengadilan

Agama berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana diatur di

dalam pasal 103 KHI, anak yang lahir di dalam perkawinan di

bawah tangan (tidak dicatatkan dalam administrasi pencatatan

perkawinan), dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya,

anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan

keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum

terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100

KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai

anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang

melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah

dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat

mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.272

Anak di Luar Nikah Menurut Praktik di Masyarakat

Dalam hukum adat di Indonesia ditentukan bahwa anak

yang sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang

271 Ibid, hlm. 6.

272 Lihat http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses tanggal

23 juni 2011, pkl 21.09 wib, hlm. 1-3.

Page 323: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

300

masyarakat, atau harus dibunuh atau diserahkan kepada kepala

adat atau raja sebagai budak.276

Di beberapa daerah, ada lembaga yang bisa memaksa laki-

laki yang ditunjuk si perempuan sebagai orang yang menurunkan

anak di dalam kandungannya. Di Sumatera Selatan pemaksanya

bernama Rapat Marga, di Bali bernama Hakim, di Jawa bernama

Kepala Desa. Hal ini dilakukan agar anak yang berada di dalam

kandungan lahir dalam perkawinan yang sah.277 Di desa-desa di

Jawa, nikah paksaan tersebut disebut dengan nikah tambelan,

berfungsi mengesahkan anak, tetapi masyarakat tetap

memandangnya sebagai anak haram jadah, sebagaimana di desa

Agung Muyo, kecamatan Juwana Kabupaten Pati.278

Di Bali, anak yang dilahirkan di luar nikah adalah anak yang

sah, jika dibangkitkan di masa pertunangan. Di Minahasa, anak

yang lahir di luar pernikahan, berbapak pada laki-laki biologis yang

menurunkannya, dengan penguat berupa hadiah adat yang

bernama lilikur. Di beberapa tempat lainnya, anak yang dilahirkan

di luar perkawinan yang sah, menurut hukum adat di masyarakat,

dianggap tidak berbapak dan nasabnya dihubungkan dengan ibu

yang melahirkannya.279

276 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin

Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 14-15.

277 Ibid.

278 Soerojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Gunung Agung, 1983),

hlm. 127, dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat …, hlm. 24.

279 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin

Menurut Hukum Waris Adat …, hlm, hlm. 15-16.

Page 324: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

301

Kewarisan Anak di Luar Nikah

Ketentuan mengenai anak sah dan anak di luar nikah yang

ada di dalam Fiqh, KHI, praktik pengadilan dan pasyarakat memiliki

implikasi dan konsekuensi lanjutan dalam bidang kewarisan.

Penetapan hak dan hukum waris mewarisi yang terkait dengan

orang tua dan anak selalu berhubungan erat dengan status sah

dan tidaknya anak dalam ketentuan masing-masing.

1. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut Fiqh

Anak di luar nikah, di dalam fiqh disebut sebagai walad

az-zina. Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminologi

anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari

hubungan suami istri yang tidak sah. Hubungan suami istri

yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan

badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat

tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah

yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami istri yang

tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka

ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang

yang telah menikah ataupun belum menikah.280

Wahbah az-Zuhaili mencatat, bahwa menurut ulama

Malikiyah, zina adalah salah satu penghalang kewarisan di

dalam ketentuan Fiqh Islam. Oleh karenanya, seorang walad

az-zina tidak bisa saling waris mewarisi dengan ayahnya,

meskipun ayah tersebut mengakuinya sebagai anak

280 Hasanayn Muhammad Makluf, Al-Mawaris fi asy-Syari’at al-Islamiyyah, (t.tp:

Matba’ al-Madaniy, 1996), yang dikutip oleh Chatib Rasyid, “Menempatkan Anak Yang Lahir

Di Luar Nikah Secara Hukum Islam”, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama Indonesia

(MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005 M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret

2009, dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl

15.35, hlm. 4.

masyarakat, atau harus dibunuh atau diserahkan kepada kepala

adat atau raja sebagai budak.276

Di beberapa daerah, ada lembaga yang bisa memaksa laki-

laki yang ditunjuk si perempuan sebagai orang yang menurunkan

anak di dalam kandungannya. Di Sumatera Selatan pemaksanya

bernama Rapat Marga, di Bali bernama Hakim, di Jawa bernama

Kepala Desa. Hal ini dilakukan agar anak yang berada di dalam

kandungan lahir dalam perkawinan yang sah.277 Di desa-desa di

Jawa, nikah paksaan tersebut disebut dengan nikah tambelan,

berfungsi mengesahkan anak, tetapi masyarakat tetap

memandangnya sebagai anak haram jadah, sebagaimana di desa

Agung Muyo, kecamatan Juwana Kabupaten Pati.278

Di Bali, anak yang dilahirkan di luar nikah adalah anak yang

sah, jika dibangkitkan di masa pertunangan. Di Minahasa, anak

yang lahir di luar pernikahan, berbapak pada laki-laki biologis yang

menurunkannya, dengan penguat berupa hadiah adat yang

bernama lilikur. Di beberapa tempat lainnya, anak yang dilahirkan

di luar perkawinan yang sah, menurut hukum adat di masyarakat,

dianggap tidak berbapak dan nasabnya dihubungkan dengan ibu

yang melahirkannya.279

276 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin

Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 14-15.

277 Ibid.

278 Soerojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Gunung Agung, 1983),

hlm. 127, dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat …, hlm. 24.

279 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin

Menurut Hukum Waris Adat …, hlm, hlm. 15-16.

Page 325: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

302

biologisnya.281 Anak zina memiliki posisi yang sama dengan

anak mula’anah,282 hanya bisa menerima dan memberi warisan

dari garis ibunya saja, karena hubungan nasabnya hanya

tersambung dengan garis ibunya.283

Anak zina bisa menerima dan meninggalkan warisan

dari ibunya, dan tidak bisa menerima dari jalur ayahnya, karena

dia dianggap tidak memiliki ayah dan keluarga/kerabat dari

jalur ayah284. Dalam ketentuan Umar bin Khattab, ashabah

anak zina (sama dengan anak mula’anah) hanya bisa

didapatkan dari jalur ibunya. Apabila anak zina berada dalam

posisi ahli waris yang memiliki bagian (dzu fardl), maka bagian

hartanya dikembalikan kepada ahli waris lainnya (radd).

Namun apabila anak zina, tidak dalam posisi menerima bagian

warisan tertentu (ashabah), maka bagian ashabahnya

dikaitkan dengan ashabah ibunya.285

Ketersambungan hubungan dan posisi kewarisan anak

zina kepada jalur ibunya dan tidak kepada ayah dan jalur

ayahnya merupakan sebuah ijma’ dan disepakati oleh ulama

281 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (free program Mahtabah

Syamilah 15 gb), juz X, hlm. 383.

282 Anak mula’anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang diingkari

oleh suaminya dengan dikuatkan dengan sumpah li’an, maka nasab dengan ayahnya

terputus, dan semua konsekuensi perdatanya hanya dihubungkan dengan garis ibunya,

lihat As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah …, majlad II, hlm. 276-277 dan dan an-Nawawiy, Al-

Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab(free program Mahtabah Syamilah 15 gb), Bab Mirats al-

‘Ashabah, juz XVI, hlm. 10.

283 Al-Bahr ar-Ra’iq (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Kitab al-Fara’id, juz

VIII, hlm. 574.

284 Fatawa al-Baghdadi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Nasab al-

Walad, juz II hlm. 852.

285 Syarh az-Zarkasyi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Masa’ilun

Syatta fi al-Fara’id, Juz II, hlm. 278

Page 326: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

303

Fiqh madzhab empat serta Syiah Imamiyah.286 Hal ini

didasarkan kepada hadits sebagai berikut:

287

288

Senada dengan riwayat hadits tersebut, diriwayatkan juga dari

Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas bahwa anak zina tidak

diperkenankan memperoleh kewarisan menurut Islam dengan

pernyataan sebagai berikut:

289

Dengan demikian menjadi sebuah ijma’ dan kesepakatan di

kalangan ulama fiqh Islam bahwa posisi kewarisan anak di luar

nikah (anak zina dan anak mula’anah) hanya bisa dihubungkan

kepada ibunya dan keluarga ibunya.290

2. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut KHI

Seiring dengan ketentuan Fiqh dan sebagai

konsekuensi lanjutan dari pasal 100 KHI tentang anak di luar

286 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 532.

287 Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari

kakeknya, di salah satu sanadnya terdapat nama Abu Muhammad Isa bin Musa al-Qursyi ad-

Dimasyqi yang dinilai tidak masyhur, lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66 yang dikutip

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 533.

288 Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, lihat lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66

yang dikutip Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 533.

289 Nailul Authar (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Miratsul Ibn al-

Mula’anah wa az-Zaniyah min Huma, juz VI, hlm.127.

290 Ibid.

biologisnya.281 Anak zina memiliki posisi yang sama dengan

anak mula’anah,282 hanya bisa menerima dan memberi warisan

dari garis ibunya saja, karena hubungan nasabnya hanya

tersambung dengan garis ibunya.283

Anak zina bisa menerima dan meninggalkan warisan

dari ibunya, dan tidak bisa menerima dari jalur ayahnya, karena

dia dianggap tidak memiliki ayah dan keluarga/kerabat dari

jalur ayah284. Dalam ketentuan Umar bin Khattab, ashabah

anak zina (sama dengan anak mula’anah) hanya bisa

didapatkan dari jalur ibunya. Apabila anak zina berada dalam

posisi ahli waris yang memiliki bagian (dzu fardl), maka bagian

hartanya dikembalikan kepada ahli waris lainnya (radd).

Namun apabila anak zina, tidak dalam posisi menerima bagian

warisan tertentu (ashabah), maka bagian ashabahnya

dikaitkan dengan ashabah ibunya.285

Ketersambungan hubungan dan posisi kewarisan anak

zina kepada jalur ibunya dan tidak kepada ayah dan jalur

ayahnya merupakan sebuah ijma’ dan disepakati oleh ulama

281 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (free program Mahtabah

Syamilah 15 gb), juz X, hlm. 383.

282 Anak mula’anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang diingkari

oleh suaminya dengan dikuatkan dengan sumpah li’an, maka nasab dengan ayahnya

terputus, dan semua konsekuensi perdatanya hanya dihubungkan dengan garis ibunya,

lihat As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah …, majlad II, hlm. 276-277 dan dan an-Nawawiy, Al-

Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab(free program Mahtabah Syamilah 15 gb), Bab Mirats al-

‘Ashabah, juz XVI, hlm. 10.

283 Al-Bahr ar-Ra’iq (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Kitab al-Fara’id, juz

VIII, hlm. 574.

284 Fatawa al-Baghdadi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Nasab al-

Walad, juz II hlm. 852.

285 Syarh az-Zarkasyi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Masa’ilun

Syatta fi al-Fara’id, Juz II, hlm. 278

Page 327: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

304

perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarga ibunya, yang sejalan dengan ketentuan pasal 43

ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, maka anak yang lahir di luar

nikah hanya bisa memiliki hubungan dan posisi kewarisan

dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam pasal 186 KHI

ditentukan, Anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan

keluarga dari pihak ibunya.291

Chatib Rasyid menegaskan bahwa yang termasuk anak

yang lahir di luar pernikahan adalah292:

a. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai

ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang

menghamilinya.

b. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan

oleh satu orang pria atau lebih.

c. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari)

oleh suaminya.

d. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya

akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata

bukan.

e. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya

akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah

dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan.

Anak yang lahir di luar nikah tersebut secara hukum tidak

mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan

291 Pasal 186 KHI, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, hlm. 77.

292 Chatib Rasyid, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum

Islam… dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl

15.35, hlm. 5.

Page 328: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

305

ayah/bapak alami (genetiknya), ataupun suami ibunya.

Dengan demikian, secara tegas, KHI mengatur bahwa anak di

luar pernikahan yang sah dengan bukti-bukti perkawinan yang

sah secara hukum, hanya bisa memperoleh bagian warisan

dari ibunya dan keluarga ibunya dan hanya bisa meninggalkan

warisan kepada ibunya atau keluarganya dalam jalur ibu.

3. Kewarisan Anak di Luar Nikah dalam Praktik di Pengadilan

Putusan pengadilan oleh majelis hakim tentang

sengketa atau penetapan waris selalu didasarkan kepada

peraturan perundangan yang berlaku. Pengadilan Agama,

dengan landasan hukum Islam, khususnya berdasarkan

Kompilasi Hukum Islam, tidak bisa memutuskan kewarisan

anak di luar nikah dari jalur ayahnya, baik ayah biologis

maupun suami ibunya. Namun demikian, ada beberapa

yurisprudensi Mahkamah Agung terkait dengan perkara-

perkara sengketa waris dengan pertimbangan hukum

tertentu, tidak memberikan warisan kepada anak di luar nikah

dan dengan pertimabngan tertentu pula, ada yang

memberikan warisan kepada anak di luar nikah.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (RI)

tanggal 18 Maret 1976 No. 889 K/SIP/1974 menegaskan

bahwa adanya perkawinan dibuktikan dengan adanya akte

perkawinan. Maka bahwa anak-anak yang lahir dalam hidup

bersama yang bukan dianggap sebagai ikatan perkawinan

secara hukum, adalah anak alam (natuurlijk kind) dan bukan

anak yang sah.293 Berdasarkan pertimbangan hukum adat,

293 Putusan Mahkamah Agung tgl. 18 - 3 - 1976 No. 889 K/Sip/1974. dalam

Perkara: Muchtar d/h Lo Mjuk Sen melawan Na Teng Lian, Na Teng Hin Na Teng Nie dan

kawan-kawan, dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH.; 2. R. Saldiman Wirjatmo

SH.; 3. Indroharto SH. Yang dikutip dalam http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm,

diakses tgl 23 Juni 2011, pkl 20.47 WIB.

perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarga ibunya, yang sejalan dengan ketentuan pasal 43

ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, maka anak yang lahir di luar

nikah hanya bisa memiliki hubungan dan posisi kewarisan

dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam pasal 186 KHI

ditentukan, Anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan

keluarga dari pihak ibunya.291

Chatib Rasyid menegaskan bahwa yang termasuk anak

yang lahir di luar pernikahan adalah292:

a. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai

ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang

menghamilinya.

b. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan

oleh satu orang pria atau lebih.

c. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari)

oleh suaminya.

d. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya

akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata

bukan.

e. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya

akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah

dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan.

Anak yang lahir di luar nikah tersebut secara hukum tidak

mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan

291 Pasal 186 KHI, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, hlm. 77.

292 Chatib Rasyid, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum

Islam… dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl

15.35, hlm. 5.

Page 329: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

306

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 24 Mei 1958 No.

82/K/SIP/1957 menyatakan bahwa anak luar kawin tidak berhak

mewarisi barang-barang pusaka, barang ini kembali kepada

waris keturunan darah yang sah.294 Kemudian Putusan

Mahkamah Agung RI tanggal 18 Maret 1959 menyatakan

bahwa,

“menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak luar

kawin hanya diperkenankan mewaris harta gono-gini dari

keluarga bapak biologisnya, sedangkan harta pusaka (barang

asal), anak luar kawin tidak berhak mewarisinya”.295

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179/K/SIP/1960

tanggal 23 Oktober 1961 menyatakan:

“Berdasarkan rasa kemanusiaan dan keadilan umum juga, atas

hakikat persamaan hak antara anak sah dan anak luar kawin,

dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan

menganggap sebagi hukum yang hidup di Indonesia, bahwa

anak-anak luar kawin adan anak-anak sah dari seorang

peninggal harta (pewaris), bersama-sama berhak atas harta

warisan, dengan kata lain bagian seorang anak-anak sah

adalah sama dengan bagian seorang anak-anak luar kawin”.296

294 Hal ini menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purworejo tanggal 6 Oktober

1937 yang mengatakan bahwa “anak luar kawin menurut hukum adat tetap berhak atas

harta warisan yang ditinggalkan oleh keluarga ibunya sendiri. Tetapi hak waris anak luar

kawin terbatas pada harta warisan keluarga bapak bioologisnya yang berasal dari harta

pencaharian bukan harta pusaka”, lihat oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin

Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 52-53.

295 Wahyu Afandi, Aneka Putusan Pengadilan (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 289,

yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat

…, hlm. 53.

296 Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat

(Bandung: Alumni, 1981), hlm. 97, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar

Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 62.

Page 330: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

307

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 415/K/SIP/1970 tanggal

30 Juni 1971 menyatakan:

“Hukum adat di daerah Padang Sidempuan, Sumatera Utara,

tentang kedudukan anak (anak sah dan anak luar kawin)

terhadap warisan orang tua. DI daerah Tapanuli pemberian

dan penyerahan kepada seorang anak luar kawin merupakan

“serah lepas” dengan maksud memperlunak hukum adat

setempat yang pada mulanya tidak mengakui hak mewaris

bagi anak luar kawin. Jadi saat ini, hukum adat di Tapanuli

telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada

anak anak sah dan anak anak luar kawin.”297

Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.

1037/K/SIP/1971 tanggal 31 Juli 1973 menyatakan:

“Hukum adat di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tentang

kedudukan anak anak luar kawin terhadap warisan orang

tuanya, dalam hal ini pewaris yang telah meninggal dengan

meninggalkan seorang anak luar kawin, maka anak anak luar

kawin inilah yang merupakan satu-satunya ahli warisnya dan

yang berhak atas harta yang ditinggalkannya.”298

Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI

tersebut, anak luar nikah, dengan beberapa pertimbangan

hukum tertentu, memiliki peluang untuk memperoleh harta

warisan dari ayah dan ibu biologisnya dalam Praktik di

Pengadilan, terutama Pengadilan Negeri.

4. Kewarisan Anak di Luar Nikah dalam Praktik di Masyarakat

Pada masyarakat di Indonesia yang masih menerapkan

hukum adatnya, kewarisan adalah penerusan harta kekayaan

297 Ibid., hlm. 62-63.

298 Ibid., hlm. 63.

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 24 Mei 1958 No.

82/K/SIP/1957 menyatakan bahwa anak luar kawin tidak berhak

mewarisi barang-barang pusaka, barang ini kembali kepada

waris keturunan darah yang sah.294 Kemudian Putusan

Mahkamah Agung RI tanggal 18 Maret 1959 menyatakan

bahwa,

“menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak luar

kawin hanya diperkenankan mewaris harta gono-gini dari

keluarga bapak biologisnya, sedangkan harta pusaka (barang

asal), anak luar kawin tidak berhak mewarisinya”.295

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179/K/SIP/1960

tanggal 23 Oktober 1961 menyatakan:

“Berdasarkan rasa kemanusiaan dan keadilan umum juga, atas

hakikat persamaan hak antara anak sah dan anak luar kawin,

dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan

menganggap sebagi hukum yang hidup di Indonesia, bahwa

anak-anak luar kawin adan anak-anak sah dari seorang

peninggal harta (pewaris), bersama-sama berhak atas harta

warisan, dengan kata lain bagian seorang anak-anak sah

adalah sama dengan bagian seorang anak-anak luar kawin”.296

294 Hal ini menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purworejo tanggal 6 Oktober

1937 yang mengatakan bahwa “anak luar kawin menurut hukum adat tetap berhak atas

harta warisan yang ditinggalkan oleh keluarga ibunya sendiri. Tetapi hak waris anak luar

kawin terbatas pada harta warisan keluarga bapak bioologisnya yang berasal dari harta

pencaharian bukan harta pusaka”, lihat oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin

Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 52-53.

295 Wahyu Afandi, Aneka Putusan Pengadilan (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 289,

yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat

…, hlm. 53.

296 Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat

(Bandung: Alumni, 1981), hlm. 97, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar

Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 62.

Page 331: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

308

dari suatau generasi kepada keturunannya.299 Hukum waris

adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang

bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan

peralihan/perpindahan garta kekayaan yang bersifat materiil

dan non-materiil dari generasi ke generasi.300 Pada umumnya,

menurut hukum adat, anak yang lahir dari perkawinan ayah

dan ibunya yang tidak sah, maka tidak berhak sebagai ahli

waris dari orang tuanya. Anak yang tidak sah hanya mewaris

dari ibu atau kerabat ibunya.301

Selain beberapa praktik pemberian kewarisan di

masyarakat yang telah dikutip oleh beberapa yurisprudensi

Mahkamah Agung RI, yaitu di Pematang Siantar dan Padang

Sidempuan, Sumatera Utara dan Jawa Tengah, yang telah

diterangkan sebelumnya, di Indonesia ada beberapa kelompok

masyarakat yang mayoritas Muslim menerapkan ketentuan

tentang posisi waris anak luar nikah dengan bahkan

memberikannya, meski dengan ketentuan adat yang khusus.

Namun demikian, anak luar kawin, secara adat tidak layak

menjadi ahli waris apabila membunuh pewaris, atau

mencegah paksa pewaris untuk membuat wasiat, atau

299 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999),

hlm. 7 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat …, hlm. 27.

300 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981),

hlm. 151, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum

Waris Adat …, hlm. 27.

301 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987),

hlm. 79, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat …, hlm. 30-31.

Page 332: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

309

melenyapkan atau memalsu surat wasiat pewaris, atau

melanggar ketentuan adat yang berlaku bagi pewaris.302

Sri Wahyuni, dalam penelitiannya pada masyarakat

desa Winong kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa

Tengah yang memiliki penduduk 2243 orang beragama Islam,

20 orang beragama Kristen dan 27 orang beragama Katolik303

serta berpenduduk 1098 anak sah dan 1192 anak luar nikah304

menemukan beberapa hasil riset tentang pemberian warisan

kepada anak luar nikah dengan ketentuan dan prosedur

tertentu. Pertama, kedudukan anak luar kawin yang

berkelakuan baik terhadap keluarga bapak biologisnya, akan

mendapat warisan dari keluarga bapak biologisnya. Jika bapak

biologisnya mempunyai anak sah dan anak luar kawin, maka

anak luar kawin itu dapat mewaris dari bapak biologisnya

dengan bagian yang tidak sebanyak seperti yang didapatkan

oleh anak sah. Kedua, penyelesaian sengketa warisan dengan

melibatkan anak luar kawin, terlebih dahulu dilakukan dengan

cara musyawarah di antara anggota keluarga, dengan

dipimpin oleh anak sah yang sulung atau anak laki-laki yang

dituakan, atau kalau tidak ada anak sah, maka dipimpin oleh

saudara atau kerabat dari pihak ayah. Kalau musyawarah

keluarga tidak bisa menyelesaikannya, maka sengketa akan

302 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,

1991), hlm. 141, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut

Hukum Waris Adat …, hlm. 31-32.

303 Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa Tengah

bulan Juni tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin

Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 44.

304 Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa

Tengah bulan Maret tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar

Kawin Menurut Hukum Waris Adat…, hlm. 41.

dari suatau generasi kepada keturunannya.299 Hukum waris

adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang

bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan

peralihan/perpindahan garta kekayaan yang bersifat materiil

dan non-materiil dari generasi ke generasi.300 Pada umumnya,

menurut hukum adat, anak yang lahir dari perkawinan ayah

dan ibunya yang tidak sah, maka tidak berhak sebagai ahli

waris dari orang tuanya. Anak yang tidak sah hanya mewaris

dari ibu atau kerabat ibunya.301

Selain beberapa praktik pemberian kewarisan di

masyarakat yang telah dikutip oleh beberapa yurisprudensi

Mahkamah Agung RI, yaitu di Pematang Siantar dan Padang

Sidempuan, Sumatera Utara dan Jawa Tengah, yang telah

diterangkan sebelumnya, di Indonesia ada beberapa kelompok

masyarakat yang mayoritas Muslim menerapkan ketentuan

tentang posisi waris anak luar nikah dengan bahkan

memberikannya, meski dengan ketentuan adat yang khusus.

Namun demikian, anak luar kawin, secara adat tidak layak

menjadi ahli waris apabila membunuh pewaris, atau

mencegah paksa pewaris untuk membuat wasiat, atau

299 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999),

hlm. 7 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat …, hlm. 27.

300 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981),

hlm. 151, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum

Waris Adat …, hlm. 27.

301 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987),

hlm. 79, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat …, hlm. 30-31.

Page 333: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

310

diselesaikan dalam musyawarah adat yang dipimpin oleh

Kepala Desa atau yang dituakan oleh masyarakat desa Winong.

Melihat adanya kenyataan tentang pemberian waris

kepada anak luar nikah di beberapa masyarakat di Indonesia,

bahkan masyarakat yang mayoritas beragama Islam,

berdasarkan hukum adatnya, menjadi sebuah catatan penting,

bahwa pada kasus tertentu, masyarakat bisa tidak menerapkan

hukum Islam (yang termuat di dalam fiqh) dan ketentuan KHI

yang melarang pewarisan anak di luar nikah dari jalur ayahnya.

Hukum adat di beberapa tempat, memberikan peluang

kepada anak luar nikah untuk bisa menerima warisan dari ayah

(biologisnya).

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

1. Anak yang tidak sah, baik anak zina maupun anak mula’anah

menurut fiqh adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang

tidak sah atau tidak diakui oleh suami ibunya yang dikuatkan

dengan sumpah li’an. Mayoritas ulama fiqh menetapkan

bahwa anak di luar nikah yang sah tidak diperbolehkan

menerima atau meninggalkan warisan dari jalur ayah, baik

ayah biologisnya maupun suami ibunya, serta hanya saling

mewarisi dengan ibunya atau kerabat ibunya

2. Anak yang tidak sah, atau anak di luar nikah yang sah menurut

KHI adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat

pernikahan yang sah. Pembuktian asal-usul anak yang sah

dilakukan dengan alat bukti resmi yang disahkan oleh hukum

Negara, baik berupa sertifikat atau alat bukti lainnya atau

penetapan Pengadilan Agama dengan bukti-bukti yang sah

Page 334: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

311

dan meyakinkan. Anak yang tidak sah atau anak di luar nikah

yang sah, tidak berhak saling mewaris dengan ayah

biologisnya atau suami ibunya dan hanya berhak saling

mewaris dengan ibunya atau kerabat/keluarga ibunya.

3. Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di pengadilan

adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut

hukum positif dan tidak bisa dibuktikan secara hukum.

Dengan pertimbangan hukum positif pula, anak di luar nikah

tidak bisa saling mewaris dengan ayah biologisnya atau suami

ibunya dan hanya bisa saling mewaris dengan ibunya atau

keluarga ibunya. Namun demikian, dalam kasus tertentu,

berdasarkan pertimbangan hukum adat tertentu, pengadilan

bisa menetapkan pemberian warisan kepada anak luar nikah

oleh ayah biologisnya.

4. Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di masyarakat

adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut

hukum agama, hukum negara dan atau hukum adat yang

berlaku setempat. Secara umum, anak di luar nikah menurut

masyarakat hanya bisa saling mewarisi dengan ibunya atau

kerabat ibunya. Namun, dengan pertimbangan lokal,

berdasarkan musyawarah keluarga atau musyawarah adat,

anak di luar nikah bisa saling mewaris dengan ayah

biologisnya.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim

al-Bukhari, Shahih Bukhari, Mausu’ah Hadits an-Nabawi asy-Syarif,

edisi II, Free Program oleh islamspirit.com.

al-Bahr ar-Ra’iq, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

Fatawa al-Baghdadi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

diselesaikan dalam musyawarah adat yang dipimpin oleh

Kepala Desa atau yang dituakan oleh masyarakat desa Winong.

Melihat adanya kenyataan tentang pemberian waris

kepada anak luar nikah di beberapa masyarakat di Indonesia,

bahkan masyarakat yang mayoritas beragama Islam,

berdasarkan hukum adatnya, menjadi sebuah catatan penting,

bahwa pada kasus tertentu, masyarakat bisa tidak menerapkan

hukum Islam (yang termuat di dalam fiqh) dan ketentuan KHI

yang melarang pewarisan anak di luar nikah dari jalur ayahnya.

Hukum adat di beberapa tempat, memberikan peluang

kepada anak luar nikah untuk bisa menerima warisan dari ayah

(biologisnya).

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

1. Anak yang tidak sah, baik anak zina maupun anak mula’anah

menurut fiqh adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang

tidak sah atau tidak diakui oleh suami ibunya yang dikuatkan

dengan sumpah li’an. Mayoritas ulama fiqh menetapkan

bahwa anak di luar nikah yang sah tidak diperbolehkan

menerima atau meninggalkan warisan dari jalur ayah, baik

ayah biologisnya maupun suami ibunya, serta hanya saling

mewarisi dengan ibunya atau kerabat ibunya

2. Anak yang tidak sah, atau anak di luar nikah yang sah menurut

KHI adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat

pernikahan yang sah. Pembuktian asal-usul anak yang sah

dilakukan dengan alat bukti resmi yang disahkan oleh hukum

Negara, baik berupa sertifikat atau alat bukti lainnya atau

penetapan Pengadilan Agama dengan bukti-bukti yang sah

Page 335: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

312

Nailul Authar, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

an-Nawawiy, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Free software

Maktaba Shameela 15 Gb.

Syarh az-Zarkasyi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

Syatha, Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin (Sayyid Bakri

Syatha), I’anah ath-Thalibin, Syarh Fath al-Mu’in, Free

software Maktaba Shameela 15 Gb.

az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Free software

Maktaba Shameela 15 Gb.

Afandi, Wahyu, Aneka Putusan Pengadilan, Bandung: Alumni, 1984.

ash-Shabuniy, Muhammad ‘Ali, al-Mawaris fi asy-Syari’ah al-

Islamiyyah fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, cet. III, Beirut:

‘Alam al-Kutub, 1985.

ash-Shan’ani, as-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani

tsumma, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-

Maram,Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.

az-Zuhayliy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Beirut: Dar al-

Fikr, 1984.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1999.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh Humaniora

Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan

Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

1991/1992.

Makluf, Hasanayn Muhammad, Al-Mawaris fi asy-Syari’at al-

Islamiyyah, t.tp: Matba’ al-Madaniy, 1996.

Page 336: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

313

Muhammad, Bushar, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar,

Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Rineka

Cipta, 1991

Sabiq, as-Sayid, Fiqh as-Sunnah, Semarang: Maktabah Toha Putera,

t.th..

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya

Paramita, 1987.

Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu

Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1981).

Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris

Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali”, Tesis

Magister pada Program Studi Kenotariatan Universitas

Diponegoro Semarang tahun 2006.

Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Azas, Yogyakarta: Penerbit

Liberty, 1981.

Wignjodipuro, Soerojo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung

Agung, 1983.

Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten

Boyolali Jawa Tengah bulan Maret tahun 2006.

Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali

Jawa Tengah bulan Juni tahun 2006.

http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasil-

hubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl.

15.52.

http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm, diakses tgl 23 Juni

2011, pkl 20.47 WIB.

Nailul Authar, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

an-Nawawiy, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Free software

Maktaba Shameela 15 Gb.

Syarh az-Zarkasyi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

Syatha, Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin (Sayyid Bakri

Syatha), I’anah ath-Thalibin, Syarh Fath al-Mu’in, Free

software Maktaba Shameela 15 Gb.

az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Free software

Maktaba Shameela 15 Gb.

Afandi, Wahyu, Aneka Putusan Pengadilan, Bandung: Alumni, 1984.

ash-Shabuniy, Muhammad ‘Ali, al-Mawaris fi asy-Syari’ah al-

Islamiyyah fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, cet. III, Beirut:

‘Alam al-Kutub, 1985.

ash-Shan’ani, as-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani

tsumma, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-

Maram,Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.

az-Zuhayliy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Beirut: Dar al-

Fikr, 1984.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1999.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh Humaniora

Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan

Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

1991/1992.

Makluf, Hasanayn Muhammad, Al-Mawaris fi asy-Syari’at al-

Islamiyyah, t.tp: Matba’ al-Madaniy, 1996.

Page 337: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

314

http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses

tanggal 23 juni 2011, pkl 21.09 wib.

Junaedi, Akhmad, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar

Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna

Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Xxv No.

296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam

http://pa-

kotabumi.go.id/index.php?option=com_content&view=ar

ticle&id =74:kajian-tentang-pengakuan-anak-di-luar-

perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-

wahyudi-di-majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-

296-juli-2010-hlm-92-95&catid=10:artikel&Itemid=110,

diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib.

Rasyid, Chatib, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara

Hukum Islam”, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005

M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret 2009,

dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/

diakses pada 1 Juni 2011, pkl 15.35.

Page 338: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

315

WASIAT PEMBAGIAN HARTA WARIS SEBELUM PEWARIS

MENINGGAL DUNIA DAN PRAKTIK HIBAH DIHITUNG

SEBAGAI BAGIAN WARIS

Zaenul Mahmudi

Latar Belakang

Diskursus mengenai kewarisan merupakan wacana yang

senantiasa menarik dan menantang untuk dibicarakan, di samping

karena variasi sistem kewarisan yang relatif banyak, juga karena

prinsip keadilan menjadi “taruhan” dan pertentangan dalam

pembagiannya. Indonesia memiliki sistem kekeluargaan (family

kinship) yang terdiri dari: patrilineal, matrilineal, dan bilateral di

mana sistem kekeluargaan ini akan melahirkan berbagai macam

sistem kewarisan yang mengikut kepada sistem kekeluargaan

yang dianutnya.

Agama yang diakui di Indonesia juga menelorkan berbagai

sistem kewarisan, sementara Islam sendiri juga memiliki sistem

kewarisan yang berfariatif, sistem kewarisan Sunni, Syi’ah, dan

Kompilasi Hukum Islam, termasuk beberapa ketentuan kewarisan

Islam yang mengalami perubahan dan pergeseran melalui

keputusan Mahkamah Agung yang disebut yurisprudensi. Di

samping itu, juga ada perbedaan mengenai hukum materiil

kewarisan yang diterapkan antar Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Agama.

Tingkat variasi yang tinggi dalam sistem kewarisan yang

diberlakukan oleh masyarakat Indonesia ini, di samping

memberikan banyak alternatif bagi mereka dalam memilih sistem

kewarisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan

kewarisan, juga berimplikasi kepada keraguan dan kebingungan

http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses

tanggal 23 juni 2011, pkl 21.09 wib.

Junaedi, Akhmad, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar

Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna

Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Xxv No.

296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam

http://pa-

kotabumi.go.id/index.php?option=com_content&view=ar

ticle&id =74:kajian-tentang-pengakuan-anak-di-luar-

perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-

wahyudi-di-majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-

296-juli-2010-hlm-92-95&catid=10:artikel&Itemid=110,

diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib.

Rasyid, Chatib, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara

Hukum Islam”, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005

M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret 2009,

dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/

diakses pada 1 Juni 2011, pkl 15.35.

Page 339: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

316

mengenai sistem kewarisan apa yang akan digunakan

memecahkan permasalahannya. Mengingat tingkat pengetahuan

masyarakat Indonesia mengenai sistem kewarisan yang ada yang

masih relatif rendah membuat mereka merasa khawatir apabila

sistem kewarisan yang diterapkan tidak memenuhi rasa keadilan

yang dipersepsikannya dalam pembagian warisan.

Memperhatikan kondisi tersebut, maka banyak orang tua

yang memiliki inisiatif untuk melakukan pembagian terlebih

dahulu terhadap harta kekayaan yang dimilikinya untuk anak-anak

mereka, baik melalui institusi hibah maupun wasiat. Pembagian ini

dilakukan dengan alasan: a) untuk menghindari perpecahan di

antara keluarganya berkenaan dengan pembagian harta warisan,

b) untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana yang

dipersepsikannya dalam pembagian harta kekayaan. Pengaturan

harta dalam pembagian harta melalui wasiat dan hibah ini

dilakukan terhadap keseluruhan atau sebagian besar harta

kekayaan, sehingga dengan adanya pembagian harta diawal, sisa

harta yang akan dibagi berdasarkan sistem kewarisan yang berlaku

di masyarakat tinggal sedikit saja.

Mengingat permasalahan wasiat dan hibah ini sering

dilakukan oleh masyarakat dalam pembagian harta yang akan

menjadi harta warisan sepeninggal pemilikinya, maka perlu dikaji

permasalahan wasiat dan hibah dalam kaitannya dengan

kewarisan dalam perspektif fiqh, praktik masyarakat dan peradilan

serta Kompilasi Hukum Islam.

Pengertian Hibah

Secara literal, hibbah merupakan kata benda (mashdar) dari

kata kerja wa-ha-ba yang berarti pemberian yang tidak ada

gantinya.305 Hibbah menurut istilah adalah akad yang berimplikasi

305 Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), 4929.

Page 340: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

317

kepada kepemilikan tanpa ada ganti pada waktu masih hidup

yang bersifat sukarela (tathawwu‘).306 Kata Hibbah ini meliputi

hadiyyah, shadaqah, dan pemberian (‘athiyyah) mengingat makna

dari istilah-istilah tersebut relatif berdekatan satu sama lainnya.

Suatu pemberian yang diberikan kepada orang yang

memerlukan dan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah

disebut dengan shadaqah, apabila pemberian itu diantarkan

kepada orang yang diberi sebagai suatu penghormatan atau kasih

sayang disebut hadiyyah, apabila tidak maka disebut dengan

hibbah. Sedangkan ‘athiyyah adalah merupakan hibbah yang

pemberian hartanya dilakukan ketika pemilik harta tersebut dalam

kondisi sakit keras.307 Sedangkan menurut yang dikemukakan

dalam “Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah” istilah yang menjadi payung adalah

‘athiyyah, dalam artian bahwa ‘athiyyah meliputi hibbah, shadaqah,

dan hadiyyah.308

Dasar Hukum

Dasar dari pemberian (hibbah) ini adalah firman Allah:

Artinya:

“… dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,

anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

306 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Vol. 5 ( Damaskus: Dâr al-Fikr,

1985), 5.

307 Ibid, 5.

308 Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42

(Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004), 120

mengenai sistem kewarisan apa yang akan digunakan

memecahkan permasalahannya. Mengingat tingkat pengetahuan

masyarakat Indonesia mengenai sistem kewarisan yang ada yang

masih relatif rendah membuat mereka merasa khawatir apabila

sistem kewarisan yang diterapkan tidak memenuhi rasa keadilan

yang dipersepsikannya dalam pembagian warisan.

Memperhatikan kondisi tersebut, maka banyak orang tua

yang memiliki inisiatif untuk melakukan pembagian terlebih

dahulu terhadap harta kekayaan yang dimilikinya untuk anak-anak

mereka, baik melalui institusi hibah maupun wasiat. Pembagian ini

dilakukan dengan alasan: a) untuk menghindari perpecahan di

antara keluarganya berkenaan dengan pembagian harta warisan,

b) untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana yang

dipersepsikannya dalam pembagian harta kekayaan. Pengaturan

harta dalam pembagian harta melalui wasiat dan hibah ini

dilakukan terhadap keseluruhan atau sebagian besar harta

kekayaan, sehingga dengan adanya pembagian harta diawal, sisa

harta yang akan dibagi berdasarkan sistem kewarisan yang berlaku

di masyarakat tinggal sedikit saja.

Mengingat permasalahan wasiat dan hibah ini sering

dilakukan oleh masyarakat dalam pembagian harta yang akan

menjadi harta warisan sepeninggal pemilikinya, maka perlu dikaji

permasalahan wasiat dan hibah dalam kaitannya dengan

kewarisan dalam perspektif fiqh, praktik masyarakat dan peradilan

serta Kompilasi Hukum Islam.

Pengertian Hibah

Secara literal, hibbah merupakan kata benda (mashdar) dari

kata kerja wa-ha-ba yang berarti pemberian yang tidak ada

gantinya.305 Hibbah menurut istilah adalah akad yang berimplikasi

305 Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), 4929.

Page 341: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

318

pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan

(memerdekakan) hamba sahaya. (QS. Al-Baqarah: 177)

Hibbah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah yang

diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut:

309

“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Saling memberilah

hadiah (hibbah) kalian, niscaya kalian akan saling mencintai”.

Dan sabda Rasulullah:

310

“Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah

seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah

dikeluarkannya”

Selain itu, para ulama juga telah sepakat mengenai

dianjurkannya memberikan hibbah sebagai suatu

pengejawantahan dari perintah Allah untuk senantiasa tolong

menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al-Mâ’idah: 2),311

karena hibbah ini memiliki implikasi yang bagus dalam pergaulan

antara sesama Muslim di mana bisa menebarkan rasa kasih sayang

dan cinta kasih di antara mereka, di samping hikmah-hikmah lain

yang timbul dari pemberian hibbah ini.

309 Abû Bakar ibn ‘Ali al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 2002), 280.

310 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr

al-Thaibah, 2005), 444.

311 Lihat Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, 7. Dan Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah

…Vol. 42, 121

Page 342: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

319

Pengertian Wasiat

Kata washiyyah, secara literal merupakan bentuk kata

benda (mashdar) dari kata washa yang kemudian mendapatkan

tambahan alif di depannya menjadi ausha atau di-tadl‘if-kan

menjadi washsha yang berarti ‘ahida atau mempercayakan,

memberikan perintah atau arahan, mendelegasikan, atau

memberikan kekuasaan. Bentuk mashdar dari ausha ini selain

washiyyah adalah washâh, washâyah, dan wishâyah.312 Washiyyah

juga bisa berarti apa yang diwasiatkan dan disebut wasiat karena

berkaitan erat dengan permasalahan kematian.313

Sedangkan secara terminologis, washiyyah adalah akad

kepemilikan yang implementasinya disandarkan kepada setelah

kematian secara suka rela, baik terhadap harta benda atau

manfaat.314 Implementasi washiyyah yang dilakukan setelah

pewasiat (al-mûshi) meninggal dunia ini merupakan poin

pembeda dengan bentuk-bentuk karitas yang lain, seperti hibbah,

‘athiyyah, shadaqah, dan hadiyyah.

Para ulama ada yang mendefinisikan secara lebih luas,

yaitu segala perbuatan yang diwasiatkan pewasiat yang

diimplementasikan setelah si pewaris meninggal dunia, seperti

wasiat kepada seseorang untuk menikahkan puterinya, wasiat

mengenai bagaimana dia dimandikan, atau wasiat kepada

seseorang untuk menjadi imam shalat dan lain sebagainya.315

Washiyyah juga bisa berkenaan dengan pembebasan dari

312 Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), 4853.

313 Ibid, 4854.

314 Lihat Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah…, Vol. 43, 221. Dan Wahbah al-Zuhailî, al-

Fiqh… Vol., 8.

315 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, Vol. 8, 9.

pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan

(memerdekakan) hamba sahaya. (QS. Al-Baqarah: 177)

Hibbah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah yang

diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut:

309

“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Saling memberilah

hadiah (hibbah) kalian, niscaya kalian akan saling mencintai”.

Dan sabda Rasulullah:

310

“Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah

seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah

dikeluarkannya”

Selain itu, para ulama juga telah sepakat mengenai

dianjurkannya memberikan hibbah sebagai suatu

pengejawantahan dari perintah Allah untuk senantiasa tolong

menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al-Mâ’idah: 2),311

karena hibbah ini memiliki implikasi yang bagus dalam pergaulan

antara sesama Muslim di mana bisa menebarkan rasa kasih sayang

dan cinta kasih di antara mereka, di samping hikmah-hikmah lain

yang timbul dari pemberian hibbah ini.

309 Abû Bakar ibn ‘Ali al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 2002), 280.

310 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr

al-Thaibah, 2005), 444.

311 Lihat Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, 7. Dan Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah

…Vol. 42, 121

Page 343: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

320

kepemilikan harta, seperti wasiat mengenai pembebasan hutang,

pembebasan dari penanggung jawab terhadap harta benda,

demikian juga wasiat bisa berkenaan dengan hak untuk

melakukan sesuatu, seperti wasiat untuk segera melunasi hutang

dan menjual harta kekayaan kepada seorang tertentu.316

Dasar Hukum

Washiyyah ini didasarkan kepada ketentuan al-Qur’an,

hadits, ijma’, dan rasionalitas. Menurut al-Qur’an, washiyyah

merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang

merasa ajalnya sudah dekat, sebagaimana firman Allah:

Artinya:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu

kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang

banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara

makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

(QS. Al-Baqarah; 180).

Washiyyah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah saw.

316 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…. , Vol. 8, 9-10.

Page 344: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

321

317

“Ali ibn Muhammad menceritakan kepada kami, Waki’

menceritakan kepada kami dari Thalhah ibn Umar dari Atha’ dari

Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:

“Sesungghnya Allah memerintahkan kamu untuk bersedekah pada

waktu kematianmu sepertiga hartamu sebagai tambahan kebaikan

bagi amal perbuatanmu”.

Sedangkan berdasarkan ijmak, para ulama sepakat atas kebolehan

melakukan wasiat. Dan secara logika, wasiat penting dilakukan

oleh setiap orang untuk memperbanyak kebaikan dan perbuatan

yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.318

A. Hibah dan Wasiat Perspektif Fiqh

1. Hibah Perspektif Fiqh

Hibbah sebagaimana bentuk-bentuk karitas yang lain

merupakan perbuatah kebaikan yang ditujukan untuk

menguatkan kasih sayang dan rasa cinta kasih antara sesama

manusia, selain untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT.

Dalam melakukan hibbah, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yaitu: rukun hibbah dan syarat-syaratnya, hukum

hibbah dan hibbah kepada anak.

a. Rukun Hibbah dan syarat-syaratnya

Para ulama sepakat bahwa rukun hibah terdiri dari tiga

unsur, yaitu: 1) dua orang yang melakukan akad hibah, yaitu orang

yang menghibbahkan (al-wâhib) dan orang yang menerima hibah

317 Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî al-Syahîr bi Ibn Mâjah, Sunan

Ibn Mâjah (Riyâdl: Maktabah al-Ma‘ârif, 1417H.), 460.

318 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …., Vol. 8, 11.

kepemilikan harta, seperti wasiat mengenai pembebasan hutang,

pembebasan dari penanggung jawab terhadap harta benda,

demikian juga wasiat bisa berkenaan dengan hak untuk

melakukan sesuatu, seperti wasiat untuk segera melunasi hutang

dan menjual harta kekayaan kepada seorang tertentu.316

Dasar Hukum

Washiyyah ini didasarkan kepada ketentuan al-Qur’an,

hadits, ijma’, dan rasionalitas. Menurut al-Qur’an, washiyyah

merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang

merasa ajalnya sudah dekat, sebagaimana firman Allah:

Artinya:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu

kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang

banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara

makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

(QS. Al-Baqarah; 180).

Washiyyah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah saw.

316 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…. , Vol. 8, 9-10.

Page 345: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

322

(al-muhûb lah), 2) benda yang dihibahkan (al-mauhûb,), dan 3)

shîghat yang terdiri dari îjâb dan qabûl.

1) Syarat bagi Orang yang bertransaksi (al-wâhib dan al-mauhûb

lah)

Berkenaan dengan dua orang yang melakukan akad (al-

wâhib dan al-mauhûb), para ulama mempersyaratkan bahwa

keduanya harus berakal, baligh, dan bijaksana (rasyîd). Dengan

demikian akad hibah tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anak-

anak, orang bodoh dan orang yang berada di bawah

pengampuan. Sedangkan orang yang sedang sakit, maka apabila

dia sakit keras (maradl al-maut), maka hibah yang dilakukan

disamakan dengan hukum wasiat, yaitu tidak boleh melebihi

sepertiga harta, kecuali atas persetujuan ahli waris.319

Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang yang tidak

memiliki kewenangan menghibahkan harta (fudlûliî), menurut

mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali hibah tersebut adalah batal,

sementara menurut Mazhab Hanafi dan pendapat kedua mazhab

Syafi’i, hibah tersebut sah, namun tergantung kepada izin pemilik

barang tersebut. Apabila pemiliknya menyetujuinya, maka hibah

tersebut sah, namun apabila tidak menyetujuinya, maka hibah

tersebut batal.320

Sedangkan mengenai hibah yang dilakukan oleh orang

yang dalam kondisi mabuk, maka perlu diperhatikan penyebab

319 Mengenai orang yang dalam kondisi maradl al-maut ini, mazhab Hanbali

menganalogikannya dengan orang yang berada di medan pertempuran, seseorang yang

sedang berjuang melawan ombak besar, orang yang berada di daerah yang sedang dilanda

penyakit mematikan (al-tha‘ûn), perempuan hamil yang sedang proses melahirkan dan

orang yang sedang menghadapi hukuman mati (qishâsh).Lihat Wuzârah al-Auqâf wa al-

Syu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42 (Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa al-

Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004), 121-123.

320 Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah …, Vol. 42, 123.

Page 346: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

323

orang tersebut mabuk. Apabila dia mabuk karena sesuatu yang

diperbolehkan atau halal, seperti karena obat bius atau tumbuh-

tumbuhan yang membuatnya mabuk, maka segala tindakan yang

dilakukan adalah tidak sah, termasuk hibah yang dilakukannya.

Namun apabila dia mabuk karena sesuatu yang diharamkan

seperti meminum khamr atas kehendaknya sendiri, maka ada

perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut mazhab Hanafi,

Syafi’i, dan Hanbali perbuatan yang dilakukan dan pengakuannya

adalah sah, termasuk hibah yang dilakukan. Pendapat ini

didasarkan kepada firman Allah:

43

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang

kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang

kamu ucapkan…”321

Ayat ini menunjukkan bahwa perkataan yang diucapkan

oleh orang yang sedang mabuk adalah tidak menimbulkan

keraguan di dalamnya sebagaimana perkataan yang diucapkan

oleh orang yang sadar. Oleh karena itu, mengingat bahwa orang

yang mabuk juga terkena khithâb syar‘î, maka sifat mabuk tersebut

tidak menghilangkan kompetensinya sebagai mukallaf, sehingga

segala tindakannya adalah sah, demikian juga perkataannya.

Sesuatu yang hilang dari orang yang mabuk adalah kehendaknya,

namun perkataannya tetap dianggap sah.322

321 Departemen Agama RI, al-Qur’an…., 85.

322 Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42, 124

(al-muhûb lah), 2) benda yang dihibahkan (al-mauhûb,), dan 3)

shîghat yang terdiri dari îjâb dan qabûl.

1) Syarat bagi Orang yang bertransaksi (al-wâhib dan al-mauhûb

lah)

Berkenaan dengan dua orang yang melakukan akad (al-

wâhib dan al-mauhûb), para ulama mempersyaratkan bahwa

keduanya harus berakal, baligh, dan bijaksana (rasyîd). Dengan

demikian akad hibah tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anak-

anak, orang bodoh dan orang yang berada di bawah

pengampuan. Sedangkan orang yang sedang sakit, maka apabila

dia sakit keras (maradl al-maut), maka hibah yang dilakukan

disamakan dengan hukum wasiat, yaitu tidak boleh melebihi

sepertiga harta, kecuali atas persetujuan ahli waris.319

Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang yang tidak

memiliki kewenangan menghibahkan harta (fudlûliî), menurut

mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali hibah tersebut adalah batal,

sementara menurut Mazhab Hanafi dan pendapat kedua mazhab

Syafi’i, hibah tersebut sah, namun tergantung kepada izin pemilik

barang tersebut. Apabila pemiliknya menyetujuinya, maka hibah

tersebut sah, namun apabila tidak menyetujuinya, maka hibah

tersebut batal.320

Sedangkan mengenai hibah yang dilakukan oleh orang

yang dalam kondisi mabuk, maka perlu diperhatikan penyebab

319 Mengenai orang yang dalam kondisi maradl al-maut ini, mazhab Hanbali

menganalogikannya dengan orang yang berada di medan pertempuran, seseorang yang

sedang berjuang melawan ombak besar, orang yang berada di daerah yang sedang dilanda

penyakit mematikan (al-tha‘ûn), perempuan hamil yang sedang proses melahirkan dan

orang yang sedang menghadapi hukuman mati (qishâsh).Lihat Wuzârah al-Auqâf wa al-

Syu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42 (Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa al-

Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004), 121-123.

320 Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah …, Vol. 42, 123.

Page 347: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

324

Menurut mazhab Maliki, orang yang mabuk karena sesuatu

yang diharamkan, maka dia bisa melakukan tindakan pidana,

membebaskan budak, dan menjatuhkan talak dan tindakan

tersebut sah, namun dalam masalah pengakuan, transaksi jual-

beli, sewa-menyewa, hibah, shadaqah dan wakaf dari orang

tersebut tidak sah dan tidak dapat diterima.

Sedangkan menurut pendapat kedua dari mazhab Syafi’i

dan Hanbali, transaksi dan pengakuan yang dilakukan oleh orang

yang dalam kondisi mabuk adalah tidak sah. Mereka beralasan

bahwa orang yang mabuk tidak memiliki kehendak, kondisinya

adalah seperti orang yang dipaksa (mukrah). Di sisi lain, berakal

adalah syarat adanya taklîf, mengingat orang yang mabuk sama

dengan orang yang tidak berakal, maka perbuatan yang dilakukan

adalah tidak sah.323

Sedangkan syarat yang harus dimiliki oleh penerima hibah

(al-mauhûb lah), para ulama fikih mepersyaratkan bahwa penerima

hibah harus orang yang memiliki kompetensi untuk memiliki (ahl li

al-milk). Apabila penerima barang tersebut baligh dan berakal,

maka dia sendiri bisa menerima hibah tersebut, namun apabila dia

tidak memiliki kompetensi, maka hibah tersebut tetap sah, namun

harus ada penanggung jawab terhadap harta hibah tersebut,

seperti wali anak atau orang tersebut.324

2) Ketentuan bagi barang yang dihibahkan (al-mauhûb)

Ketentuan terhadap barang yang boleh dihibahkan adalah

mengikuti kaidah “mâ shahha bai‘uhu shahhat hibbatuhu” “sesuatu

yang boleh diperjual-belikan, maka boleh dihibahkan”. Syarat yang

323 Ibid, 124-125

324 Ibid, 125

Page 348: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

325

harus dipenuhi bagi sesuatu yang dihibahkan adalah sebagai

berikut: a) sesuatu tersebut ada, b) sesuatu tersebut dimiliki oleh

pemberi hibah (wâhib) sendiri, c) berupa sesuatu yang memiliki

nilai (mutaqawwim), d) sesuatu yang terkontrol secara pribadi

(mahûz) (bukan milik publik), e) sesuatu yang bisa diserah-

terimakan.325

3) Ketentuan mengenai sîghat hibah

Ada perbedaan di kalangan ulama mengenai sîghat hibbah,

apakah terdiri dari îjâb dan qabûl ataukah hanya cukup îjâb.

Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa sîghat

hibah terdiri dari satu paket îjâb dan qabûl, namun menurut

mazhab Hanafi sîghat hibah cukup îjâb. Jumhur ulama beralasan

bahwa akad hibah merupakan akad syari‘î yang tidak sah atau

tidak berimplikasi kepada pemindahan hak milik, apabila îjâb tidak

disertai dengan qabûl, sebagaimana akad jual beli, sementara

mazhab Hanafi beralasan bahwa makna hibbah secara bahasa

adalah hanya ungkapan îjâb dari pemilik barang.326

b. Ketentuan Hibah

Pada prinsipnya hibah memindahkan hak kepemilikan

terhadap sesuatu yang dihibahkan kepada orang yang menerima

hibah tanpa adanya penggantian (‘iwadl), namun tidak demikian

menurut mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa perpindahan

kepemilikan tersebut tidak secara otomatis, karena orang yang

menghibahkan (wâhib) boleh menarik kembali atau membatalkan

hibah yang telah dilakukan.327 Pendapat ini didasarkan kepada

hadits Rasulullah:

325 Ibid, 125-126

326 Ibid, 134

327 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 26

Menurut mazhab Maliki, orang yang mabuk karena sesuatu

yang diharamkan, maka dia bisa melakukan tindakan pidana,

membebaskan budak, dan menjatuhkan talak dan tindakan

tersebut sah, namun dalam masalah pengakuan, transaksi jual-

beli, sewa-menyewa, hibah, shadaqah dan wakaf dari orang

tersebut tidak sah dan tidak dapat diterima.

Sedangkan menurut pendapat kedua dari mazhab Syafi’i

dan Hanbali, transaksi dan pengakuan yang dilakukan oleh orang

yang dalam kondisi mabuk adalah tidak sah. Mereka beralasan

bahwa orang yang mabuk tidak memiliki kehendak, kondisinya

adalah seperti orang yang dipaksa (mukrah). Di sisi lain, berakal

adalah syarat adanya taklîf, mengingat orang yang mabuk sama

dengan orang yang tidak berakal, maka perbuatan yang dilakukan

adalah tidak sah.323

Sedangkan syarat yang harus dimiliki oleh penerima hibah

(al-mauhûb lah), para ulama fikih mepersyaratkan bahwa penerima

hibah harus orang yang memiliki kompetensi untuk memiliki (ahl li

al-milk). Apabila penerima barang tersebut baligh dan berakal,

maka dia sendiri bisa menerima hibah tersebut, namun apabila dia

tidak memiliki kompetensi, maka hibah tersebut tetap sah, namun

harus ada penanggung jawab terhadap harta hibah tersebut,

seperti wali anak atau orang tersebut.324

2) Ketentuan bagi barang yang dihibahkan (al-mauhûb)

Ketentuan terhadap barang yang boleh dihibahkan adalah

mengikuti kaidah “mâ shahha bai‘uhu shahhat hibbatuhu” “sesuatu

yang boleh diperjual-belikan, maka boleh dihibahkan”. Syarat yang

323 Ibid, 124-125

324 Ibid, 125

Page 349: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

326

328

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: orang

yang menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh terhadap sesuatu

tersebut selama belum diserahkan penggantinya”

Hadits ini, selain menunjukkan bahwa pemilik benda

memiliki hak penuh terhadap benda yang dihibahkan ketika

belum ada penggantinya, juga menunjukkan bahwa hibah bisa

dilakukan dengan meminta ganti. Namun ketika ganti tersebut

telah diberikan, maka penghibah tidak boleh menarik benda yang

dihibahkan dan penerima hibah berhak menolak apabila benda

yang dihibahkan tersebut akan ditarik kembali. Benda tersebut

boleh ditarik kembali asalkan dilakukan suka sama suka atau

melalui keputusan hakim.329 Ketidakbolehan menarik benda yang

dihibahkan tersebut didasarkan kepada hadits Rasulullah:

330

“Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah

seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah

dikeluarkannya”

c. Hibah orang tua kepada anaknya

Para ulama sepakat bahwa hibah kepada anak dianjurkan

untuk tidak berat sebelah antara anak yang satu dengan anak

328 Ali ibn ‘Umar al-Dâruquthnî, Sunan al-Dâruqutnî Vol. 3, (Beirut: Mu’assasah al-

Risâlah, 2004), 461.

329 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 26

330 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr

al-Thaibah, 2005), 444.

Page 350: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

327

lainnya, namun para ulama berbeda pendapat mengenai maksud

tidak berat sebelah atau menyamakan antara anak-anaknya.

Menurut Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki dan Syafi’i,

yang dimaksud tidak berat sebelah adalah mempersamakan

bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam

pemberian hibah sebagaimana sabda Rasulullah:

331

“Dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:

samakanlah pemberian di antara anak-anak kalian, jika lebih

mengutamakan seseorang, niscaya saya akan melebihkan

perempuan”

Dan hadits Rasulullah:

332

331 Abû Bakar ibn ‘Ali al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 2002), 294.

332 Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim

(Riyâdl: Dâr Thaibah, 2006), 763.

328

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: orang

yang menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh terhadap sesuatu

tersebut selama belum diserahkan penggantinya”

Hadits ini, selain menunjukkan bahwa pemilik benda

memiliki hak penuh terhadap benda yang dihibahkan ketika

belum ada penggantinya, juga menunjukkan bahwa hibah bisa

dilakukan dengan meminta ganti. Namun ketika ganti tersebut

telah diberikan, maka penghibah tidak boleh menarik benda yang

dihibahkan dan penerima hibah berhak menolak apabila benda

yang dihibahkan tersebut akan ditarik kembali. Benda tersebut

boleh ditarik kembali asalkan dilakukan suka sama suka atau

melalui keputusan hakim.329 Ketidakbolehan menarik benda yang

dihibahkan tersebut didasarkan kepada hadits Rasulullah:

330

“Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah

seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah

dikeluarkannya”

c. Hibah orang tua kepada anaknya

Para ulama sepakat bahwa hibah kepada anak dianjurkan

untuk tidak berat sebelah antara anak yang satu dengan anak

328 Ali ibn ‘Umar al-Dâruquthnî, Sunan al-Dâruqutnî Vol. 3, (Beirut: Mu’assasah al-

Risâlah, 2004), 461.

329 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 26

330 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr

al-Thaibah, 2005), 444.

Page 351: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

328

“Dari Nu’man ibn Basyir berkata: Ayah saya menyedekahkan

sebagian hartanya kepadaku, kemudian ibuku ‘Amrah binti Rawahah

berkata: Saya tidak rela sebelum kamu meminta kesaksian dari

Rasulullah saw., kemudian ayahku berangkat menghadap Nabi saw.

untuk meminta kesaksian mengenai sedekah untukku, kemudian

Rasulullah saw. berkata kepada ayahku: Apakah engkau melakukan

hal ini kepada anakmu semuanya?, ayahku menjawab: Tidak,

kemudian Rasulullah bersabda: Takutlah kamu kepada Allah, dan

berbuat adillah kepada anak-anakmu, kemudian ayahku pulang dan

membatalkan sedekah tersebut.”

Sementara menurut mazhab Hanbali dan Muhammad al-

Syaibani dari mazhab Hanafi yang dimaksud dengan adil dalam

memberikan hibah kepada anak-anaknya adalah sesuai dengan

ketentuan umum yang terdapat dalam pembagian warisan

sebagai ketentuan Allah, yaitu memberikan hibah kepada anak

laki-laki dua kali lipat bagian hibah untuk anak perempuan.

Menurut mereka, ketentuan Allah inilah yang perlu diikuti dalam

pembagian hibah kepada anak-anaknya.333

Sedangkan mengenai bagiamana hukumnya

menyamakan pembagian hibah kepada anak laki-laki dan anak

perempuan? Jumhur ulama berpendapat bahwa mempersamakan

bagian hibah tersebut tidak wajib, tetapi hanya merupakan

anjuran. Namun menurut sementara ulama, seperti Ahamad ibn

Hanbal, al-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan lain-lain berpendapat bahwa

pemberian hibah kepada anak-anak harus jumlahnya sama antara

anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka berpendapat, apabila

hibah tersebut tidak mempersamakan di antara mereka, maka

hibah tersebut tidak sah. Pendapat ini didasarkan kepada hadits di

atas yang menggunakan kalimat: “” dan “”, karena

333 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 24-25

Page 352: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

329

yang dimaksud dengan adil adalah mempersamakan bagian hibah

di antara anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan.334

d. Menarik Hibah

Menarik hibah atau membatalkan hibah yang telah

diberikan kepada penerima hibah (al-mauhûb lah) merupakan

sesuatu yang tidak etis untuk dilakukan. Namun ada perbedaan

ulama mengenai masalah ini: Pendapat pertama, tidak boleh

menarik hibah terhadap barang yang telah diserah terimakan,

kecuali hibah orang tua kepada anaknya, sebagaimana pendapat

mazhab Maliki dan Hanbali. Orang tua di sini tidak hanya ayah,

tetapi juga ibu, sebagaimana mazhab Maliki. Pendapat ini

didasarkan kepada hadits Rasulullah:

335

“Dari Thawus bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Tidak boleh bagi

orang yang telah memberikan hibah menarik kembali apa yang telah

dihibahkan, kecuali hibah yang diberikan orang tua kepada

anaknya”

Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa menarik

hibah adalah diperbolehkan selama ada alasan yang bisa

dibenarkan. Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi dengan

mendasarkan pendapatnya kepada hadits:

336

334 Ibid), 25

335 al-Baihaqî, al-Sunan …, Vol. 6, 298

336 al-Dâruquthnî, Sunan… Vol. 3, 461.

“Dari Nu’man ibn Basyir berkata: Ayah saya menyedekahkan

sebagian hartanya kepadaku, kemudian ibuku ‘Amrah binti Rawahah

berkata: Saya tidak rela sebelum kamu meminta kesaksian dari

Rasulullah saw., kemudian ayahku berangkat menghadap Nabi saw.

untuk meminta kesaksian mengenai sedekah untukku, kemudian

Rasulullah saw. berkata kepada ayahku: Apakah engkau melakukan

hal ini kepada anakmu semuanya?, ayahku menjawab: Tidak,

kemudian Rasulullah bersabda: Takutlah kamu kepada Allah, dan

berbuat adillah kepada anak-anakmu, kemudian ayahku pulang dan

membatalkan sedekah tersebut.”

Sementara menurut mazhab Hanbali dan Muhammad al-

Syaibani dari mazhab Hanafi yang dimaksud dengan adil dalam

memberikan hibah kepada anak-anaknya adalah sesuai dengan

ketentuan umum yang terdapat dalam pembagian warisan

sebagai ketentuan Allah, yaitu memberikan hibah kepada anak

laki-laki dua kali lipat bagian hibah untuk anak perempuan.

Menurut mereka, ketentuan Allah inilah yang perlu diikuti dalam

pembagian hibah kepada anak-anaknya.333

Sedangkan mengenai bagiamana hukumnya

menyamakan pembagian hibah kepada anak laki-laki dan anak

perempuan? Jumhur ulama berpendapat bahwa mempersamakan

bagian hibah tersebut tidak wajib, tetapi hanya merupakan

anjuran. Namun menurut sementara ulama, seperti Ahamad ibn

Hanbal, al-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan lain-lain berpendapat bahwa

pemberian hibah kepada anak-anak harus jumlahnya sama antara

anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka berpendapat, apabila

hibah tersebut tidak mempersamakan di antara mereka, maka

hibah tersebut tidak sah. Pendapat ini didasarkan kepada hadits di

atas yang menggunakan kalimat: “” dan “”, karena

333 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 24-25

Page 353: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

330

“Orang yang telah menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh

terhadap sesuatu tersebut selama belum diserahkan penggantinya”

Kedua pendapat tersebut bisa dikompromikan, karena

konteks pendapat pertama adalah berbeda dengan konteks

pendapat kedua. Jadi menarik hibah terhadap barang yang telah

diserahterimakan dan/atau telah diberikan penggantinya, ketika si

wâhib meminta penggantian, maka menarik kembali hibah

tersebut adalah boleh. Sementara apabila si wâhib meminta

penggantian atas hibah yang diberikan dan si mauhûb lah belum

memberikannya, maka hibah tersebut bisa dibatalkan atau ditarik

kembali.

2. Wasiat Perspektif Fiqh

Wasiat merupakan institusi pengalihan harta yang biasa

dipraktikkan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam. Menurut hukum

Romawi, seorang pemilik harta memiliki kebebasan untuk

mewasiatkan hartanya tanpa ada batasnya, bahkan dengan tidak

memberikan sama sekali kepada anak-anaknya. Demikian juga

kondisi bangsa Arab sebelum Islam, mereka akan bangga dan

berlomba-lomba memberikan wasiat kepada orang lain dan

mengabaikan wasiat kepada para kerabatnya.337 Kondisi ini sangat

merugikan anak-anak mereka dan kerabatnya yang lebih berhak

untuk menerima harta milik orang tua atau kerabatnya.

Ketika Islam datang, tradisi pengalihan harta melalui

institusi wasiat ini diluruskan dengan lebih mengutamakan

pemberian wasiat kepada kedua orang tua dan para kerabatnya,

sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah:

337 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 8, 7

Page 354: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

331

180“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu

kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan

harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib

kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas

orang-orang yang bertakwa.338Dengan adanya firman Allah ini, maka seorang pemilik harta

dibatasi untuk lebih mengutamakan pemberian wasiat kepada

orang tua dan kerabatnya. Dia boleh memberikan wasiat kepada

orang lain apabila, orang tua dan kerabatnya telah lebih dahulu

diberi wasiat.

Pengalihan harta melalui institusi wasiat ini merupakan

keniscayaan yang harus dilakukan sesorang yang memiliki harta,

sementara dia merasa ajalnya telah dekat, sementara di sisi lain

Allah belum menurunkan ayat-ayat al-Qur’an yang berisi

ketentuan-ketentuan mengenai warisan. Wasiat ini berfungsi

sebagai petunjuk bagi para kerabat yang ditinggalkannya dalam

melakukan pembagian terhadap harta yang ditinggalkannya.

Namun ketika ayat mengenai ketentuan warisan telah

turun, maka wilayah keberlakukan wasiat tersebut dibatasi dalam

dua hal.339 Pertama, wasiat tidak boleh lagi diberikan kepada para

ahli waris, sebagaimana sabda Rasulullah ketika menyampaikan

khutbah pada waktu haji wada’:

338 Departemen Agama RI, al-Qur’an …, 27.

339 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, Vol. 8, 7-8.

“Orang yang telah menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh

terhadap sesuatu tersebut selama belum diserahkan penggantinya”

Kedua pendapat tersebut bisa dikompromikan, karena

konteks pendapat pertama adalah berbeda dengan konteks

pendapat kedua. Jadi menarik hibah terhadap barang yang telah

diserahterimakan dan/atau telah diberikan penggantinya, ketika si

wâhib meminta penggantian, maka menarik kembali hibah

tersebut adalah boleh. Sementara apabila si wâhib meminta

penggantian atas hibah yang diberikan dan si mauhûb lah belum

memberikannya, maka hibah tersebut bisa dibatalkan atau ditarik

kembali.

2. Wasiat Perspektif Fiqh

Wasiat merupakan institusi pengalihan harta yang biasa

dipraktikkan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam. Menurut hukum

Romawi, seorang pemilik harta memiliki kebebasan untuk

mewasiatkan hartanya tanpa ada batasnya, bahkan dengan tidak

memberikan sama sekali kepada anak-anaknya. Demikian juga

kondisi bangsa Arab sebelum Islam, mereka akan bangga dan

berlomba-lomba memberikan wasiat kepada orang lain dan

mengabaikan wasiat kepada para kerabatnya.337 Kondisi ini sangat

merugikan anak-anak mereka dan kerabatnya yang lebih berhak

untuk menerima harta milik orang tua atau kerabatnya.

Ketika Islam datang, tradisi pengalihan harta melalui

institusi wasiat ini diluruskan dengan lebih mengutamakan

pemberian wasiat kepada kedua orang tua dan para kerabatnya,

sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah:

337 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 8, 7

Page 355: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

332

340“Dari Syurahbîl ibn Muslim, saya mendengan Abû Umâmah

berkata: saya pernah mendengar Rasulullah bersabda:

Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap

orang yang memiliki hak, maka dari itu tidak ada wasiat

untuk ahli waris.”

Ketentuan ini diberlakukan untuk menghindari penumpukan harta

kepada orang tertentu saja (kai lâ yakûna dûlatan baina al-

aghniyâ’) di mana apabila institusi waris dan wasiat sebagaimana

tetap diberlakukan secara bersamaan, maka orang tua; ayah dan

ibu akan memperoleh bagian dari dua jalur, yaitu wasiat dan

warisan. Penumpukan harta inilah yang tidak dikehendaki Islam

dalam permasalahan pembagian harta.

Kedua, adalah ketentuan mengenai pembatasan jumlah

wasiat yang diperbolehkan kepada orang selain ahli waris yang

mendapatkan bagian warisan, sebagaimana sabda Rasulullah

kepada Sa’d ibn Abi Waqâsh ketika berada di Mekkah saat

menunaikan haji Wada’:

340 Abû Dâwud Sulaimân al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwud, Vol. 3 (Beirut: Dâr

Ibn Hazm, 1997), 196.

Page 356: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

333

341“Dari Sa’d ibn Abî Waqâsh ra. berkata: Nabi saw. pernah

menjenguk saya ketika saya tinggal di Mekkah. Dia

mengungkapkan ketidaksukaannya apabila meninggal

dunia di wilayah di mana dia berhijrah seraya berkata:

Semoga Engkau dirahmati oleh Allah, wahai Ibn ‘Afrâ’ (Sa’d

ibn Abî Waqâsh). Kemudian saya bertanya kepada

Rasulullah: Bolehkah saya mewasiatkan semua harta saya?

Rasulullah menjawab: Jangan. Saya bertanya lagi:

Bagaiamana apabila separuhnya? Dia menjawab: Jangan.

Saya bertanya kembali: bagiamana apabila sepertiganya?

Dia menjawab: Sepertiga! Sepertiga itu banyak.

Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan para ahli

warismu dalam kondisi kaya adalah lebih baik daripada

engkau meninggalkan mereka dalam kondisi papa yang

meminta-minta di hadapan orang-orang”.

Berdasarkan kedua hadits di atas, maka institusi wasiat

yang telah ada sebelum ketentuan-ketentuan al-Qur’an yang

mengatur pembagian warisan (surat al-Nisâ’ ayat: 7-13 dan 176)

tidak dihapus secara total, namun ada pembatasan pemberlakuan

wasiat tersebut, yaitu: tidak boleh wasiat kepada ahli waris dan

wasiat kepada orang lain hanya diperbolehkan maksimal sepertiga

harta. Ketentuan ini diberlakukan dalam rangka lebih

mengutamakan kepentingan anak-anak terlebih dahulu daripada

341 Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Shahîh, Vol. 2

(Cairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1403H.), 287 dan lihat juga Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-

Bârî …,Vol. 6, 674.

340“Dari Syurahbîl ibn Muslim, saya mendengan Abû Umâmah

berkata: saya pernah mendengar Rasulullah bersabda:

Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap

orang yang memiliki hak, maka dari itu tidak ada wasiat

untuk ahli waris.”

Ketentuan ini diberlakukan untuk menghindari penumpukan harta

kepada orang tertentu saja (kai lâ yakûna dûlatan baina al-

aghniyâ’) di mana apabila institusi waris dan wasiat sebagaimana

tetap diberlakukan secara bersamaan, maka orang tua; ayah dan

ibu akan memperoleh bagian dari dua jalur, yaitu wasiat dan

warisan. Penumpukan harta inilah yang tidak dikehendaki Islam

dalam permasalahan pembagian harta.

Kedua, adalah ketentuan mengenai pembatasan jumlah

wasiat yang diperbolehkan kepada orang selain ahli waris yang

mendapatkan bagian warisan, sebagaimana sabda Rasulullah

kepada Sa’d ibn Abi Waqâsh ketika berada di Mekkah saat

menunaikan haji Wada’:

340 Abû Dâwud Sulaimân al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwud, Vol. 3 (Beirut: Dâr

Ibn Hazm, 1997), 196.

Page 357: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

334

kepentingan orang lain, sebagaimana yang diungkapkan dalam

hadits di atas dan diperkuat firman Allah:

9

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang

mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu,

hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka

mengucapkan perkataan yang benar”.342

David S. Power melakukan periodesasi mengenai institusi

pengalihan harta warisan menjadi tiga fase, yaitu:

a. Periode Mekkah (610-622M.), pada periode ini pengalihan

harta antar generasi dilakukan dengan menggunakan institusi

wasiat, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para sahabat

seperti Bâdil ibn Maryam, seorang pedagang Quraisy dari Bani

Sahm yang merasa akan meninggal ketika melakukan

perjalanan dagang di Syiria yang kemudian berwasiat kepada

dua orang mitra bisnisnya untuk menyerahkan hartanya

kepada keluarganya di Mekkah. Demikian juga yang dilakukan

oleh Aus ibn Tsâbit al-Anshârî sebelum terbunuh ketika Perang

Uhud di mana dia sempat berwasiat kepada dua orang

sepupunya (anak laki-laki dari paman) untuk menyerahkan

harta kepada keluarganya, namun kedua orang sepupu

tersebut menolak untuk menyerahkan kepada istrinya, Ummu

Kuhha’ dan anak-anak perempuannya.343

342 Departemen Agama RI, al-Qur’an…., 78

343 David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law

of Inheritance (London: University of California Press, 1986), 10-11.

Page 358: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

335

b. Periode Madinah Awal (622-630M.), pada periode ini institusi

yang digunakan untuk mengalihkan harta antargenerasi

menggunakan institusi waris. Periode ini berkaitan erat

dengan periode sebelumnya, khususnya mengenai perlakukan

dua orang sepupu suami Ummu Kuhha, Aus ibn Tsâbit, yang

tidak memberikan harta peninggalan suaminya kepada dirinya

dan anak-anak perempuannya. Permasalahan ini diadukan

oleh Ummu Kuhha kepada Rasulullah saw. dan kemudian

turun ayat waris yang pertama:

7

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu

bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian

(pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,

baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah

ditetapkan”344

Kemudian ayat ini diikuti dengan ayat-ayat yang mengatur

dan menentukan bagian warisan masing-masing ahli waris

sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Nisâ’ ayat 11-

12.345

c. Periode Setelah Fath Mekkah (630-632M). Pada periode ini

tidak ada ketentuan pengalihan harta yang baru, namun

periode ini mengatur keberlakukan dua institusi pengalihan

harta; wasiat dan waris, yaitu pembatasan subyek yang boleh

344 Departemen Agama RI, al-Qur’an …, 78

345 David S. Powers, Studies…, 12

kepentingan orang lain, sebagaimana yang diungkapkan dalam

hadits di atas dan diperkuat firman Allah:

9

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang

mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu,

hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka

mengucapkan perkataan yang benar”.342

David S. Power melakukan periodesasi mengenai institusi

pengalihan harta warisan menjadi tiga fase, yaitu:

a. Periode Mekkah (610-622M.), pada periode ini pengalihan

harta antar generasi dilakukan dengan menggunakan institusi

wasiat, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para sahabat

seperti Bâdil ibn Maryam, seorang pedagang Quraisy dari Bani

Sahm yang merasa akan meninggal ketika melakukan

perjalanan dagang di Syiria yang kemudian berwasiat kepada

dua orang mitra bisnisnya untuk menyerahkan hartanya

kepada keluarganya di Mekkah. Demikian juga yang dilakukan

oleh Aus ibn Tsâbit al-Anshârî sebelum terbunuh ketika Perang

Uhud di mana dia sempat berwasiat kepada dua orang

sepupunya (anak laki-laki dari paman) untuk menyerahkan

harta kepada keluarganya, namun kedua orang sepupu

tersebut menolak untuk menyerahkan kepada istrinya, Ummu

Kuhha’ dan anak-anak perempuannya.343

342 Departemen Agama RI, al-Qur’an…., 78

343 David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law

of Inheritance (London: University of California Press, 1986), 10-11.

Page 359: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

336

menerima wasiat dan pembatasan kuantitas wasiat yang

hanya dibatasi maksimal sepertiga harta.346

B. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Masyarakat

Masyarakat Indonesia memiliki tatacara sendiri dalam

pembagian harta peninggalan orang tua yang sesuai dengan

budaya mereka yang sudah hidup bertahun-tahun. Budaya

tersebut mengakar kuat dalam kesadaran individual dan kolektif

mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang

mereka hadapi, termasuk di dalamnya persoalan pengalihan harta

antargenerasi. Pada praktiknya, pengalihan harta tersebut,

masyarakat melakukannya dengan berbagai cara, seperti melalui

institusi hibah, wasiat, maupun waris. Hibah dan wasiat

dipraktikkan masyarakat dalam melakukan pembagian harta

kekayaan, memiliki berbagai tujuan: a) menghindari kekhawatiran

terjadinya percekcokan keluarga apabila pembagian harta

dilakukan berdasarkan ketentuan farâidl, b) untuk

mengedepankan keadilan dalam pembagian harta, minimal

keadilan menurut persepsi orang yang membagi.

Praktik pembagian harta dengan menggunakan institusi

hibah dan wasiat jamak terjadi di masyarakat. Ketika penulis yang

juga dosen Fiqh Mawaris mempertanyakan kepada mahasiswa

yang mengambil matakuliah tersebut, kurang lebih 80%

mahasiswa mengatakan bahwa praktik pembagian harta tidak

dilakukan sesuai dengan ketentuan farâidl, melainkan

menggunakan hibah atau wasiat, khususnya wasiat pembagian

harta warisan. Pada praktiknya, pemberian hibah dan wasiat juga

bermacam-macam. Ada yang membagi berdasarkan tingkat

perekonomian “ahli waris”, ada yang membagi dengan

melebihkan bagian untuk anak laki-laki daripada anak perempuan,

346 Ibid, 13-14.

Page 360: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

337

namun tidak persis dua berbanding satu, dan ada juga yang

menghibahkan hampir semua hartanya secara sama antara laki-

laki dan perempuan dan menyisakan sedikit harta warisan yang

akan dibagi secara farâidl, ada yang memberikan hibah lebih

banyak kepada anak perempuan dengan harapan ketika

pembagian warisan secara farâidl nanti bagian anak laki-laki dan

anak perempuan sama atau tidak berbeda jauh.

Kondisi ini juga didukung oleh hasil penelitian disertasi di

Universitah Padjadjaran Bandung yang dilakukan oleh Otje Salman

pada tahun 1992 dengan judul “Pelaksanaan Hukum Waris di

Daerah Cirebon Dilihat dari Hukum Waris Adat dan Hukum Waris

Islam”.347 Responden yang diteliti dalam penelitian ini, dari sisi

agama: 98,62% beragama Islam, sementara sisanya beragama

non-Islam.348 Dari total responden, mereka yang melakukan

pembagian warisan secara farâidl murni hanya berjumlah 26,5%

sementara yang lain menggunakan hukum adat, hukum barat,

atau percampuran antara berbagai hukum tersebut.349 Sementara

mengenai kapan pelaksanaan pembagian harta tersebut: 45,45%

dilakukan ketika “pewaris” masih hidup dan 54,55% ketika

“pewaris telah meninggal”.350 Pembagian harta ketika pemilik

harta masih hidup yang jumlahnya 45,45% tersebut berarti

pembagian hartanya dilakukan dengan cara hibah, sedangkan

pembagian harta ketika pemilik telah meninggal yang jumlahnya

54,55% berarti pembagiannya dilakukan dengan cara wasiat atau

waris.

347 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung:

Penerbit Alumni, 1993)

348 Ibid, 92

349 Ibid, 100

350 Ibid, 99

menerima wasiat dan pembatasan kuantitas wasiat yang

hanya dibatasi maksimal sepertiga harta.346

B. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Masyarakat

Masyarakat Indonesia memiliki tatacara sendiri dalam

pembagian harta peninggalan orang tua yang sesuai dengan

budaya mereka yang sudah hidup bertahun-tahun. Budaya

tersebut mengakar kuat dalam kesadaran individual dan kolektif

mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang

mereka hadapi, termasuk di dalamnya persoalan pengalihan harta

antargenerasi. Pada praktiknya, pengalihan harta tersebut,

masyarakat melakukannya dengan berbagai cara, seperti melalui

institusi hibah, wasiat, maupun waris. Hibah dan wasiat

dipraktikkan masyarakat dalam melakukan pembagian harta

kekayaan, memiliki berbagai tujuan: a) menghindari kekhawatiran

terjadinya percekcokan keluarga apabila pembagian harta

dilakukan berdasarkan ketentuan farâidl, b) untuk

mengedepankan keadilan dalam pembagian harta, minimal

keadilan menurut persepsi orang yang membagi.

Praktik pembagian harta dengan menggunakan institusi

hibah dan wasiat jamak terjadi di masyarakat. Ketika penulis yang

juga dosen Fiqh Mawaris mempertanyakan kepada mahasiswa

yang mengambil matakuliah tersebut, kurang lebih 80%

mahasiswa mengatakan bahwa praktik pembagian harta tidak

dilakukan sesuai dengan ketentuan farâidl, melainkan

menggunakan hibah atau wasiat, khususnya wasiat pembagian

harta warisan. Pada praktiknya, pemberian hibah dan wasiat juga

bermacam-macam. Ada yang membagi berdasarkan tingkat

perekonomian “ahli waris”, ada yang membagi dengan

melebihkan bagian untuk anak laki-laki daripada anak perempuan,

346 Ibid, 13-14.

Page 361: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

338

Dari penelitian tersebut, Otje Salman berkesimpulan

bahwa ketaatan masyarakat Cirebon dalam melaksanakan hukum

waris Islam adalah lemah, mereka lebih memilih penyelesaian

dengan menggunakan hukum barat daripada hukum Islam

(farâidl), sementara itu pelaksanaan pembagian harta melalui

intitusi waris lebih rendah daripada institusi hibah dan wasiat.

Kondisi rendahnya kesadaran hukum terhadap pelaksanaan

pembagian warisan secara Islam (farâidl) ini timbul karena dua

kemungkinan, yaitu: a) rendahnya sosialisasi kepada masyarakat

mengenai hukum waris Islam dan b) rendahnya pemahaman

masyarakat terhadap hukum waris Islam.

Rendahnya tingkat ketaatan masyarakat dalam

menerapkan ketentuan yang terdapat dalam farâidl ini, di samping

yang disimpulkan oleh Otje Salman tersebut, menurut Hazairin

disebabkan oleh perbedaan kultur dan sistem kekeluargaan antara

tempat diformulasikannya ketentuan waris Islam dengan

Indonesia. Hukum waris Islam didasarkan kepada kebudayaan

Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan Patrilineal,351

sementara sistem kekeluargaan yang dikehendaki dalam al-Qur’an

adalah sistem kekeluargaan parental atau bilateral. Tidak ada

sinkronisasi antara sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan yang

diformulasikan dalam sistem kewarisan Islam (farâidl) yang

mengadopsi sistem kewarisan mazhab Sunni. Oleh karena itu,

terjadi banyak konflik dalam penerapan hukum waris Islam di

Indonesia, bahkan dalam keluarga yang menganut sistem

kekeluargaan Patrilineal sekalipun.

Konflik-konflik inilah yang barangkali memicu kepada

rendahnya ketaatan masyarakat dalam menerapkan hukum waris

351 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith (Jakarta:

Tintamas, 1976), 2

Page 362: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

339

Islam karena apabila hukum waris Islam (farâidl) tersebut

diterapkan secara tekstual, maka akan menodai rasa keadilan yang

hidup di masyarakat. Oleh karena itu, banyak masyarakat beralih

kepada institusi hibah dan wasiat dalam melakukan pembagian

harta “warisan” sebagai jalan keluar dalam pembagian harta yang

memenuhi rasa keadilan keluarga dan masyarakat tersebut.

Pertanyaan kemudian, apakah pembagian harta “warisan”

dengan menggunakan institusi hibah dan wasiat itu bertentangan

atau setidak-tidaknya memiliki anggapan bahwa tidak mengakui

prinsip keadilan yang terdapat dalam hukum waris Islam (farâidl)?.

Menurut Muhammad Syahrûr ayat yang berbicara mengenai

wasiat sebanyak sepuluh kali, sementara ayat yang berbicara

mengenai warisan tiga kali. Bahkan dalam ayat waris diawali

dengan kata wasiat () dan dikahiri dengan kalimat

wasiat juga ( ).352 Kondisi ini menunjukkan bahwa

wasiat memiliki signifikansi yang besar dalam pembagian harta

“warisan”. Namun realitasnya, masyarakat Muslim sekarang ini:

1. Memberikan prioritas secara mutlak kepada waris dan

ketentuan-ketentuannya, bukan wasiat dan ketentuan-

ketentuannya.

2. Menekankan kepada penghapusan ayat wasiat khususnya

terhadap firman Allah: “al-washiyyatu li al-wâlidain wa al-

aqrabîn” dengan hadits ahad dan munqathi‘ yang diriwayatkan

oleh ahl al-maghâzî “lâ washiyyata li wârits”.

3. Mencampur aduk pemahaman terhadap kata al-hadl dan al-

nashîb yang berimplikasi kepada pencampuran antara ayat

352 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh al-Mar’ah

(al-Washiyyah, al-Irts, al-Qiwâmah, al-Ta’adudiyyah, al-Libâs) (Damaskus: al-Ahâlî, 2000), 222.

Dari penelitian tersebut, Otje Salman berkesimpulan

bahwa ketaatan masyarakat Cirebon dalam melaksanakan hukum

waris Islam adalah lemah, mereka lebih memilih penyelesaian

dengan menggunakan hukum barat daripada hukum Islam

(farâidl), sementara itu pelaksanaan pembagian harta melalui

intitusi waris lebih rendah daripada institusi hibah dan wasiat.

Kondisi rendahnya kesadaran hukum terhadap pelaksanaan

pembagian warisan secara Islam (farâidl) ini timbul karena dua

kemungkinan, yaitu: a) rendahnya sosialisasi kepada masyarakat

mengenai hukum waris Islam dan b) rendahnya pemahaman

masyarakat terhadap hukum waris Islam.

Rendahnya tingkat ketaatan masyarakat dalam

menerapkan ketentuan yang terdapat dalam farâidl ini, di samping

yang disimpulkan oleh Otje Salman tersebut, menurut Hazairin

disebabkan oleh perbedaan kultur dan sistem kekeluargaan antara

tempat diformulasikannya ketentuan waris Islam dengan

Indonesia. Hukum waris Islam didasarkan kepada kebudayaan

Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan Patrilineal,351

sementara sistem kekeluargaan yang dikehendaki dalam al-Qur’an

adalah sistem kekeluargaan parental atau bilateral. Tidak ada

sinkronisasi antara sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan yang

diformulasikan dalam sistem kewarisan Islam (farâidl) yang

mengadopsi sistem kewarisan mazhab Sunni. Oleh karena itu,

terjadi banyak konflik dalam penerapan hukum waris Islam di

Indonesia, bahkan dalam keluarga yang menganut sistem

kekeluargaan Patrilineal sekalipun.

Konflik-konflik inilah yang barangkali memicu kepada

rendahnya ketaatan masyarakat dalam menerapkan hukum waris

351 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith (Jakarta:

Tintamas, 1976), 2

Page 363: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

340

waris dan ayat wasiat. Firman Allah: ( ) dianggap sebagai ayat waris, padahal ayat tersebut

adalah ayat wasiat, karena nashîb adalah bagian manusia

dalam wasiat, sementara hadl adalah apa yang diterimanya

dalam waris.

4. Tidak membedakan antara keadilan umum yang terdapat

dalam ayat waris dan keadilan khusus dalam ayat wasiat, di

mana yang umum tidak boleh menutupi yang khusus.353

Syahrûr merasa tidak sependapat terhadap pendapat

mayoritas ulama yang menomor duakan posisi wasiat setelah

waris mengingat banyaknya penggunaan kata wasiat daripada

waris dalam al-Qur’an. Artinya wasiat harus lebih diutamakan

daripada waris, karena wasiat berisi keadilan khusus dalam

pembagian harta “warisan” yang harus diprioritaskan daripada

keadilan umum yang terdapat dalam ayat waris. Ketentuan wasiat

inilah yang lebih bisa merealisasikan keadilan dalam pembagian

“warisan” di masyarakat atau keluarga tertentu, mengingat setiap

keluarga atau masyarakat memiliki relasi dan tanggung jawab

dalam keluarga yang berbeda antara keluarga atau masyarakat

satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, perilaku masyarakat atau keluarga untuk

melakukan pembagian “warisan” dengan menggunakan institusi

hibah atau wasiat merupakan didorong oleh motif alamiah dalam

rangka menegakkan keadilan dalam pembagian harta “warisan”

yang disesuaikan dengan relasi dan tunggung jawab masing-

masing individu dalam keluarga dan masyarakat yang tentunya

353 Ibid, 222-223.

Page 364: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

341

memiliki perbedaan antara keluarga atau masyarakat satu dengan

yang lainnya.

C. Hibah dan Wasiat Perspektif Putusan Pengadilan dan KHI

1. Hibah dan Wasiat Perspektif KHI

Hukum materiil yang digunakan Pengadilan dalam

memutuskan perkara yang menjadi kompetensi absolutnya adalah

Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI yang diberlakukan berdasarkan

Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 ini kedudukannya sangat lemah

dalam tata hukum Indonesia karena tidak termasuk sebagai

sumber hukum dan tidak ada dalam urutan perundang-undangan

di Indonesia. Faktor-faktor yang memperkuat pemberlakuan KHI di

Indonesia adalah: a) KHI merupakan kesepakatan ulama nusantara

yang disimpulkan dari 38 buku fikih.354 Dan b) Keputusan Menteri

Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi

Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang

memerintahkan kepada suluruh instansi Departemen Agama dan

instansi pemerintah terkait untuk menyebarluaskan KHI dan

menerapkannya.

Ketentuan wasiat diatur dalam KHI dalam Buku II, Hukum

Kewarisan Bab V Wasiat pasal 194-209. Dalam ketentuan wasiat ini

telah diatur beberapa rukun wasiat yang terdiri dari shîghat (îjâb

dan qabûl), pewasiat (mûshin), penerima wasiat (mûsha lah), dan

barang yang diwasiatkan (mûsha bih),355 bagaimana melakukan

wasiat, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi terhadap masing-

masing rukun wasiat tersebut. Ketentuan-ketentuan ini tersebar

dalam berbagai pasal dan disesuaikan dengan kaidah-kaidah

hukum yang kredibel dalam rangka menjaga validitas wasiat.

354 Lihat Ahmad Imam Mawardi, “Socio-Political Background of the Enacment of

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Tesis, McGill University, Montreal, 1998, 16

355 Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah…, Vol. 43, 226

waris dan ayat wasiat. Firman Allah: ( ) dianggap sebagai ayat waris, padahal ayat tersebut

adalah ayat wasiat, karena nashîb adalah bagian manusia

dalam wasiat, sementara hadl adalah apa yang diterimanya

dalam waris.

4. Tidak membedakan antara keadilan umum yang terdapat

dalam ayat waris dan keadilan khusus dalam ayat wasiat, di

mana yang umum tidak boleh menutupi yang khusus.353

Syahrûr merasa tidak sependapat terhadap pendapat

mayoritas ulama yang menomor duakan posisi wasiat setelah

waris mengingat banyaknya penggunaan kata wasiat daripada

waris dalam al-Qur’an. Artinya wasiat harus lebih diutamakan

daripada waris, karena wasiat berisi keadilan khusus dalam

pembagian harta “warisan” yang harus diprioritaskan daripada

keadilan umum yang terdapat dalam ayat waris. Ketentuan wasiat

inilah yang lebih bisa merealisasikan keadilan dalam pembagian

“warisan” di masyarakat atau keluarga tertentu, mengingat setiap

keluarga atau masyarakat memiliki relasi dan tanggung jawab

dalam keluarga yang berbeda antara keluarga atau masyarakat

satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, perilaku masyarakat atau keluarga untuk

melakukan pembagian “warisan” dengan menggunakan institusi

hibah atau wasiat merupakan didorong oleh motif alamiah dalam

rangka menegakkan keadilan dalam pembagian harta “warisan”

yang disesuaikan dengan relasi dan tunggung jawab masing-

masing individu dalam keluarga dan masyarakat yang tentunya

353 Ibid, 222-223.

Page 365: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

342

Dalam makalah ini, penulis akan mengkritisi pasal-pasal

yang terdapat dalam KHI yang mengatur masalah wasiat.

a. Tentang cara berwasiat yang dalam pasal 195 (1) , pasal 196

dan pasal 199 di mana dalam ketiga pasal tersebut diatur

mengenai cara berwasiat dan pencabutan wasiat yang hanya

dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan lisan di hadapan dua

orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau

notaries. Ketentuan ini menurut penulis tidak mengakomodir

mereka yang tidak bisa bicara dan tidak bisa menulis sekaligus.

Oleh karena itu, perlu diatur mengenai cara berwasiat bagi

mereka yang memiliki kelemahan tersebut.

b. Tentang wasiat kepada ahli waris hanya berlaku apabila

disetujui oleh semua ahli waris yang diatur dalam pasal 195 (3).

Dalam masalah ini, menurut penulis ada beberapa

permasalahan, yaitu: a) pewaris sebagai pemilik harta

seharusnya memiliki kekuasaan penuh terhadap harta yang

dimilikinya, b) meminta persetujuan kepada semua ahli waris

merupakan sesuatu yang tidak mudah, khususnya dalam

keluarga yang tingkat ketaatan terhadap orang tua rendah,

dan c) keadilan dalam pembagian wasiat tidak ditentukan

dengan persamaan kuantitas, tetapi lebih ditentukan dengan

jasa, relasi, dan tanggung jawab yang dipikul seseorang.

Mereka yang memiliki jasa, relasi, dan tanggung jawab yang

lebih besar dalam keluarga, layak mendapatkan bagian yang

lebih banyak daripada yang lain dan hal ini hanya bisa

dilakukan melalui hibah atau wasiat. Oleh karena itu, penulis

mengusulkan untuk memilah-milah mengenai harta yang

diwasiatkan, apabila harta tersebut merupakan harta pusaka,

maka ketentuan pembagiannya berdasarkan hukum waris

Islam, namun apabila harta tersebut merupakan hasil

usahanya, maka pemilik harta tersebut memiliki kebebasan

Page 366: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

343

penuh dalam men-tasharruf-kan hartanya, meskipun tanpa

persetujuan ahli waris.

c. Tentang wasiat pembagian harta kepada ahli waris. Wasiat

seperti ini sering dilakukan oleh masyarakat, sehingga perlu

ada pengaturan mengenai kebolehannya. Penulis

mengusulkan untuk memberikan kebolehan terhadap wasiat

seperti ini dengan syarat sebagian besar ahli waris setuju

dengan wasiat orang tuanya, khususnya wasiat terhadap harta

yang merupakan hasil usahanya.

Sedangkan ketentuan hibah diatur dalam buku II dan bab

V Wasiat pasal 210-214. Dalam pasal-pasal tersebut telah diatur

mengenai rukun hibah, yaitu pemberi hibah (wâhib), barang yang

dihibahkan (mauhûb), dan penerima hibah (mauhûb lah), namun

pembahasannya terlalu singkat. Ada beberapa hal yang diusulkan

penulis mengenai ketentuan hibah ini:

a. Tata cara hibah hendaknya disamakan dengan tata cara

melakukan wasiat dengan mengakomodir orang-orang yang

tidak bisa menulis dan tidak bisa berbicara.

b. Hibah kepada anak harus adil, artinya tidak membedakan

kuantitas barang yang dihibahkan antara anak laki-laki dan

anak perempuan.

c. Mengenai hibah yang dilakukan ketika sakit keras (pasal 213)

diperlakukan sebagai wasiat, artinya tidak perlu meminta

persetujuan ahli waris, kecuali hibah kepada orang lain yang

melebihi sepertiga.

2. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Peradilan Agama

Praktik peradilan agama dalam hal ini adalah bagaimana

hakim memutuskan perkara-perkara yang merupakan

kompetensinya, khususnya perkara hibah dan wasiat. Dalam

Dalam makalah ini, penulis akan mengkritisi pasal-pasal

yang terdapat dalam KHI yang mengatur masalah wasiat.

a. Tentang cara berwasiat yang dalam pasal 195 (1) , pasal 196

dan pasal 199 di mana dalam ketiga pasal tersebut diatur

mengenai cara berwasiat dan pencabutan wasiat yang hanya

dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan lisan di hadapan dua

orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau

notaries. Ketentuan ini menurut penulis tidak mengakomodir

mereka yang tidak bisa bicara dan tidak bisa menulis sekaligus.

Oleh karena itu, perlu diatur mengenai cara berwasiat bagi

mereka yang memiliki kelemahan tersebut.

b. Tentang wasiat kepada ahli waris hanya berlaku apabila

disetujui oleh semua ahli waris yang diatur dalam pasal 195 (3).

Dalam masalah ini, menurut penulis ada beberapa

permasalahan, yaitu: a) pewaris sebagai pemilik harta

seharusnya memiliki kekuasaan penuh terhadap harta yang

dimilikinya, b) meminta persetujuan kepada semua ahli waris

merupakan sesuatu yang tidak mudah, khususnya dalam

keluarga yang tingkat ketaatan terhadap orang tua rendah,

dan c) keadilan dalam pembagian wasiat tidak ditentukan

dengan persamaan kuantitas, tetapi lebih ditentukan dengan

jasa, relasi, dan tanggung jawab yang dipikul seseorang.

Mereka yang memiliki jasa, relasi, dan tanggung jawab yang

lebih besar dalam keluarga, layak mendapatkan bagian yang

lebih banyak daripada yang lain dan hal ini hanya bisa

dilakukan melalui hibah atau wasiat. Oleh karena itu, penulis

mengusulkan untuk memilah-milah mengenai harta yang

diwasiatkan, apabila harta tersebut merupakan harta pusaka,

maka ketentuan pembagiannya berdasarkan hukum waris

Islam, namun apabila harta tersebut merupakan hasil

usahanya, maka pemilik harta tersebut memiliki kebebasan

Page 367: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

344

memutuskan perkara hibah dan wasiat, hakim berpedoman

kepada hukum materiil peradilan agama, KHI dan apabila tidak ada

dengan menggali hukum yang hidup di masyarakat (living law)

mengenai perkara hibah dan wasiat.

Berdasarkan data jenis perkara yang masuk pada tahun

2009 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,

termasuk Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah

Propinsi yang dikeluarkan oleh Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI

menyebutkan bahwa dari total jumlah perkara yang masuk,

257,798 perkara, jumlah perkara wasiat ada 4 perkara (0,002%) dan

jumlah perkara hibah 45 perkara (0,017%).356 Meskipun jumlah

perkara tersebut relatif sedikit dibandingkan dengan perkara

perceraian, bukan berarti masyarakat tidak mempraktikkan wasiat

dan hibah dalam pembagian harta “warisan”, hanya saja praktik

wasiat dan hibah yang mereka lakukan tidak sampai menimbulkan

sengketa di antara mereka yang perlu mengajukan gugatan di

Pengadilan Agama.

Berdasarkan pengamatan Satria Efendi terhadap perkara-

perkara wasiat dan hibah yang masuk di Pengadilan Agama dalam

bukunya “Problematika Hukum Keluarga Kontemporer”357,

berdasarkan analisisnya banyak para hakim pengadilan Agama

yang tidak memahami sepenuhnya perkara hibah dan wasiat dari

sisi fiqihnya, sehingga berimplikasi kepada tidak terpenuhinya rasa

keadilan yang diharapkan oleh para penggugat atau para tergugat

sebagai pencari keadilan. Di samping itu, hukum materiil yang

digunakan juga ada yang mencampuradukkan antara BW dan

Hukum Islam, dan bahkan lebih cenderung kepada BW.

356 http://www.badilag.net/index.php/statistik-perkara

357 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:

Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)

Page 368: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

345

Di samping itu, menurut Satria ada kecenderungan hakim

dalam memutus perkara hanya berpedoman kepada teks-teks

hukum yang terdapat dalam pasal-pasal peraturan yang dijadikan

sumber hukum meteriil. Mereka kurang memperhatikan prinsip-

prinsip keadilan yang menjadi tujuan dalam proses beracara dan

penegakan hukum di pengadilan agama. Oleh karena itu, hakim

perlu lebih fokus kepada penegakan keadilan daripada hanya

fokus dan rigid kepada teks hukum karena teks hukum adalah

media untuk mencapai tujuan, yaitu menegakkan keadilan.

D. Penutup

Permasalahan pembagian harta “warisan” dengan

menggunakan institusi hibah dan wasiat sudah jamak terjadi di

masyarakat. Praktik pembagian ini tidak perlu dicegah, tetapi perlu

diatur sebaik mungkin agar praktik seperti itu tidak menimbulkan

efek-efek negatif dalam pelaksanaannya, sehingga pengaturannya

perlu disesuaikan dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam

hukum Islam.

Dalam masalah pembagian harta “warisan” hal-hal yang

perlu diperhatikan adalah: a) kebebasan pembuat wasiat dan

pemberi hibah dalam mendistribusikan harta yang dimilikinya, b)

harta “warisan” tersebut harus diperuntukkan untuk sebesar-besar

kemakmuran anak-anaknya, c) wasiat dan hibah merupakan

keadilan khusus yang harus didahulukan daripada keadilan umum

yang terdapat dalam hukum kewarisan (lex spesialis derogate lex

generalis), d) perlu ada pemilahan antara harta pusakan yang

diwariskan secara turun-temurun dengan harta hasil usaha, di

mana untuk harta pusaka para ahli waris yang berhak, sementara

harta hasil usaha, pemilik harta yang berkuasa penuh.

memutuskan perkara hibah dan wasiat, hakim berpedoman

kepada hukum materiil peradilan agama, KHI dan apabila tidak ada

dengan menggali hukum yang hidup di masyarakat (living law)

mengenai perkara hibah dan wasiat.

Berdasarkan data jenis perkara yang masuk pada tahun

2009 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,

termasuk Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah

Propinsi yang dikeluarkan oleh Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI

menyebutkan bahwa dari total jumlah perkara yang masuk,

257,798 perkara, jumlah perkara wasiat ada 4 perkara (0,002%) dan

jumlah perkara hibah 45 perkara (0,017%).356 Meskipun jumlah

perkara tersebut relatif sedikit dibandingkan dengan perkara

perceraian, bukan berarti masyarakat tidak mempraktikkan wasiat

dan hibah dalam pembagian harta “warisan”, hanya saja praktik

wasiat dan hibah yang mereka lakukan tidak sampai menimbulkan

sengketa di antara mereka yang perlu mengajukan gugatan di

Pengadilan Agama.

Berdasarkan pengamatan Satria Efendi terhadap perkara-

perkara wasiat dan hibah yang masuk di Pengadilan Agama dalam

bukunya “Problematika Hukum Keluarga Kontemporer”357,

berdasarkan analisisnya banyak para hakim pengadilan Agama

yang tidak memahami sepenuhnya perkara hibah dan wasiat dari

sisi fiqihnya, sehingga berimplikasi kepada tidak terpenuhinya rasa

keadilan yang diharapkan oleh para penggugat atau para tergugat

sebagai pencari keadilan. Di samping itu, hukum materiil yang

digunakan juga ada yang mencampuradukkan antara BW dan

Hukum Islam, dan bahkan lebih cenderung kepada BW.

356 http://www.badilag.net/index.php/statistik-perkara

357 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:

Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)

Page 369: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

346

Daftar Pustaka

Abû Dâwud Sulaimân al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwud, Vol. 3

(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997)

al-Baihaqî, Abû Bakar ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002)

al-Bukhârî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl, al-Jâmi‘ al-

Shahîh, Vol. 2 (Cairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1403H.)

al-Dâruquthnî, Ali ibn ‘Umar, Sunan al-Dâruqutnî Vol. 3, (Beirut:

Mu’assasah al-Risâlah, 2004)

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV.

Penerbit Jumanatul Ali Art, 2007)

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith

(Jakarta: Tintamas, 1976)

Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6,

(Riyâdl: Dâr al-Thaibah, 2005)

Ibn Mâjah, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî al-

Syahîr, Sunan Ibn Mâjah (Riyâdl: Maktabah al-Ma‘ârif,

1417H.)

Mandhûr, Ibn, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.)

Mawardi, Ahmad Imam, “Socio-Political Background of the

Enacment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Tesis,

McGill University, Montreal, 1998

Muslim, Abû al-Husain ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh

Muslim (Riyâdl: Dâr Thaibah, 2006)

Powers, David S., Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the

Islamic Law of Inheritance (London: University of California

Press, 1986)

Page 370: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

347

Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris

(Bandung: Penerbit Alumni, 1993)

Syahrûr, Muhammad, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh

al-Mar’ah (al-Washiyyah, al-Irts, al-Qiwâmah, al-

Ta’adudiyyah, al-Libâs) (Damaskus: al-Ahâlî, 2000)

Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah al-

Fiqhiyyah, (Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-

Islâmiyyah, 2004)

www.badilag.net/index.php/statistik-perkara

al-Zuhailî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, ( Damaskus: Dâr

al-Fikr, 1985)

Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam

Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan

Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)

Daftar Pustaka

Abû Dâwud Sulaimân al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwud, Vol. 3

(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997)

al-Baihaqî, Abû Bakar ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002)

al-Bukhârî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl, al-Jâmi‘ al-

Shahîh, Vol. 2 (Cairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1403H.)

al-Dâruquthnî, Ali ibn ‘Umar, Sunan al-Dâruqutnî Vol. 3, (Beirut:

Mu’assasah al-Risâlah, 2004)

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV.

Penerbit Jumanatul Ali Art, 2007)

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith

(Jakarta: Tintamas, 1976)

Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6,

(Riyâdl: Dâr al-Thaibah, 2005)

Ibn Mâjah, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî al-

Syahîr, Sunan Ibn Mâjah (Riyâdl: Maktabah al-Ma‘ârif,

1417H.)

Mandhûr, Ibn, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.)

Mawardi, Ahmad Imam, “Socio-Political Background of the

Enacment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Tesis,

McGill University, Montreal, 1998

Muslim, Abû al-Husain ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh

Muslim (Riyâdl: Dâr Thaibah, 2006)

Powers, David S., Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the

Islamic Law of Inheritance (London: University of California

Press, 1986)

Page 371: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

348

Page 372: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

349

GHARRAWAIN DAN MUSYARAKAH

Humaidi Hamid

Latar Belakang

Topik gharrawain dan musyarrakah yang diberikan kepada

penulis merupakan dua topik di antara beberapa topik yang

disumbangkan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam bidang fiqh

mawaris. Kedua topik ini merupakan bentuk-bentuk ijtihad yang

ditawarkan oleh umar yang menyimpang dari dzahir nash

al-Qur'an sebagaimana dipegangi jumhur ulama. Kedua topik ini

nantinya akan menunjukkan kepada kita bagaimana aya-ayat

al-Qur'an yang tergolong mufassar (rinci), seharusnya tidak

menerima ijtihad, dalam penerapannya ternyata menerima

ijtihad. Kedua masalah waris ini sudah sangat terkenal dan

dipandang memenuhi rasa keadilan oleh mayoritas ulama.

Masalah Gharrawain

Masalah gharrawain adalah dua macam kasus kewarisan

yang ahli warisnya terdiri dari (1) suami, ibu, dan bapak dan (2)

istri, ibu, dan bapak. Kedua kasus ini disebut gharrawain, bentuk

tatsniyah (ganda) dari kata gharra’ (cemerlang) karena dua

masalah ini sangat populer bagaikan bintang yang cemerlang.358

Sebagian fuqaha berpendapat bahwa gharrawain berasal dari

mashdar garrar (tipuan). Karena dalam masalah tersebut terjadi

penipuan kepada ibu. Sekalipun ibu disebut mendapatkan

sepertiga, sebenarnya ibu hanya diberi bagian seperenam atau

seperempat.

358 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet IV (Damaskus: Dar al-

Fikkr, 2004), X: 7788.

Page 373: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

350

Penyebutan sepertiga hanya sebagai penghormatan

terhadap Al-Qur'an yang menyebutkan demikian. Kedua masalah

ini sering juga disebut ‘umariyatain, karena yang mula-mula

memutuskan cara penyelesaian kedua kasus ini adalah Khalifah

Umar bin Khattab dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti

oleh jumhur ulama. 359

Kasus pertama terjadi jika ahli warisnya terdiri dari suami,

ibu, dan ayah. Berdasarkan petunjuk Al-Qur'ah Surah An-Nisa': 11-

12 yang sudah jelas, suami menerima 1/2 karena pewaris tidak

meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena pewaris tidak

meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam kasus ini ayah

sebagai ashabah karena pewaris tidak meninggalkan anak. Kasus

ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

• Suami : 1/2 x 6 = 3 ---3/6

• Ibu : 1/3 x 6 = 2 ---2/6

• Ayah : A = 1 ---1/6

Cara penyelesaian seperti di atas berdasarkan petunjuk Al-

Qur'an dan sunnah dan tidak ada masalah dalam penyelesaiannya.

Akan tetapi saat dilakukan perbandingan antara bagian yang

diterima ayah dan ibu, dirasakan adanya kejanggalan, yaitu ibu

menerima bagian dua kali lipat dari bagian yang diterima ayah.

Padahal ketika ahli warisnya hanya terdiri dari ibu dan ayah, ibu

mendapatkan 1/3 dan ayah sebagai ashabah mendapatkan

sisanya, yaitu 2/3, bagian ayah dua kali bagian ibu. Untuk

mengatasi masalah ini, Umar memahami bagian ibu yang 1/3

bukan dari dari keseluruhan harta, tetapi dari sisa harta setelah

diberikan kepada suami. Penyelesaian Umar ini dapat

diilustrasikan sebagai berikut:

359Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 238.

Page 374: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

351

• Suami : 1/2 x 6 = 3---3/6

• Ibu : 1/3 x (6-3) = 1---1/6

• Ayah : A = 2---2/6

Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri

dari ayah dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian ibu. Hanya

saja bagian ibu berubah dari 1/3 menjadi 1/6. Alasan yang

dikemukan untuk mentakwil 1/3 bagian ibu menjadi 1/3 sisa

adalah untuk menghindari lebih besarnya hak ibu ketimbang hak

ayah. Ibnu Qudamah menyatakan tidak diperbolehkannya hak ibu

melebihi hak ayah. Di samping itu mereka memperkuat alasan ini

dengan pernyataan Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Sofyan

ats-Tsauri: "Allah tidak memperlihatkan kepada saya kelebihan ibu

daripada ayah.”360

Kasus kedua terdiri dari istri, ibu, dan ayah. Berdasarkan

petunjuk Al-Qur'an dan sunnah, maka istri menerima 1/4 karena

pewaris tidak meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena

pewaris tidak meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam

kasus ini ayah sebagai ashabah karena pewaris tidak

meninggalkan anak. Kasus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

• Istri : 1/4 x 12 = 3 ---3/12

• Ibu : 1/3 x 12 = 4 ---4/12

• Ayah : A = 5 ---5/12

Kasus kedua, ini sebenarnya berbeda dengan kasus

pertama sebab bagian ayah sebagai ashabah 5/12 lebih besar dari

bagian ibu 4/12. Sungguhpun demikian, hal ini masih dianggap

ganjil oleh beberapa sahabat karena seharusnya bagian ibu

setengah dari bagian ayah sebagaimana ketika hanya mereka

360Ali ibnu Hazm az-Zahiri, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.), IX: 260.

Penyebutan sepertiga hanya sebagai penghormatan

terhadap Al-Qur'an yang menyebutkan demikian. Kedua masalah

ini sering juga disebut ‘umariyatain, karena yang mula-mula

memutuskan cara penyelesaian kedua kasus ini adalah Khalifah

Umar bin Khattab dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti

oleh jumhur ulama. 359

Kasus pertama terjadi jika ahli warisnya terdiri dari suami,

ibu, dan ayah. Berdasarkan petunjuk Al-Qur'ah Surah An-Nisa': 11-

12 yang sudah jelas, suami menerima 1/2 karena pewaris tidak

meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena pewaris tidak

meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam kasus ini ayah

sebagai ashabah karena pewaris tidak meninggalkan anak. Kasus

ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

• Suami : 1/2 x 6 = 3 ---3/6

• Ibu : 1/3 x 6 = 2 ---2/6

• Ayah : A = 1 ---1/6

Cara penyelesaian seperti di atas berdasarkan petunjuk Al-

Qur'an dan sunnah dan tidak ada masalah dalam penyelesaiannya.

Akan tetapi saat dilakukan perbandingan antara bagian yang

diterima ayah dan ibu, dirasakan adanya kejanggalan, yaitu ibu

menerima bagian dua kali lipat dari bagian yang diterima ayah.

Padahal ketika ahli warisnya hanya terdiri dari ibu dan ayah, ibu

mendapatkan 1/3 dan ayah sebagai ashabah mendapatkan

sisanya, yaitu 2/3, bagian ayah dua kali bagian ibu. Untuk

mengatasi masalah ini, Umar memahami bagian ibu yang 1/3

bukan dari dari keseluruhan harta, tetapi dari sisa harta setelah

diberikan kepada suami. Penyelesaian Umar ini dapat

diilustrasikan sebagai berikut:

359Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 238.

Page 375: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

352

berdua yang mewarisi. Karenanya Umar juga menyelesaikan kasus

ini sebagaimana kasus pertama, ibu diberi bagian 1/3 sisa harta

warisan setelah diberikan kepada istri. Penyelesaian Umar yang

kedua ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

• Istri : 1/4 x 12 = 3 ---3/12

• Ibu : 1/3 x (12-3) = 3 ---3/12

• Ayah : A = 6 ---6/12

Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri dari ayah

dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian ibu. Hanya saja bagian

ibu berubah dari 1/3 menjadi 3/12 atau 1/4.

Penyelasaian dua kasus yang dikemukakan oleh Umar ini

didukung oleh para sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Usman bin

Affan, Ibnu Mas'ud, dan juga menurut suatu riwayat juga didukung

oleh Ali bin Abu Thalib. Jumhur ulama, antara lain mazhab

Hanafi,361 mazhab Maliki,362 mazhab Syafi’i363 dan mazhab

Hanbali364 juga mengikutinya. Jumhur ulama mentakwil lafal Al-

Qur'an:

Dalam arti ibu mendapatkan 1/3 harta warisan yang

berhak diwarisi oleh kedua orang tua pewaris, bukan 1/3 semua

harta.

361 Muhammad as-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H), XXIX:

144.

362Ahmad ad-Dardiri, asy-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 461.

363Muhyiddin, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), XVI: 72

364Abdullah ibnu Qudamah, al-Mughni ((Beirut: Dar al-Fikr, 1405), VI: 171-2.

Page 376: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

353

Sebab kalau dimaknai 1/3 harta, kalimat:

Menjadi tidak berguna. Dengan demikian, perbandingan

bagian yang diterima ayah dan ibu konsisten, 2 : 1, sesuai dengan

prinsip:

.Bagian laki-laki sama dengan dua orang perempuan.365

Ibnu Abbas merupakan salah seorang sahabat yang tidak

menyetujui dua keputusan Umar tersebut. Menurutnya, ibu dalam

dua kasus tetap mendapatkan 1/3 dari keseluruhan harta warisan.

Argumentasi yang beliau kemukakan sebagai berikut:

1. Kalimat di-athaf-kan kepada sebagaimana juga diathafkan kepadanya, sehingga berarti . Dengan demikian kalimat berarti .

2. Seluruh macam bagian yang disebutkan di dalam al-Qur'an itu

semuanya disandarkan pada pokok harta peninggalan yang

siap dibagi. Misalnya bagian 1/2 artinya 1/2 harta peninggalan,

bagian 1/4 artinya 1/4 harta peninggalan dan seterusnya

setelah dilakasanakan wasiat dan dilunansi hutang si mayit.

Karena bagian ibu 1/3 sisa peninggalan tidak ditunjuk oleh

nash, maka harus diartikan dengan 1/3 seluruh harta

peninggalan yang siap dibagi.

365 Wahbah, al-Fiqh al-Islami, X: 7788.

berdua yang mewarisi. Karenanya Umar juga menyelesaikan kasus

ini sebagaimana kasus pertama, ibu diberi bagian 1/3 sisa harta

warisan setelah diberikan kepada istri. Penyelesaian Umar yang

kedua ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

• Istri : 1/4 x 12 = 3 ---3/12

• Ibu : 1/3 x (12-3) = 3 ---3/12

• Ayah : A = 6 ---6/12

Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri dari ayah

dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian ibu. Hanya saja bagian

ibu berubah dari 1/3 menjadi 3/12 atau 1/4.

Penyelasaian dua kasus yang dikemukakan oleh Umar ini

didukung oleh para sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Usman bin

Affan, Ibnu Mas'ud, dan juga menurut suatu riwayat juga didukung

oleh Ali bin Abu Thalib. Jumhur ulama, antara lain mazhab

Hanafi,361 mazhab Maliki,362 mazhab Syafi’i363 dan mazhab

Hanbali364 juga mengikutinya. Jumhur ulama mentakwil lafal Al-

Qur'an:

Dalam arti ibu mendapatkan 1/3 harta warisan yang

berhak diwarisi oleh kedua orang tua pewaris, bukan 1/3 semua

harta.

361 Muhammad as-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H), XXIX:

144.

362Ahmad ad-Dardiri, asy-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 461.

363Muhyiddin, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), XVI: 72

364Abdullah ibnu Qudamah, al-Mughni ((Beirut: Dar al-Fikr, 1405), VI: 171-2.

Page 377: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

354

3. Ibu itu ahli waris dzawil furudl sedangkan ayah ahli waris

ashabah (dalam masalah tersebut. Maka sesuai petunjuk Nabi

Muhammad SAW:

Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Sisanya

untuk laki-laki yang paling utama. (al-Bukhari:6351366; Muslim:

1615367)

Hendaknya ibu diberi bagiannya secara sempurna,

kemudian sisanya, sedikit atau banyak, diberikan kepada ayah.368

Ibnu Abbas tidak sendirian di kalangan sahabat. Ali bin Abi

Thalib menurut riwayat yang shahih yang diterima oleh Ibnu

Hazm, juga sependapat dengan Ibnu Abbas. Riwayat yang

menyatakan Ali setuju dengan pendapat Umar, menurut Ibnu

Hazm tidak shahih.

Di kalangan ulama mazhab sunni yang mendukung

pendapat Ibnu Abbas adalah Mazhab az-Zahiri. Mazhab az-Zahiri

beralasan karena Allah telah menetapkan bagian ibu 1/3 dan tidak

menurunkannya menjadi 1/6 kecuali kalau bersama dengan anak

atau saudara-saudara si mayit. Karena itu tidak boleh merubah

ketentuan tersebut kecuali ada sunnah yang diyakini

kevalidannya, padahal tidak ada sunnah maupun ijmak yang

merubahnya. Bagi az-Zahiri, ketika ibu bersama ayah dan

suami/istri, ia berhak mendapatkan 1/3 harta warisan, bukan 1/3

harta sisa suami/istri.

366 Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet III, (Beirut: Dar ibn

Katsir al-Yamamah, 1987), VI: 2476.

367Muslim ibn al-Hajjaj an-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-

‘Arabi, t.t.), III: 1233.

368Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 240.

Page 378: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

355

Muhammad ibn Sirin berpendapat bahwa ketika ahli waris

terdiri dari suami, ibu, dan ayah, maka bagian suami 1/2, ibu 1/3

sisa suami, dan sisanya untuk ayah. Sedangkan ketika ahli warisnya

terdiri dari istri, ibu, dan ayah maka bagian istri 1/4, ibu 1/3 seluruh

harta warisan, dan ayah sisanya. Pada kasus pertama Ibnu Sirin

mengikuti pendapat Jumhur karena dia tidak rela kalau ibu

mendapatkan bagian yang lebih besar daripada bagian ayah.

Pada kasus kedua, Ibnu Sirin berbeda dengan Jumhur,

sama dengan Ibnu Abbas karena bagian ibu lebih rendah dari

bagian dari suami, maka tak perlu mentakwil ayat. Baginya bagian

ibu tidak harus setengah bagian ayah, yang penting tidak melebihi

bagian ayah. Menurut Ibnu Hazm, pendapat Ibnu Sirin yang

pertama salah, sedangkan pendapat yang kedua benar. Sebab

Ibnu Sirin membedakan dua kasus padahal ayat yang

menetapkannhya satu.

Ibnu Hazm menolak argumen yang berdasarkan

pernyataan Ibnu Mas'ud: "Allah tidak memperlihatkan kepada saya

kelebihan ibu daripada ayah." Pertama pernyataan Ibnu Mas'ud

bukan sunnah sehingga bukan hujjah. Di sisi lain terdapat sunnah

yang shahih menunjukkan keutamaan ibu daripada ayah. Hadits

tersebut yaitu tentang seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW:

Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan

kebaikan pengkhidmatan (shuhbah)nya? Rasulullah menjawab

sampai 3x: "ibumu." Pada kali keempat beliau baru menjawab:

"ayahmu." Hadits ini menunjukkan keutamaan ibu dari ayah.

Di sisi lain Allah telah menyamakan bagian ibu dengan

bagian ayah ketika si pewaris meninggalkan anak sehinngga

bagian ibu dan ayah masing-masing 1/6. Ibnu Hazm juga

mengkritik argumen bahwa bagian laki-laki harus lebih besar dari

bagian perempuan. Sebab yang berpendapat demikian tidak

konsisten. Misalnya ketika ibu mewarisi bersama dengan kakek

3. Ibu itu ahli waris dzawil furudl sedangkan ayah ahli waris

ashabah (dalam masalah tersebut. Maka sesuai petunjuk Nabi

Muhammad SAW:

Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Sisanya

untuk laki-laki yang paling utama. (al-Bukhari:6351366; Muslim:

1615367)

Hendaknya ibu diberi bagiannya secara sempurna,

kemudian sisanya, sedikit atau banyak, diberikan kepada ayah.368

Ibnu Abbas tidak sendirian di kalangan sahabat. Ali bin Abi

Thalib menurut riwayat yang shahih yang diterima oleh Ibnu

Hazm, juga sependapat dengan Ibnu Abbas. Riwayat yang

menyatakan Ali setuju dengan pendapat Umar, menurut Ibnu

Hazm tidak shahih.

Di kalangan ulama mazhab sunni yang mendukung

pendapat Ibnu Abbas adalah Mazhab az-Zahiri. Mazhab az-Zahiri

beralasan karena Allah telah menetapkan bagian ibu 1/3 dan tidak

menurunkannya menjadi 1/6 kecuali kalau bersama dengan anak

atau saudara-saudara si mayit. Karena itu tidak boleh merubah

ketentuan tersebut kecuali ada sunnah yang diyakini

kevalidannya, padahal tidak ada sunnah maupun ijmak yang

merubahnya. Bagi az-Zahiri, ketika ibu bersama ayah dan

suami/istri, ia berhak mendapatkan 1/3 harta warisan, bukan 1/3

harta sisa suami/istri.

366 Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet III, (Beirut: Dar ibn

Katsir al-Yamamah, 1987), VI: 2476.

367Muslim ibn al-Hajjaj an-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-

‘Arabi, t.t.), III: 1233.

368Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 240.

Page 379: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

356

dan suami, mereka menetapkan bagian ibu 1/3 harta warisan,

suami 1/2, dan kakek sisanya, yakni 1/6.

Ketika ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 saudara kandung,

dan 1 saudari seibu mereka menetapkan bagian saudari seibu 1/6

dan dua saudara kandung mendapatkan 1/6 yang berarti masing-

masing mendapatkan bagian 1/12. Ketika ahli waris terdiri dari

suami, 1 saudari kandung, dan 1 saudara seayah, mereka

menetapkan suami mendapatkan 1/2, 1 saudari kandung

mendapatkan 1/2, dan 1 saudara seayah tidak mendapatkan apa-

apa. Tetapi ketika posisi saudara seayah diduduki saudari seayah,

maka saudari seayah diberi 1/6 sehingga kasusnya di'aul-kan. Ibnu

Hazm heran, mereka tidak mengingkari keutamaan perempuan

terhadap laki-laki dalam kasus-kasus tersebut kemudian menolak

keutamaan ibu terhadap ayah dalam kasus yang telah ditetapkan

Allah.369

Menurut Amir Syarifuddin, penetapan bagian ibu 1/3 sisa

ketika bersama-sama dengan ayah dan suami/istri menunjukkan

adanya pengaruh adat Jahiliyah dalam diri sebagian besar

mujtahid yang disebutkan di atas. Ibnu Abbas yang diikuti oleh

ulama Zahiri yang bersikukuh untuk memahami ayat-ayat Al-

Qur'an menurut zahirnya tidak menghiraukan pengaruh adat lama

yang mungkin masih ada. Menurut Amir Syarifuddin, kedua kasus

sebenarnya bukan masalah dalam arti sebenarnya. Yang terjadi

sebenarnya benturan antara tuntutan menjalankan ketentuan Al-

Qur'an menurut zahirnya dengan prinsip yang diwarnai adat

jahiliyah dalam menempatkan hak perempuan. Ibnu Abbas

mengambil yang pertama dan Jumhur ulama mengambil yang

kedua.370

369Ibnu Hazm, al-Muhalla, IX: 260-262.

370Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 112-

3.

Page 380: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

357

Pendapat senada dinyatakan oleh Sajuti Thalib.

Menurutnya pemberian bagian 1/3 sisa kepada ibu merupakan

pembagian warisan patrinial. Menurut kewarisan bilateral, bagian

1/3 untuk ibu dalam Q.S. An-Nisa' : 12 adalah 1/3 harta

peninggalan. Hal ini didasarkan atas alasan dengan menggunakan

ilmu statistik.

• Q.S. An-Nisa' : 11 menetapkan bagian: 2/3, 1/2, 1/6, 1/3, dan

1/6.

• Q.S. An-Nisa' : 12 menetapkan bagian: 1/2, 1/4, 1/4, 1/8, 1/6,

dan 1/3.

• Q.S. An-Nisa' : 176 menetapkan bagian: 1/2 dan 1/3.

Di sana terlihat 13 angka pecahan penunjuk perolehan

masing-masing ahli waris, 12 di antaranya disepakati angka

perolehan itu diambil dari harta peninggalan. Jadi, 2/3 HP, 1/2 HP,

1/6 HP, dan seterusnya. Dengan demikian, tentunya 1/3 pada Q.S.

An-Nisa' : 12 juga berarti 1/3 HP. Jika Allah menghendaki lain

tentunya akan dirumuskan lain pengecualian itu. Maha benar Allah

dengan segala firman-Nya.371

Penulis sendiri setuju dengan pendapat Ibnu Abbas.

Penulis memiki alasan lain, disamping penulis setuju dengan

alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan para

pendudukungnya. Ibu adalah ahli waris dzawil furudh saja. Ibu

tidak berubah menjadi ashabah bil gair ketika bersama dengan

ayah. Kalaupun ibu mendapatkan setengah dari bagian ayah

ketika hanya mereka yang menjadi ahli waris, yakni ibu 1/3 dan

ayah sisanya 2/3, bukan karena perbandingan bagian laki-laki dan

bagian perempuan 2:1, tapi karena kebetulan. Ibu mendapatkan

371 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia,cet. iv (Jakarta: Sinar Grafika,

2004), 138.

dan suami, mereka menetapkan bagian ibu 1/3 harta warisan,

suami 1/2, dan kakek sisanya, yakni 1/6.

Ketika ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 saudara kandung,

dan 1 saudari seibu mereka menetapkan bagian saudari seibu 1/6

dan dua saudara kandung mendapatkan 1/6 yang berarti masing-

masing mendapatkan bagian 1/12. Ketika ahli waris terdiri dari

suami, 1 saudari kandung, dan 1 saudara seayah, mereka

menetapkan suami mendapatkan 1/2, 1 saudari kandung

mendapatkan 1/2, dan 1 saudara seayah tidak mendapatkan apa-

apa. Tetapi ketika posisi saudara seayah diduduki saudari seayah,

maka saudari seayah diberi 1/6 sehingga kasusnya di'aul-kan. Ibnu

Hazm heran, mereka tidak mengingkari keutamaan perempuan

terhadap laki-laki dalam kasus-kasus tersebut kemudian menolak

keutamaan ibu terhadap ayah dalam kasus yang telah ditetapkan

Allah.369

Menurut Amir Syarifuddin, penetapan bagian ibu 1/3 sisa

ketika bersama-sama dengan ayah dan suami/istri menunjukkan

adanya pengaruh adat Jahiliyah dalam diri sebagian besar

mujtahid yang disebutkan di atas. Ibnu Abbas yang diikuti oleh

ulama Zahiri yang bersikukuh untuk memahami ayat-ayat Al-

Qur'an menurut zahirnya tidak menghiraukan pengaruh adat lama

yang mungkin masih ada. Menurut Amir Syarifuddin, kedua kasus

sebenarnya bukan masalah dalam arti sebenarnya. Yang terjadi

sebenarnya benturan antara tuntutan menjalankan ketentuan Al-

Qur'an menurut zahirnya dengan prinsip yang diwarnai adat

jahiliyah dalam menempatkan hak perempuan. Ibnu Abbas

mengambil yang pertama dan Jumhur ulama mengambil yang

kedua.370

369Ibnu Hazm, al-Muhalla, IX: 260-262.

370Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 112-

3.

Page 381: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

358

1/3 sebagai dzawil furudl, dan ayah sebagai ashabah, kebetulan

sisanya 2/3. Seandainya prinsip 2:1 antara laki-laki dan perepuan

berlaku bagi ayah dan ibu, seharusnya berlaku pada semua

kondisi. Kenyataannya ketika ahli warisnya terdiri dari ibu, ayah,

dan anak prinsip 2:1 tidak berlaku terhadap ayah dan ibu. Prinsip

2:1 ditetapkan Al-Qur'an hanya kepada anak laki-laki bersama

dengan anak perempuan dan saudara bersama dengan saudari.

Oleh Jumhur ulama ditafsirkan saudara kandung bersama dengan

saudari kandung atau saudara seayah bersama dengan saudari

seayah.

Prinsip 2:1 berlaku konsisten terhadap anak laki-laki

bersama dengan anak perempuan, baik mereka sendiri ahli

warisnya atau bersama dengan ahli waris lain. Hal yang sama juga

berlaku terhadap saudara bersama dengan saudari selama mereka

tidak mahjub. Jika prinsip 2:1 ini diberlakukan secara konsisten

pada ayah dan ibu ketika bersama dengan suami/istri berarti telah

menempatkan ibu sebagai ashabah bil gair ketika bersama dengan

ayah. Ini menurut penulis menempatkan ibu bukan pada

tempatnya.

Pendapat Umar yang diikuti jumhur ulama ini sampai kini

masih pendapat mayoritas. Pendapat jumhur ini pula yang

akhirnya diadopsi ke dalam Qanun Al-Mawaris (Kitab Undang-

Undang Hukum Waris) Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir pada Pasal

14, serta UU Kewarisan Suriah pasal 14,372 dan juga ke dalam Buku

Kedua dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 178

ayat (2).

Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Waris Mesir

menetapkan: .....Hanya saja bila ia (ibu) berkumpul dengan salah

372Wahbah, al-Fiqh al-Islami , X: 7789.

Page 382: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

359

seorang suami istri dan ayah saja, baginya sepertiga sisa setelah

fardh suami (istri)....

Pasal 178 (2) KHI menetapkan: Ibu mendapatkan sepertiga

bagian sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-

sama dengan ayah.

Penulis juga menemukan putusan Pengadilan Tinggi

Agama Palembang Nomor 03/Pdt,G/2008/PTA.Plg yang mengikuti

pendapat Umar. Dalam pertimbangannya majelis hakim

menyatakan, bahwa dikalangan Faradhiyun atau Fuqaha Sunni

yang disepakati oleh Imam empat, kelompok Sunni menetapkan

hak bagian ibu adalah dari sisa bukan dari saham bila ibu

bersama dengan suami atau istri beserta bapak, masalah ini

disebut Gharrawain atau Al- Umariyatain, sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 174 ayat (2) Kompilasi Hukum islam, sebab secara

teoritis dalam kasus diatas bila ibu diberi hak bagian saham/

fard, maka bagian ayah sebagai Ashobah bagiannya sangat kecil

hampir sama dengan bagian ibu atau lebih kecil.

Padahal seharusnya (yang adil) bagian ayah lebih besar

dari bagian ibu, sesuai prioritas keadilan bagi kedudukan ayah

yang dianggap lebih tinggi dari ibu. Kemudian dalam salah satu

keputusannya majelis hakim menetapkan hak bagian ahli waris

setelah dikeluarkan untruk anak angkat dengan Wasiat wajibah

sebagai berikut: Janda mendapat ¼ = 3/12 ; ibu mendapatkan

sepertiga sisa x ¾ = 3/12; Ayah mendapat ushubah 6/12.

Penyelesain Umar dalam kasus garrawain ini juga banyak

diajarkan di masyarakat. Buku-buku fiqh mawaris yang diajarkan di

Indonesia umumnya mendukung pendapat Umar yang diikuti

jumhur ulama dalam kasus garrawain. Sungguhpun demikian,

penulis menyarankan untuk memilih pendapat Ibnu Abbas dalam

masalah ini. Sebab pendapat Ibnu Abbas lebih sesuai dengan zahir

ayat dan masyarakat bilateral yang mayoritas di Indonesia.

1/3 sebagai dzawil furudl, dan ayah sebagai ashabah, kebetulan

sisanya 2/3. Seandainya prinsip 2:1 antara laki-laki dan perepuan

berlaku bagi ayah dan ibu, seharusnya berlaku pada semua

kondisi. Kenyataannya ketika ahli warisnya terdiri dari ibu, ayah,

dan anak prinsip 2:1 tidak berlaku terhadap ayah dan ibu. Prinsip

2:1 ditetapkan Al-Qur'an hanya kepada anak laki-laki bersama

dengan anak perempuan dan saudara bersama dengan saudari.

Oleh Jumhur ulama ditafsirkan saudara kandung bersama dengan

saudari kandung atau saudara seayah bersama dengan saudari

seayah.

Prinsip 2:1 berlaku konsisten terhadap anak laki-laki

bersama dengan anak perempuan, baik mereka sendiri ahli

warisnya atau bersama dengan ahli waris lain. Hal yang sama juga

berlaku terhadap saudara bersama dengan saudari selama mereka

tidak mahjub. Jika prinsip 2:1 ini diberlakukan secara konsisten

pada ayah dan ibu ketika bersama dengan suami/istri berarti telah

menempatkan ibu sebagai ashabah bil gair ketika bersama dengan

ayah. Ini menurut penulis menempatkan ibu bukan pada

tempatnya.

Pendapat Umar yang diikuti jumhur ulama ini sampai kini

masih pendapat mayoritas. Pendapat jumhur ini pula yang

akhirnya diadopsi ke dalam Qanun Al-Mawaris (Kitab Undang-

Undang Hukum Waris) Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir pada Pasal

14, serta UU Kewarisan Suriah pasal 14,372 dan juga ke dalam Buku

Kedua dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 178

ayat (2).

Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Waris Mesir

menetapkan: .....Hanya saja bila ia (ibu) berkumpul dengan salah

372Wahbah, al-Fiqh al-Islami , X: 7789.

Page 383: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

360

Penyelesaian Umar cocok untuk masyarakat patrilinial seperti di

Timur Tengah.

Masalah Musyarrakah

Menurut ketentuan, ahli waris ashabah tidak diberi warisan

sebelum ahli waris dzawil furudl mendapatkan bagiannya masing-

masing, berdasarkan hadits tentang ashabah di atas. Akan tetapi

terkadang saudara kandung sebagai ashabah digabung dengan

saudara/i seibu sebagai dzawil furudl dalam kasus tertentu.

Masalah seperti ini disebut masalah musayarrakah.

Masalah musyarrakah terjadi ketika saudara kandung yang

diposisikan sebagai ashabah tidak mendapatkan warisan karena

harta warisan telah habis dibagikan kepada semua ahli waris

dzawil furudl, di antaranya terdapat saudara/i seibu. Musyarrakah

tidak akan terjadi jika masih ada sisa harta yang dapat diberikan

pada ashabah.

Masalah musyarrakah dapat terjadi jika ahli warisnya terdiri

dari suami yang mendapatkan ½ ketika pewaris tidak

meninggalkan anak atau cucu, pemilik bagian 1/6 yaitu ibu atau

nenek, dua saudara/i seibu atau lebih yang mendapatkan 1/3, dan

saudara kandung saja atau bersama saudari kandung kandung.

Jika sandara/i seibu hanya seorang tidak terjadi musyarrakah

karena masih tersisa 1/6 harta warisan. Jika saudari kandung

sendirian atau lebih tanpa saudara kandung maka akan

mendapatkan bagian tertentu yaitu ½ atau 2/3 sehingga

masalahnya akan di’aul-kan. Demikan pula jika kedudukan suami

digantikan istri tidak akan terjadi musyarrakah karena masih ada ¼

sisa harta.373

373 Muhammad Mustafa Syalabi, Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-Qanun,

(Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978), h. 168.

Page 384: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

361

Masalah ini dapat diilustarasikan misalnya ahli waris terdiri

dari suami, ibu (atau nenek), 2 saudara seibu, dan 2 saudara

kandung. Sesuai ketentuan, suami mendapatkan 1/2 karena

pewaris tidak meninggalkan anak, ibu mendapatkan 1/6 karena

bersama beberapa saudara, 2 saudara seibu mendapatkan 1/3

karena lebih dari satu, 2 saudara kandung sebagai ashabah.

Penyelesaiannya sebagai berikut:

• Suami : 1/2 x 6 = 3

• Ibu : 1/6 x 6 = 1

• 2 sdr seibu : 1/3 x 6 = 2

• 2 sdr kandung : A = 0

Dari segi pembagian warisan sebenarnya tidak ada

masalah. Masalahnya di sini terdapat keganjilan. Keganjilannya, 2

saudara seibu yang diikat dengan pewaris hanya melalui satu jalur

ibu mendapatkan warisan sementara saudara kandung yang

diikat dengan dua jalur, yakni jalur ayah dan ibu, tidak

mendapatkan warisan. Kasus seperti ini nampaknya tidak terjadi

pada masa Nabi SAW dan Khalifah Abu Bakar, baru terjadi pada

masa Khalifah Umar bin Khattab.

Umar bin Khattab mendapatkan laporan kasus ini dua kali.

Pada kasus pertama Umar menyelesaikan apa adanya seperti

ilustrasi di atas. Kemudian masalah itu diajukan kepadanya sekali

lagi. Di antara mereka ada yang pintar berdebat dan berkata:

"Amirul Mukminin, anggaplah ayah kami itu keledai (himar),

bukankah kami dengan saudara seibu berasal dari satu ibu?"

Argumen ini diterima oleh Umar kemudian beliau memutuskan

agas semua saudara/i bersekutu mendapatkan 1/3 itu, bagi rata

tanpa mempertimbangkan jenis kelamin. Keputusan Umar ini

Penyelesaian Umar cocok untuk masyarakat patrilinial seperti di

Timur Tengah.

Masalah Musyarrakah

Menurut ketentuan, ahli waris ashabah tidak diberi warisan

sebelum ahli waris dzawil furudl mendapatkan bagiannya masing-

masing, berdasarkan hadits tentang ashabah di atas. Akan tetapi

terkadang saudara kandung sebagai ashabah digabung dengan

saudara/i seibu sebagai dzawil furudl dalam kasus tertentu.

Masalah seperti ini disebut masalah musayarrakah.

Masalah musyarrakah terjadi ketika saudara kandung yang

diposisikan sebagai ashabah tidak mendapatkan warisan karena

harta warisan telah habis dibagikan kepada semua ahli waris

dzawil furudl, di antaranya terdapat saudara/i seibu. Musyarrakah

tidak akan terjadi jika masih ada sisa harta yang dapat diberikan

pada ashabah.

Masalah musyarrakah dapat terjadi jika ahli warisnya terdiri

dari suami yang mendapatkan ½ ketika pewaris tidak

meninggalkan anak atau cucu, pemilik bagian 1/6 yaitu ibu atau

nenek, dua saudara/i seibu atau lebih yang mendapatkan 1/3, dan

saudara kandung saja atau bersama saudari kandung kandung.

Jika sandara/i seibu hanya seorang tidak terjadi musyarrakah

karena masih tersisa 1/6 harta warisan. Jika saudari kandung

sendirian atau lebih tanpa saudara kandung maka akan

mendapatkan bagian tertentu yaitu ½ atau 2/3 sehingga

masalahnya akan di’aul-kan. Demikan pula jika kedudukan suami

digantikan istri tidak akan terjadi musyarrakah karena masih ada ¼

sisa harta.373

373 Muhammad Mustafa Syalabi, Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-Qanun,

(Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978), h. 168.

Page 385: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

362

didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat. Pendapat

ini diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah.374

Kasus ini dinamakan musyarrakah karena saudara

kandung dipersekutukan dengan saudara-saudara seibu dalam

mendapatkan 1/3 warisan. Kasus ini juga diberi nama musytarakah

dalam arti 1/3 yang dipersekutukan. Kasus ini juga diberi nama

hajariyah karena sebagian saudara kandung mengatakan:

"Anggaplah ayah kami hajar (batu)"; dan himariyah karena

sebagian saudara mengatakan: "Anggaplah ayah kami himar

(keledai)."

Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu

Musa di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi,

Mazhab Hanbali, tidak menggunakan teori musyarrakah. Mereka

memberi suami 1/2, ibu 1/6, saudara-saudara seibu 1/3, dan 2

saudara kandung tidak diberi warisan karena harta warisan telah

habis diberikan kepada dzawil furudl. Jika saudara kandung

diikutkah dengan saudara seibu berarti manafikan kekerabatannya

malalui jalur ayah. Penafian kekerabatan melalui jalur syariah tidak

sesuai dengan realitas syar’i. Perubahan saudara kandung dari

ashabah menjadi dzawil furudl berarti perubahan dari status yang

kuat ke status yang lemah. Ini tidak baik secara syar’i. Karena itu

maka saudara seayah tidak digabung ketika tidak mendapatkan

sisa sedangkan saudara seibu mendapatkan bagian padahal

saudara sebapak lebih kuat dari saudara seibu. Saudara kandung

juga demikian.375 Mereka berhujjah dengan ayat 2 ayat kalalah:376

374Ibid. h. 169;

375Muhammad Abu Zahrah, Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris (Kairo: Dar al-Fikr al-

Arabi, 1963), h. 119.

376 Kalalah adalah pewaris yang mewariskan harta kepada garis menyamping,

bukan pada orang tua atau anak keturunannya atau ahli yang mewarisi harta dari garis

menyamping, bukan dari orang tua atau anak keturunannya. Dia, menurut tafsir Abu Bakar

Page 386: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

363

“……Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan dalam

keadaaan “kalalah”, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki

atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari

keduanya 1/6. Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka

berserikat mendapat 1/3……”.

Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini, menurut kesepakatan

ulama klasik adalah saudara/i seibu.377

“ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:

“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika

seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan

mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya

itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang

laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia

tidak mempunyai anak . Tetapi jika saudara perempuan itu dua

yang diikuti sahabat-sahabat dan para ulama mazhab, adalah orang yang tidak punya anak

dan ayah. Lihat Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Tafsir att-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405

H), IV: 283; Isma’il ibn Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H), I: 461.

377Tafsir ini berdasarkan qira’ah syadzdzah Sa’ad ibn Waqash dan juga tafsir Abu

Bakar. Lihat Tafsir Ibn Katsir, ibid.

didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat. Pendapat

ini diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah.374

Kasus ini dinamakan musyarrakah karena saudara

kandung dipersekutukan dengan saudara-saudara seibu dalam

mendapatkan 1/3 warisan. Kasus ini juga diberi nama musytarakah

dalam arti 1/3 yang dipersekutukan. Kasus ini juga diberi nama

hajariyah karena sebagian saudara kandung mengatakan:

"Anggaplah ayah kami hajar (batu)"; dan himariyah karena

sebagian saudara mengatakan: "Anggaplah ayah kami himar

(keledai)."

Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu

Musa di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi,

Mazhab Hanbali, tidak menggunakan teori musyarrakah. Mereka

memberi suami 1/2, ibu 1/6, saudara-saudara seibu 1/3, dan 2

saudara kandung tidak diberi warisan karena harta warisan telah

habis diberikan kepada dzawil furudl. Jika saudara kandung

diikutkah dengan saudara seibu berarti manafikan kekerabatannya

malalui jalur ayah. Penafian kekerabatan melalui jalur syariah tidak

sesuai dengan realitas syar’i. Perubahan saudara kandung dari

ashabah menjadi dzawil furudl berarti perubahan dari status yang

kuat ke status yang lemah. Ini tidak baik secara syar’i. Karena itu

maka saudara seayah tidak digabung ketika tidak mendapatkan

sisa sedangkan saudara seibu mendapatkan bagian padahal

saudara sebapak lebih kuat dari saudara seibu. Saudara kandung

juga demikian.375 Mereka berhujjah dengan ayat 2 ayat kalalah:376

374Ibid. h. 169;

375Muhammad Abu Zahrah, Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris (Kairo: Dar al-Fikr al-

Arabi, 1963), h. 119.

376 Kalalah adalah pewaris yang mewariskan harta kepada garis menyamping,

bukan pada orang tua atau anak keturunannya atau ahli yang mewarisi harta dari garis

menyamping, bukan dari orang tua atau anak keturunannya. Dia, menurut tafsir Abu Bakar

Page 387: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

364

orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika

mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk

yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan..........”.

Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini menurut

kesepakatan ulama klasik adalah saudara kandung atau

sebapak.378 Saudara kandung/sebapak berdasarkan ayat ini

berkedudukan sebagai ashabah. Jika mereka digabung dengan

saudara seibu mendapatkan 1/3 maka kedudukannya akan

berubah menjadi dwawil furudl dan bertentangan dengan dzahir

ayat.

Seandainya kedudukan saudara kandung diisi oleh

saudara-saudara seayah, ulama klasik mengatakan bahwa mereka

sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa karena telah habis

diberikan kepada dzawil furudl dan tidak ada alasan untuk

digabungkan dengan saudara seibu karena mereka berasal dari

ibu yang berbeda.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, pendapat Umar dan

lain-lain lebih kuat dalilnya dan menyerupai dalil istihsan.

Sedangkan pendapat Ali dan kawan-kawan menyerupai qiyas.

Karena menurut qiyas zhahir anak-anak bapak tidak mendapatkan

apa-apa. Ini merupakan kesimpulan yang tidak baik dalam

pandangan manusia, juga dalam logika syar’i. Karena itu

diamalkan qiyas khafi, yaitu sifat yang dimiliki bersama oleh

saudara kandung dan saudara seibu dan mereka mewarisi sebagai

saudara seibu. Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa saudara

kandung memiliki sifat sebagai saudara seibu.379

378Ibid.

379Ibid

Page 388: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

365

Penyelesaian senada dalam kasus musyarrakah dinyatakan

oleh Hazairin dengan alasan berbeda. Pertama, menurut Hazairin,

saudara dapat mewarisi jika dalam keadaan kalalah, yaitu pewaris

tidak meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan yang

diperluas pada tidak meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan

dari garis laki-laki maupun perempuan dengan kata lain pewaris

tidak meninggalkan keturunan sama sekali. Kedua, Hazairin tidak

membeda-bedakan saudara-saudara yang dimaksud dalam Q.S.

An-Nisa’ ayat 12 dan ayat 176. Menurut Hazairin, arti akhun,

ukhtun, dan ikhwatun adalah sama mencakup semua saudara,

kandung, seayah, dan seibu karena Al-Qur’an memang tidak

membeda-bedakan saudara berdasarkan pertalian ayah atau

ibu.380 Perbedaan bagian yang berhak diterima saudara pada

kedua ayat karena sebab lain.

Q.S. An-Nisa’ ayat 176 menurut Hazairin mengatur

kewarisan seseorang yang meninggal tidak berketurunan,

meninggalkan saudara, ayahnya telah meninggal terlebih dahulu,

ibu mungkin masih hidup atau telah meninggal juga.381 Dalam hal

ini maka bagian saudara/i:

380 Sajuti Thalib, pendukung Hazairin, menyatakan bahwa paham Sunni yang

memahami ayat 12 berlaku untuk saudara/I seibu dan ayat 176 berlaku untuk saudara/I

sekandung dan seayah sebagai paham yang ganjil. Sebab ayat 11 dan 12 turun pada tahun

IV H, sedangkan ayat 176 sebagai ayat terakhir tentang waris turun pada tahun V H, bahkan

ada yang mengatakan turun pada tahun V H. Menurutnya tidak wajar pengaturan hak

kewarisan saudara/I seibu setahun (bahkan ada yang mengatakan dua tahun) lebih dahulu

dari pengaturan hak kewarisan saudara kandung dan saudara seayah. Padahal masyarakat

Arab saat itu patrilinial, banyak poligami, sehingga saudara yang banyak tentunya saudara

sekandung atau seayah. Saudara seibu tentu jarang. Menurutnya iman sulit untuk

menerima kalau Allah yang maha bijaksana mengatur yang hampir tidak ada, saudara seibu,

jauh lebih dahulu dari hal yang umumnya terdapat dalam masyarakat, yaitu saudara

kandung dan saudara seayah. 380Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan, 146.

381 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith, cet VI

(Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982), h. 55-6.

orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika

mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk

yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan..........”.

Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini menurut

kesepakatan ulama klasik adalah saudara kandung atau

sebapak.378 Saudara kandung/sebapak berdasarkan ayat ini

berkedudukan sebagai ashabah. Jika mereka digabung dengan

saudara seibu mendapatkan 1/3 maka kedudukannya akan

berubah menjadi dwawil furudl dan bertentangan dengan dzahir

ayat.

Seandainya kedudukan saudara kandung diisi oleh

saudara-saudara seayah, ulama klasik mengatakan bahwa mereka

sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa karena telah habis

diberikan kepada dzawil furudl dan tidak ada alasan untuk

digabungkan dengan saudara seibu karena mereka berasal dari

ibu yang berbeda.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, pendapat Umar dan

lain-lain lebih kuat dalilnya dan menyerupai dalil istihsan.

Sedangkan pendapat Ali dan kawan-kawan menyerupai qiyas.

Karena menurut qiyas zhahir anak-anak bapak tidak mendapatkan

apa-apa. Ini merupakan kesimpulan yang tidak baik dalam

pandangan manusia, juga dalam logika syar’i. Karena itu

diamalkan qiyas khafi, yaitu sifat yang dimiliki bersama oleh

saudara kandung dan saudara seibu dan mereka mewarisi sebagai

saudara seibu. Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa saudara

kandung memiliki sifat sebagai saudara seibu.379

378Ibid.

379Ibid

Page 389: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

366

a. Seorang saudara perempuan mendapatkan ½ dari harta

warisan.

b. Seorang atau lebih saudara laki-laki mewarisi harta

saudaranya yang meninggal (seluruh atau sisa dzawul fara’idl),

sebagai dzawul-qarabah.382

c. Dua orang saudara perempuan atau lebih mewarisi 2/3 harta

warisan.

d. Jika saudara terdiri dari laki-laki dan perempuan maka

pembagiannya seorang saudara laki-laki mendapatkan bagian

dua kali bagian saudara perempuan.383

Q.S. An-Nisa’ ayat 12 menurut Hazairin antara lain

mengatur kewarisan seseorang yang meninggal tidak

berketurunan, tetapi meninggalkan saudara bersama ayah (jadi

mungkin ibu masih hidup atau sudah meninggl juga). Maka

saudara kedudukannya sebagai dzawul faraidl, ayah sebagai

dzawul-qarabah.384 Dalam hal ini bagian saudara sebagai berikut:

a. Seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan

masing-masing mendapatkan 1/6 harta warisan.

b. Beberapa saudara, laki-laki semua, perempuan semua, atau

campuran laki-laki dan perempuan, semuanya berbagi sama

rata terhadap 1/3 harta warisan.385

382Dzawul-qarabahdalam istilah Hazairin adalah orang yang menerima sisa harta

dalam keadaan tertentu. Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam:

Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 178.

383Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 8-9.

384Ibid. 56

385Ibid. 7.

Page 390: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

367

Kasus musyarrakah di atas, jika mengacu pada teori

Hazairin di atas, bukan masalah. Penyelesaian kasus tersebut

menurut teori Hazairin, suami mendapatkan ½ karena pewaris

tidak meninggalkan keturunan, ibu mendapatkan 1/6 karena

terdapat saudara, dan 4 saudara sebagai dzawul-qarabah.

• Suami : 1/2 x 6 = 3 x 4 = 12

• Ibu : 1/6 x 6 = 1 x 4 = 4

• 4 sdr : dz-q = 2 x 4 = 8 +

6 24

Jadi suami mendapatkan 3/6 atau 12/24, ibu mendapatkan

1/6 atau 4/24, dan masing-masing saudara kandung/seibu

mendapatkan 2/24. Penyelesaian kasus musyarrakah akan sama

dengan teori Hazairin jika semua saudara berjenis kelamin laki-laki.

Jika saudara seibu semuanya atau salah satunya perempuan atau

saudara-saudara kandung terdiri dari laki-laki dan perempuan,

hasilnya akan berbeda. Menurut pendapat Umar dengan teori

musyarrakah, bagian laki-laki dan perempuan sama. Sedangkan

menurut Hazairin, jika saudara-saudara terdiri dari laki-laki dan

perempuan, jika pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah

telah meninggal terlebih dahulu, maka pembagiannya 2:1.

Jika kedudukan saudara kandung diganti oleh saudara

seayah, menurut ulama klasik tidak terjadi musyarrakah. Saudara-

saudara seayah sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa

sedangkan saudara-saudara seibu mendapatkan warisan sebagai

dzawil furudl. Menurut teori Hazairin, saudara-saudara seayah tetap

mendapatkan warisan sebagai dzawil qarabah bersama-sama

dengan saudara-saudara seibu. Dalam hal ini teori Hazairin lebih

memenuhi rasa keadilan.

a. Seorang saudara perempuan mendapatkan ½ dari harta

warisan.

b. Seorang atau lebih saudara laki-laki mewarisi harta

saudaranya yang meninggal (seluruh atau sisa dzawul fara’idl),

sebagai dzawul-qarabah.382

c. Dua orang saudara perempuan atau lebih mewarisi 2/3 harta

warisan.

d. Jika saudara terdiri dari laki-laki dan perempuan maka

pembagiannya seorang saudara laki-laki mendapatkan bagian

dua kali bagian saudara perempuan.383

Q.S. An-Nisa’ ayat 12 menurut Hazairin antara lain

mengatur kewarisan seseorang yang meninggal tidak

berketurunan, tetapi meninggalkan saudara bersama ayah (jadi

mungkin ibu masih hidup atau sudah meninggl juga). Maka

saudara kedudukannya sebagai dzawul faraidl, ayah sebagai

dzawul-qarabah.384 Dalam hal ini bagian saudara sebagai berikut:

a. Seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan

masing-masing mendapatkan 1/6 harta warisan.

b. Beberapa saudara, laki-laki semua, perempuan semua, atau

campuran laki-laki dan perempuan, semuanya berbagi sama

rata terhadap 1/3 harta warisan.385

382Dzawul-qarabahdalam istilah Hazairin adalah orang yang menerima sisa harta

dalam keadaan tertentu. Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam:

Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 178.

383Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 8-9.

384Ibid. 56

385Ibid. 7.

Page 391: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

368

Teori musyarrakah Umar diadopsi dalam Undang-undang

Kewarisan di Mesir dan Suriah.386 Kitab Undang-Undang Hukum

Waris Mesir Nomor 77 Tahun 1943 mencantumkan teori

musyarrakah dalam Pasal 10, yaitu:

Bagi anak-anak ibu fardhnya seperenam untuk seorang diri

dan sepertiga untuk dua orang atau lebih. Kelaki-lakian dan

keperempuanan mereka dalam pembagian adalah sama. Dalam

keadaan yang kedua (mendapat sepertiga), bila fardh-fardh dari

ashhabul-furudh telah menghabiskan harta peninggalan, anak-

anak ibu berserikat dengan saudara kandung dan saudara-saudara

kandung dengan menyendiri atau beserta seorang saudari

kandung atau lebih, dan sepertiga tersebut dibagi antar mereka

menurut ketentuan yang telah lalu.

KHI mengatur bagian yang berhak diterima saudara dalam

dua pasal. Pasal 181 mengatur bagian yang berhak diterima

saudara/i seibu. Saudara/i seibu berhak mendapatkan warisan jika

pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, yaitu seperenam jika

sendirian, sepertiga jika berdua atau lebih, laki-laki atau

perempuan sama saja bagi rata.

Pasal 182 mengatur bagian yang berhak diterima saudara/i

kandung atau seayah. Saudara kandung atau seayah berhak

mendapatkan warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak dan

ayah, ½ jika sendirian dan 2/3 jika berdua atau lebih. Jika saudari

tersebut bersama dengan saudara kandung atau seayah, maka

bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

Dari dua pasal di atas dapat dipahami bahwa KHI belum

mengatur kasus musyarrakah, beda dengan Kitab Undang-

386Wahbah, al-Fiqh al-Islam , X: 7772.

Page 392: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

369

Undang Hukum Waris Mesir yang mengaturnya dalam pasal

tersendiri. A. Sukris Mawardi memahami penyelesaian kasus

musyarakah KHI dengan dua kemungkinan yakni menerima

konsep musyarrakah atau percampuran antara mereka dalam

segala jurusan tetapi membedakan antara laki-laki dan perempuan

2:1 di samping berlakunyua fard yang semestinya bagi masing-

masing mereka tanpa selalu harus berbagi sama. 387 Dengan kata

lain ika terjadi kasus musyarrakah penyelesaian kasusnya

diserahkan kepada hakim atau masyarakat yang akan

menyelesaikan apakah akan mengikuti teori musyarrakah Umar

yang didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat yang

kemudian diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah atau

mengikuti Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu

Musa di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi,

Mazhab Hanbali, yang tidak menggunakan teori musyarrakah.

Penulis belum menemukan data lapangan apakah kasus

musyarrakah ini pernah terjadi di pengadilan atau masyarakat, dan

seandainya terjadi bagaimana pemecahannya, penulis lebih belum

menemukan data. Akan tetapi mengingat Muslim Indonesia

umumnya bermazhab syafi’i, kemungkinan teori musyarrakah

diikuti jika kasusnya terjadi, baik di pengadilan atau di masyarakat.

Pendapat Hazairin yang tidak membeda-bedakan saudara

apakah kandung, seayah, atau seibu, tapi hanya membedakan

apakah saudara bersama dengan ayah atau tidak seperti dijelaskan

di atas, layak dipertimbangkan dalam perumusan RUU Kewarisan

Islam Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Amir

Syarifuddin, sekalipun pendapat Hazairin tampak ganjil dalam

387 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 213.

Teori musyarrakah Umar diadopsi dalam Undang-undang

Kewarisan di Mesir dan Suriah.386 Kitab Undang-Undang Hukum

Waris Mesir Nomor 77 Tahun 1943 mencantumkan teori

musyarrakah dalam Pasal 10, yaitu:

Bagi anak-anak ibu fardhnya seperenam untuk seorang diri

dan sepertiga untuk dua orang atau lebih. Kelaki-lakian dan

keperempuanan mereka dalam pembagian adalah sama. Dalam

keadaan yang kedua (mendapat sepertiga), bila fardh-fardh dari

ashhabul-furudh telah menghabiskan harta peninggalan, anak-

anak ibu berserikat dengan saudara kandung dan saudara-saudara

kandung dengan menyendiri atau beserta seorang saudari

kandung atau lebih, dan sepertiga tersebut dibagi antar mereka

menurut ketentuan yang telah lalu.

KHI mengatur bagian yang berhak diterima saudara dalam

dua pasal. Pasal 181 mengatur bagian yang berhak diterima

saudara/i seibu. Saudara/i seibu berhak mendapatkan warisan jika

pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, yaitu seperenam jika

sendirian, sepertiga jika berdua atau lebih, laki-laki atau

perempuan sama saja bagi rata.

Pasal 182 mengatur bagian yang berhak diterima saudara/i

kandung atau seayah. Saudara kandung atau seayah berhak

mendapatkan warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak dan

ayah, ½ jika sendirian dan 2/3 jika berdua atau lebih. Jika saudari

tersebut bersama dengan saudara kandung atau seayah, maka

bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

Dari dua pasal di atas dapat dipahami bahwa KHI belum

mengatur kasus musyarrakah, beda dengan Kitab Undang-

386Wahbah, al-Fiqh al-Islam , X: 7772.

Page 393: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

370

pandangan ulama terdahulu, tetap layak diperhatikan. Apalagi

kasus ini bersifat ijtihadi (boleh di-ijtihad-kan) dan masih berada

dalam tataran wacana.388 Jika teori Hazairin yang diikuti, maka

kasus musyarrakah tidak lagi menjadi masalah khusus, tapi

merupakan kasus biasa yang bisa dipecahkan secara menyeluruh

tanpa melanggar makna teks. Jika mengikuti pendapat Umar,

penyelesaian kasus sesuai dengan rasa keadilan, tetapi masih

dianggap melanggar dzahir teks sebagaimana faham ulama klasik

dan juga parsial.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalama

masalah gharrawain, peneliti memandang bahwa pendapat Ibnu

Abbas yang memberi ibu 1/3 harta warisan ketika ahli waris terdiri

dari ibu, ayah, dan suami/istri lebih sesuai dengan dzahir teks dan

lebih sesuai pula dengan kultur masyarakat Indonesia yang

mayoritas bilateral atau parental. Karena itu pendapat ini layak

dimasukkan dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang

Kewarisan.389

Sedangkan dalam kasus musyarrakah, penulis

memandang bahwa teori yang dikemukakan oleh Umar bin

Khattab lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kultur

masyarakat Indonesia. Lebih dari itu teori Hazairin yang tidak

membeda-bedakan saudara kandung, seayah, dan seibu juga

layak dipertimbangkan. Karena konsep tersebut sangat sesuai

dengan kultur mayoritas masyarakat Indonesia.

388Amir. Hukum Kewarisan, 61.

389

Page 394: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

371

Daftar Pustaka

Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media,

2004.

Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep

Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press, 2005.

Bukhari, Muhammad ibn Isma'il . Shahih al-Bukhari, cet III. Beirut:

Dar ibn Katsir al-Yamamah, 1987.

Dardiri,Ahmad . asy-Syarh al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr, t.t..

Dimasyqi, Isma’il ibn Katsir. Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar al-Fikr, 1401

H

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal

Bimbingn Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji

Departemen Agama. Kompilasi Hukum Islam. 2002.

Fatchur Rahman. Ilmu Waris. cet. X. Bandung: Al-Ma'arif, t.t.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith.

cet VI. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982.

Muhammad Abu Zahrah. Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris. Kairo:

Dar al-Fikr al-Arabi, 1963.

Muhyiddin. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr,

1996.1 Qudamah, Abdullah ibnu. al-Mughni. Beirut: Dar al-

Fikr, 1405.

Nisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj . Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ at-

Turats al-‘Arabi, t.t.

Sarakhsi, Muhammad. al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H.

Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam

Transformatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

pandangan ulama terdahulu, tetap layak diperhatikan. Apalagi

kasus ini bersifat ijtihadi (boleh di-ijtihad-kan) dan masih berada

dalam tataran wacana.388 Jika teori Hazairin yang diikuti, maka

kasus musyarrakah tidak lagi menjadi masalah khusus, tapi

merupakan kasus biasa yang bisa dipecahkan secara menyeluruh

tanpa melanggar makna teks. Jika mengikuti pendapat Umar,

penyelesaian kasus sesuai dengan rasa keadilan, tetapi masih

dianggap melanggar dzahir teks sebagaimana faham ulama klasik

dan juga parsial.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalama

masalah gharrawain, peneliti memandang bahwa pendapat Ibnu

Abbas yang memberi ibu 1/3 harta warisan ketika ahli waris terdiri

dari ibu, ayah, dan suami/istri lebih sesuai dengan dzahir teks dan

lebih sesuai pula dengan kultur masyarakat Indonesia yang

mayoritas bilateral atau parental. Karena itu pendapat ini layak

dimasukkan dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang

Kewarisan.389

Sedangkan dalam kasus musyarrakah, penulis

memandang bahwa teori yang dikemukakan oleh Umar bin

Khattab lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kultur

masyarakat Indonesia. Lebih dari itu teori Hazairin yang tidak

membeda-bedakan saudara kandung, seayah, dan seibu juga

layak dipertimbangkan. Karena konsep tersebut sangat sesuai

dengan kultur mayoritas masyarakat Indonesia.

388Amir. Hukum Kewarisan, 61.

389

Page 395: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

372

Syalabi,Muhammad Mustafa. Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-

Qanun. Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978.

Thabari, Muhammad ibn Jarir. Tafsir att-Thabari. Beirut: Dar al-Fikr,

1405 H.

Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam Indonesia. cet. Iv. Jakarta:

Sinar Grafika, 2004.

Zahiri, Ali ibnu Hazm . al-Muhalla. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.

Zuhaili , Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. cet IV. Damaskus:

Dar al-Fikkr, 2004.

Page 396: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

373

KEWARISAN KHUNTSA (KELAMIN GANDA),

MAFQUD (ORANG HILANG), ANAK DALAM

KANDUNGAN

Sri Hidayati

Latar Belakang

Aturan tentang kewarisan telah ditetapkan Allah melalui

firmanNya yang terdapat dalam al-Qur’an. Pada dasarnya

ketentuan Allah yang berkaitan dengan kewarisan tersebut jelas

maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih memerlukan

penjelasan, baik yang bersifat menegaskan maupun yang bersifat

merinci, disampaikan Rasulullah saw melalui haditsnya. Walaupun

demikian, penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran

dan pembahasan dikalangan para pakar hukum Islam yang

kemudian dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat

normative. Aturan tersebut kemudian ditulis dan diabadikan

dalam bentuk kitab fikih serta menjadi pedoman bagi umat

muslim dalam menyelesaikan permasalahannya yang berkenaan

dengan warisan.

Di Indonesia, aturan Allah tentang kewarisan telah menjadi

hukum positif yang dipergunakan di Pengadilan Agama dalam

memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan

berkenaan dengan harta waris tersebut yang dituangkan dalam

Buku II Kompilasi Hukum Islam. Hanya saja materi hukum

kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut

masih perlu dilengkapi, diperbaiki, dan dikembangkan seiring

dengan temuan dan perkembangan baru dalam praktek di

pengadilan pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya.

Syalabi,Muhammad Mustafa. Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-

Qanun. Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978.

Thabari, Muhammad ibn Jarir. Tafsir att-Thabari. Beirut: Dar al-Fikr,

1405 H.

Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam Indonesia. cet. Iv. Jakarta:

Sinar Grafika, 2004.

Zahiri, Ali ibnu Hazm . al-Muhalla. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.

Zuhaili , Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. cet IV. Damaskus:

Dar al-Fikkr, 2004.

Page 397: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

374

Masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda), mafqud

(orang hilang), anak dalam kandungan merupakan sebagian dari

banyak permasalahan lain yang belum diatur dalam KHI. Dalam

kitab-kitab fikih ketiga masalah tersebut termasuk dalam bahasan

miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai

dengan cara/jalan perkiraan. Untuk itu makalah ini berupaya

membahasnya dari perspektif fiqh, praktik di pengadilan dan di

masyarakat sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan

Kompilasi Hukum Islam tersebut.

Kewarisan Khuntsa

Pada prinsipnya Allah SWT menciptakan manusia hanya

dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.390 Kedua alat

kelamin tersebut mempunyai urgensia yang tidak dapat diragukan

lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-

laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat

digunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga.

Dalam hal-hal tertentu hukum membedakan ketentuan

antara laki-laki dan perempuan, antara lain dalam hal pusaka

mempusakai dimana Allah SWT telah menjelaskan pusaka laki-laki

dan perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat mawarist, tetapi tidak

menjelaskan pusaka khuntsa.

Istilah khuntsa berasal dari bahasa Arab khanatsa yang

berarti lunak atau melunak.391 Dalam bahasa Indonesia dikenal

dengan istilah “banci”, “wadam” (wanita-adam) atau “waria”

(wanita-pria). Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, khuntsa adalah

seseorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki

atau perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan

390 QS. 4:1 dan QS.49:13

391 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta:

Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984), hal 382.

Page 398: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

375

ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin

laki-laki atau perempuan.392

Sehubungan dengan tidak dijelaskannya pusaka khuntsa

dalam al-Qur’an, para pakar hukum Islam berusaha dan berijtihad

untuk menghindari kevacuman hukum dalam penyelesaian

pusaka khuntsa ini.

Perspektif Fiqh

Masalah khuntsa ini banyak dibicarakan dalam kitab-kitab

fikih, karena meskipun khunsa mempunyai dua alat kelamin,

namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu, yaitu laki-

laki atau perempuan. Untuk itu, harus dipastikan kedudukan jenis

kelamin seorang khuntsa.

Jenis Kelamin Khuntsa

Dalam menetapkan seorang khuntsa itu sebagai laki-laki

atau perempuan, ulama klasik menempuh dengan dua cara:393

Pertama, yaitu dengan cara meneliti tempat keluarnya air

kencing; Cara ini merupakan cara yang disepakati para ulama

dalam menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin

khuntsa tersebut.394 Apabila khuntsa kencing melalui zakar maka ia

dianggap sebagai laki-laki dan karenanya dapat mewarisi

sebagaimana orang laki-laki. Dan apabila khuntsa kencing melalui

farj maka ia dianggap sebagai perempuan dan karenanya ia dapat

mewarisi sebagaimana orang perempuan. Riwayat seperti ini juga

392 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van

hoeve, 1996), hal. 934

393 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4, hal. 482

394 Ibid, hal. 140

Masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda), mafqud

(orang hilang), anak dalam kandungan merupakan sebagian dari

banyak permasalahan lain yang belum diatur dalam KHI. Dalam

kitab-kitab fikih ketiga masalah tersebut termasuk dalam bahasan

miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai

dengan cara/jalan perkiraan. Untuk itu makalah ini berupaya

membahasnya dari perspektif fiqh, praktik di pengadilan dan di

masyarakat sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan

Kompilasi Hukum Islam tersebut.

Kewarisan Khuntsa

Pada prinsipnya Allah SWT menciptakan manusia hanya

dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.390 Kedua alat

kelamin tersebut mempunyai urgensia yang tidak dapat diragukan

lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-

laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat

digunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga.

Dalam hal-hal tertentu hukum membedakan ketentuan

antara laki-laki dan perempuan, antara lain dalam hal pusaka

mempusakai dimana Allah SWT telah menjelaskan pusaka laki-laki

dan perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat mawarist, tetapi tidak

menjelaskan pusaka khuntsa.

Istilah khuntsa berasal dari bahasa Arab khanatsa yang

berarti lunak atau melunak.391 Dalam bahasa Indonesia dikenal

dengan istilah “banci”, “wadam” (wanita-adam) atau “waria”

(wanita-pria). Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, khuntsa adalah

seseorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki

atau perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan

390 QS. 4:1 dan QS.49:13

391 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta:

Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984), hal 382.

Page 399: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

376

didapat dari Ali, Mu’awiyah, Sa’id bin al-Musayyab, Jabir bin Zaid,

ahli Kufah dan lainnya.395

Dasar yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau

perempuan seorang khuntsa melalui cara pertama ialah sabda

Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah

ditanya tentang kewarisan seorang anak yang mempunyai qubul

dan zakar. Ketika itu beliau sedang menimang anak khuntsa

Anshar. Sabdanya:

”Berikanlah warisan anak khuntsa ini (seperti bagian anak

laki-laki atau perempuan) berdasarkan awal pertama keluar

kencingnya.”

Alasan menetapkan cara kencing ini sebagai tanda yang

ditetapkan oleh Nabi SAW untuk mengetahui jenis kelamin karena

hal tersebut merupakan tanda umum yang dapat ditemukan pada

anak kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti

tumbuh kumis dan janggut pada laki-laki dan tumbuh payudara

pada perempuan baru akan diketahui setelah dewasa.

Selanjutnya, apabila khuntsa kencing melalui kedua alat

kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang

lebih dulu keluar air seninya. Pendapat ini diriwayatkan dari Said

ibn Musayyab dan diikuti oleh Ahmad dan jumhur ulama. Apabila

keluarnya secara bersamaan maka tanda selanjutnya adalah dari

alat kelamin mana air seni tersebut keluar paling banyak. Pendapat

ini diriwayatkan dari al-Awzai, dua sahabat Abu Hanifah.396

Dalam hal ini Abu Hanifah tidak sependapat karena

banyaknya air seni yang keluar dari salah satu kelamin bisa

395 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.

140

396 Ibid

Page 400: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

377

disebabkan luasnya jalan keluar dan hal itu tidak menunjukkan

keasliannya.397 Sedangkan dari Syafi’i tidak dikenal ada pendapat

tentang ini.398

Kedua, dengan cara melihat tanda-tanda

kedewasaannya.399 Apabila dengan melihat alat kelamin yang

dipergunakan dalam membuang air kecil tidak berhasil, maka

dapat ditempuh dengan melihat ciri-ciri atau tanda-tanda

kedewasaan bagi si khuntsa. Ciri-ciri spesifik bagi laki-laki antara

lain: tumbuh kumis dan janggut, suaranya berubah menjadi besar,

keluarnya sperma lewat zakar, timbul jakun di lehernya, dan ada

kecenderungan mendekati perempuan. Sedangkan ciri-ciri spesifik

bagi perempuan antara lain: membesarnya payudara, keluar haid

dari farjnya, dan ada kecenderungan mendekati laki-laki.

Khuntsa yang dapat ditentukan statusnya berdasarkan

tanda-tanda atau cara-cara tersebut diatas dinamakan Khuntsa

ghair musykil. Sedangkan khuntsa yang sulit ditetapkan jenisnya

baik dengan cara meneliti alat kelamin yang dipergunakan

kencing, ciri-ciri khusus, keterangan dokter, maupun pengakuan

sendiri, dinamakan Khuntsa musykil. Kesulitan dalam menentukan

jenisnya berakibat pada kesulitan dalam menetapkan pembagian

warisannya.

Bagian Pusaka Khuntsa

Dalam menghitung kadar bagian khuntsa musykil para

ulama sepakat, yaitu dengan memperkirakan dan menghitungnya

sebagai laki-laki dan sebagai perempuan. Tetapi kemudian mereka

397 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, terjemah

dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal.

393

398 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, hal. 140

399 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4, hal. 482-484

didapat dari Ali, Mu’awiyah, Sa’id bin al-Musayyab, Jabir bin Zaid,

ahli Kufah dan lainnya.395

Dasar yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau

perempuan seorang khuntsa melalui cara pertama ialah sabda

Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah

ditanya tentang kewarisan seorang anak yang mempunyai qubul

dan zakar. Ketika itu beliau sedang menimang anak khuntsa

Anshar. Sabdanya:

”Berikanlah warisan anak khuntsa ini (seperti bagian anak

laki-laki atau perempuan) berdasarkan awal pertama keluar

kencingnya.”

Alasan menetapkan cara kencing ini sebagai tanda yang

ditetapkan oleh Nabi SAW untuk mengetahui jenis kelamin karena

hal tersebut merupakan tanda umum yang dapat ditemukan pada

anak kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti

tumbuh kumis dan janggut pada laki-laki dan tumbuh payudara

pada perempuan baru akan diketahui setelah dewasa.

Selanjutnya, apabila khuntsa kencing melalui kedua alat

kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang

lebih dulu keluar air seninya. Pendapat ini diriwayatkan dari Said

ibn Musayyab dan diikuti oleh Ahmad dan jumhur ulama. Apabila

keluarnya secara bersamaan maka tanda selanjutnya adalah dari

alat kelamin mana air seni tersebut keluar paling banyak. Pendapat

ini diriwayatkan dari al-Awzai, dua sahabat Abu Hanifah.396

Dalam hal ini Abu Hanifah tidak sependapat karena

banyaknya air seni yang keluar dari salah satu kelamin bisa

395 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.

140

396 Ibid

Page 401: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

378

berbeda pendapat dalam menetapkan pembagian warisan

khuntsa musykil setelah diketahui hasil dari penghitungan kedua

perkiraan tersebut. Pendapat-pendapat tersebut secara garis besar

terbagi tiga.400

Pertama, Memberikan bagian terkecil dan terburuk dari

dua perkiraan bagian laki-laki dan bagian perempuan kepada

khuntsa musykil, dan memberikan bagian yang terbesar dan

terbaik dari dua perkiraan kepada ahli waris yang lain. Pendapat ini

dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan

Imam Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya. 401

Contoh: bapak yang mewarisi bersama anak khuntsa.

Perkiraan khuntsa laki-laki

Ahli waris Bagian penerimaannya

bapak 1/6 x 6 = 1

khuntsa (laki-laki) ’Ashabah = 5

Perkiraan khuntsa perempuan

Ahli waris Bagian penerimaannya

Bapak 1/6 + sisa 1/6 x 6 = 1 + 2 = 3

Khuntsa (prp) 1/2 x 6 = 3

Jika khuntsa diperkirakan laki-laki maka akan memperoleh

saham 5, dan jika khuntsa diperkirakan perempuan maka akan

memperoleh saham 3. Berdasarkan pendapat ini, maka khuntsa

400 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-

Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240

401 Ibid, hal. 486; Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, hal. 395

Page 402: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

379

diberikan saham terkecil, yaitu 3 saham (sebagai perempuan),

sedangkan ahli waris yang lain yaitu bapak diberikan bagian yang

terbesar, yaitu 3 saham.

Pembagian seperti ini didasarkan pada suatu ketentuan

bahwa untuk memiliki harta benda itu tidak dibenarkan selama

tidak ada sebab-sebab yang meyakinkan. Dalam masalah ini

terdapat keraguan antara bagian yang terkecil dengan bagian

yang terbesar. Untuk memperoleh keyakinan dan menghilangkan

keraguan, maka ditetapkan bagian yang terkecil.402

Ketentuan tersebut bagi khuntsa musykil. Jika khuntsa

masih diharapkan menjadi jelas statusnya, maka didalam

menunggu status khuntsa apakah laki-laki atau perempuan

setelah menginjak usia dewasa, menurut ulama Hanafiyah ada dua

pendapat: a) menetapkan bahwa pembagian seluruh harta

peninggalan hendaknya ditahan dulu sampai status khuntsa jelas;

b) menetapkan bahwa setiap ahli waris, termasuk khuntsa

diberikan bagian yang meyakinkan, kemudian sisanya yang masih

diragukan ditahan sampai status khuntsa jelas.

Penerimaan seluruh ahli waris disempurnakan dengan

menambah bagian mereka yang kurang sesuai dengan yang

seharusnya mereka terima. Namun apabila waktu tunggu telah

berlalu dan persoalan khuntsa yang diharapkan jelas tidak menjadi

jelas, maka ia ditetapkan sebagai khuntsa musykil dan pembagian

warisannya seperti ketentuan semula.403

Kedua, Memberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan

dari dua perkiraan kepada khuntsa dan para ahli waris yang lain,

kemudian sisanya ditahan sampai persoalan status khuntsa jelas

402 Fatchur Rahman, Ilmu waris, hal. 487

403 Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, hal. 353

berbeda pendapat dalam menetapkan pembagian warisan

khuntsa musykil setelah diketahui hasil dari penghitungan kedua

perkiraan tersebut. Pendapat-pendapat tersebut secara garis besar

terbagi tiga.400

Pertama, Memberikan bagian terkecil dan terburuk dari

dua perkiraan bagian laki-laki dan bagian perempuan kepada

khuntsa musykil, dan memberikan bagian yang terbesar dan

terbaik dari dua perkiraan kepada ahli waris yang lain. Pendapat ini

dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan

Imam Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya. 401

Contoh: bapak yang mewarisi bersama anak khuntsa.

Perkiraan khuntsa laki-laki

Ahli waris Bagian penerimaannya

bapak 1/6 x 6 = 1

khuntsa (laki-laki) ’Ashabah = 5

Perkiraan khuntsa perempuan

Ahli waris Bagian penerimaannya

Bapak 1/6 + sisa 1/6 x 6 = 1 + 2 = 3

Khuntsa (prp) 1/2 x 6 = 3

Jika khuntsa diperkirakan laki-laki maka akan memperoleh

saham 5, dan jika khuntsa diperkirakan perempuan maka akan

memperoleh saham 3. Berdasarkan pendapat ini, maka khuntsa

400 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-

Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240

401 Ibid, hal. 486; Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, hal. 395

Page 403: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

380

atau sampai ada perdamaian bersama antara para ahli waris untuk

saling hibah-menghibahkan sisa yang diragukan itu.404 Pendapat

ini dikemukakan oleh ulama-ulama Syafi’iyah, Imam Abu Dawud,

Imam Abu Tsaur, dan Imam Ibnu Jarir. Jika bagian khuntsa

tersebut pasang surut atau berlebih-kurang sekiranya diperkirakan

laki-laki dan perempuan, atau khuntsa hanya mewarisi menurut

salah satu perkiraan saja, sedangkan menurut perkiraan yang lain

ia tidak mendapat warisan, maka bagi khuntsa dan ahli waris yang

lain diberikan bagian yang telah meyakinkan, yaitu bagian yang

terkecil dari dua perkiraan atau tidak menerima sama sekali.

Menurut ketentuan ini, setelah semua ahli waris termasuk

khuntsa menerima bagian yang terkecil atau bagian yang telah

meyakinkan, maka sisanya ditahan dulu sampai status khuntsa

jelas. Tetapi jika status khuntsa tidak menjadi jelas, maka para ahli

waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah

menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqqufkan tersebut.

Sebab jika tidak ada perundingan untuk saling hibah

menghibahkan, sisa yang ditawaqqufkan tersebut tidak dapat

dimiliki mereka. Perundingan saling hibah menghibahkan ini

adalah sah walaupun menurut syarat-syarat hibah itu harus

diketahui secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan

sesuatu keadaan darurat.

Contoh: Perkiraan khuntsa laki-laki

Ahli waris Bagian penerimaannya

bapak 1/6 x 6 = 1

anak khuntsa (laki-laki) ’Ashabah = 5

404 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 488

Page 404: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

381

Perkiraan khuntsa perempuan

Ahli waris Bagian penerimaannya

Bapak 1/6 + sisa 1/6 x 6 = 1 + 2 = 3

Anak khuntsa (perempuan) 1/2 x 6 = 3

Berdasarkan pendapat ini maka pembagiannya sebagai

berikut:

Bapak = 1 saham

Anak khuntsa = 3 saham

Sisa = 2 saham disimpan sampai status khunsa jelas.

Atau dibagi berdasarkan kesepakatan.

Ulama-ulama Hanabilah dalam hal khuntsa masih dapat

diharapkan menjadi jelas statusnya mengikuti pendapat ulama-

ulama Syafi’iyah, yaitu sisa yang masih diragukan ditahan terlebih

dahulu. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan

menjadi jelas, mereka sependapat dengan ulama Malikiyah pada

point c) dibawah ini.

Ketiga, memberi separoh dari dua perkiraan laki-laki dan

perempuan kepada khuntsa dan ahli waris yang lain. Pendapat ini

dikemukakan oleh ulama-ulama Malikiyah, ylama Hanabilah dalam

satu pendapatnya disaat si khuntsa tidak dapat diharapkan

menjadi jelas persoalannya,405 ulama Syi’ah Zaidiyah, dan Syi’ah

Imamiyah dalam salah satu pendapatnya yang masyhur.

405 Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al Mirats, hal. 352

atau sampai ada perdamaian bersama antara para ahli waris untuk

saling hibah-menghibahkan sisa yang diragukan itu.404 Pendapat

ini dikemukakan oleh ulama-ulama Syafi’iyah, Imam Abu Dawud,

Imam Abu Tsaur, dan Imam Ibnu Jarir. Jika bagian khuntsa

tersebut pasang surut atau berlebih-kurang sekiranya diperkirakan

laki-laki dan perempuan, atau khuntsa hanya mewarisi menurut

salah satu perkiraan saja, sedangkan menurut perkiraan yang lain

ia tidak mendapat warisan, maka bagi khuntsa dan ahli waris yang

lain diberikan bagian yang telah meyakinkan, yaitu bagian yang

terkecil dari dua perkiraan atau tidak menerima sama sekali.

Menurut ketentuan ini, setelah semua ahli waris termasuk

khuntsa menerima bagian yang terkecil atau bagian yang telah

meyakinkan, maka sisanya ditahan dulu sampai status khuntsa

jelas. Tetapi jika status khuntsa tidak menjadi jelas, maka para ahli

waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah

menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqqufkan tersebut.

Sebab jika tidak ada perundingan untuk saling hibah

menghibahkan, sisa yang ditawaqqufkan tersebut tidak dapat

dimiliki mereka. Perundingan saling hibah menghibahkan ini

adalah sah walaupun menurut syarat-syarat hibah itu harus

diketahui secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan

sesuatu keadaan darurat.

Contoh: Perkiraan khuntsa laki-laki

Ahli waris Bagian penerimaannya

bapak 1/6 x 6 = 1

anak khuntsa (laki-laki) ’Ashabah = 5

404 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 488

Page 405: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

382

Pembagian ahli waris:

Bapak = 1 + 3 = 2

2

Anak khuntsa = 5 +3 = 4

2

Alasan yang dikemukakan ulama-ulama tersebut

sebagaimana diriwayatkan as-Sya’by yang mengutip dari riwayat

Ibnu Abbas r.a yang mengatakan bahwa bagian khuntsa itu ialah

separoh dari dua bagian laki-laki dan perempuan, dikarenakan

statusnya masih diperselisihkan oleh para ahli waris.406 Fatwa Ibnu

Abbas ini menurut Ibnu Qudamah tidak ada seorang sahabatpun

yang mengingkarinya. 407

Tidak dapat ditarjihkan kepada salah satu jenis kelamin

karena adanya kemungkinan yang sama untuk ditetapkan sebagai

laki-laki atau perempuan, untuk itu harus dipersamakan ketentuan

hukumnya bagi keduanya.

Jumlah Ahli Waris Khuntsa Musykil

Para faradhiyun menetapkan bahwa para ahli waris

khuntsa musykil hanya berjumlah tujuh (7) orang yang tercakup

dalam empat jihat sebagai berikut:408

a. Jihat bunuwwah (jalur anak), yaitu anak dan cucu;

b. Jihat ukhuwwah (jalur saudara), yaitu saudara dan anak saudara

(keponakan);

406 Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-Islamiyyah, hal. 196

407 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 490

408 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 484

Page 406: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

383

c. Jihat ’umumah (jalur paman), yaitu paman dan anak paman

(saudara sepupu);

d. Jihat wala’ (perwalian budak), yaitu tuan yang memerdekakan

budaknya (maulal mu’tiq).

Praktek di masyarakat

Di masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah “banci”,

“wadam” (wanita-adam) atau “waria” (wanita-pria). Istilah-istilah

tersebut berbeda pengertian dengan khuntsa yang dimaksud

dalam kitab-kitab fikih. Banci adalah tidak berjenis laki-laki dan

juga tidak berjenis perempuan; 2 n laki-laki yang bertingkah laku

dan berpakaian sebagai perempuan; wadam; waria.409

Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau

yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun

transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang

karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan

kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan

alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk

dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai

kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment

Surgery).410

Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM,

antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah

satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup

dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus

menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya

ketika datang stress; adanya penampilan fisik interseks atau

409 Kamus Besar Bahasa Indonesia

410 http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-fenomena-

transgender-dan-hukum-operasi-kelamin, makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).

Pembagian ahli waris:

Bapak = 1 + 3 = 2

2

Anak khuntsa = 5 +3 = 4

2

Alasan yang dikemukakan ulama-ulama tersebut

sebagaimana diriwayatkan as-Sya’by yang mengutip dari riwayat

Ibnu Abbas r.a yang mengatakan bahwa bagian khuntsa itu ialah

separoh dari dua bagian laki-laki dan perempuan, dikarenakan

statusnya masih diperselisihkan oleh para ahli waris.406 Fatwa Ibnu

Abbas ini menurut Ibnu Qudamah tidak ada seorang sahabatpun

yang mengingkarinya. 407

Tidak dapat ditarjihkan kepada salah satu jenis kelamin

karena adanya kemungkinan yang sama untuk ditetapkan sebagai

laki-laki atau perempuan, untuk itu harus dipersamakan ketentuan

hukumnya bagi keduanya.

Jumlah Ahli Waris Khuntsa Musykil

Para faradhiyun menetapkan bahwa para ahli waris

khuntsa musykil hanya berjumlah tujuh (7) orang yang tercakup

dalam empat jihat sebagai berikut:408

a. Jihat bunuwwah (jalur anak), yaitu anak dan cucu;

b. Jihat ukhuwwah (jalur saudara), yaitu saudara dan anak saudara

(keponakan);

406 Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-Islamiyyah, hal. 196

407 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 490

408 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 484

Page 407: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

384

genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan

mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam

Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan

di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada

kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.411

Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan

gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya

pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak

laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa

pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma

pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan

penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan.

Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon

yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal

guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa

dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki

kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki

kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk

memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu

yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.412

Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus

diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia

kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1)

Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap

orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi

perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap

orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis)

atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3)

411 Ibid

412 Ibid

Page 408: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

385

Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang

dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua

organ/jenis kelamin (penis dan vagina).413

Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi

normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi

laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan

rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat

Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini

sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi

Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini

sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan

hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula

sebelum diubah.

Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil

(perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis

kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syariat.

Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi

untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina,

maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya

dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang

normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang

harus diobati.

Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu

mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan

memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat

kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan

menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika

seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian

413 Ibid

genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan

mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam

Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan

di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada

kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.411

Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan

gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya

pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak

laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa

pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma

pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan

penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan.

Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon

yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal

guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa

dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki

kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki

kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk

memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu

yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.412

Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus

diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia

kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1)

Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap

orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi

perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap

orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis)

atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3)

411 Ibid

412 Ibid

Page 409: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

386

dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang

menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka

ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya

dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita.

Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar)

yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa

mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum

agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah

dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi

kehidupan sosialnya.414

Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan

kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin

orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda,

juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada

seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin”

pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul

Jadid, Probolinggo Jawa Timur.

Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah

sebagai berikut:415

Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang

dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah),

maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak

berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi

waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian

kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria

(dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.

414 Ibid

415 Ibid

Page 410: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

387

Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang

yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda)

dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau

penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat

identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut

Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa

jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang

berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau

kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan

kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya

menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan

penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat

dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.

Kewarisan Mafqud

Mafqud (orang hilang) beberapa kasus disebabkan

berbagai hal, diantaranya musibah bencana alam, penculikan,

kerusuhan atau sebagai TKI illegal di negeri orang atau sebab

lainnya akhir-akhir ini menjadi sorotan media cetak maupun

elektronik. Keberadaan orang hilang tersebut banyak yang tidak

terungkap di masyarakat, apakah ia masih hidup atau sudah wafat.

Penentuan status orang hilang apakah ia masih hidup atau telah

wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan

kewajiban orang yang hilang tersebut serta hak dan kewajiban

keluarganya sendiri.

Pembahasan orang hilang (mafqud) dalam kewarisan ini

menyangkut dua hal, yaitu dalam posisinya sebagai pewaris dan

kaitannya dengan peralihan hartanya kepada ahli waris, serta

posisinya sebagai ahli waris dan kaitannya dengan peralihan harta

pewaris kepadanya.

dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang

menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka

ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya

dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita.

Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar)

yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa

mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum

agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah

dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi

kehidupan sosialnya.414

Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan

kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin

orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda,

juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada

seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin”

pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul

Jadid, Probolinggo Jawa Timur.

Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah

sebagai berikut:415

Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang

dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah),

maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak

berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi

waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian

kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria

(dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.

414 Ibid

415 Ibid

Page 411: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

388

Kata mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar

“faqada” yang berarti hilang.416 Menurut para Faradhiyun mafqud

itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan

tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui

tentang hidup dan matinya.417 Selain itu, ada yang mengartikan

mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak

diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.418

Perspektif Fiqh

Dalam menetapkan status mafqud apakah ia masih hidup

atau tidak, para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi

positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih

hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah

wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah

istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula,

sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.

Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam

menentukan batas waktu berapa lama mafqud dianggap masih

hidup, baik posisinya sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris.

Mafqud sebagai Pewaris

Dalam posisinya sebagai pewaris, ulama sepakat bahwa

mafqud tetap dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan

karena itu harta miliknya tidak dapat dibagikan kepada ahli waris

416 Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh,

diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma’shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI,

1994), hal. 146

417 Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981), hal. 504.

418 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-

Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 244

Page 412: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

389

serta istrinya juga tetap berstatus sebagai istri.419 Mereka

mengemukakan dua alasan sebagai berikut:420

a. Salah satu syarat mewarisi adalah adanya kematian pewaris,

baik mati hakiki maupun mati hukmi (mati berdasarkan vonis

hakim). Sementara status kematian mafqud masih diragukan.

b. Membagi-bagikan harta milik mafqud kepada ahli warisnya

hanya berdasarkan hilangnya padahal ada kemungkinan ia

masih hidup merupakan hal yang merugikannya. Berdasarkan

kaidah “istishhabul hal” (hukum sesuatu berdasarkan keadaan

semula), maksudnya mafqud pada saat kepergiannya dalam

keadaan hidup. Keadaan inilah yang dijadikan dasar

menentukan hukum hidupnya, selama tidak ada petunjuk yang

mengarah pada kematiannya. Oleh sebab itu ia masih

mempunyai hak milik penuh terhadap harta bendanya.

Mengenai kapan hakim dapat memutuskan atau memberi

vonis tentang kematian mafqud, terdapat beberapa pendapat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa untuk dapat

menyatakan kematian mafqud, harus ditunggu sampai batas

waktu tertentu yang ia tidak mungkin hidup lebih dari masa itu.

Kepastian waktunya diserahkan kepada ijtihad hakim. Pendapat ini

diikuti oleh Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Abu

Yusuf.421 Alasan mereka adalah status asalnya adalah hidup dan

kepastian kematiannya sangat tergantung pada realitas dan berita

tentang hal tersebut tidak ada.

Pendapat lain yakni beberapa ulama memberi batas waktu

tertentu. Abdul Malik bin Majisyun menetapkan batas waktu

419 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 133

420 Fatchur Rahman, hal. 504-505

421 Amir Syarifuddin, hal. 133

Kata mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar

“faqada” yang berarti hilang.416 Menurut para Faradhiyun mafqud

itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan

tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui

tentang hidup dan matinya.417 Selain itu, ada yang mengartikan

mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak

diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.418

Perspektif Fiqh

Dalam menetapkan status mafqud apakah ia masih hidup

atau tidak, para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi

positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih

hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah

wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah

istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula,

sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.

Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam

menentukan batas waktu berapa lama mafqud dianggap masih

hidup, baik posisinya sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris.

Mafqud sebagai Pewaris

Dalam posisinya sebagai pewaris, ulama sepakat bahwa

mafqud tetap dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan

karena itu harta miliknya tidak dapat dibagikan kepada ahli waris

416 Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh,

diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma’shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI,

1994), hal. 146

417 Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981), hal. 504.

418 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-

Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 244

Page 413: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

390

sampai mafqud mencapai umur 90 tahun dihitung dari tahun

kelahirannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan

mencapai umur 90 tahun.422 Ibnu ‘Abdul Hakam menetapkan

supaya mafqud ditunggu sampai berusia genap 70 tahun. Beliau

menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang

berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun”.423

Hasan bin Ziyad berpendapat harus ditunggu secara sempurna

120 tahun. Pembatasan ini rupanya hanya sekedar perkiraan dan

tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.424 Imam Malik dalam

salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang membolehkan

hakim memberikan vonis kematian mafqud ialah empat (4) tahun

sejak kepergiannya. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan

Sayyidina Umar ra. yang mengatakan:425

“Setiap perempuan yang ditinggal pergi suaminya yang ia

tiada mengetahui dimana suaminya, maka ia diminta

menunggu 4 (empat) tahun. Kemudian setelah itu ia

ber’iddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal.”

(Riwayat Bukhari dan Syafi’i).

Imam Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa di dalam

menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat

“situasi” hilangnya si mafqud tersebut. Menurut beliau situasi

hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:

a. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan

membawa malapetaka. Misalnya dalam situasi naik kapal

tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpangnya

telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah

422Amir Syarifuddin, hal. 132; Fathur Rahman, hal. 508

423 Ibid

424 Amir Syarifuddi, hal. 133 dikutip dari Ibnu Qudamah, hal. 386.

425 Fathur Rahman, hal. 507

Page 414: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

391

diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim

dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun

lamanya.

b. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai

membawa malapetaka. Misalnya pergi untuk menurut ilmu,

ibadah haji, dan sebagainya, tetapi kemudian ia tidak kembali

dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana

domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada

hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut

ijtihad-nya.

Mafqud sebagai ahli waris

Apabila dalam hal posisi mafqud sebagai pewaris jumhur

ulama sepakat ia dianggap masih hidup sampai batas waktu yang

telah disebutkan di atas, maka para ulama berbeda pendapat

dalam hal posisi mafqud sebagai ahli waris.

Mayoritas ulama, termasuk ulama Syafi’iyah berpendapat

bahwa orang hilang yang posisinya sebagai ahli waris juga

dinyatakan hidup dan haknya atas harta warisan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku disisihkan dan ditangguhkan sampai ada

kepastian tentang kematiannya. Sedangkan ahli waris yang lain

menerima haknya secara penuh dengan memperhitungkan

mafqud dalam status hidup.426

Sebagian besar ulama Hanafiyah dan beberapa pengikut

Syafi’iyah berpendapat bahwa harta warisan dibagikan kepada ahli

waris yang ada karena mereka adalah ahli waris yang sudah pasti

adanya. Sedangkan orang hilang itu diragukan status hidupnya

dan karenanya ia tidak mewaris.427

426 Amir Syarifuddin, hal. 134

427 Ibid

sampai mafqud mencapai umur 90 tahun dihitung dari tahun

kelahirannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan

mencapai umur 90 tahun.422 Ibnu ‘Abdul Hakam menetapkan

supaya mafqud ditunggu sampai berusia genap 70 tahun. Beliau

menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang

berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun”.423

Hasan bin Ziyad berpendapat harus ditunggu secara sempurna

120 tahun. Pembatasan ini rupanya hanya sekedar perkiraan dan

tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.424 Imam Malik dalam

salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang membolehkan

hakim memberikan vonis kematian mafqud ialah empat (4) tahun

sejak kepergiannya. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan

Sayyidina Umar ra. yang mengatakan:425

“Setiap perempuan yang ditinggal pergi suaminya yang ia

tiada mengetahui dimana suaminya, maka ia diminta

menunggu 4 (empat) tahun. Kemudian setelah itu ia

ber’iddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal.”

(Riwayat Bukhari dan Syafi’i).

Imam Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa di dalam

menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat

“situasi” hilangnya si mafqud tersebut. Menurut beliau situasi

hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:

a. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan

membawa malapetaka. Misalnya dalam situasi naik kapal

tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpangnya

telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah

422Amir Syarifuddin, hal. 132; Fathur Rahman, hal. 508

423 Ibid

424 Amir Syarifuddi, hal. 133 dikutip dari Ibnu Qudamah, hal. 386.

425 Fathur Rahman, hal. 507

Page 415: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

392

Ahmad dan kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa

orang hilang itu ditangguhkan haknya sampai ada berita

kematiannya, sedangkan ahli waris yang lain diberikan haknya

yang sudah meyakinkan. Cara penentuan mengenai bagian yang

meyakinkannya itu yaitu dengan cara memperhitungkan dua

perkirakan antara mafqud mati dan hidup.

Contoh: Suami mewarisi bersama anak laki-laki maufqud

dan anak perempuan. Harta peninggalan Rp. 300 juta.

Perkiraan mafqud hidup

Ahli waris Penerimaan/saham masing-masing ahli

waris

suami 1/4 x 4 = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp.

75 juta

Anak laki-laki

mafqud ’ashabah = 2/4 saham x Rp 300 juta = Rp.

150 juta

Anak perempuan ’ashabah = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp.

75 juta

Perkiraan mafqud mati

Ahli waris Penerimaan/saham masing-masing ahli

waris

suami 1/4 x 4 = 1/3 saham x Rp. 300 juta = Rp

100 juta

Anak perempuan ½ x 4 = 2/3 saham x Rp. 300 juta = Rp.

200 juta

Jumlah saham 3 (diradkan untuk suami

dan anak perempuan)

Page 416: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

393

Ahli waris yang ada diberikan haknya yang meyakinkan, yaitu :

Suami = Rp. 75 juta, dan anak perempuan = Rp. 75 juta. Sedangkan

bagian mafqud = Rp. 150 juta ditangguhkan.

Selanjutnya adalah menunggu berita tentang keadaan

mafqud tersebut. Ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu428 :

a. Mafqud kembali dalam keadaan hidup. Bagi yang

berpendapat mafqud tidak diperhitungkan sebagai ahli waris

dan harta sudah dibagikan kepada ahli waris yang ada, maka

penyelesaiannya adalah para ahli waris yang telah menerima

harus mengembalikan apa yang menjadi hak mafqud

seberapapun yang tersisa. Kekurangan tidak menjadi hutang

karena mereka mengambil secara hukum. Bagi yang

berpendapat mafqud masih dinyatakan hidup dan haknya

harus disisihkan, tidak ada masalah karena haknya memang

sudah disediakan untuk mafqud. Bagi yang berpendapat ahli

waris yang ada diberikan bagikan yang terkecil (meyakinkan),

jika mafqud kembali dan hidup, maka mafqud diberikan

haknya yang disisihkan, sedangkan ahli waris lain yang baru

menerima sebagian disempurnakan haknya.

b. Ada berita yang meyakinkan tentang kematian mafqud yang

ternyata mendahului kematian pewaris, maka dengan

demikian mafqud bukan ahli waris. Untuk itu harta yang

ditangguhkan dibagikan kembali kepada ahli waris sesuai

bagian yang seharusnya mereka terima.

c. Ada berita kematian yang menyatakan bahwa mafqud mati

setelah kematian pewaris, maka mafqud termasuk ahli waris.

Apabila batas waktu menunggu sebagaimana yang

diperdebatkan sudah berlalu dan mafqud belum kembali dan

428 Ibid, hal. 135

Ahmad dan kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa

orang hilang itu ditangguhkan haknya sampai ada berita

kematiannya, sedangkan ahli waris yang lain diberikan haknya

yang sudah meyakinkan. Cara penentuan mengenai bagian yang

meyakinkannya itu yaitu dengan cara memperhitungkan dua

perkirakan antara mafqud mati dan hidup.

Contoh: Suami mewarisi bersama anak laki-laki maufqud

dan anak perempuan. Harta peninggalan Rp. 300 juta.

Perkiraan mafqud hidup

Ahli waris Penerimaan/saham masing-masing ahli

waris

suami 1/4 x 4 = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp.

75 juta

Anak laki-laki

mafqud ’ashabah = 2/4 saham x Rp 300 juta = Rp.

150 juta

Anak perempuan ’ashabah = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp.

75 juta

Perkiraan mafqud mati

Ahli waris Penerimaan/saham masing-masing ahli

waris

suami 1/4 x 4 = 1/3 saham x Rp. 300 juta = Rp

100 juta

Anak perempuan ½ x 4 = 2/3 saham x Rp. 300 juta = Rp.

200 juta

Jumlah saham 3 (diradkan untuk suami

dan anak perempuan)

Page 417: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

394

tidak ada juga berita tentang kematiannya tersebut, maka para

ulama berbeda kembali tentang untuk siapa harta yang

ditangguhkan tersebut.

Menurut pendapat Abu Yusuf, harta yang ditangguhkan

dikembalikan kepada ahli waris yang telah ada dan bukan kepada

ahli waris si mafqud. Sementara itu al-Khabari meriwayatkan dari

al-Lu’lui yang mengatakan bahwa harta yang ditangguhkan untuk

mafqud diserahkan untuk ahli waris si mafqud. Inilah pendapat

yang sahih menurutnya.429

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

mafqud dalam posisi sebagai pewaris ditetapkan masih hidup dan

oleh karena itu hartanya tidak boleh dibagikan kepada ahli

warisnya. Sementara bila mafqud dalam posisi sebagai ahli waris

para ulama berbeda pendapat antara yang menganggap mafqud

masih hidup dan yang menganggap mafqud telah mati.

Perbedaan pendapat tersebut menurut Amir Syarifuddin

adalah berawal dari perbedaan pendapat mengenai istishab sifat

(istishabu al-haal), yaitu memberlakukan berlanjutnya suatu sifat

yang sebelumnya telah ada.430 Jumhur ulama berpendapat bahwa

istishabu al-haal dapat digunakan untuk mengukuhkan hak yang

ada padanya dan untuk mendapatkan hak baru. Sedangkan

kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa istishabu al-haal itu

hanya dapat mengukuhkan hak yang ada padanya dan tidak dapat

digunakan untuk mendapat hak yang baru.

Memposisikan mafqud masih hidup ketika ia sebagai

pewaris berarti mempertahankan/mengukuhkan hak yang ada

padanya. Dalam hal ini kedua golongan tersebut sepakat. Adapun

429 Amir Syarifuddin, hal 136-137 mengutip dari Ibnu Qudamah hal. 390.

430 Ibid, hal. 137

Page 418: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

395

dalam hal mafqud sebagai ahli waris, jumhur memposisikannya

masih hidup, dan Hanafiyah memposisikannya sudah mati.

Mafqud dalam praktek di Pengadilan

Mengenai masalah kewarisan orang hilang dalam praktek

di pengadilan, setelah ditelusuri melalui internet, pemakah

menemukan skripsi yang ditulis oleh Jauhar Faradis, mahasiswa

UIN Yogyakarta tentang Hak Waris Orang Hilang (Studi Putusan

Pengadilan Agama Sleman No: 20/Pdt.P/2003/Pa.Smn).431

Dalam abstraksinya disebutkan bahwa penyelesaian

perkara hak waris mafqud, dilakukan dengan tahapan berikut;

Pertama, hakim menilai benar tidaknya fakta yang diajukan oleh

Pemohon (mengkonstatir). Kedua, hakim menciptakan hukum

baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena belum ada

kepastian hukumnya (mengkualifisir), dan Ketiga, hakim

menetapkan si mafqud tersebut dalam keadaan meninggal dunia

secara hukmi dan hak warisnya dibagikan kepada ahli warisnya

(mengkonstituir). Dengan berdasarkan pada aspek maslahah,

maka apa yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Sleman

sudah sesuai dengan apa yang ada dalam ketentuan hukum Islam,

karena tujuan dari penetapan hak waris mafqud tersebut adalah

untuk memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat pencari

keadilan.432

Sayangnya dalam abstraksi tersebut tidak dicantumkan

berapa lama mafqud hilang sehingga hakim menetapkan

kematian si mafqud, sehingga tidak dapat dianalisa apakah hakim

431 Pemakalah tidak berhasil membaca keseluruhan isi skripsi dan mendapatkan

putusan PA Sleman tersebut.

432 Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-08 11:48:31By :

JAUHAR FARADIS NIM. 04350063, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga YogyakartaCreated :

2008-07-08.

tidak ada juga berita tentang kematiannya tersebut, maka para

ulama berbeda kembali tentang untuk siapa harta yang

ditangguhkan tersebut.

Menurut pendapat Abu Yusuf, harta yang ditangguhkan

dikembalikan kepada ahli waris yang telah ada dan bukan kepada

ahli waris si mafqud. Sementara itu al-Khabari meriwayatkan dari

al-Lu’lui yang mengatakan bahwa harta yang ditangguhkan untuk

mafqud diserahkan untuk ahli waris si mafqud. Inilah pendapat

yang sahih menurutnya.429

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

mafqud dalam posisi sebagai pewaris ditetapkan masih hidup dan

oleh karena itu hartanya tidak boleh dibagikan kepada ahli

warisnya. Sementara bila mafqud dalam posisi sebagai ahli waris

para ulama berbeda pendapat antara yang menganggap mafqud

masih hidup dan yang menganggap mafqud telah mati.

Perbedaan pendapat tersebut menurut Amir Syarifuddin

adalah berawal dari perbedaan pendapat mengenai istishab sifat

(istishabu al-haal), yaitu memberlakukan berlanjutnya suatu sifat

yang sebelumnya telah ada.430 Jumhur ulama berpendapat bahwa

istishabu al-haal dapat digunakan untuk mengukuhkan hak yang

ada padanya dan untuk mendapatkan hak baru. Sedangkan

kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa istishabu al-haal itu

hanya dapat mengukuhkan hak yang ada padanya dan tidak dapat

digunakan untuk mendapat hak yang baru.

Memposisikan mafqud masih hidup ketika ia sebagai

pewaris berarti mempertahankan/mengukuhkan hak yang ada

padanya. Dalam hal ini kedua golongan tersebut sepakat. Adapun

429 Amir Syarifuddin, hal 136-137 mengutip dari Ibnu Qudamah hal. 390.

430 Ibid, hal. 137

Page 419: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

396

dalam menetapkan tersebut mengikuti pendapat salah satu ulama

fikih atau murni berijtihad berdasarkan aspek maslahah.

Kewarisan anak dalam kandungan

Para ulama telah sepakat dalam menetapkan syarat-syarat

seorang ahli waris yang berhak mendapatkan warisan adalah yang

pada saat kematian pewaris jelas nyata ada dan hidupnya. Para

ulama juga sepakat bahwa janin yang masih dalam kandungan

ibunya termasuk ahli waris yang berhak diperhitungkan sebagai

ahli waris dengan syarat sudah berwujud di dalam rahim ibunya

pada saat pewaris meninggal, dan hidup pada saat dilahirkan.433

Ditetapkannya janin/bayi dalam kandungan sebagai orang yang

berhak menjadi ahli waris karena janin/bayi termasuk dalam

kategori ahliyatul wujub, yaitu orang yang pantas menerima hak,

tapi belum mampu melakukan kewajiban.

Dalam pembahasan kitab-kitab fikih, permasalahan

mengenai kewarisan anak dalam kandungan ini terletak pada

ketidak pastian yang terdapat pada dirinya. Sedangkan warisan

diselesaikan secara hukum bila kepastian tersebut sudah ada.

Ketidak pastian itu terletak pada : apakah janin tersebut lahir

dalam keadaan hidup atau mati. Jika lahir dalam keadaan mati

jelas ia bukan ahli waris. Jika ia lahir dalam keadaan hidup, apakah

ia berhak mewarisi atau tidak. Selanjutnya yang lahir hidup itu

apakah laki-laki atau perempuan, satu orang atau berbilang.

Ketidak pastian itu bukan saja untuk bayi yang masih dalam

kandungan, tetapi juga berlaku bagi ahli waris yang telah ada,

apakah ia terhijab oleh yang akan lahir itu atau tidak, dan

beberapa ketidak pastian lainnya.

433 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-

Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 230

Page 420: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

397

Di zaman modern sekarang ini melalui ilmu pengetahuan

dan kedokteran yang canggih permasalahan-permasalahan

tersebut dapat terjawab dengan mudah, kecuali mengenai hidup

atau matinya bayi pada saat dilahirkan. Selain itu, apabila seluruh

ahli waris bisa bersabar sampai lahirnya bayi permasalahan ini

tidak akan terjadi. Permasalahan ini terjadi apabila salah seorang

menuntut segera pembagian harta warisan.

Perspektif fikih

Dalam hal menetapkan apakah bayi pada waktu lahir

dalam keadaan hidup menjadi perbincangan di kalangan ulama.

Perbincangan itu berkisar pada apa yang menjadi tanda atau

ukuran untuk menyatakan bahwa bayi itu hidup. Apakah dilihat

setelah bayi lahir secara sempurna atau setelah diketahui tandanya

saja meskipun belum lahir secara sempurna.434

Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat sebuah hadits

Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:

“Bila telah berteriak anak yang dilahirkan, maka ia berhak

mewarisi.”

Berdasarkan zahir hadits tersebut, sebagian ulama yang

terdiri dari Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyab, ‘Atha’, Syuraih al-

Hasan dan Ibnu Sirrin dari kalangan sahabat, kemudian diikuti oleh

Al-Nakha’I, Malik dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur

berpendapat bahwa bukti atau tanda lahir bayi hidup adalah

istihlal atau teriakan. Selain dari teriakan tidak dapat dijadikan

tanda bahwa bayi lahir dalam keadaan hidup.435

434 Amir Syarifuddin, Hukum waris, hal. 126

435 Amir Syarifuddin, hal. 126

dalam menetapkan tersebut mengikuti pendapat salah satu ulama

fikih atau murni berijtihad berdasarkan aspek maslahah.

Kewarisan anak dalam kandungan

Para ulama telah sepakat dalam menetapkan syarat-syarat

seorang ahli waris yang berhak mendapatkan warisan adalah yang

pada saat kematian pewaris jelas nyata ada dan hidupnya. Para

ulama juga sepakat bahwa janin yang masih dalam kandungan

ibunya termasuk ahli waris yang berhak diperhitungkan sebagai

ahli waris dengan syarat sudah berwujud di dalam rahim ibunya

pada saat pewaris meninggal, dan hidup pada saat dilahirkan.433

Ditetapkannya janin/bayi dalam kandungan sebagai orang yang

berhak menjadi ahli waris karena janin/bayi termasuk dalam

kategori ahliyatul wujub, yaitu orang yang pantas menerima hak,

tapi belum mampu melakukan kewajiban.

Dalam pembahasan kitab-kitab fikih, permasalahan

mengenai kewarisan anak dalam kandungan ini terletak pada

ketidak pastian yang terdapat pada dirinya. Sedangkan warisan

diselesaikan secara hukum bila kepastian tersebut sudah ada.

Ketidak pastian itu terletak pada : apakah janin tersebut lahir

dalam keadaan hidup atau mati. Jika lahir dalam keadaan mati

jelas ia bukan ahli waris. Jika ia lahir dalam keadaan hidup, apakah

ia berhak mewarisi atau tidak. Selanjutnya yang lahir hidup itu

apakah laki-laki atau perempuan, satu orang atau berbilang.

Ketidak pastian itu bukan saja untuk bayi yang masih dalam

kandungan, tetapi juga berlaku bagi ahli waris yang telah ada,

apakah ia terhijab oleh yang akan lahir itu atau tidak, dan

beberapa ketidak pastian lainnya.

433 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-

Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 230

Page 421: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

398

Golongan kedua yang terdiri dari al-Tsauri, al-Auza’I, Abu

Hanifah dan sahabat-sahabatnya, al-Syafi’I, Ahmad dalam riwayat

yang lain dan Daud berpendapat bahwa tanda kehidupan pada

bayi yang baru lahir selain dengan teriakan juga dengan cara lain

seperti gerakan tubuh, menyusu dan petunjuk lain yang

meyakinkan.436

Dalam menetapkan waktu terjadinya istihlal atau teriakan

terdapat juga perbedaan pendapat. Imam al-Syafi’I berpendapat

bahwa istihlal atau teriakan dilihat pada waktu bayi telah lahir

secara sempurna. Dengan demikian jika bayi berteriak pada saat

bayi tersebut baru keluar separoh dari perut ibunya dan kemudian

meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Alasannya ialah bahwa

kata-kata “maulud” dalam hadits tersebut dalam arti lahir secara

keseluruhan.

Berbeda dengan pendapat Syafi’I tersebut, menurut Abu

Hanifah seandainya sebagian besar tubuh bayi sudah keluar dan

berteriak, maka ia sudah berhak mewarisi meskipun meninggal

setelah bayi keluar dengan sempurna.

Perbedaan antara pendapat Syafi’i dan Abu Hanifah ini

berdampak kepada kepastian timbulnya hak secara hukum.

Dampak-dampak tersebut antara lain:

a. Kemungkinan terhijab hirman atau tidaknya ahli waris yang

lain. Seperti saudara seibu dari pewaris, sedangkan yang hamil

adalah istri pewaris. Menurut pendapat Syafi’I, saudara seibu

tersebut berhak mewarisi, karena bayi yang meninggal setelah

keluar secara sempurna walaupun berteriak. Sementara

menurut pendapat Abu Hanifah, saudara seibu tersebut

terhijab hirman.

436 Ibid, hal 126-127

Page 422: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

399

b. Kemungkinan terhijab nuqshannya ahli waris yang lain. Seperti

ibu dari pewaris, sedangkan yang hamil istri pewaris. Menurut

pendapat Syafi’I, bagian ibu tidak terhijab hirman (menerima

1/3). Sementara menurut Abu Hanifah ibu terhijab hirman

(menerima 1/6).

Diantara ahli waris ada yang kepastian haknya ditentukan

oleh jenis kelamin bayi yang akan lahir. Seperti saudara sekandung

atau seayah dari pewaris dan yang hamil adalah istri pewaris.

Saudara sekandung atau seayah akan menjadi ahli waris jika yang

lahir adalah perempuan.

Ketidak pastian mereka yang kedudukannya sudah jelas

sebagai ahli waris dapat dikelompokkan kepada tiga

kemungkinan:

Pertama, pasti kedudukannya sebagai ahli waris dan pasti

pula haknya yang akan diterima. Contoh, ibu dalam kasus yang

hamil adalah istri pewaris yang telah punya anak. Dalam hal ini

apapun bentuk yang lahir, mati atau hidup, ibu tetap mendapat

warisan dan hak ibu tetap 1/6.

Kedua, pasti kedudukannya sebagai ahli waris namun tidak

pasti hak yang akan diterimanya. Contoh, ibu pewaris yang sedang

hamil dan sebelumnya telah mempunyai seorang anak. Apapun

keadaan bayi yang akan lahir pasti ibu akan menerima hak waris.

Ketidakpastiannya terletak apakah ia akan menerima 1/6 atau 1/3.

Kalau bayi lahir dalam keadaan mati maka ibu mendapat 1/3

karena pewaris tidak adala anak dan saudara hanya seorang. Kalau

seandainya bayi lahir dalam keadaan hidup, apakah laki-laki atau

perempuan, hak ibu menjadi berkurang yaitu 1/6 karena saudara

pewaris menjadi dua orang dengan kelahiran itu.

Ketiga, belum tentu kedudukannya sebagai ahli waris dan

otomatis haknya pun menjadi tidak pasti. Contoh, saudara dalam

Golongan kedua yang terdiri dari al-Tsauri, al-Auza’I, Abu

Hanifah dan sahabat-sahabatnya, al-Syafi’I, Ahmad dalam riwayat

yang lain dan Daud berpendapat bahwa tanda kehidupan pada

bayi yang baru lahir selain dengan teriakan juga dengan cara lain

seperti gerakan tubuh, menyusu dan petunjuk lain yang

meyakinkan.436

Dalam menetapkan waktu terjadinya istihlal atau teriakan

terdapat juga perbedaan pendapat. Imam al-Syafi’I berpendapat

bahwa istihlal atau teriakan dilihat pada waktu bayi telah lahir

secara sempurna. Dengan demikian jika bayi berteriak pada saat

bayi tersebut baru keluar separoh dari perut ibunya dan kemudian

meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Alasannya ialah bahwa

kata-kata “maulud” dalam hadits tersebut dalam arti lahir secara

keseluruhan.

Berbeda dengan pendapat Syafi’I tersebut, menurut Abu

Hanifah seandainya sebagian besar tubuh bayi sudah keluar dan

berteriak, maka ia sudah berhak mewarisi meskipun meninggal

setelah bayi keluar dengan sempurna.

Perbedaan antara pendapat Syafi’i dan Abu Hanifah ini

berdampak kepada kepastian timbulnya hak secara hukum.

Dampak-dampak tersebut antara lain:

a. Kemungkinan terhijab hirman atau tidaknya ahli waris yang

lain. Seperti saudara seibu dari pewaris, sedangkan yang hamil

adalah istri pewaris. Menurut pendapat Syafi’I, saudara seibu

tersebut berhak mewarisi, karena bayi yang meninggal setelah

keluar secara sempurna walaupun berteriak. Sementara

menurut pendapat Abu Hanifah, saudara seibu tersebut

terhijab hirman.

436 Ibid, hal 126-127

Page 423: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

400

kasus ahli waris adalah istri pewaris yang sedang hamil.

Seandainya bayi yang lahir itu laki-laki maka saudara tidak berhak

menjadi ahli waris karena terhijab oleh anak laki-laki. Tetapi

seandainya bayi yang lahir tersebut dalam keadaan mati atau

hidup tetapi berjenis kelamin perempuan, maka saudara berhak

mewarisi karena anak perempuan tidak menghijab saudara.

Dalam ketidak pastian tersebut, dapatkah harta warisan

dibagikan kepada ahli waris yang telah jelas ada tersebut? Cara

yang paling aman dan tidak menimbulkan masalah adalah bila

masing-masing ahli waris yang ada itu bersabar menunggu sampai

janin tersebut dilahirkan untuk mencari kepastian. Namun kalau

ada yang tidak sabar dan menuntut haknya sebelum ada

kepastian, solusinya adalah dengan menerapkan cara-cara sebagai

berikut:437

a. Bila ahli waris adalah orang-orang yang sudah pasti menjadi

ahli waris dan haknya tidak akan berubah seperti dalam

kelompok pertama, maka hak warisannya dapat diberikan

secara penuh. Karena apapun yang terjadi haknya tidak akan

berubah.

b. Bila ahli waris adalah orang-orang yang akan terhijab hirman

oleh bayi yang akan lahir, maka haknya tidak dapat diberikan.

c. Bila ahli waris adalah orang-orang yang dengan furudh tertentu

ada kemungkinan berkurang haknya oleh bayi yang akan lahir,

maka haknya dapat diberikan lebih dahulu dalam furudh yang

terkecil dari kemungkinan furudh yang dimiliki.

Dengan demikian para ulama sepakat bahwa bagian yang

disisihkan untuk anak dalam kandungan adalah bagian yang

terbesar diantara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.

437 Amir Syarifuddin, Hukum Waris, hal. 130-131.

Page 424: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

401

Selanjutnya mereka berbeda pendapat tentang berapa

orangkah yang dijadikan pedoman untuk diperkirakan, apaka

seorang, dua orang atau empat orang laki-laki dan perempuan?

a. Menurut Abu Hanifah, bagian yang ditahan untuk bayi dalam

kandungan tersebut adalah sebesar bagian yang terbanyak dari

dua perkiraan 4 orang anak laki-laki dan 4 orang anak

perempuan.438

b. Menurut Imam Malik dan Syafi’I, bagian yang ditahan untuk

bayi dalam kandungan adalah sebesar bagian yang terbanyak

dari dua perkiraan 1 orang anak laki-laki dan 1 orang anak

perempuan. Karena menurut kebiasaan seorang melahirkan

satu anak.439

c. Menurut Imam Ahmad, Muhammad bin al-Hasan dan Lu’luy,

bagian yang ditahan untuknya adalah sebesar bagian yang

terbanyak dari dua perkiraan 2 orang anak laki-laki dan 2 orang

anak perempuan.440

Praktek di pengadilan dan di masyarakat

Permasalahan pembagian warisan anak dalam kandungan

yang terjadi di pengadilan maupun di masyarakat sepanjang

pemakalah ketahui belum pernah terjadi. Apalagi menurut

kebiasaan yang ada proses pembagian warisan baru dilaksanakan

setelah bertahun-tahun atau berbulan-bulan sejak kematian

pewaris. Sehingga kalaupun terdapat ahli waris yang masih di

dalam kandungan ibunya pada saat pewaris meninggal, pada saat

pembagian warisan anak dalam kandungan tersebut sudah lahir.

438 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-

Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal 230

439 Ibid.

440 Fathur Rahman, hal. 212

kasus ahli waris adalah istri pewaris yang sedang hamil.

Seandainya bayi yang lahir itu laki-laki maka saudara tidak berhak

menjadi ahli waris karena terhijab oleh anak laki-laki. Tetapi

seandainya bayi yang lahir tersebut dalam keadaan mati atau

hidup tetapi berjenis kelamin perempuan, maka saudara berhak

mewarisi karena anak perempuan tidak menghijab saudara.

Dalam ketidak pastian tersebut, dapatkah harta warisan

dibagikan kepada ahli waris yang telah jelas ada tersebut? Cara

yang paling aman dan tidak menimbulkan masalah adalah bila

masing-masing ahli waris yang ada itu bersabar menunggu sampai

janin tersebut dilahirkan untuk mencari kepastian. Namun kalau

ada yang tidak sabar dan menuntut haknya sebelum ada

kepastian, solusinya adalah dengan menerapkan cara-cara sebagai

berikut:437

a. Bila ahli waris adalah orang-orang yang sudah pasti menjadi

ahli waris dan haknya tidak akan berubah seperti dalam

kelompok pertama, maka hak warisannya dapat diberikan

secara penuh. Karena apapun yang terjadi haknya tidak akan

berubah.

b. Bila ahli waris adalah orang-orang yang akan terhijab hirman

oleh bayi yang akan lahir, maka haknya tidak dapat diberikan.

c. Bila ahli waris adalah orang-orang yang dengan furudh tertentu

ada kemungkinan berkurang haknya oleh bayi yang akan lahir,

maka haknya dapat diberikan lebih dahulu dalam furudh yang

terkecil dari kemungkinan furudh yang dimiliki.

Dengan demikian para ulama sepakat bahwa bagian yang

disisihkan untuk anak dalam kandungan adalah bagian yang

terbesar diantara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.

437 Amir Syarifuddin, Hukum Waris, hal. 130-131.

Page 425: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

402

Sehingga proses pembagian warisan tidak terdapat masalah

sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.

Penutup

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan

sebagai berikut:

A. Masalah kewarisan khuntsa:

1. Khunsa adalah orang yang mempunyai kelamin ganda atau

yang tidak mempunyai kelamin sama sekali. Dalam

menentukan status jenis kelaminnya ditentukan

berdasarkan fungsi alat kelamin yang dominan.

2. Penghitungan kewarisan khuntsa dengan cara

memperkirakan kuntsa sebagai laki-laki dan khuntsa sebagai

perempuan.

3. Dalam praktek yang terjadi di masyarakat banyak yang

mengubah kelamin dari laki-laki ke perempuan dan dari

perempuan ke laki-laki. Hukumnya adalah dilarang karena

berbeda dengan pengertian khuntsa yang dimaksud dalam

syariat Islam. Untuk kewarisannya berdasarkan jenis kelamin

asli sebelum terjadinya perubahan kelamin.

B. Kewarisan Mafqud

1. Yang dimaksud mafqud adalah orang hilang yang tidak

diketahui keberadaannya, hidup dan matinya.

2. Harta peninggalan mafqud tidak boleh dibagikan kepada

ahli warisnya sampai ada kepastian tentang kematian

mafqud.

3. Hakim dapat menentukan atau memvonis mati mafqud

berdasarkan ijtihadnya setelah mencari bukti-bukti kuat.

Page 426: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

403

4. Penyelesaian kewarisan mafqud dengan dua perkiraan,

yaitu perkiraan mafqud hidup, dan perkiraan mafqud mati.

Bagian yang meyakinkan atau terkecil dari dua perkiraan

diberikan kepada ahli waris yang hadir. Sedangkan sisanya

di simpan sampai mafqud kembali atau ada vonis hakim

yang menetapkan kematiannya.

5. Perkara mafqud yang pernah diputuskan di Pengadilan

Agama Sleman memutuskan mafqud meninggal demi

kemaslahatan ahli waris yang ada.

C. Kewarisan anak dalam kandungan

1. Anak atau janin yang masih berada dalam kandungan

ibunya sudah terhitung sebagai ahli waris.

2. Penghitungan warisan anak dalam kandungan dengan cara

menghitung dua perkiraan, perkiraan bayi lahir laki-laki dan

perkiraan bayi lahir perempuan. Bagian yang terkecil dari

dua perkiraan diberikan kepada ahli waris yang sudah ada,

dan bagian yang terbesar disisihkan untuk bayi.

3. Pembagian harta warisan yang melibatkan anak dalam

kandungan sebaiknya menunggu hingga bayi dalam

kandungan lahir.

Masalah-masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda),

mafqud (orang hilang) dan anak dalam kandungan merupakan

masalah-masalah ijtihadiyah yang tergolong masalah taqdiri

(perkiraan).

Sehingga proses pembagian warisan tidak terdapat masalah

sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.

Penutup

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan

sebagai berikut:

A. Masalah kewarisan khuntsa:

1. Khunsa adalah orang yang mempunyai kelamin ganda atau

yang tidak mempunyai kelamin sama sekali. Dalam

menentukan status jenis kelaminnya ditentukan

berdasarkan fungsi alat kelamin yang dominan.

2. Penghitungan kewarisan khuntsa dengan cara

memperkirakan kuntsa sebagai laki-laki dan khuntsa sebagai

perempuan.

3. Dalam praktek yang terjadi di masyarakat banyak yang

mengubah kelamin dari laki-laki ke perempuan dan dari

perempuan ke laki-laki. Hukumnya adalah dilarang karena

berbeda dengan pengertian khuntsa yang dimaksud dalam

syariat Islam. Untuk kewarisannya berdasarkan jenis kelamin

asli sebelum terjadinya perubahan kelamin.

B. Kewarisan Mafqud

1. Yang dimaksud mafqud adalah orang hilang yang tidak

diketahui keberadaannya, hidup dan matinya.

2. Harta peninggalan mafqud tidak boleh dibagikan kepada

ahli warisnya sampai ada kepastian tentang kematian

mafqud.

3. Hakim dapat menentukan atau memvonis mati mafqud

berdasarkan ijtihadnya setelah mencari bukti-bukti kuat.

Page 427: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

404

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemah

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia,

(Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984)

Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar

Baru van hoeve, 1996),

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media,

2004),

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris,

terjemah dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy,

(Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)

al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist

‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240

Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma’rifah,

1960)

Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-

Islamiyyah, (Mathba’ah al-Madany, 1976)

Kamus Besar Bahasa Indonesia

http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-

fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-kelamin,

makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).

Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul

Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad

Ma’shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994)

Page 428: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

405

Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-08

11:48:31By : JAUHAR FARADIS NIM. 04350063,

Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga YogyakartaCreated :

2008-07-08.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemah

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia,

(Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984)

Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar

Baru van hoeve, 1996),

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media,

2004),

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris,

terjemah dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy,

(Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)

al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist

‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240

Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma’rifah,

1960)

Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-

Islamiyyah, (Mathba’ah al-Madany, 1976)

Kamus Besar Bahasa Indonesia

http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-

fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-kelamin,

makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).

Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul

Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad

Ma’shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994)

Page 429: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab III

406

Page 430: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

407

BAB IVHUKUM KEWARISAN TENTANG HAK-HAK

KEBENDAAAN YANG DIATUR UNDANG-UNDANG

Page 431: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab IV

408

Page 432: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

409

KETERKAITAN HUKUM WARIS DENGAN HAK-HAK KEBENDAAN

YANG DIATUR DALAM BERBAGAI PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Yeni Salma Barlinti

Latar Belakang

Pembahasan kewarisan dalam Islam di saat ini tidak tuntas

jika berhenti pada bahasan bagian-bagian warisan untuk ahli

waris. Perkembangan muamalah dalam masyarakat semakin besar

dan cukup rumit, mengingat semakin luas dan beragamnya

kegiatan ekonomi yang dilakukan. Sebagai contoh, jual beli tidak

hanya terhadap objek jual beli berupa benda berwujud, tetapi

juga benda tidak berwujud seperti saham.

Bentuk muamalah lainnya yang beraneka ragam, perlu

mendapat perhatian khusus untuk dikaji lebih lanjut dan lebih

dalam terkait dengan hukum kewarisan, dengan tetap

memperhatikan peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya. Pengkajian ini mengenai kebendaan yang timbul

dari kegiatan muamalah dikaitkan dengan hukum kewarisan yaitu

dalam penentuan benda-benda yang menjadi harta warisan atau

tidak untuk kemudian dibagikan kepada para ahli waris.

Tulisan ini mengkaji kebendaan dan hak atas kebendaan

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

untuk kemudian dihubungkan dengan kewarisan, khususnya harta

warisan. Kajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan

pemikiran untuk penyusunan Naskah Akademik RUU Hukum

Materiil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan.

Page 433: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab IV

410

Pengertian Kebendaan

Dalam Pasal 499 KUHPerdata, disebutkan definisi

kebendaan adalah “tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat

dikuasai oleh hak milik”. Definisi ini memberi pemahaman bahwa

konsep kebendaan adalah tidak hanya benda itu sendiri, tetapi

juga hak. Dengan berdasar para ketentuan tersebut Abdulkadir

Muhammad mengemukakan bahwa:

Benda adalah objek milik. Hak juga dapat menjadi objek

milik. Oleh sebab itu, benda dan hak adalah objek milik.

Secara yuridis (menurut konsep hukum) yang dimaksud

dengan benda adalah segala sesuatu yang menjadi objek

milik. Semua benda dalam arti hukum dapat

diperdagangkan, dapat dialihkan kepada pihak lain, dan

dapat diwariskan.441

Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai,

diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak

berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,

baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak

yang mempunyai nilai ekonomis (Pasal 1 angka 9 KHES)

Klasifikasi Jenis Benda

KUHPerdata membagi benda dalam bentuk:

1. Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPer)

2. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPer)

441 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet. Revisi, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2010), hlm. 128.

Page 434: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

411

KHES membagi benda dalam bentuk:

1. Benda berwujud dan tidak berwujud. Benda berwujud adalah

segala sesuatu yang dapat diindera (Pasal 1 angka 10 KHES).

Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak dapat

diindera (Pasal 1 angka 11 KHES).

2. Benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak adalah

segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke

tempat lain (Pasal 1 angka 12 KHES). Benda tidak bergerak

adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari

suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya

ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1 angka 13 KHES).

3. Benda terdaftar dan tidak terdaftar. Benda terdaftar adalah

segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan

warkat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (Pasal

1 angka 14 KHES). Benda tidak terdaftar adalah segala sesuau

yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti

pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak (pasal 1

angka 15 KHES).

Hak Kebendaan

Hak kebendaan adalah “hak yang memberikan kekuasaan

langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap

siapapun”.442

Hak Kebendaan Atas Tanah

Dalam kaitannya dengan agraria, Undang-Undang No. 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 16

ayat (1) mengatur hak-hak atas tanah adalah sebagai berikut.

442 Abdulkadir Muhammad, hlm. 136.

Pengertian Kebendaan

Dalam Pasal 499 KUHPerdata, disebutkan definisi

kebendaan adalah “tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat

dikuasai oleh hak milik”. Definisi ini memberi pemahaman bahwa

konsep kebendaan adalah tidak hanya benda itu sendiri, tetapi

juga hak. Dengan berdasar para ketentuan tersebut Abdulkadir

Muhammad mengemukakan bahwa:

Benda adalah objek milik. Hak juga dapat menjadi objek

milik. Oleh sebab itu, benda dan hak adalah objek milik.

Secara yuridis (menurut konsep hukum) yang dimaksud

dengan benda adalah segala sesuatu yang menjadi objek

milik. Semua benda dalam arti hukum dapat

diperdagangkan, dapat dialihkan kepada pihak lain, dan

dapat diwariskan.441

Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai,

diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak

berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,

baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak

yang mempunyai nilai ekonomis (Pasal 1 angka 9 KHES)

Klasifikasi Jenis Benda

KUHPerdata membagi benda dalam bentuk:

1. Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPer)

2. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPer)

441 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet. Revisi, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2010), hlm. 128.

Page 435: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab IV

412

a. Hak milik

b. Hak guna usaha

c. Hak guna bangunan

d. Hak pakai

e. Hak sewa

f. Hak membuka tanah

g. Hak memungut hasil hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di

atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-

hak yang sifatnya sementasi sebagai yang disebutkan dalam

Pasal 53.

Pengertian dan ketentuan dari masing-masing hak

sebagaimana dipaparkan berikut.

Hak Milik

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh

yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UU PA). Ketentuan

hak milik atas tanah adalah hanya dapat dimiliki oleh WNI. Menjadi

permasalahan apabila ahli waris dari pewaris adalah WNA. Hal ini

menjadi tidak terlindungi.

Hak milik menjadi hapus (Pasal 27 UUPA) apabila tanahnya

jatuh kepada Negara karena pencabutan hak untuk kepentingan

umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, dengan mendapatkan ganti

kerugian yang layak dan menurut cara yang telah diatur. (Pasal 27

ayat (1) jo Pasal 18 UUPA); karena penyerahan dengan sukarela

oleh pemiliknya; karena diterlantarkan; karena pengalihan hak

kepada WNA; dan tanahnya musnah.

Page 436: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

413

Hak Guna Usaha

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah

yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling

lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau

peternakan (Pasal 28 jo Pasal 29 UUPA). HGU diberikan atas tanah

yang luasnya paling sedikit 5 ha. HGU dapat diperpanjang dengan

waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat (3) UUPA).

Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan

mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya

sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat

diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35). HGB dapat terjadi

karena perjanjian yang berbentukan otentik antara pemilik tanah

yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu,

yang bermaksud menimbulkan hak tersebut (Pasal 37).

Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau

memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara

atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan

kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh

pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian

dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa

atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak

bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UU ini (Pasal

41).

Hak pakai ini dapat diberikan selama jangka waktu yang

tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan

yang tertentu; atau dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran

atau pemberian jasa berupa apapun.

a. Hak milik

b. Hak guna usaha

c. Hak guna bangunan

d. Hak pakai

e. Hak sewa

f. Hak membuka tanah

g. Hak memungut hasil hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di

atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-

hak yang sifatnya sementasi sebagai yang disebutkan dalam

Pasal 53.

Pengertian dan ketentuan dari masing-masing hak

sebagaimana dipaparkan berikut.

Hak Milik

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh

yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UU PA). Ketentuan

hak milik atas tanah adalah hanya dapat dimiliki oleh WNI. Menjadi

permasalahan apabila ahli waris dari pewaris adalah WNA. Hal ini

menjadi tidak terlindungi.

Hak milik menjadi hapus (Pasal 27 UUPA) apabila tanahnya

jatuh kepada Negara karena pencabutan hak untuk kepentingan

umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, dengan mendapatkan ganti

kerugian yang layak dan menurut cara yang telah diatur. (Pasal 27

ayat (1) jo Pasal 18 UUPA); karena penyerahan dengan sukarela

oleh pemiliknya; karena diterlantarkan; karena pengalihan hak

kepada WNA; dan tanahnya musnah.

Page 437: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab IV

414

Hak Sewa

Hak sewa untuk bangunan dapat dimiliki oleh seseorang

yang mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak

mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan

bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang

sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1)). Pembayaran uang sewa dapat

dilakukan dengan cara satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;

sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan (Pasal 44 ayat (2)).

Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan

Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan

adalah hak-hak adat yang menyangkut tanah.

Hak Lain Bersifat Sementara

Hak-hak lain yang sifatnya sementara adalah hak gadai,

hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah

pertanian.

Terkait dengan kewarisan, menurut penulis, hak-hak

kebendaan yang dapat diwariskan dapat terbagi sebagai berikut.

Hak Penuh dan Tidak Penuh

Hak penuh adalah hak ini adalah absolute milik dari

pewaris dan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Sedangkan

hak tidak penuh adalah hak pewaris hanya untuk jangka waktu

tertentu. Jika tiba pada akhir masa haknya, maka hak tersebut

berakhir. Hak ini dapat diperpanjang dengan cara mendaftarkan

kembali. Tetapi dapat beralih menjadi hak Negara apabila tidak

didaftarkan kembali.

Page 438: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

415

Hak Kekayaan Intelektual

Bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang diatur di

Indonesia adalah:

a. Hak Cipta

b. Merek

c. Paten

d. Desain Industri

e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

f. Rahasia Dagang

g. Varietas Tanaman

Regulasi tentang Kewarisan

Beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya

dalam bentuk UU ada beberapa pasal dalam UU yang mengatur

tentang kewarisan. Perundang-undangan dimaksud seperti:

1. UU No. 19 Th. 2002 Tentang Hak Cipta; dalam pasal: 3, 4, 19, 20,

24, 58 dan 55.

2. UU No. 14 Th. 2001 Tentang Paten, dalam pasal: 40, 66, 67 dan

Pasal 86

3. UU No. 15 Th. 2001 Tentang Merek; dalam Pasal 40

4. UU No. 30 Th. 2000 Tentang Rahasia Dagang; dalam pasal 5.

5. UU No. 31 Th. 2000 Tentang Desain Industri; dalam pasal 9, 22

dan 31.

6. UU No. 32 Th. 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;

dalam Pasal 8, 18 dan 23.

Hak Sewa

Hak sewa untuk bangunan dapat dimiliki oleh seseorang

yang mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak

mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan

bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang

sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1)). Pembayaran uang sewa dapat

dilakukan dengan cara satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;

sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan (Pasal 44 ayat (2)).

Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan

Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan

adalah hak-hak adat yang menyangkut tanah.

Hak Lain Bersifat Sementara

Hak-hak lain yang sifatnya sementara adalah hak gadai,

hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah

pertanian.

Terkait dengan kewarisan, menurut penulis, hak-hak

kebendaan yang dapat diwariskan dapat terbagi sebagai berikut.

Hak Penuh dan Tidak Penuh

Hak penuh adalah hak ini adalah absolute milik dari

pewaris dan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Sedangkan

hak tidak penuh adalah hak pewaris hanya untuk jangka waktu

tertentu. Jika tiba pada akhir masa haknya, maka hak tersebut

berakhir. Hak ini dapat diperpanjang dengan cara mendaftarkan

kembali. Tetapi dapat beralih menjadi hak Negara apabila tidak

didaftarkan kembali.

Page 439: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab IV

416

7. UU No. 29 Th. 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman;

dalam pasal asal 12, 22, 40 dan pasal 54.

8. UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf; dalam pasal Pasal 6, 25, 27,

67, dan pasal 40.

9. UU No. 40 Th. 2007 Tentang Perseroan Terbatas; dalam pasal

56 dan 57.

10. UU No. 4 Th. 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; seperti

dalam pasal 16.

11. UU No. 21 Th. 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang; dalam pasal 48, 49 dan pasal 50.

12. UU No. 31 Th. 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi; dalam pasal 34 dan pasal 33.

13. UU No. 15 Th. 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, Menjadi UU jo. Peraturan Pemerintah

Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme; dalam pasal Pasal 36, 40 dan 41.

Mengenai ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

kewarisan, juga dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah, sebagai peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi

syariah berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun

2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

Ketentuan-ketentuan dalam KHES merupakan ketentuan

terkait dengan perikatan sebagai kegiatan muamalah yang

didasarkan pada Hukum Islam. Didalamnya juga diatur mengenai

keterkaitannya dengan kewarisan, yaitu pada saat salah satu pihak

yang melakukan perikatan meninggal dunia. Hak apa saja yang

Page 440: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

417

diperoleh para ahli waris dan apa saja yang tidak dapat diwariskan.

Berikut isi ketentuan KHES berdasarkan buku Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah yang diterbitkan oleh MARI tahun 2010 sebagai

Edisi Revisi. Pasal dan kandungannya dapat dilihat dalam tabel

berikut ini.

No Pasal Tentang

1 88, 109, 110, Bai’ (jual beli)

2 115 Bai’ Wafa

3 202, 203 dan 204 Syirkah Milk

4 263 dan 264 Muzara’ah

5 273 Khiyar Syarth

6 289 dan 294 Khiyar Ghabn dan Taghrib

7 351 dan 358 Kafalah

8 372 Hawalah

9 390, 392, 393 dan 394 Rahn

10 425, 428 dan 429 Wadi’ah

11 Pasal 517 Wakalah

12 536 Shulh

13 639, 640, 641, 643 dan

659

Dana Pensiun Syariah

Kewarisan dalam Kaitannya Dengan Wakaf

UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menentukan bahwa

wakaf dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Adanya

kebolehan untuk melakukan wakaf dalam jangka waktu tertentu,

dapat menimbulkan permasalahan terkait dengan kewarisan.

Permasalahan tersebut adalah jika mauquf ‘alaih dari wakaf

tersebut meninggal dunia (dalam hal wakaf ahli atau wakaf untuk

kerabat tertentu). Apakah dalam jangka waktu keberlakuan wakaf

tersebut beralih kepada ahli waris atau wakaf tersebut berakhir.

7. UU No. 29 Th. 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman;

dalam pasal asal 12, 22, 40 dan pasal 54.

8. UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf; dalam pasal Pasal 6, 25, 27,

67, dan pasal 40.

9. UU No. 40 Th. 2007 Tentang Perseroan Terbatas; dalam pasal

56 dan 57.

10. UU No. 4 Th. 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; seperti

dalam pasal 16.

11. UU No. 21 Th. 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang; dalam pasal 48, 49 dan pasal 50.

12. UU No. 31 Th. 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi; dalam pasal 34 dan pasal 33.

13. UU No. 15 Th. 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, Menjadi UU jo. Peraturan Pemerintah

Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme; dalam pasal Pasal 36, 40 dan 41.

Mengenai ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

kewarisan, juga dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah, sebagai peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi

syariah berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun

2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

Ketentuan-ketentuan dalam KHES merupakan ketentuan

terkait dengan perikatan sebagai kegiatan muamalah yang

didasarkan pada Hukum Islam. Didalamnya juga diatur mengenai

keterkaitannya dengan kewarisan, yaitu pada saat salah satu pihak

yang melakukan perikatan meninggal dunia. Hak apa saja yang

Page 441: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab IV

418

Begitu pula untuk wakaf khairi (wakaf umum), permasalahan dapat

muncul di saat mauquf ‘alaih meninggal dunia, di saat wakif tidak

menyebutkan secara khusus mengenai hal tersebut.

G. Kebendaan Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam

Ketentuan dalam Pasal 189 KHI berisi bahwa

(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang

luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan

kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk

kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.

(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak

dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang

bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan

tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang

dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang

berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Ketentuan Pasal 189 KHI tentang tanah pertanian yang

luasnya kurang dari 2 ha adalah terkait dengan ketentuan UU No.

56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Dalam Pasal 8nya ditentukan bahwa

Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap

petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2

hektar.

Tujuan penetapan luas minimum adalah supaya tiap

keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk

dapat mencapai taraf penghidupan yang layak. Untuk hal tersebut,

UU ini berupaya untuk mencegah dilakukannya pemecahan-

pemecahan pemilikan tanah yang bertentangan dengan tujuan

tersebut. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU ini ditentukan bahwa:

Page 442: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

419

Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian

warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu

mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan

tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan

termaksud tidak berlaku kalau si penjual hanya memiliki

bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan

tanah itu dijual sekaligus.

Hal-hal Lain yang Terkait dengan Kewarisan

Terkait dengan kebendaan, saat ini perlu mendapat

perhatian atas hak kebendaan yang muncul kemudian, yaitu hak-

hak yang bendanya diperoleh di kemudian hari. Penulis pernah

memberikan pendapat kepada sebuah Perusahaan Asuransi di

Jakarta yang mempertanyakan mengenai penerima santunan atas

keluarga (ayah, ibu, dan anak) meninggal semua dalam suatu

kecelakaan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa santunan

tersebut merupakan bagian dari harta warisan yang menjadi hak

para ahli waris. Begitu pula terhadap restitusi yang diterima oleh

ahli waris dari korban suatu tindak pidana. Dalam hal ini, menjadi

suatu permasalahan baru terhadap bentuk harta warisan yang

muncul kemudian.

Santunan asuransi jiwa ataupun santunan dari pihak

manapun (perusahaan tempat pewaris bekerja misalnya) dan

restitusi, uang yang diperoleh hanya satu kali. Sehingga uang ini

dapat lebih mudah untuk dibagikan kepada ahli waris apabila

santunan ini dinilai sebagai harta warisan. Berkenaan dengan harta

yang muncul kemudian, perlu suatu kajian terhadap HaKI atas

seseorang yang meninggal dunia. Utamanya adalah bagaimana

penentuan hak waris para ahli waris terhadap HaKI. HaKI dapat

Begitu pula untuk wakaf khairi (wakaf umum), permasalahan dapat

muncul di saat mauquf ‘alaih meninggal dunia, di saat wakif tidak

menyebutkan secara khusus mengenai hal tersebut.

G. Kebendaan Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam

Ketentuan dalam Pasal 189 KHI berisi bahwa

(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang

luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan

kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk

kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.

(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak

dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang

bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan

tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang

dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang

berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Ketentuan Pasal 189 KHI tentang tanah pertanian yang

luasnya kurang dari 2 ha adalah terkait dengan ketentuan UU No.

56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Dalam Pasal 8nya ditentukan bahwa

Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap

petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2

hektar.

Tujuan penetapan luas minimum adalah supaya tiap

keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk

dapat mencapai taraf penghidupan yang layak. Untuk hal tersebut,

UU ini berupaya untuk mencegah dilakukannya pemecahan-

pemecahan pemilikan tanah yang bertentangan dengan tujuan

tersebut. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU ini ditentukan bahwa:

Page 443: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab IV

420

diperoleh secara terus menerus sepanjang terus didaftarkan,

diproduksi, dijual, dan terdapat harta yang dihasilkannya.

Penutup

Dalam beberapa peraturan perundang-undangan telah

mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan. Dari

peraturan-peraturan tersebut telah menimbulkan hak-hak

kebendaan yang tidak hanya berupa hak-hak kebendaan yang ada

pada saat seseorang (pewaris) meninggal dunia, tetapi juga

berupa hak-hak kebendaan yang muncul kemudian, seperti hak

atas kekayaan intelektual, restitusi, santunan, asuransi (jiwa). Perlu

ditentukan (1) apakah hak-hak kebendaan yang muncul kemudian

merupakan harta warisan atau tidak? (2) Bagaimana dengan hak-

hak kebendaan yang dapat berlangsung terus menerus muncul di

kemudian hari tanpa batas? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu

diketahui jawabannya karena akan berpengaruh terhadap

pembagian harta warisan bagi ahli waris. Ketentuan-ketentuan ini

perlu diperhatikan dan dikaji dalam penyusunan NA RUU Hukum

Materiil PA Bidang Kewarisan.

Ketentuan yang diatur dalam KHES juga penting untuk

dikaji mengingat terdapat ketentuan-ketentuan mengenai

kewarisan terkait dengan perikatan yang dilakukan oleh Pewaris

semasa hidupnya. Hak-hak kewarisan tidak hanya mengenai

piutang yang ada pada pihak lain, tetapi juga hak untuk

melakukan sesuatu ataupun batasan akad yang tidak bisa

diwariskan terhadap ahli waris.

Selain itu, terhadap peraturan-peraturan yang tidak sesuai

dengan hukum kewarisan Islam harus diperbaiki untuk tidak

menimbulkan permasalahan hukum dan menghilangkan hak-hak

waris seseorang.

Page 444: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

421

diperoleh secara terus menerus sepanjang terus didaftarkan,

diproduksi, dijual, dan terdapat harta yang dihasilkannya.

Penutup

Dalam beberapa peraturan perundang-undangan telah

mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan. Dari

peraturan-peraturan tersebut telah menimbulkan hak-hak

kebendaan yang tidak hanya berupa hak-hak kebendaan yang ada

pada saat seseorang (pewaris) meninggal dunia, tetapi juga

berupa hak-hak kebendaan yang muncul kemudian, seperti hak

atas kekayaan intelektual, restitusi, santunan, asuransi (jiwa). Perlu

ditentukan (1) apakah hak-hak kebendaan yang muncul kemudian

merupakan harta warisan atau tidak? (2) Bagaimana dengan hak-

hak kebendaan yang dapat berlangsung terus menerus muncul di

kemudian hari tanpa batas? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu

diketahui jawabannya karena akan berpengaruh terhadap

pembagian harta warisan bagi ahli waris. Ketentuan-ketentuan ini

perlu diperhatikan dan dikaji dalam penyusunan NA RUU Hukum

Materiil PA Bidang Kewarisan.

Ketentuan yang diatur dalam KHES juga penting untuk

dikaji mengingat terdapat ketentuan-ketentuan mengenai

kewarisan terkait dengan perikatan yang dilakukan oleh Pewaris

semasa hidupnya. Hak-hak kewarisan tidak hanya mengenai

piutang yang ada pada pihak lain, tetapi juga hak untuk

melakukan sesuatu ataupun batasan akad yang tidak bisa

diwariskan terhadap ahli waris.

Selain itu, terhadap peraturan-peraturan yang tidak sesuai

dengan hukum kewarisan Islam harus diperbaiki untuk tidak

menimbulkan permasalahan hukum dan menghilangkan hak-hak

waris seseorang.

BAB V

PENUTUP

Page 445: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab V

422

Page 446: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

423

Setelah dilakukan kajian, penelusuran dari berbagai

sumber pemaparan makalah dan diskusi dalam workshop

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Kesimpulan

1. Dilihat dari perspektif sosiologis, filosofis, yuridis, maupun

historis, maka dalam rangka mewujudkan kepastian hukum,

upaya legislasi hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI

menjadi Undang-Undang merupakan suatu keniscayaan.

Meskipun harus disadari bahwa gagasan ini merupakan

pemikiran mulia, namun membutuhkan energi tinggi dan

perjuangan yang tidak mengenal lelah, untuk meyakinkan

para “politisi” di lembaga legislatif. Karena sisa-sisa Hurgronje

nian tampaknya di negeri ini masih sangat kuat, dan sering

mengusung wacana, bahwa legislasi hukum Islam sama halnya

dengan menghidupkan Piagam Jakarta.

2. Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di Indonesia

perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa dan

bagaimana yang hendak ditawarkan atau digunakan untuk

meng”engine” dan meng”create” masyarakat. Dalam perspektif

historis pada awalnya masyarakat Islam Indonesia telah

menerima secara menyeluruh, karena ini adalah indikator

keberagamaan masyarakat.

3. Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di

Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI sebagai

bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum

Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang

komprehensif, moderat, dan adil, namun memiliki kepastian

hukum terutama soal materi-materi sebagaimana yang

disepakati di atas.

Page 447: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Bab V

424

4. Undang-Undang hukum material Peradilan Agama

dibutuhkan untuk menunjang tugas dan fungsi Peradilan

Agama sebagai diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2006

tentang Pendidikan Agama juga UU No. 50 Tahun 2009

tentang Perubahan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pendidikan

Agama.

5. Keberadaan hukum material Peradilan Agama sangat erat

hubungannya serta merupakan konskwensi logis dari

keberadaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dengan begitu materi dan isi kandungannya diharapkan dapat

mendukung efektifitas pelaksanaan UU Perkawinan.

6. Secara formal peraturan yang bisa menjadi pegangan dan

rujukan hakim agama dalam menyelesaikan perkara di

Pengadilan Agama terutama penyelesaian perkara kewarisan

adalah Kompilasi Hukum Islam yang hanya berbentuk Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991. Padahal Inpres jika dilihat dari segi

kekuatan hukumnya tidak lagi bisa diposisikan dan diakui

sebagai salah satu bentuk perundang-undangan. (UU No. 10

Tahun 2004 yang telah dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Kondisi seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat

eksistensi Kompilasi Hukum Islam.

7. Secara umum muatan materi Kompilasi Hukum Islam bidang

kewarisan masih relevan untuk mengatur dan menyelesaikan

perkara kewarisan di Indonesia, oleh karena itu muatan materi

KHI bidang kewarisan tersebut harus tetap dipertahankan.

Adapun hal-hal yang belum diatur perlu dimasukkan dalam

RUU, umpamanya ketentuan mengenai ahli waris ‘ashobah,

soal musyarokah, hak waris anak dalam kandungan, mafqud

(orang hilang) uhuntsa (kelamin ganda), anak zina dan li’an,

dua orang atau lebih bersama-sama meninggal. Selain itu

Page 448: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

425

perlu ada pengembangan dan penyempurnaan muatan

materi KHI misalnya masalah ahli waris pengganti, wasiat

wajibah yang dulu hanya untuk anak angkat dan orang tua

angkat diperluas peruntukannya bagi ahli waris yang

terhalang menerima warisan dari pihak ayah biologis, non

muslim, murtad, anak li’an, dan anak hasil perkosaan terhadap

laki-laki pemerkosa ibunya dan lain-lain.

Saran

1. Untuk menindaklanjuti hasil penyusunan makalah akademik

ini Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah

Kementerian Agama diharapkan melakukan upaya

penyusunan rancangan undang-undang hukum material

Peradilan Agama bidang kewarisan. Untuk mengawal jalannya

rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang

diperlukan dukungan Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri

guna memperoleh agenda pembahasan di lembaga legislatif.

2. Bagi kalangan akademisi diharapkan melakukan kajian lebih

intens melalui penelitian terhadap beberapa persoalan

substantif hukum waris Islam di Indonesia, terutama terhadap

hal-hal yang masih banyak mengundang polemik atau

perbedaan seperti konsep ahli waris pengganti, wasiat

wajibah, ahli waris beda agama, hak waris anak diluar

perkawinan yang sah, harta bersama.

4. Undang-Undang hukum material Peradilan Agama

dibutuhkan untuk menunjang tugas dan fungsi Peradilan

Agama sebagai diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2006

tentang Pendidikan Agama juga UU No. 50 Tahun 2009

tentang Perubahan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pendidikan

Agama.

5. Keberadaan hukum material Peradilan Agama sangat erat

hubungannya serta merupakan konskwensi logis dari

keberadaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dengan begitu materi dan isi kandungannya diharapkan dapat

mendukung efektifitas pelaksanaan UU Perkawinan.

6. Secara formal peraturan yang bisa menjadi pegangan dan

rujukan hakim agama dalam menyelesaikan perkara di

Pengadilan Agama terutama penyelesaian perkara kewarisan

adalah Kompilasi Hukum Islam yang hanya berbentuk Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991. Padahal Inpres jika dilihat dari segi

kekuatan hukumnya tidak lagi bisa diposisikan dan diakui

sebagai salah satu bentuk perundang-undangan. (UU No. 10

Tahun 2004 yang telah dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Kondisi seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat

eksistensi Kompilasi Hukum Islam.

7. Secara umum muatan materi Kompilasi Hukum Islam bidang

kewarisan masih relevan untuk mengatur dan menyelesaikan

perkara kewarisan di Indonesia, oleh karena itu muatan materi

KHI bidang kewarisan tersebut harus tetap dipertahankan.

Adapun hal-hal yang belum diatur perlu dimasukkan dalam

RUU, umpamanya ketentuan mengenai ahli waris ‘ashobah,

soal musyarokah, hak waris anak dalam kandungan, mafqud

(orang hilang) uhuntsa (kelamin ganda), anak zina dan li’an,

dua orang atau lebih bersama-sama meninggal. Selain itu

Page 449: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan
Page 450: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan
Page 451: Kementerian Agama RI Islam Kontemporer Pada awalnya · PDF fileGerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama 6. ... adalah nilai dari materi hukum Islam ... didepan

Problematika Hukum Kewarisan

Islam Kontemporerdi Indonesia

Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012

Editor :Muchit A. Karim

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi hukum. Ketiga materi hukum tersebut yaitu: a) hukum perkawinan sebanyak 170 pasal; b) hukum kewarisan (wasiat, hibah) sebanyak 44 pasal; c) hukum perwakafan sebanyak 14 pasal. Kemudian ditambah dengan satu pasal ketentuan penutup.

Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama. Akan tetapi karena kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya KHI disahkan dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991. Melalui Inpres ini, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas yang membutuhkan.

Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri No 154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres No 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri tersebut dalam bidang tugasnya masing-masing.

Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula Badan Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai kini lembaga tersebut menjadikan KHI sebagai sumber referensi dalam menangani perkara-perkara yang ada.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ISBN 978-602-8739-07-8

Problematika Hukum Kewarisan

Islam Kontemporerdi Indonesia

Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012

Editor :Muchit A. Karim